EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 13-21 HARI KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT ORGAN REPRODUKSI DAN ANAK TIKUS PUTIH (Rattus sp.)
META LEVI KURNIA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRACT META LEVI KURNIA. Effectivity of Purwoceng (Pimpinella alpina) Ethanole Extract during 13-21 Days of Pregnant Rat (Rattus sp.) on Reproductive Organs and Pups Weight. Under direction of ARYANI S. SATYANINGTIJAS and PUDJI ACHMADI. The study aims to observe the effect day of purwoceng (Pimpinella alpina) ethanole extract which given at 13-21 days age of pregnancy on ovarium, uterus, placenta, and pups weight. The rats were divided in to two groups. One of groups was rats that treated by purwoceng 25 mg/300 g body weight and the other groups control (no treatment). Purwoceng ethanole extract was given on the 13th until the 21st day of pregnancy. The rats was dissected on day 21 to take an ovarium, uterus, placenta, and pups, and to observe their weight. The result indicated that purwoceng ethanole extract tended to increase weight of ovarium, uterus, and pups but had no effect towards placenta. Keywords: purwoceng, reproductive organ, pups
RINGKASAN META LEVI KURNIA. Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 13-21 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.). Dibimbing oleh ARYANI S. SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI.
Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman herbal yang mengandung bahan bersifat estrogenik dan androgenik. Pada dasarnya tanaman yang mengandung senyawa-senyawa seperti estrogen atau androgen dipercaya dapat memperbaiki kinerja reproduksi. Bagian yang sering digunakan adalah akar karena bahan aktif purwoceng terbanyak terletak pada bagian akar. Penelitian ini juga memanfaatkan akar purwoceng sebagai tanaman yang diduga dapat memperbaiki kinerja reproduksi tikus betina bunting. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap organ reproduksi dan bobot anak tikus putih yang diberikan pada 13-21 hari kebuntingan. Metode penelitian ini meliputi pembuatan larutan ekstrak akar purwoceng, penentuan dosis ekstrak purwoceng, persiapan hewan penelitian, perlakuan hewan, dan analisis data. Akar purwoceng diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram simplisia yaitu sejumlah 95 gram. Ekstrak ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100 ml akuades. Dosis ekstrak purwoceng pada tikus yang digunakan yaitu sebesar 25 mg/ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram atau 83.25 mg/kg bobot badan. Pada penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml sehingga jumlah ekstrak purwoceng yang diberikan pada tikus yaitu 0.5 ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram. Sepuluh ekor tikus betina bunting yang diperoleh dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu lima ekor tikus bunting yang tidak diberi perlakuan (kontrol) dan lima ekor tikus bunting yang diberi perlakuan, yaitu diberi ekstrak purwoceng selama 13 sampai 21 hari kebuntingan. Selanjutnya dari masing-masing kelompok tersebut dinekropsi pada hari ke-21 kebuntingan untuk diambil ovarium, uterus, anak, dan plasenta untuk kemudian ditimbang bobotnya. Data bobot ovarium, uterus, anak, dan plasenta yang diperoleh kemudian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) sehingga diperoleh rata-rata dan standar deviasi dari data-data tersebut. Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama 13-21 hari kebuntingan pada tikus putih menunjukkan bahwa bobot ovarium, uterus, dan anak cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan pemberian ekstrak etanol purwoceng tidak memberikan pengaruh terhadap bobot plasenta. Peningkatan bobot ini diduga karena efek estrogenik dari purwoceng. Kata kunci: purwoceng, organ reproduksi, anak tikus
EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 13-21 HARI KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT ORGAN REPRODUKSI DAN ANAK TIKUS PUTIH (Rattus sp.)
META LEVI KURNIA
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 13-21 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.) adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2011 Meta Levi Kurnia NIM B04070158
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak mengurangi kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Judul Skripsi
Nama NIM
: Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 13-21 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.) : Meta Levi Kurnia : B04070158
Disetujui,
Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, MSc.
Drs. Pudji Achmadi, MS.
Pembimbing I
Pembimbing II
Diketahui,
Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama 13-21 Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc dan Drs. Pudji Achmadi, MS selaku pembimbing skripsi yang begitu sabar memberikan pengarahan dan pengajaran bagi penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Drs. Pudji Achmadi, MS yang telah memberikan penulis kesempatan untuk bergabung dalam penelitian ini dan staf laboratorium fisiologi (Bapak Edi, Ibu Sri, Ibu Ida) yang telah membantu baik tenaga maupun waktu dalam penelitian ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan dorongan untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bijaksana. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Maipal Sangguni (Ibunda), Taufik Maison (Ayahanda), Yahdi Al Ghurfah (Adik), Hayatul Sukma (Adik), Siti Maheram Alm(Nenek), Siti Nuraya (Nenek), Mak Odang, Mak Onga, Onga, Pa Onga, Etek, Maktuo, Uniama, dan Caca yang selalu memberikan doa, kasih sayang, serta dukungan yang tiada henti bagi penulis. Selain itu, penulis juga mendapatkan dukungan penuh dari rekan-rekan satu penelitian (Sandra, Wisnu, Junto, Divo, Copi), sahabat-sahabat terdekat (Sari, Fenny, Wulan, Deny, Putri, Ila, Iwan, Gita, dan Adit), rekan-rekan Gianuzzi FKH 44, dan Himpro SATLI. Semoga karya ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Agustus 2011
Meta Levi Kurnia
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang Sibusuk, Sumatera Barat pada tanggal 23 Oktober 1989 dari pasangan Taufik Maison dan Maipal Sangguni. Penulis merupakan anak pertama dari tiga orang bersaudara. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di SDN 09 Kupitan dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke MTsN Kupitan dan lulus pada tahun 2004. Penulis kemudian masuk ke SMAN 1 Sawahlunto dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada jurusan kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjalani pendidikannya penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kabinet sinergis sebagai pengurus divisi PSDM (2008-2009). Pada tahun 2009-2010 penulis aktif di Himpunan Minat Profesi Satwa Liar (SATLI) sebagai kadiv Wild Aquatic.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI……………………………………………………………... x DAFTAR TABEL………………………………………………………...
xii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………...
xiii
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………
xiv
PENDAHULUAN Latar Belakang.................................................................................... Tujuan................................................................................................. Hipotesa.............................................................................................. Manfaat...............................................................................................
1 2 2 2
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Tikus Putih (Rattus sp.)…………………………………...... Organ Reproduksi Betina…………………………………………… Ovarium………………………………………………………...... Uterus…………………………………………………………….. Hormon Reproduksi Betina…………………………………………. Estrogen………………………………………………………...... Progesteron………………………………………………………. Siklus Reproduksi………………………………………………….… Proses Reproduksi Tikus…………………………………………..… Perkawinan……………………………………………………….. Fertilisasi…………………………………………………………. Implantasi………………………………………………………… Plasentasi……………………………………………………….… Kelahiran dan Laktasi……………………………………………. Purwoceng (Pimpinella alpina)………………………………………
3 5 5 6 6 7 7 8 8 9 9 10 11 11 11
METODOLOGI Waktu dan Tempat…………………………………………………… Alat dan Bahan…………………………………………………….… Metode Penelitian………………………………………………….… Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng………………….… Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng…………………………..… Tahap Persiapan Hewan Model………………………………...… Perlakuan Hewan……………………………………………….… Bagan Penelitian………………………………………………..… Analisis Statistik…………………………………………………...…
14 14 14 14 15 15 16 16 17
HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………….…
18
xi
SIMPULAN DAN SARAN………………………………………….…….
26
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………....…
27
LAMPIRAN……………………………………………...………...……….. 31
xii
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.)……………………….. Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng…………………………… Rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium…………………….. Rata-rata bobot anak tikus………………………………………….
