Edukasi Natural dan Arsitektur Kognitif Material dan metode edukasi dari perspektif sains kognitif* RENDRA SUROSO Dept Cognitive Science Bandung Fe Institute
[email protected] http://cogsci.bandungfe.net/
Abstrak Pengetahuan adalah topik sentral di sains kognitif yang didukung oleh representasi simbolik dan sistem keyakinan. Manusia bisa memperoleh dan mengembangkan pengetahuan karena ada modul-modul kognitif yang didukung oleh arsitektur tertentu yang berbeda dengan spesies manapun. Arsitektur yang dihasilkan evolusi ini mempunyai domain spesifik dan domain general yang interaksi antar keduanya berpotensi menghasilkan keyakinan dan perilaku yang tidak koheren secara logis, paling tidak menurut standar sains. Edukasi natural adalah upaya sistematis untuk ‘memperbaiki’ inkoherensi, relatif terhadap kerangka acuan tertentu, meski di paper ini baru dicapai cara ‘mengenali’ inkoherensi ini. Kata kunci: edukasi, epistemologi, sains, teori folk, representasi pengetahuan, arsitektur kognitif.
1. PENDAHULUAN Di kerja ini, pendidikan atau edukasi (yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti lebih luas dibanding pendidikan)1 tidak dilihat sebagai sebuah konsep, tugas, atau proyek masyarakat seperti yang selama ini biasa dijumpai dalam berbagai eksplikasi konsep tentang pendidikan yang dipakai dalam kurikulum-kurikulum standar2. Berbagai material edukasi yang ada atau pernah ada di masyarakat yang kemudian oleh
Working Paper WPR2004, Bandung Fe Institute, Agustus 2004. Meskipun lebih terdengar sebagai sinonimi, Kamus Besar Bahasa Indonesia membedakannya sebagai berikut: pendidikan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan; proses, perbuatan, cara mendidik (KBBI, 1990: 205); dan: edukasi (perihal) pendidikan(KBBI, 1990: 218). Edukasi dengan demikian dianggap lebih luas. 2 Sebagai contoh, dalam bukunya yang paling sering diterjemahkan, The School and the Society, John Dewey (1890) mendeskripsikan modifikasi metode dan kurikulum pendidikan sebagai: “… as much a product of the changed social situation, and as much an effort to meet the needs of the new society that is forming, as are changes in modes of industry and commerce.” *
1
para teoretisi berusaha diterapkan, diubah, atau dijungkalkan sama sekali, hanya akan menjadi contoh kerja atau ilustrasi semata, yaitu di kasus teori-teori folk. Alih-alih, edukasi secara konsisten dipandang secara individual, sebagai upaya aktif dalam mengubah kecenderungan manusia, mental maupun behavioral, sebagai satu spesies dengan kapasitas kognitif tertentu. Dengan ini, kita sampai di definisi edukasi yang akan digunakan secara konsisten dalam kerja ini sebagai berikut: Definisi 1: edukasi adalah upaya dari subyek terhadap obyek untuk mengubah cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan menuju cara tertentu yang diinginkan oleh subyek. Dalam hal ini, subyek adalah pengajar, dan obyek adalah terajar. Pengetahuan sendiri berbentuk serpihan apapun yang bisa diterima dan diproses oleh sistem kognitif manusia, entah sebagai data sensori, sebagai himpunan string yang menjadi representasi obyekobyek yang dipersepsi, atau sebagai proses pengolahan simbol-simbol representasional, yang kemudian dilekati nilai-kebenaran oleh isi mental sehingga sebuah teori semantik tentang obyek-obyek terbentuk. Saat ini, saya berspekulasi bahwa program-program kurikuler edukasi saat ini ditentukan oleh keberadaan banyak subyek yang mempunyai cara pengubahan dan pemerolehan pengetahuan yang berbeda-beda, padahal hanya berusaha mengubah satu obyek. Spekulasi ini diindikasikan oleh konstruksi kurikulum yang majemuk di sekolahsekolah dengan material yang berbeda-beda dan satu sama lain bisa dan potensial untuk menjadi kontradiktif di titik tertentu. Di sisi lain, cara pemerolehan dan pengembangan informasi tidak selalu terdefinisikan dengan baik. Bukannya saya berusaha menekankan bahwa pengetahuan inkoheren atau keyakinan kontradiktif dalam satu organisme (Suroso, 2004b; Bermúdez, 2000; Bach, 1981) ternyata juga bisa diakomodasi secara potensial oleh lingkungan, dalam hal ini, nilai-nilai sosial di sekitar individu. Dalam paper ini, edukasi adalah melulu berhubungan dengan sifat unik individual yang ada dengan atau tanpa pengaruh lingkungan di sekitarnya, dan edukasi adalah alat untuk ‘mengubah’ kecenderungan unik ini sejalan dengan kerangka acuan tertentu. Dalam beberapa hal, kerangka acuan yang dimaksud bisa dihubungkan dengan meta-epistemologi (McCarthy, 1990) secara epistemologis atau kesatuan sains (Fodor, 1997) secara teleologis. Di paper ini, kami belum menentukan cara mengubah yang dimaksud, dan kerangka acuan yang dipakai baru – tapi tidak melulu – seputar kemampuan mengakuisisi pengetahuan saintifik. Mengambil edukasi sebagai sebuah titik tolak menjadi kelebihan dan kekurangan dari paper ini yang konsekuensinya akan muncul di pengembangan selanjutnya. Kelebihannya terletak di pemakaian kerangka acuan tertentu yang bisa dipilih secara arbitrer sebagai patokan dari pengubahan pengetahuan, misalnya kemampuan bertahan hidup, pengetahuan tentang kemampuan bertahan hidup yang lebih rumit, dan pengetahuan secara umum. Kekurangannya, adopsi beberapa terma gramar generatif Chomskian untuk menghubungkan konstruksi biologis dan kultural mau tak mau harus diiringi dengan representasi pengetahuan (mengganti sintaks bahasa natural dengan sintaks bahasa formal); dua sudut pandang yang selama ini berkembang sendiri-sendiri. Sudut pandang pertama berada di riset-riset linguistik yang meski berhubungan dengan 2
aktivitas behavioral yang teramati, masih jauh dari kelengkapan formalisasi semantik karena kadang cenderung mengakuisisi faktor non-linguistik, misalnya pada thematic role di teori Government and Binding pada sintaks bahasa natural. Yang kedua ditemukan di risetriset AI berbasis logika yang baru mengeksplorasi semua kemungkinan semantik (McCarthy, 1990), terutama yang model-teoretik. Keduanya belum terhubung dengan baik, terutama karena arsitektur kognitif3 belum memainkan peranan secara optimal, bila memang sudah. Kelebihan yang disebut di atas akan memudahkan riset selanjutnya, bagi edukasi sendiri, maupun bagi sains kognitif secara umum, bila basis empiris memang diutamakan, mengingat kita punya kelas, murid, guru dan kurikulum konvensional. Basis empiris yang dimaksud bisa didapat dengan mengintegrasikan semua faktor yang ada dalam edukasi konvensional di atas ke dalam sebuah sistem tutorial cerdas (STC) yang minimal mempunyai dua spesifikasi berikut: 1. Pencatat Tingkat Pembelajaran STC1 yang dihasilkan berfungsi sebagai theorem-prover di sebuah bidang ilmu. STC1 seperti ini bisa dibuat dengan teknik tertentu tanpa harus sama atau mirip dengan arsitektur kognitif obyek edukasi. Inilah yang biasa dijumpai karena memang ditujukan untuk menggantikan posisi guru dari darah dan daging. STC1 biasanya menambahkan beberapa prosedur ad hoc, misalnya STC1 yang bisa mengeluarkan pujian disamping hanya membenarkan atau menyalahkan proposisi obyek edukasi. Minimal, STC1 bisa memberikan dokumentasi tentang pembelajaran obyek edukasi dari waktu ke waktu. 2. Pembanding Arsitektur Kognitif Ada STC2 yang didesain agar menyerupai arsitektur kognitif obyek edukasi, paling tidak, sebatas di problem-solving. Selanjutnya, dalam sebuah ekologi yang terkontrol, biarkan STC2 dan obyek edukasi tetap menerima pengajaran dari guru virtual STC1 dengan masih memakai metode dokumentasi yang sama. Bila basis empiris diutamakan, pendekatan seperti ini bisa dilakukan untuk jangka waktu yang panjang untuk satu obyek edukasi yang sama, sehingga bisa menghasilkan dokumentasi yang lebih lengkap dibanding prosedur-prosedur lama psikologi kognitif. Sementara itu, kekurangan yang disebut di atas, paling tidak, bisa memberi posisi netral dalam berbagai perdebatan di arsitektur kognitif, mis.: tidak harus diambil posisi tegas tentang status keberadaan isi mental; possible worlds begitu saja diasumsikan, kecuali untuk beberapa hal tentang pengelompokan proposisi yang, sesuai hipotesis, dikendalikan teori folk.
Arsitektur kognitif mempunyai arti yang berlainan di berbagai tradisi riset yang berbeda (Cf. Pylyshyn, 1991). Tapi dalam paper ini, saya ingin memakai arti yang sama dengan Al Newell: arsitektur yang bisa menjelaskan bagaimana himpunan semua komponen pikiran bisa bekerja bersama-sama sehingga: Even if the mind has parts, modules, components, or whatever, they all mesh together to produce behavior. (Newell, 1990:17).
