487
Dinamika kualitas air pada budidaya udang vaname ... (Muhammad Nur Safaat)
DINAMIKA KUALITAS AIR PADA BUDIDAYA UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) SEMI-INTENSIF DENGAN TEKNIK PERGILIRAN PAKAN Muhammad Nur Syafaat, Abdul Mansyur, dan Syarifuddin Tonnek Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Aplikasi pakan tambahan pada budidaya vaname semi-intensif dan intensif di samping dapat meningkatkan produksi namun di sisi lain dapat berpengaruh terhadap lingkungan budidaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati dinamika kualitas air pada budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) dengan pergiliran pakan menggunakan teknologi semi-intensif. Penelitian dilakukan di tambak percobaan Takalar, menggunakan enam petak pembesaran udang vaname berukuran rata-rata 4.000 m2. Hewan uji yang digunakan adalah pasca larva udang vaname dengan bobot awal rata-rata 0,001 g yang ditebar dengan kepadatan 25 ind./m2. Penelitian diset dalam rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan, masingmasing dua ulangan. Perlakuan yang diujicobakan adalah pergiliran pakan; Perlakuan A (2 hari protein tinggi dan 1 hari protein rendah), perlakuan B (100% protein rendah), dan perlakuan C (100% protein tinggi). Pengukuran parameter kualitas air yang meliputi suhu, salinitas, dan pH dilakukan secara insitu, sedangkan amoniak, bahan organik total, nitrit, nitrat, dan fosfat dilakukan setiap 15 hari. Sampel kualitas air diambil menggunakan botol sampel kemudian dimasukkan dalam cool box yang berisi es batu dan selanjutnya dibawa untuk dianalisis di laboratorium kualitas air, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) Maros. Data hasil pengamatan parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif dengan bantuan tabel dan grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kisaran parameter kualitas air selama pemeliharaan masih berada pada kisaran yang dapat ditoleransi udang vaname meskipun kadar salinitas sempat mencapai >50 ppt untuk masing-masing perlakuan, dan pH 9,5 untuk perlakuan A. Perlakuan C mengalami peningkatan kadar amoniak yang melebihi ambang batas pada masa akhir penelitian dengan konsentrasi 1,5061 mg/L. KATA KUNCI:
kualitas air, udang vaname, semi-intensif, pergiliran pakan
PENDAHULUAN Di Indonesia kepadatan yang umum dilakukan di berbagai daerah antara 80–100 ind./m 2 udang vaname dan dapat ditingkatkan hingga 244 ind./m2, dengan menggunakan probiotik yang mampu menghasilkan panenan 37,5 ton/ha/siklus (Poernomo, 2004). Produksi yang tinggi akan berdampak kepada beban limbah yang dihasilkan baik berasal dari sisa pakan, maupun dari kotoran udang. Peningkatan produksi udang vaname berkorelasi dengan meningkatnya penggunaan pakan sebagai salah satu faktor produksi utama dalam kegiatan budidaya secara semi-intensif dan intensif. Alokasi biaya pakan pada budidaya udang dapat menyerap 60%–70% dari total biaya produksi udang (Palinggi & Atmomarsono, 1988; Akiyama & Chwang, 1989; Padda & Mangampa, 1993; Haliman & Adijaya, 2005). Tingginya biaya pakan antara lain disebabkan karena rasio konversi pakan (FCR) cenderung meningkat. Menurut Akiyama & Chwang (1989), bahwa untuk budidaya udang windu faktor yang mempengaruhi rasio konversi pakan adalah kualitas dan pengelolaan pakan selama pemeliharaan seperti pendugaan sintasan, dosis, dan waktu pemberian pakan. Dampak lain dari FCR yang tinggi menyebabkan air media dapat tercemar akibat akumulasi sisa pakan dan ekskresi amonia dengan cepat. Oleh karena itu, diperlukan suatu pendekatan baru yang mampu mengatasi permasalahan dalam hal efisiensi pengadaan pakan. Salah satu pendekatan untuk menekan biaya adalah melalui pergiliran pakan yaitu pakan protein tinggi digilir dengan pakan protein rendah (Tahe & Mansyur, 2010). Dengan menggunakan pakan yang berkadar protein rendah maka biaya untuk pembelian pakan lebih kecil sehingga dapat menekan biaya produksi. Pemberian pakan buatan/komersil baik
