ii
ADDIN Media Dialektika Ilmu Islam
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS JAWA TENGAH - INDONESIA iii
Jurnal
ADDIN Media Dialektika Ilmu Islam
Volume, 2. no 2 Juli-Desember 2010
ISSN: 0854-0594 Jurnal ADDIN diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STAIN Kudus setiap enam bulan sekali dan menerima setiap karya tulis sesuai dengan maksud jurnal tersebut yaitu yang berhubungan dengsn ilmu sosial dan keagamaan. Naskah yang dikirim agar diketik rapi sekitar 20 halaman spasi 1,5 beserta biodata penulis dan mencantumkan daftar pustaka sebagai sumber referensi. Redaksi berhak memperbaiki susunan kalimat tanpa merubah isi tulisan yang dimuat.
PELINDUNG Ketua STAIN Kudus PENANGGUNG JAWAB Pembantu Ketua I PEMIMPIN UMUM Drs. H. Fathul Mufid PEMIMPIN REDAKSI M. Saekhan Muchith SEKRETARIS REDAKSI Ahmad Anifi DEWAN REDAKSI Sobirin Kisbiyanto Adry Efery PENYUNTING AHLI Abdullah Hadziq Muslih Sobir Muhayya
Alamat Redaksi P3M STAIN Kudus Jl. Conge Ngembalrejo PO Box 51 Telp. (0291) 431677 fax. 441613 Kudus 59322 e-mail:
[email protected]
TATA USAHA Farid Al Zasal Rosita Alfiyani Nur Kholis
Diterbitkan Oleh Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS JAWA TENGAH
iv
PENGANTAR REDAKTUR
Bismillahirrahmanirrahim Mentradisikan bersyukur menjadi ajaran Islam yang perlu kita uri-uri, sebagai bentuk penghambaan hamba kepada Tuhan dengan ucapan hamdalah. Tidak bedanya, sebagai umat yang menghormati junjungan-Nya, kita bersalawat kepada Nabi SAW semoga mendapat syafaat di hari pembalasan. Pada edisi Juli-Desember 2010 Jurnal addin STAIN Kudus yang memuat artikel atau naskah khususnya bernuansa keagamaan berbagai topik, sebagai bentuk kepedulian ilmuan dalam mewacanakan ide yang dibakukan dalam jurnal selalu ditunggu redaktur pada edsi Juli-Desember 2010. Berbagai topik tersusun dalam edsi ini dengan harapan menambah khasanah keilmuan bagi pembaca. Hanya berbekal semangat juang di bidang keilmuan, naskah edisi ini perlu disongsong dengan ide segar, dikhususkan lagi dalam membidik hal-hal yang kontroversial agar tebaran persoalan dalam kehidupan dapat terurai, meskipun sebatas ide yang terwacanakan dalam terpublikasikan. Jurnal ini terbit setiap enam bulan sekali, edisi Januari - Juni dan Juli - Desember. Redaktur menunggu dan mengharap kepada pembaca untuk berkiprah lebih optimal lagi melalui ide segarnya. Hal tersebut dapat dilakukan dengan silaturahim ke Pusat Penelitian dan Pengebdian kepada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus Jalan CongeNgembalrejo, Kudus atau berdunia maya dengan alamat e-mail:
[email protected]. v
Demikian Pengantar redaksi, naskah yang tertera dalam jurnal ini menggugah kita untuk semangat kembali mengkaji realitas yang menyimpan problematika, semoga bermanfaat untuk kita semua. Nuwun, maturnuwun. Billahitaufiq wal hidayah Ihdinassyirotol Mustaqim
vi
DAFTAR ISI
Pengantar Redaktur ~ v Daftar Isi ~ vii
ENGLISH, MAKE A BRIDGE OVER ISLAMIC STUDIES Oleh: Taranindiya Zulhi Amalia ~ 1 - 16 MODEL PENAFSIRAN HASAN HANAFI Oleh; Mubasyaroh ~ 17 - 32 POSISI AL-QUR’AN DALAM STRUKTUR DAN SUMBER ILMU ISLAM
Oleh: Fathul Mufid
~ 33 - 54
THE LIVING QUR’AN: Potret Budaya Tahfidz Al-qur’an di Nusantara
Oleh: Ahmad Atabik
~ 55 - 68
NASIONALISME VS UNIVERSALISM (Mencari titik temu Nasionalisme dan Univesalisme dalam Islam di Indonesia ) Oleh: Ahmad Supriyadi ~ 69 - 86
ISLAM DAN SOSIALISME Oleh: M. Nurudin ~ 87 - 104 MEMBANGUN
EKONOMI ISLAM
SISTEM
Oleh: Anita Rahmawaty
DISTRIBUSI
~ 105 - 120
vii
PERSPEKTIF
EKONOMI ISLAM DAN HEGEMONI KAPITALISME GLOBAL
Oleh: Muh. Mustaqim ~ 121 - 136
PENGGUNAAN GAME THEORY DALAM STRATEGI PENETAPAN HARGA KONSUMEN Oleh: Ekawati Rahayu Ningsih
~ 137 - 152
URGENSI
METODE VISITING PEMBELAJARAN SEJARAH Oleh: Moh Rosyid ~ 153 - 174
AREA
DALAM
PEREMPUAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN
KEMISKINAN: Belajar dari Perempuan Pembuat genteng di Desa Ngembalrejo Kabupaten Kudus Oleh: Siti Malaiha ~ 175 - 192
FENOMENA JIN DALAM PENELITIAN ILMIAH Oleh: Kisbiyanto ~ 193 - 204 MENGKRITISI PENGAWAS SEKOLAH DILINGKUNGAN KEMENAG KUDUS
Oleh: M. Saekhan Muchith ~ 205 - 222
viii
ENGLISH, MAKE A BRIDGE OVER ISLAMIC STUDIES
by Taranindya Zulhi Amalia Dosen Tarbiyah STAIN Kudus
Abstract: Globally, English is applied as mother tongue, second, or foreign languages so as to do communication in many multilingual countries. Its use also handles the challenge of transmitting messages containing in Al-Qur’an and Hadith, two guidance sources of Muslims. Further, the Muslims (Muhammadans) around the world need this international language to deepen all about Islam dealing with its references that mostly written in Arabic. Nowadays many of them have been made in English to facilitate students who learn Islamic studies at schools or universities. The purpose of people, especially students in learning Islam is to be a good Muslim. Principally, to be a good one, a man has already had eternal guidances, the Qur’an and Hadith. Lillahi ta’ala (sincerity) is the key when he/she does the rules of Islam. No body could measure the level of his/her faith and piety. The Prophet Muhammad Salallahu ‘Alahi Wasallam is the only perfect creature before Allah Subhanahu Wata ‘Ala measures the level of his faith and piety. Key Words: English, bridge, Islamic studies
A. Introduction Human in the world firstly did communication one another by using a gesture. A man performed an action or physical movement in order to show his meaning or feeling. After this ancient time, a group of people started to use words. Moreover, they set the words into sentences ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
1
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
to express a language. Then, the language is learned and developed in many countries and ethnic groups. Every language education is directing in developing communicative competence. Discourse (languages use in contexts) competence as the heart of communicative competence is divided into spoken and written competence. In line with Celce-Murcia et al (1995:13), discourse competence concerns the selection, sequencing, and arrangement of words, structures and utterances to achieve a unified spoken or written text. Teachers or lecturers’ responsibility is to make students able creating both of the texts. Furthermore, Amalia (2009:21-22) argues that there is a relationship between spoken or written text. When students say something, they are responsible tend to print it as their products. Then, they are likely to apply theirs into different contexts. There, they can find some new terms that will improve their vocabulary in creating a different text and so on. By learning various kinds of text, the students could communicate each other. In communication process, they exchange meanings. The communication that happens in language use sometimes gets a challenge, especially when the doers (the sayers or hearers) are from different far away places. For instance, between an Indonesian tour leader who speaks Indonesia and a group of German who speaks Germanic. Therefore, they need a language which is figured out by both Indonesian and German. As an international language, English has been applied and learned in many countries, whether as first language, second language, or foreign language (EFL) [including in Indonesia]. Harmer (2007:12) argues that students of EFL tend to learn English for traveling and communication. Although English is not the first but foreign language in Indonesia, currently it has been used not only for tourism but also for business, education, and many other fields, purposes, and situations. As the results, there are so many Indonesian aware of how important learning English is. The urgency of mastering English in global era is as crucial as the need of learning religion. The presence of Islam as the fastest growing religion in the world is noted by Wikipedia, the free encyclopedia (it will be held more in another section). The religion which has been taught and preached by Muhammad SAW, the last prophet of Allah is followed by Muslims in almost ever parts of the earth. The guidance 2
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
English, Make A Bridge Over Islamic Studies (Taranindya Zulhi Amalia )
of the Muslims is taken from Qur’an and Hadith which are purely brought out and published in Arabic writings. Then, not every Muslims all over the world could understand the meanings behind messages. They need translations of it due to its validity and clarity. B. Al-Qur’an & Hadith featuring English Luminously, the existence of Al-Qur’an facilitates anyone, especially Muslims who desire the balance of life. Al-Qur’an (sometimes transliterated as Quran, Qur’an, Al Quran or Koran) is the divine guidance holy book which was revealed by Allah to Muhammad SAW. Allah verbally delegated angel Gabriel to give the first revelation in a moment called Nuzulul Qur’an. This admiration went down in 17 Ramadhan, the fortieth year of Muhammad’s birth. Some researchers definitely believe that the miraculous time came in Rabiul Awal, anothers consider it in Rajab. Then the Qur’an turns to be Muhammad’s miracle. As the Islam Sacred Book, Muhammadans (terms of Muhammad, the Prophet’s followers) have correctly taught what the content inside. There are some Arabic terminologies that are still applied in learning Al’Qur’an. For instance the four basic terms to the complete teaching of the Qur’an, Ilah, Rabb, Deen, and Ibadah (Four Basic Qur’anic Terms by Maulana Syed Abul-ala Maududi). Allah Almighty is the Rabb and the Ilah; that there is no Ilah but He, nor is there any other Rabb, nor does He share with anyone else the qualities and attributes implied by these terms. He, and He alone should therefore be accepted as one’s Ilah and Rabb, and no-one else should in the least be believed to possess the attributes which these words imply. It also demands that we should give our ibadah to Him and Him alone, and not to anyone else, and make our Deen exclusive to Him and reject all other deens! The Qur’an is the primary never-ending reference for Islam, and Muhammadans. Generally, it contains knowledge in every fields as the human’s direction, and also roles of life in the world and hereafter. However, after the death of the light-hearted Muhammad, the rising of his followers obtained enormous obstacles and differences in looking for right guidance though overall they could recitate the Arabic writings well. Making clear to this anxiety, Hadith firms any rules mentioned in Al-Qur’an, explains ambiguous meanings and specifies in detail the ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
3
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
highlights or boundaries containing in this second source of Islam. At that time, Hadith (Sunnah) appeared answering to what extent the questions in their minds, however it was forbidden to be published when the prophet was still alive. Hadith in the religious terminology refers to what the Prophet Muhammad SAW had said and done, or was reported to have said and done [confession and disposition] (Amin, et.al:1999). Furthermore, http://www.articlesnatch.com in Nuha (2009:52) adds that the Hadith is categorized into sahih (sound, authentic), da’if (weak), and mawdu’ (fabricated), also two other classifications, hasan (good, sahih, and acceptable) and munhar (ignored). The government has determined the Hadith circulated by Imam Bukhari and Muslim as the pioneers of sahih Hadith. Again, it quite grows to be vital to analyze both the Holy Al-Qur’an and Al-Hadith correctly. Moreover, It is said in QS. Al-Baqarah (2):185 that the Qur’an is a guidance for mankind and clear proofs of the guidance and judgment (between the haq and bathil), so does the presence of the Hadith. Therewith, the necessity of learning Islam deeply establishes translators and researchers to make some inventions. Nowadays, the market place which works as a team with them has provided some alternatives which facilitate anyone who is interested in Islam and wants to know more about it. Most of those experts prefer the use of English as the international language which is formally used by all people in any part of the world upon their developments. Islamic study references for instance, they are mostly written in Arabic then be translated and interpreted into English so that no one gets misunderstanding. Such as the way of translating Al-Qur’an in audio (Qasmi cited in http:// www.QuranEnglish.com) and audio-visual (Sudais et al. cited in AlQuran with English Translation.http://www.QuranEnglish.com) or exploring the meaning of Basmallah (the opening of every Surah of eternal Islamic source, Al-Qur’an) and Hamdallah (the first verse of Al-Fatihah) from the citations below:
)1:1( بسم اهلل الرحمن الرحيم (1:1) In the name of Allah, the Merciful, the Compassionate *1 *1 One of the many practices taught by Islam is that its followers should begin their activities in the name of God. This principle, if consciously and earnestly followed, will necessarily yield three 4
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
English, Make A Bridge Over Islamic Studies (Taranindya Zulhi Amalia )
beneficial results. First, one will be able to restrain oneself from many misdeed, since the habit of pronouncing the name of God is bound to make one wonder when about to commit some offence how such an act can be reconciled with the saying of Gods holy name. Second, if a man pronounces the name of God before starting good and legitimate tasks, this act will ensue that both his starting point and his mental orientation are sound. Third - and this is the most important benefit - when a man begins something by pronouncing Gods name, he will enjoy Gods support and succor; God will bless his efforts and protect him from the machinations and temptation of Satan. For whenever man turns to God, God turns to him as well.
)1:2( الحمد هلل رب العالمين
(1:2) Praise *2 be to Allah, the Lord *3 of the entire universe. *2. As we have already explained, the character of this surah is that of a prayer. The prayer begins with praise of the One to whom our prayer is addressed. This indicates that whenever one prays one ought to pray in a dignified manner. It does not become a cultivated person to blurt out his petition. Refinement demands that our requests should be preceded by a wholehearted acknowledgement of the unique position, infinite benevolence and unmatched excellence of the One to Whom we pray. Whenever we praise someone, we do so for two reasons. First, because excellence calls for praise, irrespective of whether that excellence has any direct relevance to us or not. Second, we praise one who, we consider to be our benefactor; when this is the case our praise arises from a deep feeling of gratitude. God is worthy of praise on both counts. It is incumbent on us to praise Him not only in recognition of His infinite excellence but also because of our feeling of gratitude to Him, arising from our awareness of the blessings He has lavished upon us. It is important to note that what is said here is not merely that praise be to God, but that all praise be to God alone. Whenever there is any beauty, any excellence, any perfection-in whatever thing or in whatever shape it may manifest itself- its ultimate source is none other than God Himself. No human beings, angels, Demigods, heavenly bodies-in short, no created beings-are possessed of an innate excellence; where excellence exists, it is a gift from God. Thus, if there is anyone at all ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
5
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
whom we ought to adore and worship, to whom we ought to feel indebted and grateful, towards whom we should remain humble and obedient; it is the creator of excellence, rather than its possessor. *3. In Arabic the word Rabb has three meanings: (i) Lord and Master; (ii) Sustainer, Provider, Supporter, Nourisher and Guardian, and (iii) Sovereign, Ruler, He Who controls and directs. God is the Rabb of the universe in all three meanings of the term. (http// www. quranenglish.com) The Basmallah above gives clearer information about the way of Islam believers who better starts doings in the name of Allah. Whereas Al-Fatehah’s second verse which is also called Hamdalah contains double explanations. First means praising to Allah for His excellence and second the meanings of Rabb which turns to Him. In addition, Allah, the All Mighty has 99 names which are named Asma’ul Husna. Learning by heart those names of Allah is going to make Muslims realizing on how enormous the power of Allah and how powerless the human’s capacity and efforts are. And by being familiar with the different meanings of each, we will find the uses in this living and feel the energy. Recently, Muslim children come together sitting in line or focus on their Islamic subject matter in class, just for memorizing the divine names of God. They have strived recognizing their Creator and this is the way they thank to Him for being alive. In the next discussion, there will be an analysis of the Muslim’s growing and their contribution for Islam. C. Muslim Students in Striving Islamic Studies Islam teaches us, “verbalize knowledge even if only one verse”. This Hadith invites us in the world to notify, keep in mind, remind, and give advice to each other especially to our Muslim fellows. Say the good and true things in the right time, right place, and necessary people. Along with this duty, Muslim followers globally run well. Islam has noted as the fastest growing religion in the world. The following table has been quoted as taken from the 2005 Encyclopedia Britannica. Its figures for percentage growth are identical to that of the 1990 to 2000 version of the World Christian Database given above.
6
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
English, Make A Bridge Over Islamic Studies (Taranindya Zulhi Amalia )
Religion
Births
Christianity Islam Hinduism Buddhism Sikhism Judaism Baha'i Faith Confucianism Jainism Shinto Taoism Zoroastrianism Global population
22,708,799 21,723,118 13,194,111 3,530,918 363,677 194,962 117,158 55,739 74,539 8,534 25,397 45,391 78,860,791
Conversions New adherents per Growth rate year 2,501,396 25,210,195 1.36% 865,558 22,588,676 2.13% -660,377 12,533,734 1.69% 156,609 3,687,527 1.09% 28,961 392,638 1.87% -70,447 124,515 0.91% 26,333 143,491 2.28% -11,434 44,305 0.73% -39,588 34,951 0.87% -40,527 -31,993 -1.09% -155 25,242 1.00% 13,080 58,471 2.65% 78,860,791 1.41%
Before this claim of the fastest growing religion in this data is countered by the proud Muslims, It will be wiser if both Muslim and non-Muslim people scrutinizing the Hadith as follows: Azraq bin Qais RA says that once upon a time there was a priest and his follower who said to Muhammad SAW, the prophet about the statement: “ We are Muslims also, long time before you.” The Prophet replied, “You lied because there are three of your teachings which are against Islam’s beliefs. You analogize a child to God, you guys eat pork and worship statues.” They then asked, “Who was Jesus’ (Isaac’s) father?”. The prophet did not at once respond because he was waiting for Allah’s sayings. Then the third verse came. “ (H. R. Bukhari and Muslim). “Thus (the story of Isaac), We read to you some of the evidence (apostolate) and (recite) the Qur’an, that is full of wisdom. In fact for instance (creation), I`saac in Allah’s sight is like the (creation) of Adam. Allah created Adam from the soil, then He said to him: “Be” (a man), then he be a man.. (What we have told you), is true, that comes from your Lord, so do not be men among those who are doubt. “(Surah Ali Imran (3):58-60).
The hadith and surah show that a man at least has three criteria of being a Muslim. The most principal criterion is “La Illaha Illallah” (there is no God but Allah, the Al-Mighty. Western people decide Christian, Jewish, and Islam as three major monotheist religions in the world. Monotheism is the doctrine or belief that there is only one God (Concise Oxford English Dictionary [11th Edition]) ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
7
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
The question, “Is it possible declared as monotheist religion if the God is believed having a son? Another phenomenon accompanied this rise of new Islamic awareness. Large numbers of African Americans were leaving Christianity and converting to Islam. These new converts added a dynamism and sense of urgency to Islamic growth that had not been seen in centuries. Immigrant Muslims began to see people who chose Islam and thus their own sense of Islam’s worth started to peak. This brought a new realization in the minds of many Muslim parents which have given rise to the impetus to build separate schools dedicated to Islamicallyoriented education (This article previously appeared in the Winter Magazine, Religion and Education (1998) cited from http://www. islamfortoday.com). Islamic schools present Islamic studies or the Islamization of knowledges which consist of all the traditional forms of religious thought, such as Kalam (Islamic Theology), Fiqh (Islamic Jurisprudence), and also assimilate fields generally considered to be secular in the West, such as Islamic science and Islamic economics. The data taken from Wikipedia.org show that many universities offer academic degrees on the subject of Islamic studies as follows: a). Muslim History Islamic Philosophy (It creates harmony between faith, reason or philosophy, and the religious teachings of Islam) b) Islamic Theology and Kalam (In Arabic the words mean “discussion” and refer to the Islamic tradition of seeking theological principles through dialectic) c) Mysticism/Sufism (It focuses on the direct perception of truth/God through mystic practices based on divine love) d) Law/Sharia and Fiqh ( They relate to everyday and social issues in the life of Muslims) e) Islamic and Sciences and Science in medieval Islam f) Islamic Art (It has been mainly abstract and decorative, photograph geometric, floral, Arabesque, and calligraphic designs and forbidden the painting of human beings, including the prophet) g) Literature (It includes the study of modern classical Arabic and literature written in the language) h) Islamic Architecture (It is the entire range of architecture that has been affected within Muslim culture in the course of the history of Islam, such as religious buildings) 8
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
English, Make A Bridge Over Islamic Studies (Taranindya Zulhi Amalia )
i) Islamic Sociology and Psychology Comparative Religion (It is the study of religions in the view of Islam, such as seeing from a conservative Muslim perspective, the similarities between Islam, Judaism, and Christianity and developing away from the root monotheist religion) j) Islamic Economics Jurisprudence (It is economics in accordance with Islamic law) Moreover, the interest of Islamic studies is studied by both Muslim and non-Muslim. At the present time, they develop the discussion of freshly issues, as Jihadism, Islamist and Extreme Muslims, Terrorism, Militant Islam, Woman Emancipation, Movement of Sufism, Islam Sunni, Shar’i Bank or sub topics, like the Commemoration of 11th September Tragedy, Osama bin Laden, the Islamic Reformist, Unveiled Students in Islamic School, Differences of Ramadhan Nisbat, and so on. Commonly, the references are written in its original language, Arabic, or the international one, English. This paper is exclusively going to talk about the urgency of English in learning Islamic studies. The same as another language, English has four language competences (listening, speaking, reading, and writing). A learner has to learn and master them before learning English for specific purposes. English is learnt and taught in many different studies. Several general universities in the world open Islamic Study Faculty which also has branched into some departments like mentioned by WikiPedia before. This will be one reason why students learn this international language in order to get academical degrees while fulfil knowledge about Islam concentration. In loads of multilingual countries, English has become the language of communication. Globally, it bridges transferring religious insight to approach well-balanced scientific evolutions. Retmono (2001:1) states that in the middle of twentieth century, there is a discouragement in facing the increasing technology innovations in the case of turning far from God when they have felt the better living and prosperity. Another way, most scientists and intellects, especially they who have found the right way of Islam, are grateful on any graceful given from Allah. Likewise, Bullock, Katherine (cited from http://www.islamfortoday.com) adds: “surely you can see that the world is too complex, too beautiful, too harmonious to be an accident? To be the blind result of evolutionary forces? Don’t you know that science is returning to
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
9
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
a belief in God? Don’t you know that science never contradicted Islam anyway?”
Islamic studies originally were taught in the Arabic language because the resources of Islam education were in the Arabic writings. Due to various challenges and many circumstances in the West which prevent students from traveling to Middle East, it became a very important necessity to provide such introductory courses in English (Advanced Islamic Studies in English cited from http://alqaeminstitute. com). In special correspondent American Government, Block (2005:2) reports that Muslim Student Association (MSA) of the University of Michigan offered the non-Muslim the chance to experience Muslim rituals such as prayer. It was aimed to get perspective on Islam culture. In contrast with the activity about, there is a headline (Mansfield, 1:2010) entitled ‘Islamic college to be unveiled today for Saudi Arabians students in Dublin’. This fact realizes on how diverse viewpoints of people, particularly education figures, are in exploring Islam. Then, students, as educated figures should begin their appreciation for Islam by doing the requisite along these lines: 1. nnamal a’malu bin niyati (H.R. Muttafaqun ‘Alaihi) Success is not only held by ability and attempt but also intention. This intention should go along with sincere as well. In the proper portion so that there will be balanced between the three. Umar Ibn Khattab Ra., said: “I’ve heard Rasulullah SAW utters: In fact, all practices a man has, depends on his intention and indeed to everyone what he intended. Whoever shall do a hijrah due to Allah SWT and Muhammad SAW, the prophet, he will get ridho from Him... (HR. Bukhari & Muslim).
