Dimulai dengan (sebut sama namanya) Tomat, bukan nama sebenarnya.
“Woi
Bro!
Apa
kabar?”
ia
menyapa
sambil
mengangkat tangan kanannya seperti anak hip hop yang baru pulang dari pelantikan menjadi menjadi MENteri KOordinator KEsejahteraan Mental Pemusik INdonesia Gahol (Menko Kemping). Sebelumnya dia tidak jadi menteri, dan memang gayanya sudah begitu; mungkin ini bagian dari suratan takdir. Jaket merahnya sama: kedodoran karena dia pesan ukuran L, padahal badan seperti itu sepertinya bisa sampai di ukuran M saja sudah keajaiban. Di belakang jaket itu ada tulisan nama kelasnya –iya, itu jaket angkatan. Konon kabarnya ia sangat membanggakan kelasnya ini. Saking bangganya, sampaisampai ia rela tidak memunculkan wajahnya di buku tahunan (sebagai bagian dari kelasnya) dengan alasan yang masih kontroversial sampai sekarang karena belum bisa dibuktikan secara empiris. Beberapa hipotesis yang sudah diajukan antara lain sebagai berikut:
1. Ia tidak tega melihat buku tahunan kelasnya ternoda olehnya. Tomat ini memang pecicilannya nggak umum, jadi ia rentan menumpahkan berbagai jenis benda cair ke buku tahunan hingga ternoda. Sebut saja jus jeruk, tinta, cat air, minuman bersoda, atau susu coklat; teman-teman sekelasnya sudah maklum. 2. Dia tidak bisa dihubungi karena HP dan telepon rumahnya rusak. Di sini “rusak” adalah kata lain untuk “a phone call that would be unlikely to become your favorite.” Ada berbagai kemungkinan yang bisa terjadi saat seseorang mencoba menghubungi si Tomat ini. Yang paling ringan adalah saat telepon tidak diangkat. Yang agak berat mungkin pembicaraan yang diawali dengan, “Kamu bisa datang untuk foto buku tahunan nggak?” berakhir dengan pembicaraan filosofis tentang hakikat eksistensi manusia di alam semesta. Yang paling berat, kamu akan diajak mendaki gunung bersama-sama, dan saat kamu berusaha menolak secara
halus,
akan
ada
kuliah
singkat
tentang
eksistensi manusia di alam semesta. Bonus ekstra: hipotesis terjadinya lubang hitam (black hole) dan faktafakta trivial di balik penciptaan lagu Muse yang berjudul “Supermassive Black Hole.” 2
3. Dia sudah dipotret, tapi tidak terlihat dalam print-out foto itu di buku tahunan karena sebenarnya dia adalah Casper –si hantu baik hati- yang menyamar. Untuk yang satu ini, saya kurang setuju. Dia itu Stretch, paman Casper yang hobi melar dan bermulut besar. 4. Berbagai alasan lain yang tidak terlalu bisa saya rumuskan dengan jelas, karena agak sulit untuk menyusun cerita yang koheren, yang sekiranya bisa melibatkan keseluruhan topik berikut ini dalam satu frame: griffin, Jimmy Hendrix, flash clash photography (apapun artinya itu. Is that even a valid terminology?), piromania, Dragon Ball, serta sejarah tentara Terracota. Pada akhirnya, sepertinya semua orang sudah sepakat untuk
saling
ketidakhadiran
mengikhlaskan, ini
sebagai
dan misteri
membiarkan yang
tidak
terpecahkan. Sempat juga ada perdebatan tentang apakah kejadian ini perlu atau tidak perlu untuk didaftarkan ke 100 keajaiban dunia atau Guinness’ Book Of Record; tapi seiring semua orang tumbuh dewasa, angka di saldo ATM dan transkrip akademik tampaknya jadi lebih krusial daripada rekor dunia apapun. Jadi pada intinya, semua mengabaikannya, tidak terkecuali saya. Sampai
3
pada titik ini, saat dia duduk di kursi yang tadinya kosong itu. Saya
tersenyum
dengan
se-poker-face
mungkin.