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
488
ukuran dan jumlahnya harus dilakukan secara cermat dan tepat sehingga udang tidak mengalami kekurangan pakan (underfeeding) atau kelebihan pakan (overfeeding) karena hal ini bisa menyebabkan pertumbuhan udang lambat, tidak seragam, badan keropos, dan timbulnya kanibalisme, serta menurunnya kualitas air atau pencemaran ke lingkungan budidaya. Tujuan riset ini untuk menelaah dan mendapatkan informasi dinamika kualitas air dari teknik pergiliran pakan pada budidaya udang vaname semi-intensif. BAHAN DAN METODE Penelitian telah dilakukan di tambak percobaan Punaga Takalar, menggunakan enam petak pembesaran udang vaname berukuran 3.500-4.000 m2. Perlakuan yang dicobakan adalah pergiliran pakan dengan aplikasi 2 hari protein rendah dan 1 hari protein tinggi (pergiliran pakan dimulai pada saat memasuki bulan ke-2 pemeliharaan) (A), 100% protein rendah (B) dan 100% protein tinggi (C). Benur vaname yang ditebar adalah benur SPF atau bebas WSSV dan TSV (pengamatan PCR). Pelaksanaan penelitian dimulai dengan persiapan petakan tambak sesuai dengan protap budidaya udang, yaitu pengeringan/pengolahan tanah dasar, pemberantasan hama, dan pengapuran. Persiapan air media untuk penebaran diupayakan berlangsung selama 3 minggu dan aplikasi probiotik 1 minggu sebelum penebaran. Kultur bakteri probiotik dengan dosis rata-rata 3,5–5,5 L/ha setiap minggu dikultur melalui proses fermentasi selama 3 hari dengan media tepung ikan, dedak halus, yeast, dan molase, serta air tambak. Dosis dan metode media fermentasi sesuai dengan pedoman yang sudah ada. Pemberian pakan komersial dimulai pada saat penebaran dengan dosis dan frekuensi adalah 2%-100%. Perubahan jumlah pakan yang diberikan dilakukan setiap 15 hari sekali sesuai dengan hasil pengukuran bobot biomassa udang uji. Pengukuran parameter kualitas air yang meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut, dan pH dilakukan secara insitu, sedangkan amoniak, bahan organik total, nitrit, nitrat, dan fosfat dilakukan setiap 15 hari. Sampel kualitas air dengan menggunakan botol sampel, dimasukkan dalam cool box yang berisi es batu dan selanjutnya dibawa untuk dianalisis di laboratorium kualitas air, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP). Data hasil pengamatan parameter kualitas air dianalisis secara deskriptif dengan bantuan tabel dan grafik. HASIL DAN BAHASAN Suhu, Salinitas, Derajat Kemasaman (pH) Parameter kualitas air yang penting dipantau antara lain suhu, salinitas, ph, dan oksigen terlarut (O2), nitrat, nitrit, fosfat, bahan organik total (BOT), dan amonia dalam pemeliharaan udang vaname karena berhubungan dengan proses metabolisme tubuh udang seperti keaktifan mencari makan, proses pencernaan, dan pertumbuhan. Dari Tabel 1 nampak bahwa kisaran suhu pada ketiga perlakuan relatif sama, di mana suhu terendah 25,5oC dan tertinggi pada 31oC. Kisaran tersebut masih berada dalam batas yang optimal bagi kehidupan udang vaname. Pillay (1993) menyebutkan bahwa vaname dapat bertahan pada
Tabel 1. Kisaran rata-rata parameter kualitas air (suhu, salinitas, dan pH) selama penelitian Perlakuan
Parameter Suhu (oC) Salinitas (ppt) pH
A±SD
B±SD
C±SD
25,5-30 33-49,5 7,5-9,5
26-31 34-52 7,25-8,5
25,5-30,5 33-50,5 7,5-8,75
A = pergiliran pakan 2 hari protein tinggi, 1 hari protein rendah, B = 100% pakan protein rendah, C = 100% pakan protein tinggi
489
Dinamika kualitas air pada budidaya udang vaname ... (Muhammad Nur Safaat)