2. Be positive thinking No matter how hard we have tried to think easier in every challenge and done our best to solve them, they will be useless without thinking the result positively. 3. Appreciate teachers or lecturers Teachers or lecturers figure out in educating unknown to be wellknown students whether in formal or informal schools. They are meritorious profiles without having well-deserved emblems. As second parents at school or campus, their presents are occasionally missed by students. At this point, it will be our duty to appreciate and be thankful to them even just giving a smile, greeting, or paying 10
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
English, Make A Bridge Over Islamic Studies (Taranindya Zulhi Amalia )
attention more in their lessons. Islam teaches us to be grateful to elder and love youth. 4. Read to write and write to be written, conduct to Al’Qur’an and Hadith then put into practice Charity and religious service (Amal and Ibadah) link very close. Amal means the voluntary of doing good things. And Ibadah (based on QS. Yaseen (36):60) means prayer and loyality. By reading to writing and vise versa, a student could practice both doing Amal and Ibadah. He/she reads some works as references before writing, then after having a work, another man will read his/hers. Al-Qur’an and Hadith are two best references for revealing any knowledge in living. Learning by heart both is better, yet it will be more excellent if a Muslim could catch the meanings and practice them. Learning Islamic studies in the West which mostly use Arabic are able to be combined by using English and mother tongue. So, be a careful reader! Be a progressive writer! 5. Ask the experts A proverb “If you wish good advice, consult an old man” remind us that mature figures like parents, grandparents, or even ordinary hermit usually have uncountable experience in life. They have lived longer than the youth. It is better getting wise advice or good recommendation from them. As Allah SWT saying in the Holy Qur’an, “...ask the experts if you have not known it yet”(QS AlAlbiya (21):7). Some works which collaborate the youngsters’ ideas and experts’ competences have been discovered. For instance; the use of Al-Qur’an digital English translation, audio-visual recitation and English version of daily prayers, international Islamic school books, Islam prophets’ stories, and the like. 6. Increase taqwa and help each Taqwa is the symbol of thankfulness of His Blessings. “And be pious to Allah SWT, certainly He will teach you knowledges (AlBaqarah (2):282). Afterwards, helping each represents the self-evidence that makes us truly thankful. “And religious men and women, some will help another. They ask for (act) good (makruf) and prevent bad things (munkar),... (At-Taubah(9):71) 7. Develop optimism Hopefulness and confidence about the future that will be arranged ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
11
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
for having the best from Allah SWT. Allah SWT will not change the fate of people until the people change their own. 8. Catch the chance Allah SWT predominates Human’s fate. While they have possibilities in changing the fate by trying into goodness. For instance, the chance of going study abroad and doing a study of Islam development in minority Muslim countries, joining MTQ International Competition, the speech of junior da’i/dai’ahs in applying Islamic moral values earlier in Muslim children forum, etc. Including the chance to use English to make a bridge in enriching knowledge of Islamic studies which mostly written in Arabic. For making sure that Arabic loans words have influenced in English vocabulary. They are words obtained directly from Arabic or else indirectly by passing from Arabic into other languages and then into English. Such as: cotton - ( قطنqutun), girrafe - زرافة (zarāfa), mummy - ( مومياmūmiyyā), sofa - ( صفةsuffah), sultan - ( سلطانsoltān), etc. 9. Wish for help only from Allah After doing maximum efforts and combining with praying, Muslims should trust the final decision from Allah SWT. In Asma’ul Husna, He is a Decision Maker (Alfattah) (As mentioned in QS. Saba’ (34):26): Say, “Our Lord will bring us together; then He will judge between us in truth. And He is the Knowing Judge.” All the nine are one unity. Apply one or two is useful. Yet, perform all is helpful. Every students has rights to be taught by their teachers. Furthermore, the students also have to put the proper lesson from them into practice and carry on it to another. Hence, everyone have a time to transfer their knowledge. HR. Muslim in Bahreisj (1987:38) states, “whoever is desired by Allah to be a good person, that person will undoubtedly deepen the Islamic religion”. Concisely sometimes he/she could be a teacher, then next time changes to be a student. No matter whatever their profession, whenever, and wherever they are. D. Being a Good Muslim in Daily Life Having knowledgeable persona helps individual easier to be acknowledged. Inner and outer beauty truly supports self-impression. 12
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
English, Make A Bridge Over Islamic Studies (Taranindya Zulhi Amalia )
Both shall be more completed by the existence of spiritualism. And the cornerstone of all is being a model for someone else. Fatefully, some people still in part do them in their livings. Whereas Al-Qur’anul Karim highlights, “You thought it to be a light matter while it was most serious in the sight of Allah.” [Surah Al-Noor, (24):15]. Then, what should be done to be a good Muslim? Be a candidate of the paradise dweller? Is there any instant way to be there? In accordance with Thanvi (http://www.nazmay.com) in http:// www.muftisays.com, he explains about some rights in Islamic World. They are the rights of husband, parents , wet-nurse, Muslims, neighbors , traveling companion, weak and old, human beings, animals, and the virtues and rights of marriage. Here, he attempts to reintroduce Islamic teachings dealing with social relations and religious matters. Besides, he also states that a man must become a good human being before you can ever become a good Muslim. It is concerned with how we behave in the family, how we interact with others (we, our family are surrounded by and grown with not only Muslims but also various religions, cultures, habits) and all the rest of humanity. Creating Islamic environment and deepening Islamic studies are two steps forward towards Islamic atmosphere. After all, people apply Islamic studies to all endeavors in life. Not only for Muslims, they have educated the whole levels. Living side by side among other religion, make some Western scientists found beautiful molecule of water composition that had been prayed, changes and could heal disease. That is why the world sees how universal Islam is and feels its miracle. Everyone wishes for universal Muslim. A famous Turmudhi’s Hadith states, “A Muslim is the one from whose hands and tongue other Muslims are safe”. This does not only mean that as a Muslim we could not throw stones or mistreat at them, but also means that we do not say or do anything that will hurt them. Equally, it behaves to non-Muslims except for those who attack the Muslims at war. Finally, a man who does careless actions or words and causes unfairness to others could not be admirable labeled as a Muslim. Starting from simple but meaningful self-Muslim’s movements proves our thankfulness as the blessed creature. When we act as a student, beside appreciating our teachers we should prepare to be a leader in ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
13
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
the future and have responsibility in applying the knowledge from schools, madrasahs, or universities. Similarly, when we are being a teacher, we need professionalism and sincerity. Al-Munir (2003:50) mentions that if teaching on the right track is teacher’s responsibility because of his educational profession. So does in performing Da’wah and Amar Ma’ruf Nahi Munkar as well which are because of his Islam (as the last truest religion) and faith (as the way and manhaj/method). Once after knowing our duty as a Muslim, should we make a mindset on how to be a good Muslim? Practically, it is better if we waste no time for questioning what he/she should be. Since being a part of Islam is easy and it does not set us into any trouble. Neither instant ways measuring to be a good one nor a guarantee being a candidate of paradise dweller after trying to be the goodness. E. Conclusion Language is the way of a man doing communication. English which is received by people around the world as international language participates in making a bridge in understanding Al-Qur’an and Hadith, the guidances of Muslims. The main sources of Islam which are originally written and published in Arabic nowadays have been well-known studied by Muslim or any other religion which are interested in them. They could understand clearly the meanings behind messages by the help of English. Many supporting references have been translated into this universal language. It is applied in spoken and written ones, such as the use of Al-Qur’an digital English translation, audio-visual recitation and English version of daily prayers, international Islamic school books, Islam prophets stories, and so on. After all, how significant the role of English for Islamic progress is. Numerous Islamic studies faculties have been available in international schools and universities even in minority Muslim countries. English is applied as introductory words in the classrooms. They learn Islam by the hope of being a good Muslim. But only the prophet Muhammad is being absolutely perfect before God measures the level of his faith and piety. So, do not waste time to think of criteria that make us perfect. Wallahu A’lam Bishowab.
14
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
English, Make A Bridge Over Islamic Studies (Taranindya Zulhi Amalia )
REFERENCES
Advance Islamic Studies in English. http://www.alqaeminstitute.com Al-Fatehah(1):1-2. http:// www. QuranEnglish.com. Al-Munir, M. S. 2003. Guru Teladan di Bawah Bimbingan Allah. Jakarta: Gema Insani press. Pg. 50 Amalia, T. Z. 2009. Developing Written Procedure Text Material for Grade Seven Students of Junior High School. Semarang: Graduate Program Department of English Education Semarang State University. Pg. 21-22 Amin, M., et.al. 1999. Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam. Semarang: IKIP Semarang Press. Bahreisj, Hussein. 1987. Himpunan Hadist Shahih Muslim. Surabaya: Bukhari. Sahih Bukhari Alhadith in Text with Advance Search: Virtues of the Qur’an. QuranEnglish.com. (10 August 2010). Pg. 38 Block, Erin. 2005. US Muslim Students Teach Classmates about their Faith, Culture. http://www.america.gov Bullock, Katherine. Twelve Hours Old. http://www.islamfortoday. com (25 August 2010) Celce-Murcia, M. Z. Dornyei, S. Thrurrell. 1995. Communicative Competence: A A pedagogically Motivated Model Model with Content Specifications. In Issues in Applied Linguistics. Pg. 13 Gauhan, Altaf. Translation from the Quran. QuranEnglish.com Emerick, Yahiya. 1998. Working in Muslim Schools. Winter Magazine in Religion and Education column. http://www.islamfortoday. com (12 August 2010) ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
15
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Hadith, the Second Source of Islam. http:www.articlesnatch.com in Nuha, Ulin. 2009. Bahasa Inggris II (Reading Comprehension). Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat STAIN Kudus. Pg. 52 Harmer, Jeremy. 2007. How to Teach English. Harlow: Pearson Limited Press. Pg. 12 H.R. Bukhari dan Muslim. Islam has Noted as the Fastest Growing Religion in the World. The 2005 Encyclopedia Britannica. http://en.wikipedia.org (12 August 2010) Islamic Studies. http://en.wikipedia.org (12 August 2010) Mansfield, Jim. 2010. Islamic Collegeto be Unveiled Today. So Why are the Saudies Denying [euro]100m School. http://findarticles. com. (12 August 2010). Pg. 1 Maududi, S. A. A, Akbar, M. 2002. Four Basic Quranic Terms. http:// www.witness-pioneer.org Qasmi, Waheed Zafar. Al Quran English Translation High Quality MP3 Audio. http://www.QuranEnglish.com (10 August 2010). QS Al-Baqarah(2):185, Al-Baqarah(2):282, Ali Imran(3):58-60, AtTaubah(9):7, Al-Anbiya(21):7, An-noor(24):15, Saba’(34):26, Yaseen(36):60. Retmono. 2001. Peran Umat Islam Menyikapi Abad 21. Semarang: a Seminar article. Pg.1 Sudais, A., Shuraim. Al-Quran with English Translation. QuranEnglish. com The Meaning of Quran. http://www.QuranEnglish.com (10 August 2010). Tony Smith. 2004. Concise Oxford English Dictionary (Eleventh Edition). Oxford University Press. Thanvi. M. A. A. 2008. Rights in Islam. http//:www.nazmay.com in http//:www.muftisays.com (12 August 2010)
16
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
MODEL PENAFSIRAN HASAN HANAFI
Oleh Mubasyaroh1 Abstrak Al Quran berbicara dengan bahasa dunia supaya dapat difahami oleh semua orang dan tidak ada jalan bagi mereka untuk beralasan bahwa bahasa Al Quran ialah tidak benar dan literaturnya asing bagi manusia. Guna memahami isi dan kandungan al-Qur’an dibutuhkan ilmu tafsir. Studi tentang metodologi tafsir masih terbilang baru dalam khazanah intelektual umat Islam. Ia baru dijadikan sebagai obyek kajian tersendiri jauh setelah tafsir berkembang pesat. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika metodologi tafsir tertinggal jauh dari kajian tafsir itu sendiri. Metodologi tafsir dapat diartikan sebagai pengetahuan mengenai cara yang ditempuh dalam mengkaji dan menelaah al-Qur’an. Secara historis setiap penafsiran telah menggunakan satu atau lebih metode penefsiran al-Qur’an. Diantara penafsir tersebut adalah Hasan Hanafi dengan menampilkan coraknya yang jhas. Kata Kunci: Penafsiran tematik, Hasan Hanafi, al-Qur’an
A. Pendahuluan Al-Qur’an adalah sumber ajaran Islam yang menemati posisi sentral dan menjadi inspirator, serta pemandu gerakan-gerakan umat Islam selama lebih dari empat belas abad. (Hassan Hanafi, 199;77) Adagium ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap al-Qur’an sangat menentukan bagi maju-mundurnya umat Islam. 1. Penulis adalah dosen tetap STAIN Kudus, sedang menempuh Studi S3 (Program Doktor) Pada Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
17
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Al-Qur’an melalui salah satu ayatnya memperkenalkan diri sebagai hudan atau petunjuk bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk bagi umat manusia, penjelasan-penjelasan terhadap petunjuk itu dan sebagai al-furqon. Oleh karena fungsinya yang sanagat strategis itu, maka al-Qur’an haruslah dipahami secara tepat dan benar. Artinya, sejauhmana pesan-pesan itu dapat dipahami dan diimplementasikan dalam kehidupan praktis sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan. Dengan demikian metode penafsiran alQur’an bukanlah suatu yang dapat diabaikan begitu saja. 2 Hassan Hanafi sebagai salah satu pemikir kontemporer muslim yang dikenal cukup banyak menggeluti perumusan isu-isu metodologis seputar hermeneutika al-Qur’an, juga akrab dengan problem konkret seperti keterbelakangan, kemiskinan, buta huruf, penindasan hingga penjajahan multidimensi, mendorongnya untuk merumuskan sebuah metode pembacaan teks yang berpijak pada kenyataan-kenyataan aktual dan riil, yaitu hermeneutika “empiris” alQur’an. Bedanya dengan rumusan lain adalah bahwa hermeneutika Hanafi, di samping berangkat dari realitas “empiris” kemanusiaan, juga sampai pada perumusan untuk kepentingan transformasi sosial. B. Riwayat Hidup Hasan Hanafi Hasan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Februari 1935 di Kairo, tepatnya di sekitar tembok Benteng Shalahuddin, daerah yang tidak terlalu jauh dari perkampungan Al-Azhar. Sebagaimana diketahui dalam sejarah bahwa al-Azhar merupakan tempat pertemuan bagi para mahasiswa muslim di seluruh dunia yang ingin belajar. Hal ini mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hasan Hanafi. Sejak kecil Hanafi dihadapkan pada kenyataan-kenyataan hidup yang pahit karena dominasi penjajah dan pengaruh politik asing lainnya. Ketika umur 13 tahun, dia pernah mendaftarkan diri menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. Tetapi, karena 2. Tafsir sering didefinisikan sebagai penjelasan tentang arti atau ma sud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Lihat Muhammad husain al-Zahabi,al-Tafsir wa al-Mufassirun, Mesir, dar al-Kutub al-Hadits, 1961, hlm. 59 . Bandingkan dengan apa yang ditulis Abd. Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologo Tafsir al-Qur’an, Lembaga Studi Kebudayaan Islam, Ujung Pandang, 1990, hlm.59-60
18
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Model Penafsiran Hasan Hanafi (Mubasyaraoh)
usianya masih terlalu muda dan secara legal formal belum menjadi kelompoknya, dia ditolak oleh Gerakan Pemuda Muslim. Ketika dia duduk di sekolah tingkat menengah( SMA) pada tahun 1951, Hasan Hanafi terlibat perang urat saraf dengan Inggris di terusan Suez. Pada tahun 1952, dia bersama para mahasiswa membantu gerakan revolusi. Akhirnya Hassan Hanafi bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, tetapi disitu terjadi perdebatan yang sama. Kemudian Hanafi bergabung dengan Organisasi Mesir Muda, dan disitupun terjadi perdebatan yang sama pula. Kemudian Hanafi tertarik dengan pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dalam Islam. Sejak saat itu, ia memfokuskan diri pada pemikiran-pemikiran Agama, revolusi dan perubahan sosial . Kemudian di ruang Universitas Kairo pada tahun 1952-1956, Hanafi mendalami Filsafat. Pada masa ini, Hanafi juga dihadapkan pada situasi yang paling buruk. Pada tahun 1954, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan gerakan Revolusi. Ketika itu, Hanafi berada dipihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nassser. Peristiwa demi peristiwa selama di kampus inilah yang membuat Hanafi memutuskan untuk menjadi pemikir, pembaharu dan reformis Setelah lulus dari Universitas Kairo, Hanafi melanjutkan studinya ke Universitas Sorbone, Prancis. Di sana Hanafi belajar banyak tentang masalah-masalah yang tengah melanda umat muslim. Selain itu Hanafi pernah belajar pada seorang pemikir Katolik, J. Gitton, tentang metodologi berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricoeur dan analisis kesadaran dari Husserl. Untuk mengetahui lebih jauh masalah-masalah yang diderita dunia, khususnya umat Islam, Hanafi berkali-kali mengunjungi negara-negara asing seperti: Belanda, Swedia, Portugal, Spanyol, Prancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan dan Saudi Arabia (http:// pengetahuan-subyek.blogspot.com/2007/06/riwayat-Hasan-Hanafi. html) C. Karya-karya Hasan Hanafi Sebagai seorang reformis, Hassan Hanafi banyak menulis buku diantaranya adalah: ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
19
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
1. Oksidentalisme (Muqaddimah fi ‘ilm al-istigrab) Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrab (1991) merupakan karya monumental yang sempat dirampungkan Hassan Hanafi, yang di dalamnya ia memperkenalkan Ilm al-Istigrab atau Oksidentalisme. Secara ideologis, Oksidentalisme versi Hassan Hanafi diciptakan untuk menghadapi Barat yang memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran peradaban kita. Asumsi yang dibangunnya adalah bahwa Barat memiliki batas sosio politik kulturalnya sendiri. Oleh karena itu, setiap usaha hegemonisasi kultur dan pemikiran Barat atas dunia lain, harus dibatasi. Dengan demikian, Barat harus dikembalikan pada kewajaran batas-batas kulturalnya. Melalui ilm al-istighrab (Oksidentalisme), Hassan Hanafi berupaya melakukan kajian atas Barat dalam perspektif historis-kultural Barat sendiri. Buku ini dimaksudkan sebagai peletak dasar bagi kajian ilmiah atas Barat dalam rangka mempelajari perkembangan dan strukturnya serta menghilagkan dominasi Barat atas kaum muslim. Oksidentalisme sebagai gagasan perlawanan terhadap pemikiran Barat yang bersifat orientalis, sedangkan pemikir orientalis berfikir dengan memihak kebaratan dan membuat dunia yang lain terbelakang, tetapi semua itu menurut Hasan Hanafi merupakan support terhadap perlawanan pemikiran Europa sentries. Hassan Hanafi merefleksikan pembacaan yang mampu memberi inspirasi bagi orang Timur sebagai bentuk perlawanan, bahkan Hassan Hanafi menggagas agar orang Timur mampu menggali sumber yang tidak akan pernah habis. Sebagaimana dalam tulisannya berbunyi: “kita sekarang benar-benar merugi (hanya mampu) kembali kepada teks-teks yang baku dengan berpegang pada Firman Allah dan sabda rasul, serta tidak mampu mentranformasikan wahyu kepada konsep-konsep atau aspek eksoterisme” (Hanafi, 1992: 160-171). Keberlanjutan konsep yang dipraktekkan dalam menelanjangi realitas dan mencoba mereinterpretasikan kehidupan perlu melewati banyak tahapan, karena dalam reinterpretasi banyak teks-teks yang harus dipahami, agar kebenaran atas permasalahan realitas bisa mendapatkan solusi yang tepat dan jelas sesuai dengan akar dan permasalahan yang dihadapi. 20
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Model Penafsiran Hasan Hanafi (Mubasyaraoh)
2. Al-Turas Wa al-Tajdid Periode selanjutnya pada tahun 80-an Hassan Hanafi mulai mengarahkan pemikirannya pada upaya universalisasi Islam sebagai paradigma peradaban melalui sistematisasi proyek “Tradisi dan Modernitas”. Dalam hal ini, buku al-Turas Wa al-Tajdid yang terbit pada tahun 1980 menampilkan makna Turas wa Tajdid. Menurutnya Turas bukanlah sekedar peninggalan masa lampau yang tidak bermakna, tetapi didalamnya terdapat energi hidup dan daya dobrak tentang kesadaran berpikir, berperilaku dan sebagainya yang harus menjadi pijakan setiap generasi penerusnya. Bagi Hassan Hanafi, turas harus dikembalikan pada posisinya yang terhormat ( Hassan Hanafi,2007;1 ) Oleh Hanafi, al-turas wa al-tajdid dimaksudkan sebagai sebuah rancangan reformasi agama yang tidak saja berfungsi sebagai tantangan intelektual Barat, tapi juga dalam rangka rekonstruksi pemikiran keagamaan Islam pada umumnya. Hanafi merumuskan eksperimentasi al-Turas wa al-Tajdid berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan secara dialektis. Pertama, melakukan rekonstruksi tradisi Islam dengan interpretasi kritis dan kritik sejarah yang tercermin dalam agenda “apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawfiquna min al-turas al-qadim). Kedua, menetapkan kembali batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang mencerminkan “sikap kita terhadap peradaban Barat” (mawfiquna min al-turas al-gharb). Agenda terakhir, ketiga, upaya membangun sebuah hermeneutika al-Qur’an yang baru, mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, agenda mana memposisikan Islam sebagai pondasi ideologis bagi kemanusiaan modern. Agenda ini mencerminkan “sikap kita terhadap realitas” (mawfiquna min al-waqi’). 3. Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam); sebuah tulisan yang berbau ideologis. Nama “Islam Kiri” dipilih secara spontan. Kiri dalam ilmu politik berarti perlawanan dan kritisisme. Ia juga masuk ke dalam terminologi ilmu tentang manusia. Ia merupakan terminologi akademis juga, nama “Islam Kiri” sesuai dengan realitas kaum muslim yang terbagi ke dalam dua kelompok. Dan “Islam Kiri” memihak pada kelompok yang dikuasai, tertindas, miskin dan ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
21
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
tersingkir. Maka “Islam Kiri” menyajikan “Kiri” dalam konotasinya yang akademis. “Islam Kiri” muncul atas dasar telaah terhadap sejumlah program modernisasi dalam masyarakat kita. Pertama, modernisasi cenderung terkait dengan kekuasaan yang mentransformasikan Islam ke dalam ritus keagamaan yang menekankan akhirat, dan sebaliknya, realitas Islam bertentangan dengan sistem Islam. “Islam ritualistik” tidak lain daripada selubung yang menyatukan kaum westernis, feodalis dan kapitalis kesukuan. Karena pandangan ilahiah dan konsep pusatpiramidal alam tunduk pada kecenderungan-kecenderungan ini, maka pandangan humanistik, konsep sejarah dan gerakan sosial hilang. Kedua, kecenderungan-kecenderungan liberal yang dominan sebelum revolusi Arab secara kultural berasal dari Barat, walaupun mereka menganggap imperialisme sebagai musuh. “Islam Kiri” tampil menentang peradaban Barat, dan berusaha untuk menggantinya. Al-Afghani memusatkan perhatiannya pada imperialisme militer pada zaman penjajahan. “Islam Kiri” memusatkan perhatiannya pada imperialisme budaya, yakni serangan terhadap kebudayaan kita dari dalam dengan memusnahkan afiliasinya dengan komunitas (ummah) sehingga komunitas menjadi tidak berakar. “Islam Kiri” membela rakyat komunitas Islam, dan menentang westernisasi yang pada dasarnya bertujuan untuk memusnahkan budaya-budaya pribumi untuk menyempurnakan hegemoni budaya Barat. Tugas “Islam Kiri” adalah mendefinisikan kuantitas Barat, yakni mengembalikannya ke batas alamiahnya dan mengakhiri mitosnya yang mendunia. Barat berada pada pusat peradaban dunia, dan ingin mengekspor peradabannya kepada bangsabangsa lain. Barat menyediakan model pembangunan sebagai alat untuk menguasai dan menghilangkan kekhasan bangsabangsa lain. Akibatnya bangsa- bangsa non-Barat tidak mampu menentukan nasib dan menguasai kekayaan mereka sendiri. Di samping sebagai wacana tandingan untuk melawan orientalisme yang telah lama memperlakukan Timur-Islam sebagai obyek kajian ilmiahnya, yang pada kenyataannya, tak 22
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Model Penafsiran Hasan Hanafi (Mubasyaraoh)
lebih dari “strategi penjajahan berkedok tradisi ilmiah”. Namun, secara umum, karya-karya Hanafi dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bagian. Pertama, karya kesarjanaan di Sorbonne; kedua, buku, kompilasi tulisan dan artikel; ketiga, karya terjemahan, saduran dan suntingan. Klasifikasi pertama berupa karya kesarjanaannya adalah tiga buah (trilogi) disertasi: Les Metodes d’Exegese, essai sur La science des Fondaments de la Comprehension, ‘ilm ushul al fiqh (1965); L’Exegese de la Phenomenologie L’etat actuel de la methode phenomenologique et son application au ph’enomene religiux (1965); dan La Phenomenologie d L’exegese: essai d’une hermeneutique axistentielle a parti du Nouvea Testanment (1966). D. Model Penafsiran Hasan Hanafi Meski Hanafi lebih dikenal sebagai seorang filsuf ketimbang “hermeneut”, namun tulisan-tulisannya, terutama trilogi disertasinya menunjukkan bahwa beliau termasuk tokoh yang cukup bahkan sangat intens di bidang metodologi “dialog teks”, teori pemahaman atas teks (teori hermeneutika). Berbeda dengan tokoh-tokoh penafsir lainnya, Hanafi dengan tidak tanggung-tanggung, coba membangun metodologi penafsirannya di atas sekurang-kurangnya dua pilar umum: khazanah klasik Islam dan khazanah modern Barat. Menurut Hanafi, penafsiran tematik amat cocok untuk melengkapi kekurangan metode klasik. Sebab, metode ini berusaha menghindari penafsiran yang bertele-tele, sekaligus mengarahkan perhatian pada tafsir tema-tema sosial al-Qur’an. Sebagaimana diketahui bahwa metode tafsir tematik dalam format dan prosedur yang jelas belum lama lahir. Tokoh yang pertama kali memperkenalkan metode ini adalah Al-Jalil Ahmad As-Sa’id alKumi, ketua jurusan Tafsir di Universitas al-Azhar. Adapun prosedur penafsiran dengan pendekatan tematik adalah sebagai berikut: 1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik) 2. Menghimpun ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut 3. Menyusun runtutan ayat sesuai tempat turunnya ayat, disertai pengetahuan tentang asbabun nuzul ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
23
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masingmasing 5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (out line) 6. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan 7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan cara menghimpun ayat yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara ayat yang umum(am) dan yang khusus (khos), mutlak dan muqoyyad (terikat), atau yang lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa pembedaan atau pemaksaan.3 Metode tafsir tematik memiliki spesifikasi yang tidak dimiliki oleh metode-metode tafsir lainnya. Berikut ini contoh-contoh ayat yang ditafsirkan dengan pendekatan tematik: - Mengenai harta anak yatim dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang memiliki tema yang sama: “ Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga ia dewasa” (QS.al-An’am:152) “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk (QS.alNisa:2) “ Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (nikah). Kemudian jika menurut pendapatmu mereka itu telah cerdas (pandai memelihara harta), maka berikanlah kepada mereka harta mereka, (QS. An-Nisa:6) “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya (QS.anNisa:10) “ Dan (Allah menyuruh kamu) agar kamu mengurus anak yatim secara adil (QS.al-Nisa;127)
