Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 2013
Jurnal Biologi Indonesia diterbitkan oleh Perhimpunan Biologi Indonesia. Jurnal ini memuat hasil penelitian ataupun kajian yang berkaitan dengan masalah biologi yang diterbitkan secara berkala dua kali setahun (Juni dan Desember).
Editor Ketua Prof. Dr. Ibnu Maryanto Anggota Prof. Dr. I Made Sudiana Dr. Deby Arifiani Dr. Izu Andry Fijridiyanto Dewan Editor Ilmiah Dr. Abinawanto, F MIPA UI Dr. Achmad Farajalah, FMIPA IPB Dr. Ambariyanto, F. Perikanan dan Kelautan UNDIP Dr. Aswin Usup F. Pertanian Universitas Palangkaraya Dr. Didik Widiyatmoko, PK Tumbuhan, Kebun Raya Cibodas-LIPI Dr. Dwi Nugroho Wibowo, F. Biologi UNSOED Dr. Parikesit, F. MIPA UNPAD Prof. Dr. Mohd.Tajuddin Abdullah, Universiti Malaysia Sarawak Malaysia Assoc. Prof. Monica Suleiman, Universiti Malaysia Sabah, Malaysia Dr. Srihadi Agungpriyono, PAVet(K), F. Kedokteran Hewan IPB Y. Surjadi MSc, Pusat Penelitian ICABIOGRAD Drs. Suharjono, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Tri Widianto, Pusat Penelitian Limnologi-LIPI Dr. Witjaksono Pusat Penelitian Biologi-LIPI
Sekretariat Eko Sulistyadi MSi, Dewi Citra Murniati MSi, Hetty Irawati PU, S.Kom Alamat d/a Pusat Penelitian Biologi - LIPI Jl. Ir. H. Juanda No. 18, Bogor 16002 , Telp. (021) 8765056 Fax. (021) 8765068 Email :
[email protected];
[email protected];
[email protected];
[email protected] Website : http://biologi.or.id
Jurnal Biologi Indonesia telah diakreditasi ulang berdasarkan SK Kepala LIPI 742/ E/2012 tanggal 7 Agustus 2012, Akreditasi:No. 460/AU2/P2MI-LIPI/08/2012.
1
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 2013
Perhimpunan Biologi Indonesia. Bekerja sama dengan PUSLIT BIOLOGI-LIPI
3
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 2013
,
4
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 2013
KATA PENGANTAR Jurnal Biologi Indonesia yang diterbitkan oleh PERHIMPUNAN BIOLOGI INDONESIA bekerjasama dengan PUSLIT BIOLOGI-LIPI. Edisi Volume 9 No. 2 tahun 2013 memuat 15 artikel lengkap dan satu artikel tulisan pendek. Penulis pada edisi ini sangat beragam yaitu dari Balai Besar Penelitian Vete riner, Departemen Pertanian, Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Kementerian Perikanan dan Kelautan, Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI, Puslit BioteknologiLIPI, Departemen Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor, Pusat Penelitian Biologi LIPI; Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Balai Konservasi Biota Laut-LIPI
5
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 2013
6
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 2013
DAFTAR ISI Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Detection of Infectious Bronchitis Antibody in Chickens using Local Isolate of PTS III Risa Indriani & NLP Indi Dharmayanti Karakterisasi Genetik Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Berdasarkan Penanda Molekuler Sequence-Related Amplified Polymorphism Dyah Subositi & Rohmat Mujahid Karakteristik Populasi Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) yang Tertangkap di Sumatera Selatan Agus Arifin Sentosa, Danu Wijaya & Astri Suryandari Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya di Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat
Halaman 159
167
175
183
Iyan Robiansyah & Danang W. Purnomo Isolat Bakteri Indigenous Penghasil Milk-Clotting Protease untuk Fermentasi Keju Nanik Rahmani, Yana Nurita Sari, Nurheni Sri Palupi & Yopi Preferensi Ekologis Jenis-Jenis Tumbuhan Dominan di Gunung Endut, Banten E.N. Sambas, C. Kusmana, L.B. Prasetyo & T. Partomihardjo Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal Sulawesi Selatan yang Ditanam di Polibag Pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Pupuk Organik Titi Juhaeti, N Hidayati & M Rahmansyah Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi Hutan Berdasarkan Beberapa Parameter Fotosintesis Tinia Leyli Shofia Ahmad, Dede Setiadi, & Didik Widyatmoko Kajian Pemberian Pakan Alternatif terhadap Konsumsi, Kecernaan, dan Efisiensi Penggunaan Pakan pada Jelarang Paha Putih (Ratufa Affinis Raffles, 1821) Wartika Rosa Farida & Siti Nuramaliati Prijono Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur bagian berdasarkan profil Inter Short Sequence Repeat (ISSR) Kusumadewi Sri Yulita & BP Naiola
199
Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat
265
Himmah Rustiami Biotransformasi 2E-6E-Farnesol oleh Jamur Endofit Botryosphaeria sp. CA2C-3 yang Diisolasi dari Temu Hitam (Curcuma aeruginosa ROXB.) Andria Agusta Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti Nur Anita Gusnia, Agus Priyono Kartono, & Harnios Arief Vocalizations of Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Anura: Microhylidae) from the foot hills of Mount Salak, West Java Hellen Kurniati
209 219
233
245
255
283
289
301
7
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 2013
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823) yang Diberi Tambahan Pakan konsentrat Wartika Rosa Farida TULISAN PENDEK
Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju Deforestasi Hutan Mangrove di Indonesia Suyadi
8
Halaman 311
327
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 2013
UCAPAN TERIMA KASIH Jurnal Biologi Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pakar yang telah turut sebagai penelaah dalam Volume 9, No 2, Juni2013: Dr. Arjan Boonman , University of Tel Aviv, Israel Dr. Sri Sulandari Pusat Penelitian Biologi-LIPI Ir. Drs.Eko Harsono MSi, Puslit Limnologi-LIPI Dr. Yuyu Suryasari Poerba, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Tatik Kusniati Pusat Penelitian Biologi-LIPI Ir.Mumpuni, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Awal Riyanto, Pusat penelitian Biologi-LIPI Drs Nunuk Widyastuti MSi, Pusat penelitian Biologi-LIPI Dr.Laode Alhamd, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Edi Mirmanto, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Sarjiya Antonius, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Dwi Astuti, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Yopi. Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI Dr. Dedi Darnaedi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Dr. Atik Retnowati, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Ir. Titi Juhaeti MSi. Pusat Penelitian Biologi-LIPI Ir. SyamsulArifin Zein MSi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Drh. Dewi Ratih PhD, APV. Fakultas Kedokteran Hewan IPBBIOLOGI
,
9
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 2013
10
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 159-166 (2013)
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Detection of Infectious Bronchitis Antibody in Chickens using Local Isolate of PTS III (Enzyme-linked immunosorbent assay untuk mendeteksi antibodi infectious bronchitis pada ayam dengan isolat local) Risa Indriani & NLP Indi Dharmayanti Institute Centre Research of Veterinary, Jl. RE Martadinata no 30, Bogor 6114. E-mail:
[email protected] Memasukan: September 2012, Diterima: April 2013 ABSTRACT An indirect enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) was developed for screening of antibody to avian infectious bronchitis (IBV). Antigen was prepared from whole virus of infectious bronchitis local isolate PTS-III serotype. Optimum dilution with minimum background for antigen concentration, rabbit anti-chicken conjugate and sera in developed ELISA were determined 0.4μg/well, 1:2000 and 1:100, respectively. Correlation optical densities (OD) were compared with a standard commercial ELISA (R2=0.933). The developed ELISA has a better sensitivity to hemagglutination inhibition (HI) test. The developed local isolate ELISA can be used to detect antibody against infectious bronchitis virus and it is suitable for sample screening at the diagnostic laboratories. Keywords: ELISA, antibody, chicken, IB PTS-III local isolate
ABSTRAK Pengembangan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk mendeteksi antibodi virus infectious bronchitis (IB) pada ayam. Antigen ELISA IB disiapkan dari virus IB serotipe isolat lokal PTS-III. Pengenceran optimal pada konsentrasi antigen, konjugat rabbit anti-chicken, dan serum dengan background minimum dalam uji ELISA adalah 0.4μg, 1:2000 and 1:100 secara berurutan. Optical density (OD) dari serum IB positif pada uji ELISA yang dikembangkan dan ELISA standard mempunyai tingkat korelasi yang tinggi (R2=0.933). ELISA yang dikembangkan mempunyai tingkat sensitifitas lebih baik terhadap uji hemagglutination inhibition (HI). Uji ELISA IB serotipe isolat lokal PTS-III dapat digunakan untuk screening sampel dalam laboratorium diagnostik. Kata Kunci: ELISA, antibodi, ayam, IB isolat lokal PTS-III
INRODUCTION
peplomer S, the S2 glycoprotein forms the stalk and is anchored in the membrane, whereas the S1
Infectious Bronchitis virus (IBV) infects the respiratory tract, kidneys or oviduct of chick-
forms the outer bulbous part of the peplomer. The membrane (M) glycoprotein is embedded in
en of all ages causing retarded growth, mortality,
the viral lipid bilayer and is only partially (10%)
reduced egg production and inferior egg shell
exposed on surface of virion. The nucleocapsid
quality (King & Cavanagh 1991). The virus be-
(N) protein is located inside the virion, associated
long to family of Coronaviridae. Corona viruses
with viral RNA (Cavanagh 1983a,b,c). The role of
are enveloped, pleiomorphic, with a mean diameter of approximately 120 nm, club-shaped surface
the S1 glycoprotein in induction of humoral antibody responses, and it induces virus neutralizing
projections -the heavily glycosylate spike (S) gly-
(VN) and haemagglutination inhibiting (HI) an-
coprotein. IBVs contain four structural proteins.
tibodies (Cavanagh et al. 1984, Koch et al. 1990;
The S1 and S2 glycoproteins, from the spike or
Kant et al. 1992). The S1 glycoprotein has been
peplomer (S) located at surface of virion. In the
considered to be the most likely inducer of pro-
159
Indriani & Dharmayanti
tection (Cavanagh et al. 1986, Ignjatovic & Galli
for 72 hours. A thousand ml allantoic fluid was
1995) and cross-ractive epitopes are the most like-
harvested and clarified at 8000g for 30 minutes
ly to be involved in protection. The S2 glycoprotein carries epitop which induce cross-reactive
then EID50 was calculated. It was inactivated
antibodies (Kusters et al. 1989; Lenstra et al.
0.05% β-PL and centrifuged at 90.000g for 90 minute in a sorvall AT- 629 (32ml) at 40C. The
1989; Koch et al. 1990). Immunity to IBV has
pooled result was pelleted in TEN buffer (150
most often been assessed using traditional serolog-
mM NaCl, 10mM Tris-hydrochloride, and 1mM
ical assay; however, the enzyme-linked immuno-
EDTA, pH 7.4) and analyzed for protein content
sorbent assay (ELISA) is used on a more frequent basis to measure IBV antibodies (Case et al.1982).
by using Spectrophotometer/Nano Drop Tecnolo -gies ND-1000 base on Bradford’s method. The
The technique initially developed by Engvall &
solution was finally divided into several aliquots
Perlmann (1971) and has been widely used. The
and frozen at 700C.
use of ELISA offers a number of advantages com-
Serum IBV was prepared from 20 of spe-
pared with traditional serological assays, including increase sensitivity and simplicity of automation
cific pathogenic free chickens that reared under controlled conditions in the isolator (BSL-3) and
(Garcia & Bankowski 1981). The cross reactivity
vaccinated day 10 with live H120 (vaccine com-
of the IB ELISA with several strains of the virus
mercial), day 44 with inactivated oil-emulsion
and detection antibodies against other serotypes
vaccine PTS-III (BBALITVET) and day 57 chal-
(Zellen &Thorsen 1986 ; De Wit 2000) support the idea that ELISA is a promising tool for sero-
lenge with 107EID50 of the same virus. The chickens were bled at day 10, 24, 34, 44, 57, 70, 78
logical studies, especially for use in evaluating the
and 89 of age. A group of specific pathogenic free
efficacy of vaccination regimens and monitoring
chicken were reared as negative control and bled
the immune status of birds in a flock (Cavanagh
at the same time.
& Naqi 2003; Wing et al. 2002). Indirect ELISAs
Ortho-phenylene diamine (OPD) (Sigma
were adapted and standardized for detecting antibodies against whole virus, and S1, S2 and N pro-
P.23938) was used. Horeseradish peroxidase conjugated rabbit anti-chicken IgG (Sigma A.9046)
tein of IBV (Ignjatovic & Galli 1995; Wing et al.
was used.
2002) and compared with other serological test
Antigen was diluted at concentrations 4
(De Wit et al. 1997; Perrotta et al. 1988; Thater et
mg/ml, 2 mg/ml and 1 mg/ml in carbonate buff-
al. 1987). This paper describes study of indirect ELISA for detection of antibody against IBV by
er. Known positive IBV and negative sera was diluted at 1:100, 1:200 and 1:500 in dilution
using local isolate virus (PTS-III), which its
buffer. Conjugate was diluted at 1: 1000, 1:2000,
according to the virus circulating in the field.
1:3000 and 1:4000. Six replicated reaction were done. The color of reaction was obtained from Ortho-phenylene diamine. The Optical density
MATERIAL AND METHODS The local isolate IBV of PTS III as de-
were measured at 450 nm using an automatic ELISA reader (Multiskan EX, Thermo Lybsys-
scribed by Darminto (1992) was propagated in
tems) and the signal-to noise (S/N) ratio at the
specific pathogenic free emberyonated chicken
same dilution were evaluated.
eggs at day 10 (Biofarma, Indonesia) by infecting
The ELISA procedure was standardized on
the virus to allantoic fluid then incubated at 37 C
the method developed by Case et al (1982) with
0
160
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Detection of Infectious Bronchitis Antibody
some modification. IBV local isolate PTS-III of
deviation (STDEV) as cut-off value of the ELISA.
antigen was assay at concentrations 0.4 μg/50 μl/
The specificity of the developed ELISA was
well in carbonate buffer (0.1M NaCO3, 0.02% NaN3, pH 9.6). Flat bottomed micro plates
calculated as the percentage of negative in unvaccinated group and the sensitivity was calculated as
(Nunc) were coated antigen at same time. After
percentage of positives in vaccinated group. The
0
incubate at 4 C for one night, the wells were
result of serum obtain by the Elisa (local isolate
washed using washing buffer (0.15M NaCl, 2.5
PTS-III) were compared with those obtained by a
mM KCL, 1.5 mM NaH2PO4 H2O , 9.0 mM
commercial kit (IDEXX).
Na2HPO4 and 0.05% Tween 20, pH 7.4) with soaking for 5 minutes at room temperature in
Infectious Bronchitis antigen which tested by using ELISA was evaluated to determine anti-
each time and trapped out onto absorbent paper.
gen binding reaction and non specific antibodies
Fifty μl blocking buffer (0.15M NaCl, 2.5 mM
against other respiratory viral diseases (Infectious
KCL, 1.5 mM NaH2PO4 H2O, 9.0 mM
Laryngotrachitis).
Na2HPO4, 1mM EDTA, 0.5% Casein, and 0.05 % Tween 20, pH7.4) was added to each well. The
HI test which conducted by M41 antigen (kindly provided by BPMSOH), was used for the
plate was washed after incubation at 370C for 120
preparation of haemagglutinating antigen as de-
minutes. Serum samples were prepared by
scribed by King and Hopkins (1983) and Alexan-
diluting 1:100 in phosphate buffer saline (0.15M
der et al (1983).
NaCl, 2.5 mM KCL, 1.5 mM NaH2PO4 H2O , 9.0 mM Na2HPO4, 1mM EDTA, 0.1% Casein,
RESULTS
and 0.05 % Tween 20, pH7.4 ) then 50 μl was added to each well. The plate was washed after 0
Antigen, serum and conjugate dilution
incubation at 37 C for 60 minute. Horseradish
The protein content of prepared antigen of
peroxidase conjugated rabbit anti-chicken IgG
IBV local isolate PTS-III was 8.8 mg/ml base on
was prepared by diluting 1:2000 μl of conjugate buffer (0.5M NaCl, 2.5 mM KCL, 1.5 mM
Bradford’s method (Spectrophotometer/Nano Drop Tecnologies ND-1000). We obtained mini-
NaH2PO4 H2O, 9.0mM Na2HPO4, 1mM EDTA,
mal nonspecific binding at 8 mg protein /well.
0.1% Casein, and 0.05 % Tween 20, pH7.4 )
According to titration result by 0,4 μg/well anti-
then 50 μl was added to each well. The plate was
gen (dilution 1:1000/well), 1:100 chicken serum
0
washed after incubation at 37 C for 60 minute. A hundred μl of substrate (0.04% OPD, 0.04%
dilution and 1:2000 conjugate HRPO in S/N ratio which showed expensiveness of conjugate,
H2O2, 0.2M NaHPO4, 0.1 M Citric acid, pH5)
was chosen. Optical density of ELISA value for
was added and incubated at room temperature for
positive sera was 6 times greater to negative sera
45 minute then stopped by 1M H2SO4. Optical
(Figure 1.).
density of each serum was determined by using ELISA reader. Cut-off value of the ELISA was determined
Cross-reaction with other respiratory viral infection
by using optical density (OD) serum from unvac-
Non specific antibody reaction other res-
cinated group (as negative control). The average
piratory disease (ILT) in local isolate ELISA IB
value of OD serum was added three of standard
test the average value OD was 0.144, with STDV
161
Indriani & Dharmayanti
0.022, while the antigen control was 0.101 to
The HI titer (log2) of the positive sera were
0.002 STDV (Tabel 1.)
0.19, 3.45, 4.05, 3.95, 6.35, 8.3, 8.45, and 8.6
Optical density of the local isolate ELISA
respectively. In non-vaccinated group, HI titer at first and the end of test period were 2.05 and 2.1
Optical density obtained by local isolate
respectively. The peak titer in vaccinated group
PTS-III and commercial ELISAs were measured
was recorded at day 44 or after 34 days post vac-
from 180 specific pathogenic free chickens sera
cinated with H120 live vaccine and the titer in-
and 140 specific pathogenic free chickens sera
creased at day 57 (after 2 weeks booster vaccinat-
Optical density ELISA
infected IBV (Table 2)
Antigen content
Figure 1. Optimum dilution of antigen, sera and conjugate Tabel 1. Idetification reaction of non specific other respiratory virus (ILT)
? negative sera
? IB sera
? ILT sera
16 16 10
IBV Antigen ELISA Mean OD STDV
Control Antigen Mean OD STDV
0.162 0.993 0.144
0.155 0.144 0.101
0.001 0.005 0.022
0.101 0.002 0.002
Table 2. The result of 140 positive and 180 negative sera tested for IB antibody using local isolate PTS-III and commercial ELISAs
24
34
44
57
70
78
89
0.313
0.504
0.521
0.880
0.904
0.933
0.930
0.142
0.146
0.141
0.162
0.135
0.135
0.131
0.135
0.090
0.154
0.239
0.766
0.877
0.868
0.917
0.052
0.054
0.055
0.052
0.052
0.053
0.052
0.054
10
0.052
local isolate Elisa Standard commercial Elisa
89 *
0.144
Optical density
Specific pathogenic free chicken sera infected IBV 57 70 78 10 24 34 44 # # # ## * * $
Spesific pathogenic free chicken sera
= days chicken age after live vaccine, ## = days chicken after booster kill vaccine, *= days chicken age after challenge , $= days before vaccinated #
162
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Detection of Infectious Bronchitis Antibody
ed). Also the titer was increased rapidly after chal-
was slightly higher than hemaglutination inhibi-
lenge in ELISAs. Correlation between the local
tion test, i.e. 96.42% and 90% respectively.
isolate ELISA test and standard commercial ELISA was very high (R2=0.933) in vaccinated and
While percentage of specificity between local isolate PTS-III ELISA and hemaglutination inhibi-
challenged chicken sera, while at the unvaccinated
tion test were 100%.
chicken sera has no correlation (R2=0.010) DISCUSSION Cut off optical density of the ELISA The cut off for the standardized ELISA test was determined as mean of negative sera plus
Protective immunity to avian infectious bronchitis is not reflected by humoral antibodies,
thrice of the standard deviation 0.201 [0.141+
as shown by Davelaar & Kouwenhoven (1980).
(3x0.020)] (Figure 2.)
Nevertheless, monitoring antibodies after vaccination is a valuable procedure for indicating that responses have occurred. The local isolate ELISA test for measuring antibody level against IBV was
Sensitivity and specificity were evaluated
developed in this study. The test was standardized
using sample positive (S/P) ratio (Table 2). Per-
in term of reagent to obtain the significant S/N
centage of sensitivity local isolate PTS-III ELISA
ratio. ELISA test has been developed to monitor
Optical density
Specificity and Sensitivity of the local isolate ELISA
Number of sera
Figure 2. The cut off for standardized ELISA of local isolate PTS-III Table 4. Sensitivity and specificity the ELISA local isolate PTS-III dan HI E LISA reaction
C hicken S era
SPF chicken infected IBV
SPF chicken uninfected
Precentation
Local isolate IB Elisa
Positive
135 (a)
0 (b)
Sensitivity 96,42%
Negative
5 ( c)
180 (d)
Specificity 100%
Positive
126 (a)
0 (b)
Sensitivity 90%
Negative
14 ( c)
180 (d)
Specificity 100%
Hemaglutination Inhibition (HI) test
Sensitivity = (a) (a)+(c)
; Specificity = (d) (BALDOCK 1988) (d)+(b)
163
Indriani & Dharmayanti
antibody respond to vaccination against IB
that the developed local isolate PTS-III ELISA
(Monreal et al. 1985, Mockett and Darbyshire
could be reliable, repeatable and more sensitive
1981, Soula &Moreau 1981). Case et al. (1982) optimized the parameter of ELISA for detecting
for monitoring of vaccination schedules and for detection of early rising of antibodies against IB
antibody against IBV. They obtained minimal
rapidly.
nonspecific binding and very high sensitivity using purified IB as antigen 50 ng protein /well and
CONCLUSION
final NaCl concentration 1.0M in buffer. In this study it was obtained minimal nonspecific binding at 0.4 μg protein/well. According to titration
This study concluded that local isolate IB PTS III ELISA could be reliable, repeatable and
result base on 0.4 μg protein/well at 1:2000 con-
sensitive for monitoring of vaccination schedules
jugate showed similar significant difference in S/N
and detection of early rising of antibodies against
ratio, and cheaper conjugate was chosen. To elim-
IB rapidly.
inate non specific binding in the local isolate -III ELISA, we used blocking buffer (0,15M
AKNOWLEDGMENTS
NaCl, 2,5 mM KCL, 1,5 mM KH2PO4, 9,0 mM NaHPO4, 0.5% Casein, and 0.05 % Tween 20,
This research was supported by funds from
pH7.4) after coated antigen. The local isolate ELI-
a researcher budget of BBALITVET DIPA in
SA indicated low to moderate level after live vaccination and moderate to relatively high level of
2012. We thank Heri Hoerudin and Apipudin, and all collaborators helped for implementation of
antibody IB after injection of inactivated vaccine
this study
as well as commercial one. This data was agreed with HI results. In non-vaccinated group OD was
REFERENCES
lower then that the cut off (0.201) in the local isolate ELISA. Also, the titer of HI test which negative in this group parallel with the ELISAs
Alexander, DJ., WH. Allan, PM. Biggs, CD. Bracewell. JH. Darbyshire, PS. Dawson,
results. The OD of the ELISAs and HI titer in-
AH. Harris. FTW. Jordan, I. Macpherson,
creased slowly following live H120 vaccination
JB. McFerran, CJ. Randall, O. Swarbrick,
and more following oil vaccine injection.
& GP. Wilding. 1983. A satandard tech-
The sensitivity of local isolate PTS-III ELISA was slightly higher than hemaglutination inhi-
nique for haemagglutination inhibition test for antibodies to avian infectious bronchitis
bition test, i.e. 96.42% and 91,42% respectively.
virus. Vet. Rec. 113:64
The results showed specificity was equal 100%
Baldock, FC. 1988 . Epidemiological evaluation
between local isolate PTS-III ELISA and hemag-
of immunological test. Elisa technology in
lutination
researcher
diagnosis and research. JCU, Townsville, Aus-
demonstrated the high sensitivity of the ELISA and correlation of results obtained from the HI
tralia. 90-95. Cavanagh, D. 1983a. Coronavirus IBV glycopoly-
test in chicken sera infected intratarcheally with
peptides: size of their polypeptide moieties
IB strain M41 (Mockett & Darbyshire 1981;
and nature of their oligosaccharides. J. Gen.
Soula & Moreau 1981).
Vir. 64: 1187-1191.
inhibition
test.
Some
The result of antibodies titration showed
Cavanagh, D. (1983b) Coronavirus IBV: further 164
Enzyme-Linked Immunosorbent Assay for Detection of Infectious Bronchitis Antibody
evidence that the surface projections are asso-
Engvall, E., & P. Parlmann. (1971). Enzyme
ciated with two glycopolypeptides. J. Gen.
linked immunosorbent assay (ELISA) quan-
Vir. 64: 1787-1791. Cavanagh, D . (1983c) Coronavirus IBV: struc-
titative assay of immunoglobulin G. Immun. 8:871-874.
tural characterization of the spike protein. J.
Garcia, Z., &. RA. Bankowski. 1981. Compara-
Gen. Vir. 64: 2577-2583.
tion of a tissue-culture virus-netraliz ation
Cavanagh, D., JH. Darbyshire, P. DAVIS, &
test and the enzyme-linked immunosorbent
RW. Peter. 1984. Induction of humoral neu-
assay for measurement of antibodies to infec-
tralizing and haemagglutination-inhibiting antibody by the spike protein of avian infec-
tious bronchitia. Avian Diseases 25:121-130. Ignjatovic, J., & L. Galli. 1995. Immune respon
tious bronchitis virus. Avian Path. 13: 573-
to structural protein of avian infectious bron-
583.
chitis virus. Avian Path. 24:313-332
Cavanagh, D., PJ. Davis, JH. Darbyshire,
&
Kusters, JG., EJ. Jager, JA. Lenstra, G. Koch,
RW. Peters. 1986. coronavirus IBV: virus retaining spike glycopolypeptide S2 but not
WPA. Posthumus, RH. Meloen, & BAM. Van der Zeist. 1989. Analysis of an immu-
S1 is unable to induce virus-neutralizing or
nodominant region of infectious bronchitis
haemagglutination-inhibiting antibody, or
virus. J. Immun. 143: 2692-2698.
induce chicken tracheal protection. J. Gen.
Kant, A., G. Koch, DJ. van Roozelaar, JG.
Vir. 67: 1435-1442 Case, JT., AA. Ardans, DC. Bolton, & BJ. Reyn-
Kusters, FAJ. Poelwijk, & BMA. van der Zeijst, G. Koch, L. Hartog, A. Kant, & DJ.
olds. 1982. Optimization of parameter for
van Roozelaar. 1990. Antigenic domains on
detecting antibodies against infectious bron-
the peplomer protein of avian infectious
chitis virus using an enzimed-linkes Im-
bronchitis virus: correlation with biological
munosorbent Assay: Temporal respon to
functions. J. Gen. Vir.71: 1929-1935.
vaccination and challenge with live virus. Avian Diseases 27:196-210
Kant, A., G. Koch, DJ. van Roozelaar, JG. Kusters, FAJ. Poelwijk, & BMA. van Der
Davelaar, PG. & Kouwenhoven, B. 1980. Vac-
Zeijst 1992 Location of antigenic sites de-
cination of DOC broiler against infectious
fined by neutralizing monoclonal antibodies
bronchitis by eye drop application or coarse
on the S1 avian infectious bronchitis virus
droplet spray and the effect of revaccination by spray. Avian Pathology 9:499-510
glycopolypeptide. J. Gen. Vir., 73, 591-596. King, DJ., & SR. Hopkins 1983. Evaluation of
Darminto. 1992. Characterization of subtype In-
the
hemaggutination-inhibition
test
for
fectious Bronchitis virus local isolate. J. Pen-
measuring the response of chickens to avian
yakit Hewan 24: 78-81
infectious bronchitis virus vaccination, Avian
De Wit, JJ., DR. Mekkes, B. Kouwenhoven, &
Diseases 27:100-112
JHM. Verheijden.1997. Sensitivity and specificity of serological tests for infectious bron-
King, DJ. & D. Cavanagh. 1991. Infectious bronchitis, in: BW. Calnek, HJ. Barnes, CW.
chitis virus antibodies in broilers. Avian
Beard,WM. Reid & HW. Yoder (Eds) Dis-
Path. 26:105-118.
eases of Poultry, 9th edn, pp. 471-484
De Wit, JJ.(2000). Detection of infectious bronchitis virus. Avian Pathology 29:71-93.
Koch,G., L. Hartog, A. Kant & DJ. van Roozelaar. 1990. Antigenic domains on the 165
Indriani & Dharmayanti
peplomer protein of avain influenza bronchi-
neutralization assays for measuring protective
tis virus: correlation with biological fungtion.
antibody levels in chickens. Avian Diseases
J. Gen. Vir. 71: 1929-1935. Lenstra, JA., JG. Kusters, G. Koch. & BAM. van
32:451-460. Soula, A. & Y. Moreau. (1981). Antigen require-
Der Zeijst. 1989 Antigenicity of the
ments and specificity of a microplate enzyme
peplomer protein of infectious bronchitis
-linked immunosorbent assay (ELISA) for
virus. Mol. Immun. 26: 7-15.
detecting infectious bronchitis viral antibod-
Monreal, G., HJ. Baure & Wiegman. 1985.
ies in chicken serum. Archives Vir. 67:283-
Comparasion of the enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Hemagglutina-
295 Thater, SG., P. Villegas. & OJ. Fletcher. (1987).
tion inhibition test and agar gel precipitation
Comparison of two commercial enzyme-
test for detection of antibodies to avian in-
Linked Immunosorbent Assay and conven-
fectious bronchitis virus. Avian Path. 14:421
tional methods for avian serology. Avian Dis-
-434. Mockett,APA., & JH. Darbyshire. 1981. Co-
eases 31:120-124. Zellen, GK., &. J. Thorsen. (1986). Standardiza-
mapration studies with an enzyme-linked
tion and application of the Enzyme-Linked
immunosorbent assay (ELISA) for antibodies
Immunosorbent Assay for infectious bron-
to avian infectious bronchitis virus. Avian
chitis. Avian Diseases 30:695-698.
Pathology 10:1-10. Perrotta, C. C. Furtek, RA. Wilson, BS. Cowen
Wing, CH., CC. HONG, & JCH. SEAK. (2002). An ELISA for antibodies against
& RJ. Eckroade. 1988. A standardization
infectious bronchitis virus using an S1 spike
enzyme-linked immunosorbent assay for in-
polypeptide. Vet. Micro. 85:333-342.
fectious bronchitis virus: Comparison with hemagglutination-inhibition
and
virus-
166
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 167-174 (2013)
Karakterisasi Genetik Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Berdasarkan Penanda Molekuler Sequence-Related Amplified Polymorphism (Genetic Characterization of Tempuyung (Sonchus arvensis L.) Based on Sequence-Related Amplified Polymorphism Molecular Markers) Dyah Subositi* & Rohmat Mujahid Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Badan Litbang Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Jl. Raya Lawu, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, Tel.: (0271) 697010, Fax.: (0271) 697451, E-mail:
[email protected] Memasukkan: Februari 2013, Diterima: April 2013
ABSTRACT Tempuyung (Sonchus arvensis L.) is known as an important medicinal plant used as a diuretics and antihypertensives. This plant is widely distributed in Indonesia. Genetic diversity of tempuyung is important information as a database for further research especially in medicinal plant standardization. The objective of this study was to analyse genetic characterization of tempuyung based on SRAP (Sequence-related amplified polymorphism) molecular markers. Thirteen samples were collected from 8 different locations and amplified using 5 primer SRAP combinations. Similarity matrix was calculated using Dice coefficient. Unweighted Pair Group Method Using Arithmetic Mean (UPGMA) cluster analysis was performed to develop a dendrogram. The result indicates that there was a genetic variation among tempuyung accessions and divided into 4 clusters with similarity index of 0,7719. Citeureup and Turen3 accessions were the most closely similar with similarity index of 0,8936. In conclusion, SRAP markers may serve as an efficient and effective tools to analyze the genetic diversity among tempuyung accessions. Keywords: genetic characterization, tempuyung (Sonchus arvensis L.), SRAP ABSTRAK Tempuyung (Sonchus arvensis L.) banyak dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat untuk menurunkan tekanan darah tinggi dan peluruh air seni. Tempuyung mudah dan banyak dijumpai di berbagai tempat di Indonesia. Keragaman genetik tempuyung merupakan informasi penting sebagai data base untuk penelitian lebih lanjut terutama mendukung standarisasi tumbuhan obat. Penelitian ini bertujuan untuk karakterisasi genetik tempuyung menggunakan penanda molekular SRAP (Sequence-related amplified polymorphism). Sebanyak 13 aksesi tempuyung yang dikoleksi dari 8 lokasi digunakan sebagai sampel dan diamplifikasi menggunakan 5 pasang kombinasi primer SRAP. Indeks similaritas dihitung menggunakan rumus indeks similaritas Dice kemudian disusun analisis klaster dan konstruksi dendogram dilakukan dengan menggunakan metode Unweighted Pair Grup Method Using Aritmetic Method (UPGMA). Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi genetik antar aksesi tempuyung dan terbagi menjadi 4 klaster pada indeks similaritas 0,7719. Aksesi Citeurep dan aksesi Turen 3 mempunyai hubungan kemiripan yang terdekat pada indeks similaritas 0,8936.Penanda molekular SRAP merupakan teknik efektif dan efisien untuk karakterisasi genetik antar aksesi tempuyung. Kata Kunci: Karakterisasi genetik, tempuyung (Sonchus arvensis L.), SRAP
PENDAHULUAN
Sulawesi dan Papua. Tumbuhan tersebut dapat tumbuh di tempat dengan ketinggian 50-2400 m
Tempuyung (Sonchus arvensis L.) merupakan tumbuhan anggota familia Asteraceae dan
dpl dan banyak dijumpai di sekitar persawahan, tepi jalan, dan tebing (Backer & van den Brink
banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, Bali,
1965). Tempuyung banyak digunakan untuk 167
Subositi & Mujahid.
mengobati asma, batuk, beberapa keluhan sakit
kemudahan teknik RAPD dan hasil yang
pada dada, menenangkan saraf, anti radang,
mempunyai keakuratan tinggi seperti AFLP serta
peluruh air seni dan menurunkan tekanan darah tinggi. Tempuyung juga dilaporkan berfungsi
mampu mendeteksi polimorfisme di coding sequence yang umumnya terdapat di genom
sebagai insektisida. Flavonol, glikosida flavonol,
kultivar dan mempunyai tingkat mutasi yang
monoasil galaktosilgliserol, seskuiterpen lakton,
relatif rendah (Keyfi & Beiki 2012; Zeng et al.
dan asam kuinat berhasil diisolasi dari tanaman
2012).
ini (Xiang & Yu 2010).
digunakan untuk berbagai tujuan anatara lain
Keanekaragaman genetik pada suatu spesies sangat penting digunakan untuk menggambarkan
yaitu untuk identifikasi kultivar (Jianfeng et al. 2012), analisis keragaman genetik dan hubungan
daya adaptasi, seleksi genotip dan untuk merakit
kemiripan plasma nutfah (Alghamdi et al. 2012),
varietas baru, sidik jari genetik, serta manajemen
identifikasi dan karakterisasi genetik F1 hibrid
plasma nutfah. Karakter morfologi merupakan
(Zhang et al. 2012). Tujuan penelitian ini adalah
karakter yang banyak digunakan untuk sebagai langkah awal untuk identifikasi dan analisis
karakterisasi genetik aksesi tempuyung berdasarkan penanda molekular SRAP untuk mendukung
keanekaragaman genetik, karena karakter ini
standarisasi tumbuhan obat.
Penanda
molekular
telah
banyak
mudah diamati. Karakter morfologi mempunyai keterbatasan yaitu membutuhkan waktu penga-
BAHAN DAN CARA KERJA
matan yang lama dan membutuhkan ketelitian dan kemampuan dalam mencandra saat di
Koleksi sampel tempuyung dilakukan pada
lapangan serta mudah terpengaruh oleh kondisi
bulan Februari-Agustus 2012, wilayah pengum-
lingkungan (Fu et al. 2008; Meng et al. 2011).
pulan sampel meliputi provinsi Jawa Timur, Jawa
Perkembangan teknik penanda molekular
Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Barat,
memungkinkan untuk menganalisis genom secara
Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Barat.
langsung dan akurat sehingga dapat meminimalisasi kesalahan akibat faktor lingkungan. Berbagai
Sebanyak 52 aksesi tempuyung berhasil dikoleksi kemudian diamati pola spektrum FTIR (Fourier
macam teknik penanda molekular juga telah
transformed
banyak
dan
analisis hasil menggunakan PCA (Principal
identifikasi varietas pada tumbuhan (Abdelmigid
Component Analysis). Sebanyak 13 aksesi yang
2012). Penanda molekular tersebut antara lain Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP),
berbeda secara profil FTIR serta lokasi tumbuh dipilih sebagai sampel untuk analisis karakterisasi
Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD),
genetik (Tabel 1).
digunakan
untuk
karakterisasi
infrared
spectrophotometer)
dan
Amplified Fragment Length Polmorphism (AFLP),
Sebanyak 0,1 gram daun muda tempuyung
Mikrosatelit atau Simple Sequence Repeats (SSRs)
disimpan pada freezer -80°C kemudian diisolasi
dan Inter Simple Sequence Repeats (ISSRs)
menggunakan protokol dan kit isolasi DNA
(Muthusamy et al. 2008). Sequence-related amplified
polymorphism
(Sigma GenElute Plant Genomic DNA Miniprep Kit). Hasil isolasi DNA genom tempuyung
(SRAP) merupakan penanda molekular yang
diencerkan 1000X dan diukur absorbansi pada
ditemukan lebih akhir dibandingkan penanda
panjang gelombang 260 nm dan 280 nm (l 260/
molekular lainnya seperti RFLP, AFLP, RAPD,
280)
SSR
menentukan kemurnian dan konsentrasi DNA.
168
dan
ISSR.
SRAP
mengkombinasikan
menggunakan
spektrofotometer
untuk
Karakterisasi Genetik Tempuyung (Sonchus arvensis L.)
Tabel 1. Daftar aksesi tempuyung yang digunakan untuk karakterisasi genetik
No
No Koleksi
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2 3 15 25 27 34 36 37 47 48 49 50
13
52
Nama Aksesi Turen-2 Turen-3 Purwokerto Kalisoro Patuk Materia Medika Mataram Citereup B2P2TO-OT (1) B2P2TO-OT (2) B2P2TO-OT (3) B2P2TO-OT (4) B2P2TO-OT (campuran untuk QC)
Asal Turen, Malang Turen, Malang Purwokerto Tawangmangu, Karanganyar Gunung Kidul Materia Medika, Malang Mataram Citereup, Bandung Tawangmangu, Karanganyar Tawangmangu, Karanganyar Tawangmangu, Karanganyar Tawangmangu, Karanganyar Tawangmangu, Karanganyar
Keterangan Liar Liar Liar Liar Liar Budidaya Liar Liar Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya
tempuyung
Produk amplifikasi dicek menggunakan
menggunakan 5 kombinasi primer SRAP yaitu
elektroforesis gel agarosa 2% yang telah diberi
ME1-EM2, ME1-EM3, ME2-EM1, ME3-EM2 dan ME4-EM3 (Tabel 2). Protokol SRAP
SYBR safe green pada 80 volt selama 100 menit. Visualisasi hasil elektroforesis menggunakan sinar
berdasarkan Li & Quiros (2001) dengan modifi-
UV pada alat Gel Documentation System (BioRad).
kasi pada komposisi/campuran untuk reaksi PCR
Data diperoleh dari hasil visualisasi frag-
dan waktu elongasi terakhir. Sebanyak 3 μl
men DNA tiap aksesi tempuyung pada kombinasi
template (25 ng DNA genom), 0,6 μl primer
primer SRAP yang berbeda. Bila terdapat fragmen
reverse dan 0,6 μl primer forward, 13 μl PCR Mix, kemudian ditambah distillated water sampai
diberikan skor 1 dan bila tidak terdapat fragmen diberi skor 0. Indeks similaritas dihitung menggu-
volume 25 μl. Campuran tersebut dimasukkan
nakan rumus indeks similaritas Dice kemudian
dalam Thermocycler (BioRad) dengan program
disusun analisis kelompok (cluster analysis) dan
sebagai berikut: pre-denaturasi 94°C selama 5
konstruksi
menit, kemudian siklus pertama sebanyak 5 siklus terdiri atas fase denaturasi 94°C selama 1
menggunakan metode Unweighted Pair Grup Method Using Aritmetic Method (UPGMA). Data
menit, fase penempelan pada suhu 35°C selama 1
tersebut diolah menggunakan program komputer
menit dan fase elongasi/pemanjangan pada suhu
(software) NTSYS ver 2.02.
Amplifikasi
DNA
aksesi
dendogram
dilakukan
dengan
72°C selama 1 menit, selanjutnya diikuti oleh siklus kedua sebanyak 35 siklus terdiri atas fase denaturasi pada suhu 94°C selama 1 menit, fase
HASIL
penempelan pada suhu 50°C selama 1 menit dan
Sebanyak 48 fragmen DNA dihasilkan dari
fase elongasi pada suhu 72°C selama 1 menit.
amplifikasi menggunakan 5 kombinasi primer
Reaksi PCR diakhiri fase elongasi pada suhu 72°C
SRAP dengan jumlah ≥ 2 fragmen DNA tiap
selama 8 menit dan 4°C sebagai holding
primer (Tabel 3). Kombinasi primer ME2-EM1
temperature. 169
Subositi & Mujahid.
Tabel 2. Primer SRAP untuk analisis variasi genetik tempuyung No 1 2 3 4 5 6 7
Nama Primer
Sekuen 5’ TGAGTCCAAACCGGATA 3’ 5’ TGAGTCCAAACCGGAGC 3’ 5’ TGAGTCCAAACCGGAAT 3’ 5’ TGAGTCCAAACCGGACC 3’ 3’ GACTGCGTACGAATTAAT 5’ 3’ GACTGCGTACGAATTTGC 5’ 3’ GACTGCGTACGAATTGAC 5’
ME1 ME2 ME3 ME4 EM1 EM2 EM3
menghasilkan jumlah fragmen paling banyak
kombinasi
primer
ME3-EM2,
sedangkan
yaitu 17 fragmen, sedangkan primer ME1-EM3
kombinasi primer ME1 dan EM2 menghasilkan
menghasilkan fragmen paling sedikit yaitu 2 fragmen. Ukuran fragmen DNA yang dihasilkan
fragmen spesifik dengan ukuran sekitar 205 dan 300 bp pada aksesi Kalisoro dan fragmen spesifik
dari kombinasi primer ME1-EM2 berkisar antara
berukuran 130 dan 500 bp pada aksesi B2P2TO-
130-1050 bp, primer ME1-EM3 menghasilkan
OT (Campuran) (Gambar 1).
fragmen 160-250 bp, primer ME2-EM1 mengha-
Dendogram (Gambar 2) menunjukkan 13
silkan fragmen 40-1.620 bp, primer ME3-EM2
aksesi tempuyung terbagi menjadi 4 klaster.
menghasilkan fragmen 20-1.000 bp, sedangkan kombinasi primer ME4-EM3 menghasilkan
Indeks kemiripan genetik 13 aksesi tempuyung berkisar 74,93%-89,36%. Klaster I terdiri dari
fragmen 50-450 bp.
aksesi Citeurep, aksei Turen 2 dan aksesi
Polimorfisme tertinggi dihasilkan amplifi-
Mataram, Klaster II terdiri dari aksesi Materia
kasi menggunakan pasangan primer ME2-EM1
Medika Malang, aksesi B2P2TO-OT campuran,
yaitu 94,1%, polimorfisme terendah 50% bila diamplifikasi menggunakan pasangan primer
aksesi B2P2TO-OT 1, aksesi B2P2TO-OT 2, aksesi B2P2TO-OT 4, dan aksesi B2P2TO-OT
ME1-EM3, sedangkan polimorfisme rata-rata
3,
yaitu 77,1% (Tabel 3).
Purwokerto, sedangkan klaster IV terdiri dari
klaster
III
hanya
beranggotakan
aksesi
Lima kombinasi primer SRAP menghasil-
aksesi Turen-3, aksesi Patuk dan aksesi Kalisoro.
kan fragmen DNA dengan polimorfisme rata-rata yang cukup tinggi (77,1%) dan 4 kombinasi
Aksesi Citeurep dan aksesi Turen 3 mempunyai hubungan kemiripan yang terdekat dengan nilai
primer menghasilkan beberapa fragmen spesifik
indeks kesamaan/kemiripan sebesar 89,36% atau
tetapi kombinasi primer ME1-EM3 tidak dapat
0,8936.
menghasilkan
fragmen
spesifik
pada
aksesi
tertentu. Kombinasi primer ME4-EM3 mengha-
PEMBAHASAN
silkan fragmen spesifik untuk aksesi B2P2TO-OT (4) pada ukuran sekitar 80 bp, sedangkan primer
Lima kombinasi primer SRAP mengha-
ME2-EM1 menghasilkan primer spesifik untuk
silkan fragmen dan tingkat polimorfisme yang
aksesi Materia Medika Malang pada ukuran
cukup tinggi (77,1%), hal tersebut menunjukkan
sekitar 1620 bp dan fragmen spesifik ukuran
bahwa kombinasi primer SRAP terutama primer
sekitar 1140 bp pada aksesi Mataram. Aksesi Turen-2 mempunyai fragmen spesifik ukuran
ME1-EM2, ME2-EM1 dan ME3-EM2 efektif digunakan untuk karakterisasi genetik tempuyung
sekitar 200 bp jika diamplifikasi menggunakan
karena menghasilkan fragmen DNA banyak dan
170
Karakterisasi Genetik Tempuyung (Sonchus arvensis L.)
Tabel 3. Total fragmen DNA hasil amplifikasi dengan menggunakan 5 primer SRAP dan prosentase fragmen polimorfik pada 13 aksesi tempuyung. No
Total fragmen teramplifikasi
Kombinasi Primer ME1 : 5’ TGAGTCCAAACCGGATA 3’ EM2 : 3’ GACTGCGTACGAATTTGC 5’ ME1 : 5’ TGAGTCCAAACCGGATA 3’ EM3 : 3’ GACTGCGTACGAATTGAC 5’ ME2 : 5’ TGAGTCCAAACCGGAGC 3’ EM1 : 3’ GACTGCGTACGAATTAAT 5’ ME3 : 5’ TGAGTCCAAACCGGAAT 3’ EM2 : 3’ GACTGCGTACGAATTTGC 5’ ME4 : 5’ TGAGTCCAAACCGGACC 3’ EM3 : 3’ GACTGCGTACGAATTGAC 5’
1 2 3 4 5
Total
Fragmen Monomorfik
Prosentase Polimorfik (%)
11
3
72,7
2
1
50
17
1
94,1
11
3
72,7
7
3
57,1
48
11
Rata-rata
77,1
L
37
36
34 2
3
15
25
27 47 48 49
50
52
L
L
37
36
34
2
3
15
25
27 47
48 49
50 52
L
3.000 bp 3.000 bp
1.000 bp
1.000 bp
500 bp
500 bp
200 bp
500 bp
100 bp
300 bp 205 bp
100 bp
130 bp
A
B
Gambar 1. Fragmen DNA Tempuyung hasil amplifikasi dengan menggunakan primer SRAP (A: kombinasi primer ME1-EM2 dan B: kombinasi primer ME3-EM2)
polimorfisme tinggi. Variasi prosentase polimorfis
dapat dijadikan sebagai marka identifikasi, akan
-me menggambarkan perbedaan genetik antar dan
tetapi perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
di dalam populasi dan atau genotip yang diteliti serta kombinasi primer SRAP yang digunakan
terkait dengan jenis penanda molekular dan jumlah sampel yang digunakan. Primer SRAP
selain itu primer yang menghasilkan polimorfisme
terdiri dari primer forward yang mengamplifikasi
fragmen
studi
daerah ekson dan primer reverse mengamplifikasi
keragaman genetik dan untuk membedakan antar
daerah intron dan daerah yang mempunyai
genotip (Abdelmigid 2012; Alghamdi 2012).
promoter. Polimorfisme yang teramati berasal dari
Adanya fragmen spesifik yang terdapat pada beberapa aksesi jika diamplifikasi menggu-
variasi panjang ekson, intron, promoter dan spacer baik antar individu maupun antar spesies (Li &
nakan kombinasi primer SRAP tertentu dapat
Quiros 2001). Menurut Noormohammadi et al.
digunakan sebagai penanda untuk karakterisasi
(2011) adanya fragmen/lokus spesifik pada
ataupun identifikasi aksesi tersebut. Kusumadewi
beberapa kultivar atau aksesi menunjukkan
dkk. (2010) menyatakan bahwa pita-pita DNA yang unik dan dijumpai pada populasi tertentu
terjadinya insersi/ delesi di DNA pada genotip dimana hal tersebut berguna untuk perencanaan
tinggi
lebih
efisien
untuk
171
Subositi & Mujahid.
hibridisasi. Primer SRAP mempunyai desain unik
kemiripan atau kesamaan aksesi kemungkinan
sehingga teknik tersebut lebih reprodusibel, stabil,
karena mempunyai tetua yang sama. Hasil yang
lebih sederhana dibandingkan dengan teknik molekular lainnya.
sama terjadi pada karakterisasi genetik kultivar alfalfa menggunakan penanda molekular SRAP,
mampu
terdapat klaster yang beranggotakan kultivar
menunjukkan adanya keragaman genetik diantara
alfalfa berdasarkan kemiripan kondisi lingkungan
13 aksesi tempuyung pada indeks kemiripan
asal (Yuan et al. 2011). Seluruh anggota klaster II
berkisar 74,93%-89,36%. Hal tersebut mengin-
merupakan aksesi yang telah dibudidayakan yaitu
dikasikan keragaman genetik yang sempit antar aksesi tempuyung. Klaster II (Gambar 2) menun-
di B2P2TO-OT Tawangmangu dan di Materia Medika Malang, hal tersebut menunjukkan
jukkan anggota klaster terdiri dari sebagian besar
bahwa penanda molekular SRAP mampu menge-
aksesi berasal dari B2P2TO-OT Tawangmangu.
lompokkan aksesi berdasarkan karakter budidaya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa penanda
Seehalak et al. (2006) menyatakan variasi genetik
molekular SRAP mampu mengelompokkan beberapa aksesi-aksesi menjadi satu klaster berda-
yang sempit antar aksesi yang telah dibudidayakan kemungkinan disebabkan karena dibudidayakan
sarkan lokasi asal sampel atau tempat tumbuh
dalam jangka waktu yang lama sehingga aksesi
yang sama. Menurut Shafie et al. (2011) tingkat
telah beradaptasi dengan kondisi agroklimat.
Penanda
molekular
SRAP
kemiripan yang tinggi berkorelasi dengan kondisi
Penanda molekular SRAP merupakan pe-
tempat tumbuh yang sama atau mirip. Lima aksesi B2P2TO-OT menjadi satu klaster
nanda paling kuat untuk analisis keanekaragaman genetik pada kultivar rumput Bucholoe dactyloides
kemungkinan disebabkan berasal dari tetua yang
dibandingkan dengan penanda molekular SSR,
sama, dibudidayakan dalam jangka waktu lama
ISSR dan RAPD (Budak et al. 2004). Penanda
dan tumbuh pada kondisi lingkungan yang sama.
molekular SRAP mampu menujukkan adanya
Al-Rawashdeh
variasi
(2011)
menyatakan
bahwa
genetik
yang
sempit
antar
aksesi
Citeurep Turen-2 Mataram Materiamedika B2P2TO-OT(QC) B2P2TO-OT(1) B2P2TO-OT(2) B2P2TO-OT(4) B2P2TO-OT(3) Purwokerto Turen-3 Patuk Kalisoro
0.70
0.75
0.80
0.85
0.90
Koefisien
Gambar 2. Dendogram 13 aksesi tempuyung berdasarkan penanda molekular SRAP
172
Karakterisasi Genetik Tempuyung (Sonchus arvensis L.)
tempuyung. Variasi genetik tersebut kemung-
Budak, H., RC. Shearman, I. Parmaksiz, RE.
kinan disebabkan adanya perbedaan budidaya dan
Gaussoin, TP. Riordan, & I. Dweikat. 2004.
tetua aksesi tempuyung. Informasi tersebut merupakan salah satu data untuk mendukung
Molecular characterization of buf-falograss germplasm using sequence-related amplified
standarisasi tempuyung sebagai bahan baku serta
polymorphism markers. Theor. Appl. Genet.
penelitian lebih lanjut pengembangan aksesi
108: 328-334.
tempuyung. Penanda molekular SRAP dapat
Fu, XP., GG. Ning, LP. Gao, & MZ. Bao. 2008.
digunakan untuk identifikasi secara molekular
Genetic diversity of Dianthus accessions as
pada tempuyung.
assessed using two molecular marker systems (SRAPs and ISSRs) and morpho-logical
UCAPAN TERIMA KASIH
traits. Sci. Horticult. 117: 263– 270. Jianfeng, H., Q. Yonghua, M. Hingxia, Z.
Penelitian ini ini adalah salah satu bagian
Chunyang, Y. Zixing, & H. Guibing. 2012.
penelitian yang dibiayai dari DIPA Tahun 2012 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tum-
Molecular marker analysis of ‘Shatangju’ and ‘Wuzishatangju’ mandarin (Citrus reticulata
buhan Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-
Blanco). Afri. J. Biotech. 11(89):15501-
OT), Badan Litbang Kesehatan.
15509. Keyfi, F., & AH. Beiki. 2012. Exploitation of
DAFTAR PUSTAKA
random amplified polymorphic DNA (RAPD) and sequence-related amplified
Abdelmigid, HM. 2012. Efficiency of random
polymorphism (SRAP) markers for genetic
amplified polymorphic DNA (RAPD) and
diversity of saffron collection. J. Med. Plants
inter-simple sequence repeats (ISSR) markers
Res. 6(14): 2761-2768.
for genotype fingerprinting and genetic
Kusumadewi, Y., YS. Purba, & T. Partomihardjo.
diversity studies in canola (Brassica napus). Afri. J. Biotech. 11(24): 6409-6419.
2010. Keragaman Genetika Ramin [Gonystylus bancanus (Miq.) Kurz] dari
Al-Rawashdeh, IM. 2011. Genetic Variability in a
Provinsi Riau Berdasarkan Profil Random
Medicinal Plant Artemisia judaica using
Amplified Polymorphic DNA. J. Biol.
Random
Indonesia 6(2): 173-183.
Amplified
Polymorphic
DNA
(RAPD) Markers. Inter. J. Agri. Ecol. 13:279 -282.
Li, G., & CF. Quiros. 2001. Sequence–related amplified polymorphism (SRAP), a new
Alghamdi, SS., SA. Al-Faifi, HM. Migdadi, MA.
marker system based on a simple PCR
Khan, EH. El-Harty, & MH. Ammar. 2012.
reaction: Its application to mapping and
Molecular
gene tagging in Brassica. Theor. Appl. Genet.
Diversity
Assessment
Using
Sequence Related Amplified Poly-morphism
103: 455-461.
(SRAP) Markers in Vicia faba L. Int. J. Mol. Sci. 13: 16457-16471.
Meng, L., HX. Yang, PC. Mao, HW. Gao, & FD. Sun. 2011. Genetic diversity analysis of
Backer, CA. & RCB. van den Brink. 1968. Flora
Arrhenatherum elatius germplasm with inter-
of Java (spermatophytes only) Vol. 2. Walters
simple sequence repeat (ISSR) markers. Afri.
Nordoff, NY Groningen, The Netherlands.
J. Biotech. 10(44): 8729-8736.
173
Subositi & Mujahid.
Muthusamy,
S.,
S.
Kanagarajan,
&
S.
Xiang,
ZXIA., & LJ.Yu. 2010. Steroids and
Ponnusamy. 2008. Efficiency of RAPD and
Phenols from Sonchus arvensis. Chin. J. Nat.
ISSR Markers System in Genetic Variation of Rice Bean (Vigna umbellata) Landraces.
Med . 8(4): 267-269. Yuan, Q., J. Gao, Z. Gui, Y. Wang, S. Wang, X.
Elec. J. Biotech. 11(3): 1-10.
Zhao, B. Xia, & XL. Li. 2011. Genetic
Noormohammadi, Z., F. Shojaei-Jesvaghani, M.
relationships
among
alfalfa
gemplasms
Sheidai, F. Farahani, & O. Alishah. 2011.
resistant to common leaf spot and selected
Inter simple sequence repeats (ISSR) and
Chinese cultivars assessed by sequence-
random amplified polymorphic DNA (RAPD) analyses of genetic diversity in Mehr
related amplified polymorphism (SARP) markers. Afri. J. Biotech. 10(59): 12527-
cotton cultivar and its crossing progenies.
12534.
Afri. J. Biotech. 10(56): 11839-11847.
Zhang, F., YY. Ge, WY. Wang, XL. Shen, & XY.
Seehalak, W., N. Tomooka, A. Waranyuwat, P.
Yu. 2012. Assessing genetic divergence in
Thipyapong, P. Laosuwan, A. Kaga, & DA. Vaughan. 2006. Genetic diversity of the
interspecific hybrids of Aechmea gomosepala and A. recurvata var. recurvata using
Vigna
and
inflorescence characteristics and sequence-
neighbouring regions revealed by AFLP
related amplified polymorphism markers.
analysis. Gen. Res. Crop Evo. 53(5): 1043-
Genet. Mol. Res. 11 (4): 4169-4178.
germplasm
from
Thailand
1059. Shafie, SB., SMZ. Hasan, AM. Zain, & RM.
174
Zeng, B., GZ. Wang, FY. Zuo, ZH. Chen, & XQ. Zhang. 2012. Genetic diversity analysis cocksfoot
(Dactylis
glomerata
Shah. 2011. RAPD and ISSR markers for
of
L.)
comparative analysis of genetic diversity in
accessions with sequence-related amplified
wormwood capillary (Artemisia capillaris)
polymorphism (SRAP) and inter-simple
from Negeri Sembilan, Malaysia. J. Med.
sequence repeat (ISSR) markers. Afri. J.
Plants Rese. 5(18): 4426-4437.
Biotech. 11(67):13075-13084.
Jurnal Biologi Indonesia 9(2) 175-182 (2013)
Karakteristik Populasi Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) yang Tertangkap di Sumatera Selatan (Population Characteristics of the Asiatic Softshell Turtle Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) Harvested in South Sumatera) Agus Arifin Sentosa, Danu Wijaya & Astri Suryandari Balai Penelitian Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Jl. Cilalawi No. 01 Jatiluhur, Purwakarta 41152; E-mail:
[email protected] Memasukan: Januari 2013, Diterima: April 2013 ABSTRACT The Asiatic softshell turtle Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) is one of the reptile commodities included in CITES Appendix II with vulnerable status according to IUCN. The species has been harvesting, especially for export purpose in South Sumatera. The reseach was aimed to know the population characteristics of the Asiatic softshell turtle harvested in South Sumatera. The study was carried out based on enumerators approach from July to Desember 2012 in South Sumatera. The data enumeration also has been collected from the 1st collectors. Data analysis included the size distribution of carapace curve length (CCL), carapace curve width (CCW), body weight, sex ratio, age structure, CCL-weight relationship and von Bertalanffy growth parameters. The results showed that there were recorded 306 individuals of A. cartilaginea (92% adult) with sex ratio male and female is 42:58. Its has carapace curve length range from 10 to 75.5 cm, carapace curve width 9 to 59.5 cm and body weight 0.02 to 40 kg. A. cartilaginea growth pattern was negatively allometric (b = 2.727). The von Bertalanffy growth formula of A. cartilaginea in South Sumatera was PLK(t) = 78,75{1-exp[-0,18(t-(-0,72)]} cm. Keywords: Amyda cartilaginea, population characteristics, South Sumatera ABSTRAK Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) merupakan salah komoditi reptilia yang dikategorikan ada dalam CITES Appendiks II dengan status IUCN vulnerable. Jenis ini telah digunakan sebagai komoditi ekspor dari Sumatera Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik populasi labi-labi yang dipanen dari Sumatera Selatan. Kajian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yang didasarkan pada hasil penangkapan dari pengumpul selama bulan Juli-Desember 2012 di Sumatera Selatan. Data yang dikumpulkan adalah nisbah kelamin, struktur umur, bobot badan panjang lengkung karapas (PLK) dan lebar lengkung karapas (LLK), rasio panjang lengkung karpas dengan bobot badan, dan pola pertumbuhan von Bertalanffy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tercatat ada 306 individu yang digunakan dalam analisis ini yang terdiri dari A. cartilaginea (92% dewasa) dengan nisbah kelamin 42:58. Panjang lengkung karapas 10-75,5 cm, lebar karapas 9-59,5 cm dan bobot badan 0,02-40 kg dengan pola pertumbuhan negative (b=2,727). Formula pertumbuhan von Bertalanffy di Sumatera Selatan adalah PLK(t) = 78,75{1-exp[-0,18(t-(-0,72)]} cm Kata Kunci: Amyda cartilaginea, karakteristik populasi, Sumatera Selatan
PENDAHULUAN
Indonesia dijumpai di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Bali, dan Lombok (Auliya 2007; Iverson
Labi-labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770) merupakan jenis kura-kura air tawar dari
1992). Menurut Iskandar (2000), labi-labi ini umumnya dijumpai di daerah yang tenang dan
famili Trionychidae, ordo Testudines yang
berarus lambat.
menyebar luas di Asia Tenggara (Iskandar 2000;
Labi-labi, merupakan salah satu satwa air
van Dijk 2000). Penyebaran A. cartilaginea di
yang masuk ke dalam komoditas perikanan. Labi175
Sentosa, dkk.
labi jenis tersebut di Indonesia telah dimanfaatkan
labi-labi di provinsi tersebut. Penelitian ini
untuk
bertujuan
kepentingan
konsumsi
dan
sebagai
untuk
mengetahui
karakteristik
peliharaan (Kusrini et al. 2009). Pemanfaatan labi -labi di Indonesia sudah berlangsung lama
populasi labi-labi (A. cartilaginea) yang tertangkap di Sumatera Selatan. Karakteristik populasi
mengingat hewan tersebut termasuk satwa liar
tersebut meliputi sebaran ukuran labi-labi hasil
yang
di
tangkapan, nisbah kelamin, struktur umur, pola
Indonesia. Walaupun demikian, secara interna-
pertumbuhan dan persamaan pertumbuhan von
sional, spesies tersebut telah masuk ke dalam
Bertalanffy. Hasil penelitian diharapkan dapat
Appendix II CITES dan dikategorikan vulnerable (rentan) pada Red Data Book IUCN.
bermanfaat dalam rangka penyediaan data dan informasi ilmiah untuk mendukung pengelolaan
Salah satu daerah penyebaran labi-labi yang
dan penetapan status perlindungan labi-labi di
tidak
dilindungi
oleh
peraturan
telah diketahui adalah di Sumatera Selatan
Indonesia, khususnya di Sumatera Selatan.
(Kasmiruddin 1998; Oktaviani & Samedi 2008). Secara umum, wilayah Sumatera Selatan merupakan daerah potensi labi-labi mengingat
BAHAN DAN CARA KERJA
93,05% wilayahnya merupakan bagian dari
Penelitian dilakukan di Kota Palembang,
daerah aliran sungai, termasuk di dalamnya
Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten
daerah rawa. Menurut Oktaviani et al. (2008),
Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan pada
topografi wilayah Sumatera Selatan dengan 25% daerah rawa yang mempunyai karakteristik
bulan Juli, Oktober dan Desember 2012 (Gambar 1). Pemantauan populasi labi-labi dilakukan
berarus lambat dengan dasar lumpur atau gambut
dengan pendekatan kunjungan kepada para
merupakan habitat bagi A. cartilaginea.
pengumpul di tingkat pertama (Riyanto &
Pemanenan labi-labi di Sumatera Selatan
Mumpuni 2003) yang ditentukan secara snowball
yang cukup tinggi mendorong perlunya informasi
sampling berdasarkan informasi dari pengumpul
mengenai aspek biologi populasi labi-labi di daerah tersebut. Penilaian Non Detrimental
besar di Palembang. Pengertian pengumpul tingkat pertama adalah pengumpul labi-labi yang
Findings
A.
menerima hasil tangkapan labi-labi dari alam
cartilaginea di Sumatera Selatan mengindikasikan
secara langsung dari penangkap. Survei lapangan
bahwa populasi spesies tersebut di alam dalam
berupa
kondisi terancam kerusakan (Oktaviani & Samedi 2008).
punah
tertangkap juga dilakukan untuk memperoleh gambaran kondisi habitat labi-labi secara umum.
Informasi ilmiah terkait keberadaan A.
Obyek penelitian adalah labi-labi dari
cartilaginea di Sumatera Selatan masih relatif
spesies Amyda cartilaginea dengan identifikasi
terbatas, beberapa diantaranya telah dipublikasi-
mengacu kepada Ernst & Barbour (1989) dan
kan oleh Kasmiruddin (1998), Oktaviani &
Iskandar (2000). Data ukuran A. cartilaginea
Samedi (2008), Oktaviani et al. (2008) dan Mumpuni & Riyanto (2010). Penelitian lanjutan
diperoleh dari pengumpul pertama yang kemudian berperan sebagai enumerator pencatat
mengenai beberapa aspek biologi populasi labi-
data tangkapan labi-labi. Enumerator tersebut
labi di Sumatera Selatan masih diperlukan dalam
telah dilatih untuk mencatat data ukuran labi-labi
rangka monitoring populasi dan melengkapi serta
yang tertangkap pada log book yang telah
menyediakan informasi terkini terkait keberadaan
disediakan
176
(NDF)
terhadap
pemanfaatan
atau
peninjauan
habitat
(Oktaviani
&
labi-labi
Samedi
biasa
2008).
Karakteristik Populasi Labi-Labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770)
menerima hasil tangkapan labi-labi untuk semua ukuran tanpa seleksi sebelumnya. Jenis kelamin labi-labi ditentukan dengan membandingkan panjang dan bentuk ekor. Betina umumnya memiliki ekor yang pendek dan gempal, sementara jantan memiliki ekor yang lebih panjang dan ramping (Ernst & Barbour 1989).
Gambar 1. Lokasi penelitian di Sumatera Selatan
Data morfologi yang diperoleh kemudian dianalisis dengan statistik deskriptif meliputi
Penapisan dan pensejajaran tingkat penumpul
rerata (μ) dan simpangan baku (σ) dan distribusi frekuensi. Perbedaan dimorfisme antar jenis
sebagai sumber data telah dilakukan dalam upaya
kelamin dilakukan uji t dimana sebelumnya
untuk menghindari pengukuran/perhitungan ganda (Mumpuni & Riyanto 2010). Oleh karena
sebaran data tersebut berdistribusi normal (Oktaviani et al. 2008). Analisis nisbah kelamin
itu, enumerator yang ditunjuk hanya pada tingkat
dilakukan untuk mengetahui proporsi jantan
pengumpul pertama yang saling independen.
betinanya.
Setiap individu labi-labi diukur oleh enu-
Analisis hubungan PLK-berat dilakukan
merator segera pada saat kedatangan labi-labi dari
untuk mengetahui pola pertumbuhan labi-labi (Oktaviani et al. 2008) menggunakan rumus:
penangkap/penjual ke pengumpul. Enumerator tersebut mencatat data hasil tangkapan labi-labi
W = a (PLK)b
selama bulan Juli hingga Desember 2012. Data
dimana W adalah berat labi-labi (gram), PLK
yang terkumpul oleh enumerator akan divalidasi
adalah panjang lengkung karapas (cm) serta a dan
terlebih dahulu sebelum digunakan dalam analisis
b adalah konstanta. Nilai b yang diperoleh diuji
untuk menghindari kesalahan pencatatan. Parameter yang dicatat dalam format log
ketepatannya terhadap nilai b = 3 menggunakan uji-t dengan tingkat kepercayaan 95% (Effendie
book enumerator adalah data morfologi, jenis ke-
2002)
lamin dan asal lokasi tangkap labi-labi. Penguku-
Penentuan struktur umur didasarkan pada
ran morfologi dilakukan dengan metoda curveline
hasil pengukuran PLK labi-labi. Klasifikasi struk-
menurut Nuitja (1992), meliputi pengukuran panjang lengkung karapas (PLK) dan lebar
tur umur disajikan pada Tabel 1. Data panjang lengkung karapas yang diperoleh dari pengukuran
lengkung karapas (LLK) menggunakan pita
langsung. Data enumerator dikelompokkan da-
ukuran dengan ketelitian 1 mm serta berat tubuh
lam suatu tabel distribusi frekuensi panjang untuk
labi-labi menggunakan timbangan komersial.
mengetahui parameter pertumbuhan labi-labi
PLK
diukur
mulai
anterior
hingga
yang dianalisis menggunakan model pertumbu-
posterior pada bagian tengah karapas sedangkan LLK diukur dari sisi kiri ke kanan pada bagian
han von Bertalanffy (Macale et al. 2009; Effendie 2002) dengan rumus:
tengah karapas (Oktaviani et al. 2008). Pengukuran tersebut dilakukan terhadap keseluruhan hasil
PLK(t) = PLK∞{1-exp[-k(t-to)]} Metode
penentuan
panjang
lengkung
tangkapan labi-labi. Semua ukuran PLK dan LLK
karapas asimtot (PLK∞) dan koefisien pertum-
dicatat mengingat pengumpul tingkat pertama
buhan (k) diduga menggunakan metode She177
Sentosa, dkk.
pherd yang terdapat pada paket perangkat lunak
Pola Pertumbuhan
FiSAT II untuk memaksimalkan nilai non
Hubungan panjang lengkung karapas dan
parametriknya (Gayanilo et al. 2005). Umur teoritis (to) diduga menggunakan persamaan
berat labi-labi disajikan pada Tabel 3. Berdasarkan uji t terhadap nilai b = 3 diketahui
empiris Pauly (1983) dengan rumus:
bahwa nilai b jantan dan betina tidak sama
log –(to)= -0,3922-0,2752 log PLK∞ - 1,038 log k
dengan 3 (P<0,05) sehingga dikatakan bahwa pola pertumbuhan labi-labi tersebut bersifat
HASIL
allometrik. Perhitungan untuk labi-labi jantan
Morfologi dan Sebaran Ukuran
dan gabungan keduanya menunjukkan pola allometrik negatif (b<3) dimana pertambahan
Data hasil pengukuran morfologi dan
panjang lengkung karapas lebih cepat dari
sebaran ukuran labi-labi disajikan pada Tabel 2
pertambahan beratnya, sedangkan labi-labi betina
dan Gambar 2. Secara umum, nilai rerata PLK,
menunjukkan pola allometrik positif (b>3)
LLK dan berat labi-labi jantan relatif lebih besar dibandingkan betina. Sebaran ukuran PLK labi-
dimana pertambahan PLK lebih lambat dari pertambahan beratnya (Effendie 2002).
labi jantan cenderung lebih besar dibandingkan
Pola pertumbuhan tersebut relatif sama
betina, namun sebaran LLK cenderung sama.
dengan penelitian Oktaviani et al. (2008) yang
Secara umum, labi-labi paling banyak tertangkap
menyebutkan bahwa pola pertumbuhan labi-labi
pada kisaran panjang 30 – 40 cm, baik PLK maupun LLK. Sebaran berat tubuh labi-labi
di Sumatera Selatan bersifat allometrik negatif (b<3). Kondisi tersebut diduga terkait dengan
jantan dan betina cenderung memiliki pola yang
kelimpahan makanan, genetik, dan kondisi
hampir sama dimana modus ukuran berat berada
lingkungan. Pendugaan parameter pertumbuhan von
pada kisaran 0–5 kg.
Bertalanffy untuk A. cartilaginea dengan metode Nisbah Kelamin dan Struktur Umur Berdasarkan hasil pengamatan terhadap
ELEFAN I pada paket program FiSAT menunjukkan nilai panjang lengkung karapas asimtot
306 ekor sampel labi-labi didapatkan nisbah
(PLK∞) sebesar 78,75 cm, koefisien pertum-
kelamin jantan dan betina adalah 1:1,37 atau
buhan (k) sebesar 0,18 tahun-1 dan t0 sebesar -
42,16% jantan dan 57,84% betina. Walaupun
0,72 tahun dengan indek performansi pertumbu-
individu betina lebih banyak tertangkap dibandingkan jantan, namun kedua jenis kelamin labi-
han (growth performance index/Φ) berkisar antara 2,7 – 4,7 dengan persamaan sebagai berikut:
labi tersebut memiliki peluang tertangkap yang
PLK(t) = 78,75{1-exp[-0,18(t-(-0,72)]}
sama. Struktur umur sampel labi-labi yang
Profil pertumbuhan von Bertalanffy A.
berhasil diamati didominasi oleh labi-labi dewasa.
cartilaginea di Sumatera Selatan disajikan pada
Tabel 1. Struktur umur A. cartilaginea berdasarkan hasil pengukuran PLK (Kusrini et al. 2007)
Gambar 4.
K elas U m u r
PLK
S tru ktu r U m u r
I
= 5,9 cm
Tukik (hatchling)
II
6 – 19,9 cm
Rem aja
III
20 – 24,9 cm
D ewasa m uda
IV
= 25 cm
D ewasa
178
PEMBAHASAN Secara umum, labi-labi yang tertangkap di Sumatera
Selatan
memiliki
ukuran
yang
bervariasi, namun secara umum terdapat ukuran
Karakteristik Populasi Labi-Labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770)
ukuran
memiliki pertumbuhan berat yang lebih cepat.
tersebut diduga merupakan labi-labi yang siap
Hal tersebut diduga terkait dengan metabolisme
untuk ditangkap. Peluang labi-labi jantan dan betina untuk tertangkap adalah sama karena
dan pola reproduksi dimana labi-labi betina mengandung telur setelah dibuahi oleh pejantan
eksploitasi
(Iskandar 2000).
yang
dominan
tertangkap.
labi-labi
Modus
oleh
penangkap
tidak
mempertimbangkan jenis kelamin. Penangkapan
Pendugaan parameter kurvatur PLK∞, k
labi-labi di Sumatera Selatan tidak ada seleksi
dan to bagi labi-labi dilakukan dengan asumsi
hasil tangkapan berdasarkan ukurannya, sehingga
bahwa pertumbuhan organisme akan mencapai
peluang semua ukuran labi-labi untuk tertangkap adalah sama sehingga sebaran ukuran tangkapan
suatu batas ukuran tertentu dan sampel yang diperoleh dari pengumpul dianggap sebagai
tersebut dianggap dapat mencerminkan kondisi
sampel acak. Hal yang mendasari penggunaan
populasi di alam (Mumpuni & Riyanto 2010).
model pertumbuhan von Bertalanffy bagi spesies
Secara statistik, uji t pada karakter
A. cartilaginea adalah penelitian Macale et al.
morfologi labi-labi PLK dan berat menunjukkan ada perbedaan antara morfologi jantan dan betina
(2009) yang menduga pertumbuhan kura-kura Mesir (Testudo kleinmanni).
(P<0,05), namun untuk karakter LLK relatif tidak
Nilai PLK∞ labi-labi di Sumatera Selatan
berbeda nyata (P>0,05). Hal tersebut menunjuk-
sebesar 78,75 cm dan nilai tersebut lebih rendah
kan
Menurut
dari yang dilaporkan oleh Lim & Das (1999)
Oktaviani et al. (2008), penentuan individu jantan dan betina juga dapat dilihat lebih jelas
yang mencapai 83 cm. Iskandar (2000) menyebutkan bahwa diameter punggung labi-labi
dari perbedaan bentuk dan ukuran ekornya pada
dapat mencapai 100 cm, meskipun umumnya
individu dewasa yang mempunyai PLK ≥ 25 cm.
hanya hingga 60 cm saja. Perbedaan nilai tersebut
adanya
dimorfisme
seksual.
Berdasarkan hubungan PLK dengan berat
diduga terkait dengan perbedaan habitat. Laju
diketahui bahwa labi-labi betina cenderung
eksploitasi yang semakin meningkat juga diduga
Tabel 2. Morfologi A. cartilaginea yang terukur di Sumatera Selatan JANTAN
PLK (cm)
Jumlah (ekor)
129
Min
akan menurunkan nilai panjang asimtot karena hewan tidak memiliki kesempatan untuk tumbuh (Effendie 2002).
LLK (cm)
Berat (kg)
13
12
0,4
Max
75,5
59,5
40
dengan penelitian Lilly (2010) di Ketapang, Kalimantan Barat dimana labi-labi betina lebih
Rerata
38,34
30,31
8,17
banyak tertangkap dibandingkan jantan. Namun,
Std
10,923
8,053
6,478
yang perlu diperhatikan adalah ancaman terhadap
BETINA
PLK (cm)
LLK (cm)
Berat (kg)
Jumlah (ekor)
177
Min
10
9
0,02
tinggi (Iskandar 2000). Nisbah kelamin labi-labi betina yang lebih besar dibandingkan jantan di
Max
67
59
28
alam menunjukkan kondisi populasi yang baik
Rerata
34,97
29,25
5,87
karena
Std
8,124
6,536
3,942
menghasilkan telur yang akan meregenerasi kelas
A. cartilaginea betina banyak tertangkap di Sumatera Selatan. Hasil penelitian tersebut sama
pertumbuhan populasi labi-labi mengingat labilabi betina memiliki potensi reproduksi yang lebih
labi-labi
betina
berperan
dalam
179
Sentosa, dkk.
Gambar 2. Sebaran ukuran PLK, LLK dan berat A. cartilaginea di Sumatera Selatan
untuk menjaga stoknya di alam. Hasil pengama-
umur selanjutnya. Struktur umur contoh labi-labi yang
tan menunjukkan bahwa 59% labi-labi jantan
berhasil diamati didominasi oleh labi-labi berumur dewasa. Hal tersebut diduga terkait
dan 47% labi-labi betina banyak tertangkap pada ukuran berat 5 – 15 kg. Hal tersebut menunjuk-
dengan ukuran berat labi-labi dewasa yang lebih
kan ketidakpatuhan terhadap aturan yang berlaku
besar dibandingkan dengan yang muda sehingga
dan isu IUU (Illegal, Unreported, Unregulated)
lebih menguntungkan mengingat harga labi-labi
pada pemanfaatan labi-labi di Sumatera Selatan
ditentukan
masih tetap berlangsung.
berdasarkan
beratnya.
Kondisi
tersebut serupa dengan penelitian Lilly (2010) dimana hasil tangkapan A. cartilaginea di
Oktaviani & Samedi (2008) mengindikasikan adanya ancaman terhadap populasi A.
Kabupaten Sambas dan Ketapang, Kalimantan
cartilaginea.
Barat didominasi oleh kelas umur dewasa.
meningkat apabila labi-labi yang tertangkap
Ancaman
tersebut
semakin
A. cartilaginea telah masuk dalam CITES
sedang bertelur atau mempunyai daya reproduksi
dengan ketentuan batasan ukuran yang diperbolehkan untuk dipanen adalah untuk individu
yang tinggi. Labi-labi betina dewasa memiliki peranan penting dalam proses reproduksi
dengan berat hidup < 5 kg dan > 15 kg mengingat
sehingga
ukuran tersebut adalah ukuran produktif bagi labi
berlangsung tanpa kendali, maka kelestarian
-labi (Mardiastuti 2008). antara diduga masih
populasinya akan terganggu atau bahkan menuju
produktif dan pelarangan penangkapan dilakukan
kepunahan.
180
jika
eksploitasi
terhadap
labi-labi
Karakteristik Populasi Labi-Labi Amyda cartilaginea (Boddaert, 1770)
Tabel 3. Hubungan PLK dan berat A. cartilaginea di Sumatera Selatan No.
Jenis Kelamin
1
Jantan
2
Betina
3
Gabungan
R2
n (ekor)
Pola Pertumbuhan
2,748
0,955
129
allometrik negatif
3,283
0,920
177
allometrik positif
2,727
0,868
308
allometrik negatif
PLK vs W W = 0,300 PLK W = 0,043 PLK W = 0,363 PLK
sebagian besar termasuk dalam kategori betina dewasa produktif dengan pola pertumbuhan yang bersifat alometrik negatif. Nilai PLK∞ labi-labi cenderung lebih kecil dibandingkan informasi sebelumnya. Hal ini menunjukkan populasi labilabi di Sumatera Selatan berpotensi teramcam Gambar 3. Nisbah kelamin (a) dan struktur umur (b) A. cartilaginea di Sumatera Selatan
keberadaannya akibat eksploitasi berlebihan atau perubahan habitat, sehingga upaya pengawasan perdagangan lebih ketat dan penentuan daerah perlindungan bagi labi-labi agar populasinya tetap terjaga. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Ir. Mumpuni dan Dian Oktaviani, S.Si., M.Si atas saran dan masukan selama penelitian ini. Terima
Gambar 4. Profil pertumbuhan von Bertalanffy A. cartilaginea di Sumatera Selatan
kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan di
Selain ancaman eksploitasi, habitat labi-labi
Balai Penelitian Perikanan Perairan Umum (BPPPU) Palembang, Balai Konservasi Sumber
di alam yang mulai rusak juga turut berperan da-
Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sumatera Selatan,
lam menekan populasi A. cartilaginea di alam. Peninjauan habitat menunjukkan banyak habitat
para enumerator dan seluruh pihak yang telah
labi-labi yang beralih fungsi menjadi lahan perke-
didanai oleh DIPA Balai Penelitian Pemulihan
bunan sawit. Kondisi tersebut hampir sama
dan Konservasi Sumber Daya Ikan (BP2KSI) Jatiluhur, Purwakarta Tahun Anggaran 2012.
dengan
habitat
kura-kura
baning
Sulawesi
membantu tim selama di lapangan. Penelitian ini
(Indotestudo forstenii) yang juga banyak beralih fungsi menjadi habitat perkebunan cokelat yang menyebabkan populasi baning tersebut menjadi
DAFTAR PUSTAKA
menurun (Riyanto et al. 2010).
Auliya, M. 2007. An Identification Guide to the Tortoise and Freshwater Turtles of Brunei
KESIMPULAN DAN SARAN
Darussalam, Indonesia, Malaysia, Papua New Guinea, Philippines, Singapore and Timor
Labi-labi (Amyda cartilaginea) di Sumatera Selatan tertangkap pada setiap kelas ukuran dan
Leste. TRAFFIC Southeast Asia. Petaling Jaya. Malaysia. 98 p. 181
Sentosa, dkk.
Effendie, MI. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta. 163 p.
Mardiastuti, A. 2008. Harvest Sustainability of Asiatic Softshell Turtle Amyda cartilaginea in
Ernst, CH. & RW. Barbour. 1989. Turtle of the World. Smithsonian Intitution Press.
Indonesia. Director General of Forest Protection and Nature Conservation Republic of
Washington DC and London: 96–110.
Indonesia as CITES Management Authority
Gayanilo, FCJr., P, Sparre & D. Pauly. 2005.
Indonesia. 13 p.
FAO-ICLARM Stock Assessment Tools II
Mumpuni & A. Riyanto. 2010. Harvest,
(FiSAT II). Revised version. User's Guide.
