DIALEKTIKA PENDIDIKAN ISLAM YANG DEMOKRATIS Haryanto al Fandi Dosen dan Pengelola Jurnal al-Qalam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Jawa Tengah di Wonosobo Abstrak Banyak pengamat pendidikan yang berpendapat bahwa pendidikan dan pembelajaran yang terjadi di sekolah selama ini kurang demokratis, yang terlihat dengan kurangnya ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi menunjukkan eksistensinya dengan perspektif mereka sendiri. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi tantangan dan lebih kompetitif. Sisi humanis dan demokrasi dalam koridor pendidikan nasional kita sudah semakin luntur. Di tingkat perguruan tinggi, fenomena kekerasan semakin marak. Brutalisme dan vandalisme sudah biasa dipertontonkan oleh para mahasiswa kita. Beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa merusak fasilitas kampus gara-gara mereka di-DO (drop-out) oleh pihak universitas karena prestasi mereka yang jeblok dan melebihi waktu studi yang digariskan universitas. Dalam atmosfere politik kampus, sering pula mahasiswa bentrok gara-gara terlibat dukung-mendukung calon pimpinan fakultas atau universitas. Kampus yang sudah tercemar tindak kekerasan, brutalisme, vandalisme, dan tindakan tidak bermoral lainya yang mengebiri harkat dan martabat manusia. Semua ini
merupakan bukti bahwa pendidikan saat ini ternyata belum
mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang punya jiwa social, menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Dan salah satu tawaran strategis dalam tataran paradigmatic ialah dengan berupaya menggali format atau model pendidikan yang demokratis dan berwawasan kemanusiaan.
Nilai-nilai
demokratis dan humanism penting dimasukkan ke dalam karakter pendidikan sehingga akan menghasilkan kualitas manusia yang berwawasan dan berorientasi kemanusiaan, bertanggung jawab serta menghargai adanya pluralisme.
Kata Kunci: Pendidikan Islam, Demokratis
Pendahuluan Pendidikan adalah proses yang sangat penting di dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan inilah setiap orang belajar seluruh hal yang belum mereka ketahui. Bahkan dengan pendidikan, seorang dapat menguasai dunia dan tidak terikat lagi oleh batas-batas yang membatasi dirinya. Pendidikan melahirkan seorang yang berilmu, yang dapat menjadi khalifah Allah di bumi ini. Seperti diungkapkan Muhammad ‘Abduh, seorang tokoh pembaharu Muslim terkenal, bahwa pendidikan adalah hal terpenting dalam kehidupan manusia dan dapat merubah segala sesuatu.1
1 Muhammad ‘Ammarah, Al-Imam Muhammad ‘Abduh, Al-Imam Muhammad ‘Abduh: Mujaddid al-Islam (Beirut: Al-Muassassah al-Islamiyyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, 1981), h.207.
Jurnal Kependidikan Al-Qalam Vol.IX | 59
Haryanto Al-Fandi, M.Pd.I
Pendidikan yang Demokratis
Pendidikan merupakan suatu proses berkelanjutan yang mengandung unsur-unsur pengajaran, latihan, bimbingan dan pimpinan dengan tumpuan khas kepada pemindahan berbagai ilmu, nilai agama dan budaya serta kemahiran yang berguna untuk diaplikasikan oleh individu (pengajar atau pendidik) kepada individu yang memerlukan pendidikan itu (peserta didik/siswa). Dalam sejarah peradaban umat manusia pendidikan merupakan salah satu komponen kehidupan yang paling urgen. Aktifitas ini telah dan akan terus berjalan semenjak manusia pertama ada di dunia sampai berakhirnya kehidupan di muka bumi ini. Bahkan kalau ditarik mundur lebih jauh lagi, proses pendidikan ini ternyata telah terjadi ketika Allah SWT telah selesai menciptakan Adam Alaihissalam. Pada saat itu Allah SWT mengumpulkan tiga golongan mahluk yang diciptakan-Nya untuk diadakan Proses Belajar Mengajar (PBM). Tiga golongan mahluk ciptaan Allah dimaksud yaitu Jin, Malaikat, dan Manusia (Adam Alaihissalam) sebagai "mahasiswa" nya, sedangkan Allah SWT bertindak sebagai "Maha Guru" nya. Setelah selesai PBM maka Allah SWT mengadakan evaluasi kepada seluruh mahasiswa (jin, malaikat, dan manusia) dengan cara bertanya dan menyuruh menjelaskan seluruh materi pelajaran yang diberikan, dan ternyata Adam lah (dari golongan manusia) yang berhasil menjadi juara dalam ujian tersebut. Kejadian di atas diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya QS. Al-Baqoroh: 30 - 33 sebagai berikut:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: 'sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang kholifah dimuka bumi', Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan kholifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?' Tuhan berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui'." "Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Mlaikt lalu berfirman: 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar!" "Mereka menjawab: 'Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengatahui lagi Maha Bijaksana'." "Allah berfirma: 'Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini!' Maka setelah diberitahukannya kepada mereka benda-benda itu, Allah berfirman: 'Bukankah sudah Ku katakana kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?". (QS Al Baqarah: 31-33).