Karena itulah, penafsiran Hanafi atas teks berdasarkan hermeneutika al-Qur’an memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
3. Lihat dalam Min Huda al-Qur’an karya Syaikh Ayaltut, hlm. 224, at-Tafsir al-Maudhu’i, karya al-Kumi hl.7 dan al-Wahdah al-Maudhu’iyah,I karya Hijazi, hlm. 24
24
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Model Penafsiran Hasan Hanafi (Mubasyaraoh)
Pertama, harus mampu menghasilkan tafsir yang sifatnya spesifik (al-tafsir al-juz’i) artinya, ia menafsirkan ayat-ayat tertentu al-Qur’an dan bukannya menafsirkan keseluruhan teks. Tafsir demikian mengarahkan perhatian pada kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam al-Qur’an dan bukan menafsirkannya secara keseluruhan. Jika yang dibutuhkan adalah pembebasan bangsa dari kolonialisme, maka penafsiran dilakukan terhadap ayat-ayat perang, jihad, dan sebagainya, ketimbang terhadap ayat-ayat lain. Kedua, tafsir semacam ini disebut juga tafsir tematik (al-tafsir al-maudu’i), mengingat tidak menafsirkan al-Qur’an berdasarkan sistematika konkordasinya tetapi lebih senang menafsirkan keseluruhan ayat al-Qur’an dalam tema-tema tertentu Ketiga, hermeneutika al-Qur’an Hanafi bersifat temporal (al-tafsir az-zamani). Sebagai penafsiran yang berorientasi sosial, hermeneutika tidak diarahkan kepada proses pencarian makna universal, tetapi diarahkan untuk memberi gambaran tertentu dari keinginan al-Qur’an bagi suatu generasi tertentu. Tafsir semacam ini tidak berurusan dengan masa lalu atau masa datang, tapi dikaitkan dengan realitas kontemporer di mana ia muncul. Keempat, hermeneutika Al-Qur’an Hanafi juga berkarakter realistik (al-tafsir al-waqi’i) yakni, memulai penafsiran dari realitas kaum muslimin, kehidupan dengan segala problematikanya, krisis dan kesengsaraan mereka dan bukan tafsir yang tercabut dari masyarakat. Kelima, hermeneutika al-Qur’an Hanafi berorientasi pada makna tertentu dan bukan merupakan perbincangan retorik tentang huruf dan kata. Hal ini karena wahyu pada dasarnya memiliki tujuan, orientasi, dan kepentingan, yakni kepentingan masyarakat dan hal-hal yang menurut akal bersifat manusiawi, rasional, dan natural. Keenam, tafsir eksperimental. Dengan kata lain, ia adalah tafsir yang sesuai dengan kehidupan dan pengalaman hidup penafsir. Sebuah penafsiran tidak mungkin terwujud tanpa memperoleh pendasarannya pada pengalaman mufassir yang bersifat eksistensial. Ketujuh, perhatian pada problem kontemporer. Bagi Hanafi, seorang mufassir tidak dapat memulai penafsirannya tanpa didahului oleh perhatian atau penelitian akan masalah-masalah kehidupan. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
25
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Terakhir (kedelapan), posisi sosial penafsir. Posisi seseorang dalam kapasitasnya sebagai mufassir ditentukan secara sosial sekaligus menentukan corak penafsiran yang dilakukannya. Penafsiran adalah bagian dari struktur sosial, apakah penafsir merupakan bagian golongan atas, menengah atau bawah. Asumsi Metodologis Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa hermeneutika bagi Hanafi merupakan perbincangan teoretik yang mendahului peristiwa penafsiran. Berkaitan dengan itu, Hanafi terlebih dahulu mengemukakan beberapa prinsip metodologis yang berguna dalam mengarahkan kegiatan interpretasi al-Qur’an. Prinsip atau premis tersebut bagi Hanafi bukan sekadar preposisi (asumsi), tetapi juga merupakan fakta nyata, pernyataan realitas, ungkapan keadaan, pengenalan batas-batas, afirmasi pluralitas, dan motivasi dalam pencarian makna. Dengan kata lain premis-premis tersebut adalah landasan etik dan filosofis dari metode penafsiran tematik atas al-Qur’an. Premis-premis hermeneutika al-Qur’an Hanafi dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, wahyu diletakkan dalam “tanda kurung” (apoche), tidak diafirmasi, tidak pula ditolak. Penafsir tidak perlu lagi mengajukan pertanyaan yang luas diperdebatkan oleh para orientalis abad ke-19 mengenai keaslian al-Qur’an: apakah ia dari Tuhan ataukah hanya pandangan Muhammad. Penafsiran tematis mulai dari teks apa adanya tanpa mempertanyakan sebelumnya mengenai keasliannya. Ia berkaitan dengan pertanyaan tentang “apa” dan bukan “bagaimana”. Jika asal-usul historis al-Qur’an dapat diuji melalui kritik sejarah, asalusul keilahiannya tidak dapat ditelusuri karena keterbatasan penelitian sejarah. Lagi pula, dalam tahap interpretasi, pertanyaan tentang asalusul teks tidak lagi relevan. Teks adalah teks, tidak masalah apakah ia ilahiah atau human, sakral atau profane, religius atau sekular. Pertanyaan tentang asal-usul merupakan permasalahan kejadian teks, sementara penafsiran tematik berkaitan dengan isinya. Kedua, al-Qur’an diterima sebagaimana layaknya teks-teks lain, seperti materi penafsiran, kode hukum, karya sastra, teks filosofis, dokumen sejarah, dan sebagainya. Artinya, ia tidak memiliki 26
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Model Penafsiran Hasan Hanafi (Mubasyaraoh)
kedudukan istimewa secara metodologis. Semua teks, sakral atau profan, termasuk al-Qur’an ditafsirkan berdasarkan aturan-aturan yang sama. Pemisahan antara teks suci dan profan hanya ada dalam praktek keagamaan dan bukan bagian dari hermeneutika umum (general hermeneutics). Ketiga, tidak ada penafsiran palsu atau benar, pemahaman benar atau salah, yang ada hanyalah perbedaan pendekatan terhadap teks yang ditentukan oleh perbedaan kepentingan dan motivasi. Oleh karena itu, konflik interpretasi mencerminkan pertentangan kepentingan, bahkan dalam interpretasi al-Qur’an, yang bersifat linguistik sekalipun, sebab bahasa pun berubah. Akurasi penjelasan atas teks menurut prinsip-prinsip kebahasaan bahkan lebih tautologis lagi. Keempat, tidak ada penafsiran tunggal terhadap teks, yang ada pluralitas penafsiran yang disebabkan oleh perbedaan pemahaman para penafsir. Teks hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia. Teks hanyalah bentuk, penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka. Terakhir, kelima, konflik penafsiran merefleksikan konflik sosio-politik dan bukan konflik teoretis. Jadi, setiap penafsiran mengungkapkan komitmen sosio-politik penafsir. Penafsiran adalah senjata ideologis yang digunakan banyak kekuatan sosio-politik, baik dalam rangka mempertahankan kekuasaan atau merubahnya. Penafsiran konservatif menciptakan status quo, sementara penafsiran revolusioner untuk mengubahnya. Guna mengetahui kelebihan model penafsiran tematik, Hasan Hanafi berusaha membandingkan dengan model penafsiran tahlili, dengan memeberikan gambaran model penafsiran tahlili. Interpretasi al-Qur’an dilakukan dari surat al-Fatehah hingga surat an-Nas, surat per surat, ayat per ayat dari kanan kekiri sesuai dengan urutan surat dalam mushaf, dianggap sesuai dengan yang diajarkan nabi secara langsung. Tafsir-tafsir al-Qur’an klasik yang tebal dan besar (Tabari, Ibn Katsir, al-Zamakhsari) bahkan yang modern seperti tafsir al-Manar oleh Rasyid Ridha dan Fi Zilal al-Qur’an oleh Sayid Qutb menggunakan hal yang serupa. Disamping itu Hasan Hanafi juga menyampaikan kelebihan dan kekurangan dari model penafsiran tahlili. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
27
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Kelebihan penafsiran tahlili -
Menyediakan informasi secara maksimal tentang teks; tentang sejarah, linguistik atau tata bahasa dan keadaan sosial. Metode ini juga memberikan pengetahuan yang menyadarkan latar belakang dari teks secara obyektif. Tafsir-tafsir klasikal dari para sejarawan memberikan latar belakang zaman dahulu terhadap teks, sementara tafsir-tafsir baru dari para reformer menunjukkan latar belakang sosial politik modern. Tujuan dari para reformer modern tidak hanya untuk mengetahui makna universal tetapi juga bermaksud mengubah realitas kontemprer - Metode ini mengikuti susunan mushaf al-Qur’an yang tradisional, dimana hal itu dapat mempunyai hikmah tersendiri, menggabungkan genre-genre tulisan-tulisan yang berbeda di waktu yang sama, diantaranya narasi(cerita), perintah, peringatan, dan janji. Al-Qur’an bukan sekedar buku ilmu pengetahuan melainkan juga mengandung ajakan dan pengakuan. Ia tidak hanya digunakan untuk dimengerti tetapi juga dirasakan. Ia bukan hanya menyediakan teori tetapi juga memotivasi tindakan. - Metode ini membantu untuk mengerti mentalitas penafsir, sumbersumber pengetahuan mereka, keadaan sejarah penafsir dan tingkat pemahaman mereka, sejak setiap penafsir merupakan satu sejarah. Metode ini juga membantu untuk mengetahui semangat masa tertentu, kesenian negara dan periode sejarah. Hal ini menunjukkan bagaimana kondisi dan sejarah pemahaman wahyu. Kekurangan dari tafsir tematik adalah: - Pemutusan tema yang sama di beberapa surat, dimana tema-tema lain dapat mengganggu kesatuan tema utama, sebagai contoh kekayaan, kekuasaan, manusia, alasan, perasaan, individualitas dan soliadritas sosial. Setiap tema diungkapkan secara terpisah menurut temanya, dan tema keseluruhan dihilangkan di bagian yang berbeda. Pengulangan tema yang sama beberapa kali tanpa menginterpretasikan maknanya untuk membangun konsep global, misalnya tentang status perempuan yang menyebar di seluruh kitab. Setiap kali satu aspek ditemukan, realitas kemudian muncul perlahan-lahan untuk diyakinkan, tetapi hal ini dianggap parsial, 28
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Model Penafsiran Hasan Hanafi (Mubasyaraoh)
-
-
-
-
-
dan perlu disatukan dalam persoalan pokok. Ketiadaan struktur tema, baik rasional, nyata atau keduanya, sebuah struktur yang memungkinkan temanya berdiri sendiri memiliki validitas dan pembuktian dari dalam, bukan dari luar baik pemikiran maupun alami, tidak hanya dalam kitab. Ketiadaan sebuah ideologi yang koheren(bertalian) atau cara pandang yang global yang dihubungkan dari aspek-aspek parsial dari tema tersebut menjadi cara pandang global, dimulai dari bagian-bagian kecil hingga menjadi keseluruhan. Sebagai contoh, melihat, mendengar, dan merasakan adalah bagian dari kognisi dan berbicara, berinteraksi adalah aspek yang lain dari kesadaran. Itulah dimensi-dimensi yang berbeda dari individualitas manusia. Tafsir yang tebal sangat melelahkan untuk dibaca dan sulit didapatkan, dan untuk menyimpan bahkan untuk dibawa! kuantitasnya membuat malas. Hal ini membuat pembaca kebingungan berhadapan dengan ilmu pengetahuan yang berlebihan. Kadang al-Qur’an tampil sederhana dan mudah dipahami. Metode ini mencampuradukkan antara informasi dan pengetahuan. Informasi merupakan sesuatu yang sudah diketahui dimana-mana dan dikomunikasikan dari satu sumber ke sumber lainnya, sementara itu pengetahuan adalah sesuatu yang baru serta menambah informasi dan pengetahuan. Informasi yang disediakan oleh tafsir tahlili terpisah dari kebutuhan jiwa dan masyarakat saat ini. Pembaca tidak mengidentifikasikan dengan bacaan. Membaca adalah dingin, tidak berguna dan merupakan informasi usang. Mereka (pembaca) membutuhkan sesuatu yang hidup, berguna dan pengetahuan yang up to date ( aktual) (Hassan Hanafi,485-488 )
E. Penutup Al-Qur’an adalah sebuah dokumen untuk manusia, sebagai petunjuk manusia, namun demikian al-Qur’an bukanlah sebuah risalah mengenai Tuhan dan sifat-sifatNya. Kandungan Al Quran berguna untuk semua orang laksana air yang merupakan unsur penyebab kehidupan segala makhluk hidup di sepanjang masa. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
29
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Teks hanyalah alat kepentingan, bahkan ambisi manusia. Teks hanyalah bentuk, penafsirlah yang memberinya isi sesuai ruang dan waktu dalam masa mereka. Dari uraian di atas kita dapat mengetahui corak atau watak pemikiran Hassan Hanafi yang hendak membawa dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Hassan Hanafi merupakan sosok pemikir yang unik. Ia tidak dapat dikategorikan sebagai pemikir tradisional karena ia membongkar dan mengkritik pemikiran tradisional. Ia bukan modernis karena ia mengkritik modernitas dan menjadikan wacana tradisonal sebagai landasan pemikiran yang diproyeksikan pada masa kini dan masa yang akan datang. Dalam hal penafsiran ia menggunakan penafsiran tematik yaitu dengan cara menafsirkan pada tema-tema tertentu dari ayatayat al-Qur’an. Wallahu A’lam...
30
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Model Penafsiran Hasan Hanafi (Mubasyaraoh)
KEPUSTAKAAN
Abd al-Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir Maudhu’iy ( terj.), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996 Abd. Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologo Tafsir al-Qur’an, Lembaga Studi Kebudayaan Islam, Ujung Pandang, 1990 Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an, Bibliotheca Islamica, Minneapolis, Chicago, 1980 Hasan Hanafi, al-Yamin wa al-Yasar fi Fikr al-Dini, Mesir, Madbuly, 1999 Hassan Hanafi, Bongkar Tafsir, Liberalisasi, Revolusi Hermeneutik,(terj.) PrismaSophie, Yogyakarta, 2006 Hassan Hanafi, Islam In The Modern World, Tradition, Revolution and Culture Vol.I,Dar Kebaa for Printing, Publishing and Distribution, Egyption, 2000 Hassan Hanafi, Islam In The Modern World, Tradition, Revolution and Culture Vol.II, Dar Kebaa for Printing, Publishing and Distribution, Egyption, 2000 Hassan Hanafi, Islamologi1; Dari Rasionalisme ke Empirisme,( terj.), Penerjemah Miftah Faqih LKIS,Yogyakarta, 2007 Hassan Hanafi, Islamologi1; Dari Teologi Statis ke Anarkis,( terj.), LKIS,Yogyakarta, 2007 Hassan Hanafi, Islamologi1; Dari Teologi Statis ke Anarkis,( terj.) Penerjemah Miftah Faqih, LKIS,Yogyakarta, 2007
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
31
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Http:///www.ppmipakistan.or.id/?p=18 Http://en.Wikipedia.org/Wiki/Hassan_Hanafi Muhammad husain al-Zahabi,al-Tafsir wa al-Mufassirun, Mesir, dar alKutub al-Hadits, 1961
32
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
POSISI AL-QUR’AN DALAM STRUKTUR DAN SUMBER ILMU ISLAM
Oleh: Fathul Mufid
Abstrak Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam, termasuk di dalamnya sebagai dasar ilmu Islam. Ilmu yang terkandung di dalam Al-Qur’an tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu keagamaan saja tetapi juga terdapat ilmu-ilmu secara umum. Ilmu-ilmu Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an memang tidak dijelaskan secara rinci, tetapi bersifat universal, selalu berlaku untuk umum dan tidak terikat dengan ruang dan waktu. Jika di dalam Al-Qur’an hanya tertulis secara global, maka penjelasannya bisa dicari di dalam Sunnah atau lewat penelitian di lapangan, baik yang bersifat memperkokoh ataupun memerinci. Oleh sebab itu, Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai rumusan teori, dalam arti Al-Qur’an dijadikan sebagai paradigma. Paradigma Al-Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana Al-Qur’an memahaminya. Di dalam menguak keilmuan Islam yang terkandung di dalam Al-Qur’an, kita juga harus melihat konteks ayat saat turun, karena pada saat ayat tersebut turun pasti ada intervensi budaya, sehingga wahyu adalah Ijtihad Tuhan bagi manusia. Maksudnya adalah solusi yang sifatnya temporer yang tidak tunggal sebagai instrumen untuk membangun kebajikan di bumi. Al-Qur’an merupakan undang-undang abadi bagi umat manusia, tidak disimpangkan, diganti, dilompati dan tidak pula tercecer ketika diterapkan. Al-Qur’an senantiasa relevan untuk masa-masa keIslaman yang berbeda. Al-Qur’an memerlukan penjelasan, dia sangat butuh terhadap Sunnah Nabi SAW ketimbang kebutuhan Sunnah terhadap Al-Qur’an. Demikian pula untuk membuktikan grand concept dalam Al-Qur’an sangat dibutuhkan penelitian lapangan. Kata Kunci: Al-Qur’an, Ilmu Islam, Sumber Ilmu, Struktur Ilmu, Ilmu Pengetahuan. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
33
ADDIN Jurna Media Dialektika Ilmu Keislaman
A. Pendahuluan Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia dalam berbagai dimensi kehidupan. Amat jelas bahwa dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang mengandung pokok-pokok akidah keagamaan, keutamaan ahlak dan prinsip-prinsip umum hukum perbuatan (Thaba Thaba’i, 1995 : 21). Umat Islam telah sepakat bahwa Al-Qur’an adalah Kitabullah yang kekal, tidak terbatas pada dimensi ruang dan waktu, dan tidak ada sedikitpun keraguan. Al-Qur’an juga diakui sebagai teman berdialog yang sempurna dan diturunkan sebagai gambaran cara yang benar bagi setiap orang, dan memberikan jalan keluar dari berbagai kesulitan dan masalah yang muncul di hadapan manusia. Asbabun nuzul menjadi contoh yang jelas dan konkret sebagai penjelasan nash yang turun bersamaan dengan adanya peristiwa atau kejadian (Muhammad Al Ghazali, 1999 :92). Al-Qur’an sangat menghormati kedudukan ilmu dengan penghormatan yang tidak ditemukan bandingannya dalam kitabkitab suci yang lain. Di dalam Al-Qur’an terdapat beratus-ratus ayat yang menyebut tentang kemuliaan dan ketinggian derajat ilmu dan pengetahuan. Dalam surat Al Mujadilah ayat 11 dan surat Az Zumar ayat 9 disebutkan bahwa : “Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman dan mempunyai ilmu.”( QS. Al-Mujadalah : 11). “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?” ( QS. Az-Zumzr: 9).
Al-Qur’an mengajak untuk memikirkan tanda-tanda kekuasaan Allah di langit, bintang-bintang yang bercahaya, susunannya yang menakjubkan dan peredarannya yang mapan. Ia juga mengajak untuk memikirkan penciptaan bumi, laut, gunung-gunung, lembah, keajaiban yang terdapat di dalam perut bumi, pergantian musim, siang dan malam (Aziz al -Zuhri dkk, 1997, hal : 72). Hal tersebut mengisyaratkan pada manusia bahwasanya Allah menciptakan semua yang ada di langit dan di bumi, agar dijadikan sebagai bahan renungan dan pemikiran, karena di dalam segala penciptaan-Nya tersebut terdapat berbagai macam pengetahuan/ ilmu yang dapat diperoleh dan dimanfaatkan oleh manusia. Secara khusus, Al-Qur’an mengajak untuk mempelajari ilmu-ilmu kealaman, matematika, filsafat, sastra 34
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Posisi Al-Qur’an Dalam Struktur Dan Sumber Ilmu Islam (Fathul Mufid)
dan semua ilmu pengetahuan yang dapat dicapai oleh pemikiran manusia ( Thaba Thaba’i, 1995 :112 – 113). Al-Qur’an telah menambahkan dimensi baru terhadap studi mengenai fenomena jagad raya dan membantu pikiran manusia untuk melakukan terobosan terhadap batas penghalang materi. AlQur’an menunjukkan bahwa materi bukanlah sesuatu yang kotor tanpa nilai, karena padanya terdapat tanda-tanda yang membimbing manusia kepada Allah SWT, serta kegaiban dan keagunganNya. Alam semesta yang sangat luas sebagai ciptaan Allah, dan Al-Qur’an mengajak manusia untuk menyelidikinya, mengungkap kejadian dan kegaibannya, serta memanfaatkan kekayaan alam yang berlimpah ruah untuk kesejahteraan hidupnya. Jadi Al-Qur’an membawa kepada Allah melalui cipatan-Nya, berupa realitas konkrit yang ada di bumi dan di langit. Ini adalah yang sesungguhnya dilakukan oleh ilmu pengetahuan, yaitu mengadakan observasi, lalu menarik hukum-hukum alam berdasarkan observasi dan eksperimen. Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat mencapai Yang Maha Pencipta melalui observasi yang diteliti dengan tepat terhadap hukum-hukum yang mengatur gejala alam, dan Al-Qur’an menunjukkan realitas intelektual Yang Maha Besar melalui ciptaan-Nya (Afzalur Rahman, 1999 :1). Sedang As-Sunnah adalah bentuk respon Nabi Muhammad SAW terhadap wahyu (Al-Qur’an) yang diterima. Nabi SAW sangat nmenjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Ini dibuktikan pada anjuran beliau bahwa hendaknya para pemuda tidak semua terjun ke medan perang, tapi sebagian ada yang mendalami/ menuntut ilmu. Beliau juga menyarankan tidak hanya mendalami ilmu-ilmu yang berhubungan dengan agama (akhirat) saja, tetapi juga yang terkait dengan ilmiilmu dunia (umum). Ini dibuktikan dengan anjuran beliau “Carilah ilmu sampai di negeri Cina”. Cina bukanlah Negara Islam, jadi tidak mungkin mendalami ilmu agama di sana, ini mengisyaratkan bahwa Nabi tidak melarang bahkan menganjurkan umatnya mendalami ilmuilmu keduniaan (umum). Al Ghazali mengatakan bahwa : “Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian; baik yang telah diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari Al-Qur’an al Karim” (al Ghazali, 1356 H, Jilid I : 301). ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
35
ADDIN Jurna Media Dialektika Ilmu Keislaman
Suatu bukti tentang kebenaran Al-Qur’an, adalah penemuan llmu pengetahuan modern dari berbagai disiplin yang telah diisyaratkannya. Memang terbukti, bahwa sekian banyak dari ayatayat Al-Qur’an yang berbicara tentang hakikat ilmiah yang tidak dikenal manusia pada waktu turunnya, namun terbukti di tengahtengah perkembangan ilmu. Seperti teori ezpanding universe / kosmos yang mengembang (QS. 51 :47), matahari adalah planet bercahaya, sedang cahaya bulan adalah pantulannya (QS. 10 : 5), pergerakan bumi mengelilingi matahari / revolusi (QS. 27 : 88), zat hijau daun (clorofil) yang berperan dalam mengubah tenaga radiasi matahari menjadi tenaga kimia melalui proses fotosintesis (QS. 36 : 80). Kesimpulan yang dikemukakan oleh Dr. Maurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur’an, Bible dan SAins Modern, bahwa tidak satupun ayat dalam Al-Qur’an bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan (M. Quraisy Shihab, 1999 : 66). B. Ilmu-Ilmu yang Diisyaratkan Al-Qur’an Al-Qur’an selain mengilhami munculnya ilmu-ilmu agama seperti nahwu, shorof, balaghoh, tafsir, hadits, mustholah hadits, fiqh dan ushul fiqh, ilmu kalam, sejarah dan mantiq, al-Qur’an juga mengisyaratkan ilmu-ilmu umum yang kini telah bermunculan dan berkembang, antara lain : a. Kosmologi, al-Qur’an mengisyaratkan antara lain tentang proses dasar pembentukan alam semesta dan komposisi planet dan jagad raya (QS. 41: 11 – 12), orbit matahari dan bulan (QS 21 : 33 dan QS. 36: 40), isyarat manusia dapat menembus langit (QS. 36: 40). b. Astronomi, ayat al-Qur’an yang meyinggung antara lain tentang: langit dan bumi tak bertiang (QS. 13: 10 dan 12, QS. 79: 28), keteraturan dan keseimbangan (QS. 23: 86 – 88, QS. 55: 5), gerakan benda-benda samawi yang ada dalam garis edarnya (QS. 36: 38-40, QS. 10: 5 – 6). c. Fisika, al-Qur’an menyinggung tentang sifat cahaya bulan dan matahari (QS. 25 : 61, QS. 10 : 15), fungsi cahaya dalam berbagai medan (QS. 57 : 13, QS. 66 : 8, QS. 9 : 32), tenaga panas atau kalor (QS. 18 : 96, QS. 13: 17, QS. 55: 35), tenaga listrik (QS. 2 : 19-20, QS. 13 : 12-13). 36
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Posisi Al-Qur’an Dalam Struktur Dan Sumber Ilmu Islam (Fathul Mufid)
d. Matematika, al-Qur’an menyinggung tentang pengetahuan angka-angka (QS. 18 : 11-12, QS. 18 : 9), perkalian dan perhitungan bilangan (QS. 19 : 84, QS 19 : 94 – 95). e. Geografi, al-Qur’an menyinggung tentang kegunaan gunung yang mengokohkan gerakan bumi dan mempertahankan dalam posisi mantap (QS. 27: 61, QS. 16 : 15), kegunaan hutan dan tumbuhan (QS. 27: 60, QS. 16: 10), pergantian musim (QS. 10: 15 – 16), air tawar dan asin menjadi satu dan tetap berpisah di lautan lepas (QS. 25: 53). f. Zoologi, al-Qur’an menyinggung tentang proses pembiakan binatang (QS. 53: 45 – 46, QS. 43: 12, QS. 6: 142 – 144), masyarakat binatang (QS. 6: 38), perilaku binatang lebah, laba-laba, semut dan burung (QS. 16: 68 – 69, QS. 29: 41, QS. 27: 18) (Ahmad Baiquni, 1996 : 29-40). Al-Qur’an menganjurkan manusia untuk memperhatikan alam raya, langit, bumi, lautan dan sebagainya, agar manusia mendapat manfaat ganda, yakni : 1) Menyadari kebesaran dan keagungan Tuhan, dengan ini manusia akan lebih beriman dan mempunyai pedoman hidup dalam menjalankan segala aktifitasnya, 2) Memanfaatkan segala sesuatu untuk membangun dan memakmurkan bumi di mana ia hidup. Tuhan telah memilih manusia sebagai khalifah di bumi dengan dibekali indra, akal, hati dan pedoman wahyu (Al-Qur’an) dan penjelasannya (As-Sunnah). Dengan indra dan akal manusia dapat memperhatikan fenomena alam yang dapat diteliti dan diobservasi, sehingga didapati bermacam-macam informasi ilmu. Dengan akal dan hati manusia dapat mengkaji rahasia-rahasia Al-Qur’an yang telah banyak menyinggung berbagai ilmu yang akan hadir di masa yang akan datang demi kepentingan / kemakmuran manusia. Ilmu Islam adalah semua ilmu yang digelar oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, maupun dalam alam semesta yang dihasilkan oleh umat manusia. Ilmu Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu Qauliyah dan Kauniyah. Ilmu qauliyah bersumber dari Al-Qur’an, sehingga kebenarannya bersifat mutlak. Sedangkan ilmu kauniyah bersumber dari alam semesta, tetapi konsep dasarnya tetap Al-Qur’a. Untuk mencari kebenarannya diperlukan suatu penelitian sehingga kebenarannya sewaktu-waktu dapat berubah. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
37
ADDIN Jurna Media Dialektika Ilmu Keislaman
Seperti yang telah diuraikan di atas, ilmu Islam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu ilmu yang bersifat qauliyah dan kauniyah. Akan tetapi hal ini juga mengandung tantangan, yaitu penataan kerangka pikir dan pengembangannya dalam struktur ilmu Islam yang benar. Maka, diperlukan perombakan kerangka keilmuan dengan telaah ulang tentang hubungan dunia Islam dengan dunia empiris disekitarnya. Disni, Islam dapat mempertimbangkan struktur ilmu barat yang mengenal dua macam ilmu empiris, dalam bentuk “epistemic empiricm” dan “sistematic empiricm”. Saran ini, sama sekali tidak bermaksud menerima falsafah ilmu barat sebagaimana adanya, akan tetapi dengan membuang unsur-unsur yang bertentangan dengan Islam. Pemakaian metodologis dalam struktur ilmu Islam dengan mempertimbangkan kerangka hubungannya dengan empiris, baik dalam “epistemic empiricm” atau “sistematic empiricm” seperti yang disarankanAbraham Kaplan, akan menjangkau hampir semua sisi ilmu. Artinya baik ilmu fiqh, tasawuf, tafsir, hadits, lmu kalam, kedokteran, astronomi, fisika, ilmu-ilmu lain juga perlu menyusun ulang kerangka keilmuannya. Sisi ini dapat dilakukan dengan membedakannya menjadi aspek ontologi, epistemologi dan aksiologinya (Jujun SS, 1980: 122). C. Struktur Ilmu Menurtut Webster’s New Interntional Dictionary, kata struktur berasal dari kata structure yang artinya bangunan, dari kata structus atau structur yang berarti menyusun. Lima arti dalam kamus tersebut semuanya merujuk pada bangunan dalam arti konkrit (misalnya gedung) atau bangunan dalam arti abstrak (misalnya structure social / bangunan sosial). Ada tiga sisi dalam struktur, yaitu: 1. Keseluruhan (wholeness), ialah suatu koherensi atau suatu keterpaduan susunan. Struktur itu sudah lengkap dan struktur bukan semata-mata terdiri dari kumpulan unsur-unsur yang terlepas. 2. Perubahan bentuk (traformation) struktur, tidak statis, karena gagasan mengenai perubahan bentuk itu menjadi penting. Struktur mampu memperkaya diri dengan menambah bahan-bahan baru. 38
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Posisi Al-Qur’an Dalam Struktur Dan Sumber Ilmu Islam (Fathul Mufid)