Halaman 3 13 18 22
xiii
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5
Perbedaan tikus jantan dan betina…………………………………. Purwoceng…………………………………………………………. Uterus tikus pada kebuntingan 21 hari…………………………….. Plasenta tikus pada kebuntingan 21 hari ………………………….. Anak tikus kontrol dan perlakuan pada kebuntingan 21 hari ……..
Halaman 4 11 19 20 22
xiv
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4
Halaman Analisis bobot ovarium pada kebuntingan 21 hari………………… 32 Analisis bobot uterus pada kebuntingan 21 hari…………………... 32 Analisis bobot plasenta kebuntingan 21 hari………………………. 32 Analisis bobot anak pada kebuntingan 21 hari…………………...... 33
PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan tanaman herbal sebagai tanaman obat dalam bidang reproduksi sudah banyak diteliti dan diminati oleh masyarakat karena mengandung bahan alami. Tanaman herbal yang menjadi bahan metode penelitian reproduksi adalah tanaman yang mengandung bahan bersifat estrogenik atau androgenik.
Pada
dasarnya tanaman yang mengandung senyawa-senyawa seperti estrogen atau androgen dipercaya dapat memperbaiki kinerja reproduksi, seperti pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.). Pasak bumi merupakan tumbuhan asli Myanmar, Thailand, Indo Cina, dan Indonesia. Bagian yang digunakan dari tanaman ini adalah akar. Kandungan aktif yang terdapat dalam akar pasak bumi ini adalah βSitosterol. β-Sitosterol berguna sebagai bahan baku pembuatan hormon steroid dan merangsang pengeluaran hormon estrogen (Gunawan 2002). Herbal lain yang juga mengandung bahan bersifat estrogenik atau androgenik adalah purwoceng. Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman menahun dengan tinggi antara 50-100 cm. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah pegunungan, seperti daerah asalnya, yaitu pegunungan Alpen sehingga dikenal dengan nama Pimpinella alpina.
Di Jawa, purwoceng
ditemukan tumbuh liar di Pegunungan Dieng dan lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah. Bagian tanaman yang digunakan adalah akar karena diketahui dapat menggugah hasrat seksual (Gunawan 2002). Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman yang digunakan sebagai obat herbal terutama sebagai ‘viagra’. Seluruh bagian dari purwoceng dapat digunakan sebagai obat terutama akarnya karena bahan aktif purwoceng terbanyak terletak pada bagian akar. Secara empiris masyarakat umum lebih mengenal akar purwoceng berkhasiat sebagai afrodisiak.
Akar purwoceng
mengandung turunan dari senyawa sterol, saponin, dan alkaloida. Selain itu, akar purwoceng juga mengandung turunan senyawa kumarin yang digunakan dalam industri obat modern, tetapi bukan untuk afrodisiak melainkan untuk anti bakteri, anti fungi dan anti kanker. Di Indonesia tumbuhan atau tanaman obat yang
2
digunakan sebagai afrosidiak lebih banyak hanya berdasarkan kepercayaan dan pengalaman (Hernani dan Yuliani 1991). Berdasarkan
penelitian
terdahulu,
Taufiqqurrahman
(1999)
telah
menggunakan purwoceng sebagai herbal alternatif untuk memperbaiki kinerja reproduksi.
Penelitian
tersebut
memanfaatkan
akar
purwoceng
untuk
meningkatkan kadar Luteinizing Hormone (LH) dan testosteron. Penelitian ini juga memanfaatkan akar purwoceng sebagai tanaman yang diduga dapat memperbaiki kinerja reproduksi tikus betina bunting, yang akan dilihat pada parameter dari induk (bobot ovarium, bobot uterus, dan bobot plasenta) dan dari anak (bobot badan anak). Parameter ini diambil karena ovarium adalah sumber estrogen, sedangkan uterus, plasenta, dan anak adalah target organ dari estrogen.
Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk menguji efek ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) yang diberikan pada hari kebuntingan 13-21 terhadap bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak tikus.
Hipotesa Ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) yang diberikan secara peroral dapat mempengaruhi bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak tikus yang diberikan pada hari kebuntingan 13-21.
Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap kinerja reproduksi tikus betina bunting sehingga dapat dipakai sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
TINJAUAN PUSTAKA Biologi Tikus Putih (Rattus sp.) Tikus putih atau rat (Rattus sp.) sering digunakan sebagai hewan percobaan atau hewan laboratorium karena telah diketahui sifat-sifatnya dan mudah dipelihara (Malole dan Pramono 1989). Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama produksi 1 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Penggunaan tikus dalam penelitian reproduksi karena panjang waktu siklus birahi yang pendek, yaitu 4-5 hari dan lama kebuntingannya hanya selama 21-23 hari (Malole dan Pramono 1989). Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur Sprague-Dawley yang memiliki kepala kecil, berwarna albino putih dan ekornya lebih panjang dari badannya.
Galur Wistar yang
memiliki kepala besar dan ekor yang lebih pendek. Galur Long Evans yang lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989). Tabel 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.) Kriteria
Nilai
Berat badan dewasa
450-520 g jantan, 250-300 g betina
Berat lahir
5-6 g
Lama siklus birahi
4-5 hari
Lama kebuntingan
21-23 hari
Oestrus postpartum
Fertil
Jumlah anak
6-12 ekor
Umur sapih
21 hari
Waktu pemeliharaan komersial
7-10 litter/4-5/bulan
Komposisi air susu
13% lemak, 9,7% protein, 3,2% laktosa
Sumber: Malole dan Pramono (1989)
Ada dua sifat yang membedakan tikus dengan hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung dan tidak mempunyai kandung empedu.
4
Tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki, ekor tikus menjadi bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur 50-60 hari, vagina mulai terbuka pada umur 35-90 hari dan testes turun pada umur 20-50 hari. Anak-anak yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus baru dikawinkan pada umur 65-110 hari yaitu pada saat betina mencapai 250 g berat badan dan jantan 300 g. Umur perkawinan pertama
tersebut tergantung dari galur tikus
dan
tingkat
pertumbuhannya. Siklus estrus berlangsung 4-5 hari selama 12 jam setiap siklus dan seperti halnya mencit, estrus dimulai pada malam hari. Estrus pada tikus betina tidak dipengaruhi oleh bau pejantan (Malole dan Pramono 1989). Siklus estrus tikus terbagi menjadi empat periode, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus merupakan hewan poliestrus, yaitu dapat mengalami estrus lebih dari sekali dalam setahun. Terdapat estrus postpartum dalam waktu 48 jam sesudah partus.
Akan tetapi tikus tidak
dikawinkan dalam masa estrus postpartum supaya anak-anak yang sedang disusui tidak terlantar. Oleh karena itu tikus betina yang baru bunting harus dipisah dari jantan sampai anaknya disapih (Malole dan Pramono, 1989). Tikus yang masih mudapun sudah dapat dibedakan antara tikus jantan dan betina. Tikus jantan memiliki papila genitalia dan jarak anogenital yang lebih besar dari betina yaitu 5 mm pada umur 7 hari, sedangkan betina hanya berjarak 2,5 mm. Puting susu pada betina sudah terlihat sejak umur 8-15 hari (Malole dan Pramono 1989).
Jantan
Betina
Gambar 1 Perbedaan tikus jantan dan betina (Malole dan Pramono 1989).