Beberapa hari yang lalu, pembicaraan dengan seorang kakak kelas mengungkap bahwa pelatihan poker face yang saya lakukan selama ini ternyata masih ada titik lemahnya, dan dialah salah satu pemicu munculnya titik lemah ini. Meskipun saya masih bisa bercerita jelas dengan kalimat-kalimat yang sebagian besar lengkap dan selesai, saya gagal untuk tidak menangis. Tidak ada yang traumatis –atau setidaknya saya pikir begitu- dari pertemuan apapun yang terjadi antara dia dan saya, atau paling tidak saya rasa saya sudah punya penjelasan untuk masalah apapun yang terjadi. Ternyata... mungkin tidak juga. Maka hadirlah dia di kursi ini. “Aku duduk di sini nih?” tanyanya sambil bolak-balik badan. Beberapa kali ia melihat ke pintu, dengan ekspresi antara lega karena diselamatkan dari kejaran wartawan dan tidak yakin bahwa ruang ini akan cukup luas untuk membuatnya
bebas
dari
serangan
panik
karena
klaustrofobia. Dia bukan penderita klaustrofobia sih, setahu saya. Tapi secara kebetulan memang tidak pernah saya melihat dia bisa duduk sepenuhnya tenang saat 4
berada di dalam ruangan tertutup. Saya pikir itu karena dia memang bawaannya pecicilan, tapi.. apa mungkin dia sebenarnya klaustrofobia dan saya tidak tahu? Mungkin sebaiknya saya tanyakan juga pada kesempatan ini. Saya mengangguk. Dia duduk bersandar ke bantalan punggung kursi yang empuk. Tiga detik saja, lalu kembali mencondongkan badannya ke depan, dan bertanya seolah tidak sabar, “So. What’s up?” Saya tersenyum kecil, kali ini sambil menghela nafas. Kilat antusiasme di matanya kurang lebih masih sama. Tentu saja antusiasme itu bukan sesuatu yang tunggal; di dalamnya ada kecemasan, harapan, semangat, fokus yang teralih, dan letupan ide dari berbagai dendrit dan akson yang menembak dengan kecepatan yang tidak akan dapat dikalahkan Lucky Luke sekalipun. Mungkin juga ada beberapa komponen lain yang saya tidak tahu, tidak akan pernah tahu, dan pada akhirnya tetap harus saya terima begitu saja. Jadi saya pun mengangkat bahu dan menjawab, “Biasa aja, nggak ada yang khusus.” Dia
mendengus
sambil
nyengir
dan
kembali
menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. 5
“Kamu punya klaustrofobia?” tanya saya cepat, sebelum dia mengeluarkan komentar; saya tahu dia pasti akan berkomentar. Lebih baik saya yang bertanya duluan. Matanya
sedikit membesar,
sedikit sekali sebelum
akhirnya kembali biasa. “Mungkin. Siapa yang peduli? Is that even a valid terminology?” “Since when did you speak English?” “I don’t. You make me do it. Kamu selalu begitu. Membuat aku jadi sesuatu yang bukan aku. Bedanya, dulu kamu membuat aku jadi tidak melakukan banyak hal,” ia memberondong dengan cepat. Dan untuk pertama kalinya, saya merasa dia... marah. Mungkin saya mengerutkan dahi, karena selanjutnya dia menunjuk ke dahi saya dan bertanya, “Itu artinya ‘not doing things such as what’?” tanyanya. Saya mengangguk, dan menyadari bahwa memang saya sebelumnya mengerutkan dahi, jadi saya pun mengendurkannya sambil memperbaiki posisi duduk saya. “Aku nggak jadi preman karena preman doesn’t date a girl who listens to classical music,” jawabnya cepat. I didn’t do classics back then, I sang Red Hot Chili Pepper; we 6
were in the same band, remember? Begitu pikir saya. Why do you seem like talking about me when you’re saying that? Ingin rasanya
protes
dan
mempertanyakan,
tapi
protes
berpotensi menghentikan cerita, dan mungkin saya jadi melewatkan apa yang seharusnya saya tahu, jadi saya diam saja. “Aku nggak jadi pemuka agama meskipun pintar baca Al Quran karena kamu bilang orang yang terlalu khusyuk punya
kecenderungan
untuk
delusional,”
ia
menambahkan lagi. Kalau saja di sini ada wasit –wasit apapun, mungkin peluitnya sudah saya ambil, saya tiup keras-keras, dan selanjutnya saya akan bilang, “Time out! Waktu itu aku bahkan nggak tahu apa itu delusional! Aku cuma murid SMA!” “Aku nggak jadi pedagang setelah lulus SMA karena kamu bilang aku nggak boleh egois. Aku harus bisa kuliah dan menjadi orang yang properly educated agar bisa mengajarkan banyak hal ke anak; hal-hal yang mungkin lebih bersifat prinsip dan filosofis, tidak sekedar teknis. Padahal aku kurang filosofis kaya apa coba? Memang kamu sinting..” katanya lagi. Saya tidak terlalu bisa memahami pernyataan yang ini. Saya bahkan tidak ingat
7
pernah mengatakan hal seperti ini. Selain itu saya dikatakan sinting. Ini bukan pertama kalinya saya dikatakan sinting. Mungkin paling tidak sudah seratus kali saya dikatain secara eksplisit kalau saya sinting, dan kalau yang terkatakan itu adalah suatu fenomena gunung es, kurang lebih bisa saya simpulkan bahwa mungkin setidaknya 25% dari populasi orang yang pernah mengenal saya sudah pernah mengatakan hal ini, setidaknya dalam hati. Saya tidak keberatan, sungguh. Masalahnya, selama ini saya menganggap dialah yang lebih sinting dari saya, dan sekarang... saya dikatain sinting oleh orang sinting? I need a drink..
8