Population and Natural History of Shoft-
FAO Computerized Information Series (Fisheries). No. 8, Revised version. FAO
Shelll Turtle (Amyda cartilaginea) in South Sumatera, Jambi and Riau Provinces,
Rome. 168 p.
Indonesia. A Report to APEKLI. Research
Iskandar, DT. 2000. Kura-Kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini dengan Catatan
Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI). 26 p.
Mengenai Jenis-Jenis di Asia Tenggara. PAL Media Citra. Bandung. 191 p.
Nuitja, INS. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. IPB Press. Bogor. 128 p.
JB. 1992. A Revised Checklist with
Oktaviani, D., N. Andayani, MD. Kusrini & D.
Distribution Maps of the Turtles of the World.
Nugroho. 2008. Identifikasi dan Distribusi
Privately printed. Richmond. Indiana. 363
Jenis Labi-Labi (Famili: Trionychidae) di
p. Kasmiruddin. 1998. Morfologi dan Keragaman
Sumatera Selatan. J. Penel. Perikanan Indo. 14 (2): 145 – 157.
Iverson,
cartilaginea
Oktaviani, D. & Samedi. 2008. Status Peman-
(Testudines: Trionychidae) dari Bengkulu
faatan Labi-Labi (Famili: Trionychidae) di
dan Palembang. [Tesis]. Bogor: Institut
Sumatera Selatan. J. Penel. Perikanan Indo.
Pertanian Bogor. 61 p.
14 (2): 159 – 171.
Genetik
Labi-Labi,
Amyda
Kusrini, MD., A. Mardiastuti, B. Darmawan, Mediyansyah & A. Muin. 2009. Laporan Sementara Survei Pemanenan dan Perdagangan Labi-Labi di Kalimantan Timur.
Pauly, D. 1983. Some Simple Methods for the Assessment of Tropical Fish Stocks. FAO Fisheries Technical Paper (254): 52 p. Riyanto, A. & Mumpuni. 2003. Metoda Survei dan Pemantauan Populasi Satwa: Kura-
NATURE Harmony. Bogor. 43 p. Lilly, L. 2012. Karakteristik Populasi Panenan (Amyda cartilaginea) di Kabupaten Sambas dan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat.
Kura. Bidang Zoologi. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong. 24 p. Riyanto, A., S. Soemarno & A. Farajallah. 2010.
[Tesis]. Bogor: IPB. 50 p. Lim, BL. & I. Das. 1999. Turtles of Borneo and
Laju Kehilangan dan Kondisi Terkini Hab-
History
itat Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii)
Publications (Borneo), Sdn. Bhd. Kota Kinabalu. 151 p.
di Semenanjung Santigi, Sulawesi Tengah, Indonesia. J.Biol. Indonesia 6 (2):185– 194.
Macale, D., M. Scalici & A. Venchi. Growth,
van Dijk, PP. 2000. The Status of Turtles in Asia.
Peninsular
Malaysia.
Natural
Mortality and Longevity of the Egyptian Tortoise Testudo kleinmanni Lortet, 1883. Israel J. Ecol. & Evol. 55: 133 – 147. 182
Chelonian Research Monograph 2: 15–23 p.
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 183-197 (2013)
Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya di Koridor Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat (Effects of road on understory plant diversity and its habitat in corridor of Halimun Salak National Park, West Java) Iyan Robiansyah & Danang W. Purnomo Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor-LIPI Jl.Ir.H. Juanda 13 Bogor 16003, Email:
[email protected] ,
[email protected] Memasukkan: Februari 2013, Diterima: April 2013 ABSTRACT The road across the forest can cause the diversity exchange in the forest ecosystem. Distribution of the exotic species caused by the road are the main factor affecting the extinction of the native plants. The forest corridor in Halimun Salak National Park is separated by the road which is connecting five villages in surroundings. The aims of the research were to determine the response of diversity and abundance of the understory plants to the road existence, to obtain the effect of the road to the habitat condition, and to identify the exotic plants and its relation to the road. Vegetations were observed by transect sampling system, 5 transects of 150 m length were placed in forest corridor side along the road. In each transect, there were 12 sampling plots (1m x 1m) placed in distance (from the road): 0, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 45, 60, 90, 120, and 150 m from the road. The distance of each transect was approximately 100 m and each transect were placed in the corridor area having forest buffer about 100 m distance. There were 117 plant species including 9 exotic species. Plant community analysis using Squared Euclidean Distance (SED) showed that road side area to 5 m in distance showed the different composition of the understory plant to inside the forest. Exotic plants and grass dominated in the area close to the road. Canopy cover in the road side to 10 meter to the forest was relatively opened than inside the forest. Plant diversity analysis on both of all species and local species using Canonical Correspondence Analysis (CCA) showed that species diversity of understory plants was not significantly affected by the distance from the road. Nevertheless, distance from the road was a main factor influencing the exotic species, while distance of 0 m showed the highest exotic plants diversity. Keywords: Corridor, exotic plant, Halimun Salak National Park, road, squared euclidean distance, understory plant ABSTRAK Jalan yang melintas di dalam hutan dapat mempengaruhi perubahan keanekaragaman tumbuhan pada ekosistem hutan. Penyebaran jenis tumbuhan eksotis sebagai dampak adanya jalan turut menyebabkan terjadinya kepunahan tumbuhan lokal. Koridor di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) terbelah oleh jalan yang menghubungkan 5 desa di sekitarnya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memeriksa respon keanekaragaman dan kelimpahan tumbuhan bawah terhadap jalan, mengamati pengaruh jalan terhadap kondisi habitat, dan mengetahui jenisjenis tumbuhan eksotis dan hubungannya dengan keberadaan jalan. Vegetasi diamati menggunakan sistem sampling transek, dimana 5 transek sepanjang 150 m ditempatkan pada tepi koridor di sepanjang jalan. Setiap transek dibuat 12 plot (1m x 1m) yang ditempatkan di sepanjang jalan pada jarak: 0, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 45, 60, 90, 120, dan 150 m dari jalan. Masing-masing transek dibuat dengan jarak antar transek 100 m dan diletakkan pada tempat dimana terdapat minimal 100 m hutan penyangga. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa terdapat 117 jenis tumbuhan dan 9 jenis diantaranya adalah jenis eksotis. Hasil analisis komunitas tumbuhan menggunakan Squared Euclidean Distance (SED) menunjukkan bahwa daerah pinggir jalan sampai dengan jarak 5 m memiliki komunitas tumbuhan yang berbeda dengan komunitas yang terdapat di dalam hutan. Jenis tumbuhan eksotis dan rumputrumputan lebih dominan di daerah dekat jalan. Tutupan kanopi di pinggir jalan sampai jarak 10 m relatif rendah dari pada tutupan kanopi di dalam hutan. Hasil analisis keragaman tumbuhan terhadap semua jenis dan terhadap jenis lokal saja menggunakan Canonical Correspondence Analysis (CCA) menunjukkan bahwa kekayaan jenis tidak bervariasi secara signifikan tehadap jarak. Walaupun demikian, jarak dari jalan merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi kekayaan jenis tumbuhan eksotis; jarak 0 m memiliki keanekaragaman jenis eksotis paling tinggi dibandingkan jarak lainnya. Kata kunci: Koridor, jenis eksotis, TNGHS, jalan, squared euclidean distance, tumbuhan bawah
183
Robiansyah & Purnomo
ka antara lain macan tutul jawa (Panthera pardus
PENDAHULUAN
melas), owa jawa (Hylobates moloch), surili Jalan adalah sarana yang sangat dibutuhkan oleh manusia, yang digunakan setiap hari dan
(Presbytis aygula), lutung budeng (Trachypithecus auratus), dan juga ajag (Cuon alpinus) (Prawira-
terdapat di setiap lingkungan yang dihuni manu-
dilaga dkk. 2002; Hartono dkk. 2007).
sia. Jalan seringkali juga mempengaruhi keseim-
TNGHS terdiri dari dua ekosistem utama,
bangan ekosistem alami dengan beberapa cara,
yaitu ekosistem Gunung Halimun dan Gunung
yaitu kerusakan ekosistem yang terjadi ketika
Salak. Keduanya dihubungkan oleh sebuah kori-
pembangunan jalan, tewasnya hewan karena bertabrakan dengan kendaraan, berubahnya
dor yang berfungsi sebagai tempat terjadi aliran genetik. Secara administratif, koridor ini terletak
perilaku
fisik
di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bogor dan
lingkungan, berubahnya komposisi kimia habitat,
Sukabumi. Total jumlah penduduk di dalam ka-
bertambahnya perubahan habitat oleh manusia,
wasan koridor pada tahun 2004 adalah 19.714
dan menyebarnya jenis tumbuhan (Trombulak & Frissell 2000).
eksotik
jiwa dengan rata-rata laju pertumbuhan penduduk 2.64% per tahun. Tingginya jumlah
Penyebaran jenis tumbuhan eksotik memi-
penduduk di dalam koridor taman nasional
hewan,
berubahnya
kondisi
terhadap
menuntut adanya jalan sebagai jalur transportasi
Penyebarannya
bagi warganya. Hingga tahun 2004, total panjang
dianggap sebagai faktor terbesar kedua penyebab kepunahan tumbuhan di dunia, setelah kerusakan
jalan yang terdapat di dalam koridor adalah sekitar 98 km.
liki
pengaruh
keanekaragaman
yang
paling
tumbuhan.
besar
Pengaruh
dan alih fungsi kawasan (Huston 1994; Wilcove
keberadaan
jalan
terutama
et al. 1998; Pimentel dkk. 2000; Levine et al.
penyebaran jenis tumbuhan eksotik terhadap
2003). Jalan dapat menjadi sarana penyebaran
keanekaragaman tumbuhan di dalam koridor
tumbuhan eksotik dengan cara menyediakan
secara spesifik belum diteliti hingga saat ini. Pada
koridor (Tyser & Worley 1992) dan habitat yang sesuai untuk invasi, yaitu berupa tingginya tingkat
tahun 1998 dilakukan kajian vegetasi di kawasan koridor TNGHS oleh Endangered Species Team
gangguan, tanah yang kaya hara (Trombulak &
GHSNPMP-JICA dan ditemukan 280 jenis
Frissell 2000) dan tangkapan sinar matahari
vegetasi berasal dari 197 suku (GHSNPMP-JICA
(Parendes & Jones 2000; Watkins et al. 2003).
2007b). Tim ini menemukan dua jenis eksotik
Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) memiliki ekosistem hutan hujan tropis
dan berpotensi invasif, yaitu Maesopsis manii dan Calliandra calothyrsus.
pegunungan terluas di Pulau Jawa (GHSNPMP-
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
JICA 2007a). Selain sebagai kawasan tangkapan
pengaruh jalan terhadap keanekaragaman tumbu-
air, TNGHS juga merupakan habitat bagi bebera-
han bawah di koridor TNGHS dengan indicator
pa flora dan fauna unik dan langka. TNGHS
penelitian yang dilihat adalah:1) respon keaneka-
memiliki setidaknya 500 jenis tumbuhan, yang tergolong ke dalam 266 marga dan 93 suku
ragaman dan kelimpahan tumbuhan bawah koridor TNGHS terhadap jalan, 2) pengaruh
(Wiriadinata 1997). Tercatat sekitar 244 jenis
jalan
burung, 27 jenis di antaranya adalah jenis en-
TNGHS, dan 3) mengetahui jenis-jenis tumbu-
demik, dan 61 jenis mamalia termasuk jenis lang-
han eksotik di koridor TNGHS.
184
terhadap
kondisi
habitat
di
koridor
Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya
BAHAN DAN CARA KERJA
perkampungan, sawah, kolam, sungai dan pertambangan. Pada hutan primer, jenis-jenis tum-
Penelitian ini dilakukan di koridor TNGHS yang memiliki luas 4.206,18 ha dan
buhan yang banyak dijumpai antara lain Puspa (Schima wallichii), kimerak (Weinmannia blumei),
termasuk dalam 5 wilayah administrasi desa, yaitu
paku
Desa Purasari dan Purwabakti yang berada di Ka-
gemelliflora, Castanopsis argentea, Cryptocarya
bupaten Bogor serta Desa Cihamerang, Cipeu-
mentek dan Litsea robusta.
siuer
(Cyathea
junghuniana),
Quercus
teuy dan Kabandungan yang terletak di Kabupat-
Sebanyak 5 transek sepanjang 150 m
en Sukabumi. Kelima desa ini dihubungkan oleh jaringan jalan sepanjang sekitar 98 km atau sekitar
ditempatkan di hutan sepanjang jalan yang melintasi di kawasan koridor TNGHS. Masing-
0.70% total luas kawasan koridor. Kondisi jalan
masing transek dibuat dengan jarak minimum
pada umumnya berupa tanah yang dilapisi batu
antar transek 100 m dan diletakkan pada tempat
sungai dengan beberapa bagian dilapisi dengan
dimana terdapat minimal 100 m hutan penyang-
aspal. Pada penelitian ini, jalan yang dievaluasi pengaruhnya terhadap tumbuhan bawah adalah
ga pada kedua sisi jalan untuk menghindari edge effects dari pembabatan hutan, celah kanopi yang
jalan utama yang melintasi Desa Cipeuteuy
besar atau jalan lainnya. Pada tiap transek, petak 1
(Gambar 1). Kondisi tutupan hutan pada koridor
m x 1 m dibuat pada setiap jarak berikut (dari
saat ini hanya tersisa di wilayah Desa Cipeuteuy,
jalan): 0, 5, 10, 15, 20, 30, 40, 45, 60, 90, 120,
sedangkan sebagian besar telah beru-bah menjadi lahan pertanian dan perkebunan.
dan 150 m. Persentase tutupan kanopi dari jenis tumbuhan bawah, tinggi kurang dari 1 m, dicatat
Tipe penutupan lahan di dalam koridor
di setiap petak. Juga diamati beberapa faktor ling-
didominasi oleh semak belukar (32,29%), hutan
kungan seperti ketebalan serasah, kemiringan la-
sekunder (18,05%) dan hutan primer (6,38%).
han, tunggul, serasah, dan tutupan tanah (bare
Sisanya merupakan campuran dari perkebunan,
ground). Squared Euclidean Distance (SED) yang dihitung dari rataan kelimpahan jenis di lima desa digunakan untuk membandingkan perbedaan komposisi jenis antara dua jarak yang berdekatan (Jongman dkk. 1995) dan untuk mengamati perubahan komunitas tumbuhan antara jenis tumbuhan di jalan dan jenis tumbuhan di dalam hutan. SED dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Dimana i adalah individu pada masingmasing jenis, S adalah jumlah total jenis, X adalah rataan dari kelimpahan jenis, A dan B adalah dua jarak petak yang berdekatan dan p adalah jumlah
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Koridor TNGHS
total petak sampling. Untuk melihat apakah ada komunitas khas dari tumbuhan bawah yang terdapat di lokasi 185
Robiansyah & Purnomo
penelitian dan faktor-faktor lingkungan yang
tumbuhan antara 0 dan 5 m, perbedaan ini tidak
mempengaruhinya, pada data jenis tumbuhan
ditemukan pada kelas jarak lainnya.
bawah dan faktor lingkungan dianalisis dengan Canonical Correspondence Analysis (CCA) CANO-
Terdapat tiga faktor lingkungan dalam CCA yang secara nyata mempengaruhi variasi di
CO. Untuk melihat pengaruh jalan terhadap kon-
dalam data penyebaran jenis tumbuhan, yaitu
disi habitat, dihitung rataan dari setiap faktor
tutupan serasah (F=1,64; P=0,005), jarak plot
lingkungan yang diukur kemudian memplotkann-
(F=1,60;
ya terhadap jarak. Kekayaan jenis dan Shannon-
(F=1,53; P=0,003). Gambar 3 menunjukkan bah-
Wiener Diversity Index (H) dianalisis dengan atau tanpa tumbuhan eksotik. Untuk melihat
wa sedikit sekali perbedaan antara kelompokkelompok tumbuhan (eksotik, rumput-rumputan,
pengaruh jarak dari jalan terhadap kekayaan jenis
herba, semak, liana dan pohon; lihat Lampiran 1
dan H dihitung dengan Analysis of Variance
untuk pengelompokkan tumbuhan). Setiap ke-
(ANOVA). Selain itu, Uji Student-Newman-Keuls
lompok tumbuhan menyebar dan saling tumpang
(SNK) juga digunakan untuk melihat hubungan antara kekayaan jenis tumbuhan dan H terhadap
tindih yang menandakan tidak adanya kelompok tumbuhan yang spesifik di lokasi penelitian. Wa-
jarak dari jalan.
laupun demikian, beberapa jenis tumbuhan
P=0,003)
dan
kemiringan
tanah
eksotik, yaitu A. inulifolium, C. hirta, E. sonchifolia dan P. conjugatum, berkorelasi negatif dengan
HASIL diamati,
jarak petak. Sementara tutupan serasah dan kemiringan tanah pada A. conyzoides, N. lappace-
ditemukan 117 jenis tumbuhan yang berasal dari
um, O. corniculata dan P. paniculata. Selain itu,
55 suku (Lampiran 1). Sebanyak 9 jenis diketahui
sebagian jenis rumput-rumputan lebih menyukai
merupakan tumbuhan eksotik, yaitu Ageratum
berada di pinggir jalan yang memiliki tutupan
conyzoides (L.) L. (Compositae), Austroeupatori-
serasah dan kemiringan tanah yang rendah.
um inulifolium (Kunth) R.M.King & H.Rob. (Compositae), Clidemia hirta (L.) D. Don
Tidak ada pola yang jelas untuk semua faktor lingkungan dengan jarak jalan, kecuali pa-
Dari
total
60
petak
yang
(Melastomataceae), Emilia sonchifolia (L.) DC. ex DC (Compositae), Nephelium lappaceum L. (Sapindaceae), Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr (Davalliaceae), Oxalis corniculata L. (Oxalidaceae), Paspalum conjugatum P.J.Bergius (Poaceae) dan Polygala paniculata L. (Polygalaceae). Semua jenis eksotik ini ditemukan dalam rentang 5 m dari jalan, kecuali pada jenis C. hirta dan N. falcata yang ditemukan hingga jarak 150 m dari jalan. Nilai SED menunjukkan tingginya perbedaan komposisi tumbuhan antara jarak 0 dan 5 m (Gambar 2). Nilai perbedaan pada jarak ini paling tinggi dibandingkan dengan kelas jarak lainnya yang menunjukkan adanya pergeseran komunitas 186
Gambar 2.Perubahan nilai Squared Euclidean Distance (SED) terhadap jarak dari jalan menuju hutan. Nilai SED dan variasi (2 x standard deviation) tertinggi ditemukan dekat dengan jalan
Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya
Gambar 3. Canonical Correspondence Analysis (CCA) dari jenis tumbuhan dan variabel lingkungan. Hanya faktor lingkungan yang signifikan dengan jenis tumbuhan, berupa jarak petak, tutupan serasah dan kemiringan tanah.
da tutupan tanah (Spearman R2=0,32; P=0,014) 2
analisis, penurunan jumlah jenis yang paling besar
dan kemiringan (Spearman R =0,34; P=0,008)
terjadi di dekat jalan (0 m). Untuk nilai H, jarak
yang secara nyata berkorelasi positif (Gambar 4). Tutupan tanah tertinggi terdapat pada jarak 150
tidak berpengaruh secara nyata ketika semua jenis diikutsertakan dalam analisis (Gambar 5). Ketika
m dari jalan, sedangkan yang terendah terdapat
jenis eksotik dipisahkan, jarak lebih mendekati
pada jarak 15 m, yang disebabkan oleh tingginya
nilai signifikan dalam mempengaruhi H (F=1,89;
tutupan serasah yang mencapai hingga sekitar
P=0,064). Hasil uji SNK menunjukan bahwa H
70%. Lokasi di pinggir jalan merupakan tempat
pada 0 m merupakan yang paling rendah dan se-
yang paling datar dibandingkan dengan lokasi lainnya. Semakin masuk ke dalam hutan, lokasi
baliknya pada jarak 120 m, sedangkan untuk jarak lainnya tidak ada perbedaan yang nyata.
menjadi semakin berbukit dan berlereng terjal.
Jarak dari jalan merupakan faktor yang
Variasi rataan tutupan serasah, tutupan kanopi
signifikan mempengaruhi kekayaan jenis tum-
dan ketebalan serasah tidak terlalu berbeda di se-
buhan eksotik (F=4,28; P=0,000) dan rumput-
tiap jarak, secara berturut-turut berkisar antara 50 -70%, 40-80% dan 2-4 cm. Walaupun demikian,
rumputan (F=4,99; P=0,000). Hasil uji SNK menunjukkan bahwa kekayaan jenis eksotik dan
tutupan kanopi dipinggir jalan sampai jarak 10 m
rumput pada 0 m tertinggi dibandingkan dengan
relatif rendah daripada tutupan kanopi di dalam
jarak lainnya, sedangkan untuk jarak lainnya tidak
hutan, kecuali pada jarak 45 m. Tutupan tunggul
ada perbedaan yang signifikan (Gambar 5).
hanya terdapat pada jarak 10 m, 30 m dan 150 m dengan rataan yang cukup kecil, berkisar antara 1
PEMBAHASAN
hingga 5%. Kekayaan jenis tidak bervariasi secara sig-
Daerah di pinggir jalan sampai dengan ja-
nifikan tehadap jarak pada 117 jenis dan pada
rak 5 m mendukung komunitas tumbuhan yang
jenis tumbuhan lokal (Gambar 5). Walaupun
berbeda dengan komunitas yang terdapat di lokasi
demikian, ketika jenis eksotik dipisahkan dari
dalam hutan. Jenis tumbuhan eksotik dan rumput 187
Robiansyah & Purnomo
Gambar 4. Persentase perubahan tutupan serasah, tunggul, tanah, kanopi, ketebalan serasah, dan kemiringan tanah terhadap jarak dari jalan di koridor TNGHS. Garis vertikal merupakan standar deviasi.
Gambar 5. Perubahan pada kekayaan jenis total, kekayaan jenis lokal, kekayaan jenis rumput, Shannon-Wiener Diversity Index (H) dan H tumbuhan lokal terhadap jarak dari jalan di koridor TNGHS. Garis vertikal merupakan standar deviasi.
-rumputan lebih dominan di daerah dekat jalan.
al. 1999). Tingkat gangguan dalam kaitannya
Penelitian lain juga menunjukkan hasil yang sama
dengan keberadaan tumbuhan eksotik pada
dimana edge effects menyebabkan pergeseran pada komunitas tumbuhan (Ranney dkk. 1981; Luken
penelitian ini tidak dapat teridentifikasi. Indikator gangguan pada suatu daerah seperti tutupan
dkk. 1991; Baker & Dillon 2000; Watkins dkk.
serasah, tanah, dan ketebalan serasah pada
2003). Daerah pinggir jalan memiliki tutupan
penelitian ini tidak berbeda secara nyata dari
kanopi yang lebih rendah yang memungkinkan
pinggir jalan sampai ke dalam hutan. Untuk bisa
cahaya matahari mencapai dasar hutan. Hal ini
melihat tingkat gangguan di sepanjang jalan di-
dapat menjadi salah satu faktor yang menyebabkan komposisi tumbuhan di pinggir jalan berbeda
perlukan pengukuran faktor lingkungan lainnya, seperti suhu, kelembaban, bulk density dan kan-
dengan di dalam hutan. Parendes & Jones (2000)
dungan materi organik tanah (Olander et al.
menemukan lebih banyak jenis tumbuhan eksotik
1998).
di daerah pinggir jalan dengan intensitas cahaya tinggi.
Dalam penelitian ini, jalan yang membagi
Kehadiran jenis eksotik berhubungan erat
koridor TNGHS merubah keanekaragaman tumbuhan lokal dan eksotik, tapi tidak untuk
dengan daerah yang memiliki gangguan yang
kekayaan jenis. Daerah pinggir jalan berasosiasi
tinggi (Hobbs & Huenneke 1992; Tyser & Wor-
dengan berkurangnya keanekaragaman tumbuhan
ley 1992; McIntyre & Lavorel 1994; Brosofske et
lokal dan bertambahnya keanekaragaman jenis
188
Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya
tumbuhan eksotik dan rumput-rumputan. Hasil
Walaupun kendaraan dapat menjadi media
penelitian ini berbeda dengan penelitian edge
yang penting bagi penyebaran tumbuhan di
effects lainnya yang umumnya menemukan penambahan kekayaan jenis tumbuhan di dekat
sepanjang jalan (Wace 1977; Schmidt 1998), koridor yang berupa kanopi terbuka dapat juga
pinggir jalan (Gysel 1951; Brothers & Spingarn
berperan dalam penyebaran dengan masuknya
1992; Euskirchen et al. 2001). Hasil yang di-
pergerakan dan penetrasi angin. Koridor ini dapat
peroleh menunjukkan bahwa keanekagaman jenis
menjadi jalur bagi jenis eksotik untuk menginvasi
eksotik bertambah di dekat jalan dan kekayaan
daerah dalam hutan. Pada penelitian ini, terdapat
jenis lokal berkurang, meskipun kekayaan jenis total tidak berubah di dekat jalan. Hal ini sesuai
dua jenis tumbuhan eksotik yang tersebar hingga jarak 150 m dari jalan, walaupun dalam jumlah
dengan hipotesis gangguan intermediet (inter-
dan frekuensi yang lebih rendah. Ketika jauh dari
mediate-disturbance hypothesis), yaitu suatu kondisi
jalan, penyebaran tumbuhan eksotik ini dapat
dimana kekayaan jenis tertinggi berada pada tem-
disebarkan oleh hewan liar, angin, air, atau aktivi-
pat yang memiliki frekuensi dan kepelikan gangguan pada tingkat menengah (Campbell
tas manusia. Penelitian ini mengindikasikan bahwa jalan
2004).
tingkat
memberikan pengaruh terhadap keanekaragaman
gangguan di jalan relatif ekstrim dan terus-
tumbuhan bawah melalui dua tahap. Pertama,
menerus dibandingkan dengan gangguan yang
melalui pembentukan zona yang sangat di-
ditimbulkan oleh penebangan pohon atau aktifitas lainnya.
pengaruhi oleh jenis eksotik, yaitu mulai dari pinggir jalan sampai jarak 5 m dari jalan. Kedua,
Jalan dapat berperan sebagai saluran
melalui perubahan faktor lingkungan berupa ber-
penyebaran tumbuhan (Wace 1977; Tyser &
tambahnya intensitas cahaya matahari. Kondisi
Worley 1992), dan tumbuhan eksotik dapat
ini tidak terbatas sampai jarak 5 m saja, tetapi
menambah jangkauan distribusinya dengan cara
mencapai hingga ke dalam hutan.
menyebar di sepanjang jalan (Schowalter 1988; Wilcox & Murphy 1989; Tyser & Worley 1992).
Untuk mengendalikan penyebaran jenis eksotik dan menghindari biaya tinggi untuk
Pada penelitian ini, tumbuhan eksotik ditemukan
merestorasi hutan secara keseluruhan, berdasarkan
paling banyak di pinggir jalan dimana intensitas
penelitian ini, pengelola kawasan koridor TNGS
cahaya relatif lebih tinggi dan gangguan pada
hendaknya mempertimbangkan beberapa hal da-
tanah lebih intensif. Hal ini menandakan bahwa tumbuhan eksotik dapat menyebar masuk ke da-
lam pengelolaan kawasan, yaitu: 1) meminimalisir kepadatan jalan di kawasan koridor 2) menghin-
lam hutan karena diawali dengan adanya
dari pembangunan jalan baru di daerah dengan
gangguan berupa pembukaan hutan. Apabila
kawasan hutan yang masih utuh 3) mengontrol
gangguan terjadi di dalam hutan, pinggir jalan
jumlah kendaraan yang melewati jalan, dan 4)
mungkin akan menjadi sumber tumbuhan eksotik
membatasi aktifitas manusia di hutan.
dan memfasilitasi kolonisasi dalam hutan. Sebagai contoh, Parendes & Jones (2000) yang
KESIMPULAN
Kondisi
ini
terjadi
karena
melakukan penelitian di Oregon, USA menemukan bahwa jenis eksotik tersebar di sepanjang
Kawasan koridor TNGHS memiliki 117
jalan dan lokasi di sekitarnya yang telah terjadi
jenis tumbuhan bawah dan 9 jenis diantaranya
penebangan (area dengan gangguan tinggi).
adalah jenis eksotik. Daerah pinggir jalan sampai 189
Robiansyah & Purnomo
dengan jarak 5 m memiliki komunitas tumbuhan
men Manalu. Editor: Amalia Safitri. Erlang-
yang berbeda dengan komunitas yang terdapat di
ga, Jakarta. Pp.501.
dalam hutan. Jenis tumbuhan eksotik dan rumput -rumputan lebih dominan di daerah dekat jalan,
Euskirchen, ES., J. Chen & R. Bi. 2001. Effects of edges on plant communities in a managed
sementara tutupan kanopi di pinggir jalan sampai
landscape in northern Wisconsin. Forest Ecol.
jarak 10 m relatif rendah daripada tutupan kanopi
Manag.148:93–108.
di daerah interior hutan. Kekayaan jenis tidak
GHSNPMP-JICA. 2007a. Gunung Halimun Sa-
bervariasi secara signifikan terhadap jarak, namun
lak National Park, the misty mountains of
jarak dari jalan merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi kekayaan jenis tumbuhan eksotik;
Halimun Salak. Gunung Halimun Salak National Park, Kabandungan.
jarak 0 m memiliki keanekaragaman jenis eksotik paling tinggi dibandingkan jarak lainnya.
GHSNPMP-JICA.
2007b.
Ecological
Study
Halimun-Salak Corridor Mount HalimunSalak National Park. Gunung Halimun Salak
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada segenap tim survey: Sopian (KRB) dan Pak Amir (TNGHS) atas
National Park, Kabandungan. Gysel, WL. 1951. Borders and openings of beechmaple woodlands in southern Michigan. J. Forest. 49:13–19.
partisipasi dan kerjasamanya dalam mendukung
Hartono, TH., H. Kobayashi, H. Widjaya & M.
penelitian ini. Apresiasi tinggi kepada pengelola TNGHS, khususnya Pak Nur dan Mas Koko atas
Suparmo. 2007. Taman Nasional Gunung Halimun - Salak. Edisi revisi. JICA –
dukungan dan segala kemudahan yang diberikan.
BTNGHS–Puslit Biologi LIPI–PHKA. Hobbs, RJ., & LF. Huenneke. 1992. Disturb-
DAFTAR PUSTAKA
ance, diversity, and invasion: implications for conservation. Cons. Biol. 6:324–337.
Baker, WL. & GK. Dillon. 2000. Plant and vegetation response to edge in the southern
Huston, MA.1994. Biological Diversity: The Coexistence of Species on Changing Landscape.
Rocky Mountains. In R.L. Knight et al.,
Cambridge University Press, Cambridge.
editors. Forest fragmentation in the southern
Jongman, RHG., CJF. Ter Braak & OFR. Van
Rocky Mountains.University Press of Colora-
Tongeren. 1995. Data analysis in commu-
do, Boulder. 221-225 Brosofske, KD., J. Chen, TR. Crow & SC. Saun-
nity and landscape ecology. Cambridge University Press, Cambridge, United King-
ders. 1999. Vegetation responses to land-
dom.
scape structure at multiple scales across a
Levine, JM., M. Vila, CM. D’Antonio, JS.
northern Wisconsin, USA, pine barrens
Dukes, K. Grigulis & S. Lavorel. 2003.
landscape. Plant Ecol. 143:203–218.
Mechanisms underlying the impacts of exot-
Brothers, TS. & A. Spingarn. 1992. Forest fragmentation and alien plant invasion of central
ic plant invasions. Proc. Roy. Soc. Lond. 270: 775-781.
Indiana old-growth forests. Cons. Biol. 6:91–
Luken, JO., AC. Andrew & DG. Baker. 1991.
100. Campbell, NA. 2004. Biologi. Alih Bahasa: Was-
190
Forest edges associated with power-line corridors and implications for corridor siting.
Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya
Landscape Urban Plan. 20:315–324.
a synopsis. North-west Envir. J. 4:313–318.
McIntyre, S. & S. Lavorel. 1994. Predicting rich-
Trombulak, SC. & CA. Frissell. 2000. Review of
ness of native, rare, and exotic plants in response to habitat and disturbance variables
ecological effects of roads on terrestrial and aquatic communities. Cons. Biol. 14:18–30.
across a variegated landscape. Cons. Biol.
Tyser, RW. & CA. Worley. 1992. Alien flora in
8:521–531. Olander, LP., FN. Scatena & WL. Silver. 1998. Impacts of disturbance initiated by road construction in a subtropical cloud forest in the Luquillo Experimental Forest, Puerto Rico. Forest Ecol. Manag. 109:33-49. Parendes, LA. & JA. Jones. 2000. Role of light
grasslands adjacent to roads and trail corridors in Glacier National Park, Montana (U.S.A.). Cons. Biol. 6:251–262. Wace, NM. 1977. Assessment of dispersal of plant species: the Carbone flora in Canberra. Proceedings of the Ecological Society of Australia, 10:167–186.
availability and dispersal in exotic plant inva-
Watkins, RZ., J. Chen, J. Pickens & KD. Brosof-
sion along roads and streams in the H.J.Andrews Experimental Forest, Oregon.
ske. 2003. Effects of Forest Roads on Understory Plants in a Managed Hardwood Land-
Cons. Biol. 14:64–75.
scape. Cons. Biol. 17:411–419.
Pimentel, D., L. Lach, R. Zuniga & D. Morrison.
Wilcove, DS., D. Rothstein, J. Dubow, A. Phil-
2000. Environmental and economic costs of
lips & E. Losos. 1998. Quantifying threats
non-indigenous species in the United States. Bioscience, 50: 53-65.
to imperiled species in the United States. Bioscience, 48: 607-615.
Prawiradilaga, DM., S. Wijamukti & A. Mar-
Wilcox, BA. & DD. Murphy. 1989. Migration
kamah. 2002. Buku Panduan Identifikasi
control of purple loosestrife (Lythrium sali-
Burung Pegunungan di Jawa: Taman Nasion-
caria L.) along highway corridors. Envir.
al Gunung Halimun. Biodiversity Conserva-
Manag. 13:365–370.
tion Project. LIPI–JICA–PHKA. 106p. Ranney, JW., MC. Bruner & JB. Leenson. 1981.
Wiriadinata, H. 1997. Floristic study of Gunung Halimun National Park.in M. Yoneda, H.
The importance of edges in the structure and
Simbolon, & J. Sugardjito. (eds.) Research
dynamics of forest islands. Pages 67–95 in
and Conservation of Biodiversity in Indonesia.
P.L. Burgess & D.M. Sharp, editors. Forest
Vol. II: The inventory of natural resources in
island dynamics in a man-dominated landscape. Springer-Verlag, New York.
Gunung Halimun National Park. JICA – LIPI – PHPA. Pp. 7–13.
Schmidt, W. 1998. Plant dispersal by motor cars. Vegetatio, 80:147–152. Schowalter, TD. 1988. Forest pest management:
191
Robiansyah & Purnomo
Lampiran 1. Jenis-jenis Tumbuhan yang Ditemukan di Koridor TNGHS No
Nama ilmiah
Nama Lokal
Suku
Habitus
Distribusi
Status
Pustaka
1
Ageratum conyzoides (L.) L.
Jukut bau
Compositae
Herba
Amerika tropis
Eksotik, invasif
http://www.issg.org; Kohli et al. 2006
2
Allantodia aspera (Blume) Ching (Blume) Milde
Ki Kawat
Woodsiaceae
Herba
Asia Tenggara
Asli
http://flora.huh.harvard.e du
3
Alocasia sp.
Sente, alokasia
Araceae
Herba
Asia tropis
Asli
http://zipcodezoo.com
4
Alpinia scabra (Blume) Náves
Ela
Zingiberaceae
Herba
Thailand hingga Malesia Barat
Asli
http://www.catalogueoflif e.org
5
Alpinia sp.
Laja hutan
Zingiberaceae
Herba
Asia tropis dan sub tropis, Australia, dan Kepulauan Pasifik
Asli
Flora of Cina Vol. 24 Page 333
6
Amischotolype mollissima (Blume) Hassk.
Ki sepet
Commelinaceae
Herba
Sumatera hingga Jawa
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
7
Ampelocissus thyrsiflora (Blume) Planch.
Sambangan
Vitaceae
Liana
Sumatera hingga Jawa
Asli
Hartini dan Puspitaningtyas 2005
8
Andrographis paniculata (Burm.f.) Wall. ex Nees
Ki pait, sambiloto
Acanthaceae
Herba
Asia tropis
Asli
http://www.ars-grin.gov
9
Angiopteris evecta (G. Forst.) Hoffm.
Paku Kebo
Marattiaceae
Herba
Polynesia, Melanesia, Micronesia, Australia, dan New Guinea
Kosmopolit
http://www.issg.org
10
Antidesma montanum Blume
Kayu PR
Phyllanthaceae
Pohon
Asia tropis dan sub tropis
Asli
http://www.efloras.org
11
Antidesma sp.
Ki Hujan
Phyllanthaceae
Pohon
Asia Tenggara
Asli
http://zipcodezoo.com
12
Antidesma tetrandrum Blume
Ki Seu'eur
Phyllanthaceae
Pohon
Afrika tropis, Madagaskar, Asia
Asli
Priyadi et al. 2010
13
Ardisia sp.
Paku golek
Myrsinaceae
Semak
Asia tropis hingga Asia Tenggara, Amerika, Australia, dan Kepulauan Pasifik
Asli
http://www.efloras.org
14
Argostemma borragineum Blume ex DC.
Rubiaceae
Herba
Vietnam hingga Malesia Barat
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
15
Arisaema filiforme (Reinw.) Blume
Talas
Araceae
Herba
Malesia Barat
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
16
Arthrophyllum diversifolium Blume
Kayu gompong
Araliaceae
Pohon
Jawa
Asli
http://www.catalogueoflif e.org
17
Asplenium nidus L.
Kadaka
Aspleniaceae
Herba
Kosmopolit di hutan tropis
Asli
Zhang et al. 2010 http://www.pfstropasia.org/storage/uploa ds/2012/10/Zhangetal201 0.pdf
18
Athyrium bantamense Milde
Paku buah
Woodsiaceae
Herba
Malesia Barat
Asli
http://rbgweb2.rbge.org.uk/
19
Athyrium sp.
Paku
Woodsiaceae
Herba
Kosmopolit
Asli
http://zipcodezoo.com
20
Austroeupatorium inulifolium (Kunth) R.M.King & H.Rob.
Ki Rinyuh
Compositae
Semak
Amerika tropis
Eksotik, invasif
http://www.issg.org
21
Beaumontia sp.
Apocynaceae
Herba
Himalaya hingga Malesia
Asli
http://toptropicals.com
22
Calamus melanoloma Mart.
Rotan cacing
Arecaceae
Semak
Jawa
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
23
Castanopsis javanica (Blume) A. DC.
Ki Hiur
Fagaceae
Pohon
Thailand Selatan hingga Malesia Barat
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
24
Cheilocostus speciosus (J.König) C.Specht
Pacing
Costaceae
Herba
Asia tropis dan sub tropis hingga Queensland
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
192
Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya
Lampiran 1. Lanjutan………... No
Nama ilmiah
Nama Lokal
Suku
Habitus
Distribusi
Status
Pustaka
25
Clidemia hirta (L.) D. Don
Harendong bulu
Melastomatacea e
Semak
Amerika Tengah dan Selatan
26
Colocasia sp.
Talas sante
Araceae
Herba
Malesia
Asli
http://toptropicals.com
27
Corymborkis veratrifolia (Reinw.) Blume
Anggrek tanah
Orchidaceae
Herba
Asia tropis dan sub tropis hingga Pasifik
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
28
Cratoxylum sumatranum (Jack) Blume
Huru sawo
Hypericaceae
Pohon
Indonesia, Kamboja, Malaysia
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
29
Cryptocarya densiflora Blume
Huru apu
Lauraceae
Pohon
Asia Tenggara, New Guinea, Australia Utara
Asli
http://www.asianplant.net
30
Cyathea glabra (Blume) Copel.
Pakis tiang beunyeur
Cyatheaceae
Semak
Sumatera, Malaysia, Kalimantan dan Jawa Barat
Asli
Holttum, R.E. (1963) Cyatheaceae. Flora Malesiana Series II – Pteridophyta. 1(2): 65176.
31
Cyathea squamulata (Blume) Copel.
Paku tiang gede
Cyatheaceae
Semak
Sumatera, Malaysia, Jawa, Kalimantan, dan Filipina Selatan
Asli
Holttum, R.E. (1963) Cyatheaceae. Flora Malesiana Series II – Pteridophyta. 1(2): 65176.
32
Daemonorops melanochaetes Blume
Rotan se'el
Arecaceae
Semak
Sumatera, Malaysia, Jawa
Asli
PROSEA : Plant Resources of South-East Asia 6, Rattans
33
Daemonorops sp.
Rotan
Arecaceae
Semak
Asia tropis
Asli
http://www.ars-grin.gov
34
Dicranopteris linearis (Burm. f.) Underw.
Paku Andam
Gleicheniaceae
Herba
Asia Tropis dan Pasifik
Asli
Russell, A. E., et al. (1998). The ecology of the climbing fern Dicranopteris linearis on windward Mauna Loa, Hawaii. Journal of Ecology 86 765
35
Didymocarpus sp.
Cariwuh
Gesneriaceae
Herba
Cina hingga Malesia
Asli
http://www.efloras.org
36
Dinochloa scandens (Blume ex Nees)Kuntze
Cangkore
Poaceae
Semak
Kepulauan Andaman hingga Kalimantan, Jawa, Maluku, Filipina
Asli
http://plantsforuse.com
37
Diplazium esculentum (Retz.) Sw.
Pakis beunyeur
Woodsiaceae
Herba
Kosmopolit di daerah tropis
Asli
http://www.iucnredlist.or g
38
Dissochaeta sp.
Kele bahe
Melastomatacea e
Herba
Asia tropis
Asli
http://www.theplantlist.or g
39
Emilia sonchifolia (L.) DC. ex DC
Rumput Jonge
Compositae
Herba
Amerika Tengah dan Selatan
Eksotik, invasif
http://www.cabi.org
40
Epipremnum pinnatum (L.) Engl.
Lolo
Araceae
Herba
Indonesia, Australia
Asli
http://www.issg.org
41
Etlingera solaris (Blume) R. M. Sm.
Tepus
Zingiberaceae
Herba
Sumatera hingga Jawa Tengah
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
42
Eurya acuminata DC.
Ki wates
Pentaphylacacea e
Semak
Cina Selatan dan Barat, India , Indonesia, Malaysia, Sri Lanka, Thailand, Laos
Asli
http://www.biotik.org
43
Ficus montana Burm.f.
Amis mata
Moraceae
Semak
Asia tropis
Asli
http://www.asianflora.co m/
44
Ficus sagittata Vahl
Ki Rupet
Moraceae
Liana
India Utara dan Timur, Kepulauan Andaman hingga Myanmar, IndoCina, Cina Selatan, Thailand
Asli
http://proseanet.org
Eksotik, invasif
http://www.issg.org
193
Robiansyah & Purnomo
Lampiran 1. Lanjutan………... No
Nama ilmiah
45
Ficus septica Burm.f.
Leuksa
Moraceae
Semak
Taiwan hingga Australia
Asli
http://www.biodiversityex plorer.org
46
Ficus sinuata Thunb. Lam.
Darangdan
Moraceae
Pohon
Asia tropis dan sub tropis
Asli
http://zipcodezoo.com
47
Ficus sp.
Kayu Karag
Moraceae
Pohon
Asia tropis dan sub tropis
Asli
http://zipcodezoo.com
48
Fleurya interrupta (L.) Gaudich
Kayu calik angin
Urticaceae
Herba
Australia, Asia, Malesia dan Kepulauan Pasifik Selatan dan Barat
Asli
http://keys.trin.org.au
49
Glochidion insigne (Müll.Arg.) J.J.Sm.
Mareme
Phyllanthaceae
Semak
Asia tropis
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
50
Goniothalamus macrophyllus (Blume) Hook.f. & Thomson
Ki Cantung
Annonaceae
Pohon
Thailand, Malaysia, Sumatera, Jawa dan Kalimantan
Asli
http://www.asianplant.net
51
Gynotroches axillaris Blume
Kayu Bareubeuy
Rhizophoraceae
Pohon
Myanmar, Thailand hingga New Guinea, Pasifik Barat dan Australia
Asli
http://www.asianplant.net
52
Homalanthus populneus (Geiseler) Pax
Monyenyen
Euphorbiaceae
Pohon
Asia Tenggara
Asli
http://www.asianplant.net
53
Imperata cylindrica (L.) Raeusch.
Alang-alang
Poaceae
Rumput
Asia Tenggara, Australia, Cina, Jepang, Filipina dan Afrika Selatan
Asli
http://www.issg.org
54
Justicia gendarrusa Burm.f.
Acanthaceae
Semak
Cina, Malaysia, Filipina,India, Sri Lanka, Pakistan
Asli
http://www.efloras.org
55
Labisia pumila (Blume) Mez (Blume) F. Vill.
Rumput Fatimah
Primulaceae
Semak
Indo-Cina, Thailand dan Malesia
Asli
http://www.globinmed.co m
56
Lasianthus cyanocarpus Jack.
Ki Kandel
Rubiaceae
Semak
Asia tropis dan sub tropis
Asli
http://apps.kew.org/wcsp/
57
Litsea cubeba (Lour.) Pers.
Ki Limo
Lauraceae
Pohon
Cina, Indonesia dan bagian barat Asia Tenggara
Asli
http://www.fao.org
58
Litsea fulva (Blume) VILLAR
Huru batu
Lauraceae
Semak
Indonesia, Malaysia, Filipina
Asli
www.gwannon.com
59
Litsea sp.
Huru merang
Lauraceae
Semak
Amerika Utara, Meksiko, Amerika Tengah, dan Asia
Asli
http://zipcodezoo.com
60
Lophatherum gracile Brongn.
Tangkur gunung
Poaceae
Rumput
Asia tropis dan sub tropis hingga Australia Utara
Asli
http://www.globinmed.co m
61
Macaranga tanarius (L.) Mull. Arg.
Marak
Euphorbiaceae
Pohon
Australia, Asia Tenggara, Japan, Papua New Guinea, Taiwan, Cina
Asli
http://www.worldagrofore strycentre.org
62
Mastixia trichotoma Blume
Jeret
Cornaceae
Pohon
Malesia Barat hingga Kepulauan Sunda Kecil
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
63
Microsorium scolopendrium (Burm.) Copel.
Pakis1
Polypodiaceae
Herba
Kepulauan Hainan hingga Malaysia
Asli
http://culture.teldap.tw
64
Microstegium ciliatum (Trin) A. Camus
Rumput bayondah
Poaceae
Rumput
Asia tropis dan sub tropis
Asli
http://www.efloras.org
65
Molineria capitulata (Lour.) Herb.
Congkok
Hypoxidaceae
Herba
Australia, Asia dan Malesia
Asli
http://keys.trin.org.au
194
Nama Lokal
Suku
Habitus
Distribusi
Status
Pustaka
Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya
Lampiran 1. Lanjutan No
Nama ilmiah
Nama Lokal
Suku
Habitus
Distribusi
Status
Pustaka
66
Molineria latifolia (Dryand. ex W.T.Aiton) Herb. ex Kurz
Marasi
Hypoxidaceae
Herba
Cina hingga Malesia
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
67
Mussaenda frondosa L.
Kingkilaban
Rubiaceae
Semak
Amerika Selatan, Kepulauan Andaman dan Nikobar, Malesia Barat
Asli
http://www.globalspecies. org
68
Mussaendopsis beccariana Baill.
Ramo heulang
Rubiaceae
Pohon
Malesia
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
69
Nephelium lappaceum L.
Rambutan
Sapindaceae
Pohon
Cina Selatan, IndoCina, Malaysia, Indonesia, dan Filipina
Eksotik
Priyadi et al. 2010
70
Nephrolepis falcata (Cav.) C. Chr
Paku
Davalliaceae
Herba
New Guinea, Autralia
Eksotik
http://tropicalplantbook.c om
71
Oldenlandia cristata (Willd. ex Roem. & Schult.) ined.
Rubiaceae
Herba
Himalaya Timur hingga Queensland
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
72
Oleandra pistillaris (Sus.) C.Chr.
Paku andam payung
Oleandraceae
Herba
Malesia
Asli
http://rbgweb2.rbge.org.uk
73
Omalanthus populneus (Geiseler) Pax
Karemi
Euphorbiaceae
Pohon
Malesia kecuali New Guinea, hingga Kepulauan Bismarck
Asli
http://proseanet.org
74
Ophiorrhiza sp.
Asia tropis dan sub tropis, Australia, New Guinea, Kepulauan Pasifik
Asli
http://www.efloras.org
75
Oxalis corniculata L.
Cacalingcingan
Oxalidaceae
Herba
Australia, Guam
Eksotik, invasif
http://www.issg.org
76
Pandanus sp.
Meong tandang
Pandanaceae
Pohon
Asia tropis hingga Pasifik
Asli
http://toptropicals.com
77
Panicum notatum Retz.
Palem ngenge
Poaceae
Rumput
Asia tropis dan sub tropis
Asli
http://www.kew.org
78
Panicum sp.
Awi-awian
Poaceae
Rumput
Kosmopolit
Asli
http://www.tropicalforage s.info/key/Forages
79
Parameria laevigata (Juss.) Moldenke
Kirapet
Apocynaceae
Liana
India dan Cina Selatan, Myanmar, Indo-Cina, Thailand, Malaysia, Singapura, Indonesia, Filipina
Asli
http://www.globinmed.co m
80
Paspalum conjugatum P.J.Bergius
Jampang pait
Poaceae
Rumput
Amerika tropis
Eksotik
http://www.fao.org
81
Pavetta sp.
Rubiaceae
Semak
Afrika tropis dan sub tropis, Asia dan Australia tropis
Asli
http://www.plantzafrica.c om
82
Peliosanthes teta subsp. humilis (Andrews) Jessop ex Gandhi
Asparagaceae
Herba
Himalaya Timur hingga Malesia Barat
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
83
Pinanga coronata (Blume ex Mart.) Blume
Palem bingbin
Arecaceae
Semak
Indonesia
Asli
http://www.globinmed.co m
84
Piper sp.
Seureuh hutan
Piperaceae
Liana
Kosmopolit daerah tropis
Asli
http://toptropicals.com
85
Plectocomia elongata Mart. ex Blume
Rotan bubuay
Arecaceae
Semak
Indo-Cina hingga Malesia Barat dan Tengah
Asli
http://www.globinmed.co m
Rubiaceae
195
Robiansyah & Purnomo
Lampiran 1. Lanjutan. No
Nama ilmiah
Nama Lokal
Suku
Habitus
Distribusi
Status
Pustaka
86
Polygala paniculata L.
Polygalaceae
Herba
Amerika tropis
Eksotik
http://www.issg.org
87
Pteris ensiformis Burm.f.
Paku uncal
Pteridaceae
Herba
Asia tropis dan temperate, Australia
Asli
http://www.ars-grin.gov
88
Quercus gemelliflora Blume
Kayu Pasang
Fagaceae
Pohon
Jawa, Sumatera, Malaysia, Kalimantan
Asli
http://www.globalspecies. org
89
Rhaphidophora montana (Blume) Schoot.
Talas
Araceae
Herba
Indo-Cina, Malesia
Asli
http://www.ars-grin.gov
90
Rhodamnia cinerea Jack
Ipis kulit, ki beusi
Myrtaceae
Pohon
Myanmar, Thailand, Malaysia, Indonesia, Filipina
Asli
http://www.asianplant.net
91
Salacca sp.
Bubuay
Arecaceae
Pohon
Indonesia
Asli
http://www.plantapalm.co m
92
Saurauia pendula Blume
Ki Leho
Actinidiaceae
Pohon
Asia tropis, Amerika tropis
Asli
http://zipcodezoo.com
93
Saurauia sp.
Ki Sauheun
Actinidiaceae
Pohon
Asia tropis, Amerika tropis
Asli
http://zipcodezoo.com
94
Schima walichii (DC.) Korth.
Puspa Lembang
Theaceae
Pohon
Cina, Asia Tenggara, Nepal, Papua New Guinea
Asli
http://www.worldagrofore stry.org
95
Scirpodendron ghaeri (Gaertn.) Merr.
Pandan hutan
Cyperaceae
Herba
India Timur, Sri Lanka hingga Pasifik Barat
Asli
http://apps.kew.org/wcsp
96
Scleria levis Retz. Steud.
Rumput ilat
Cyperaceae
Herba
Asia tropis dan sub tropis hingga Pasifik Barat
Asli
http://globalspecies.org
97
Selaginella willdenowii (Desv. ex Poir.) Baker
Rane tanah
Selaginellaceae
Liana
Myanmar, Indonesia, Malaysia dan Filipina
Asli
http://rmbr.nus.edu.sg
98
Selliguea feei Bory
Tangkur hutan
Polypodiaceae
Liana
Myanmar, Indonesia, Malaysia dan Filipina
Asli
http://rmbr.nus.edu.sg
99
Setaria palmifolia (J.Koenig) Stapf Wild.) Stapf.
Rumput Sauheun
Poaceae
Rumput
Cina, Jepang selatan, Taiwan, Amerika dan Asia Tenggara
Asli
http://keyserver.lucidcentr al.org
100
Smilax leucophylla Blume
Canar tali
Smilaceae
Liana
Malaysia, Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga New Guinea dan Australia Utara
Asli
http://proseanet.org
101
Smilax macrocarpa Blume
Canar buah
Smilaceae
Semak
Jawa
Asli
http://apps.kew.org
102
Smilax sp.
Canar
Smilaceae
Semak
Asia tropis
Asli
http://proseanet.org
103
Sonerila tenuifolia Blume
Sp10
Melastomatacea e
Herba
Asia tropis dan sub tropis
Asli
http://zipcodezoo.com
104
Spermacoce latifolia Aubl. (Aubl.) K. Schum.
Goletrak
Rubiaceae
Herba
Malesia tropis dan Amerika
Asli
http://keys.trin.org.au
105
Spermacoce ocymifolia Willd. ex Roem. & Schult. ( R. & S.) Brem.
Kakawatan
Rubiaceae
Herba
Malesia tropis dan Amerika
Asli
http://keys.trin.org.au
106
Staurogyne elongata Kuntze
Reundeu
Acanthaceae
Herba
Sumatra and Java
Asli
Priyadi et al. 2010
107
Sterculia rubiginosa Vent.
Kayu Hantap
Sterculiaceae
Pohon
Asia Tenggara
Asli
Priyadi et al. 2010
108
Strobilanthus laevigatus Clarke
Bubukuan
Acanthaceae
Herba
Asia tropis
Asli
http://www.efloras.org
109
Symplocos cochinchinensis var. laurina (Retz.) Noot. Roxb.
Kayu Jirak
Symplocaceae
Herba
Malesia timur
Asli
http://www.pngplants.org
110
Symplocos fasciculata Zoll.
Jirak
Symplocaceae
Pohon
Australia Timur, Amerika Selatan, Thailand, dan Malesia
Asli
Priyadi et al. 2010
196
Pengaruh Jalan Terhadap Keragaman Jenis Tumbuhan Bawah dan Habitatnya
Lampiran 1. Lanjutan No
Nama ilmiah
111
Syzygium lineatum (DC.) Merr. & Perry
112
Tylophora laevis Decne.
113
Urophyllum arboreum (Reinw. ex Blume) Korth.
114
Nama Lokal
Suku
Habitus
Distribusi
Status
Pustaka
Myrtaceae
Pohon
Myanmar, Indo-Cina, Malesia
Asli
Priyadi et al. 2010
Asclepiadaceae
Herba
Asia tropis dan sub tropis
Asli
http://www.theplantlist.or g
Cecengkehan
Rubiaceae
Pohon
Asia Selatan dan Timur hingga New Guinea
Asli
Priyadi et al. 2010
Uvaria sp.
Areuy kecemag
Annonaceae
Semak
Afrika tropis, Asia tropis
Asli
http://apps.kew.org
115
Vernonia arborea Buch.Ham. ex Buch.-Ham.
Hamirung
Compositae
Pohon
India, Sri Lanka, IndoCina, Cina Selatan, Thailand, dan Malesia
Asli
Priyadi et al. 2010
116
Vitex pinnata L.
Kilaban
Lamiaceae
Pohon
Asia Tenggara
Asli
Priyadi et al. 2010
117
Weinmannia blumei Planch.
Ki Merak
Cunoniaceae
Pohon
Malesia, Kepulauan Solomun
Asli
Priyadi et al. 2010
Ki Sireum
197
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 199-208 (2013)
Isolats Bakteri Indigenous Penghasil Milk-Clotting Protease untuk Fermentasi Keju (Isolates of Indigenous Bacteria Producing Milk-Clotting Protease for Cheese Fermentation) Nanik Rahmani1, Yana Nurita Sari2, Nurheni Sri Palupi2 dan Yopi1 Laboratorium Biokatalis dan Fermentasi, Bidang Bioproses Puslit Bioteknologi-LIPI, Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 169011, E-mail:
[email protected] 2Departemen Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor
1
ABSTRACT The aims of this research is to isolation of bacteria that potential to produce of milk clotting protease enzymes from fermented food that will be used as a substitute for rennet in cheese making. There are five food fermentations such as tauco, tempeh, red oncom, sticky tape, and pickled mustard greens that are used as a source for isolation of bacteria that could produce milk clotting protease. The results obtained four isolates proteolytic bacteria from two fermented food samples, three isolates bacteria from tauco (TCN 1, TCN 2, TCN 3) and one isolate from pickled mustard greens (DSN 1). Based on 16S rDNA, these isolates were identified as Bacillus sp. Bacterial isolate TCN 1 has a milk clotting activity of 29.17 U/mL, whereas bacteria isolates of TCN 2, TCN 3 and DSN 1 have activities of 70 U/mL achieved at the 24 hours incubation, respectively. The proteolytic activities of bacteria isolates TCN 1, TCN 2, TCN 3 and DSN 1 at the 24 hours fermentation process were 0.0117 U/mL, 0.0021 U/mL, 0.0150 U/mL, and 0.200 U/mL, respectively. The ratio of milk clotting protease activity and the proteolytic activity for bacteria isolates TCN 1, TCN 2, TCN 3 and DSN respectively were 5402, 175000, 7292, and 3333. This showed that the enzyme from bacterial isolates TCN 2 can be used as an alternative to rennin in cheese making. Keywords: milk clotting protease, cheese, calf rennet, fermentation food ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melakukan isolasi bakteri penghasil enzim milk clotting protease dari pangan fermentasi yang akan dimanfaatkan sebagai pengganti rennin dalam pembuatan keju. Ada lima pangan fermentasi yaitu tauco, tempe, oncom merah, tape ketan, dan asinan sawi yang digunakan sebagai sumber bakteri penghasil enzim milk clotting protease. Dari hasil isolasi diperoleh empat isolat bakteri proteolitik dari dua sampel pangan fermentasi, yakni tiga isolat bakteri dari tauco (TCN 1, TCN 2, TCN 3) dan satu isolat bakteri dari asinan sawi (DSN 1). Berdasarkan analisa 16S rDNA, keempat isolate tersebut diidentifikasi termasuk dalam kelompok Bacillus sp. Isolat bakteri TCN 1 memiliki aktivitas penggumpalan susu sebesar 29.17 U/mL sedangkan isolat bakteri TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 memiliki aktivitas masing-masing 70 U/mL yang seluruhnya dicapai pada jam ke-24 inkubasi. Isolat bakteri TCN 1, TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 memiliki aktivitas protease pada jam ke-24 berturut-turut sebesar 0.0117 U/mL, 0.0021 U/mL, 0.0150 U/mL, dan 0.200 U/mL. Rasio aktivitas penggumpalan susu terhadap protease untuk isolat bakteri TCN 1, TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 secara berturut-turut adalah 5402, 175000, 7292, dan 3333. Dari keempat isolat yang diperoleh menunjukkan bahwa enzim dari isolat bakteri TCN 2 dapat digunakan sebagai alternatif pengganti renin dalam pembuatan keju. Kata Kunci : protease penggumpal susu, keju, rennet anak sapi, produk pangan fermentasi
PENDAHULUAN
ma yang banyak digunakan dalam produksi keju sebagai reagen milk-clotting (Isam et al. 2009).
Penggumpalan susu merupakan tahap kunci dalam industri pembuatan keju dan enzim
Renet tidak hanya berfungsi sebagai penggumpal susu tetapi juga memainkan peran penting selama
milk-clotting protease memainkan peran utama
proses pematangan keju yang merupakan proses
dalam proses tersebut. Calf rennet yang mengan-
utama dan komplek dalam pembentukan cita rasa
dung chymosin (EC 3.4.23.4) termasuk aspartate
dan tekstur dari keju (Vioque et al. 2000, Sausa &
protease yang merupakan komponen enzim uta-
Malcata 2002, Kumar et al. 2005). Beberapa studi 199
Rahmani, dkk.
telah dilakukan berkaitan dengan enzim milk clot-
red kojic rice, salah satu makanan tradisional Chi-
ting yang berasal dari mikroorganisme untuk ap-
na (Zhang et al. 2011).
likasi dalam pembuatan keju (Poza et al. 2003; Dini et al. 2010).
Penelitian isolasi mikroba penghasil protease dan karakternya sudah banyak dilakukan di
Dalam industri pembuatan keju secara
Indonesia, sedang untuk isolasi protease jenis milk
tradisional banyak menggunakan renet dari anak
clotting sebagai pengganti rennet masih sedikit
sapi. Penggumpalan susu oleh renet dari anak sapi
(Nunuk et al. 2001). Untuk tujuan produksi keju
terjadi akibat pemecahan ikatan Phe105-Met106
diperlukan penggunaan renin yang memiliki ak-
pada ikatan κ-casein menghasilkan glikopeptida hidrofilik rantai pendek (106-169 residu) yang
tivitas milk clotting tinggi (MCA) dan PA yang rendah untuk meminimalkan larutnya curd (Wu
dilepas ke dalam whey. Para- κ -casein menjadi bermuatan positif pada pH netral dan menyebab-
et al. 2008). Oleh karena itu, dalam penelitian ini
kan penurunan ikatan diantara micelle casein yang
renet, dengan melakukan proses isolasi enzim
menyebabkan agregasi (Green 1973). Penggunaan renet yang berasal dari anak
milk clotting protease yang berasal dari produk pangan fermentasi yang banyak terdapat di Indo-
sapi berkaitan dengan masalah etika, sehingga
nesia.
dipaparkan satu usaha untuk mencari pengganti
diperlukan usaha mencari alternatif substitusi renet yang berasal dari mikroorganisme yaitu enzim
BAHAN DAN CARA KERJA
milk clotting protease (Tubesha & Al-Delaimy, 2003; Cavalcanti et al. 2004).
Sampel yang digunakan sebagai sumber
Produksi enzim milk clotting protease telah
isolat adalah produk pangan fermentasi antara
dilaporkan dari beberapa mikroorganisme seperti
lain sawi asin, oncom, tauco, tempe, dan tape
Penicillium oxalium (Hashem 2000), Nocardiopsis
ketan. Sampel dihancurkan hingga homogen, lalu
sp (Cavalcanti et al. 2004), Mucor circinelloides
diukur pH-nya. Masing-masing sampel ditimbang
(Sathya et al. 2009) dan Bacillus amyloliquefaciens D4 (He at al. 2011). Beberapa mikroba yang po-
sebanyak 0.25 g dan disimpan pada suhu refrigerator. Untuk sawi asin, diambil juga sampel airnya
tensial menghasilkan enzim milk clotting protease
untuk isolasi bakteri sebanyak 0.25 mL. Proses
dan potensial sebagai subtitusi calf rennet, yaitu
persiapan sampel dilakukan secara aseptis.
Penicillium oxalicum (Hashem, 2000) dan Nocar-
Media pertumbuhan bakteri menggunakan
diopsis sp (Cavalcanti et al. 2004). Untuk saat ini produksi keju di dunia menggunakan sepertiga
medium Nutrient Broth dan isolasi bakteri penghasil enzim penggumpal susu menggunakan
renet dari mikroba yang berasal dari mikroorgan-
skim milk agar. Sample dari 5 produk fermentasi
isme jenis kapang (Preetha & Boopathy, 1994).
sebanyak 0.25 g dan 0.25 mL sample cair produk
Banyak peneliti telah memfokuskan untuk
fermentasi sawi, masing-masing dimasukkan ke
melakukan isolasi mikroorganisme dari ling-
dalam tabung reaksi yang telah berisi 2.5 mL me-
kungan tertentu untuk mendapatkan enzim dengan aktivitas milk clotting protease yang tinggi
dium Nutrient Broth untuk pertumbuhan bakteri. Inkubasi selama 24 jam pada suhu ruang
dan aktivitas protease yang rendah atau per-
menggunakan shaker incubator dengan kecepatan
bandingan aktivitas milk clotting protease terhadap
150 rpm. Dari media pertumbuhan bakteri selan-
protease yang tinggi (He et al. 2011). Salah satu
jutnya dibuat pengenceran bertingkat (10-1-10-5)
diantaranya isolasi enzim milk clotting protease dari
masing-masing sebanyak 1 mL dan di inoku-
200
Isolat Bakteri Indigenous Penghasil Milk-Clotting Protease
lasikan kedalam media padat. Bakteri penghasil
Aktivitas penggumpalan susu ditentukan ber-
enzim milk clotting protease diskrining dengan
dasarkan uji visual dari pembentukan gumpalan
menggunakan media skim milk agar. Isolat yang memberikan zona bening selanjutnya diukur in-
susu pertama kali akibat penambahan enzim yang dinotasikan dalam Soxhlet Unit (SU). Satu SU
dek proteolitiknya dan selanjutnya diuji poten-
didefinisikan sebagai jumlah enzim yang dapat
sinya sebagai penghasil enzim milk clotting prote-
menggumpalkan 1 mL campuran yang mengan-
ase.
dung 0.1 g susu skim dan 0.001 g CaCl2 dalam Identifikasi bakteri dilakukan secara mole-
40 menit pada suhu 35°C (Arima et al. 1970).
kuler dengan menganalisis sebagian gen 16S rDNAnya. Gen 16S rDNA diamplifikasi dengan
Sebanyak 0.5 mL enzim ditambahkan ke dalam 5 mL susu skim (10 g susu skim/100 mL 0.01 M
menggunakan primer 9F (5’-AGRGTTTGAT
CaCl2) yang telah diinkubasi pada suhu 40°C sela-
CMTGGCTCAG-3’) and 1492R (5’-ACGGYTA
ma 5 menit. Campuran tersebut diaduk hingga
CCTTGTTAYGACTT-3’).
dil-
terbentuk gumpalan. Pengukuran aktivitas enzim
akukan dengan campuran reaksi yang mengandung DNA bakteri, primer 9F dan 1492R mas-
milk-clotting menggunakan persamaan berikut ini: (MCA) = 2400 x 5 x D
Amplifikasi
ing-masing 10 pmol 2 μl, larutan Go Taq (promega) 26 μl serta ddH2O 20 μl. Adapun o
kondisi reaksi PCR ialah 95 C, 2 menit (1 siklus); 95 oC, 30 detik, 65 oC, 1 menit, 72 oC, 2 menit (10 siklus); 95 oC, 30 detik, 55 oC, 1 men-
T x 0,5 Keterangan: MCA= aktivitas enzim milk-clotting (SU) T = waktu pertama kali terbentuk gumpalan susu (detik) D = faktor pengenceran
it, 72 oC, 2 menit (30 siklus) serta 72 oC, 2 menit
Aktivitas protease ditentukan melalui metode standar Lowry yang dimodifikasi (Meloan
(1 siklus). PCR produk disequensing di First Base
& Pomeranz 1973). Sebanyak 0.2 ml substrat
Malaysia. Hasil sekuen selanjutnya dibandingkan
kasein dengan konsentrasi 0.1% direaksikan
dengan database di Gen Bank menggunakan
dengan 0.1 mL larutan enzim kasar, kemudian
BLAST algorithm. Produksi enzim dilakukan dengan metode
dicampur dan diinkubasi di shaker incubator selama 20 menit pada suhu 37°C. Setelah diinkubasi
fermentasi cair. Isolat bakteri dikulturkan pada
selama 20 menit, larutan reaksi tersebut ditambah
media Nutrient Broth yang telah ditambahkan
0.24 mL 0.4 M TCA, dicampur dan diinkubasi
substrat kasein lalu diinkubasi menggunakan
pada shaker incubator selama 20 menit pada suhu
shaker incubator pada 150 rpm, suhu ruang selama 5 hari dan dilakukan sampling setiap 24 jam.
37°C. Setelah disentrifugasi selama 10 menit pada
Hasil sampling kemudian diukur pertumbuhan
kecepatan 10.000 rpm, 0.1 mL supernatan diambil dan disimpan pada tabung reaksi baru.
selnya menggunakan spektrofotometer pada λ 660 nm. Hasil sampling tersebut disentrifugasi
dan 0.1 mL fenol folin, dihomogenkan dengan
pada 10.000 rpm selama 10 menit, kemudian
vorteks dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 20
diambil supernatannya sebagai ekstrak enzim kasar untuk dianalisa aktivitas milk clotting prote-
menit. Larutan reaksi diukur absorbansinya pada
Kemudian ditambahkan 0,5 mL 0.4 M Na2CO3
ase (Milk clotting activity : MCA), aktivitas proteo-
λ 660 nm dan diukur aktivitas proteasenya dengan menggunakan rumus dibawah ini. Satu
litiknya (Proteolytic activity : PA) serta rasio aktivi-
unit (U) aktivitas protease didefinisikan sebagai
tas milk clotting protease terhadap protease
jumlah enzim yang dapat mengkatalisis reaksi
(MCA/PA). 201
Rahmani, dkk.
pelepasan 1 μmol tirosin per menit Aktivitas protease (PA) = X x FP x 1/V x T
Analisis sebagian gen 16S rDNA Bakteri
Keterangan : PA = Protease activity (U/mL) X = Konsentrasi enzim (mg/mL) FP = Faktor pengenceran V = Volume enzim yang dianalisis (mL) T = waktu inkubasi (menit)
rDNA menghasilkan produk sekitar 1500 bp (Gambar 3). Analisis homologi untuk masing-
Amplifikasi daerah sebagian gen 16S
masing isolat bisa dilihat pada Tabel 3. Pengukuran Aktivitas Enzim dan Seleksi Isolat Bakteri
Perhitungan rasio aktivitas penggumpalan susu terhadap protease
Kurva Pertumbuhan Isolat Bakteri
menggunakan rumus
Hasil pengukuran pertumbuhan sel pada
perhitungan pada persamaan berikut ini (Arima et
λ 660 nm ditunjukkan pada Gambar 4. Empat isolat bakteri memiliki profil pertumbuhan yang
al. 1967) : R = MCA PA
sama dengan pertumbuhan sel tertinggi pada jam ke-24.
Keterangan : R : Rasio aktivitas penggumpulan susu terhadap protease MCA : Milk Clotting Activity ; Aktivitas penggumpalan susu (SU/mL) PA : Protease Activity ; Aktivitas protease (U/mL)
Aktivitas Enzim Penggumpal Susu Data aktivitas milk clotting protease dari keempat isolat bakteri bisa dilihat pada Gambar 5. Pembentukan gumpalan susu oleh adanya aktivitas enzim milk clotting protease bisa dilihat pa-
HASIL
da Gambar 6. Tiga isolat bakteri dari produk fermentasi tauco memiliki aktivitas penggumpalan
Isolasi Bakteri dari Pangan Fermentasi
susu lebih tinggi dibanding isolat bakteri DSN
Isolasi dilakukan terhadap lima sampel pangan
dari produk fermentasi sawi, meskipun proses
fermentasi yaitu tauco, tempe, oncom merah, tape
penggumpalan susu optimum diperoleh setelah
ketan, dan asinan sawi (Gambar 1).
24 jam.
Tabel 1. Ciri morfologi 4 bakteri hasil isolasi dari 5 produk fermentasi No.
Isolat Bakteri
Sumber
1
TCN 1
Tauco
2
TCN 2
Tauco
3
TCN 3
Tauco
4
DSN 1
Asinan sawi
Ciri Koloni bentuk bulat, ukuran medium, berwarna putih opaque, tepian entire bentuk tidak beraturan, ukuran large, berwarna putih opaque, tepian undulate bentuk tidak beraturan, ukuran large, berwarna translusens, tepian undulate bentuk bulat, ukuran large, berwarna putih opaque, tepian undulate
A B C D E Gambar 1. Sampel pangan fermentasi yang digunakan sebagai sumber isolat: oncom merah (a), tempe (b), tape ketan (c), tauco (d), asinan sawi (e) 202
Isolat Bakteri Indigenous Penghasil Milk-Clotting Protease
Aktivitas protease dan rasio aktivitas penggumKoloni isolat
pulan susu Hasil uji aktivitas proteolitik terhadap 4 isolat bakteri menunjukkan hasil yang berbeda
Zona bening
dengan profil aktivitas penggumpalan susu. Satu isolat bakteri produk fermentasi tauco yaitu TCN2 menunjukkan aktivitas proteolitik paling kecil dibanding 3 isolat bakteri lainnya. Aktivitas
Gambar 2. Contoh zona bening dari isolat bakteri TCN 2 pada medium skim milk agar
tertinggi diperoleh oleh isolat bakteri TCN1 dengan aktivitas sekitar 0.02 U/mL (Gambar 7).
penggumpalan susu tertinggi dibanding 3 isolat
Isolat yang telah diuji aktivitas penggumpalan
bakteri lainnya.
susu dan proteasenya kemudian dihitung rasio aktivitas penggumpalannya terhadap protease. Hasil perhitungan rasio enzim penggumpal susu terhadap protease dari keempat isolat bakteri dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 menunjukkan bahwa isolat bakteri TCN2 memiliki rasio
PEMBAHASAN
Medium isolasi untuk memperoleh koloni tunggal menggunakan medium selektif susu skim agar yang umum digunakan untuk memperoleh
Tabel 2. Indeks Protease 4 bakteri hasil isolasi dari 5 produk fermentasi No.
Isolat Bakteri
Diameter isolate bakteri (cm)
Diameter zona bening (cm)
Indeks Protease
1
TCN 1
0.40
1.30
3.25
2
TCN 2
0.40
1.60
4.00
3
TCN 3
0.40
1.20
3.00
4
DSN 1
0.40
1.40
3.50
Gambar 3. Profil pertumbuhan isolat bakteri TCN 1 (a), TCN 2 (b), TCN 3 (c), dan DSN 1 (d) selama 5 hari masa fermentasi pada 150 rpm dan suhu ruang. Konsentrasi sel diukur pada abs. 660 nm. 203
Rahmani, dkk.
gumpalan susu Gambar 5. Pembentukan gumpalan susu pertama oleh aktivitas enzim isolat bakteri
kedekatan dengan jenis bakteri asam laktat. InGambar 4. Aktivitas enzim penggumpal susu isolat bakteri
dentifikasi molecular untuk melihat jenis bakteri sedang dalam proses saat ini. Indeks protease adalah perbandingan diam-
bakteri penghasil protease (Nunuk et al. 2001)
eter zona bening koloni dengan diameter koloni
termasuk enzim milk clotting protease. Koloni bak-
isolat. Semakin besar zona bening yang dihasilkan
teri akan membentuk zona bening sebagai hasil perubahan kasein menjadi senyawa nitrogen yang
berarti semakin besar pula kemampuan isolat ter-
larut (Hidayat et al. 2006). Dari kelima sampel produk fermentasi diperoleh 38 isolat bakteri dan
(Yusmarini et al. 2009). Pada penelitian ini, isolat yang memiliki indeks protease paling tinggi ada-
setelah analisa lebih lanjut dipilih 4 isolat bakteri
lah isolat bakteri TCN 2 sebesar 4.
sebut
untuk
menghasilkan
enzim
protease
positif dengan ciri koloni berbeda. Tiga isolat
Empat isolat bakteri (TCN1, TCN2,
bakteri tersebut merupakan hasil isolasi dari produk tauco dan 1 isolat bakteri dari produk
TCN3 dan DSN1) yang diuji menggunakan ana-
asinan sawi, yang kemungkinan merupakan bak-
lisa 16S rDNA diidentifikasi termasuk dalam kelompok Bacillus sp. Berdasarkan analisis
teri yang berperan dalam proses fermentasi bahan
menggunakan BLAST, keempat isolate tersebut
pangan itu sendiri. Proses fermentasi tauco ada
memiliki sekuen homologi 99% : isolate TCN1
dua tahap, yaitu fermentasi oleh kapang dan fermentasi dalam larutan garam oleh bakteri asam
dengan Bacillus Bacillus cereus, ATCC 14579;
laktat dan khamir. Bakteri dominan yang tumbuh
isolate TCN2 dengan Bacillus amyloliquefaciens, NBRC 15535, isolate TCN3 dengan Bacillus sub-
selama fermentasi garam pada pembuatan tauco
tilis, NRRL B-23049 dan isolate DSN1 dengan
adalah Lactobacillus delbrueckii (Nurwitri et al.
Bacillus amyloliquefaciens, NBRC 15535. Kurva pertumbuhan pada Gambar 3 di-
2007). Pada pangan fermentasi berbasis sayuran seperti asinan sawi, proses fermentasi umumnya
tunjukkan bahwa pada jam ke-0 belum terlihat
dilakukan dalam larutan garam dan fermentasi berlangsung secara spontan dengan memanfaat-
adanya kekekeruhan pada medium yang berisi inokulum. Pada tahap ini terjadi fase adaptasi.
kan mikroba-mikroba yang telah ada pada sayur-
Pada pengamatan ini, terlihat bahwa semua isolat
an itu sendiri. Beberapa jenis bakteri yang ber-
bakteri memiliki kekeruhan inokulum yang paling
peran dalam fermentasi sayuran antara lain Leuconostoc mesenteroides, Lactobacillus brevis dan Pedio-
tinggi pada jam ke-24. Pada tahap ini isolate bak-
coccus cerevisiae (Nurwitri et al. 2007). Empat
teri sudah mencapai fase log sehingga untuk pemanenan enzim dilakukan pada jam ke-24.
isolat bakteri hasil isolasi dari produk tauco dan
Penurunan jumlah sel ini mulai terjadi setelah
sawi dalam penelitian ini diprediksi memiliki
inkubasi jam ke-24 hingga jam ke-120. Profil per-
204
Isolat Bakteri Indigenous Penghasil Milk-Clotting Protease
mikroba penghasil enzim penggumpal susu antara
tumbuhan 4 isolat bakteri tidak berbeda. Penggumpalan susu merupakan prinsip
1-8 hari; 1 hari untuk Bacillus subtilis (Shieh et al.
dasar pada pembuatan keju. Dalam pembuatan keju, renet biasanya ditambahkan ke dalam susu
2009), 4 hari untuk Mucor miehei (Escobar & Barnett, 1990), 3 hari untuk Mucor pusillus
setelah
Proses
(Arima et al. 1970), 3 hari untuk Amylomyces
penggumpalan susu oleh renin terjadi melalui dua
rouxii (Yu & Chou, 2005), 3-4 hari untuk Mucor
tahap. Tahap pertama merupakan perubahan kap-
baciliformis (Areces et al. 1992), dan 8 hari untuk
pa-kasein menjadi para-kasein oleh enzim dan
Penicillium oxalicum (Hashem 1999). Mulai pada
tahap kedua para-kasein digumpalkan oleh proses pemanasan dengan adanya ion kalsium. Renin
jam ke-48 aktivitas penggumpalan susu mulai menurun hingga jam ke-120. Hal ini disebabkan
bekerja pada substrat kappa-kasein yang berfungsi
oleh penurunan jumlah substrat sehingga pem-
sebagai koloid yang merupakan lapisan luar
bentukan kompleks enzim-substrat juga ikut
kasein, sehingga dengan menghidrolisis kappa-
menurun. Pada gambar 4 ditunjukkan bahwa
kasein, kasein lebih mudah tergumpalkan secara sempurna dengan syarat ion kalsium tersedia da-
isolat bakteri TCN 1 memiliki aktivitas penggumpalan susu sebesar 29.17 U/mL, se-
lam larutan tersebut (Winarno 2010). Dalam
dangkan isolat bakteri TCN 2, TCN 3 dan DSN
penggunaannya, renin dapat digunakan dalam
1 memiliki aktivitas masing-masing 70 U/mL.
dua bentuk yakni renet cair dan renet dalam ben-
Isolat bakteri TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 mem-
tuk padatan seperti bubuk atau pelet. Bentuk renet yang ditambahkan dapat mempengaruhi ak-
iliki aktivitas yang paling tinggi, artinya semakin tinggi aktivitas penggumpalannya semakin singkat
tivitas enzim penggumpal susu. Renet dalam ben-
waktu yang dibutuhkan enzim tersebut untuk
tuk cair memiliki aktivitas penggumpalan susu
menggumpalkan susu hingga whey terpisah.
penambahan
kultur
starter.
sebesar 9600 U/mL (Thakur et al. 1990) se-
Isolat bakteri yang mampu menggumpal-
dangkan dalam bentuk padatan memiliki aktivitas
kan susu selanjutnya diuji aktivitas proteasenya.
6200 U/mg (Nerud et al. 1989). Enzim penggumpal susu dari mikroba memiliki aktivitas
Pengukuran aktivitas protease ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan isolat bakteri dalam me-
penggumpalan susu yang berbeda tergantung ben-
mecah protein menjadi peptida dan asam amino.
tuk penggunaannya. Enzim penggumpal susu dari
Kemampuan protease dalam memecah protein
Mucor pusillus var. Lindt dalam bentuk cair mem-
akan mempengaruhi flavor atau citarasa akibat
iliki aktivitas penggumpalan susu sebesar 800 U/ mL sedangkan dalam bentuk padatan memiliki
terbentuknya peptida dan asam amino tersebut. Pada pengukuran aktivitas ini diharapkan isolat
aktivitas 100 U/mg (Winarno 2010). Hal ini
bakteri terpilih memiliki aktivitas protease yang
menunjukkan bahwa proses pembuatan dan pem-
rendah, hal ini dikarenakan aktivitas protease
urnian enzim mempengaruhi aktivitas enzim ter-
(aspartat protease) yang tinggi dapat men-
sebut.
imbulkan citarasa yang pahit pada produk keju
Gambar 4 ditunjukkan bahwa keempat isolat bakteri memiliki aktivitas penggumpalan
yang akan dihasilkan (Channe & Shewale, 1998). Aktivitas protease masing-masing isolat
susu yang paling tinggi pada waktu inkubasi jam
bakteri dapat dilihat pada Gambar 6. Hasil pen-
ke-24. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
gukuran aktivitas protease pada keempat isolat
waktu fermentasi optimum untuk beberapa
bakteri menunjukkan bahwa isolat bakteri TCN
205
Rahmani, dkk.
1, TCN 3, dan DSN 1 memiliki aktivitas protease
yang
paling
tinggi
sebesar
paling tinggi pada jam ke-48 yakni berturut-turut
penelitian ini, isolat bakteri TCN 2 merupakan
0.0117 U/mL, 0.0150 U/mL, 0.0200 U/mL, sedangkan isolat bakteri TCN 2 memiliki akivitas
isolat terpilih yang dapat dijadikan alternatif untuk produksi enzim penggumpal susu pada fer-
protease paling tinggi pada jam ke-96 yakni sebe-
mentasi keju. Isolat bakteri TCN 2 memiliki rasio
sar 0.0021 U/mL. Aktivitas protease ini tergolong
aktivitas
sangat rendah. Hal ini sesuai dengan harapan bah-
dibandingkan
wa isolat yang diinginkan memiliki aktivitas pro-
penggumpal susu dari bakteri lain (Tabel 5).
tease yang rendah sehingga tidak menimbulkan cita rasa yang pahit pada keju yang dihasilkan.