5
Organ Reproduksi Betina Organ reproduksi betina terdiri dari organ reproduksi primer dan sekunder. Organ reproduksi primer yaitu ovarium yang menghasilkan sel telur dan hormonhormon kelamin betina. Organ reproduksi sekunder terdiri dari tuba fallopii, uterus, serviks, vagina, dan vulva. Fungsi organ reproduksi sekunder adalah menerima dan menyalurkan sel-sel kelamin jantan dan betina, memberi makan, dan melahirkan individu baru (Toelihere 1985).
Ovarium Ovarium adalah organ primer reproduksi pada betina. Ovarium mempunyai dua fungsi, sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum dan sebagai organ endokrin yang mensekresikan hormon-hormon kelamin betina, estrogen, dan progesteron (Toelihere 1985). Ovarium dapat dianggap bersifat endokrin atau sitogenik karena mampu menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan juga ovum (Frandson 1992).
Pada
mamalia, ovarium terdiri dari dua buah. Pada waktu pertumbuhan embrional, ovarium akan mengalami sedikit penurunan (descensus ovarica) ke arah kaudal menjelang dilahirkan.
Ovarium mempunyai permukaan yang licin sebelum
terjadinya ovulasi secara teratur dan mempunyai warna abu-abu sampai merah muda. Setelah mencapai masa remaja, permukaan ovarium menjadi tidak rata karena terbentuk banyak folikel yang baru maupun folikel yang telah dewasa. Disamping itu juga terdapat korpus luteum dan korpus albikans (Hardjopranjoto 1995). Bentuk ovarium tersebut bervariasi tergantung kepada spesies hewan. Besar ovarium bertambah sesuai dengan bertambahnya umur maupun banyak anak yang dilahirkan. Pada golongan mamalia, ovarium terletak di dalam rongga pelvis sehingga organ ini sangat terlindungi dari kemungkinan kerusakan yang disebabkan oleh faktor luar. Ovarium ini bisa berubah-ubah letaknya karena ada kebuntingan, pertambahan umur, dan terdesak oleh organ tubuh disekitar. Ovarium terdiri dari bagian medulla (bagian dalam) yang mengandung banyak pembuluh darah, saraf, pembuluh limfe, dan tenunan pengikat fibroblast. Sedangkan bagian korteks (bagian pinggir) terdiri dari sel-sel germinal, sel telur
6
yang masih muda, folikel yang sedang tumbuh, folikel masak, folikel yang degenerasi dan pembuluh darah (Hardjopranjoto 1995).
Uterus Bagian saluran alat kelamin yang berbentuk buluh dan berurat daging licin. Uterus berfungsi menerima sel telur yang telah dibuahi atau embrio dari tuba falopii, memberi makanan, dan perlindungan bagi fetus, serta mendorong fetus ke arah luar saat kelahiran. Bentuk uterus tikus adalah dupleks dimana korpus uteri tidak ada dan kedua kornuanya terpisah sama sekali (Hardjopranjoto 1995). Dinding uterus terbagi menjadi tiga lapis yaitu lapisan serosa (perimetrium) di sebelah luar, lapisan muskularis (miometrium) di sebelah tengah, dan lapisan mukosa (endometrium) di sebelah dalam (Hardjopranjoto 1995). Lapisan serosa (perimetrium) berhubungan dengan peritoneum yang dikenal dengan ligamen lebar dan mendukung genitalia internal. Ligamen ini terdiri dari mesovarium sebagai penggantung ovari, mesosalpink sebagai penggantung oviduk dan mesometrium sebagai penggantung uterus (Frandson 1992). Lapisan muskularis (miometrium) adalah suatu bagian muskular dari dinding uterus. Lapisan ini terdiri dari lapis melingkar bagian dalam yang tebal dari otot polos dan longitudinal yang lebih tipis di bagian luar.
Keduanya
dipisahkan oleh lapis vaskular (pembuluh darah di dalam jaringan pengikat). Selama kebuntingan, jumlah otot di dalam dinding uterus meningkat (Frandson 1992).
Lapisan mukosa (endometrium) merupakan membran mukosa yang
menyelimuti
uterus
dan
memiliki
struktur
kelenjar
(Frandson
1992).
Endometrium terdiri dari epitel banyak lapis yang mengandung serabut-serabut getar. Sel di bawahnya (tunika propria) mengandung banyak kelenjar uterus dan pembuluh darah (Hardjopranjoto 1995).
Hormon Reproduksi Betina Hormon yang dihasilkan ovari adalah estrogen dari folikel dan progesteron dari corpora lutea. Aktivitas sekretoris dari ovari berada di bawah kontrol hormon gonadotrofik dari adenohipofisis kelenjar pituitari (Frandson 1992). Estrogen terutama meningkatkan proliferasi dan pertumbuhan sel-sel khusus di dalam
7
tubuh, sedangkan progesteron berkaitan hampir seluruhnya dengan persiapan akhir dari uterus pada awal kebuntingan (Guyton dan Hall 1997).
Estrogen Estrogen merupakan suatu kelompok senyawa yang berperan sebagai hormon kelamin betina dan merangsang kelenjar-kelenjar kelamin asesoris kelamin betina. Estron, estradiol, dan estriol adalah hormon-hormon alamiah yang diproduksi oleh ovari atau plasenta hewan mamalia (Frandson 1992). Estrogen utama yang disekresikan oleh ovarium adalah estradiol. Estron juga disekresikan tetapi dalam jumlah yang kecil. Estriol adalah estrogen yang lemah dan produk oksidasi dari estradiol maupun estron, perubahan ini terjadi di dalam hati (Guyton dan Hall 1997). Estrogen akan disekresikan 20 kali lipat atau lebih setelah pubertas di bawah pengaruh hormon-hormon gonadotropin hipofisis. Pada masa ini, organ-organ kelamin betina akan berkembang dari usia anak menjadi yang usia betina dewasa, ovarium, tuba fallopii, uterus, dan vagina akan bertambah besar. Setelah pubertas, ukuran uterus meningkat menjadi dua sampai tiga kali lipat. Perubahan yang paling penting terjadi pada endometrium, karena estrogen menyebabkan terjadinya proliferasi yang nyata pada stroma endometrium yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membantu dalam memberi nutrisi pada ovum yang berimplantasi (Guyton dan Hall 1997).
Progesteron Progesteron terutama dihasilkan oleh korpus luteum, tetapi juga terdapat pada kelenjar adrenal, korteks, plasenta, dan testes. Secara umum, progesteron bekerja pada jaringan yang telah dipersiapkan oleh estrogen, meskipun dapat juga dapat bekerja secara sinergistik. Progesteron dikenal sebagai hormon kebuntingan karena menyebabkan penebalan endometrium dan perkembangan kelenjar uterin mendahului terjadinya implantasi dari ovum yang dibuahi (Frandson 1992). Efek progesteron terhadap uterus adalah untuk meningkatkan perubahan sekretorik pada endometrium uterus dan mempersiapkan uterus untuk menerima ovum yang sudah dibuahi. Progesteron juga mengurangi frekuensi dan intensitas kontraksi
8
uterus, sehingga mencegah terlepasnya ovum yang sudah berimplantasi (Guyton dan Hall 1997).
Siklus Reproduksi Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium reproduksi.
Organ-organ reproduksi
mulai berfungsi dan dapat terjadi perkembangbiakan adalah pada saat pubertas. Pada hewan jantan pubertas ditandai oleh kesanggupannya berkopulasi dan menghasilkan sperma disamping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain. Pada hewan betina pubertas terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai, sehingga tikus betina yang masih muda harus menyediakan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya maupun untuk anaknya (Toelihere 1985). Ketika hewan betina mencapai usia pubertas akan terjadi perubahan anatomi dan fisiologi pada organ reproduksinya, seperti vagina, ovarium, maupun uterus. Perkembangan ovarium berkaitan dengan pematangan kelamin, mencakup oogenesis (perkembangan ovum dari sel-sel kelamin primer), ovulasi, pembentukan corpora lutea.