60 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
Proses Pendidikan ini terus berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di bumi. Proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam alQur`an dan terjabarkan dalam Sunnah Rasul bermula sejak Nabi Muhmmad SAW menyampaikan ajaran tersebut pada umatnya. Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, peran pendidikan ini benar-benar bisa dilaksanakan dengan sukses, hal ini dapat kita saksikan dimana pendidikan benar-benar mampu membentuk peradaban sehingga peradaban Islam menjadi peradaban terdepan sekaligus peradaban yang mewarnai sepanjang Jazirah Arab, Asia Barat hingga Eropa Timur. Semenjak manusia berinteraksi dengan aktifitas pendidikan ini, semenjak itulah manusia telah berhasil merealisasikan berbagai perkembangan dan kemajuan dalam segala lini kehidupan mereka. Bahkan pendidikan adalah suatu yang alami dalam perkembangan peradaban manusia. 2 Dan secara paralel proses pendidikan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bentuk metode, sarana maupun target yang akan dicapai. Karena hal ini merupakan salah satu sifat dan keistimewaan dari pendidikan, yaitu selalu bersifat maju (taqaddumiyyah). Sehingga apabila sebuah pendidikan tidak mengalami serta tidak menyebabkan suatu kemajuan atau malah menimbulkan kemunduran maka tidaklah dinamakan pendidikan. Karena pendidikan adalah sebuah aktifitas yang integral yang mencakup target, metode dan sarana dalam membentuk manusia-manusia yang mampu berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungannya, baik internal maupun eksternal demi terwujudnya kemajuan yang lebih baik.3 Dalam konsepsi Islam Pendidikan merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan. Kedewasaan dalam bentuk akal, mental, maupun moral dalam rangka menjalankan fungsi kemanusiaan yang diemban sebagai seorang hamba dihadapan khalik-Nya (Abdullah) dan juga sebagai duta Allah (khalifah Allah) di alam semesta ini. Dalam konteks ini Achmadi memberikan pengertian Pendidikan sebagai usaha untuk mengembangkan fitroh manusia dan sumber daya insani menuju terbentuknya insan kamil sesuai dengan norma Islam, yang dimaksud dengan Insan kamil disini adalah muttaqin yang terefleksikan dengan perilaku baik, dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama maupun dengan alam sekitarnya.4 Hal ini meniscayakan adanya kebebasan gerak bagi setiap elemen dalam dunia pendidikan -terutama peserta didik- untuk mengembangkan diri dan potensi yang dimilikinya secara maksimal, sehingga memiliki kemampuan dan kesiapan untuk terjun ke tengah masyarakat (lingkungan). Akan sayangnya, ternyata pendidikan dan pembelajaran di sekolah selama ini kurang memberikan
peluang
bagi
peserta
didik
untuk
berimajinasi
dan
berkreasi
menunjukkan eksistensinya dengan perspektif mereka sendiri. Padahal, kreativitas