3. Mengatur diri sendiri (self regulation), penambahan unsur-unsur baru tidak pernah berada di luar struktur tetapi tetap memelihara struktur itu (Kuntowijoyo, 2004 : 11). Al-Qur’an sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berfikir. Cara berfikir inilah yang dinamakan paradigma Al-Qur’an, paradigm ilmu Islam. Paradigma Al-Qur’an untuk perumusan teori adalah pandangan untuk munjadikan postulat normatif agama (Al-Qur’an dan AsSunnah) menjadi teori ilmu. Seperti diketahui, ilmu didapatkan melalui konstruksi pengalaman sehari-hari secara terorganisir dan sistematik. Karenanya norma agama sebagai pengalaman manusia juga dapat dikonstruksikan menjadi ilmu. Pengembangan eksperimeneksperimen ilmu pengetahuan yang berdasar pada paradigma AlQur’an jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan umat manusia. Kegiatan itu mungkin akan menjadi tambahan baru bagi munculnya ilmu-ilmu alternative. Jelaslah bahwa premis-premis normative Al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional. Sebab proses semacam ini pula yang ditempuh dalam perkembangan ilmu-ilmu modern yang kita kenal sekarang ini. Dari ide-ide normatif, perumusan ilmu-ilmu dibentuk sampai kepada tingkat yang empiris (Kuntowijoyo, 2004: 31). Keberagamaan dalam Islam, dikenal adanya tiga tahapan yaitu: iman, Islam dan ihsan. Pada tahap iman, seseorang menyakini dan mempercayai sepenuhnya kehadiran Tuhan. Melalui keyakinan ini seseorang kemudian memasuki tahapan Islam, yaitu patuh menjalani syari’at agama yang memuat hukum-hukum dan peraturan serta tata cara dalam ibadat dan mu’amalat sebagai perintah dari Tuhan yang diyakininya itu. Dengan menjalankan syari’at agama pada tahapan kedua ini seseorang diharapkan dapat memasuki tahapan berikutnya, ihsan. Tahap ini adalah tahap aktualisasi diri manusia yang didasarkan pada hubungannya yang intens dengan Tuhan secara pribadi, menerima amanat-Nya sebagai wakilNya, untuk kemudian melaksanakan tugas kekhalifahan yakni memakmurkan, mensejahterakan dan menyelamatkan kehidupan mereka di muka bumi. Jika direnungkan lebih dalam, maka ketiga tahapan keagamaan di atas dapat mengembangkan dunia keilmuan: tahapan iman dapat berkembang dalam ilmu ketuhanan dan ilmu hakekat semua yang ada. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
39
ADDIN Jurna Media Dialektika Ilmu Keislaman
Tahapan pertama ini biasanya lebih dikenal dengan istilah filsafat dan hikmah. Tahapan Islam (syari’ah) yang menetapkan prinsip ibadat dan mu’amalat, berkembang dalam ilmu sosial, kebudayaan, dan iptek yang terkait dengan manusia dan alam. Sedangkan ihsan sebagai tahapan terakhir, berkembang dalam ilmu tasawuf. Tujuan tahapan terakhir ini adalah mengembangkan wawasan batin, menembus tahapan akhir yang transcendental-spiritual dan yang akan mengantarkan pengalaman spiritual manusia. Tahapan Islam tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan kesatuan dengan tahapan iman dan ihsan. Dengan demikian ilmu Islam merupakan kesatuan antara filsafat (iman), ilmu dan teknologi (Islam), dan tasawuf (ihsan), sebagai manifestasi kesatuan religiusitas untuk meneguhkan kemanusiaan dan menegakkan moralitas serta spiritualitas. Oleh karena itu, di dalam ilmu Islam sesungguhnya tidak dikenal adanya dikotomi ilmu agama dan non agama, ilmu duniawi dan ukhrawi. Kehadiran Islam pada hakekatnya menjadi rahmat bagi kehidupan manusia dan alam seisinya. Ilmu pada prinsipnya berpihak pada pembebasan dan pemberdayaan daya-daya ruhani manusia, agar dapat memahami dan menghayati, mengerti dan menjiwai kebenaran dalam segala jenjangnya menuju pengalaman. Iman, sebagai dasar untuk memperkuat perannya sebagai hamba Tuhan yang diangkat menjadi wakil-Nya (Jarot Wahyudi, 2003: 80 – 82). Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanan dan sedikit pengetahuan. Agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan (ilmu). Menurut pandangan ini sumber pengetahuan ada dua macam, yaitu: pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris (M. Quraisy Shihab, 1994: 62 – 63). Ilmu yang lahir dari induk agama menjadi ilmu yang obyektif (mengalami proses obyektifikasi). Dalam arti, bahwa ilmu tersebut tidak dirasakan oleh pemeluk agama lain, non agama dan anti agama sebagai norma (sisi normativitas), tetapi sebagai gejala keilmuan yang obyektif (sisi histories-empirisitas) semata. Obyektivikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia, tidak hanya untuk orang beriman saja, lebih-lebih bukan untuk pengikut agama tertentu saja (Amin Abdullah, 2006: 103). 40
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Posisi Al-Qur’an Dalam Struktur Dan Sumber Ilmu Islam (Fathul Mufid)
D. Ilmu Islam Ilmu Islam sebagai suatu bangunan keilmuan sudah pasti memiliki obyek kajian, metodologi, pendekatan dan kerangka teori. Seperti halnya ilmu-ilmu yang lain, ilmu Islam (Islamic studies) mestinya juga memiliki kajian filosofis terhadap bangunan keilmuan Islam tersebut. Amin Abdullah (2006: 68) menulis bahwa ilmu-ilmu keislaman aturannya juga memiliki The Philosophy of Islamic Studies. Ada dua pendekatan yang dapat diterapkan sebagai acuan merumuskan pengertian filsafat ilmu-ilmu Islam, yaitu; pertama, genetivus subyektivus yakni menempatkan Islam sebagai subyek yang menjadi tolok ukur dan titik tolak dalam berpikir, dan ilmu pengetahuan sebagai bahan dalam obyek kajian. Kedua, genetivus obyektivus, yakni menempatkan filsafat ilmu pengetahuan sebagai subyek atau titik tolak pengetahuan berpikir, sedangkan ilmu-ilmu Islam sebagai obyek kajian (Miska M. Amin, 1983: 10). Miska M. Amin menganggap bahwa pendekatan pertama yang lebih tepat, dan merumuskan bahwa filsafat pengetahuan Islam adalah menelaah bagaimana pengetahuan itu menurut pandangan Islam, bagaimana metodologinya, dan bagaimana kebenaran yang diperoleh manusia menurut pandangan Islam. Jadi filsafat pengetahuan Islam dapat di definisikan sebagai usaha manusia untuk menelaah masalah-masalah obyektivitas, metodologi, sumber, serta validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subyek Islam sebagai titik tolak berpikir. Berdasarkan rumusan definisi diatas, berarti filsafat pengetahuan Islam membahas masalah-masalah yang dibahas oleh epistemologi pada umumnya. Tetapi disisi lain, secara khusus membahas sumber pengetahuan Islam yang berupa wahyu dan ilham. Wahyu dan ilham tersebut tidak lazim dibicarakan dalam epistemologi umum (Miska M. Amin, 1983: 10 – 11). M. Amin Abdullah (2006: 191 – 195) mempunyai pandangan yang berbeda, yakni semua ilmu yang disusun, dikonsep, ditulis secara sistematis, kemudian dikomunikasikan, diajarkan dan disebarluaskan baik lewat lisan maupun tulisan tidak mungkin lepas dari paradigma kefilsafatan. Ilmu Islam adalah bangunan keilmuan biasa, karena ia disusun dan dirumuskan oleh ilmuan agama, ulama, fuqaha, mutakallimin, mutasawwifin, mufassirin, muhadditsin, dan cerdik ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
41
ADDIN Jurna Media Dialektika Ilmu Keislaman
pandai pada era yang lalu untuk menjawab tantangan kemanusiaan dan kegamaan saat itu, seperti halnya ilmu-ilmu yang lain. Oleh sebab itu tidak ada alasan untuk menghindarkan dari pertemuan, perbincangan dan pergumulannya dengan telaah filsafat ilmu. Pandangan tersebut berarti memakai pendekatan kedua, yakni obyektivus genetivus, dimana ilmu-ilmu Islam dijadikan obyek kajian, sedang Islam sebagai subyek atau titik tolak berpikir. Jadi filsafat ilmu Islam dapat dirumuskan secara sampel; yaitu telaah terhadap bangunan ilmu Islam dengan pisau analisa filsafat ilmu, sebagai landasan filosofis eksistensinya. Dengan telaah filsafat ilmu tersebut suatu ilmu Islam dapat dilacak obyek kajian, metodologi, pendekatan, dan kerangka teorinya. E. Sturktur Ilmu Islam Ilmu yang ditekuni oleh umat manusia dan saling mereka tukarkan, baik untuk memperoleh maupun untuk mengajarkannya terdapat dalam dua kelompok, yaitu : 1. Kelompok pertama, merupakan sesuatu yang alami pada manusia, yang ia bisa menemukannya karena kegiatan berfikirnya, yaitu ilmu-ilmu rasional. Yakni, ilmu pengetahuan yang bisa didapat manusia karena alam berfikirnya dan yang dengan inderaindera kemanusiaannya, segi-segi demonstrasinya dan aspekaspek pengajarannya, sehingga penelitian dan penyelidikan menyampaikannya kepada mana yang benar dan yang salah, sesuai dengan kedudukannya sebagai manusia berfikir (Nur Kholis Majid, 1984 : 31). lmu-ilmu rasional menyangkut empat macam ilmu, yaitu : a. Ilmu Mantiq (logika), yaitu ilmu yang mempelajari metode dan hukum-hukum yang digunakan untuk membedakan penalaran yang betul dari penalaranm yang salah. b. Ilmu Alam, yaitu ilmu yang mengkaji tentang hal-hal yang dapat diindera seperti materi-materi elementer dan bendabenda yang tersusun dari materi-materi elementer, seperti barang-barang tambang, tumbuhan-tumbuhan, binatang, benda-benda langit dan gerak-gerak alam. c. Ilmu Ketuhanan (metafisika), yaitu ilmu yang mengkaji tentang sesuatu yang ditujukan kepada perkara di luar alam yaitu halhal keruhanian. 42
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Posisi Al-Qur’an Dalam Struktur Dan Sumber Ilmu Islam (Fathul Mufid)
d. Ilmu Instruktif, yaitu ilmu yang mempelajari ukuran-ukuran ilmu. Ini mencakup empat cabang, yaitu : 1). Ilmu ukur, yaitu ilmu yang mengkaji tentang ukuran-ukuran secara umum, baik terpisah-pisah karena ukuran itu bisa dihitung ataupun yang bersambungan yang terdiri dari satu dimensi yaitu titik, atau yang dua dimensi permukaan atau tiga dimensi yaitu ruang. 2). Ilmu hitung, yaitu ilmu pengetahuan tentang apa yang terjadi pada angka terpisah, yaitu bilangan dengan memperhatikan ciri-ciri khususnya serta sifat-sifat tambahan yang melekat padanya. 4). Ilmu musik, yaitu ilmu yang membahas tentang nisbat suara-suara dan melodi-melodi satu sama lainnya, serta pengukurannya dengan angka. 5). Ilmu astronomi, yaitu ilmu pengetahuan yang membahas tentang penemuan berbagai bentuk cakrawala dan pembatasan berbagai situasinya serta variasinya untuk setiap bintang beredar dari segi gerak benda-benda langit yang nampak maupun tidak (Nur Kholis Majid, 1984 : 320321). 2. Kelompok kedua, ilmu naqli bersumber dari ajaran syari’at yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah yang telah ditetapkan bagi kita dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Jenis-jenis ilmu naqliyah adalah sebagai berikut : a. Ilmu tafsir, yaitu ilmu yang menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat dan tujuannya. b. Ilmu hadits, yaitu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW dari segi perawinya, kedhabitannya, keadilan dan dari bersambung tidaknya sanad. c. Ilmu ushul fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari tentang penyimpulan hukum-hukum dari sumber pokoknya dengan menggunakan perumusan yang dapat melandasi teori tentang bagaimana kesimpulan-kesimpulan itu dibuat. d. Ilmu fiqh, yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hukum-hukum Allah SWT yang menyangkut kegiatan para mukallaf. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
43
ADDIN Jurna Media Dialektika Ilmu Keislaman
e. Ilmu aqaid, yaitu ilmu yang membahas tentang keimanan mengenai dzat dan sifat Allah SWT , jal ikhwal Al Hasyr, surga, neraka dan qadar. f. Ilmu kalam, yaitu ilmu yang mencakup argumentasiargumentasi akidah-akidah keimanan dengan menggunakan dalil-dalil rasional, dan yang memuat penolakan terhadap kaum bid’ah yang menyeleweng dalam akidah dari madzhab salaf dan ahlus sunnah (Nur Kholis Majid, 1984 : 312). Banyak orang berfikir bahwa ilmu Islam adalah ilmu yang hanya berkaitan atau mempelajari tentang Islam. Pemahaman yang demikian masih terlalu sempit untuk mengartikan ilmu Islam. Dalam bukunya yang terkenal Muqaddimah, Ibn Khaldun membagi ilmu yang berkembang di dunia Islam ke dalam dua kategori utama, ilmu-ilmu agama (naqliyah), dan ilmu-ilmu rasional (aqliyah), yang juga kita kenal dengan ilmu-ilmu qouliyah dan ilmu kauniyah. Termasuk kategori pertama adalah ilmu Al-Qur‘an, hadits, tafsir, fiqh, ilmu kalam dan tasawuf. Sedangkan yang termasuk ke dalam kategori kedua adalah ilmu metafisika, matematika dan fisika beserta sub-devisinya (Yuhaya S. Praja, 2002 : 4). Kuntowijoyo dalam bukunya “Islam sebagai ilmu” menurut Al-Qur‘an, ilmu itu bukannya dua macam, kauniyah (ilmu-ilmu alam) dan qauliyah (ilmu-ilmu agama) seperti yang kita sangka selama ini, tapi ada tiga macam. Katakanlah yang ketiga itu adalah ilmu nafsiyah. Kalau ilmu kauniyah berkenaan dengan hukum alam dan ilmu qauliyah berkenaan dengan hukum Allah SWT, maka ilmu nafsiyah berkenaan dengan makna, nilai dan kesadaran. Ilmu nafsiyah inilah yang kita sebut dengan iilmu humanoria (ilmu-ilmu kemanusiaan). Ini sesuai dengan pernyataan Al-Qur‘an :”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami disegenap ufuk (cakrawala) dan pada diri mereka sendiri”. QS. Fushilat : 53 (Kuntowijoyo, 2005: 27) F. Sumber Ilmu Islam Al-Qur’an sebagai sumber ilmu memberikan benih-benih dasar yang paling esensi untuk dapat diolah manusia menjadi ilmu dan teknologi yang tak terhingga ragamnya dan tak terhingga arah (level) pencapaiannya. Selain itu, al-Qur’an akan menjamin kebenaran ilmu yang bersumber darinya, kebenaran arah pengembangannya, 44
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Posisi Al-Qur’an Dalam Struktur Dan Sumber Ilmu Islam (Fathul Mufid)
karena semuanya bersumber pada sunnah Allah dan jiwa ketakwaan serta keimanan dari manusia sebagai subyek yang melakukannya. Kisi-kisi batas kewenangan manusia untuk menggapai ilmu juga telah ditetapkan di dalam al-Qur’an (Nurcholis Majid, 1990). Dasar ilmu Islam adalah Islam dengan segala ajarannya. Ajaran itu bersumber pada al-Qur’an, sunnah Rasulullah (as-Sunnah) dan ra’yu (hasil pikir manusia). Tiga sumber ini harus digunakan secara hirarkis. Al-Qur’an harus didahulukan, dan apabila tidak ditemukan di dalam al-Qur’an, maka harus dicari di dalam as-sunnah. Apabila tidak juga ditemukan di dalam as-sunnah, barulah digunakan ra’yu. Sunnah tidak akan bertentangan dengan al-Qur’an, dan ra’yu tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Tiga sumber ajaran dan hirarki penggunaannya ditetapkan di dalam hadis sebagai berikut:
:ان رسول اهلل صلّى اهلل عليه وسلّم بعث معاذا الى اليمن فقال ّ فان لم يكن: اقضي بما فى كتاب اهلل فقال:كيف تقضي؟ فقال فان لم يكن فى: قال. فبس ّنة رسول اهلل:فى كتاب اهلل؟ قال : قال. اجتهد رأيى:س ّنة رسول اهلل صلّى اهلل عليه وسلّم؟ قال الحمدهلل الذي و ّفق رسول رسول اهلل “Rasulullah SAW mengutus Mu’adz ke Yaman, kemudian bertanya, “Bagaimana kamu memutuskan (suatu masalah)?” Ia menjawab, “saya akan memutuskannya dengan apa yang ada di dalam kitab Allah.” Beliau bertanya, “Apabila putusan ini tidak terdapat di dalam kitab Allah?” Ia menjawab, “saya akan memutuskannya dengan sunnah Rasulullah. Beliau bertanya lagi, “Apabila putusan itu tidak juga terdapat di dalam sunnah Rasulullah?” Ia menjawab, “saya berijtihad dengan ra’yu.” Kemudian beliau bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul-Nya” (HR. Al-Tirmidzi).
Menurut Burhanuddin Salam dalam bukunya “Pengantar Filsafat”, sumber ilmu pengetahuan Islam, ada 4 yaitu: 1. Wahyu (al-Qur’an) Al-Quran adalah sumber ilmu Islam yang pertama dan utama, memuat keyakinan umat Islam yang diakui kebenarannya oleh ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
45
ADDIN Jurna Media Dialektika Ilmu Keislaman
penelitian Ilmiah. Al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat firman-firman ataupun petunjuk bagi umat manusia dalam hidup agar kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat. 2. Intuisi Manusia Kalau pengetahuan yang diperoleh secara rasional dan empiris yang merupakan produk dari sesuatu rangkaian pengalaman, maka intuisi merupakan pengetahuan yang diperoleh tanpa melalui proses penalaran itu. Jawaban dari permasalahan yang sedang dipikirkan muncul di benak manusia sebagai suatu keyakinan yang benar walaupun manusia tidak bisa menjelaskan bagaimana cara untuk sampai ke situ. Pengetahuan intuitif ini dipakai sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menetapkan benar tidaknya penetapan yang dikemukakan itu. Kegiatan intuitif dan analitik saling bekerjasama dalam menemukan kebenaran. Bagi Nietzshche intuisi merupakan “intelegensi” yang paling tinggi, dan bagi Maslow merupakan “pengalaman puncak” (peak experience). 3. Pengalaman (Empiri) Aliran empirisme yang dipelopori oleh tokoh John Locke berpendapat bahwa manusia dilahirkan sebagai kertas putih/meja putih. Pengalaman yang akan memberikan lukisan kepadanya, dunia empiri merupakan sumber pengetahuan utama. 4. Rasio/ Akal Pikiran Paham rasionalisme berpendapat bahwa sumber satu-satunya dari pengetahuan manusia adalah rasionya (akal budinya). Pelopornya ialah Rene Descartes. Aliran ini sangat mendewakan akal budi manusia yang melahirkan paham “rasionalisme” (Burhannuddin Salam, 2005: 167 – 168). G. Al-Qur’an Sebagai Sumber Ilmu Al-Qur’an merupakan sumber utama ilmu-ilmu Islam. Di dalamnya ditemukan unsur-unsur yang dapat dikembangkan untuk membentuk keberagaman, konsep, bahkan teori yang dapat difungsikan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi umat. Mengingat sifatnya sebagai unsur esensial dalam Islam, maka di dalam al-Qur’an hanya ditemukan unsur-unsur dasar baik dalam bentuk konsep besar atau teori besar (grand concept or grand theory). Memposisikan al-Qur’an sebagai grand concept or grand theory 46
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Posisi Al-Qur’an Dalam Struktur Dan Sumber Ilmu Islam (Fathul Mufid)
mengandung arti bahwa keduanya berkedudukan sebagai sumber ajaran, baik sebagai sumber normatif maupun empiris. Sebagai sumber, al-Qur’an berisi sesuatu yang melalui suatu proses dapat memberikan sesuatu yang sangat potensial bagi pengembangan dan pemberdayaan ilmu-ilmu Islam (Ma’mun Mu’min, 2006: 113 – 114). Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, bahwa posisi sentral al-Qur’an dalam studi keIslaman adalah; pertama, sebagai sumber inspirasi dan dorongan untuk berfikir kreatif dan kontemplatif. Hal ini telah menjadi kenyataan dalam sejarah Islam. Kedua, sebagai al-Furqan (pemisah dari yang hak dengan yang batil) (Taufiq Abdullah, 1991: 128). al-Qur’an maupun Sunnah berasal dari sumber yang satu dan perbedaan antara keduanya hanyalah dalam bentuk, bukan dalam isi serta dalam kepastian bagaimana keduanya di gunakan. Sistematika yang digunakan al-Qur’an dalam menyajikan kandungannya tidak sama dengan yang digunakan dalam penyusunan buku-buku ilmiah. Dalam buku-buku ilmiah satu masalah dibahas dengan satu metode tertentu serta dibagi menjadi bab-bab dan pasal-pasal. Model ini tidak tertdapat al-Qur’an yang menerangkan banyak persoalan induk secara silih berganti. Dalam menerangkan masalah-masalah yang merupakan bidang kajian filsafat dan metafisika, al-Qur’an tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Demikian pula halnya dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan (Hery Noor Aly, 1999: 35). Demikian pula adakah satu ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan ilmiah yang telah mapan. Kemajuan ilmu tidak hanya dinilai dengan apa yang dipersembahkan kepada masyarakat, tetapi juga diukur dengan terciptanya suatu iklim yang dapat mendorong kemajuan ilmu. Al-Qur’an telah menciptakan iklim tersebut dengan menjadikan ilmu sebagai bentuk kesadaran muslim yang amat sentral, yang menengahi antara iman dan amal. Dalam hal ini, para ulama sering mengemukakan perintah Allah SWT, langsung maupun tidak langsung kepada manusia untuk berpikir, merenung, menalar dan sebagainya. Banyak sekali seruan dalam al-Qur’an kepada manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran dikaitkan dengan peringatan, gugatan atau perintah supaya ia berpikir, merenung dan menalar (M. Quraisy Shihab, 1994: 42). Di masa sekarang kita temukan banyak orang yang mencoba menafsirkan beberapa ayat-ayat al-Qur’an dalam sorotan pengetahuan ilmiah modern. Tujuan utamanya adalah untuk menunjukkan ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
47
ADDIN Jurna Media Dialektika Ilmu Keislaman
mu’jizat dalam lapangan keilmuan, untuk menyakinkan orang-orang non muslim akan keagungan dan keunikan al-Qur’an, serta untuk menjadikan kaum muslim bangga memiliki kitab agung seperti itu (Mehdi Ghulsyani, 1986: 137 – 138). Tetapi pandangan yang menganggap al-Qur’an sebagai sebuah sumber seluruh pengetahuan ini bukanlah sesuatu yang baru. Sebab kita mendapati banyak ulama besar kaum muslim terdahulu pun berpandangan demikian. Di antaranya adalah Imam al-Ghazali, dalam bukunya Ihya ‘Ulum al-Din, beliau mengutip kata-kata Ibnu Mas’ud, “Jika seseorang ingin memiliki pengetahuan masa lampau dan pengetahuan modern, selayaknya dia merenungkan al-Qur’an.” Selanjutnya beliau menambahkan: “Seluruh ilmu tercakup di dalam karya-karya dan sifat-sifat Allah, dan alQur’an adalah penjelasan esensi, sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Tidak ada batasan terhadap ilmu-ilmu ini dan di dalam al-Qur’an terdapat indikasi pertemuannya (al-Qur’an dan ilmu-ilmu) (Adnan Syarif, 2002: 46). Pandangan bahwa al-Qur’an sebagai sumber semua ilmu di atas sejak lama telah ditentang Abu Ishak al-Syathibi (W. 790/1388). Beliau berpendapat bahwa orang-orang saleh pendahulu kita itu, lebih memahami al-Qur’an dari pada kita, dan mereka tidak berbicara seperti hal tersebut. Ini merupakan indikasi bahwa mereka tidak memandang al-Qur’an mencakup semua ilmu di atas (Mehdi Ghulsyani, 1986: 137). Seperti yang sudah diketahui bahwa, lebih dari 750 ayat al-Qur’an membahas fenomena alam. Kami berpendapat bahwa ayat-ayat ini melibatkan sebuah pesan penting bagi para ilmuan Muslim. Berikut ini beberapa problem esensial dari pesan tersebut: 1. Dalam ayat ini dianjurkan untuk mengkaji seluruh aspek alam untuk menemukan misteri-misteri penciptaan. 2. Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala sesuatu di dunia itu telah diatur dan memiliki tujuan sendiri-sendiri. 3. Al-Qur’an memerintahkan kita mengenali hukum-hukum alam hingga mengeksploitasinya bagi kesejahteraan manusia. 4. Dalam pandangan al-Qur’an seluruh sains adalah perwujudan berbeda dari satu dunia yang diciptakan dan yang dikelola oleh satu Tuhan. Karena itu kombinasi ilmu-ilmu tersebut akhirnya mengantarkan manusia kepada gambaran tunggal dunia. 5. Akhirnya, yang terpenting bagi manusia yang mempelajari al48
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Posisi Al-Qur’an Dalam Struktur Dan Sumber Ilmu Islam (Fathul Mufid)
Qur’an adalah keunikan pandangan dunia serta epistemologinya (Ibid : 144). H. Alam Semesta Sebagai Sumber Ilmu (afaq) Pada tahun 1929 terjadi peristiwa yang menjadi awal pergeseran pandangan di lingkungan para ahli tentang penciptaan alam, yang mengubah secara radikal konsepsi para fisikawan mengenai munculnya jagad raya. Hubble, yang mempergunakan teropong bintang terbesar di dunia, melihat galaksi-galaksi di sekeliling kita, yang menurut analisis pada spectrum cahaya dipancarkan menjauhi kita dengan kelajuan yang sebanding dengan jaraknya dari bumi. Kejadian ini merupakan pukulan berat bagi Einstein, karena observasi Hubble itu menunjukkan bahwa alam kita ini tidak statis, melainkan merupakan alam yang dinamis seperti model Friedman (Ahmad Baiquni, 1997: 38). Cara memahami alam dapat diraih lewat mata, telinga dan intelek. Adapun saluran-saluran yang dapat digunakan untuk memahami alam adalah: 1. Indera-indera eksternal (dengan indera ini pengamatan dan eksperimen dapat dilakukan). 2. Intelek yang tak terkotori oleh sifat-sifat buruk (yang menguasai kehendak-kehendak dan hayalan-hayalan, dan bebas dari peniruan buta). 3. Wahyu dan inspirasi (Mehdi Ghulsyani, 1998: 84). I. Diri Manusia Sebagai Sumber Ilmu (Anfus) Dari diri manusia ( anfus) ini telah lahir ilmu-ilmu sebagai berikut: 1. Ilmu kedokteran 2. Ilmu kesehatan 3. Ilmu kebidanan 4. Ilmu kimia 5. Ilmu hayat 6. Ilmu psikologi 7. dll (Fakultas Teknik UMJ, Jakarta, 1992: 50). Akal manusia ditakdirkan dan disetting oleh Allah agar mampu menemukan pengetahuan. Berbagai perangkat kasar dan perangkat lunak telah Allah siapkan untuk tujuan itu. Dalam Islam, ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
49
ADDIN Jurna Media Dialektika Ilmu Keislaman
akal merupakan kunci penugasan manusia. Tanpa akal, manusia tidak dapat dibebani dengan hukum-hukum syariat. Metode akal dalam menangkap penegtahuan melalui tiga jalur, yaitu: 1. Melalui indera pendengaran dan penglihatan, manusia dapat menerima informasi, yang kemudian diteruskan ke akal dan diterjemahkannya secara benar 2. Melalui logika. 3. Melalui berita yang disampaikan oleh orang lain. Kebenaran pengetahuan ini tergantung nara sumbernya (Inu Kencana Syafii, 2003: 61). H. Sejarah Sebagai Sumber Ilmu qQashash) Kata sejarah dalam bahasa Arab disebut tarikh dan sirah. Attarih berarti ketentuan masa atau waktu. Menurut istilah, al-tarih berarti sejumlah keaadan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau dan benar-benar terjadi pada kenyataan-kenyataan alam dan manusia. Dalam bahasa Inggris, sejarah disebut history yang berarti orderly description of past event (uraian secara berurutan tentang kejadian-kejadian masa lampau) (Muhaimin, 1992: 211). Sejarah sebagai sumber ilmu pengetahuan mengungkapkan peristiwa masa silam, baik peristiwa politik, sosial, maupun ekonomi pada suatu Negara, bangsa, benua, atau dunia. Peristiwa atau kejadiam masa silam tersebut merupakan catatan yang diabadikan dalam laporan-laporan tertulis dan dalam lingkup yang luas. Sejarah dalam sisi luarnya tidak lebih dari rekaman peristiwa atau kejadian masa lampau pada riil individu dan masyarakat, baik dalam aspek politik, sosial, ekonomi, budaya, agama dan sebagainya. Sedangkan dari sisi dalamnya, sejarah merupakan suatu penalaran kritis dan usaha yang cermat untuk mencari kebanaran, suatu penjelasan yang cerdas tentang sebab-sebab dan asal-usul segala sesuatu. Suatu pengetahuan yang mendalam tentang bagaimana dan mengapa peristiwa-peristiwa itu terjadi. Sejarah harus dapat dibuktikan kebenarannya dan harus logis, karena itu semua cerita yang tidak masuk akal apalagi tidak bisa dibuktikan kebenarannya tidak bisa dikatakan sejarah (Ibid: 213). Khususnya dalam mempelajari sejarah kehidupan Nabi, perlu hati-hati dalam mengumpulkan bahan, peristiwa dan ucapan Nabi serta berusaha keras menguji kebenarannya sesuai standar yang amat 50
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Posisi Al-Qur’an Dalam Struktur Dan Sumber Ilmu Islam (Fathul Mufid)
ketat (Afzalur Rahman, 1992: 123 – 124). Sejarah mengandung arti penafsiran dari peristiwa-peristiwa setelah menguji berbagai fakta dan menyelidiki kronologi fakta tersebut. Seperti pada kritik tentang hadis, dalam pengelompokan tingkatan hadis dan metodologi pengutipannya dari kitab-kitab hadis dikembangkan untuk memeriksa kebenaran dan keaslian hadits. Hal tersebut (tatacara) sama dalam penelitian dan penilaian fakta-fakta secara obyektif dan sistematis yang diterapkan dalam studi sejarah (Ibid: 126). Ada dua unsur pokok yang dihasilkan oleh analisis sejarah. Pertama, kegunaan dari konsep periodesasi. Kedua, rekontruksi proses genesis, perubahan dan perkembangan. Dengan cara demikian, manusia dapat dipahami secara kesejarahan. Melalui analisis sejarah pula diketahui bahwa seorang tokoh dalam berbuat atau berpikir sesungguhnya dipaksa oleh keinginan-keinginan dan tekanan-tekanan yang bukan muncul dari drinya sendiri. Kita dapat melihat bagaimana tindakan-tindakannya dipengaruhi, tidak cuma oleh dorongan internal yang berupa ide, keyakinan, konsepsi-konsepsi awal yang tertanam dalam dirinya, tetapi juga dalam keadaan eksternal (Taufiq Abdullah, 1991: 73). I. Simpulan Berangkat dari urain di atas, penulis dapat mengambil beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Al-Qur’an sangat menghormati kedudukan ilmu dengan penghormatan yang tidak ditemukan bandingannya dalam kitabkitab suci yang lain. Di dalam Al-Qur’an terdapat beratus-ratus ayat yang menyebut tentang kemuliaan dan ketinggian derajat ilmu dan pengetahuan 2. Ilmu Islam adalah semua ilmu yang digelar oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an, maupun dalam alam semesta yang dihasilkan oleh umat manusia. Ilmu Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu Qauliyah dan Kauniyah. Ilmu qauliyah bersumber dari Al-Qur’an, sehingga kebenarannya bersifat mutlak. Sedangkan ilmu kauniyah bersumber dari alam semesta, tetapi konsep dasarnya tetap AlQur’a. Untuk mencari kebenarannya diperlukan suatu penelitian sehingga kebenarannya sewaktu-waktu dapat berubah. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
51
ADDIN Jurna Media Dialektika Ilmu Keislaman
3. Bahwa yang dimaksud dengan ilmu Islam adalah ilmu yang mempelajari atau mengkaji tentang segala sesuatu yang berhubungan dan bersumber dari Islam atau yang berasal dari non Islam yang telah dijustifikasi dengan al-Qur’an sebagai konsep dasar. 4. Al-Qur’an adalah sumber ilmu Islam yang pertama dan utama, memuat keyakinan umat Islam yang diakui kebenarannya oleh penelitian Ilmiah. Al-Qur’an adalah kitab suci yang memuat firman-firman ataupun petunjuk bagi umat manusia dalam hidup agar kehidupannya mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat. 5. Al-Qur’an merupakan sumber utama ilmu-ilmu Islam. Di dalamnya ditemukan unsur-unsur yang dapat dikembangkan untuk membentuk keberagaman, konsep, bahkan teori yang dapat difungsikan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi umat. Mengingat sifatnya sebagai unsur esensial dalam Islam, maka di dalam al-Qur’an hanya ditemukan unsur-unsur dasar baik dalam bentuk konsep besar atau teori besar (grand concept or grand theory).