3
3
Dengan kata lain, sebagai langkah awal, sebagaimana disebutkan di judul, edukasi sebagai salah satu proyek kultural yang mewadahi kapasitas kognitif manusia – terutama untuk sains4 – bisa diberi sebuah kerangka eksperimental oleh paper ini. 2. PENGETAHUAN: Kecukupan Deskriptif Topik ini perlu dieksplikasi dengan baik sebelumnya agar ada batas yang jelas antara spekulasi filosofis tentang pengetahuan dan kemampuan manusia dalam memperoleh pengetahuan. Tradisi AI yang berbasis representasi pengetahuan biasanya menyatakannya dalam ‘keyakinan’ terhadap pengetahuan bahwa x dan ‘realitas’ bahwa x itu sendiri (Fagin, Halpern, Vardi, 1984). Pernyataan-pernyataan seperti ini bisa dicocokkan ke realitas dengan data sensori, bisa dinyatakan dalam ‘melihat x adalah mempercayai x’ (van Linder, van der Hoek, Meyer, 2000). Yang pertama lebih terkait dengan epistemologi dan filsafat sains. Sejarah panjangnya terbentang sejak masa Sokratik hingga perkembangan terakhir yang menjadi alur besar saat ini, seperti falsifikasionisme (Popper, 1959; Lakatos, 1971). Selanjutnya, dari epistemologi dan filsafat sains, bentuk-bentuk pengetahuan yang mungkin dan cara memperolehnya akan didiskusikan lebih lanjut di bagian 2.1. Yang kedua terkait dengan kemampuan manusia dalam memperoleh pengetahuan, dan secara khusus, sains, sesuai dengan struktur dan kapasitas kognitif yang dimilikinya. Dalam bahasan kognisi level tinggi (khususnya mekanisme pemrosesan dan domain stimulus), topik ini telah dan masih menempati prioritas penting dalam agenda sains kognitif, terutama lewat pendekatan-pendekatan antropologi kognitif, psikologi evolusioner, dan kepakaran. Pendekatan ini akan disatukan di bagian 3 paper ini dengan memandang teori-teori folk dan keberhimpitan domain-domainnya dengan teori-teori saintifik sebagai posisi kunci. 2.1 Induksi dan Deduksi Bertrand Russell (1926) jauh hari menyatakan bahwa tidak ada informasi tambahan yang bisa diperoleh dari deduksi karena deduksi bukan inferensi ‘yang sebenarnya’, bukan informasi tambahan (sebagai efek mental) yang diperoleh dari data (sebagai efek sensori). Deduksi hanyalah menulis-ulang informasi lama dengan mematuhi kaidah-kaidah logika. Deduksi bukan masalah besar bagi teori pengetahuan, setidaknya sebelum bertemu teorema ketidakkompletan Gödel (Gödel, 1931) yang bersentuhan dengan ‘kecukupan deskriptif’ pengetahuan. Keterbatasan dari kemampuan deduktif alamiah manusia nantinya akan membentuk ‘kecukupan eksplanatori’ pengetahuan5. Lebih jauh, Russell kemudian berusaha mereduksi berbagai pernyataan dalam variabelvariabel yang bertindak sebagai terma singular, ditambah dengan beberapa konstanta logika Terinspirasi oleh proyek gagal David Hume, Dialogues Concerning Natural Religion (1779), program edukasi ini saya sebut ‘edukasi natural’. 5 Analog dengan kerja Noam Chomsky di teori sintaks, ‘kecukupan deskriptif’ di sini berarti ‘segala sesuatu yang mungkin dimodelkan’, sedangkan ‘kecukupan eksplanatori’ berarti ‘segala sesuatu yang mungkin ada dalam sistem yang dimodelkan’ (Cf. Chomsky, 1965:26-31). Bila di teori sintaks bahasa natural, kecukupan eksplanatori berarti seleksi spesies gramar berdasarkan data linguistik, kecukupan deskriptif adalah deskripsi lengkap dari semua gramar yang mungkin ada. 4
4
(quantifier, konektif) sehingga dari kedua jenis terma ini bisa didapat formula-formula yang satu sama lain bisa saling dideduksikan dan membentuk proposisi baru. Proposisi-proposisi sebagai representasi tentang dunia bisa dihasilkan sepenuhnya lewat inferensi yang bisa berbentuk induksi (tiap pernyataan yang berbeda adalah pernyataan yang tidak terhubung satu sama lain sehingga hubungan logisnya satu sama lain tidak berasal dari deduksi terhadap aksioma yang lebih elementer). Walau begitu, dengan segera, cara melihat informasi diakuisisi dan diintegrasikan secara induktif ke dalam pengetahuan seperti ini akan berhadapan dengan masalah yang lebih besar, misalnya frame problem6 (McCarthy, Hayes, 1969; Harnad, 1993) yang memerlukan pengembangan tertentu dari logika formal klasik. Frame problem biasanya dianggap serius oleh periset AI hanya demi pertimbangan ekonomi formalisme serta kompleksitas komputasional dari sebuah sistem deduktif semata, misalnya di berbagai program automated reasoning. Tapi karena informasi tentang alam semesta tak terbatas, dan kapasitas kognitif manusia terbatas, maka penalaran awam juga seharusnya mengalami frame problem. Salah satu akibatnya, mesin di balik kapasitas inferensi manusia ternyata tidak seketat mesin logis Russell. Sesuai temuan berbagai eksperimen psikologi kognitif (tentang memori, Cf. Miller, 1957; untuk inferensi, Cf. Johnson-Laird, 1980; untuk nesting klausa bahasa natural, Cf. Atran, 2003), ‘induksi yang tidak semestinya’ memang inheren dalam kapasitas kognitif manusia, dan bukan karena masalah yang dihadapi memang membutuhkan induksi sine qua non. Dan sebagaimana akan ditunjukkan di spesifisitas domain di 3.1, hal ini adalah konsekuensi dari kapasitas kognitif manusia yang didesain oleh evolusi sedemikian rupa sehingga manusia memang bukan mesin logis sama sekali, paling tidak di banyak aspek kapasitas kognitif. Pertanyaannya, dengan kembali meninjau-ulang teka-teki induksi kausal David Hume, apakah yang mengendalikan kapasitas induktif manusia? Strategi lama menjawabnya dengan mengutak-atik formalisme yang ada, yaitu menambahkan aturan inferensi tertentu dalam induksi kausal awam (untuk ilustrasi tentang strategi ini, Cf. Surya, et. al., 2004). Di kerja ini, strategi yang diambil – dan secara khusus disesuaikan dengan akuisisi pengetahuan saintifik – adalah mesin yang berada di balik kapasitas induktif awam yang meliputi berbagai domain pengetahuan, viz. teori folk. 2.2 Representasi Mental Di paper ini, kami mengadopsi hipotesis bahasa pemikiran (Fodor, 1975) sebagai working assumption dengan mengandaikan adanya kotak-keyakinan tepat seperti sindiran Dennett (1995:419), yaitu semata memang demi kemudahan pengembangan teori. Versi pencipta bahasa pemrograman Lisp, John McCarthy, frame-problem yang menjadi masalah besar di AI berbasis logika proposisional bisa digambarkan sebagai ‘penentuan tetap atau berubahnya nilai-kebenaran proposisi-proposisi di tengah perubahan satu proposisi’. Selain sebagai satu kelemahan deskripsi struktural di AI, frame-problem juga menjadi masalah dalam penalaran awam (McCarthy, 1990), misalnya pada: ‘pengubahan posisi sebuah benda yang diwarnai akankah mengubah warna benda itu sendiri?’. Bandingkan dengan tulisan Rudy Badil dalam ‘“Body Language” Algojo Penalti’ (Kompas, 29 Juni 2004:41) berikut: Begitulah susahnya bersepak bola. Ya kalau bal-balan gampang, tentu PSSI sudah juara dunia berkali-kali. Hiih!; yang menimbulkan pertanyaan: ‘bila sepak bola diubah dari sulit menjadi gampang, apakah PSSI yang pecundang juga bisa berubah menjadi pemenang?’
6
5
Status bahasa pemikiran sendiri berikut perdebatan seputar isi mental berada di luar jangkauan paper ini. Ringkasnya, adopsi ini akan memudahkan kita dalam menggambarkan pengetahuan dan derajat keyakinan terhadap pengetahuan sebagai suatu entitas yang bisa diakomodasi bahasa formal, dan dengan demikian, bisa berbentuk analogi Chomskian, yaitu ‘kecukupan deskriptif’ yang berwujud semua keadaan pengetahuan yang mungkin. Meski bahasa pemikiran tidak terlalu relevan, konsekuensi sifatnya ke arsitektur kognitif menjadi penting, setidaknya sebagai argumen pendukung dari teori semantik bahasa formal yang sudah ada. Bentuk terluasnya, seperti biasa dimodelkan dalam AI berbasis representasi pengetahuan, dianggap sama dengan hasil yang dicapai epistemologi dan filsafat sains, berbentuk koherensi epistemologis dan perseptual, antara inferensi dan data. Karenanya, definisi 1 yang mengasumsikan terma ‘pengetahuan’ sebagai representasi sintaktik yang kemudian terhubung ke isi mental semantik ‘sedemikian rupa’, bisa dipakai secara leluasa. Setelah itu, maka tiba waktunya untuk mencari kesejajaran teori semantik ini dengan struktur dan kapasitas kognitif yang memungkinkannya atau dengan kata lain, ‘kecukupan eksplanatori’, yang dalam kerja ini, dianggap ditentukan oleh domain kognisi, baik yang spesifik maupun yang general. 3. DOMAIN: Kecukupan Eksplanatori Sebuah proses kognitif bisa dianggap berdomain general jika dan hanya jika seseorang bisa melakukan sebuah aktivitas kognitif dengan stimulus yang berasal dari domain apapun hanya dengan bantuan stimulus itu semata, dan mekanisme pemrosesan yang terjadi benar-benar seragam dan berfungsi mengarahkan asosiasi dan generalisasi stimulus yang bersangkutan (Atran, 1998). Temuan-temuan eksperimental dalam teori folk menyatakan, yang terjadi ternyata tidak, atau tidak selamanya seperti itu (Carruthers, 2003a, 2003b). Cara melakukan penalaran, struktur pengetahuan, dan mekanisme pemerolehan pengetahuan ditemukan berbeda-beda di berbagai aspek kognisi. Cara kita mengenali bunyi-bunyian menjadi kata-kata yang mematuhi kaidah sintaktik sebagai sebuah model mental sangat berbeda dengan cara navigasi visual kita di sebuah bidang datar sebagai model mental yang lain (Pinker, 1981). Domain kognisi, setidaknya di tingkat perseptual, ternyata spesifik. Kecukupan eksplanatori juga ditentukan oleh faktor lain, mis.: keterbatasan akuisisi banyak variabel embedded dari sebuah pernyataan yang panjang, yang karena keterbatasan memori, ternyata hanya mencapai lima sampai enam level, yang bisa dinyatakan dalam formalisasi logika doksastik: ‘Aku yakin bahwa Anu tahu bahwa Ani berpikir bahwa …’. Variabel embedded ini juga dialami oleh klausa dalam struktur kalimat yang juga berada di bawah tujuh, yaitu untuk sebuah bahasa bebas-konteks L dengan perulangan simbolsimbol non-terminal a dan b sebanyak n kali, maka: L = {anbn | a,b < 7} (Atran, 2003). Namun karena yang kami anggap relevan dengan edukasi adalah fiksasi sebuah mekanisme inferensi dalam sistem keyakinan, maka fakta-fakta tentang memori jangka pendek ini, maupun fakta-fakta lain tentang mekanisme sensori dan motori, tidak
6
semenentukan akuisisi informasi. Dalam bahasa Jerry Fodor, perhatian utama dari paper ini adalah ‘apa yang sebenarnya terjadi di proses sentral’. 3.1 Spesifisitas Domain Perihal dimana spesifisitas domain itu terjadi dan bagaimana rupa mekanisme biologis yang bertanggungjawab di belakangnya, adalah salah satu butir perdebatan di sains kognitif yang belum selesai. Spesifisitas domain bisa terjadi di mekanisme persepsi, antarmuka antara data sensori dari persepsi dengan sistem syaraf pusat, bahkan sampai di sistem syaraf pusat itu sendiri. Bila kita berniat mencari biomekanisme yang bertanggungjawab terhadap spesifisitas domain-domain ini, maka akan muncul jurang antara fisiologi yang disokong substrat genetis, fenomena-fenomena kognisi tingkat tinggi yang diatasi arsitektur kognitif, dan fakta-fakta behavioral. Perdebatan tentang biomekanisme ini masih akan berlanjut, sehingga posisi aman di titik ini adalah dengan bersandar pada hipotesis nativistik di banyak hal, meski secara tentatif belum bisa dikatakan disertai substrat genetis yang pasti di belakangnya (Bates, 1994). Secara eksperimental, nativisme dalam sains kognitif, lebih khusus menyangkut kemampuan linguistik, mungkin baru pertama kali ditegaskan oleh Chomsky (1965:25): To learn a language, then, the child must have a method for devising an appropriate grammar, given primary linguistic data. Penyelidikan awal Chomsky di wilayah linguistik akhirnya merembet ke berbagai topik di sains kognitif, termasuk ke psikologi perkembangan. Banyak temuan yang dihasilkannya akhirnya mengarahkan kita ke kesimpulan, bahwa pikiran kita mempunyai banyak ‘mesin’ yang berbeda cara kerjanya, mempunyai input yang berbeda, ada sejak lahir, bisa bekerja secara simultan tetapi tidak bisa saling mempengaruhi. Umumnya, ‘mesin-mesin’ ini dikelompokkan minimal dalam tiga cara: modularitas, kepakaran, dan teori folk. Modularitas menyatakan bahwa pikiran terdiri dari sistemsistem terpisah (bahasa, persepsi visual, pengenalan wajah, etc.) dengan sifatnya masingmasing (Fodor, 1983; Karmiloff-Smith, 1992). Pendekatan kepakaran masih menekankan keterpisahan sistem-sistem, tetapi yang terpisah dan saling berbeda adalah tingkat kepakaran seseorang dalam melakukan beberapa ketrampilan (bermain gitar, bermain catur, menyelesaikan soal-soal fisika) (Chi, Feltovich, Glaser, 1981; Howe, Davidson, Sloboda, 1998). Dua pendekatan ini, meskipun tidak lebih lemah, berada sedikit di luar relevansi kerja ini karena terpaut cukup jauh dengan material edukasi yang dibahas di bagian 4, sehingga satu-satunya cara yang paling kuat untuk mengelompokkan ‘mesin-mesin’ mental kita ini adalah teori folk. Modularitas dan kepakaran hanya akan dijelaskan secara singkat di 3.2 untuk memberikan gambaran tentang model-model arsitektur kognitif yang telah ada dan kapasitasnya untuk melakukan aktivitas saintifik. Dengan mengikuti Peter Carruthers (2003a), Steven Pinker (1997b), dan serombongan teoretisi evolusioner lainnya, pendekatan teori folk dan modularitas bisa digabungkan dalam bentuk modularitas masif moderat (Lihat 3.2.2). 7
3.2 Domain Kognisi 3.2.1 holisme Holisme atau non-lokalitas isi mental akan membuat kemampuan saintifik menjadi konter-faktual bila tetap berdomain spesifik. Modularitas sentralistik menjadi masuk akal. Contoh klasik Fodor (1983) untuk hal ini adalah, ‘tak peduli seberapa jauh keterkaitannya, kognisi akan dengan mudah menghubungkan botani dengan astronomi.’ Dari studi tentang citraan7, Zenon Pylyshyn secara eksperimental juga menunjukkan bahwa ada kondisi ketakterjamahan (impenetrability) kognisi oleh persepsi (Pylyshyn, 1999).
