DISTRIBUSI IKATAN PEMBULUH, SIFAT FISIS MEKANIS BILAH BAMBU DAN BAMBU LAMINASI DUA LAPIS
DEA DARA AUGISTYRA
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
DISTRIBUSI IKATAN PEMBULUH, SIFAT FISIS MEKANIS BILAH BAMBU DAN BAMBU LAMINASI DUA LAPIS
DEA DARA AUGISTYRA E24061888
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
Vascular Bundle Distribution, Physical and DHH
Mechanical properties of Bamboo and Two Layers Bamboo Laminate
1)
by: Dea Dara Augistyra, Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si, 3) Atmawi Darwis, S.Hut, M.Si 2)
INTRODUCTION. Bamboo is potentially subtitutes wood use in order to decrease the future demand of wood. Each bamboo has unique anatomical structure. Vascular bundle is one of anatomical structure which mainly determines the bamboo characteristic. Therefore, it is necessary to understand the anatomical properties of bamboo to determine its physical and mechanical properties. ANALYSIS AND METHOD. Vascular bundle is counted from its microscopic photograph by Motic Images Plus 2.0 ML software. Physical properties testing are moisture content, density and specific gravity. While mechanical properties tested based on a modified ASTM D143-94. Two layers bamboo laminate made from bamboo strips and glued with epoxy adhesive. Correlation analysis was conducted for data analysis. RESULT AND DISCUSSION. Vascular bundle distribution, maximum tensile stress, MOE and MOR are higher in internode than node. Vascular bundle density is more quantity but smaller size from inside to outside. Dendrocalamus asper has the highest percentage area of vascular bundle and mechanical properties, and lowest moisture content. The best two layers bamboo laminate is outer to outer laminate. KEYWORDS : bamboo, physical and mechanical properties, two layers bamboo laminate, vascular bundle.
1)
Student of Forest Products Department, Faculty of Forestry, IPB
2)
Lecturer of Forest Products Department, Faculty of Forestry, IPB
3)
Lecturer of Forest Engineering, School of Life Science and Technology , ITB
RINGKASAN DEA DARA AUGISTYRA. Distribusi Ikatan Pembuluh, Sifat Fisis Mekanis Bilah Bambu dan Bambu Laminasi Dua Lapis . Di bawah bimbingan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si dan Atmawi Darwis, S.Hut, M.Si. Bambu memiliki potensi untuk menggantikan kayu dalam penggunaannya dan diharapkan di masa yang akan datang tekanan permintaan terhadap kayu akan semakin berkurang. Penggunaan bambu memiliki banyak keunggulan diantaranya pertumbuhannya cepat, mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap angin dan gempa, harganya murah, dan elastis. Secara anatomi setiap jenis bambu memiliki komponen anatomi yang khas. Ikatan pembuluh (vascular bundle) merupakan salah satu komponen anatomi pada bambu yang menentukan sifat bambu. Oleh karena itu, perlu untuk mengetahui sifat-sifat bambu sebelum menggunakannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi ikatan pembuluh bilah bambu pada ruas, buku dan arah vertikal; mengetahui sifat fisis bilah bambu; membandingkan kekuatan tarik bilah bambu pada ruas dan buku, arah vertikal maupun horizontal; membandingkan kekuatan lentur pada ruas dan buku bilah bambu pada arah vertikal; dan mencari susunan bambu laminasi dua lapis yang paling baik. Penelitian ini menggunakan bambu tali, bambu betung dan bambu andong. Ketiga jenis bambu tersebut diambil bagian pangkal, tengah dan ujung pada ruas maupun bukunya. Distribusi ikatan pembuluh dilakukan dengan cara menghitung jumlah dan luasnya pada bidang penampang lintang. Pengujian sifat fisis yang dilakukan adalah perhitungan kadar air, kerapatan, dan berat jenis. Sampel pengujian sifat mekanis dibuat berdasarkan ASTM D 143-94 yang dimodifikasi. Bambu laminasi dua lapis dibuat dari bagian arah horizontal dengan menggunakan perekat epoxy. Persentase luas ikatan pembuluh bilah bambu rata-rata sebesar 67,83% pada ruas dan 53,78% pada buku. Kadar air bambu yang diuji merupakan kadar air kering udara, yaitu rata-rata sebesar 10,80%. Kerapatan dan berat jenis ratarata ketiga jenis bambu sebesar 0,66 g/cm3 dan 0,59. Tegangan tarik maksimum rata-rata pada ruas bambu adalah 3.241 kg/cm² dan pada buku 1.598 kg/cm². MOE dan MOR pada ruas bambu rata-rata sebesar 159.332 kg/cm² dan 1.278 kg/cm2 sedangkan pada buku rata-rata sebesar 71.124 kg/cm² dan 834 kg/cm2. MOE dan MOR pada bambu laminasi rata-rata adalah 144.729 kg/cm² dan 828 kg/cm². Bambu betung mempunyai persentase luas ikatan pembuluh dan sifat mekanis yang paling tinggi tetapi kadar airnya paling rendah. Dari hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa distribusi ikatan pembuluh, tegangan tarik maksimum, MOE dan MOR pada ruas bambu lebih besar daripada buku. Distribusi ikatan pembuluh semakin banyak jumlahnya dan semakin kecil ukurannya dari bagian dalam ke luar (tepi). Bambu laminasi dua lapis yang paling baik adalah lamina yang disusun dari bagian luar dengan luar (lamina LL).
Kata kunci : bambu, ikatan pembuluh, sifat fisis dan mekanis, laminasi.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Distribusi Ikatan Pembuluh, Sifat Fisis Mekanis Bilah Bambu dan Bambu Laminasi Dua Lapis“ adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Agustus 2012
Dea Dara Augistyra NRP E24061888
LEMBAR PENGESAHAN Judul Penelitian
: Distribusi Ikatan Pembuluh, Sifat Fisis Mekanis Bilah Bambu dan Bambu Laminasi Dua Lapis
Nama
: Dea Dara Augistyra
NIM
: E24061888
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si
Atmawi Darwis, S.Hut, M.Si
NIP. 19760212 200012 1 002
NIP. 111000012
Mengetahui, Kepala Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc NIP. 1966 0212 199103 1 002
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Illahi rabbi Allah Subhanallahu Wa Ta’ala, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dengan judul “Distribusi Ikatan Pembuluh, Sifat Fisis Mekanis Bilah Bambu dan Bambu Laminasi Dua Lapis” bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai distribusi ikatan pembuluh, sifat fisis dan mekanis pada ketiga jenis bambu, serta mencari susunan bambu laminasi dua lapis yang paling baik. Melalui penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan bahan baku bambu sebagai substitusi kayu. Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan informasi yang berguna dalam pemanfaatan bambu. Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih perlu dikembangkan lagi bagi kesempurnaan penelitian selanjutnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca dan masyarakat pada umumnya.
Bogor, Agustus 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 17 Agustus 1989. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari ayah Herwan Jaya dan Ibu Dewi Mariati. Pada tahun 2006 penulis lulus dari Sekolah Menengah Atas Insan Kamil Bogor dan pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Tahun 2006 penulis mengambil program studi Teknologi Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan sebagai bagian Major dan pada tahun 2009 penulis memilih Rekayasa Desain dan Bangunan Kayu sebagai bidang keahlian. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan yakni menjadi anggota FORCES (Forum for Scientific Studies) selama tahun 2006-2007, staf divisi keskretariatan kepanitiaan KOMPAK 2008, staf divisi medis kepanitiaan BCR (Bina Corps Rimbawan) 2008, staf divisi kesekretariatan PIKNAS (Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional) 2008 dan staf divisi kimia hasil hutan HIMASILTAN (Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan) 20082009. Penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktek kerja lapang, antara lain PPEH (Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan) di Kamojang-Sancang tahun 2008, PPH (Praktek Pengelolaan Hutan) di Hutan Pendidikan Gunung Walat tahun 2009, PKL (Praktek Kerja Lapang) di PGT (Pabrik Gondorukem dan Terpentin) Sindangwangi KBM (Kesatuan Bisnis Mandiri) Industri Kayu dan Non Kayu Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten di Nagrek, Bandung tahun 2010. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dalam bidang Rekayasa Desain dan Bangunan Kayu dengan judul “Distribusi Ikatan Pembuluh, Sifat Fisis Mekanis Bilah Bambu dan Bambu Laminasi Dua Lapis”
dibawah bimbingan Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si dan Atmawi
Darwis, S.Hut, M.Si.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terimakasih dan penghargaan setinggitingginya penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Effendi Tri Bahtiar, S.Hut, M.Si dan Bapak Atmawi Darwis, S.Hut, M.Si yang telah memberikan bantuan, arahan, nasihat dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. 2. Orang tua yang telah memberikan kasih sayang, semangat, doa dan restu serta pengorbanannya baik moral maupun material kepada penulis. Kakak dan adik yang turut memberikan motivasi. 3. Seluruh dosen dan staf Departemen Hasil Hutan yang telah membantu penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan studi ini. 4. Bu Esti, Muhamad Irfan, Pak Kadiman, Pak Suhada, dan Pak Mahdi sebagai laboran yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian. 5. Dedy, Ditha, Ghani, Ichsan, Okky yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Ucha, Lufi, Nana, Eli, Mina, Ciwit dan teman-teman SELEKTA lain atas dukungannya kepada penulis. 7. Kawan-kawan THH 43: Yomi, Jule, Devil, Imam, Mamo, Ricky, Jalu, Baso, Ferry, Ammar, Ummu, Wulan dan semua teman mahasiswa yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala bantuan, dukungan, dan kebersamaannya. 8. Semua orang yang selalu memberikan dukungan, kasih sayang, dan bantuannya kepada penulis.
Bogor, Agustus 2012 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ....................................................................................................... i DAFTAR TABEL .............................................................................................. iii DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... iv BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1 1.2 Tujuan ........................................................................................................ 2 1.3 Manfaat ........................................................................................................ 2 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bambu ....................................................................................................... 3 2.2 Sifat Anatomis Bambu .............................................................................. 4 2.2.1 Ikatan Pembuluh (Vascular Bundle)................................................ 5 2.2.2 Serat ................................................................................................. 7 2.2.3 Parenkim .......................................................................................... 7 2.3 Sifat Fisis Bambu ...................................................................................... 7 2.4 Sifat Mekanis Bambu ................................................................................ 8 2.5 Jenis Bambu yang Digunakan ................................................................... 9 2.5.1 Bambu Andong ................................................................................ 9 2.5.2 Bambu Betung ................................................................................. 9 2.5.3 Bambu Tali ..................................................................................... 10 2.6 Bambu Laminasi ....................................................................................... 10 2.7 Perekat Epoxy ........................................................................................... 11 BAB III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................... 12 3.2 Bahan dan Alat ......................................................................................... 12 3.3 Metode Penelitian..................................................................................... 12 3.3.1 Persiapan Bahan ........................................................................... 12 3.3.2 Pengukuran Dimensi .................................................................... 12 3.3.3 Anatomi Makroskopik ................................................................. 13 3.3.4 Pengujian Sampel ......................................................................... 13
ii
3.3.4.1 Kekuatan Lentur .................................................................... 13 3.3.4.2 Kekuatan Tarik ...................................................................... 14 3.3.4.3 Kadar Air ............................................................................... 15 3.3.4.4 Kerapatan dan Berat Jenis ..................................................... 15 3.3.5 Pembuatan Bambu Laminasi........................................................ 16 3.3.6 Pengujian Bambu Laminasi .......................................................... 16 3.3.7 Analisis Data ................................................................................. 16 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ..........................................................................................................17 4.1.1 Ikatan Pembuluh Bambu .................................................................17 4.1.2 Sifat Fisis Bambu.............................................................................26 4.1.3 Sifat Mekanis Bambu ......................................................................28 4.2 Pembahasan ..............................................................................................33 4.2.1 Distribusi Ikatan Pembuluh Bambu .................................................33 4.2.2 Sifat Fisis Bambu.............................................................................34 4.2.2 Sifat Mekanis Bambu ......................................................................35 4.2.3 Susunan Bambu Laminasi ...............................................................41 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...............................................................................................44 5.2 Saran .......................................................................................................44 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................45 LAMPIRAN ......................................................................................................47
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1.
Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas bambu tali .............. 19
2.
Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada buku bambu tali ............. 19
3.
Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas bambu betung......... 22
4.
Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada buku bambu betung ....... 22
5.
Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas bambu andong ........ 25
6.
Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada buku bambu andong ...... 25
7.
Ringkasan persentase ikatan pembuluh bambu yang diteliti ........................ 26
8.
Ringkasan kadar air, kerapatan, dan berat jenis bambu tali ........................... 26
9.
Ringkasan kadar air, kerapatan, dan berat jenis bambu betung ..................... 27
10. Ringkasan kadar air, kerapatan, dan berat jenis bambu andong. ................... 27 11. Ringkasan uji tarik bilah bambu tali, betung, dan andong ............................. 28 12. Ringkasan uji tarik arah horizontal jenis bambu tali ..................................... 29 13. Ringkasan uji tarik arah horizontal jenis bambu betung ................................ 29 14. Ringkasan uji tarik arah horizontal jenis bambu andong ............................... 29 15. Ringkasan uji lentur bilah bambu tali ............................................................ 30 16. Ringkasan uji lentur bilah bambu betung ...................................................... 30 17. Ringkasan uji lentur bilah bambu andong ..................................................... 31 18. Ringkasan uji lentur lamina bambu tali ......................................................... 31 19. Ringkasan uji lentur lamina jenis bambu betung ........................................... 32 20. Ringkasan uji lentur lamina jenis bambu andong .......................................... 32
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1.
Tipe ikatan pembuluh pada bambu ................................................................. 5
2.
Metode pembebanan satu titik (one point loading) ....................................... 13
3.
Pengujian kekuatan tarik tanpa buku ............................................................. 14
4.
Pengujian kekuatan tarik dengan buku .......................................................... 14
5.
Skema pembuatan sampel kekakuan, kekuatan lentur dan tarik .................... 15
6.
Posisi bidang rekat bambu laminasi ............................................................... 16
7.
Foto maksroskopis pada ruas bambu tali ....................................................... 17
8.
Foto maksroskopis pada buku bambu tali ...................................................... 18
9.