Selain itu, ketiga isolat bakteri lainnya juga memiliki rasio penggumpalan susu terhadap protease
penggumpalan
yang
beberapa
175000.
lebih
enzim
Pada
tinggi
penghasil
Rasio aktivitas penggumpalan susu ter-
yang juga lebih tinggi dibandingkan beberapa
hadap protease merupakan faktor yang menen-
sumber lain. Hal ini menunjukkan bahwa isolat
tukan apakah bakteri tersebut dapat digunakan
bakteri lainnya
sebagai penghasil alternatif enzim penggumpal susu. Isolat bakteri yang terpilih merupakan isolat
DSN 1 juga memiliki potensi untuk menjadi alternatif pengganti renin dalam pembuatan keju.
seperti TCN 1, TCN 3, dan
bakteri yang memiliki aktivitas penggumpalan tinggi dengan aktivitas protease rendah sehingga
KESIMPULAN
menghasilkan rasio yang tinggi. Isolat yang telah diuji aktivitas penggumpalan susu dan proteasenya kemudian dihitung rasio aktivitas
Pada penelitian ini diperoleh empat isolat bakteri proteolitik potensial sebagai penghasil en-
penggumpalannya terhadap protease. Aktivitas
zim milk clotting protease dari dua sampel pangan
enzim yang dipilih adalah aktivitas enzim pada
fermentasi, yakni tiga isolat bakteri dari tauco
jam ke-24 karena pada waktu tersebut semua iso-
(TCN 1, TCN 2, TCN 3) dan satu isolat bakteri
lat bakteri menunjukkan aktivitas penggumpalan
dari asinan sawi (DSN 1). Keempat bakteri terse-
susu yang paling tinggi dengan aktivitas protease yang rendah.
but diidentifikasi secara molekuler menggunakan analisa 16S rDNA diidentifikasi sebagai Bacillus
Hasil perhitungan rasio enzim penggumpal
sp. Isolat bakteri TCN 1 memiliki aktivitas
susu terhadap protease pada Tabel 4 menunjuk-
penggumpalan susu sebesar 29.17 U/mL se-
kan bahwa isolat bakteri TCN 2 memiliki nilai
dangkan isolat bakteri TCN 2, TCN 3 dan DSN
Tabel 5. Perbandingan rasio aktivitas penggumpalan susu terhadap protease isolat bakteri TCN 2 dengan beberapa enzim penggumpal susu dari mikroba lain
Sumber enzim Isolat bakteri TCN 2
206
Aktivitas penggumpalan susu (U/mL) 70
Aktivitas protease (U/mL)
Rasio
0.0004
175000
Aspergillus niger MC4 (Channe & Shewale, 1998) Mucor renin
400
0.01
40000
511
0.11
4650
B. Subtilis natto (Shieh et al. 2009)
685
0.23
2981
Pfizer mikrobial renin
750
0.29
2590
Thermomucor indicae-seudaticae N31 (Dini et al. 2010)
56
0.6
93
Isolat Bakteri Indigenous Penghasil Milk-Clotting Protease
1 memiliki aktivitas masing-masing sebesar 70.00
Channe PS. & Shewale JG. 1998. Influence of
U/mL yang seluruhnya dicapai pada jam ke-24
culture conditions on the formation of milk-
masa inkubasi. Isolat bakteri TCN 1, TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 memiliki aktivitas protease
clotting protease by Aspergillus niger MC4. World J Microb Biot 14(1):11–15
pada jam ke-24 berturut-turut sebesar 0.0117 U/
Dini CB, Gomes E, Boscolo M. & Silva R. 2010.
mL, 0.0021 U/mL, 0.0150 U/mL, dan 0.200 U/
Production and characterization of a milk-
mL.
clotting protease in the crude enzymatic exRasio aktivitas penggumpalan susu ter-
tract from the newly isolated Thermomucor
hadap protease untuk isolat bakteri TCN 1, TCN 2, TCN 3 dan DSN 1 secara berturut-turut ada-
indicae-seudaticae N31. Food Chemistry 120: 87-93
lah 5402, 175000, 7292, dan 3333. Hasil terse-
Green ML. 1973. Studies on the mechanism of
but menunjukkan bahwa enzim dari isolat bakteri
clotting of milk. Neth Milk Dairy J 27:278–
TCN 2 dapat digunakan sebagai alternatif peng-
285
ganti renin dalam pembuatan keju. UCAPAN TERIMA KASIH
Hashem, A. M. 1999. Optimization of milkclotting enzyme productivity by Penicillium oxalicum. Bioresour. Technol. 70: 203-207. Hashem, A.M. 2000. Purification and properties
Penelitian ini didanai oleh dana DIPA MEAT-
of a milk-clotting enzymes produced by Pen-
PRO Puslit Bioteknologi LIPI tahun 2012.
icillium oxalicum. Bioresour. Technol. 75:219222.
DAFTAR PUSTAKA
He, X., Weibing Z., Fazheng R., Bozhong G & Huiyuan G. 2011. Screening fermentation
Areces LB, Bonino MB, Parry MA, Fraile ER,
parameters of the milk-clotting enzyme pro-
Fernandez-Lahore HM. & Cascone O.
duced by Bacillus amyloliquefaciens D4 from
1992. Purification and characterization of a milk-clotting protease from Mucor bacilli-
the Tibetan Plateau in China. Ann Microbiol. Publish online 15 May 2011.
formis. Appl Biochem Biotechnol 37:283–294 Arima K, Iwasaki S & Tamura G. 1967. Milk
Hidayat N, Padaga MC. & Suhartini S. 2006. Mikrobiologi Industri. Yogyakarta
clotting enzyme from microorganisms. 1.
Isam AMA, Isao M, Elfadil EB, & Nobuhiro M.
Screening tests and identification of the potent fungus. Agric Boil Chem 31:540–545
2009. Characterization of partially purified milk-clotting enzyme from Solanum dubium
Arima K, Yu J. & Iwasaki S. 1970. Milk-clotting
Fresen seeds. Food Chem 116:395-400
enzyme from Mucor pusillus var. Lindt. In:
Kumar, S., Sharma, N.S., Saharan, M.R., &
Perlmann G, Lorand L (eds) Methods in
Singh, R. 2005. Extracellular acid protease
enzymology, vol 19. Academic, New York,
from Rhizopus oryzae: purification and char-
pp 446–459 Cavalcanti MTH, Teixeira MFS, Lima FJL. &
acterization. Process Biochemistry, 40, 17011705.
Porto ALF. 2004. Partial purification of new
Meloan CE & Pomeranz Y. 1973. Food Analysis
milk-clotting enzyme produced by Nocardi-
Laboratory Experiments. New York : The
opsis sp. Bioresource Technol. 93:29–35
AVI Publishing Company
207
Rahmani, dkk.
Neelakantan S, Mohanty AK. & Kaushik JK.
1990. Production of fungal rennet by Mucor
1999. Production and use of microbial en-
miehei using solid state fermentation. Appl
zymes for dairy processing. Curr Sci 77:43– 148
Microbiol Biotechnol 32:409-413. Tubesha ZA, & Al-Delaimy KS. 2003. Rennin-
Nerud F, Misurcova Z. & Musilek V. 1989. Pro-
like milk coagulant enzyme produced by a
duction of milk-clotting enzymes by Basidio-
local isolate of Mucor. Int J Dairy Sci 56:237
mycetes. Folia microbial 34: 310-315
–241
Nunuk W, Baity H, & Suminar S.A. 2001.
Vioque M, Gomez R, Sanchez E, Mata X, Tejada
Karakter protease ekstraseluler bakteri isolat P.1 yang diisolasi dari tuak lontar. Jurnal
I., & Fernandez Saguero J. 2000. Chemical and microbiological characteristics of ewe's
Biologi Indonesia Vol. III, No.1 : 80-89.
milk cheese manufactured with extracts from
Nurwitri CC, Rahayu WP, Kusumaningrum HD.
flowers of Cynara caradunculus and Cynara
& Nurjanah S. 2007. Prinsip Fermentasi
humilis as coagulants. J Agric Food Chem
Pangan. E-Learning Mikrobiologi Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,
48:451-6 Winarno FG. 2010. Enzim Pangan. Bogor : Mbrio Press
IPB. Poza M., M. Prieto-Alcedo, C. Sieiro & T.G.
Wu J., Hongbing C., & Weiping C. 2008. Fer-
Villa. 2004. Cloning and expression of clt
mentation parameter and partial bio-
genes encoding milk clotting proteases from Myxococcus xanthus 422. Applied and environ-
chemical characterization of milk clotting enzyme from Chinese distiller’s yeast.
mental microbiology, p. 6337-6341.
Annals of Microbiology, 58 (4) 717-722.
Preetha S. & Boopathy R. 1994. Influence of cul-
Yu PJ. & Chou CC. 2005. Factors affecting the
ture conditions on the production of milk-
growth and production of milk-clotting
clotting enzyme from Rhizomucor. World J
enzymes by Amylomyces rouxii in rice
Microbiol 10(5):527–530 Sathya R., B.V Pradeep, J. Angayarkanni & M.
liquid medium. Food Technol Biotechnol 43(3):283–288
Palaniswamy. 2009. Production of mlik clot-
Yusmarini, Indarti R, Utami T, & Marsono Y.
ting protease by a local isolate of Mucor cir-
2009. Isolasi dan identifikasi bakteri asam
cinelloides under SSF using agro-industrial
laktat proteolitik dari susu kedelai yang
waste. Biotechnology and Bioprocess Engineering, 14:788-794.
terfermentasi spontan. Jurnal Natur Indonesia 12(1):28-33
Shieh CJ, Phan Thi LA, & Shih IL. 2009. Milk-
Zhang Z., Chenzhong W., Zhengying Y., Junfeng
clotting enzymes produced by culture of Ba-
Z., Fengxia L., Gongming Y., Wenjun L
cillus subtilis natto. Biochem Eng J 43 (1):85–
& Zhaoxin L. 2011. Isolation and identi-
91
fication of a fungal strain QY229 produc-
Sousa, M. J. & F. X. Malcata. 2002. Advances in the role of a plant coagulant (Cynara cardunculus) in vitro and during ripening of cheeses from several milk species. Lait 82: 151-170. Thakur MS, NG Karanth &
208
Krishna Nand.
ing milk-clotting enzyme. Eur Food Res Technol, 232: 861-866.
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 209-218 (2013)
Preferensi Ekologis Jenis-Jenis Tumbuhan Dominan di Gunung Endut, Banten (Ecological Preferences of Dominan Plant Species at Mount Endut, Banten) E.N. Sambas 1 , C. Kusmana 2, L.B. Prasetyo 2 & T. Partomihardjo
1
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi LIPI; 2Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB) E-mail:
[email protected]
1
Memasukan: Juli 2012, Diterima: Mei 2013 ABSTRACT Thirteen plant species of main vegetation alliances were detected upon their preferences on various abiotic factors, among them, six species had preferences on either soil or topographical factors, while four species only had preferences on soil factors, and one species only on topographical ones. On topographical factors, there were six species had preferences most on average elevation and one species on minimum elevation of the research plots. Keywords : dominant plant species, ecological preferences, Mount Endut ABSTRAK Tiga belas spesies tumbuhan dari aliansi-aliansi vegetasi utama berhasil dideteksi preferensinya terhadap berbagai faktor abiotik, enam spesies diantaranya memiliki preferensi baik terhadap faktor tanah maupun topografi, empat spesies hanya memiliki preferensi terhadap faktor tanah, dan satu spesies yang hanya memiliki preferensi terhadap faktor topografi. Untuk faktor topografi, enam species memiliki preferensi paling banyak terhadap ketinggian ratarata dan satu species terhadap ketinggian minimum dari petak penelitian. Kata Kunci : jenis tumbuhan dominan, preferensi ekologi, Gunung Endut
PENDAHULUAN
ject (Harahap et al. 2005) yakni dalam rangka penyusunan
rencana
pengelolaan
kawasan
Gunung Endut ditetapkan sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak
(TNGHS 2007). Penelitian serupa telah dilakukan oleh Wiharto (2009) di zona sub pegunu-
(TNGHS) berdasarkan SK Menhut No. 175/
ngan Gunung Salak, TNGHS yang mengidentifi-
Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003. Penetapan
kasi 3 aliansi vegetasi.
kawasan Gunung Endut menjadi bagian dari
mengidentifikasi
TNGHS telah merubah status kawasan yaitu dari
Gunung Endut, yang meliputi : (1) Aliansi hutan
hutan lindung menjadi areal taman nasional dan mengakibatkan perubahan fungsi kawasan. Selain
Castanopsis acuminatissima, Schima wallichii/ Freycinetia javanica, (2) Aliansi hutan Castanopsis
berfungsi sebagai kawasan pelestarian dan perlin-
argentea-Dendrocnide stimulans/, Schismatoglottis
dungan sumberdaya alam, taman nasional juga
calyptrata, (3) Aliansi hutan Coffea canephora var.
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Karena
robusta-Quercus
itu, dalam pengelolaannya perlu pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang kondisi
Aliansi hutan Paraserianthes falcataria, Coffea canephora var. robusta/Oplismenus compositus.
ekologi vegetasi Gunung Endut yang sampai saat
Usaha untuk menyingkap asosiasi antara
ini masih belum banyak terungkap.
Sambas et al. (2011)
empat
lineata/F.
aliansi
vegetasi
di
javanica, dan (4)
penyebaran spesies dengan berbagai variasi faktor
Beberapa penelitian pendahuluan di kawa-
edafik dan topografi adalah salah satu kunci yang
san TNGHS telah dilakukan oleh Gunung Halimun Salak National Park Management Pro-
paling penting dalam memahami karakteristik hutan hujan tropis basah (Miyamoto et al. 2003). 209
Sambas, dkk.
Oleh karena itu, penelitian preferensi jenis
but adalah Aliansi vegetasi 1 (Aliansi hutan
tumbuhan yang terkait dengan kecenderungan
Castanopsis
jenis-jenis tumbuhan tersebut terhadap faktor edafik dan topografi akan menjadi landasan
Freycinetia javanica ) dan Aliansi vegetasi 2 (Aliansi hutan Castanopsis argentea-Dendrocnide
aplikatif untuk menunjang keberhasilan reboisasi
stimulans/Schismatoglottis calyptrata ).
pada kawasan hutan terganggu seperti Gunung
penelitian diharapkan menjadi bagian dari dasar
Endut.
pengelolaan kawasan Gunung Endut, TNGHS
Selain topografi yang berbeda, jenis batuan
acuminatissima-Schima
wallichii/
Hasil
khususnya dan kawasan konservasi serupa pada
induk penyusun kawasan Gunung Endut menunjukkan kondisi yang berlainan dengan lempeng
umumnya.
penyusun kawasan G. Salak pada umumnya.
BAHAN DAN CARA KERJA
Lempeng Gunung Endut merupakan batuan tua dan daya gabung yang mapan, vulkanis lebih tua
Penelitian ini dilaksanakan di kawasan hu-
yang terbentuk pada periode tersier (2-65 juta tahun lalu), sedangkan Lempeng Gunung Salak
tan Gunung Endut pada kisaran ketinggian 700 – 1300 m dpl, terbentang pada 06º 36’- 06º39’ LS
umumnya kerucut vulkanis yang terbentuk pada
dan
periode kuarter, lebih muda dari 2 juta tahun lalu
Gunung Endut secara administratif pemerintahan
(RePPProT 1990).
termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Lebak
Aliansi vegetasi merupakan kelompok komunitas tumbuhan yang memiliki spesies
gedong (Desa Lebaksangka dan Desa Lebakgedong), Kecamatan Sajira (Desa Pasirhaur
dominan utama yang sama dan secara fisiognomi
dan Desa Girilaya), Kecamatan Sobang (Desa
serupa. Aliansi vegetasi merupakan tipe vegetasi
Sindanglaya dan Desa Citujah), dan Kecamatan
yang mengandung satu atau lebih asosiasi vegetasi
Muncang (Desa Cikarang), Kabupaten Lebak
dan ditetapkan melalui kisaran komposisi spesies,
(Gambar 1).
kondisi habitat, fisiognomi dan spesies diagnostik yang khas ( FGDC 2008).
Pencuplikan data vegetasi dilakukan dengan petak bersistem yang dimulai dengan titik
Diantara satwa liar langka atau terancam
secara acak (systematic sampling with random start).
punah yang ditemukan jejaknya di kawasan
Sebanyak 12 jalur (2.000 x 10 m) telah dibuat
Gunung Endut adalah macan jawa (Panthera
dengan arah ke Utara (3), Timur (3), Selatan (3)
pardus). Harahap et al. (2005) menaksir sedikitnya 3 ekor macan jawa menghuni daerah ini.
dan Barat (3). Pada setiap jalur dibuat 200 petak berukuran 10 m x 10 m. Seluruh pohon
Kawasan Gunung Endut juga merupakan habitat
(diameter setinggi dada/DBH) > 10 cm) yang ada
bagi owa jawa (Hylobates moloch) (Rinaldi,
dalam petak 10 x 10 m dicatat jenis dan diame-
kom.pribadi) dan elang jawa (Spizaetus bartelsi)
ternya.
(Prawiradilaga, kom. pribadi).
penelitian maka untuk setiap kumpulan plot
Tujuan penelitian ini adalah mengkaji preferensi ekologis dari jenis-jenis tumbuhan
pengamatan (10 x 10 m) sebanyak 40 buah dijadikan satu buah blok pengamatan. Dengan
dominan pada aliansi-aliansi vegetasi utama yang
demikian terdapat 60 buah blok pengamatan yang
ada di Gunung Endut, Taman Nasional Gunung
tersebar dalam aliansi vegetasi-1 (43 blok), aliansi
Halimun Salak. Dua aliansi vegetasi utama terse-
vegetasi-2 (11 blok), aliansi vegetasi-3 (3 blok),
210
106º 20’- 106º 23’ BT.
Lokasi kawasan
Untuk memudahkan di dalam risalah
Preferensi Ekologis Jenis-Jenis Tumbuhan Dominan di Gunung Endut, Banten
mengkaji bagaimana hubungan antara spesiesspesies dengan berbagai faktor abiotik dalam berdistribusi di setiap aliansi vegetasi Gunung Endut dilakukan dengan uji statistik Chi-Square (Daniel 1987), sebagai berikut : χ2 = SS/X ; χ2 = chi kuadrat; SS = jumlah kuadrat; X = rata-rata jumlah individu dalam aliansi/mean sample. Gambar 1. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Sumber: GHSNP.MP-JICA 2006)
Jenis-jenis tumbuhan yang dipilih untuk kajian ini adalah 3 jenis dengan nilai INP tertinggi di setiap blok pada aliansi vegetasi utama di Gunung Endut. Sebanyak 13 dan 9 spesies
dan aliansi vegetasi-4 (3 blok); dengan luas se-
utama pada Aliansi vegetasi 1 (43 blok; luas 17,2
luruh lokasi pencuplikan data adalah 24 Ha.
Ha) dan Aliansi vegetasi 2 (11 blok; luas 4,4 Ha) dipilih untuk analisis preferensi.
Spesimen bukti ekologi juga dikumpulkan untuk keperluan identifikasi lebih lanjut di Herbarium
Faktor abiotik yang dikaji adalah faktorfaktor yang membedakan antar aliansi vegetasi di
Bogoriense, Cibinong. Data lingkungan abiotik yang dikumpulkan adalah: (1) koordinat geografis dari plot pengamatan, (2) data tanah, (3) data berbagai
Gunung Endut.
Faktor-faktor ini selanjutnya
dibagi ke dalam kelas-kelas tertentu, sehingga hasil uji chi-square nantinya akan menghasilkan
gangguan yang terjadi pada plot pengamatan, (4) kemiringan kelerengan plot pengamatan dan arah
hubungan antara penyebaran spesies dengan
lereng, (5) ketinggian plot dari permukaan laut.
pada berbagai blok penelitian di suatu aliansi
berbagai faktor abiotik dalam berbagai kategori
Data pH dan lengas tanah ditentukan
vegetasi. Untuk parameter tanah, pembagian ke
langsung di lapangan dengan menggunakan
dalam kelas-kelas mengikuti pedoman Laboratorium Tanah IPB, sedangkan untuk faktor abiotik
peralatan soil tester, sedangkan data jenis tanah diketahui melalui operasi tumpang susun antara
yang tidak memiliki kelas tersendiri, pembagian
peta jenis tanah kawasan Gunung Endut dengan
dilakukan dengan cara membagi rata nilai faktor
peta administrasi kawasan Gunung Endut.
abiotik tersebut ke dalam kelas-kelas tersendiri.
Analisis tanah yang meliputi tekstur tanah, kandungan C organik total, N total, P, K dan Al dilakukan di laboratorium ilmu tanah IPB.
HASIL
Data yang terkumpul diolah dengan
Blok-blok penelitian di Gunung Endut
perangkat lunak Excel, dan perhitungan statistik
umumnya memiliki kelerengan >25%, bahkan
dilakukan dengan memanfaatkan perangkat lunak
sebagian besar berkategori sangat curam dengan
SPSS. Untuk mengkaji preferensi ekologis dari
kelerengan rata-rata >40%. Karakteristik topografi pada setiap aliansi vegetasi di Gunung Endut
spesies-spesies dominan
yang ada pada setiap
aliansi vegetasi, digunakan analisis χ² kuadrat, dan untuk melihat antara spesies dengan faktor
dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Variasi kriteria
abiotik digunakan koefisien kontingensi. Untuk
banyak terdapat pada blok-blok penelitian di
kelerengan dari datar sampai agak curam paling
211
Sambas, dkk.
sedangkan untuk
berdasarkan jumlah faktor abiotik yang menjadi
kriteria curam dan sangat curam paling banyak
pembeda di antara satu aliansi dengan aliansi
ditemukan pada blok-blok penelitian yang ada di aliansi 3 (73,25%). Variasi ketinggian blok
lainnya, maka dapat ditentukan aliansi mana yang paling berbeda dengan aliansi lainnya.
penelitian di atas permukaan laut terlihat paling
Perbedaan-perbedaan
besar ditemukan di aliansi vegetasi 1, yaitu dari
berkaitan dengan kondisi vegetasi ataupun kom-
yang terendah (250 m dpl) sampai tertinggi
posisi floristik masing-masing Aliansi Vegetasi di
(1.297 m dpl).
daerah penelitian. Lima faktor abiotik tanah ter-
Pada Tabel 3 dapat dilihat karakteristik faktor abiotik tanah di setiap aliansi vegetasi di
catat secara signifikan mempengaruhi perbedaan antara aliansi vegetasi 1 dan aliansi vegetasi
Gunung Endut. Variasi unsur kimia tanah antar
lainnya. Al, H dan pH rata-rata berpengaruh
aliansi nampak berbeda satu dengan lainnya, dan
nyata terhadap perbedaan antara aliansi vegetasi 1
nampak bahwa untuk beberapa unsur kimia ada
dan 4, sedangkan Ca dan KTK antara aliansi veg-
kecenderungan yang jelas antara satu aliansi dengan aliansi vegetasi lain. Aliansi vegetasi 3
etasi 1 dan 2. Dilain pihak unsur K tanah secara signifikan meskipun tidak terlalu kuat
dengan kandungan K, Ca, Mg dan Na tertinggi
mempengaruhi perbedaan aliansi vegetasi 2 dan 3.
aliansi vegetasi 1 (59,94%),
tersebut
kemungkinan
Unsur
Dari 18 spesies yang memiliki dominansi
kimia lainnya seperti Al tertinggi pada Aliansi
yang paling tinggi (spesies-spesies dengan nilai
vegetasi 1, sedangkan P pada Aliansi vegetasi 2. Untuk kandungan pasir dan kejenuhan basa
INP urutan 1 sampai 3 di setiap blok penelitian), hanya 13 spesies yang berhasil terdeteksi
tertinggi terdapat masing-masing pada Aliansi
preferensinya terhadap berbagai faktor abiotik.
Vegetasi 2 dan Aliansi Vegetasi 3.
Diantara spesies ini, ditemukan enam spesies
dibandingkan aliansi vegetasi
lainnya.
Pada Tabel 4 disajikan faktor-faktor abiotik
dalam distribusinya, memiliki preferensi baik
yang secara signifikan berbeda di antara aliansi
terhadap faktor tanah maupun topografi, empat
vegetasi yang ada di Gunung Endut. Selanjutnya,
spesies yang hanya memiliki preferensi terhadap
Tabel 1. Karakteristik variasi topografi pada seluruh aliansi vegetasi di Gunung Endut.
Luas rata-rata (x 100 m2) Kemiringan lereng areal Aliansi 1 Aliansi 2 penelitian m2 m2 % Datar ( 0-8%) 294.7 52.0 17.1 Landai (9-15 %) 228.7 53.1 13.3 Agak curam (16-25 %) 507.6 130.3 29.5 Curam(26-40 %) 576.2 158.3 33.5 Sangat curam (> 40 %) 112.9 46.4 6.6 Total (dibulatkan) 1720.1 440.1
% 11.8 12.1 29.6 36.0 10.5
Aliansi 3 m2 9.2 3.6 19.3 56.5 31.4 120.0
% 7.7 3.0 16.1 47.1 26.2
Aliansi 4 m2 12.7 10.7 28.1 49.3 19.1 119.9
% 10.6 8.9 23.4 41.1 15.9
Tabel 2. Ketinggian blok penelitian di Gunung Endut.
Ketinggian blok penelitian (m dpl) Ketinggian minimum Ketinggian maksimum 212
Aliansi 1
Aliansi 2
Aliansi 3
Aliansi 4
250 1297
300 1250
400 1225
400 1200
Preferensi Ekologis Jenis-Jenis Tumbuhan Dominan di Gunung Endut, Banten
Tabel 3. Karakteristik lingkungan abiotik tanah pada seluruh aliansi vegetasi di Gunung Endut. Aliansi Vegetasi 1
Rata-rata ± standar eror Aliansi Aliansi Vegetasi 2 Vegetasi 3
Aliansi Vegetasi 4
pH
4,19+0,04
4,34±0,14
4,53±0,38
4,40±0,00
C-Organik
3,73±0,23
3,40±0,26
2,48±0,63
3,70±0,51
N-total
0,32±0,02
0,31±0,02
0,20±0,07
0,34±0,09
P (ppm)
7,66±0,83
9,29±2,17
3,93±1,73
5,73±1,74
Ca (me/100g)
1,61±0,22
3,99±1,18
4,88±3,31
2,37±0,72
Mg (me/100g)
0,52±0,05
0,84±0,21
1,41±0,89
0,63±0,07
K (me/100g)
0,09±0,01
0,06±0,01
0,17±0,06
0,11±0,03
Na (me/100g)
0,14±0,01
0,13±0,01
0,25±0,08
0,15±0,02
KTK (me/100g)
18,46±0,82
24,12±1,78
20,62±1,85
21,00±0,94
Kejenuhan basa (%)
12,84±1,21
18,96±4,41
29,71±16,65
15,60±4,11
Al (me/100g) C/N Ratio
5,41±0,35 12,26±0,38
4,34±0,89 11,06±0,43
4,01±2,04 12,80±0,90
3,14±0,68 11,76±2,25
Pasir
24,26±1,45
32,26±6,45
21,68±3,00
24,43±5,57
Debu
40,29±1,27
34,87±3,76
37,71±7,66
34,43±7,78
Liat
35,47±2,16
32,87±5,41
40,61±8,91
41,14±12,97
Sifat kimia dan tekstur tanah
Tabel 4. Perbedaan faktor abiotik pada seluruh aliansi vegetasi di Gunung Endut. Aliansi vegetasi 1–2
1–3 1–4
Statistik MannWhitney U Z MannWhitney U Z
2–3
2–4 3–4
MannWhitney U Z -
Faktor Abiotik Ca 146,500 1, 933*
KTK 97,500 - 2,985**
Al 22,000
H 20,500
pHrata-rata 13,500
1,891€ K 5,500
1,959*
- 2,299*
- 1,718€
Keterangan: **signifikan pada P< 0,01;*signifikan pada P< 0,05; €: signifikan pada taraf < 0,10
faktor tanah, dan satu spesies yang hanya
dan topografi) pada aliansi vegetasi 1 dan aliansi
memiliki preferensi terhadap faktor topografi.
vegetasi 2 Gunung Endut disajikan pada Tabel 5
Selanjutnya untuk faktor topografi, masingmasing tercatat enam dan satu species yang
dan Tabel 6 Tabel 5 memperlihatkan preferensi ekologi
memiliki preferensi paling banyak terhadap
spesies-spesies pada strata vegetasi pohon terhadap
ketinggian rata-rata dan ketinggian minimum
berbagai faktor abiotik dalam berdistribusi di blok
plot penelitian. Preferensi jenis-jenis pohon
-blok penelitian di aliansi vegetasi 1. Di aliansi
dominan terhadap berbagai faktor abiotik (tanah
vegetasi 1 ditemukan sebanyak 3 spesies memiliki 213
Sambas, dkk.
Tabel 5. Preferensi jenis-jenis pohon dominan terhadap berbagai faktor abiotik pada aliansi vegetasi 1
No 1
Jenis Aidia racemosa
Tanah Corg N Na
Faktor Abiotik Topografi
Ketinggian rata-rata 2
Ardisia zollingeri
Al H Ca Mg KB N Al
3
Castanopsis acuminatissima
4
Castanopsis argentea
5
Coffea canephora var. robusta
N P Ca Mg KB
6
Euodia latifolia
7
Eurya acuminate
Ca Mg KB Al H Debu Liat
Ketinggian rata-rata
Ketinggian rata-rata
Ketinggian rata-rata 8
9 10
Paraserianthes falcataria
Quercus lineata Schima wallichii
Ca Mg Al H KTK KB Pasir Liat Ketinggian rata-rata Ketinggian rata-rata KB Al
Spearman - 0,252 * - 0,296 ** - 0,263 * 0,314 ** 0,246 * 0,258 * - 0,296 ** - 0,295 ** - 0,375 ** 0,213 * - 0,218 * 0,335 ** 0,245 * 0,263 * 0,275 * 0,319 ** 0,233 * - 0,238 * 0,382 ** 0,369 ** 0,397 ** - 0,307 ** - 0,225 * 0,457 ** - 0,362 ** 0,362 ** 0,356 ** 0,350 ** - 0,289 ** - 0,213 * 0,229 * 0,270 * - 0,278 ** 0,242 * - 0,282 * - 0,258 ** - 0,245 * 0,235 *
Keterangan: **signifikan pada P< 0,01;*signifikan pada P< 0,05.
preferensi terhadap unsur N total, 1 spesies
(Kejenuhan Basa), 4 spesies untuk kandungan Ca
terhadap C organik tanah dan KTK, 4 spesies
dan 1 spesies untuk Na, 3 spesies untuk H, 2
untuk kandungan unsur-unsur Mg, 5 spesies untuk kandungan Al, 5 spesies untuk KB
spesies untuk kandungan liat, 1 spesies pasir, dan 1 spesies untuk debu. Untuk faktor topografi, 6
214
Preferensi Ekologis Jenis-Jenis Tumbuhan Dominan di Gunung Endut, Banten
spesies tercatat memiliki preferensi paling banyak
unsur KB, 3 spesies untuk unsur H, 2 spesies
terhadap ketinggian rata-rata plot penelitian di
terhadap unsur pH, 3 spesies untuk kandungan
atas permukaan laut. Tabel 6 memperlihatkan
preferensi
debu, 2 spesies untuk pasir, 2 spesies untuk kandungan Mg dan Al, 1 spesies untuk
ekologis spesies-spesies yang tersebar di blok-blok
kandungan Ca dan KTK, serta 2 spesies untuk
penelitian pada aliansi vegetasi 2. Lima spesies
kandungan K. Selanjutnya untuk faktor topografi,
berhasil dideteksi preferensinya terhadap berbagai
spesies-spesies yang berdistribusi di blok-blok
faktor abiotik dan hanya 1 spesies ( Bridelia
penelitian di aliansi ini memiliki preferensi hanya
glauca ) yang memiliki preferensi baik terhadap faktor tanah maupun topografi. Lima spesies
terhadap ketinggian minimum plot penelitian.
memiliki preferensi terhadap faktor tanah, dan
PEMBAHASAN
hanya 1 spesies yang memiliki preferensi terhadap Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe
faktor topografi Di dalam aliansi vegetasi 2 ditemukan sebanyak 4 spesies memiliki preferensi terhadap
vegetasi tingkat aliansi di Gunung Endut dipengaruhi oleh kombinasi dari faktor abiotik
Tabel 6. Preferensi Jenis-Jenis Pohon Dominan terhadap berbagai Faktor Abiotik pada Aliansi Vegetasi 2
No
Jenis
1
Altingia excelsa
2
Bridelia glauca
3
Calophyllum saigonense
4
Castanopsis acuminatissima
5
Castanopsis argentea
Tanah pH Ca Mg K Al H KB Pasir Debu KB
Faktor Abiotik Topografi
Ketinggian minimum pH H KB Debu Mg K Al H KB Pasir Debu KTK Liat
Spearman 0,533 * - 0,516 * 0,644 ** 0,644 ** 0,611 ** - 0,705 ** 0,853 ** - 0,475 * 0,705 ** 0,500 * - 0,500 * 0,462 * - 0,447 * 0,596 ** 0,447 * - 0,569 ** - 0,661 ** - 0,573 ** 0,609 ** - 0,791 ** 0,506 * - 0,709 ** - 0,453 * - 0,500 *
Keterangan: **signifikan pada P< 0,01;*signifikan pada P< 0,05.
215
Sambas, dkk.
tanah dan topografi. Dengan kata lain, bahwa
spesies ini dapat luas untuk faktor abiotik tertentu
faktor
mempengaruhi
dan sebaliknya dapat sempit untuk faktor abiotik
distribusi spesies pada berbagai kisaran dari kategori faktor abiotik. Ini mempunyai kecender-
lainnya. Hal ini mengakibatkan adanya tumpang tindih dalam pemanfaatan sumberdaya. Kondisi
ungan yang serupa dengan apa yang dilaporkan
ini sekaligus menunjukkan tanggapan spesies yang
Miyamoto et al. (2003), yang mengatakan bahwa
sifatnya
perbedaan antara tipe-tipe hutan dalam skala lokal
lingkungan, dan sekaligus memperlihatkan bahwa
terkait dengan kondisi topografi dan edafik dari
spesies melakukan adaptasi yang khas terhadap
hutan yang bersangkutan. Lebih lanjut Miyamoto et al. (2003) menunjukkan bahwa
kondisi lingkungan dimana ia tumbuh. Barbour et al. (1987) mengatakan bahwa,
spesies-spesies yang paling melimpah di hutan
implikasi dari hal ini adalah peluang untuk
hujan tropis Kalimantan, memiliki preferensi
terjadinya kompetisi mutlak dimana hanya satu
terhadap faktor edafik khususnya kedalaman
pemenang menjadi sangat kecil, karena walaupun
humus, dan faktor topografi berupa ketinggian relatif tapak dari permukaan laut. Begitu pula
setiap spesies memiliki kebutuhan faktor abiotik tertentu yang sama dalam suatu ekosistem yang
menurut Peet (1989), faktor lingkungan utama
sama, namun kebutuhan tersebut akan berbeda-
yang mengendalikan pola penyebaran vegetasi di
beda pada tingkat atau kategori-kategori tertentu
daerah pegunungan adalah ketinggian tapak dari
dari faktor abiotik tersebut. Sifat adaptasi yang
permukaan laut yaitu merupakan suatu gradasi lingkungan yang bersifat kompleks yang
khas ini sekaligus merupakan faktor yang mendukung banyaknya spesies yang dapat hidup
mengkombinasikan beberapa faktor lingkungan
bersama pada suatu lingkungan yang sama. Pern-
yang penting untuk pertumbuhan, terutama suhu
yataan tersebut didukung oleh hasil penelitian ini,
udara dan curah hujan.
yang menunjukkan bahwa kekayaan jenis tercatat
edafik
Di
dan
daerah
topografi
penelitian
terlihat
individualistik
terhadap
kondisi
adanya
cukup tinggi meskipun mereka tumbuh dan
tanggapan spesies terhadap kondisi habitat berbeda-beda satu dengan lainnya. Setiap spesies
berkembang dalam kondisi habitat yang hampir serupa.
memiliki preferensi yang khas dari spesies tersebut
Namun demikian terdeteksi adanya perbe-
terhadap kisaran kombinasi faktor abiotik tanah
daan asosiasi jenis terhadap karakteristik kondisi
maupun topografi, dimana pada aliansi yang
habitat, seperti kelerengan dan ketinggian. Ini
berbeda akan ditemukan preferensi yang berbeda terhadap kisaran kombinasi faktor abiotik.
serupa dengan kondisi vegetasi di Gunung Palung (Webb & Peart 2000), yaitu bahwa faktor abiotik
Dengan kata lain, bahwa setiap spesies memiliki
yang paling membedakan kelompok vegetasi
preferensi yang khas terhadap faktor abiotik
pertama dengan kelompok lainnya adalah keting-
dalam suatu kisaran tertentu. Kondisi semacam
gian tempat, kelerengan dan kelembaban.
ini menurut Crawley (1986) memperlihatkan
Steenis (1972) mengatakan bahwa, pada
adanya partisi sumberdaya oleh spesies-spesies yang hadir bersama pada suatu area.
skala yang lebih luas keberadaan hutan pegunungan di Pulau Jawa terbentuk karena
Good (1958) dalam Barbour et al. (1987)
respon biologi vegetasi akibat kejadian-kejadian
menjelaskan lebih jauh bahwa setiap spesies dapat
yang terjadi pada ekosistem yang berlangsung di
tumbuh dan berkembang pada kisaran tertentu
masa lalu, seperti longsor, jatuhan debu vulkanik,
dari suatu faktor lingkungan. Kisaran toleransi
dan terutama oleh kebakaran yang terjadi secara
216
Preferensi Ekologis Jenis-Jenis Tumbuhan Dominan di Gunung Endut, Banten
antropogenik.
Pernyataan ini menunjukkan
memahami karakteristik hutan hujan tropis
bahwa faktor gangguan adalah salah satu faktor
(Miyamoto et al. 2003).
yang berpengaruh pada keberadaan hutan pegunungan. Di daerah penelitian keberadaan
KESIMPULAN
lahan kosong mencakup daerah yang cukup luas, yang diperkirakan sebagai akibat gangguan yang terus berlangsung dari masa lalu sampai saat ini. Menurut Kappelle (2004), salah satu ciri tanah pada daerah sub pegunungan dan pegunungan adalah sifat tanah yang masam. Kemasaman tanah akan semakin bertambah dengan semakin bertambahnya ketinggian. Ini sesuai dengan kondisi di daerah penelitian, dimana pH terukur relatif rendah dengan variasi antara 5,4 -5,8 (di daerah rendah) dan 4,4 – 4,8 (di puncak). Kondisi unsur P di daerah penelitian berdasarkan kategori sifat tanah sangat rendah
Tiga belas spesies berhasil dideteksi preferensinya terhadap berbagai faktor abiotik. yang terdiri atas, enam spesies memiliki preferensi baik terhadap faktor tanah maupun topografi, empat spesies hanya memiliki preferensi terhadap faktor tanah, dan satu spesies yang hanya memiliki preferensi terhadap faktor topografi. Faktor abiotik tanah seperti Mg, KB, Ca dan Na merupakan unsur penting dalam kaitannya dengan persebaran beberapa species utama. Begitu juga ketinggian rata-rata dan kelerengan merupakan faktor abiotik topografi yang penting. UCAPAN TERIMA KASIH
yakni < 15 ppm. Keberadaan unsur P di daerah penelitian dikuatirkan akan menjadi kendala da-
Kami mengucapkan terima kasih kepada
lam perkembangan dan pertumbuhan hutan pada
Dr. Bambang Supriyanto, Prof. Dr. Eko B.
masa-masa yang akan datang. Seperti halnya yang
Walujo, Dr. Laode Alhamd, Mohammad Irham,
dikatakan Jordan (1985) bahwa ketersediaan un-
MSc., dan Dirman atas dukungan dan bantuannya, serta kepada Dr. Edi Mirmanto atas koreksi
sur P yang sangat rendah merupakan kendala bagi sebagian besar ekosistem hutan hujan tropika. Namun demikian menurut Kitayama et al. (2000)
dan saran untuk perbaikan makalah, Ungkapan
bahwa pada suatu ekosistem yang sangat defisit
man
dengan unsur P tanah, maka unsur P tanah
(TNGHS), staf dan jagawana Seksi Lebak TNGHS, serta para pembantu lapang.
tersebut akan sangat berperan dalam menentukan produktivitas primer bersih dan pelapukan bahan organik baik secara langsung maupun melalui interaksi dengan unsur N.
serupa kami sampaikan kepada Kepala Balai TaNasional
Gunung
Halimun
Salak
DAFTAR PUSTAKA
Komunitas tumbuhan yang diperlihatkan
Barbour, MG., JH. Burk, & WP. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. The Benjamin/
melalui struktur dan komposisinya memiliki
Cumming Publishing Company Inc. Menlo
interrelasi yang sangat erat dengan habitatnya,
Park, Reading, California, Massachusetts,
dimana istilah habitat secara ekologi merujuk pada seluruh faktor fisik dan kimia yang
Singapore.
menyusun komunitas tumbuhan. Penyingkapan
Crawley, MJ. 1986. The Structure of Plant Com-
asosiasi antara distribusi spesies dengan berbagai
munities in Plant Ecology. Crawley, MJ (Ed). Blackwell Scientific Publication,
variasi faktor tanah (edafik) dan topografi adalah
Oxford, London.
salah satu kunci yang paling penting dalam 217
Sambas, dkk.
Daniel, WW. 1987. Biostatistics: A Foundation for Analysis
in
The
Health
Sciences
5th.
of Mount Kinabalu, Borneo. Oecologia 123 : 342 – 349.
Ed. John Wiley & Sons, New York. Harahap, SA., N. Faizin, R. Rachmadi, T. Efendi,
Peet, K. 1989. Forest of Rocky Mountains. Dalam: MG.Barbour & WD Billings (eds.).
& Jhoni. 2005. Laporan Eksplorasi Macan
North American Terrestrial Vegetation. Cam-
(Panthera pardus Melas) di Wilayah Barat
bridge University Press. Cambridge, New
TNGHS (Gunung Barang, Gunung Endut
York.
dan Gunung Tenggek). GHSNP.MP-JICA. Bogor. [FGDC] Federal Geographic Data Committee. 2008.
Vegetation Classification Standard.
http://www.fgdc.gov/fgdc.html. Diakses
4
RePPProT. 1990. MAP 1 Geology IndonesiaWest. Scale 1:2,500,000. Transmigrasi RI.
Departemen
Sambas, EN., C. Kusmana, LB. Prasetyo & T. Partomihardjo. 2011. Klasifikasi Vegetasi Gunung Endut, Taman Nasional Gunung
November 2009. Miyamoto, K., E. Suzuki, T. Kohyama, T. Seino, E. Mirmanto, & H. Simbolon. 2003. Hab-
Halimun-Salak, Banten. Berita Biologi 10 : 597-604.
itat Differentiation Among Tree Species with
Steenis, CGGJ van. 1972. The Mountain Flora
Small-scale Variation of Humus Depth and
of Java. EJ Brill, The Netherlands, Leiden.
Topography in a Tropical Heath Forest of
[TNGHS] Taman Nasional Gunung Halimun
J. Trop.
Salak. 2007. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun Salak Periode
Central Kalimantan, Indonesia. Ecol.19 : 43-54.
Jordan, CF. 1985. Nutrient Cycling in Tropical Ecosystems. John Wiley & Sons, New York,
2007-2026. GHSNP Management.
Pro-
ject. Sukabumi, Jawa Barat. Webb, CO., & DR. Peart. 2000. Habitat Asso-
Toronto, Singapore. Kappelle, M. 2004. Tropical Mountain Forest.
ciation of Trees and Seedlings in Bornean
Ltd,
Rain Forest. Ecology : 88, 464-478. Wiharto, M. 2009. Klasifikasi Vegetasi Zona
Kitayama, K., NM. Lee, L. Shin, & I. Aiba.
Sub Pegunungan Gunung Salak, Bogor, Ja-
Regional Forest Netherland. 2000.
Type.
Elsevier
Soil Phosphorous Fractional and
Phosphorous Use Efficiencies of Tropical Rainforests
218
along
Altitudinal
Gradients
wa Barat. Disertasi. IPB, Bogor.
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 219-232 (2013)
Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal Sulawesi Selatan yang Ditanam di Polibag Pada Berbagai Kombinasi Perlakuan Pupuk Organik (Growth and Production of South Sulawesi Local Maize Cultivar Grown in Polybag with Various Organic Fertilizer Treatment) Titi Juhaeti1*), N Hidayati1) & M Rahmansyah2) 1)
Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI, 2) Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi-LIPI Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta-Bogor km 46. *)E-mail:
[email protected] Memasukkan: Januari 2013 , Diterima: Mei 2013
ABSTRACT Research has been carried out through the utilization of organic fertilizer to improve the productivity of local maize cultivar originated from South Sulawesi. The study was conducted at the research station of Research Center for Biology, Cibinong Science Center. Corn seed were planted in polybag containing mixture of soil and compost, 6 and 2 kg, respectively. The research were carried out by Randomized Complete Block Design arranged in factorial experiment with four replications. The first factors are three types of local maize namely A: rice corn (pulut beras, Batara Koasa), B: waxy corn (pulut biji, Batara Kamu), C: pulut hibrida (hybrid cultivar). The second factors are 14 combination treatment as a mixture of LIPI organic fertilizer (Beyonic-StarTmik, Bio121, EM-121 and MegaRhizo) and anorganic NPK fertilizer. The variables observed were plant growth and production. The results showed that the hybrid cultivar had higher total corn yield productivity compared to the local one, although hybrid cultivar has smaller plant biomass. Waxy corn (B) accession showed the weight, length and diameter of cob, and also the weight of 100 grains larger than rice corn (A). Fertilization treatments significantly affect the corn-cob productivity which is includes the weight, length, and diameter units. Fertilization treatments such as EM-121 + (½ dose of NPK), BIO121 + (½ dose of NPK), and Beyonic + (¼ dose of NPK) showed a good effect on plant, and it was not significantly different with 100% NPK (full doses of NPK). The three corn cultivar showed different responses to fertilization treatments. Keywords: local corn, biofertilizer, growth, production
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh berbagai kombinasi pupuk organik LIPI dan pupuk anorganik NPK terhadap pertumbuhan dan produksi jagung pulut lokal Sulawesi Selatan. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Pusat Penelitian Biologi, Cibinong Science Center. Benih jagung ditanam di polibag pada media tanam berupa campuran 6 bagian tanah:2 bagian kompos. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang disusun secara faktorial, dengan 4 ulangan. Faktor pertama adalah tiga kultivar jagung lokal yaitu A: pulut beras (Batara Koasa), B: pulut biji (Batara Kamu) dan C: pulut hibrida. Faktor ke dua adalah 14 kombinasi perlakuan pemupukan yang merupakan berbagai kombinasi perlakuan pupuk organik LIPI (Beyonic-StarTmik, BIO-121, EM121 dan MegaRhizo) dan pupuk anorganik (pupuk anorganik masing-masing mengandung unsur makro N, P dan K). Peubah yang diamati adalah pertumbuhan dan produksi tanaman. Hasilnya menunjukkan bahwa kultivar hibrida memiliki produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan kultivar lokal, walaupun kultivar hibrida ini perawakannya lebih kecil. Kultivar B (pulut bji) menunjukkan peubah bobot tongkol, panjang dan diameter tongkol serta bobot 100 butir bji yang lebih besar dibandingkan Kulivar A (pulut beras). Perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadap produksi tongkol jagung meliputi bobot serta ukuran panjang dan diameter tongkol. Perlakuan pemupukan EM-121 + (½ dosis of NPK), BIO-121 + (½ dosis of NPK) dan Beyonic + (¼ dosis of NPK) menunjukkan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan tanaman, dan hal ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan dosis penuh pupuk anorganik NPK. Masing-masing kultivar jagung menunjukkan respon yang berbeda terhadap perlakuan pemupukan yang diberikan. Kata kunci: jagung lokal, pupuk organik, pertumbuhan, produksi
219
Juhaeti, dkk.
PENDAHULUAN
Selatan) instan bahkan diekspor ke Malaysia dan Arab Saudi (Anonim 2009). Di lain fihak,
Berdasarkan hasil pemetaan pada Masterplan Percepatan Pertumbuhan Pembangunan
produktivitas jagung pulut umumnya masih rendah kurang dari 2 ton/ha (Iriany et al. 2006).
Ekonomi Indonesia (MP3EI), pengembangan
Memperhatikan penyerapan pasar lokal yang
pangan untuk ketahanan pangan nasional dianta-
relatif tinggi dan masih rendahnya produktivitas
ranya berlokasi di wilayah P. Sulawesi dengan
jagung pulut, maka perlu dilakukan upaya untuk
penekanan pada beberapa komoditi seperti padi,
meningkatkan produktivitas jagung pulut lokal
jagung, ubikayu dan kedelai. Sulawesi Selatan dikenal sebagai penghasil tanaman serealia,
tersebut diantaranya melalui perlakuan pemupukan.
adalah salah satu komoditas
Dewasa ini peningkatan produksi tanaman
andalannya. Salah satu jenis jagung lokal terbaik
umumnya lebih mengandalkan pada penggunaan
dari Sulawesi Selatan adalah jagung pulut.
pupuk anorganik. Akan tetapi dengan terus
Sulawesi Selatan merupakan daerah penghasil jagung pulut (jagung ketan, waxy corn) terbaik di
meningkatnya harga pupuk anorganik akibat pengurangan subsidi oleh pemerintah dan adanya
Indonesia (Anonim 2010), karena kandungan
efek negatif dari pemakaian terus menerus pupuk
amilopektinnya yang tinggi (>90%) sehingga bila
anorganik tersebut, telah menyebabkan pent-
dibandingkan jagung pulut dari daerah lainnya,
ingnya pengembangan pemakaian pupuk organik
citarasanya lebih enak, lebih gurih, lebih pulen dan lembut.
dalam budidaya tanaman termasuk tanaman jagung. Berbagai penelitian menunjukkan efektivi-
Hasil perjalanan eksplorasi jagung pulut di
tas pemakaian pupuk organik pada budidaya ja-
Sulawesi Selatan (Wawo et al. 2012) menun-
gung maupun tanaman lainnya. Hasil penelitian
jukkan bahwa jagung pulut sangat potensial
menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik
untuk dikembangkan dalam rangka menunjang
dapat mengurangi 50% penggunaan pupuk anor-
keanekaragaman pangan dan untuk meningkatkan pendapatan petani. Jagung pulut ditanam
ganik NPK pada budidaya sweet sorghum di rumah kaca. (Lumbantobing 2008.). Kultivar ja-
di
beberapa kabupaten diantaranya Maros,
gung pulut lokal Sulawesi Selatan yang ditanam
Takalar, Jeneponto, Pangkajene, dan Barru.
di kebun memberikan respon yang baik terhadap
Jagung pulut memiliki potensi ekonomi untuk
pemberian pupuk organik
meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, pedagang jagung pulut rebus di Sulsel cukup
2013). Tanaman jagung yang menggunakan kompos sampah kota dan kombinasi kompos
tinggi, rata-rata mencapai 2000 – 3000 tongkol/
sampah kota dengan pupuk anorganik sebagai
hari/unit penjualan dengan harga Rp 1000/
sumber hara mampu menghasilkan pertumbuhan
tongkol. Hasil penelitian usaha tani jagung pulut
dan hasil yang tidak berbeda dengan tanaman
(Syuryawati & Faesal 2009) menunjukkan bahwa
yang diberi pupuk anorganik 100% rekomendasi
keuntungan yang dicapai petani pada panen tongkol muda sebesar Rp 12.807.500,- per ha
(Lestari et al. 2010). Perlakuan NPK dosis 50% yang dikombinasikan dengan kompos yang di-
dengan R/C ratio 4,33. Diproduksi dan dipasar-
perkaya pupuk organik menunjukkan produksi
kan pula beras jagung pulut instan dan bubur
jagung yang tidak berbeda dengan kombinasi per-
bassang (makanan tradisional khas Sulawesi
lakuan NPK dosis 100% dan kompos yang di-
dimana jagung
(Rahmansyah et al.
perkaya pupuk organik (Suripti et al. 2011). 220
Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal
Mulyohadi et al. (2012) menunjukkan bahwa
KCl dan disingkat NPK). Ulangan untuk setiap
perlakuan pupuk hayati mikoriza memberikan
perlakuan dilakukan 4 kali. Berdasarkan tabel 1
pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung di lahan kering margin-
maka kombinasi perlakuan pemupukan sbb: 1. Tanpa pupuk organik maupun anorganik (Kontrol 1) 2. 100% dosis NPK (Kontrol 2) 3. Beyonic StarTmik@lob 4. Pupuk Bio-121 5. EM-121 6. MegaRhizo 7. Beyonic StarTmik@lob + ¼ dosis NPK 8. Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK 9. EM-121+ ¼ dosis NPK 10. MegaRhizo+ ¼ dosis NPK 11.Beyonic StarTmik@lob+ ½ dosis NPK 12.Pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK 13. EM-121+ ½ dosis NPK 14. MegaRhizo+ ½ dosis NPK
al. Pupuk organik tidak menimbulkan pencemaran terhadap tanah dan air tanah sehingga cocok digunakan dalam budidaya tanaman walaupun untuk pemakaian dalam jangka panjang (Shao et al. 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemupukan dengan berbagai kombinasi campuran pupuk organik dan pupuk anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi jagung pulut lokal Sulawesi Selatan. BAHAN DAN CARA KERJA
Setiap benih jagung ditanam pada polibag Penelitian dilakukan di kebun penelitian Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong, pada bulan Mei sampai Juli 2012. Penelitian dilakukan
dengan media tanam berupa campuran 6 kg tanah dan 2 kg kompos. Pupuk NPK diberikan pertama kali pada umur kecambah 8 hari setelah
menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang
tanam (HST) dan yang kedua pada 30 HST.
disusun secara faktorial. Faktor pertama adalah
Dosis pupuk anorganik yang diberikan adalah 2,5
tiga jenis jagung (A: Jagung pulut beras (Batara
g Urea; 1.5g SP36; 1.25 g KCl untuk setiap polibag yang mendapat perlakuan dosis penuh.
koasa), B: Jagung pulut biji (Batara kamu), dan C: jagung pulut hibrida), sedangkan faktor kedua adalah 14 kombinasi (Tabel 1) penggunaan cam-
Dosis tersebut setara dengan pemupukan Urea
puran pupuk organik (Beyonic StarTmik@lob,
organik diberikan sebanyak 50 ml per polibag
Pupuk Bio-121, EM-121 dan MegaRhizo)
sesuai dosis anjuran. Peubah yang diamati adalah tinggi dan jumlah daun tanaman pada umur 2, 4
dan
pupuk anorganik (yang terdiri dari urea, TSP dan
150; SP36 100 kg; KCl 75 kg per ha. Pupuk
Tabel 1. Kode kombinasi perlakuan pemupukan (nomor 1-14)
Tanpa NPK Tanpa pupuk organik Beyonic StarTmik@lob, Pupuk Bio-121 EM-121. MegaRhizo,
1
100% NPK ¼ dosis NPK (dosis penuh) 2 -
½ dosis NPK -
3
-
7
11
4 5 6
-
8 9 10
12 13 14
penuh : 2,5 g Urea; 1.5g SP36; 1.25 g KCl/polibag NPK
221
Juhaeti, dkk.
dan 6 minggu setelah tanam (MST), bobot kering
setelah tanam. Aksesi jagung hibrida menunjuk-
akar dan bobot kering tajuk saat panen, serta
kan ukuran tinggi tanaman terpendek, sementara
produksi tongkol (bobot, panjang dan diameter tongkol serta bobot 100 butir biji).
pulut beras menunjukkan ukuran tanaman yang tertinggi (Tabel 2). Kombinasi perlakuan pemupukan juga berpengaruh terhadap tinggi tanaman pada umur
HASIL
2, 4 dan 6 MST. Pada umur 2 dan 4 MST perla1. Pertumbuhan tanaman
kuan EM-121+ ¼ dosis NPK menunjukkan
a. Tinggi tanaman
ukuran tanaman yang tertinggi (masing-masing 45.818 dan 130.250) tidak berbeda nyata dengan
Hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa tinggi tanaman ke-3 aksesi jagung berbeda nyata pada minggu ke 2, 4 dan 6
kontrol NPK dosis penuh. Pada umur 6 MST perlakuan Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK, EM-
Tabel 2. Tinggi tanaman jagung pada umur 2,4 dan 6 MST (minggu setelah tanam) Perlakuan
Tinggi tanaman (cm) 2 MST
4 MST
6 MST
Jumlah daun 2 MST
4 MST
6 MST
Aksesi Pulut Beras
44,37 a
131 a
202.82 a
5.86 a
11.91 a
11.27 a
Pulut Biji
42.82 a
131.21 a
194.98 b
5.65 b
14.29 a
11.00 a
Pulut Hibrida
38,30 b
107.93 b
174.48 c
4.82 c
10.50 a
8.52 b
42 abcd
120.00 abc
191.42a
5.50 ab
10.75 b
9.50 d
44.25 ab
127.67 ab
197.83 a
5.58 ab
11.42 b
10.92 a
Beyonic StarTmik@lob
44.17 ab
126.08 ab
194.00 a
5.17 b
11.25 b
9.83 cd
Pupuk Bio-121
41.08abcd
124.50 abc
185.92 ab
5.33 ab
11.25 b
10.17 abcd
EM-121
38.08 d
114.25 c
179.67 b
5.25 ab
22.17 a
10.25 abcd
MegaRhizo
39.67 bcd
120.17 abc
187.58 ab
5.25 ab
11.67 b
10.25 abcd
Beyonic StarTmik@lob + ¼ dosis NPK Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK
39.08 cd
120.75abc
189.17 ab
5.42 ab
11.42 b
10.00 bcd
43.15 abc
119.00 bc
194.10 a
5.69 ab
11.75 b
10.25 abcd
EM-121+ ¼ dosis NPK
45.82 a
130.25 a
196.25 a
5.73 a
11.67 b
10.08 bcd
MegaRhizo+¼dosis NPK
43.50 abc
129.08 ab
193.75 a
5.67 ab
11.67 b
10.08 bcd
Beyonic StarTmik@lob+ ½ dosis NPK Pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK EM-121+ ½ dosis NPK
40.25 bcd
126.92 ab
191.00 ab
5.58 ab
11.58 b
10.92 a
40.50 bcd
121.25 abc
193.33 a
5.17 b
11.42 b
10.33 abc
41.83 abcd
123.08 abc
186.50 ab
5.50 ab
11.58 b
10.42 abc
MegaRhizo+ ½ dosis NPK
42.58 abcd
124.33 abc
190.25 ab
5.42 ab
11.67 b
10.67 ab
Kombinasi pemupukan Tanpa pupk org dan anorg (Kontrol 1) NPK dosis penuh (Kontrol 2)
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji Duncan 5%.
222
Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal
121+ ¼ dosis NPK, MegaRhizo+¼dosis NPK
jukkan perawakan yang lebih besar dibandingkan
dan
jenis jagung hibrida (Tabel 3).
Pupuk
Bio-121+
½
dosis
NPK
menunjukkan tinggi tanaman tertinggi tidak berbeda nyata dengan kontrol NPK dosis penuh
Kombinasi perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar dan
(Tabel 2).
bobot kering tajuk. Perlakuan Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK,
b. Jumlah daun
EM-121+ ¼ dosis NPK dan
Beyonic StarTmik@lob+ ½ dosis NPK menun-
Hasil pengamatan terhadap jumlah daun
jukkan bobot kering tajuk lebih tinggi dan tiak
pada umur 2, 4 dan 6 MST menunjukkan bahwa jumlah daun jagung pulut hibrida menunjukkan
berbeda nyata dengan perlakuan NPK dosis penuh (Tabel 3).
angka paling sedikit dibandingkan pulut beras
Masing-masing jenis jagung menunjukkan
dan pulut biji (Tabel 2). Kombinasi perlakuan
respon pertumbuhan akar yang berbeda terhadap
pemupukan juga memperlihatkan pengaruh yang
pemupukan yang diberikan (Tabel 4).
nyata terhadap jumlah daun (Tabel 2). Pada umur 2 MST, perlakuan Pupuk Bio-121+ ¼ dosis
Jenis jagung juga memberikan respon pertumbuhan tajuk yang berbeda terhadap perlakuan
NPK, EM-121+ ¼ dosis NPK, MegaRhizo+
pemupukan yang diberikan (Tabel 5). Pada pulut
¼dosis NPK dan Beyonic StarTmik@lob+ ½
beras, pemupukan tidak berpengaruh nyata ter-
dosis NPK menunjukkan jumlah daun yang lebih
hadap bobot kering tajuk. Pada pulut biji, perla-
tinggi dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol NPK dosis penuh. Pada umur 4 MST,
kuan Pupuk EM-121+ ¼ dosis NPK menunjukkan nilai tertinggi tidak berbeda nyata dengan
hampir semua perlakuan kombinasi pemupukan
perlakuan NPK dosis penuh diikuti perlakuan Bio
menunjukkan jumlah daun yang lebih banyak
-121+ ¼ dosis NPK. Pada pulut hibrida
dan tidak berbeda nyata dibandingkan perlakuan
perlakuan EM-121+ ½ dosis NPK menunjukkan
kontrol NPK penuh kecuali pada perlakuan
nilai tertinggi tidak berbeda nyata dengan
Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK. Pada umur 6 MST perlakuan Beyonic StarTmik@lob+ ½
perlakuan NPK dosis penuh (Tabel 5).
dosis NPK menunjukkan jumlah daun terbanyak
2. Produksi tongkol
dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol NPK dosis penuh (Tabel 2). c. Bobot kering akar dan bobot kering tajuk saat panen Hasil pengamatan terhadap jenis jagung menunjukkan bahwa pulut beras menunjukkan bobot kering akar tertinggi (326,98) dan berbeda nyata dengan pulut biji dan hibrida. Pulut hibrida menunjukkan bobot kering akar terendah (42,50). Pada peubah bobot kering tajuk, pulut beras (279,57) menunjukkan angka tertinggi berbeda nyata dengan pulut hibrida (102,54). Hal
a. Bobot tongkol Jenis jagung menunjukkan bobot tongkol yang berbeda nyata (Tabel 6). Bobot tongkol tertinggi didapat pada pulut hibrida (137,66) berbeda nyata dengan pulut beras dan pulut biji. Bobot tongkol terendah adalah pada pulut beras (88,50). Perlakuan pemupukan berpengaruh nyata terhadap bobot tongkol. Bobot tongkol tertinggi didapat pada perlakuan EM-121+ ½ dosis NPK (153,18) diikuti perlakuan Pupuk Bio121+ ½ dosis NPK (134,36) tidak berbeda nyata dengan perlakuan NPK dosis penuh (134,93).
ini menunjukkan bahwa jagung lokal menun223
Juhaeti, dkk.
Tabel 3. Bobot kering akar dan bobot kering daun saat panen Perlakuan
akar
Bobot kering (g): daun
Jenis jagung Pulut Beras
326,98 a
279,57a
Pulut Biji
208,57 b
252,39a
Pulut Hibrida
42,50 c
102,54b
Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1)
239.17ab
197.17abc
NPK dosis penuh (Kontrol 2)
206.50abcd
232.50abc
Beyonic StarTmik@lob
230.50ab
190.00bc
Pupuk Bio-121
264.67a
215.83abc
EM-121
107.33ed
206.83abc
MegaRhizo
123.17cde
219.83abc
87.75e
180.83bc
Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK
212.00abc
264.33a
EM-121+ ¼ dosis NPK
190.83abcd
249.83ab
MegaRhizo+¼dosis NPK
256.00a
223.33abc
Beyonic StarTmik@lob+ ½ dosis NPK
262.67a
237.17abc
Pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK
202.83abcd
192.50abc
EM-121+ ½ dosis NPK
143.00bcde
184.17bc
MegaRhizo+ ½ dosis NPK
171.17abcde
166.67c
Kombinasi pemupukan
Beyonic StarTmik@lob + ¼ dosis NPK
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom dan perlakuan yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji Duncan 5%.
Tabel 4. Bobot kering akar pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan Pemupukan Tanpa pupuk organik dan anorg (Kontrol 1) 100% dosis NPK (Kontrol 2) Beyonic StarTmik@lob Pupuk Bio-121 EM-121 MegaRhizo Beyonic StarTmik@lob + ¼ dosis NPK Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK EM-121+ ¼ dosis NPK MegaRhizo+ ¼ dosis NPK Beyonic StarTmik@lob+ ½ dosis NPK Pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK EM-121+ ½ dosis NPK MegaRhizo+ ½ dosis NPK
Pulut beras 456.0 ab 361.5 abc 449.0 ab 571.5 a 212.5 bc 179.5 bc 140.3 c 318.5 abc 297.5 abc 343.0 abc 446.5 ab 389.0 abc 179.0 bc 234.0 bc
Pulut biji 212.00 bcdef 187.50 bcdef 159.50 cdef 141.50 def 79.00 f 149.50 cdef 90.00 ef 290.00 abc 245.00 bcd 397.50 a 318.00 ab 190.00 bcdef 223.00 bcde 237.50 bcd
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji Duncan 5%.
224
Pulut hibrida 49.50 abc 70.50 ab 83.00 a 81.00 a 30.50 c 40.50 bc 33.00 c 27.50 c 30.00 c 27.50 c 23.50 c 29.50 c 27.00 c 42.00 bc
Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal
Tabel 5. Bobot kering tajuk pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan Pemupukan Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1) 100% dosis NPK (Kontrol 2) Beyonic StarTmik@lob Pupuk Bio-121 EM-121 MegaRhizo Beyonic StarTmik@lob + ¼ dosis NPK Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK EM-121+ ¼ dosis NPK MegaRhizo+ ¼ dosis NPK Beyonic StarTmik@lob+ ½ dosis NPK Pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK EM-121+ ½ dosis NPK MegaRhizo+ ½ dosis NPK
Pulut beras 311.00 a 278.00 a 246.00 a 262. 00 a 297.00 a 293.00 a 214.00 a 323.50 a 283.50 a 283.00 a 326.50 a 291.00 a 243.50 a 262.00 a
Pulut biji 211.00 bc 295.00 abc 224.00 bc 272.50 abc 205.50 bc 256.00 abc 233.50 bc 353.50 ab 410.00 a 291.00 abc 289.50 abc 177.50 c 176.00 c 138.50 c
Pulut hibrida 69.50 bc 124.50 a 100.00 ab 113.00 a 118.00 a 110.50 ab 95.00 ab 116.00 a 56.00 c 96.00 ab 95.50 ab 109.00 ab 133.00 a 99.50 ab
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak beda nyata pada uji Duncan 5%. Hasil pengamatan terhadap bobot tongkol
121+ ½ dosis NPK dan, (15,66) dan EM-121+
masing-masing jenis jagung tertera pada Tabel 7.
½
dosis NPK menunjukkan nilai yang tinggi
Terlihat bahwa pada pulut beras perlakuan EM121+ ½ dosis NPK menunjukkan hasil tertinggi
tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol NPK dosis penuh. Hasil
tidak berbeda nyata dengan kontrol NPK dosis
pengamatan
terhadap
panjang
penuh. Pada pulut biji perlakuan EM-121+ ½
tongkol masing-masing jenis jagung tertera pada
dosis
Tabel 8.
NPK
menunjukkan
angka
tertinggi
Hasilnya menunjukkan bahwa pada
(151.18) diikuti pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK,
pulut beras, perlakuan Pupuk Bio-121+ ½ dosis
EM-121+ ¼ dosis NPK dan pupuk Bio-121 tidak berbeda nyata dengan kontrol NPK dosis penuh.
NPK dan EM-121+ ½ dosis NPK menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari perlakuan 100% NPK.
Pada
Pada
pulut
hibrida,
perlakuan
Beyonic
pulut
biji,
perlakuan
100%
NPK
StarTmik@lob+ ½ dosis NPK menunjukkan nilai
menunjukkan nilai tertinggi tidak berbeda nyata
tertinggi diikuti pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK.
dengan perlakuan lainnya. Pada pulut hibrida
Panjang tongkol
perlakuan EM-121+ ½ dosis NPK menunjukkan nialai lebih tinggi dibandingkan kontrol 2 (100%
Tabel 6 menunjukkan hasil pengamatan
NPK).
panjang tongkol pada masing-masing jenis jagung. Jenis jagung menunjukkan perbedaan yang nyata pada ukuran panjang tongkol. Ukuran tongkol terpanjang diperoleh pada pulut hibrida (15,85) yang berbeda nyata dengan aksesi lainnya.
Diameter tongkol Tabel 6 menunjukkan diameter tongkol yang dihasilkan masing-masing jenis jagung. Di-
Pulut beras menghasilkan ukuran tongkol terkecil
ameter tongkol pulut biji menunjukkan angka terbesar tidak berbeda nyata dengan pulut hibrida
(13,07).
dan berbeda nyata dengan pulut beras. Pulut be-
Perlakuan
pemupukan
menunjukkan
pengaruh yang nyata pada panjang tongkol (Tabel 6). Panjang tongkol pada perlakuan Pupuk Bio-
ras menunjukkan diameter tongkol terkecil. Pemupukan berpengaruh nyata terhadap diameter tongkol (Tabel 6). Perlakuan EM-121+ 225
Juhaeti, dkk.
Tabel 6. Produksi jagung (bobot, panjang dan diameter tongkol) Bobot tongkol (g)
Perlakuan
Panjang tongkol (cm)
Diameter tongkol (cm)
Jenis jagung Pulut Beras
88,49c
13,07 c
4,03 b
Pulut Biji
109,39b
14,54 b
4,44a
Hibrida
137,66a
15,85 a
4,26 ab
Kombinasi pemupukan Tanpa pemupukan NPK (Kontrol 1)
14.19abc
4.10abc
134.93ab
16.01a
4.39abc
Beyonic StarTmik@lob
92.22c
13.65bc
4.12abc
Pupuk Bio-121
87.14 c
13.25c
3.84c
EM-121
93.46 c
14.08abc
4.14abc
MegaRhizo
94.78 c
13.48bc
3.90bc
Beyonic StarTmik@lob + ¼ dosis NPK
122.10abc
14.81abc
4.47ab
Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK
103.72bc
14.13abc
4.11abc
EM-121+ ¼ dosis NPK
107.30 bc
14.38abc
4.11abc
MegaRhizo+¼dosis NPK
110.66 bc
14.95abc
4.11abc
Beyonic StarTmik@lob+ ½ dosis NPK
116.94 bc
14.06abc
4.17abc
Pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK
134.36ab
14.06ab
4.47ab
EM-121+ ½ dosis NPK
153.18 a
15.55abc
4.63a
MegaRhizo+ ½ dosis NPK
120.77abc
14.62abc
4.31abc
NPK dosis penuh (Kontrol 2)
94.34 c
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama pada perlakuan yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%.
Tabel 7. Bobot tongkol pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan Pemupukan Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1) 100% dosis NPK (Kontrol 2) Beyonic StarTmik@lob Pupuk Bio-121 EM-121 MegaRhizo Beyonic StarTmik@lob + ¼ dosis NPK Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK EM-121+ ¼ dosis NPK MegaRhizo+ ¼ dosis NPK Beyonic StarTmik@lob+ ½ dosis NPK Pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK EM-121+ ½ dosis NPK MegaRhizo+ ½ dosis NPK
Pulut beras 84.28 bc 112.45 ab 63.88 bc 34.65 c 80.75 bc 68.17 bc 103.93 ab 92.73 bc 85.85 bc 109.88 ab 77.15 bc 87.77 bc 151.00 a 86.48 bc
Pulut biji 73.13 b 116.43 ab 80.75 ab 123.95 ab 102.90 ab 87.73 ab 114.60 ab 88.15 ab 143.65 ab 90.35 ab 100.73 ab 145.20 ab 151.18 a 112.78 ab
Pulut hibrida 125.63 cd 175.93 a 132.03 bcd 102.83 d 96.73 d 128.45 cd 147.78 abc 130.28 bcd 92.40 d 131.75 bcd 172.95 a 170.10 ab 157.37 abc 163.05 abc
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%.
½ dosis NPK menunjukkan nilai tertinggi diikuti
perlakuan tersebut lebih tinggi dan tidak berbeda
Pupuk Bio-121+ ½
nyata dengan hasil perlakuan kontrol 2 (100%
dosis NPK dan Beyonic
StarTmik@lob + ¼ dosis NPK. Nilai pada
226
NPK).
Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal
Tabel 9 menunjukkan diameter tongkol
tongkol lebih besar dari kontrol 2. Pada pulut
pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan
hibrida, Pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK menun-
pemupukan. Pada pulut beras, perlakuan EM121+ ½ dosis NPK menunjukkan angka tertinggi
jukkan nilai tertinggi lebih tinggi dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan dari kontrol 2.
diikuti perlakuan Beyonic StarTmik@lob + ¼
Pemupukan berpengaruh nyata terhadap
dosis NPK, EM-121+ ¼ dosis NPK dan
diameter tongkol (Tabel 6). Perlakuan EM-121+
MegaRhizo+ ¼ dosis NPK lebih tinggi dan tidak
½ dosis NPK menunjukkan nilai tertinggi diikuti
berbeda nyata dengan perlakuan kontrol 2. Pada
Pupuk Bio-121+ ½
pulut biji, hampir semua perlakuan kombinasi pemupukan (kecuali MegaRhizo dan Beyonic
StarTmik@lob + ¼ dosis NPK. Nilai pada perlakuan tersebut lebih tinggi dan tidak berbeda
StarTmik@lob) menunjukkan nilai diameter
nyata dengan hasil perlakuan kontrol 2 (100%
dosis NPK dan Beyonic
Tabel 8. Panjang tongkol pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan Pemupukan Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1) 100% dosis NPK (Kontrol 2) Beyonic StarTmik@lob Pupuk Bio-121 EM-121 MegaRhizo Beyonic StarTmik@lob + ¼ dosis NPK Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK EM-121+ ¼ dosis NPK MegaRhizo+ ¼ dosis NPK Beyonic StarTmik@lob+ ½ dosis NPK Pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK EM-121+ ½ dosis NPK MegaRhizo+ ½ dosis NPK
Pulut beras 14.125 a 14.000 a 12.475 a 10.950 a 13.150 a 11.865 a 12.625 a 12.875 a 12.150 a 13.175 a 12.750 a 15.565 a 14.700 a 12.600 a
Pulut biji 13.075 a 16.525 a 13.950 a 13.800 a 15.100 a 14.000 a 14.925 a 14.350 a 15.300 a 15.525 a 12.925 a 14.600 a 14.450 a 15.050 a
Pulut hibrida 15.3750 bcd 17.5000 a 14.5250 cd 15.0000 bcd 14.0000 d 14.5750 cd 16.8750 ab 15.1750 bcd 15.7000 abcd 16.1500 abc 16.5000 abc 16.8250 ab 17.5000 a 16.2000 abc
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%. Tabel 9. Diameter tongkol pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan Pemupukan Pulut beras Pulut biji Tanpa pupuk org dan anorg (Kontrol 1) 4.0100 abc 4.1150 a 100% dosis NPK (Kontrol 2) 4.4025 ab 4.2925 a Beyonic StarTmik@lob 3.7700 abc 4.1650 a Pupuk Bio-121 2.7300 c 4.8650 a EM-121 4.0850 ab 4.4300 a MegaRhizo 3.3750 bc 3.9450 a Beyonic StarTmik@lob + ¼ dosis NPK 4.6875 ab 4.3550 a Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK 4.0675 ab 3.9650 a EM-121+ ¼ dosis NPK 4.5900 ab 4.8950 a MegaRhizo+ ¼ dosis NPK 4.4100 ab 4.4250 a Beyonic StarTmik@lob+ ½ dosis NPK 3.7250 abc 4.2150 a Pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK 3.9850 abc 4.9450 a EM-121+ ½ dosis NPK 4.8050 a 4.8500 a MegaRhizo+ ½ dosis NPK 3.8225 abc 4.7175 a
Pulut hibrida 4.1875 abcd 4.4725 ab 4.4150 abc 3.9375 bcd 3.9000 cd 4.3750 abc 4.3750 abc 4.2875 abc 3.7300 d 4.3200 abc 4.5775 a 4.4850 ab 4.2250 abcd 4.3900 abc
Keterangan: Huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan 5%.
227
Juhaeti, dkk.
121+ ¼ dosis NPK), 11(Beyonic StarTmik@lob+
NPK). Tabel 9 menunjukkan diameter tongkol
½ dosis NPK), 13(EM-121+ ½ dosis NPK) dan
pada masing-masing jenis jagung hasil perlakuan pemupukan. Pada pulut beras, perlakuan EM-
14(MegaRhizo+ ½ dosis NPK) dan NPK dosis penuh menunjukkan bobot 100 butir biji
121+ ½ dosis NPK menunjukkan angka tertinggi
tertinggi. Pada pulut biji, dicapai pada nomor
diikuti perlakuan Beyonic StarTmik@lob + ¼
perlakuan 3(Beyonic StarTmik@lob), 8(Pupuk
dosis NPK, EM-121+ ¼ dosis NPK dan
Bio-121+ ¼ dosis NPK), 9(EM-121+ ¼ dosis
MegaRhizo+ ¼ dosis NPK lebih tinggi dan tidak
NPK) dan 11(Beyonic StarTmik@lob+ ½ dosis
berbeda nyata dengan perlakuan kontrol 2. Pada pulut biji, hampir semua perlakuan kombinasi
NPK); sedangkan pada pulut hibrida dicapai hanya pada perlakuan 11 (Beyonic
pemupukan (kecuali
StarTmik@lob+ ½ dosis NPK) dan 12(Pupuk
MegaRhizo dan Beyonic
StarTmik@lob) menunjukkan nilai diameter
Bio-121+ ½ dosis NPK).
tongkol lebih besar dari kontrol 2. Pada pulut hibrida, Pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK menunjukkan nilai tertinggi lebih tinggi dan tidak
PEMBAHASAN Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ke-
berbeda nyata dengan perlakuan dari kontrol 2.
3 jenis jagung memiliki perawakan yang berbeda. Jagung pulut hibrida menunjukkan perawakan
Bobot 100 butir biji Pada jenis pulut beras, perlakuan 9 (EM-
terkecil diikuti pulut beras dan pulut biji. Hal ini
Gambar 1. Pengaruh pemupukan terhadap bobot 100 butir biji Keterangan: A=Jagung Pulut Beras, B= Jagung Pulut Biji; C= Jagung Hibrida Kode perlakuan pemupukan: 1. Tanpa pupuk organik hayati dan anorganik (Kontrol 1) 2. 100% dosis NPK (Kontrol 2) 3. Beyonic StarTmik@lob 4. Pupuk Bio-121 5. EM-121
228
6. MegaRhizo 7. Beyonic StarTmik@lob + ¼ dosis NPK 8. Pupuk Bio-121+ ¼ dosis NPK 9. EM-121+ ¼ dosis NPK 10. MegaRhizo+ ¼ dosis NPK 11.Beyonic StarTmik@lob+ ½ dosis NPK 12.Pupuk Bio-121+ ½ dosis NPK
Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal
sesuai dengan faktor genetik tanaman. Pertum-
telah teruji aktifitas dan fungsinya sebagai pelarut
buhan tanaman diketahui dipengaruhi oleh faktor
fosfat, penambat N, penghasil zat pengatur
eksternal yakni lingkungan dan faktor internal atau genetik (Gardner et al. 1991).
tumbuh (IAA, Cytokirun, Gibberellin) dan berfungsi sebagai biokontrol. Populasi mikroba
Berkaitan dengan perlakuan kombinasi
berkisar antara 106 -107. Status pupuk telah
pemupukan, terlihat adanya pengaruh yang baik
dikomersilkan. MegaRhizo merupakan pupuk
dari kombinasi perlakuan pupuk organik dan
yang
pupuk anorganik. Pemakaian pupuk organik da-
dikembangkan oleh UPT Balai Penelitian dan
lam penelitian ini berpotensi untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik sebanyak 25 sam-
Pengembangan Biomaterial LIPI. Pupuk MegaRhizo merupakan pupuk cair yang dapat
pai 50%. Perlakuan pemupukan EM-121+
digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Pupuk
½NPK, BIO-121 + ½NPK, dan Beyonic + ¼
ini mengandung unsur hara makro, mikro, zat
NPK menunjukkan pengaruh yang baik terhadap
perangsang tumbuh (ZPT), dan senyawa organik.
pertumbuhan tanaman berupa tingginya nilai ukuran tongkol yang dicerminkan oleh nilai
Starter formula yang mengandung kombinasi mikroba penghasil multi biokatalis (pelarut P,
bobot tongkol, panjang tongkol, dan diameter
Penambat N, penghasil IAA, asam-asam organik
tongkol tidak berbeda dengan perlakuan dosis
dan biopestisida) menjadikan pupuk ini dapat
NPK penuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan
berfungsi menggantikan bahan kimia agro,
Wu et al. 2005 bahwa pupuk organik merupakan jenis pupuk yang direkomendasikan untuk
memperbaiki sifat kimia dan biologi tanah, menekan penyakit dan menyuburkan perakaran
meningkatkan produksi tanaman karena adanya
serta menjaga kuantitas dan kualitas hasil panen.
kandungan
pemicu
Pupuk MegaRhizo mengandung unsur hara
pertumbuhan yang menyediakan hara sehingga
makro serta mikro, dan di dalamnya mengandung
dapat menggantikan peran pupuk anorganik.
mikroba stimulator seperti bakteri Rhizobium sp.,
Melalui proses enzimatik dari mikroba, bahan organik dapat dimineralisasi menjadi bahan
Pseudomonas sp., Azotobacter sp., Lactobacillus sp., dan Aspergillus sp. Status pupuk telah
anorganik N, P, K dan hara lainnya sehingga
dikomersilkan. Pupuk Bio-121 dan EM-121
dapat diserap tanaman. Proses transformasi hara
adalah pupuk organik yang dikembangkan oleh
makro dan mikro ini dapat terjadi dari tanah ke
Bidang Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biologi
dalam tanaman bila terjadi simbiosis antara bakteri pelarut fosfat dan bakteri pengikat
LIPI. Pupuk ini mengandung mikroba aktif yang terdiri dari bakteri Rizobium sp. dan Azotobacter
nitrogen (Bais et al. 2006).
sp., serta kapang Aspergillus sp. Pupuk ini
mikroorganisme
diolah
dari
bahan
organik
yang
Pupuk organik yang dihasilkan LIPI yang
diperkaya dengan telur keong mas, mengandung
dipakai dalam penelitian ini (Beyonic StarT-
probiotik, dan berfungsi selain sebagai penyubur
mik@lob, MegaRhizo, Pupuk Bio-121 dan EM-
tanah juga sebagai penghasil hormon tumbuh.