Abdurrahman Ibnu Al Khaldun, Muqaddimah, Daar Al Fikr, Beirut.,Cet I, 1998, hal.412. Mushthafa 'Abdus Sami', Teknolojia At Ta'lim, Markaz Al kitab Lin Nasyr, Cairo, 1999, hal.10, dalam “Orientasi Pembaharuan Pendidikan Dalam Tantangan Modernitas” , H. Irsyad Syafar Buan Lc, Dpl.Ed, Dipublikasikan di Jurnal OASE edisi 16 Th.2000 4 Achmadi, Ilmu Pendidikan Islam I, FT IAIN Walisongo, Salatiga, 1987, hlm.10 2 3
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 61
Haryanto Al-Fandi, M.Pd.I
Pendidikan yang Demokratis
dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi tantangan dan lebih kompetitif.5 Lebih mendalam lagi, pendidikan kita juga kurang demokratis dan telah mengalami proses “dehumanisasi”. Dikatakan demikian karena pendidikan mengalami proses kemunduran dengan terkikisnya nilai-nilai kemanusiaan yang dikandungnya, hal ini ditandai dengan munculnnya berbagai macam kasus kekerasan yang merebak dalam dunia pendidikan, kasus pelecehan seksual terhadap peserta didik, Praktik korupsi yang dilakukan oleh beberapa oknum penguasa adalah potret dari buram dan minimnya produk pendidikan kita. Sisi humanis dan demokratis dalam koridor pendidikan nasional kita sudah semakin luntur. Di tingkat perguruan tinggi, fenomena kekerasan semakin marak. Brutalisme dan vandalisme sudah biasa dipertontonkan oleh para mahasiswa kita. Beberapa waktu lalu, sekelompok mahasiswa merusak fasilitas kampus gara-gara mereka diDO (drop-out) oleh pihak universitas karena prestasi mereka yang jeblok dan melebihi waktu studi yang digariskan universitas. Dalam atmosfere politik kampus, sering pula mahasiswa bentrok gara-gara terlibat dukung-mendukung calon pimpinan fakultas atau universitas. Kampus yang sudah tercemar tindak kekerasan, brutalisme, vandalisme, dan tindakan tidak bermoral lainya yang mengebiri harkat dan martabat manusia. Semua ini merupakan bukti bahwa pendidikan saat ini ternyata belum mempunyai peran signifikan dalam proses membangun kepribadian bangsa kita yang punya jiwa social, menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Dan salah satu tawaran strategis dalam tataran paradigmatic ialah dengan berupaya menggali format atau model pendidikan yang demokratis dan berwawasan kemanusiaan. Nilai-nilai demokratis dan humanism penting dimasukkan ke dalam karakter pendidikan sehingga akan menghasilkan kualitas manusia yang berwawasan dan berorientasi kemanusiaan, bertanggung jawab serta menghargai adanya pluralisme. Berangkat pemaparan di atas terlihat, bahwa adanya sebuah paradigma pendidikan yang demokratis merupakan sebuah keniscayaan. Meskipu upaya untuk membangun pendidikan Islam yang demokratis ini bukanlah persoalan yang mudah karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus tetap melestarikan, menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dan dipihak lain berusaha untuk menanamkan karakter budaya nasional Indonesia dan budaya global.
Islam Pendidikan dan Demokrasi Pendidikan Islam Pendidikan dalam bahasa Arab artinya “Tarbiyah” dengan kata kerjanya “Robba” yang berarti mengasuh, mendidik, memelihara.