Foto maksroskopis pada ruas bambu betung ................................................. 20
10. Foto maksroskopis pada buku bambu betung ................................................ 21 11. Foto maksroskopis pada ruas bambu andong ................................................ 23 12. Foto maksroskopis pada buku bambu andong ............................................... 24 13. Proporsi luas Pembuluh 3 jenis bambu pada ruas dan buku .......................... 33 14. Proporsi luas pembuluh 3 jenis bambu pada arah vertikal............................. 34 15. Kadar air 3 jenis bambu ................................................................................. 35 16. Kerapatan dan BJ 3 jenis bambu .................................................................... 35 17. Tegangan tarik maksimum ruas 3 jenis bambu pada ruas dan buku .............. 36 18. Tegangan tarik maksimum ruas 3 jenis bambu pada arah horizontal ............ 37 19. Tegangan tarik maksimum 3 jenis bambu pada arah vetikal ......................... 38 20. Nilai MOE 3 jenis bambu pada ruas dan buku .............................................. 39 21. Nilai MOE 3 jenis bambu pada arah vertikal ................................................. 40 22. Nilai MOR 3 jenis bambu pada ruas dan buku .............................................. 40 23. Nilai MOR 3 jenis bambu pada arah vertikal ................................................ 41 24. Nilai MOE bambu laminasi pada 3 jenis bambu ........................................... 42 25. Nilai MOR bambu laminasi pada 3 jenis bambu ........................................... 42 26. MOE dan MOR pada Susunan Bambu Laminasi .......................................... 43
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Secara total kebutuhan kayu per tahun di Indonesia sekitar 75 juta meter
kubik, sementara kayu yang dapat ditebang hanya sekitar 20 juta meter kubik atau hanya memenuhi kurang dari sepertiga kebutuhan kayu. Kondisi kritisnya ketersediaan kayu di Indonesia dan di dunia turut dipengaruhi oleh tingginya kerusakan hutan. Tercatat, bumi kehilangan 56,3 juta hektar hutan di setiap tahunnya atau sekitar satu persen hutan yang hilang setiap 3 tahun dari total luas hutan di dunia. Kerusakan hutan di dunia sendiri mencapai 13,7 juta hektar setiap tahun. Kondisi ini juga terjadi di negara berkembang dengan angka kerusakan hutan sampai 12,9 juta hektar setiap tahun (Masbulan 2012). Ketersediaan kayu di alam yang semakin sedikit tersebut berbanding terbalik dengan kebutuhan masyarakat terhadap kayu yang semakin meningkat, apalagi ditambah dengan meningkatnya industri perkayuan dan pembangunan di sektor perumahan. Jika masih menggunakan kayu secara terus menerus, maka kerusakan hutan akan semakin meningkat dan kelangsungan hidup manusia akan semakin sulit. Untuk itu, diperlukannya bahan alternatif yang dapat menggantikan kayu terutama sebagai bahan baku konstruksi. Bambu memiliki potensi untuk menggantikan kayu dalam penggunaannya dan diharapkan di masa yang akan datang tekanan permintaan terhadap kayu akan semakin berkurang (Sulthoni 1994). Menurut Yap (1967) dalam Haris (2008), bambu merupakan salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan konstruksi pengganti kayu. Penggunaan bambu memiliki banyak keunggulan diantaranya pertumbuhannya cepat, mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap angin dan gempa, harganya murah, dan elastis. Sayangnya di Indonesia, bambu semakin tergusur oleh bahan lain seperti aluminium, plastik, baja dan beton. Hal ini bertolak belakang dengan gencarnya ilmuwan dalam memasyarakatkan bambu, seperti pertemuan rutin dalam skala regional maupun internasional (Noermalicha 2001). Purwito (2008) mengatakan bahwa kelebihan konstruksi tradisional bambu sebenarnya sudah dibuktikan pada
2
konstruksi rumah di daerah gempa, dimana pasca bencana (gempa) konstruksi rumah dengan sistem rangka bambu atau kayu masih utuh berdiri sedangkan bangunan dengan konstruksi pasangan bata atau rangka beton banyak yang runtuh. Haris (2008) menyatakan bambu tali, bambu betung dan bambu andong biasa digunakan sebagai bahan konstruksi oleh masyarakat Indonesia. Bambu adalah tumbuhan yang batang-batangnya berbentuk buluh, beruas, berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang, berimpang dan mempunyai daun buluh yang menonjol (Heyne 1987). Menurut Liese (1980), bambu dibagi menjadi bagian-bagian kecil oleh jaringan lateral, yaitu bagian buku (node) dan ruas (internode). Batang bambu terdiri atas sel parenkim, serabut dan pembuluh (Liese 1980). Secara anatomi setiap jenis bambu memiliki komponen anatomi yang khas. Ikatan pembuluh (vascular bundle) merupakan salah satu komponen anatomi pada bambu yang menentukan sifat bambu (Setiadi 2009). Menurut Liese dan Grosser (1973), berdasarkan sifat anatominya bambu dibagi ke dalam tipe ikatan pembuluh yang berbeda satu sama lain. Dengan demikian sifatnya pun akan berbeda. Sifat-sifat tersebut diketahui dengan cara melakukan penelitian terhadap ikatan pembuluh pada bambu dan menguji sifat fisis dan mekanisnya.
1.2
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi ikatan pembuluh ruas
dan buku bilah bambu pada arah vertikal dan horizontal; mengetahui sifat fisis bilah bambu; membandingkan kekuatan tarik bilah bambu pada ruas dan buku, arah vertikal maupun horizontal; membandingkan kekuatan lentur pada ruas dan buku bilah bambu pada arah vertikal; dan mencari susunan bambu laminasi dua lapis yang paling baik.
1.3
Manfaat Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai distribusi ikatan
pembuluh, sifat fisis dan mekanis bilah bambu, serta mendapatkan susunan bambu laminasi dua lapis yang paling baik.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Bambu Bambu adalah tumbuhan yang batangnya berbentuk buluh, beruas-ruas,
berbuku-buku, berongga, mempunyai cabang berimpang dan mempunyai daun buluh yang menonjol (Heyne 1987). Bambu merupakan sumberdaya hutan bukan kayu. Bambu termasuk ke dalam keluarga Gramineae, suku Bambuseae dan subfamily Bambusoideae, memiliki karakteristik seperti kayu. Bambu terdiri atas batang, akar rhizoma yang kompleks dan mempunyai sistem percabangan dan tangkai daun yang menyelubungi batang (Dransfield dan Widjaja 1995). Krisdianto et al. (2000) menyatakan bahwa tanaman bambu di Indonesia ditemukan di dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian sekitar 300 m dpl dan pada umumnya ditemukan di tempat-tempat terbuka dan bebas dari genangan air. Bambu mempunyai ruas dan buku dimana pada setiap ruas tumbuh cabang-cabang yang berukuran jauh lebih kecil dibandingkan buluhnya sendiri. Pada ruas-ruas ini tumbuh akar-akar sehingga pada bambu dimungkinkan untuk memperbanyak tanaman dari potongan-potongan setiap ruasnya disamping tunastunas rimpangnya. Di Indonesia bambu paling banyak dibudidayakan di pulau Jawa, Bali dan Sulawesi. Di antara masyarakat ketiga pulau tersebut, masyarakat pulau Jawa paling banyak menggunakan bambu. Meskipun bambu memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, pembudidayaan
secara
perkebunan belum diusahakan. Penyediaan bambu untuk memenuhi kebutuhan yang ada, masih menggantungkan diri pada hasil pekarangan (Sastrapradja et al. 1980). Bambu dapat dimanfaatkan mulai dari akar hingga daun. Akar umumnya dimanfaatkan untuk dibuat ukiran bambu, sedangkan buluh biasa dimanfaatkan untuk bahan bangunan, bahan jembatan, kerajinan tangan, keranjang, mebel, alatalat pertanian dan perikanan, alat rumah tangga, pipa air, kertas, sumpit, tusuk gigi, tusuk satai dan sebagainya. Selain itu buluh bambu juga digunakan untuk menjadi alat musik tradisional maupun alat musik bambu modern (Widjaja 2001).
4
Bambu merupakan salah satu bahan bangunan tertua yang digunakan manusia tropik. Bambu juga merupakan bahan bangunan yang sangat terkenal di Indonesia khususnya bagi masyarakat pedesaan. Bambu dipilih sebagai bahan alternatif kayu untuk bahan konstruksi bangunan karena mempunyai beberapa keunggulan, yaitu cepat tumbuh, mudah didapat, harganya murah, buluhnya panjang dan mudah diolah, serta pada arah sejajar serat mempunyai sifat mekanik yang lebih baik daripada kayu (Idris et al. 1994). Purwito (2008) mengemukakan ada beberapa kelemahan bambu seperti, rentan terhadap serangan hama perusak kayu (rayap, bubuk, dan jamur) sehingga umur pakainya pendek, rentan terhadap api, panjang dan ukurannya tidak seragam, sulit penyambungannya pada konstruksi, dan lain-lain. Lebih jauh lagi bambu oleh masyarakat lebih diidentikkan dengan kemiskinan karena desain yang ada masih sangat sederhana dan umumnya dibangun di pedesaan. Namun, kelemahan bambu tersebut sekarang sudah dapat diatasi dengan perkembangan teknologi yang ada misalnya, dengan diawetkan untuk mencegah serangan hama perusak kayu, diciptakan bermacam teknologi sambungan dengan menggunakan bambu atau bahan lain seperti kayu, plastik atau logam.
2.2
Sifat Anatomis Bambu Batang bambu terdiri atas bagian buku dan bagian ruas. Pada bagian ruas,
orientasi sel semuanya aksial tidak ada yang radial sedangkan sklerenkim pada bagian buku dilengkapi oleh sel radial. Bagian terluar terbentuk dari lapisan tunggal sel epidermis dan bagian dalam tertutup lapisan sklerenkim (Liese 1980). Batang bambu terdiri atas sekitar 50% parenkim, 40% serat dan 10% sel penghubung (sel pembuluh dan sel pembuluh tapis). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam dari batang, sedangkan serat lebih banyak pada bagian luarnya. Kisaran serat pada ruas penghubungnya antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas, sementara parenkimnya semakin berkurang (Dransfield dan Wijaya 1995).
5
2.2.1 Ikatan Pembuluh Ikatan pembuluh bambu terdiri atas xylem dan satu atau dua protoxylem yang kecil dan dua metaxylem yang besar (40-120 mikron). Pori bagian dalam dari batang lebih besar dan semakin kecil ke arah luar batang, pori dan phloem dikelilingi oleh selubung sklerenkim dan berbeda dalam bentuk, ukuran dan lokasi menurut posisi di dalam batang dan jenis bambu. Ikatan pembuluh memiliki bentuk, ukuran, susunan dan jumlah yang memberikan ciri suatu jenis bambu. Ikatan pembuluh berada di bawah kortek berbentuk bulat dalam irisan transversal. Keberadaan ikatan pembuluh bervariasi dalam jumlah dan bentuk, baik ke arah horizontal maupun ke arah aksial dari batang. Ikatan pembuluh mempunyai ukuran yang lebih kecil ke arah bagian luar batang dan semakin besar ke arah bagian dalam. Dalam batang, jumlah total ikatan pembuluh menurun dari pangkal ke bagian ujung (Liese 1980).
a
c
b
d
Gambar 1 Tipe ikatan pembuluh pada bambu, a = Tipe I, b = Tipe II, c = Tipe III, dan d = Tipe IV. Sumber: Liese dan Groser (1973).
6
Menurut Liese dan Groser (1973), pada umumnya jenis bambu mempunyai ikatan serabut (fibre bundle) yang terpisah pada sisi dalam atau sisi luar ikatan vaskular pusat. Ada empat tipe ikatan pembuluh, yaitu: a. Tipe I, ikatan pembuluh terdiri atas satu bagian yaitu ikatan pembuluh pusat (central vascular strand) yang hanya didukung oleh jaringan selubung sklerenkim dan ruang interseluler. b. Tipe II, ikatan pembuluh terdiri atas satu bagian yaitu ikatan pembuluh pusat yang hanya didukung oleh jaringan seperti selubung sklerenkim dan selubung ruang interseluler yang lebih besar dari ketiga tipe lainnya. c. Tipe III, ikatan pembuluh terdiri atas dua bagian yaitu ikatan pembuluh pusat dan satu ikatan serabut. Ikatan serabut terletak di sebelah dalam ikatan pembuluh pusat. Selubung ruang interseluler umumnya lebih kecil dari yang lain. d. Tipe IV, ikatan pembuluh terdiri atas tiga bagian yaitu ikatan pembuluh pusat dan dua ikatan serabut yang terletak di sebelah dalam dan luar dari ikatan pembuluh pusat. Pada tipe I, ikatan pembuluh memiliki kadar holoselulosa (selulosa, alfa selulosa) dan lignin yang relatif kecil, setidaknya mencerminkan jumlah serabut yang menyusun batang bambu relatif lebih sedikit sehingga bisa diduga bahwa jenis bambu pada tipe ikatan I tidak sesuai apabila digunakan sebagai bahan baku konstruksi. Jenis bambu ini juga memiliki ukuran diameter batang yang kecil sehingga tidak mampu menahan beban yang besar. Ikatan pembuluh tipe II memiliki kadar holoselulosa, alfa selulosa dan abu yang relatif lebih besar sedangkan kadar lignin relatif lebih kecil. Jumlah holoselulosa dan alfa selulosa yang tinggi bisa dijadikan penduga bahwa jumlah serat yang terkandung dalam bambu jenis ini cukup besar sehingga bambu jenis ini bisa digunakan sebagai bahan baku konstruksi. Pada
tipe III, ikatan pembuluh memiliki kadar
holoselulosa, alfa selulosa dan lignin yang relatif lebih besar sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku konstruksi. Selain itu lignin sebagai perekat alami pada kayu dan bersifat termoplastik akan membantu memperkuat ikatan antar serat dalam papan panel. Ikatan pembuluh IV memiliki kadar holoselulosa (selulosa, alfa selulosa) dan lignin yang relatif besar akan lebih optimal apabila
7
digunakan sebagai bahan baku konstruksi, industri pulp dan kertas dan turunan selulosa. Ditambah lagi ukuran diameter dan ketebalan dinding batang yang besar. Selain itu, kadar selulosa yang tinggi juga dapat menduga bahwa wilayah kristalin dalam molekul selulosa juga tinggi sehingga akan mampu menghantarkan getaran dengan baik, atau dengan kata lain bambu ini juga memiliki potensi digunakan sebagai bahan baku musik (Setiadi 2009).