kisaran suhu 22oC–32oC. Udang vaname hidup pada toleransi suhu 16oC–36oC dan optimal pada suhu 28oC–31oC (Anonim, 2003). Hasil pengamatan salinitas air tambak udang vaname selama pemeliharaan terlihat bahwa kisaran salinitas pada ketiga petakan relatif sama (Tabel 1). Tingginya salinitas pada konsentrasi salinitas tinggi. Hal ini disebabkan karena masa pemeliharaan dilakukan pada musim kemarau sehingga meningkatkan penguapan. Tingginya salinitas air tambak diduga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju pertumbuhan udang vaname selama pemeliharaan. Udang vaname dapat tumbuh baik/optimal pada kisaran salinitas 15–25 ppt (Mangampa, 2007). Watanabe (2000) dalam Stickney (2000) mengemukakan bahwa udang vaname dapat bertahan hidup pada kisaran dari 0–50 ppt. Udang vaname memiliki sifat euryhaline yang tinggi di mana mampu bertahan hidup pada kisaran salinitas 0–50 ppt dan kisaran suhu 22oC–32oC (Pillay, 1993). Kisaran nilai pH air yang diperoleh pada ketiga petak yaitu petak (A) 7,5–9,5; petak (B) 7,25–8,5; dan petak (C) 7,5–8,75. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa pH air media budidaya udang pada petak B dan C cukup optimal. Standar pH untuk budidaya vaname yaitu 7,5–8,5 (Anonim, 2003). Pada perlakuan A terjadi peningkatan pH memasuki masa pemeliharaan 2,5-3 bulan. Hal ini diduga karena adanya ledakan populasi plankton (algae bloom) yang ditandai dengan perubahan warna air menjadi hijau pekat. Pillay (1993) mengemukakan bahwa pH air dapat meningkat mencapai 9-10 pada siklus pH harian karena berkaitan dengan pengambilan karbondioksida selama proses fotosintesis. Pada perairan yang mengalami ledakan populasi plankton, pH dapat meningkat tajam menjadi pH 9 atau lebih pada siang hari dan sebaliknya, pada malam hari akan terjadi aktivitas respirasi yang tinggi maka terjadi penurunan pH (Irianto, 2005). Kepadatan plankton dapat diturunkan setelah melakukan pergantian air sehingga nilai pH mulai stabil sampai akhir penelitian. Menurut Murdjani et al. (2007) pergantian air adalah cara yang paling mudah untuk menurunkan kepadatan plankton pada kolam-kolam yang dikelola dengan sistem tertutup. Nitrat (NO3) Kisaran NO3 untuk perlakuan A: 0,0339–0,2083 mg/L; perlakuan B: 0,0429–0,3849 mg/L; dan perlakuan C: 0,0613–0,4918 mg/L. Konsentrasi NO3 pada masing-masing perlakuan cukup layak dan sangat diperlukan karena merupakan bentuk nitrogen yang dapat dimanfaatkan oleh plankton dalam pertumbuhannya. Menurut Clifford (1994) dalam Mangampa et al. (2007), konsentrasi NO3 yang optimal untuk udang vanamei berkisar 0,4-0,8 mg/L. Hasil pengamatan NO3 menunjukkan bahwa perlakuan C mempunyai konsentrasi NO3 yang lebih tinggi pada setiap pengamatan dibanding perlakuan lain (Gambar 1). Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari penggunaan pakan protein tinggi yang memiliki kadar N yang lebih tinggi sehingga berpengaruh terhadap jumlah pelepasan N ke perairan. Kibria et al (1997) dalam Sukadi (2010) menyebutkan bahwa dibanding larutnya N dari kotoran ikan, N yang larut dari pakan yang tak termakan bisa jadi merupakan sumber input utama sebagai limbah padatan ke lingkungan.
0,6 NO 3 (mg/l)
0,5
0,4918
0,4377 0,3849
0,4
A
0,3 0,20825
0,2 0,1
0,0691
0,12415
14
28
0,0932 0,0429
0,06265
0 56
70
B C
84
Hari
Gambar 1. Konsentrasi rata-rata nitrat (NO 3 ) selama penelitian
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
490
Nitrit (NO2)
NO 2 (mg/l)
Hasil pengamatan nitrit dalam air tambak pada ketiga perlakuan memperlihatkan pola penyebaran yang hampir sama selama pemeliharan dan masih dapat ditoleransi dengan kisaran masing masing: (A) 0,006-0,0995 mg/L; (B) 0,0067-0,0868 mg/L; dan (C) 0,0058–0,1321 mg/L. Menurut Suprapto (2005), kandungan NO2 yang dapat ditoleransi oleh udang vaname berkisar 0,1–1,0 mg/L. Sedangkan Adiwijaya et al. (2003) berpendapat bahwa kisaran optimal nitrit untuk budidaya udang vaname yakni 0,01–0,05 mg/L.