6
Pendidikan menurut Ki Hajar
Dewantara adalah tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, maksudnya
5
Kompas, 2 Desember 2004 6 Drajat, Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1996 hal: 25
62 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
pendidikan adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.7 Sedangkan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab 1 pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.8 Sedangkan yang dimaksudkan pendidikan Islam menurut Zakiah Drajat merupakan pendidikan yang lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain yang bersifat teoritis dan praktis.9 Dengan demikian, pendidikan Islam berarti proses bimbingan dari pendidik terhadap perkembangan jasmani, rohani, dan akal peserta didik ke arah terbentuknya pribadi muslim yang baik (Insan Kamil). Pendidikan memang sangat berguna bagi setiap individu. Jadi, pendidikan merupakan suatu proses belajar mengajar yang membiasakan warga masyarakat sedini mungkin menggali, memahami, dan mengamalkan semua nilai yang disepakati sebagai nilai terpuji dan dikehendaki, serta berguna bagi kehidupan dan perkembangan pribadi, masyarakat, bangsa dan negara. Proses pendidikan ini sebenarnya telah berlangsung sepanjang sejarah dan berkembang sejalan dengan perkembangan sosial budaya manusia di bumi. Proses pewarisan dan pengembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman pada ajaran Islam sebagaimana termaktub dalam Al Qur`an dan terjabar dalam Sunnah Rasul bermula sejak Nabi Muhmmad SAW menyampaikan ajaran tersebut pada umatnya. Selanjutnya terus mengalami perkembangan yang dibagi dalam lima periodisasi, yaitu, periode pembinaan pendidikan Islam pada masa Nabi Muhammad SAW, periode pertumbuhan pendidikan Islam yang berlangsung sejak Nabi Muhammad SAW wafat sampai masa akhir Bani Umayyah, periode kejayaan (puncak perkembangan) pendidikan Islam yang berlangsung sejak permulaan Daulah Abbasiyah sampai jatuhnya Baghdad, periode kemunduran pendidikan Islam, yaitu sejak jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon yang ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia Barat dan periode pembaharuan pendidikan Islam yang berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon sampai masa kini yangn ditandai dengan gejala-gejala kebangkitan kembali umat dan kebudayaan Islam. 7 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal: 4 8 UU Sisdiknas No. 20, 2003 9 Zakiah Drajat, op.cit : 25
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 63
Haryanto Al-Fandi, M.Pd.I
Pendidikan yang Demokratis
Proses pendidikan Islam yang mentransfer ilmu pengetahuan, mendapatkan format nilai dan budaya pada posisi yang menentukan masa depan peserta didik. Pendidikan Islam ke depan masih harus melandasi dinamikannya pada teks-teks transendental, sekalipun masa turunnya sudah lampau, dan mau mengkaji kemajuan-kemajuan pendidikan umat Islam masa silam serta mau bersandar setidaknya pada kaidah baru yang berbunyi “ al-akhzu bi al-jadid al-aslah wa al-muhafazah ala al-qodim al-salih.” (Mentransfer nilai-nilai baru yang lebih baik dengan tetap mempertahankan nilai-nilai lama yang baik).10
Sejarah Demokrasi Demokrasi pada prinsipnya merupakan suatu kategori dinamis, bukan statis. Demokrasi merupkan konsep yang universal. Anders Uhlin, menyatakan bahwa implementasi demokrasi di suatu negara dapat berbeda dengan negara lain, karena karakteristik sosial masyarakat dapat mempengaruhi penerapan nilai-nilai demokrasi yang universal tersebut. Gagasan seputar demokrasi selalu ada perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, suatu negara dapat disebut demokratis, jika dalam negara tersebut sudah berkembang proses-proses menuju kondisi yang lebih baik dalam pelaksanaan supremasi hukum, penegakkan HAM dan menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan prinsip kesadaran dalam konteks pluralisme. Demokrasi bisa dipahami sebagai suatu “polity” di mana semua warga negara menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, mempunyai hak yang sama di depan hukum, dan kebebasan untuk menjalankan agama yang dipeluknya.11 Dalam konteks ini ada beberapa hal yang dapat menjadi tolok ukur bagi perkembangan demokrasi dalam suatu negara, meskipun implementasi demokrasi tersebut sangat dinamis dan berlaku universal.
Pertama, adanya prinsip musyawarah dalam proses kehidupan politik. Prinsip ini menerima kebebasan berekspresi dan kemungkinan adanya perbedaan pendapat. Kedua, prinsip kesadaran terhadap adanya pluralisme dalam masyarakat. Ketiga, prinsip adanya kebebasan menyatakan pendapat dan penegakan HAM. Keempat, prinsip kesesuaian antara cara dengan pencapaian tujuan. Kelima, prinsip pemufakatan yang jujur dan transparan. Keenam, prinsip pemenuhan kebutuhan ekonomi dan perencanaan sosial-budaya. Ketujuh, prinsip penerapan keadilan dalam dinamika kehidupan politik. Keadilan merupakan nilai-nilai substansial dalam nyali kehidupan politik, sedangkan demokrasi merupakan suatu sistem yang representatif untuk merealisasikan keadilan itu. Dengan demikian, sistem politik yang demokratis, secara substansial dapat ditegakkan di dalam masyarakat yang memiliki norma-norma politik yang demokratis 10 Abdurrahman Mas’ud, dalam Muhtarom H.M, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. xi 11 Murod, Ma’mun. 1999. Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais tentang Negara. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal:59
64 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
pula, dan hal ini harus dimulai dari proses dan kegiatan belajar mengajar (pendidikan).