Gambar 1. Pengompletan Amodal Kanizsa Berdasarkan gambar di kiri dan kanan, seharusnya kapasitas kognitif kita mengatakan bahwa gambar di tengah memiliki bangun geometris yang sama (berdasarkan koherensi semantik atau kemiripan maksimum). Tetapi penutupan oleh bangun geometris yang lain di gambar tengah membuat kapasitas kognitif bekerja dengan cara lain karena secara spontan, kita membangkitkan gambar segi enam tak beraturan dari gambar di tengah. Inilah yang disebut ‘ketakterjamahan’ kognisi oleh persepsi yang mendukung hipotesis modularitas non-sentral. (Dari Kanizsa, 1985, seperti dinyatakan kembali dalam Pylyshyn, 1999).
Kritik terhadap non-lokalitas proses sentral dan periferalitas modular ini ditemukan dalam modularitas masif dan modularitas masif moderat di 3.2.2. Kritik ini dalam satu dan lain hal bisa menyempitkan holisme menjadi di area tertentu di proses sentral saja, karena tidak selamanya yang terjadi di proses sentral berdomain general. Argumen melawan holisme bisa datang dari anggapan bahwa ketakterjamahan Pylyshyn hanya menggambarkan proses terjadinya simbol representasional dari obyek persepsi lewat mekanisme perseptual tertentu, y.i.: visual, dan bukan menggambarkan terjadinya inferensi dan fiksasi keyakinan dari simbol-simbol representasional. Argumen yang lain yang biasa diadopsi para modularis masif dan masif moderat didasarkan pada beberapa ‘cacat’ di proses sentral, dari modus ponens, modus tollens, silogisme yang berat sebelah, hingga tautologi; masing-masing cenderung diekspresikan secara tidak semestinya, relatif terhadap rumusan logika klasik (van Gelder, Niklasson, 1994). 3.2.2 masif dan masif moderat Secara bersamaan, domain-domain spesifik sudah begitu jauh berkembang dalam sosiobiologi yang di tahun 1990-an dan menghasilkan disiplin baru bernama psikologi evolusioner (Tooby & Cosmides, 1992). Domain yang spesifik ada karena suatu alasan, yaitu adaptasi. Dengan ini, maka apapun proses kognitifnya, pasti ada alasan adaptifnya. Dan karena segenap kemampuan kognitif dianggap dilahirkan oleh adaptasi untuk berbagai macam keperluan (menghindari 7 ‘Citraan’ di sini adalah padanan dari kata imagery yang secara sederhana berarti keadaan ketika kita ‘melihat’ sebuah obyek tanpa kehadiran obyek itu sendiri sebagai sesuatu yang bisa dilihat.
8
predator, mengenali konspesifik dan individual dalam spesies, mengenali free-rider dalam kelompok), maka yang muncul adalah modularitas masif. Dan Sperber (2002) bahkan menambahkan konsep mikro-modul. Kemampuan logis seperti modus ponens dianggap sebagai modul yang bisa memproses representasi apapun dan hasilnya, beberapa ‘cacat’ deduksi manusia seperti yang digambarkan Tugas Seleksi Wason bisa terjelaskan. Bila modul-modul dianggap masif dan segenap kemampuan kognitif dianggap modular, maka tidak ada tempat untuk non-lokalitas isi mental pada modularitas klasik.
Gambar 2. Tugas Seleksi Wason Ada empat kartu yang di tiap kartunya tertera angka di satu sisi dan huruf di sisi lain. Satu sisi kartu tampak di gambar di atas. Lalu ada pernyataan: Jika di satu kartu tertera 'huruf vokal' di sisi atas, maka di sisi bawah pasti tertera 'angka ganjil'. Kartu mana yang harus dibalik biar pernyataan di atas bisa dicek kebenarannya? Eksperimen Peter Wason menunjukkan bahwa orang sangat susah untuk sampai ke kesimpulan bahwa yang perlu dibalik cukup ‘E’, dan tidak perlu ikut membalik ‘5’. Eksperimen Wason ini sudah digeneralisasi berulangkali dalam berbagai varian, misalnya yang disebutkan di Tabel 1.
Sayangnya, bila modularitas diekstensikan ke semua aktivitas kognitif yang mungkin, maka darimanakah datangnya kebaruan? Artinya, bila semua manusia dikendalikan mikro-modul dalam membuat inferensi, bagaimana bisa ditemukan hukum-hukum abstrak logika seperti double negation elimination? Bila modul saling terenkapsulasi tanpa pembedaan sentral dan periferal, maka bukankah diperlukan modul spesifik yang begitu kuat hingga bisa menghasilkan pengetahuan saintifik yang begitu kompleks dan menjadi teramat jauh dengan model-model perseptual empirisisme? Solusinya – yang belum tentu memperjelas masalah – adalah modularitas masif moderat (Carruthers, 2003a; Pinker, 1997a, 1997b). Di bagian yang modular, maka pemrosesan informasi bersifat spesifik, meliputi berbagai macam teori folk. Tapi di sisi lain, ada bagian yang berdomain general dan bisa menggabungkan informasi dari berbagai domain, atau sebuah meta-modul yang beroperasi di berbagai domain yang cara kerjanya disebut ‘redireksi representasional’ (Karmiloff-Smith, 1992). Sejauh ini, modularitas masif moderat adalah solusi terampuh dari masalah pemrosesan informasi. Tapi menggabung proses periferal dan sentral, dan di saat yang sama, memisah proses sentral, akan membuat teori sedikit menjauh dari minimalisme dan ekonomi. Untuk seterusnya, saya ingin meneruskan deskripsi hanya dengan mempertimbangkan representasi, dan bukan persepsi. 3.2.3 sains Sains adalah produk kultural Barat (Atran, 1990; Smith, 1995) yang menemukan bentuk formasi dan konfirmasi hipotesis yang konsisten setelah jaman Aufklarung. Yang terjadi setelah Immanuel Kant, ada syarat-syarat konvensional dalam praktik-praktik saintifik. Fisika kualitatif Aristotelian diganti fisika kuantitatif Kartesian. Perdebatan antara rasionalisme dan empirisisme diganti dengan pemakaian syarat mutlak supaya aktivitas 9
saintifik bisa menghasilkan akumulasi pengetahuan yang memadai, yaitu kesejajaran antara penyusunan hipotesis (lewat inferensi) dan bukti empiris (lewat eksperimentasi). Metode saintifik ini mulai dibakukan dalam program-program filsafat sains, terutama positivisme logis Gottlob Frege dan Rudolph Carnap. Perkembangan sains yang diakumulasikan dengan prosedur saintifik yang sama kemudian dibukukan dan didokumentasikan dengan baik di perpustakaan-perpustakaan. Tapi paper ini tidak menyertakan pembahasan antropologis yang mendetail tentang bagaimana budaya Barat ini berkembang ke seluruh dunia lewat kolonialisme dan imperialisme satu sampai tiga abad lalu. Yang ingin dikatakan hanyalah bahwa pada awalnya, sains juga dibentuk oleh domain spesifik yang setelah didukung prosedur baku tertentu, akhirnya menjadi berdomain general. Dengan kata lain, seiring dengan berjalannya waktu dari masa Pleistosen ke Holosen, perbedaan antara manusia pemburu-peramu dan manusia modern bukan di substrat genetik atau fisiologi organisme, tapi melulu di lingkungan sosial. Dan bila kesamaan substrat genetik dan fisiologi ini benar, maka antara anak-anak pemburu-peramu dan anak-anak manusia modern masih mengalami fase pertumbuhan dan fase akuisisi pengetahuan yang sama. Barulah ketika sampai di fase-fase tertentu, misalnya begitu anak bisa berbicara dengan kalimat gramatikal (Pinker, 1997a) atau mempunyai teori tentang pergerakan benda-benda fisis (Spelke, 1990), maka pengetahuan apapun yang berbentuk representasi simbolik bisa diakuisisi. Di titik ini, di semua H. sapiens, inferensi pengetahuan akan mengalami kegagalan pada kasus-kasus patologis. Patologi yang dimaksud mempunyai dua titik kemunculan: di sudut pandang teori folk relatif terhadap teori saintifik, seorang anak kecil akan gagal mengembangkan teori folk, mis.: pada penderita autisme, sindrom William dan psikopati yang tidak mempunyai psikologi folk; di sudut pandang teori saintifik relatif terhadap kemajuan teori saintifik yang ada, secara umum, tidak bisa dianggap sebagai patologi bila dibandingkan dengan apa yang terjadi di teori folk, mengingat teori saintifik pada umumnya berdiam di domain general, dan kemunduran tidak dianggap sebagai patologi, melainkan inkompetensi dalam menguasai satu atau lebih topik. Kami tidak akan berspekulasi lebih jauh dengan menganggap bahwa ada domaindomain spesifik dalam akuisisi pengetahuan saintifik, seperti yang ditemukan oleh studistudi tentang kepakaran (Tan, 1997). Kesimpulan sementara yang mengatakan bahwa domain sains adalah general sudah dirasa cukup bila dihubungkan dengan motif dibalik paper ini. 4. TEORI FOLK Seorang pemain bola atau master biliar tidak perlu tahu gerak peluru atau hukum kekekalan momentum untuk menjaringkan bola kulit ke gawang atau menyarangkan bola marmer ke lubang. Seorang peternak di Temanggung atau di Rochester tahu bahwa penyakit sapi gila tidak akan menyerang ayam atau bebek tanpa tahu organisme biang keladinya. Seorang anak kecil tahu bahwa orang lain juga punya hasrat, keinginan, tujuan, atau maksud-maksud tertentu yang cara kerjanya sama dengan yang dia punya tanpa pernah membaca Freud atau Jung atau Adler. Seorang anak kecil, tanpa perlu 10