121) mengandung berbagai mikroba dimaksud. Beyonic StarTmik@lob adalah pupuk organik
Status pupuk belum komersil. Dalam Permentan
yang dikembangkan oleh Bidang Mikrobiologi,
Hk.060/2/2006 disebutkan bahwa pupuk organik
Pusat
ini
adalah pupuk yang sebagian besar atau seluruhnya
mengandung berbagai mikroba perakaran yang
terdiri atas bahan organik yang berasal dari tana-
Penelitian
Biologi
LIPI.
Pupuk
N0.2/Pert/
229
Juhaeti, dkk.
man dan atau hewan yang telah melalui proses
biaya yang harus dikeluarkan petani karena
rekayasa dapat berbentuk padat atau cair yang
berkurangnya
digunakan mensuplai bahan organik untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah
(Herlambang, 2012). Aplikasi pupuk organik telah juga memberikan hasil jagung tertinggi
(Suriadikarta dan Simanungkalit, 2006). Pupuk
sebagaimana yang dilakukan oleh
organik adalah substans
(2001).
yang
mengandung
penggunaan
Efek
kombinasi
pupuk
kimia
El-Karmany
pemupukan
juga
mikroorganime hidup yang mengkolonisasi rhi-
bermanfaat bagi perbaikan lingkungan tanah
zosfir atau bagian dalam tanaman dan memacu
karena dengan mengurangi penggunaan pupuk
pertumbuhan dengan jalan meningkatkan pasokan ketersediaan hara primer dan/atau stimu-
kimia dan input organik yang diberikan akan meningkatkan efisiensi deposit air di tanah
lus pertumbuhan tanaman target, bila dipakai
(Zarabi et al. 2011). Penambahan inokulan
pada benih, permukaan tanah dan atau tanah
bakteri (Azotobacter, Bacillus, Nitrosomonas spp)
( FNCA Biofertilizer Project Group, 2006). Sis-
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan
tem pengelolaan hara terpadu yang memadukan pemberian pupuk organik dan pupuk anorganik
biomassa tanaman jarak pagar sampai umur 1415 MST, apabila dibandingkan dengan
dalam rangka meningkatkan produktifitas lahan
kontrolnya yang tidak mendapatkan pasokan
dan kelestarian lingkungan perlu digalakkan.
inokulan bakteri (Widawati dan Rahmansyah,
Dengan cara ini keberlanjutan produksi tanaman
2009).
dan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan, sehingga muncul system pertanian LEISA (low
Penggunaan pupuk organik memberikan beberapa manfaat diantaranya: 1) dapat
external
menyediakan unsur hara makro dan mikro
input
and
sustainable
agriculture)
menggunakan kombinasi pupuk organik dan
meskipun
dalam
jumlah
kecil,
2)
dapat
anorganik yang berlandaskan konsep good agricul-
memperbaiki granulasi tanah berpasir dan tanah
tural practices perlu dilakukan agar degradasi la-
padat sehingga dapat meningkatkan kualitas
han dapat dikurangi dalam rangka memelihara kelestarian lingkungan ((Suriadikarta dan Si-
aerasi, memperbaiki drainase tanah dan meningkatkan kemampuan tanah dalam
manungkalit, 2006).
menyimpan air, 3) mengandung asam humat
Pengaruh yang baik dari penggunaan
yang meningkatkan kapasitas tukar kation, 4)
pupuk organik dalam meningkatkan produksi
dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme
jagung juga terbukti dari hasil uji coba di beberapa lokasi. Di lahan seluas delapan hektar di
tanah, serta 5) tidak menyebabkan polusi tanah dan polusi air. Hal yang perlu diperhatikan dalam
desa Selogiri dan Desa Mento di Kabupaten
penggunaan
Wonogiri, Jawa Tengah, hasil panen meningkat
kandang maupun kompos adalah nilai C/N ratio.
15-25
mampu
Makin rendah nilai C/N ratio berarti kualitas
menurunkan penggunaan pupuk kimia mencapai
pupuk organik tersebut makin baik, kualitas
30-50 persen per hektar. Pada panen jagung di lahan seluas 2,5 hektar di Kabupaten Wonogori,
kompos dianggap baik jika memiliki nilai C/N 12 -15. Nilai C/N ratio tinggi menunjukkan bahwa
hasil panen meningkat dua kali lipat dari panen
komponen bahan organik tersebut belum terurai
sebelumnya. Selain mampu meningkatkan hasil
sempurna (Novizan 2002).
persen
per
hektar,
dan
pertanian, pupuk organik juga dapat meringankan
bahan
organik
berupa
pupuk
Jenis jagung menunjukkan respon yang berbeda terhadap perlakuan pemupukan. Terlihat
230
Pertumbuhan dan Produksi Jagung Pulut Lokal
bahwa pulut beras dan pulut biji cukup responsif
Sugiharto M.Si, Bapak Dr. Antonius Sarjiya dan
terhadap kombinasi perlakuan pemupukan yang
UPT Balai Litbang Biomaterial-LIPI sebagai pro-
diberikan. Dengan dosis pemupukan yang tepat diharapkan produksi jagung pulut beras dan pulut
dusen pupuk organik.
biji dapat ditingkatkan melalui pemakaian pupuk
DAFTAR PUSTAKA
ornaik yang dikombinasikan dengan pupuk anorAnonim. 2009. "Bassang" Masuk Pasar Malaysia
ganik.
dan Arab Saudi. http://www.antara-sulawesiselatan.com/berita/2821/bassang-masukpasar-malaysia-dan-arab-saudi
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
2.
3.
4.
Ketiga jenis jagung memiliki perawakan yang
Anonim. 2010. Peneliti : Sulsel Penghasil Jagung
berbeda sesuai genetisnya. Jagung hibrida
Pulut
memiliki
news.com/berita/18928/peneliti-sulsel-
perawakan
terkecil
tetapi
Terbaik.
http://makassar.antara-
produksinya paling tinggi dibanding pulut beras dan pulut biji.
penghasil-jagung-pulut-terbaik Bais, HP., TL. Weir, L Perry, S. Gilroy & JM.
Kombinasi pemupukan yang diberikan ber-
Vivanco. 2006. The role of root exudates in
pengaruh baik terhadap pertumbuhan dan
rhizosphere interactions with plants and oth-
produksi tanaman sehingga pupuk organik
er organisms. Annu. Rev. Plant Biol. 57: 33-
yang digunakan dapat dipakai untuk mengurangi penggunaan pupuk anorganik. Akan
266. El-Karmany M. 2001. Effect of organic manure
tetapi masih perlu dicari dosis dan komposis
and slow-release N fertilizer on the produc-
yang tepat dalam aplikasinya.
tivity of wheat in sandy soil. Acta Agronom.
Jenis jagung memiliki respon yang berbeda
Hungarica, 49: 379-385.
terhadap pemupukan yang diberikan. Perlu
FNCA Biofertilizer Project Group. 2006. Bioferti-
dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan pupuk organik yang lebih co-
lizer Manual. Forum for Nuclear Cooperation in Asia (FNCA). Japan Atomic Industri-
cok pada masing-masing jenis jagung.
al Forum, Tokyo
Jagung pulut lokal memiliki perawakan
Gardner, FP., RB. Pierce & RL. Mitchell. 1991.
(biomassa) yang lebih besar dibandingkan
Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan H.
pulut hibrida. Oleh karena itu disarankan agar penanaman jagung lokal ini disertakan
Susilo. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Herlambang CH. 2012. Pupuk Organik LIPI
bersamaan dengan program penyediaan
Tingkatkan Produktifitas Pertanian. http://
hijauan untuk pakan ternak.
bisniskeuangan.kompas.com/read/ 2012/05/04/21480266/Pupuk.
UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada
Organik.
LIPI.Tingkatkan.Produktifitas.Pertanian Iriany R, Neni, A. Takdir M., N. A. Subekti, M. Isnaini, & M. Dahlan. 2006. Perbaikan po-
RISTEK yang memberikan dana untuk kegiatan ini dalam bentuk program PKPP. Ucapan terima-
tensi hasil populasi jagung pulut. Prosiding
kasih juga disampaikan kepada Bapak Drs Arwan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tana-
Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung.
231
Juhaeti, dkk.
man Pangan. Badan Litbang Pertanian.
Pengembangan Pertanian. Bogor. 1-10.
Deptan. p. 41 – 45.
http://balittanah.litbang.deptan.go.id/doku-
Lestari, AP., S. Sarman & E. Indraswari. 2010. Subtitusi Pupuk Anorganik dengan Kompos
mentasi/juknis/pupuk organik.pdf. Suripti, S., Triadiati, & A. Tjahyoleksono. 2011.
Sampah Kota Tanaman Jagung Manis ( Zea
Uji Efektifitas Pupuk Organik dan Pupuk
Mays Saccharata Sturt). J. Penelitian Univer-
Hayati untuk peningkatan produktifitas
sitas Jambi Seri Sains 2: 1-6.
Tanaman Jagung di Beberapa Daerah.
Lumbantobing ELN. 2008. Uji Efektivitas Bio-
http://fmipa.ipb.ac.id/index.php/id/bio-
organic fertilizer (Pupuk Organik Hayati) dalam mensubstitusi Kebutuhan Pupuk
sains/191-uji-efektivitas-pupuk-organik-danpupuk-hayati-untuk-peningkatan-produk-
Anorganik pada Tanaman sweet sorghum
tivitas-tanaman-jagung-di-beberapadae-
(Sorghum bicolor (L.) Moench).
rah.html
http://
repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/ 12345
Syuryawati & Faesal. 2009. Usaha tani jagung
6789/1814/A08eln_abstract.pdf?sequence=1 Moelyohadi Y, MU Harun, Munandar, R Hayati
pulut mendukung kemandirian pangan dan peningkatan pendapatan petani. Prosiding
dan N Gofar. 2012. Pemanfaatan Berbagai
Seminar Nasional Serealia. balitsereal.litbang.
Jenis Pupuk Hayati pada Budidaya Tanaman
deptan.go.id/ind/images/stories/67.pdf.
Jagung (Zea mays. L) Efisien Hara di Lahan
Wawo AH,. N. Hidayati & M. Rahmansyah.
Kering Marginal. J. Lahan Suboptimal 1: 3139.
2012. Aksesi jagung pulut untuk kegiatan penelitian fisiologi dalam menunjang
Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif.
ketahanan pangan nasional. Laporan Perjal-
Agromedia Pustaka. Rahmansyah, M., N. Hidayati, T. Juhaeti & A.
anan keWilayah Sulawesi Selatan 16-20 April 2012. Pusat Penelitian Biologi-LIPI.
Sugiharto. 2013. Effect of Bio-organic Ferti-
Widawati, S. & M. Rahmansyah. 2009. Pengaruh
lizer on productivity improvement of well adapted local maize (Zea mays certain L.)
inokulasi bakteri terhadap pertumbuhan awal jarak pagar (Jatropa curcas L.). J. Biol.
Variety. ARPN J. Agri. Biol. Sci. 3: 233-240.
Indonesia. 1: 107-118.
Shao, X., X. Hu, J. Shan, L. Liao, J. Tan & C.
Wu, SC., ZH. Caob, ZG. Lib, KC. Cheunga &
Kwizera. 2012. Environmental Risk Assess-
MH. Wong. 2005. Effects of bio-fertilizer
ment of soil and groundwater contamination with bio-organic fertilizer application. J
containing N-fixer, P and K solubilizers and AM fungi on maize growth: a greenhouse
Food, Agri. Environ. 2: 1209-1212.
trial. Geoderma. 125: 155-166.
Suriadikarta, DA. & RDM. Simanungkalit. 2006.
Zarabi M., I. Alahdadi, AG. Abbas & AG. Ali.
1. Pendahuluan. Dalam : Simanungkalit,
2011. A study on the effects of different bio-
RDM., DA. Suriadikarta, R Saraswati, D
fertilizer combinations on yield, its compo-
Setyorini & W Hartatik (eds.). Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar Sumber
nents and growth indices of corn (Zea mays L.) under drought stress condition. Afri. J.
Daya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan
Agri. Res. 3: 681-685.
232
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 233-243 (2013)
Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi Hutan Berdasarkan Beberapa Parameter Fotosintesis (Selecting Plant Species for Forest Restoration Based on Their Photosynthetic Parameters) Tinia Leyli Shofia Ahmad1, Dede Setiadi1, & Didik Widyatmoko2 Laboratorium Ekologi Dasar, Kampus IPB Baranangsiang, Bogor UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas – LIPI, Cipanas, Cianjur 43253 Email:
[email protected] 1
2
Memasukkan: Maret 2013, Diterima: Mei 2013
ABSTRACT Forest restoration is a process of ecosystem conditioning (soil, vegetation, and wildlife) in order to achieve similar patterns and profiles to previous conditions and status before the ecosystem was disturbed, both in terms of species composition and structure, and habitat functions. Restoration is a crucial part to maximize the conservation values of biodiversity and ecosystem functions. Eight different native plant species were assessed in this research while the photosynthetic parameters studied included the total chlorophyll content, carbohydrate content, CO2 sequestration capacity, leaf weight, leaf number, leaf area and leaf water content. Spectrophotometer was operated to analyse chlorophyll content, the Somogyi-Nelson method was used to calculate carbohydrate content, and leaf area was measured using the leaf area meter. The research results using the principal component analysis showed that each type of the plant species used for the restoration (2 years old after planting) had different characteristics in terms of photosynthetic parameters studied. Dacrycarpus imbricatus and Syzygium lineatum both had the highest carbohydrate contents and the best abilities to absorb CO2. Sloanea sigun, Alstonia scholaris, Manglietia glauca, and Castanopsis argentea had higher total chlorophyll contents than others, while Altingia excelsa, M. glauca, A. scholaris, and Schima wallichii had higher water contents. A. scholaris, M. glauca, and S. sigun had heavier leaf weights. In contrast, M. glauca possessed the widest leaves amongst the species observed. Keywords: forest restoration, photosynthetic parameters, native species
ABSTRAK Restorasi hutan merupakan suatu proses pengkondisian ekosistem (meliputi komponen tanah, vegetasi dan satwa liar) dalam upaya mencapai kondisi-kondisi seperti sebelum ekosistem tersebut terganggu (rusak), baik dari segi struktur vegetasi, komposisi jenis dan fungsi-fungsi habitatnya. Restorasi merupakan bagian sangat krusial dalam konservasi untuk memaksimalkan nilai-nilai keanekaragaman hayati dan fungsi-fungsi ekosistem. Delapan jenis tumbuhan asli (native) digunakan dalam penelitian restorasi ini dengan cara mengkaji parameter-parameter fotosintetiknya, meliputi kandungan klorofil total, kandungan karbohidrat, kapasitas sekuestrasi CO2, bobot daun, jumlah daun, luas daun, dan kadar air daun. Metode spektrofotometri digunakan untuk menganalisis kandungan klorofil, metode Somogyi-Nelson dipakai untuk menghitung kandungan karbohidrat, sedangkan leaf area meter digunakan untuk menentukan luas daun. Hasil penelitian dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis) menunjukkan bahwa masing-masing jenis tumbuhan untuk restorasi ini (berumur dua tahun setelah tanam) memiliki karakteristik-karakteristik fotosintetik yang berbeda. Dacrycarpus imbricatus dan Syzygium lineatum memiliki kandungan karbohidrat dan kapasitas mengabsorbsi CO2 paling tinggi. Sloanea sigun, Alstonia scholaris, Manglietia glauca, dan Castanopsis argentea memiliki kandungan klorofil total lebih tinggi daripada jenis-jenis lainnya, sedangkan Altingia excelsa, M. glauca, A. scholaris, dan Schima wallichii mempunyai kandungan air yang lebih tinggi. A. scholaris, M. glauca, dan S. sigun memiliki bobot daun lebih besar, sementara M. glauca secara signifikan memiliki luas daun paling besar di antara jenis-jenis yang diteliti. Kata Kunci: Restorasi hutan, parameter fotosintesis, jenis lokal
233
Ahmad dkk.
PENDAHULUAN
rena hutan merupakan salah satu ekosistem penyerap CO2 terbesar dan pohon-pohon di dalamn-
Berdasarkan Penunjukan Kawasan Hutan, Perairan dan Tata Guna Hutan Kesepakatan,
ya menggunakan CO2 dalam proses fotosintesis (MacDicken 1997; Santilli et al. 2005). Proses
luas hutan Indonesia meliputi 137.090.468,16 ha
fotosintesis terjadi jika ada cahaya dan pigmen
dan menempati urutan ketiga di dunia setelah
perantara, yaitu klorofil daun. Tumbuhan dengan
Brazil
(http://www.dephut.go.id/
kandungan klorofil tinggi akan efisien dalam
INFORMASI/BUKU2/Strategis). Selama dasa
penggunaan radiasi matahari untuk melaksanakan
warsa terakhir, kehilangan penutupan hutan akibat deforestasi dan degradasi di wilayah hutan
proses fotosíntesis (Ceulemans & Saugier 1991). Ada sekitar setengah juta kloroplas/mm2
tropis telah mengakibatkan kenaikan emisi gas
permukaan daun. Di dalam kloroplas tersimpan
rumah kaca secara global (GRK) 10-20% (Santilli
klorofil, yaitu pigmen warna hijau yang berfungsi
et al. 2005). Berdasarkan data dan hasil analisis
sebagai
Departemen Kehutanan RI, periode 1985-1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia menca-
memasuki daun dan oksigen keluar melalui stomata. Pada saat klorofil menyerap cahaya,
pai 1,8 juta hektar per tahun dan pada periode
klorofil akan mengalami eksitasi. Energi hasil
1997-2000 terjadi peningkatan yaitu mencapai
eksitasi ini akan dimanfaatkan untuk membentuk
rata-rata 2,8 juta hektar tetapi menurun kembali
ATP dan NADPH dan digunakan untuk
pada periode 2000-2005 menjadi 1,08 juta hektar/tahun. Secara umum, penurunan penutupan
mereduksi CO2 menjadi glukosa (Lambers et al. 1998; Campbell et al. 2010). Glukosa dalam
vegetasi hutan yang sangat besar terjadi di Suma-
jaringan tanaman akan dimanfaatkan untuk
tra dan Kalimantan, pada periode 1997-2000,
pembentukan akar, batang, daun, bunga dan
penurunan juga terjadi di Papua.
buah.
dan
Zaire
penyerap
cahaya.
Karbondioksida
Restorasi hutan pada dasarnya meru-
Keanekaragaman jenis pohon di hutan
pakan proses pengkondisian ekosistem untuk mencapai pola dan profil yang serupa dengan
Indonesia sangat tinggi. Namun, penelitian mengenai parameter fotosintesis pada tumbuhan
kondisi pada saat ekosistem belum terganggu,
hutan masih sangat jarang dilakukan. Dahlan
baik dari segi komposisi, struktur, maupun fungsi
(2007) telah melakukan penelitian mengenai
(Alberta University 2003). Restorasi dilakukan
kemampuan beberapa pohon dalam menyerap
sebagai upaya untuk memaksimalkan konservasi karagaman hayati dan fungsi ekosistem. Jenis
CO2 melalui pendekatan analisis karbohidrat, sedangkan Hidayati et al. (2011) meneliti
pohon yang sesuai dengan tujuan tercapainya me-
kemampuan beberapa pohon dalam menyerap
kanisme pembangunan bersih yang melibatkan
CO2 dikaitkan dengan kandungan klorofil daun.
negara maju dan negara berkembang harus memi-
Saat ini masih sangat perlu dilakukan penelitian
liki beberapa kriteria yang sesuai, seperti semai
untuk melengkapi informasi yang ada agar dapat
dapat beradaptasi dengan mudah di tempat terbuka, merupakan jenis yang dapat tumbuh dengan
memberikan kontribusi yang lebih besar dan nyata dalam usaha restorasi hutan. Penelitian ini
cepat, dan dapat berkompetisi dengan rumput
bertujuan untuk mengetahui parameter fotosin-
atau jenis gulma lainnya (Hidayati et al. 2009).
tesis yang berpengaruh pada berbagai jenis tana-
Vegetasi hutan mempunyai peranan yang
man restorasi dan melakukan pemilihan jenis
sangat penting dalam penurunan emisi GRK, ka-
yang paling sesuai untuk program restorasi hutan.
234
Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi
BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Juli 2011. Pengambilan sampel dilakukan di kawasan restorasi resort Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Gambar 1). Lahan restorasi seluas 4 ha merupakan lahan eks-Perum Perhutani yang ditanami dengan jenis-jenis pohon asli (native species). Penanaman pohon-pohon ini dilakukan oleh UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Cibodas-LIPI. Bahan penelitian merupakan tanaman
Gambar 1. Lokasi restorasi dan penelitian (dengan tanda lingkaran) di Resort Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Sumber: Balai Besar TNGGP (2004).
restorasi berumur 2 tahun (setelah penanaman) pada saat diteliti. Tanaman yang dipilih sebagai
atorium Biokimia BB-Biogen. Metode ini lebih
sampel adalah tanaman yang sehat, daun telah
praktis, volume aseton yang digunakan lebih sedi-
membuka sempurna, terkena sinar matahari penuh, dan merupakan daun ketiga dari pangkal
kit, dan tingkat ketelitiannya lebih tinggi. Daun segar sebanyak 0,1 g dipotong-potong kecil, di-
ranting. Pengambilan sampel daun dilakukan pada saat matahari bersinar cerah, dari jam 09.00-
masukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian
11.00 WIB. Sampel daun yang akan dianalisis di
inkubasi dalam ruang gelap selama 2 x 24 jam.
laboratorium dibungkus dengan alumunium foil
Klorofil yang sudah larut dalam aseton diukur
dan kertas amplop, dimasukkan ke dalam plastik, dan disimpan dalam cool box yang berisi dry ice,
absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm (untuk klorofil total).
kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis.
Kandungan klorofil total diperoleh dengan me-
Delapan jenis tanaman sampel yang
Yoshida et al. (1976), yaitu: Klorofil Total=((652
digunakan dalam penelitian ini adalah Beleketebe (Sloanea sigun (Blume) K. Schum.), Jamuju
A x 1000)/34,5) x (1/BS) x (20/1000)) mg/g bobot segar, di mana A adalah nilai absorbansi dan
(Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.), Ki Sireum (Syzygium lineatum (DC.) Merr. & L.M.
BS adalah bobot daun segar. Analisis klorofil
Perry), Lame (Alstonia scholaris (L) R.Br.),
vidu pohon untuk masing-masing jenis.
Manglid (Manglietia
Analisis karbohidrat dilakukan di Laboratorium Balai Besar Biologi dan Genetika Pertanian
(Schima (Altingia
glauca Blume), Puspa
wallichii (DC.) Korth.), Rasamala excelsa
Noronha),
dan
Saninten
direndam dalam 20 ml aseton 80%. Sampel di-
masukkan nilai absorbansi ke dalam persamaan
dengan spektrofotometer dilakukan pada 10 indi-
(BB Biogen) Bogor.
Metode analisis yang
(Castanopsis argentea A.DC.). Analisis kandungan klorofil total dilakukan
digunakan adalah metode Somogyi Nelson
dengan menggunakan spektrofotometer di Labor-
dari usia termuda sampai tertua (yang mewakili)
atorium Fisiologi Biologi FMIPA IPB tetapi
diambil dari 3 pohon (3 x 5 daun) untuk masingmasing jenis. Daun dimasukkan dalam oven sela-
mengikuti metode yang lazim dilakukan di Labor-
(Dahlan 2007). Sampel daun sebanyak 5 lembar
235
Ahmad dkk.
ma 48 jam pada suhu 70o C. Sampel kemudian digiling sampai halus, diayak dan diaduk sampai merata menjadi sampel komposit. Tepung daun komposit sebanyak 0,2 gram dimasukkan dalam
dari persamaan fotosintesis sebagai berikut: 6CO2 + 12 H2O 264 mol 108 mo
wadah gelas, kemudian ditambah dengan 20 ml HCl 0,7 N dan dihidrolisis selama 2,5 jam dalam
C6H12O6 + 6O2 + 6H2O 180 mol 192 mol 108 mol
Di mana bobot atom C, H, dan O secara bertutut-turut adalah 12,01; 1,008 dan 16,00.
penangas air. Hasil hidrolisis disaring dengan ker-
Bobot daun segar ditimbang dengan
tas saring ke dalam labu ukur 100 ml lalu dine-
neraca digital. Bobot kering diperoleh setelah
tralkan dengan NaOH 1 N (setelah diberi fenol merah). Larutan akan berubah menjadi merah
sampel daun dikeringkan dengan oven selama 48 jam (sampai bobotnya stabil). Kadar air diperoleh
muda setelah dititrasi. Selanjutnya ditambahkan 5
dari hasil pengurangan bobot basah dengan bobot
ml ZnSO4 5% dan 5 ml Ba(OH)2 0,3 N dengan
kering dibagi bobot basah. Jumlah daun dihitung
tujuan untuk mengendapkan protein dari sampel,
langsung dengan penghitungan tangan (hand
sehingga gugus CHO yang terbentuk benar-benar gugus karbohidrat. Setelah itu ditambahkan aku-
counter). Selanjutnya, diambil 3 pohon untuk masing-masing jenis, kemudian dihitung rataann-
ades sampai tanda tera 100 ml. Setelah disaring
ya. Luas daun diukur dengan cara memindai daun
dengan kertas saring, larutan supernatan yang
dengan menggunakan Leaf Area Meter Portable LI
sudah jernih diambil dengan pipet sebanyak 1 ml,
-3000C. Daun yang dipindai adalah daun tertua
kemudian dimasukkan ke dalam tabung kimia. Larutan standar dibuat 0, 5, 10, 15, 20, 25 mg,
sampai termuda (yang mewakili), dengan jumlah sampel 3 pohon untuk masing-masing jenis. Luas
kemudian ditambahkan pereaksi Cu sebanyak 2
total daun per pohon didapat dengan mengalikan
ml dan dipanaskan dalam penangas air selama 10
jumlah daun per pohon dengan luas daun per
menit, lalu didinginkan. Setelah itu ditambahkan
pohon. Luas daun per pohon digunakan untuk
pereaksi Nelson dan 20 ml air pada masing-
menduga
masing deret standar, dikocok dan dibiarkan selama 20 menit, kemudian diukur dengan spektro-
pohon untuk menyerap CO2. Analisis data dilakukan dengan analisis
fotometer pada panjang gelombang 500 nm. Kan-
sidik ragam (anova), dan jika antar parameter ter-
dungan karbohidrat didapat berdasarkan rumus
dapat perbedaan nyata kemudian dilanjutkan
Yoshida et al. (1976):
dengan Uji Duncan's Multiple Range Test
% Karbohidrat =
A x 100 x 20 x 100% S 0,2 1 1 000 000
Keterangan: S = Rerata nilai absorbansi standar A = Rerata nilai absorbansi sampel
Untuk menghitung nilai daya serap gas CO2, tetapan yang digunakan adalah sebesar 1,467 dikalikan dengan hasil analisis karbohidrat.
kemampuan
masing-masing
jenis
(DMRT). Analisis Komponen Utama (AKU) atau Principal Component Analysis (PCA) dilakukan untuk menentukan parameter yang paling berpengaruh untuk setiap tanaman. HASIL Kandungan Karbohidrat Kandungan
karbohidrat,
kandungan
Tetapan tersebut diperoleh dari pembagian nilai
klorofil total, kemampuan tanaman menyerap
264/180 (Dahlan 2007). Angka tersebut didapat
CO2, kadar air, bobot dan luas daun pada setiap
236
Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi
jenis tanaman disajikan pada Tabel 1. Daun D.
CO2 per satuan luas (mg/cm2) nampak tidak
imbricatus
berbeda nyata pada semua jenis tanaman.
memiliki
kandungan
karbohidrat
tertinggi, yaitu 22,11%. Persentase karbohidrat terbanyak kedua dimiliki S. lineatum (19,33%),
Kadar Air Altingia excelsa memiliki kadar air tertinggi
tetapi tidak berbeda nyata dengan kandungan Kandungan
(69,51%), tetapi tidak berbeda nyata dengan M.
karbohidrat terendah dimiliki oleh A. scholaris
glauca. Kadar air terendah dimiliki S. lineatum
(10,35%) dan tidak berbeda nyata dengan C.
(53,88%), walaupun tidak berbeda nyata dengan
argentea, A. excelsa, S. wallichii, dan S. sigun. Dilihat dari kandungan karbohidrat per pohon,
D. imbricatus dan S. sigun.
M. glauca memiliki nilai terbesar (0,48 kg), tetapi
Bobot dan Luas Daun
karbohidrat
D.
imbricatus.
tidak berbeda nyata dengan A. excelsa, S. lineatum,
Daun dengan bobot per helai paling be-
dan S. sigun.
sar adalah A. scholaris (1,78 g), tetapi tidak ber-
Kandungan Klorofil Total
beda nyata dengan daun jenis tanaman lainnya, kecuali dengan D. imbricatus. Dacrycarpus imbri-
Rata-rata kandungan klorofil total tertinggi
catus memiliki bobot teringan, yaitu 0,11 g. M.
dimiliki oleh S. sigun. Nilai ini tidak berbeda
glauca memiliki daun terluas, yaitu 65,07 cm2,
nyata dengan nilai rata-rata pada A. scholaris dan
walaupun tidak berbeda nyata dengan C. argentea
M. glauca, sedangkan kandungan klorofil total A. sholaris dan M. glauca tidak berbeda nyata dengan
dan S. sigun. Ukuran daun D. imbricatus adalah yang paling kecil (3,67 cm2) dibandingkan
C. argentea. Kandungan klorofil total terendah
dengan jenis-jenis lainnya.
dimiliki oleh D. imbricatus. Analisis Komponen Utama Kemampuan Tanaman Menyerap CO2
Hasil analisis komponen utama terhadap
Tanaman M. glauca mampu menyerap CO2 sebesar 0,71 kg pada usia tanam 2 tahun
parameter-parameter internal fotosintesis menunjukkan bahwa dua komponen utama dapat men-
(tertinggi di antara jenis lainnya), namun tidak
erangkan keragaman total data parameter internal
berbeda nyata dengan A. excelsa, S. lineatum, dan
fotosintesis sebesar 83,7%. Keragaman yang
S. sigun. Kemampuan tanaman dalam menyerap
mampu dijelaskan oleh faktor-faktor pada kom-
Tabel 1. Hasil pengukuran kandungan karbohidrat, kandungan klorofil total, kemampuan tanaman menyerap CO2, kadar air, bobot dan luas daun pada 8 jenis tanaman. Spesies S. sigun D. imbricatus S. lineatum A. scholaris M. glauca S. wallichii A. excelsa C. argentea
Karbohidrat (%) 15,27±3,92 abc 22,11±2,63 d 19,33±4,38 cd 10,35±1,86 a 17,20±1,30 bc 13,65±1,75 ab 13,55±1,62 ab 12,74±2,13 ab
Klorofil Total (mg/g) 2,94±1,08 d 1,34±0,33 a 2,14±0,45 bc 2,56±0,54 cd 2,39±0,49 cd 1,65±0,31 ab 1,78±0,30 ab 2,35±0,38 c
CO 2 (mg/cm2) 6,78±5,94 a 11,99±6,84 a 6,29±2,76 a 5,90±2,54 a 7,06±3,89 a 5,23±3,11 a 7,87±4,10 a 5,27±3,85 a
Kadar Air (%) 58,17±3,04 abc 54,43±3,17 ab 53,88±3,88 a 65,29±2,33 cd 69,06±0,56 d 64,40±8,92 cd 69,51±1,76 d 61,50±0,91 bc
Bobot Daun (g) 1,62±1,73 b 0,11±0,01 a 0,45±0,22 ab 1,78±1,06 b 1,75±0,84 b 0,92±0,45 ab 1,23±0,44 ab 1,42±0,79 ab
Luas Daun (cm2) 53,01±11,35 de 3,67±1,53 a 20,01±2,89 b 42,78±6,50 cd 65,07±5,88 e 37,83±5,29 c 34,02±10,10 c 54,32±11,15 de
Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 0,05. 237
Ahmad dkk.
ponen utama I (KU I) yaitu sebesar 67,5%, se-
1,5
dangkan keragaman yang mampu dijelaskan oleh
1,0
Hasil analisis komponen utama digunakan
0,5
D. imbricatus
Rata2 luas per daun
KH
parameter internal fotosintesis (menggunakan
-1,0
biplot) dan menunjukkan bahwa dari beberapa
-1,5
sudut terkecil dan merupakan sudut lancip
A. scholaris
0,0 -0,5
tukan pembentukan karbohidrat karena memiliki
M. glauca
CO2
Berat per daun
untuk menjelaskan interaksi antara parameter-
parameter internal fotosintesis yang dianalisis, CO2 merupakan parameter yang paling menen-
S. wallichii Kair
KU II (16.2% )
faktor-faktor pada komponen utama II (KU II) sebesar 16,2% (Tabel 2).
A. excelsa
C. argentea Klo Tot
S. lineatum S. sigun -5
-4
-3
-2 -1 KU I (67.5 %)
0
1
2
Gambar 2. Biplot interaksi 8 jenis tanaman dengan beberapa parameter fotosintesis.
(Gambar 1), atau dengan kata lain terdapat korelasi positif antara parameter karbohidrat dengan CO2 dengan koefisien korelasi sebesar 72,3%.
PEMBAHASAN
Parameter-parameter lainnya, yaitu kandungan klorofil total, kadar air, bobot dan luas daun,
Hasil analisis komponen utama (untuk menjelaskan interaksi antar parameter fotosin-
memiliki korelasi negatif dengan karbohidrat
tesis) menunjukkan bahwa terdapat korelasi posi-
(Tabel 3). Koefisien
tif antara kandungan karbohidrat dan CO2. Sekarbohidrat,
baliknya, parameter-parameter lainnya (termasuk
klorofil total, CO2, kadar air, bobot dan luas daun
kandungan klorofil total, bobot dan luas daun,
disajikan pada Tabel 3. Hasil analisis komponen utama dengan menggunakan biplot dapat men-
serta kadar air) memiliki korelasi negatif dengan kandungan karbohidrat. Korelasi positif mengan-
jelaskan bahwa setiap parameter yang dianalisis
dung pengertian bahwa apabila CO2 meningkat
ternyata memberikan pengaruh yang berbeda pada setiap jenis tanaman (Tabel 4).
maka kandungan karbohidrat akan meningkat
korelasi
antara
Tabel 2. Matriks nilai ciri korelasi beberapa parameter fotosintesis. Komponen Utama 1 2
Nilai ciri
Keragaman
4,051
0,675
Akumulasi keragaman 0,675
0,971
0,162
0,837
pula. Setiap tanaman memiliki karakteristik yang berbeda. Pemilihan jenis tanaman restorasi dapat mempertimbangkan parameter-parameter yang lebih diutamakan. Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa, jika parameter CO2 menjadi pertimbangan utama, maka D. imbricatus dan S. lineatum merupakan jenis yang paling
Tabel 3. Koefisien korelasi karbohidrat, klorofil total, CO2, kadar air, bobot dan luas daun. Parameter Karbohidrat Klorofil Total CO2 Kadar Air Bobot Daun
238
Klorofil Total -0,432
CO2 0,723 -0,548
Kadar Air -0,629 0,101 -0,334
Bobot Daun -0,713 0,755 -0,553 0,713
Luas Daun -0,591 0,733 -0,649 0,609 0,908
Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi
Tabel 4. Respons jenis tanaman terhadap parameter-parameter fotosintesis yang dikaji.
Parameter Fotosintesis
Spesies
Kandungan karbohidrat D. imbricatus, S. lineatum Kandungan klorofil total S. sigun, A. scholaris, M. glauca, C. argentea CO2 D. imbricatus, S. lineatum Kadar air A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, S. wallichii A. scholaris, M. glauca, S. sigun Bobot per daun M. glauca Luas per daun haraan sel, sebelum akhirnya terakumulasi mensesuai dibandingkan dengan 6 jenis tanaman jadi biomassa hidup dari tumbuhan (Kramer & lainnya. Tanaman yang mempunyai kemampuan Kozlowski 1979). menyerap CO2 lebih besar akan sangat berguna Tinggi-rendahnya kandungan karbohidrat dalam usaha mitigasi iklim. Tanaman yang mempada sampel disebabkan oleh distribusi hasil iliki kandungan karbohidrat tinggi diharapkan fotosintesis. Nilai karbohidrat yang rendah meakan lebih cepat pertumbuhannya. A. excelsa nandakan bahwa karbohidrat lebih banyak disimmemiliki kapasitas menyimpan air lebih besar pan di dalam organ lain daripada di daun. Jumlah daripada jenis-jenis lainnya, sehingga dapat daun per tanaman yang sedikit, memberikan kesdigunakan dalam usaha konservasi air. empatan pada daun yang ada untuk menjadi Karakteristik A. scholaris terletak pada bobot dan source, karena daun berkesempatan menerima M. glauca pada luas daunnya. Karakteristik cahaya dan menghasilkan fotosintat yang kandungan klorofil tinggi dimiliki oleh S. sigun. digunakan oleh organ lain. Tanaman dengan D. imbricatus memiliki kandungan jumlah daun banyak menyebabkan banyak daun karbohidrat tertinggi. Tanaman ini merupakan ternaungi, sehingga lebih banyak daun yang menkelompok tanaman berdaun jarum (conifer), yang jadi sink. Akibatnya, di dalam populasi terlihat memiliki ukuran daun terkecil dibandingkan 7 korelasi negatif antara hasil dengan jumlah daun. jenis tanaman lainnya (dengan luas rata-rata 3,67 2 Rostini et al. (2003) menunjukkan bahwa hasil cm ), sehingga proses evapotranspirasinya kecil asimilasi yang tinggi pada tanaman kedelai akan dan akumulasi fotosintatnya besar. Dengan kata didistribusikan lebih banyak ke organ reproduksi lain, CO2 yang diserap per pohon paling kecil dibandingkan organ vegetatif. nilainya, tetapi CO2 yang diserap per satuan luas Tingginya karbohidrat yang dihasilkan oleh paling tinggi. Karakterstik tersebut juga berlaku suatu tumbuhan menentukan kemampuan untuk S. lineatum yang juga memiliki daun 2 tumbuhan dalam menyerap CO2 yang digunakan berukuran kecil (luas rata-rata 20,01 cm ). oleh tumbuhan tersebut untuk melakukan proses Besaran nilai produk fotosintesis bersih fotosintesis. Karbohidrat didapat dengan (NPP) dapat didekati dengan cara mengukur karmengubah CO2 menjadi (CH2O)n. Karbohidrat bohidrat, biomassa, dan serasah (Landsberg & diperoleh dengan cara memfiksasi CO2 bebas Gower 1997). Setelah CO2 diserap oleh daun, yang terdapat di udara. CO2 yang didapat akan maka akan diubah menjadi karbohidrat yang dibawa ke dalam siklus Calvin-Benson atau sering kemudian akan diikuti oleh beberapa proses, sepjuga disebut reaksi gelap, yaitu siklus yang tidak erti respirasi gelap, pembentukan dan pemeli239
Ahmad dkk.
memerlukan cahaya matahari dalam prosesnya
dengan sintesis klorofil, juga protein dan enzim.
(seperti pada reaksi terang). Karbondioksida akan
Enzim Rubisco berperan sebagai katalis dalam
diikat oleh enzim rubisco dan selanjutnya akan terbentuk sukrosa. Sukrosa-sukrosa yang
fiksasi CO2 (Salisbury & Ross 1995). Kondisi lingkungan tumbuh dapat berakibat pada
terbentuk ini akan diikat menjadi satu sehingga
penurunan fotosintesis atau serapan CO2 terma-
akan diperoleh pati yang nantinya digunakan
suk intensitas cahaya yang kurang, suhu dan
dalam proses respirasi untuk menghasilkan energi
ketersediaan hara yang rendah (Cleumans & Sau-
atau
makanan.
gier 1991), sehingga mempengaruhi produktivitas
Semakin banyak tumbuhan menghasilkan pati, karbondioksida yang difiksasi juga semakin
tamanan. Daun dengan kandungan klorofil tinggi
banyak. Dengan banyaknya CO2 yang diserap
tidak selalu menghasilkan serapan CO2 tinggi
maka emisi CO2 akan makin berkurang, sehingga
karena masih banyak faktor lain yang juga menen-
peningkatan suhu akibat efek gas rumah kaca
tukan laju serapan CO2. Untuk itu, banyak faktor
dapat diatasi dan pemanasan global dapat dikurangi.
yang harus diperhatikan dalam pengukuran laju serapan CO2 tanaman agar dicapai interpretasi
Berdasarkan metode spektrofotometer,
nilai laju fotosintesis yang benar, di antaranya
peringkat kandungan klorofil total berturut-turut
adalah metode yang digunakan, kondisi ling-
adalah S. sigun, A. scholaris, M. glauca, C. ar-
kungan tumbuh dan mikroklimat pada saat pen-
gentea, S. lineatum, A. excelsa, S. wallichii, dan D. imbricatus. Jika dilihat dari hasil analisis statisti-
gukuran, ukuran atau umur tanaman yang diukur, umur daun (daun muda/daun tua), serta
knya, nilai kandungan klorofil kedelapan jenis
akurasi alat yang digunakan. Tanaman yang tum-
tersebut tidak berbeda nyata antara satu jenis
buh atau diukur pada kondisi alam in situ bi-
dengan jenis lainnya. Kandungan klorofil S. sigun
asanya memiliki laju serapan
tidak berbeda nyata dengan A. scholaris dan M.
tinggi dibandingkan dengan tanaman yang tum-
glauca. Kandungan klorofil A. scholaris dan M. glauca juga tidak berbeda nyata dengan C. ar-
buh pada kondisi lingkungan terkontrol seperti rumah kaca. Untuk itu, dalam penelitian harus
gentea, sedangkan kandungan klorofil A. argentea
disertakan spesifikasi kondisi pertumbuhan tana-
tidak berbeda nyata dengan S. lineatum. S. linea-
man dan lingkungan pada saat pengukuran serta
tum memiliki nilai kandungan klorofil yang tidak
metode dan instumen yang digunakan (Hidayati
berbeda nyata dengan A. excelsaa dan S. wallichi. A. excelsaa dan S. wallichi memiliki total klorofil
et al. 2011). Pada kondisi lingkungan yang baik bagi tanaman, penyaluran energi dalam bentuk
yang tidak berbeda nyata dengan D. imbricatus.
reaksi fotokimia relatif besar, sehingga proses
disimpan
sebagai
cadangan
CO2 yang lebih
Adanya perbedaan kandungan klorofil pada
fotosintesis akan berjalan dengan laju yang tinggi,
jenis tanaman yang berbeda, yang tumbuh pada
sejalan dengan tingginya laju transpor elektron
lingkungan sama, menunjukkan adanya perbe-
dalam reaksi terang fotosintesis. Dalam keadaan
daan respons fisiologi yang berbeda. Hasil penelitian Suharja & Sutarno (2009) pada dua
lingkungan yang kurang menguntungkan, misalnya terjadi cekaman kekeringan, keasaman tinggi,
varietas cabai yang diberi perlakuan pupuk ber-
dan suhu rendah/tinggi, penyaluran energi ke
beda adalah tidak sama. Rendahnya kandungan
arah fotokimia akan mengalami hambatan (Taiz
nutrien serperti N dan Mg akan mempengaruhi
& Zeiger 1991).
pembentukan klorofil. Nitrogen berkaitan erat 240
Kandungan klorofil dan karbohidrat yang
Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi
tidak berkorelasi positif, tidak berarti menunjuk-
Ross 1995; Lakitan 2004).
kan tidak adanya hubungan antara jumlah klorofil
Karena komponen utama tanaman hijau
dengan kandungan karbohidrat. Hal ini bisa disebabkan karena tumbuhan-tumbuhan tertentu
adalah air maka bobot basah, bobot kering dan kandungan air akan mempunyai asosiasi yang
tidak menyimpan banyak pati di dalam daunnya,
kuat. Banyak faktor yang mempengaruhi asosiasi
tetapi menyimpannya dalam organ lain, seperti
tersebut, seperti jenis, umur, kondisi pertum-
buah, batang, atau akar. Klorofil dan karbohidrat
buhan tanaman, dan kadar air tanah. Dengan
memiliki hubungan erat dalam proses fotosintesis.
demikian kandungan air dalam kanopi (daun)
Klorofil berperan dalam proses fotolisis air dan dari proses ini energi tersedia bagi tumbuhan un-
merupakan faktor penting dalam deteksi potensi kebakaran hutan (Chuvieco et al. 2002) atau pen-
tuk melakukan proses fotosintesis. Tanpa klorofil,
ingkatan kandungan air tanah (Yilmaz et al.
tumbuhan tidak akan dapat membuat maka-
2008). Kekurangan air mengganggu aktivitas fisi-
nannya sendiri.
ologis dan morfologis tanaman, sehingga dapat
Pohon dengan laju pertumbuhan cepat memiliki asimilasi CO2 lebih tinggi pada tanaman
mengakibatkan terhentinya pertumbuhan. Kekurangan air secara terus menerus akan menyebab-
beriklim tropis (Hidayati et al. 2009). Hasil mon-
kan perubahan irreversible dan pada gilirannya
itoring Tim Kebun Raya Cibodas menunjukkan
tanaman mati (Fitter & Hay 1981), namun
bahwa di antara kedelapan jenis tanaman
beberapa
restorasi, D. imbricatus dan S. lineatum memiliki keragaan terbaik. D. imbricatus memiliki laju per-
kekurangan air justru untuk menginisiasi pembungaan (Goldsworthy & Fisher 1992).
tumbuhan tertinggi dan S. lineatum memiliki
Hasil pengukuran kadar air pada penelitian
tingkat ketahanan hidup yang paling tinggi
ini menunjukkan bahwa A. excelsa dan M. glauca
(Rahman et al. 2011). Hal ini sesuai dengan hasil
memiliki kadar air yang paling tinggi dan ini
penelitian ini, bahwa D. imbricatus memiliki ke-
dapat diasumsikan bahwa kedua jenis tanaman ini
mampuan menyerap CO2 tertinggi diikuti oleh S. lineatum, walaupun tidak berbeda nyata dengan
memiliki kemampuan lebih tinggi dalam kapasitas menyerap air dan menyimpan air di daun
jenis lainnya. Kedua jenis tanaman ini juga mem-
dibandingkan dengan kelima jenis lainnya. Air
iliki kandungan karbohidrat daun tertinggi. Tum-
masuk ke dalam tumbuhan melalui akar pada
buhan yang sedang tumbuh memiliki laju fotosin-
pembuluh angkut xilem menuju daun. Elektron
tesis dan laju translokasi fotosintat yang tinggi (Lakitan 2004).
dihasilkan dari pemecahan molekul air dengan produksi oksigen berkesinambungan dan
Proses fotosintesis juga membutuhkan air.
ditranspor melalui rantai transpor elektron yang
Jika tumbuhan kekurangan air, maka translokasi
tertanam dalam membran tilakoid. NADPH dan
air dari akar ke daun berkurang. Untuk mengu-
ATP yang dihasilkan dari proses ini digunakan
rangi kehilangan air, terutama pada kondisi
dalam
kelembapan udara sangat rendah, maka bukaan stomata akan mengecil bahkan menutup. Dengan
menghasilkan karbohidrat (Lambers et al. 1988). Kadar air S. lineatum dan D. imbricatus adalah
demikian masuknya gas CO2 ke dalam daun lewat
yang paling rendah. Dapat dijelaskan bahwa da-
stomata akan berkurang. Kemampuan fotosintesis
lam kondisi lingkungan yang sama, kapasitas
akan meningkat dengan bertambahnya umur dan
transpor air juga sama, sehingga air yang tersim-
luasan daun (Taiz & Zeiger 1991; Salisbury &
pan di daun lebih sedikit (Lambers et al. 1998).
jenis
reaksi
pohon
gelap
merespons
fotosintesis
periode
untuk
241
Ahmad dkk.
Hasil analisis komponen utama dengan
lebih lama, sehingga dapat diperoleh data yang
menggunakan biplot menunjukkan bahwa param-
lebih komprehensif dan model-model penguku-
eter luas daun merupakan parameter yang paling berpengaruh terhadap kandungan klorofil total
ran yang aplikatif.
dibandingkan bobot daun. Parameter lainnya,
DAFTAR PUSTAKA
yaitu kadar air, juga memiliki korelasi positif dengan kandungan klorofil. Kandungan CO2
Alberta University. 2003. Land Reclamation, Re-
daun memiliki korelasi negatif dengan kandungan
mediation, and Restoration. http://www.rr.
klorofil total. Menurut Gardner et al. (1985) permukaan luar daun yang luas dan datar memung-
ualberta.ca/Reseach. Balai Besar TNGGP. 2004. Peta Aksesibilitas
kinkan daun menangkap cahaya secara maksimal
Kawasan Taman Nasional Gunung Gede
per satuan volume dan meminimalkan jarak yang
Pangrango, Cipanas, Cianjur.
harus ditempuh oleh CO2 dari permukaan daun
Campbell, NA., LG. Mitchell & JB. Reece. 2010.
ke kloroplas. Semakin besar luas daun dan semakin tinggi intensitas cahaya matahari, maka
Biologi. Edisi ke-8 Jilid 1. H.W. Hardani (ed.). D.T. Wulandari (penerjemah).
cahaya yang mampu diserap oleh daun makin
Penerbit Erlangga, Jakarta.
tinggi dan laju fotosintesis akan terjadi secara
Ceulemans, RJ. & B. Saugier. 1991. Photosyn-
maksimum.
thesis. Dalam: Raghavendra, A.S. (ed). Physi-
KESIMPULAN DAN SARAN
ology of Tree. Wiley & Sons, Inc., New York. Hlm 21-50. Chuvieco, E., D. Riaño, I. Aguado, & D. Cocero.
Jenis tanaman restorasi yang dikaji
2002. Estimation of fuel moisture content
(berusia 2 tahun setelah tanam) memiliki karak-
from multitemporal analysis of Landsat The-
teristik yang berbeda ditinjau dari parameter-
matic Mapper reflectance data: applications
parameter fotosintesis yang diteliti. D. imbricatus dan S. lineatum memiliki kandungan karbohidrat
in fire danger assessment. Inter J. Remote Sensing 23: 2145–2162.
dan kemampuan menyerap CO2 paling tinggi dan
Dahlan, EN. 2007. Analisis Kebutuhan Luasan
direkomendasikan menjadi tanaman yang sesuai
Hutan Kota Sebagai Sink Gas CO2 Antropo-
untuk usaha restorasi dan mitigasi iklim. S. sigun,
genik dari Bahan Bakar Minyak dan Gas di
A. scholaris, M. glauca, dan C. argentea memiliki kandungan klorofil total yang tinggi, sedangkan
Kota Bogor dengan Pendekatan Sistem Dinamik [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pas-
A. excelsa, M. glauca, A. scholaris, dan S. wallichii
casarjana Institut Pertanian Bogor.
memiliki kadar air yang tinggi. A. scholaris, M.
Fitter, AH. & RKM. Hay. 1981. Fisiologi Ling-
glauca, dan S. sigun memiliki bobot daun yang
kungan Tanaman. Andani, S. & ED.
lebih besar daripada jenis lainnya. M. glauca
Purbayanti (penerjemah). Gadjah Mada
merupakan pohon dengan ukuran daun terluas. Terlepas dari berbagai faktor yang bisa
University Press, Jogyakarta. Gardner, FP., RB. Pearce, & RL. Mitchell. 1985.
mempengaruhi hasil penelitian, masih diperlukan
Physiology of Crop Plants. Iowa State Univer-
penelitian lanjutan dengan menggunakan jumlah
sity Press. Iowa.
sampel yang besar dengan rentang penelitian yang
242
Goldsworthy, PR. & NM. Fisher. 1992. Fisiologi
Kajian Pemilihan Jenis Tumbuhan Untuk Restorasi
Budidaya
Tanaman
Tropik.
Tohari
Kondisi Terkini dan Tantangan ke Depan”.
University
UPT BKT Kebun Raya Cibodas-LIPI
Press, Jogyakarta. Hidayati, N., T. Juhaeti, & M. Mansur. 2009.
bekerjasama dengan Perhimpunan Biologi Indonesia, Balai Besar Taman Nasional
Biological diversity contribution to reducing
Gunung Gede Pangrango, dan SEAMEO
CO2 in the atmosphere. Makalah dis-
BIOTROP. Cibodas, 7 April 2011. p. 500-
mpaikan dalam International Seminar on
505.
(penerjemah).
Gadjah
Mada
Achieving Resilient-Agriculture to Climate
Rostini, N., A. Baihaki, R. Setiamihardja, & G.
Change through Development of ClimateBased Risk Management Scheme. Bogor, 17
Suryatmana. 2003. Korelasi kandungan klorofil beberapa daun dengan hasil pada
– 19 November 2009.
tanaman kedelai. Zuriat 14: 47-50.
Hidayati, N., T. Juhaeti, & M. Mansur. 2011.
Salisbury, FB. & CW. Ross. 1995. Plant Physiolo-
jenis-jenis
gy. 4th edition. Wadsworth Publishing Com-
pohon di Taman Buah Mekar Sari Bogor, kaitannya dengan potensi mitigasi gas rumah
pany. California. Santilli, M., P. Moutinho, S. Schwartzman, D.
Serapan karbondioksida (CO2)
kaca. J Biol. Indonesia 7: 133-145. Kramer, PJ. & TT. Kozlowski. 1979. Physiologi of Woody Plants. Academic Press. New York.
Nepstad, L. Curran, & C. Nobre. 2005. Tropical deforestation and the Kyoto Protocol. Climatic Change 71: 267–276.
Lakitan, B. 2004. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Suharja & Sutarno. 2009. Biomass, chlorophyll and nitrogen content of leaves of two chilli
Lambers, H., CF. Stuart, & LP. Thijs. 1998.
pepper varieties (Capsicum annum) in differ-
Plant Physiological Ecology. Springer. New
ent fertilization treatments. Bioscience 1: 9-
York.
16.
Landsberg, JJ. & ST. Gower. 1997. Aplications of
Taiz, L. & E. Zeiger. 1991. Plant Physiology. The
Physiological Ecology to Forest Management. Academic Press. London.
Benjamin Cunnings Publishing Company, Inc. California.
MacDicken, KG. 1997. A Guide Monitoring Car-
Yilmaz, MT., ER. Hunt, & TJ. Jackson. 2008.
bon Storage in Forestry and Agroforestry Pro-
Remote sensing of vegetation water content
ject. Forest Carbon Monitoring Program
from equivalent water thickness using satel-
Winrock International. Arlington, VA, USA. Rahman, W., F. Kurniawati, AP. Iskandar, IW.
lite imagery. Remote Sensing Envi 112: 25142522.
Hidayat, D. Widyatmoko, & SR. Ariati.
Yoshida, S. 1981. Fundamentals of rice crop sci-
2011.
Survivorship and growth of eight
native tree species during their early stage at
ence. The International Rice Research Institute. Philippines.
a restored land within Gede Pangrango Na-
Yoshida, S, DA. Forno, JH. Cock, & KA.
tional Park, Indonesia. Prosiding Seminar Nasional “Konservasi Tumbuhan Tropika:
Gomez. 1976. Laboratory Manual for Physiological Studies of Rice. Third edition. The International Rice Research Institute. Philippines.
243
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 245-254 (2013)
Kajian Pemberian Pakan Alternatif terhadap Konsumsi, Kecernaan, dan Efisiensi Penggunaan Pakan pada Jelarang Paha Putih (Ratufa Affinis Raffles, 1821) (Study of Alternative Food on Consumption, Digestibility, and Feed Efficiency Use of Cream-Coloured Giant Squirrel (Ratufa Affinis Raffles, 1821). Wartika Rosa Farida & Siti Nuramaliati Prijono Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong Science Center, Jln. Raya Jakarta-Bogor KM 46, Cibinong 16911 E-mail:
[email protected] Memasukkan: April 2013, Diterima: Juni 2013
ABSTRACT Four cream-coloured giant squirrel (Ratufa affinis) consisted of one male and three females used in this study to determine the effect of feeding alternatives on consumption, digestibility, and feed efficiency use. During the study each of the animals was placed in individual cages equipped with sleeping box. Feed given were consisting of Guava (Psidium guajava), sweet corn (Zea mays), coconut (Cocos nucifera), peanut (Arachis hypogea), cucumber (Cucumis sativus), mung bean sprouts (Vigna radiata), and sunflower seed (Helianthus annuus). Feedstuffs are given based on this animal preferences on the grain in its natural habitat. Feed given cafetaria and drinking water available ad libitum. Results showed that the average of dry matter consumed by male was 45.95 g / head / day and by female 39.14 g / head / day; rough protein by male 6.99 g / head / day and by female 5.76 g / head / day ; gross energy by male 2392 cal / head / day and by female 2116 cal / head / day. Feed efficiency use of male is 13,99% and female is 12,63%. The average of body weight gain of the male animal is higher than that of the female, namely 6.43 g / head / day and 4.88 g / head / day respectively. The average value of digested organic matter or Total Digestible Nutrient (TDN) was higher in the female animal, namely 95.41%, than that of the male, namely 92.68%; as well as digested energy or Digestible Energy (DE) in the female animal was higher than that in the male, namely 93.60% and 91.17%, respectively. Keywords: alternative feed, consumption, digestibility, Ratufa affinis ABSTRAK Empat ekor jelarang paha putih (Ratufa affinis) terdiri dari satu jantan dan tiga betina digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pemberian pakan alternatih terhadap konsumsi, kecernaan, dan efisiensi penggunaan pakan. Selama penelitian yang berlangsung, masing-masing jelarang ditempatkan di dalam kandang individu yang dilengkapai dengan kotak tidur. Pakan yang diberikan terdiri dari jambu biji (Psidium guajava), jagung manis (Zea mays), kelapa (Cocos nucifera), kacang tanah (Arachis hypogea), ketimun (Cucumis sativus), tauge kacang hijau (Vigna radiata), dan biji bunga matahari (Helianthus annuus). Pemberian bahan pakan tersebut berdasarkan kesukaan jelarang akan biji-bijian di habitat aslinya. Pakan diberikan secara cafetaria dan air minum tersedia ad libitum. Hasil penelitian menunjukkan rataan konsumsi bahan kering oleh jantan 45,95 g/ekor/hari dan betina 39,14 g/ekor/hari; proteinn kasar oleh jantan 6,99 g/ekor/hari dan betina 5,76 g/ekor/hari; energi bruto oleh jantan 2392 kal/ekor/hari dan betina 2116 kal/ekor/hari. Rataan Pertambahan bobot badan jelarang jantan lebih tinggi daripada betina masing 6,43 g/ekor/hari dan 4,88 g/ekor/hari. EPP jelarang jantan 13,99% dan betina 12,63%. Rataan nilai bahan organik tercerna atau Total Digestible Nutrient (TDN) lebih tinggi pada jelarang betina 95,41% dibandingkan jelarang jantan 92,68%, demikian pula nilai energi tercerna atau Digestible Energy (DE) lebih tinggi pada jelarang betina 93,60% dibandingkan jelarang jantan 91,17%. Kata Kunci: pakan alternatif, konsumsi, kecernaan, Ratufa affinis
PENDAHULUAN
dentia, famili sciuridae yang penyebarannya meliputi Thailand Selatan, Semenanjung Malaysia,
Jelarang paha putih (Ratufa affinis Raffles, 1821) adalah sejenis bajing besar dari ordo ro-
Singapura, Sumatra dan Kalimantan. Satwa ini hidupnya dibawah kanopi pohon-pohon tinggi di 245
Farida & Prijono
hutan primer maupun hutan sekunder. Satwa ini
Pakan alternatif yang diberikan kepada
hidupnya selalu di atas pohon (arboreal) dan tidak
satwaliar merupakan pakan yang tidak dijumpai
pernah terlihat turun ke tanah (Saiful & Nordin 2004). Saat ini jelarang paha putih berstatus
oleh satwa tersebut di habitat aslinya. Berdasarkan jenis-jenis pakan di alam, di penangkaran
dilindungi dan tercantum dalam CITES appendix
perlu dicarikan pengganti pakan tersebut berupa
II (Duckworth et al. 2008). Jelarang paha putih
jenis buah, sayuran, ataupun biji-bijian yang ada
bersifat aktif di siang hari (diurnal), hidupnya
di pasaran dan ketersediaan berkesinambungan.
kadang berpasangan ataupun sendiri, biasanya
Pakan merupakan kebutuhan utama bagi satwa
akan keluar sarang pada waktu setelah fajar dan kembali lagi kesarangnya sebelum hari gelap. Pa-
untuk memenuhi kebutuhan kehidupan pokon dan produksi (pertumbuhan, reproduksi, dan lain
kan utama R.affinis di habitatnya adalah biji-
-lainnya).
bijian dan sebagai pelengkap memakan juga de-
mengetahui konsumsi, kemampuan cerna dan
daunan, buah-buah hutan, kacang-kacangan, ku-
efisiensi penggunaan pakan pada jelarang paha
lit kayu, serangga, dan telur. Beberapa hasil penelitian di Malaysia
putih yang diberi pakan alternatif di penangkaran.
melaporkan populasi jelarang ini terus menurun
BAHAN DAN CARA KERJA
Tujuan dari penelitian ini untuk
akibat kerusakan habitat dan perburuan liar, juga diduga adanya persaingan dalam mendapatkan
Penelitian
ini
dilaksanakan
di
Pe-
pakan di hutan dengan hewan vertebrata arboreal lainnya seperti burung dan terutama primata,
nangkaran Mamalia Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi – LIPI selama 52 hari, terdiri
khususnya jenis buah-buahan dan dedaunan, yang
dari 10 hari preliminary (masa adaptasi pakan)
merupakan pakan yang disukai jelarang (Saiful &
dan 42 hari (6 minggu) masa pengumpulan data.
Nordin 2004).
Empat ekor jelarang paha putih terdiri dari 1 ekor jantan dan 3 ekor betina berumur kurang lebih 13 -18 bulan, masing-masing ditempatkan dalam kandang individu berukuran 3,86 m x 2,10 m x 2,60 m (panjang x lebar x tinggi). Di setiap kandang telah dilengkapi dengan tempat pakan, tempat minum, kotak tidur, dan batang-batang kayu yang saling melintang untuk tempat beraktivitas. Pakan yang diberikan terdiri dari jambu biji (Psidium guajava), jagung manis (Zea mays), kelapa (Cocos nucifera), kacang tanah (Arachis hypogea), ketimun (Cucumis sativus), tauge kacang hijau (Vigna radiata), dan biji bunga matahari (Helianthus annuus). Pemberian bahan pakan tersebut berdasarkan kesukaan jelarang akan bijibijian dan buah-buahan di habitat aslinya. Pakan
Gambar 1. Jelarang paha putih (Ratufa affinis Raffles, diberikan secara bebas pilh atau cafetaria (Leeson 1821) (Foto : W.R. Farida, 2011) & Summer 1978). Penimbangan setiap jenis pa-
kan dilakukan sebelum pakan disajikan dan sisa 246
Kajian Pemberian Pakan Alternatif terhadap Konsumsi, Kecernaan
pakan ditimbang pada keesokan harinya guna
HASIL
mengetahui konsumsi pakan segarnya. Air minum tersedia ad libitum. Bobot badan jelarang ditimbang pada awal dan akhir penelitian. Ana-
Komposisi nutrien bahan pakan penelitian jelarang dan konsumsi bahan segar dan
lisis bahan kering dan nutrien (zat-zat makanan)
bahan kering dapat dilihat pada Tabel 2 dan
bahan menggunakan metoda proksimat (AOAC
Tabel 3. Gambar 2 dan Gambar 3 memperlihat-
1995). Untuk perhitungan kecernaan zat-zat ma-
kan tingkat kesukaan pakan segar oleh jelarang
kanan (nutrien), maka dilakukan koleksi feses
dan konsumsi bahan kering tiap jenis pakan pada
total jelarang setiap hari (Tillman et al. 1991). Pengolahan data dilakukan dengan
jelarang jantan dan betina. Tabel 4 memaparkan tentang konsumsi bahan kering tiap jenis pakan
mendeskripsikan data dalam bentuk tabel dan
oleh jelarang.
diagram hasil penelitian ke dalam suatu kalimat
Nilai Bahan ekstrak tanpa nitrogen
pernyataan yang dapat menjelaskan sekaligus me-
(BETN)
nyimpulkan hasil penelitian yang diperoleh. Metoda deskripsi digunakan karena jumlah mate-
lebih tinggi dibandingkan bahan lainnya, karena bahan pakan tersebut merupakan tanaman yang
ri penelitian yang terbatas.
mengandung karbohidrat tinggi dan sesuai
tauge, jagung manis, dan jambu biji
digunakan sebagai bahan pakan (Maynard dan Loosli, 1979). Kacang tanah dan biji bunga matahari mempunyai protein kasar yang tinggi dibanding jenis pakan lain sehingga dapat diberi-
Tabel 1. Jumlah tiap jenis pakan yang diberikan pada jelarang Jenis pakan Jambu biji Jagung manis Kelapa Kacang tanah Ketimun Tauge kacang hijau Biji bunga matahari Total
kan kepada jelarang untuk memenuhi kebutuhan
Jumlah (g/hari/ekor) 80 100 40 20 15 15 40 310
protein dalam tubuhnya.
Kelapa dan kacang
tanah mempunyai kandungan lemak yang tinggi diikuti dengan kandungan energinya yang tinggi pula. Kandungan energi yang tinggi berpengaruh terhadap konsumsi kelapa dan kacang tanah (Wahju, 1992). jelarang
tertera
LK
SK
Pertambahan bobot badan pada
Tabel
5
dan
hasil
Tabel 2. Komposisi nutrien bahan pakan jelarang (% BK)
Bhn pakan
BK
Abu
PK
BETN
(%)
EB (kal/g)
Jambu biji
11,80
3,90
5,20
1,40
20,10
69,40
4.655
Jagung manis
20,67
3,03
14,16
7,16
1,62
74,03
4411
Kelapa
47,52
2,02
7,30
65,8
24,03
0,85
6.997
Kacang tanah
72,00
2,26
26,93
43,67
11,25
15,89
7.367
Ketimun
18,72
6,37
20,84
0,94
18,66
53,19
3.682
Tauge kacang hijau
28,22
1,03
7,59
0,35
2,10
88,93
1.235
Biji matahari
90,99
3,10
25,30
9,30
3,30
59,00
3.884
Keterangan : BK = Bahan kering; SK = Serat kasar; EB = Energi bruto PK = Protein kasar; BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen
247
Farida & Prijono
pada Tabel 6.
Tabel 3. Rataan konsumsi bahan segar (BS) dan bahan kering (BK)
Kebutuhan
Rataan Peubah Jantan Betina 1 Betina 2 Betina 3 Betina ------------- (g/ekor/hari) -----------------BS 26,18 21,48 22,44 19,74 21,22 BK 6,56 6,02 6,05 4,70 5,59
Konsumsi (g/ekor/hari)
jelarang
yang
dihitung berdasarkan konsumsi nutrien per hari dibagi konsumsi bahan kering kemudian dikali
Jelarang
100% tertera pada Tabel 7. PEMBAHASAN Pakan bagi hewan diperlukan untuk kelangsungan proses biologis dalam tubuhnya.
80.00 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 -
Konsumsi pakan dipengaruhi oleh bobot badan, Jantan
individu
Betina
hewan,
jenis
pakan,
dan
faktor
sifat seleksi terhadap bahan pakan yang tersedia. Aktivitas konsumsi meliputi proses mencari
Ja
gu ng
m
an is
ta na h
ug e Ta
Ka ca ng
mb u
bij i
pa Ja
Ke la
Bi ji b
un ga m
ata
ha r
i
lingkungan. Hewan pada umumnya mempunyai Ke t im un
nutrien
makan, mengenal dan mendekati pakan, proses
Bahan pakan segar
bekerjanya indra hewan terhadap pakan, proses
Gambar 2. Tingkat kesukaan pakan segar oleh jelarang
memilih pakan dan proses menghentikan pakan Konsumsi BK (g/ekor/hari)
16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 -
Jantan
(Arora, 1989). Dari Tabel 3 terlihat jelarang jantan lebih banyak mengkonsumsi bahan pakan
Betina 1
dibanding jelarang betina. Hal ini sesuai dengan
Betina 2
bobot badan jantan yang lebih berat dari betina,
Betina 3
sehingga konsumsi pakannyapun lebih banyak dari betina. Dilaporkan oleh Bogart et al. (1963),
i ji h e is ar un bi pa na ug an u ah la im t b ta e m at Ta K m g g Ke m n n Ja ca ga gu un Ka Ja ii j b B
banyaknya bahan pakan yang dapat dikonsumsi oleh seekor hewan berhubungan erat dengan
perhitungan konsumsi BK dan nutrien tertera Bahan Pakan
bobot badannya. Semakin tinggi bobot badan, kemampuan seekor hewan untuk mengkonsumsi bahan pakan semakin tinggi. Palatabilitas atau
Gambar 2. Rataan konsumsi bahan kering tiap jenis pakan pada jelarang jantan dan betina
tingkat kesukaan hewan terhadap suatu pakan
Tabel 4. Rataan konsumsi bahan kering tiap jenis pakan Konsumsi Bahan pakan Biji bunga matahari Ketimun Kelapa Jambu biji Tauge Kacang tanah Jagung manis Total
Jantan (g/ekor/hari) 5,00 6,10 9,06 8,62 1,74 8,02 7,40 45,95
(%) 10,89 13,27 19,72 18,76 3,79 17,46 16,10 100,000
Betina (g/ekor/hari) 3,04 1,18 8,28 6,11 1,59 7,99 10,95 39,14
(%) 7,78 3,02 21,15 15,62 4,06 20,41 27,97 100,00
248
Kajian Pemberian Pakan Alternatif terhadap Konsumsi, Kecernaan
Tabel 5. Pertambahan bobot badan (PBB) jelarang Bobot badan
Jantan
Awal (kg) Akhir (kg) PBB (kg) PBB (g/ekor/hari)
Betina 1
1,30 1,56 0,18 6,43
Jelarang Betina 2
0,84 1,00 0,16 5,71
0,77 0,92 0,15 5,36
Betina 3 0,66 0,76 0,10 3,57
Rataan Betina 0,76 0,89 0,14 4,88
Tabel 6. Rataan konsumsi BK dan nutrien (g/ekor/hari) Jantan
Jelarang Betina 2
Rataan Betina ------------------------------- g/ekor/hari) --------------------------------45,95 42,16 42,35 32,90 39,14 44,46 40,96 41,18 31,96 38,04 1,49 1,20 1,17 0,94 1,10 6,99 6,95 5,98 4,36 5,76 10,65 10,62 11,76 7,93 10,10 6,27 4,95 4,94 4,05 4,65 20,56 18,44 18,50 15,63 17,52 2392 2303 2309 1737 2116
Nutrien BK BO Abu PK LK SK BETN EB (kal/ekor/hari)
Betina 1
Betina 3
Tabel 7. Rataan kebutuhan nutrien pada jelarang Jelarang Rataan Betina ---------------------------------- (% BK) -------------------------------96,76 97,15 97,14 97,19 97,16 3,24 2,85 2,86 2,82 2,.84 15,21 16,48 13,25 14,72 14,82 23,18 25,19 24,10 25,81 25,03 13,64 11,74 12,31 11,88 11,98 44,74 43,74 47,50 44,76 45,34 5.205,66 5.462,52 5.279,63 5.406,24 5.382,80
Nutrien
Jantan
BO Abu PK LK SK BETN EB (kal/100 gram BK)
merupakan
ekspresi
Betina 3
Tingkat kesukaan jenis pakan segar
disebabkan oleh panca indera yang dipengaruhi
jelarang jantan (Gambar 2) adalah jambu biji,
oleh faktor fisik dan kimia yang dapat berubah karena kondisi fisiologis atau psikologi individu
jagung manis, dan ketimun, sedangkan jelarang betina lebih menyukai jagung manis, jambu biji,
(Church 1979). Palatabilitas sebenarnya bukan
dan kelapa. Jelarang jantan lebih memilih bahan
merupakan
untuk
pakan yang banyak mengandung air (Tabel 2),
menunjukkan nilai gizi, karena jenis pakan yang
karena jantan lebih banyak aktivitas gerak
mempunyai
tentu
dibanding betina, sehingga membutuhkan asupan
memenuhi syarat kebutuhan gizi bagi hewan tersebut (Mcllroy 1976).
air yang lebih banyak. Jenis-jenis pakan yang disukai oleh jelarang jantan dan betina secara
palabilitas
rangsangan
Betina 2
yang
ukuran
dan
Betina 1
yang tinggi
tepat belum
249
Farida & Prijono
persentase juga terlihat pada Tabel 4, yang juga
(cafetaria) akan memberikan peluang bagi hewan
terefleksi
keringnya
untuk menyesuaikan komposisi zat makanannya,
(Gambar 3). Church (1979) menyatakan, konsumsi pakan dipengaruhi oleh beberapa
terutama protein dan energi sesuai kebutuhannya. Sesuai dengan bobot badannya yg lebih
faktor, yaitu bobot badan, individu hewan, tipe
besar, jelarang jantan lebih banyak mengkonsumsi
dan tinggkat produksi, jenis pakan dan faktor
BK dan nutrien pakan dibandingkan jelarang
lingkungan, sedangkan menurut Roy (1970),
betina.
konsumsi
dengan
(1979), kecepatan pertumbuhan tergantung dari
(PBB)
spesies, jenis kelamin, umur, dan keseimbangan nutrien dalam ransum. Berdasarkan pengamatan
keempat ekor jelarang tertera pada Tabel 5.
di penangkaran, jelarang jantan lebih aktif berge-
Perbedaan nilai rataan PBB dipengaruhi oleh
rak dibandingkan jelarang betina, sehingga
beberapa faktor antara lain bangsa, jenis kelamin,
jelaranbesar banyak dibandingkan dengan jelarang
kandungan protein, dan suhu lingkungan (Wahju, 1992). Dilaporkan juga oleh Titus &
betina.
Fritz (1971) bahwa kecepatan pertumbuhan dari
tertinggi adalah BETN sebesar 44,74% dan
seekor hewan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
45,34% untuk jelarang jantan dan betina.
tetapi yang sangat mempengaruhi adalah spesies,
Dilaporkan oleh Tillman et al. (1991), BETN
jenis kelamin, umur hewan, keseimbangan pakan dan jumlah pakan yang dikonsumsi. Dari Tabel
adalah karbohidrat yang tidak mengandung serat kasar dan banyak mengandung pati. Dari Tabel 2
4 jelas terlihat PBB jelarang jantan lebih tinggi
terlihat bahan-bahan pakan yang diberikan
dibandingkan rataan jelarang betina. Anggorodi
mengandung BETN yang tinggi dibandingkan
(1985)
dengan nutrien yang lain, sehingga jelarang
pada
bahan
konsumsi
kering
bahan
meningkat
meningkatnya bobot badan. Pertambahan bobot
mendefinisikan
badan
pertumbuhan
adalah
Dilaporkan oleh Maynard & Loosly
Rataan persentase kebutuhan nutrien
pertambahan dalam bentuk dan berat jaringan-
mengkonsumsi
jaringan seperti otot tulang, jantung dan semua jaringan tubuh lainnya. Selama penelitian
dibandingkan dengan nutrien lainnya. Kandungan BETN yang tinggi dalam pakan
berlangsung tampak keempat jelarang sehat,
menandakan pakan tersebut mudah dicerna dan
lincah, serta bulu yang mengkilat sebagai
mengandung energi tinggi.
gambaran hewan sehat hingga akhir penelitian.
BETN
Kebutuhan
lemak
lebih
kasar
tinggi
bila
merupakan
Kebutuhan nutrisi pakan jelarang perlu diperhatikan untuk aktivitas dan pertumbuhan.
kebutuhan tertinggi kedua yaitu sebesar 23,18% dan 25,03% pada jelarang jantan dan betina, hal
Kebutuhan nutrisi jelarang belum diketahui kare-
ini akan diikuti dengan tingginya kecernaan
na tidak adanya standar kebutuhan yang dapat
lemak pada jelarang.
dijadikan ukuran nutrisi pakannya. Konsumsi zat
Menurut Crampton & Harris (1969),
makanan jelarang setiap hari diperoleh dengan
efisiensi penggunaan pakan (EPP) merupakan
cara menghitung jumlah setiap bahan pakan yang dikonsumsi setiap harinya dikalikan dengan kan-
perbandingan antara pertambahan bobot badan dengan konsumsi bahan kering ransum,
dungan zat makanan masing-masing bahan pa-
sedangkan Wilkinson (2011) melaporkan ekspresi
kan.
Menurut Leeson dan Summer (1978),
yang paling umum dari efisiensi penggunaan
pemberian pakan dengan sistem bebas pilih
pakan, khususnya pada hewan non ruminansia,
250
Kajian Pemberian Pakan Alternatif terhadap Konsumsi, Kecernaan
adalah rasio konversi pakan.
Parakkasi (1983)
pakan dan akan semakin efisien pakan yang
menyatakan rasio efisiensi protein (REP) adalah
digunakan.
angka yang didapatkan dari banyaknya pertambahan bobot badan dibanding dengan
Daya cerna atau kecernaan adalah proporsi zat makanan yang tidak diekskresikan dalam
banyaknya protein yang di konsumsi. Dari Tabel
feses dan merupakan zat makanan yang dapat
8 terlihat persentase EPP jelarang jantan lebih
diabsorpsi oleh tubuh hewan. Dilaporkan oleh
tinggi dibandingkan rataan EPP jelarang betina,
Parakkasi (1999), kecernaan lebih sering diekspre-
yang menunjukkan jelarang jantan lebih efisien
sikan dengan bahan kering dan sebagai koefisien
dalam penggunaan pakan guna peningkatan bobot badannya dibandingkan jelarang betina.
cerna atau persentase. Dari Tabel 9 terlihat nilai kecernaan BK dan nutrien pada jelarang cukup
Jelarang jantan juga memperlihatkan nilai REP
tinggi, hal ini menandakan sebagian BK dan nu-
yang lebih tinggi dibandingkan jelarang betian.
trien dapat dimanfaatkan oleh keempat ekor jela-
Diduga perbedaan nilai EPP dan REP tersebut
rang tersebut. Kecernaan BK dan nutrien jelarang
karena perbedaan umur diantara keempat jelarang, sebagaimana yang dinyatakan oleh
betina terlihat lebih besar daripada jelarang jantan. Hal ini dapat dijelaskan, jelarang betina me-
Bogart (1963), efisiensi penggunaan pakan
miliki rataan konsumsi bahan kering yang lebih
menurun dengan meningkatnya umur, baik pada
rendah dibanding jelarang jantan (Tabel 6). Kon-
hewan
betina.
sumsi bahan kering yang rendah menyebabkan
Dikemukakan oleh Pond et al. (1995), semakin baik kualitas pakan yang dikonsumsi hewan,
pergerakan makanan yang lambat dalam saluran pencernaan sehingga enzim di saluran pencernaan
diikuti dengan tingginya pertambahan bobot
bekerja lebih optimal, makanan lebih mudah di-
badan, maka akan semakin rendah nilai konversi
cerna dan koefisien cerna menjadi lebih tinggi.
jantan
maupun
hewan
Tabel 8. Efisiensi penggunaan pakan (EPP) dan rasio efisiensi protein (REP) pada Jelarang Jelarang Peubah
Jantan
PBB (g/ekor/hari) Konsumsi BK (g/ekor/hari) EPP (%) Konsumsi protein (g/ekor/hari) REP (%)
6,43 45,95 13,99 6,99 92,01
Betina 1
Betina 2
6,07 42,16 14,40 6,95 87,36
5,36 42,35 12,65 5,98 89,65
Betina 3 3,57 32,90 10,85 4,36 82,00
Rataan Betina 5,00 39,14 12,63 5,76 86,34
Keterangan : PBB = Pertambahan bobot badan
Tabel 9. Koefisien cerna bahan kering dan nutrien pakan pada jelarang Jelarang Nutrien BK Abu Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar BETN
Rataan Betina ----------------------------------- (%) --------------------------------86,24 90,91 93,67 85,37 89,98 61,49 67,81 71,27 48,22 62,43 85,73 89,92 91,37 81,17 87,49 97,99 98,83 99,26 97,91 98,67 46,52 61,46 80,41 70,20 70,69 94,23 96,14 95,83 92,28 94,75
Jantan
Betina 1
Betina 2
Betina 3
251
Farida & Prijono
Menurut Farida et al. (2008), Farida (2010) sema-
yaitu diatas 90%, yang berarti bahwa secara
kin tinggi tingkat konsumsi bahan kering maka
keseluruhan pakan yang dikonsumsi dapat
nilai kecernaan pakannya menjadi rendah. Bahan organik yang dapat dicerna atau
dicerna. Nilai TDN dalam bahan pakan yang dikonsumsi dipengaruhi oleh presentase bahan
Total Digestible Nutrient (TDN) diperoleh dengan
kering, koefisien cerna bahan kering, kandungan
perhitungan mengalikan karbohidrat (serat kasar
mineral dalam bahan kering tercerna dan
dan BETN) dan protein dapat dicerna dengan
kandungan lemak dalam bahan kering tercerna
faktor kelipatan satu dan lemak kasar dapat
(Cullison et al., 2003).
dicerna dengan faktor 2,25. Nutrien (zat-zat makanan) yang digunakan dalam perhitungan
Rataan nilai TDN baik pada jelarang jantan maupun betina cukup tinggi yaitu masing
TDN
yang
-masing sebesar 92,68% dan 95,41%. Demikian
merupakan zat makanan sumber energi (protein,
pula nilai konsumsi energi dan koefisien cerna
lemak, serat kasar, dan BETN). Digestible Energy
pada jelarang jantan dan betina tidak jauh ber-
(DE) adalah persentase dari jumlah konsumsi energi dikurangi energi feces dibagi konsumsi
beda, sehingga perhitungan TDN jelarang jantan maupun betina relatif tidak jauh berbeda
energi (Sutardi, 1981). Karbohidrat, protein dan
juga. Dari hasil perhitungan terlihat jelarang
lemak merupakan sumber energi bagi satwa
membutuhkan asupan energi sebesar 91,17 %
sehingga
TDN
atau 4,09 Mkal/kg BK untuk jelarang jantan dan
merupakan pengukuran kandungan energi tercerna dari pakan sama halnya dengan DE.
93,60 % atau 4,21 Mkal/kg BK untuk jelarang betina. Tidak terlalu berbedanya nilai DE antara
Dinyatakan oleh Cullison et al. (2003) bahwa
jantan dan betina diduga jelarang mengkonsumsi
persentase DE digunakan untuk menggambarkan
energi yang tinggi tetapi energi yang disekresikan
seberapa besar energi yang tidak disekresikan
dalam feses rendah.
dalam feses yang kemudian dimanfaatkan sebagai
(2003),
energi metabolis jika dikurangi energi yang disekresikan dalam urin. Rataan TDN dan DE
besarnya energi yang tidak disekresikan dalam feses yang kemudian dimanfaatkan sebagai energi
jelarang betina lebih tinggi dibandingkan dengan
metabolis jika dikurangi energi yang disekresikan
jelarang jantan (Tabel 10). Secara umum keempat
dalam urin.
adalah
dapat
semua
bahan
diasumsikan
organik
bahwa
Menurut Cullison et al.
persentase DE merupakan gambaran
ekor jelarang, baik jantan maupun betina, memperlihatkan nilai TDN dan DE yang tinggi
Tabel 10. Energi bruto (GE), total digestible nutrient (TDN), dan digestible energy (DE) Jelarang Peubah Konsumsi GE (kal/ekor/hari) GE feses (kal/ekor/hari) GE tercerna DE (%) DE (Mkal/kg BK) TDN (%)
Jantan 2393,03 211,26 2181,77 91,17 4,09 92,68
Betina 1 2303,06 134,66 2168,40 94,15 4,25 96,38
Betina 2 2308,71 93,17 2215,54 95,96 4,36 98,82
Betina 3 1737,28 161,96 1575,32 90,68 4,01 91,03
Rataan Betina 2116,35 129,93 1986,42 93,60 4,21 95,41
252
Kajian Pemberian Pakan Alternatif terhadap Konsumsi, Kecernaan
Studies on Growth and feed Eficiency of
KESIMPULAN
Beef Cattle. J. Anim. Sci. 22 : 993-999. Bahan pakan alternatif yang diberikan pada jelarang dalam penelitian ini mampu dicerna dengan baik oleh jelarang, terbukti tingginya nilai Total Digestible Nutrient (TDN) dan Digestible Nutrient (DE).