Peristiwa-peristiwa ini kemudian mempengaruhi
bagian-bagian lain dari sistem reproduksi secara siklik, yang menimbulkan siklus estrus atau birahi (Frandson 1992). Periode siklus birahi tikus terdiri proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Proestrus berlangsung selama 12 jam, secara mikroskopis terlihat sel epitel berinti dari ulasan vagina yang dilakukan (Nuryadi 2007). Estrus berlangsung selama 12 jam, secara mikroskopis terlihat sel yang mengalami kornifikasi (sel epitel mengalami penandukan dan seringkali intinya piknotik atau tanpa inti) dari ulas vagina (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Metestrus berlangsung selama 21 jam, secara mikroskopis terlihat banyak leukosit dan sedikit sel yang mengalami kornifikasi.
Diestrus berlangsung selama 57 jam, secara mikroskopis ulasan
vagina dipenuhi oleh leukosit (Nuryadi 2007).
Proses Reproduksi Tikus Proses reproduksi
meliputi periode pematangan,
perkawinan, kebuntingan, kelahiran, dan laktasi.
dewasa kelamin,
Penelitian ini menggunakan
9
tikus bunting. Kebuntingan meliputi periode perkawinan, fertilisasi, implantasi, dan plasentasi.
Perkawinan Sistem perkawinan atau pengembangbiakan yang dapat diterapkan pada tikus yaitu sistem monogami, poligami, dan sistem koloni.
Pada sistem
monogami, satu jantan dan satu betina dicampur secara permanen. Pada sistem poligami, satu jantan dicampur dengan dua sampai enam ekor betina. Pada sistem koloni, jantan dan betina dicampur seperti sistem poligami, namun jantan bisa lebih dari satu (Malole dan Pramono 1989). Penelitian ini menggunakan sistem poligami.
Fertilisasi Fertilisasi merupakan penyatuan atau fusi dua sel antara gamet jantan dan betina untuk membentuk satu sel yang disebut zigot. Dalam aspek embriologik, fertilisasi meliputi pengaktifan ovum oleh spermatozoa. Dalam aspek genetik, fertilisasi meliputi pemasukan faktor-faktor herediter pejantan ke dalam ovum (Toelihere 1985). Spermatozoa harus menembus massa kumulus (bila masih ada), zona pellusida, dan membrana vitellinum untuk masuk ke dalam ovum. Proses-proses yang terjadi selama pembuahan pada tikus yaitu sperma akan berkontak dengan zona pellusida, badan kutub pertama menghilang, dan inti sel telur mengalami pembelahan meiosis yang kedua. Sperma yang telah menembus zona pellusida akan bertaut dengan membran vitelin. Hal ini merangsang reaksi zona yang ditandai oleh pembayangan disekeliling zona pellusida. Kepala sperma masuk ke dalam vitelin dan berada tepat dibawah permukaannya. Hampir seluruh bagian sperma berada didalam vitelin.
Kepala sperma membesar, volume vitelin
berkurang, dan badan kutub kedua juga menghilang. Pronukleus jantan dan betina mulai berkembang.
Mitokondria berkumpul disekitar pronukleus, pronukleus
tersebut berkembang sempurna dan mengandung banyak nukleoli. Pronukleus jantan lebih besar daripada betina. Jika fertilisasi telah sempurna, pronukleus
10
telah menghilang dan diganti oleh kelompok kromosom yang telah bersatu di dalam profase pada pembagian cleavage pertama (Toelihere 1985). Apabila sel telah membelah dan berjumlah 16 sampai 32 sel, maka sel-sel tersebut akan berkumpul menjadi satu kelompok di dalam zona pellusida. Embrio tersebut dikenal sebagai morula. Cairan mulai menumpuk di dalam ruang-ruang interseluler dan muncullah suatu rongga bagian dalam (blastocoele).
Setelah
blastocoele mulai meluas, embrio tersebut dikenal sebagai blastocyst. Sel-sel kecil yang membagi diri secara aktif berkumpul pada satu kutub dan sel-sel besar yang tidak begitu aktif membagi diri pada kutub lain sejak fase morula. Sel-sel kecil yang mungkin berasal dari belahan ventral ovum membentuk lapisan luar embrio yang kemudian membentuk trophoblast. Sel-sel besar dari belahan dorsal ovum yang terletak ditengah membentuk massa sel bagian dalam atau disebut juga inner cell mass (ICM). Fetus akan berkembang sesudah implantasi dari massa sel bagian dalam ini (Toelihere 1985). Pembentukan
blastocyst
pembentukan organ tubuh.
diikuti
oleh
gastrulasi
yang
mendahului
Gastrulasi terdiri dari gerakan-gerakan sel atau
kelompok sel sedemikian rupa untuk merubah embrio dari struktur dua lapis menjadi tiga lapis dan membawa daerah-daerah bakal pembentuk organ ke posisi yang defenitif di dalam embrio. Kemudian akan terbentuk tiga macam jaringan, yaitu endoderm, mesoderm, dan ektoderm (Toelihere 1985).
Implantasi Proses implantasi adalah proses yang berlangsung secara bertahap, yaitu tahap persentuhan embrio dengan endometrium, tahap pelepasan zona pellusida, pergeseran atau pembagian tempat, dan tahap pertautan antara trophoblast dengan epitel endometrium (Manan 2002). Masa implantasi pada tikus putih berlangsung pada hari keenam (Ribeiro et al. 1996). Implantasi pada tikus terjadi apabila estradiol dan progesteron telah tercukupi.
Ketidakcukupan hormon ini dapat
meningkatkan kontraksi uterus secara terus menerus sehingga terjadi kegagalan implantasi dan aborsi (Arkaraviehien dan Kendle 1990).
11
Plasentasi Penempelan erat atau fusi antara organ fetal dengan jaringan maternal untuk pertukaran secara fisiologis disebut juga dengan pembentukan plasenta (plasentasi). Plasenta dapat didefinisikan sebagai kesatuan struktur antara selaput ekstraembrionik dan endometrium induk untuk keperluan pertukaran timbal balik faali antara induk dan fetus. Pada tikus plasentasi dimulai pada usia kebuntingan 9-10 hari (Sukra et al. 1989).
Tikus mempunyai jenis plasenta diskoidal
(Nalbandov 1990). Tiga fungsi utama plasenta, yaitu sebagai pengangkutan, penyimpanan, dan biosintesa (Toelihere 1985).
Kelahiran dan Laktasi Masa kebuntingan tikus berlangsung selama 21-23 hari dan sejak 14 hari kebuntingan sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar ambing. Pada akhir kebuntingan, tikus tersebut melahirkan anak 6-12 per kelahiran (Malole dan Pramono 1989).
Selama masa kebuntingan terjadi proliferasi saluran-saluran
ambing dan alveoli dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari ovarium dan plasenta. Pertumbuhan kelenjar ambing dan laktasi terutama berada dibawah pengaruh hormon, saraf-saraf vasomotorik di dalam puting susu. Dengan jalan menstimulir kelenjar hipofise maka akan dilepaskan hormon prolaktin. Hormon prolaktin ini penting untuk memulai dan mempertahankan laktasi dan melepaskan oksitosin yang perlu untuk “Let Down” atau penurunan air susu. Saraf vasomotor berperan secara tidak langsung pada sekresi susu dengan mengatur suplai darah kelenjar ambing (Manan 2002).
Purwoceng (Pimpinella alpina)
Gambar 2 Purwoceng (Darwati dan Roostika 2006).