2.2.2 Serat Serat di dalam batang terdapat sebagai tudung pada ikatan pembuluh dan merupakan 40-50% dari total jaringan atau 60-70% dari berat batang. Perbandingan panjang dan lebar serat bervariasi antara 150:1 dan 250:1, panjang serat tergantung dari spesies (Liese 1980). Menurut Dransfield dan Wijaya (1995), serat bambu dikarakteristikkan oleh adanya sel sklerenkim yang mengelilingi ikatan pembuluh dan dipisahkan oleh parenkim tetapi antara keduanya seringkali bertemu pada satu titik dan membentuk ikatan sklerenkim. Panjang serat tergantung jenis bambu, serat terpendek ditemukan dekat buku dan serat terpanjang pada bagian tengah ruas.
2.2.3 Parenkim Liese (1980) menyatakan bahwa jaringan dasar pada batang bambu terdiri atas sel-sel parenkim yang kebanyakan memanjang secara vertikal (100 x 20 µm) dan sel parenkim pendek yang terletak berselang-seling diantaranya. Sel parenkim panjang memiliki dinding sel lebih tebal dan mengalami lignifikasi pada awal pertumbuhan pucuk, sedangkan sel parenkim pendek berdinding tipis dengan sitoplasma yang tetap aktif serta mengalami lignifikasi walaupun telah dewasa. Sel-sel parenkim saling berhubungan satu dengan yang lain melalui noktah sederhana yang terletak pada dinding longitudinal.
2.3
Sifat Fisis Bambu Kadar air batang bambu merupakan faktor penting, dapat mempengaruhi
sifat-sifat mekanisnya dan sangat ditentukan oleh kadar air yang terdapat dalam batang bambu. Kadar air batang bambu yang segar berkisar 50-99% dan pada
8
bambu muda 80-150%, sementara pada bambu kering bervariasi antara 12-18% (Dransfield dan Widjaja 1995). Haris (2008) mengatakan semakin tinggi nilai kadar air maka kekuatan suatu bahan akan menurun. Kekuatan bambu akan meningkat dari kondisi basah ke kondisi kering udara, sehingga untuk penggunaan di lapangan diperlukan pengeringan terlebih dahulu.
2.4
Sifat Mekanis Bambu Kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan bentuk suatu bahan disebut
sebagai sifat-sifat mekanis. Kekuatan adalah kemampuan suatu bahan untuk memikul beban atau gaya yang mengenainya. Ketahanan terhadap perubahan bentuk menentukan banyaknya bahan yang dimanfaatkan, terpuntir atau terlengkung oleh beban yang mengenainya (Bowyer et al. 2007). Secara teoritis sifat-sifat mekanis bambu tergantung pada jenis, umur, kelembaban (kadar air kesetimbangan), bagian batang yang digunakan (pangkal, tengah, ujung), letak dan jaraknya ruas masing-masing (bagian ruas kurang tahan terhadap gaya tekan dan lentur) (Frick 2004). Menurut Dransfield dan Widjaya (1995), sifat kekuatan meningkat dengan adanya penurunan kadar air dan berhubungan erat dengan berat jenis. MOE (Modulus of Elasticity) bambu berhubungan secara langsung dengan jumlah serat, oleh karena itu pada batang nilai parameter ini menurun dari sisi luar menuju bagian dalam. Kisaran normal untuk bambu kering udara adalah 17.000-20.000 N/mm2 dan untuk batang segar 9.000-10.100 N/mm2. Nilai rata-rata MOR (Modulus of Rupture) adalah 0,14 x kerapatan (dalam kg/m3) untuk kondisi kering udara (KA 12%) dan 0,11 x kerapatan untuk bambu basah. Kemudian Liese (1980) mengatakan bahwa sifat mekanis bambu didasarkan pada kandungan serat yang sangat tergantung pada letak di bagian batang dan spesies. Sifat mekanis terbesar terdapat pada bambu bagian luar sedangkan yang terkecil pada bagian dalamnya, sebagai contoh kekuatan lentur bagian luar bambu 2-3 kali lebih besar dari bagian dalam bambu. Sifat mekanis bambu lebih ditentukan oleh keberadaan ikatan pembuluhnya (dimana sklerenkim terdapat di dalamnya) dan bukan pada parenkim (Liese 1980).
9
2.5
Jenis Bambu yang Digunakan
2.5.1 Bambu Andong (Gigantochloa pseudoarundinacea (Steud.) Widjaja) Bambu andong memiliki nama lokal lain, yaitu bambu gombong, pring gombong, pring andong, pring surat (Jawa), awi andong, awi gombong (Sunda). Bambu ini tersebar di seluruh pulau jawa, tumbuh di dataran rendah mencapai ketinggian 1500 m dpl dan tumbuh baik di daerah tropis yang lembab. Rumpunnya simpodial, tegak, dan padat. Bambu andong dicirikan dengan rebungnya yang hijau dengan garis-garis kuning yang tertutup bulu coklat sampai hitam, dan buluhnya lurus tinggi mencapai 7-30 m. Percabangan bambu andong terletak jauh di atas permukaan tanah, satu cabang lateral lebih besar daripada cabang lainnya, dan ujungnya melengkung. Buluh mudanya tertutup bulu coklat, dan ketika tua gundul dan buluh menjadi hijau dengan garis kuning, ruas panjangnya 40-45 cm (kadang mencapai 60 cm), berdiameter 5-13 cm, tebal dinding mencapai 20 mm. Biasanya bambu andong banyak digunakan untuk bahan bangunan, pipa air, dan alat musik tradisional. Perusahaan bambu telah menggunakannya sebagai bahan baku sumpit (Widjaja 2001).
2.5.2 Bambu Betung (Dendrocalamus asper (Schult.f.) Backer ex Heyne) Bambu betung mempunyai rumpun yang sedikit rapat. Tinggi buluhnya sampai 20 m dan berdiameter sampai 20 cm. Buku-bukunya sering mempunyai akar-akar pendek yang menggerombol. Panjang ruas 40-60 cm, dinding buluh cukup tebal sekitar 1-1½ cm. Cabang-cabang yang bercabang lagi hanya terdapat di buku-buku bagian atas. Cabang primer lebih besar dari cabang-cabang yang lain, dan sering dominan. Bambu ini dapat dijumpai dan tumbuh baik di tempattempat mulai dari dataran rendah sampai daerah ketinggian 2000 m dpl. Jenis ini akan tumbuh dengan baik bila tanahnya cukup subur, terutama di daerah yang beriklim tidak terlalu kering. Selain untuk bahan bangunan, buluhnya sering dipakai untuk tempat mengambil air, saluran air di desa-desa, penampung air aren yang disadap, dan untuk pipa penyuling air aren menjadi saguer atau sopi. Selain itu, buluhnya juga dipakai untuk membuat dinding rumah yang dianyam atau dibelah. Baik juga untuk bahan anyaman misalnya keranjang, dan tempat makanan atau tempat beras
10
seperti yang terdapat di Sumatra (Sastrapradja et al. 1980). Bambu betung mempunyai sifat fisik dan mekanik yang lebih baik daripada jenis bambu lainnya sehingga potensial untuk dikembangkan menjadi komponen struktural maupun sebagai bahan bangunan (Surjokusumo dan Nugroho 1994).
2.5.3 Bambu Tali (Gigantochloa apus (J.A. & J.H. Schultes) Kurz) Bambu tali diduga berasal dari Burma dan sekarang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Umumnya bambu tali tumbuh di dataran rendah dan dapat juga tumbuh dengan baik di daerah pegunungan sampai ketinggian 1.000 m dpl. Jenis bambu ini umumnya mempunyai rumpun yang rapat. Buluhnya mencapai tinggi
10-20
m,
berwarna
hijau
terang
sampai
kekuning-kuningan.
Percabangannya tidak sama besar. Cabang primer tumbuh dengan baik yang kemudian diikuti oleh cabang-cabang berikutnya. Pada buku-bukunya tampak adanya penonjolan dan berwarna agak kuning dengan miang coklat kehitamhitaman yang lekat. Bambu tali paling banyak diusahakan orang sebagai tanaman pekarangan di desa-desa karena kegunaannya yang bermacam-macam, antara lain sebagai bahan baku pokok dalam pembuatan kerajinan anyaman, baik yang berupa alat-alat rumah tangga maupun hiasan. Beberapa pembuat alat musik bambu ada juga yang menggunakan bahan baku dari bambu jenis ini. Beberapa ahli pernah mencoba bambu ini untuk bahan baku pembuatan kertas tetapi hasilnya kurang memuaskan sebab kertas yang dihasilkan tidak berwarna putih (Sastrapradja et al. 1980).
2.6
Bambu Laminasi Teknologi bambu laminasi pada awalnya didasari oleh pemikiran dari balok
glulam. Balok glulam dibuat dari lapisan-lapisan kayu yang relatif tipis yang dapat digabungkan dan direkatkan sedemikian rupa untuk menghasilkan balok kayu dalam berbagai ukuran dan panjang (Breyer et al. 2003). Laminasi bambu diperoleh dari pengolahan batang bambu dimulai pemotongan, perekatan dan pengempaan hingga diperoleh bentuk lamina dengan ketinggian/ketebalan yang diinginkan. Untuk beberapa hal, sifat-sifat lamina tidak jauh beda dari sifat bambu aslinya. Sifat akhir akan banyak dipengaruhi oleh banyaknya nodia/ruas yang ada
11
pada satu batang dan perekat yang dipergunakan (Widjaja 1995 dalam Febriyani 2008).
2.7
Perekat Epoxy Menurut Hartomo et al. (1992) dalam Febriyani (2008), perekat epoxy
merupakan produk sintetis termosetting dari reaksi resin poliepoxy dengan zat curing (pengeras) asam atau basa. Epoxy dapat diperoleh dalam bentuk satu atau dua komponen meliputi resin zat cair bebas pelarut, larutan, pasta resin cair, bubuk, palet dan pasta. Perekat epoxy tidak berubah kekuatannya meskipun telah bertahun-tahun dan tahan minyak, alkali, pelarut aromatik, asam, alkohol, juga panas atau cuaca dingin. Pemakaian perekat epoxy sangat luas terutama pada bahan-bahan logam, gelas, keramik, kayu, beton dan plastik termoset. Perekat epoxy memiliki beberapa kelebihan, yaitu mudah dikerjakan, praktis, efisiensinya yang tinggi dalam kekuatan, tahan air serta daya rekatnya permanen.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu dari bulan Juni hingga
Agustus 2011 di Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu, Laboratorium Peningkatan Mutu Kayu, Laboratorium Biokomposit, dan Workshop Pengerjaan Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
3.2
Alat dan Bahan Alat yang digunakan adalah gergaji mesin, pisau golok, cutter, mikroskop,
komputer, software Motic Images Plus 2.0 ML, oven, desikator, kaliper, timbangan, kempa, clamp, dan Universal Testing Machine (UTM). Sedangkan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah 3 jenis bambu, yaitu bambu betung, bambu tali, dan bambu andong yang diperoleh dari pasaran dengan panjang ± 6 meter, serta perekat epoxy.
3.3
Prosedur Penelitian
3.3.1 Persiapan Bahan Bambu dikeringkan sampai kadar air kering udara (±12%). Kemudian bambu dipotong menjadi 3 bagian, yaitu bagian ujung, tengah, dan pangkal. Masing-masing bagian dipotong buku dan ruasnya sepanjang 1,5 - 2 cm untuk pengamatan anatomi secara makroskopis. Selain itu, setiap bagian juga dipotong dan dibelah sepanjang 30 cm untuk dibuat bambu laminasi, pengujian kekuatan lentur dan kekuatan tarik.
3.3.2 Pengukuran Dimensi Sebelum dibelah, setiap ruas bambu diukur dimensinya (panjang, diameter dalam, dan diameter luar) sesuai dengan standar ISO: N22157-2004 (Laboratory Manual on Testing Methods for Determination of Physical and Mechanical Properties of Bamboo). Pengukuran panjang (p) dilakukan di empat tempat pada
13
masing-masing sampel, kemudian dirata-ratakan. Sedangkan diameter luar (D) dan dalam (d) dilakukan empat kali pada setiap sampel, dua kali pada masingmasing ujung lalu nilainya dirata-ratakan. Diameter dalam diperoleh dari pengurangan diameter luar dengan dua kali tebalnya.
3.3.3 Anatomi Makroskopis Bagian penampang lintang ruas dan buku disayat dengan cutter yang tajam dan diletakkan pada mikroskop. Sampel diamati dengan mikroskop perbesaran 10 kali, kemudian difoto dengan software Motic Images Plus 2.0 ML yang sudah terinstal di komputer. Ikatan pembuluh yang terdapat pada sampel dihitung jumlahnya dan diukur diameternya. Perhitungan dilakukan di seluruh luas penampangnya, sedangkan pengukuran diameter hanya diambil sebanyak 40-50% dari jumlah ikatan pembuluh secara acak pada masing-masing luas penampang. Luas ikatan pembuluh dihitung dengan menggunakan rumus luas lingkaran, kemudian proporsi luas (distribusi) ikatan pembuluh dihitung dengan cara menghitung luas total ikatan pembuluh dibagi dengan luas penampangnya.
3.3.4 Pengujian Sampel 3.3.4.1 Kekuatan Lentur Sampel pengujian kekuatan lentur diambil dari batang tanpa buku dan batang dengan buku. Sampel yang digunakan adalah bilah yang mengandung kulit dan matriks, berukuran panjang 30 cm dan lebar 2 cm, sedangkan tebalnya mengikuti tebal bambu. Ukuran tersebut dibuat berdasarkan ASTM D143-94 yang dimodifikasi. Pengujian dilakukan dengan menggunakan UTM merk Instron dengan metode pembebanan satu titik (one point loading) seperti Gambar 2.
Gambar 2 Metode pembebanan satu titik.