Rataan kebutuhan nutrien
pada jelarang adalah abu 3,04±0,28%; protein kasar 15,02±0,28%; lemak kasar 24,11±1,31%; serat kasar 12,81±1,17% dan BETN 45,04±0,42% dari konsumsi bahan keringnya.
Church, DC. 1979. Digestive Physiology and Nutrition of Ruminants. 2nd ed. O & B Books. Corvalis, Oregon. USA. Crampton, EW. & LE. Harris. 1969. Applied Animal Nutrition. W.H. Freeman and Co. san Fransisco Cullison, AE., TW. Perry & RS. Lowrey. 2003. Feeds and Feeding. 6th Ed. Prentice Hall, New Jersey.
Nilai-nilai tersebut dapat digunakan sebagai pan-
Duckworth, JW., Meijaard, E., Giman, B. &
duan penyusunan ransum dan proses manipulasi
Han, KH. 2008. Ratufa affinis. In: IUCN
pakan bagi jelarang di penangkaran.
2008. IUCN Red List of Threatened Species. Di akses 25 April 2009.
UCAPAN TERIMA KASIH
Farida, WR. , KK. Wardani, AS. Tjakradidjaja, & D.
Diapari.
2008.
Konsumsi
dan
Peneliti mengucapkan terima kasih kepa-
Penggunaan Pakan pada Tarsius (Tarsius
da Tri Hadi Handayani, S. Si. dan R. Lia R. Amalia, AMD atas bantuannya dalam analisis
bancanus) Betina di Penangkaran. Biodiversitas 9 (2): 148-151
nutrisi bahan pakan serta Umar Sofyani yang te-
Farida, WR. 2010. Analysisof NutrientRequire-
lah membantu peneliti dalam pengumpulan data
mentand feedefficiency ratio of maroon leaf
di penangkaran.
monkey (Presbytis
rubicunda,
Mueller,
1838). J. Biol. Indonesia 6(2): 255-264. DAFTAR PUSTAKA Anggorodi, R.
1985. Ilmu Nutrisi Ternak
Unggas. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Leeson, S. & JD. Summer. 1978. Voluntary self selection by laying hens mediated through dietary self selection. Poultry Sci. 19: 417. Maynard, LA., JK. Loosli, HF. Hintz & RG. Warner, 1979. Animal Nutrition, 7th edi-
AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analitycal of Chemist.
tion, pp: 13–4. McGraw Hill, New York Mcllroy, RJ. 1976. Pengantar Budidaya Padang
Arlington, Virginia, USA: Published by
Rumput Tropika. Terjemahan. Pradnya
The Association of Analitycal Chemist,
Paramita. Jakarta. 168 hal.
Inc. Arora, SP. 1989. Pencernaan Mikroba Pada Ruminansia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Bogart, R., FR. Ampy, AF. Anglemier & WK. Johnston, Jr. 1963. Some Physiological
Parakkasi, A. 1983. Ilmu Gizi dan Makanan Ternak Monogastrik, Angkasa. Bandung. Parakkkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Pond, WG., DC. Church & KR. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th edition. John Wiley and Sons Press, New 253
Farida & Prijono
York.
Bogor.
Roy, JHB. 1970. The Calf Nutrition and Health.
Tillman, AD, H. Hartadi, S. Reksohadiprodjo, S.
Vol. 2. Third Edition. Iliffe Books Ltd. London.
Prawirokusumo & S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada
Saiful, AA. & Nordin, M. 2004. Diversity and
University Press.
density of diurnal squirrels in a primary hill
Titus, HW. & JC. Fritz. 1971. The Scientific
dipterocarp forest, Malaysia. Journal of
Feeding of Chicken. 5th ed. The Interstate
Tropical Ecology 29: 45-49.
Publisher, Inc. Denvile. Illionis.
Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Diktat Kuliah. Fakultas Peternakan.
Institut
Pertanian
Bogor,
Wahju, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wilkinson, JM. 2011. Re-defining efficiency of feed use by livestock. Animal 5 (7): 1014– 1022
254
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 255-264 (2013)
Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur bagian berdasarkan profil Inter Short Sequence Repeat (ISSR) (Genetic diversity of several accessions of maize from East Nusa Tenggara based on Inter Short Sequence Repeat (ISSR) profiles) Kusumadewi Sri Yulita & BP Naiola Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi- LIPI , Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong 16911, Jawa Barat, Indonesia. Tel. +62-21-8765056, Fax: +62-21-8765063, email:
[email protected] Memasukkan: Maret 2013, Diterima: Juni 2013
ABSTRACT Maize (Zea mays L.) has become second most important cereal crops after rice in Indonesia. Maize is a staple food and the main crop in subsistence dry land farming system in Nusa Tenggara Timur (NTT). Previous survey suggested that NTT may have contained considereable amount of local landraces of maize that have not been well recorded. Traditional farmers prefer to use traditional landraces than popular hybrid maize due to their superior features such as less susceptible to weevil attack and well adapted to local environment. Hence, farmers were continuously grow local landraces to meet the demand for their food security. Information on diversity of local landraces is very important for improving landrace germ plasm. The objective of this study is to assess genetic and phenotypic diversity of 15 accessions of maize from nine putative landraces collected from six locations in NTT based on Inter Short Sequence Repeat (ISSR) fingerprints and few morphological charcters. Five ISSR’s primers (UBC 809, 822, 834, 876 and 892) were initially screened and two (UBC 809 and 834) were selected for the analysis. These primers generated 16 scorable bands with two monomorphic bands, i.e. UBC 809 at 700 bp and UBC 834 at 900 bp. Clustering analysis was performed based on ISSR profiles using the UPGMA method. The range of genetic similarity value among accessions was 0.30-0.80 suggesting sufficient variation of gene pool existed among accessions. Combined data set of ISSR and morphological data suggested a higher diversity with a cofficient of distance range from 0.52 to 1.25. Same as a single data set deduced from ISSR profile, none of the accessions were clustered according to their landraces nor their progeny. Keywords: Maize, NTT, ISSR, genetic diversity
ABSTRAK Di Indonesia, Jagung (Zea mays L.) merupakan sumber biji-bijan kedua terpenting setelah beras. Jagung bahkan telah menjadi makanan pokok wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terkenal dengan sistem pertanian lahan keringnya. Survai terdahulu menunjukkan bahwa di NTT terdapat beberapa jagung ras lokal yang belum terekam sepenuhnya. Petani-petani tradisional lebih suka menggunakan jagung ras lokal dibandingkan jagung hibrid yang lebih populer karena jagung ras lokal sudah terbukti tahan terhadap serangan sejenis kumbang dan juga sudah teradaptasi dengan baik pada lingkungan yang kering. Oleh karena itu petani-petani lokal secara terus menerus menggunaka jagung ras lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Informasi mengneai keragaman plasma nutfah jagung ras lokal sangat penting untuk pengembangan plasma nutfah jagung. Tujuan dari peneliian ini adalah untuk memperkirakan keragaman genetik dan fenotipik dari 15 aksesi jagung yang berasal dari sembilan ras yang dikoleksi dari enam lokasi di NTT berdasarkan sidik Inter Short Sequence Repeat (ISSR) dan beberapa karakter morfologi. Lima primer ISSR (UBC 809, 822, 834, 876 dan 892) diskrin dan dua diantaranya (UBC 809 dan 834) terseleksi untuk analisis. Primers ini menghasilkan 16 pita yang dapat diskor dengan dua pita monomorfik, yaitu UBC 809 pada ukuran 700 bp dan UBC 834 pada ukuran 900 bp. Analisis pengelompokkan dibuat berdasarkan profil ISSR menggunakan metoda UPGMA. Jarak genetik berkisar antara 0.30-0.80 yang menunjukkan adanya keragaman genetik yang cukup luas antar akesesi jagung. Analisis yang menggabungkan profil ISSR dan karakter morfologi menghasilakan keragaman genetik yang lebih tinggi yang ditunjukkan lewat koefisien jarang genetik yang lebih luas, yaitu antara 0.52-1.25. Sebagaimana halnya dengan data dari profil ISSR, data gabungan juga menunjukkan bahwa seluruh aksesi tidak mengelompok berdasarkan rasnya atau progeninya. Kata Kunci: Jagung, NTT, ISSR, keragaman genetik.
255
Yulta & Naiola
kan pondasi dasar dalam program pemuliaan un-
PENDAHULUAN
Jagung merupakan sumber pangan bijibijan kedua terpenting setelah beras, pemerintah Indonesia bahkan telah mencanangkan swasembada jagung pada tahun 2007 (Swastika et al. 2004; Azrai 2006). Jagung telah menjadi sumber karbohidrat utama di beberapa provinsi di Indonesia, yaitu Jawa Timur, NTT, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Papua. Saat ini ada lima provinsi di Indonesia penghasil jagung terbesar, yaitu Propinsi Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur (Rachman, 2003). Produksi jagung di Indonesia mengalami kenaikan rata-rata 4.07% per tahun sejak tahun 1970 hingga 2001 (Swastika et al. 2004) dan mencapai 1.4 juta ton pada tahun 2006 (AFSIS 2009). Kenaikan produksi ini terutama disebabkan oleh berkembangnya teknologi dalam merakit varietas unggul, termasuk jagung hibrida. Penanaman jagung hibrida dinyatakan lebih menguntungkan daripada menanam jagung bersari bebas atau varietas lokal
(Suhariyanto,
2000). Di Indonesia hingga saat ini telah dilepas 33 varietas unggul dan menyebar cukup luas di Indonesia. Dengan banyaknya penggunaan varietas unggul oleh petani maka ras lokal (landraces) bisa terdesak atau bahkan musnah. Padahal gengen yang terdapat pada ras lokal yang saat ini kelihatan tidak berguna, akan berguna di masa mendatang yang diperlukan untuk membentuk varietas unggul baru. Selain itu kemungkinan pada gen-gen yang terdapat di ras lokal mengandung gen-gen unggul untuk ketahanan terhadap penyakit tertentu misalnya jagung ras lokal NTT yang menurut petani rentan terhadap serangan serangga kumbang tertentu (Hosang et al. 2010), umur genjah, dan tahan terhadap cekaman lingkungan
yang
cukup
ekstrim
(misalnya
kekeringan, salinitas dan genangan). Keragaman genetik plasma nutfah merupa-
tuk menghasilkan varietas unggul.. Pada prinsipnya varietas unggul atau hibrida unggul dirakit dengan melalui tahapan evaluasi plasma nutfah dan pemilihan tetua, pembentukan galur-galur baru yang murni, pengujian multi lingkungan, pelepasan varietas baru dan perbanyakan benih (Febriani et al. 2008). Koleksi plasma nutfah jagung telah dilakukan sejak akhir abad 19 di Lembaga Pertanian Bogor dan saat ini dilanjutkan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik (BB Biogen) Bogor dan Balai Penelitian Tanaman Serelia Maros. Jumlah koleksi plasma nutfah jagung nasional di kedua Lembaga tersebut masing-masing 886 dan 660 aksesi. Hal ini sangat jauh dibandingkan dengan Lembaga International Penelitian Jagung Mexico (CIMMYT) yang memiliki koleksi sebanyak 11,000 aksesi dan Amerika Serikat yang memiliki lebih dari 15,000 aksesi (Sutoro dan Zuraida).
Untuk wilayah
NTT sendiri, koleksi plasma nutfah jagung baru dilakukan sejak setahun yang lalu oleh BB Biogen (Bora, 2013 pers. comm.) dan sejak dua tahun lalu oleh Puslit Biologi-LIPI (Naiola et al. 2011, 2012). Keberhasilan upaya pemuliaan tanaman jagung ditentukan oleh ketersediaan informasi dari beberapa parameter misalnya keragaman genetik, fenotipik dan kekerabatan genetik (Febriani et al. 2008). Oleh karena itu sebelum ras lokal ini secara genetik tergusur oleh varietas unggul yang populer ditanam oleh petani, sangat penting untuk dilakukan koleksi plasma nutfah dan melakukan karakterisasi genetik dan fenotipiknya. Keragaman genetik dan fenotipik yang luas akan memudahkan para pemulia untuk melakukan seleksi secara efektif.
Sedangkan informasi
kekerabatan diantara aksesi plasma nutfah akan mudahkan penentuan galur-galur yang akan di-
256
Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur
jadikan sebagai tetua pembentuk populasi baru
(Tabel 1), yaitu tiga lokasi di Kupang (Desa Oe-
(Ruswandi et al. 2005). Selain itu, karakterisasi
masi Kecamatan. Nakamese, Desa Neonbesi
molekuler berupa sidik DNA diperlukan dalam perlindungan galur elit pemulia dari pencurian
Kecamatan Amarasi, dan Desa Fatukona, Kecamatan Fatule’u), Desa Ekafalo Kabupaten Timor
(klaim) oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Tengah Utara dan dua lokasi di Atambua (kota
Dengan demikian efisiensi pemuliaan dapat dit-
Atambua dan Desa Leosama Kabupaten Belu)
ingkatkan melalui seleksi secara terarah dan
(Gambar 1).
efisien.
dikoleksi berupa biji jagung yang dikeringkan
Studi ini berfokus pada populasi jagung yang ada di NTT, karena berdasarkan survai pen-
dibawah terik matahari. Total DNA genom diisolasi dari biji jagung
dahuluan NTT memiliki keragaman plasma
yang berasal dari tongkol jagung yang memiliki
nutfah jagung yang cukup tinggi di Indonesia.
warna seragam. Karena koleksi ini merupakan ras
Saat ini telah dilakukan koleksi plasma nutfah
lokal yang bersari bebas maka ada beberapa ko-
jagung sebanyak 19 aksesi yang berasal dari sembilan ras dari enam lokasi di Pulau Timor (Naiola
leksi yang didapat masih memiliki tongkol yang memiliki biji beragam warna akibat penyerbukan
et al. 2011; Naiola et al. 2012). Penelitian ini
silang. Sebanyak 0,5 gram biji jagung dihancur-
bertujuan untuk mendapatkan sidik DNA jagung
kan dan diisolasi total genom DNA dengan
NTT dan mempelajari keragaman genetik dan
menggunakan protokol CTAB (Doyle & Doyle
fenotipiknya berdasarkan marka Inter Simple Sequence Repeats dan Simple Sequence Repeats
1990) yang dimodifikasi dengan perlakuan RNAse 200 μg/mL. Lima μL total DNA genom
(ISSR) dan beberapa karakter morfologi. Inter-
dielektrophoresis dalam 0.7% gel agarosa dalam
simple sequence repeats (ISSR) merupakan marka
larutan penyangga TAE, kemudian diwarnai den-
molekuler berbasis PCR, yang mengamplifikasi
gan ethidium bromida dan difoto dengan meng-
daerah diantara dua ulangan nukleotida pendek
gunakan gel documentation system (Atto Bioinstru-
(mikrosatelit) (Zietkiewicz et al. 1994). Keuntungan utama dari marka ini adalah dapat
ment). DNA yang telah diisolasi disimpan dalam -20ºC.
menganalisia multiple lokus dalam reaksi tunggal.
Primer yang digunakan pada penelitian ini
ISSR telah banyak digunakan untuk mendeteksi
adalah primer universal ISSR dari set UBC 809,
keragaman genetik dan kekerabatan genetik
822, 834, 876 dan 892. Volume total reaksi PCR
(Rucinska & Puchalski 2010; Isshiki et al. 2008; Liu et al. 2006), identifikasi genotipe (Fracaro &
adalah 15 ml yang terdiri atas 1x PCR Master Mix (Fermentas), 2 μM primer (Promega), dan ~10 ng
Echeverrigaray 2006; Mattioni et al. 2002) serta
DNA template. Kondisi mesin PCR untuk ampli-
identifikasi mutan (Campbell et al. 2011; Yadav et
fikasi ISSR adalah sebagai berikut: denaturasi awal
al. 2006).
pada suhu 940C selama 5 menit, diikuti oleh 30
Material untuk DNA analisis
siklus yang terdiri dari: fase denaturasi (940C selaBAHAN DAN CARA KERJA
ma 1 menit); fase penempelan (500C selama 45 detik) dan fase pemanjangan (720C selama 2
Koleksi jagung dari NTT telah dilakukan
menit). Setelah 30 siklus selesai, proses amplifikasi
sejak tahun 2011 dan 2012 (Naiola et al. 2011;
PCR diakhiri dengan fase pemanjangan pada su-
Naiola et al. 2012) di enam lokasi Pulau Timor
hu 720 C selama 5 menit. Reaksi PCR diulang
257
Yulta & Naiola
Tabel 1. Daftar koleksi material DNA Jagung asal Pulau Timor berserta karakter bulir jagung..
Nomor aksesi
Nama lokal
Lokasi
Panjang Tongkol (cm) ?
J1#1
Pena’ taume’
Ds. Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang
J2#1
Pena’ masa’
Ds. Ekafalo, Kab. Timor Tengah Utara
10.2
J4#1
Pena’ no’ seo’
10.6
J5#1
Batarlai mean
J6#1
Pena’ pulu’
Dusun Takentade, Ds. Leosama, Atambua Dusun Takentade, Ds. Leosama, Atambua Desa Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang
J7#2
Pena’ boto’
Ds. Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang
10.4
J8#1
Pena’ li’at
Ds. Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang
J8#2
Pena’ li’at
Ds. Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang
J9#1 J9#2
Batarlai mutin Dusun Takentade, Ds. Leosama, Atambua Pena’ muti’ Ds. Ekafalo, Kab. Timor Tengah Utara
J9#3
Puti
Ds.Ekafalo, Kab. Timor Tengah Utara
J9#5
Pena’ muti’
J10#1
Pena’ molo’1
Dusun Takentade, Ds. Leosama, Atambua Ds. Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang
J10#2
Pena’ molo’ 2
Ds. Oemasi, Kec. Nakamese, Kupang
15.6
J10#3
Pena’ molo’
Ds.Ekafalo, Kab. Timor Tengah Utara
17.75
Warna
Rerata ukuran
bulir
bulir (pxl) (cm)
Kuning, Putih
10x10
Kuning (majority), Putih, ungu Putih (majority), Kuning Putih, Kuning, Ungu Putih
8.8x8.4
8.2x8.3
8.3
Putih, Kuning, Ungu Putih, Kuning
8.0
Putih
6.8x7.3
10.2
Putih, Kuning, Ungu
8.6x8.4
11.2
Putih
13.5
Kuning, Kecoklatan, Putih Kuning, Kuning bercak putih Kuning, kuning bercak putih,
12.3 ?
7.9x8.0 9.0x8.2 7.0x8.9
7.9x8
10.8x10.3 9.2x9.1 9.7x9.6 11.3x9.5
sebanyak dua kali untuk memastikan keberulan-
qualitative data) untuk menghitung koefisien
gan dan konsistensi hasil PCR. Setiap pita ISSR dianggap sebagai satu
kesamaan Jaccard. Matriks kesamaan ini kemudian digunakan untuk membuat dendrogram UP-
lokus putatif. Hanya lokus yang menunjukkan
GMA (unweighted pair group method with arit-
pita yang jelas yang digunakan untuk diskor 1 bila
methical average).
ada pita dan 0 bila tidak ada pita. Analisis data
Sementara itu nilai rata-rata dari karakter
dilakukan dengan menggunakan program NTSYS
bulir jagung (panjang tongkol, warna bulir, pan-
-pc (Numerical Taxonomy System, version 2.02i, Rohlf 1998). Data skoring dikelompokkan hing-
jang, dan lebar bulir) diskor sebagai karakter kuantitif dan secara multistate (misalnya 0 1 2 dan
ga membentuk matriks binari di program Mi-
seterusnya) dan distandarisasi dengan program
crosoft Excel. Matriks tersebut kemudian diolah
STAND (Standarization) dalam program NTSYS
menggunakan program SIMQUAL (Similarity for
-pc, hal ini dilakukan untuk menghindari bias
258
Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur
dikarenakan kisaran nilai karakter yang terlalu
kor.
Sedangkan dari pola pita ISSR yang
besar atau terlalu kecil. Selain itu, standarisasi
dihasilkan oleh UBC 809 dan UBC 834, hampir
perlu dilakukan terutama untuk warna bulir jagung karena pada beberapa aksesi masih
seluruhnya adalah pita polimorfik, kecuali pita ukuran 700 bp pada UBC 809 dan 900 bp pada
ditemukan tongkol jagung dengan beberapa
UBC 834 (Gambar 1). Dengan demikian kedua
warna sebagai akibat dari penyerbukan silang.
pita ini merupakan pita umum yang kemung-
Data matriks morfologi dan yang diperoleh me-
kinan besar dapat digunakan sebagai sidik pada
lalui program STAND selanjutnya digabungkan
aksesi jagung NTT pada studi ini.
dengan data matrix ISSR dan dihitung kesamaannya dengan program SIMINT (Similarity for
Analisis pengelompokkan
Interval Data) menggunakan koefisien DIST
Analisis kluster dan ordinasi dilakukan un-
(Distance) dalam program NTSYS-pc. Matriks
tuk mengetahui kemiripan profil ISSR antar ras/
dari program SIMINT kemudian dikelompokkan
aksesi.
menjadi dendrogram melalui program SAHN menggunakan metode pengelompokan UPGMA.
kluster menandakan adanya tingkat kesamaan yang tinggi di antara lokus DNAnya yang di-
Pengelompokkan aksesi ke dalam satu
tujukkan melalui koefisien kesamaan.
Analisis
kluster menunjukkan pemisahan aksesi jagung ke
HASIL
dalam kluster yang mengelompok tidak berdasarProfil umum pita ISSR Dari kelima primer yang digunakan, yang
kan rasnya (Gambar 2). Nilai koefisien kesamaan genetik ke-15 aksesi jagung berkisar antara 30%
menghasilkan produk amplifikasi hanya pada tiga
hingga 80%. Rentang 50% ini menunjukkan
primer, yaitu UBC 809, 822 dan 834. Dan dari
keragaman genetik yang sedang.
ketiga primer ini hanya primer UBC 809 yang
kluster menunjukkan adanya dua kluster utama
menghasilkan produk untuk seluruh sampel. Ada
(A dan B) dengan satu aksesi yang tidak menge-
beberapa aksesi yang tidak teramplifikasi, ayitu aksesi 5, 6, 11, 12 dan 13 pada UBC 822 dan 19
lompok (J92, Pena muti yang berasal dari Ekafalo). Kluster A (koefisien kesamaan ~44%) terdiri
pada UBC 834. dengan menggunakan kedua pri-
lima aksesi yang sebagian besar berasal dari
mer ini, terdapat 16 pita yang jelas dan dapat dis-
Kupang, sedangkan kluster B (koefisien kesamaan
A
B
Hasil analisis
C
Gambar 1. Foto gel elektroforesis genotipe jagung. a) UBC 809, b) UBC 822, c) UBC 834, M: GeneRuler 100bp Plus (Fermentas). Nomor aksesi jagung sesuai dengan Tabel 1. Angka dengan warna merah, biru dan hijau menunjukkan masing-masing warna adalah varietas jagung yang sama (Tabel Lampiran 1). Anak panah menunjukkan pita monomorfik. 259
Yulta & Naiola
JII J82 J61 J102 J93 J21 J103 J91 J101 J41 J81 J51 J72 J95 J92
0.30
0.43
0.55 Jaccard Coefficient of Similarity
0.68
0.80
Gambar 2. Diagram pengelompokkan UPGMA berdasarkan profil ISSR pada jagung NTT. Nomor aksesi sesuai dengan tabel 1. Garis putus-putus vertikal: garis referensi.
JII J102 J101 J103 J61 J82 J41 J72 J51 J21 J91 J92 J93 J95 J81 0.52
0.71
0.89 Coefficient of DIST
1.07
1.25
Gambar 3. Diagram pengelompokkan UPGMA berdasarkan data ISSR dan morfologi pada jagung NTT. Nomor aksesi sesuai dengan tabel 1. Garis putus-putus vertikal: garis referensi. Lingkaran menunjukkan pengelompokkan yang sama dengan diagram ordinasi 3-dimensi (Gambar 4). Anak panah menunjukkan aksesi yang terpisah dari kluster utama.
~49%) terdiri atas delapan aksesi yang sebagian
gabungkan profil ISSR dan data bulir jagung
besar berasal dari Ekafalo dan Atambua. Semen-
menghasilkan dendrogram yang berbeda (Gambar
tara itu terdapat dua aksesi yang paling mirip (koefisien kesamaan 80%), yaitu Pena no ‘seo’
3). Rentang jarak morfologi 0.73 menunjukkan keragaman yang cukup tinggi, lebih tinggi dari
dari Atambua dan Pena boto dari Ds. Oemasi,
profil ISSR. Aksesi J81 (Pena liat dari Desa Oe-
Kupang.
masi, Kec. Nekamese, Kupang) terpisah dari
Analisis pengelompokkan yang telah meng-
aksesi lainnya dengan Koefisien Jarak (KJ) morfol260
Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur
ogi 1.25.
Aksesi ini memiliki bulir berwarna
inilah yang merupakan sidik DNA setiap varietas/
putih dengan tongkol yang berukuran relatif pen-
aksesi. Pengamatan terhadap pola pita DNA hasil
dek. Pada dendrogram ini, aksesi cenderung mengelompok berdasarkan kultivar/groupnya
amplifikasi menunjukkan profil DNA yang berbeda-beda. Perbedaan ini disebabkan oleh perbe-
Pena molo (J10.1, J10.2 dan J10.3) menge-
daan urutan nukleotida pada keempat primer
lompok pada KJ 0.70. Pena molo memiliki bulir
yang digunakan, sehingga menyebabkan perleka-
yang didominari warna kuning tua, kuning ke-
tan primer di sepanjang DNA genom sampel juga
coklatan dan kemerahan serta bulir berukuran
berbeda. Pita yang dihasilkan setelah amplifikasi
cukup besar. Kultivar ini memiliki kemiripan dengan Pena Taume (J1.1) yang juga memiliki
DNA dengan PCR sangat bergantung pada bagaimana primer mengenal daerah komple-
ukuran bulir cukup besar. Kultivar 'Pena muti/
mennya pada cetakan (template) DNA yang
Batarlai mutin' (J9.1, 2, 3 dan 5) walaupun mem-
digunakan. Semakin banyak situs penempelan
iliki KJ yang cukup besar (0.8-1.10) juga terletak
dari primer yang digunakan, maka semakin ban-
saling berdekatan (Gambar 3 dan 4). Sedangkan aksesi yang memiliki kesamaan genetik paling
yak jumlah pita DNA yang dihasilkan (Tingey et al., 1994). Selanjutnya Cowder (1997) menjelas-
tinggi adalah J1.1 (Pena taume daro Ds. Oemasi)
kan bahwa keragaman genetik terjadi karena
dan J10.3 (Pena molo dari ds. Ekafalo), keduanya
adanya segregasi dan interaksi gen. Oleh karena
memiliki ukuran bulir yang cukup besar (>10 cm)
ISSR dan RAPD merupakan marka yang
dengan dominasi warna kuning.
menggunakan primer acak sehingga pita-pita yang dihasilkan dari proses amplifikasi merupakan frag-
PEMBAHASAN
men DNA di genom yang sifatnya acak juga, baik berasal dari daerah coding (gen) atau non-coding.
Seluruh profil ISSR berupa sekumpulan
Dengan demikian, keragaman profil pita DNA
pita-pita DNA dianggap sebagai lokus putatif dan
yang diperoleh juga mencerminkan keragaman
merupakan sidik DNA aksesi. Keseluruhan profil pita yang dihasilkan dari amplifikasi primer ISSR
kedua macam daerah tersebut.
J93 J95 J82 J61
J51 J72
J101
JII J102
J41 J103 J92
J81 J91 J21
Gambar 4. Diagram 3-dimensi PCA pada jagung NTT. Nomor aksesi sesuai dengan tabel 1 Lingkaran menunjukkan pengelompokkan yang sesuai dengan diagram pengelompokkan pada Gambar 4. Anak panah menunjukkan aksesi yang terpisah dari kluster utama. 261
Yulta & Naiola
Perbedaan hasil analisis antara data dari
Dalam bidang pemuliaan tanaman adalah penting
profil ISSR dan data set gabungan adalah pada
untuk mengetahui properti genetik individu tana-
rentang jarak genetik yang lebih luas yang ditemukan pada data gabungan. Dengan
man yang akan dikembangkan. Tanaman yang memiliki jarak genetik yang dekat menggam-
demikian variasi karakter bulir jagung juga mem-
barkan tingginya kesamaan genetik yang apabila
beri kontribusi terhadap keseluruhan variasi.
dikawinsilangkan akan menghasilkan individu
Menurut Febriani et al. (2008) keragaman genetik
tanaman dengan memiliki keragaman genetik
dan fenotipik yang luas dapat menunjukkan adan-
yang rendah.
ya kondisi lingkungan tumbuh yang optimal yang ditunjukkan dari hasil penelitian mereka pada 39
akan berimplikasi terhadap kesintasan individu yang juga cukup rendah karena kurang be-
galur murni jagung dengan menggunakan 19
ragamnya gen yang diturunkan dari indukan.
karakter morfologi dan agronomi. Namun pada
Dengan demikian identifikasi molekuler dan ana-
penelitian ini hanya digunakan sejumlah kecil
lisis pengelompokkan terhadap individu target
karakter morfologi sehingga rentang jarak genetik yang lebih luas ini kemungkinan besar hanya
sangat penting untuk dilakukan untuk mengetahui properti genetik suatu tanaman sebelum
disebabkan oleh lebih banyaknya jumlah karakter
melakukan proses budidaya lebih lanjut.
Keragaman genetik yang rendah
yang digunakan dalam analisis. Sedangkan untuk analisis pengelompokkan, gabungan data set cenderung menghasilkan pengelompokkan secara acak yang tidak bergantung pada ras maupun
KESIMPULAN DAN SARAN Identitas
aksesi
jagung
NTT
yang
provenans. Hal ini secara tidak langsung menun-
digunakan pada studi ini bisa dilacak dari
jukkan bahwa aksesi jagung yang diamati
keberadaan pita ukuran 700 bp pada UBC 809
kemungkinan telah mengalami kawin silang
dan 900 bp pada UBC 834. tetapi tidak ada pita
dengan intensitas yang cukup tinggi hasil budi-
spesifik yang dapat menunjukkan identitas kulti-
daya lokal yang cukup lama berlangsung sehingga isi genom merupakan campuran dari berbagai
var. Identitas yang lebih akurat bisa ditanggulangi dengan penggunaan marka molekuler dan sampel
indukkan dan progeni. Berdasarkan data ISSR,
jagung yang lebih banyak. Rentang keragaman
aksesi J92, yaitu Pena muti yang berasal dari
genetik berdasarkan profil ISSR saja dan gabun-
Ekafalo Kab. TTU merupakan aksesi yang paling
gan antara ISSR dan karakter buli jagung sebesar
berbeda secara genetik dari aksesi lainnya. Aksesi ini kemungkinan telah mengalami differensiasi
50-73% pada studi ini menunjukkan keragaman genetik yang sedang. Sedangkan hasil analisis
genetik terpisah dari pena muti lainnya, baik yang
pengelompokkan dan ordinasi menunjukkan bah-
sama-sama yang berasal dari TTU (J9.3) maupun
wa aksesi jagung yang digunakan pada studi ini
dari Atambua (J91 dan J9.5). Hasil yang berbeda
mengelompok secara acak dan tidak berdasarkan
diperoleh dari penggabungan kedua data, dimana
ras ataupun progeni.
Pena liat yang berasal dari Desa Oemasi Kupang yang paling berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Hasil analisis pengelompokkan dan ordinasi menggambarkan kesamaan genotipe antar aksesi jagung yang terukur dari jarak genetik.
AFSIS. 2009.
ASEAN Food Security Infor-
mation and Training (AFSIT) Project,
262
Keragaman genetik beberapa aksesi Jagung dari Nusa Tenggara Timur
AFSIS, Bangkok.
(Lamiaceae), an endemic species of Qi-
Azrai, M. 2006. Sinergi teknologi marka moleku-
anghai-Tibet Plateau. Genetica 28:385-394.
ler dalam pemuliaan tanaman jagung. Jurnal litbang Pertanian 25(3): 81-89
Mattioni, C., M. Casasoli, M. Gonzales, & R. Ipinza. 2002. Comparison of ISSR and
Campbell, BC., S. LeMare, G. Piperidis, & ID.
RAPD markers to characterise three Chile-
Godwin. 2011. IRAP, a retrotransposon-
an Notofagus species. Theor. Appl. Genet.
based marker system for the detection of
104: 1064-1070.
somaclonal variation in barley. Molecular
Naiola BP, T Murningsih, W Widiyono,
Breeding 27(2): 193-206. Doyle, JJ. & JL. Doyle. 1990. Isolation of plant
Saefudin, SB. Sulianti, & F Syarif. 2011. Pengembangan Model Usahatani Berbasis
DNA from fresh tissue. Focus 12: 13-15.
Energi Matahari dan Embung pada Tana-
Fracaro, F. & S. Echeverrigaray. 2006. Genetic
man Jagung dan Hortikultura di Kabupat-
variability in Hesperozygis ringens Benth.
en Kupang, NTT. Laporan Akhir Program
(Lamiaceae), an endangered aromatic and medicinal plant of Southern Brazil. Bio-
Insentif Peneliti Dan Perekayasa LIPI Tahun 2011. Lembaga Ilmu Pengetahuan
chem genet 44(11/12). DOI: 10.1007/
Indonesia dan Kementerian Riset dan
s10528-006-9044-z
Teknologi.
Febriani, Y., S. Ruswandi, M. Rachmady, & D.
Naiola BP, T Murningsih, Kusumadewi S. Yulita,
Ruswandi. 2008. Keragaman galur-galur murni elite baru jagung Unpad di
Saefudin, & SB. Sulianti. 2012. Penyediaan Kebutuhan Pakan Ternak Berbasis
Jatinangor-Indonesia. Zuriat 19(1): 104-
Limbah Tanaman Jagung Varietas Lokal
115.
NTT untuk Mendukung Program Sejuta
Hosang, EY., MW. Shuterland, NP. Dalgliesh,
Sapi Nasional. Laporan Akhir Insentif Pen-
JPM. Whish. 2010. Agronomic perfor-
ingkatan
mance of landrace and certified seeds of maize in West Timor, Indonesia. In: H.
Perekayasa. Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Lembaga
Dove and RA. Culvenor. Proceeding of the
Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Kemen-
5th Agronomy confrence 2010. 15-18
terian Riset dan Teknologi.
Novermber 2010. Lincoln, New Zealand.
Kemampuan
Peneliti
dan
Rachman, B. 2003. Dinamika harga dan
(http://regional.org.au/au/asa/2010/ farming-systems/
perdagangan komoditas jagung. Socioeconomic Agri. Agribus. (SOCA) J. 3(1): 1-
interna-
15.
tional/7190_hosangey.htm#TopOfPage) Isshiki, S., N. Iwata, & MMR. Khan. 2008. ISSR variation in eggplant (Solanum
Rohlf, FJ. 1998. NTSYS-PC. Numerical Taxonomy and Multivariate Analysis. Version 2.02i. New York: Exeter Software.
melongena L.) and related Solanum species. Sci. Hort. 117: 186-190
Rucinska, A., & J. Pulchaski. 2010. Comparative molecular studies on the genetic diversity
Liu, J., L. Wang, Y. Geng, Q. Wang, L. Luo, &
of an ex situ garden collections and its
Y. Zhong. 2006.
Genetic diversity and
source population of the critically endan-
population structure of Lamiophlomis rotate
gered polish endemic plant Cochlearia po-
263
Yulta & Naiola
lonica E. Frochlich.
Biodivers Conserv
DOI: 10.1007/s10531-010-9965-z Ruswandi, D. N. Wicaksana, MB Pabendon, M. Azrai, M. Rachmadi, A. Ismail, N. Carsono, F. Damayanti, & F. Kasim. 2005.
Sudana, R. Hendayana, RV. Gerpacio, & PL. Pingali. 2004. Maize in Indonesia: Prodoction Systems, Constraints, and Research Priorities. Mexico, DF.: CCMYT. 40 pp. Tingey,
SV., JA. Rafalski, & MK. Hanafey.
Molecular characterization of quality pro-
1994. Genetic analysis with RAPD mark-
tein
ers. In: Coruzzi C, Puidormenech P (eds).
maize and downy mildew re-
sistance lines
Plant Molecular Biology. Berlin: Pringer. p.
based on simple sequence repeats (SSRs). Zuriat 16(1): 21-37. Suhariyanto, K. 2000.
491-498. Yadav, PV., KU. Suprasanna , Gopalrao, & BV.
Maize production and
Anant. 2006. Molecular profiling using
cost structure in Indonesia. Presented at
RAPD technique of salt and drought toler-
the third annual workshop of the Asian
ant regenerants of sugarcane. Sugar Tech.
Maize Socio Economics Working Group in Ho Chin Minh City, Vietnam, 26-29 June
8(1): 63-68. Zietkiewicz, E., A. Rafalski, & D. Labuda. 1994.
2000. Sutoro & N. Zuraida. Penglolaan Plasma Nutfah Jagung. Http://pustaka.litbang.deptan.go. id/bppi/lengkap/bppi10252.pdf Swastika, DKS., F. Kasim, K. Suhariyanto, W.
Genomic fingerprinting by simple sequence repeat (SSR)-anchored polymerase chain reaction amplification.
Genomics
20:176-183.
264
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 265-281 (2013)
Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat (Palm in Bukit Baka-Bukit Raya National Park, West Kalimantan) Himmah Rustiami Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi – LIPI Cibinong Science Center, Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46, Cibinong. E-mail:
[email protected] Memasukkan: April 2013, Diterima:Juli 2013 ABSTRACT Field work of palm diversity in Bukit Baka-Bukit Raya National Park had been conducted and revealed 17 species of palms, namely Caryota, Iguanura, Licuala, Pinanga, as well as 4 Calamus spp., 5 Daemonorops spp., and 3 Korthalsia spp. Seven species out of those seventeen species were recorded as endemic in Kalimantan, namely Caryota no, Iguanura macrostachya, Licuala borneensis, Pinanga tomentella, Calamus pogonacanthus, Daemonorops microstachys dan Daemonorops sp. 1. Identification key, species description, synonym and other information related to the species reported in this paper. Keywords: Palm diversity, Bukit Baka-Bukit Raya National Park, endemic, Kalimantan ABSTRAK Eksplorasi tentang keanekaragaman jenis palem yang telah dilakukan di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya (TNBB-BR) mencatat sebanyak 17 jenis palem masing-masing dari marga Caryota, Iguanura, Licuala, Pinanga, serta 4 Calamus spp., 5 Daemonorops spp., dan 3 Korthalsia spp. Dari ketujuhbelas jenis palem tersebut tujuh jenis diantaranya adalah endemik Kalimantan yaitu Caryota no, Iguanura macrostachya, Licuala borneensis, Pinanga tomentella, Calamus pogonacanthus, Daemonorops microstachys dan Daemonorops sp. 1. Kunci identifikasi beserta pertelaan, sinonim dan informasi tiap jenis disajikan dalam makalah ini. Kata Kunci: Keanekaragaman jenis, palem, TNBB-BR, endemik, Kalimantan
PENDAHULUAN
inventarisasi tumbuhan sehingga dapat digunakan sebagai rekomendasi usulan Cagar Alam Bukit
Penelitian ini dilakukan di Desa Nanga Siyai yang terletak di Kecamatan Menukung, Ka-
Baka-Bukit Raya menjadi Taman Nasional. Hasil penelitian tersebut menghasilkan 34 jenis dari 11
bupaten Sintang, Kalimantan Barat. Desa Nanga
marga,10 jenis palem diantaranya masih belum
Siyai terletak pada ketinggian 286 m dpl dengan
dapat diidentifikasi sampai tingkat jenis (Mogea
posisi pada S 00°35’33,9” dan E 112º14’07,7”.
& de Wilde 1982; Mogea 1987). Tantra dkk.
Kawasan perbukitan yang terletak tidak jauh dari
(1983) juga melakukan perjalanan ke Cagar Alam
desa Nanga Siyai termasuk dalam kawasan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya. Kawasan terse-
Bukit Raya dalam rangka mengembangkan kegiatan terpadu pada area hutan serta wilayah
but diduga menyimpan keanekaragaman flora
sekitarnya yang berkaitan dengan program Man
yang unik dan layak untuk dijelajah. Lokasi yang
& the Biosphere (MAB). Jarvie et al. (1998) lebih
sempat dijelajah antara lain kawasan perbukitan
lanjut melaporkan bahwa di lokasi tersebut
yang terletak di Km 28, 35, 37, 39 dan 41. Penelitian ke Kalimantan Barat terutama
terdapat 17 jenis palem dari 7 marga. Namun hingga saat ini keanekaragaman palem di wilayah
wilayah hutan Sungai Samba serta kawasan
tersebut hanya berupa daftar jenis sedangkan
pegunungan di Bukit Baka sudah pernah
informasi keanekaragaman palem yang dilengkapi
dilakukan oleh Mogea dkk., untuk mengetahui
dengan kunci identifikasi, pertelaan tiap jenis dan
ekologi hutan primer dataran rendah serta
keterangan lainnya belum pernah dilaporkan 265
Himmah Rustiami
dalam jurnal ilmiah ataupun publikasi lainnya.
1913; 1918; Dransfield 1979, 1984; Hahn &
Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah
Sytsma 1999).
untuk menyediakan informasi keanekaragaman palem di kawasan tersebut yang dilengkapi
HASIL
dengan kunci identifikasi, pertelaan tiap jenis Dari
maupun informasi lainnya.
hasil
penelitian
ini
diperoleh
delapan belas jenis palem dari delapan marga. Dari delapan belas jenis palem tersebut terdiri dari
BAHAN DAN CARA KERJA Lokasi penelitian yang dikunjungi dalam
marga Calamus, Caryota, Daemonorops, Iguanura, Korthalsia, Licuala dan Pinanga. Untuk Calamus terdiri dari 4 jenis, Daemonorops terdiri dari 5
kegiatan ini meliputi: a. Wilayah yang termasuk ke dalam areal
jenis dan Korthalsia sebanyak tiga jenis. Dari
Bukit Simat berbatasan dengan sungai Ella
marga Calamus dan Daemonorops yang dikoleksi
b. Wilayah yang termasuk ke dalam areal pegunungan Bukit Baka berbatasan dengan
dari kawasan ini ada satu Daemonorops sp. 1 dari seksi Piptospatha yang berpotensi sebagai jenis
wilayah HPH Sari Bumi Kusuma
baru. Penelitian lebih jauh sangat dibutuhkan wilayah
untuk kejelasan status taksonominya dengan
eksplorasi mengikuti jalur perotan, wilayah b:
membandingkan semua koleksi seksi Piptospatha
selain mengikuti jalur perotan juga membuat jalur sendiri karena lokasi sudah masuk jauh kedalam
yang terdapat di kawasan Malesia Barat. Menurut penduduk lokal daun Daemonorops sp. 1 banyak
hutan untuk mendapatkan koleksi yang memang
dimanfaatkan untuk bahan dasar pestisida,
masih berbunga dan berbuah.
caranya yaitu daun direbus dan air hasil
Untuk
lokasi
penelitian
a:
Di tiap-tiap lokasi tersebut di atas
rebusannya setelah dingin disiramkan ke tanaman
dilakukan koleksi palem mengikuti metode
padi yang terserang hama. Caryota no juga
Dransfield (1986) serta Bridson & Forman (1992). Koleksi tumbuhan dengan bunga dan
terdapat di kawasan ini namun populasinya sudah sangat jarang. Hal ini dimungkinkan karena
buah (fertile) diproses untuk spesimen herbarium,
banyaknya perambahan yang dilakukan pada jenis
baik koleksi kering, basah, maupun karpologi.
ini untuk dimanfaatkan umbutnya sebagai sayur
Seluruh data lapangan yang tidak akan terawetkan
oleh masyarakat lokal.
dalam spesimen herbarium dicatat mencakup nama daerah, manfaat, habitat, ekologi,
Iguanura macrostachya ditemukan hampir di setiap ketinggian dan terdapat menyebar. Dari
perawakan (habit), warna-bau-rasa dari bagian-
lereng bukit hingga lembah, dekat maupun jauh
bagian tumbuhan tertentu (seperti daun, bunga,
dari
buah, dan lain-lain), ketinggian tempat, dan
kelihatannya jenis ini lebih banyak dijumpai di
tanggal
daerah yang masih tertutup tajuk kanopinya.
koleksi.
Guna
melengkapi
dan
aliran
sungai
kecil.
Meski
begitu,
mendukung data, pengambilan dokumentasi (foto berwarna) dilakukan. Identifikasi palem dilakukan
Di kawasan bukit Simat pada daerah perbukitan yang banyak didominasi oleh
menggunakan koleksi herbarium yang disimpan
tumbuhan dari suku Dipterocarpaceae banyak
di Herbarium Bogoriense serta beberapa buku
dijumpai Iguanura macrostachya yang sedang
identifikasi lapangan (Beccari 1902; 1908; 1911;
berbuah, berperawakan soliter dengan mahkota
266
Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat
daun berwarna hijau gelap. Masyarakat lokal biasa
semuanya termasuk dalam palem merambat atau
memanfaatkannya untuk tanaman hias di wilayah
rotan telah dipanen secara liar. Kesemua jenis
tempat tinggalnya. Palem jenis ini terlihat mendominasi lantai hutan Bukit Simat, dan
tersebut paling banyak dijumpai di daerah kawasan hutan lindung, hanya sedikit yang
semuanya
berbuah.
dijumpai di luar kawasan. Rotan-rotan ini setelah
Kumpulan buahnya tidak bercabang, dan duduk
diolah menjadi bahan setengah jadi dapat
pada tangkai buahnya. Satu perbuahan umumnya
dianyam menjadi tongkat, bahan keranjang,
terdiri dari 5 sampai dengan 6 buah. Selain
tempat penyaring ikan, bahan tali temali, maupun
Iguanura macrostachya banyak terdapat Licuala spp. yang juga mendominasi kawasan ini hanya
peralatan rumah tangga lainnya. Hanya sayangnya semua bahan baku diambil dari alam sehingga
sayangnya sedang dalam keadaan sterile. Bukit
perlu dipikirkan tindakan konservasi baik secara
Simat diambil dari nama daerah untuk 2 jenis
in situ maupun ex situ guna penyelamatan jenis-
Licuala spp. yang memang banyak mendominasi
jenis endemik di kawasan tersebut. Salah satu
kawasan bukit ini mulai dari tanah dataran sampai dengan puncak bukitnya. Hanya
penyelamatan plasma nutfah rotan yang terancam di wilayah Taman Nasional Bukit Baka-Bukit
sayangnya pada saat penjelajahan dilakukan tidak
Raya adalah dengan dibangunnya Kebun Raya
dijumpai yang dalam kondisi berbunga ataupun
Katingan yang terdapat di Kabupaten Katingan.
berbuah. Menurut penduduk lokal terdapat dua
Inisiasi pembangunan Kebun Raya Katingan
jenis simat, yaitu simat yang perdu hingga sedang dan simat yang tumbuh besar hingga mencapai 2
diharapkan dapat dijadikan sebagai area konservasi untuk jenis-jenis rotan yang berasal
m tingginya. Sedangkan di lokasi yang berbatasan
dari kawasan Taman Nasional Bukit Baka-Bukit
dengan HPH Sari Bumi Kusuma ditemukan
Raya dan sekitarnya yang terletak di perbatasan
Calamus scipionum dalam kondisi berbuah. Rotan
dua provinsi yaitu Provinsi Kalimantan Barat dan
ini atau lebih dikenal dengan nama Uwi Tingkas
Provinsi Kalimantan Tengah.
(rotan tingkas) tampak mendominasi kawasan ini. Perbuahannya sangat panjang hingga mencapai 7
Dari ketujuh belas jenis palem tersebut tujuh jenis merupakan endemik Kalimantan yaitu
m termasuk tangkai buahnya. Tumbuhnya
Caryota
tunggal dengan duri pada batang sangat panjang,
borneensis,
hingga mencapai 20 cm. Buahnya banyak
pogonacanthus, Daemonorops
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai bahan untuk manisan. Caranya adalah dengan
Daemonorops sp. 1. Pertelaan jenis palem
merebus buah rotan dengan air gula sampai gula
1. Iguanura macrostachya Becc., Malesia 3: 101
meresap dalam buah rotan dan larut dalam
(1886)
rebusan air buah tersebut. Beberapa foto koleksi
Habitus palem pohon dengan tinggi sekitar 2 m
palem di lokasi ini dapat dilihat pada Gambar 1.
dan diameter batang 1 – 1.5 cm, batang
PEMBAHASAN
mengertas ketika kering, jarak antar ruas 1 – 2 cm. Upih daun tebal dan menyerabut, sekitar 15
sedang
dalam
keadaan
cm
no, Iguanura Pinanga
panjangnya.
macrostachya, Licuala tomentella,
Daun
Calamus
microstachys dan
sekitar
sepuluh
Hasil eksplorasi menunjukkan bahwa
membentuk mahkota daun, tangkai daun panjang
jenis-jenis Calamus maupun Daemonorops yang
sekitar 20 – 25 cm, panjang helaian daun 40 – 60
267
Himmah Rustiami
Kunci identifikasi jenis palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya 1
a.
Habit palem tumbuh tegak berupa pohon ..............................................................
2
b.
Habit palem tumbuh merambat berupa rotan ........................................................
2
a. b.
Daun menjari ......................................................................................................... Daun menyirip atau menyirip ganda .......................................................................
7 3
3
a.
Palem berperawakan pendek, tinggi hingga 50 cm, bagian anak daun mematatombak
5
b. a.
Palem berperawakan tinggi, tinggi hingga 2 m, bagian anak anak daun meluncip .... Daun menyirip ........................................................................................................
b.
Daun menyirip ganda ...............................................................................................
a.
Palem berdaun menyirip tunggal, mempunyai crownshaft .......................................
b.
Palem berdaun menyirip tunggal dan tidak mempunyai crownshaft ........................
a.
Palem tumbuh pendek, mencapai 75 cm saja, ujung anak daun membulat bergerigi
b.
Palem tumbuh tinggi, diatas 75 cm, ujung anak daun meruncing tetapi tidak terkoyak
6
7 8
Licuala borneensis Licuala spinosa 6 Caryota no 7 8 Iguanura macrostachya
a.
Pinanga tomentella Anak daun berbentuk belah ketupat, ujung anak daun terkoyak, palem layu setelah berbunga ................................................................................................................. 9 Anak daun berbentuk pita melanset, ujung anak daun meruncing, palem tidak layu setelah berbunga ..................................................................................................... 11 Okrea memeluk erat pada upih daun, menyerabut ………...................................... Korthalsia rigida
b.
Okrea menggembung, tidak menyerabut ………………….....................................
a. b.
9
4
10 a. b.
11 a.
b. 12 a. b. 13 a. b. 14 a.
b.
10
Diameter batang dengan upih daun sekitar 8 – 15 mm, tanpa upih daun sekitar 6 – 9 mm, okrea menggembung kecil, lebar 1.5 cm panjang 3 cm, berduri pendek dan jarang
Korthalsia rostrata Diameter batang dengan upih daun sekitar 30 mm, tanpa upih daun sekitar 20 mm, okrea menggembung sangat besar, lebar 5 cm panjang 10 cm, berduri hitam, panjang dan padat …..………………........................................................……………… Korthalsia echinometra Alat panjat atau kuncir terdapat pada ujung daun atau upih daun, seludang perbungaan utama tidak membelah sampai ke dasar serta tidak mudah luruh, berbentuk seperti tabung........................ ...................................... .......................... 12 Alat panjat atau kuncir terdapat pada ujung daun, seludang perbungaan utama membelah sampai dasar serta mudah luruh, berbentuk pipih atau seperti perahu 15 Ujung daun berkuncir ............................................................................................. Calamus caesius Ujung daun tidak berkuncir atau kuncir pada upih daun berkembang sempurna atau tidak sempurna ..................................................................................................... 13 Anak daun pada ujung daun menyatu paling sedikit sepertiga anak daun, kuncir pada upih daun berkembang sempurna ......................................................................... Calamus javensis Anak daun pada ujung daun tidak menyatu, kuncir pada upih daun berkembang sempurna atau tidak sempurna ............................................................................. 14 Diameter batang tanpa upih daun 2 – 6 mm, dengan upih daun 10 mm, jarak antar ruas 30 cm atau kurang. Upih daun hijau kelabu, berduri hitam mirip rambut, panjang 20 Calamus pogonacanthus mm, kuncir pada upih daun tidak berkembang sempurna, panjang mencapai 30 cm Diameter batang tanpa upih daun 25 – 35 mm, dengan upih daun 50 mm, jarak antar ruas sangat panjang kadang melebihi 1 m. Upih daun hijau, berduri hitam kekuningan pada pangkal, panjang hingga 5 cm dan lebar 1.5 cm, kuncir pada upih daun sangat besar, hijau tua, panjang mencapai 7 m atau lebih ................................................... Calamus scipionum
268
Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat
b. 13 a. b. 14 a.
b.
Ujung daun tidak berkuncir atau kuncir pada upih daun berkembang sempurna atau tidak sempurna ..................................................................................................... 13 Anak daun pada ujung daun menyatu paling sedikit sepertiga anak daun, kuncir pada upih daun berkembang sempurna ......................................................................... Calamus javensis Anak daun pada ujung daun tidak menyatu, kuncir pada upih daun berkembang sempurna atau tidak sempurna ............................................................................. 14 Diameter batang tanpa upih daun 2 – 6 mm, dengan upih daun 10 mm, jarak antar ruas 30 cm atau kurang. Upih daun hijau kelabu, berduri hitam mirip rambut, panjang 20 Calamus pogonacanthus mm, kuncir pada upih daun tidak berkembang sempurna, panjang mencapai 30 cm Diameter batang tanpa upih daun 25 – 35 mm, dengan upih daun 50 mm, jarak antar ruas sangat panjang kadang melebihi 1 m. Upih daun hijau, berduri hitam kekuningan pada pangkal, panjang hingga 5 cm dan lebar 1.5 cm, kuncir pada upih daun sangat besar, hijau tua, panjang mencapai 7 m atau lebih ................................................... Calamus scipionum
Gambar 1. a. Perbuahan Daemonorops sp. 1, b. Iguanura macrostachya, c. Licuala spinosa, d. Daemonorops fissa, e. Korthalsia echinometra, f. Korthalsia rostrata, g. Calamus scipionum. cm, lebar 19 – 23, dengan sektiar 10 pasang
Nama lokal. Pelandau kecil (Dayak ransa)
bagian
tidak
Habitat. Populasi lokal mempunyai penyebaran
bercabang, terkadang bercabang dua sempit, muncul diantara daun, daun gantilan bunga
yang luas di hutan dipterokarp. Catatan. Jenis ini mempunyai perawakan yang
terluar 7 – 10 cm, bagian dalam 25 – 35 cm;
indah sehingga berpotensi sebagai tanaman hias.
bunga jantan besar, sekitar 5 mm. Buah
Status konservasi. Belum ada informasi tentang
berbentuk lonjong, bergaris pada tiap sisi buah.
status konservasi jenis ini. Semakin rusaknya
Endosperma bergaris, homogen.
hutan-hutan
Spesimen yang diamati. Tepian Sungai Hulu, Bukit Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit
kelimpahan jenis ini di beberapa wilayah di hutan Kalimantan juga terancam sehingga perlu
Raya, Sintang, Kalimantan Barat, 29 April 2006,
diupayakan usaha konservasi baik secara eksitu
Himmah Rustiami HR 714, berbuah.
maupun insitu. Sejauh ini Kebun Raya Bogor
Distribusi. Endemik di Kalimantan.
sudah menanam jenis ini di kebun koleksi KRB
daun
samping.
Perbungaan
di
Kalimantan
menyebabkan
269
Himmah Rustiami
(Kiew, 1976).
Status
konservasi.
Dikategorikan
sebagai
terancam menurut Saw (2012). 2. Licuala borneensis Becc., Malesia 3: 85 (1886); Saw, Kew Bulletin 67: 593 – 594 (2012)
3.
Habitus palem pohon berperawakan tunggal atau
Genootsch. Kunsten 2:474 (1780); Saw, Kew
mengelompok, kecil, tidak berbatang atau berba-
Bulletin 67: 645 – 646 (2012)
tang pendek; diameter batang 2 – 2.3 cm. Daun
Habitus
berupa mahkota daun berjumlah 8 – 12; tangkai
mengelompok, tinggi hingga 3 m atau lebih.
daun 40 – 100 cm, lebar 3 – 5 mm, berwarna coklat kehijauan ketika kering; ujung upih daun
Daun berupa mahkota daun berjumlah 17, upih daun terkoyak membentuk serabut kasar; panjang
menyerabut; duri-duri pada tangkai daun memba-
tangkai daun 2 – 3 m, lebar 6 – 10 mm, berwarna
lik, jarang, hanya terdapat di dasar tangkai daun.
coklat
Helaian daun agak membundartelur, lebar 30 –
menyegitiga tipis, tegak mengarah horisontal
70 cm, mendaging; terbagi menjadi 3 – 5 bagian, berbentuk mematatombak, tepi helaian daun ba-
hingga melengkung, duri pada dasar tangkai daun terpanjang hingga 12 mm. Helaian daun
gian ujung agak melengkung; bagian daun tidak
membundar, lebar 100 – 150 cm, terbagi menjadi
berukuran sama, bertulang daun 2 – 5, panjang
17 – 23 bagian, semuanya berukuran sama,
23 – 40 cm x lebar 1.5 – 5 cm, terutama untuk
mengertas hingga seperti kulit, daun kering
bagian daun tengah, untuk bagian daun dasar lebih kecil. Perbungaan terdapat diantara mahko-
berwarna hijau pucat – coklat pada kedua permukaan; bagdaun bagian daun bagian bawah
ta daun, tegak dan agak melengkung sedikit, lebih
panjang 44 – 72 dan lebar 3.5 – 8.5 cm; bagian
pendek dari tangkai daun, 13 – 63 cm pan-
daun bagian tengah sedikit lebih besar daripada
jangnya ketika berbunga, terdiri dari satu bagian
bagian daun lainnya, terkadang bertangkai daun,
perbungaan yang menumpu satu rakila atau
panjang 45 – 76 dan lebar 5 –14 cm. Perbungaan
bercabang 2 – 3, keseluruhan bagian coklat pucat ketika kering serta ditutupi oleh ramenta ke-
tegak, panjang perbungaan lebih panjang dari daun, melebihi mahkota daun, panjang 2 – 3 m,
coklatan yang mudah luruh. Buah merah jambu,
bercabang hingga 2 tingkat, terdiri dari 7 – 10
membundar telur.
rakila pada cabang p[ertama dan 3 – 5 (– 7) pada
Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman
percabangan
Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Sintang, Kalimantan Barat, 28 April 2006, Himmah
perbungaan 1 – 1.3 m, lebar 10 – 12 mm; daun pelindung bunga menabung, panjang sekitar 22
Rustiami HR 702b, berbuah.
cm atau lebih. Buah membulat, permukaan buah
Distribusi. Endemik di Kalimantan, Sarawak dan
halus, berwarna hijau gelap, ketika masak berubah
Brunei.
menjadi oranye hingga merah, diameter buah 8
Nama lokal. Palem kipas
mm; biji membulat, diameter 6 mm.
Habitat. Hutan Dipterokarp campuran, pada tanah sedang serta tanah agak liat di datarn ren-
Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Sintang,
dah.
Kalimantan Barat, 28 April 2006, Himmah
Catatan. Jenis palem ini banyak mendominasi
Rustiami HR 702c, berbuah.
lantai hutan Bukit Simat, hingga ketinggian seki-
Distribusi. Andaman dan Kepulauan Nikobar,
tar 400 m dpl.
Thailand,
Licuala
spinosa
palem
kehijauan
wurmb.,
pohon
ketika
berikutnya;
Vietnam,
Verh.
Batav.
berperawakan
kering,
panjang
Semenanjung
berduri
tangkai
Malaya, 270
Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat
Kalimantan, Philippines, Sumatera dan Jawa.
Catatan. Pinang hutan ini ditemukan tumbuh
Nama lokal. Palem kipas.
dekat sungai atau di pinggiran sungai maupun
Habitat. Jenis ini dapat dijumpai pada hutan dataran rendah, di dekat rawa-rawa atau hutan
lantai hutan yang lembab di hutan dipterokarp. Status konservasi. Belum ada data yang
bakau maupun padang terbuka pada ketinggian
signifikan untuk status konservasi jenis ini. Akan
tempat yang tidak terlalu tinggi. Jenis ini
tetapi mengingat perawakannya yang indah dan
merupakan satu-satunya jenis Licuala yang dapat
ebrpotensi sebagai tanaman hias maka perlu
bertahan hidup dan berkolonisasi pada habitat
diupayakan usaha konservasi untuk jenis ini.
yang terkena cahaya matahari penuh. Manfaaat. Helaian daun muda dapat digunakan
5. Caryota no Becc., Nuovo Giorn. Bot. Ital. 3: 12
untuk membungkus makanan misalnya untuk
(1871)
nasi ketan.
Caryota rumphiana var. borneensis Becc., Malesia
Catatan. Jenis palem kipas ini mempunyai duri-
1: 74 (1877)
duri besar terutama disepanjang tangkai daun serta bunga yang berbulu tebal.
Habitus palem tunggal, berwarna abu-abu kecoklatan, tinggi mencapai 20 m. Daun
Status konservasi. Dikategorikan sebagai jenis
menyirip ganda, hingga 5 m, berwarna hijau
yang
muda. Perbungaan muncul dari mahkota daun,
tidak
terlalu
memprihatinkan
(Least
concern/LC) (Saw, 2012).
besar seperti sapu raksasa, berwarna kuning
4. Pinanga tomentella Becc., Malesia 3: 126
keemasan. Buah masak berwarna ungu tua hingga hitam, biji bulat, coklat tua mengkilat, diameter
(1886)
biji sekitar 1.75 cm.
Habitus palem tumbuh mengelompok, tidak ter-
Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman
lalu tinggi hanya mencapai 1 m, batang berdia-
Nasional
menter kecil seperti pensil dengan kumpulan
Kalimantan Barat, 28 April 2006, Himmah
daun atau mahkota daun yang panjang. Daun panjang menyempit, berbentuk seperti spatula
Rustiami HR 710b, berbuah. Distribusi. Hutan hujan tropis dengan ketinggian
berwarna hijau gelap pada permukaan atas daun
permukaan dari sekitar 200 m dpl hingga 1500
serta keperak-perakan permukaan bawahnya. Per-
dpl di Kalimantan.
bungaan kecil berwarna merah terang.
Nama lokal. Palem ekor ikan.
Spesimen yang diamati. Sungai Hulu, Bukit Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya,
Manfaat. Umbut palem oleh penduduk lokal dapat ndapat dimakan sebagai pengganti sayuran.
Sintang, Kalimantan Barat, 29 April 2006,
Catatan. Palem ekor ikan ini akan mati sesudah
Himmah Rustiami HR 716, berbunga.
dia berbuah.
Distribusi. Hutan hujan tropis dengan keting-
Status
gian permukaan sekitar 200 m dpl hingga 800 m
digolongkan sebagai terancam karena sifatnya
dpl di Kalimantan. Nama lokal. Pinang hutan, Pelandau (Dayak
yang tumbuh tunggal serta mati sesudah berbuah sehingga sulit untuk dibudidayakan.
Bukit
Baka-Bukit
Raya,
Sintang,
konservasi. Dalam IUCN jenis ini
Ransa). Manfaat. Berpotensi sebagai tanaman hias karena
6. Calamus caesius Blume, Rumphia 3:57 (1849).
perawakan yang cantik dan tumbuhnya pendek
Palmijuncus caesius (Blume) Kuntze, Revis. Gen.
sehingga sesuai untuk tanaman hias dalam pot.
Pl. 2: 733 (1891). Rotang caesius (Blume) Baill., 271
Himmah Rustiami
Hist. Pl. 13: 300 (1895).
Rustiami HR 701, berbuah.
Calamus glaucescens Blume, Rumphia 3: 65
Distribusi. Calamus caesius tersebar luas di daerah
(1847), nom. illeg. Palmijuncus glaucescens Kuntze, Revis. Gen. Pl. 2: 733 (1891).
basah di Asia Tenggara dan dapat dijumpai di wilayah Semenanjung Malaya, Sumatera, Kali-
Habitus rotan berumpun, berukuran sedang,
mantan, Palawan, serta Thailand Selatan.
merambat hingga kanopi hutan dengan panjang
Nama lokal. Wi sega, wi taman (Dayak Ransa).
batang dapat mencapai 100 m atau lebih. Diame-
Manfaat. Oleh penduduk lokal rotan ini banyak
ter batang tanpa upih daun 7 – 18 mm, dengan
dimanfaatkan untuk membuat keranjang, tikar,
upih daun hingga 25 mm, jarak antar ruas 50 cm; permukaan batang sangat mengkilat, lapisan lilin
barang kerajinan tangan, tali menali serta menjahit atap. Sedangkan untuk skala industri lebih
berwarna keputihan pada bagian luar permukaan
besar rotan ini merupakan bahan berkualitas ting-
batang akan bersisik jika dibengkokkan. Upih
gi untuk kerajinan mebel serta tikar rotan.
daun hijau suram, berduri menyegitiga, pucat,
Catatan. Jenis ini dapat dijumpai di dataran ren-
tidak terlalu rapat atau jarang, diantara duri terdapat bulu-bulu berwarna abu-abu dengan sisik
dah, pinggiran sungai dan tepi rawa atau rawa gambut. Di Kalimantan Tengah jenis ini
kecoklatan. Daun hingga 2 m panjangnya terma-
dijumpai juga di lokasi yang lebih kering pada
suk tangkai daun 50 cm untuk daun muda se-
ketinggian 800 m dpl.
dangkan pada daun dewasa sangat pendek serta
Status Konservasi. Sumber daya genetik rotan ini
alat panjat di ujung daun (kuncir) mencapai 75 cm panjangnya, berduri seperti taji ayam atau
sudah terjaga kelestariannya karena penanaman secara besar-besaran sudah dilakukan diluar kawa-
melengkung tersebar pada permukaan bawah;
san lindung sehingga keterancaman jenis ini
anak daun sekitar 15 pada tiap sisi rakis, tersusun
relatif kecil atau tidak terancam sama sekali.
tidak beraturan, dalam pasangan berselang seling, melanset, ukuran anak daun 30 x 5 cm, per-
7. Calamus javensis Blume, Rumphia 3:62 (1847).
mukaan atas daun hijau tua sedangkan permukaan bawah putih kebiruan. Perbungaan
Palmijuncus javensis (Blume) Kuntze, Revis. Gen. Pl. 2: 733 (1891).
muncul pada pelepah daun dari daun diatas keti-
Calamus equestris Blume in J.J.Roemer &
ak daun yang berseberangan, panjang hingga 2 m
J.A.Schultes, Syst. Veg. 7: 1330 (1830), nom.
terdiri dari 7 atau lebih bagian perbungaan
illeg.
dengan panjang mencapai 75 cm; seludang bunga berbentuk silinder memeluk erat bunga. Buah
Calamus tetrastichus Blume, Rumphia 3: 62 (1847). Palmijuncus tetrastichus (Blume) Kuntze,
masak, membulat telur, panjang 15 mm, lebar 10
Revis. Gen. Pl. 2: 733 (1891).
mm, jumlah sisik pada buah sekitar 15 – 21 pada
Calamus borneensis Miq., Anal. Bot. Ind. 1: 4
garis vertikal, berwarna putih kehijauan yang
(1850). Palmijuncus borneensis (Miq.) Kuntze,
menguning jika kering. Biji membulat telur, pan-
Revis. Gen. Pl. 2: 733 (1891).
jang 12 mm, lebar 7 mm; endosperma sangat termamah.
Calamus amplectens Becc., Malesia 2: 78 (1884). Palmijuncus amplectens (Becc.) Kuntze, Revis.
Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman
Gen. Pl. 2: 733 (1891).
Nasional
Calamus javensis subvar. intermedius Becc. in
Bukit
Baka-Bukit
Raya,
Sintang,
Kalimantan Barat, 28 April 2006, Himmah
J.D.Hooker, Fl. Brit. India 6: 443 (1892).
272
Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat
Calamus javensis subvar. penangianus Becc. in
2 – 6 rakila sampai 10 cm panjangnya. Buah
J.D.Hooker, Fl. Brit. India 6: 443 (1892).
masak, membulat telur sampai bulat, panjang 12
Calamus javensis subvar. polyphyllus Becc. in J.D.Hooker, Fl. Brit. India 6: 443 (1892).
mm, lebar 8 mm, jumlah sisik pada buah sekitar 15 – 21 pada garis vertikal, berwarna putih kehi-
Calamus javensis subvar. purpurascens Becc. in
jauan pucat. Biji membulat telur sampai bulat,
J.D.Hooker, Fl. Brit. India 6: 443 (1892).
panjang 12 mm, lebar 8 mm; endosperma homo-
Calamus javensis subvar. tenuissimus Becc. in
gen. Anakan daun rotan berdaun 4 lebar dan
J.D.Hooker, Fl. Brit. India 6: 443 (1892).
mengkilap.
Calamus borneensis Becc., Rec. Bot. Surv. India 2: 205 (1902), nom. illeg.
Spesimen yang diamati. Sungai Hulu, Bukit Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya,
Calamus filiformis Becc., For. Kalimantan: 609
Sintang, Kalimantan Barat, 29 April 2006,
(1902).
Himmah Rustiami HR 719b, berbuah.
Calamus javensis var. acicularis Becc., Ann. Roy.
Distribusi. Calamus javensis tersebar luas di Asia
Bot. Gard. (Calcutta) 11(1): 185 (1908). Calamus kemamanensis Furtado, Gard. Bull. Sin-
Tenggara mulai dari Thailand Selatan Malaysia, Singapura, Sumatera, Jawa, Kalimantan, sampai
gapore 15: 170 (1956).
Palawan.
Habitus rotan berumpun, berukuran kecil atau
Nama lokal. Wi lilin (Kalimantan Selatan).
ramping, terkadang membentuk semak hingga
Manfaat. Penduduk lokal banyak memanfaatkan
tinggi mencapai 2 m atau merambat hingga 10 m atau lebih. Diameter batang tanpa upih daun 2 –
jenis ini untuk tali menali serta bahan membuat keranjang. Pengeringan rotan ini hanya dengan
6 mm, dengan upih daun hingga 10 mm, jarak
kering angin karena pemanfaatannya hanya bersi-
antar ruas 30 cm atau kurang. Upih daun hijau
fat lokal saja.
terang ketika masih segar, kadang tidak berduri,
Catatan. Rotan ini mempunyai sebaran sangat
kadang berduri tidak seragam, mulai duri kecil
luas mulai dari dataran rendah hingga ketinggian
mendatar hingga duri menyegitiga ramping kurang dari 5 mm panjangnya, lutut terlihat jelas,
2000 m dpl. Status Konservasi. Sampai saat ini belum ada
okrea terlihat jelas kemerahan ketika masih muda
informasi tentang koleksi plasma nutfah Calamus
dan tercabik ketika sudah tua, flagelum (cemeti)
javensis yang ditanam di kebun raya maupun ar-
sampai 75 cm. Daun hingga 40 cm panjangnya
boretum.
termasuk tangkai daun 1 - 2 cm; anak daun sekitar 4 – 12 pada tiap sisi rakis, tersusun tidak
8. Calamus pogonacanthus Beccari ex H. Winkler,
beraturan, berkelompok, jarang yang beraturan,
Engl. Bot. Jahrb. 48:91 (1912).
melanset atau menyendok, anak daun paling
Habitus rotan berumpun, berukuran sedang,
bawah berpasangan, membalik hampir memeluk
merambat hingga 30 m. Diameter batang tanpa
batang, ukuran anak daun terpanjang 20 x 5 cm,
upih daun 2 – 6 mm, dengan upih daun hingga
urat daun tranversal terlihat jelas, daun muda berwarna merah muda. Perbungaan tegak pada
10 mm, jarak antar ruas 30 cm atau kurang. Upih daun hijau kelabu, berduri hitam mirip rambut,
dasarnya kemudian melengkung dan akhirnya
panjang 20 mm, lutut terlihat jelas, flagelum
menggantung, ramping, panjang hingga 1 m
(cemeti) tidak berkembang sempurna, panjang
terdiri dari 2 – 5 bagian perbungaan dengan pan-
mencapai 30 cm. Daun berkuncir, hingga 2 m
jang mencapai 20 cm, tiap perbungaan terdiri dari
panjangnya termasuk tangkai daun pendek hingga 273
Himmah Rustiami
10 cm, kuncir hingga 80 cm, duri kuncir menye-
scipionum (Lour.) Baill., Hist. Pl. 13: 299 (1895).
bar tidak berkelompok; anak daun sekitar 20 – 25
Habitus rotan berumpun sangat besar, berukuran
pada tiap sisi rakis, tersusun tidak beraturan, berkelompok tiga-tiga atau empat-empat hanya
besar, merambat hingga 50 m. Diameter batang tanpa upih daun 25 – 35 mm dengan ruas yang
yang mendekati kuncir, melanset, ukuran anak
sangat menonjol, dengan upih daun hingga 50
daun terpanjang 40 x 2 cm, sepanjang urat daun
mm, jarak antar ruas sangat panjang kadang
utama dilengkapi duri-duri halus, pada kedua
melebihi 1 m. Upih daun hijau, berduri hitam
permukaan anak daun. Perbungaan panjang
kekuningan pada pangkal, besar, menyegitiga
hingga 1.5 m terdiri dari hingga 8 bagian perbungaan yang tertata renggang dan agak teratur, selu-
pipih, panjang hingga 5 cm dan lebar 1.5 cm, berindumentum kelabu yang sangat banyak ketika
dang bunga utama berbentuk seperti tabung,
rotan masih muda, lutut sangat terlihat jelas;
berwarna coklat-kelabu kusam, tertutupi duri-
okrea pendek, mudah terkoyak; flagelum (cemeti)
duri. Buah masak bulat atau hampir bulat, pan-
sangat besar, hijau tua, panjang mencapai 7 m
jang 10 mm, lebar 8 mm, ujung buah berparuh, jumlah sisik pada buah sekitar 24 pada garis
atau lebih, berduri melengkung berujung hitam. Daun tidak berkuncir, hingga 2 m panjangnya
vertikal. Biji sekitar 8 mm diameternya, sarkotes-
termasuk tangkai daun hingga 30 cm; anak daun
ta manis, kesat; endosperma sangat termamah.
sekitar 25 pada tiap sisi rakis, tersusun beraturan,
Spesimen yang diamati. Sungai Hulu, Bukit
melanset, ukuran anak daun terpanjang 60 x 6
Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Sintang, Kalimantan Barat, 29 April 2006,
cm, ujung anak daun dilengkapi duri-duri halus. Perbungaan jantan dan betina sepintas tampak
Himmah Rustiami HR 719c, berbuah.
sama, panjang hingga 6 m atau lebih, dengan
Distribusi. Calamus pogonacanthus tersebar luas
rakila melengkung ramping pada bunga betina,
di Kalimantan.
dan rakila yang bercabang halus pada bunga
Nama lokal. Wi Tut (Dayak Iban).
jantan; bunga betina terdiri dari hingga 7 bagian
Manfaat. Penduduk lokal banyak memanfaatkan jenis ini untuk menambat dan mengikat karena
perbungaan yang pendek sampai memanjang, hingga 1.5 m panjangnya, seludang bunga utama
kualitas rotannya bagus, selain itu juga dapat di-
berbentuk seperti tabung, berwarna coklat-kelabu
manfaatkan untuk membuat tikar kasar.
kusam, tertutupi duri-duri. Buah masak bulat
Catatan. Calamus pogonacanthus biasa dijumpai
telur, panjang 14 mm, lebar 9 mm, berparuh san-
di dataran rendah, pada pinggiran sungai dan dalam kawasan yang sudah terganggu di dataran
gat pendek, jumlah sisik pada buah sekitar 14 – 15 pada garis vertikal. Biji bulat telur, sekitar 10
rendah dan hutan perbukitan hingga ketinggian
mm x 5 mm, berceruk yang bertebaran menem-
200 m.
bus endosperma; endosperma termamah. Daun
Status konservasi. Sampai saat ini belum ada
semai dengan 4 anak daun yang tampak seperti
informasi tentang koleksi plasma nutfah Calamus
kipas.
pogonacanthus yang ditanam di kebun raya maupun arboretum.
Spesimen yang diamati. Hulu Sungai Ela, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Sintang, Kalimantan Barat, 01 Mei 2006, Himmah
9. Calamus scipionum Loureiro, Fl. Cochin., ed.
Rustiami HR 723, berbuah.
1:210 (1790). Palmijuncus scipionum (Lour.)
Distribusi. Calamus scipionum tersebar luas di
Kuntze, Revis. Gen. Pl. 2: 733 (1891). Rotang
Birma, Vietnam, Thailand, Semenanjung Malaya, 274
Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat
Sumatera, Kalimantan dan Palawan.
daun di permukaan bawah. Perbungaan tegak,
Nama daerah. Rotan semambu (nama dagang di
berduri pada daun penumpu utama seperti pada
seluruh kawasan), Wi tingkas (Dayak Ransa). Manfaat. Batang rotan jenis ini banyak di-
upih daun, panjang daun penumpu utama hingga 50 cm, biasanya tidak luruh, tertutupi oleh bulu-
manfaatkan untuk membuat perabot dengan
bulu halus sangat padat, berwarna merah kecokla-
kualitas rotan sedang. Adapun batang yang
tan. Buah masak membulat, diameter buah hing-
mempunyai jarak antar ruas panjang biasa di-
ga 2 cm, merah kehitaman, mengandung resin
manfaatkan untuk tongkat atau tangkai payung.
merah, dengan barisan sisik tegak lurus, sekitar 15
Catatan. Calamus scipionum biasa dijumpai di dataran rendah, pada pinggiran sungai dan dalam
sisik pada garis vertikal, sisik berwarna coklat seperti kayu manis dengan tepi sisik lebih gelap,
kawasan yang sudah terganggu di dataran rendah
ujung buah melengkung pendek sekitar 3 mm,
dan hutan perbukitan hingga ketinggian 200 m.
berbiji satu. Biji membulat atau agak memipih,
Status konservasi. Sampai saat ini belum ada
diameter biji 13 mm, endosperma termamah.
informasi tentang koleksi plasma nutfah Calamus scipionum yang ditanam di kebun raya maupun
Spesimen yang diamati. Hulu Sungai Ela, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Sintang,
arboretum.
Kalimantan Barat, 30 April 2006, Himmah Rustiami HR 721, berbuah.
10. Daemonorops fissa Blume, Rumphia 3:17
Distribusi. Jenis ini dapat dijumpai di hampir
(1847). Calamus fissus (Blume) Miq., Anal. Bot. Ind. 1:6
seluruh kawasan di Kalimantan Nama lokal. Wi Peutik (Dayak Ransa)
(1850). Palmijuncus fissus (Blume) Kuntze, Revis.
Manfaat. Rotan jenis ini hanya dimanfaatkan
Gen. Pl. 2:733 (1891).
secara lokal oleh penduduk setempat sebagai ba-
Habitus rotan mengelompok, berukuran sedang,
han pengikat atau tali menali.
merambat hingga 30 m. Diameter batang dengan
Catatan. Sampai saat ini hanya satu jenis Dae-
upih daun hingga 35 mm, tanpa upih daun 25 mm, jarak antar ruas 20 cm, atau lebih. Upih
monorops dari seksi Cymbospatha yang terdapat di Kalimantan. Jenis ini mempunyai daun penumpu
daun tidak berflagela, berwarna hijau pucat,
utama pada perbungaan berbentuk seperti perahu
kecoklatan, berduri agak rapat, duri mengkilap,
dan tegak. Keseluruhan perbungaan dibungkus
pipih, tunggal atau mengelompok, panjang duri
oleh daun penumpu utama.
10 – 20 mm; terdapat rambut atau bulu-bulu halus berwarna kecoklatan diantara duri-duri;
Status konservasi. signifikan.
Belum
ada
data
yang
lutut terlihat jelas, berduri seperti terdapat pada upih daun; okrea tidak tidak terlihat jelas. Daun
11. Daemonorops micracantha (Griff.) Becc. in JD
berkuncir, panjang mencapai 3.5 m termasuk
Hooker, Fl. Brit. India 6:467 (1893).
tangkai daun hingga 40 cm dan kuncir hingga
Calamus micracanthus Griff. Calcutta J. Nat. Hist.