12
Purwoceng adalah tanaman obat komersial yang dapat digunakan sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik. Tanaman tersebut adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh secara endemik di dataran tinggi Dieng Jawa Tengah, Gunung Pangrango Jawa Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur. Hingga saat ini tidak banyak laporan penelitian tentang purwoceng.
Beberapa aspek yang sudah
dilaporkan adalah aspek agronomi, kultur in vitro, fitokimia, dan farmakologi (Darwati dan Roostika 2006). Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman obat yang tumbuh pada ketinggian 1800-3000 m dpl, berkhasiat sebagai afrodisiak karena mengandung stigmasterol. Saat ini purwoceng termasuk tanaman langka yang keberadaannya semakin susah didapatkan. Pada tahun 2004-2005, dalam upaya pembudidayaan, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) telah berhasil mengembangkan dan menurunkan lingkungan tumbuh purwoceng menjadi sekitar 1200 - 1300 m dpl.
Penelitian lebih lanjut mengenai senyawa aktif yang
terkandung di dalam purwoceng khususnya stigmasterol perlu dilakukan. Identifikasi awal dilakukan melalui skrining fitokimia. Stigmasterol diekstraksi dari purwoceng melalui metode sokhletasi menggunakan pelarut etanol. Metode sokhletasi yaitu suatu metode atau proses pemisahan suatu komponen yang terdapat dalam zat padat dengan cara penyaringan berulang-ulang dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga komponen yang diinginkan akan terisolasi.
Kemudian dilakukan analisis stigmasterol.
Analisis menunjukkan
keberadaan stigmasterol pada kedua tanaman purwoceng tersebut, kadar stigmasterol dari daun purwoceng kering sebesar 0.1595% untuk purwoceng yang tumbuh pada ketinggian 1900 m dpl dan 0.0378% untuk purwoceng yang tumbuh pada ketinggian 1200 m dpl. Hasil uji fitokimia menunjukkan kedua tanaman purwoceng mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, dan steroid (Ulya et al. 2008). Profil hormon estradiol-17β dari plasma tikus betina selama daur birahi, setelah diberi ekstrak akar purwoceng selama 15 hari memperlihatkan peningkatan kadar estradiol dibandingkan dengan normal (Caropeboka et al. 1983). Penggunaan akar purwoceng juga pernah dilakukan terhadap tikus jantan.
13
Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar Luteinizing Hormone (LH) dan testosteron tikus jantan (Taufiqqurrachman 1999). Hasil uji fitokimia akar purwoceng secara kualitatif yang dipakai pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng Jenis Contoh
Uji Fitokimia
Hasil Pengujian
Akar purwoceng
Alkaloid
+++
Saponin
-
Tanin
+
Fenolik
-
Flavonoid
+++
Triterfenoid
+
Steroid
+
Glikosida
+
Sumber: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011) Keterangan:
-
: Negatif
+
: Positif lemah
++
: Positif
+++
: Positif kuat
++++
: Positif kuat sekali
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di kandang hewan coba dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, mulai bulan September 2010 sampai Maret 2011.
Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus berupa kotak plastik, kawat kasa, jaring-jaring kawat sebagai penutup, botol minum tikus, tempat pakan tikus, spoit, scalpel, pinset, gunting, objek gelas, sonde lambung, mikroskop, timbangan analitik digital, pipet, cotton swab, tisu, kapas, kertas nama, Erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, oven, wadah porselen, termometer. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley (SD) yang terdiri dari 10 ekor tikus betina bunting.
Bahan-bahan yang digunakan adalah pakan tikus, sekam, ekstrak
purwoceng, eter, NaCl fisiologis 0.9%, etanol 70%, akuades, dan kain saring.
Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng Purwoceng dikeringkan dengan menjemur dibawah panas sinar matahari (suhu tidak boleh lebih dari 50 ºC). Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipis-tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga dihasilkan serbuk (simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi sebanyak 350 gram direndam dalam 3.5 liter etanol 70% sebagai zat pelarut selama 24 jam dan setiap dua jam sekali diaduk agar homogen. Kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Hasil ekstrak disimpan di dalam Erlenmeyer, sedangkan ampas direndam kembali dalam 3.5 liter etanol 70% selama 24 jam dan setiap dua jam diaduk agar homogen. Setelah itu, larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam Erlenmeyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan
15
proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan menggunakan rotari evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48 ºC dan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm.
Selanjutnya ekstrak dimasukkan ke dalam oven pengering
dengan suhu lebih kurang 45 °C selama 48 jam sehingga kadar air yang masih ada dapat menguap semuanya. Ekstrak kering disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram serbuk (simplisia) adalah sejumlah 95 gram. Ekstrak kering ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5%, yaitu 5 gram dalam 100 cc akuades.
Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng Penentuan dosis ekstrak etanol purwoceng pada tikus berdasarkan penelitian terdahulu (Taufiqurrachman 1999), yaitu sebesar 25 mg untuk berat badan tikus sebesar 300 gram atau 83.25 mg/kg BB.
Dalam penelitian ini larutan stok
mengandung 50 mg/ml, sehingga jumlah yang dicekok adalah sebesar 0.5 ml untuk 300 gram berat badan.
Tahap Persiapan Hewan Model Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus sp.) bunting dari galur Sprague-Dawley. Tikus-tikus ini dipelihara dalam kandang yang berbentuk kotak dan terbuat dari plastik, berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm. Kandang dilengkapi dengan kawat kasa sebagai penutup bagian atas dan lantai diberi sekam sebagai alas, serta air minum ad libitum.
Pakan yang
diberikan berupa pelet dan air minum diberikan dengan memasukkan ke dalam botol-botol kecil dan dijepitkan pada jaring-jaring kawat. Botol-botol yang berisi air tersebut ditutup dan dibuat lubang pada tutupnya agar air tersebut bisa diminum tikus. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan setiap tiga hari. Tikus
bunting
diperoleh
dari
hasil
perkawinan
alamiah
dengan
mengawinkan dua tikus betina dan satu tikus jantan dalam satu kandang. Tikus betina tersebut diberi tanda dengan spidol pada bagian ekor agar tidak keliru, tanpa tanda untuk tikus A dan diberi tanda untuk tikus B. Uji kebuntingan
16
dilakukan pada pagi hari dengan cara ulas vagina tikus betina menggunakan cotton swab dan dioleskan pada gelas objek. Apabila ada spermatozoa pada ulas vagina setelah dilihat dibawah mikroskop maka dapat dipastikan terjadi perkawinan dan tercatat sebagai hari pertama kebuntingan. Tikus yang bunting harus dipisahkan dari jantan dan diletakkan pada satu kandang. Tikus yang tidak bunting dikembalikan ke kandang untuk dikawinkan kembali.
Perlakuan Hewan Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 5 ekor tikus bunting untuk kontrol dan 5 ekor tikus bunting yang diberi perlakuan yaitu pemberian purwoceng melalui oral lebih kurang 0.5 ml/300 g pada umur kebuntingan 13-21 hari. Dua kelompok tikus tersebut dinekropsi pada hari ke-21 untuk dilihat perubahan makro anatomi dari alat reproduksinya. Euthanasi tikus menggunakan eter. Parameter-parameter yang akan dilihat adalah bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak. Bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak didapat dengan menimbang utuh secara keseluruhan, kemudian dipisahkan untuk ditimbang masing-masing.