14
Dari pengujian tersebut dapat ditentukan besarnya nilai lentur statis (MOE dan MOR). Besarnya nilai lentur statis yang dihitung berdasarkan ASTM D14394:
MOR
MOE
∆
∆
Dimana: MOR = Modulus of Rupture (kg/cm2) 2
L = Jarak sangga (cm)
MOE = Modulus of Elasticity (kg/cm )
b = Lebar balok (cm)
∆y = Lenturan yang timbul (cm)
h = Tinggi balok (cm)
∆P = Beban yang diberikan (kg)
Pmaks = Beban maksimal (kg)
3.3.4.2 Kekuatan Tarik Pengujian dilakukan dengan menggunakan UTM merk Instron. Sampel pengujian kekuatan tarik dibuat dari dua batang bambu yang berbeda, yaitu batang tanpa buku (Gambar 3) dan batang yang terdapat buku (Gambar 4). Ukuran sampel dibuat berdasarkan ASTM D 143-94 yang dimodifikasi.
Gambar 3 Pengujian kekuatan tarik tanpa buku.
Gambar 4 Pengujian kekuatan tarik dengan buku.
Batang tanpa buku dibuat menjadi 4 sampel, yaitu bilah yang terdapat kulit dan matriks (a), sampel bagian luar (b), sampel bagian pusat (c), serta bagian dalam (d). Kemudian batang bambu yang terdapat buku hanya dibuat satu bilah yang terdapat kulit dan matriks. Semua bambu yang diuji dibuat menjadi ukuran panjang 30 cm dan lebar 2 cm, sedangkan tebalnya mengikuti tebal bambu.
15
Gambar 5 Skema pembuatan sampel kekuatan lentur dan kekuatan tarik.
3.3.4.3 Kadar Air Sampel pengujian kekuatan lentur dipotong bagian ujung-ujungnya menjadi ukuran panjang 2 cm dan lebar 2 cm, sedangkan tebalnya mengikuti tebal bambu. Kemudian sampel ditimbang untuk mengetahui berat awalnya, lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 103±2oC selama 24 jam. Selanjutnya didinginkan dalam desikator selama ±5 menit, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat kering tanurnya. Besarnya kadar air dihitung dengan menggunakan rumus: KA %
Dimana:
BA BKT x 100% BKT
KA = Kadar Air (%) BA = Berat Awal contoh uji (gram) BKT = Berat Kering Tanur contoh uji (gram)
3.3.4.4 Kerapatan dan Berat Jenis Penentuan kerapatan dan berat jenis dilakukan dengan menggunakan contoh uji yang sama untuk penentuan kadar air. Kerapatan merupakan perbandingan berat kering udara contoh uji dengan volume kering udaranya. Volume kering udara diperoleh dari ukuran dimensi panjang, lebar, dan tebal pada saat kering udara. Sedangkan berat jenis adalah hasil dari perbandingan antara berat kering tanur dengan volume kering udara, yang kemudian dibagi dengan kerapatan air.
16
ρ Dimana:
" # $ #
ρ
BJ
&
'() + * #
, -./
= Kerapatan kayu (gram/cm3)
Bku = Berat kering udara (gram) Vku = Volume kering udara (cm3) BKT = Berat Kering Tanur (gram) ρ air = Kerapatan air pada suhu 4oC (1 gram/cm3)
3.3.5 Pembuatan Bambu Laminasi Selain dibuat sampel untuk pengujian, bilah bambu tanpa buku juga dibuat untuk bambu laminasi dua lapis. Pembuatan bambu laminasi terdiri atas 3 bilah bambu yang dibelah menjadi dua bagian, kemudian masing-masing bilah yang telah dibelah tersebut direkatkan pada bidang luar dengan luar (tepi dengan tepi), dalam dengan dalam, dan kombinasi keduanya (Gambar 6). Laminasi bambu yang dibuat berukuran panjang 30 cm dan lebar 2 cm, sedangkan tebalnya mengikuti tebal bambu. Kulit dan matriks (yang terdapat di bagian dalam) dibuang sebelum direkat dengan perekat epoxy.
Gambar 6 Posisi bidang rekat bambu laminasi.
3.3.6 Pengujian Bambu Laminasi Bambu laminasi diuji kekuatan lentur dengan metode yang sama dengan pengujian kekuatan lentur pada bilah bambu.
3.3.7 Analisis Data Data yang diperoleh diolah dan dilakukan analisis korelasi menggunakan Microsoft Excel 2007.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil
4.1.1 Ikatan Pembuluh Bambu Foto makroskopis ruas bambu tali disajikan pada Gambar 7 dan bukunya disajikan pada Gambar 8. Foto makroskopis ruas bambu betung disajikan pada Gambar 9 dan bukunya disajikan pada Gambar 10. Kemudian foto makroskopis ruas bambu andong disajikan pada Gambar 11 dan bukunya disajikan pada Gambar 12.
Pangkal
Tengah
4,0062x2,2430 mm2
4,1125x2,9097 mm2
Ujung
Luar
4,0438x2,0872 mm2
Pusat
4,0062x2,9969 mm2
Dalam
4,0000x2,9969 mm2
4,0062x2,9969 mm2
4,0062x2,6667 mm2
Gambar 7 Foto makroskopis pada ruas bambu tali.
Ruas bambu tali didominasi oleh tipe ikatan pembuluh III, sedangkan pangkal bagian pusat dan dalam memiliki tipe ikatan pembuluh IV.
18
Pangkal
Tengah
Ujung
4,0062x2,9907 mm2
4,0125x2,2804 mm2
Luar
4,0438x2,0872 mm2
Pusat
4,0062x2,9969 mm2
4,0000x2,9969 mm2
Dalam
4,0062x2,9969 mm2
4,0125x2,9969 mm2
4,0125x2,9969 mm2
Gambar 8 Foto makroskopis pada buku bambu tali. Pada buku bambu tali, tipe ikatan pembuluh III lebih mendominasi daripada tipe ikatan pembuluh IV, kecuali pada bagian tengah yang lebih didominasi oleh tipe ikatan pembuluh IV. Foto makroskopis bagian pusat pada ruas bagian tengah dan ujung bambu tali tidak ada karena dimensi tebal bambu yang sangat tipis, sehingga beberapa bagian pusat menyatu dengan bagian luar dan dalam. Begitu juga dengan bagian tengah pada buku bambu tali, foto makroskopis yang dihasilkan hanya cukup untuk bagian luar dan dalam yang masing-masing terdapat beberapa bagian pusat. Ikatan pembuluh pada ruas maupun bukunya semakin banyak dari bagian dalam ke luar tetapi ukurannya semakin kecil. Proporsi luas ikatan pembuluh pada ruas dan buku bambu tali paling tinggi di bagian tengah, sedangkan di bagian ujung paling rendah. Proporsi luas ikatan pembuluh lebih besar pada ruas daripada bukunya. Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas dan buku bambu tali disajikan pada Tabel 1 dan 2.
19
Tabel 1 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas bambu tali Parameter
Pangkal
Tengah
Ujung
Foto
Luar
Pusat
Dalam
Luar
Dalam
Luar
Dalam
Luas penampang foto (mm2)
8,99
12,01
11,99
11,97
12,01
10,26
10,68
Jumlah ikatan pembuluh
24
15
11
51
12
29
14
Jumlah ikatan pembuluh/mm2
2,67
1,25
0,92
4,26
1,00
2,83
1,31
Diameter min. (mm)
0,37
0,47
0,68
0,39
0,78
0,41
0,74
Diameter max. (mm)
0,68
1,05
1,05
0,61
0,88
0,63
0,77
Luas rata-rata (mm2) Luas total (mm2)
0,22
0,46
0,59
0,21
0,54
0,23
0,45
5,36
5,84
6,44
10,88
6,54
6,69
6,32
Proporsi luas (%)
59,61
56,96
53,70
90,90
54,46
65,22
59,20
Proporsi luas rata-rata (%)
56,76
72,68
62,21
Tabel 2 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada buku bambu tali Parameter
Pangkal
Tengah
Ujung
Foto
Luar
Pusat
Dalam
Luar
Dalam
Luar
Pusat
Dalam
Luas penampang foto (mm2)
8,44
12,01
12,01
11,98
12,03
9,15
11,99
12,03
Jumlah ikatan pembuluh
31
19
9
33
9
43
15
5
Jumlah ikatan pembuluh/mm2
3,67
1,58
0,75
2,75
0,75
4,70
1,25
0,42
Diameter min. (mm)
0,39
0,56
0,58
0,41
0,59
0,34
0,54
0,50
Diameter max. (mm)
0,51
0,75
0,99
0,58
1,24
0,43
1,07
1,32
Luas rata-rata (mm2)
0,17
0,34
0,49
0,21
0,66
0,13
0,51
0,65
Luas total (mm2)
5,21
6,40
4,37
6,85
5,91
5,57
7,68
3,25
Proporsi luas (%)
61,70
53,33
36,40
57,21
49,15
60,89
64,08
27,05
Proporsi luas rata-rata (%)
50,47
53,18
50,67
20
Pangkal
Tengah
Ujung
Luar
4,0062x2,8349 mm2
4,0062x2,7290 mm2
4,0312x2,7414 mm2
Pusat
4,0062x2,9969 mm2
4,0000x2,9907 mm2
Dalam
4,0000x2,9844 mm2
4,0000x2,9969 mm2
4,0062x2,9969 mm2
Gambar 9 Foto makroskopis pada ruas bambu betung.
Ruas pangkal bambu betung pada bagian pusat didominasi oleh tipe ikatan pembuluh IV tetapi sebagian kecil juga terdapat ikatan pembuluh tipe III. Pada pangkal bagian dalam terdapat tipe ikatan pembuluh III ataupun IV. Ruas bambu betung bagian luar memiliki tipe ikatan pembuluh III baik pada pangkal, tengah maupun ujung. Pada ujung bagian dalam juga memiliki tipe ikatan pembuluh III. Bagian tengah dalam dan bagian ujung pusat memiliki tipe ikatan pembuluh III dan IV tetapi didominasi oleh tipe ikatan pembuluh III.
21
Pangkal
Tengah
Ujung
Luar
4,0188x3,0093 mm2
4,0312x2,6978 mm2
4,0062x2,3053 mm2
Pusat
4,0125x2,9969 mm2
4,5500x3,2274 mm2
Dalam
4,0000x2,9907 mm2
4,0500x3,1028 mm2
4,0438x3,1776 mm2
Gambar 10 Foto makroskopis pada buku bambu betung.
Ikatan pembuluh pada buku bambu betung sama seperti ruasnya, yaitu memiliki tipe III dan IV, tetapi pada bagian tersebut lebih didominasi oleh tipe ikatan pembuluh IV. Semakin ke arah dalam, ikatan pembuluh semakin sedikit dan ukurannya semakin besar baik pada ruas maupun bukunya. Distribusi ikatan pembuluh dari semua foto makroskopis bambu betung diringkas dalam Tabel 3 dan 4. Pada ruas, proporsi luas ikatan pembuluh bagian tengah mempunyai nilai yang paling tinggi sedangkan bagian ujung paling kecil. Pada buku, proporsi luas paling besar terdapat di bagian ujung dan yang paling kecil di bagian pangkal. Ruas bambu betung memiliki proporsi luas ikatan pembuluh lebih besar daripada bukunya.
22
Tabel 3 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas bambu betung Parameter
Pangkal
Tengah
Ujung
Foto
Luar
Pusat
Dalam
Luar
Dalam
Luar
Pusat
Dalam
Luas penampang foto (mm2)
11,36
12,01
11,94
10,93
11,99
11,05
11,96
12,01
Jumlah ikatan pembuluh
52
11
7
60
8
41
12
11
Jumlah ikatan pembuluh/mm2
4,58
0,92
0,59
5,49
0,67
3,71
1,00
0,92
Diameter min. (mm)
0,32
0,61
0,73
0,37
0,84
0,37
0,71
0,96
Diameter max. (mm)
0,71
1,41
1,25
0,59
1,04
0,66
1,00
0,78
0,23
0,80
0,81
0,20
0,70
0,23
0,58
0,60
Luas total (mm )
12,06
9,60
5,64
12,24
5,57
9,48
6,90
6,55
Proporsi luas (%)
106,17
79,97
47,25
111,98
46,44
85,77
57,72
54,57
2
Luas rata-rata (mm ) 2
Proporsi luas ratarata (%)
77,80
79,21
66,02
Tabel 4 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada buku bambu betung Parameter
Pangkal
Tengah
Ujung
Foto
Luar
Pusat
Dalam
Luar
Pusat
Dalam
Luar
Dalam
Luas penampang foto (mm2)
12,09
12,03
11,96
10,94
14,68
12,57
9,24
12,85
Jumlah ikatan pembuluh
61
12
7
49
13
7
42
12
Jumlah ikatan pembuluh/mm2
5,04
1,00
0,59
4,48
0,89
0,56
4,55
0,93
Diameter min. (mm)
0,35
0,54
0,55
0,39
0,47
0,61
0,38
0,55
Diameter max. (mm)
0,44
0,96
1,21
0,63
1,19
1,22
0,53
1,08
0,14
0,44
0,61
0,23
0,55
0,66
0,17
0,53
Luas total (mm )
8,79
5,33
4,26
11,12
7,12
4,60
7,23
6,31
Proporsi luas (%)
72,66
44,33
35,57
101,65
48,50
36,58
78,33
49,12
2
Luas rata-rata (mm ) 2
Proporsi luas rata-rata (%)
50,85
62,24
63,73
23
Pangkal
Tengah
Ujung
Luar
4,2000x3,2025 mm2
4,2562x2,6542 mm2
4,5812x4,0810 mm2
Pusat
4,0000x2,9907 mm2
4,0062x2,9969 mm2
Dalam
4,0250x3,0156 mm2
4,0062x2,9969 mm2
4,2000x3,0841 mm2
Gambar 11 Foto makroskopis pada ruas bambu andong.
24
Pangkal
Tengah
Ujung
Luar
4,3000x3,0841 mm2
4,2125x2,8910 mm2
4,5750x3,1713 mm2
4,6250x3,2648 mm2
4,2438x3,1028 mm2
4,0062x2,9969 mm2
4,0875x3,1526 mm2
Pusat
4,0250x3,0343 mm2
Dalam
4,3312x3,0966 mm2
Gambar 12 Foto makroskopis pada buku bambu andong.