Menuju Pendidikan Islam Yang Demokratis Banyak
pengamat
pendidikan
yang
berpendapat
bahwa
pendidikan
dan
pembelajaran yang terjadi di sekolah selama ini kurang demokratis, yang terlihat dengan kurangnya ruang bagi peserta didik untuk berimajinasi dan berkreasi menunjukkan eksistensinya dengan perspektif mereka sendiri. Padahal, kreativitas dan kemampuan berpikir kritis merupakan kecakapan yang menjadi modal anak agar mampu menghadapi tantangan dan lebih kompetitif. 12 Dalam realitasnya proses pembelajaran yang terjadi di sekolah-sekolah selama ini memang kurang memberikan peluang kepada peserta didik untuk mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir kritis mereka. Peserta didik masih saja menjadi obyek. Mereka diposisikan sebagai orang yang tertindas, orang yang tidak tahu apaapa, orang yang harus dikasihani, oleh karenanya harus dijejali dan disuapi dengan beraneka ragam materi yang kadang kadang di luar kemapuan berpikir mereka. Dalam dunia pendidikan dapat dilihat setiap hari indoktrinasi dan brainwashing terus saja terjadi terhadap anak-anak didik. Anak-anak terus saja dianggap sebagai bejana kosong yang siap dijejali aneka bahan dan kepentingan demi keuntungan semata. Berpuluh-puluh tahun lamanya mereka dihadapkan pada hafalan tanpa adanya ruang untuk mengembangkan daya eksplorasi dan kreativitasnya. Anak-anak dipasung kebebasannya, tidak lagi dilihat sebagai manusia kecil yang harus dimanusiakan, tetapi mereka dianggap sebagai robot, beo, dan kader politik mini yang hanya tahu melaksanakan perintah ”bos”-nya. Pola pendidikan yang demikian ini sungguh akan berakibat yang serius bagi peserta didik, yakni anak-anak tidak akan mampu berproses dan berkembang menjadi diri mereka sendiri, melainkan menjadi obyek. Model pendidikan yang demikian ini sungguh tidak demokratis dan tidak manusiawi. Di era global ini, sistem dan pola pendidikan yang otoriter yang tidak demokratis sudah harus ditinggalkan dan diganti dengan pendidikan yang demokratis, yakni pendidikan yang berfokus pada peserta-didik, pendidikan yang menghargai keragaman karakteristik mereka, pendidikan yang berusaha mengembangkan potensi masing-masing individu secara optimal, pendidikan yang beruapya mengembangkan kecakapan peserta didik untuk dapat hidup selaras dengan kondisi pribadi dan lingkungan sosialnya, pendidikan yang memberikan bantuan kepada peserta didik untuk mengatasi kesulitan pribadi termasuk belajar, serta dengan menggunakan berbagai cara untuk mengetahui dan menilai kemajuan belajar mereka masing-masing.13
12 13
Kompas, 2 Desember 2004 Yusuf hadi miarso, dalam jurnal Pendidikan penabur No.09/Tahun ke-6/Desember 2007,
hal:50
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 65
Haryanto Al-Fandi, M.Pd.I
Pendidikan yang Demokratis
Dengan demikian setiap pendidikan adalah otonom dan unik untuk menjadi diri mereka sendiri. Dan jika demokratisasi pendidikan terjadi akhirnya akan melahirkan masyarakat otonom dan demokratis pula. Pendidikan yang demokratis akan melahirkan masyarakat yang demokratis dan akhirnya akan menyumbangkan lahirnya bangsa yang demokratis. Dalam rangka menunju pendidikan yang demokratis, setidaknya ada beberapa hal yang perlu untuk segera ditat ulang, seperti: Sekarang ini model pendidikan yang dibutuhkan adalah model pendidikan yang demokratis, partisipatif, dan humanis, yakni pendidikan yang saling menghargai, adanya kebebasan berpendapat/berbicara, kebebasan mengungkapkan gagasan, adanya keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan kemampuan hidup bersama dengan teman yang mempunyai pandangan berbeda. Oleh karena itu, paradigma pembelajaran dan pendidikan seyogianya merupakan sebuah paradigma pembelajaran yang sedari tingkat filosofis, strategi, pendekatan proses dan teknologi pembelajarannya menuju ke arah pembebasan anak didik dengan segala eksistensinya. Mewujudkan sekolah yang demokratis memang bukanlah pekerjaan yang gampang. Berbagai kendala yang tidak mendukung terbentuknya demokratisasi dalam pendidikan tersebut tidak mudah kita singkirkan begitu saja. Namun, kita tidak boleh mundur dan putus asa. Mengingat pentingnya pendidikan yang demokratis, partisipatif, dan humanis tersebut, upaya ke arah itu mutlak dilakukan. Mengupayakan pendidikan yang demokratis adalah keharusan. Mengutip John Dewey dalam bukunya Democracy and Education, pendidikan yang demokratis harus dimulai dari sekolah. Menurut Dewey, pendidikan yang demokratis bukan hanya untuk menyiapkan siswa bagi kehidupan mereka nanti di masyarakat, tetapi sekolah sendiri juga harus menjadi masyarakat mini, di mana praktik demokrasi yang ada dalam masyarakat perlu diadakan secara nyata di sekolah. Model hidup di sekolah yang mirip dengan situasi masyarakat tempat si anak berasal mesti diciptakan. Dengan demikian, anak dibiasakan dengan karakteristik perikehidupan yang demokratis tersebut. Dalam rangka mendorong dan menumbuhkembangkan pendidikan yang demokratis dan humanis ini, Romo Mangun menyarankan adanya beberapa kemampuan dasar yang secara sadar dikembangkan menjadi bekal yang ampuh dalam hidup bermasyarakat. Kemampuan dasar yang mesti dikembangkan tersebut di antaranya kemampuan berkomunikasi, jiwa eksploratif, kreatif, serta integral. Pemilikan kemampuan berkomunikasi, ditandai penguasaan bahasa dan kepercayaan diri dalam berkomunikasi dengan semua orang dari segala lapisan dirasakan, sangat penting saat ini. Hal ini disebabkan hanya mereka yang mampu menyerap, menguasai, dan mengolah informasilah yang akan mampu berkompetisi dan dapat berhasil dalam persaingan hidup di tengah masyarakat.
66 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013
Jiwa eksploratif yang dicirikan adanya keinginan anak didik untuk suka mencari, bertanya, menyelidiki, merumuskan pertanyaan, mencari jawaban, dan peka menangkap gejala alam sebagai bahan untuk mengembangkan diri mesti ditumbuhkembangkan dalam diri anak agar menjadi pribadi-pribadi yang mandiri dan berkualitas. Jiwa kreatif—dicirikan anak suka menciptakan hal-hal baru dan berguna, tidak mudah putus asa, berpikir lateral serta semangat integratif yang ditandai kemampuan melihat dan menghadapi beragam kehidupan dalam keterpaduan yang realistis, dan utuh—adalah aspek pemberdayaan lain yang mutlak ditanamkan dan dimiliki peserta didik. Untuk itu, model pendidikan dan pembelajaran yang didominasi kegiatan ceramah, yang menempatkan guru sebagai figur sentral dalam proses pembelajaran di kelas karena banyak berbicara, sementara siswa hanya duduk manis menjadi pendengar pasif dan mencatat apa yang diperintahkan guru, harus segera ditinggalkan. Paling tidak dikurangi. Sebaliknya, model pembelajaran yang memberikan peluang yang lebih luas kepada peserta didik untuk terlibat aktif dalam mengonstruksi pengetahuan dan pemahamannya ditumbuhkembangkan.
dalam
proses
”pemanusiaannya”
mutlak
Untuk mendorong agar terciptanya model pendidikan yang demokratis, ada beberapa hal yang mesti dilakukan. 1.