Bagan Penelitian
Tikus jantan dewasa kelamin
Tikus betina dewasa kelamin Tikus betina bunting
Kontrol (tidak diberi perlakuan)
Cekok purwoceng pada kebuntingan 13-21 hari
Nekropsi pada akhir kebuntingan 21 hari Pengamatan: Bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak
17
Analisis Statistik Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistika dengan analisa sidik ragam (ANOVA) dengan pola rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 13-21 hari terhadap rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium tikus putih dapat dilihat pada Tabel 3. Pemberian purwoceng pada usia kebuntingan 13-21 hari dimaksudkan untuk mengetahui efeknya terutama terhadap bobot uterus dan plasenta karena masa plasentasi pada tikus terjadi pada usia kebuntingan 12-13 hari. Tabel 3 Rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium No 1. 2. 3. 4. 5. Ratarata
Bobot ovarium (g) K P 0.075 0.065 0.065 0.055 0.045 0.115 0.045 0.050 0.060 0.085
Bobot Uterus (g) K P 3.260 4.830 3.350 3.550 3.050 4.080 3.320 4.830 2.480 7.070
Bobot Plasenta (g) K P 8.160 6.190 7.370 4.290 4.980 4.880 6.220 8.410 3.700 6.560
0.058±0.013
3.092±0.362
6.086±1.795
Keterangan:
0.074±0.027
4.864±1.349
6.066±1.606
K = Kontrol P = Perlakuan
Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Ovarium Data di atas menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol purwoceng menyebabkan bobot ovarium tikus putih cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol, meskipun dari uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Menurut penelitian Achmadi (2011) bahwa bobot ovarium tikus yang dicekok purwoceng pada periode estrus menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan kontrol. meningkat.
Bobot ovarium meningkat karena kadar estrogen juga
Pada penelitian ini peningkatan bobot ovarium diduga karena
purwoceng mengandung bahan aktif yang bersifat estrogenik, sehingga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan pertumbuhan dan perkembangan ovarium. Efek estrogenik dari purwoceng ini pada ovarium melibatkan kerja hormon estrogen pada reseptor estrogen β (Lund 2005). Hormon estrogen disintesis dalam ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah (Guyton 1994). Estrogen terutama dihasilkan oleh sel teka interna dari folikel dan sedikit oleh
19
korpus luteum. Zat yang sebetulnya dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol (Gadjahnata 1989).
Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Uterus
Gambar 3 Uterus tikus pada kebuntingan 21 hari. Gambar 3 adalah uterus tikus bunting hasil dari penelitian ini. Pemberian ekstrak etanol purwoceng juga cenderung meningkatkan bobot uterus tikus putih, meskipun dari uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Bobot uterus kelompok tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng secara umum menunjukkan hasil yang lebih besar dibandingkan kelompok tikus kontrol. Tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng diduga akan mengalami peningkatan kadar estrogen yang berdampak pada peningkatan bobot uterus. Berdasarkan dugaan yang sama yaitu, adanya sifat estrogenik dari akar purwoceng tersebut.
Estrogen merupakan hormon yang dapat menyebabkan terjadinya
akumulasi cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan dan aktivitas endometrium serta mempersiapkan kerja progesteron pada endometrium (Johnson dan Everitt 1984). Estrogen mempengaruhi pertumbuhan dan proliferasi duktus kelenjar mammae. Estrogen juga menyebabkan penebalan dinding endometrium dan lapisan epitel pipih berlapis vagina.
20
Estrogen mempunyai dua macam reseptor, yaitu reseptor REα dan REβ (Ibanez dan Baulieu 2005). REα dan REβ banyak terdapat di dalam jaringan reproduksi betina diantaranya pada ovarium, endometrium, dan kelenjar mammae. Selain pada organ tersebut, terdapat pula di kulit, pembuluh darah, tulang, dan otak (Ganong 2002). Uterus diketahui lebih banyak mengandung reseptor alfa (REα) daripada beta (REβ).
Pemberian estrogen juga akan meningkatkan
konsentrasi reseptor estrogen REα pada organ reproduksi (Kusmana et al 2007).
Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Plasenta
Gambar 4 Plasenta tikus pada kebuntingan 21 hari. Keterangan: Tanda panah adalah plasenta Gambar 4 adalah plasenta tikus bunting hasil dari penelitian ini. Plasenta dari tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng ini diambil dan dipisahkan dari uterus, kemudian dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobotnya. Ekstrak etanol purwoceng tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan bobot plasenta. Hal ini menunjukkan bahwa efek estrogenik yang terkandung dalam akar purwoceng tidak memberikan pengaruh terhadap bobot plasenta. Selain itu, tidak terjadinya peningkatan bobot plasenta diduga karena reseptor estrogen plasenta lebih sedikit.
21
Sekresi estrogen oleh plasenta berbeda dari sekresi estrogen oleh ovarium. Sebagian besar estrogen yang diekskresikan adalah estriol, yang merupakan estrogen yang sangat lemah dan dibentuk hanya dalam jumlah kecil pada hewan yang tidak bunting. Karena kekuatan estrogenik dari estriol yang sangat kecil, estrogen lainlah yang berperan pada sebagian besar aktivitas total estrogen. Estrogen yang diekskresikan oleh plasenta tidak disintesis sendiri dari zat-zat dasar dalam plasenta.
Sebaliknya, estrogen hampir seluruhnya dibentuk dari
senyawa steroid androgen. Androgen yang lemah ini kemudian ditranspor oleh darah ke plasenta (Guyton dan Hall 1997).
Biosintesis estrogen melibatkan
hidroksilasi dari prekursor androgen yang dimediasi oleh kompleks enzim yang dikenal sebagai aromatase (Favaro dan Cagnon 2007).
Menurut Nalbandov
(1990), organ bertambah berat akibat meningkatnya vaskularisasi dan aktivitas mitosis yang lebih besar. Menurut Anwar (2005), produksi estrogen oleh plasenta juga bergantung pada prekursor-prekursor dalam sirkulasi, namun pada keadaan ini baik steroid fetus ataupun induk merupakan sumber-sumber yang penting untuk sintesis estrogen tersebut. Kebanyakan estrogen berasal dari androgen fetus, terutama dehidroepiandrosteron sulfat (DHEA sulfat).
DHEA sulfat fetus terutama
dihasilkan oleh adrenal fetus, kemudian diubah oleh sulfatase plasenta menjadi dehidroepiandrosteron bebas (DHEA bebas), dan selanjutnya melalui jalur-jalur enzimatik yang lazim untuk jaringan-jaringan penghasil steroid, menjadi androstenedion dan testosteron.
Androgen-androgen ini akhirnya mengalami
aromatisasi dalam plasenta menjadi berturut-turut estron dan estradiol. Setelah umur kebuntingan 12 hari yaitu pada periode plasentasi, konsentrasi estradiol melonjak secara drastis dan mencapai konsentrasi tertinggi pada umur kebuntingan 16 hari.
Selanjutnya menurun pada kebuntingan 20 hari yaitu
menjelang kelahiran. Peningkatan konsentrasi estradiol pada umur kebuntingan tersebut disebabkan sel-sel penghasil estradiol pada korpus luteum dan plasenta telah berfungsi secara maksimal (Adelien 1996). Pemberian purwoceng yang diharapkan dapat mendukung terjadinya peningkatan ini tidak terjadi. Hal ini mungkin
disebabkan
efek
estrogenik
purwoceng
hanya
cukup
untuk
meningkatkan bobot ovarium dan uterus saja, walaupun juga tidak signifikan.
22
Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Badan Anak Bobot anak yang dihasilkan dari uterus tikus yang mendapatkan ekstrak etanol purwoceng ditimbang setelah anak dikeluarkan dari uterus pada umur 21 hari kebuntingan atau saat melahirkan.