Ikatan pembuluh pada ruas bambu andong memiliki tipe III, kecuali pada bagian pangkal pusat dan dalam yang memiliki tipe ikatan pembuluh III dan IV. Ikatan pembuluh pada buku didominasi oleh tipe IV, hanya pada pangkal bagian luar saja yang memiliki tipe ikatan pembuluh III. Ringkasan distribusi ikatan pembuluh bambu andong dari semua foto pengamatan disajikan pada Tabel 5 dan 6. Ruas bambu andong memiliki proporsi luas ikatan pembuluh yang lebih besar daripada bukunya. Pada ruas, bagian tengah memiliki proporsi luas paling tinggi, sedangkan proporsi luas pada buku bagian pangkal nilainya paling tinggi di antara buku bambu andong lainnya. Proporsi luas terendah dimiliki oleh bagian ujung pada ruas dan bagian tengah pada buku. Ikatan serabut yang terletak di sebelah dalam ikatan pembuluh pusat pada ruas ukurannya lebih besar daripada bukunya.
25
Tabel 5 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas bambu andong Parameter
Pangkal
Tengah
Ujung
Foto
Luar
Pusat
Dalam
Luar
Pusat
Dalam
Luar
Dalam
Luas penampang foto (mm2)
13,45
11,96
12,14
11,30
12,01
12,01
18,70
12,95
Jumlah ikatan pembuluh
68
16
9
45
13
11
55
16
Jumlah ikatan pembuluh/mm2
5,06
1,34
1,35
3,98
1,08
0,92
2,94
1,24
Diameter min. (mm)
0,28
0,45
0,53
0,29
0,61
0,66
0,34
0,74
Diameter max. (mm)
0,59
1,16
1,19
0,73
1,19
1,01
0,67
0,81
0,17
0,52
0,60
0,23
0,64
0,58
0,23
0,48
Luas total (mm2)
11,64
8,28
5,41
10,21
8,35
6,33
12,49
7,67
Proporsi luas (%)
86,54
69,22
44,53
90,31
69,53
52,68
66,80
59,20
Luas rata-rata (mm2)
Proporsi luas ratarata (%)
66,76
70,84
63,00
Tabel 6 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada buku bambu andong Parameter
Pangkal
Tengah
Ujung
Foto
Luar
Pusat
Dalam
Luar
Pusat
Dalam
Luar
Pusat
Dalam
Luas penampang foto (mm2)
17,11
12,21
13,41
12,18
15,10
12,01
14,51
13,17
12,89
56
16
8
44
12
9
39
13
9
Jumlah ikatan pembuluh /mm2
3,27
1,31
0,60
3,61
0,79
0,75
2,69
0,99
0,70
Diameter min. (mm)
0,26
0,41
0,53
0,26
0,43
0,47
0,31
0,42
0,66
Diameter max. (mm)
0,62
1,20
1,19
0,68
1,09
1,22
0,73
1,17
1,03
Luas rata-rata (mm2)
0,16
0,51
0,60
0,19
0,45
0,58
0,23
0,50
0,62
Luas total (mm2)
9,14
8,17
4,81
8,36
5,45
5,19
9,00
6,50
5,55
Proporsi luas (%)
53,40
66,91
35,83
68,67
36,08
43,20
62,03
49,38
43,06
Jumlah ikatan pembuluh
Proporsi luas rata-rata (%)
52,04
49,32
51,49
26
Proporsi luas rata-rata ikatan pembuluh pada ketiga jenis bambu diringkas pada Tabel 7. Proporsi luas ikatan pembuluh tertinggi dimiliki oleh ruas bambu betung bagian tengah dan proporsi luas terendah dimiliki oleh buku bambu andong bagian tengah. Proporsi luas terendah pada ruas terdapat pada bambu tali bagian pangkal sedangkan proporsi luas tertinggi di bagian buku terdapat pada bambu betung bagian ujung. Tabel 7 Ringkasan persentase ikatan pembuluh bambu yg diteliti Jenis
Pangkal
Tengah
Ujung
bambu
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Tali
56,76
50,47
72,68
53,18
62,21
50,67
Betung
77,80
50,85
79,21
62,24
66,02
63,73
Andong
66,76
52,04
70,84
49,32
63,00
51,49
4.1.2 Sifat Fisis Bambu Pengujian sifat fisis bambu terdiri atas kadar air, kerapatan, dan berat jenis. Semua pengujian menggunakan dua sampel untuk masing-masing jenis dan bagian. Data yang diperoleh dirangkum dalam 3 tabel: Tabel 8 untuk bambu tali, Tabel 9 untuk bambu betung, dan Tabel 10 untuk bambu andong. Tabel 8 Ringkasan kadar air, kerapatan, dan berat jenis bambu tali Bagian
KA (%)
Kerapatan (g/cm3)
Berat Jenis
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Pangkal
10,90
10,81
0,65
0,62
0,58
0,56
Tengah
10,95
10,93
0,67
0,63
0,61
0,57
Ujung
12,27
10,98
0,58
0,56
0,51
0,50
Ruas bagian ujung bambu tali memiliki kadar air paling tinggi, sedangkan kerapatan dan berat jenisnya paling rendah. Bagian tengah memiliki kerapatan dan berat jenis paling tinggi, baik pada ruas maupun bukunya. Semua data menunjukkan bahwa ruas memiliki kadar air, kerapatan, dan berat jenis yang lebih tinggi daripada bukunya.
27
Tabel 9 Ringkasan kadar air, kerapatan, dan berat jenis bambu betung Bagian
KA (%)
Kerapatan (g/cm3)
Berat Jenis
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Pangkal
9,82
10,31
0,66
0,65
0,60
0,59
Tengah
10,40
10,24
0,66
0,66
0,60
0,59
Ujung
10,73
10,55
0,64
0,73
0,57
0,66
Bagian ujung bambu betung memiliki kadar air paling besar, baik pada ruas maupun bukunya. Kadar air paling kecil terdapat di bagian ruas pangkal dan buku tengah. Pada buku, kerapatan dan berat jenis paling tinggi dimiliki oleh bagian ujung sedangkan ruas sebaliknya. Pada ruas, bagian pangkal dan tengah samasama memiliki kerapatan dan berat jenis paling besar. Ruas bambu betung memiliki kadar air yang lebih banyak dibandingkan bukunya, kecuali pada bagian pangkal. Kerapatan dan berat jenis juga lebih besar pada ruas daripada buku, meskipun nilainya tidak berbeda jauh. Hanya pada bagian ujung, buku bambu betung memiliki kerapatan dan berat jenis yang lebih tinggi daripada ruas.
Tabel 10 Ringkasan kadar air, kerapatan, dan berat jenis bambu andong Bagian
KA (%)
Kerapatan (g/cm3)
Berat Jenis
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Pangkal
11,54
10,84
0,66
0,63
0,57
0,54
Tengah
10,91
10,87
0,73
0,68
0,66
0,61
Ujung
10,62
10,74
0,70
0,70
0,64
0,64
Pada bambu andong, bagian pangkal memiliki kadar air paling banyak pada ruasnya dan bagian tengah pada buku. Kadar air di bagian ujung paling sedikit baik pada ruas maupun bukunya. Kerapatan dan berat jenis di bagian pangkal bambu andong memiliki nilai paling rendah, sedangkan pada ruas bagian tengah paling besar. Kerapatan dan berat jenis pada buku paling tinggi nilainya pada bagian ujung. Antara ruas dengan buku, ruas memiliki kadar air, kerapatan dan berat jenis yang lebih besar daripada buku, kecuali pada bagian ujung yang
28
bukunya memiliki kadar air lebih besar serta kerapatan dan berat jenis yang sama besarnya dengan ruas.
4.1.3 Sifat Mekanis Bambu Dalam penelitian ini masing-masing bambu hanya dilakukan uji tarik dan uji lentur. Hasil pengujian tarik disajikan pada Tabel 11 sampai Tabel 14. Pada Tabel 11 pengujian tarik dilakukan pada sampel bilah, sedangkan Tabel 12 sampai 14 pengujian tarik dilakukan pada bagian horizontal (luar, pusat, dalam). Hasil uji tarik dinyatakan oleh besarnya tegangan maksimum (σ
. ).
Pengujian kekuatan lentur disajikan pada Tabel 15 sampai Tabel 20. Pada Tabel 15, 16, dan 17 pengujian lentur dilakukan pada sampel bilah sedangkan Tabel 18, 19, dan 20 pengujian lentur dilakukan pada bambu laminasi. Bambu laminasi LL adalah laminasi yang direkatkan pada bidang luar dengan luar, sedangkan DD dan LD adalah laminasi yang direkatkan pada bidang dalam dengan dalam dan luar dengan dalam. Pada bambu laminasi LD, bagian yang terkena beban adalah bagian luarnya (tepi). Kekuatan lentur yang diperoleh dinyatakan dalam MOE dan MOR. Tabel 11 Ringkasan uji tarik bilah bambu tali, betung, dan andong
Ruas
Buku
(kg/cm2) Betung Ruas Buku
Pangkal
2.596
1.353
3.804
2.251
2.980
1.518
Tengah
2.715
1.215
3.496
1.977
3.172
1.666
Ujung
2.767
789
4.238
872
3.403
2.737
σ Bagian
Tali
.
Andong Ruas Buku
Tegangan maksimum pada ruas bambu tali bagian ujung memiliki nilai tertinggi, sedangkan pada buku bambu tali bagian ujung paling terendah. Di antara ruas bambu tali, bagian pangkal memiliki tegangan maksimum paling kecil dan di antara bukunya, bagian pangkal bambu tali memiliki tegangan maksimum paling besar. Sama halnya dengan bambu tali, ruas bambu betung bagian ujung memiliki tegangan maksimum tertinggi sedangkan pada buku bagian ujung terendah. Nilai tegangan maksimum paling kecil di antara ruas dimiliki oleh
29
bagian tengah sedangkan tegangan maksimum paling besar di antara buku dimiliki oleh bagian pangkal. Tegangan maksimum tertinggi pada bambu andong terdapat di bagian ujung dan terendah terdapat di bagian pangkal, baik pada ruas maupun bukunya. Ruas memiliki tegangan maksimum yang lebih besar daripada buku. Rata-rata tegangan maksimum terbesar terdapat pada ruas bagian ujung dan tegangan maksimum terkecil terdapat pada buku bagian pangkal. Hanya buku bambu andong yang tegangan maksimum terkecilnya terdapat pada bagian pangkal. Tabel 12 Ringkasan uji tarik sejajar serat jenis bambu tali
σmaks. (kg/cm2)
Bagian Pangkal
Luar 2.026
Pusat 1.672
Dalam 1.229
Tengah
2.229
1.649
1.377
Ujung
1.938
1.501
787
Tabel 13 Ringkasan uji tarik sejajar serat jenis bambu betung
σmaks. (kg/cm2)
Bagian Pangkal
Luar 2.601
Pusat 2.010
Dalam 1.616
Tengah
3.690
1.673
1.689
Ujung
1.771
1.578
1.394
Tabel 14 Ringkasan uji tarik sejajar serat jenis bambu andong
σmaks. (kg/cm2)
Bagian Pangkal
Luar 2.540
Pusat 1.482
Dalam 1.348
Tengah
2.057
2.197
1.809
Ujung
2.016
1.542
1.757
Bagian luar ternyata memiliki kekuatan tarik yang paling besar, baik itu pada bambu tali, betung, maupun bambu andong. Hanya pada bambu andong bagian tengah yang kekuatan tarik terbesarnya dimiliki oleh bagian pusat. Pada bambu tali dan bambu betung nilai tegangan maksimum terbesar dimiliki oleh bagian tengah luar, sedangkan pada bambu andong nilai tegangan makimum
30
terbesar dimiliki oleh bagian pangkal luar. Tegangan maksimum terkecil pada bambu tali dan betung terdapat pada bagian ujung dalam, sedangkan pada bambu andong terdapat pada bagian pangkal dalam.
Tabel 15 Ringkasan uji lentur bilah bambu tali Bagian
MOE rata-rata (kg/cm2)
MOR rata-rata (kg/cm2)
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Pangkal
139.996
49.240
1.107
635
Tengah
159.364
72.046
1.296
796
Ujung
136.998
56.087
1.067
660
Bambu tali bagian tengah memiliki nilai MOE dan MOR tertinggi, sedangkan MOE dan MOR terendah terdapat pada ruas ujung dan buku pangkal. Ruas bambu tali memiliki nilai MOE dan MOR lebih besar dibandingkan bukunya. Hal tersebut menunjukkan bahwa ruas tengah bambu tali paling kuat dan paling kaku, sedangkan buku bagian pangkal paling lemah dan paling mudah berubah bentuk akibat adanya beban.
Tabel 16 Ringkasan uji lentur bilah bambu betung Bagian
MOE rata-rata (kg/cm2)
MOR rata-rata (kg/cm2)
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Pangkal
187.823
92.176
1.497
983
Tengah
169.495
75.917
1.437
932
Ujung
159.968
87.409
1.354
1.066
Ruas bagian pangkal bambu betung paling kaku dan paling kuat dibandingkan dengan bagian lainnya karena memiliki MOE dan MOR paling tinggi, sedangkan bagian tengah pada buku kekuatannya paling lemah dan bentuknya mudah berubah akibat adanya beban. Hal tersebut dikarenakan MOE dan MOR-nya paling rendah. MOE dan MOR pada bagian ujung memiliki nilai terendah diantara ruas pangkal dan tengah, sedangkan diantara buku bagian pangkal memiliki nilai MOE tertinggi dan buku bagian ujung memiliki MOR
31
tertinggi. Berdasarkan keseluruhan data yang terdapat pada Tabel 16, ruas bambu betung paling kuat dan paling kaku daripada bukunya dikarenakan MOE dan MOR yang dimiliki ruas lebih besar daripada buku.
Tabel 17 Ringkasan uji lentur bilah bambu andong MOE rata-rata (kg/cm2)
Bagian
MOR rata-rata (kg/cm2)
Ruas
Buku
Ruas
Buku
Pangkal
123.807
65.305
1.002
736
Tengah
178.338
69.974
1.281
846
Ujung
178.199
71.961
1.464
849
Pada ruas bambu andong, bagian tengah memiliki nilai MOE paling tinggi dan bagian ujung memiliki nilai MOR tertinggi. MOE dan MOR paling rendah pada ruas terdapat di bagian pangkal. Pada bagian buku, nilai MOE dan MOR paling besar terdapat di bagian ujungnya dan paling kecil terdapat di bagian pangkal. Kekuatan dan kekakuan pada ruas lebih besar dibandingkan bukunya, baik pada bambu tali, betung, ataupun andong.