52
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Posisi Al-Qur’an Dalam Struktur Dan Sumber Ilmu Islam (Fathul Mufid)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Amin, 2006, Islamic studies di Perguruan Tinggi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Al-Ghazali, 1356 H, Ihya’ Ulum al-Din, al-Tsaqofah al-Islamiyah, Kairo. Allamah M.H. Thabathaba’i, 1995, Mengungkap Rahasia Al-Qur’an, Mizan, Bandung. Aziz al-Zuhri Dkk, 1997, Mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang Iptek, Gema Insani Press, Jakarta. Baiquni, Ahmad, 1996, Al-Qur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta. Burhanuddin Salam, Logika Materi Filsafat Ilmu Pengetahuan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997. Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999. Inu Kencana Syafi’ie, Al-Qur’an Adalah Filsafat, Perca, Jakarta, 2003. Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu Dalam Islam, Teraju, Jakarta Selatan, 2002. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2007. Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Teraju, Jakarta, 2005. Ma’mun Mu’min, M.Ag, Teknologi Beragama, STAIN Kudus Press, Kudus, 2006. Majid, Nucholis, 2004, Fiqih Lintas Agama : Membangun MAsyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta, Paramadina.
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
53
ADDIN Jurna Media Dialektika Ilmu Keislaman
Mohdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1998. Muhaimin dkk, Kontroversi Pemikiran Fazlur Rahman, Pustaka Dinamika, Cirebon, 1999. Rahman, Afzalur, 1992, Al-Qur’an Sumber Ilmu Pengetahuan, Rineka Cipta, Jakarta. Syeikh Muhammad Al-Ghazali, 1999, Berdialog dengan Al-Qur’an, Mizan, Bandung. Syihab, Quraish, 1999, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung. Syihab, Quraish, 1994, Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung. Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, Tiarawacana, Yogyakarta, 1991. Tim Perumus Fakultas Teknik UMJ, Jakarta, Al-Islam dan Iptek, Grafindo Persada, 1992. Yayasan penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Semarang, 1986.
54
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
THE LIVING QUR’AN Potret Budaya Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara
By: Ahmad Atabik1
Abstraksi Studi living Qur’an merupakan kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran al-Qur’an atau keberadaan al-Quran di sebuah komunitas muslim tertentu. Dari sana pula akan terlihat respons sosial (realitas) komunitas muslim untuk membuat hidup dan menghidup-hidupkan al-Qur’an melalui sebuah interaksi yang berkesinambungan. Living Qur’an sebenarnya bermula dari fenomena Qur’an in everyday life, yakni makna dan fungsi alQuran yang riil dipahami dan dialami masyarakat muslim. Berbeda dengan studi al-Quran yang objek kajiannya berupa tekstualitas alQur’an maka studi living Qur’an memfokuskan objek kajiannya berupa fenomena lapangan yang dijumpai pada komunitas muslim tertentu. Di antara living Qur’an yang terdapat pada komunitas muslim nusantara adalah budaya atau menghafal (tahfidz) Al-Qur’an. Tradisi ini merupakan salah satu dari sekian banyak fenomena umat Islam dalam menghidupkan atau menghadirkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari dengan cara mengkhatamkannya, yang bisa ditemukan di lembaga-lembaga keagaman seperti pondok pesantren, majlis-majlis ta’lim dan sebagainya. Tradisi ini oleh sebagian umat Islam Indonesia telah begitu membudaya bahkan berkembang terutama dikalangan santri, sehingga tradisi ini telah membentuk suatu entitas budaya setempat. Keyword: Living Qur’an, tahfidz Al-Qur’an, sosial-budaya, dan pesantren.
A. Pendahuluan Interaksi antara komunitas muslim dengan kitab sucinya, alQur’an, dalam lintasan sejarah Islam, selalu mengalami perkembangan 1. Dosen STAIN Kudus ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
55
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
yang dinamis. Bagi umat Islam, Al-Qur’an bukan saja sebagai kitab suci yang menjadi pedoman hidup (dustûr), akan tetapi juga sebagai penyembuh bagi penyakit (syifâ’), penerang (nûr) dan sekaligus kabar gembira (busyrâ). Oleh karena itu, mereka berusaha untuk berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan cara mengekpresikan melalui lisan, tulisan, maupun perbuatan, baik berupa pemikiran, pengalaman emosional maupun spiritual. Setiap muslim berkeyakinan bahwa manakala dirinya berinteraksi dengan Al-Qur’an, maka hidupnya akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Untuk mendapatkan petunjuk AlQur’an, muslim berupaya untuk dapat membacanya dan memahami isinya serta mengamalkannya, meskipun membacanya saja sudah dianggap sebagai ibadah. Pembacaan Al-Qur’an menghasilkan pemahaman yang beragam sesuai kemampuan masing-masing, dan pemahaman tersebut melahirkan perilaku yang beragam pula sebagai tafsir Al-Qur’an dalam praksis kehidupan, baik pada dataran teologis, filosofis, psikologis, maupun kultural. Dalam realitanya, fenomena ‘pembacaan al-Qur’an’ sebagai sebuah apresiasi dan respons umat Islam ternyata sangat beragam. Ada berbagai model pembacaan al-Qur’an, mulai yang berorientasi pada pemahaman dan pendalaman maknanya—seperti yang banyak dilakukan oleh para ahli tafsir, sampai yang sekedar membaca alQur’an sebagai ibadah ritual atau untuk memperoleh ketenangan jiwa. Bahkan ada model pembacaan al-Qur’an yang bertujuan untuk mendatangkan kekuatan magis (supranatural) atau terapi pengobatan dan sebagainya (Abdul Mustaqim,2007,65). Praktek memperlakukan al-Qur’an atau unit-unit tertentu dari Al-Qur’an sehingga bermakna dalam kehidupan praktis oleh sebagian komunitas muslim tertentu pun banyak terjadi, bahkan rutin dilakukan. Adalah tradisi menghafal (tahfîdz) al-Qur’an salah satu dari sekian banyak fenomena umat Islam dalam menghidupkan atau menghadirkan al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari dengan cara mengkhatamkannya, yang bisa ditemukan di lembaga-lembaga keagaman seperti pondok pesantren, majlis-majlis ta’lim dan sebagainya. Tradisi ini oleh sebagian umat Islam Indonesia telah begitu membudaya bahkan berkembang terutama dikalangan santri, sehingga tradisi ini telah membentuk suatu entitas budaya setempat. 56
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
The Living Qur’an: Potret Budaya Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara (Ahmad Atabik)
Hal ini disebabkan karena bagi masyarakat Islam Indonesia Al-Qur’an dianggap sebagai sesuatu yang sakral yang harus diagungkan. Sehingga mereka beranggapan bahwa membaca AlQur’an apalagi menghafalnya merupakan perbuatan yang mulia yang dapat mendatangkan suatu barokah. Walaupun hal ini susah diterangkan atau dianalisa secara logis. Namun justru dari barokah inilah yang membuatnya bertahan sepanjang masa. Bahkan, banyak orang yang membaca dan menghafalkan Al-Qur’an dari hari kehari; ada juga orang suci yang sengaja menghabiskan umurnya hanya untuk membaca Al-Qur’an. Ini semua disebabkan oleh kehadiran-Nya di dalam Al-Qur’an, yang memberikan makanan rohani bagi jiwa manusia, ketentraman hati dan kepercayaan yang tinggi seorang makhluk terhadap Sang Kholik. Akan tetapi, walaupun mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam, namun secara kualitas, dalam membaca Al-Qur’an mereka masih banyak yang kesulitan. Maka tak heran lagi kalau sebagian mereka ketika membacanya harus dieja huruf demi huruf ataupun kalimat demi kalimat. Bahkan sebagian yang lain ketika membacanya harus dibantu dengan ejaan atau transliterasi huruf latin. Sehingga membaca seperti ini akan memakan waktu yang lama dan membutuhkan tenaga ekstra apalagi kalau membacanya sampai berjuz-juz. Hal ini sangat berbeda sekali dengan orang yang hafal AlQur’an, bagi mereka yang sangat “lanyah” (hafal diluar kepala dengan lancar) akan dapat mampu membacanya kira-kira 15-20 menit perjuz, sehingga semalam saja mereka mampu menghatamkan Al-Qur’an. Sungguh luar biasa pekerjaan (amal) ini. Namun sayangnya tradisi ini hanya terdapat dalam kalangan masyarakat tertentu saja, sehingga secara umum pekerjaan mulia ini belum mendapat apresiasi secara menyeluruh. Bahkan kalau dibandingkan dengan membaca AlQur’an secara dilagukan (baca; qirôah) saja, tahfidz Al-Qur’an masih kalah popular2. Hal ini disebabkan karena tahfidz atau hafidz sendiri 2. Menghafal Al-Qur’an (Tahfîdz al-Qur’an) baru dilombakan dalam ajang Musabaqoh Tilawat al-Quran (MTQ) sejak tahun 1981 di Banda Aceh. Itupun di ikuti oleh daerah-daerah yang mempunyai basis pesantren tahfidz. Beda dengan seni baca al-Quran (Qirôah) sudah di lombakan dalam MTQ sejak MTQ di gulirkan, 1968. Ini mengindikasikan bahwa tahfidz Al-Qur’an secara budaya masih kalah pamor dari seni membaca Al-Qur’an (Qirôah). ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
57
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
kurang diberi ruang gerak publikasi yang memadai ditengah masyarakat luas. B. Living Qur’an: Penelitian Ilmiah Kehadirian Al-Qur’an dalam kehidupan Masyarakat Secara garis besar, dalam studi al-Qur’an paling tidak terdapat tiga kelompok besar penelitian. Pertama, penelitian yang menempatkan al-Qur’an sebagai objek penelitian. Ini yang disebut oleh Amin al-Khuli (kemudian diikuti oleh Bint al-Syathi’) dengan istilah dirasat al-nash yang mencakup dua kajian: (1) fahm al-nash/ the understanding of text, dan (2) dirasat ma hawl al-nash/ study of surroundings of text. Kedua adalah penelitian tentang hasil pembacaan terhadap teks al-Qur’an, baik berwujud teori-teori penafsiran maupun yang berbentuk pemikiran eksegetik. Ketiga ialah penelitian yang mengkaji “respons” atau sikap sosial terhadap al-Qur’an atau hasil pembacaan al-Qur’an (Sahiron Syamsuddin,1999). Model penelitian yang ketiga ini kemudian di era kontemporer lebih terkenal dengan istilah studi living Qur’an. Studi living Qur’an adalah kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran al-Qur’an atau keberadaan al-Quran di sebuah komunitas muslim tertentu (M. Masrur dkk, 2007, 8). Dari sana pula akan terlihat respons sosial (realitas) komunitas muslim untuk membuat hidup dan menghidup-hidupkan al-Qur’an melalui sebuah interaksi yang berkesinambungan. Living Qur’an sebenarnya bermula dari fenomena Qur’an in everyday life, yakni makna dan fungsi al-Quran yang riil dipahami dan dialami masyarakat muslim. Berbeda dengan studi al-Quran yang objek kajiannya berupa tekstualitas al-Qur’an maka studi living Qur’an memfokuskan objek kajiannya berupa fenomena lapangan yang dijumpai pada komunitas muslim tertentu. Di antara karya yang berhasil digoreskan oleh peneliti AlQur’an yang mengkaji tentang living Qur’an adalah karya antopolog Heddy Shri Ahimsa-Putra berjudul ‘Menafsir al-Qur’an yang Hidup, Memaknai al-Qur’anisasi Kehidupan’. Lewat pendekatan sosialbudaya, Dalam karyanya ia memaparkan bahwa fenomena yang muncul dari berbagai pemaknaan orang terhadap al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang berisi firman-firman Allah SWT. dan bagaimana 58
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
The Living Qur’an: Potret Budaya Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara (Ahmad Atabik)
pemaknaan ini kemudian mewujud dalam kehidupan sehari-hari, yang bahkan kemudian kadang-kadang terlihat seperti berlawanan dengan prinsip-prinsip dasar dari ajaran yang terdapat dalam alQur’an (Heddi Shri Ahimsa-Putra, 2005,1) adalah sebuah upaya komunitas muslim untuk menghadirkan al-Qur’an dalam kehidupan (living Qur’an). Menariknya kajian inilah kemudian yang melatarbelakangi peneliti untuk mengungkap hal-hal yang unik, aneh, khas dan karakteristik dari sebuah fenomena yang muncul dari tahfîdz alQur’an serta bagaimana orang-orang yang bergumul di dalamnya memberikan pemaknaan yang mendalam terhadap aktifitas tersebut, terlepas dari adanya justifikasi benar-salah seputar rutinitas mereka dalam menghidupkan atau menghadirkan Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. C. Keutamaan dan Peranan Tahfidz Al-Qur’an Dalam berbagai literatur kitab kuning (al-kutub as-shofrô’) disebutkan bahwa istilah penghafal atau orang yang hafal (hâfidz) bentuk plural (jama’)nya adalah huffâdz atau hafadzah dinamakan pula dengan istilah hâmil (penghafal/pembawa) bentuk jama’nya hamalah. Ini dapat kita temukan dalam kitab al-Itqân misalkan, dalam bab tertentu terdapat pembahasan tentang bagaimana menghafal Al-Qur’an (kaifiyyât tahammuli al-Qur’an)(Jalaluddin As-Suyuthi,1999,jld.1,141), juga dalam kitab karangan al-Imam An-Nawawi “At-Tibyân fi Âdabi Hamalat al-Qur’an” (penjelasan tentang tata krama menghafal AlQur’an). Orang yang hafal (Al-hâmil atau al-hâfidz) Al-Qur’an tentu saja sebelumnya telah membacanya berulang kali sebelum menghafalnya. Dan membaca Al-Qur’an sendiri dibilang ibadah. Dan satu-satunya pekerjaan membaca yang dianggap ibadah adalah membaca Al-Qur’an (al-muta’abbad bitilawatihi). Olehnya pekerjaan ini adalah merupakan pekerjaan yang paling mulia. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (asyrafu ummâti hamalat al-Qur’an)(Moh. Ali AshShabuni,1985,10). Al-Fudlail bin Iyadl mengatakan bahwa orang yang hafal Al-Qur’an adalah pembawa bendera atau panji Islam (hâmil AlQur’an hâmil râyat al-Islâm)(Abi Zakaria Yahya,tth.,44). ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
59
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Tidaklah berlebihan jika gelar atau kedudukan mulia itu disandangkan oleh mereka, sebab pada hakikatnya merekalah yang tetap melestarikan dan menyebarkan ajaran Islam. Sebagai contoh, bagaimana Umar bin Khattab merasa khawatir ketika para sahabat penghafal Al-Qur’an (70 orang) banyaknya yang gugur dalam perang Yamâmah. Karena ditakutkan gugurnya sahabat penghafal Al-Qur’an yang lain, maka dikumpulkanlah mereka untuk mencatat (tadwîn) Al-Qur’an. Tugas pengumpulan Al-Qur’an ini akhirnya dipimpin oleh Zaid bin Tsabit seorang pemuda yang pernah menjadi penulis wahyu Rasulullah. Maka bisa dikatakan bahwa para penghafal AlQur’an inilah mempunyai peranan yang sangat signifikan dalam menjaga keberadaan eksistensi dan melestarikan kemurnian AlQur’an al-Karim. Hal ini dapat dilihat dari andil besar mereka dalam mengumpulkan dan mencatat (tadwîn) Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As-Shiddiq. Peranan lain para huffâdz yang cukup mencolok adalah dalam ladang dakwah yaitu dalam penyebaran Islam di pelbagai penjuru dunia ini. Di Indonesia misalkan, para penyebar agama Islam di Indonesia selain mereka merupakan para pedagang dari Gujarat dan Arab yang menguasai ilmu dakwah, tentunya sebagian mereka juga banyak yang hafal Al-Qur’an. D. Entitas Budaya Tahfidz Al-Qur’an 1. Tahfidz dalam Konteks Budaya Indonesia Sejauh ini, peneliti susah melacak mulai kapan tradisi tahfidz Al-Qur’an di Indonesia mulai eksis. Sebagian mengatakan bahwa tradisi ini telah ada sejak para ulama’ Indonesia menimba ilmu dan menghafal Al-Qur’an di Hijaz atau Makkah (abad 18an). Yang mana para ulama’ sepulangnya dari menimba ilmu di Arab, mereka lantas mengajarkan apa yang mereka dapat. Hingga berdatangan para santri yang hendak menimba ilmu pada mereka. Sejak itulah semakin banyak santri yang menghafal Al-Qur’an. Sebagian pengamat lain bahkan mengatakan bahwa tradisi ini telah ada sejak pengaruh Wali Songo (Sholichin Salam, tth. 20) (abad 15an) di jawa, di mana mereka andil besar dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa dan sekitarnya. Namun yang jelas tradisi ini tumbuh dan berkembang di Indonesia hanya sebatas pada lingkup pondok pesantren yang menyebar 60
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
The Living Qur’an: Potret Budaya Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara (Ahmad Atabik)
di berbagai daerah di Indonesia terutama di pulau Jawa. Sejauh ini di Indonesia belum ada jalur pendidikan lain yang menekankan pendidikannya dengan menghafal Al-Qur’an, kecuali universitas atau sekolah tinggi yang menyertakan Al-Qur’an dalam lebel namanya, seperti UNSIQ (Universitas Ilmu Al-Qur’an, Wonosobo), IIQ (Institut Ilmu Al-Qur’an, Jakarta), STIQ (Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an, BantulYogyakarta). 2. Madrasah Tahfîdz dalam Kultur Pesantren Pesantren, sebagai suatu subkultural, lahir dan berkembang seiring dengan derap langkah kebutuhan masyarakat Islam akan pengajaran agama Islam. Denyut nadi dan dinamika kehidupan dipesantren adalah cerminan langsung dari sikap dan pola hidup kiai yang mengasuhnya. Salah satu pola hidup keagamaan yang paling menonjol dan Karenanya menjadi karakterisktik pesantren adalah penekanan yang kuat kepada aspek rohani atau spiritual. Dengan kata lain, pesantren sangat identik dengan pola hidup yang dalam tradisi sufisme bisa disebut zuhud(Komaruddin Hidayat, 2000,288). Di antara pola pendidikan yang identik dengan pengajaran keagamaan an sich adalah yang dinamakan dengan “Madrasah Tahfidz”. Madrasah ini bertujuan membimbing santri menghafal al-Qur’an serta mendalami Ilmu-Ilmunya, memiliki moralitas dan akhlaq Qur’ani dan sekaligus diharapkan dapat mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur’an dalam kehidupannya. Seorang santri dengan kecerdasan yang cukup, rata-rata dapat menghafal al-Qur’an antara 2 s/d 4 tahun. Biasanya, santri yang telah diperbolehkan ikut menghafal adalah adalah para santri yang telah selesai mengaji al-Qur’an dengan melihat (binnadzri) dan dapat membaca al Qur’an dengan fasih. Selain itu juga haruslah mereka memiliki niatan kuat untuk menghafalkan dan mendalami al-Qur’an serta mau mengabdikan dirinya untuk AlQur’an (menjaga hafalan). Sebenarnya prinsip menghafal Al-Qur’an pada level kultur pesantren berpijak pada ajaran agama yang menyatakan bahwa menghafal dan mengajarkan Al-Qur’an adalah fardlu kifâyah dengan tujuan agar tidak terputus jumlah kemutawatiran para penghafal Al-Qur’an. Bila tugas ini telah dilakukan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban itu dari yang lain (Jalaluddin As-Suyuthi, 1999, ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
61
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
142). Karenanya tugas menghafal dan mengajarkan Al-Qur’an adalah suatu hal yang luhur. Dan bagi seorang yang mengajarkan hafalan AlQur’an tentunya dia adalah seorang kiai (ustadz) yang benar-benar hafal di luar kepala (lanyah). Biasanya, dalam tradisi Indonesia seorang kiai dalam pesantren takhassus atau madrasah Al-Qur’an mempunyai sanad (mata rantai atau silsilah) pengajaran hafalan yang menyambung sampai pada Rasulullah. Misalkan saja KH. Moefied Mas’oud, alm. pendiri dan pengasuh pondok pesantren Sunan Pandan Aran. Pesantren ini mulai didirikan pada tahun 1976 di daerah Candi Sardonoharjo, Ngaglik, (Jln. Kaliurang KM.12,5) Sleman3. KH. Moefied Mas’oed, adalah sosok kharismatik yang juga keturunan generasi ke-16 Sunan Pandan Aran, dulunya pernah ikut berjuang melawan Kolonial Belanda, disamping itu beliau juga gemar sekali belajar ilmu-ilmu agama dan menghafal Al-Qur’an pada beberapa kiai yang terkenal di Jawa, seperti KH. Munawwir (Krapyak), KH, Mountaha (Wonosobo), KH. Hamid (Pasuruan) serta kiai-kiai terkenal lainnya. Dari pengembaraan mencari ilmu dan mengahafal Al-Qur’an ini beliau mendapat sanad yang menyambung hingga rasulullah. Dan sanad ini akan di ijazahkan juga oleh KH. Moefid Mas’ud kepada para santrinya yang telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an (bil ghoib) dan yang telah diwisuda dalam acara haflah akhir sanah. Kalau pada umumnya tujuan pesantren adalah membentuk keulamaan yang berakhlaq mulia dengan program pengajaran yang berfariasi dan berjenjang, maka pesantren tahfidz Al-Qur’an dikategorikan sebagai program takhassus (spesialisasi) atau 3. Pondok Pandan Aran ini pertama kali didirikan 1976, hanya dikhususkan untuk para santri (yang datang dari berbagai penjuru tanah air bahkan ada yang datang dari Negara-negara Asia Tenggara semisal Malaysia dan Brunai Darussalam) yang sengaja menghafal Al-Qur’an pada KH. Moefied Mas’oed alm., setelah belaiu wafat Pesantren ini diasuh oleh putranya KH. Mu’tashim Billah. Dan akhirnya pondok pesantren ini terus berkembang hingga membuka pendidikan selain yang takhossus Al-Qur’an, seperti Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah (baik program khusus maupun umum). Akan tetapi madrasah ini tetap membebankan santrinya menghafal sebagian surat-surat Al-Qur’an yang telah ditetapkan. Dari pesantren ini dan berkat bimbingan KH. Moefied Mas’ud bermunculan ulama-ulama atau kiai-kiai yang mendirikan pesantren atau meneruskan jejak para orang tuanya.