propaganda, dengan berbekal penampakan saja, bisa mengembangkan prasangka rasial yang rumit diantara sesama spesies manusia. Bahkan tanpa perlu diajari di sekolah, seorang anak kecil akan bisa melakukan operasi penambahan dan pengurangan dengan sendirinya. Kemampuan-kemampuan spesifik ini terkumpul menjadi teori-teori spesifik. Karena teori-teori ini mempunyai domain dan inferensi yang unik dan cenderung berbeda dengan inferensi teori-teori saintifik (fisika, biologi, psikologi, sosiologi, bahkan matematika), maka teori-teori ini disebut teori folk. Teori folk adalah temuan eksperimental yang cenderung hanya bisa diinterpretasikan dengan baik lewat hipotesis nativistik. Kita mendapatkannya sejak lahir dan keberlangsungannya mulai tampak sejak masa-masa awal kanak-kanak dan bisa berlanjut sampai usia dewasa, kadang konvergen dengan teori saintifik, kadang bertentangan, tampak ketika keluarannya diekspresikan dalam perilaku. Seperti halnya modularitas dan kepakaran, teori-teori folk juga ditentukan lewat perbedaan domain-domainnya dan dilabeli dengan membubuhkan kata ‘folk’ atau ‘naif’ sebelum nama-nama sains yang biasa kita kenal: fisika naif, matematika naif, biologi folk, psikologi folk, dan sosiologi naif. Berlainan dengan pendekatan modular, teori folk pada awalnya tidak terlalu dipusingkan dengan lokasi pemrosesan, entah di sistem-sistem persepsi atau di proses sentral pada sistem syaraf pusat. Tapi seperti dijelaskan di 3.2.2, teori folk dianggap terjadi di proses sentral. Dalam uraian selanjutnya, masing-masing dari teori-teori folk akan diperinci lebih jauh. Di akhir perincian, akan ditambahkan pula divergensinya dengan teori saintifik standar (domain spesifik), serta metode eksplikasinya dengan deduksi (domain general). Perbedaan perlakuan akan muncul di psikologi folk karena di teori folk ini, muncul beberapa pandangan yang saling bertolak-belakang secara ekstrem, terutama karena disinilah perbatasan antara entitas kognitif dan non-kognitif muncul ke permukaan (materialisme eliminatif, Churchland, 1986). Di 4.4, sebuah deskripsi singkat dan laporan riset tentang psikologi folk akan diberikan, tetapi hanya ditujukan untuk menunjukkan bahwa teori folk ini masih susah untuk diintegrasikan dengan edukasi natural. 4.1 Matematika Naif: Yang simpel dan yang fundamental Teori folk ini paling sederhana sekaligus paling fundamental struktur dan efeknya, karena hanya melibatkan ketrampilan berhitung dan konsep aritmetis, paling tidak menurut rumusan konvensional tentang matematika naif. Berbeda dengan konvensi, kemampuan inferensi yang rapi juga kami masukkan dalam domain matematika naif. Terakhir, kami menambahkan satu catatan tentang definisi yang menurut kami, meskipun tidak secara eksplisit menjadi bahasan matematika naif, tidak bisa begitu saja dicangkokkan ke sebuah bahasa formal. 4.1.1 konsep angka: rumusan konvensional Di konsep angka, yaitu bilangan natural, matematika naif muncul secara spontan dan menghasilkan performa yang sama di berbagai lingkup kultural yang berbeda. Sebagai contoh, data menunjukkan bahwa lepas dari basis bilangan yang dipakai di suatu 11
masyarakat, anak-anak tidak kesulitan dalam melakukan operasi penjumlahan, dengan atau tanpa sekolah formal (Miller, et. al., 1995). Di lingkup masyarakat manapun, aritmetika bisa berjalan tanpa, katakanlah, aksioma Peano tentang bilangan natural. Bahkan di masyarakat prasejarah, konsep angka juga sudah dipakai untuk menggambarkan kuantitas benda-benda secara diskrit, lengkap dengan operasioperasinya. Karena domainnya yang begitu spesifik dan fundamentallah, maka performa dan akurasinya tinggi, meski karena itu pula, kemampuannya tidak bisa diekstensi atau digeneralisasi dengan sendirinya ke konsep yang lebih abstrak, misalnya bilangan rasional atau real, atau ke konsep ketakhinggaan (Lakoff, Nuñéz, 2000). Karena ini pula, matematika naif di konsep angka tidak menemukan divergensi dengan matematika saintifik. Maka tidak aneh bila tidak semua orang bisa memahami abstraksi matematis rumit yang dibutuhkan untuk konsep yang lebih abstrak seperti fisika. Yang muncul akhirnya fisika naif (Lihat 4.2) yang berwujud kumpulan teori tentang perilaku obyek-obyek yang ditemui sehari-hari yang seharusnya dijelaskan mekanika klasik. Tetapi ini tidak terjadi karena matematika naif yang ada tidak menyediakan alat untuk mekanika klasik. Aljabar dan kalkulus jauh lebih menentukan dibanding sekedar aritmetika. Fisika naif tidak ditemukan menggunakan matematika dan fisika sekaligus. Keduanya berjalan sendiri-sendiri dengan kumpulan teorinya sendiri-sendiri. Dan karena matematika bersifat lebih abstrak dibanding fisika, maka matematika tidak menghasilkan matematikawan amatir seperti halnya fisika naif menghasilkan montir. 4.1.2 inferensi Disini, penalaran yang memakai logika klasik kami masukkan dalam domain matematika naif. Penjelasan tentang matematika naif oleh banyak periset sebelumnya lebih peduli dengan terma-terma singular dan mengesampingkan variabel, konstanta dan inferensi. Karena pada umumnya, matematika adalah ekstensi logika (Russell, 1926), maka perangkat matematis adalah ekstensi dari operasi-operasi logis atau inferensi. Sangat aneh bila dalam banyak kasus temuan psikologi kognitif, modus tollens yang menjadi salah satu prinsip logika dengan mudah dilanggar oleh proses kognitif awam (van Gelder, Niklasson, 1994). Silogisme yang telah menjadi standar sejak Aristoteles dan seharusnya bisa direduksi menjadi logika orde-satu, ternyata mempunyai pola khusus ketika berhadapan dengan silogisme (Johnson-Laird, 1980), kira-kira menghasilkan efek yang mirip dengan yang dimaksudkan Frege sebagai ‘rasa’ (Frege, 1896). Sebagai catatan, anggapan bahwa rasionalitas adalah bawaan lahir atau tasit menjadi naif, apalagi bila induksi dikendalikan oleh probabilitas murni, meskipun anggapan ini meluas di agensi ekonomis yang melatari makroekonomi sampai pertengahan abad lalu. Tabel 1 Performa Inferensi Referen modus ponens modus
Abstrak Konkret Abstrak
psikolog 83 100 33
disiplin biolog 92 100 33
12
fisikawan 92 100 58
Total tanpa training Training 89 100 100 100 41 53
tollens
Konkret 50 83 75 69 91 (Dari Kern, Mirels, & Hinshaw, 1983; seperti disebutkan oleh van Gelder, Niklasson, 1994).
4.1.3 catatan tentang definisi Selanjutnya, bagaimana dengan cara terma-terma singular bisa ditentukan oleh awam? Matematika sendiri adalah sistem deduktif yang paling maju dalam perkembangannya, karena cara kerja matematika memang selalu dimulai dari pendefinisian, aksiomatisasi, penurunan teorema, lemma dan seterusnya. Yang sering menjadi masalah adalah ketika pendefinisian menjadi tidak rapi. Kesulitan pendefinisian ini lazim ditemui karena logika yang dipakai dalam bahasa natural bukan logika orde-satu yang berisi variabel dan konstanta Russellian, tetapi keluarga logika modal yang minimal mempunyai operator necessaily dan possibly atau logika yang mempunyai karakter vague sehubungan dengan pemakaian quantifier seperti beberapa, lama, sering; dan semua indikasi kuantitas diluar ∀ dan ∃ . Di sisi lain, suatu definisi adalah suatu representasi linguistik tentang suatu obyek lepas dari obyek itu sendiri, kalau bisa secara unik sehingga satu definisi hanya merepresentasikan tepat satu obyek. Lepas dari formalisme, ada pula masalah komitmen ontologis atau lebih sederhana, ontologi, dalam arti yang berbeda dengan yang biasa dipakai di filsafat. Ketika orang mengemukakan suatu ‘kata’ yang mewakili suatu obyek dan diperdengarkan ke orang lain, maka ‘makna’ yang diperoleh dari kata itu akan berbeda di tiap orang. Manusia mempunyai intensionalitas, qualia, rasa (Fregean) ketika sedang ‘memproses’ suatu kata. Ketika makna yang ingin dicapai dari suatu sintaks bukan lagi sebuah nilai-kebenaran Boolean (yang dalam bahasa formal, terjadi di formula-formula non-atomik dan mengandung predikat ke-n dengan n > 0), maka pluralitas komitmen ontologis menjadi tak terelakkan, ditentukan oleh kecenderungan individual dalam mempersepsi sesuatu (viz. data orang-pertama), dan dipengaruhi sistem keyakinan ketika makna yang dimaksud muncul. Tapi masalah definisi bukan domain dari matematika naif, paling tidak, secara eksplisit. Komitmen ontologis adalah fakta yang tak terelakkan dan tidak akan membuahkan hasil bila kita ingin menyatukannya seperti cara filsuf-filsuf analitis paruh pertama abad lalu, yaitu bahwa bahasa natural lebih baik ‘dihilangkan’ saja gara-gara penuh ambiguitas, dan diganti dengan bahasa formal yang memakai logika proposisional. Kemajuan filsafat analitis lebih terletak di inferensi daripada di definisi yang lebih terkait dengan konsep di level bahasa pemikiran, dengan leksikon dan efek-efek pragmatik di level bahasa natural, atau bahkan dengan intensionalitas sebagai alternatif bahasa pemikiran. Untuk mengatasi kemustahilan filolsofis ini, upaya awal berupa ‘mediasi ontologis’ (Alistair, Shapiro, 1998) dibuat untuk menjembatani komitmen ontologis yang berbedabeda di antara dua ‘prosesor’ atau ‘agen komputasional’. Memang tidak akan pernah didapat sebuah kesamaan makna per se dari satu simbol yang dimiliki dua agen, tetapi dari perspektif data orang-ketiga, perilaku yang diakibatkannya bisa diverifikasi.