0,14 0,12 0,1 0,08 0,06 0,04 0,02 0
0,132 0,0995 0,087 0,063 0,056 0,044
0,06
0,0067 14
28
A
0,0564 0,052 0,0469
B
0,0187 0,0182 0,014 56
C 70
84
Hari
Gambar 2. Konsentrasi rata-rata nitrit (NO2) selama penelitian Fosfat Konsentrasi phosphat selama penelitian menunjukkan pola penyebaran yang relatif sama antara ketiga perlakuan (Gambar 3) dengan nilai kisaran masing-masing yaitu: (A) 0,0323–2,1793 mg/L; (B) 0,0779–2,9753 mg/L; dan (C) 0,0331–1,4721 mg/L.
PO4 (mg/l)
4 3
2,9753 2,1763 1,4721
2 1
0,253
0,0779 0,12135 0,05995 0,05515 0,04785 0,0511 0,03234
0 14
28
56
70
A B C
84
Hari
Gambar 3. Konsentrasi rata-rata fosfat (PO4) selama penelitian Konsentrasi fosfat pada awalnya relatif rendah di semua perlakuan, tetapi meningkat dengan semakin lamanya penelitian berlangsung. Terlihat pada semua perlakuan yakni pada hari ke-70 perlakuan (A) 2,1763 mg/L; (B) 2,9753 mg/L; dan (C) 1,4721 mg/L; namun pada hari ke-84 mulai turun. Hal ini sesuai dengan pendapat Boyd (1999) bahwa sisa pakan, feses udang dan bahan organik lainnya didekomposisi oleh mikroorganisme menjadi nutrien anorganik seperti fosfat, amonia, dan karbon dioksida. Peningkatan kandungan fosfat di air dapat meningkatkan populasi fitoplankton. Menurut Choo & Tanaka (2000), bahwa kadar fosfat yang direkomendasikan supaya tidak terjadi eutrofikasi di pantai dan di laut adalah 0,0045 mg/L dan 0,0015 mg/L. Dengan demikian konsentrasi fosfat pada penelitian ini melebihi konsentrasi fosfat yang direkomendasikan di perairan pantai dan hal ini jelas terlihat apabila air tambak dibuang ataupun pada saat panen.
491
Dinamika kualitas air pada budidaya udang vaname ... (Muhammad Nur Safaat)
Bahan Organik Total (BOT) Bahan organik total (TOM) menggambarkan kandungan bahan organik total suatu perairan yang terdiri atas bahan organik terlarut, tersuspensi dan koloid. Hasil pengamatan kandungan bahan organik total (BOT) yang didapatkan pada perlakuan A berkisar 31,09–48,49 mg/L; perlakuan B berkisar 32,19–49,7 mg/L; dan perlakuan C berkisar 26,97–49,14 mg/L. Berdasarkan pengamatan BOT yang didapatkan pada ketiga perlakuan tersebut tergolong layak dalam proses budidaya udang vaname. Menurut Adiwijaya et al. (2003), bahwa kisaran optimal bahan organik pada budidaya udang vaname < 55 mg/L. Kelayakan kandungan bahan organik terlarut ini diduga disebabkan oleh ketersediaan oksigen terlarut yang cukup dan pemberian probiotik yang bertujuan untuk membantu aktivitas bakteri dalam penguraian bahan organik menjadi senyawa sederhana. Kandungan bahan organik terlarut yang tinggi dapat menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air sehingga menurunkan daya tahan udang (Mangampa et al., 2007).
60 BOT (mg/l)
50
48,49 47,675 47,68
40
38,71 37,62 35,175
30 20
49,7
44,635 40,61
32,195 31,095 26,97
A B
10
C
0 14
28
56
70
84
Hari
Gambar 4. Konsentrasi rata-rata BOT selama penelitian Amoniak (TAN) Kisaran amoniak pada ketiga perlakuan cukup variatif yang menunjukkan pola naik turun dan cenderung naik pada masa akhir penelitian. Kisaran amoniak yang diperoleh selama penelitian yaitu; perlakuan A (0,052–0,4827 mg/L), perlakuan B (0,089–0,663 mg/L), dan perlakuan C (0,068–1,506 mg/L). Kisaran nilai TAN yang diperoleh masih berada pada batasan yang dapat ditoleransi pada budidaya udang penaeid. Menurut Chen & Lin (1992) dalam Ferreira et al. (2011), konsentrasi maksimum TAN yang dapat diterima pada budidaya udang penaeid yaitu 2 mg/L. Level ‘aman’ TAN yang dianjurkan pada pemeliharaan post larva L. vannamei adalah < 1.22 mg/L (Frias-espericueta et al., 2000 dalam Ferreira et al., 2011).