Kontrol
Perlakuan
Gambar 5 Anak tikus kontrol dan perlakuan pada kebuntingan 21 hari. Gambar 5 adalah anak-anak tikus bunting hasil dari penelitian ini. Rata-rata bobot badan anak tikus putih yang diberi ekstrak etanol purwoceng pada usia kebuntingan 13-21 hari dapat dilihat pada Tabel 4. Rata-rata jumlah anak tikus tiap induk berkisar 5-10 ekor. Tabel 4 Rata-rata bobot anak tikus Induk ke 1 2 3 4 5 Rata-rata Keterangan:
Jumlah anak K 10 11 8 7 4 8 ± 2.739 K = Kontrol P = Perlakuan
P 11 9 5 9 11 9 ± 2.449
Rata-rata bobot anak (g) K P 4.162 ± 0.198 3.698 ± 0.258 4.277 ± 0.249 3.444 ± 0.136 2.621 ± 0.120 4.628 ± 0.320 3.997 ± 0.261 5.597 ± 0.314 2.638 ± 0.062 2.412 ± 0.144 3.539 ± 0.836 3.956 ± 1.210
Bobot badan anak yang diberi ekstrak etanol purwoceng cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol, meskipun dari uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Hal ini disebabkan karena lingkungan mikro
23
dan makro uterus juga lebih baik pada tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng. Penebalan endometrium dan vaskularisasi yang baik dari pembuluh darah menyebabkan lingkungan uterus menjadi lebih baik. Perbaikan lingkungan uterus sebagai wadah dari embrio atau fetus, diharapkan membuat pertumbuhan dan perkembangan fetus yang dikandung menjadi lebih baik.
Garvita (2005)
menyatakan bahwa pemberian bahan yang bersifat estrogenik pada induk tikus dapat meningkatkan bobot lahir anak.
Hal yang sama juga dinyatakan oleh
Ruhlen (2007) bahwa pemberian bahan yang bersifat estrogenik akan meningkatkan bobot badan dan kadar estradiol serum mencit. Menurut Dziuk (1992) bobot lahir ditentukan oleh pertumbuhan prenatal yang merupakan akumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio dan fetus sampai dilahirkan. Pertumbuhan prenatal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan uterus dan plasenta selama embrio dan fetus dalam kandungan (McDonald 1980, Ashworth 1992). Gandolfi et al (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan pada fase embrio dipengaruhi oleh kesiapan endometrium uterus untuk menyediakan makanan dan senyawa kimia lain (faktor pertumbuhan dan hormon) untuk perkembangan embrio.
Bobot lahir yang ditentukan oleh
pertumbuhan dalam kandungan sangat menentukan bobot sapih. Selama dalam kandungan zat-zat makan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan anak diperoleh dari sekresi kelenjar uterus dan sirkulasi induk tersebut. Pertumbuhan merupakan suatu fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh somatotropin, somatomedin, dan hormon-hormon lainnya seperti hormon tiroid, androgen, glukokortikoid, estrogen, dan insulin.
Pertumbuhan secara normal
disertai oleh rangkaian perubahan yang melibatkan peningkatan protein dan penambahan panjang serta ukuran, tidak sekedar peningkatan berat, yang dapat disebabkan oleh pembentukan atau retensi garam dan air (Ganong 2002). Purwoceng merupakan tanaman yang bersifat androgenik. Selain bersifat androgenik, purwoceng juga bisa menunjukkan aktivitas estrogenik.
Sesuai
dengan penelitian Caropeboka (1980) bahwa adanya aktivitas androgenik dan mempunyai kecenderungan aktivitas estrogenik pada tikus jantan yang dikebiri dan tikus betina tanpa indung telur setelah pemberian ekstrak akar purwoceng.
24
Aktivitas estrogenik disebabkan karena adanya kandungan isoflavon dalam akar purwoceng.
Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011), menunjukkan bahwa zat yang terkandung paling banyak di dalam akar purwoceng adalah flavonoid. Isoflavon termasuk dalam kelompok flavonoid (1,2-diarilpropan) dan merupakan kelompok yang terbesar dalam kelompok tersebut. Aktivitas estrogenik isoflavon terkait dengan struktur kimianya yang mirip dengan stilbestrol, yang biasa digunakan sebagai obat estrogenik. Bahkan, isoflavon mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dari stilbestrol. Aktivitas estrogenik tersebut terkait dengan struktur isoflavon yang dapat ditransformasikan menjadi equol, dimana equol mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen (Pawiroharsono 2007). Isoflavon tersebut merupakan fitoestrogen. Menurut Tsourounis (2004), fitoestrogen merupakan sumber estrogen yang berasal dari tanaman yang merupakan senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen.
Mekanisme kerja
fitoestrogen dalam jaringan adalah dengan berikatan dengan reseptor estrogen. Suatu substrat baru berefek estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen. Reseptor fitoestrogen sangat spesifik. Hormon diproduksi dalam berbagai macam kelenjar, jaringan dan organ, dan disekresikan ke dalam aliran darah dan akan melakukan perjalanan menuju jaringan target. Jaringan target mempunyai reseptor terhadap hormon spesifik. Pada saat hormon berikatan dengan reseptor, pada saat itu pulalah respon fisiologi dimulai (Women’s Health Symmetry 2009). Fitoestrogen walaupun bukan hormon, karena strukturnya yang mirip dengan estradiol dapat menduduki reseptor estrogen dan mampu menimbulkan efek layaknya estrogen endogenous sendiri (Harrison et al. 1999). Organ yang dipengaruhi fitoestrogen antara lain ovarium, uterus, testis, prostat, dan beberapa organ lainnya (Tsourounis 2004). Walaupun afinitas terhadap reseptor estrogen tidak setinggi estradiol namun fitoestrogen mampu menimbulkan efek estrogenik (Sheehan 2005). Aktivitas dan implikasi klinis fitoestrogen sangat tergantung
25
pada jumlah reseptor estrogen dan konsentrasi estrogen endogen yang mampu bersaing (Kim et al. 1998). Kandungan fitoestrogen yang terkandung dalam tiap dosis ekstrak etanol purwoceng yang diberikan masih belum cukup untuk meningkatkan efek estrogenik pada ovarium dan uterus.
Namun, ternyata afinitas fitoestrogen
terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibanding estrogen.
Dapat
dikatakan bahwa diperlukan jumlah yang sangat besar bagi fitoestrogen untuk memperoleh efek yang cukup seperti estrogen.
26
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) pada kebuntingan 13-21 hari dengan dosis 25 mg/300 g BB cenderung memberikan pengaruh terhadap peningkatan bobot ovarium, uterus, dan anak. Sedangkan pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) pada kebuntingan 13-21 hari dengan dosis 25 mg/300 g BB tidak memberikan pengaruh terhadap peningkatan bobot plasenta.
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) yang diberi selama 13-21 hari kebuntingan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak setelah dilahirkan. 2. Perlu dilakukan penelitian tentang efektivitas ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) dengan dosis yang optimum. 3. Perlu dilakukan analisa hormon di dalam darah.