13
Sebagai penutup bagian matematika naif, masalah divergensi dan eksplikasi ketiga poin di atas mempunyai posisi kunci di domain general yang kecukupan eksplanatorinya lebih ditentukan oleh lingkungan sosial setempat. Contohnya, dalam aktivitas sehari-hari seperti jual-beli di pasar ritel, tidak diperlukan hasil akurat dari pembagian suatu bilangan pecahan dengan bilangan pecahan lain. Di sini, bilangan natural tidak perlu dieksplikasi menjadi bilangan real. Tapi dalam lingkungan yang berbeda, misalnya di sebuah laboratorium nuklir, pemakaian bilangan takhingga, bilangan kompleks dan bilangan transenden menjadi kelaziman. 4.2 Fisika Naif Kembali ke masa setengah milenium lalu, Galileo Galilei-lah yang pertama kali menentang mekanika Aristotelian atau teori impetus, bahwa benda yang lebih berat akan lebih cepat jatuh ke tanah, atau bahwa pergerakan benda dikendalikan oleh disipasi gaya tertentu, bertolak belakang dengan medan gravitasi konservatif yang diajukan mekanika klasik. Mekanika Aristotelian sebagai salah satu bentuk fisika naif – keyakinan awam tentang cara benda-benda bekerja, terkait erat dengan mekanika klasik, sering membuahkan kesimpulan yang salah secara sistematis – tentu berbeda dengan konsep abstrak seperti geosentrisme Ptolemaeus yang dijungkalkan heliosentrisme Nicolaus Copernicus dan Johannes Kepler. Fisika naif lebih menyangkut pergerakan benda-benda yang tampak, konkret, dan praktis, persis seperti karakter teori folk lainnya. Kemampuan memecahkan permasalahan-permasalahan fisika yang rumit lebih sering menjadi wilayah kajian spesifisitas domain yang lain, yaitu kepakaran. Kesalahan-kesalahan di fisika naif muncul secara beragam, bisa tampak sejak masa kakan-kanak dan menghilang ketika dewasa, tapi ada juga yang tetap bertahan meskipun seseorang sudah dipengaruhi pendidikan. Fisika naif berikut kesalahan-kesalahan sistematisnya – dan dengan demikian, divergensinya dari fisika saintifik –secara umum bisa dilihat dari tiga sudut pandang: pragmatis, psikologis dan ontologis (Smith, 1995). Lewat sudut pandang pragmatis, fisika naif bukan teori sama sekali, tapi hanyalah kumpulan rule of thumb yang bahkan tasit, kadang efektif dan bisa diimplementasikan dalam arsitektur robotik (Blackwell, 1988), ad hoc, dan teori yang ditawarkannya jauh dari struktur internal yang konsisten. Dalam sudut pandang ini, fisika naif ditaruh di bagian paling luar kognisi karena sifatnya tak lebih dari kinestesia atau propriosepsi atau bahkan gerak refleks. Kenyataannya, fisika naif mempunyai kaidah induksi kausal sendiri, seperti: jika gelas jatuh maka gelas pecah. Sedangkan secara ontologis, fisika naif bahkan dianggap sebagai gambaran awam tentang sifat dan pergerakan benda-benda dengan tingkat validitasnya sendiri, sama dengan menganggap teori impetus itu benar, paling tidak dalam batas konsepsi tertentu, yaitu konsepsi awam tentang gerakan benda-benda. Teori impetus, seperti teori eter, tidak bisa direkonsiliasikan dengan fakta empiris. Jadi, sudut pandang psikologislah yang paling masuk akal, yaitu dengan mengasumsikan keberadaan model mental tertentu yang mengendalikan fisika naif. Kesalahan konsep mekanis yang berlawanan dengan konsep kecepatan benda jatuh bebas Newtonian dianggap dikendalikan oleh model mental ini. Sesuai eksperimen, sangat aneh bila ternyata banyak orang dewasa yang menggambarkan trajektori bola tetap mengikuti 14
lingkaran atau kurva pada pipa-C yang horizontal (McCloskey, Caramazza, Geen, 1980). Di saat lain, orang dewasa tidak kesulitan menggambarkan gerak parabolik dengan tepat bila pipa-C ditaruh vertikal (Heyman, Phillips, Gelman, 2003). Namun ketika bola diganti dengan air, kesalahan pipa-C horizontal tidak terjadi (Kaiser, Jonides, Alexander, 1986). Secara umum meskipun nyaris tanpa pola, prinsip gravitasi cenderung dikacaukan oleh konsep massa, arah medan gravitasi, dan fase zat. Meskipun orang bisa tergoda untuk menghubungkan fakta ini dengan beberapa asumsi evolusioner – y.i.: arborealisme di primata dan bipedalisme di H. sapiens – secara umum, mengapa hal ini bisa terjadi masih misterius. Kesalahan sistematis fisika naif yang sekilas tampak simplistik, inkonsisten dan bergantung situasi, secara sekilas tidak pernah jauh-jauh terpisah dari konsep gravitasi. Divergensinya tampak dari induksi kausal yang bersandar pada teori impetus. Divergensi ini bisa dihilangkan dengan menekankan hukum Newton II yang harus diadopsi oleh domain general kognisi yang terjemahan versi aslinya berbunyi: The alteration of motion is ever proportional to the motive force impressed; and is made in the direction of the right line in which that force is impressed. Dengan mendefinisikan ‘gaya’-nya Newton dengan baik, maka titik induktif ini secara sempurna bisa diaplikasikan ke semua obyek mekanika klasik. Karena obyek fisika naif adalah obyek mekanika klasik, maka deduksi lanjutan mungkin tapi belum tentu melibatkan instrumen matematis yang rumit seperti aljabar dan kalkulus. 4.3 Biologi Folk Dulu sewaktu di SD, saya diajari guru IPA bahwa hewan diciptakan dengan penampakan sama atau hampir sama, sedangkan manusia diciptakan satu sama lain saling berbeda secara mencolok. Kita bisa mengenali mengapa manusia bisa mempunyai lesung pipit, rambut ikal, tahi lalat, atau bahkan senyum manis dan mata tajam. Tapi bila kita melihat monyet atau anjing, kita tidak bisa mengenali mereka dengan penggambaran sedetail sesama kita. Di film-film yang ‘pemeran utama’-nya fauna, kita sering tidak sadar bahwa satu tokoh utama ternyata sering diperankan oleh beberapa satwa sekaligus. Setelah dewasa, saya tahu bahwa manusia tidak lebih kompleks dalam penampakan dibanding primata lainnya. Bedanya, kita mengklasifikasikan atau mengkategorisasikan manusia dengan cara berbeda dengan cara kita mengklasifikasikan hewan. Pada manusia, kita mengkategorisasikan konspesifik berdasarkan modul tertentu bernama ‘pengenalan wajah’ yang sejak masa Pleistosen, yang bersama-sama dengan identifikasi kepribadian dan persamaan dialek, bisa mengenali ratusan sampai ribuan wajah yang berbeda di sepanjang hidup (Miller, 2000:181). Dengan kemampuan kategorisasi ini akhirnya atribusi sifat-sifat tertentu ke wajah yang ini dan yang itu menjadi mudah. Tetapi untuk spesies lain, kita mempunyai sistem kategorisasi yang sama sekali berbeda, hanya mengkategorisasikan berbagai spesies generik dan mengatribusikan sifat-sifatnya, bukan di tingkat individual dalam satu populasi. Penyelidikan antropologis juga tidak menemukan keberadaan budaya yang menyamakan manusia dengan hewan apapun (Atran, 1998). Kita mempunyai ‘mesin’ 15
yang berbeda ketika mengenali sesama manusia dan mengenali hewan-hewan dan tetumbuhan. Cara kita mengenali flora dan fauna tanpa bantuan biologi saintifik inilah yang disebut biologi folk. Salah satu ciri biologi folk adalah cara orang mengklasifikasikan organisme menjadi grup-grup mirip spesies seperti ‘buaya’ atau ‘pisang’. Grup-grup ini disebut ‘spesies generik’. Pandangan awam berasumsi bahwa tiap spesies generik mempunyai ciri kausal di belakangnya, semacam esensi, yang secara unik bertanggungjawab terhadap penampakan, perilaku dan pilihan tempat hidup dari spesies generik yang bersangkutan. Di berbagai budaya, esensi ini dianggap kompleks, mandiri, dan begitu kuatnya dalam menjaga integritas spesies generik meskipun pada akhirnya dia akan tumbuh, seperti dari berudu ke katak, atau dari pupa ke kupu-kupu. Biolog dengan mudah menjelaskannya, tanpa asumsi esensi apapun, dengan membedakan genotip dan fenotip organisme. Keberagaman flora dan fauna yang spontan di daerah tertentu secara spontan akan melahirkan klasifikasi folk tersendiri berdasarkan esensi, berwujud keberadaan grup dalam grup (tidak arbitrer seperti klasifikasi bintang-bintang dalam rasi-rasi yang dikendalikan koordinasi spasial, tidak pula modular seperti pada pengenalan wajah) seperti ‘buaya darat – buaya – hewan melata’ atau ‘pisang raja – pisang – buah’. Begitu taksonomi folk ini berhasil mengatur dan menyimpulakan informasi biologis, maka seperti di taksonomi modern, sifat-sifat organisme juga bisa diturunkan dari taksonomi folk. Inilah sebabnya, meski tanpa tahu organisme penyebabnya, secara spontan orang tahu bahwa sapi gila hanya menyerang organisme yang mirip sapi daripada organisme yang tidak mirip sapi seperti unggas. Banyak klaim menyatakan bahwa sifat-sifat biologi folk di atas mengarah pada sifat bawaan lahir dari biologi folk. Skenario biologi (atau psikologi) evolusioner biasanya menyatakan bahwa kemampuan bawaan ini ada untuk tujuan bertahan hidup di masamasa awal H. sapiens, seperti bagaimana mencari makanan atau menghindari racun dan penyakit. Biologi folk akan sangat membantu untuk kepentingan-kepentingan ini. Dan meski secara sekilas, taksonomi folk dan taksonomi biologis terlihat mirip, ternyata ada bagian-bagian yang berbeda secara radikal, sehingga berpotensi memunculkan divergensi yang ekstrem. Divergensi ekstrem ini pasti akan berakhir dengan penyimpulan sifat-sifat organisme yang secara ekstrem juga berbeda dengan temuan biologi. Dan bila penyimpulan folk ini menjadi motivator aktivitas motorik tertentu, secara umum, akan membahayakan kelangsungan hidup individu itu sendiri. Konsekuensinya menjadi nyata bagi program edukasi natural. Divergensi bisa muncul sejak lahir, dan karena domainnya spesifik, maka tidak ada rumus umum edukasi natural yang mengendalikan keseluruhan kemampuan kategorisasi. Untuk kasus biologi folk, edukasi natural mempunyai tugas sederhana, yaitu menekankan bahwa kapasitas induktif (bawaan) berdasarkan klasifikasi folk (bawaan) yang bisa muncul secara spontan dan tasit tidak selalu bisa dijadikan landasan yang memadai untuk menyimpulkan keseluruhan sifat-sifat spesies generik. Tugas yang lain adalah menyediakan perangkat deduktif bagi klasifikasi biologis, minimal berdasarkan salah satu cabang taksonomi, yaitu sistematika, yang secara saintifik bekerja dengan cara 16
menggambarkan hubungan kekerabatan antar-spesies berdasarkan perbedaan genotip dan fenotip, dan menetapkan sifat-sifat yang sama untuk spesies-spesies yang mempunyai leluhur sama. 4.4 Psikologi Folk: sebuah laporan tentang ‘perkecualian’ Psikologi folk mempunyai tempat khusus diantara teori folk lainnya, karena menyangkut kemampuan orang awam dalam ‘menebak’ keadaan psikologis orang lain dengan cara tertentu. Konsekuensinya, psikologi folk menjadi problematis bila dihubungkan dengan studi tentang kognisi dan kesadaran. Di studi kognisi, bagi sebagian saintis kognitif, menyelidiki psikologi folk dengan segenap sifat-sifatnya adalah tugas sains kognitif karena psikologi folk dianggap sebagai ‘keadaan mental’ yang sesungguhnya dari manusia. Meskipun dipaksakan berbeda dari psikologi saintifik (Goldman, 1993), kenyataannya, psikologi folk masih memakai terminologi yang sama dengan psikologi saintifik, karena keduanya masih sama-sama memakai terminologi propositional attititude report (Cf. Evans, 1982) yang biasa dinyatakan dalam formalisme logika doksastik. Dua pendekatan yang ada dalam psikologi folk yang diawali dari hipotesis tentang keberadaan teori pikiran (Baron-Cohen, Leslie, & Frith, 1985), yaitu: simulasi – teori (pengantar tentang ini bisa ditemukan di Goldman, 1993), dan teori – teori (argumen yang mendukung paradigma ini bisa ditemukan di Carruthers, 1996) tidak akan dibahas di sini. Dengan kata lain, karena tidak ditemukan perbedaan antara psikologi folk dan psikologi saintifik, setidaknya sampai saat ini (tidak termasuk beberapa usulan untuk membubarkan sama sekali psikologi folk dan menggantinya dengan neurofisiologi, Churchland, 1986), maka psikologi folk belum bisa diakuisisi oleh edukasi natural. Dari psikologi folk, tidak ada proposisi yang terbukti legal sekaligus relevan dengan, katakanlah, kurikulum. Bahkan kita juga tidak bisa menentukan divergensi antara yang saintifik dan non-saintifik. Upaya awal – dan secara sekilas terlihat naif – dari saya untuk memvalidasi proposisi bahwa mekanisme yang bertanggungjawab terhadap agensi rasional adalah mekanisme psikologi folk masih belum bisa berkembang lebih jauh (Suroso, 2004a). Upaya ini harus diakui, seperti komentar kolega-kolega saya di Bandung Fe Institute – para ‘penganut sejati’ paradigma sistem kompleks – , tak lain adalah “brojolan berkali-kali”. Tapi paling tidak, memulai penyelidikan psikologi folk dari modularitas minimal bisa dianggap berada di jalur yang tepat, seperti moral metodologis versi Carruthers (dalam persiapan) berikut: …if the project here is to show how non-domain-specific thinking in humans can emerge out of modular components, then we had better assume that the initial starting-state (before the evolution of our species began) was a modular one. Di sisi lain, di studi tentang kesadaran, psikologi folk juga rawan dengan masalah penunjukan-pada-diri-sendiri (konsep kedirian dan kandungan non-konseptual, Bermúdez, 1995). Bahkan belum ada jaminan bahwa ada relasi mutual antara keadaan neural dan keadaan mental sebagai korespondensi satu-satu (multiple realizability, 17