NH3 (mg/l)
Pada akhir penelitian perlakuan C mengalami peningkatan kadar TAN mencapai 1,5061 mg/L yang melebihi level aman yang dianjurkan oleh Frias-espericueta et al. (2000) dalam Ferreira et al. 1,6 1,4 1,2 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0
1,5061
0,41465 0,368 0,2944 5 0,2917 0,22225 0,21385 0,1021 0,06855 14
28
56
70
0,66285 0,4827
A B C
84
Hari
Gambar 5. Konsentrasi rata-rata amoniak selama penelitian
Prosiding Indoaqua - Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2012
492
(2011) yaitu < 1,22 mg/L. Hal ini diduga karena adanya pengaruh dari penggunaan pakan protein tinggi yang memiliki kadar N yang lebih tinggi pada perlakuan C sehingga berpengaruh terhadap jumlah pelepasan N ke perairan. Kibria et al. (1997) dalam Sukadi (2010) menyebutkan bahwa dibanding larutnya N dari kotoran ikan, N yang larut dari pakan yang tak termakan bisa jadi merupakan sumber input utama sebagai limbah padatan ke lingkungan. Salah satu tindakan preventif terhadap kondisi perairan tambak yang kurang baik yang diakibatkan oleh sisa pakan dan kotoran udang yaitu dengan aplikasi probiotik. Mansyur (2007) menyebutkan bahwa pemberian probiotik bertujuan untuk mengendalikan pertumbuhan bakteri patogen yang berbahaya, mengurai bahan organik yang mungkin disebabkan oleh sisa pakan dan kotoran udang serta membantu kestabilan derajat kemasaman dalam air. Keberadaan kincir dalam tambak yang berfungsi untuk meningkatkan kadar oksigen (O2) juga membantu dalam proses nitrifikasi sehingga dapat meminimalisasi daya toksik amonia (NH3). Swann (1997) mengemukakan bahwa melalui proses biologi, amonia beracun bisa terdegradasi menjadi nitrat yang tidak berbahaya. Akibat dari konsentrasi NH3 yang tinggi ini meskipun tidak mengakibatkan gagal panen namun diduga memberikan pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan udang vaname. Di antara keunggulan udang vaname adalah tahan terhadap gangguan lingkungan dan penyakit (Sugama, 2002; Anonim, 2003; Poernomo, 2004). KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kisaran nilai dari beberapa parameter kualitas air yang diamati selama pemeliharaan dengan teknik pergiliran pakan masih berada pada kisaran yang dapat ditoleransi udang vaname meskipun kadar salinitas sempat mencapai > 50 ppt pada saat memasuki bulan ke-2 untuk tiap perlakuan, pH > 9 untuk perlakuan A, dan perlakuan C mengalami peningkatan kadar total amoniak pada akhir penelitian dengan konsentrasi 1,5061 mg/L. 2. Kadar total amonia, nitrit dan nitrat pada perlakuan A dan B lebih rendah dibandingkan perlakuan C. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dibantu oleh Sdr. Sapar, Ilham, Krisno, selaku teknisi lapangan, dan Sdri. Sutrisyani, Rohani, Kurnia, Sarijanna, dan Gaffar atas bantuannya dalam menganalisis kualitas air di laboratorium, untuk itu, diucapkan terima kasih, semoga penelitian ini dapat bermanfaat. DAFTAR ACUAN Adiwijaya, D., Sapto, P.R., Sutikno, E., Sugeng, R., & Subiyanto, S. 2003. Budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) sistem tertutup yang ramah lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara, 29 hlm. Anonim. 2003. Litopenaeus vannamei sebagai alternatif budidaya udang saat ini. PT Central Protein Prima (Charoen Pokphand Group) Surabaya, 18 hlm. Akiyama, D.M. & Chwang, N.L.M. 1989. Shrimp feed requirements and feed management. In Akiyama, D.M. (ed.). Proceeding of the Southeast Asia Shrimp Farm Management Workshop. American Soybean Association, Singapore, p. 75-82. Boyd, C.F. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Auburn University, Alabama USA, 482 pp. Boyd, C.E. 1999. Codes of practice for responsible shrimp farming. Department of fisheries and Allied Aquacultures, Auburn University, AL USA, 36 pp. Choo, P.S. & Tanaka, K. 2000. Nutrient levels in ponds during the grow-out and harvest phase of Penaeus monodon under semi-intensive or intensive culture. JIRCAS Journal, 8: 13–20. Ferreira, N.C., Bonetti, C., & Seiffert, W.Q. 2011. Hydrological and Water Quality Indices as management tools in marine shrimp culture. Aquaculture, 318: 425-433. Haliman, R.W. & Adijaya, D.S. 2005. Udang vaname, Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta, 75 hlm. Hendrajat, E.A. & Mangampa, M. 2006. Dinamika kualitas air budidaya udang vaname (Litopenaeus vannamei) pola tradisional plus Dengan kepadatan berbeda. Semnaskan, 13 hlm.