62
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
The Living Qur’an: Potret Budaya Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara (Ahmad Atabik)
madrasah Al-Qur’an hanya mempunyai program khusus yaitu tahfidz Al-Qur’an. Dan sesuai dengan kekhususan programnya maka pesantren tahfidz kurang terlibat secara intensif dengan problema dan kegiatan masyarakat, meskipun ada aspek keagamaannya. Walaupun demikian, pesantren semacam ini tetap mempunyai peranan yang sangat vital dalam keberlangsungan menjalin hubungan dengan masyarakat4. Demikianlah pesantren tahfidz akan tetap mendapatkan tempat di hati masyarakat walapun belum menyebar keseluruh pelosok penjuru tanah air. Di Indonesia pesantren tahfidz semakin besar dan semakin pesat pertumbuhannya. Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya santri-santri yang telah hafal (hâfîdz) telah mengabdikan dirinya dalam masyarakatnya baik dengan membangun pondok tahfidz baru, menjadi generasi penerus orang tuanya yang telah mempunyai pesantren maupun sebagai imam-imam da’i dan pengajar Al-Qur’an di masjid daerahnya. Namun yang jelas pesantren-pesantren tahfidz telah menyebar di berbagai penjuru tanah air, misalkan; Di Jawa Timur meliputi; (Gresik, Surabaya, Tuban, Malang, Kediri, Jombang, Mojokerta, Nganjuk, Pasuruan, Banyuwangi). Jawa Tengah (Pati, Kudus, Demak, Semarang, Wonosobo, Kendal, Pekalongan, Purworejo, Bumiayu, Purwadadi, Brebes). Di Jawa Barat (Bogor, Ciamis, Bandung, Cirebon, Indramayu). Banten (Banten, Pandeglang), Yogyakarta; (Sleman, Bantul, Kulon Progo). Pesantren-pesantren tahfidz di luar Jawa (Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sumatra Barat, Sumatra Utara, NTB, Maluku). Banyak lagi pesantren-pesantren baru yang belum teridentifikasi yang menyebar diberbagai penjuru tanah air. Terdapat juga pesantren tahfidz Al-Qur’an yang mengkhususkan santrinya hanya untuk anak-anak kecil. Seperti yang terdapat di Kudus dan Sidayu, Gresik. Sedangkan para kiai-kiai terdahulu yang di anggap sebagai pioner tokoh tahfîdz adalah; KH. Munawir (Krapyak), KH. Mufid Mas’ud (Pandan Aran, Sleman), KH. Nawawi (Krukem, Bantul), KH. 4. Dalam berbagai acara (seperti acara; haul orang meninggal, keselam tan, syukuran dll) biasanya para santri tahfîdz/huffâdz ini diundang untuk melakukan sema’an (bil ghoib) secara glondongan, khataman binnadzri ataupun membaca dzikir-dzikir dari ayat-ayat Al-Qur’an (mujâhadah) dan yang lain. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
63
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Arwani Amin (Kudus), KH. Abdullah Salam (Kajen, Pati), KH. Faqih (Gresik), KH. Muntaha (Wonosobo), KH. Adnan Ali (Jombang), KH. As’ad (Sulawesi Selatan), Tuan Guru Zainuddin (NTB), KH. Dimyati (Banten). Karena pesantren-pesantren khusus tahfidz ini semakin hari semakin berkembang, maka agak susah untuk mengidentifikasinya, oleh karena itu untuk sekarang ini belum ada badan atau organisasi yang secara khusus mensensus secara akurat dan valid tentang keberadaan pesantren-pesantren tersebut. 3. Model yang Diterapkan Madrasah Tahfidz Sejalan dengan bergulirnya waktu, pensantren yang membidani takhassus Al-Qur’an ini semakin berkembang. Pendidikan yang diajarkannya pun semakin diperbaiki. Kalau dulu kebanyakan pesantren ini hanya mengajarkan tahfidz atau berkisar pada materi hafalan an sich (mujarrod al-hifdz). Maka untuk masa sekarang kecenderungan itu bergeser atau terdapat penambahan penguasaan materi. Di samping para santri ditekankan untuk merampungkan hafalan secepat mungkin dengan hasil yang memuaskan, mereka juga dibekali materi keilmuan lain yang masih berkaitan erat dengan perangkat keilmuan Al-Qur’an seperti ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu Qiro’at, Tafsir, Nahwu, Sharf dan Balaghah. Di samping dua metode pengajaran di atas, ada juga pesantren Al-Qur’an yang mendirikan perguruan tinggi yang bertujuan untuk pembekalan santri dan mahasiswanya sehingga tercetak insan akademis yang Qur’ani. a. Model Hafalan An Sich. Menghafal Al-Qur’an adalah bukan merupakan pekerjaan yang mudah dan tidak pula pekerjaan susah apabila sang penghafal benar-benar serius ketika berkecimpung didalamnya. Seseorang yang telah hafal biasanya mengatakan bahwa menjaga hafalan (proses setelah hafal) lebih susah daripada ketika masih dalam proses menghafal. Karena seorang yang telah hafal (hafîdz) disamping membutuhkan keuletan juga istiqomah dan kesabaran, juga harus rajin melakukan sima’an dengan orang lain untuk menjaga hafalannya. Sebagian orang yang hendak menghafal kadang merasa khawatir akan kegagalan dalam menghafal apabila dalam proses 64
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
The Living Qur’an: Potret Budaya Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara (Ahmad Atabik)
menghafal juga mempelajari keilmuan lain. Maka mereka mencari pesantren yang hanya menerapkan model menghafal saja tanpa ada pengajaran materi lain. Model pendidikan yang diterapkan dalam pesantren ini adalah sistem setoran (talaqqî) antara kiai dengan santri. Biasanya dalam sehari para santri harus setor hafalan (baik hafalan baru maupun hafalan lama “deresan”) pada kiai 2-3 kali. Disamping itu, untuk menjaga hafalan agar tetap melekat, biasanya selain 2-3 kali setoran itu, para santri juga dibebankan melakukan sima’an dengan sesama santri. Untuk melakukan pendisiplinan terhadap santri sebagian pesantren model ini menerapkan metode pengajaran hampir mirip dengan sistem sekolah. Yaitu adanya ujian semesteran dan rapor santri. Biasanya dalam 3-4 bulan sekali (semester) para santri diuji dengan materi hafalan khusus. Hal ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana batas hafalan santri dan sejauh mana kelancaran santri dalam mengenang memori hafalannya. Dan hasil dari ujian atau pengetesan ini selanjutnya dilaporkan kepada orang tua santri. Dalam persemesternya biasanya para santri ditarget melampaui batas batas hafalan minimal 5-7 juz. Sehingga ditargetkan dalam jangka 2-3 tahun mereka akan merampungkan hafalan semua ayatayat Al-Qur’an, ditambah 2 tahunan untuk melanyahkan hafalan. Kebanyakan santri yang mengahafal dalam model pesantren semacam ini adalah mereka yang tingkat pendidikannya minim. Seperti hanya lulus SMP/MTs, SMU/MA bahkan tak jarang adapula yang hanya lulusan SD/MI. b. Menghafal sekaligus Mendalami Ilmu Agama. Ada juga pesantren yang selain mengkhususkan santrinya menghafal Al-Qur’an 30 juz juga mengajarkan pada para santrinya ilmu-ilmu seputarAl-Qur’an dan keislaman. Seperti; ilmuAl-Qur’an, ilmu qiro’at, tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh, bahasa Arab (nahwu, shorf dan balaghoh). Dari model pesantren tahfidz semacam ini diharapkan menghasilkan para hafidz yang mampu memberikan penjelasan, pengajaran dan bimbingan tentang berbagai aspek keagamaan, baik berperan sebagai tokoh dimasyarakatnya, sebagai guru madrasah, kyai di daerahnya maupun sebagai juru dakwah. Model pendidikan yang diterapkan untuk kategori semacam ini adalah system pengajian atau sekolah dengan memadukan ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
65
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
secara metodologi pengajaran tahfidz dan pengajaran ilmu-ilmu tentang Al-Qur’an dan keagamaan. Dengan program tahuan selama 6 tahun, tahfidz akan memperoleh porsi lebih besar pada tahun 1-3, yang dipadukan dengan dasar-dasar ilmu keagamaan dan bahasa Arab, sehingga diharapkan pada akhir tahun ke-3 sudah bisa mengkhatamkan tahfidznya. Pada tahun ke 4-6 hafalan Al-Qur’an tinggal mengulang (takrir) dan pelajaran lain bisa memperoleh porsi yang lebih banyak. c. Sarjana yang Hafidz Model pendidikan semacam ini telah diterapkan dalam universitas Al-Azhar Mesir. Dimana, Al-Azhar mengharuskan para mahasiswanya yang asli Mesir untuk menghafal semua AlQur’an sebagai syarat kelulusan sarjana. Sedangkan di Indonesia dibeberapa sekolah tinggi maupun universitas yang membidani AlQur’an mencoba meniru sistem di Al-Azhar. UNSIQ (Wonosobo), STIQ (Bantul, Yogyakarta), IIQ dan PTIQ (Jakarta) diasumsikan untuk memenuhi kategori semacam ini. Di sekolah tinggi dan universitas di atas telah mengharuskan sebagian mahasiswanya untuk menghafal Al-Qur’an 30 juz, walaupun tidak diterapkan pada sebagian yang lain. Tujuan dari universitas dan sekolah tinggi ini adalah untuk mencetak ulama dan sarjana Qur’ani yang hafal Al-Qur’an. Dari pendidikan ini para sarjana diharapkan selain mengetahui ilmuilmu Al-Qur’an dan seperangkatnya dari kajian tradisi keilmuan klasik (turâts) juga mengetahui dan mendalami isu-isu dan wacana kontemporer dalam kajian ilmu Al-Qur’an. E. Penutup Bermacam-macam bentuk dan corak pergumulan masyarakat muslim Indonesia dengan Al-Qur’an di antaranya dalam tradisi tahfidz. Bagaimanapun Al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam, di Indonesia mendapat tempat yang luar biasa di hati masyarakatnya. Begitu juga bagi yang hafal. Al-Quran dianggap menjadi sesuatu yang sakral, diyakini mendatangkan keberuntungan bagi orang yang bergumul dengannya serta mendatangkan kebahagiaan didunia dan akhirat. 66
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
The Living Qur’an: Potret Budaya Tahfidz Al-Qur’an di Nusantara (Ahmad Atabik)
Sekilas aktifitas tahfîdz bagi komunitas pesantren tampak sudah biasa. Namun bagi para peneliti living Qur’an, aktifitas ini menjadi sangat menarik mengingat aktifitas tersebut dilakukan secara terus menerus dan pada waktu-waktu tertentu. Studi living Qur’an adalah kajian atau penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa sosial terkait dengan kehadiran al-Qur’an atau keberadaan al-Quran di sebuah komunitas muslim tertentu. Dari sana pula akan terlihat respons sosial (realitas) komunitas muslim untuk membuat hidup dan menghidup-hidupkan al-Qur’an melalui sebuah interaksi yang berkesinambungan. Pada intinya, Menafsirkan al-Qur’an yang Hidup dan Memaknai al-Qur’anisasi Kehidupan, dengan metode pendekatan sosial-budaya, akan memunculkan fenomena upama umat Islam ke dalam berbagai pemaknaan terhadap al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang berisi firman-firman Allah SWT. Kemudian pemaknaan ini dapat menghadirkan arti dalam kehidupan sehari-hari, yang bahkan kemudian kadang-kadang terlihat seperti berlawanan dengan prinsipprinsip dasar dari ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an. Semuanya ini adalah beberapa upaya komunitas muslim untuk menghadirkan al-Qur’an dalam kehidupannya (living Qur’an).
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
67
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Shri, Menafsir al-Qur’an yang Hidup, Memaknai al-Qur’anisasi Kehidupan, makalah seminar, Yogyakarta, 2005. Masyrur, M, dkk., Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Yogyakarta: Teras, 2007. Mustaqim, Abdul, Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis, Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (Yogyakarta: Teras 2007) As-Suyuthi Asy-Syafi’i, Jalaluddin, al-Itqôn fi ‘Ulûm Al-Qur’an, Baerut; Dar al-Fikr, 1999. Ali Ash-Shobuni, Muhammad, At-Tibyân fi ‘Ulum al-Qur’an, Baerut; Alam al-Kutub, 1985. Syarafuddin an-Nawawi, Abi Zakaria Yahya, At-Tibyân fi Adabi Hamalat al-Qur’an, Jakarta; Dinamika Barokah Utama, tth. Al-Qur’an dan Terjemahannya, tiem penyusun, al-Madinah alMunawwaroh: Percetakan Mushaf Raja Fahd.tth. Salam, Solichin, Sekitar Walisanga, Kudus; Percetakan Menara Kudus, tth. Hidayat, Komaruddin, Hegemoni Budaya Benda, dalam “Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern”, Dr. Nur Kholish Madjid et.al., Jakarta: Media Cita, 2000. al-Qaththân, Manna’Kholil, Mabâhits fi Ulûm Al-Qur’an, terj. Mudzakkir, Jakarta: Litera Antar Nusa. Azhari, Muntaha, Tradisi Tahfidz; Ubudiyyah atau Ilmiyah?, Jurnal Pesantren No. 1/Vol. VIII/1991. Syamsuddin, Sahiron, “Penelitian Literatur Tafsir/ Ilmu Tafsir: Sejarah, Metode dan Analisis Penelitian”, Makalah Seminar, Yogyakarta, 1999. 68
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
NASIONALISM VS UNIVERSALISM
(Mencari Titik Temu Nasionalisme dan Universalisme dalam Islam di Indonesia)
Oleh : Ahmad Supriyadi, S.Ag. M.Hum*1
Abstrak Nasionalisme dan universalisme selalu dalam kontroversi yang tak kunjung selesai. Data sejarah hubungan Islam dan negara di Indonesia selalu mengalami jalan buntu baik pada pemerintahan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. Islam selalu di curigai sebagai gerakan yang ingin menjadikan Indonesia negara Islam. ada juga sebagian pemeluk Islam yang menginginkan pemisahan antara agama dan negara, karena Indonesia adalah negara pancasila. Tetapi ada yang berpandangan Islam itu universal tidak hanya agama ritual tapi mengatur segala kehidupan mencakup politik. Di sisi lain, sebagian umat Islam juga selalu curiga bahwa negara tengah melakukan manuver untuk menghilangkan Islam dalam berpolitik dan mendukung gagasan mengenai sebuah masyarakat politik yang sekuler. Bagaimana titik temu nasionalisme dan universalisme dalam Islam di Indonesia. Kesimpulannya bahwa nasionalisme dalam islam lebih menekankan pada gerakan mempertahankan Negara Indonesia untuk melawan segala penjajahan, kedholiman dan untuk memerdekakan sebuah negara. Sedangkan universalisme diletakkan pada hubungan antar penduduk setelah negara merdeka dan berdaulat, umat Islam di Indonesia adalah satu kesatuan yang datang dari berbagai wilayah yang terdiri dari beberapa suku, ras dan bahasa. Kata Kunci :Titik Temu, Nasionalisme, Universalisme, Islam di Indonesia
1.* Dosen STAIN Kudu dan mahasiswa program doktor IAIN Walisongo Semarang. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
69
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
A. Pendahuluan Ada fenomena menarik yang sering di ungkapkan oleh para ahli politik, yaitu hubungan Islam dan negara di Indonesia selalu mengalami jalan buntu. Baik pada pemerintahan Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto memandang bahwa partai-partai Islam merupakan ancaman bagi kekuasaan dan dapat menumbangkan landasan negara yang nasionalis. Sehingga selama pemerintahan, kedua presiden itu berupaya keras untuk melemahkan dan menjinakkan partai-partai Islam. Akibatnya cita-cita para tokoh Islam yang menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara sejak 1945 menjelang kemerdekaan sampai sekarang belum bisa terwujud (Bahtiar Effendy,1998:1). Karena itu menjadi sebuah pertanyaan besar, ketika di hadapkan pada pernyataan bahwa Islam mengatur seluruh aspek kehidupan termasuk hubungan negara dengan Islam. Ada juga yang sebagian kecil pemeluk agama Islam yang menginginkan adanya pemisahan antara agama (Islam) dan negara. Hal ini di dukung beberapa pandangan bahwa Indonesia adalah negara Pancasila dan bukan negara atas dasar agama. Tapi di sisi lain ada sebagian lain yang menginginkan Islam adalah din dan daulah artinya kesatuan antara negara dan agama misalnya Amin Rais, dan Hidayat Nur Wahid. Tetapi mereka sendiri tidak sepakat bila Indonesia adalah negara Islam, yang ia maksudkan adalah pelaksanaan negara di dasarkan pada nilai-nilai Islam. Di sisi lain, sebagian umat Islam selalu menaruh curiga bahwa negara tengah melakukan manuver untuk menghilangkan Islam dalam berpolitik dan pada saat yang sama mendukung gagasan mengenai sebuah masyarakat politik yang sekuler. Bahkan sering sekali dipandang bahwa negara menerapkan kebijakan ganda terhadap Islam. Yakni disatu sisi mengijinkan berlakunya Islam dalam dimensi ritual untuk tumbuh dan berkembang, di sisi lain negara selalu mencurigai Islam sebagai agama yang menghendaki negara baru yaitu negara Islam. Nasionalisme merupakan term baru dalam Islam. Islam tidak menyebut nasionalisme baik dalam Qur’an maupun Hadits, tapi keduanya selalu menyebut konsep kepemimpinan. Kepemimpinan itu selalu di sebutkan “taatilah Alloh, Rasul dan pemimpin di antara kamu”. Hadits-pun menyebutkan setiap kamu adalah pemimpin dan 70
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Nasionalism Vs Universalism (Ahmad Supriyadi, S.Ag. M.Hum)
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinanmu di akhirat. Ini menunjukkan nasionalalisme tidak di sebut secara langsung baik oleh Qur’an maupun Hadits. Konsep kepemimpinan ini lebih dekat dengan konsep kenegaraan, karena itulah Rasulullah memberikan contoh sebuah Negara Madinah yang dijabarkan dalam bentuk pemerintahan atau penguasa suatu kelompok. Madinah merupakan awal sebuah negara Islam yang utuh dalam mengaplikasikan Qur’an dan Hadits. Tapi ternyata toh tidak pernah menyinggung adanya nasionalisme dalam negara madinah. Kemudian apa yang menyatukan mereka? Persatuan mereka tidak di dasarkan pada sebuah negara, tapi di dasarkan pada konsep ukhuwah islamiyah yang di dasarkan pada nilainilai ketuhanan yang ada dalam Qur’an dan Hadits. Misalnya orangorang Madinah yang mau menyerahkan negaranya menjadi negara berdasarkan asas Islam, karena adanya keinginan untuk menerapkan Islam dalam mengatur kehidupan bernegara. Hal itu tampak dari keikhlasan kaum anshor untuk menerima kaum muhajirin yang datang tidak membawa materi sedikitpun bahkan meminta sebagian materi yang dimiliki kaum anshor. Kaum muhajirin datang ke Madinah hanya membawa Qur’an dan perintah-perintah Rasulullah. Secara materi kaum anshar tidak mendapatkan apa-apa atas kedatangan mereka, tapi anshar pun menerimanya dengan senang hati. Itulah yang memunculkan konsep universalisme. Konsep ini menjadikan ummat Islam tidak terpecah-pecah dan bersatu menuju negeri Madinah. Orang-orang Islam pada waktu itu tidak hanya berasal dari Makkah tapi juga dari negara-negara lain yang menyatu membentuk negara Madinah. Konsep universalisme dalam Islam di dasarkan pada nilai ukhuwah islamiyah. Nilai ini mampu menyatukan seluruh lapisan sosial dan etnis atau kelompok. Sekarang berkembang paham nasionalisme dan universalisme. Paham nasionalisme baru berkembang pada saat Austin Barel, menggunakan kata “nation” pada tahun 1789 yang berarti ”nasionalisme” (Kamenka,1976). Ia mengikuti pemikiran Jean Jaques Rousseau mengenai “general will” dan “popular sovereignty, kemudian dari inspirasi itu ia menyebut nasionalisme. Masykuri Abdullah (2005:73) menjelaskan bahwa nation-state baru muncul pada abad-16 yang dicetuskan oleh Nicolo Machiavelli (1469-1527). ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
71
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Nasionalisme merupakan kesatuan yang didasarkan pada sebuah negara. Negara berdiri atas dasar kesepakatan para tokoh pendiri yang mewakili masyarakat banyak untuk mendiami suatu wilayah tertentu dengan aman dan tentram serta menjamin kebebasan warganya untuk berbuat dengan aturan-aturan tertentu. Karena itu negara mempunyai wilayah teritorial dan warga negara yang sepakat untuk membangun kehidupan bersama dan mempertahankan wilayahnya dari segala ancaman bahaya yang datang dari luar maupun dalam. Disinilah lahir nasionalisme yang didasarkan pada sebuah negara. Universalisme dalam Islam lebih di sebabkan karen adanya kesamaan ‘aqidah yang dianut para pemeluknya, ‘aqidah ini adalah ‘aqidah islamiyah yang mengajak ummatnya untuk mengikuti nilainilai mulia dalam ukhuwah Islamiyah. Tulisan ini ingin menjelaskan titik temu antara nasionalisme dan universalisme dalam Islam dengan pendekatan historis dan hermeneutik atau interpretasi pada teori-teori politik dan kenegaraan. Karena itu metode analisis yang digunakan dengan mengkomparasikan pemikiran para intelektual muslim. B. Pembahasan 1. Pengertian Nasionalisme dan Universalisme Nasionalisme dari kata nasional dan isme. Nasionalis dapat di artikan cinta tanah air sedangkan ditambahkan isme artinya paham kebangsaan. Berarti paham kebangsaan tentang cinta tanah air. Menurut Ernest Gellner (1983:1) nationalism as a sentiment, or as a movement, can best be defined in terms of this principle. Nationalist sentiment is the feeling of anger a roused by the violation of the principle, or the feeling of satisfaction a roused by its fulfilment. A nationalist movement is one actuated by sentiment of this kind. Bisa juga nationalism is a theory of political legitimacy, which requires that ethnic boundaries should not cut across political ones (Ernest Gellner,1983:1). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Ali dkk., 1994:89) nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan 72
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Nasionalism Vs Universalism (Ahmad Supriyadi, S.Ag. M.Hum)
manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asalusul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Kata nasional juga di adopsi dari kata “nation” yang berasal dari kata “nasci” yang berarti “lahir”, kata ini mulai digunakan pada abad ke-13 untuk mengidentifikasi sekelompok orang yang mempunyai kesamaan berdasarkan kelahiran ataupun ciri-ciri fisikal lainnya. Baru pada abad ke-18 istilah nasionalisme menjadi lebih politis dan inklusif. Austin Barel, menggunakan kata nasionalisme untuk pertama kalinya pada tahun 1789 (Kamenka,1976). Ia terinspirasi oleh pemikiran Jean Jaques Rousseau mengenai “general will” dan “popular sovereignty”, Austin mengaitkan nasionalisme dengan semangat juang rakyat Prancis yang digambarkan sebagai pemegang kedaulatan Prancis, untuk melawan rezim Louis XVI. Sejak saat itulah nasionalisme dalam konteks gerakan perlawanan terhadap penguasa berubah menjadi doktrin dan politik yang sangat kuat dan berpengaruh. Pada perkembangan selanjutnya virus nasionalisme menyebar ke Asia dan Eropa dalam bentuk perlawanan terhadap kolonialisme (http:// yudhim.blogspot.com/2008/01). Berdasarkan arti bahasa tersebut, nasionalisme berarti paham kebangsaan untuk mencintai tanah air atau suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia (http://yudhim.blogspot.com/ 2008/01/ nasionalisme.html.). Sedangkan universalisme menurut penulis adalah dari kata universal dan isme. Universal artinya satu kesatuan yang menyelimuti secara keseluruhan, jadi kalau universalisme berarti paham yang menghendaki sesuatu itu merupakan satu kesatuan. Maksud universalisme dalam Islam adalah umat Islam itu utuh dan merupakan satu kesatuan walaupun berbeda-beda suku, bangsa dan bahasa. Ataupun bisa di katakan umat Islam mempunyai prinsip universal dimana tidak ada batas-batas antara negara, suku dan bahasa. Hal ini sering ditanyakan mana yang penting apakah nasionalisme atau universalisme Islam. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
73
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
2. Teori-Teori Tentang Hubungan Islam Dan Negara Upaya teorisasi hubungan Islam dan negara di Indonesia hingga saat ini belum begitu jelas, kebanyakan para peneliti hanya mengungkap sisi-sisi historis yang memuat kekalahan-kekalahan orang-orang Islam dalam berpolitik membangun Negara Indonesia, misalnya saja perubahan sila pertama dari ”ketuhanan dengan menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” di ubah menjadi ”ketuhanan yang maha esa”. Padahal dari sisi sejarah pula dapat di temukan bahwa Islam punya action yang jelas dalam berpolitik membangun Negara Indonesia ini. Karena itulah teori-teori tentang hubungan Islam dan negara sulit di temukan. Teori-teori tentang hubungan Islam dan negara di Indonesia menurut Bahtiar Effendy (1998:23) ada lima pendekatan yaitu : (a) dekonfessionalisasi Islam (b) domestikasi Islam (c) skismatik dan aliran (d) trikotomi (e) Islam kultural. a. Pendekatan Dekonfessionalisasi Islam PendekataninitelahdikembangkanolehC.A.O.Nieuwenhuijeze yang di muat dalam artikelnya pada akhir 1950-an dan pertengahan 1960-an. Ia menjelaskan hubungan politik antara Islam dan negara nasional modern Indonesia, terutama untuk melihat peran Islam dalam revolusi nasional dan pembangunan bangsa dalam kerangka teori dekonfessionalisasi (C.A.O. Nieuwenhuijeze yang dikutip oleh Bahtiar Effendy,1998:24). C.A.O. Nieuwenhuijeze menulis : Istilah dekonfessionalisasi ini pada mulanya digunakan di Belanda untuk menunjukkan bahwa, agar dapat menyelenggarakan suatu pertemuan tertentu, wakil-wakil dari berbagai kelompok peribadatan akan menyepakati sebuah landasan bersama (yang dirumuskan bersama), yakni tentang persetujuan bahwa implikasi-implikasi tetentu dari sejumlah (doktrin) peribadatan mereka akan dihindari sebagai topik pembicaraan (C.A.O. Nieuwenhuijeze,1963 :152 dalam Bahtiar Effendy,1998:25)
Teori ini menjelaskan bahwa untuk menciptakan suatu hubunganyangbaikdalamketatanegaraandiperlukankesepakatankesepakatan yang mengakomodir keinginan-keinginan beberapa kelompok yang ada.