Tabel 18 Ringkasan uji lentur lamina bambu tali MOE (kg/cm2)
Bagian
MOR (kg/cm2)
LL
DD
LD
LL
DD
LD
Pangkal
145.487
102.969
140.825
1.087
581
904
Tengah
149.736
141.776
141.803
989
717
1.253
Ujung
108.779
118.816
140.931
771
662
819
Keterangan: LL = Luar-Luar; DD = Dalam-Dalam; LD = Luar-Dalam.
Lamina bambu tali LL bagian tengah memiliki nilai MOE paling besar dan lamina LD bagian tengah memiliki nilai MOR paling besar. MOE dan MOR terendah dimiliki oleh lamina DD bagian pangkal. Lamina DD pada bambu tali rata-rata lebih kecil nilai MOE dan MOR-nya dibandingkan lamina LL dan LD, maka lamina DD lebih mudah berubah bentuk dan mengalami kerusakan (patah). Lamina LL bagian tengah lebih kaku daripada lamina bambu tali lainnya karena
32
memiliki nilai MOE paling tinggi, sehingga paling sulit untuk berubah bentuk ketika diberikan beban. Nilai MOR pada lamina LD bagian tengah paling tinggi sehingga lebih kuat dari lamina bambu tali yang lain. Jadi ketika diberi beban, lamina ini lebih sulit mengalami kerusakan (patah).
Tabel 19 Ringkasan uji lentur lamina jenis bambu betung MOE (kg/cm2)
Bagian
MOR (kg/cm2)
LL
DD
LD
LL
DD
LD
Pangkal
159.647
100.340
153.114
657
1.149
837
Tengah
158.461
138.844
191.616
553
679
665
Ujung
140.649
124.616
129.013
556
455
434
Berdasarkan Tabel 19, lamina LD bagian tengah bambu betung memiliki MOE tertinggi sedangkan lamina DD bagian pangkal memiliki nilai MOR paling tinggi dan MOE paling rendah. MOR terendah dimiliki oleh lamina LD bagian ujung. Jadi lamina LD bagian tengah lebih sulit berubah bentuk ketika diberi beban, sedangkan lamina DD bagian pangkal sebaliknya. Walaupun lamina DD bagian pangkal lebih mudah untuk berubah bentuk, tetapi lamina ini paling kuat sehingga tidak mudah patah. Lamina LD bagian ujung lebih cenderung mudah patah ketika diberikan beban.
Tabel 20 Ringkasan uji lentur lamina jenis bambu andong MOE (kg/cm2)
Bagian
MOR (kg/cm2)
LL
DD
LD
LL
DD
LD
Pangkal
163.691
98.326
115.922
1.134
666
819
Tengah
222.834
148.544
185.253
1.333
652
1.060
Ujung
196.093
151.767
137.830
1.339
797
782
Pada Tabel 20, bambu andong bagian tengah pada lamina LL memiliki nilai MOE paling tinggi dan nilai MOR paling tinggi dimiliki oleh lamina LL bagian ujung. Lamina LL bagian tengah lebih kaku dan bagian ujungnya lebih kuat daripada lamina bambu andong bagian lain, sedangkan pada bagian pangkal
33
lamina DD mempunyai MOE paling rendah dan MOR paling rendah dimiliki oleh lamina DD bagian tengah. Lamina DD bagian pangkal bambu andong ini paling mudah berubah bentuk dan bagian ujungnya paling mudah patah.
4.1
Pembahasan
4.2.1 Distribusi Ikatan Pembuluh Bambu Berdasarkan Gambar 7 sampai Gambar 12, distribusi ikatan pembuluh pada ketiga jenis bambu tersebut semakin sedikit dari bagian tepi ke bagian dalam tetapi ukurannya semakin besar. Hal ini didukung oleh penelitian Nuriyatin (2000) yang mengatakan bahwa secara umum penyebaran ikatan pembuluh mempunyai pola yang tidak merata pada setiap bagian penampang melintang. Distribusi ikatan akan semakin rapat ke arah luar dengan ukuran yang semakin kecil. Proporsi luas ikatan pembuluh pada ruas dan buku bambu disajikan pada Gambar 13. Proporsi luas ikatan pembuluh lebih besar pada ruas daripada bukunya, baik pada bambu tali, betung, ataupun andong. Proporsi luas ikatan pembuluh yang paling tinggi terdapat pada bambu betung, baik pada ruas maupun bukunya. Proporsi luas ikatan pembuluh terendah diantara ruas terdapat pada bambu tali dan diantara buku terdapat pada bambu andong. Proporsi luas ikatan pembuluh pada bilah rata-rata ketiga jenis bambu adalah 67,83% dengan kisaran 63,88% - 74,34% pada ruas dan 53,78% dengan kisaran 50,95% - 58,94% pada
(%)
buku. 100 80 60 40 20 0
Tali
Betung
Andong
Ruas
63,88
74,34
65,26
Buku
51,44
58,94
50,95
Gambar 13 Proporsi luas ikatan pembuluh 3 jenis bambu ruas dan buku.
34
Kemudian proporsi luas ikatan pembuluh tertinggi pada ruas bambu terdapat di bagian tengah. Proporsi luas ikatan pembuluh terendah pada bambu tali dan betung terdapat di bagian pangkal sedangkan pada bambu andong terdapat di bagian ujung. Pada pangkal, proporsi luas rata-rata ikatan pembuluh pada bilah ketiga jenis bambu adalah 59,11% dengan kisaran 53,62% - 64,33% dan pada bagian tengah mempunyai proporsi luas rata-rata sebesar 64,58% dengan kisaran 60,08% - 70,73%, sedangkan proporsi luas ikatan pembuluh pada bagian ujung berkisar antara 56,44% - 64,88% dengan rata-rata 59,52%. Proporsi tersebut
(%)
disajikan pada Gambar 14. 100 80 60 40 20 0
Tali
Betung
Andong
Pangkal
53,62
64,33
59,40
Tengah
62,93
70,73
60,08
Ujung
56,44
64,88
57,25
Gambar 14 Proporsi luas ikatan pembuluh 3 jenis bambu pada arah vertikal.
Berdasarkan hasil pengamatan ikatan pembuluh, bambu tali, bambu betung, dan bambu andong memiliki ikatan pembuluh tipe III dan IV. Menurut Nuriyatin (2000), Ikatan pembuluh pada bambu andong adalah tipe III/IV, bambu tali tipe III, dan bambu betung tipe IV/III. Begitu juga menurut Kusumah (2009) yang mengatakan bahwa tipe ikatan pembuluh pada bambu betung dan bambu andong adalah tipe III dan IV, sedangkan bambu tali hanya memiliki ikatan pembuluh tipe III. Ikatan Pembuluh tipe III dan IV dapat ditemukan pada famili Bambusa, Dendrocalamus, dan Gigantochloa (Liese 1980).
4.2.2 Sifat Fisis Bambu Semua kadar air bambu yang diuji adalah kadar air kering udara, yaitu sebesar ± 12%. Bambu tali memiliki kadar air tertinggi sedangkan bambu andong terendah. Kadar air rata-rata ketiga jenis bambu berkisar antara 10,34% - 11,14% dengan rata-rata 10,80%. Kadar air ketiga jenis bambu dapat dilihat pada Gambar
35
15. Nuriyatin (2000) menyebutkan bahwa kadar air pada ketiga jenis bambu
(%)
tersebut tidak ada perbedaan yang cukup signifikan. 12,00 11,50 11,00 10,50 10,00 9,50 9,00
Kadar air
Tali
Betung
Andong
11,14
10,34
10,92
Gambar 15 Kadar air 3 jenis bambu.
Bambu andong memiliki kerapatan dan BJ (berat jenis) tertinggi sedangkan bambu tali terendah. Kerapatan rata-rata ketiga jenis bambu adalah 0,66 g/cm3 dengan kisaran 0,62 - 0,68 g/cm3 dan BJ rata-rata sebesar 0,59 dengan kisaran 0,56 - 0,61. Semakin besar kerapatan, maka semakin besar pula berat jenisnya. Kerapatan dan BJ ketiga jenis bambu disajikan pada Gambar 16. Menurut Nuriyatin (2012), jenis bambu, posisi vertikal dan pola ikatan pembuluh tidak memberikan pengaruh terhadap berat jenis. 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00
Tali
Betung
Andong
ρ (g/cm³)
0,62
0,67
0,68
BJ
0,56
0,60
0,61
Gambar 16 Kerapatan dan BJ 3 jenis bambu.
4.2.3 Sifat Mekanis Bambu a. Kekuatan Tarik Besar tegangan tarik maksimum (σ
.)
masing-masing bambu pada ruas
dan buku disajikan pada Gambar 17. Tegangan tarik maksimum rata-rata pada ruas adalah 3.241 kg/cm2 dengan kisaran 2.693 - 3.846 kg/cm2 sedangkan pada buku berkisar antara 1.119 – 1.974 kg/cm2 dengan rata-rata 1.598 kg/cm2. Data
36
menunjukkan bahwa baik pada bambu tali, bambu betung, dan bambu andong, nilai σ
.
lebih besar pada ruas daripada bukunya. Hal ini didukung oleh
penelitian Idris et al. (1994) yang menunjukkan bahwa nilai keteguhan tarik bambu tali, bambu betung, dan bambu andong lebih besar nilainya pada ruas daripada buku. Kekuatan tarik yang lebih besar pada ruas daripada buku dikarenakan proporsi luas ikatan pembuluh pada ruas juga lebih besar daripada buku. Janssen (1981) mengatakan bahwa kekuatan tarik tergantung pada persentase sklerenkim (serabut) yang dimiliki bambu. Telah dketahui bahwa penyusun ikatan pembuluh terdiri atas ikatan serabut (1 atau 2 ikatan) dan rongga (xilem dan phloem) dan faktor penyusun ini akan memberikan kontribusi terhadap persentase serabut
(kg/cm2)
setiap jenis bambu (Nuriyatin 2000). 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0
Tali
Betung
Andong
Ruas
2.693
3.846
3.185
Buku
1.119
1.700
1.974
Gambar 17 Tegangan tarik maksimum 3 jenis bambu pada ruas dan buku.
Pada penelitian Idris et al. (1994) disebutkan bahwa keteguhan tarik bambu tali adalah 2.859 kg/cm2 pada ruas dan 1.231 kg/cm2 pada buku. Pada bambu betung, 2.358 kg/cm2 pada ruas dan 2.258 kg/cm2 pada buku. Kemudian bambu andong memiliki keteguhan tarik sebesar 2.837 kg/cm2 pada ruas dan 1.252 kg/cm2 pada buku. Terlihat perbedaan pada penelitian Idris et al. (1994) yang menunjukkan bahwa ruas bambu tali memiliki σ
.
tertinggi dan bambu betung
terendah di antara ruas bambu lainnya. Pada penelitian ini justru ruas bambu betung memiliki nilai σ Walaupun begitu, σ
.
.
tertinggi sedangkan ruas bambu tali terendah.
ruas bambu betung pada penelitian ini nilainya jauh
lebih besar daripada nilai σ
.
ruas bambu tali pada penelitian Idris et al.
(1994). Kemudian pada buku, bambu tali juga memiliki σ
.
terendah
37
sedangkan bambu andong tertinggi. Hal ini juga sama dengan penelitian Idris et al. (1994) yang menyatakan bahwa buku bambu tali memiliki nilai σ
.
terendah tetapi berbeda dengan buku bambu betung yang memiliki σ
.
tertinggi. Pada arah horizontal, bambu bagian luar memiliki σ
tertinggi dan
.
bagian dalam terendah. Diantara bambu tali, bambu betung, dan bambu andong, nilai σ
.
tertinggi terdapat pada bambu betung dan yang terendah dimiliki oleh
bambu tali. Tegangan tarik maksimum rata-rata ketiga jenis bambu pada bagian luar adalah 2.319 kg/cm2 dengan kisaran 2.064 – 2.687 kg/cm2. Pada bagian pusat, σ
.
berkisar antara 1.607 – 1.753 kg/cm2 dengan rata-rata 1.700 kg/cm2
dan bagian dalam 1.131 – 1.638 kg/cm2 dengan rata-rata 1.445 kg/cm2. Nilai σ
.
ruas bambu tali, bambu betung, dan bambu andong pada arah horizontal
(kg/cm2)
dapat dilihat pada Gambar 18. 4.000 3.000 2.000 1.000 0
Tali
Betung
Andong
Luar
2.064
2.687
2.204
Pusat
1.607
1.753
1.740
Dalam
1.131
1.566
1.638
Gambar 18 Tegangan tarik maksimum ruas 3 jenis bambu pada arah horizontal.
Pada arah vertikal bambu tali dan andong memiliki σ
yang semakin
.
tinggi dari pangkal ke ujung, sedangkan bambu betung memiliki σ pada ujung dan terendah pada bagian tengah. Pada pangkal, σ
.
.
tertinggi
berkisar antara
2.596 – 3.804 kg/cm2 dengan rata-rata 3.127 kg/cm2 sedangkan pada tengah nilai σ
.
rata-rata sebesar 3.128 kg/cm2 dengan kisaran 2.715 – 3.496 kg/cm2.
Tegangan tarik maksimum pada ujung berkisar antara 2.767 – 4.238 kg/cm2 dengan rata-rata 3.469 kg/cm2. Nilai σ disajikan pada Gambar 19.
.
3 jenis bambu pada arah vertikal
38
Perbedaan kekuatan tarik yang berbeda-beda dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti kadar air, umur bambu, dan lokasi tempat tumbuh. Semakin tinggi kadar air maka kekuatan suatu bahan akan menurun (Haris 2008). Berdasarkan analisis korelasi kerapatan, berat jenis, dan jumlah ikatan pembuluh/mm2 tidak berhubungan erat dengan kekuatan tarik sedangkan proporsi luas ikatan pembuluh, MOE dan MOR mempunyai hubungan erat dengan
(kg/cm2)
kekuatan tarik. 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0
Tali
Betung
Andong
Pangkal
2.596
3.804
2.980
Tengah
2.715
3.496
3.172
Ujung
2.767
4.238
3.403
Gambar 19 Tegangan tarik maksimum 3 jenis bambu pada arah vertikal.
b. Kekakuan (Modulus of Elasticity) Kekakuan dinyatakan dalam besarnya MOE. Nilai MOE ketiga jenis bambu yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 20. Nilai MOE pada ruas lebih besar daripada MOE pada buku. Bambu betung memiliki MOE tertinggi sedangkan bambu tali terendah, baik pada ruas maupun bukunya. MOE rata-rata bilah ketiga bambu adalah 159.332 kg/cm2 dengan kisaran 145.453 – 172.429 kg/cm2 pada ruas dan 71.124 kg/cm2 dengan kisaran 59.124 – 85.167 kg/cm2 pada buku. Dalam penelitian Idris (1994), urutan MOE dari yang terbesar ke yang terkecil baik pada ruas ataupun bukunya adalah bambu betung, bambu andong, dan bambu tali. Dari ketiga jenis bambu tersebut, ruas juga memiliki nilai MOE yang lebih besar daripada buku. Pada bambu tali, nilai MOE yang dimiliki adalah 121.334 kg/cm2 pada ruas dan 57.515 kg/cm2 pada buku. Pada bambu betung, ruasnya mempunyai MOE sebesar 216.577 kg/cm2 dan bukunya 103.289 kg/cm2. Kemudian bambu andong memiliki MOE sebesar 121.395 kg/cm2 pada ruas dan 96.616 kg/cm2 pada buku.