Hindari indoktrinasi. Biarkan siswa aktif dalam berbuat, bertanya, bersikap kritis terhadap apa yang dipelajarinya, dan mengungkapkan alternatif pandangannya yang berbeda dengan gurunya.
2.
Hindari paham bahwa hanya ada satu nilai saja yang benar. Guru tidak berpandangan bahwa apa yang disampaikannya adalah yang paling benar. Seharusnya yang dikembangkan adalah memberi ruang yang cukup lapang akan hadirnya gagasan alternatif dan kreatif terhadap penyelesaian suatu persoalan.
3.
Beri anak kebebasan untuk berbicara. Siswa mesti dibiasakan untuk berbicara. Siswa berbicara dalam konteks penyampaian gagasan serta proses membangun dan meneguhkan sebuah pengertian harus diberi ruang yang seluas-luasnya.
4.
Berilah ”peluang” bahwa siswa boleh berbuat salah. Kesalahan merupakan bagian penting dalam pemahaman. Guru dan siswa menelusuri bersama di mana telah terjadi kesalahan dan membantu meletakkannya dalam kerangka yang benar.
5.
Kembangkan cara berpikir ilmiah dan berpikir kritis. Dengan ini siswa diarahkan untuk tidak selalu mengiyakan apa yang dia terima, melainkan dapat memahami sebuah pengertian dan memahami mengapa harus demikian.
6.
Berilah kesempatan yang luas kepada siswa untuk bermimpi dan berfantasi (gagasan paulo freire). Kesempatan bermimpi dan berfantasi bagi siswa menjadikan dirinya memiliki waktu untuk dapat berandai-andai tentang sesuatu yang menjadi keinginannya. Dengan cara demikian, siswa dapat
Pusat Studi Kependidikan FITK UNSIQ | 67
Haryanto Al-Fandi, M.Pd.I
Pendidikan yang Demokratis
berandai-andai mengenai berbagai kemungkinan cara dan peluang untuk mencari inspirasi serta untuk mewujudkan rasa ingin tahunya. Hal demikian pada gilirannya menanti dan menantang siswa untuk menelusuri dan mewujudkannya dalam aktivitas yang sesungguhnya.14
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Ibnu Al Khaldun, 1998. Muqaddimah, Daar Al Fikr, Beirut., Cet I. Abdurrahman Mas’ud, 2005. dalam Muhtarom H.M, Reproduksi Ulama di Era Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Achmadi, 1987. Ilmu Pendidikan Islam I, FT IAIN Walisongo, Salatiga. Drajat, Zakiah, 1996. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara. Gaffar, Afan. 2004. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi. Cetakan IV, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hasbullah, 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Kompas, 2 Desember 2004 Makalah, Priyono Pasti, 2004. “Direktur SMA Santo Fransiskus Asisi”, Pontianak Muhammad ‘Ammarah, 1981. Al-Imam Muhammad ‘Abduh, Al-Imam Muhammad ‘Abduh: Mujaddid al-Islam (Beirut: Al-Muassassah al-Islamiyyah li al-Dirasah wa al-Nasyr). Murod, Ma’mun. 1999. Menyingkap Pemikiran Politik Gus Dur dan Amien Rais tentang Negara. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Paulo Freire. 2001. Pedagogi Pengharapan (terj. A. Widyamartaya Lic. Phil.), Yogyakarta: Kanisius, Sunanto, Musrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Urofsky, M. I. 2001. Jurnal Demokrasi. Office of international Information Program, U.S. Department of State UU Sisdiknas No. 20, 2003 Yatim, Badri, 1993. Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Yusuf Hadi Miarso, 2007. dalam jurnal Pendidikan penabur
No.09/Tahun ke-
6/Desember.
14
Makalah, Priyono Pasti “Direktur SMA Santo Fransiskus Asisi”, Pontianak 2004
68 | Jurnal Kependidikan Al-Qalam.Vol.IX.TH.2013