100 cm, berduri mengelompok beraturan, anak daun 80 – 100 pada tiap sisi rakis, tersusun bera-
5:62 (1845). Palmijuncus micracanthus (Griff.) Kuntze Revis. Gen. Pl. 2:733 (1891). Rotang
turan rapat, paralel, memita, ujung anak daun
micracanthus (Griff.) Baill., Hist. Pl. 13:299
meluncip; panjang anak daun hingga 40 cm, lebar
(1895).
hingga 1.5 cm, duri-duri halus pada tulang daun
Daemonorops draconcella Becc. (1902) Nelle For-
utama di permukaan atas, serta pada ibu tulang
est. Kalimantan:608. 275
Himmah Rustiami
Habitus rotan mengelompok, berukuran sedang,
terdapat di upih daun, adanya indumentum dan
merambat hingga 20 m atau lebih. Diameter ba-
sisik yang tebal serta warna buah yang merah ke-
tang dengan upih daun hingga 25 mm, tanpa upih daun 12 mm. Upih daun bulat, tidak berfla-
hitaman mengandung resin merah. Status konservasi. Belum ada
gella, berlutut, berwarna hijau kekuningan, ter-
signifikan.
data
yang
dapat rambut-rambut halus, bersisik jarang, terdapat garis-garis horizontal, duri-duri pada upih
12. Daemonorops microstachys Becc., Rec. Bot.
daun berkelompok tepian duri halus berwarna
Sur. India 2:225 (1902).
hitam. Daun berkuncir, panjang mencapai 2 m termasuk tangkai daun hingga 45 cm dan kuncir
Habitus rotan berbatang pendek, tinggi tidak mencapai 1 m, mengelompok. Diameter batang
hingga 80 cm, berduri mengelompok beraturan,
dengan upih daun hingga 50 mm biasanya ku-
anak daun 11 – 45 pada tiap sisi rakis, tersusun
rang, tanpa upih daun 20 mm; jarak antar ruas
beraturan, paralel, memita, ujung anak daun me-
sekitar 2 cm. Upih daun tidak berlutut, berwarna
luncip; panjang anak daun 27 – 33 cm, lebar kurang dari 2 cm, duri-duri halus pada permukaan
hijau pucat, berbulu halus sangat banyak berwarna coklat gelap serta berduri mengarah hor-
atas jarang, pinggir daun ujung berduri halus,
izontal atau vertical dengan panjang 3 – 30 mm,
jarang. Perbungaan menggantung, berduri pada
duri-duri yang terdapat di dekat gagang daun
daun penumpu utama, panjang hingga 50 cm,
lebih panjang dan mengarah keatas. Daun tidak
terdiri dari 3 – 6 bagian perbungaan, tertutupi oleh bulu-bulu halus sangat padat, berwarna me-
berkuncir, panjang mencapai 2 m termasuk tangkai daun hingga 35 cm, rakis daun berduri
rah kecoklatan. Buah masak membulat, 2 – 2.5
mengelompok beraturan, anak daun 35 pada tiap
cm, merah kehitaman, mengandung resin merah,
sisi rakis, tersusun beraturan, paralel, memita,
dengan barisan sisik tegak lurus, sekitar 18 – 22
ujung anak daun meluncip; panjang anak daun
sisik pada garis vertikal, ujung buah tidak
27 cm, lebar 2.5 cm. Perbungaan menggantung,
melengkung, berbiji satu. Biji membulat, permukaan bergelombang, endosperma termamah.
mengarah keluar dari kumpulan daun, panjang 20 cm, bagian perbungaan biasanya menggerombol
Spesimen yang diamati. Sungai Hulu, Bukit
pada ujung tangkai perbungaan, tertutupi oleh
Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya,
bulu-bulu halus sangat padat, berwarna merah
Sintang, Kalimantan Barat, 28 April 2006,
kecoklatan. Buah masak membulat, panjang buah
Himmah Rustiami HR 707, berbuah. Distribusi. Jenis ini dapat dijumpai di Kaliman-
10 mm, lebar 8 mm, dengan barisan sisik tegak lurus berwarna hijau hingga kuning kecoklatan,
tan, Semenanjung Malaya dan Sumatera.
sekitar 15 – 16 sisik pada garis vertikal, berbiji
Nama lokal. Wi jerenang (Dayak Iban).
satu. Biji membulat, diamter biji 7 mm, endo-
Manfaat. Rotan jenis ini hanya dimanfaatkan
sperma sangat termamah.
secara lokal oleh penduduk setempat, sedangkan
Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman
resin merah pada bijinya biasa dimanfaatkan untuk pewarna dan obat-obatan.
Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Sintang, Kalimantan Barat, 28 April 2006, Himmah
Catatan. Rotan ini biasa dijumpai di Kalimantan,
Rustiami HR 706, berbuah.
merambat hingga ketinggian lebih dari 20 m. Be-
Distribusi. Jenis merupakan jenis endemik di
berapa karakter yang menyolok di lapang antara
Kalimantan.
lain kedudukan duri pada garis horisontal yang
Nama lokal. Wi duduk (Dayak Ransa). 276
Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat
Manfaat. Karena jarak antar ruasnya yang sangat
sekitar 15 sisik pada garis vertikal, sisik berwarna
pendek rotan jenis ini dimanfaatkan secara lokal
kuning pucat hingga coklat pucat dengan ujung
oleh penduduk setempat untuk tongkat karena lebih kuat.
sisik agak merah muda, berbiji satu. Biji bulat, diameter 15 mm, permukaan biji bergelombang,
Catatan. Rotan ini biasa dijumpai di Kalimantan,
endosperma termamah.
di tanah yang miskin atau hutan kerangas.
Spesimen yang diamati. Sungai Hulu, Bukit
Perbungaan untuk tiap individu terkadang
Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya,
bervariasi pada ukuran panjangnya tergantung
Sintang, Kalimantan Barat, 29 April 2006,
dari usia rotannya. Status konservasi.
Himmah Rustiami HR 715, berbuah. Distribusi. Jenis ini banyak dijumpai di hutan
Belum
ada
data
yang
signifikan.
dataran rendah, tepian sungai hutan-hutan di Kalimantan, Sumatera dan Johor.
13. Daemonorops periacantha Miq., Prods. Fl.
Nama lokal. Wi Empunok (Dayak Iban).
Sum. 256, 592 (1861) Habitus rotan mengelompok, berukuran besar,
Manfaat. Rotan jenis ini hanya dimanfaatkan secara lokal oleh penduduk setempat sebagai
merambat hingga 10 m. Diameter batang dengan
tongkat atau pengikat kayu bakar.
upih daun hingga 50 mm, tanpa upih daun 15 -
Catatan. Rotan jenis ini banyak dijumpai di per-
30 mm; jarak antar ruas 35 cm. Upih daun
bukitan hutan Dipeterokarp hingga ketinggian
berwarna hijau terang dengan duri-duri berwarna kekuningan coklat dengan ujung kehitaman,
mencapai 800 m dpl serta lebih menyukai tanah yang bagus atau subur seperti tepian bukit dan
ukuran duri bervariasi dengan panjang hingga 6
tanah-tanah datar dibanding tanah-tanah berka-
cm, duri-duri pada upih daun mengarah ke
pur.
berbagai direksi, berindumentum coklat padat,
Status
duri pada mulut daun tegak dengan panjang
signifikan.
mencapai 8 cm; lutut terlihat jelas, berduri seperti pada upih daun, tetapi duri-durinya membalik.
14. Daemonorops sp. 1
Daun berkuncir, panjang mencapai 2 m termasuk
Habitus rotan mengelompok, berukuran kecil,
tangkai daun hingga 50 cm dan kuncir hingga 70
pendek, tinggi hingga 2 m. Diameter batang
cm; anak daun sekitar 45 pada tiap sisi rakis,
dengan upih daun hingga 40 mm, tanpa upih
tersusun berkelompok agak beraturan, sekitar 2 – 7 anak daun tiap kelompoknya, paralel, memita,
daun 20 mm. Upih daun bulat, berwarna hijau kekuningan, terdapat rambut-rambut halus,
ujung anak daun meluncip, tidak berduri kecuali
bersisik jarang, terdapat garis-garis horizontal,
pada ujung anak daun berbulu halus, panjang
duri-duri pada upih daun berkelompok tepian
anak daun 40 cm, lebar 3 cm. Perbungaan
duri halus berwarna hitam. Daun berkuncir
menggantung, panjang hingga 100 cm, terdiri
pendek, panjang mencapai 1.5 m termasuk
dari 10 bagian perbungaan, daun penumpu perbungaan tebal berdaging, berbulu halus dan
tangkai daun hingga 40 cm dan kuncir 15 cm, berduri mengelompok beraturan, anak daun 24
berambut kecoklatan, mudah luruh; tangkai
pada tiap sisi rakis, tersusun beraturan, paralel,
perbungaan berambut kecoklatan. Buah masak
memita, ujung anak daun meluncip, berbulu
membulat atau agak lonjong, diameter buah
merah kecoklatan; panjang anak daun 15 – 27
hingga 22 mm, dengan barisan sisik tegak lurus,
cm, lebar kurang dari 2 cm, duri-duri halus pada
Konservasi. Belum ada data yang
277
Himmah Rustiami
permukaan bawah ada terutama di tulang daun
J.D.Hooker, Fl. Brit. India 6: 476 (1893).
utama berwarna merah kecoklatan, pinggir daun
Korthalsia hallieriana Becc., Ann. Roy. Bot. Gard.
berduri halus; tulang daun tansversal terlihat jelas. Perbungaan menggantung, panjang hingga 40
(Calcutta) 12(2): 142 (1918). Korthalsia paludosa Furtado, Gard. Bull. Singa-
cm, terdiri dari 3 bagian perbungaan, rakila
pore 13: 313 (1951).
perbungaan ditutupi oleh bulu-bulu halus sangat
Habitus rotan tumbuh mengelompok, berukuran
padat,
buah
sedang, merambat hingga mencapai 50 m,
menggerombol di ujung tangkai perbungaan.
bercabang pada kanopi. Diameter batang dengan
Buah masak bulat telur lebar, 1.5 – 2 cm, coklat tua kekuningan, dengan barisan sisik tegak lurus,
upih daun sekitar 2.5 cm, tanpa upih daun sekitar 2 cm, jarak antar ruas sekitar 20 cm. Upih daun
sekitar 8 – 9 sisik pada garis vertikal, ujung buah
hijau pucat, berbulu lembut padat berwarna abu-
tidak melengkung, 2 mm,
berbiji satu. Biji
abu serta bersisik kecoklatan mudah luruh, ber-
bergelombang,
duri sekitar 10 mm, jarang; okrea hingga 4 cm,
endosperma termamah. Spesimen yang diamati. Bukit Simat, Taman
memeluk erat pada batang dengan ujung terkoyak dan jarang terbelah, tidak berduri. Daun
Nasional
Sintang,
berkucir, panjang mencapai 1.5 m termasuk
Kalimantan Barat, 28 April 2006, Himmah
tangkai daun sampai 10 cm dan kucir 75 cm,
Rustiami HR 703, berbuah.
anak daun sekitar 5 – 7 pada tiap sisi rakis, ber-
Distribusi. Sampai saat ini rotan ini hanya dijumpai di hutan Dipterokarp Bukit Simat
bentuk belah ketupat, panjang 15 cm lebar 8 cm, permukaan atas anak daun hijau gelap mengkilap,
Nama lokal. Wi Perompas (Dayak Ransa).
permukaan bawah daun abu-abu kebiruan. Per-
Manfaat. Daun rotan jenis ini oleh penduduk
bungaan
lokal banyak dimanfaatkan untuk bahan dasar
bercabang, terdiri dari 8 bagian perbungaan pada
pestisida, caranya yaitu daun direbus dan air hasil
tiap sisi, dengan 10 rakila, coklat gelap pucat.
rebusannya setelah dingin disiramkan ke tanaman padi yang terserang hama.
Buah membulat, diameter 1 cm, dengan sisik berjumlah 15 pada garis vertical, sisik buah
Catatan. Jenis ini dijumpai di kawasan per-
berwarna hijau gelap hingga coklat pucat. Biji
bukitan hutan Dipterokarp pada tanah datar,
berdiameter 8 mm, termamah tidak beraturan.
dengan kanopi hutan tidak terlalu rapat.
Daun pada anakan simple, hijau mengkilap pada
berwarna
membulat,
merah
kecoklatan;
permukaan
Bukit
Baka-Bukit
Status konservasi. siginifikan.
Belum
Raya,
ada
data
yng
mencapai
80
cm
panjangnya,
permukaan atas serta keabu-abuan pada permukaan bawah. Spesimen yang diamati. Sungai Hulu, Bukit
15. Korthalsia rigida Blume, Rumphia 2: 167
Simat, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya,
(1843).
Sintang, Kalimantan Barat, 28 April 2006,
Korthalsia polystachya Mart., Hist. Nat. Palm. 3:
Himmah Rustiami HR 708, berbuah.
210 (1845). Calamosagus polystachys (Mart.) H.Wendl. in O.C.E.de Kerchove de Denterghem,
Distribusi. Rotan jenis ini banyak dijumpai di Kalimantan, Palawan, Sumatera, Semenanjung
Palmiers: 235 (1878).
Malaya dan Thailand.
Calamosagus ochriger Griff., Palms Brit. E. Ind.:
Nama lokal. Wi dahan (Dayak ransa).
31 (1850).
Pemanfaatan. Seperti jenis Korthalsia lainnya,
Korthalsia
ferox
var.
malayana
Becc.
in
rotan ini juga sebagai sumber rotan yang tahan 278
Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat
lama untuk anyaman keranjang, penduduk lokal
Anakan berdaun dua pasang membelah ketupat.
masih kurang memanfaatkan rotan ini.
Spesimen yang diamati. Desa Kaburai, Taman
Catatan. Rotan ini dapat dijumpai di dataran rendah dan perbukitan hutan-hutan di Kaliman-
Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kecamatan Tumbang Senamang, Kotawaringin Timur, 03
tan dengan ketinggian tempat hingga 900 m dpl.
Mei 2006, Himmah Rustiami HR 724, berbuah.
Status konservasi. Penelitian lebih jauh diper-
Distribusi. Jenis ini dapat dijumpai di Kaliman-
lukan untuk mengetahui status keterancaman
tan, Semenanjung Malaya, Sumatera dan Thai-
jenis ini.
land Selatan.
16. Korthalsia rostrata Blume, Rumphia 2: 168
Nama lokal. Wi chit (Dayak Iban). Manfaat. Rotan dari jenis ini hanya dimanfaat-
(1843). Ceratolobus rostratus (Blume) Becc., Ann.
kan secara lokal oleh penduduk setempat teruta-
Roy. Bot. Gard. (Calcutta) 12(2): 11 (1918).
ma untuk tali menali dan kerajinan tangan
Korthalsia scaphigera Mart., Hist. Nat. Palm. 3(ed.
berukuran kecil.
2): 211 (1845). Calamosagus scaphiger (Mart.) Griff., Palms Brit. E. Ind.: 30 (1850).
Catatan. Rotan ini bisa dijumpai di dataran Kalimantan pada dataran rendah, berbukit, hutan
Korthalsia lobbiana H.Wendl., Bot. Zeitung
dipterokarp serta hutan kerangas.
(Berlin) 17: 174 (1859).
Status konservasi. Belum ada data yang sig-
Korthalsia machadonis Ridl., Mat. Fl. Malay. Pen-
nifikan.
ins. 2: 216 (1907). Habitus rotan tumbuh mengelompok, ramping,
17. Korthalsia echinometra Becc., Malesia 2:66
bercabang, tumbuh hingga mencapai 20 m atau
(1884).
lebih. Diameter batang dengan upih daun sekitar
Daemonorops ochreata Teijsm. & Binn., Cat.
8 – 15 mm, tanpa upih daun sekitar 6 – 9 mm,
Hort. Bot. Bogor.: 74 (1866), nom. nud.
jarak antar ruas hingga 10 cm, tidak berlutut,
Calamus ochreatus Miq., Verh. Kon. Akad.
okrea menggembung, lebar 2 cm panjang 3 cm, berduri pendek dan jarang, banyak dihuni oleh
Wetensch., Afd. Natuurk. 11(5): 29 (1868), nom. nud.
semut. Daun berkuncir, panjang hingga 1.3 m
Korthalsia angustifolia var. gracilis Miq., Palm.
termasuk tangkai daun sekitar 3 – 15 cm dan
Archip. Ind.: 16 (1868).
kuncir hingga 60 cm, anak daun berjumlah 3 – 7
Korthalsia horrida Becc., Malesia 2: 66 (1884).
pada tiap sisi rakis, berbentuk belah ketupat, panjang 20 cm dan lebar 10 cm dengan tangkai anak
Habitus rotan tumbuh mengelompok, berukuran sedang, bercabang, tumbuh hingga mencapai 40
daun pendek sekitar 3 mm, permukaan atas daun
m atau lebih. Diameter batang dengan upih daun
hijau gelap, permukaan bawah daun keputihan.
sekitar 30 mm, tanpa upih daun sekitar 20 mm,
Perbungaan hingga mencapai 50 cm panjangnya,
jarak antar ruas hingga 12 cm. Upih daun hijau
terdiri dari hingga 10 bagian perbungaan, bagian
terang, berduri jarang, hampir seluruhnya di-
perbungaan ramping, panjang 8 cm, lebar 0.7 cm, berbulu kecoklatan padat. Buah membulat telur,
tutupi oleh okrea, okrea menggembung sangat besar, lebar 5 cm panjang 10 cm, berduri hitam,
panjang 2 cm, lebar 1.2 cm, ditutupi oleh sisik
panjang dan padat, banyak dihuni oleh semut.
kekuningan hingga coklat, berjumlah 15 – 18
Daun berkuncir, panjang hingga 1.8 m termasuk
pada garis vertikal. Biji panjangnya sekitar 1.5 cm,
tangkai daun sekitar 10 cm dan kuncir hingga 70
lebar 0.8 cm, endosperma sangat termamah.
cm, anak daun berjumlah hingga 25 pada tiap sisi 279
Himmah Rustiami
rakis, berbentuk belah ketupat yang memanjang
alihan fungsi hutan makin meningkat maka
ramping, panjang 30 cm dan lebar 3 cm, per-
dikhawatirkan suatu saat keberadaan jenis ini
mukaan atas daun hijau gelap, permukaan bawah daun keputihan, berlilin. Perbungaan hingga
akan terancam.
mencapai 60 cm panjangnya, terdiri dari 15 bagi-
KESIMPULAN
an perbungaan, bagian perbungaan ramping, panjang 20 cm, lebar 1.5 cm, berbulu coklat keme-
Dari hasil eksplorasi di beberapa wilayah
rahan. Buah membulat, panjang 2.5 cm, lebar 1.5
perbukitan dalam kawasan Taman Nasional Bukit
cm, ditutupi oleh sisik coklat kemerahan, berjumlah 18 – 21 pada garis vertikal. Biji pan-
Baka dapat disimpulkan bahwa walaupun dijumpai beberapa aktifitas perambahan rotan
jangnya sekitar 1.5 cm, lebar 1.0 cm, endosperma
kondisi
termamah. Anakan berdaun dua pasang mem-
dijumpainya jenis-jenis vegetasi yang menjadi
belah ketupat, memanjang ramping.
penciri hutan primer. Terdapat 17 jenis palem
Spesimen yang diamati. Desa Kaburai, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kecamatan
baik itu palem pohon maupun palem merambat atau yang lebih dikenal dengan istilah rotan di
Tumbang Senamang, Kotawaringin Timur, 03
kawasan tersebut. Dari ketujuhbelas jenis palem
Mei 2006, Himmah Rustiami HR 724b,
tersebut tujuh jenis merupakan endemik Kali-
berbuah.
mantan yaitu Caryota no, Iguanura macrostachya,
Distribusi. Jenis ini dapat dijumpai di Kalimantan, bagian selatan Semenanjung Malaya dan Su-
Licuala borneensis, Pinanga tomentella, Calamus pogonacanthus, Daemonorops microstachys dan
matera.
Daemonorops sp. 1. Kebanyakan jenis-jenis rotan
Nama lokal. Wi tajam (Dayak ransa).
berpotensi secara ekonomi baik sebagai bahan
Manfaat. Rotan jenis ini berkualitas bagus dan
furnitur maupun bahan kerajinan.
banyak dimanfaatkan sebagai bahan kerajinan
yangnya semua bahan baku diambil dari alam
tangan karena dapat dibelah hingga beberapa bagian, menurut informasi pendamping lapang
sehingga perlu dipikirkan tindakan konservasi baik secara in situ maupun ex situ guna penyela-
dapat dibelah menjadi 8 bagian.
matan jenis-jenis endemik di kawasan tersebut.
hutan
masih
bagus
karena
masih
Hanya sa-
Catatan. Dari perjalanan eksplorasi dapat disimpulkan bahwa Korthalsia echinometra banyak
UCAPAN TERIMA KASIH
mendominasi kawasan perbukitan hutan dipterokarp dari dataran rendah hingga dataran tinggi.
Ungkapan terima kasih yang tulus kepada
Jenis ini mudah dikenali karena mempunyai okrea
semua pihak yang telah dengan senang hati mem-
yang sangat menggembung dan berduri serta
bantu terlaksananya proyek penelitian ini, teruta-
daun belah ketupatnya yang memanjang ramping,
ma kepada Kepala Puslit Biologi LIPI beserta
berbeda dengan jenis Korthalsia lainnya.
Kepala Bidang Botani. Selain itu juga kepada
Status konservasi. Upaya pelestarian hingga saat ini belum pernah dilakukan. Status jenis ini masih
Kepala Taman Nasional Bukit Baka – Bukit Raya di Sintang, Kalimantan Barat yang telah mem-
belum terancam
karena jumlah yang sangat
berikan ijin dan fasilitas untuk melakukan
melimpah dan sering dijumpai di kawasan per-
penelitian serta pendampingan selama di lapan-
bukitan maupun dataran rendah di hutan-hutan
gan. Ibu Rugayah dan Bapak M Amir yang sudah
Kalimantan. Namun demikian jika kegiatan per-
menjadi teman seperjuangan selama di lapang 280
Palem di Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya, Kalimantan Barat
serta Bapak B. Sihombing, petugas dari taman
Dransfield J. 1984. Sabah forest records No. 13:
nasional yang sangat membantu serta seluruh war-
The rattans of Sabah (Malaysia). Forest De-
ga desa Nanga Siyai yang tidak bisa kami sebut satu persatu dimana saya merasa sangat berterima
partment, Sandakan. Dransfield J. 1986. A guide to collecting palms.
kasih dan berhutang budi.
Ann. Missouri Bot. Gard. 73: 166-176. Jarvie JK, Ermayanti, Mahyar U, Church A &
DAFTAR PUSTAKA
Ismail. 1998. The habitats and flora of Bukit Baka-Bukit Raya National Park. Tropical
Beccari O. 1902. Systematic enumeration of the species of Calamus and Daemonorops with diagnoses of the new ones. Rec. Bot. Surv. Ind. 2: 197-230.
Biodiversity 5(1):11-56. Kiew R. 1976. The genus Iguanura Blume. The Gardens’ Bulletin Singapore 26: 191 – 230. Mogea JP & de Wilde WJJO. 1982. Short report
Beccari O. 1908. Asiatic palms: Lepidocaryeae.
on the visit of the forest area at the upper
Part 1: The species of Calamus. Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 11.
Samba River and Bukit Raya Mountain, Central Kalimantan, Indonesia. Mimeo-
Beccari O. 1911. Asiatic palms: Lepidocaryeae. Part 2: The species of Daemonorops. Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (1). Beccari O. 1913. Asiatic palms: Lepidocaryeae. Part 1: The species of Calamus. Appendix. Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 11.
graph. Herbarium Bogoriense. Bogor. Mogea JP. 1987. Notes on palmae collected during the expidition in Noteboom (ed.) Report of the 1982-1983 Bukit Raya Expedition. Rijksherbarium, Leiden, The Netherlands. Hahn WJ & KJ Sytsma. 1999. Molecular system-
Beccari O. 1918. Asiatic palms: Lepidocaryeae.
atics and biogeography of the South East
Part 3: The species of Ceratolobus, Calo-
Asian genus Caryota (Palmae). Systematic
spatha, Plectocomia, Plectocomiopsis, Myriale-
Botany 24: 558-580.
pis, Zalacca, Pigafetta, Korthalsia, Metroxylon, and Eugeissona. Ann. Roy. Bot. Gard. Calcutta 12 (2).
Saw LG. 2012. A revision of Licuala (Arecaceae, Coryphoideae) in Kalimantan. Kew Bulletin 67: 577-654.
Bridson D & L Forman (eds.). 1992. The Herbari-
Tantra IGM. 1983. Some preliminary remarks on
um handbook. Revised Edition. Royal Botan-
the Bukit Raya Nature Reserve and its pro-
ic Gardens Kew, Kew. Dransfield J. 1979. Malayan forest records No. 29:
posed extention. Mimeograph. Herbarium Bogoriense. Bogor.
A manual of the rattans of the Malay Peninsula. Forest Department, Kuala Lumpur.
281
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 283-289 (2013)
Biotransformasi 2E-6E-Farnesol oleh Jamur Endofit Botryosphaeria sp. CA2C-3 yang Diisolasi dari Temu Hitam (Curcuma aeruginosa ROXB.) [Biotransformation of 2E-6E-Farnesol by the Endophytic Fungus Botryosphaeria sp. CA2C -3 isolated from Temu Hitam (Curcuma aeruginosa ROXB.)] Andria Agusta Laboratorium Fitokimia, Bidang Botani, Puslit Biologi-LIPI, Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong 169011. Telp. 0218765066 ext. 1104, E-mail:
[email protected] Memasukkan: Mei 2013, Diterima: Juli 2013 ABSTRACT The objective of study was to investigate the microbial transformation of 2E-6E-farnesol by the endophytic fungi isolated from temu hitam (Curcuma aeruginosa ROXB. The transformation was carried out in PDB with (2E-6Efarnesol), incubated at room temperature (25-32 C) under shaking condition at 120 rpm for two days produced a major biotransformed product. Structure elucidation based on 1H- and 13C-NMR analysis showed that the biotransformed product was 10,11-dihydroxi-2E-6E-farnesol. It It was verified that biotransformation reaction of 2E-6Efarnesol into 10,11-dihydroxi-2E-6E-farnesol through an intermediate 10,11-epoxi-2E-6E-farnesol. Keywords: Temu hitam; Curcuma aeruginosa; endophytic fungi; biotransformation; 2E,6E-farnesol; 10,11-dihydroxi -2E,6E-farnesol; 10,11-epoxi-2E-6E-farnesol. ABSTRAK Biotransformasi senyawa 2E,6E-farnesol oleh jamur endofit yang diisolasi dari temu hitam (Curcuma aeruginosa ROXB) telah dipelajari. Inkubasi senyawa 2E-6E-farnesol di dalam kultur jamur endofit Botryospaeria sp. CA2C-3 pada medium PDB dengan temperatur ruang (25 – 32 oC) pada sebuah rotary shaker dengan kecepatan 120 rpm selama dua hari menghasilkan suatu produk biotransformasi utama. Elusidasi struktur produk biotransformasi dilakukan berdasarkan hasil analisis 1H- dan 2D-RMI dan data terpublikasi memperlihatkan bahwa senyawa produk adalah 10,11-dihidroksi-2E,6E-farnesol. Pada penelitian ini juga telah diklarifikasi bahwa reaksi bitransformasri 2E6E-farnesol menjadi 10,11-dihidroksi-2E,6E-farnesol adalah melalui senyawa intermaidet 10,11-epiksi-2E,6Efarnesol. Kata Kunci: Temu hitam; Curcuma aeruginosa; jamur endofit; biotransformasi; 2E,6E-farnesol; 10,11-dihidroxi2E,6E-farnesol; 10,11-epoxi-2E-6E-farnesol.
PENDAHULUAN
adalah salah satu tumbuhan obat penting di Indonesia sebagai bahan baku pembuatan jamu. Salah
Jamur endofit adalah salah satu kelompok mikroba di alam yang hidup di dalam jaringan
satunya adalah temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.). Rimpang segar temu hitam dilaporkan
sehat tumbuhan (Bacon & White, 2000). Di
mengandung beberapa senyawa dari golongan
samping sebagai produser senyawa kimia dengan
seskuiterpena (Kitamura et al. 2007). Senyawa
spektrum yang luas (Zhang et al. 2006, Tan &
seskiterpena alifatik 2E,6E-farnesol dikenal se-
Zou 2001), jamur endofit juga memiliki kapabili-
bagai senyawa intermediet (dalam bentuk turunan
tas untuk melakukan transformasi komponen kimia tumbuhan inangnya (Shibuya et al. 2003;
pirofosfat) seskiterpena siklik dalam jalur biosintesis seskuitepena di dalam jaringan tumbuhan,
Agusta et al. 2005).
termasuk temu hitam (Dewick 1997; 2002; Cro-
Temu-temuan
(tumbuhan
Curcuma)
teau et al. 2000). 283
Andria Agusta
Sebanyak 8 isolat khamir dan 3 jamur fila-
500 mL yang berisikan 200 mL medium PDB
men dilaporkan telah diisolasi dari rimpang temu
pada rotary shaker dengan kecepatan agitasi 120
hitam (Agusta & Jamal 2011). Salah satu diantara khamir tersebut, yaitu khamir CA1C-4 memiliki
rpm. Setelah diinkubasi selama 5 hari pada suhu ruang (25 - 32 oC), 20 mL larutan steril 2E,6E-
kemampuan untuk mentransformasi seanyawa
farnesol (96%, Sigma) dalam metanol (1 mg/mL)
2E,6E-farnesol menjadi turunan karboksilatnya
ditambahkan
2E,6E-3,7,11-trimetil-2,6,10-didekatrien-1-kar-
Selanjutnya diinkubasi kembali dengan kondisi
boksilat dengan faktor konversi sebesar 51.3 %.
yang sama. Jalannya reaksi biotransformasi
Pada tulisan ini akan dilaporkan biotransformasi 2E,6E-farnesol oleh isolat jamur filamen
dimonitor dengan melakukan sampling 5 mL medium tumbuh setiap 24 jam dari hari ke-1
Botryosphaeria sp. CA2C-3.
hinga hari ke-7 setelah penambahan substrat, dan kemudian
ke
dalam
diekstraksi
medium
dengan
tumbuh.
kloroform.
Selanjutnya sampel dianalisis dengan teknik KLT
BAHAN DAN CARA KERJA Bahan tumbuhan berupa rimpang segar
(SiO2, n-heksana:etil asetat, 8:1) dengan penampak noda 1% CeSO4 / 10% H2SO4.
ROXB.
Jamur endofit Botryosphaeria sp. CA2C-3
(Zingiberaceae) dikoleksi dari daerah Jasinga, Bo-
ditumbuhkan di dalam 5 buah Erlenmeyer
gor, Jawa Barat pada Maret 2001. Identifikasi
berukuran 500 mL yang masing-masing berisikan
jenis dilakukan di Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi, LIPI.
200 mL medium PDB, dan diinkubasi dengan kondisi yang sama dengan di atas. Setelah 5 hari,
Rimpang segar temu hitam dicuci dengan
400 mL larutan steril 2E,6E-farnesol (96%,
air sampai bersih. Kemudian disterilisasi per-
Sigma) dalam etanol (10 mg/mL) ditambahkan ke
mukaannya dengan cara merendam dalam 75%
dalam medium tumbuh. Selanjutnya diinkubasi
etanol selama 2 menit, 5.3% natrium hifoklorit
kembali pada suhu ruang (25 - 32 oC), 120 rpm
selama 5 menit dan kemudian dengan 75% etanol selama setengah menit. Rimpang yang telah dis-
selama 2 hari. Kemudian seluruh medium tumbuh berikut miselia diekstraksi dengan
terilkan
kemudian
kloroform dan kemudian dipekatkan dengan
dipotong dengan ketebalan sekitar 0.25 cm, dan
penguap putar, dan diperoleh 318.5 mg ekstrak.
selanjutnya ditaruh di atas medium corn-meal
Pemisahan dilakukan dengan teknik kromatografi
malt agar (CMMA) yang mengandung kloramfenikol (0.05 mg/mL), lalu diinkubasi pada suhu
kolom menggunakan silika gel (70 – 230 mesh) sebagai fasa diam dan CHCl3-MeOH (13:1)
27 oC selama beberapa hari. Setelah tumbuh, se-
sebagai fasa gerak sehingga diperoleh 102.7 mg
tiap koloni jamur selanjutnya ditransfer beberapa
produk utama dan 0.5 mg Fraksi 2 yang diduga
kali ke medium potato dextrose agar (PDA) sampai
mengandung senyawa intermediet.
temu
hitam,
Curcuma
permukaannya
aeruginosa
tersebut
diperoleh koloni tunggal (Agusta et al. 2006).
Struktur kimia produk utama ditentukan
Jamur endofit Botryosphaeria sp. CA2C-3 diidentifikasi berdasarkan observasi morfologi dan anali-
berdasarkan analisis 1H- dan 13C-RMI. Spektrum 1H- dan 13C-RMI diukur dengan spektrometer
sis sekuens rDNA yang meliputi daerah 18S,
JEOL JNM-Lambda 500 yang dioperasikan pada
ITS1, 5.8S dan ITS2 (data tidak dipublikasi).
500 MHz untuk 1H dan 125 MHz untuk 13C di
Jamur endofit Botryosphaeria sp. CA2C-3 ditumbuhkan di dalam Erlenmeyer berukuran
dalam
pelarut
d6-CHCl3.
Geseran
kimia
diberikan dalam skala d (ppm) yang relatif 284
Biotransformasi 2E-6E-Farnesol oleh Jamur Endofit Botryosphaeria sp
terhadap tetrametilsilana (TMS, d = 0) sebagai
HASIL
internal standar, dan konstanta kopling diberikan dalam satuan Herzt. Sintesis 10,11-epoksi-2E,6E-farnesol dila-
Jamur endofit Botryospaeria sp. CA2C-3 merupakan salah satu jamur endofit berbentuk
kukan dengan menggunakan pereaksi asam meta-
filamen dari rimpang temu hitam yang memiliki
kloroparabenzoat (MCPBA, Uyanik et al., 2005).
kemampuan
Sebanyak 100 mg 2E,6E-farnesol dilarutkan
2E,6E-farnesol di dalam medium PDB setelah
didalam 10 mL distilat CH2Cl2, kemudian
diinkubasi selama dua hari pada suhu ruang (25 –
ditambah dengan 77 mg MCPBA. Setelah di stirrer selama 30 menit pada temperatur ruang,
32 oC). Reaksi biotransformasi 2E,6E-farnesol oleh Botryospaeria sp. CA2C-3 baru mulai
larutan dicuci dengan 10 mL larutan jenuh
berjalan setelah inkubasi selama 24 jam yang
NaHCO3 sebanyak 3 kali. Kemudian dicuci
ditandai oleh munculnya spot baru pada analisis
kembali dengan cara pengocokan dengan 10 mL
dengan KLT (data tidak ditampilkan). Selanjut-
NaCl sebanyak 3 kali dan kemudian fase CH2Cl2 dikeringkan dengan MgSO4 anhidrat. Setelah
nya pengamatan reaksi biotransfromasi secara KLT sampai dengan hari ke tujuh (1 minggu)
fase CH2Cl2 dipekatkan dengan rotary evaporator
tidak memperlihatkan adanya perubahan pada
(temperatur kamar), kemudian dipisahkan dengan
pola kromatogram KLT ekstrak CHCl3 kultur
kolom kromatografi yang menggunakan 20 g gel
jamur tersebut.
silika (70 - 230 mesh) sebagai fase diam. Elusi dilakukan dengan campuran pelarut n-heksana –
Untuk tujuan isolasi dan karakterisasi produk biotransformasi 2E,6E-farnesol oleh
etilasetat (2:1). Senyawa 10,11-epoksi-2E,6E-
jamur endofit Botryospaeria sp. CA2C-3, maka
gas
dilakukan scaling-up reaksi biotransformasi men-
farnesol
diidentifikasi
dengan
teknik
chromatography-spektrometri massa (GC-MS). Fraksi
2
hasil
pemisahan
untuk
melakukan
transformasi
jadi 5 x 200 ml PDB. Dari ekstraksi tersebut di-
ekstrak
peroleh sebanyak 102.7 mg produk utama.
kloroform yang diduga mengandung 10,11epoksi-2E,6E-farnesol (berdasarkan analisis
Spektrum 1H-RMI produk utama memperlihatkan adanya 12 sinyal proton (Tabel 1).
dengan KLT dengan pembanding senyawa hasil
Sedangkan spektrum
sintesis) dianalisis dengan GC-MS (Shimadzu QP
terdapatnya 15 sinyal atom karbon (Tabel 2).
-5000) dengan menggunakan kolom kapiler GL
Hasil analisis GC-MS Fraksi 2 yang diperoleh
Sciences TC-17 (0.25 mm x 30 m) volume injeksi 5 mL. Pada analisis ini suhu kolom diprogram
dari pemisahan ekstrak kloroform ditampilkan pada Gambar 1.A dengan spektrum massa pada
dari 80 oC isothermal selama 3 menit, kemudian
Gambar 1.C
o
dinaikkan menjadi 250 C dengan kecepatan o
o
kenaikan suhu 5 C/menit. Pada suhu 250 C
13
C-RMI memperlihatkan
Untuk hasil analisis GC-MS
senyawa 10,11-epoksi 2E,6E-farnesol ditampilkan pada Gambar 1.B.
suhu kolom dipertahankan selama 5 menit. Suhu injektor diprogram konstan pada 230 oC, interfase 250 oC dan Helium sebagai gas pembawa dengan kecepatan alir 1.3 mL/menit. Identifikasi senyawa
PEMBAHASAN Proses
biotransformasi
2E,6E-farnesol
intermediet dilakukan dengan cara membanding-
oleh Botryospaeria sp. CA2C-3 diketahui dengan
kannya dengan 10,11-epoksi-2E,6E-farnesol hasil
terlihatnya spot baru dari hasil analisis dengan
sintesis.
KLT. Keberadaan spot baru ini bertambah besar 285
Andria Agusta
Tabel 1. 1H-RMI produk biotransformasi 2E,6Efarnesol. Atom H 2E ,6E -farnesol*
produk 10,11-dihidroksibiotransformasi 2E ,6E -farnesol*
biotransformasi
memperlihatkan
pola
yang
hampir sama dengan substrat 2E,6E-farnesol (Tabel 1), kecuali sinyal proton metilen C-9 yang bergeser ke daerah high field (d 1.42) yang
1
4.15 (d, J =7)
4.15 (d, J =7)
4.14 (d, J =7)
2
5.42 (d, J =7)
5.41 (d, J =7)
5.39 (d, J =7)
4
1.95 - 2.15 (m)
2.09 - 2.21 (m)
2.07 - 2.20 (m)
5
1.95 - 2.15 (m)
2.09 - 2.21 (m)
2.07 - 2.20 (m)
pada C-10 juga mengalami pergeseran ke daerah
6
5.15 (m)
5.18 (m)
5.17 (m)
high field, yaitu dari d 5.09 (m) menjadi d 3.37
8
1.95 - 2.15 (m)
2.09 - 2.21 (m)
2.07 - 2.20 (m) 1.41 (m)
disebabkan hilangnya ikatan rangkap pada C-10 dan C-11. Di samping itu sinyal proton olefinik
(dd, J=11.1). Sedangkan pada spektrum 13C-RMI produk terjadi pergeseran sinyal atom C-10 dari
9
1.95 - 2.15 (m)
1.42 (m)
10
5.09 (m)
3.37 (dd, J =11.1) 3.36 (dd, J =11.1)
geseran kimia pada 123.9 menjadi 77.4, dan
12
1.68 (s)
1.69 (s)
1.68 (s)
sinyal atom C-11 dari 131.3 menjadi 73.1. Hal
13
1.60 (s)
1.60 (s)
1.60 (s)
ini mengindikasikan terjadinya kehilangan ikatan
Senyawa intermediet
A
rangkap pada posisi C-10 yang disertai dengan pemasukan gugus hidroksi menjadi 10,11dihidroksi farnesol. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa data 1H-RMI (Tabel 1) dan 13C -RMI (Tabel 2) dari produk biotransformasi ini
10,11-epoksi 2E,6E-farnesol
B
identik dengan 10,11-dihidroksi farnesol, yaitu produk biotransformasi 2E,6E-farnesol oleh jamur Glomerella cingulata yaitu patogen pada tumbuhan (Miyazawa et al. 1996).
C
Reaksi biotransformasi 2E,6E-farnesol menjadi
10,11-dihidroksi-2E,6E-farnesol
oleh
jamur endofit Botryospaeria sp. CA2C-3 ini terjadi melalui intermediet 10,11-epoksi-2E,6E-farnesol (Gambar Gambar 1. Kromatogram hasil analisis GC-MS fraksi 2 (A) dan senyawa 10,11-epoksi 2E,6E-farnesol hasil sintesis (B) dan spektrum massa senyawa 10,11-epoksi 2E,6E-farnesol (C).
pada pengecekan hari kedua yang diikuti dengan semakin berkurangnya substrat 2E,6E-farnesol. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadinya konversi substrat 2E,6E-farnesol menjadi suatu produk biotransformasi. Hasil monitoring reaksi biotransfromasi secara KLT selama 1 minggu proses fermentasi tidak memperlihatkan adanya perubahan pada pola kromatogram KLT ekstrak CHCl3 kultur jamur tersebut. Spektrum 1H-RMI produk utama reaksi
2).
Hal
ini
dibuktikan
dengan
terdeteksinya senyawa intermediet tersebut pada fraksi 2 hasil pemisahan ekstrak kloroform kultur jamur endofit. Senyawa intermediet ini diidentifikasi dengan cara membandingkannya dengan senyawa standar 10,11-epoksi-2E,6Efarnesol yang disintesis dari 2E,6E-farnesol dengan pereaksi MCPBA. Seperti terlihat pada Gambar 1A, fraksi 2 terdapat dalam bentuk campuran dan jumlah yang sangat sedikit (0.5 mg). Berdasarkan hasil yang diperoleh tersebut dapat disimpulkan bahwa reaksi 10,11-epoksi2E,6E-farnesol menjadi 10,11-dihidroksi-2E,6Efarnesol memiliki laju reaksi yang sangat cepat sehingga
sesaat
setelah
10,11-epoksi-2E,6E286
Biotransformasi 2E-6E-Farnesol oleh Jamur Endofit Botryosphaeria sp
Tabel 2. 13C-RMI produk biotransformasi 2E,6Efarnesol. 10,11-dihidroksiproduk biotransformasi 2E ,6E -farnesol*
atom H 2E ,6E -farnesol*
mengubah 2E,6E-farnesol menjadi 2Z,6E-farnesol (Suzuki et al. 1972). Sedangkan Pseudomonas aureofaciens menghasilkan asam 2E,6E-3,7,11trimetil-2,6,10-dodekatrien-1-karboksilat, dan
C-1
58.9
59.2
59.0
2E,6E-3,7,11-trimetil- 2,6,10-dodekatrien-1,13
C-2
124.3
124.2
124.1
-diol (Madyastha & Gururaja 1993b).
C-3
139.5
138.5
138.4
C-4
31.9
39.2
39.2
C-5
26.3
25.5
25.5
C-6
124.3
125.1
124.9
C-7
135.9
134.9
134.8
diperoleh sejauh ini belum atau tidak ditemukan pada tumbuhan inangnya, temu hitam (Agusta,
C-8
32.2
36.4
36.4
2008). Besar kemungkinan kondisi fermentasi
C-9
26.6
28.9
29.0
yang diterapkan dalam penelitian ini tidak cocok
C-10
124.0
77.4
77.4
untuk
C-11
131.4
73.1
73.1
C-12
25.6
26.3
26.2
Botryospaeria sp. CA2C-3 yang bertanggung jawab terhadap pembentukan senyawa seskiter-
C-13
17.6
23.1
23.0
C-14
16.2
17.7
15.8
C-15
15.9
15.7
15.7
* Miyazawa et al ., 1996 5
7
6
4
1
3
9 10 11 13
OH
jamur endofit Botryospaeria sp. CA2C-3 yang
mengaktifkan
enzim-enzim
pada
pena yang merupakan karakteristik pada temu hitam. Untuk itu saat ini masih dilakukan fermentasi 2E,6E-farnesol dengan jamur endofit lainnya, disamping penelitian lanjutan untuk mencari kondisi fermentasi yang ideal.
14
8
Produk reaksi biotransformasi dengan
15
2
HO
OH
O
OH
KESIMPULAN
HO
12
2E,6E-farnesol
10,11-epoksi-
10,11-dihidroksi-
2E,6E-farnesol
2E,6E-farnesol
Gambar 2. Reaksi biotransformasi 2E,6E-farnesol oleh Botryospaeria sp. CA2C-3.
Jamur endofit Botryospaeria sp. CA2C-3 yang diisolasi dari rimpang segar tumbuhan temu hitam memiliki kemampuan untuk melakukan biotransformasi 2E,6E-farnesol menjadi 10,11-
farnesol terbentuk, secara cepat dirubah menjadi
dihidroksi-2E,6E-farnesol dengan kapasitas trans-
10,11-dihidroksi-2E,6E-farnesol.
formasi sebesar 51.35%. Reaksi biotransformasi
10,11-Dihidroksi-2E,6E-farnesol pertama kali dilaporkan sebagai produk
2E,6E-farnesol menjadi 10,11-dihidroksi-2E,6Efarnesol terjadi melalui senyawa intermediet 10,11
biotransformasi
-epoksi-2E,6E-farnesol.
2E,6E-farnesol
oleh
jamur
Aspergillus niger (Madyasta & Gururaja 1993a). Tiga tahun kemudian, Miyazawa et al. (1996) melaporkan
bahwa
jamur
patogen
UCAPAN TERIMAKASIH
pada
tumbuhan, yaitu Glomerella cingulata dapat melakukan biotransformasi 2E,6E-farnesol
Diucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Hirotaka Shibuya, Natural Product Chemistry
menjadi 10,11-dihidroksi-2E,6E-farnesol, 11,15-
Laboratory, Faculty of Pharmacy and Phar-
dihidroksi- 2E,6E-farnesol dan
maceutical
2E,6E-farnesol.
Di
pihak
Helmintosporium
sativum
5,11-dihidroksilain
dilaporkan
Science,
Fukuyama
University,
jamur
Fukuyama, Hiroshima, Jepang atas bantuan
dapat
pengukuran data 1H- dan 13C-RMI. 287
Andria Agusta
DAFTAR PUSTAKA
Madyastha, KM. & TL. Gururaja. 1993a. Transformation of acyclic isoprenoids by Aspergil-
Agusta A. 2008. Perbandingan komponen kimia rimpang temu hitam (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan temu putih (C. zedoaria) asal Jepang. Majalah Obat Tradisional, 13(46): 155-159.
lus niger: selective oxidation of w-methyl and remote double bonds. Appl. Microbiol. Biotechnol. 38: 738-741. Madyastha, KM. & TL. Gururaja. 1993b. A new pathway for the degradation of a sesquiter-
Agusta, A., K. Ohashi & H. Shibuya. 2006.
pene alcohol, nerolidol by Alcalingenes eu-
Composition of the endophytic filamentous fungi isolated from tea plant Camellia sinen-
trophus. Biochem. Biophysic Res. Commun., 193: 26.
sis. J. Nat. Med., 60(3): 268-272.
Miyazawa, MH., H. Nankai, & H. Kameoka.
Agusta, A. & Y. Jamal. 2011. Biotransformasi
1996. Biotransformation of acyclic terpenoid
2E,6E-farnesol oleh khamir endofit CA1C-4.
(2E,6E)-farnesol by plant pathogenic fungus
Berk. Penel. Hayati, 17: 1-4. Agusta, A., S. Maehara, K. Ohashi, P. Simanjun-
Glomerella cingulata. Phytochemistry, 43: 105 -109.
tak & H. Shibuya. 2005. Stereoselective Ox-
Shibuya, H., C. Kitamura, S. Maehara, M. Naga-
idation at C-4 of Flavans by the Endophytic
hata, H. Winanarno, P. Simanjuntak, H.S.
Fungus Diaporthe sp. Isolated from a Tea
Kim, Y. Wataya & K. Ohashi. 2003. Trans-
Plant. Chem.Pharm. Bul. 53 (12): 15651569.
formation of Chincona Alkaloids into 1-NOxide Derivatives by Endophytic Xylaria sp.
Bacon, CW. & JF. White. 2000. Microbial Endo-
Isolated from Chincona pubescens. Chem.
phytes. Marcel Dekker, NY.
Pharm. Bull. 51: 71-74.
Croteau, R., TM. Kutchan, NG. Lewis. 2000,
Suzuki, Y. & Y. Marumo. 1972. Trans- to cis-2,3
Natural Products (Secondary Metabolites), in
double bond isomerization of epoxyfarnesol
Biochemistry & Molecular Biology of Plants, B. Buchanan, W. Gruissem, R. Jones, Eds.,
and farnesol by fungus. Tetrahedron Lett. 50: 5101-5104.
American Society of Plant Physiologists.
Tan, RX. & WX. Zou. 2001. Endophytes: A rich
1250-1318. Dewick, PM. 1997. Medicinal Natural Products,
source of functional metabolites. Nat. Prod. Rep. 18: 448-459.
A Biosynthetic Approach. John Willey & Sons, New York.
Unayik, M., K. Ishihara and H. Yamamoto. 2005. Biomimetic synthesis of acid-sensitive
Dewick, PM. 2002, The Biosynthesis of C5-C25
(-)- and (+)-caparrapi oxides, (-)- and (+)-8-
Terpenoid Compounds, Nat. Prod. Rep., 19:
epicarrapi oxides and (+)-dysifragin induce
181-222.
by artificial cyclases. Bioorg. Med. Chem. 13:
Kitamura, C., T. Nagoe, MS. Prana, A. Agusta, K. Ohashi & H. Shibuya. 2007. Comparison of Curcuma sp. In Yakushima with C. aeruginosa and C. zedoaria in Java by tnrK
5055-5065. Zhang, HW., YC. Song and RX.Tan 2006. Biology and Chemistry of the endophytes. Nat. Prod. Rep. 23, 753.
gene sequence, RAPD pattern and essential oil component. J. Nat. Med. 61: 239-243.
288
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 289-300 (2013)
Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti (Habitat of Malayan Sun Bear at Conservation Area of IUPHHK-HTI PT. RAPP Meranti Estate). Nur Anita Gusnia1), Agus Priyono Kartono2), & Harnios Arief2) Mahasiswa Mayor KVT IPB Bogor, Email:
[email protected] Staf Pengajar Mayor KVT IPB Bogor, Email:
[email protected],
[email protected] 1
2
ABSTRACT The malayan sun bear (Helarctos malayanus Raffles 1821) in Indonesia is only be found on the island of Sumatera and Borneo. Malayan sun is under threat either caused by natural or human disturbance. The objectives of this study were to identify the presence and habitat use assess dominant habitat components that affect sun bear's population. The studied comprises of vegetation analysis, line transect, field observation and drawing the habitat profile. The existence of sun bear data was collected by indirect encounter. Habitat used by sun bear was both on Tall Pole Forest/ TPF) and pet swamp transition forest (TRF) vegetation type. Sun bear only used trees on their daily activity with average height and diameter was 20 m and 51 cm respectively. Based on factor analysis, the dominant habitat factors that determined the existence of sun bear were vegetation density, canopy cover, the amount of tree and feeding tree individual and the amount of tree and feeding tree species. Keywords: Dominant factors, habitat use, Helarctos malayanus, Meranti Estate. ABSTRAK Keberadaan beruang madu (Helarctos malayanus Raffles 1821) di Indonesia dapat ditemukan di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Beruang madu mengalami berbagai ancaman populasi dan habitat baik yang terjadi secara alami maupun akibat manusia. Upaya konservasi yang dilakukan perlu didukung oleh informasi ilmiah mengenai keberadaan populasi dan kondisi habitat yang sesuai bagi spesies tersebut sehingga dapat disusun suatu strategi pengelolaan yang efektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keberadaan beruang madu di Estate Meranti, penggunaan ruang beruang madu dan faktor dominan habitat penduga keberadaan beruang madu di Estate Meranti. Metode penelitian yaitu analisis vegetasi, transek jalur, observasi lapang dan pemetaan diagram profil habitat. Keberadaan beruang madu diketahui melalui perjumpaan tidak langsung. Beruang madu menggunakan ruang baik pada tipe vegetasi hutan tiang tinggi (TPF) maupun transisi dengan gambut (TRF). Vegetasi yang dijadikan tempat beraktivitas yaitu pohon dengan ketinggian rata-rata 20 m dan diameter rata-rata 51 cm. Komponen habitat yang paling berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu yaitu kerapatan vegetasi, penutupan tajuk rata-rata, jumlah jenis pohon dan pohon pakan serta jumlah individu pohon dan pohon pakan. Kata kunci: beruang madu, Estate Meranti, faktor dominan, penggunaan ruang.
PENDAHULUAN
Galetti 1999). Beruang madu mengalami berbagai ancaman baik yang terjadi secara alami maupun
Beruang madu (Helarctos malayanus Raffles 1821) merupakan spesies beruang terkecil yang
akibat manusia seperti penangkapan liar, perdagangan beruang maupun bagian-bagian
dapat ditemukan di Indonesia dari delapan spesies
tubuhnya, pembunuhan beruang ketika terjadi
beruang di dunia (Lekagul & McNeely 1977).
konflik dengan manusia, fragmentasi dan isolasi
Beruang madu di Indonesia dapat ditemukan di
habitat, degradasi hutan, konversi lahan, keba-
Pulau Sumatera dan Kalimantan. Peranan beru-
karan dan kekeringan (Servheen 1998). Berbagai
ang madu selain menjaga keseimbangan ekosistem hutan juga turut membantu persebaran benih dari
permasalahan yang terjadi tersebut apabila tidak segera ditanggulangi maka dapat mempercepat
biji-bijian yang mereka makan (McConkey &
penurunan populasi beruang madu sampai 289
Gusnia, dkk.
tat dan upaya pelestarian populasi beruang madu
akhirnya dapat menyebabkan kepunahan. Areal konservasi IUPHHK-HTI PT. RAPP
serta sebagai bentuk monitoring habitat beruang
Estate Meranti (Estate Meranti) merupakan kawasan seluas 9123,052 hektar yang merupakan bagi-
madu di Estate Meranti. Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
an dari ekosistem dan sistem hidrologi Semenan-
keberadaan beruang madu di Estate Meranti,
jung Kampar. Estate Meranti menjadi habitat
penggunaan ruang oleh beruang madu di Estate
bagi beraneka ragam tumbuhan dan satwa liar,
Meranti dan faktor dominan habitat penduga
baik yang menempati kawasan tersebut secara
keberadaan beruang madu di Estate Meranti.
tetap maupun temporer (TIIP 2010a). Salah satu jenis satwa liar yang dilindungi yang hidup di
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai sebaran populasi, kondisi
kawasan Estate Meranti yaitu beruang madu.
habitat dan bentuk penggunaan ruang beruang
Keberadaan spesies ini menjadi salah satu tolak
madu di Estate Meranti sehingga dapat digunakan
ukur dalam penentuan nilai penting areal hutan
sebagai acuan dalam pengelolaan habitat beruang
tersebut karena statusnya yang dilindungi baik secara nasional maupun internasional.
madu.
Berbagai permasalahan kawasan yang ter-
BAHAN DAN CARA KERJA
jadi dapat mengancam populasi dan habitat satwa liar ini. Hutan alam di Semenanjung Kampar
Penelitian dilaksanakan di Areal Konservasi
yang telah dikonversi menjadi hutan tanaman menyebabkan menurunnya kualitas dan kuantitas
IUPHHK-HTI PT. RAPP Estate Meranti pada bulan Juni-Juli 2012. Data yang dikumpulkan
habitat dan populasi beruang madu di Estate Me-
meliputi keberadaan beruang madu, karakteristik
ranti. Kurangnya informasi ilmiah mengenai
habitat, penggunaan ruang dan faktor dominan
keberadaan satwa liar tersebut di Estate Meranti
habitat penentu keberadaan beruang madu.
menyebabkan kurang spesifiknya pengelolaan
Keberadaan beruang diketahui dengan per-
yang dilakukan. Salah satu aspek yang perlu diketahui untuk menunjang pengelolaan populasi
jumpaan tidak langsung melalui jejak cakaran, koyakan dan tapak kaki. Komponen habitat yang
dan habitat beruang madu di Estate Meranti yaitu
diamati dibedakan menjadi komponen biotik
aspek
Augeri
(jenis, komposisi dan struktur vegetasi, serta ben-
(2005), bagi sebagian besar spesies beruang,
tuk, posisi dan penutupan tajuk) dan komponen
ketersediaan keanekaragaman dan pakan, kondisi habitat dan cover seringkali menjadi faktor ekologi
abiotik (kedalaman gambut, jarak lokasi perjumpaan beruang dari jalan, sungai dan kawasan
yang paling menonjol yang mempengaruhi
produksi). Tipe habitat yang diamati dibedakan
penggunaan habitat.
menjadi dua tipe variasi lokal vegetasi yaitu hutan
penggunaan
ruang.
Menurut
permasalahan-permasalahan
tiang tinggi (Tall Pole Forest/TPF) dan transisi
tersebut maka perlu dilakukan penelitian guna
hutan tiang tinggi-hutan rawa gambut campuran
mendapatkan data dan informasi mengenai faktor -faktor penentu keberadaan serta penggunaan
(Transition TPF-MPSF/TRF). Unit contoh sebanyak 17 petak pengamatan masing-masing
ruang oleh beruang madu di Estate Meranti. Hasil
seluas 0,52 ha.
Berdasarkan
penelitian tersebut dapat digunakan sebagai dasar
Data keberadaan beruang diketahui dengan
dalam pengambilan keputusan pengelolaan habi-
metode transek jalur. Panjang jalur pengamatan
290
Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi
yaitu 260 m dan lebar jalur 20 m. Perjumpaan
deskriptif kualitatif. Penggunaan ruang oleh beru-
beruang secara tidak langsung melalui jejak
ang madu dianalisis dengan uji chi square (X2)
cakaran, koyakan dan tapak kaki. Titik koordinat GPS dan keterangan lainnya pada jejak yang
dan tumpang tindih (overlay) peta kawasan dengan data hasil inventarisasi. Penentuan faktor
ditemukan dicatat pada tally sheet.
dominan habitat diperoleh dengan analisis faktor
Data komponen biotik habitat diperoleh dengan cara analisis vegetasi metode garis berpe-
dan analisis regresi menggunakan software SPSS 16.
tak dan pemetaan diagram profil habitat. Ketentuan ukuran petak contoh analisis vegetasi untuk tingkat semai (tinggi <1,5m) 2m x 2m, ting-
HASIL
kat pancang (diameter <10cm dengan tinggi
Keberadaan Beruang Madu
>1,5m) 5m x 5m, tingkat tiang (diameter 10-
Jejak beruang madu ditemukan pada 11
20cm) 10m x 10m dan tingkat pohon (diameter
jalur yaitu pada kawasan sempadan Sungai Kutup,
>20cm) 20m x 20m (Soerianegara & Indrawan 2005). Jalur yang dibuat sepanjang 260 m dengan
S. Sangar, S. Serkap, S. Turip dan Tanjung Rimba. Berdasarkan tipe variasi lokal vegetasi
lebar 20 m. Vegetasi yang diamati pada pemetaan
penyusunnya, keberadaan jejak beruang madu
diagram profil habitat yaitu pohon dengan pan-
dapat ditemukan pada kedua tipe sebaran vegetasi
jang jalur 100 m dan lebar jalur 20 m. Data kom-
yang diamati yaitu TPF dan TRF. Jejak beruang
ponen abiotik habitat diperoleh dengan metode observasi lapang.
madu yang dijumpai di TPF sebanyak 16 jejak dan di TRF sebanyak 5 jejak (Gambar 1). Jejak
Data keberadaan beruang dianalisis secara
beruang madu tidak ditemukan pada kawasan
deskriptif kualitatif dan pembuatan peta sebaran
penyangga kubah gambut yaitu di jalur transek
populasi. Data komponen biotik dianalisis kom-
Tanjung Bunga.
posisi dan dominansi jenis vegetasi, indeks kesa-
Berdasarkan tipe jejak yang ditemukan,
maan komunitas (Index of Similarity) serta keanekaragaman jenis vegetasi dengan pendekatan In-
jejak tersebut dibedakan menjadi jejak cakaran sebanyak 13, koyakan sebanyak 7 dan tapak kaki
deks Kekayaan Margalef, Indeks Keanekaragaman
1 perjumpaan. Jejak yang paling banyak dijumpai
Shannon-Wiener dan Indeks Kemerataan Pielou.
berupa cakaran. Cakaran umumnya dijumpai pa-
Data
da pohon dengan diameter besar dan digunakan
komponen
abiotik
dianalisis
secara
beruang madu untuk memanjat pohon. Cakaran beruang madu memiliki bentuk yang khas, dimana kulit pohon sedikit tercungkil dan jejak berupa jalur memanjat dari bagian bawah dekat akar sampai ke atas pohon. Koyakan yang ditemukan di pohon umumnya setinggi beruang madu dewasa. Beruang madu tersebut diduga berdiri di atas permukaan tanah atau di dekat perakaran pohon kemudian mengoyak batang pohon atau lubang yang terdapat di pohon untuk Gambar 1. Peta sebaran beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti
mencari pakan. Jejak tapak kaki sulit dijumpai karena permukaan tanah yang tertutup oleh ban291
Gusnia, dkk.
yak serasah sehingga tapak kaki beruang yang ber-
sempadan sungai tersebut menjadi kawasan yang
pindah atau beraktivitas di atas tanah sulit
ditetapkan menjadi kawasan lindung oleh PT.
terdeteksi. Sebanyak 20 jejak beruang madu ditemukan pada vegetasi tingkat pertumbuhan
RAPP sehingga tidak akan dialihfungsikan menjadi kawasan produksi.
pohon dan hanya satu jejak yang ditemukan di
Vegetasi yang dijadikan cover oleh beruang madu berasal dari tingkat pertumbuhan pohon.
atas permukaan tanah (Tabel 1).
Vegetasi yang dijadikan cover berasal dari famili
Karakteristik Habitat Observasi lapang yang dilakukan di Estate Meranti menemukan beberapa sumber pakan beruang madu secara umum, yaitu tumbuhan, kelulut (Trigona spp), capung dan rayap. Berdasarkan inventarisasi vegetasi dan studi pustaka yang telah dilakukan, jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan bagi beruang madu di Estate Meranti sejumlah 34 jenis yang termasuk dalam 18 genus dan 17 famili. Genus dan famili yang paling banyak dijumpai yaitu genus Syzygium dan famili Myrtaceae. Jenis yang termasuk dalam genus dan famili tersebut yaitu kelat kelam (Syzygium sp.1), S. inophyllum, jambu-jambu (S. claviflorum), nasi-nasi (S. zeylanicum), samak (Syzygium sp.2) dan A. acuminatissima. Sumber air bagi beruang madu di Estate Meranti berupa air permukaan (sungai, kanal, genangan) maupun air yang terkandung di dalam pakannya. Estate Meranti menjadi daerah yang dialiri oleh beberapa sungai yaitu Sungai Kampar, S. Kutup, S. Serkap, S. Turip dan S. Sangar. Areal
Dipterocarpaceae. Jenis vegetasi yang termasuk dalam famili Dipterocarpaceae dan terdapat di Estate Meranti yaitu meranti bunga (Shorea teysmanniana) dan meranti bakau (S. uliginosa). Jejak beruang madu hanya ditemukan pada batang pohon S. teysmanniana. Selain itu, terdapat lubang pada salah satu batang pohon S. teysmanniana yang sudah mati yang diduga digunakan oleh beruang madu sebagai tempat tidur (bedding site). Kondisi Biotik dan Abiotik Habitat Jumlah jenis total yang ditemukan sebanyak 74 jenis dari 30 famili. Jumlah jenis berdasarkan tipe vegetasi pada setiap tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Dominansi jenis pada setiap tipe vegetasi disajikan pada Lampiran 2. Kekayaan, kelimpahan dan kemerataan jenis tertinggi pada tipe vegetasi TPF dan TRF terdapat pada tingkat pertumbuhan pohon. Nilai keanekaragaman vegetasi di TPF dan TRF dapat dilihat pada Tabel 2. Pada habitat TPF dan TRF, nilai indeks kekayaan, kelimpahan dan kemer-
Tabel 1. Jenis-jenis vegetasi yang terdapat jejak beruang madu Jumlah Jejak Aglaia rubiginosa Parak Meliaceae 9 Dacryodes rostrata Kedondong Burseraceae 1 Ficus stricta Ara Moraceae 1 Madhuca motleyana Bengku Sapotaceae 1 Payena leerii Sonde Sapotaceae 2 Quassia borneensis Piandang Simarubaceae 1 Shorea teysmanniana Meranti bunga Dipterocarpaceae 3 Acmena acuminatissima Kelat merah Myrtaceae 2 Nama Ilmiah
Nama Lokal
Total
292
Famili
20
Gambar 2. Jumlah jenis vegetasi di Estate Meranti
Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi
ataan tertinggi terdapat pada tingkat pertum-
23 ind/ha dan tingkat pohon terdapat pada jenis
buhan pohon.
tempurung bintang sebanyak 10 ind/ha.
Kerapatan total pada setiap tingkat pertumbuhan vegetasi di TPF dan TRF disajikan pada
Berdasarkan frekuensi perjumpaan jejak beruang madu pada pohon di lokasi transek, jejak
Tabel 3. Kerapatan jenis tertinggi di tipe habitat
terbanyak
TPF pada tingkat pertumbuhan semai dan pan-
ditemukan pada pohon dengan bentuk tajuk tipe
cang adalah jenis kelat putih (Syzygium inophyl-
4 menurut klasifikasi Dawkins (1958) yaitu
lum) masing-masing sebanyak 1882 ind/ha dan
sebanyak 12 jejak. Bentuk tajuk tipe 4 merupakan
308 ind/ha, kerapatan tertinggi pada tingkat tiang terdapat pada jenis kelat putih, pasir-pasir
tajuk dengan kondisi baik berupa lingkaran yang tidak beraturan (irregular circle). Jejak beruang
(Stemonurus secundiflorus) dan bengku (Madhuca
berupa cakaran juga banyak ditemukan pada
motleyana) sebanyak 31 ind/ha, dan pada tingkat
pohon dengan bentuk tajuk tipe 5, yaitu tajuk
pohon terdapat pada jenis bengku sebanyak 16
dengan bentuk lingkaran sempurna (complete cir-
ind/ha. Kerapatan jenis tertinggi di tipe habitat TRF pada tingkat pertumbuhan semai terdapat
cle) sebanyak 6 jejak. Frekuensi tertinggi perjumpaan beruang
pada jenis kelat merah 2821 ind/ha, tingkat pan-
madu ditemukan pada posisi tajuk tipe 4
cang terdapat pada jenis kedondong hutan
(emergent) sebanyak 11 jejak dan tipe 5 (full over-
(Dacryodes rostrata) yaitu sebanyak 656 ind/ha,
head light) sebanyak 6 jejak. Kedua posisi tajuk
tingkat tiang terdapat pada jenis salakeo sebanyak
tersebut menunjukkan bahwa pohon dengan jejak beruang madu terbanyak memiliki tajuk yang
berupa
koyakan
dan
cakaran
tidak tersembunyi dari cahaya matahari. Berdasarkan klasifikasi dari Augeri (2005), jejak beruang madu terbanyak ditemukan pada penutupan tajuk tipe 2 yaitu sebanyak 17 jejak. Habitat dengan penutupan tajuk tipe 2 termasuk kawasan yang cukup rindang dengan jumlah pohon rata-rata 1,3 -2,4 pohon/100m2 atau 26-50% lahan tertutup oleh tajuk. Kedalaman gambut pada lokasi penelitian Gambar 3. Jumlah individu vegetasi di Estate Meranti
berkisar antara 5-8 m. Jejak beruang madu dapat ditemukan pada kedalaman gambut 5-7 m dan tidak ditemukan pada kedalaman gambut 8 m
Tabel 2. Indeks keanekaragaman jenis vegetasi di TPF dan TRF TPF
Indeks
Tabel 3. Kerapatan total vegetasi di TPF dan TRF
TRF
Semai Pancang Tiang Pohon Semai PancangTiang Pohon D mg
6,186
7,482 7,96 8,62 5,187
5,821
8 8,386
H’
3,024
3,265 3,32 3,47 2,706
2,765
3,3
J’
0,804
0,822 0,85 0,85 0,812
0,784
0,9 0,922
Tingkat Pertumbuhan
3,49
Semai Pancang
Keterangan: Dmg = Indeks Kekayaan Jenis Margalef; H’= Indeks Kelimpahan Jenis Shannon-Wiener; J’= Indeks kemerataan Jenis Pielou
Tipe Vegetasi TPF
TRF
14341
14167
2620
3528
Tiang
293
226
Pohon
129
122
293
Gusnia, dkk.
(Gambar 4). Frekuensi perjumpaan jejak beruang
dengan nilai chi square masing-masing X2(0,05;3)=
madu tertinggi terdapat pada lokasi dengan
14,8 dan X2(0,05;3)= 7,815. Berdasarkan hasil over-
kedalaman gambut 6 m, yaitu sebanyak 8 jejak. Jejak beruang madu dapat ditemukan baik
lay antara peta Areal Konservasi Estate Meranti dengan komponen biotik dan abiotik habitat yang
pada kawasan yang memiliki jarak kurang dari 1,5
diamati, habitat yang paling sesuai bagi beruang
km maupun lebih dari 1,5 km dari jalan akses
madu hanya berada di sempadan Sungai Turip, S.
(Gambar 4). Frekuensi perjumpaan jejak beruang
Serkap dan S. Sangar (Gambar 4).
di tipe vegetasi TPF yang memiliki jarak kurang dari 1,5 km dari jalan sebanyak 16 jejak dan di TRF sebanyak 4 jejak. Hanya 1 jejak beruang
Faktor Dominan Habitat Komponen habitat utama yang paling
madu yang ditemukan pada kawasan dengan jarak
mempengaruhi keberadaan beruang madu di Es-
lebih dari 1,5 km dari jalan, yaitu di TRF.
tate Meranti yaitu kerapatan vegetasi (X1), peyang
nutupan tajuk rata-rata (X4), jumlah individu
ditemukan baik di tipe vegetasi TPF maupun TRF dijumpai pada lokasi yang dekat dengan
pohon (X5), jumlah jenis pohon (X6), jumlah individu pohon pakan (X7) dan jumlah jenis pohon
sumber air, yaitu kawasan dengan jarak kurang
pakan (X8). Persamaan yang diperoleh yaitu:
Seluruh
jejak
beruang
madu
Y = 1,116 -0,3 X1 + 0,069 X4 + 0,078 X5
dari 1,5 km dari sungai (Gambar 4). Jejak beruang madu dengan frekuensi
– 0,127 X6 – 0,018 X7 + 0,127 X8
tertinggi dijumpai pada kawasan dengan jarak kurang dari 1,5 km dari kawasan produksi
Nilai koefisien regresi yang diperoleh yaitu R2= 69,5%. Kondisi vegetasi menjadi faktor yang pal-
(Gambar 4). Pada tipe vegetasi TPF, sebanyak 13
ing banyak memberikan pengaruh terhadap
jejak ditemukan pada kawasan dengan jarak ku-
keberadaan beruang madu di Estate Meranti.
rang dari 1,5 km dan 3 jejak pada kawasan dengan jarak lebih dari 1,5 km. Pada tipe vegetasi TRF, jejak beruang madu hanya ditemukan pada kawasan dengan jarak kurang dari 1,5 km yaitu
PEMBAHASAN Keberadaan populasi beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti dibuktikan dengan
sebanyak 5 jejak.
ditemukannya jejak beruang madu di kawasan Penggunaan Ruang
tersebut. Berdasarkan tipe jejaknya, jejak beruang
Ruang yang dapat digunakan oleh beruang madu di kawasan lindung Estate Meranti
madu yang ditemukan berupa cakaran dan koyakan pada pohon serta tapak kaki pada per-
dibedakan menjadi dua tipe vegetasi yaitu TPF
mukaan tanah. Jejak cakaran dan koyakan paling
dan TRF. Terdapat hubungan antara keberadaan
banyak dijumpai pada pohon parak (Aglaia rubig-
beruang madu dengan tipe vegetasi, dengan kata
inosa) dan meranti bunga (Shorea teysmanniana).
lain pola penggunaan ruang oleh beruang madu
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dil-
di Estate Meranti dipengaruhi oleh tipe variasi lokal vegetasi (X2(0,05;2)= 12,519).
akukan oleh Hussin (1994) yang dikutip dalam Wong et al. (2002) yang menyatakan bahwa jejak
Beruang madu menggunakan vegetasi pada
beruang madu di hutan sekunder paling banyak
tingkat pertumbuhan pohon untuk beraktivitas.
dijumpai pada vegetasi dengan genus Shorea
Ketinggian
memiliki
(Dipterocarpaceae) dan Aglaia (Meliaceae). Pohon
pengaruh terhadap keberadaan beruang madu
parak merupakan salah satu vegetasi sumber pa-
294
dan
diameter
pohon
Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi
A
B
C
D
E
Gambar 4. Peta sebaran beruang madu berdasarkan: kedalaman gambut (A), jarak dari jalan (B), jarak dari sungai (C ) jarak dari kawasan produksi (D) dan penggunaan ruang oleh beruang madu di Areal Konservasi Estate Meranti (E)
kan sedangkan meranti bunga merupakan vegetasi
dengan tinggi pohon antara 25-35 m, diameter
cover bagi beruang madu.
pohon berkisar antara 20-30 cm serta kanopi hu-
Jejak beruang madu lebih banyak ditemukan pada tipe variasi lokal vegetasi TPF
tannya hanya terdiri atas 2-3 lapis saja (TIIP 2010a). Komposisi vegetasi penyusun TPF dan
dibandingkan TRF. Tipe vegetasi TPF dicirikan
TRF memiliki kesamaan komunitas yang tinggi
dengan ukuran pohon-pohon penyusunnya relatif
(IS= 80,65%). Beruang madu lebih banyak
kecil, tajuk pohon yang tinggi dan relatif rata
ditemukan di TPF karena tipe vegetasi tersebut 295
Gusnia, dkk.
memiliki keanekaragaman jenis vegetasi dan
proses fotosintesis dan menghasilkan cadangan
ketinggian pohon rata-rata yang lebih tinggi
makanan dalam bentuk biji dan buah sehingga
dibandingkan TRF. Keanekaragaman vegetasi merupakan indikator yang paling baik pada kese-
meningkatkan ketersediaan sumber pakan bagi beruang madu. Melimpahnya sumber pakan pada
luruhan
area
suatu individu pohon menyebabkan beruang ma-
(Supriatna 2008). Vegetasi di TPF lebih kaya,
du menggunakan pohon tersebut untuk beraktivi-
melimpah dan menyebar secara merata sehingga
tas mencari makan.
kekayaan
biotik
dari
suatu
memiliki potensi sumber pakan dan tempat ber-
Bentuk tajuk yang rindang juga memberi
lindung yang lebih banyak bagi beruang madu. Jejak beruang madu lebih banyak dijumpai
manfaat perlindungan bagi beruang madu ketika sedang beraktivitas pada suatu pohon, baik
pada kawasan dengan posisi tajuk emergent dan
beristirahat maupun mencari makan. Berdasarkan
full overhead light serta bentuk tajuk dengan kon-
Augeri (2005), beruang madu lebih menguta-
disi sangat baik berupa lingkaran yang tidak
makan keamanan (security) dibandingkan pakan.
beraturan (irregular circle). Kedua posisi tajuk tersebut menunjukkan bahwa pohon dengan jejak
Hasil penelitian Tan et al. (2013) menyatakan bahwa aktivitas dengan frekuensi tertinggi pada
beruang madu terbanyak memiliki tajuk yang
beruang madu yaitu aktivitas istirahat. Vegetasi
terkena cahaya matahari secara langsung. Bentuk
yang dijadikan tempat berlindung oleh beruang
tajuk pohon merupakan karakteristik arsitektural
madu berasal dari tingkat pertumbuhan pohon
yang dapat menunjukkan potensi fotosintesis pada pohon, sedangkan posisi tajuk pohon di-
yang berasal dari famili Dipterocarpaceae. Jenis vegetasi yang termasuk dalam famili Dipterocar-
pengaruhi oleh posisi relatif tajuk dalam mere-
paceae dan terdapat di Estate Meranti yaitu me-
fleksikan kondisi cahaya (Cunningham 2001,
ranti bunga (Shorea teysmanniana) dan meranti
Dawkins 1958). Tajuk pohon dengan kondisi
bakau (Shorea uliginosa). Akan tetapi, jenis yang
baik berpotensi lebih tinggi untuk melakukan
digunakan oleh beruang madu hanya meranti
Tabel 4. Karakteristik ruang yang sering digunakan oleh beruang madu di Estate Meranti No
Karakteristik Komponen Habitat
1
Biotik - kerapatan vegetasi 104-140 pohon/hektar - bentuk tajuk tipe 4 (lingkaran tidak beraturan/irregular circle). - posisi tajuk pohon tipe 4 (full overheadlight) - penutupan tajuk tipe 2 (jumlah pohon 1,3-2,4 individu/100m2 atau 26-50% lahan tertutup oleh tajuk) - jumlah individu pohon 41-57 individu - jumlah jenis pohon 18-23 jenis - jumlah individu pohon pakan 36-51 individu - jumlah jenis pohon pakan 12-15 jenis Abiotik - kedalaman gambut <8 m - jarak dari jalan akses < 1,5 km - jarak dari sungai <1,5 km - jarak dari kawasan produksi < 1,5 km
2
296
Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi
bunga karena karakteristik pohonnya yang lebih
lokasi perjumpaan beruang dengan jalan akses,
tinggi, diameter yang besar dan tajuk yang rin-
terlihat bahwa beruang madu di Estate Meranti
dang.
tidak terpengaruh dengan keberadaan jalan dan tetap beraktivitas pada kawasan tersebut. Jejak
Keberadaan beruang madu juga berkaitan dengan kondisi abiotik habitat seperti kedalaman
beruang
gambut, jarak kawasan dari jalan, sungai dan ka-
dijumpai pada kawasan dengan jarak kurang dari
wasan produksi. Beruang madu di Estate Meranti
1,5 km dari kawasan produksi. Areal perbatasan
hanya dijumpai pada kedalaman gambut 5-7 m.
antara kawasan produksi dengan kawasan lindung
Kawasan dengan kedalaman 8m atau lebih merupakan kawasan yang semakin mendekati kubah
berupa areal yang terbuka. Jejak beruang madu yang ditemukan tidak jauh dari kawasan produksi
gambut. Kawasan kubah gambut memiliki keane-
diduga berkaitan dengan keberadaan pakan beru-
karagaman vegetasi yang lebih rendah dibanding-
pa serangga yang banyak terdapat di areal terse-
kan kawasan gambut lainnya. Kawasan tersebut
but.
juga memiliki tinggi dan diameter pohon serta kerapatan vegetasi yang lebih rendah sehingga
Keberadaan dari kebanyakan jenis hewan ordo karnivora tidak berhubungan langsung
tidak sesuai sebagai tempat beraktivitas beruang
dengan tipe habitat, melainkan dengan kom-
madu.
pleksitas atau heterogenitas dari struktur vegetasi Sebagian besar kawasan dari Areal Kon-
dan
madu
atribut
dengan
lanskap
frekuensi
dari
habitat
tertinggi
tersebut
servasi Estate Meranti yang merupakan kawasan sempadan sungai dilewati atau berdekatan dengan
(Lantschner et al. 2012). Beruang madu di Estate Meranti tidak melakukan pemilihan habitat ber-
jalan akses dan kawasan produksi sehingga faktor
dasarkan tipe variasi lokal vegetasi karena beruang
abiotik berupa jarak kawasan dari jalan, sungai
madu dapat ditemukan di kedua tipe vegetasi
dan
untuk
yang diamati, yaitu TPF dan TRF. Berdasarkan
menduga keberadaan beruang madu. Jarak yang
TIIP (2010b), beruang madu di Semenanjung
dijadikan patokan yaitu 1,5 km, sesuai dengan pergerakan harian rata-rata beruang madu yaitu
Kampar juga dapat dijumpai pada tipe vegetasi MPSF (Mixed Peat Swamp Forest) dan LPF (Low
1,45±0,24 km (Wong et al. 2004). Seluruh jejak
Pole Forest). Tipe-tipe habitat tersebut dibedakan
beruang madu ditemukan pada kawasan dengan
berdasarkan lokasi geografis, kedalaman gambut,
jarak kurang dari 1,5 km dari sungai. Beruang
ukuran pohon dan penutupan tajuknya, bukan
madu beraktivitas di kawasan yang dekat dengan sungai dikarenakan pada kawasan tersebut di-
berdasarkan komposisi vegetasi penyusunnya. Tingginya nilai Index of Similarity (IS) menunjuk-
tumbuhi oleh vegetasi yang menjadi sumber pa-
kan bahwa komposisi vegetasi di tipe vegetasi di
kan mereka. Kawasan hutan di sekitar sungai juga
Estate Meranti ditumbuhi oleh komunitas vegeta-
merupakan kawasan yang paling stabil kondisi
si yang tidak banyak berbeda. Tipe-tipe habitat
vegetasinya karena tidak adanya proses pema-
tersebut menyediakan sumber pakan, air dan cover
nenan oleh pihak pengelola di dalam kawasan ini sehingga banyak didatangi oleh beruang madu.
bagi beruang madu sehingga beruang madu menjadikan kawasan tersebut sebagai habitatnya. Hab-
Frekuensi perjumpaan tertinggi terdapat
itat yang paling sering dijadikan tempat beraktivi-
pada kawasan dengan jarak kurang dari 1,5 km
tas beruang madu memiliki karakteristik kompo-
kawasan
perlu
diperhitungkan
dari jalan akses. Dilihat dari dekatnya jarak antara
297
Gusnia, dkk.
nen biotik dan abiotik tertentu seperti yang ter-
servasi biodiversitas di kawasan hutan produksi
tera pada Tabel 4.
hanya merupakan upaya penunjang dan bukan
Komponen habitat yang berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu yaitu kerapatan vegetasi, penutupan tajuk rata-rata, jumlah individu pohon dan pohon pakan, serta jumlah jenis pohon dan pohon pakan. Seluruh komponen habitat
yang
paling
berpengaruh
terhadap
keberadaan beruang madu merupakan komponen biotik. Hal tersebut menunjukkan bahwa beruang madu membutuhkan karakteristik vegetasi tertentu untuk menunjang kehidupannya. Kerapatan vegetasi dan penutupan tajuk rata-rata berkaitan dengan aksesibilitas dan keamanan bagi beruang madu. Jumlah jenis dan individu pohon dan pohon pakan berpengaruh terhadap ketersediaan cover, shelter dan pakan bagi beruang madu. Beruang madu menyukai habitat dengan penutupan lahan yang agak terbuka sehingga memudahkan pergerakannya. Beruang madu juga menyukai habitat dengan karakteristik pohon yang bertajuk rindang dan terkena cahaya matahari secara langsung. Kawasan dengan karakteristik seperti yang tertera pada Tabel 3 terdapat pada kawasan sempadan S. Serkap, S. Turip dan S. Sangar (Gambar 4). Ketiga kawasan tersebut termasuk pada tipe vegetasi TPF. Meskipun pada kawasan lain dapat dijumpai jejak beruang madu, akan tetapi ketiga kawasan tersebutlah yang memiliki atribut komponen habitat yang paling lengkap dan paling sesuai dengan kebutuhan beruang madu. Kawasan -kawasan tersebut perlu dipertahankan keberadaannya sehingga diharapkan dapat mempertahan kelestarian beruang madu di Estate Meranti. Kawasan-kawasan lain di dalam Areal Konservasi Estate Meranti dapat dilakukan modifikasi dengan cara pengkayaan jenis dengan jenis lokal yang merupakan sumber pakan dan cover bagi beruang madu. Meskipun demikian, upaya kon-
298
tujuan utama dari keberadaan HTI tersebut sehingga tidak akan memberi output yang sama dengan hutan konservasi. KESIMPULAN Keberadaan beruang madu pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh komponen biotik dan abiotik suatu habitat. Populasi beruang madu di Areal Konservasi IUPHHK-HTI Estate Meranti menyebar di kedua tipe variasi lokal vegetasi TPF dan TRF pada sempadan Sungai Kutup, S. Sangar, S. Serkap dan S. Turip. Beruang madu menggunakan ruang baik pada tipe vegetasi TPF maupun TRF. Komponen habitat yang paling berpengaruh terhadap keberadaan beruang madu yaitu kerapatan vegetasi, penutupan tajuk ratarata, jumlah individu pohon, jumlah jenis pohon, jumlah individu pohon pakan dan jumlah jenis pohon pakan dan jarak dari kawasan produksi. Ruang yang paling sesuai sebagai habitat beruang madu dengan komponen biotik dan abiotik terlengkap terdapat pada tipe vegetasi TPF. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada PT. Riau Andalan Pulp & Paper dan Tropenbos International Indonesia Programme yang telah memfasilitasi penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf dan pimpinan Departemen Forest Protection PT. RAPP Estate Meranti atas akomodasi dan transportasi yang telah diberikan sehingga dapat memudahkan penulis dalam pengambilan data.
Penggunaan Ruang oleh Beruang Madu di Areal Konservasi
DAFTAR PUSTAKA
Groups. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. x + 309 pp.