493
Dinamika kualitas air pada budidaya udang vaname ... (Muhammad Nur Safaat)
Hendrajat, E.A., Mangampa, M., & Suryanto, H.S. 2007. Budidaya Udang vaname (Litopenaeus vannamei) pola tradisional plus di kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Media Akuakultur, 2(2): 67-70. Irianto, A. 2005. Patologi ikan teleostei. Gadjah mada university press, 255 hlm. Mangampa, M., Suwoyo, H.S., & Rahmansyah. 2009. Dinamika kualitas air pada budidaya intensif udang vaname (Litopenaeus vannamei) dengan kedalaman air tambak yang berbeda. Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2009, 17 hlm. Murdjani, Arifin, Z., Adiwijaya, D., Komaruddin, U., Nur, A., Susanto, A., Taslihan, A., Ariawan, K., Mardjono, M., Sutikno, E., Supito, Latief, M.S., Cokarkin, C., & Proyoutomo, T.P. 2007. Penerapan best management practices (BMP) pada budidaya udang windu (Penaeus monodon Fabricus) intensif. Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Balai besar Pengembangan Budidaya Air Payau, Jepara, 67 hlm. Pantjara, B., Nawang, A., Usman, & Rahmansyah. 2010. Budidaya Vaname sistem bioflok. Media Akuakultur, 5(2): 93-97. Padda, H. & Mangampa, M. 1993. Analisis ekonomi percobaan pergantian air dan lama aerasi dalam budidaya udang windu secara intensif di tambak Marana, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai. Maros, 16–19 Juli 1993. 11: 161–168. Palinggi, N.N. & Atmomarsono, M. 1988. Pengaruh beberapa jenis bahan baku pakan terhadap pertumbuhan udang windu (Penaeus monodon Fabr.). J. Pen. Budidaya Pantai. 1(4): 21–28. Pillay, T.V.R. 1993. Aquaculture (Principles and Practices). Fishing News Books, A division of Blackwell Scientific Publication Ltd., 575 pp. Poernomo, A. 2004. Teknologi Probiotik Untuk Mengatasi Permasalahan Tambak Udang dan Lingkungan Budidaya. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Pengembangan Ilmu dan Inovasi Teknologi dalam Budidaya. Semarang, 27–29 Januari 2004. 24 hlm. Stickney, R.R. 2000. Encyclopedia of Aquaculture. Texas sea grand college program, Bryan Texas. Awiley Interscience Publication. 1,068 pp. Sugama, K. 2002. Status budidaya udang introduksi Litopenaeus vannamei dan Litopenaeus stylirostris serta prospek pengembangannya dalam tambak air tawar. Disampaikan dalam Temu Bisnis Udang. Makassar, 19 Oktober 2002. Sukadi, M.F. 2010. Ketahanan dalam Air dan Pelepasan Nitrogen dan Fosfor ke Air Media dari Berbagai pakan Ikan Air Tawar. J. Ris. Akuakultur, 5(1): 1-12. Suprapto. 2005. Petunjuk teknis budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei). CV Biotirta. Bandar Lampung. 25 hlm. Tahe, S. & Mansyur, A. 2010. Pengaruh pergiliran pakan terhadap pertumbuhan, sintasan dan produksi udang vaname (L. vannamei) pada bak terkontrol (in press). Laporan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, 12 hlm. Swann, L. 1997. A fish farmer’s guide to understanding water quality. Aquaculture extension, Illinois – Indiana sea grant program. 8 pp.