39
Ruas mempunyai MOE yang lebih besar daripada buku karena proporsi luas ikatan pembuluh yang juga lebih besar dibandingkan buku. Nilai MOE dapat dipengaruhi oleh persentase sklerenkim (Janssen 1981) dan sklerenkim terdapat di dalam ikatan pembuluh. Bambu yang memiliki proporsi luas ikatan pembuluh terbesar atau terkecil belum tentu nilai MOE-nya terbesar atau terkecil juga. Adanya perbedaan nilai MOE diduga karena perbedaan dimensi tebal sampel masing-masing bambu. Jenis bambu, pola ikatan pembuluh dan berat jenis tidak berpengaruh pada nilai MOE (Nuriyatin 2012). Berdasarkan analisis korelasi juga
x100 (kg/cm2)
menunjukkan hasil bahwa berat jenis tidak berhubungan erat dengan nilai MOE. 2.000 1.000 0
Tali
Betung
Andong
Ruas
1.455
1.724
1.601
Buku
591
852
691
Gambar 20 Nilai MOE 3 jenis bambu pada ruas dan buku.
Seperti yang disajikan pada Gambar 21, pangkal bambu betung memiliki MOE paling tinggi. Bambu tali dan bambu andong memiliki MOE terendah pada bagian pangkal. Bagian tengah pada bambu tali memiliki MOE tertinggi sedangkan pada bambu betung terendah. Pada bambu andong, bagian ujung memiliki nilai MOE tertinggi. Terlihat bahwa nilai MOE tertinggi ataupun terendah tidak menentu pada posisi vertikal, Nuriyatin (2012) mengemukakan bahwa nilai MOE juga tidak dipengaruhi oleh posisi vertikal. MOE rata-rata pada pangkal yaitu 150.542 kg/cm2 dengan kisaran 123.807 – 187.823 kg/cm2, pada bagian tengah 169.066 kg/cm2 dengan kisaran 159.364 – 178.338 kg/cm2 dan bagian ujung 158.388 kg/cm2 dengan kisaran 136.998 – 178.199 kg/cm2.
x100 (kg/cm2)
40
3.000 2.000 1.000 0
Tali
Betung
Andong
Pangkal
1.400
1.878
1.238
Tengah
1.594
1.695
1.783
Ujung
1.370
1.600
1.782
Gambar 21 Nilai MOE 3 jenis bambu pada arah vertikal.
c. Keteguhan Patah (Modulus of Rupture) Keteguhan patah (MOR) merupakan ukuran kekuatan suatu bahan pada saat menerima beban maksimum yang menyebabkan terjadinya kerusakan (Haris 2008). Bambu tali memiliki MOR terendah dan bambu betung tertinggi, baik pada ruas maupun bukunya. MOR pada ruas lebih besar daripada MOR pada buku. Besarnya MOR pada ketiga jenis bambu tersebut ternyata berbanding lurus dengan nilai MOE. Pada ruas, MOR berkisar antara 1.157 – 1.429 kg/cm2 dengan rata-rata 1.278 kg/cm2 dan pada buku 697 – 994 kg/cm2 dengan rata-rata 834 kg/cm2. Nilai MOR ketiga jenis bambu yang diuji disajikan pada Gambar 22. (kg/cm2)
2.000 1.000 -
Tali
Betung
Andong
Ruas
1.157
1.429
1.249
Buku
697
994
810
Gambar 22 Nilai MOR 3 jenis bambu pada ruas dan buku.
Pada penelitian Idris et al. (1994) menunjukkan bahwa MOR pada buku lebih kecil daripada MOR pada ruas, kemudian MOR tertinggi dimiliki oleh bambu betung dan bambu tali memiliki MOR terendah. Pada penelitiannya MOR yang dihasilkan lebih besar dari penelitian ini, yaitu 1.240,3 kg/cm2 dan 502,3 kg/cm2 pada ruas dan buku bambu tali; 2.065,3 kg/cm2 dan 1.236,39 kg/cm2 pada
41
ruas dan buku bambu betung; 1.835,6 kg/cm2 dan 1.032,6 kg/cm2 pada ruas dan buku bambu andong. Hasil yang berbeda ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti umur bambu, kadar air, dan lokasi tempat tumbuh. Pada arah vertikal, posisi nilai MOR yang terendah dan tertinggi hampir sama dengan posisi nilai MOE-nya. Dari pangkal ke ujung, bambu andong memiliki MOR yang semakin meningkat sedangkan pada bambu betung sebaliknya. Pada bambu tali, bagian ujungnya memiliki MOR terendah dan bagian tengahnya memiliki MOR tertinggi. Bambu betung memiliki nilai MOR paling tinggi diantara bambu tali dan andong pada bagian pangkal dan tengah sedangkan pada bagian ujung, bambu andong memiliki nilai MOR tertinggi diantara bambu tali dan bambu betung. Berdasarkan analisis korelasi, MOE mempunyai hubungan erat dengan MOR. Nuriyatin (2000) menyatakan bahwa beberapa penelitian mengungkapkan adanya hubungan yang kuat antara nilai MOE dan MOR sehingga pendugaan MOR dengan MOE dapat dilakukan. Pada pangkal MOR berkisar antara 1.002 – 1.497 kg/cm2 dengan rata-rata 1.202 kg/cm2, pada tengah 1.281 – 1.437 kg/cm2 dengan rata-rata 1.338 kg/cm2 dan pada ujung 1.067 – 1.464 kg/cm2 dengan ratarata 1.295 kg/cm2. Nilai MOR 3 jenis bambu yang diteliti pada arah vertikal disajikan pada Gambar 23. (kg/cm2)
3.000 2.000 1.000 -
Tali
Betung
Andong
Pangkal
1.107
1.497
1.002
Tengah
1.296
1.437
1.281
Ujung
1.067
1.354
1.464
Gambar 23 Nilai MOR 3 jenis bambu pada arah vertikal.
4.2.4 Susunan Bambu Laminasi Dua Lapis Bambu laminasi yang telah diuji menghasilkan nilai MOE dan MOR pada masing-masing susunan lamina. Nilai MOE dan MOR disajikan pada Gambar 24
42
dan 25. Lamina LD (laminasi yang dibuat dengan susunan bagian luar dengan bagian dalam) pada bambu tali dan bambu betung memiliki MOE yang lebih tinggi daripada lamina LL (laminasi luar-luar) dan lamina DD (laminasi dalamdalam). Sedangkan pada bambu andong, lamina LL memiliki MOE paling tinggi diantara lamina DD dan lamina LD. Lamina DD pada bambu tali, betung, dan
x100 (kg/cm2)
andong memiliki nilai MOE paling rendah diantara lamina LL dan lamina LD. 3.000 2.000 1.000 -
Tali
Betung
Andong
LL
1.347
1.529
1.942
DD
1.212
1.213
1.329
LD
1.412
1.579
1.463
Gambar 24 Nilai MOE bambu laminasi pada 3 jenis bambu.
(kg/cm2)
2.000
1.000
-
Tali
Betung
Andong
LL
949
589
1.268
DD
654
761
705
LD
992
645
887
Gambar 25 Nilai MOR bambu laminasi pada 3 jenis bambu.
Berbeda dengan MOE, nilai MOR tertinggi pada bambu tali dimiliki oleh lamina LD dan MOR terendah dimiliki oleh lamina DD. Pada bambu betung, lamina DD mempunyai MOR tertinggi dan lamina LL mempunyai MOR terendah. Sedangkan lamina bambu andong yang mempunyai MOR tertinggi adalah lamina LL dan MOR terendah adalah lamina DD. Laminasi bambu tali memiliki MOE dan MOR rata-rata sebesar 132.342 kg/cm2 dengan kisaran
43
121.187 – 141.186 kg/cm2 dan 865 kg/cm2 dengan kisaran 654 – 992 kgcm2. MOE dan MOR laminasi bambu betung berkisar antara 121.267 – 157.914 kg/cm2 dengan rata-rata 144.033 kg/cm2 dan 589 – 761 kg/cm2 dengan rata-rata 665 kg/cm2, sedangkan bambu andong 132.879 – 194.206 kg/cm2 dengan rata-rata 157.807 kg/cm2 dan 705 – 1.268 kg/cm2 dengan rata-rata 953 kg/cm2. Laminasi bambu betung seharusnya memiliki MOE dan MOR yang lebih tinggi dari bambu tali dan andong karena pengujian pada sampel bilah, bambu betung mempunyai nilai MOE dan MOR paling tinggi, begitu juga dengan hasil penelitian lainnya. Ketidaksesuaian ini diduga karena saat pengujian bambu betung pertama bagian ujung telah terjadi kerusakan sebelum adanya penurunan grafik yang terlihat di layar komputer, jadi pengujian dihentikan pada saat itu dan beban maksimumnya pun sangat kecil dibandingkan yang lainnya. Hasil rata-rata nilai MOE dan MOR bambu laminasi dua lapis dari ketiga jenis bambu disajikan pada Gambar 26. Nilai MOE dan MOR rata-rata pada lamina LL yaitu 1.606 kg/cm2 dan 935 kg/cm2, pada lamina DD 1.251 kg/cm2 dan 707 kg/cm2, sedangkan pada lamina LD 1.485 kg/cm2 dan 841 kg/cm2. Lamina LL memiliki nilai MOE dan MOR tertinggi sedangkan lamina DD memiliki MOE dan MOR terendah. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari distribusi ikatan pembuluh yang paling banyak terdapat di bagian luar sedangkan paling sedikit di bagian dalam. (kg/cm2)
3.000 2.000 1.000 MOE (x100) MOR
LL
DD
LD
1.606
1.251
1.485
935
707
841
Gambar 26 MOE dan MOR pada susunan bambu laminasi dua lapis.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
1.1 Kesimpulan 1. Proporsi luas ikatan pembuluh pada ruas lebih besar daripada buku bambu. Ikatan pembuluh akan semakin banyak dan semakin kecil ukurannya dari bagian dalam ke bagian luar. Proporsi luas ikatan pembuluh tertinggi pada arah vertikal terdapat pada bagian tengah dan pada bagian pangkal terendah, kecuali pada bambu andong yang bagian ujungnya memiliki proporsi luas ikatan pembuluh terendah. 2. Kadar air pada ketiga jenis bambu tidak berbeda secara signifikan. Bambu betung memiliki kadar air terendah dan bambu tali tertinggi. Semakin besar kerapatan maka semakin besar pula berat jenisnya. Bambu andong memiliki kerapatan dan berat jenis tertinggi sedangkan bambu tali terendah. 3. Kekuatan tarik pada ruas lebih tinggi dibandingkan buku. Kekuatan tarik semakin kecil dari bagian luar (tepi) ke bagian dalam. Pada arah vertikal, kekuatan tarik semakin besar dari pangkal ke ujung, kecuali pada bambu betung yang memiliki kekuatan tarik terbesar di bagian ujung dan kekuatan tarik terkecil di bagian tengah. 4. Nilai MOE dan MOR pada ruas lebih tinggi daripada bukunya. Nilai MOE dan MOR pada posisi vertikal tidak menentu dan nilai MOE mempunyai hubungan yang kuat dengan nilai MOR. 5. Susunan bambu laminasi dua lapis dari arah horizontal yang paling baik adalah lamina yang disusun dari bagian luar dengan luar (lamina LL). 5.2
Saran Perlu dilakukan penelitian serupa terhadap jenis bambu yang berbeda dan
dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar diketahui sifat dasarnya.
DAFTAR PUSTAKA [ASTM] American Society for Testing and Materials. 2008. Standard Methods of Testing Small Clear Specimens of Timber. Serial Designation D 143-94. ASTM. Philladelphia. Bowyer JL, Shmulsky R dan Haygreen JG. 2007. Forest Products and Wood Science. An Introduction Fifth Edition. Iowa: Iowa State Press. Breyer DE, Fridley KJ, Pollog DG, dan Cobeen KE. 2003. Design of Wood Structures - ASD. Fifth Edition. New York: Mc Graw Hill Companies. Dransfield S and EA Widjaja. 1995. Plant Resources of South East Asia (PROSEA) No.7: Bamboos. Leiden: Backhuys Publisher. Febriyani. 2008. Sifat Fisis Mekanis Panel Sandwich dari Tiga Jenis Bambu [Skripsi]. Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Diterbitkan. Frick H. 2004. Ilmu Konstruksi Bangunan Bambu, Seri Konstruksi Arsitektur 7. Yogyakarta: Kanisius. Haris A. 2008. Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis Buluh Bambu Sebagai Konstruksi Menggunakan ISO 22157-1: 2004 [Skripsi]. Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Diterbitkan. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia I. Jakarta: Departemen Kehutanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Idris AA, Anita F, Purwito. 1994. Penelitian Bambu Untuk Bahan Bangunan. Dalam: Strategi Penelitian Bambu di Indonesia. PUSPITEK Serpong, 2122 Juni 1994. [ISO] International Organization for Standardization 22157-1 First Edition. 2004. Bamboo – Determination of Physical and Mechanical Properties. Switzerland: International Standard. Janssen JJA. 1981. The Relationship between the Mechanical Properties and the Biological and Chemical Compotition of Bamboo. Dalam: Higuchi T (Ed). Bamboo Production and Utilization. Proceeding of The Congress Group 5.3, Production and Utilization of Bamboo and Related Species, XVII International Union Forest Resarch Organization World Congres Kyoto, Japan (hlm. 27-32). 6-17 September 1981.