Augeri, DM. 2005. On the Biogeographic Ecology of the Malayan Sun Bear [disertasi]. Depart-
Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
ment of Anatomy Faculty of Biological Sci-
Tan, HM., SM. Ong, G. Langat, AR. Bahaman,
ences University of Cambridge. Cambridge,
RSK. Sharma & S. Sumita. 2013. The influ-
UK.
ence of enclosure design on diurnal activity
Cunningham, AB. 2001. Applied Ethnobotany:
and stereotypic behaviour in captive Malayan
People, Wild Plant Use and Conservation. Cambridge: Earthscan.
Sun bears (Helarctos malayanus). Research in Veterinary Science 94: 228-239.
Dawkins, HC. 1958. The Management of Tropi-
[TIIP] Tropenbos Internasional Indonesia Pro-
cal High Forest. University of Oxford. Impe-
gramme. 2010a. Buku I: Data dan Informasi
rial Forestry Institute Paper No. 34.
Dasar Penilaian Menyeluruh Nilai Konservasi
Lantschner, MV., V. Rusch, JP. Hayes. 2012. Habitat use by carnivores at different spatial
Tinggi Semenanjung Kampar. Tidak Dipublikasikan.
scales in a plantation forest landscape in Pat-
[TIIP] Tropenbos Internasional Indonesia Pro-
agonia, Argentina. Forest Ecology and Man-
gramme. 2010b. Buku III: Penilaian Menye-
agement 269: 271-278.
luruh Nilai Konservasi Tinggi PT. RAPP Ring
Lekagul, B. & JA. McNeely. 1977. Mammals of Thailand. Thailand: Association for the Conservation of Wildlife. McConkey, K. & M. Galetti. 1999. Seed Dispersal by the Sun Bear Helarctos malayanus in
Semenanjung Kampar. Tidak Dipublikasikan. Wong, ST., C. Servheen, & L. Ambu. 2002. Food Habits of Malayan Sun Bears in Lowland Tropical Forest of Borneo. Ursus 13: 127-136.
Central Borneo. Journal of Tropical Ecology
Wong, ST., C. Servheen, & L. Ambu. 2004.
15: 237-241. Servheen, C. 1998. Sun Bear Conservation Action
Home range, movement and activity patterns, and bedding sites of Malayan sun bears
Plan. Chapter 11: 219-224. Dalam Servheen
Helarctos malayanus in the Rainforest of Bor-
C, S. Herrero, & B. Peyton. 1998. Bears.
neo. Biological Conservation 119: 169-181.
Status Survey and Conservation Action Plan. IUCN/SSC Bear and Polar Bear Specialist
299
Gusnia, dkk.
Lampiran 2. Indeks Nilai Penting pada setiap tingkat pertumbuhan vegetasi di Estate Meranti No
Nama Ilmiah
Nama Lokal KR (%) FR (%) TALL POLE FOREST (TPF)
DR (%)
INP (%)
SEMAI 1 Syzygium inophyllum Kelat putih 13,12 2 Acmena acuminatissima Kelat merah 13,03 3 Stemonurus secundiflorus Pasir-pasir 10,25 PANCANG 1 Syzygium inophyllum 11,74 Kelat putih 2 Ilex cymosa Mesio 10,32 3 Stemonurus secundiflorus Pasir-pasir 7,89 TIANG 1 Syzygium inophyllum Kelat putih 10,49 2 Stemonurus secundiflorus Pasir-pasir 10,49 3 Madhuca motleyana Bengku 10,49 POHON 1 Madhuca motleyana Bengku 12,69 2 Syzygium inophyllum Kelat putih 10,55 3 Shorea teysmanniana Meranti bunga 7,36 TRANSITION FOREST (TRF) SEMAI 1 Acmena acuminatissima Kelat merah 19,91 2 Ilex cymosa Mesio 15,38 3 Syzygium inophyllum Kelat putih 13,57 PANCANG 1 Syzygium inophyllum Kelat putih 11,92 2 Dacryodes rostrata Kedondong 18,6 3 Acmena acuminatissima Kelat merah 9,59 TIANG 1 Mangifera griffithii Salakeo 10,23 2 Shorea teysmanniana Meranti bunga 6,82 3 Syzygium inophyllum Kelat putih 9,09 POHON 1 Blumeodendron tokbrai Tempurung bi 7,89 2 Acmena acuminatissima Kelat merah 7,37 3 Shorea teysmanniana Meranti bunga 6,32
300
10,13 9,7 10,34
23,25 22,73 20,59
9,97 8,41 9,19
21,71 18,73 17,08
9,76 9,76 9,09
10,79 9,96 9,94
31,03 30,21 29,52
9,45 10,14 6,58
10,92 8,32 10,14
33,05 29,01 24,07
12,87 11,88 9,9
32,78 25,29 25,46
13,01 4,88 9,76
24,93 23,48 19,35
10,84 7,23 6,02
11,79 9,87 7,51
32,86 23,92 22,63
5,13 5,77 6,41
5,83 5,66 5,52
18,86 18,8 18,24
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 301-310 (2013)
Vocalizations of Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Anura: Microhylidae) from the foot hills of Mount Salak, West Java [Vokalisasi kodok Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Anura: Microhylidae) asal kaki Gunung Salak, Jawa Barat] Hellen Kurniati Museum Zoologicum Bogoriense, Research Center for Biology, Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Widyasatwaloka Building, Jalan Raya Cibinong Km 46, Cibinong 16911, West Java, Indonesia. E-mail:
[email protected] Recived June 2013, Accepted August 2013 ABSTRACT Vocalizations Microhyla achatina have never been described before. The advertisement calls of six individual males of M. achatina which originated from the foot hills of Mount Salak, West Java were recorded in September 2011 at air temperatures of 21.0°C-23.4°C. Call components were obtained from 95 calls, consisting of 855 pulses, which were then analyzed to obtain the characteristics of sound waves by using software of Adobe Audition 3.0 and SAP2011. Sound waves of M. achatina mainly consists of impulses whose sound spectrum ranges from 1327.5-2789.1 Hz, while the band width of the spectrum is 1461.6 Hz. Results of the analysis showed that the frequency of the three pulse-forming elements (dominant frequency, maximum frequency and minimum frequency) was markedly modulated; frequency modulation was clearly visible in the minimum frequency, which was modulared by 1500 to 2700 Hz modulation. The modulation of the dominant frequency and the maximum frequency was not too broad, i.e. between 3000-3500 Hz. Results of linear regression analysis of the dominant frequency versus minimum frequency and dominant frequency versus maximum frequency showed a strong correlation between the dominant frequency versus minimum frequency, but a weak correlation between the dominant frequency versus the maximum frequency. Keywords: vocalization, Microhyla achatina, West Java. ABSTRAK Vokalisasi jenis kodok M. achatina belum pernah dideskripsikan sebelumnya. Suara dari enam individu jantan M. achatina asal kaki Gunung Salak, Jawa Barat direkam pada bulan September 2011 pada suhu udara 21,0°C-23,4°C. Komponen suara yang didapat terdiri dari 95 suara panggilan dan 855 pulse, yang kemudian dianalisa untuk mendapatkan ciri gelombang suaranya dengan menggunakan perangkat lunak Adobe Audition 3.0 dan SAP2011. Gelombang suara jantan M. achatina bertipe impulse dengan spektrum suara panggilan berkisar dari 1327,5-2789,1 Hz, sedangkan lebar spektrum adalah 1461,6 Hz. Hasil analisis gelombang suara memperlihatkan frekuensi dari tiga unsur pembentuk pulse (frekuensi dominan, frekuensi maksimum dan frekuensi minimum) terdapat modulasi; modulasi ini terlihat jelas pada frekuensi minimum, yang mana modulasi ini pada kisaran 1500-2700 Hz. Modulasi pada frekuensi dominan dan frekuensi maksimum tidak terlalu besar, yaitu antara 3000-3500 Hz. Hasil analisis regresi linier dari parameter frekuensi dominan dengan frekuensi minimum dan frekuensi dominan dengan frekuensi maksimum memperlihatkan korelasi yang kuat antara frekuensi dominan dengan frekuensi minimum; sedangkan korelasi lemah antara frekuensi dominan dengan frekuensi maksimum. Kata kunci: vokalisasi, Microhyla achatina, Jawa Barat
INTRODUCTION
disturbed or in open habitats that are dominated by herbaceous plants, such as rice fields, fish
The Javan Chorus Frog, Microhyla achatina Tschudi, 1838 (Figure 1) is not a forest frog;
ponds or open grassy marshland (Kurniati & Sumadijaya 2012). Vertical distribution of the
it is generally found in habitats that have been
frog is quite broad, ranging from 0 meter 301
Hellen Kurniati
(Kurniati et al. 2000) up to 1500 meters above sea
was used to describe the oscillogram and audio-
level (asl) (Kurniati 2006; Liem 1973). Distribu-
gram of the calls; while SAP2011 software was
tion of M. achatina is quite wide, includes Java (Iskandar 1998), Bali (McKay 2006), and also
used to calculate parameters of sound waves, included the maximum and minimum frequency,
found in the southern tip of Sumatra (Iskandar &
dominant frequency, average frequency, ampli-
Mumpuni 2004).
tude, amplitude modulation (AM) and frequency
The Javan Chorus Frog is a small frog
modulation (FM). All data was tested by SPSS
species with the body length (SVL) of the adult
version 16.0. Correlation and linear regression
male ranging between 20-22 mm (Kurniati 2006) in which the SVL is not much different from the
analysis was used to test every parameter that produced wave characters. Linear regression analysis
adult male of M. malang (former name M.
was used to explain the weak correlation when the
borneensis), which is between 18-22 mm (Matsui
R2 value was low (e.g. R2 ≤ 0.10) even if P ≤ 0.01.
2011; Dehling 2010). Generally, males of M.
Standard deviation (SD) was used (except for the
achatina call in a dense chorus; usually they release their advertisement calls in a rice field, along
coefficient of Variance=CV) to show deviation around the average value. Data with a highly
a permanent or impermanent pool side or at the
skewed distribution, median and range were used
edge of the ditch overgrown with grassy vegeta-
instead of the average value and standard devia-
tion.
tion (Howard & Young 1998). Ratio of the Co-
Vocalizations of some species of Family Microhylidae which occur in Asia have been de-
efficient of Variance (CV) were calculated to determine the "static" and "dynamic" of vocaliza-
scribed by some authors, included M. heymonsi by
tions; ratio CV ≥ 12% indicates a call discrimina-
Heyer (1971), M. nepenticola by Das & Haas
tion among individuals within a species (Gerhardt
(2010) who later Matsui (2011) revised this spe-
1991).
cies as a synonym of M. borneensis, M. ornata by
Methodology to measure time or dura-
Kuramoto & Joshy (2006), M. orientalis by Matsui et al. (2013), M. malang and M. petrigena by
tion of the calls, such as call duration, call interval, pulse duration, pulse interval, pulse period
Dehling (2010) and Micryleta innornata by Wang et al. (1989). Although individuals of M. achatina are very easily to find in Java, but the vocalizations of this species has never been described. METHODS Advertisement calls of six individual males of M. achatina were recorded in Curug Nangka area (S 6°40'22.8"; E 106°43'53.5"; 730 m asl), at the foot hills of Mount Salak, West Java. Time of recording was on 22-24 September 2011 (air temperature 21.0° C-23.4°C) by using a recorder Sony PCM-M10 at frequency 94 kHz at a rate of 24 bits.. Adobe Audition 3.0 software 302
Figure 1. Microhyla achatina that was found in the foot hill of Mount Salak, West Java (Photograph by A. Sumadijaya).
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 301-310 (2013)
and frequency dominant followed Pettitt et al.
ment call, occurring in Sarawak, North Borneo,
(2012) as shown at Figure 2.
which is about 1500 Hz (Dehling 2010). Domi-
RESULTS
nant frequency or the maximum energy of M. achatina’s advertisement call ranges between 2718 -3375 Hz (mean: 2976 Hz ± 143.1).
Males of M. achatina only have one type
Based on the analysis of sound waves by
of advertisement call, in which the type of wave
using the software SAP2011, the frequency of the
consists of impulses (see Figure 3). In these im-
three elements of pulse (dominant frequency,
pulses, the number of pulse periods ranges from 7 -10 periods, and the impulse duration reaching 4-
maximum frequency and minimum frequency) of M. achatina was modulated (see Figure 6); modu-
8 ms (mean: 5.5 ms ± 1.2). Pulse repetition rate/
lation was clearly visible in the minimum frequen-
second was 16.9 to 30.3 (mean: 21.6 ± 2.6). One
cy, which is the frequency at the beginning and
advertisement call (Figure 4) consisted of 6-11
end of the pulse is lower than the frequencies of
pulses (mean: 8.5 ± 0.8), which for the duration of the call was 259-508 ms (mean: 375ms ±
pulses in the middle range. Frequency spectrum of modulation of minimum frequency were be-
42.4). Call repetition rate/second was 0.5 to 2.1
tween 1500 to 2700 Hz. Frequency spectrum of
( mean: 1.1 ± 0.4).
modulation of the dominant frequency and the
The sound spectrum of M. achatina rang-
maximum frequency was narrow, i.e. between
es from 1327.5 to 2789.1 Hz, while the bandwidth of the sound spectrum is 1461.6 Hz. The
3000-3500 Hz. Sound waves of M. achatina are similar to the sound waves of M. malang that was
bandwidth of thespectrum of M. achatina’s adver-
described by Dehling (2010), in which amplitude
tisement call is not much different from the band-
on the first and last pulse of M. malang was lower
with of the spectrum of M. malang’s advertise-
than the amplitude at the middle range, but Deh-
Figure 2. Duration of the sound wave measurements (an example is the call on frogs Anomaloglossus bebeei) by Pettitt et al. (2012).
Figure 3. Waves of one pulse which has seven periods of advertisement call of M. achatina from West Java. 303
Hellen Kurniati
ling (2010) did not give detailed explanation on
frequency versus maximum frequency of 855
the modulation, because it was only based on the
pulses on the six individual males of M. achatina
dominant frequency that was found by FFT method. Dynamics of dominant frequency, max-
showed a strong correlation between the dominant frequency versus minimum frequency
imum frequency and minimum frequency of 95
(Y=0.8178X-387,4; R2=0.557; p=0.000), while a
calls (855 pulses) on the six individual males of
weak correlation exists between the dominant
M. achatina is shown at Figure 7.
frequency
versus
maximum
frequency
2
Results of linear regression analysis
(Y=0.4637X-2234,3; R =0.3914; p=0.89). These
(Figure 8) of the dominant frequency parameter versus minimum frequency and the dominant
results indicate that the dynamics of the dominant frequency of M. achatina is strongly related to the dynamics of the minimum frequency, which it
Table 1. Mean value, SD and CV ratio of the parameter dominant frequency, minimum frequency and maximum frequency of 95 calls (855 pulse) on six individual males of M. achatina. Dominant Minimum Maximum Frequency Frequency Frequency Mean value 3069.99 Hz 2123.29 Hz 3657.81 Hz Standard Deviation 541.38 593.24 401.24 Ratio of Coefisien 0.18 0.28 0.11 Variant (CV) Parameters
was also supported by the results of CV ratio value of the dominant frequency of 18% and the minimum frequency of 28%, but it was not supported by the maximum frequency of 11% (Table 1). According to Gerhardt (1991), vocalizations are "dynamic" when CV ratio ≥ 12%. and “static” when CV ratio <12%. Static parameters are call variables with low values of are more likely to be used for species recognition, because they remain
Figure 4. Oscillogram of an advertisement call that has nine pulses of M. achatina from West Java.
Figure 5. Audiospectrogram or sound spectrum of advertisement call of M. achatina from West Java.
304
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 301-310 (2013)
fairly constant among individuals of a population,
Audiospectrograms of advertisement calls
at least within a calling session; however dynamic
of M. achatina is similar to the audiospectrogram
parameters are more likely to be used in sexual selection within a single species (Marquez & Eek-
of some species of Microhyla that occur in Asia including Southeast Asia, such as M. borneensis
hout 2006).
(Sukumaran et al. 2010; Dehling 2010) which
DISCUSSIONS
was later revised to a new species, namely M. malang (Matsui 2011), M. petrigena by Dehling
Frequency
5000 4000 3000 2000 1000 0 1
2
3
Dominant Frequency
4 Pulse Sequence
5
Minimum Frequency
6
7
Maximum Frequency
Figure 6. Result of analysis software SAP2011: dominant frequency, minimum frequency and the maximum frequency of one advertisement call of M. achatina that consisted of seven pulses. 4500 4000
Frequency
3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 1
27
53
79 105 131 157 183 209 235 261 287 313 339 365 391 417 443 469 495 521 547 573 599 625 651 677 703 729 755 781 807 833 Pulse Sequence Dominant Frequency
Minimum Frequency
Maximum Frequency
Maximum & Minimum Frequency
Figure 7. Dynamics of the dominant frequency, minimum frequency and maximum frequency of 855 pulses of 95 advertisement calls on six individual males of M. achatina. 4500
y = 0.4637x + 2234.3
4000
R = 0.3914
2
3500 3000 2500 2000 1500
y = 0.8178x - 387.4
1000
R = 0.557
2
500 0 0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
4500
Dominant Frequency-Hertz Minimum Frequency
Maximum Frequency
Linear (Minimum Frequency)
Linear (Maximum Frequency)
Figure 8. Results of linear regression of the dominant frequency versus the minimum frequency and the maximum frequency of 95 advertisement calls on six individual male of M. achatina consisting 855 pulses. 305
Hellen Kurniati
(2010), M. heymonsi by Heyer (1971) and M.
petrigena are higher than those belonging to M.
orientalis by Matsui et al. (2013). Calling behav-
achatina; the duration of the call and the call rep-
ior of the males M. achatina and its relatives is almost the same; they like to call in a dense cho-
etition rate are more faster on M. petrigena than those belonging to M. achatina; contradictory
rus (see Table 3), except for M. petrigena (Dehling
between M. achatina and M. ornata (genetic dis-
2010) and Micryleta innornata (Wang et al.
tance 12.1%), M. ornata has a higher call repeti-
1989); although Heyer (1971) did not describe
tion rate and pulse rate than M. achatina, on the
the calling behavior of M. heymonsi, but individu-
other side the dominant frequency spectrum of
al males of this frog that were found in Sumatra also call in a dense chorus (personal observation).
M. ornata is much more wide, i.e. 1000-4000 Hz (see Table 3).
Advertisement call of M. achatina consists of a
According to Matsui et al. (2013), M.
series of pulses also belongs to relatives that are
achatina can be included into one genetic group
listed in Table 3, except for M. innornata (Wang
with M. orientalis, M. borneensis, M. malang and
et al. 1989) and M. borneensis (synonym of M. nepenticola) (Das & Haas 2010). At the first time
M. heymonsi. In terms of the type of sound wave (Figure 9), advertisement calls of M. achatina are
of analysis by using FFT method of Adobe Audi-
more similar to advertisement calls of M. malang
tion software, advertisement calls of M. achatina
which has a genetic distance between the two spe-
did not have any signs of on frequency modula-
cies of 9.7%; however genetic distance between
tion; but after using the software SAP2011, the frequency modulation can be detected in the calls
M. achatina and M. orientalis and between M. achatina and M. borneensis is 7.3% and 8.2% re-
(Figure 6 and 7). It is most likely that frequency
spectively (see Table 2), but the types of sound
modulation will be visible on the other species
wave are quite different between M. achatina and
that are listed at Table 3 when the software
M. orientalis and between M. achatina and M.
SAP2011 can be implemented on analyzing of
borneensis (see Figure 9). There is also overlap
their calls. Based on comparison of genetic distances
between the dominant frequency spectrum, pulse duration, call duration as well as call rate between
by Matsui et al. (2013), the genetic distance be-
M. achatina and M. malang; however overlap val-
tween M. achatina and M. innornata is 17.2%, it
ue of the parameters between M. achatina and M.
is the farthest distance among the seven species
orientalis and between M. achatina and M.
with M. achatina (see Table 2). Differences in genetic distance can be seen from the pattern of
borneensis is very low (see Table 3). The main reason of vocalization differences between M.
the sound waves of the two species; sound wave
achatina and M. orientalis and between M. achat-
pattern of M. achatina are impulses with a wide
ina and M. borneensis is on the body size; body
spectrum, however the sound wave pattern of M.
size of M. orientalis and M. borneensis is smaller
innornata is a pure tone with three harmonics (see
than body size of M. achatina (Table 3). General-
Table 3). Genetic distance between M. achatina and M. petrigena is quite far, i.e. 15.8% (see Table
ly, frog species that has large body size will have calling frequencies lower than the frequency of
2).
the call of frog species which has small body size
The two species have similar call pattern,
which is a series of pulses, but the maximum energy and the dominant spectral frequencies on M.
306
(Kime et al. 2000).
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 301-310 (2013)
Table 2. Comparison of genetic distance (in %) of M. achatina with its relatives that are found in Asia by using 16S rRNA fragments (892 bp), based on Matsui et al. (2013). Species
Microhyla borneensis
Microhyla heymonsi
Microhyla malang
Microhyla ornata
Microhyla orientalis
Microhyla petrigena
Micryleta innornata
Microhyla achatina
8.2
10.7
9.7
12.1
7.3
15.8
17.2
Figure 9. Oscillogram of advertisement call: (A) Microhyla orientalis; (B) Microhyla borneensis; (C) Microhyla malang; (D) Microhyla achatina.
ACKNOWLEDGEMENTS
crawl out of miniature pitcher plants on Borneo
(Amphibia:
Anura:
Microhylidae).
Many thanks are given to Alex Sumadijaya for his help to find some literatures that related
Zootaxa 2571: 37–52. Dehling, JM. 2010. Advertisement calls of two
to this paper. Many thanks are also given to Dr.
species of Microhyla (Anura: Microhylidae)
Arjan Boonman for his help in editing the English
from Borneo. Salamandra 46(2): 114–116.
and also for his comments on this paper. Field work in the area of Mount Salak foot hills was supported by project incentives of Ristek-LIPI in the year of 2011.
Heyer, WR. 1971. Mating calls of some frogs from Thailand. Fieldiana: Zool. 58:61–82. Inger, RF. & RB. Stuebing. 2005. A field guide to the frogs of Borneo (Second Edition). Natural History Publications (Borneo), Kota Kinaba-
REFERENCES
lu. Iskandar, DT. 1998. The amphibians of Java and
Berry. PY. 1975. The amphibian fauna of Peninsular Malaysia. Tropical Press. Kuala Lumpur.
Bali. Research and Development Center for Biology, Bogor.
Das, I & A. Haas. 2010. New species of Microhy-
Iskandar, D. & Mumpuni. 2004. Microhyla
la from Sarawak: Old World’s smallest frogs
achatina. In: IUCN 2012, IUCN Red List of 307
308
(Bajipe, India)
Microhyla nepenticola (synonim= M. borneensis) (Sarawak, Borneo) Microhyla ornata
(Thailand)
Microhyla heymonsi
(West Java)
Microhyla achatina
Species
-
25.5°C
22.1-24.9
28.0°C
21.0°C-23.4°C
1-1.5
-
-
1.1 ± 0.4 (0.5–2.1)
Air temperature Call repetition during rate/second recorded
10.6–12.8 mm
20.0-21.5 mm (Berry 1975)
20-22 mm
SVL of males
290 ± 21
696–736
480
375 ± 42.4 (259–508)
call duration (ms)
12.1 ± 0.64
1-2 and 5-9
11
8.5 ± 0.8 (6–11)
Number of pulse/call
26 ± 1
-
-
5.5 ± 1.2 (4-8)
Pulse length (ms)
38.1 ± 1.09
-
23
21.6 ± 2.6 (16.9–30.3)
1000-4000
3000–5500
1700-3000
1327.5-2789.1
Pulse repetition Dominant rate/second frequency spectrum (Hz)
-
-
-
2976 ± 143.1 (2718–3375)
Source
Heyer (1971)
-Males called in a dense Das & Haas chorus (2010)
-
-A total number of 95 calls that consis-ted of 855 pulses were analyzed.
-Males called in a dense This study chorus
Remark
2. No marked frequency -A total number of 13 calls were analyzed. modulation; the call did not show a clear harmonic structure, but had a wide range (ca. 1-4 kHz) of dominant frequencies, which become narrower (ca. 2-3 kHz) toward later pulses.
Kuramoto & 1. A series of pulse group -Males called from (notes) each consisting of short banks adjacent to water Joshy (2006) and fast repeating pulse or from a floating posture in water.
-
2. No marked frequency modulation within and between the single pulses
1. single pulsed note and is emitted in series
3. The pulses in the middle of the note had a greater amplitude than the ones at the beginning and the end
2. No marked frequency modulation within and between the single pulses
1. single pulsed note and is emitted in series
Energy Vocalization type maximum (Hz)
Table. 3. Comparison of vocalization on M. achatina from West Java with its relatives in the Family Microhylidae that are found in Asia.
Hellen Kurniati
(synonim= Micryleta innornata ) (Southern tip of Taiwan)
Microhyla borneensis (synonim= M. malang) (Sarawak, Borneo) Microhyla innornata
(Sarawak, Borneo)
23.0 ± 1.14 mm
(Inger & Stuebing 2005)
17-18 mm
25.0°C
-
23.5–24.7°C
-
-
1.2 ± 0.1 (1.1–1.4)
1390 ± 270 (1110-1920)
-
169 ± 37 (104–242)
133 ± 28 (69–174)
540 ± 130 (370−970)
-
-
82.6 ± 1.5 (67113)
04-Okt
-
06-Agust
5.7 ± 1.1 (4–8) 6.7 ± 0.5 (6–7)
12.1 ± 3.0 (6–17)
4.1 ± 0.7 (3−5)
59.4 ± 2.5 (5665)
-
30.3 ± 1.4 (27.7–32.2)
89 ± 5 (80–100)
-
4400-5700
-
1400-2900
3800-4600 to 4500–5100
1000–5300
-
2430
2404 ± 94 (2250–2530)
4430 ± 322 (3850–5050)
1. single pulsed note and is emitted in series
3. The pulses in the middle of the note had a greater amplitude than the ones at the beginning and the end
2. No marked frequency modulation within and between the single pulses
3400 ± 100 1. single pulsed note and is (3200−3600). emitted in series
2. Modulation of frequencies is lacking. The dominant and the second harmonic were slightly lower at the very beginning. The third harmo-nic was weak in the proximal two thirds and strengthened in the terminal third, but was too weak to be detected in so
Dehling, (2010)
-
-A total number of 76 calls were analyzed.
Wang et al. (1989)
Sukumaran et al. (2010)
-Males called in a dense Dehling, (2010) chorus
-
-A total number of 33 calls were analyzed.
-Males called in a dense Matsui et al. chorus (2013)
1. Two harmonics: the second A total number of 10 and third harmonic was appa- calls were analyzed. rent at 8.8-10.0 and 14.0-15.0 kHz.
-
3. The pulses in the middle of the note had a greater amplitude than the ones at the beginning and the end
2. No marked frequency modulation within and between the single pulses
1. Single pulsed note and is emitted in series
17–21 mm
0.66 ± 0.08 (0.52–0.83)
0.07 ± 0.01 (0.01−0.08)
Microhyla malang
24.1°C
26.0°C
2. No marked frequency modulation within and between the single pulses
14-16 mm
16–17 mm
(Sarawak, Borneo)
Microhyla petrigena
(Bali)
Microhyla orientalis
Table. 3
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 301-310 (2013)
309
Hellen Kurniati
Threatened
Species,
Version
2012.2,
<www.iucnredlist.org>, 18 October 2012.
Marquez, R & XR. Eekhout. 2006. Advertisement calls of six species of anurans from Bali,
Kime, NM., WR. Turner & J. Ryan. 2000. The transmission of advertisement calls in
Republic of Indonesia. J. Nat. Hist. 40 (9– 10): 571–588.
Central American frogs. Behavior Ecol. 11:
Matsui, M. 2011. Taxonomic revision of one of
71-83. Kuramoto, M. & SH. Joshy. 2006. Morphological and acoustic comparisons of Microhyla ornata, M. fissipes, and M. okinavensis (Anura: Microhylidae). Cur. Herpet. 25: 15– 27. Kurniati, H., W. Crampton, A. Goodwin, A. Locket & A. Sinkins. 2000. Herpetofauna
the Old World’s smallest frogs, with description of a new Bornean Microhyla (Amphibia, Microhylidae). Zootaxa 2814: 33 –49. Matsui, M., A. Hamidy & K. Eto. 2013. Description of a new species of Microhyla from Bali, Indonesia (Amphibia, Anura). Zootaxa 3670 (4): 579–590.
diversity of Ujung kulon National Park: An inventory results in 1990. J. Biol. Res. 6 (2):
McKay, JL. 2006. Amphibians and reptiles of Bali. Krieger Publishing Company, Florida.
113–128.
Pettitt, BA., GR. Bourne & MA. Bee. 2012.
Kurniati, H & A. Sumadijaya. 2012. Komunitas
Quantitative acoustic analysis of the vocal
kodok pada lahan terdegradasi di areal
repertoire
Curug Nangka, Jawa Barat. J. Biol. Indonesia 8 (2): 229-246.
(Anomaloglossus beebei). J. Acoust. Soc. Amer. 131 (6): 4811–4820.
Kurniati, H. 2006. The amphibians species in
Sukumaran, J., I. Das & A. Haas. 2010. Descrip-
Gunung Halimun National Park, West Java,
tion of the advertisement calls of some bor-
Indonesia. Zoo Indonesia 15 (2): 107-120.
nean frogs. Russian J. Herpet. 17 (3): 189 –
Liem, DSS. 1973. The frogs and toads of Tjibodas National Park Mt. Gede, Java, Indonesia. The Philippine J. Sci. 100 (2): 131-161.
of
the
golden
rocket
frog
194. Wang, C-S., S-H. Wu & H-T. Yu. 1989. Notes on Microhyla inornata Boulenger (Anura: Microhylidae) in Taiwan. J. Herpet. 23 (4): 342-349.
310
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823) yang Diberi Tambahan Pakan konsentrat (The Physical and Chemical Characteristics of Sunda Porcupine Meat (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823) Given Additional Concentrate Feed) Wartika Rosa Farida Pusat Penelitian Biologi LIPI, Jl. Raya Jakarta-Bogor KM 46, Cibinong 16911. E-mail:
[email protected] ABSTRACT This study is aimed to determine the effect of additional concentrate feed on the physical and chemical characteristics of sunda porcupine meat. The material used is eight sunda porcupines (two males and six females) divided into two groups of ration treatment, namely T0 (control ration) and T1 (T0 + koi fish pellets). Four porcupines (one male and three females) were given control ration (T0) and four porcupines were given rations T1. The experimental design was a completely randomized design. The meat physical characteristics measured were pH, tenderness, cooking loss, water holding capacity (WHC), meat color, and fat color. While meat chemical characteristics analyzed were water content, ash, protein, fat, gross energy, calcium (Ca), phosphorus (P), iron (Fe), the content of fatty acids (EPA, DHA, Omega-3, Omega-6, Omega-9, and cholesterol), as well as the composition of amino acids. Data were analyzed by analysis of variance. The results showed no significant differences (P> 0.05) between male and female porcupine with both ration treatments (T0 and T1) on pH, tenderness, cooking loss, WHC, meat color, and fat color. The addition of koi fish pellets in the ration T1 decreased pH value (65.76) and cooking losses (37.88%), and increased WHC porcupine meat (23.59%). Porcupine meat is quite tender with tenderness values of 3.63 kg / cm2 (T0) and 3.26 kg / cm2 (T1). The averages of water content, ash, protein, fat, energy, Ca, P, Fe of porcupine meat were not significantly different (P>0.05) in both treatments T0 and T1. The averages of fatty acids contents of porcupine meat with T1 was not significantly different (P>0.01) from that of T0, but there was an increase in the concentration of EPA, DHA, omega-3, omega-6, omega-9, and cholesterol in treatment of T1. Cholesterol content of porcupine meat was lower than that of beef, pork, lamb, sambar deer, and java deer. No significant effect (P> 0.05) on content of amino acids in meat porcupine with T1 compared to that of T0. Keywords: Physical-chemical characteristics, meat, concentrate feed, sunda porcupine ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian tambahan pakan konsentrat terhadap sifat fisik dan kimia daging landak jawa. Materi penelitian yang digunakan adalah delapan ekor landak jawa (dua jantan dan enam betina) dibagi dua kelompok perlakuan ransum, yaitu ransum kontrol (T0) dan ransum kontrol + pelet ikan koi (T1). empat ekor landak (satu jantan dan tiga betina) diberi ransum kontrol (T0) dan empat ekor landak diberi ransum T1. Rancangan percobaan adalah rancangan acak lengkap. Sifat fisik daging yang diukur adalah pH, keempukan, susut masak, daya mengikat air (DMA), warna daging, warna lemak, sedangkan sifat kimia daging yang dianalisis adalah kadar air, abu, protein, lemak, energi bruto, kalsium (Ca), fosfor (P), zat besi (Fe), kandungan asamasam lemak (EPA, DHA, Omega-3, Omega-6, Omega-9, dan kolesterol), serta komposisi asam-asam amino. Data dianalisis dengan analisis varians. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) antara landak jantan dan betina pada kedua perlakuan ransum (T0 dan T1) terhadap pH, keempukan, susut masak, DMA, warna daging, dan warna lemak. Penambahan pelet koi dalam ransum T1 menurunkan nilai pH (65,76) dan susut masak (37,88%), serta meningkatkan DMA daging landak (23,59%). Daging landak tergolong empuk dengan nilai keempukan 3,63 kg/cm2 (T0) dan 3,26 kg/cm2 (T1). Rataan kandungan air, abu, protein, lemak, energi, Ca, P, Fe daging landak tidak berbeda nyata (P>0,05) pada kedua perlakuan T0 dan T1. Rataan kandungan asam-asam lemak daging landak T1 tidak berbeda nyata (P>0,01) terhadap T0, tetapi terjadi peningkatan konsentrasi EPA, DHA, omega-3, omega-6, omega-9, dan kolesterol pada perlakuan T1. Kandungan kolesterol daging landak lebih rendah dibandingkan daging sapi, babi, domba, rusa sambar dan rusa jawa. Tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,05) atas kandungan asam-asam amino daging landak T1 dibandingkan T0. Kata Kunci: Sifat fisik-kimia, daging , konsentrat, landak jawa
Wartika Rosa Farida
PENDAHULUAN
anfaatan satwaliar untuk kebutuhan komersial seharusnya berasal dari hasil budidaya pe-
Landak Jawa (Hystrix javanica) atau Sunda Porcupine adalah satwaliar endemik Indonesia,
nangkaran mulai generasi kedua (F2), bukan dengan menangkap langsung dari alam. Sudah
penyebarannya meliputi Jawa, Madura, Bali,
selayaknya usaha penangkaran dilakukan untuk
Lombok, Sumbawa, dan Flores (van Weers
melestarikan landak dari kepunahan guna pem-
1979). Satwa terestrial ini dapat dijumpai teruta-
anfaatannya secara lestari.
ma di daerah dataran rendah, hutan sekunder,
Berdasarkan hal-hal di atas, maka perlu
dan lahan terdegradasi. Panjang tubuhnya berkisar 42,5-70 cm dan ekornya 5-12,5 cm
dilakukan suatu penelitian untuk melengkapi data biologi satwa liar Indonesia, khususnya tentang
(Atkins 2004). Warna rambut tubuhnya coklat
sifat fisik dan kimia daging landak yang diberi
kehitaman dengan duri-duri runcing berwarna
pakan tambahan konsentrat berupa pelet ikan koi.
putih bercincin hitam. Habitat landak di gua-gua, daerah bebatuan, lubang-lubang kayu, dan hewan ini dapat menggali tanah untuk sarangnya hingga
BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian
kedalaman 5 m yang dapat dihuni 6-8 ekor lan-
telah
dilakukan
di
Pe-
Landak bersifat aktif di malam hari
nangkaran Mamalia Kecil, Bidang Zoologi, Pusat
(nocturnal), sementara di siang hari berdiam di
Penelitian Biologi – LIPI, Cibinong, Kabupaten
sarangnya berupa lubang yang panjang di dalam tanah (Nowak 1999). Satwa herbivora ini di habi-
Bogor. Materi penelitian yang digunakan adalah delapan ekor landak jawa (Hystrix javanica) beru-
tatnya menyukai buah-buahan yang jatuh di lan-
mur sekitar 10 – 15 bulan dengan rataan bobot
tai hutan, umbi-umbian, kulit kayu, dan de-
badan 5,63 ± 0,23 kg. Landak-landak tersebut
daunan (Medway 1978). Landak dianggap hama
dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, yaitu
oleh petani karena sering merusak tanaman per-
kelompok yang diberi ransum kontrol (T0) beru-
tanian. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur landak diburu untuk dijual dan dikonsumsi dagingnya.
pa talas belitung (Xanthosoma sagittifolium), bengkuang (Pachyrhizus erosus), jagung manis
Sebagian masyarakat mempercayai bahwa men-
(Zea mays), tomat (Solanum lycopersicum), pisang
gonsumsi daging landak dapat menyembuhkan
siam (Musa sp.), dan jaat hutan (Phaseolus sp.),
penyakit asma dan meningkatkan vitalitas tubuh.
dan kelompok yang diberi ransum kontrol dit-
Adanya pemanfaatan landak yang ditangkap secara langsung dari alam yang dilakukan
ambah konsentrat berupa pelet ikan koi (T1). Penelitian berlangsung selama 82 hari pemeli-
terus-menerus, berakibat semakin menurunnya
haraan
populasinya di alam. Saat ini landak berstatus
(preliminary). Selama masa pemeliharaan, masing
dilindungi berdasarkan SK Mentan No. 247/
-masing landak ditempatkan di dalam kandang
Kpts/Um/4/1979 dan Peraturan Pemerintah Re-
individu berukuran panjang x lebar x tinggi (3,15
publik Indonesia No. 7 tahun 1999. Status konservasi internasional yang tercatat dalam IUCN
m x 2,25 m x 2,00 m). Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 08:30
Red List of Threatened Species adalah vulnerable
dan 16:30 WIB. Penimbangan bobot badan lan-
(Baillie 1996).
dak dilakukan setiap dua minggu sekali.
dak.
Meskipun satwa ini berstatus
dilindungi, perburuan masih terus berlangsung untuk tujuan konsumsi maupun komersial. Pem-
termasuk
Rancangan
12
hari
percobaan
masa
adaptasi
menggunakan
Rancangan Acak Lengkap dengan pemberian jenis 312
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)
ransum yang berbeda.
Komposisi ransum
keperluan analisis fisik dan kimia daging landak,
penelitian tertera pada Tabel 1 dan kandungan
diambil bagian daging paha belakang (leg).
nutrien bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 2. Analisa kandungan nutrien pakan penelitian
Sebelum dianalisis, daging dicairkan (thawing) terlebih dahulu hingga kembali ke kondisi awal.
(proksimat)
dilakukan
berdasarkan
metoda
Peubah yang diamati pada penelitian ini
AOAC (1995) dan energi bruto berdasarkan
adalah sifat fisik daging yang meliputi nilai pH,
pengukuran
susut masak, keempukan, daya mengikat air
menggunakan
adiabatic
bomb
calorimeter (Parr®, USA).
(DMA), warna daging dan lemak. Sedang sifat
Sebelum disembelih kedelapan ekor landak dipuasakan terhadap pakan selama 24 jam,
kimia daging meliputi kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, energi bruto, mineral (Ca, P,
tetapi air minum diberikan ad libitum. Hal ini
Fe), asam-asam lemak (EPA, DHA, omega-3,
bertujuan
omega-6, omega-9, kolesterol) dan asam-asam
untuk
mengurangi
isi
saluran
pencernaan dan untuk menghindari pencemaran
amino daging landak.
pada karkas oleh isi saluran pencernaan. Setelah landak disembelih, dikuliti, dan dikeluarkan
Pengukuran pH berdasarkan AOAC (1995), daya mengikat air, keempukan, dan susut
bagian jeroan, bagian karkas landak dibekukan
masak (cooking lost) berdasarkan Soeparno (1998)
o
pada suhu -10 C selama 48 jam.
dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak
Untuk
Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Tabel 1. Komposisi pakan penelitian landak jawa Kontrol (T0) Kontrol + Pelet ikan BahanPakan (gram) koi (T1) (gram) Jagung manis 300 300 Bengkuang 300 300 Talas belitung 200 200 Pisang siam 150 150 Tomat 100 100 Daun Jaat hutan 50 50 Pelet ikan koi*) 0 80 TOTAL 1.100 1.180 *)Komposisi bahan pelet komersial : Tepung ikan, tepung terigu, bungkil kedelai, pollard, minyak ikan, kolin klorida, vitamin, & mineral
Pertanian Bogor. Warna daging dilihat dari bagian paha belakang (leg), caranya adalah membandingkan dengan Meat Colour Card Score dari AUS-MEAT pada skala 1-7. Semakin tinggi angka skala berarti warna daging semakin merah gelap. Komposisi kimia daging landak meliputi kadar air (Gravimetry), abu, protein (Kjeldhal), dan lemak (Gravimetry/ether extraction), dianalisis berdasarkan AOAC (1995), dan energi total menggunakan
bomb
calorimeter
metoda
Tabel 2. Kandungan nutrien pakan landak (% BK) Bhn pakan
BK
Abu
PK
LK
SK
BETN
---------------------------- (%) --------------------------
EB
Ca
P
(kal/g)
---- (%) -----
Jaat hutan
34,14
11,35
36,37
1,81
28,88
21,59
4.445
1,59
0,36
Bengkuang
33,07
3,71
6,01
1,10
6,48
82,70
4.280
0,74
0,33
Talas belitung
24,73
7,68
17,14
0,46
9,77
64,95
4.296
0,43
0,42
Tomat
22,04
9,60
16,98
1,59
16,08
55,74
4.133
0,26
0,38
Pisang siam
35,02
3,80
3,08
0,86
3,44
88,81
3.393
0,08
0,12
Jagung manis
20,67
3,28
15,33
7,75
1,75
71,88
4.776
0,09
0,54
Pelet ikan koi*)
94,70
7,83
25,07
2,08
9,14
55,88
4.489
1,83
0,94
BK = Bahan kering, PK = Protein kasar, LK = Lemak kasar; SK = Serat kasar, BETN = Bahan ektrak tanpa nitrogen, EB = Energi bruto.
313
Wartika Rosa Farida
kalkulasi, dilakukan di Laboratorium Pengujian
Khusus pada konversi ransum, secara rataan, ke-
Nutrisi Pusat Penelitian Biologi - LIPI. Analisis
lompok landak pada perlakuan T0 lebih efisien
kalsium, zat besi (AAS), fosfor (Spektrofotometer), asam amino dan kolesterol (HPLC)
dalam penggunaan ransum dibandingkan kelompok landak T1.
(Sudarmadji et al. 1996), dan asam lemak daging,
Hasil pengukuran sifat fisik daging landak
serta EPA-DHA menggunakan gas chroma-
jawa tertera pada Tabel 4, sedangkan Tabel 5 me-
tography (Roos dan Smith 2006) dilakukan di
maparkan sifat fisik daging landak dibandingkan
Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.
hewan lain. Hasil analisa proksimat daging landak
Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan ANOVA. Jika diperoleh hasil yang
jawa dapat dilihat pada Tabel 6 dan kandungan nutrien daging landak dan hewan lainnya tertera
berbeda, dilanjutkan dengan uji Tukey.
pada Tabel 7. Tabel 8 tertera kandungan Eicosapentaenoic acids (EPA), Decosahexanoic acid (DHA),
HASIL Tabel 3 terlihat perlakuan ransum tidak
omega-3, omega-6, omega-9, dan kolesterol pada daging landak jawa, sedangkan Tabel 9 tentang
berpengaruh nyata terhadap rataan konsumsi ba-
kandungan asam-asam lemak dan kolesterol
han kering ransum, rataan PBBH, dan rataan
daging landak jawa dibandingkan satwa liar lain
konversi ransum, tetapi nampak pengaruh yang
dan ternak domestikasi.
nyata (P<0,05) terjadi antara landak jantan dan betina pada kedua perlakuan ransum terhadap
amino daging landak dapat dilihat pada Tabel 10 dan kandungan asam amino daging landak dan
konsumsi ransum, PBBH, dan konversi ransum.
hewan lainnya tertera pada Tabel 11.
Komposisi asam-asam
Tabel 3. Konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan landak jawa T0 Peubah Konsumsi BK (g/ekor/hari) PBBH (g/ekor/hari) Konversi pakan (Konsumsi BK /PBBH)
Betina
T1
Jantan
Rataan
Betina
Jantan
Rataan
269,09 b
295,45 a
282,27
306,19a
261,93b
284,06
17,48b
40,24a
28,86
24,39ab
19,51b
21,95
a
b
11,37
12,55
13,42
12,99
15,39
7,34
BK = Bahan kering; PBBH = Pertambahan bobot badan per hari, EPP = Efisiensi Penggunaan pakan abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Tabel 4. Sifat Fisik daging landak jawa Parameter
Betina (n=3) 5,79 ± 0,09
T0 Jantan (n=1) 5,73
Rataan
Betina (n=3) 5,76 ± 0,08
pH 5,76 ± 0,04 Keempukan 3,61 ± 1,00 3,65 3,63 ± 0,03 3,25 ± 0,00 (kg/cm2) Susut masak (%) 43,70 ± 2,54 43,03 43,37 ± 0,47 39,55 ± 7,28 DMA : - mgH2O 70,02 ± 2,75 52,55 61,28 ±12,35 71,95 ±16,84 - % mgH2O 23,34 ± 0,91 17,52 20,43 ± 4,12 23,98 ± 5,61 Warna : Daging 2,00 ± 0,00 2,00 2,00 ± 0,00 2,00 ± 0,00 Lemak 2,00 ± 0,00 2,00 2,00 ± 0,00 2,00 ± 0,00 DMA = Daya mengikat air; T0 = pakan kontrol; T1= T0 + pellet ikan koi
T1 Jantan (n=1) 5,80
5,78 ± 0,03
3,27
3,26 ± 0,01
36,20
37,88 ± 2,37
69,56 23,19
70,75 ±1,69 23,59 ± 0,56
2,00 2,00
2,00 ± 0,71 2,00 ± 0,00
Rataan
314
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)
Tabel 5. Sifat fisik daging landak jawa dan hewan lainnya Sifat fisik daging Jenis hewan
pH
Keempukan (kg/cm2)
Susut masak (%)
Warna
DMA (% mg H2O)
Daging
Lemak
Landak jawa1) 5,76 3,63 43,37 20,43 2,00 2,00 Kancil2) 6,36 2,00 44,12 32,83 Bandikut3) 5,71 1,05 34,04 36,56 Kelinci lokal4) 6,82 1,81 40,63 120,93 Sapi5) 5,70 6,73 42,53 31,66 Kerbau5) 6,05 6,53 29,84 37,26 Domba5) 5,99 5,44 31,86 37,52 Kambing sudan6) 1,67 7,83 34,41 4.67 Rusa sambar7) 6,46 4,92 53,31 33,52 Kuda8) Trenggiling9) 6,17 35,12 Ayam broiler10) 0,06 27,77 18,01 1)Penelitian ini; 2) Rosyidi et al. (2010); 3) Warsono & Priyanto (2011); 4) Setiawan (2009); 5)Komariah et al. (2009);6) Elamin et al. (2012); 7)Semiadi et al.(2003); 8)Rosmawati (2003); 9)Farida (2012); 10)Hartono et al. (2013)
Tabel 6. Kandungan nutrien daging landak jawa Parameter Kadar air (%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) GE (kal/g) Ca (%) P (%) Fe (ppm)
Betina (n=3) 70,04 ± 2,37 3,28 ± 0,30 16,84 ± 1,85 38,74 ± 7,16 7.502,50 ± 266,67 0,11 ± 0,02 0,75 ± 0,06 8,46 ± 1,87
T0 Jantan (n=1) 68,43 3,34 17,33 38,98 7.265,02 0,11 0,80 8,26
Rataan 69,24 ± 1,14 3,31 ± 0,04 17,09 ± 0,35 38,86 ± 0,17 7.383,76 ± 167,92 0,11 ± 0,00 0,77 ± 0,03 8,36 ± 0,14
T1 Betina Jantan (n=3) (n=1) 64,70 ± 1,57 66,82 3,64 ± 0,66 3,63 18,94 ± 3,38 19,40 30,90 ± 8,55 29,81 6.852,96 ± 522,78 6.665,29 0,07 ± 0,04 0,06 0,84 ± 0,16 0,89 8,37 ± 6,80 4,82
Rataan 65,76 ± 1,50 3,63 ± 0,01 19,17 ± 0,32 30,36 ± 0,77 6.759,13 ± 132,71 0,06 ± 0,00 0,86 ± 0,04 6,60 ± 2,51
Tabel 7. Kandungan nutrien daging landak jawa dan hewan lainnya
Hewan Landak jawa1) Landak raya2) Kancil3) Bandikut4) Kelinci lokal5) Sapi6) Domba6) Kijang6) Babi hutan6) Babi7) Kuda8) Keledai9) Tikus raksasa afrika13)
Komposisi kimia Kadar Abu Protein Lemak Energi air (kal/g) --------------------- (%) ---------------------69,24 3,31 17,09 3,90 7383 75,30 1,30 19,60 3,60 76,33 1,20 21,42 0,51 72,42 2,53 18,72 3,26 73,27 1,06 18,36 1,34 17389) 75,87 1,10 21,65 1,37 3167 9) 77,02 1,03 19,95 2,00 3119 9) 74,09 1,14 22,50 2,28 73,57 1,12 23,03 2,27 42,0 11,90 37,83 1230 71,4 1,8 21,1 6,00 1380 77,12 1,09 20,07 1,28 65,40
2,00
20,10
11,40
-
Ca (%)
P (%)
Fe (ppm)
0,110 0,00610) 0,01111) 0,00811) 0,00811) -
0,770 0,22810) 0,17211) 0,19011) 0,19011) -
8,36 1,812) 2,012) 2,1 3,7
0,050
0,750
7,3
Hasil penelitian ini; Norsuhana et al. (2007); Rosyidi (2010); Warsono (2009); Setiawan (2009); Jukna & Valaitienė (2012); 7)Sarwono (2001); 8)Lee et al. (2007); 9)Aganga (2003); 10) Farrel & Raharjo (1984); 11) Parigi Bini et al. (1992); 12) Williams (2007); 13)Oyarekua & Ketiku (2010) 1)
2)
3)
4)
5)
6)
315
Wartika Rosa Farida
Tabel 8. Asam-asam lemak dan kolesterol daging landak jawa Parameter EPA (mg/100 g) DHA (mg/100 g) Omega-3 (mg/100 g) Omega-6 (mg/100 g) Omega-9 (mg/100 g) Kolesterol (mg/100 g)
Betina 12,49 23,79 0,32 3,78 8,49 77,51
T0 Jantan 11,79 24,01 0,36 3,38 14,26 78,02
T1 Rataan 12,14 ± 0,49 23,90 ± 0,16 0,34 ± 0,03 3,58 ± 0,28 11,38 ± 4,08 77,77 ± 0,36
Betina 12,49 24,52 0,59 7,79 16,18 78,7
Jantan 13,89 25,48 0,40 4,62 9,47 78,47
Rataan 13,19 ± 0,99 25,00 ± 0,68 0,50 ± 0,13 6,21 ± 2,24 12,83 ± 4,74 78,59 ± 0,16
Tabel 9. Kandungan Asam-asam lemak landak Jawa dan hewan lainnya Jenis hewan Landak jawa1) Landak raya2) Kelinci3) Napu4) Kancil5) Sapi6) Babi6) Ayam6) Domba7) Tikus raksasa afrika8) Rusa sambar9) Rusa Jawa9) Kuda10)
EPA DHA Omega 3 Omega 6 Omega 9 (C20:5n-3) (C22:6n-3) ----------------------------------------- (%) -------------------------------------0,12 0,24 0,003 0,04 0,11 1,8 0,5 0,6 0,00 0,30 0,15 0,31 2,67 2,08 0,13 0,05 0,25 0,07 0,14 0,15 0,13 1,01 0,08 0,06 0,43 0,92 -
Kolesterol (mg/100 g) 77,77 47,0 13,17 50,0 86,011) 85,011) 55,3 92,0011) 70,20 101,30 104,25 40,5
1)Hasil penelitian ini; 2)Norsuhana et al. (2008); 3)Hernàndez & Zotte (2010); 4)Arifin (2004);5)Rosyidi (2010); 6)Zotte & Szendro (2011); 7)SanÄ udo et al. (2000); 8)Oyarekua & Ketiku (2010); 9) Dahlan & Norfarizan-Hanoon (2007); 10) Tonial et al. (2009); 11)Gillespie (1998)
Tabel 10. Komposisi asam amino daging landak jawa Asam amino Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Threonin Alanin Prolin Tirosin Valin Methionin Sistin Isoleusin Leusin Phenilalanin Lisin
Betina 0,81 1,63 0,41 0,23 0,97 0,54 0,29 0,19 0,13 0,4 0,65 0,79 0,08 0,31 0,70 0,42 0,58
T0 T1 Jantan Rataan Betina Jantan Rataan ------------------------------------ (%) ------------------------------------0,72 0,77 ± 0,06 0,78 0,67 0,73 ± 0,08 1,36 1,50 ± 0,19 1,65 1,55 1,60 ± 0,07 0,36 0,39 ± 0,04 0,40 0,37 0,39 ± 0,02 0,18 0,21 ± 0,04 0,21 0,19 0,20 ± 0,01 0,83 0,90 ± 0,10 0,93 0,84 0,89 ± 0,06 0,53 0,54 ± 0,01 0,61 0,54 0,58 ± 0,05 0,21 0,25 ± 0,06 0,28 0,26 0,27 ± 0,01 0,13 0,16 ± 0,04 0,17 0,13 0,15 ± 0,03 0,11 0,12 ± 0,01 0,08 0,06 0,07 ± 0,01 0,29 0,35 ± 0,08 0,38 0,12 0,25 ± 0,18 0,58 0,62 ± 0,05 0,62 0,48 0,55 ± 0,10 0,7 0,75 ± 0,06 0,78 0,69 0,74 ± 0,06 0,08 0,08 ± 0,00 0,07 0,06 0,07 ± 0,01 0,22 0,27 ± 0,06 0,3 0,27 0,29 ± 0,02 0,61 0,66 ± 0,06 0,68 0,68 0,68 ± 0,00 0,45 0,44 ± 0,02 0,32 0,30 0,31 ± 0,01 0,55 0,57 ± 0,02 0,55 0,57 0,56 ± 0,01
316
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)
Tabel 11. Komposisi asam amino daging landak dan hewan lain Landak1)
Asam amino Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Threonin Alanin Prolin Tirosin Valin Methionin Sistin Isoleusin Leusin Fenilalanin Lisin
0,77 1,50 0,39 0,21 0,90 0,54 0,25 0,16 0,12 0,35 0,62 0,75 0,08 0,27 0,66 0,44 0,57
Bandikut2)
Kelinci3)
Kancil 4)
-------------------------------------------1,06 9,67 2,88 17,98 0,27 0,11 0,35 4,37 0,53 6,23 0,14 3,33 0,11 0,20 0,30 0,58 6,26 0,18 2,02 0,16 0,10 5,30 0,58 9,15 0,35 4,35 0,25 9,97
Trenggiling5)
Sapi6)
(%) ------------------------------------------0,93 2,00 8,80 1,49 2,87 14,40 0,58 0,79 3,80 0,30 1,05 7,10 0,43 0,61 1,40 0,47 1,63 6,60 0,41 1,04 4,00 0,90 1,07 6,40 0,46 0,75 5,40 0,35 0,79 3,20 0,41 1,08 5,70 0,21 0,37 2,30 1,32 0,04 2,90 0,36 1,03 5,10 0,18 1,88 8,40 1,19 0,95 4,00 0,56 1,54 8,40
Babi hutan7) 6,16 12,40 8,25 6,95 7,00 10,61 6,89 11,86
Hasil penelitian ini; 2)Warsono (2009); 3)Bivolarski et al. (2011); 4)Rosyidi (2010); 5)Farida (2012); 6)Lawrie (2003); 7)Brudnicki (2012)
1)
PEMBAHASAN
lebih agresif dibandingkan betina, oleh sebab itu otot jantan lebih aktif dan hal ini berpengaruh
Salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kualitas dan ketahanan daging sebagai
terhadap kandungan asam laktat yang dihasilkan dari glikogen otot sehingga umumnya nilai pH
bahan pangan adalah nilai pH daging (Ibarburu
daging hewan jantan akan lebih rendah dibanding
2007). Nilai pH juga mempengaruhi sifat-sifat
betina.
fisik daging seperti warna daging, susut masak,
dengan daging sapi dan bandikut, yaitu pada
keempukan, dan daya mengikat air (Forrest et al.,
kisaran 5,70 – 5,77 dan bervariasi seperti nilai pH
1975). Pada Tabel 4 terlihat tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,01) atas pH daging landak pada
dari jenis hewan lainnya (Tabel 5). Menurut Lawrie (2003), nilai pH daging hewan setelah
kedua perlakuan T0 dan T1. Nilai pH daging
dipotong
landak termasuk dalam nilai pH daging yang
(spesies, kandungan glikogen otot, variabilitas
segar. Seperti dilaporkan oleh Sebsibe (2006) dan
antar hewan) dan faktor ekstrinsik (temperatur
Lawrie (2003), daging berkualitas baik berada pada kisaran pH normal daging segar, yaitu 5,4–
lingkungan, perlakuan sebelum pemotongan, dan suhu penyimpanan daging).
5,8. Nilai pH daging landak jantan dan betina
Keempukan daging merupakan faktor
pada perlakuan T0 dan T1 menunjukkan nilai
penting bagi konsumen dalam membeli guna
yang hampir sama, hal ini berbeda dengan
tujuan konsumsi. Dari Tabel 4 terlihat tidak ada
pendapat Rao et al. (2009) bahwa perbedaan jenis kelamin lebih mempengaruhi nilai pH daripada
perbedaan nyata (P>0,05) nilai keempukan antara daging landak jantan dan betina pada kedua per-
umur hewan.
lakuan ransum maupun nilai rataan antar perla-
Adanya variasi nilai pH pada
Nilai pH daging landak hampir sama
dipengaruhi
oleh
faktor
intrinsik
jantan dan betina lebih disebabkan perilaku
kuan.
Keempukan daging dipengaruhi faktor
hewan tersebut. Hewan jantan umumnya bersifat
antemortem (genetik termasuk bangsa, spesies dan 317
Wartika Rosa Farida
fisiologi, umur, manajemen, jenis kelamin, stres)
sedangkan menurut Lawrie (2003) temperatur
dan faktor postmortem (metode chilling, refrigerasi,
dan lama pemasakan akan berpengaruh terhadap
pelayuan dan pembekuan, lama dan waktu penyimpanan, metode pemasakan dan penamba-
nilai susut masak daging. Perebusan daging pada suhu tinggi (60-90ºC) akan menyebabkan kerusa-
han bahan pengempuk) (Soeparno 2005). Rataan
kan jaringan epimisium, perimisium, dan endo-
nilai keempukan daging landak, yaitu 3,63 kg/
mesium sehingga jaringan daging akan menyusut
2
2
cm (T0) dan 3,26 kg/cm (T1), menandakan
sekitar 30% akibat keluarnya cairan daging, se-
daging
Seperti
dangkan pada penelitian ini pemasakan daging
dilaporkan oleh Belew et al. (2002) bahwa nilai daya iris Warner Blatzer Shear (WBS)
pada suhu dalam daging sebesar 81oC. Shanks et al. (2002) berpendapat bahwa besarnya susut
dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu sangat
masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan
landak
empuk
tergolong
(WBS<3,2
empuk.
kg/cm2),
empuk
membran seluler, banyaknya air yang keluar dari
(3,2<WBS<3,9 kg/cm2), sedang (3,9<WBS<4,6
daging, umur daging, degradasi protein dan ke-
kg/cm2), dan keras (WBS>4,6 kg/cm2). Keempukan daging landak hampir sama dengan
mampuan daging untuk mengikat air (DMA). Dari Tabel 4 terlihat terjadi peningkatan nilai
satwa liar lainnya seperti bandikut, kancil, kelinci
susut masak dengan menurunnya nilai DMA pa-
lokal, dan kambing sudan (Tabel 5). Diduga dag-
da daging landak jantan dan betina di kedua per-
ing landak mengandung lebih sedikit jaringan ikat
lakuan, hal ini seperti yang dinyatakan oleh
dengan tekstur atau serat otot yang lebih halus dan lemak daging yang lebih tinggi dari hewan
Aberle et al. (2001), bahwa susut masak daging sangat berhubungan dengan kemampuan
lain. Hal ini seperti pernyataan Williamson dan
mengikat air, semakin rendah DMA, maka susut
Payne (1993), daging hewan liar tergolong sangat
masak daging akan semakin besar, demikian pula
empuk karena serat-serat ototnya relatif kecil atau
sebaliknya. Nilai susut masak daging landak jawa
tekstur ototnya lebih halus. Selanjutnya dijelas-
hampir sama dengan daging kancil, kelinci lokal,
kan oleh Soeparno (2005), daging yang memiliki tekstur atau serat otot yang lebih halus dan kan-
dan sapi (Tabel 5), serta lebih rendah dibandingkan susut masak daging rusa sambar. Pada
dungan lemak yang tinggi akan menghasilkan
penelitian ini landak jawa yang digunakan beru-
daging yang lebih empuk karena lemak ini akan
mur kurang dari satu tahun yang relatif masih
larut di antara ikatan serabut otot daging.
muda, sehingga kandungan kolagen dalam daging
Keempukan daging landak jelas disebabkan tingginya kandungan lemak daging dibandingkan
masih relatif rendah dibanding hewan yang lebih tua. Dari hasil penelitian Komariah et al. (2009)
hewan liar maupun ternak domestikasi lainnya
dilaporkan perbedaan jenis ternak berpengaruh
(Tabel 7).
terhadap nilai pH, DMA, keempukan dan susut
Rataan nilai susut masak daging landak
masak daging, sedangkan lama postmortem ber-
perlakuan kontrol (T0) lebih tinggi daripada per-
pengaruh terhadap nilai pH dan DMA.
lakuan T1, tetapi tidak berbeda nyata (P>0,01) antara landak jantan dan betina pada kedua perla-
Daging yang baik menurut Hadiwiyoto (1983) adalah daging yang mempunyai warna
kuan ransum. Dilaporkan oleh Bulent et al.
cerah, tidak pucat dan mengkilat, tidak ada bau
(2009), meningkatnya nilai susut masak daging
asam, apalagi busuk, konsistensinya liat serta apa-
berkaitan dengan kecepatan penurunan pH post-
bila dipegang tidak lekat di tangan dan masih
mortem atau rendahnya nilai pH ultimat daging,
terasa kebasahan. Dilaporkan oleh O’Sullivan et 318
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)
al. (2004) bahwa warna daging dipengaruhi oleh
karena total konsumsi pakan (Tabel 3) oleh lan-
pakan yang diberikan pada hewan. Dari Tabel 4
dak jawa tidak berbeda pada kedua perlakuan,
terlihat pengaruh pemberian pakan T0 maupun T1 tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
sehingga perlakuan penambahan pelet koi pada ransum tidak berpengaruh terhadap warna lemak.
warna daging landak yang berwarna agak merah
Penambahan konsentrat berupa pelet koi
muda pada skala 2 berdasarkan Meat Colour Card
pada perlakuan ransum T1 telah meningkatkan
Score AUS-MEAT. Konsumen umumnya cender-
kandungan protein daging landak dibandingkan
ung menilai daging yang segar adalah daging yang
T0 (Tabel 6), tetapi tidak terjadi peningkatan
berwarna merah cerah. Dijelaskan oleh Rhonda (1994), warna pada daging sangat dipengaruhi
kadar air daging T1. Hal ini berbeda dengan pendapat Orskov (1976) bahwa peningkatan
oleh konsentrasi pigmen daging, yaitu myoglobin,
protein pakan dapat meningkatkan kadar air
yang berjumlah sekitar 50-80 % dari total pigmen
daging. Sebaliknya kandungan lemak dan energi
yang ada, sedangkan menurut Lawrie (2003)
bruto daging T1 lebih rendah daripada T0.
faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi myoglobin adalah spesies, bangsa, umur, jenis ke-
Menurut Fraga et al. (1983), kandungan energi dan protein karkas dapat berubah karena tingkat
lamin, pakan, cekaman (tingkat aktivitas dan tipe
pertumbuhan atau karena komposisi bahan pakan
otot), pH dan oksigen. Faktor penting sebelum
dalam ransum. Kadar air daging landak T0 lebih
pemotongan yang mempengaruhi warna daging
tinggi daripada T1, dan menurut Winarno (1993)
adalah perlakuan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada hewan. Pada
kadar air daging yang tinggi kurang disukai konsumen karena daging cepat rusak. Kadar air
penelitian ini, sebelum pemotongan, landak telah
daging landak jawa lebih rendah dibandingkan
dipuasakan selama 24 jam yang bertujuan untuk
hewan liar dan domestik lainnya (Tabel 7),
menekan stres.
Dilaporkan oleh Soeparno
sedangkan kadar abu daging landak terlihat paling
(2005), pemuasaan pada hewan akan mempermu-
tinggi dibandingkan hewan lainnya diikuti pula
dah proses penyembelihan terutama pada hewan yang agresif atau liar karena dengan dipuasakan
dengan tingginya kandungan kalsium (Ca), fosfor (P), dan zat besi (Fe). Daging adalah sumber
hewan
Selanjutnya
mineral Fe (zat besi) yang baik untuk memelihara
menurut Aberle et al. (2001), hewan yang tidak
kesehatan, untuk mensintesis hemoglobin dan
diistirahatkan akan menghasilkan daging yang
enzim-enzim tertentu. Sales (1995) melaporkan
berwarna gelap, kering, memiliki nilai pH tinggi, bertekstur keras, dan daya mengikat air tinggi.
bahwa daging hidupan liar mengandung nilai nutrien yang lebih baik dibandingkan daging
Daging landak berwarna lebih muda dibanding-
ternakan domestikasi. Rataan kandungan protein
kan daging kambing sudan (Tabel 5). Hal ini
daging landak T1 lebih tinggi dari daging landak
sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa
T0, tetapi rataan kandungan lemak dan energi
warna daging dipengaruhi banyak faktor, antara
bruto T1 lebih rendah dari T0. Kandungan
lain pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), dan pH.
protein daging T1 yang lebih tinggi (Tabel 6) diikuti dengan tingginya DMA daging landak T1
Warna lemak daging landak adalah putih pada
dibanding
skala 2 berdasarkan Meat Colour Card Score AUS-
menyatakan bahwa perubahan DMA daging
MEAT. Dari Tabel 4 terlihat warna lemak dag-
diduga karena terjadinya perubahan ion-ion yang
ing landak T0 sama dengan T1, hal ini diduga
diikat oleh protein daging. Kadar lemak daging
menjadi
lebih
tenang.
T0
(Tabel
4).
Hamm
(1981)
319
Wartika Rosa Farida
landak jawa dan landak raya lebih tinggi
omega-3, omega-6, dan omega-9 (Tabel 8).
dibandingkan hewan lain, kecuali terhadap daging
Menurut Okuyama (2007) & Hibbeln (2006),
babi, kuda, dan tikus raksasa afrika. Selanjutnya menurut Edwards (1981), kadar lemak
ketidakseimbangan asam lemak dalam diet modern menimbulkan masalah kesehatan. Omega
mempunyai hubungan negatif dengan kadar
-3 membantu menurunkan risiko penyakit kronis
protein. Faktor yang mempengaruhi komposisi
seperti penyakit jantung, stroke, dan kanker serta
kimia daging adalah spesies hewan, kondisi
menurunkan LDL atau kolesterol jahat. Omega-
hewan, jenis daging karkas, proses pengawetan,
6 merupakan asam lemak tak jenuh ganda yang
penyimpanan dan metoda pengepakan serta kandungan lemak daging tersebut (Winarno dan
tidak dapat diproduksi tubuh manusia, sehingga perlu asupan dengan mengkonsumsi makanan
Rahayu 1994).
seperti daging, unggas, dan telur serta kacang dan
Kandungan asam lemak tak jenuh ganda
minyak nabati seperti kanola dan minyak bunga
EPA dan DHA yang merupakan derivat asam
matahari. Omega-9 disebut sebagai asam lemak
lemak omega-3 dalam daging landak jawa tidak berbeda nyata (P>0,05) pada kedua perlakuan T0
tak jenuh tunggal, bisa membantu mengurangi risiko penyakit jantung dan stroke. Asam lemak
dan T1 (Tabel 8). Diduga produksi asam lemak
omega-9 telah terbukti meningkatkan HDL
tak jenuh ganda tersebut berhubungan dengan
(kolesterol
jenis pakan yang dikonsumsi hewan bersangkutan
(kolesterol jahat), membantu menghilangkan
(Rosyidi 2007). Dalam pelet ikan koi terkandung minyak ikan yang berpengaruh meningkatkan
penumpukan plak di arteri, yang menyebabkan serangan jantung dan stroke. Omega-9 ditemukan
asam lemak tak jenuh ganda daging landak T1.
dalam lemak hewan dan tanaman seperti kanola,
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Overland et
biji
al. (1996) dan Wood et al. (2004), bahwa
kacangan.
bunga
baik)
dan
matahari,
menurunkan
zaitun,
dan
LDL
kacang-
penambahan 1% minyak ikan dalam ransum
Rataan kandungan kolesterol daging
telah meningkatkan kandungan EPA dan DHA daging babi. Lands (2005) melaporkan hasil
landak tidak berbeda nyata (P>0,05) pada kedua perlakuan ransum T0 dan T1, walaupun terjadi
penelitiannya bahwa diet tinggi dalam jumlah
sedikit peningkatan kolesterol daging landak jawa
EPA dan DHA membantu perkembangan otak
pada
dan mata, mencegah penyakit jantung, dan dapat
Simatupang
membantu mencegah penyakit Alzheimer. Howe et al. (2006) menjelaskan dari hasil penelitiannya
berasal dari dua sumber, yaitu kolesterol endogen melalui sintesis oleh tubuh dan kolesterol yang
bahwa daging merah (mamalia) merupakan
berasal dari makanan yang diabsorbsi oleh usus
sumber penting dari asam lemak tidak jenuh
dan terjadi di hati. Dari Tabel 9 dapat dilihat
berantai panjang, EPA dan DHA. Kandungan
konsentrasi kolesterol daging landak jawa lebih
EPA daging landak jawa setara dengan daging
rendah dibandingkan daging sapi, babi, domba,
kelinci, kancil, babi, dan ayam, tetapi lebih rendah dari daging landak raya (Tabel 9), hal ini
rusa jawa, dan rusa sambar, sebaliknya lebih tinggi dibandingkan daging kancil, napu, ayam, dan
diduga karena adanya perbedaan jenis konsentrat
kuda. Dilaporkan oleh Cifuni et al. (2004), Padre
yang
Penggunaan
et al. (2006), & Duckett et al. (2009), banyak
konsentrat berupa pelet ikan koi (T1) telah
faktor yang mempengaruhi kandungan kolesterol
meningkatkan juga kandungan asam lemak
daging, yaitu bangsa hewan, jenis kelamin, umur,
diberikan
dalam
pakan.
perlakuan
T1
(1997),
(Tabel
8).
Menurut
pembetukan
kolesterol
320
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)
derajat marbling, ketebalan lemak subkutan,
KESIMPULAN
energi pakan, perlakuan pakan (terbatas atau ad libitum), dan tipe potongan daging. Kolesterol berperan penting dalam fungsi sel tubuh, antara
Penambahan pakan konsentrat berupa pelet ikan koi ke dalam ransum tidak berpengaruh
lain produksi hormon-hormon steroid dan
nyata terhadap sifat fisik dan kimia daging landak
kolesterol akan berbahaya bila konsentrasinya
jawa
dalam darah melebihi batas normal, karena
memiliki nilai pH daging normal, empuk, daya
kolesterol
sebab
mengikat air rendah dan susut masak sedang.
atau
Kandungan nutrien daging berimbang dengan kadar air (69,24%), abu (3,34%), protein
Berdasarkan Tabel 10 tampak perlakuan
(17,09), lemak (3,89%), dan Fe tinggi (8,36
merupakan
salah
satu
penyumbatan pembuluh darah artherosclerosis (Guyton 1987).
arteri
T0 dan T1 tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
Daging landak layak dikonsumsi karena
ppm), serta kolesterol tinggi (77,77 mg/100 g).
terhadap rataan kandungan asam-asam amino daging landak jawa. Penambahan pelet ikan koi dalam ransum T1 meningkatkan kandungan pro-
UCAPAN TERIMA KASIH
tein daging landak jawa (Tabel 6), tetapi tidak
Peneliti menyampaikan terima kasih
meningkatkan kandungan asam-asam aminonya.
kepada Tri H. Handayani S.Si., Andri P. Sari,
Dilaporkan oleh Rosyidi et al. (2010) bahan ma-
S.Si., Sdr. Umar Sofyani, dan Sdri. R. Lia R.
kanan yang mengandung protein tinggi tidak berarti kualitas proteinnya menjadi tinggi, dalam hal
Amalia atas bantuannya selama dan hingga penelitian ini selesai.
ini adalah asam-asam amino esensialnya. Kandungan asam-asam amino yang teridentifikasi
DAFTAR PUSTAKA
pada daging landak jawa relatif rendah dibandingkan dengan daging ternak domestikasi (kelinci
Aberle, ED., JC. Forrest, HB. Hendrick, MD.
dan sapi) dan satwa liar trenggiling dan babi hutan (Tabel 11), tetapi relatif lebih tinggi
Judge & RA. Merkel. 2001. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San
dibandingkan daging satwa liar bandikut dan kan-
Fransisco.
cil.
Asam amino adalah zat pembangun yang
sangat
diperlukan
oleh
tubuh.
Daging
Aganga, AA., AO. Aganga, T. Thema, & KO. Obocheleng.
2003.
Carcass analysis and
mengandung asam amino esensial yang cukup lengkap, terutama leusin, lisin dan valin.
meat composition of the donkey. Pakistan J. Nutr. 2 (3): 138-147
Kandungan ketiga asam amino esensial tersebut
AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The
tinggi
Association of Official Analitycal of Chemist.
dibandingkan daging bandikut dan kancil, tetapi
16th ed. Arlington, Virginia, USA: Published
lebih
ternak
by The Association of Analitycal Chemist,
domestikasi. Dijelaskan oleh Irina (2011), kandungan asam amino dalam daging setiap
Inc. Arifin. 2004. Kajian terhadap produktivitas dan
spesies hewan berbeda-beda, tergantung pada
produk napu (Tragulus napu) di Propinsi
masing-masing karakteristiknya.
Jambi. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana.
dalam
daging rendah
landak
jawa
dibandingkan
lebih daging
Bogor : Institut Pertanian Bogor. . Atkins, W.
2004. Old World Porcupines 321
Wartika Rosa Farida
(Hystricidae). Dalam : D. Kleiman, V. Geist,
Duckett SK., JPS. Neel, JP. Fontenot, & WM.
M. McDade, & M. Hutchins (eds).
Clapham. 2009. Effects of winter stocker
Grzimek's Animal Life Encyclopedia, Vol. 16, 2nd Edition. Detroit, MI: Thomson Gale. Pp.
growth rate and finishing system on: III. tissue proximate, fatty acid, vitamin, cholester-
351-365.
ol content. J Anim Sci. 87:2961–70.
Baillie, J. 1996. Hystrix brachyura. Dalam: IUCN
Edwards, H.M. Jr. 1981. Carcass composition
2007. IUCN Red List of Threatened Species.
studies. 3. Influence of age, sex and calorie
<www.iucnredlist.org>
protein contents of the diet on carcass com-
Belew, JB., J. Brooks C., DR. McKenna, & JW. Savell. 2002. Warner-Blatzer shear evaluation
position of Japanese quail. Poultry Sci. 60: 2506-2512.
of bovine muscles. Meat Science Section, De-
Elamin, KM., HE. Hassan, HO. Abdalla, OH.
partment of Animal Science, Texas Agricul-
Arabi, & AA. Tameem Eldar. 2012. Effect
tural Experiment Station, Texas A & M
of feeding crushed roselle seed (Hibiscus
University, College Station, TX 778432471, Texas.
sabdariffa L.) (Karkadeh) on carcass characteristics of sudan desert sheep. Asian J.
Bivolarski, B., E. Vachkova, S. Ribarski, K. Uz-
Anim. Sci. 6 (5): 240-248
unova & D. Pavlov . 2011. Amino acid con-
Farrel, DJ. & YC. Raharjo. 1984. The Potential for
tent and biological value of rabbit meat pro-
Meat Production from Rabbit. Central Re-
teins, depending on weaning age . Bulgarian
search Institute for Animal Science. Bogor. Farida, WR. 2012. Kualitas daging dan bagian
J. Vet. Med. 14 (2): 94−102 Brudnicki, A., W. Brudnicki, J. Wach, A.
tubuh lain Trenggiling (Manis javanica
Kułakowska, & D. Pietruszyńska. 2012.
Desmarest, 1822). J. Biologi Indonesia 8(1):
Amino acid composition in the wild boar
141-154.
(Sus Scrofa Ferus) meat originating from
Forrest, JC., ED. Aberde, HB. Hendrick. MD.
different part of carcass. J. Central European Agric. 13(4): 662-670.
Judge, & RA. Merkel. 1975. Principle of Meat Science. W.H. Freeman and Co. San
Bulent E., A. Yilmaz, M. Ozcan, C. Kaptan, H.
Fransisco – USA
Hanouglu, I. Erdogan, & H. Yalcintan.
Fraga, MJ., JC. De Blas, E. Pe´Rez, JM. Ro-
2009. Carcass measurements and meat quali-
dri´Guez, CJ. Pe´Rez, & JF. Ga´ Lvez. 1983.
ty of Turkish Merino, Ramlic, Kivircik, Chi-
Effect of diet on chemical composition of rabbits slaughtered at fixed body weights. J.
os and Imroz lambs raised under an intensive production system 82. p. 64-70. Cifuni GF, F. Napolitano, AM. Riviezzi, A. Braghieri, & A. Girolami. 2004. Fatty acid profile, cholesterol content and tenderness of meat from Podolian young bulls. Meat Sci. 67:289–97. Dahlan, I. & NA. Norfarizan-Hanoon.
2007.
Fatty acid profiles and cholesterol composition of venison from farmed deer. J. Anim. Vet. Adv. 6 (5): 650-657.
Anim. Sci. 56: 1097. Gillespie, JR. 1998. Animal Science. New York: Delinar Publishers. Guyton, AC.
1987.
Fisiologi manusia dan
mekanisme kerja penyakit. Terjemahan oleh Petrus Adrianto. Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta. Hadiwiyoto, S.1983. Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty, Yogyakarta Hamm, R. 1981. Kolloidchemie des fleisches-des 322
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)
33 (3): 183-189.
wasserbindungsvermoegen des muskeleiweisses in theorie und praxis. Verlag Paul Parey, Berlin. Hartono, E., Ning Iriyanti, & RS. Sugeng Santosa.
2013.
Penggunaan
pakan
fungsional terhadap daya ikat air, susut masak, dan keempukan daging ayam broiler. J. Ilmiah Peternakan 1 (1): 10-19. Hernàndez, P. & A. Dalle Zotte. 2010. Influence of diet on rabbit meat quality. Dalam: C. de Blas (ed.). Nutrition of The Rabbit. 2nd Ed. Univesidad Poletenica, Madrid, J. Wiseman, University of Nottingham, UK. pp 163– 178. Hibbeln, JR. 2006. Healthy intakes of n−3 and n−6 fatty acids: estimations considering worldwide diversity.
American J. Clinic.
Nutr. 83 (6, supplement): 1483S–1493S. Howe, PH., B. Meyer, S. Record, & K. Baghurst. 2006. Dietary intake of long-chain x-3 polyunsaturated fatty acids: contribution of meat sources. Nutrition 22: 47–53. Ibarburu. M., J. Kliebenstein, & B. Hueth. 2007. pH as a predictor of flavor, juiciness, tenderness and texture in pork from pigs in a Niche Market System. Iowa State University Animal Industry Report 2007. A.S. Leaflet R2181. Irina, C. 2011. Comparative study of meat composition from various animal species. Plenary paper on International 56th Meat Industry Conference held from June 12-15th 2011 on Tara mountain, Institut za higijenu i tehnologiju mesa, Beograd. Jukna, V. & V. Valaitienė. 2012. The comparison of meat nutritional and technological properties in different animals. Veterinarija Ir Zootechnika (Vet Med Zoot) 59 (81): 34-39 Komariah, S. Rahayu, & Sarjito. 2009. Sifat fisik daging sapi, kerbau, domba pada lama postmortem yang berbeda. Buletin Peternakan
Lands, WEM. 2005. Dietary fat and health: the evidence and the politics of prevention: careful use of dietary fats can improve life and prevent disease. Annals of the New York Acad. Sci. 1055: 179–192. Lawrie, RA. 2003. Meat Science. The 6th Ed. Terjemahan. A. Paraksi dan A. Yudha. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Lee, CE., PN. Seong, WY. Oh, MS. Ko, KI, Kim, & JH. Jeong. 2007. Nutritional characteristics of horsemeat in comparison with those of beef and pork. Nutr. Research and Practice 1: 70-73 Medway, L. 1978. The Wild Mammals of Malaya and Singapore. 2nd ed. Oxford University Press. Kuala Lumpur, New York. Norsuhana AH, MN Shukor, A. Aminah, AQ Sazili, & Z.Zahari Z. 2008. Perbandingan komposisi asid lemak daging landak raya (Hystrix brachyura) dengan daging haiwan yang lain. Seminar UNRI – UKM ke 5, 19 – 21 Agustus 2008 Pekanbaru, Riau. Norsuhana AH, MN Shukor, AQ Sazili, A. Aminah, & Z. Zahari Z. 2007. The effects of commercial pellets on feed intake, digestibility and nutrient composition in meat of Malayan porcupine (Hystrix brachyura).
9th
Symposium of the Malaysian Society of Applied Biology, Bayview Gerogetown, Penang, (30th -31st May 2007). Nowak, RM. 1999. Walker’s mammals of the world. Vol. I & II. John Hopkins University Press, Baltimore London Okuyama, H., Y. Ichikawa, Y. Sun, T. Hamazaki, & WEM. Lands. 2007. ω3 fatty acids effectively prevent coronary heart disease and other late-onset diseases: the excessive linoleic acid syndrome. World Rev. of Nutr. Dietetics 96: 83–103 Orskov, ER. 1976. Factors influencing protein 323
Wartika Rosa Farida
and non-protein nitrogen utilization in
as indicator of lipid oxidation in muscle
young ruminants. Dalam : DJA. Cole et aL
foods. Comprehensive Reviews in Food Sci.
(Ed.). Protein Metabolism and Nutrition. Butterworths, London. p. 457.
and Food Safety 5:18-25. Rosmawati, 2003. Pengaruh Kondisi Daging
O'Sullivan, A., K. O'Sullivan, K. Galvin, AP.
dan Suhu Penyimpanan Terhadap Karak-
Moloney, DJ. Troy, & JP. Kerry.
2004.
teristik Fisik dan Mikrobiologi Daging Ku-
Influence of concentrate composition and
da. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor:
forage type on retail packaged beef quality. J.
Institut Pertanian Bogor.
anim. Sci. V (82): 2384–2391. Overland, M., O. Taugbol, A. Haug,
& E.