74
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Nasionalism Vs Universalism (Ahmad Supriyadi, S.Ag. M.Hum)
Tradisi ini di ambil dari Belanda yang menerapkan adanya dekonfessionalisasi dimana ada kecenderungan mengakomodir kelompok-kelompok sosio-kultural dan politik Belanda. Tapi perlu di pahami bahwa teori ini dapat tercapai apabila para kelompok yang dari berbagai latar belakang agama sepakat untuk berinteraksi atas dasar sebuah kerangka fikir yang sama dan bahasa yang sama. Tapi dalam kenyataan bahwa masing-masing agama memiliki paham keagamaan yang sangat banyak dan berbeda-beda. Bisa di contohkan dalam Islam dan agama yang lain bahwa ”keadilan bagi si pembunuh”, menurut Islam menghendaki adanya qishash yang di dasarkan pada Qur’an, sedangkan agama lain menganggap qishash adalah penyiksaan dan melanggar hak orang untuk hidup. Menyadari luasnya paham keagamaan tersebut, teori ini sepertinya hanya merupakan sebuah himbauan supaya mempersempit jurang-jurang tajam antar sosial-keagamaan. Setiap agama antara satu dengan lainnya akan berbeda-beda paham dan biasanya paham itu berkaitan dengan hal yang substansial sehingga ada kesulitan bila masing-masing paham itu harus disatukan, tapi paling tidak teori ini mempersempit jurang antar sosial-keagamaan. C.A.O. Nieuwenhuijeze menjelaskan bahwa perlu adanya konsep keyakinan yang di sepakati bersama, tapi keyakinan tidak serta merta berubah dengan berubahnya terminologi yang dipakai, karena itu pengikut agama tertentu ya ia tetap menjadi pemeluk agamanya itu. b. Pendekatan Domestikasi Islam Arti domestikasi secara terminologi adalah penjinakan. Jadi domestikasi Islam berarti menjinakkan ulama-ulama ortodok yang kaku dan menjadikannya sebagai pemeluk Islam yang pribumi. Teori ini selalu di hubungkan dengan karya-karya Harry J. Benda (1965:123-138 dalam Bahtiar Effendy,1998:28 ) yang menulis tentang ”Continuity and Change in Indonesian Islam”, dalam tulisannya ia menjelaskan tentang Islam di Indonesia. Teori itu di dasarkan pada landasan analisis historis mengenai Islam di Jawa pada abad ke-16 hingga abad ke-18, terutama pada periode perebutan kekuasaan antara para penguasa kerajaan-kerajaan ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
75
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Islam yang taat di wilayah pesisir Jawa,yang diwakili oleh Demak, melawan kerajaan Mataram yang terkenal sinkretis di wilayah pedalaman. Pada saat Mataram ditaklukkan, selanjutnya menjadi pemeluk Islam, ia berusaha menekan wilayah-wilayah taklukan mereka di pesisir yang memberontak dan menghancurkan bagian-bagian masyarakat Islam ortodok di Pulau Jawa (Bahtiar Effendy,1998:28). c. Pendekatan Skismatik Dan Aliran Skismatik dari kata schism artinya pemisahan atau perpecahan (Peter Salim,1991:749). Teori ini di lahirkan dari tim peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang melaksanakan studi etnografi pada awal hingga pertengahan 1950-an di sebuah desa kecil di Jawa Timur dengan nama samaran Mojokuto. Teori ini di populerkan oleh Robert R. Jay dan Clifford Geertz yang pertama menekankan pendekatan skismatik dalam hubungan Islam dan Jawa sinkretis, yang kemudian berkembang melampaui wilayah konfrontasi keagamaan dan memasuki bidang politik, kebudayaan dan kehidupan sosial. Kemudian skismatik sosial-keagamaan di kembangkan lagi menjadi aliran sosio-kultural dan politik (Bahtiar Effendy,1998:28 ). Teori skismatik memperhatikan masalah skisme keagamaan yang menyebabkan skisme politik yang berkembang antara santri (Muslim yang taat atau Islamis) dan abangan (Muslim yang kurang taat) di pedesaan Jawa Tengah. Jadi hubungan antara Islam dan realitas-realitas politik di negeri ini dapat di lihat dengan pendekatan skismatik dan aliran, dimana dalam berinteraksi antara kaum Islamis dengan kaum abangan selalu ada perpecahan, bahkan dalam proses Islamisasi orang-orang non Islam juga berakhir dengan terbentuknya aliran-aliran dalam bidang sosialkeagamaan. d. Pendekatan Trikotomi Pendekatantrikotomiberlandaskanpertanyaan”Bagaimanakah para aktivis politik Islam memberi respons terhadap berbagai tantangan yang dihadapkan kepada mereka oleh kelompok elite penguasa”(Bahtiar Effendy,1998:40 ). Para pendukung pendekatan trikotomi mengakui obsesi masyarakat politik Islam dengan gagasan negara Islam. Mereka 76
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Nasionalism Vs Universalism (Ahmad Supriyadi, S.Ag. M.Hum)
juga menyadari antagonisme politik antara kelompok santri dengan abangan. Tapi mereka juga tidak otomatis mengasumsikan bahwa semua aktivis Islam memperlihatkan intensitas yang sama dengan agenda negara Islam. Ternyata politik santri dan abangan juga mempunyai kehendak untuk adanya kompromi politik. Dalam hal inilah pendukung pendekatan trikotomi melakukan sebuah penelusuran. Apa yang di temukan? Pendukung pendekatan ini menemukan adanya tiga pendekatan politik yaitu pendekatan politik-fundamentalis, reformis dan akomodasionis-di dalam masyarakat politik Islam (Bahtiar Effendy,1998:40). e. Pendekatan Islam Kultural Teori ini dikembangkan oleh Donald K. Emmerson (Bahtiar Effendy,1998:45). Pendekatan ini melihat bahwa orang-orang Islam yang kalah dalam percaturan politik, mereka mengerahkan energinya ke dalam kegiatan-kegiatan non-politik atau kegiatankegiatan kultural. 3. Sejarah Ketatanegaraan dalam Islam Sejarah ketetanegaraan dalam Islam di mulai dengan berdirinya negara madinah di negeri Arab. Islam datang membawa pembaharuan terhadap struktur masyarakat arab. Sebelum Islam datang, bentuk kesatuan masyarakat Arab berupa kabilah atau suku, yaitu kelompok keluarga yang mengaku mempunyai nenek moyang yang sama. Disinilah kesetiaan anggota di berikan kepada kabilah secara keseluruhan, bukan cuma kepada kabilah tertentu. Negara madinah di awali dengan adanya perjanjian Madinah bersama-sama dengan para pemuka atau kepala suku dari keluarga Arab di Yatsrib untuk membentuk badan musyawarah dan telah mengadakan kesepakatan bahwa semua masalah politik atau kemasyarakatan itu di rundingkan. Sejak tahun 622M. masyarakat Madinah benar-benar telah menjadi masyarakat muslim yang terdiri dari beberapa kabilah. Kabilah dan sub-kabilah sebagian besar menerima Muhammad sebagai nabi dan rasul Alloh. Mereka menganggap diri mereka dan kaum Muhajirin (orang-orang Mekah yang ikut pindah ke Madinah) sebagai kelompok tersendiri yang baru lahir atas dasar ikatan keyakinan. Ikatan kesukuan ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
77
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
telah di kalahkan oleh ikatan kepercayaan agama. Muhammad telah menjadi penguasa politik dan hukum sekaligus. Bersamaan dengan itu, Al-Qur’an sebagai kemauan Tuhan telah menggantikan tradisi yang berkembang dalam kabilah (Noel J. Coulson, 1964 [terjemahan Hamid Ahmad, 1987:13]). Keterangan Noel J. Coulson tersebut menunjukkan bahwa negara Madinah yang di bentuk oleh kaum Anshor dan Muhajirin bukanlah negara yang berdiri atas dasar nasionalisme atau lebih identik dengan kesukuan semata, tapi lebih di dasarkan pada ikatan prinsip universalisme umat Islam semata. Mereka tidak mempermasalahkan kabilah ataupun asal negara, tapi mengedepankan kepercayaan agama yang mereka anut. Pada saat pembentukan Negara Madinah juga tidak hanya di huni oleh orang-orang Islam saja, tapi juga oleh orang-orang Yahudi yang ada di Madinah dan mereka juga menerima menjadi negara Madinah. Hal ini menunjukkan bahwa pluralisme agama dalam sebuah negara telah menjadi ciri di negara umat Islam. Nabi dalam melaksanakan politiknya pada saat itu telah menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan dekonfessionalisasi Islam bagi kaum Anshor dan Muhajirin serta disisi lain Nabi juga melakukan pendekatan domestikasi Islam bagi kaum Yahudi dan pemeluk agama lain. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Nabi tidak mengajak mereka untuk membuat Negara Islam? melihat data tersebut menunjukkan bahwa nabi mengharapkan satu negara yang mengaplikasikan ajaran Islam dan bukan negara Islam. Disini juga menggambarkan bahwa pada satu sisi Nabi mengajarkan nasionalisme dengan membentuk Negara Madinah dan disisi lain Nabi juga mengajarkan universalisme bagi kaum Anshor dan Muhajirin atas dasar kepercayaan agama. 4. Hubungan Antara Agama dan Negara dalam Kontek Indonesia Hubungan antara Islam dan nasionalisme menurut Hasan al-Banna, seorang tokoh pergerakan Islam, memaparkan bahwa apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan atau keberpihakan terhadap tanah air, keharusan berjuang membebaskan tanah air dari penjajahan, ikatan kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan negeri-negeri lain maka nasionalisme dalam makna 78
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Nasionalism Vs Universalism (Ahmad Supriyadi, S.Ag. M.Hum)
demikian dapat diterima dan bahkan dalam kondisi tertentu dianggap sebagai kewajiban (Dault, 2005:xvii). Sejarah kedatangan umat Islam di Indonesia menurut Haji Agus Salim bahwa kedatangan Islam di Nusantara adalah sebagai kekuatan pembebas yang positif dan konstruktif (Hazil Tanzil ed.,1984:293). Karena menurut Salim Islam telah mengajarkan prinsip-prinsip persamaan di saat orang-orang Hindu menganut struktur masyarakat kasta, dan juga mengajarkan prinsip persatuan di kalangan rakyat di saat raja-raja kecil memerintah dan banyak peperangan. Ternyata prinsip-prinsip inilah yang mampu membawa Indonesia keluar dari penjajahan atau menjadi merdeka. Berdasarkan keterangan tersebut hubungan antara agama dan negara dalam kontek Indonesia yang biasa di gambarkan adalah bahwa Islam masuk ke Indonesia memang hanya punya tujuan menyebarkan nilai-nilai Islam dan bukan membentuk negara Islam. Syafi’i Ma’arif (1993:162) berpandangan bahwa Islam datang ke Indonesia adalah Islam yang pandai berbaur dengan penguasapenguasa lokal untuk melegitimasi dakwah yang di bawa. Langkah itu telah membawa mereka dengan mudah menyampaikan isi dakwah kepada masyarakat dan dengan jangka waktu yang relatif cepat sebagian besar penduduk beragama Islam. semua itu tidak bisa lepas dari bantuan dan perlindungan dari penguasa-penguasa lokal terhadap penyebaran Islam. karena itu sangat sulit memisahkan antara kekuasaan yang mengusung nasionalisme dan Islam yang mengusung universalisme dalam kontek sejarah Indonesia. Teori tentang hubungan antara agama dan negara telah di uraikan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “al-Siyasah al-Syar’iyyah” bahwa wilayah (organisasi politik) bagi (kehidupan kolektif) manusia merupakan keperluan agama karena agama tidak akan bisa tegak secara kokoh bila hal itu tidak ada (Ibnu Taimiyah dalam Syafi’i Ma’arif, 1993:162). Bagi Ibnu Taimiyah negara mempunyai fungsi sebagai institusi politik untuk melaksanakan perintah-perintah Alloh dan mencegah larangan-larangannya. Selanjutnya ia mengatakan : Dan karena Alloh SWT mewajibkan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta menolong pihak yang teraniaya. Demikian pula yang ia wajibkan tentang jihad, keadilan dan menegakkan hudud, tidak mungkin sempurna kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
79
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Hubungan agama dan negara dalam kontek Indonesia telah ada pada saat menjelang dan sesudah kemerdekaan. Pemimpinpemimpin Islam Indonesia dari semua golongan menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan telah berjuang keras agar pelaksanaan syariah Islam di akui secara konstitusional, walaupun terhambat dalam perjalanan. 5. Titik Temu Nasionalisme dan Universalisme Perbedaan nasionalisme di Indonesia dengan nasionalisme dalam Islam adalah nasionalisme bangsa Indonesia di tuangkan dalam Pancasila ideologi negara dan UUD 1945 sebagai implementasi dari pancasila. Perumusan Pancasila sebagai ideologi negara terjadi ketika BPUPKI melakukan usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia. Sedangkan nasionalisme dalam Islam di dasarkan pada keyakinan dan syariat Islam. Tentu saja di sini yang dimaksud nasionalisme negara di dasarkan pada bahasa, ras dan budaya. Sedangkan dalam Islam nasionalisme disebut universalisme karena Islam menghilangkan batas-batas baik bahasa, suku, budaya, sejarah. Titik temu nasionalisme dan universalisme dalam Islam di dasari dengan teori yang dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dimana teori hubungan antara agama dan Negara menjelaskan bahwa wilayah (organisasi politik) bagi (kehidupan kolektif) manusia merupakan keperluan agama karena agama tidak akan bisa tegak secara kokoh bila hal itu tidak ada (Ibnu Taimiyah dalam Syafi’i Ma’arif, 1993:162). negara mempunyai fungsi sebagai institusi politik untuk melaksanakan perintah-perintah Alloh dan mencegah larangan-larangannya. Dan karena Alloh SWT mewajibkan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta menolong pihak yang teraniaya. Maka diwajibkan pula tentang jihad nasionalisme, keadilan dan menegakkan hudud, hal itu tidak mungkin tercapai sempurna kecuali dengan kekuatan dan kekuasaan. Dalam kontek Indonesia, nasionalisme dan universalisme yang di ajarkan Islam dengan pendekatan dekonfessionalisasi dan domestikasi akan lebih membawa kemaslahatan bagi umat Islam. Data sejarah tetang pengalaman umat Islam berdiplomasi pada saat pembentukan Negara RI mengatakan: Bahwa BPUPKI dilantik pada 28 Mei 1945 dengan anggota mula-mula sebanyak 62, kemudian ditambah 6 lagi hingga berjumlah 80
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Nasionalism Vs Universalism (Ahmad Supriyadi, S.Ag. M.Hum)
68 orang. Menurut Prawoto Mangkusasmito, dilihat dari sudut ideologi politik dari 68 anggota itu hanyalah 15 orang yang dipandang mewakili aspirasi umat Islam. Yang dimaksud aspirasi politik Islam ialah agar negara yang akan merdeka itu harus berdasarkan Islam. Hal ini bila dilihat dari perimbangan kekuatan politik dalam BPUPKI, citacita itu hanya di dukung oleh 20% anggota saja. Sedangkan yang 80% berpendirian bahwa agama tidak di bawa-bawa dalam soal kenegaraan (Syafi’i Ma’arif, 1993:192). Di sini ada dua pendirian antara orang-orang yang membawa agama dalam soal negara dan orang-orang yang menginginkan adanya pemisahan antara agama dan negara. Tentang nasionalisme disini disandingkan dengan universalisme yang mengajarkan spirit persatuan didasarkan pada agama dan bukan atas dasar suku, ras, budaya dan wilayah. Kemudian apa yang dilakukan oleh para tokoh pendiri kemerdekaan itu? Adanya dua pendirian di atas di awali dengan pidato Soekarno tentang Pancasila dan kemudian golongan Islam mengusulkan agar Islam yang dijadikan dasar Negara. Hal ini disampaikan pada sidang ke-tiga. Dengan munculnya Pancasila dan Islam disini pergumulan antara keduanya berlangsung beberapa hari dengan tensi yang sangat tinggi. Masing-masing bencoba bertahan pada pendiriannya (Syafi’i Ma’arif, 1993:193). Atas dasar peristiwa ini kemudian di cari kompromi-kompromi untuk menemukan titik temu antara keduanya. Untuk itu dibentuk panitia sembilan. Panitia ini bekerja dalam waktu 57 hari maka lahirlah Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Dalam ini Pancasila sebagai dasar negara telah diterima, tapi sila ketuhanan di tempatkan sebagai sila pertama dengan menambah anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bagi umat Islam kalimat ini sangat penting,sebab dengan itu tugas pelaksanaan syariat Islam secara konstitusional terbuka untuk dilaksanakan pada waktu yang akan datang. Dengan berat hati wakil-wakil dari Kristen menerima atas himbauan Soekarno, akhirnya perumusan UUD1945 diterima secara aklamasi pada 16 Juli 1945 (Syafi’i Ma’arif, 1993:194). Setelah aklamasi, hari berikutnya ada utusan yang menyampaikan keluhan dari umat Protestan dan Katolik bahwa mereka keberatan dengan kalimat tambahan dari sila pertama. Maka ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
81
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
pada tanggal 18 Agustus Bung Hatta memanggil tokoh-tokoh Islam untuk berunding atas isu serius tersebut. Yang hasilnya tujuh perkataan setelah sila Ketuhanan dihilangkan dan diganti “Yang Maha Esa”. Di sini terlihat bahwa Indonesia pada periode kemerdekaan banyak tokoh-tokoh dari berbagai macam sosial-keagamaan dari Islam, Kristen, Katolik, Nasionalis dan sebagainya yang bersama-sama bahu membahu untuk membentuk Negara Indonesia dan mengisi kemerdekaan. Menurut Nieuwenhujze, Islam di Indonesia mempunyai peranan dominan dalam revolusi nasional pada era kemerdekaan. Ia melihat bahwa posisi Islam pada saat itu dan sekarang, memainkan peran dalam proses pembangunan bangsa Indonesia yang menyerupai jenis dekonfessionalisasi yang berkembang di negeri Belanda. Tokohtokoh Islam ketika berinteraksi dengan tokoh-tokoh dari berbagai sosialkeagamaan rela melepaskan orientasi mereka ”yang formal dan kaku”( C.A.O. Nieuwenhuijeze,1963:152 dalam Bahtiar Effendy,1998:26). Dalam kasus ini, dekonfessionalisasi adalah konsep yang digunakan untuk memperluas penerimaan umum, mencakup semua kelompok yang berkepentingan, terhadap konsep-konsep muslim” atas dasar pertimbangan bersama” ( C.A.O. Nieuwenhuijeze,1963:152 dalam Bahtiar Effendy,1998:27). Penerapan teori domestikasi juga pernah dilakukan di Pulau Jawa berkaitan dengan penaklukan kerajaan-kerajaan Islam ortodok oleh Kerajaan Mataram yang merubah diri menjadi Islam. Pada awal mulanya Kerajaan Mataram adalah wilayah yang ditaklukkan oleh Kerajaan Demak yang memeluk Islam, begitu Mataram sudah menjadi Islam kemudian menaklukkan wilayah-wilayah yang memberontak bahkan menghancurkan daerah-daerah yang tokoh-tokohnya beragama Islam ortodok. Disinilah proses domestikasi Islam di lakukan oleh Kerajaan Mataram dalam konteks perebutan kekuasaan antara kalangan Islam ortodoks dan sinkretis Jawa yang di wakili oleh Raja Mataram. Domestikasi Islam di Jawa tidak hanya mensyaratkan kalahnya kerajaan-kerajaan pesisir yang ortodoks, melainkan juga adanya pembunuhan para ulama’pendakwa di Mataram sendiri (Bahtiar Effendy,1998:28 ). Data tersebut menunjukkan nasionalisme adalah satu keharusan dalam menegakkan kekuasaan dan melindungi segenap 82
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Nasionalism Vs Universalism (Ahmad Supriyadi, S.Ag. M.Hum)
warga serta menegakkan keadilan, sedangkan universalisme adalah spirit perjuangan yang di bawa Islam untuk bisa diterapkan dalam segala kondisi sebagaimana para tokoh Islam pendiri Negara RI menerapkan universalisme dalam memerdekakan Indonesia. Hubungan antara Islam dan realitas-realitas politik di negeri ini antara tokoh-tokoh Islam dan Soekarno serta Moh. Hatta berdasarkan pendekatan skismatik dan aliran selalu ada ketegangan-ketegangan yang bisa diselesaikan dengan jalan kompromi dan demi persatuan dan kesatuan negara RI. Bukan didasarkan pada kesepakatan nilainilai Islam yang di usung bersama. Karena itu pemerintah pada waktu itu mengambil langkah pendekatan politik-fundamentalis, reformis dan akomodasionis-di dalam masyarakat politik Islam atau yang disebut dengan pendekatan trikotomi. Adapapun K.H.Hasyim Asy’ari mengambil langkah pendekatan Islam kultural dalam mewujudkan nasionalisme sekaligus universalisme Islam. Tapi pandangan nasionalisme dalam konteks Indonesia juga ada sisi-sisi kelemahan dimana nasionalisem telah di uji dengan banyaknya wilayah yang ingin memisahkan diri dari NKRI misalnya Aceh, Papua dan yang sudah memisahkan diri adalah Timor-Timor. Data ini menunjukkan banyaknya kelemahan dalam konsep nasionalisme dimana konsep ini tidak kuat untuk mempersatukan warga suatu negara. Bila dicermati, kelemahan-kelemahan nasionalisme antara lain: a. Ikatan nasionalisme atas dasar state sangat rapuh bila tidak ada serangan dari luar. Nasionalisme akan semakin erat bila ada ancaman dari luar misalnya penjajahan, dan akan rapuh bila suatu negara itu aman dan stabil. Tesis ini bisa di buktikan ketika Indonesia di jajah oleh Belanda atau Inggris, masyarakat bersatu memerangi dan mengusir penjajah, tapi dalam kondisi stabil, Aceh, Papua dan Timor-Timor ingin berpisah dari wilayah NKRI. Hal serupa terjadi juga pada wilayah-wilayah kecil yang ingin memisahkan diri dari wilayah provinsi ataupun kabupaten, misalnya Banten, Riau dan kabupaten lainnya. Hal ini terlepas dari keinginan untuk mensejahterakan anggota penduduk setempat ataupun ketidak puasan pembagian peningkatan kesejahteraan antara pusat Ibukota dengan daerah. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
83
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Sebaliknya bila ikatan nasionalisme berdasarkan agama, akan lebih kokoh dan dalam kondisi apapun. Misalnya Negara Afghanistan yang mempunyai penduduk kecil dan tentara yang sedikit, Amerika tetap tidak mampu mengalahkannya. Hal ini karena ikatan umat Islam di dunia atau prinsip universalisme yang menyebabkan mereka masuk ke wilayah Afghanistan untuk berperang. b. Ikatan nasionalisme atas dasar state di dasarkan faktor emosional dan muncul secara insidentil atau spontan. Nasionalisme yang lahir karena ikatan wilayah negara lebih bersifat insidental karena di dasarkan kebutuhan untuk mempertahankan diri dari berbagai ancaman yang menimpa mereka. Nasionalisme karena faktor agama lebih bersifat lahir dari kesadaran dan kesamaan keyakinan. C. Kesimpulan Nasionalisme dalam islam lebih menekankan pada gerakan mempertahankan Negara Indonesia untuk melawan segala penjajahan, kedholiman dan untuk memerdekakan sebuah negara sebagaimana dilakukan oleh rasulullah yang telah membebaskan daerah-daerah jajahan romawi. Nasionalisme juga bisa dilakukan dalam rangka seperti apa yang dikatakan Hasan Albana bahwa hubungan antara Islam dan nasionalisme apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan atau keberpihakan terhadap tanah air, keharusan berjuang membebaskan tanah air dari penjajahan, ikatan kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan negeri-negeri lain maka nasionalisme dalam makna demikian dapat diterima dan bahkan dalam kondisi tertentu dianggap sebagai kewajiban (Adyaksa Daut, 2005:xvii). Sedangkan universalisme diletakkan pada hubungan antara penduduk setelah negara menjadi merdeka dan berdaulat. Bahwa adanya kesatuan umat yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia yang terdiri dari beberapa suku, ras dan bahasa.