DAFTAR PUSTAKA Achmadi P. 2011. Kajian androgenik ekstrak etanol akar purwoceng (Pimpinella alpina KDS) terhadap kinerja reproduksi tikus putih (Rattus norvegicus) betina dara [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Adelien TU. 1996. Hubungan antara peningkatan konsentrasi esstradiol dan progesteron dalam serum induk dengan perkembangan fetus dan kelejar susu selama kebuntingan pada tikus putih (Rattus sp.) [tesis]. Program Pascasarjana: Institut Pertanian Bogor. Anwar R. 2005. Endokrinologi Kehamilan dan Persalinan. Bandung: Fakultas Kedokteran, Universitas Padjajaran. Arkaraviehien W, Kendle KE. 1990. Critical progesterone requirement of maintenance of pregnancy in ovariectomized rats. J Reprod Fert 90:63-70. Ashworth CJ. 1992. Synchrony embryo-uterus. Anim Reprod Sci 28:259-267. [Balittro] Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. 2011. Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng. Bogor: Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Caropeboka AM. 1980. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina Koord. terhadap sistem reproduksi tikus [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Caropeboka et al. 1983. Aspek hormonal respons tubuh terhadap ekstrak akar Pimpinella alpina Koord. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Darwati I, Roostika I. 2006. Status penelitian purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) di Indonesia. Buletin Plasma Nutfah 12(1)9-15. Dziuk PJ. 1992. Embryonic development and fetal growth. Anim Reprod Sci 28:299-308. Favaro WJ, Cagnon VHA. 2007. Immunolocalization of androgen and oestrogen receptors in the ventral lobe of rat (Rattus norvegicus) prostate after longterm treatment with ethanol and nicotine. Int J Androl 31:609-618. Frandson RD. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Ed ke-4. B Srigandono, Koen Praseno, penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ Pr. Terjemahan dari: Anatomy and Physiology of Farm Animals. Gadjahnata KHO. 1989. Biologi Kedokteran I. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.
28
Gandolfi F, Brevini TAL, Mudina S, Passonil. 1992. Early embryonic signals embryo-maternal interactions before implantation. Anim Reprod Sci 28:269-276. Ganong WF. 2002. Fisiologi Kedokteran. Brahm UP et al., penerjemah. Ed ke20. Jakarta: EGC. Garvita RV. 2005. Efektivitas ekstrak kedelai pada prakebuntingan (5, 10, 15 hari) tikus untuk meningkatkan profil reproduksi [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Gunawan D. 2002. Ramuan Tradisional untuk Keharmonisan Suami Istri. Jakarta: Penebar Swadaya. Guyton AC. 1994. Fisiologi Kedokteran Bagian III. Ed ke-7. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Guyton AC, Hall JE. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Irawati Setiawan, editor. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hardjopranjoto S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Surabaya: Airlangga Univ Pr. Harrison RM, Phillippi PP, Swan KF, Henson MC. 1999. Effect of genistein on steroid hormone production in the pregnant rhesus monkey. Proc Soc Exp Biol Med 222:78-84. Hernani, Yuliani S. 1991. Obat-Obat Afrodisiaka yang Bersumber dari Bahan Alam. Di dalam: Zuhud, EAM, editor. Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat dari Hutan Tropis Indonesia. Bogor: Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB dan IWF. hlm 130-134. Ibanez C, Baulieu EE. 2005. Mechanism of action of sex steroid hormones and their analog. Di dalam: Lauritzen C, Studd, editor. Current management of the menopause. London: Taylor & Francis. Johnson M, Everitt B. 1984. Essential Reproduction. Ed ke-2. London: William Clowes Limited. Kim H, Peterson TG, Barnes S. 1998. Mechanism of action of the soy isoflavone genestein: Emerging role of itsneffects through transforming growth factor beta signaling. Am J Clin Nutr 68:1418S-1425S. Kusmana D et al. 2007. Efek estrogenik ekstrak etanol 70% kunyit (Curcuma domestica Val.) terhadap mencit (Mus musculus L.) betina yang diovariektomi. Makara Sains 11(2):90-97.
29
Lund JDD. 2005. The estrogen receptor [tesis]. Chemistry University of Aarhus.
Denmark: Department of
Malole MBM, Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan, Pusat Antar Universitas Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor. Manan DA. 2002. Ilmu Kebidanan pada Ternak. Ed ke-1. Banda Aceh: Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. McDonald LE. 1980. Veterinary Endocrinology and Reproduction. Ed ke-3. Philadelphia: Lea and Febiger. Nalbandov AV. 1990. Fisiologi Reproduksi pada Mamalia dan Unggas. Jakarta: Universitas Indonesia. Nuryadi. 2007. Reproduksi Ternak. Malang: Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Pawiroharsono, S. 1998. Benarkah tempe sebagai anti kanker. Kedokteran dan Farmasi 12:815-817.
Jurnal
Ribeiro E, Van Engelen MAJ, Nielsen MK. 1996. Embryonal survival to 6 days in mice selected on different criteria for litter size. J Anim Sci 74:610-615. Ruhlen RL. 2007. Low phytoestrogen levels infeed increase fetal serum estradiol resulting in the “Fetal estrogenization syndrome” and obesity in cd-1 mice. Environ Health Perspect. 116(3):322-328. Sheehan DM. 2005. The case for expanded phytoestrogen research. Proc Soc Exp Biol Med 208:5-3. Smith JB, Mangkoewidjojo S. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia. Steel RD, Torrie JH. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistik. Sumantri B, penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics. Sukra J, Rahardja L, Juwita I. 1989. Pengantar Kuliah Embriologi. Bogor: Departemen Zoologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Taufiqurrachman. 1999. Pengaruh ekstrak Pimpinella alpina Molk. (purwoceng) dan akar Eurycoma longifolia Jack. (pasak bumi) terhadap peningkatan kadar testosteron, LH dan FSH serta perbedaan peningkatannya pada tikus jantan Sprague-Dawley [tesis]. Semarang: Pascasarjana Ilmu Biomedik Universitas Diponegoro.
30
Toelihere MR. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung: Angkasa. Tsourounis C. 2004. Clinical effects of phytoestrogens. Clin Obst Gynecol 44:836-842. Ulya et al. 2008. Analisis kadar stigmasterol dari tanaman purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) yang tumbuh pada tingkat ketinggian berbeda. Semarang: FMIPA Undip. Women’s Health Symmetry. 2009. Red Clover: Sumber yang kaya akan isoflavon. [terhubung berkala]. http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/?p=1184. [23 Juni 2011].
31
LAMPIRAN
32
Lampiran 1 Analisis bobot ovarium pada kebuntingan 21 hari Perlakuan
Mean
N
Std. Deviation
Control Purwoceng Total
.05800 .07400 .06600
5 5 10
.013038 .026552 .021448
Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
.045a
6
.008
13.562
.012
Perlakuan
.001
1
.001
1.145
.345
tikus_ke
.001
4
.000
.566
.703
Error
.002
4
.001
Total
.048
10
Lampiran 2 Analisis bobot uterus pada kebuntingan 21 hari Perlakuan
Mean
N
Std. Deviation
Kontrol Purwoceng Total
3.0920 4.8640 3.9780
5 5 10
.36162 1.34855 1.31856
Source Model Perlakuan tikus_ke Error Total
Type III Sum of Squares df 168.326 7.850 2.231 5.567 173.892
a
6 1 4 4 10
Mean Square
F
Sig.
28.054 7.850 .558 1.392
20.159 5.641 .401
.006 .076 .801
Lampiran 3 Analisis bobot plasenta kebuntingan 21 hari Perlakuan
Mean
N
Std. Deviation
Kontrol Purwoceng Total
6.0860 6.0660 6.0760
5 5 10
1.79474 1.60581 1.60554
33
Source Model Perlakuan tikus_ke Error Total
Type III Sum of Squares 379.202 .001 10.023 13.176 392.378
a
df
Mean Square
F
Sig.
6 1 4 4 10
63.200 .001 2.506 3.294
19.187 .000 .761
.006 .987 .601
Lampiran 4 Analisis bobot anak pada kebuntingan 21 hari Perlakuan
Mean
N
Std. Deviation
Kontrol
3.53900
5
.836221
Purwoceng
3.95580
5
1.210073
Total
3.74740
10
1.004903
Source
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Model
146.179a
6
24.363
29.179
.003
Perlakuan
.434
1
.434
.520
.511
tikus_ke
5.314
4
1.329
1.591
.332
Error
3.340
4
.835
Total
149.519
10