Rosyidi, D., E. Gurnadi, R. Priyanto, & Suryahadi. 2010. Kualitas daging kancil
Sundstol. 1996. Effect of fish oil on growth
(Tragulus javanicus). Media Peternakan 33
performance, carcass characteristics, sensory
(2): 95-102
parameters and fatty acid composition in
Rosyidi, D.
2007.
Beberapa Aspek Kimia
pigs. Acta Agriculturae Scandinavica 46: 11– 17.
Daging Kancil (Tragulus Javanicus). J. Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak 2 (1): 15 - 25
Oyarekua, MA & AO. Ketiku. 2010. The Nutri-
Sales, J. 1995. Nutrition quality meat from some
ent Composition of the African Rat. Adv. J.
alternative species. World Rev. of Anim.
Food Sci. Technol. 2(6): 318-324
Prod. 30(1-2): 48-56.
Padre RG, JA. Aricetti, FB. Moreira, IY. Mizubuti IY, IN. do Prado, JV. Visentainer,
SanÄ udo, C., ME. Enser, MM. Campo, GR. Nute, G. MarõÂ, I. Sierra, & JD. Wood.
NE de Souza, & M. Matsushita. 2006. Fat-
2000.
ty acid profile, chemical composition of
characteristics of lamb carcasses from Brit-
longissimus muscle of bovine steers and bulls
ain and Spain. Meat Sci. 54: 339-346.
finished in pasture system. Meat Sci. 74:242
Sarwono, B. 2001. Kelinci Potong dan Hias.
–8. Parigi Bini, R., G. Xiccato, M. Cinetto, & A.
AgroMedia Pustaka. Jakarta. Sebsibe, A. 2006. Meat quality of selected Ethio-
Dalle Zotte. 1992. Effetto dell'età, del peso
pian goat genotypes under varying nutri-
di macellazione e del sesso sulla qualità della
tional conditions. [Ph.D. Thesis]. South
carcassa e della carne cunicola. Zootecnica e Nutrizione Animale 18: 173−190. Rao, CA., G. Tulasi, & SW. Ruban. 2009. Meat quality characteristics of non-descript buffalo as affected by age and sex. World Applied Sci. Journal 6(8): 1058-1065.
Fatty acid composition and sensory
Africa: University of Pretoria. Semiadi, G., Y. Jamal, WR. Farida, & M. Muchsinin. 2003. Kualitas daging rusa Sambar (Cervus unicolor) hasil buruan di Kalimatan Timur. Anim. Prod. 5(1): 35-41 Setiawan, MA. 2009. Karakteristik karkas, sifat
Rhonda, KM. 1994. Quality Characteristics. Da-
fisik, dan kimia daging kelinci rex dan ke-
lam : DM. Kinsman, AW. Kotula, BC. Breidenstein (Ed), Muscle foods: Meat, Poultry
linci lokal (Oryctolagus cuniculus). [Skripsi]. Fakultas Peternakan. Bogor: Institut Per-
and Seafood Technology. Chapman Hall.
tanian Bogor.
New York. Roos, CF, & DM. Smith. 2006. Use of volatiles
Shanks, BC., DM. Wulf, & RJ. Maddock. 2002. Technical note: The effect of freeze-
324
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 311-325 (2013)
ing on Warner Bratzler shear force values of
Bogor.
beef longissimus steaks across several post-
Warsono IU. & R. Priyanto. 2011. Sifat biolo-
mortem aging periods. J. Anim. Sci. 80: 2122-2125
gis dan karakteristik karkas bandikut (Echymipera kalubu). Berk. Penel. Hayati
Simatupang A. 1997. Cholesterol, hypercholesterolemia and the drugs against it a review.
Edisi Khusus 4B: 13-19. Williams, PG. 2007. Nutritional composition of red meat.
Cermin Dunia Kedokteran 116 :5-12 Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah mada University Press. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press,
Nutrition and Dietetics, 64
(Suppl.) Williamson, G. & WJA. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropik. Gadjahmada University Press, Yogyakarta. Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan
Yogyakarta. Sudarmadji, S, B. Haryono & Suhardi, 1996.
Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty: Yogyakarta.
Utama. Winarno, FG. & TS. Rahayu. 1994. Bahan Tambahan
untuk
Makanan
Bonaafe, JV Visentainer & NE de Souza.
Kontaminan.
Pustaka
Sinar
2009. Fatty acid and cholesterol content,
Jakarta.
Tonial, IB., AC. Aguiar,
CC.
Oliveira, EG.
chemical composition and sensory evaluation of horse meat. S. Afr. J. anim. Sci. 39
dan
Harapan,
Wood JD., RI. Richardson, GR. Nute, AV. Fisher, MM. Campo, E. Kasapidou, PR. Sheard, & M. Enser. 2004. Effects of fatty
(4): 328 – 332. van Weers, D. 1979. Notes on Southeast Asian porcupines (Hystricidae, Rodentia). IV. On
acids on meat quality: a review. Meat Sci. 66 (1):21-32.
the taxonomy of the subgenus Acanthion F.
Zotte, AD. & Z. Szendrő. 2011. The role of rab-
Cuvier, 1823, with notes on the other taxa of the family. Beaufortia 29:215–272.
bit meat as functional food. Meat Sci. 88: 319–331
Warsono IU. 2009. Sifat biologis dan karakteristik
karkas
dan
daging
(Echymipera kalubu). [Disertasi]. Pasca Sarjana.
bandikut Sekolah
Bogor : Institut Pertanian
325
Wartika Rosa Farida
PENDAHULUAN
anfaatan satwaliar untuk kebutuhan komersial seharusnya berasal dari hasil budidaya pe-
Landak Jawa (Hystrix javanica) atau Sunda Porcupine adalah satwaliar endemik Indonesia,
nangkaran mulai generasi kedua (F2), bukan dengan menangkap langsung dari alam. Sudah
penyebarannya meliputi Jawa, Madura, Bali,
selayaknya usaha penangkaran dilakukan untuk
Lombok, Sumbawa, dan Flores (van Weers
melestarikan landak dari kepunahan guna pem-
1979). Satwa terestrial ini dapat dijumpai teruta-
anfaatannya secara lestari.
ma di daerah dataran rendah, hutan sekunder,
Berdasarkan hal-hal di atas, maka perlu
dan lahan terdegradasi. Panjang tubuhnya berkisar 42,5-70 cm dan ekornya 5-12,5 cm
dilakukan suatu penelitian untuk melengkapi data biologi satwa liar Indonesia, khususnya tentang
(Atkins 2004). Warna rambut tubuhnya coklat
sifat fisik dan kimia daging landak yang diberi
kehitaman dengan duri-duri runcing berwarna
pakan tambahan konsentrat berupa pelet ikan koi.
putih bercincin hitam. Habitat landak di gua-gua, daerah bebatuan, lubang-lubang kayu, dan hewan ini dapat menggali tanah untuk sarangnya hingga
BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian
kedalaman 5 m yang dapat dihuni 6-8 ekor lan-
telah
dilakukan
di
Pe-
Landak bersifat aktif di malam hari
nangkaran Mamalia Kecil, Bidang Zoologi, Pusat
(nocturnal), sementara di siang hari berdiam di
Penelitian Biologi – LIPI, Cibinong, Kabupaten
sarangnya berupa lubang yang panjang di dalam tanah (Nowak 1999). Satwa herbivora ini di habi-
Bogor. Materi penelitian yang digunakan adalah delapan ekor landak jawa (Hystrix javanica) beru-
tatnya menyukai buah-buahan yang jatuh di lan-
mur sekitar 10 – 15 bulan dengan rataan bobot
tai hutan, umbi-umbian, kulit kayu, dan de-
badan 5,63 ± 0,23 kg. Landak-landak tersebut
daunan (Medway 1978). Landak dianggap hama
dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, yaitu
oleh petani karena sering merusak tanaman per-
kelompok yang diberi ransum kontrol (T0) beru-
tanian. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur landak diburu untuk dijual dan dikonsumsi dagingnya.
pa talas belitung (Xanthosoma sagittifolium), bengkuang (Pachyrhizus erosus), jagung manis
Sebagian masyarakat mempercayai bahwa men-
(Zea mays), tomat (Solanum lycopersicum), pisang
gonsumsi daging landak dapat menyembuhkan
siam (Musa sp.), dan jaat hutan (Phaseolus sp.),
penyakit asma dan meningkatkan vitalitas tubuh.
dan kelompok yang diberi ransum kontrol dit-
Adanya pemanfaatan landak yang ditangkap secara langsung dari alam yang dilakukan
ambah konsentrat berupa pelet ikan koi (T1). Penelitian berlangsung selama 82 hari pemeli-
terus-menerus, berakibat semakin menurunnya
haraan
populasinya di alam. Saat ini landak berstatus
(preliminary). Selama masa pemeliharaan, masing
dilindungi berdasarkan SK Mentan No. 247/
-masing landak ditempatkan di dalam kandang
Kpts/Um/4/1979 dan Peraturan Pemerintah Re-
individu berukuran panjang x lebar x tinggi (3,15
publik Indonesia No. 7 tahun 1999. Status konservasi internasional yang tercatat dalam IUCN
m x 2,25 m x 2,00 m). Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul 08:30
Red List of Threatened Species adalah vulnerable
dan 16:30 WIB. Penimbangan bobot badan lan-
(Baillie 1996).
dak dilakukan setiap dua minggu sekali.
dak.
Meskipun satwa ini berstatus
dilindungi, perburuan masih terus berlangsung untuk tujuan konsumsi maupun komersial. Pem-
termasuk
Rancangan
12
hari
percobaan
masa
adaptasi
menggunakan
Rancangan Acak Lengkap dengan pemberian jenis 312
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
ransum yang berbeda.
Komposisi ransum
keperluan analisis fisik dan kimia daging landak,
penelitian tertera pada Tabel 1 dan kandungan
diambil bagian daging paha belakang (leg).
nutrien bahan pakan dapat dilihat pada Tabel 2. Analisa kandungan nutrien pakan penelitian
Sebelum dianalisis, daging dicairkan (thawing) terlebih dahulu hingga kembali ke kondisi awal.
(proksimat)
dilakukan
berdasarkan
metoda
Peubah yang diamati pada penelitian ini
AOAC (1995) dan energi bruto berdasarkan
adalah sifat fisik daging yang meliputi nilai pH,
pengukuran
susut masak, keempukan, daya mengikat air
menggunakan
adiabatic
bomb
calorimeter (Parr®, USA).
(DMA), warna daging dan lemak. Sedang sifat
Sebelum disembelih kedelapan ekor landak dipuasakan terhadap pakan selama 24 jam,
kimia daging meliputi kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, energi bruto, mineral (Ca, P,
tetapi air minum diberikan ad libitum. Hal ini
Fe), asam-asam lemak (EPA, DHA, omega-3,
bertujuan
omega-6, omega-9, kolesterol) dan asam-asam
untuk
mengurangi
isi
saluran
pencernaan dan untuk menghindari pencemaran
amino daging landak.
pada karkas oleh isi saluran pencernaan. Setelah landak disembelih, dikuliti, dan dikeluarkan
Pengukuran pH berdasarkan AOAC (1995), daya mengikat air, keempukan, dan susut
bagian jeroan, bagian karkas landak dibekukan
masak (cooking lost) berdasarkan Soeparno (1998)
o
pada suhu -10 C selama 48 jam.
dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak
Untuk
Ruminansia Besar, Fakultas Peternakan, Institut Tabel 1. Komposisi pakan penelitian landak jawa Kontrol (T0) Kontrol + Pelet ikan BahanPakan (gram) koi (T1) (gram) Jagung manis 300 300 Bengkuang 300 300 Talas belitung 200 200 Pisang siam 150 150 Tomat 100 100 Daun Jaat hutan 50 50 Pelet ikan koi*) 0 80 TOTAL 1.100 1.180 *)Komposisi bahan pelet komersial : Tepung ikan, tepung terigu, bungkil kedelai, pollard, minyak ikan, kolin klorida, vitamin, & mineral
Pertanian Bogor. Warna daging dilihat dari bagian paha belakang (leg), caranya adalah membandingkan dengan Meat Colour Card Score dari AUS-MEAT pada skala 1-7. Semakin tinggi angka skala berarti warna daging semakin merah gelap. Komposisi kimia daging landak meliputi kadar air (Gravimetry), abu, protein (Kjeldhal), dan lemak (Gravimetry/ether extraction), dianalisis berdasarkan AOAC (1995), dan energi total menggunakan
bomb
calorimeter
metoda
Tabel 2. Kandungan nutrien pakan landak (% BK) Bhn pakan
BK
Abu
PK
LK
SK
BETN
---------------------------- (%) --------------------------
EB
Ca
P
(kal/g)
---- (%) -----
Jaat hutan
34,14
11,35
36,37
1,81
28,88
21,59
4.445
1,59
0,36
Bengkuang
33,07
3,71
6,01
1,10
6,48
82,70
4.280
0,74
0,33
Talas belitung
24,73
7,68
17,14
0,46
9,77
64,95
4.296
0,43
0,42
Tomat
22,04
9,60
16,98
1,59
16,08
55,74
4.133
0,26
0,38
Pisang siam
35,02
3,80
3,08
0,86
3,44
88,81
3.393
0,08
0,12
Jagung manis
20,67
3,28
15,33
7,75
1,75
71,88
4.776
0,09
0,54
Pelet ikan koi*)
94,70
7,83
25,07
2,08
9,14
55,88
4.489
1,83
0,94
BK = Bahan kering, PK = Protein kasar, LK = Lemak kasar; SK = Serat kasar, BETN = Bahan ektrak tanpa nitrogen, EB = Energi bruto.
313
Wartika Rosa Farida
kalkulasi, dilakukan di Laboratorium Pengujian
Khusus pada konversi ransum, secara rataan, ke-
Nutrisi Pusat Penelitian Biologi - LIPI. Analisis
lompok landak pada perlakuan T0 lebih efisien
kalsium, zat besi (AAS), fosfor (Spektrofotometer), asam amino dan kolesterol (HPLC)
dalam penggunaan ransum dibandingkan kelompok landak T1.
(Sudarmadji et al. 1996), dan asam lemak daging,
Hasil pengukuran sifat fisik daging landak
serta EPA-DHA menggunakan gas chroma-
jawa tertera pada Tabel 4, sedangkan Tabel 5 me-
tography (Roos dan Smith 2006) dilakukan di
maparkan sifat fisik daging landak dibandingkan
Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor.
hewan lain. Hasil analisa proksimat daging landak
Data hasil pengukuran dianalisis dengan menggunakan ANOVA. Jika diperoleh hasil yang
jawa dapat dilihat pada Tabel 6 dan kandungan nutrien daging landak dan hewan lainnya tertera
berbeda, dilanjutkan dengan uji Tukey.
pada Tabel 7. Tabel 8 tertera kandungan Eicosapentaenoic acids (EPA), Decosahexanoic acid (DHA),
HASIL Tabel 3 terlihat perlakuan ransum tidak
omega-3, omega-6, omega-9, dan kolesterol pada daging landak jawa, sedangkan Tabel 9 tentang
berpengaruh nyata terhadap rataan konsumsi ba-
kandungan asam-asam lemak dan kolesterol
han kering ransum, rataan PBBH, dan rataan
daging landak jawa dibandingkan satwa liar lain
konversi ransum, tetapi nampak pengaruh yang
dan ternak domestikasi.
nyata (P<0,05) terjadi antara landak jantan dan betina pada kedua perlakuan ransum terhadap
amino daging landak dapat dilihat pada Tabel 10 dan kandungan asam amino daging landak dan
konsumsi ransum, PBBH, dan konversi ransum.
hewan lainnya tertera pada Tabel 11.
Komposisi asam-asam
Tabel 3. Konsumsi pakan, pertambahan bobot badan, dan konversi pakan landak jawa T0 Peubah Konsumsi BK (g/ekor/hari) PBBH (g/ekor/hari) Konversi pakan (Konsumsi BK /PBBH)
Betina
T1
Jantan
Rataan
Betina
Jantan
Rataan
269,09 b
295,45 a
282,27
306,19a
261,93b
284,06
17,48b
40,24a
28,86
24,39ab
19,51b
21,95
a
b
11,37
12,55
13,42
12,99
15,39
7,34
BK = Bahan kering; PBBH = Pertambahan bobot badan per hari, EPP = Efisiensi Penggunaan pakan abSuperskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
Tabel 4. Sifat Fisik daging landak jawa Parameter
Betina (n=3) 5,79 ± 0,09
T0 Jantan (n=1) 5,73
Rataan
Betina (n=3) 5,76 ± 0,08
pH 5,76 ± 0,04 Keempukan 3,61 ± 1,00 3,65 3,63 ± 0,03 3,25 ± 0,00 (kg/cm2) Susut masak (%) 43,70 ± 2,54 43,03 43,37 ± 0,47 39,55 ± 7,28 DMA : - mgH2O 70,02 ± 2,75 52,55 61,28 ±12,35 71,95 ±16,84 - % mgH2O 23,34 ± 0,91 17,52 20,43 ± 4,12 23,98 ± 5,61 Warna : Daging 2,00 ± 0,00 2,00 2,00 ± 0,00 2,00 ± 0,00 Lemak 2,00 ± 0,00 2,00 2,00 ± 0,00 2,00 ± 0,00 DMA = Daya mengikat air; T0 = pakan kontrol; T1= T0 + pellet ikan koi
T1 Jantan (n=1) 5,80
5,78 ± 0,03
3,27
3,26 ± 0,01
36,20
37,88 ± 2,37
69,56 23,19
70,75 ±1,69 23,59 ± 0,56
2,00 2,00
2,00 ± 0,71 2,00 ± 0,00
Rataan
314
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
Tabel 5. Sifat fisik daging landak jawa dan hewan lainnya Sifat fisik daging Jenis hewan
pH
Keempukan (kg/cm2)
Susut masak (%)
Warna
DMA (% mg H2O)
Daging
Lemak
Landak jawa1) 5,76 3,63 43,37 20,43 2,00 2,00 Kancil2) 6,36 2,00 44,12 32,83 Bandikut3) 5,71 1,05 34,04 36,56 Kelinci lokal4) 6,82 1,81 40,63 120,93 Sapi5) 5,70 6,73 42,53 31,66 Kerbau5) 6,05 6,53 29,84 37,26 Domba5) 5,99 5,44 31,86 37,52 Kambing sudan6) 1,67 7,83 34,41 4.67 Rusa sambar7) 6,46 4,92 53,31 33,52 Kuda8) Trenggiling9) 6,17 35,12 Ayam broiler10) 0,06 27,77 18,01 1)Penelitian ini; 2) Rosyidi et al. (2010); 3) Warsono & Priyanto (2011); 4) Setiawan (2009); 5)Komariah et al. (2009);6) Elamin et al. (2012); 7)Semiadi et al.(2003); 8)Rosmawati (2003); 9)Farida (2012); 10)Hartono et al. (2013)
Tabel 6. Kandungan nutrien daging landak jawa Parameter Kadar air (%) Abu (%) Protein (%) Lemak (%) GE (kal/g) Ca (%) P (%) Fe (ppm)
Betina (n=3) 70,04 ± 2,37 3,28 ± 0,30 16,84 ± 1,85 38,74 ± 7,16 7.502,50 ± 266,67 0,11 ± 0,02 0,75 ± 0,06 8,46 ± 1,87
T0 Jantan (n=1) 68,43 3,34 17,33 38,98 7.265,02 0,11 0,80 8,26
Rataan 69,24 ± 1,14 3,31 ± 0,04 17,09 ± 0,35 38,86 ± 0,17 7.383,76 ± 167,92 0,11 ± 0,00 0,77 ± 0,03 8,36 ± 0,14
T1 Betina Jantan (n=3) (n=1) 64,70 ± 1,57 66,82 3,64 ± 0,66 3,63 18,94 ± 3,38 19,40 30,90 ± 8,55 29,81 6.852,96 ± 522,78 6.665,29 0,07 ± 0,04 0,06 0,84 ± 0,16 0,89 8,37 ± 6,80 4,82
Rataan 65,76 ± 1,50 3,63 ± 0,01 19,17 ± 0,32 30,36 ± 0,77 6.759,13 ± 132,71 0,06 ± 0,00 0,86 ± 0,04 6,60 ± 2,51
Tabel 7. Kandungan nutrien daging landak jawa dan hewan lainnya
Hewan Landak jawa1) Landak raya2) Kancil3) Bandikut4) Kelinci lokal5) Sapi6) Domba6) Kijang6) Babi hutan6) Babi7) Kuda8) Keledai9) Tikus raksasa afrika13)
Komposisi kimia Kadar Abu Protein Lemak Energi air (kal/g) --------------------- (%) ---------------------69,24 3,31 17,09 3,90 7383 75,30 1,30 19,60 3,60 76,33 1,20 21,42 0,51 72,42 2,53 18,72 3,26 73,27 1,06 18,36 1,34 17389) 75,87 1,10 21,65 1,37 3167 9) 77,02 1,03 19,95 2,00 3119 9) 74,09 1,14 22,50 2,28 73,57 1,12 23,03 2,27 42,0 11,90 37,83 1230 71,4 1,8 21,1 6,00 1380 77,12 1,09 20,07 1,28 65,40
2,00
20,10
11,40
-
Ca (%)
P (%)
Fe (ppm)
0,110 0,00610) 0,01111) 0,00811) 0,00811) -
0,770 0,22810) 0,17211) 0,19011) 0,19011) -
8,36 1,812) 2,012) 2,1 3,7
0,050
0,750
7,3
Hasil penelitian ini; Norsuhana et al. (2007); Rosyidi (2010); Warsono (2009); Setiawan (2009); Jukna & Valaitienė (2012); 7)Sarwono (2001); 8)Lee et al. (2007); 9)Aganga (2003); 10) Farrel & Raharjo (1984); 11) Parigi Bini et al. (1992); 12) Williams (2007); 13)Oyarekua & Ketiku (2010) 1)
2)
3)
4)
5)
6)
315
Wartika Rosa Farida
Tabel 8. Asam-asam lemak dan kolesterol daging landak jawa Parameter EPA (mg/100 g) DHA (mg/100 g) Omega-3 (mg/100 g) Omega-6 (mg/100 g) Omega-9 (mg/100 g) Kolesterol (mg/100 g)
Betina 12,49 23,79 0,32 3,78 8,49 77,51
T0 Jantan 11,79 24,01 0,36 3,38 14,26 78,02
T1 Rataan 12,14 ± 0,49 23,90 ± 0,16 0,34 ± 0,03 3,58 ± 0,28 11,38 ± 4,08 77,77 ± 0,36
Betina 12,49 24,52 0,59 7,79 16,18 78,7
Jantan 13,89 25,48 0,40 4,62 9,47 78,47
Rataan 13,19 ± 0,99 25,00 ± 0,68 0,50 ± 0,13 6,21 ± 2,24 12,83 ± 4,74 78,59 ± 0,16
Tabel 9. Kandungan Asam-asam lemak landak Jawa dan hewan lainnya Jenis hewan Landak jawa1) Landak raya2) Kelinci3) Napu4) Kancil5) Sapi6) Babi6) Ayam6) Domba7) Tikus raksasa afrika8) Rusa sambar9) Rusa Jawa9) Kuda10)
EPA DHA Omega 3 Omega 6 Omega 9 (C20:5n-3) (C22:6n-3) ----------------------------------------- (%) -------------------------------------0,12 0,24 0,003 0,04 0,11 1,8 0,5 0,6 0,00 0,30 0,15 0,31 2,67 2,08 0,13 0,05 0,25 0,07 0,14 0,15 0,13 1,01 0,08 0,06 0,43 0,92 -
Kolesterol (mg/100 g) 77,77 47,0 13,17 50,0 86,011) 85,011) 55,3 92,0011) 70,20 101,30 104,25 40,5
1)Hasil penelitian ini; 2)Norsuhana et al. (2008); 3)Hernàndez & Zotte (2010); 4)Arifin (2004);5)Rosyidi (2010); 6)Zotte & Szendro (2011); 7)SanÄ udo et al. (2000); 8)Oyarekua & Ketiku (2010); 9) Dahlan & Norfarizan-Hanoon (2007); 10) Tonial et al. (2009); 11)Gillespie (1998)
Tabel 10. Komposisi asam amino daging landak jawa Asam amino Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Threonin Alanin Prolin Tirosin Valin Methionin Sistin Isoleusin Leusin Phenilalanin Lisin
Betina 0,81 1,63 0,41 0,23 0,97 0,54 0,29 0,19 0,13 0,4 0,65 0,79 0,08 0,31 0,70 0,42 0,58
T0 T1 Jantan Rataan Betina Jantan Rataan ------------------------------------ (%) ------------------------------------0,72 0,77 ± 0,06 0,78 0,67 0,73 ± 0,08 1,36 1,50 ± 0,19 1,65 1,55 1,60 ± 0,07 0,36 0,39 ± 0,04 0,40 0,37 0,39 ± 0,02 0,18 0,21 ± 0,04 0,21 0,19 0,20 ± 0,01 0,83 0,90 ± 0,10 0,93 0,84 0,89 ± 0,06 0,53 0,54 ± 0,01 0,61 0,54 0,58 ± 0,05 0,21 0,25 ± 0,06 0,28 0,26 0,27 ± 0,01 0,13 0,16 ± 0,04 0,17 0,13 0,15 ± 0,03 0,11 0,12 ± 0,01 0,08 0,06 0,07 ± 0,01 0,29 0,35 ± 0,08 0,38 0,12 0,25 ± 0,18 0,58 0,62 ± 0,05 0,62 0,48 0,55 ± 0,10 0,7 0,75 ± 0,06 0,78 0,69 0,74 ± 0,06 0,08 0,08 ± 0,00 0,07 0,06 0,07 ± 0,01 0,22 0,27 ± 0,06 0,3 0,27 0,29 ± 0,02 0,61 0,66 ± 0,06 0,68 0,68 0,68 ± 0,00 0,45 0,44 ± 0,02 0,32 0,30 0,31 ± 0,01 0,55 0,57 ± 0,02 0,55 0,57 0,56 ± 0,01
316
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
Tabel 11. Komposisi asam amino daging landak dan hewan lain Landak1)
Asam amino Asam aspartat Asam glutamat Serin Glisin Histidin Arginin Threonin Alanin Prolin Tirosin Valin Methionin Sistin Isoleusin Leusin Fenilalanin Lisin
0,77 1,50 0,39 0,21 0,90 0,54 0,25 0,16 0,12 0,35 0,62 0,75 0,08 0,27 0,66 0,44 0,57
Bandikut2)
Kelinci3)
Kancil 4)
-------------------------------------------1,06 9,67 2,88 17,98 0,27 0,11 0,35 4,37 0,53 6,23 0,14 3,33 0,11 0,20 0,30 0,58 6,26 0,18 2,02 0,16 0,10 5,30 0,58 9,15 0,35 4,35 0,25 9,97
Trenggiling5)
Sapi6)
(%) ------------------------------------------0,93 2,00 8,80 1,49 2,87 14,40 0,58 0,79 3,80 0,30 1,05 7,10 0,43 0,61 1,40 0,47 1,63 6,60 0,41 1,04 4,00 0,90 1,07 6,40 0,46 0,75 5,40 0,35 0,79 3,20 0,41 1,08 5,70 0,21 0,37 2,30 1,32 0,04 2,90 0,36 1,03 5,10 0,18 1,88 8,40 1,19 0,95 4,00 0,56 1,54 8,40
Babi hutan7) 6,16 12,40 8,25 6,95 7,00 10,61 6,89 11,86
Hasil penelitian ini; 2)Warsono (2009); 3)Bivolarski et al. (2011); 4)Rosyidi (2010); 5)Farida (2012); 6)Lawrie (2003); 7)Brudnicki (2012)
1)
PEMBAHASAN
lebih agresif dibandingkan betina, oleh sebab itu otot jantan lebih aktif dan hal ini berpengaruh
Salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap kualitas dan ketahanan daging sebagai
terhadap kandungan asam laktat yang dihasilkan dari glikogen otot sehingga umumnya nilai pH
bahan pangan adalah nilai pH daging (Ibarburu
daging hewan jantan akan lebih rendah dibanding
2007). Nilai pH juga mempengaruhi sifat-sifat
betina.
fisik daging seperti warna daging, susut masak,
dengan daging sapi dan bandikut, yaitu pada
keempukan, dan daya mengikat air (Forrest et al.,
kisaran 5,70 – 5,77 dan bervariasi seperti nilai pH
1975). Pada Tabel 4 terlihat tidak ada pengaruh yang nyata (P>0,01) atas pH daging landak pada
dari jenis hewan lainnya (Tabel 5). Menurut Lawrie (2003), nilai pH daging hewan setelah
kedua perlakuan T0 dan T1. Nilai pH daging
dipotong
landak termasuk dalam nilai pH daging yang
(spesies, kandungan glikogen otot, variabilitas
segar. Seperti dilaporkan oleh Sebsibe (2006) dan
antar hewan) dan faktor ekstrinsik (temperatur
Lawrie (2003), daging berkualitas baik berada pada kisaran pH normal daging segar, yaitu 5,4–
lingkungan, perlakuan sebelum pemotongan, dan suhu penyimpanan daging).
5,8. Nilai pH daging landak jantan dan betina
Keempukan daging merupakan faktor
pada perlakuan T0 dan T1 menunjukkan nilai
penting bagi konsumen dalam membeli guna
yang hampir sama, hal ini berbeda dengan
tujuan konsumsi. Dari Tabel 4 terlihat tidak ada
pendapat Rao et al. (2009) bahwa perbedaan jenis kelamin lebih mempengaruhi nilai pH daripada
perbedaan nyata (P>0,05) nilai keempukan antara daging landak jantan dan betina pada kedua per-
umur hewan.
lakuan ransum maupun nilai rataan antar perla-
Adanya variasi nilai pH pada
Nilai pH daging landak hampir sama
dipengaruhi
oleh
faktor
intrinsik
jantan dan betina lebih disebabkan perilaku
kuan.
Keempukan daging dipengaruhi faktor
hewan tersebut. Hewan jantan umumnya bersifat
antemortem (genetik termasuk bangsa, spesies dan 317
Wartika Rosa Farida
fisiologi, umur, manajemen, jenis kelamin, stres)
sedangkan menurut Lawrie (2003) temperatur
dan faktor postmortem (metode chilling, refrigerasi,
dan lama pemasakan akan berpengaruh terhadap
pelayuan dan pembekuan, lama dan waktu penyimpanan, metode pemasakan dan penamba-
nilai susut masak daging. Perebusan daging pada suhu tinggi (60-90ºC) akan menyebabkan kerusa-
han bahan pengempuk) (Soeparno 2005). Rataan
kan jaringan epimisium, perimisium, dan endo-
nilai keempukan daging landak, yaitu 3,63 kg/
mesium sehingga jaringan daging akan menyusut
2
2
cm (T0) dan 3,26 kg/cm (T1), menandakan
sekitar 30% akibat keluarnya cairan daging, se-
daging
Seperti
dangkan pada penelitian ini pemasakan daging
dilaporkan oleh Belew et al. (2002) bahwa nilai daya iris Warner Blatzer Shear (WBS)
pada suhu dalam daging sebesar 81oC. Shanks et al. (2002) berpendapat bahwa besarnya susut
dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu sangat
masak dipengaruhi oleh banyaknya kerusakan
landak
empuk
tergolong
(WBS<3,2
empuk.
kg/cm2),
empuk
membran seluler, banyaknya air yang keluar dari
(3,2<WBS<3,9 kg/cm2), sedang (3,9<WBS<4,6
daging, umur daging, degradasi protein dan ke-
kg/cm2), dan keras (WBS>4,6 kg/cm2). Keempukan daging landak hampir sama dengan
mampuan daging untuk mengikat air (DMA). Dari Tabel 4 terlihat terjadi peningkatan nilai
satwa liar lainnya seperti bandikut, kancil, kelinci
susut masak dengan menurunnya nilai DMA pa-
lokal, dan kambing sudan (Tabel 5). Diduga dag-
da daging landak jantan dan betina di kedua per-
ing landak mengandung lebih sedikit jaringan ikat
lakuan, hal ini seperti yang dinyatakan oleh
dengan tekstur atau serat otot yang lebih halus dan lemak daging yang lebih tinggi dari hewan
Aberle et al. (2001), bahwa susut masak daging sangat berhubungan dengan kemampuan
lain. Hal ini seperti pernyataan Williamson dan
mengikat air, semakin rendah DMA, maka susut
Payne (1993), daging hewan liar tergolong sangat
masak daging akan semakin besar, demikian pula
empuk karena serat-serat ototnya relatif kecil atau
sebaliknya. Nilai susut masak daging landak jawa
tekstur ototnya lebih halus. Selanjutnya dijelas-
hampir sama dengan daging kancil, kelinci lokal,
kan oleh Soeparno (2005), daging yang memiliki tekstur atau serat otot yang lebih halus dan kan-
dan sapi (Tabel 5), serta lebih rendah dibandingkan susut masak daging rusa sambar. Pada
dungan lemak yang tinggi akan menghasilkan
penelitian ini landak jawa yang digunakan beru-
daging yang lebih empuk karena lemak ini akan
mur kurang dari satu tahun yang relatif masih
larut di antara ikatan serabut otot daging.
muda, sehingga kandungan kolagen dalam daging
Keempukan daging landak jelas disebabkan tingginya kandungan lemak daging dibandingkan
masih relatif rendah dibanding hewan yang lebih tua. Dari hasil penelitian Komariah et al. (2009)
hewan liar maupun ternak domestikasi lainnya
dilaporkan perbedaan jenis ternak berpengaruh
(Tabel 7).
terhadap nilai pH, DMA, keempukan dan susut
Rataan nilai susut masak daging landak
masak daging, sedangkan lama postmortem ber-
perlakuan kontrol (T0) lebih tinggi daripada per-
pengaruh terhadap nilai pH dan DMA.
lakuan T1, tetapi tidak berbeda nyata (P>0,01) antara landak jantan dan betina pada kedua perla-
Daging yang baik menurut Hadiwiyoto (1983) adalah daging yang mempunyai warna
kuan ransum. Dilaporkan oleh Bulent et al.
cerah, tidak pucat dan mengkilat, tidak ada bau
(2009), meningkatnya nilai susut masak daging
asam, apalagi busuk, konsistensinya liat serta apa-
berkaitan dengan kecepatan penurunan pH post-
bila dipegang tidak lekat di tangan dan masih
mortem atau rendahnya nilai pH ultimat daging,
terasa kebasahan. Dilaporkan oleh O’Sullivan et 318
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
al. (2004) bahwa warna daging dipengaruhi oleh
karena total konsumsi pakan (Tabel 3) oleh lan-
pakan yang diberikan pada hewan. Dari Tabel 4
dak jawa tidak berbeda pada kedua perlakuan,
terlihat pengaruh pemberian pakan T0 maupun T1 tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
sehingga perlakuan penambahan pelet koi pada ransum tidak berpengaruh terhadap warna lemak.
warna daging landak yang berwarna agak merah
Penambahan konsentrat berupa pelet koi
muda pada skala 2 berdasarkan Meat Colour Card
pada perlakuan ransum T1 telah meningkatkan
Score AUS-MEAT. Konsumen umumnya cender-
kandungan protein daging landak dibandingkan
ung menilai daging yang segar adalah daging yang
T0 (Tabel 6), tetapi tidak terjadi peningkatan
berwarna merah cerah. Dijelaskan oleh Rhonda (1994), warna pada daging sangat dipengaruhi
kadar air daging T1. Hal ini berbeda dengan pendapat Orskov (1976) bahwa peningkatan
oleh konsentrasi pigmen daging, yaitu myoglobin,
protein pakan dapat meningkatkan kadar air
yang berjumlah sekitar 50-80 % dari total pigmen
daging. Sebaliknya kandungan lemak dan energi
yang ada, sedangkan menurut Lawrie (2003)
bruto daging T1 lebih rendah daripada T0.
faktor-faktor yang mempengaruhi konsentrasi myoglobin adalah spesies, bangsa, umur, jenis ke-
Menurut Fraga et al. (1983), kandungan energi dan protein karkas dapat berubah karena tingkat
lamin, pakan, cekaman (tingkat aktivitas dan tipe
pertumbuhan atau karena komposisi bahan pakan
otot), pH dan oksigen. Faktor penting sebelum
dalam ransum. Kadar air daging landak T0 lebih
pemotongan yang mempengaruhi warna daging
tinggi daripada T1, dan menurut Winarno (1993)
adalah perlakuan istirahat yang dapat menentukan tingkat cekaman (stress) pada hewan. Pada
kadar air daging yang tinggi kurang disukai konsumen karena daging cepat rusak. Kadar air
penelitian ini, sebelum pemotongan, landak telah
daging landak jawa lebih rendah dibandingkan
dipuasakan selama 24 jam yang bertujuan untuk
hewan liar dan domestik lainnya (Tabel 7),
menekan stres.
Dilaporkan oleh Soeparno
sedangkan kadar abu daging landak terlihat paling
(2005), pemuasaan pada hewan akan mempermu-
tinggi dibandingkan hewan lainnya diikuti pula
dah proses penyembelihan terutama pada hewan yang agresif atau liar karena dengan dipuasakan
dengan tingginya kandungan kalsium (Ca), fosfor (P), dan zat besi (Fe). Daging adalah sumber
hewan
Selanjutnya
mineral Fe (zat besi) yang baik untuk memelihara
menurut Aberle et al. (2001), hewan yang tidak
kesehatan, untuk mensintesis hemoglobin dan
diistirahatkan akan menghasilkan daging yang
enzim-enzim tertentu. Sales (1995) melaporkan
berwarna gelap, kering, memiliki nilai pH tinggi, bertekstur keras, dan daya mengikat air tinggi.
bahwa daging hidupan liar mengandung nilai nutrien yang lebih baik dibandingkan daging
Daging landak berwarna lebih muda dibanding-
ternakan domestikasi. Rataan kandungan protein
kan daging kambing sudan (Tabel 5). Hal ini
daging landak T1 lebih tinggi dari daging landak
sesuai dengan pendapat Soeparno (2005) bahwa
T0, tetapi rataan kandungan lemak dan energi
warna daging dipengaruhi banyak faktor, antara
bruto T1 lebih rendah dari T0. Kandungan
lain pakan, spesies, bangsa, umur, jenis kelamin, stres (tingkat aktivitas dan tipe otot), dan pH.
protein daging T1 yang lebih tinggi (Tabel 6) diikuti dengan tingginya DMA daging landak T1
Warna lemak daging landak adalah putih pada
dibanding
skala 2 berdasarkan Meat Colour Card Score AUS-
menyatakan bahwa perubahan DMA daging
MEAT. Dari Tabel 4 terlihat warna lemak dag-
diduga karena terjadinya perubahan ion-ion yang
ing landak T0 sama dengan T1, hal ini diduga
diikat oleh protein daging. Kadar lemak daging
menjadi
lebih
tenang.
T0
(Tabel
4).
Hamm
(1981)
319
Wartika Rosa Farida
landak jawa dan landak raya lebih tinggi
omega-3, omega-6, dan omega-9 (Tabel 8).
dibandingkan hewan lain, kecuali terhadap daging
Menurut Okuyama (2007) & Hibbeln (2006),
babi, kuda, dan tikus raksasa afrika. Selanjutnya menurut Edwards (1981), kadar lemak
ketidakseimbangan asam lemak dalam diet modern menimbulkan masalah kesehatan. Omega
mempunyai hubungan negatif dengan kadar
-3 membantu menurunkan risiko penyakit kronis
protein. Faktor yang mempengaruhi komposisi
seperti penyakit jantung, stroke, dan kanker serta
kimia daging adalah spesies hewan, kondisi
menurunkan LDL atau kolesterol jahat. Omega-
hewan, jenis daging karkas, proses pengawetan,
6 merupakan asam lemak tak jenuh ganda yang
penyimpanan dan metoda pengepakan serta kandungan lemak daging tersebut (Winarno dan
tidak dapat diproduksi tubuh manusia, sehingga perlu asupan dengan mengkonsumsi makanan
Rahayu 1994).
seperti daging, unggas, dan telur serta kacang dan
Kandungan asam lemak tak jenuh ganda
minyak nabati seperti kanola dan minyak bunga
EPA dan DHA yang merupakan derivat asam
matahari. Omega-9 disebut sebagai asam lemak
lemak omega-3 dalam daging landak jawa tidak berbeda nyata (P>0,05) pada kedua perlakuan T0
tak jenuh tunggal, bisa membantu mengurangi risiko penyakit jantung dan stroke. Asam lemak
dan T1 (Tabel 8). Diduga produksi asam lemak
omega-9 telah terbukti meningkatkan HDL
tak jenuh ganda tersebut berhubungan dengan
(kolesterol
jenis pakan yang dikonsumsi hewan bersangkutan
(kolesterol jahat), membantu menghilangkan
(Rosyidi 2007). Dalam pelet ikan koi terkandung minyak ikan yang berpengaruh meningkatkan
penumpukan plak di arteri, yang menyebabkan serangan jantung dan stroke. Omega-9 ditemukan
asam lemak tak jenuh ganda daging landak T1.
dalam lemak hewan dan tanaman seperti kanola,
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Overland et
biji
al. (1996) dan Wood et al. (2004), bahwa
kacangan.
bunga
baik)
dan
matahari,
menurunkan
zaitun,
dan
LDL
kacang-
penambahan 1% minyak ikan dalam ransum
Rataan kandungan kolesterol daging
telah meningkatkan kandungan EPA dan DHA daging babi. Lands (2005) melaporkan hasil
landak tidak berbeda nyata (P>0,05) pada kedua perlakuan ransum T0 dan T1, walaupun terjadi
penelitiannya bahwa diet tinggi dalam jumlah
sedikit peningkatan kolesterol daging landak jawa
EPA dan DHA membantu perkembangan otak
pada
dan mata, mencegah penyakit jantung, dan dapat
Simatupang
membantu mencegah penyakit Alzheimer. Howe et al. (2006) menjelaskan dari hasil penelitiannya
berasal dari dua sumber, yaitu kolesterol endogen melalui sintesis oleh tubuh dan kolesterol yang
bahwa daging merah (mamalia) merupakan
berasal dari makanan yang diabsorbsi oleh usus
sumber penting dari asam lemak tidak jenuh
dan terjadi di hati. Dari Tabel 9 dapat dilihat
berantai panjang, EPA dan DHA. Kandungan
konsentrasi kolesterol daging landak jawa lebih
EPA daging landak jawa setara dengan daging
rendah dibandingkan daging sapi, babi, domba,
kelinci, kancil, babi, dan ayam, tetapi lebih rendah dari daging landak raya (Tabel 9), hal ini
rusa jawa, dan rusa sambar, sebaliknya lebih tinggi dibandingkan daging kancil, napu, ayam, dan
diduga karena adanya perbedaan jenis konsentrat
kuda. Dilaporkan oleh Cifuni et al. (2004), Padre
yang
Penggunaan
et al. (2006), & Duckett et al. (2009), banyak
konsentrat berupa pelet ikan koi (T1) telah
faktor yang mempengaruhi kandungan kolesterol
meningkatkan juga kandungan asam lemak
daging, yaitu bangsa hewan, jenis kelamin, umur,
diberikan
dalam
pakan.
perlakuan
T1
(1997),
(Tabel
8).
Menurut
pembetukan
kolesterol
320
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
derajat marbling, ketebalan lemak subkutan,
KESIMPULAN
energi pakan, perlakuan pakan (terbatas atau ad libitum), dan tipe potongan daging. Kolesterol berperan penting dalam fungsi sel tubuh, antara
Penambahan pakan konsentrat berupa pelet ikan koi ke dalam ransum tidak berpengaruh
lain produksi hormon-hormon steroid dan
nyata terhadap sifat fisik dan kimia daging landak
kolesterol akan berbahaya bila konsentrasinya
jawa
dalam darah melebihi batas normal, karena
memiliki nilai pH daging normal, empuk, daya
kolesterol
sebab
mengikat air rendah dan susut masak sedang.
atau
Kandungan nutrien daging berimbang dengan kadar air (69,24%), abu (3,34%), protein
Berdasarkan Tabel 10 tampak perlakuan
(17,09), lemak (3,89%), dan Fe tinggi (8,36
merupakan
salah
satu
penyumbatan pembuluh darah artherosclerosis (Guyton 1987).
arteri
T0 dan T1 tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
Daging landak layak dikonsumsi karena
ppm), serta kolesterol tinggi (77,77 mg/100 g).
terhadap rataan kandungan asam-asam amino daging landak jawa. Penambahan pelet ikan koi dalam ransum T1 meningkatkan kandungan pro-
UCAPAN TERIMA KASIH
tein daging landak jawa (Tabel 6), tetapi tidak
Peneliti menyampaikan terima kasih
meningkatkan kandungan asam-asam aminonya.
kepada Tri H. Handayani S.Si., Andri P. Sari,
Dilaporkan oleh Rosyidi et al. (2010) bahan ma-
S.Si., Sdr. Umar Sofyani, dan Sdri. R. Lia R.
kanan yang mengandung protein tinggi tidak berarti kualitas proteinnya menjadi tinggi, dalam hal
Amalia atas bantuannya selama dan hingga penelitian ini selesai.
ini adalah asam-asam amino esensialnya. Kandungan asam-asam amino yang teridentifikasi
DAFTAR PUSTAKA
pada daging landak jawa relatif rendah dibandingkan dengan daging ternak domestikasi (kelinci
Aberle, ED., JC. Forrest, HB. Hendrick, MD.
dan sapi) dan satwa liar trenggiling dan babi hutan (Tabel 11), tetapi relatif lebih tinggi
Judge & RA. Merkel. 2001. Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San
dibandingkan daging satwa liar bandikut dan kan-
Fransisco.
cil.
Asam amino adalah zat pembangun yang
sangat
diperlukan
oleh
tubuh.
Daging
Aganga, AA., AO. Aganga, T. Thema, & KO. Obocheleng.
2003.
Carcass analysis and
mengandung asam amino esensial yang cukup lengkap, terutama leusin, lisin dan valin.
meat composition of the donkey. Pakistan J. Nutr. 2 (3): 138-147
Kandungan ketiga asam amino esensial tersebut
AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The
tinggi
Association of Official Analitycal of Chemist.
dibandingkan daging bandikut dan kancil, tetapi
16th ed. Arlington, Virginia, USA: Published
lebih
ternak
by The Association of Analitycal Chemist,
domestikasi. Dijelaskan oleh Irina (2011), kandungan asam amino dalam daging setiap
Inc. Arifin. 2004. Kajian terhadap produktivitas dan
spesies hewan berbeda-beda, tergantung pada
produk napu (Tragulus napu) di Propinsi
masing-masing karakteristiknya.
Jambi. [Disertasi]. Sekolah Pasca Sarjana.
dalam
daging rendah
landak
jawa
dibandingkan
lebih daging
Bogor : Institut Pertanian Bogor. . Atkins, W.
2004. Old World Porcupines 321
Wartika Rosa Farida
(Hystricidae). Dalam : D. Kleiman, V. Geist,
Duckett SK., JPS. Neel, JP. Fontenot, & WM.
M. McDade, & M. Hutchins (eds).
Clapham. 2009. Effects of winter stocker
Grzimek's Animal Life Encyclopedia, Vol. 16, 2nd Edition. Detroit, MI: Thomson Gale. Pp.
growth rate and finishing system on: III. tissue proximate, fatty acid, vitamin, cholester-
351-365.
ol content. J Anim Sci. 87:2961–70.
Baillie, J. 1996. Hystrix brachyura. Dalam: IUCN
Edwards, H.M. Jr. 1981. Carcass composition
2007. IUCN Red List of Threatened Species.
studies. 3. Influence of age, sex and calorie
<www.iucnredlist.org>
protein contents of the diet on carcass com-
Belew, JB., J. Brooks C., DR. McKenna, & JW. Savell. 2002. Warner-Blatzer shear evaluation
position of Japanese quail. Poultry Sci. 60: 2506-2512.
of bovine muscles. Meat Science Section, De-
Elamin, KM., HE. Hassan, HO. Abdalla, OH.
partment of Animal Science, Texas Agricul-
Arabi, & AA. Tameem Eldar. 2012. Effect
tural Experiment Station, Texas A & M
of feeding crushed roselle seed (Hibiscus
University, College Station, TX 778432471, Texas.
sabdariffa L.) (Karkadeh) on carcass characteristics of sudan desert sheep. Asian J.
Bivolarski, B., E. Vachkova, S. Ribarski, K. Uz-
Anim. Sci. 6 (5): 240-248
unova & D. Pavlov . 2011. Amino acid con-
Farrel, DJ. & YC. Raharjo. 1984. The Potential for
tent and biological value of rabbit meat pro-
Meat Production from Rabbit. Central Re-
teins, depending on weaning age . Bulgarian
search Institute for Animal Science. Bogor. Farida, WR. 2012. Kualitas daging dan bagian
J. Vet. Med. 14 (2): 94−102 Brudnicki, A., W. Brudnicki, J. Wach, A.
tubuh lain Trenggiling (Manis javanica
Kułakowska, & D. Pietruszyńska. 2012.
Desmarest, 1822). J. Biologi Indonesia 8(1):
Amino acid composition in the wild boar
141-154.
(Sus Scrofa Ferus) meat originating from
Forrest, JC., ED. Aberde, HB. Hendrick. MD.
different part of carcass. J. Central European Agric. 13(4): 662-670.
Judge, & RA. Merkel. 1975. Principle of Meat Science. W.H. Freeman and Co. San
Bulent E., A. Yilmaz, M. Ozcan, C. Kaptan, H.
Fransisco – USA
Hanouglu, I. Erdogan, & H. Yalcintan.
Fraga, MJ., JC. De Blas, E. Pe´Rez, JM. Ro-
2009. Carcass measurements and meat quali-
dri´Guez, CJ. Pe´Rez, & JF. Ga´ Lvez. 1983.
ty of Turkish Merino, Ramlic, Kivircik, Chi-
Effect of diet on chemical composition of rabbits slaughtered at fixed body weights. J.
os and Imroz lambs raised under an intensive production system 82. p. 64-70. Cifuni GF, F. Napolitano, AM. Riviezzi, A. Braghieri, & A. Girolami. 2004. Fatty acid profile, cholesterol content and tenderness of meat from Podolian young bulls. Meat Sci. 67:289–97. Dahlan, I. & NA. Norfarizan-Hanoon.
2007.
Fatty acid profiles and cholesterol composition of venison from farmed deer. J. Anim. Vet. Adv. 6 (5): 650-657.
Anim. Sci. 56: 1097. Gillespie, JR. 1998. Animal Science. New York: Delinar Publishers. Guyton, AC.
1987.
Fisiologi manusia dan
mekanisme kerja penyakit. Terjemahan oleh Petrus Adrianto. Penerbit buku kedokteran EGC, Jakarta. Hadiwiyoto, S.1983. Hasil-Hasil Olahan Susu, Ikan, Daging dan Telur. Liberty, Yogyakarta Hamm, R. 1981. Kolloidchemie des fleisches-des 322
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
33 (3): 183-189.
wasserbindungsvermoegen des muskeleiweisses in theorie und praxis. Verlag Paul Parey, Berlin. Hartono, E., Ning Iriyanti, & RS. Sugeng Santosa.
2013.
Penggunaan
pakan
fungsional terhadap daya ikat air, susut masak, dan keempukan daging ayam broiler. J. Ilmiah Peternakan 1 (1): 10-19. Hernàndez, P. & A. Dalle Zotte. 2010. Influence of diet on rabbit meat quality. Dalam: C. de Blas (ed.). Nutrition of The Rabbit. 2nd Ed. Univesidad Poletenica, Madrid, J. Wiseman, University of Nottingham, UK. pp 163– 178. Hibbeln, JR. 2006. Healthy intakes of n−3 and n−6 fatty acids: estimations considering worldwide diversity.
American J. Clinic.
Nutr. 83 (6, supplement): 1483S–1493S. Howe, PH., B. Meyer, S. Record, & K. Baghurst. 2006. Dietary intake of long-chain x-3 polyunsaturated fatty acids: contribution of meat sources. Nutrition 22: 47–53. Ibarburu. M., J. Kliebenstein, & B. Hueth. 2007. pH as a predictor of flavor, juiciness, tenderness and texture in pork from pigs in a Niche Market System. Iowa State University Animal Industry Report 2007. A.S. Leaflet R2181. Irina, C. 2011. Comparative study of meat composition from various animal species. Plenary paper on International 56th Meat Industry Conference held from June 12-15th 2011 on Tara mountain, Institut za higijenu i tehnologiju mesa, Beograd. Jukna, V. & V. Valaitienė. 2012. The comparison of meat nutritional and technological properties in different animals. Veterinarija Ir Zootechnika (Vet Med Zoot) 59 (81): 34-39 Komariah, S. Rahayu, & Sarjito. 2009. Sifat fisik daging sapi, kerbau, domba pada lama postmortem yang berbeda. Buletin Peternakan
Lands, WEM. 2005. Dietary fat and health: the evidence and the politics of prevention: careful use of dietary fats can improve life and prevent disease. Annals of the New York Acad. Sci. 1055: 179–192. Lawrie, RA. 2003. Meat Science. The 6th Ed. Terjemahan. A. Paraksi dan A. Yudha. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Lee, CE., PN. Seong, WY. Oh, MS. Ko, KI, Kim, & JH. Jeong. 2007. Nutritional characteristics of horsemeat in comparison with those of beef and pork. Nutr. Research and Practice 1: 70-73 Medway, L. 1978. The Wild Mammals of Malaya and Singapore. 2nd ed. Oxford University Press. Kuala Lumpur, New York. Norsuhana AH, MN Shukor, A. Aminah, AQ Sazili, & Z.Zahari Z. 2008. Perbandingan komposisi asid lemak daging landak raya (Hystrix brachyura) dengan daging haiwan yang lain. Seminar UNRI – UKM ke 5, 19 – 21 Agustus 2008 Pekanbaru, Riau. Norsuhana AH, MN Shukor, AQ Sazili, A. Aminah, & Z. Zahari Z. 2007. The effects of commercial pellets on feed intake, digestibility and nutrient composition in meat of Malayan porcupine (Hystrix brachyura).
9th
Symposium of the Malaysian Society of Applied Biology, Bayview Gerogetown, Penang, (30th -31st May 2007). Nowak, RM. 1999. Walker’s mammals of the world. Vol. I & II. John Hopkins University Press, Baltimore London Okuyama, H., Y. Ichikawa, Y. Sun, T. Hamazaki, & WEM. Lands. 2007. ω3 fatty acids effectively prevent coronary heart disease and other late-onset diseases: the excessive linoleic acid syndrome. World Rev. of Nutr. Dietetics 96: 83–103 Orskov, ER. 1976. Factors influencing protein 323
Wartika Rosa Farida
and non-protein nitrogen utilization in
as indicator of lipid oxidation in muscle
young ruminants. Dalam : DJA. Cole et aL
foods. Comprehensive Reviews in Food Sci.
(Ed.). Protein Metabolism and Nutrition. Butterworths, London. p. 457.
and Food Safety 5:18-25. Rosmawati, 2003. Pengaruh Kondisi Daging
O'Sullivan, A., K. O'Sullivan, K. Galvin, AP.
dan Suhu Penyimpanan Terhadap Karak-
Moloney, DJ. Troy, & JP. Kerry.
2004.
teristik Fisik dan Mikrobiologi Daging Ku-
Influence of concentrate composition and
da. [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Bogor:
forage type on retail packaged beef quality. J.
Institut Pertanian Bogor.
anim. Sci. V (82): 2384–2391. Overland, M., O. Taugbol, A. Haug,
& E.
Rosyidi, D., E. Gurnadi, R. Priyanto, & Suryahadi. 2010. Kualitas daging kancil
Sundstol. 1996. Effect of fish oil on growth
(Tragulus javanicus). Media Peternakan 33
performance, carcass characteristics, sensory
(2): 95-102
parameters and fatty acid composition in
Rosyidi, D.
2007.
Beberapa Aspek Kimia
pigs. Acta Agriculturae Scandinavica 46: 11– 17.
Daging Kancil (Tragulus Javanicus). J. Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak 2 (1): 15 - 25
Oyarekua, MA & AO. Ketiku. 2010. The Nutri-
Sales, J. 1995. Nutrition quality meat from some
ent Composition of the African Rat. Adv. J.
alternative species. World Rev. of Anim.
Food Sci. Technol. 2(6): 318-324
Prod. 30(1-2): 48-56.
Padre RG, JA. Aricetti, FB. Moreira, IY. Mizubuti IY, IN. do Prado, JV. Visentainer,
SanÄ udo, C., ME. Enser, MM. Campo, GR. Nute, G. MarõÂ, I. Sierra, & JD. Wood.
NE de Souza, & M. Matsushita. 2006. Fat-
2000.
ty acid profile, chemical composition of
characteristics of lamb carcasses from Brit-
longissimus muscle of bovine steers and bulls
ain and Spain. Meat Sci. 54: 339-346.
finished in pasture system. Meat Sci. 74:242
Sarwono, B. 2001. Kelinci Potong dan Hias.
–8. Parigi Bini, R., G. Xiccato, M. Cinetto, & A.
AgroMedia Pustaka. Jakarta. Sebsibe, A. 2006. Meat quality of selected Ethio-
Dalle Zotte. 1992. Effetto dell'età, del peso
pian goat genotypes under varying nutri-
di macellazione e del sesso sulla qualità della
tional conditions. [Ph.D. Thesis]. South
carcassa e della carne cunicola. Zootecnica e Nutrizione Animale 18: 173−190. Rao, CA., G. Tulasi, & SW. Ruban. 2009. Meat quality characteristics of non-descript buffalo as affected by age and sex. World Applied Sci. Journal 6(8): 1058-1065.
Fatty acid composition and sensory
Africa: University of Pretoria. Semiadi, G., Y. Jamal, WR. Farida, & M. Muchsinin. 2003. Kualitas daging rusa Sambar (Cervus unicolor) hasil buruan di Kalimatan Timur. Anim. Prod. 5(1): 35-41 Setiawan, MA. 2009. Karakteristik karkas, sifat
Rhonda, KM. 1994. Quality Characteristics. Da-
fisik, dan kimia daging kelinci rex dan ke-
lam : DM. Kinsman, AW. Kotula, BC. Breidenstein (Ed), Muscle foods: Meat, Poultry
linci lokal (Oryctolagus cuniculus). [Skripsi]. Fakultas Peternakan. Bogor: Institut Per-
and Seafood Technology. Chapman Hall.
tanian Bogor.
New York. Roos, CF, & DM. Smith. 2006. Use of volatiles
Shanks, BC., DM. Wulf, & RJ. Maddock. 2002. Technical note: The effect of freeze-
324
Sifat Fisik dan Kimia Daging Landak Jawa (Hystrix javanica F. Cuvier, 1823)
ing on Warner Bratzler shear force values of
Bogor.
beef longissimus steaks across several post-
Warsono IU. & R. Priyanto. 2011. Sifat biolo-
mortem aging periods. J. Anim. Sci. 80: 2122-2125
gis dan karakteristik karkas bandikut (Echymipera kalubu). Berk. Penel. Hayati
Simatupang A. 1997. Cholesterol, hypercholesterolemia and the drugs against it a review.
Edisi Khusus 4B: 13-19. Williams, PG. 2007. Nutritional composition of red meat.
Cermin Dunia Kedokteran 116 :5-12 Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah mada University Press. Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press,
Nutrition and Dietetics, 64
(Suppl.) Williamson, G. & WJA. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropik. Gadjahmada University Press, Yogyakarta. Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi, dan
Yogyakarta. Sudarmadji, S, B. Haryono & Suhardi, 1996.
Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty: Yogyakarta.
Utama. Winarno, FG. & TS. Rahayu. 1994. Bahan Tambahan
untuk
Makanan
Bonaafe, JV Visentainer & NE de Souza.
Kontaminan.
Pustaka
Sinar
2009. Fatty acid and cholesterol content,
Jakarta.
Tonial, IB., AC. Aguiar,
CC.
Oliveira, EG.
chemical composition and sensory evaluation of horse meat. S. Afr. J. anim. Sci. 39
dan
Harapan,
Wood JD., RI. Richardson, GR. Nute, AV. Fisher, MM. Campo, E. Kasapidou, PR. Sheard, & M. Enser. 2004. Effects of fatty
(4): 328 – 332. van Weers, D. 1979. Notes on Southeast Asian porcupines (Hystricidae, Rodentia). IV. On
acids on meat quality: a review. Meat Sci. 66 (1):21-32.
the taxonomy of the subgenus Acanthion F.
Zotte, AD. & Z. Szendrő. 2011. The role of rab-
Cuvier, 1823, with notes on the other taxa of the family. Beaufortia 29:215–272.
bit meat as functional food. Meat Sci. 88: 319–331
Warsono IU. 2009. Sifat biologis dan karakteristik
karkas
dan
daging
(Echymipera kalubu). [Disertasi]. Pasca Sarjana.
bandikut Sekolah
Bogor : Institut Pertanian
325
Jurnal Biologi Indonesia 9(2):327-331 (2013)
TULISAN PENDEK
Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju Deforestasi Hutan Mangrove di Indonesia (Resolution to the Ambiguities in Estimation Area and Rate of Mangrove Deforestation in Indonesia) Suyadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, E-mail:
[email protected] Memasukkan: Juli 2012, Diterima: September 2012
Indonesia menempati peringkat pertama
Makalah ini membahas tentang kerancuan
dalam kekayaan ekosistem mangrove, yaitu sekitar
perkiraan luas dan laju deforestasi hutan man-
27% luas mangrove dunia, dan 75% mangrove di Asia ada di Indonesia. Mangrove ditemukan ham-
grove dengan cara mengkaji secara cermat, kritis, dan proposional terhadap berbagai sumber
pir di seluruh kepulauan Indonesia (Spalding dkk,
pustaka. Pembahasan meliputi tiga hal sebagai
1996). Meskipun demikian, luas hutan mangrove
berikut:
di
penurunan
”mangrove” dan ”deforestasi” yang didefinisikan
(deforestasi) disebabkan oleh pengalihan pe-
dengan arti berbeda-beda. Kedua, mengkaji hasil-
runtukan (konversi) hutan mangrove dan pemanfaatan mangrove yang tidak berkelanjutan.
hasil penelitian dan publikasi ilmiah mengenai perbedaan perkiraan luas dan laju deforestasi hu-
Studi dan publikasi mengenai perkiraan
tan mangrove termasuk metode penghitungan
luas dan laju deforestasi di Indonesia telah cukup
luas dan laju deforestasi. Ketiga, menawarkan pe-
banyak. Namun, banyak perkiraan luas dan laju
doman-pedoman
deforestasi hutan mangrove di Indonesia sangat bervariasi dan menghasilkan peta yang kurang
penelitian mengenai luas dan laju deforestasi hutan mangrove.
Indonesia
telah
mengalami
pertama
yaitu
dasar
menelaah
untuk
istilah
memperbaiki
akurat. Perkiraan luas hutan mangrove di Indonesia mulai yang rendah yaitu 2.4 juta ha
Kerancuan Definisi Istilah Mangrove dan
(Departemen Kehutanan 1997) hingga yang
Deforestasi
tertinggi 4,5 juta ha (Spalding dkk, 1996). Sementara itu Giesen (1993) memperkirakan luas
Beberapa ahli biologi konservasi mengetahui bahwa istilah ”mangrove” seringkali
hutan mangrove Indonesia 2,5 juta ha. Mengingat
didefinisikan secara berbeda-beda dan tidak
banyaknya keberagaman tersebut, maka perkiraan
konsisten. Penggunaan istilah ”mangrove” yang
luas dan laju deforestasi hutan mangrove seolah-
tidak konsisten mengakibatkan interpretasi data
olah hanya sebagai perkiraan semi ilmiah “semi-
tumpang tindih, dan tidak tepat dan benar-benar
educated guesses”. Kerancuan informasi luas dan laju deforestasi dan peta yang kurang akurat terse-
mengaburkan permasalahannya. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989)
but dapat menyebabkan kebingunan dalam
mendefinisikan mangrove sebagai tumbuhan yang
perencanaan konservasi sehingga perlindungan
hidup di daerah pasang surut, sebagai komunitas
hutan mangrove menjadi tidak efektif.
tumbuhan
vaskuler
termasuk
jenis-jenis 327
Suyadi.
tumbuhan yang terdapat di pinggiran bakau
Hasil kajian menunjukan bahwa terdapat
seperti formasi Barringtonia dan formasi Pes-
beberapa perbedaan dalam penggunaan istilah
caprae. Jika istilah ”mangrove” digunakan untuk seluruh komunitas tumbuhan vaskular yang
”deforestasi”. Pertama, ”deforestasi” berarti hilangnya areal hutan secara permanen atau
berada di daerah pantai baik mangrove sejati (true
sementara. F.A.O (1990) dan World Bank (1990)
mangrove)
menyatakan bahwa hilangnya areal hutan secara
maupun
mangrove
ikutan
(false
mangrove) seperti definisi di atas maka luas
permanen
mangrove menjadi sangat besar. Sementara itu,
deforestasi. Jika menggunakan istilah tersebut,
jika definisi istilah ”mangrove” hanya untuk bakau/mangrove sejati, atau lebih spesifik lagi
maka kematian mangrove secara alami dan perladangan tradisional yang dilakukan
yaitu untuk Rhizophora spp saja maka luas hutan
masyarakat secara gilir balik (ladang berpindah)
mangrove menjadi sangat kecil.
yang akan kembali beregenerasi menjadi hutan
ataupun
sementara
merupakan
Belum adanya kesepakatan mengenai
merupakan deforestasi. Dengan definisi seperti
istilah ”mangrove” menyebabkan banyak penulis yang menggunakan istilah ”mangrove” dengan
itu, kawasan yang mengalami deforestasi secara keseluruhan menjadi sangat besar.
interpretasi
yang
tidak
Kedua, terdapat dualisme arti ”deforestasi”
konsisten. Rusila Noor dkk (2006) menggunakan
yaitu hilangnya areal hutan untuk segala macam
istilah ”mangrove” dengan mengacu pada habitat
penggunaan, dan hilangnya areal hutan yang
yaitu daerah pantai. Sementara itu, Soerianegara (1987) dan Pulumahuny (1997) menggunakan
tidak menghasilkan kayu. Apabila pengertian kedua yang diakui, maka kegiatan konversi lahan
istilah ”mangrove” sebagai pengganti istilah
untuk tambak dan untuk pemukiman termasuk
bakau. Penggunaan istilah ”mangrove” yang tidak
deforestasi, sedangkan pengambilan kayu untuk
konsisten juga menyebabkan permasalahan dalam
keperluan komersil tidak termasuk deforestasi
interpretasi
menimbulkan
karena hutan akan kembali tumbuh (recovery)
kerancuan. Akibatnya, beberapa peneliti ada yang mengikutsertakan mangrove kedalam analisa luas
seperti jenis Acrostocum sp (Abdulhadi & Suhardjono 1994). Ketiga, ”deforestasi” berarti
dan laju deforestasi hutan tropis dataran rendah
hilangnya areal hutan termasuk berbagai ciri-ciri
(hutan
kelengkapan hutan (forest atributes) misalnya
data
terestrial),
berbeda-beda
sehingga
namun
ada
dan
pula
yang
memisahkannya secara spesifik.
kelebatan, struktur, dan komposisi spesiesnya.
Sayer dan Whitmore (1991) dan Grainger (1993) menyatakan kesulitan membuat
Saharjo (1994) menunjukan bahwa bila menyangkut areal hutan saja, luas areal hutan
perbandingan perkiraan luas areal hutan dan laju
yang hilang lebih kecil jika dibandingkan dengan
hilangnya areal hutan secara nasional dan
hilangnya ciri kelengkapan hutan.
internasional karena dipakainya definisi-definisi yang berbeda atas istilah-istilah dan suatu konsep
Penyebab Perbedaan Perkiraan Luas dan Laju
dari istilah ”deforestasi”. Penggunaan istilah ”deforestasi” yang kurang jelas dan penggunaan
Deforestasi Perbedaan perkiraan luas hutan mangrove
yang tidak konsisten mengakibatkan interpretasi
dipengaruhi oleh beberapa hal sebagai berikut.
data menjadi berbeda-beda, sehingga estimasi luas
Pertama, sedikit sekali penghitungan luas hutan
area dan laju deforestasi sangat beragam.
mangrove yang berdasarkan pada data yang
328
Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju Deforestasi Hutan
akurat, bahkan data kadaluarsa sering dijadikan
keterbatasan alat sensor satelit seperti adanya
acuan berulang-ulang, misalnya Burdbridge &
obyek yang tidak terpantau akibat adanya awan
Koesoebiono (1980) dan F.A.O (1982). Giesen (1993) menghitung luas mangrove berdasarkan
(Turner et al, 2001). Perkiraan laju deforestasi di Indonesia juga
seri RePPProT (1985-1989) dari peta Status
sangat beragam, mulai 263.000 ha per tahun
Hutan dan Tata Guna Lahan dan Sistem Lahan
sampai 1.315.000 ha per tahun (World Bank,
yang diproduksi oleh Departemen Transmigrasi.
1994). Salah satu kendala yang dihadapi dalam
Giesen (1993) memasukan areal non magrove
memperkirakan laju deforestasi hutan mangrove
yang berada di luar atau berdekatan dengan kawasan mangrove menjadi hutan mangrove
dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh adalah keterbatasan data dasar atau data
karena di anggap dahulu merupakan hutan
rentang waktu (time series) perubahan tutupan
mangrove.
mangrove. Fuller dkk (2004) mencatat bahwa
Pendugaan
semacam
ini
dapat
menyebabkan luasan areal mangrove menjadi
permasalahan
sangat besar dan tidak relevan. Sementara itu, Dick (1991) mengamati keterbatasan data yang
memperkirakan laju deforestasi adalah pembuatan peta dengan menggunakan skala yang tidak
lebih otentik (data lapangan) dan menyimpulkan
sesuai, gambar yang tidak seragam, metode
bahwa perkiraan luas dan laju deforestasi
penciptaan gambar yang berbeda, dan perbedaan
merupakan “perkiraan semi-intelek”.
rentang waktu yang pendek. Selain itu, perkiraan
Penyebab kedua yaitu perbedaan metoda yang digunakan dalam menduga luasan hutan
laju deforestasi hanya menghitung jumlah total hilangnya tutupan areal hutan dan tidak
mangrove. Pendugaan luas hutan mangrove
mempertimbangkan perbaikan kondisi tutupan
nasional kebanyakan berdasarkan data-data yang
hutan dan pembentukan lahan baru ”tanah
diperoleh dari tingkat wilayah, baik tingkat pulau,
timbul” dan faktor-faktro lain misalnya abrasi dan
kabupaten maupun propinsi, dimana metode
pengaruh pasang-surut.
pengambilan data dan cara penghitungannya berbeda-beda dan datanya juga diambil pada
Pedoman dalam Perkiraan Luas dan Laju
tahun yang berbeda-beda pula (Rusila Noor dkk,
Deforestasi
2006).
yang
dihadapi
dalam
Usaha-usaha untuk memperkiraka luas Salah satu respons terkini para ahli biologi
areal hutan dan laju penurunan luas hutan
konservasi dalam memperkirakan luas areal mangrove yaitu dengan menggunakan teknologi
mangrove hendaknya didasari pemahaman kesepakatan pada definisi istilah-istilah kunci yang
penginderaan jauh (remote sensing). Fuller dkk
jelas dan dipakai secara konsisten dalam segala
(2004)
luas
aspek pengukuran luas dan laju deforestasi hutan
deforestasi dengan teknologi penginderaan jauh
mangrove. Karena tidak di semua wilayah, antara
menemui beberapa masalah karena citra yang
mangrove sejati dan mangrove ikutan dapat
didasari dengan metode penciptaan yang berbedabeda, hal ini dapat menyebabkan adanya
dibedakan dengan jelas melalui penampakan citra penginderaan jauh, maka di rekomendasikan
kesalahan dalam menginterpretasi gambar karena
dalam perkiraan luas dan laju deforestasi lebih
adanya perbedaan ketajaman, tekstur atau warna
baik menggunakan definisi ”mangrove” seperti
sebagai luas tutupan areal mangrove. Banyak
yang diusulkan oleh Tomlison (1986) dan
mencatat
bahwa
penentuan
329
Suyadi.
didefinisikan
Sebaiknya menggunakan gambar-gambar yang
sebagai seluruh tumbuhan vaskuler di daerah
diambil pada waktu yang lalu yang cukup tua dan
pantai baik mangrove sejati maupun mangrove ikutan.
gambar-gambar yang baru yang cukup mutakhir yang menangkap fenomena baru yang relevan.
Wightman
(1989),
Definisi
mangrove
”deforestasi”
yang
di
Hal ini dimaksudkan agar perbedaan tutupan
rekomendasikan adalah yang dipakai oleh F.A.O
hutan
(1990) dan F.A.O (1996) yaitu hilangnya areal
menghindari
tutupan
ataupun
perbedaan ketajaman, tekstur atau warna sebagai
sementara namun tetap memberikan perhatian pada degradasi hutan dan perbaikan kondisi
perubahan tutupan mangrove maka metode penciptaan gambar harus sama. Analisis laju
tutupan hutan. Degradasi didefinisikan sebagai
perubahan
”berkurangnya areal hutan” dan proses perbaikan
memberikan perhatian yang proposional pada
kondisi hutan (amelioration) di definisikan sebagai
permasalahan degradasi hutan, perbaikan kondisi
”peningkatan kelebatan/tutupan areal hutan” (F.A.O 1996). Meskipun demikian, kita
hutan, dan pembentukan lahan hutan baru (tanah timbul). Kondisi-kondisi seperti abrasi, pengaruh
dapat menggunakan gambar dengan resolusi dan
pasang-surut,
skala yang tinggi untuk memperkirakan luas dan
diperhatikan. Pengetahuan dasar mengenai ciri-
laju deforestasi hutan mangrove secara lebih
ciri wilayah yang dikaji (misalnya: oseanografi,
spesifik misalnya untuk jenis tertentu. Penentuan luas hutan mangrove dengan
geologi, ekologi), demografi, dan ciri-ciri sosial para pelaku perubahan tutupan hutan juga
menggunakan
penting untuk diketahui. Di sarankan untuk
hutan
secara
teknologi
permanen
penginderaan
jauh
dapat
dilihat
cukup
interpretasi
tutupan
kematian
yang
salah
hutan
alami
Untuk dari
hendaknya
juga
selalu
gambar yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk
terkini dalam penaksiran perubahan tutupan
menghindari
hutan dan spesifikasi teknisnya.
yang
salah
dari
perkembangan
perlu
hendaknya didasari dengan metode penciptaan interpretasi
mengikuti
jelas.
metodologi
perbedaan ketajaman, tekstur atau warna sebagai tutupan mangrove. Mangrove di alam bersifat
Dapat di simpulkan bahwa usaha dalam memperkirakan luas dan laju deforestasi hutan
dinamik dan periodik yang dimanifestasikan
mangrove di masa mendatang hendaknya di da-
dalam bentuk fisik yaitu tutupan mangrove yang
sarkan pada pedoman-pedoman berikut: 1) defi-
dapat
sehingga
nisi istilah-istilah dan konsep kunci yang jelas dan
pengambilan gambar lebih baik dilakukan pada waktu yang sama. Selain itu, data penginderaan
dipakai secara konsisten, 2) menggunakan metode yang sama dalam menciptakan gambar satelit dan
jauh perlu diintegrasikan dengan hasil survei
data time series, 3) survei lapangan yang memadai
lapangan (ground thruting).
untuk menguji kebenarannya di alam, dan 4) ana-
berubah
dengan
cepat,
Penaksiran laju perubahan tutupan hutan mangrove
seharusnya
didasarkan
pada
perbandingan gambar-gambar satelit berupa data rentang waktu (time series) atas liputan lahan (land cover) pada dua atau lebih waktu yang berbeda. Data time series yang digunakan hendaknya di ambil dalam rentang waktu yang cukup lama.
330
lisa data dilakukan secara proposional. DAFTAR PUSTAKA Abdulhadi, R. & Suhardjono. 1994. The Remnant Mangroves of Sei Kecil, Simpang Hilir, West Kalimantan, Indonesia. Hydrobiologia. (285): 285-255.
Resolusi Kerancuan Perkiraan Luas dan Laju Deforestasi Hutan
Burdbridge, P.R. dan Koesoebiono. 1980. Man-
Pulumahuny,
F.S.
1997.
Studi
Komunitas
agement of Mangrove Exploitation in Indo-
Mangrove di Teluk Kayeli, Pulau Buru,
nesia. Prosiding Simposium Mangrove Environment. pp 740-760.
Kabupaten Maluku Tengah. Thesis Pasca Sarjana. Universitas Hasanuddin. Ujung
Departemen Kehutanan. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove di Indonesia. Jakarta. Dick, J. 1991. Forest land use, forest use zonation
Pandang: 5-7 Hal. Rusila
Noor,
Y.,
M.
Khazali.,
I.N.N.
Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan
and deforestation in Indonesia: a summary and
Mangrove
interpretation of existing information. Background paper to UNCED for the state Min-
International-Indonesia Program, Bogor: 2, 23-29 Hal.
istry for Population and Environment
Saharjo, B.H. 1994. Deforestation with reference
(KLH) and the Environmental Impact Man-
di
Indonesia.
Wetlands
to Indonesia. Walaceana (73):7-12
agement Agency (BAPEDAL), Jakarta. pp 27
Sayer, J.A. dan T.C. Whitmore 1991. Tropical
-32. F.A.O. 1996. Forest Resource Assessment 1990:
Moist Forest: destruction and species extinction. Biological Conservation (55):199-213
Survey of Tropical Forest Cover and Study
Soerianegara. 1987. Masalah Penentuan Batas
of Change Processes. FAO Forestry Paper
Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Prosid-
130. Food and Agriculture Organisation of
ing Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta.
the United Nations, Rome. pp 6-7, 21. F.A.O. 1990. Situation and outlook of the forestry
pp 39. Spalding, M. D., F. Blasco dan C.D. Field editor.
sector in Indonesia. Vol 1: issues, findings and
1996. World Mangrove Atlas. International
opportunities. Ministry of Forestry, Govern-
Society for Mangrove Ecosystem, Okinawa,
ment of Indonesia. Food and Agriculture
Japan.
Organisation of the United Nations, Jakarta:
Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves.
pp. 3,10. F.A.O. 1982. Management and Utilization of
Cambridge University Press, Cambridge, U.K: 419 pp.
Mangroves in Asia and the Pacific. Food and
Turner, W., E. J. Sterling, dan A. C. Janetos.
Agriculture Organisation Environment Paper
2001. Contributions of remote sensing to
3. Rome.
biodiversity conservation: a NASA approach.
Fuller, D. O., T. C. Jessup, dan A. Salim. 2004. Loss of forest cover in Kalimantan, Indone-
Conservation Biology (15): 832-834. Wightman, G.M. 1989. Mangroves of the North-
sia, since the 1997-1998 El Nino. Conserva-
ern Territory. Northern Territory Conserva-
tion Biology. (18):249-254.
tion Commission of the Northern territory,
Giesen, W. 1993. Indonesia’s Mangroves: An Update on Remaining Area and main Management Issues. Dalam Seminar “Coastal Zone Management of Small Island Ecosystem”, Ambon: 10-20 Hal. Grainger, A. 1993. Controlling Tropical Deforestation. Earthscan. London.
Palmerston, N.t., Asutralia. Botanical Bulletin No. 7. World Bank. 1994. Indonesia: Environment and Development. The World Bank, Washington, DC. World Bank. 1990. Indonesia: sustainable development of forests, land and water. The World Bank, Washington, DC: xx, xxi, 3, 34 pp. 331
Jurnal Biologi Indonesia 9(2): 2013
ERATA Jurnal Biologi Indonesia 9(1) 2013 Daftar isi Tertulis: Deforestation and is Implications to the Population of a Key Species in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra Suyadi, IN. Surati Jaya, Antonius B. Wijanarto & Haryo T. Wibisono Seharusnya Deforestation and it is Implications for Sumatran tigers in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra Suyadi, I Nengah Surati Jaya, Antonius B. Wijanarto &Haryo Tabah Wibisono
11
Jurnal Biologi Indonesia 9 (2): 2013
PANDUAN PENULIS
Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Naskah disusun dengan urutan: JUDUL (bahasa Indonesia dan Inggris), NAMA PENULIS (yang disertai dengan alamat Lembaga/ Instansi), ABSTRAK (bahasa Inggris, maksimal 250 kata), KATA KUNCI (maksimal 6 kata), PENDAHULUAN, BAHAN DAN CARA KERJA, HASIL, PEMBAHASAN, UCAPAN TERIMA KASIH (jika diperlukan) dan DAFTAR PUSTAKA. Penulisan TabelDAN GAMBAR ditulis di lembar terpisah dari teks. Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 maksimum 15 halaman termasuk gambar, foto, dan tabel disertai CD. Batas dari tepi kiri 3 cm, kanan, atas, dan bawah masing-masing 2,5 cm dengan program pengolah kata Microsoft Word dan tipe huruf Times New Roman berukuran 12 point. Setiap halaman diberi nomor halaman secara berurutan. Gambar dalam bentuk grafik/diagram harus asli (bukan fotokopi) dan foto (dicetak di kertas licin atau di scan). Gambar dan Tabel di tulis dan ditempatkan di halaman terpisah di akhir naskah. Penulisan simbol a, b, c, dan lain-lain dimasukkan melalui fasilitas insert, tanpa mengubah jenis huruf. Kata dalam bahasa asing dicetak miring. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi sebanyak 3 eksemplar (2 eksemplar tanpa nama dan lembaga penulis). Penggunaan nama suatu tumbuhan atau hewan dalam bahasa Indonesia/Daerah harus diikuti nama ilmiahnya (cetak miring) beserta Authornya pada pengungkapan pertama kali. Pustaka didalam teks ditulis berurutan secara abjad. Contoh penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut : Jurnal : Hara, T., JR. Zhang, & S. Ueda. 1983. Identification of plasmids linked with polyglutamate production in B. subtilis. J. Gen. Apll. Microbiol. 29: 345-354. Buku : Chaplin, MF. & C. Bucke. 1990. Enzyme Technology. Cambridge University Press. Cambridge. Bab dalam Buku : Gerhart, P. & SW. Drew. 1994. Liquid culture. Dalam : Gerhart, P., R.G.E. Murray, W.A. Wood, & N.R. Krieg (eds.). Methods for General and Molecular Bacteriology. ASM., Washington. 248-277. Abstrak : Suryajaya, D. 1982. Perkembangan tanaman polong-polongan utama di Indonesia. Abstrak Pertemuan Ilmiah Mikrobiologi. Jakarta . 15 –18 Oktober 1982. 42. Prosiding : Mubarik, NR., A. Suwanto, & MT. Suhartono. 2000. Isolasi dan karakterisasi protease ekstrasellular dari bakteri isolat termofilik ekstrim. Prosiding Seminar nasional Industri Enzim dan Bioteknologi II. Jakarta, 15-16 Februari 2000. 151-158. Skripsi, Tesis, Disertasi : Kemala, S. 1987. Pola Pertanian, Industri Perdagangan Kelapa dan Kelapa Sawit di Indonesia. [Disertasi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Informasi dari Internet : Schulze, H. 1999. Detection and Identification of Lories and Pottos in The Wild; Information for surveys/Estimated of population density. http//www.species.net/primates/loris/lorCp.1.html.
12