pertempuran sengit antara fungsionalisme dan fisikalisme, Cf. Churchland, 1986). Fakta bahwa psikologi folk begitu terkait dengan masalah kesadaran – topik yang sedikit banyak masih terbengkalai di riset-riset sains kognitif (Chalmers, 1990; Thagard, 1996) – sekali lagi, menurut hemat saya, hanya memberikan peringatan pada kita agar tidak terburuburu mengintegrasikan psikologi folk ke studi-studi kognisi tingkat tinggi, yang dalam hal ini adalah edukasi natural. 4.5 Sosiologi Naif Serupa dengan biologi folk, sosiologi folk juga mempunyai tulang punggung di pola klasifikasi dan penempelan label atau sifat-sifat tertentu terhadap kelompok yang jatuh dalam klasifikasi tertentu. Hirschfeld (1996) yang diilhami oleh kerja-kerja psikologi developmental sebelumnya, mengusulkan bahwa banyak ide-ide tentang karakteristik rasial sebenarnya diwadahi oleh kapasitas kognitif tertentu yang lebih memandang ras lain sebagai homogenitas kolektif daripada koleksi individu. Akibatnya, pandangan yang dihasilkan oleh sosiologi naif akan menghasilkan teori-teori naif tentang ras lain, lepas dari keragaman yang pasti ada dalam ras itu. ‘Padang’ sebagai akronim ‘pandai dagang’, atau ‘Batak’ sebagai akronim ‘banyak taktik’ tersebar sebagai ungkapan sehari-hari. Ungkapan-ungkapan ini belum bisa dipastikan akan mempengaruhi perilaku seseorang dalam berinteraksi dengan ras lain, tetapi kenyataan bahwa tidak semua orang Minang pandai berdagang dan tidak semua orang Tapanuli banyak taktik adalah keadaan yang menurut kami tidak perlu dibuktikan. Atau kalau tidak, validitas stereotipikalisasi ini perlu diverifikasi oleh studi antropologi ekstensif daripada diserahkan sepenuhnya ke kesimpulan yang didapat dari sosiologi naif. Di kasus yang lain, sosiologi naif yang menghasilkan pengetahuan default tertentu yang disebut ‘kognisi sosial’ yang secara singkat dijelaskan cara kerjanya oleh Sperber dan Lawrence Hirschfeld (2004:44) sebagai berikut: … existing mechanisms for social cognition were presented with culturally contrived superstimuli (just as in the case of face recognition superstimulated with make-up, or the activation of notions of kin-solidarity to strengthen nonkin-based coalitions). Cognitively, groups are characterized by whatever cues makes it possible to identify their members and by the inferences this identification affords. Contoh seperti solidaritas kekerabatan untuk memperkuat koalisi non-kekerabatan sangat mungkin akan menghasilkan konsekuensi behavioral yang dramatis. Dalam kondisi tertentu, mesin mental yang mengendalikan sosiologi naif dan dimunculkan oleh suatu sebab evolusioner tertentu sejak sebelum ras-ras H. sapiens hadir di muka bumi (Miller, 2000:222-3) bisa menjadi aktif dan mendominasi kapasitas kognitif yang dikendalikan domain general apapun (dalam hal ini, mis.: konsep tentang HAM). Sayangnya, sampai saat ini, ‘konsekuensi behavioral dramatis’ yang aktif ‘dalam kondisi tertentu’ seperti disebut di atas belum bisa kami integrasikan dengan fakta empiris, meskipun untuk tujuan ini, berbagai kasus kerusuhan massal (rasial, etnis, religius) di berbagai wilayah di Indonesia bisa menjadi acuan dari ‘kondisi’ yang dimaksud. Paling tidak, yang patut dicatat adalah, sebagaimana biologi naif, sosiologi naif seringkali – tapi tidak selalu – menghasilkan kognisi sosial yang valid. 18
5. EDUKASI NATURAL Setelah berbagai teori folk bisa diidentifikasi, setelah jenis-jenis representasi yang mungkin diakuisisi manusia bisa diklasifikasikan, dan setelah mekanisme dasar yang memungkinkan kognisi bisa berjalan diketahui – minimal, secara umum – maka edukasi ditata-ulang sesuai dengan sifat-sifat alamiah dari sistem kognitif manusia. Yang patut dicatat dari langkah ini adalah, edukasi sebenarnya sebuah upaya untuk mengubah sekumpulan proses mental X menjadi sekumpulan proses mental Y yang bisa diturunkan dari beberapa acuan primitif P. Edukasi tanpa acuan – mis.: secara retoris dinyatakan dalam ungkapan ‘menciptakan manusia yang mandiri’ – adalah paradoks. Acuan yang dipakai bisa ditujukan untuk membentuk pengetahuan untuk bertahan hidup, satu perangkat pengetahuan tertentu secara lebih mendetail tetapi terbatas, dan bahkan semua pengetahuan yang mungkin. Khusus untuk yang terakhir, ide tentang sistem kompleks yang dengan sendirinya melibatkan level representasi yang berbeda-beda (Suroso, 2004a) akan menjadi prototipe acuan yang sesuai. Untungnya, level representasi yang berbeda-beda yang dipakai untuk menjelaskan dunia selalu dihasilkan oleh satu mekanisme yang sama: domain pengetahuan general. 5.1. Edukasi Natural definisi 2: edukasi natural adalah upaya dari subyek terhadap obyek untuk mengubah cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan menuju cara tertentu yang diinginkan oleh subyek sehingga obyek memperoleh pengetahuan yang tepat untuk bertahan hidup. Dengan definisi di atas, maka edukasi natural (EN) yang berhasil akan mengubah cara pandang (berwujud aturan inferensi) obyek ketika harus bertahan hidup. Dalam masyarakat modern, bertahan hidup tidak lagi sesederhana mengumpulkan makanan atau memburu mangsa seperti di masa Pleistosen dan awal Holosen, tetapi melibatkan cara bertahan hidup yang sudah dimanifestasikan dalam sistem representasi yang kompleks. Pada praktiknya, EN adalah upaya mengubah sifat alamiah manusia yang berguna untuk aktivitas bertahan hidup. Secara alamiah, seperti yang dikendalikan oleh teori-teori folk, organisme bisa menghasilkan informasi dan kemudian perilaku yang salah dan tentu pada akhirnya akan membahayakan kelangsungan hidup organisme itu sendiri. Lebih dari itu, sejak ‘ledakan bahasa’ yang dipercaya terjadi pada 40 ribu tahun lalu (Cosmides, Tooby, 1994:69), manusia telah mengembangkan informasi yang diakumulasikan. Manusia akhirnya tidak bisa lagi bertahan hidup dengan cara yang sama dengan pemburu-peramu. Konsep-konsep yang berada dalam sistem keyakinan telah berubah, meski perubahannya ditemukan berbeda-beda di grup yang berbeda-beda. Contoh ekstremnya adalah munculnya Sokrates yang bunuh diri sebelum dieksekusi atau pilot Kamikaze yang menabrakkan pesawat tempur ke kapal musuh. Keduanya tidak menggambarkan pola adaptif sama sekali (Carruthers, 2003a). Dengan kata lain, domain general yang dikembangkan di sebuah masyarakat dengan sistem keyakinan tertentu telah membelokkan sistem keyakinan yang terkait langsung dengan adaptivitas atau survivabilitas. 19
Singkatnya, EN adalah upaya mengonfirmasi pengetahuan yang dihasilkan oleh domain spesifik dengan pengetahuan yang dihasilkan oleh domain general. Sampai titik ini, resiko munculnya paradoks antara kelompok-kelompok pengetahuan yang berbedabeda dikesampingkan dulu. Dalam versi lain, EN adalah upaya untuk mengubah pengetahuan yang diperlukan untuk bertahan hidup (mencari makanan, bereproduksi, menghindari mangsa, etc.) dengan pengetahuan yang sudah lebih kompleks karena sudah dibangkitkan oleh domain general yang memakai bahasa peka-konteks. Tapi H. sapiens sapiens tidak hanya membutuhkan fitness biologis untuk bertahan hidup, tetapi juga fitness kultural yang hanya bisa dicapai dengan mengembangkan pengetahuan yang dihasilkan domain general. Dan sains sendiri yang menurut Scott Atran awalnya dihasilkan oleh budaya Barat, memang tidak bisa dianggap terlepas dari efek kultural (Faucher, et. al., 2002). Titik penting EN terletak di familiaritas masalah yang dihadapi yang seharusnya sama untuk masyarakat yang berbeda-beda berdasarkan asumsi bahwa kapasitas kognitif yang dihasilkan di masa Pleistosen tidak berubah sampai sekarang. Demi kemudahan, pengetahuan yang menjadi target dari EN kami sebut pengetahuan orde-satu. Tabel 2 Divergensi Teori Folk dan Teori Saintifik teori folk matematika fisika biologi psikologi sosiologi
Domain bilangan natural; inferensi massa; fasa; gravitasi spesies generik sikap proposisional kolektivitas; afiliasi
divergensi kesalahan inferensi teori impetus inakurasi atribusi sifat inakurasi atribusi sifat
5.2 Edukasi Ekstensif Pada kasus-kasus seperti Sokrates atau Kamikaze, telah terjadi penggantian pola inferensi dan fiksasi keyakinan yang relatif berbeda dengan yang dituntut adaptivitas biologis maupun dengan sistem keyakinan masyarakat lain, mis.: sistem keyakinan masyarakat liberal. Superioritas atau validitas masyarakat liberal di atas masyarakat otokratik Jepang atau autarkis Athena adalah informasi yang harus dibahas dalam domain general. Karena itu, kerangka kerja di balik EN saja tidak cukup. Dibutuhkan Edukasi Ekstensif (EE) sebagai berikut: definisi 3: edukasi ekstensif adalah upaya dari subyek terhadap obyek untuk mengubah cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan menuju cara tertentu yang diinginkan oleh subyek sehingga obyek bisa memperoleh satu kelompok pengetahuan yang tepat untuk mengembangkan kelompok pengetahuan itu sendiri. Definisi di atas dengan sendirinya akan bisa mengakuisisi jenis pengetahuan apapun, baik yang diperlukan untuk survavibilitas maupun untuk pengembangan informasi itu sendiri. Lain halnya dengan EN yang mempunyai titik optimum berupa kemampuan maksimal untuk bertahan hidup secara biologis, EE mempunyai titik optimum kultural, abstrak, dan dengan demikian kami sebut pengetahuan orde-dua. Ketika pengetahuan baru yang dihasilkan EE yang berdomain general tetapi terpartisi berhasil mengganti pengetahuan lama yang dihasilkan EN yang berdomain general tetapi 20
ditujukan untuk mengganti pengetahuan yang dihasilkan domain spesifik, maka pertanyaan tentang tingkat adaptivitas perilaku Sokrates atau tentara Kamikaze menjadi tidak penting lagi. Domain yang general bisa mengakuisisi informasi apapun dan bisa memfiksasikannya dalam sistem keyakinan dan intensionalitas tertentu. Tetapi karena pengetahuan yang dihasilkan terpartisi dalam kelompok-kelompok pengetahuan8 tertentu, maka akan sering muncul kondisi penipuan diri. Terakhir, sebagai perbandingan, Carruthers (2002) menyatakan organisme hanya bisa mengakuisisi sains bila organisme mempunyai prasyarat-prasyarat sebagai berikut: 1. 2.
3. 4.
A variety of innately channelled conceptual modules, including folk physics, folk psychology, folk biology, and perhaps some sort of ‘number sense’. An innately channelled language-system which can take inputs from any of these modular systems, as well as providing outputs to them in turn. This system thus has the power to link together and combine the outputs of the others. An innate capacity for imagination, enabling the generation of new ideas and new hypotheses. An innately channelled set of constraints on theory choice, amounting to a distinct nonmodular faculty of inference to the best explanation.