46
Krisdianto, Sumarni G dan Ismanto A. 2000. Sari Hasil Penelitian Rotan dan Bambu. Bogor: Balitbang Kehutanan dan Perkebunan. Kusumah SS. 2009. Pengembangan Papan Komposit Ramah Lingkungan dari Bambu, Finir dan Log Core Kayu Karet (Hevea brasiliensis (Willd.Ex A.Juss.) Mull. Arg.) [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Liese and Grosser. 1973. Bamboo Classification. Journal of The Arnold Arboretum vol 54:2. Liese W. 1980. Anatomy of Bamboo. Dalam: Bamboo Research in Asia. Proceeding of a Workshop Held in Singapore, 28-30 May 1980. Mabulan
E.
2012.
Ketersediaan
Kayu
di
Indonesia
Kritis.
http://krjogja.com/read/115134/ketersediaan-kayu-di-indonesia-kritis.kr [22 Juli 2012]. Noermalicha. 2001. Rekayasa Rancang Bangun Laminasi Lengkungan Bambu [Tesis]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Nuriyatin N. 2000. Studi Analisa Sifat-Sifat Dasar Bambu pada Beberapa Tujuan Penggunaan [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Nuryatin N. 2012. Pola Ikatan Pembuluh Bambu Sebagai Penduga Pemanfaatan Bambu [Disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Purwito. 2008. Standarisasi Bambu Sebagai Bahan Bangunan Alternatif Pengganti Kayu. Dalam: Prosiding PPI, 5 November 2008. Puslitbang BSN. Sastrapradja S, EA Widjaja, Soehardjono P dan Soejatmi S. 1980. Beberapa Jenis Bambu. Lembaga Nasional LIPI. Jakarta: Balai Pustaka. Setiadi A. 2009. Sifat Kimia Beberapa Jenis Bambu Pada Empat Tipe Ikatan Pembuluh. Skripsi Fakultas Kehutanan IPB. Tidak Diterbitkan. Sulthoni A. 1994. Permasalahan Sumberdaya Bambu di Indonesia. Dalam: Strategi Penelitian Bambu di Indonesia. PUSPITEK Serpong, 21-22 Juni 1994.
47
Surjokusumo S dan Nugroho N. 1994. Pemanfaatan Bambu Sebagai Bahan Bangunan. Dalam: Strategi Penelitian Bambu di Indonesia. PUSPITEK Serpong, 21-22 Juni 1994. Widjaja EA. 2001. Identikit Jenis-Jenis Bambu di Jawa. Bogor: Puslitbang Biologi-LIPI.
LAMPIRAN
49
Lampiran 1. Jumlah ikatan pembuluh/mm2 dan proporsi luas ikatan pembuluh (%) Jenis Jumlah ikatan Posisi Bagian Proporsi luas (%) bambu pembuluh/mm² Ruas 1,61 56,76 Pangkal Buku 2,00 50,47 Ruas 2,63 72,68 Tali Tengah Buku 1,75 53,18 Ruas 2,07 62,21 Ujung Buku 2,12 50,67 Ruas 2,03 77,80 Pangkal Buku 2,21 50,85 Ruas 3,08 79,21 Betung Tengah Buku 1,97 62,24 Ruas 1,88 66,02 Ujung Buku 2,74 63,73 Ruas 2,58 66,76 Pangkal Buku 1,73 52,04 Ruas 1,99 70,84 Andong Tengah Buku 1,72 49,32 Ruas 2,09 63,00 Ujung Buku 1,46 51,49 Lampiran 2. Kadar air pada bilah tiga jenis bambu Ulangan Jenis bambu Posisi Bagian 1 2 Ruas 10,58 11,22 Pangkal Buku 10,61 11,00 Ruas 10,64 11,27 Tali Tengah Buku 11,17 10,69 Ruas 13,43 11,11 Ujung Buku 10,69 11,28 Ruas 9,20 10,44 Pangkal Buku 9,86 10,75 Ruas 10,30 10,50 Betung Tengah Buku 10,25 10,23 Ruas 11,19 10,27 Ujung Buku 10,05 11,05 Ruas 11,49 11,59 Pangkal Buku 10,97 10,71 Ruas 11,06 10,76 Andong Tengah Buku 11,07 10,67 Ruas 11,00 10,24 Ujung Buku 10,37 11,11
Rata-rata 10,90 10,81 10,95 10,93 12,27 10,98 9,81 10,31 10,40 10,24 10,73 10,55 11,54 10,84 10,91 10,87 10,62 10,74
51
Lampiran 5. Tegangan tarik maksimum pada bilah tiga jenis bambu Ulangan Jenis bambu Posisi Rata-rata Bagian 1 2 2.596 Ruas 2.189 3.003 Pangkal 1.353 Buku 1.541 1.166 2.715 Ruas 3.027 2.404 Tali Tengah 1.215 Buku 1.165 1.265 2.767 Ruas 3.121 2.413 Ujung 789 Buku 894 684 3.804 Ruas 3.899 3.710 Pangkal 2.251 Buku 2.230 2.272 3.496 Ruas 3.376 3.615 Betung Tengah 1.977 Buku 1.645 2.309 4.238 Ruas 4.134 4.341 Ujung 872 Buku 1.373 371 2.898 2.980 Ruas 3.063 Pangkal 1.518 Buku 1.191 1.846 3.997 3.172 Ruas 2.346 Andong Tengah 1.666 Buku 1.888 1.444 3.403 Ruas 4.219 2.587 Ujung 2.737 Buku 1.560 3.914 Lampiran 6. Tegangan tarik maksimum sejajar serat pada arah horizontal tiga jenis bambu Ulangan Jenis bambu Posisi Rata-rata 1 2 Luar 1.978 2.075 2.026 Tali Center 1.578 1.773 1.675 Dalam 964 1.494 1.229 Luar 2.283 2.174 2.229 Betung Center 1.645 1.653 1.649 Dalam 1.443 1.311 1.377 Luar 2.189 1.686 1.938 Andong Center 1.516 1.485 1.501 Dalam 820 755 787
52
Lampiran 7. MOE pada bilah tiga jenis bambu Ulangan Jenis bambu Posisi Bagian 1 2 141.775 138.217 Ruas Pangkal 36.390 62.090 Buku 179.024 139.704 Ruas Tali Tengah 62.221 81.870 Buku 161.192 54.566 Ruas Ujung 57.607 112.804 Buku Ruas 133.871 241.775 Pangkal Buku 68.355 115.996 Ruas 154.032 184.957 Betung Tengah Buku 54.204 97.630 Ruas 144.355 205.580 Ujung Buku 87.790 87.028 100.457 Ruas 147.157 Pangkal Buku 70.228 60.383 204.019 Ruas 152.657 Andong Tengah Buku 72.147 67.802 Ruas 213.016 143.381 Ujung Buku 67.872 76.049 Lampiran 8. MOR pada bilah tiga jenis bambu Ulangan Jenis bambu Posisi Bagian 1 Ruas 1.178 Pangkal Buku 516 Ruas 1.365 Tali Tengah Buku 695 Ruas 1.182 Ujung Buku 635 Ruas 1.062 Pangkal Buku 855 Ruas 1.403 Betung Tengah Buku 821 Ruas 962 Ujung Buku 1.088 Ruas 1.214 Pangkal Buku 760 1.545 Ruas Andong Tengah Buku 957 Ruas 1.859 Ujung Buku 902
2 1.036 754 1.228 897 953 685 1.933 1.111 1.471 1.044 1.746 1.044 790 711 1.016 734 1.069 796
Rata-rata 139.996 49.240 159.364 72.046 107.879 85.206 187.823 92.176 169.495 75.917 174.968 87.409 123.807 65.305 178.338 69.974 178.199 71.961
Rata-rata 1.107 635 1.296 796 1.067 660 1.497 983 1.437 932 1.354 1.066 1.002 736 1.281 846 1.464 849
53
Lampiran 9. MOE bambu laminasi dua lapis Ulangan Jenis bambu Posisi Susunan 1 2 LL 151.330 139.645 Pangkal DD 108.579 97.359 LD 133.646 148.004 LL 154.158 145.314 Tali Tengah DD 153.981 129.571 LD 141.258 142.349 LL 100.050 117.509 Ujung DD 139.154 98.478 LD 163.460 118.401 LL 174.044 145.249 Pangkal DD 75.827 124.854 LD 127.854 178.374 LL 177.706 139.217 Betung Tengah DD 110.128 167.560 166.097 217.135 LD LL 77.945 203.354 Ujung DD 58.496 190.736 LD 83.832 174.194 LL 190.001 137.381 Pangkal DD 134.559 62.093 LD 118.530 113.315 LL 238.124 207.543 Tengah Andong DD 168.467 128.622 LD 190.918 179.588 LL 236.139 156.047 Ujung DD 197.656 105.878 LD 177.948 97.712
Rata-rata 145.487 102.969 140.825 149.736 141.776 141.803 108.779 118.816 140.931 159.647 100.340 153.114 158.461 138.844 191.616 140.649 124.616 129.013 163.691 98.326 115.922 222.834 148.544 185.253 196.093 151.767 137.830
Lampiran 10. MOR bambu laminasi dua lapis Ulangan Jenis bambu Posisi Susunan Rata-rata 1 2 1.087 LL 1.208 966 Pangkal 581 DD 647 516 904 LD 955 852 989 LL 1.031 947 Tali Tengah 717 DD 842 593 1.253 LD 1.502 1.005 771 LL 661 881 Ujung 662 DD 700 624 819 LD 965 673 657 LL 678 636 Pangkal 1.149 DD 509 1.789 837 LD 319 1.356 623 553 LL 484 Betung Tengah 679 DD 288 1.071 473 665 LD 857 556 LL 438 674 Ujung 455 DD 160 751 434 LD 211 657 1.134 LL 1.385 882 Pangkal 666 DD 855 478 819 LD 918 720 1.333 LL 1.596 1.069 Andong Tengah 652 DD 972 332 1.060 LD 1.078 1.042 1.339 LL 1.701 977 Ujung 797 DD 1.088 506 782 LD 1.229 334
54 Lampiran 11. Analisis korelasi bambu tali Kerapatan (g/cm ³) Kerapatan (g/cm³) BJ Kekuatan Tarik (kg/cm²) MOE (kg/cm²) MOR (kg/cm²)
1
0,394329770
0,335045118
1
0,272246176 0,409972572
0,242720271 0,359706743
0,698348581 0,829872055
Proporsi luas ikatan pembuluh (%)
Kerapatan (g/cm³)
1 0,86943
1
BJ
1 0,686636363
1
0,059705034 0,076663205
0,437657012 0,427370998
Jumlah ikatan pembuluh/mm² Jumlah ikatan pembuluh/mm² Proporsi luas ikatan pembuluh (%) Kekuatan Tarik (kg/cm²) MOE (kg/cm²) MOR (kg/cm²)
MOE MOR (kg/cm²) (kg/cm²)
1 0,993005559
Jumlah ikatan pembuluh/mm² Jumlah ikatan pembuluh/mm² Proporsi luas ikatan pembuluh (%) Kerapatan (g/cm³) BJ
Kekuatan tarik (kg/cm ²)
BJ
1 0,997383053 Kekuatan Tarik (kg/cm²)
Proporsi luas ikatan pembuluh (%)
1 MOE MOR (kg/cm²) (kg/cm²)
1 0,686636363
1
0,217355443
0,800518067
1
0,367460763 0,363254281
0,828785830 0,916280851
0,792633789 0,920122591
1 0,93655
1
55 Lampiran 12. Analisis korelasi bambu betung Kerapatan (g/cm³) Kerapatan (g/cm³) BJ Kekuatan tarik (kg/cm²) MOE (kg/cm²) MOR (kg/cm²)
1 0,999355556 -0,237532046 0,291767904 0,506591624
Jumlah ikatan pembuluh/mm² Jumlah ikatan pembuluh/mm² Proporsi luas ikatan pembuluh (%) Kerapatan (g/cm³) BJ
1 -0,23546866 0,28480565 0,49666730 Proporsi luas ikatan pembuluh (%)
MOE (kg/cm²)
MOR (kg/cm²)
1 0,770224920 1 0,552878303 0,9296411
Kerapatan (g/cm³)
1
BJ
1 0,289414421
1
0,610193387 0,517874762
0,035599458 -0,016700355
Jumlah ikatan pembuluh/mm² Jumlah ikatan pembuluh/mm² Proporsi luas ikatan pembuluh (%) Kekuatan Tarik (kg/cm²) MOE (kg/cm²) MOR (kg/cm²)
Kekuatan tarik (kg/cm²)
BJ
Proporsi luas ikatan pembuluh (%)
1 0,993086707 Kekuatan Tarik (kg/cm²)
1 MOE (kg/cm²)
MOR (kg/cm²)
1 0,289414421
1
-0,276093152
0,506862747
1
-0,010717158 0,147303482
0,697684415 0,78747674
0,906306855 1 0,81077969 0,9792485
1
56 Lampiran 13. Analisis korelasi bambu andong Kerapatan (g/cm³) Kerapatan (g/cm³) BJ Kekuatan tarik (kg/cm²) MOE (kg/cm²) MOR (kg/cm²)
1 0,905720824 0,427747038 0,503145242 0,633082950
Jumlah ikatan pembuluh/mm² Jumlah ikatan pembuluh/mm² Proporsi luas ikatan pembuluh (%) Kerapatan (g/cm³) BJ
Kekuatan Tarik (kg/cm²) MOE (kg/cm²) MOR (kg/cm²)
1 0,340364235 0,387934924 0,523282527
MOE MOR (kg/cm²) (kg/cm²)
1 0,734966170 0,711913477
Proporsi luas ikatan Kerapatan (g/cm³) pembuluh (%)
1 0,91945
1
BJ
1 0,75333559
1
-0,229047074 -0,450183292
0,280026266 0,102361476
Jumlah ikatan pembuluh/mm² Jumlah ikatan pembuluh/mm² Proporsi luas ikatan pembuluh (%)
Kekuatan tarik (kg/cm²)
BJ
Proporsi luas ikatan pembuluh (%)
1 0,955850649 Kekuatan Tarik (kg/cm²)
1 MOE MOR (kg/cm²) (kg/cm²)
1 0,75333559
1
0,48881747
0,78418946
1
0,567038329 0,449338657
0,889177205 0,746348396
0,841752702 0,834446559
1 0,96462
1