Prasyarat-prasyarat Carruthers ini dalam banyak hal tepat dengan asumsi latar-belakang di balik EE. Prasyarat 1) tepat sama dengan domain-domain spesifik yang dibawa sejak lahir, tetapi tidak ditunjukkan bahwa pengetahuan yang dihasilkan oleh domain-domain spesifik ini bisa menjadi divergen. Prasyarat 4) adalah bentuk yang lebih umum dari kecukupan eksplanatori. Bedanya, di prasyarat 2), alih-alih memakai bahasa natural, EE lebih didasarkan pada teori semantik yang mengikuti hipotesis bahasa pemikiran yang lebih berupa ekspresi mental quasi-linguistik daripada murni linguistik. Sedangkan prasyarat 3) tidak menambahkan hal apapun yang lebih spesifik ke teori tentang asal muasal kebaruan dan kreativitas. Tabel 3 Eksplikasi dalam EE teori folk matematika fisika biologi psikologi sosiologi
domain bilangan natural; inferensi massa; fasa; gravitasi spesies generik sikap proposisional kolektivitas; afiliasi
eksplikasi konsep angka; deduksi natural mekanika taksonomi dan sistematika zooming grup
5.3. Edukasi Natural Ekstensif Begitu kelompok-kelompok pengetahuan yang dihasilkan EN bisa dihubungkan secara deduktif, maka yang muncul adalah Edukasi Natural Ekstensif (ENE), yaitu edukasi sains Pemakaian kata ‘kelompok’ (Marvin Minsky menyebutnya frame untuk representasi informasi spasial, Herb Simon menyebutnya chunk untuk unit-unit informasi dalam sebuah proses problem solving, van Gelder menyebutnya clump untuk kumpulan proposisi yang terkait dalam sebuah inferensi kondisional) di sini ditujukan ke keberadaan sekumpulan ekspresi yang satu sama lain bisa dideduksikan berdasarkan aksioma yang terbatas. Inferensi antar-kelompok pengetahuan bisa diinduksikan berdasarkan data tertentu dengan resiko, pada saat yang lain akan muncul kondisi penipuan-diri karena sistem yang dibangun tidak selalu konsisten atau komplet, atau muncul penalaran non-monotonik.
8
21
yang berusaha mengubah obyek supaya tidak hanya bisa menggunakan satu atau beberapa sains untuk bertahan hidup, tapi juga mengembangkan keseluruhan sains itu sendiri sehingga didapat pengetahuan yang lebih lengkap dari organisme, artefak dan lingkungan tempat individu berada. definisi 4: edukasi natural ekstensif adalah upaya dari subyek terhadap obyek untuk mengubah cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan menuju cara tertentu yang diinginkan oleh subyek sehingga obyek bisa memperoleh pengetahuan saintifik yang tepat untuk mengembangkan pengetahuan saintifik itu sendiri sebagai satu kesatuan pengetahuan. Edukasi natural ekstensif (ENE) tidak mempunyai titik optimum, paling tidak karena diikat oleh diktum berikut: bahwa sains tidak pernah berhenti dikembangkan karena salah satu karakter sains adalah kemungkinannya untuk selalu dijungkalkan oleh teori baru (Popper, 1956). Kesimpulannya, ENE adalah edukasi dari semua proyek-proyek metafisis (atau metasaintifik) yang pernah ada, yang pada titik-titik aksiomatisnya, berhadapan dengan ontologi atau teleologi (Dennett, 1995). 6. CATATAN TENTANG ENE Domain Edukasi Natural Ekstensif mempunyai karakter ideal9 sebagai berikut: - berdomain general, bisa mengolah representasi apapun; - tidak berguna untuk bertahan hidup secara biologis; - tidak dibawa sejak lahir sehingga murni dipelajari; dan - berwujud formasi (lewat deduksi) dan konfirmasi (lewat justifikasi empiris) hipotesis dengan memakai aturan-aturan inferensi terhadap proposisi-proposisi yang sepenuhnya dianggap sebagai representasi yang dihasilkan modul-modul spesifik. Pencapaian penuh dari ENE adalah tercapainya sebuah kecukupan deskriptif dari semua keadaan yang mungkin dari pengetahuan manusia. Pengetahuan apapun yang dihasilkan ENE adalah model apapun yang dihasilkan representasi pengetahuan (Lih. 2). Di luar kecukupan deskriptif ini terletak berbagai masalah tentang status dari terma-terma singular yang bukan lagi wilayah pembahasan sains, melainkan filsafat sains. Namun, kecukupan deskriptif tidak akan mungkin bisa tercapai secara penuh oleh satu organisme karena alasan-alasan (yang menjadi kriteria kecukupan eksplanatori) sebagai berikut: 1. Keyakinan terhadap kelompok pengetahuan tertentu yang dihasilkan domain spesifik bisa diubah oleh domain general dan sebaliknya sebagai ekspresi dari teori-teori folk di tingkat neurofisiologis, arsitektural (seperti yang ditekankan paper ini) maupun perilaku.
Ideal di sini dalam arti kondisi dimana tidak ada vagueness dalam keanggotaan himpunan simbol-simbol yang bisa diolah, viz. bahasa formal.
9
22
2. Berubahnya keyakinan di atas terjadi karena selalu ada inferensi dan fiksasi keyakinan. 3. Inferensi dan fiksasi keyakinan bisa membuat satu individu berpindah dari satu sistem keyakinan ke sistem keyakinan lain yang bertolak belakang secara logis. 7. KESIMPULAN Fokus dari paper ini hanyalah EN, meskipun untuk kerja-kerja lanjutan yang dibutuhkan untuk menjelaskan adaptivitas kultural, EN harus dikembangkan menjadi EE, dan bila ditujukan untuk metasains, dikembangkan menjadi ENE. Selain itu, pengetahuan yang dihasilkan domain spesifik tampak tidak sistematis (Lih. Tabel 2) sebagai konsekuensi dari asal-mulanya: adaptivitas evolusioner yang berjalan secara heuristik, oportunistik dan ireversibel. Beberapa konsekuensi filosofis: 1. EN adalah kerangka berpikir yang dihasilkan domain general, memulai pembahasan dari survavibilitas dan sains-sains untuk survavibilitas. Kemudahan penerapan EN terletak di kedekatannya dengan fakta sehari-hari: BILANGAN ASLI, GRAVITASI, TAKSONOMI, RAS dan ETNIS; relatif terhadap fakta-fakta abstrak yang dihasilkan sains: BILANGAN KOMPLEKS, QUASAR, ONTOGENESIS, DIVISION OF LABOR. 2. Sains yang relevan dengan EN adalah jenis sains khusus (Fodor, 1994) yang tidak problematis karena hanya menyangkut topik yang berguna untuk bertahan hidup. Pengembangan sainsnya sendiri harus dilakukan oleh EE. Kondisi problematis di psikologi folk dengan demikian tidak bisa dijadikan material EN, kecuali di kasuskasus patologis seperti autisme atau psikopati. 3. Sains dalam topik yang lebih umum yang mendobrak sekat-sekat sains khusus harus dikembangkan lewat ENE, termasuk metasains (metafisika, filsafat sains, metamatematika). Terakhir, bagian penting yang hilang karena belum dijelaskan dalam paper ini mencakup asal muasal novelty yang dikendalikan kreativitas. Analog dengan terma di TGG, mekanisme ‘parsing’ dan ‘generasi’ pengetahuan sudah disediakan, tetapi bagaimana generasi pengetahuan baru bisa muncul – karena kapasitas imajinasi sedemikian rupa; karena munculnya masalah baru yang harus diselesaikan; karena terekspresikannya sebuah konsep (Fodorian); etc. – belum dapat dijelaskan secara rinci. Di samping itu, ‘kematangan modular’ yang mengendalikan semua teori folk (mis.: kemunculan teori pikiran secara berangsur-angsur pada rentang usia tertentu, Cf. BaronCohen, 1985) tidak dicapai secara bersamaan, sehingga EN tidak bisa begitu saja diaplikasikan ke semua kelompok umur. Namun, bila dihubungkan dengan sebuah kurikulum, fakta tentang kematangan modular ini justru menjadi acuan baru tentang waktu-waktu yang tepat sebuah subyek mulai bisa diajarkan. 8. KERJA LANJUTAN Secara keseluruhan, paper ini baru meletakkan dasar baru bagi konsep edukasi berdasarkan sifat-sifat alamiah manusia yang telah ditemukan oleh berbagai program riset 23
di sains kognitif, meliputi jenis-jenis sumber dan cara memperoleh pengetahuan, mekanisme pemrosesan pengetahuan, perubahan pengetahuan dalam sistem keyakinan, dan mekanisme pengembangan pengetahuan. Langkah selanjutnya adalah bagaimana menstrukturkan teori-teori dari domain spesifik yang tercerai-berai dalam kerangka representasi pengetahuan. Kami berharap, sebuah model sintaktik-representasional dan semantik-isi-mental yang disatukan dalam kerangka representasi pengetahuan lengkap dengan modul-modul default-reasoning, mungkin ditambah dengan port-port sensori dan motori tertentu sesuai dengan arsitektur modularklasik, akan bisa menghasilkan sebuah model kognisi in silico di STC2 yang lebih lengkap. Setelah itu, kerja selanjutnya akan diarahkan ke penerapan konsep EN dan EE ke program-program edukasi yang ada, yaitu menemukan metode bagaimana domain general dan domain spesifik bisa mengubah cara interaksi mereka dengan manipulasi eksternal. Berbagai asumsi dan model yang selama ini berkembang dalam tema-tema riset yang berdiri sendiri (untuk model mental tentatif fisika naif, Cf. Nersessian, Resnick, 1989; untuk model mental tentang penemuan saintifik, Cf. Dunbar, 1993) akan bisa diintegrasikan. ENE menempati posisi lebih minor dalam kerja selanjutnya karena lebih terkait dengan metasains, dan penekanan yang akan dilakukan lebih diarahkan ke sistem kompleks. Tentu pengembangan ini baru bisa dilakukan bila masalah di seputar penunjukan-pada-diri-sendiri telah terselesaikan. 9. PENGAKUAN Saya mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya ke kolega-kolega di Bandung Fe Institute: Hokky Situngkir, Yun Hariadi, Deni Khanafiah, Tiktik Sartika dan Ivan Mulianta. Terima kasih juga disampaikan kepada orang-orang yang telah memberikan inspirasi berupa fragmen data-data empiris orang-ketiga: Dodi Rustandi dari Brighten Institute Bogor, Bambang Suroto dari Laboratorium Nuklir Departemen Fisika Institut Teknologi Bandung, dan Muhammad Akbar dari Departemen Penerbangan Institut Teknologi Bandung. Segala kealpaan tetap berada di tangan penulis. 10. REFERENSI Atran, S. (1998). ‘Folkbiology and the anthropology of science: Cognitive universals and cultural particulars’. Behavioral and Brain Sciences, 21: 547-609. Atran, S. (2003). ‘Modest adaptationism: Muddling Through Cognition and Language’. Behavioral and Brain Sciences, 25: 504-506. Bach, K. (1981). ‘An Analysis of Self-Deception’. Philosophy and Phenomenological Research, 41(3): 351-70. Baron-Cohen, S., A. Leslie, & U. Frith. (1985). ‘Does the autistic children have a “theory of mind”?’. Cognition, 21: 37-46. Bates, E. (1994). ‘Modularity, Domain Specificity and the Development of Language’. Working paper, Center for Research in Language, University of California, San Diego. Bermúdez, J. (1995). ‘Non-conceptual content’. Mind and Language, 10: 333-369. Bermúdez, J. (2000). ‘Self-Deception, Intentions and Contradictory Beliefs’. Analysis, 60 (4): 309-19. Blackwell, A. (1988). Spatial Reasoning for Robots: A Qualitative Approach. Tesis di Victoria University of Wellington, Oktober 1988.
24
Campbell, A., & S. Shapiro. (1998). ‘Algorithms for Ontological Mediation’. Dalam S. Harabagiu., (ed.). Usage of WordNet in Natural Language Processing Systems: Proceedings of the Workshop: 102-107. New Brunswick, NJ: COLING-ACL. Carruthers, P. (1996). ‘Simulation and self-knowledge: a defence of theory-theory’. Dalam P. Carruthers, & P. Smith, (ed.)., Theories of Theories of Mind: 22-38. Cambridge: Cambridge University Press. Carruthers, P. (2002). ‘The roots of scientific reasoning: infancy, modularity, and the art of tracking’. Dalam P.Carruthers, S. Stich, & M. Siegal (ed.)., The Cognitive Basis of Science: 73-95. Cambridge: Cambridge University Press. Carruthers, P. (2003). ‘Moderately massive modularity’. Dalam A. O’Hear. (ed.)., Mind and Persons. Cambridge: Cambridge University Press. Carruthers, P. (2003). ‘Is the mind a system of modules shaped by natural selection?’. Dalam C. Hitchcock. (ed.)., Contemporary Debates in the Philosophy of Science. Oxford: Blackwell. Carruthers, P. (dalam persiapan). ‘Distinctively human thinking: modular precursors and components’. Dalam P. Carruthers, S. Laurence, & S. Stich, (ed.)., The Structure of the Innate Mind. Chalmers, D. (1990). ‘Conscious and Cognition’. Tidak diterbitkan. URL: http://jamaica.u.arizona.edu/~chalmers/papers/c-and-c.html Chi, M., P. Feltovich, & R. Glaser. (1981). ‘Categorization and Representation of Physics Problems by Experts and Novices’. Cognitive Science, 5: 121-52. Churchland, P. (1986). Neurophilosophy. Cambridge, MA: MIT Press. Chomsky, N. (1965). Aspects of the Theory of Syntax. Cambridge, MA: MIT Press. Cosmides, L., & J. Tooby. (1994). ‘Beyond intuition and instinct blindness: toward an evolutionarily rigorous cognitive science’. Cognition, 50: 41-77. Dennett, D. (1995). Darwin’s Dangerous Idea: Evolution and the Meanings of Life. London: Penguin. Dunbar, K. (1993). ‘Concept Discovery in a Scientific domain’. Cognitive Science, 17: 397-434. Evans, G. (1982). The Varieties of Reference. Oxford: Clarendon Press. Fagin, R., J. Halpern, & M. Vardi. (1984). ‘A Model-Theoretic Analysis of Knowledge’. Dalam Proc. 25th IEEE Symp. On Foundations of Computer Science, 1984: 268-78. Faucher, L., R. Mallon, S. Nichols, D. Nazer, A. Ruby, S. Stich, & J. Weinberg. (2002). ‘The Baby in the Labcoat: Why Child Development Is An Inadequate Model for Understanding the Development of Science’. Dalam P. Carruthers, S. Stich, & M. Siegal, (ed.)., The Cognitive Basis of Science: 335-362. Cambridge: Cambridge University Press. Fodor, J. (1975). The Language of Thought. Cambridge, MA: Harvard University Press. Fodor, J. (1983). Modularity of Mind. Cambridge, MA: MIT Press. Frege, G. (1892/1980). ‘On Sense and Reference’. Zeitschrift für Philosophie und philosophische Kritik, 100. Gödel, K. (1931/1962). ‘On formally undecidable propositions of Principia Mathematica and related systems 1’. Monatshefte für Mathematik und Physik, 38: 173-98, terj. B. Meltzer. Goldman, A. (1993). ‘The Psychology of Folk Psychology’. Behavioral and Brain Sciences, 16: 15-28. Harnad, S. (1993). ‘Problems, Problems: The Frame Problem as a Symptom of the Symbol Grounding Problem’. Psycholoquy, 4 (34). URL: http://cogprints.soton.ac.uk/documents/disk0/00/00/15/89/index.html Heyman, G., A. Phillips, & S. Gelman. (2003). ‘Children’s reasoning about physics within and across ontological kinds’. Cognition, 89: 43-61. Hirschfeld, L. (1996). Race in the making: Cognition, culture, and the child's construction of human kinds. Cambridge, MA: MIT Press. Howe, M., J. Davidson, & J. Sloboda. (1998). ‘Innate Gifts and Talents: Reality Or Myth?’. Behavioural And Brain Sciences, 21(3): 399-442. Johnson-Laird, P. (1980). ‘Mental models in cognitive science’. Cognitive Science, 4: 71-115. Kaiser, M., J. Jonides, & J. Alexander. (1986). ‘Intuitive reasoning about abstract and familiar physics problems’. Memory and Cognition, 14:308-312. Karmiloff-Smith, A. (1992). Beyond Modularity: A Developmental Perspective on Cognitive Science. Cambridge, MA: MIT Press. Lakatos, I. (1970). ‘Falsification and the methodology of scientific research programmes’. Dalam I. Lakatos, & A. Musgrave, (ed.)., Criticism and the Growth of Knowledge: 91-196. New York: Cambridge University Press.
25
Lakoff, G., & R. Núñez. (2000). Where Mathematics Comes From: How the Embodied Mind Brings Mathematics into Being. New York: Basic Books. McCarthy, J. (1990). ‘Artificial Intelligence, Logic and Formalizing Common Sense’. Publikasi internet. URL: http://www-formal.stanford.edu/jmc/ McCarthy, J., & P. Hayes. (1969). ‘Some philosophical problems from the standpoint of Artificial Intelligence’. Dalam B. Meltzer., & D. Michie. (ed.)., Machine Intelligence 4. Amsterdam: Elsevier. McCloskey, M., A. Caramazza, & B. Green. (1980). ‘Curvilinear motion in the absence of external forces: Naive beliefs about the motion of objects’. Science, 210:1139-1141. Miller, G. (2000). Mating Mind: How Sexual Choice Shaped the Evolution of Human Nature. New York: Random House. Miller, K., C. Smith, J. Zhu, & H. Zhang. (1995). ‘Preschool origins of cross-national differences in mathematical competence: The role of number-naming systems’. Psychological Science, 6: 56-60. Nersessian, N., & L. Resnick. (1989). ‘Comparing historical and intuitive explanations of motion: Does "naive physics" have a structure?’. Dalam Proceedings of the 11th Annual Conference of the Cognitive Science Society: 412-420. Hillsdale, NJ: Erlbaum. Newell, A. (1990). Unified Theories of Cognition. Cambridge, MA: Harvard University Press. Pinker, S. (1981). ‘What spatial representation and language acquisition don’t have in common’. Cognition, 10: 243-248. Pinker, S. (1997). ‘Language Acquisition’. Dalam L. Gleitman, M. Liberman, & D. Osherson., (ed.)., An Invitation to Cognitive Science, Volume 1: Language. Cambridge, MA: MIT Press. Pinker, S. (1997). How the Mind Works. London: Penguin. Popper, K. (1959/1977). The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge. Pylyshyn, Z. W. (1991). ‘The Role of Cognitive Architecture in Theories of Cognition’. Dalam K. VanLehn (ed.). Architectures for Intelligence: 189-223. Hillsdale, N.J.: Erlbaum. Pylyshyn, Z. W. (1999). ‘Is vision continuous with cognition?: The case for cognitive impenetrability of visual perception’. Behavioral and Brain Sciences, 22(3): 341-423. Russell, B. (1911/1972). ‘The Philosophical Importance of Mathematical Logic’. Dalam Collected Papers of Bertrand Russell. London: Routledge. Russell, B. (1926/1972). ‘Theory of Knowledge’. Dalam Collected Papers of Bertrand Russell. London: Routledge. Smith, B. (1995). ‘The Structures of the Common-Sense World’. Acta Philosophica Fennica, 58: 290-317. Spelke, E. (1990). ‘Principles of Object Perception’. Cognitive Science, 14: 29-56. Sperber, D. (2002). ‘In Defense of Massive Modularity’. Dalam E. Dupoux, (ed.)., Language, Brain and Cognitive Development; Essays in Honor of Jacques Mehler: 47-57. Cambride, MA: MIT Press. Sperber, D., & L. Hirschfeld. (2004). ‘The cognitive foundations of cultural stability and diversity’. Trends in Cognitive Sciences, 8(1): 40-6. Suroso, R. (2004). ‘Economic Agency through Modularity Theory’. Working Paper WPC 2004, Bandung Fe Institute. Suroso, R. (2004). ‘Internal Conflict: Natural Self-Deception of Human Cognition’. Journal of Social Complexity, 1(4): 14-9. Tan, S. (1997). ‘The Elements of Expertise’. Journal of Education, Recreation, and Dance, 68(2): 30-3. Thagard, P. (1996). Mind: Introduction to Cognitive Science. Cambridge, MA: MIT Press. van Gelder, T., & L. Niklasson. (1994). ‘Classicalism and cognitive architecture’. Dalam Proceedings of the 16th Annual Conference of the Cognitive Science Society. Hillsdale, NJ: Erlbaum.
26
LEGAL NOTICE
PETUNJUK PENGGUNAAN DOKUMEN BFI 1. Tentang Dokumen Dokumen ini adalah hasil riset sebagai sikap umum dari Bandung Fe Institute (BFI). Dokumen ini telah melalui proses seleksi dan penjurian yang dilakukan oleh Board of Science BFI bersama dengan penulisnya dan beberapa narasumber terkait. Tanggung jawab terhadap kesalahan yang mungkin terdapat dalam isi dari masing-masing makalah berada di tangan penulisnya. Segala bentuk usulan perbaikan, tambahan analisis, maupun penerapan harus dilakukan dengan konsultasi dengan penulis bersangkutan melalui Kantor Administrasi BFI (alamat di bawah). 2. Tentang Ketersediaan & Penggunaan Dokumen • Dokumen ini disediakan secara gratis dalam bentuk kopi elektronis yang dapat diakses melalui alamat web: www.bandungfe.net/wp.html. Siapapun yang berkeinginan untuk melihat dan memiliki kopi elektronis dari dokumen ini dapat memperolehnya secara gratis dengan men-download dari alamat tersebut. • Dokumen yang di-download dapat diperbanyak, didistribusikan, ataupun dikutip untuk penggunaan non-komersil, pengayaan riset ilmiah, dan keperluan pendidikan tanpa perlu meminta izin tertulis dari BFI. Khusus untuk pengutipan, dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari BFI namun harus menyebutkan dengan baik sumber kutipan, meliputi nama penulis, nomor seri dokumen, penerbit BFI Press, dan tahun penerbitan sesuai dengan standar penulisan bibliografi di mana kutipan dilakukan. • Hard-Copy dari dokumen ini dapat diperoleh dengan permintaan tertulis kepada Kantor Administrasi BFI pada alamat di bawah. Hard-Copy dapat diperoleh dengan membayar uang pengganti cetak dokumen. Hard-Copy dapat diperbanyak, didistribusikan, ataupun dikutip untuk penggunaan non-komersil, pengayaan riset ilmiah, dan keperluan pendidikan tanpa perlu meminta izin tertulis dari BFI. Khusus untuk pengutipan, dapat dilakukan tanpa izin tertulis dari BFI namun harus menyebutkan dengan baik sumber kutipan, meliputi nama penulis, nomor seri dokumen, penerbit BFI Press, dan tahun penerbitan sesuai dengan standar penulisan bibliografi di mana kutipan dilakukan. • Segala kebijakan teknis, implementasi apapun yang dilakukan berdasarkan usulan teknis dari dokumen ini tanpa melalui koordinasi langsung di bawah arahan peneliti BFI yang bersangkutan dan tanpa melalui persetujuan dengan kantor administrasi BFI bukan merupakan tanggung jawab BFI sebagai institusi ataupun peneliti yang bersangkutan secara individual. Hak-hak intelektual BFI dan penelitinya dilindungi oleh undang-undang (lihat pasal 380 ayat 1 & 2 KUHP). Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut di atas adalah bentuk pelanggaran hukum pidana dan mendapat ancaman hukuman/sanksi sesuai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Untuk informasi lebih lanjut hubungi Kantor Administrasi BFI dengan alamat: BANDUNG FE INSTITUTE Jl. Cemara 63 Bandung 40161 JAWA BARAT – INDONESIA URL: http://www.bandungfe.net Mail:
[email protected] Ph./Fax.: +62 22 2038628