84
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Nasionalism Vs Universalism (Ahmad Supriyadi, S.Ag. M.Hum)
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Lukman. Dkk. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka,Jakarta. Ahmad Syafii Maarif,1993, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Mizan Jakarta. Bahtiar Effendy, 1998, Islam Dan Negara Transformasi Pemikiran Dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Penerbit Paramadina, Jakarta. C.A.O. Nieuwenhuijeze,1963, Islam and National Self-Realization in Indonesia,”Nieuwenhuijze, Cross-culture studies, The Hague, Monton and co., Adhyaksa Daut, 2005. Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, Pustaka al-Kautsar, Jakarta. Ernest Gellner, 1983, Nations and Nationalism, Oxford, London. Harry J. Benda,1965, Continuity and Change in Indonesian Islam”, Asian and African Studies: Annual of the Israel Oriental Studies, Vol.1. Hazil Tanzil ed.,1984, Seratus Tahun Haji Agus Salim, Sinar Harapan, Jakarta. Mahdi Fadlullah, 1991, Titik Temu Agama dan Politik Analisa Pemikiran Sayyid Qutb. Penerbit Ramadhani, Solo. Noel J. Coulson, 1964, The History of Islamic Law [terjemahan Hamid Ahmad, 1987, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, Penerbit P3M, Jakarta. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
85
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Peter Salim, 1991, advanced english dictionary, Modern English Press, Jakarta. Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, September 2001: 42-54
86
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
ISLAM DAN SOSIALISME
Oleh: M. Nuruddin, M.Ag Abstraksi Perkembangan ekonomi yang sedang lesu kini masih belum nampak ada kebangkitan di muka bumi. Bahkan berbagai persoalan seperti dampak global warming (pemanasan global) dari waktu ke waktu seolah-olah tiada berakhir. Akibatnya, masyarakat dunia dalam suanana pesakitan. Hal ini disebabkan oleh karena dua mazhab besar di bidang ekonomi; kapitalisme dan sosialisme belum mampu menyuguhkan menu yang jitu untuk bangkit. Bahkan, keberadaannya semakin dipertanyakan orang. Faham kapitalisme yagberkembang di Barat misalnya, dengan prinsip peningkatan modal demi mendapatkan kemajuan ekonomi dianggap semakin mempertajam jurang perbedaan masyarakat antara yang kaya dan miskin. Sementara itu aliran sosialisme yang kelahirannya dianggap sebagai pemberontak dan pendobrak kapitalis ternyata justru berat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Ada sejumlah penyelewengan dari gagasan yang dikembangkan tidak menghargai kepemilikan, penguasaan distribusi pada negara, serta munculnya faham atheis. Sebenarnya dalam banyak hal sosialisme sering diterima masyarakat muslim, bahkan banyak yang menganggap faham itu identik dengan sistem ekonomi dalam Islam. Oleh karenanya sejarah perkembangannya banyak dierima oleh kalangan muslimdi berbagai negara. Hal ini patut disayangkan karena perkembangannya banyak menimbulkan masalah di kalangan masyarakat muslim. Sehingga mereka semakin berat menerima faham itu. Seperti halnya adanya pemusatan ekonomi pada negara, penyelewengan di jalur birokrasi, dan munculnya faham atheisme. . Oleh karenanya keberadaan sistem baru yang ditunggu-tunggu, yaitu sistem yang memberi penghargaan tinggi terhadap kemajuan individu ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
87
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
serta mendorong tercapainya kesejahteraan sosial. Sebagai ajaran yang komprehensip, Islam memuat berbagai persoalan baik menyangkut masalah akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Di bidang ekonomi (muamalah) misalnya, tidak disebutkan rincian sistemnya tetapi disana hanya menebutkan prinsip jual beli, hutang piutang, perjanjian. Oleh karenanya penjabaran dari prinsip tersebut amat bergantung pada masyarakat muslim. Keynote : Islam, Sosalisme, sitem ekonomi
A. Pendahuluan Perkembangan masyarakat pada era informasi tidak lagi mengenal batas antar negara, bangsa, agama, dan budaya dimanapun juga. Kini, sekat-sekat yang berbentuk sekterianisme telah sirna ditembus derasanya arus informasi yang tidak mengenal batas itu. Oleh karenanya berbagai ideologi apapun bentuknya baik faham yang beranak pinak dari mazhab kapitalisme maupun sosialisme telah menyebar ke seluruh masyarakat dunia. Akibatnya, pertarungan antara peradaban sebagaimana disinyalir S. Huntington tidak bisa dibendung. Berbicara Sosialisme pada umumnya berawal dari persoalan ekonomi, yang kelahirannya merupakan “protes” terhadap pola ekonomi kapitalisme. Dalam konteks sejarah kini kedua mazhab tersebut senantiasa berusaha mempengaruhi dan masuk ke dalam pola kehidupan ekonomi pada seluruh umat manusia. Dengan kata lain mazhab ekonomi hanya ada dua di belahan bumi. Oleh karenanya banyak masyarakat internasional saat ini banyak yang terperangkap oleh dampak kedua aliran tersebut, tidak terkecuali umat Islam. Disadari atau tidak, krisis ekonomi global yang terjadi akhir – akhir ini lebih disebabkan oleh persaingan kedua mazhab yang tidak sehat, terutama akibat penguasaan para pemilik modal tanpa melihat dampaknya secara mendetail. Kini, masyarakat global mulai mempertanyakan keabsurdan kedua aliran tersebut dengan melirik dan memperhatikan adanya mazhab lain, jika mungkin. Tentu, sebuah kepercayaan tidak mudah begitu saja terwujud sebelum terbukti handal di lapangan. Ibarat suatu teori, ia akan difalsifikasi terlebih dahulu sebelum diterima. Dalam konteks Islam, sebagai way of life yang ajarannya meliputi seluruh aspek kehidupan manusia tentunya tidak luput 88
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Islam dan Sosialisme (M. Nuruddin)
membicarakan masalah ekonomi. Apalagi keberadaanya amat urgen dalam kehidupan manusia. Namun demikian, agama yang berisi seperangkat nilai yang dijadikan jalan hidup ini secara spesifik tidak membicarakan tentang sistem ekonomi tertentu baik masalah sosialisme maupun kapitalisme. Disana hanya terdapat beberapa petunjuk untuk melakukan pembicaraan mengenai ekonomi seperti transaksi jual beli (QS. 2:282), kontrak hutang (QS. 2:282), bunga (QS. 2:275), pinjaman (QS. 2:282), dan pajak (QS. 9:103). Secara historis, perkembangan ekonomi di dunia Islam senantiasa lebih condong pada aliran sosialisme,. Apalagi setelah munculnya Negara modern sejak tahun 1945 pada umumnya pemimpin politik di sejumlah negara muslim lebih condong kesana. Dalam panggung sejarah muncul tokoh Gammal Abd Nasser di Mesir, Shaddam Hussein di Iraq, Moammar Gaddafi di Libia, SoekarnoHatta di Indonesia, Hafiz Assad di Syiria, Djamaluddin Al-Afgani di Afghanistan. Oleh karenanya penulis tertarik untuk mengangkat sebuah tulisan apakah benar bahwa ajaran Islam lebih condong dengan persolan sosialisme ? ada apa dengan kapitalisme ? atau memiliki jati diri sendiri yaitu la isytiraqiyyah wa la ra’su maliyyah (bukan sosialis dan juga tidak kapitalis). B. Mazhab Sosialisme Sampai saat ini, persepsi masyarakat tentang Islam terbagi atas dua kelompok besar. Pertama, pandangan pesimisme terhadap Islam, dimana mereka melihat agama ini dalam bahaya kehancuran. Akibatnya, pada saat ini banyak intelektual dunia berubah, mereka telah menjadi komunis dan atheis, atau dalam kata lain para pemimpin Islam telah menjadi Tuhan-less. Menurut mereka pada zaman modern, manusia telah mampu mencapai kesempurnaan hidupnya dengan menghasilkan berbagai ciptaan yang berasal dari akalnya. Dengan kata lain, akal telah menggantikan posisi Tuhan di dunia. Dalam keadaan seperti ini posisi Islam dan ajarannya tidak lagi digubris masyarakat, dampaknya sekularisme menjadi senjata kehidupan. Pendapat kedua, Islam dipotret secara optimis, dimana Islam telah tersebar luas ke belahan dunia mulai dari negara berkembang hingga negara maju, penghormatan terhadap ajaran Islam nampak pada berbagai event baik yang sifatnya lokal, regional, maupun ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
89
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
global. Bahkan nilai-nilai Islam telah diakui sebagai salah satu wujud peradaban dunia. Dengan munculnya penerimaan masyarakat global terhadap issue Hak Azazi manusia (HAM), Demokrasi, Kesetaraan Jender, The Global Village (masyarakat global), Islam menjadi bagian penting yang tak terpisahkan dari konteks masyarakat. Kelompok ini berusaha menawarkan berbagai masalah global melalui pendekatan ajaran Islam. Termasuk bahaya kaum intelektual adalah munculnya semangat spiritualisme, menghilangkan sisi formalisme, seperti dilakukan Ahmad Kasravi di Iran, apa yang dapat dipertimbangkan sebagai bahaya bagi Islam hari ini, dimana orang-orang biasa meninggalkan ajaran agama dan menerima bimbingan rohani yang lain, tetapi tidak meninggalkan agamanya. Thomas Jefferson yang percaya pada Tuhan tetapi tidak mengikuti agama tertentu, kaum Baha’i Faith (pengikut Bahaisme), dan lain-lain. Dengan kata lain, sikap religiusitas dan ideologi fluiditas di antara masyarakat telah menjadi ancaman keberadaan agama. Dan alasan mendasar untuk perubahan ini adalah pertumbuhan globalisasi. Jika kita melihat lebih dekat agama-agama besar di dunia, mereka terpisah secara geografis satu sama lain, akan tetapi globalisasi telah mengantar agama dan etnis terjadinya pencampuran dalam berbagai kelompok etnis dan pengikut agama-agama yang berbeda termasuk dalam batas-batas nasional. Menurut analis yang terkenal futuris Ray Kurzweil dalam bukunya yang terkenal ”Singularity” menulis tentang evolusi manusia di abad ke-21 akan setara dengan 20.000 tahun. Yang berarti bahwa 100 tahun dari abad ini, dimana kita sekarang hidup sama dengan bergerak maju 10 kali sepanjang 2000 tahun sejarah masa lalu agama-agama besar. Hal ini juga berlaku tentang semua pikiran dan ide apakah rohani atau meliputi kehidupan alam lainnya. Dengan demikian perkembangan manusia pada era informasi berlangsung amat dahsyat, kecepatannya tiada terdeteksi. Kata sosialisme berasal dari akar kata social artinya masyarakat. Lalu ditambah akhiran ism menjadi socialism, artinya faham tentang kemasyarakatan. Dalam bahasa Arab disebut اشتراكية ( faham kemasyarakatan ). Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan makna seperti dikutip dalam kamus West’s Encyclopedia of American sosialisme 90
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Islam dan Sosialisme (M. Nuruddin)
adalah mendefinisikan teori atau sistem organisasi sosial dimana alat-alat produksi dan distribusi barang dimiliki secara kolektif. Atau, sistem ekonomi dengan kepemilikan negara atau kontrol terhadap semua sarana utama produksi dan distribusi barang dan jasa. Sedangkan dalam kamus Concise Encyclopedia of Economic adalah sistem ekonomi perencanaan pusat dimana pemerintah mengendalikan semua alat-alat produksi. Sedangkan menurut Ensiklopedia Dunia Baru yaitu salah satu ideologi politik abad kesembilan belas sebagai reaksi terhadap ketidakadilan industrie ksploitasi tenaga kerja, dan pengangguran di Eropa. Dengan demikian Sosialisme adalah salah satu aliran politik, system ekonomi, ataupun organisasi sosial yang alam perdikelola secara kolektif serta menempatkan anggotanya secara sama dalam mencapai tujuan. Adapun system itu bentuk dan sifatnya beragam namun prinsipnya menempatkan individu pada posisi setara. Bentuk tersebut di atas berbeda jauh dengan tatanan yang dibangun kelompok kapitalisme dengan sejumlah anka kandung yang dilahirkannya. 1. Sejarah Sosialisme DaIam perkembangannya, stilah sosialisme atau sosialis dapat mengacu ke beberapa hal. Ada yang berhubungan dengan masalah ideologi, sistem ekonomi, dan negara. Istilah ini mulai digunakan sejak awal abad ke-19 di Inggris oleh Robert Owen tahun 1827. Ia berasal dari Wales, seorang sosialis yang pertama di dunia modern dengan gagasannya tentang gerakan koperasi (co-operation). Beliau berkata: “ .... pekerjalah yang sepatutnya menjadi tuan untuk syarikat bagi mereka yang bekerja. Pekerja kemudian berkongsi untuk mendapatkan keuntungan di antara sesama mereka.” Yang riil dalam kehidupan industri adalah karya yang dihasilkan oleh para buruh perusahaan, bukan peran pemilik modal. Namun pada kenyataannya, merekalah yang hidup dalam ketidakpastian, maka perlu adanya perserikatan untuk membantu kesejahteraannya, lalu berdirilah usaha koperasi. Gagasan Owen berkembang pula di negara lain, seperti Perancis. Istilah ini mengacu para pengikut doktrin Saint-Simon pada tahun 1832 yang dipopulerkan oleh Pierre Leroux dan J. Regnaud. (http/ id.wikipedia.org/wiki/Sosialisme”) ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
91
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Dalam l’Encyclopédie Nouvelle penggunaan istilah sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda-beda oleh berbagai kelompok, tetapi hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian yang dengan sistem ekonomi menurut mereka dapat melayani masyarakat banyak daripada hanya segelintir elite. Secara formal kelahiran Sosialisme bermula dari reaksi para pekerja terhadap kaum kapitalis di Eropa. Jika dirunut secara rinci, dalam Islam cikal bakal gerakan itu juga telah muncul. Kan pada awal perkembangan ekonomi, terutama semasa pemerintahan Utsman bin Affan (623-636 M). Salah satu tokoh terkenal dalam masalah ini adalah Abu Dzar Al-Ghiffari, seorang sahabat Nabi Muhammad, ia dipuji oleh banyak orang sebagai pendiri gerakan social penentang kapitalisme. Hal ini terkait dengan sikapnya ketika memprotes akumulasi kekayaan (the accumulation of wealth) oleh kelas yang berkuasa selama kekhalifahan Utsman. Abu Dzar mendesak adanya redistribusi kekayaan secara merata (Bidanda M. Chengappa: 2002)
Pada awal abad XX gerakan sosialisme berkembang pesat di seluruh di dunia, tokohnya yang terkenal adalah Karl Marx di Jerman. Dalam karyanya berjudul “ The Communist Manifesto”, Vladimir Lenin, James Connolly, Rosa Luxemburg, Fidel Castro, Muammar al-Gaddafi, Albert Einstein, Robert Mugabe, Ho Chi Minh dan John Lennon. Kebanyakan di antara mereka bergerak melalui wadah partai sosialis yang berkembang sejak kurun abad ke-19 dan awal abad ke-20. (John Esposito :1995, 81-86). Dengan demikian pada abad 19 dan awal 20 perkembangan mazhab sosialisme tidak sekedar dalam konteks ekonomi saja, melainkan juga telah merambah dalam dunia politik dengan target mendirikan negara sosialis. Di kalangan kaum muslimin, gerakan sosialis modern Eropa mendapat sambutan hangat yang diakibatkan oleh kolonisasi bangsa Barat. Pada umumnya para penguasa (kolonialis) beraliran kapitalis dengan kecenderungan mengeruk kekayaan alam yang ada di wilayah jajahannya. Untuk itu para tokoh muslim banyak terinspirasi oleh pemikiran dan gerakan kaum sosialis Eropa. Di antara tokoh sosialis yang terkenal di kalangan muslim pada masa ini adalah Sayid DJamal al-Din Afghani, Rafi Ahmed Kidwai, Shaddam 92
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Islam dan Sosialisme (M. Nuruddin)
Hussein, Muammar al-Gaddafi, Hafiz Assad, dan lain-lain. Bahkan gaddafi (sebutan Moammar) setelah berhasil melakukan kudeta pada tahun 1969 menyebut ideologinya ”Sosialisme Islam”. ( 2002:3) selain itu juga ada Khalid Muhammad Khalid, pertengahan abad ke-20 di Mesir, Jalal Al-e Ahmad di Iran. Gamal Abdel Nasser di Mesir, Siad Barrey, Chaudhry Rehmat Ali, Molana Hasrat Mohani di Iran, Yasser Arafat di Palestina, Ahmed Jibril Khalid bin al-Walid, Muhammad Iqbal di Pakistan, Faiz Ahmed Faiz Habib Jalib Ibn-e-Insya, Sadat Hasan Manto, Hanif Ramay, Zulfikar Ali Bhutto di Pakistan, dan Ali Shariati di Iran. Kadang-kadang dinamakan dengan istilah Marxisme Islam, istilah yang telah digunakan untuk menggambarkan gerakan Ali Shariati tentang revolusi Iran tahun 1979. Kemudian Mujahidin-eKhalq Organization Zanj Pemberontakan Qarmatians memberi nama Sosialisme Arab. ( Sami A. Hanna ; 1969, 287). Di Indonesia, sebagai salah satu negara koloni juga muncul kaum sosialis. Haji Misbach tokoh nasionalisme Indonesia dan anti-pendeta Belanda. Kemudian muridnya, HOS Tjokroaminoto, Soekarno, Moh. Hatta, dan Moh. Yamin. Dalam bukunya Sosialisme Islam HOS Cokroaminoto mengatakan : “... Dasar sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad adalah kemajuan budi pekerti rakyat. Hal ini tampak dalam pernyataannya, “Menurut pendapat saya dalam faham sosialisme ada 3 anasir, yaitu “kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-heid-equality), dan persaudaraan (broederschapfraternity). Nilai sosialisme dalam Islam, lanjutnya, terlihat dari misi yang disandang Muhammad bahwa ia datang untuk rahmat bagi seluruh alam. Jadi sejatinya orang Islam dimanapun berada selalu menebarkan cinta kasih dalam niat dan perbuatan, menyebarkan rasa kemanusiaan yang tinggi, menjunjung nilai-nilai luhur, bukan hanya pada ideologi atau agamanya saja tapi pada kemanusiaannya juga, bukan hanya pada manusia saja tapi pada makhluk lainnya juga. Dengan demikian tidak ada lagi perusakan baik di daratan maupun lautan, tidak ada lagi eksploitasi terhadap binatang, tumbuhan dan alam lainnya. (Cokroaminoto: ) ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
93
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Dalam pandangan Tjokro, keunggulan (sosialisme) Nabi bukan hanya karena ia selalu dibimbing wahyu dalam kehidupannya, tetapi juga karena dalam setiap tindakannya ia selalu menjadi orang pertama yang memperjuangkan liberalisasi dan menegakkan keadilan. Dalam hal ini, ia bukan hanya seorang pemikir saja akan tetapi ia ikut terjun di tengah umat. Sikap inilah sebetulnya yang harus dijadikan acuan. Umat Islam harus mengambil pelajaran dari tindakan Nabi yang sangat menjunjung nilai kemanusiaan dan menentang perbudakan. Nabi bersabda yang artinya: “Tentang budak-budakmu berilah makan padanya saperti yang kamu makan sendiri, dan berilah pakaian padanya seperti pakaian yang kamu pakai sendiri. Apabila kamu tidak dapat memelihara mereka, atau mereka melakukan kesalahan, lepaskan mereka. Mereka itu hamba Allah seperti kamu juga, dan kamu harus berlaku baik-baik kepada mereka.” Melalui buku “Islam dan Sosialisme” itu pulalah, Ketua SI ini menuturkan sebuah tamsil tentang sosialisme Islami. Ia kemudian mengkisahkan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW mempunyai satu kebun bernama Fidak. Setelah Nabi wafat, Fatimah, puterinya, menuntut pengembalian kebun itu kepadanya atas dasar hak-turunan, akan tetapi tidak diberikan kepadanya. 2. Aliran-aliran Dalam Sosialisme Bermacam-macam bentuk aliran sosialisme di dunia sekarang, seperti; Afrika Sosialisme, Sosialisme Arab, Sosialisme Demokratis, Green Sosialisme, Guild Sosialisme, Libertarian Sosialisme, Pasar Sosialisme, Revolusioner Sosialisme, Sosialisme Utopis, Komunisme Sosialis, Anarkisme Demokrasi Social, Titoism Topik. Gerakan ini bermula dari kritik orang Eropa terhadap kelemahan ekonomi kapitalisme. Seperti dikatakan oleh Henri de Saint-Simon, Robert Owen, Charles Fourier, Thomas Hodgskin, Louis Blanc, Karl Marx, Friedrich Engels, Mary Harris Jones, Daniel De Leon, Eugene V. Debs, Ben Tillett, Vladimir Lenin, Rosa Luxemburg, Karl Liebknecht, Bertrand Russell, Leon Trotsky, Mao Zedong, William Morris, George Orwell, Doğu Perinçek, HG Wells, Albert Einstein, John Stuart Mill, George Bernard Shaw, Oskar Lange, Abba Lerner, Oskar Lange, Ernest Mandel, Alec Nove, Noam Chomsky, dan lain-lain. 94
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Islam dan Sosialisme (M. Nuruddin)
Kritik tersebut lalu memunculkan organisasi sebagai wadah bagi gerakan kaum sosialis di seluruh dunia, seperti; Sosialis Internasional World Federation of Democratic, Youth International Union of Socialist, Youth Sosialisme Buddha, Christian Islamic, dan Yahudi Kiri. Topiknya terkait persoalan sosialis seperti Perjuangan Kelas (social class), Demokrasi Kediktatoran, Proletariat Egalitarianisme (Egalitarian of Proletariansm), Kesamaan Hasil, Kenistaan Kapitalis (Impossibilism), Internasionalisme Politik Sayap Kiri, Marxisme, Campuran ekonomi antara Nasionalis-Sosialis, Revolusi Proletar, Reformisme Sosialisme, Kesatuan Ekonomi Pasar Sosialis, Serikat Buruh. Sesuai dengan budaya kaum muslim, di kalangan umat Islam, lalu muncul Sosialisme Islam. Suatu istilah yang diciptakan oleh berbagai pemimpin muslim untuk memenuhi permintaan bentuk yang lebih spiritual dari sosialis. Kaum Muslim Sosialis, mereka percaya bahwa ajaran Alquran dan Sunah Nabi Muhammad adalah compatible dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan redistribusi kekayaan. Akan tetapi beberapa ulama ortodoks menyatakan berbagai praktik sosialis yang tidak islami seperti adanya penyitaan hak milik pribadi,tidak mengakui eksistensi Tuhan, keduanya ditentang keras karena bertentangan dengan ajaran Islam. Adapun ciri-ciri sosialisme sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedia Dunia Baru, Sosialisme dikembangkan sebagai ideologi politik pada abad kesembilan belas, sebagai reaksi terhadap ketidakadilan industri, eksploitasi tenaga kerja, dan pengangguran di Eropa. Prinsip ekonomi sosialis mencakup beberapa aspek, antara lain; 1. Peran negara sangat besar dalam mengontrol ekonomi warganya 2. Prinsip pemerataan 3. Sebagai ideologi politik melawan kegagalan kapitalisme 4. Kepemilikan kolektif 5. Tidak terjadi pemeresan atas kelompok marginal 6. Lebih dekat dengan semangat keadilan (www.newworld encyclopedia.org). Prinsip-prinsip diatas dianggap sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan oleh kalangan pemimpin Muslim diyakini sebagai implementasi dari ajaran Islam. Oleh karenanya faham tersebut laris manis di dunia Islam. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
95
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
a. Sosialisme libertarian
Dalam perkembangnannya sosialisme bercabang ke dalam bberapa aliran, diantaranya Sosialisme Libertarian. Kelompok ini memiliki filosofi dengan tujuan menciptakan masyarakat tanpa hierarki politik, ekonomi dan sosial, yaitu sebuah masyarakat di mana segala kekerasan atau institusi koersif akan dilenyapkan, dan pada tempatnya setiap orang akan mendapatkan akses bebas dan setara terhadap alat-alat informasi dan produksi, atau masyarakat di mana hirarki dan institusi koersif dikurangi sampai sekecilkecilnya. Kesetaraan dan kebebasan ini dapat dicapai melalui penghapusan institusi otoritarian dan hak milik pribadi, agar kontrol langsung terhadap alat-alat produksi dan sumber daya dapat diraih oleh kelas pekerja dan masyarakat secara keseluruhan. Sosialisme libertarian juga memiliki kecenderungan pemikiran bahwa otoritas yang tidak memiliki legitimasi untuk diidentifikasi, dikritik kemudian dirombak pada segala aspek kehidupan sosial. Sosialis libertarian kemudian meyakini “praktik kekuasaan dalam segala bentuk terinstitusional -- baik ekonomi, politik, religius maupun seksual -- akan menghancurkan pemegang kekuasaan maupun mereka yang berada di bawah ketika kekuasaan diberlakukan.” Jika kebanyakan aliran sosialisme mempercayai peran negara dan partai politik untuk mencapai kemerdekaan dan keadilan sosial, sosialis libertarian menyandarkan harapan mereka pada serikat pekerja, majelis pekerja, munisipal-munisipal, dewan warga negara, serta aksi-aksi lain yang bersifat nonbirokratis dan terdesentralisasi. Filsafat politik yang secara umum dideskripsikan sebagai sosialis libertarian termasuk: banyak varian dari anarkisme (termasuk komunisme anarkis, kolektivisme anarkis, anarkosindikalisme, dan beberapa bentuk anarkisme individualis, mutualisme, ekologi sosial, dan komunisme majelis[8] (atau bahkan komunisme itu sendiri, sebagaimana dijelaskan Karl Marx dan Lenin pada tahap selanjutnya dalam perkembangan sosialisme). Istilah komunisme anarkis dan komunisme libertarian tidak boleh dianggap sinonim untuk sosialisme libertarian. Beberapa cendekiawan menggunakan sosialisme libertarian sebagai 96
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Islam dan Sosialisme (M. Nuruddin)
sinonim dari anarkisme. Dalam sebuah bab yang mengulas ulang sejarah sosialisme libertarian, ekonomikus radikal Robin Hahnel menghubungkan periode di mana sosialisme libertarian memiliki pengaruh paling besarnya pada akhir abad ke-19 hingga empat dekade. Sosialis Libertarian menyatakan bahwa ketika kekuasaan dipraktekkan, seperti dicontohkan dengan dominasi ekonomi, sosial atau fisik seseorang terhadap yang lainnya, tanggungjawab selalu berada di pihak otoritarian untuk membuktikan bahwa tindakan mereka dapat dilegitimasi ketika apa yang mereka lakukan berakibat mempersempit cakupan kebebasan manusia. Contoh tipikal dari praktek yang sah dalam penggunaan kuasa adalah menggunakan kekuatan fisik untuk menyelamatkan seseorang agar tidak terluka akibat kendaraan yang lewat, atau pertahanan diri. Sosialis libertarian biasanya menentang struktur otoritas yang kaku dan berstrata, apakah itu otoritas politik, ekonomi, maupun sosial. Sosialis libertarian percaya bahwa semua ikatan sosial harus dikembangkan oleh individu-individu yang memiliki besar kekuatan tawar-menawar yang setara, dan bahwa akumulasi kekuatan ekonomi di tangan segelintir orang dan sentralisasi kekuatan politik sama-sama mengurangi kekuatan tawarmenawar, termasuk juga dengan kebebasan individu yang lain di masyarakat. Di pihak lain, prinsip kapitalis (dan libertarian kanan) mengkonsentrasikan kekuatan ekonomi di tangan mereka yang memiliki modal yang paling banyak. Dalam sejarahnya Sosialisme libertarian muncul sebagai perimbangan atas Libertarianisme. Tujuannya adalah untuk mendistribusikan kekuasaan, demikian juga dengan kebebasan, secara lebih adil di antara anggota masyarakat. Perbedaan kunci antara sosialisme libertarian dan libertarianisme sayap kanan adalah kelompok yang pertama secara umum percaya kemerdekaan adalah secara esensial kebebasan untuk memilih, atau kebebasan untuk menyadari diri sendiri. Hal ini sesekali dikarakterisasikan sebagai keinginan untuk memaksimalkan “kreativitas bebas” di dalam masyarakat dibandingkan “bisnis bebas” (free enterprise). ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
97
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Sosialis libertarian percaya jika kebebasan dihargai maka masyarakat harus mengusahakan terbentuknya sebuah sistem di mana individu-individu memiliki kuasa untuk memutuskan isu-isu ekonomi bersama-sama dengan isu-isu politik. Sosialis libertarian berusaha untuk menggantikan otoritas yang tak direstui dengan demokrasi langsung, federasi sukarela, dan otonomi populer dalam segala aspek kehidupan, termasuk komunitas-komunitas fisik dan usaha-usaha ekonomi. Banyak sosialis libertarian berargumen bahwa asosiasi-asosiasi sukarela berskala besar harus mengatur manufaktur industrial, sementara buruh mendapatkan hak atas produk individual dari hasil kerja mereka. Dengan begitu, mereka melihat adanya perbedaan antara konsep “hak milik privat” dan “kepemilikan pribadi”. Di mana “hak milik privat” memperbolehkan kontrol eksklusif individual atas suatu hal baik ketika hal tersebut sedang digunakan atau tidak, tanpa memperhatikan kapasitas produktifnya, “kepemilikan” tidak memberikan hak atas hal yang tidak sedang digunakan. Titel hak milik memberikan hak kepada pemilik untuk menyimpan barang yang dimiliki dari orang lain, atau jika mereka menghendaki, mereka dapat memberlakukan keharusan membayar jika orang lain ingin menggunakannya. “Kepemilikan”, di lain pihak, tidak sejalan dengan bentuk “eksploitasi” atau “penghisapan” semacam ini. (http://id.wikipedia. org/wiki/Sosialisme”) b. Komunisme Perkataan ”sosialisme” dan ”komunisme” seolah-olah satu perkara yang sama. Tetapi pada hari ini dua perkataan ini bermaksud perkara yang berbeza. Kebanyakan orang yang bukan komunis merujuk komunisme sebagai Marxisme dan Leninisme yaitu idea-idea yang berasal dari Parti Bolshevik di Rusia. Selepas Perang Dunia Pertama dan Revolusi Rusia, sosialisme terbagi menjadi dua. Sebagian golongan sosialis mengikut Lenin dan dipanggil komunis. Sebagian lain pula percaya kepada sistem parlemen dan mereka ini dikenal Sosial Demokrat. Sosial demokrat sangat tidak bersetuju dengan komunis tetapi antara ciri mereka ini adalah menyokong konsep negara kerakyatan. (“http:// ms.wikipedia.org/wiki/Sosialisme”) 98
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Islam dan Sosialisme (M. Nuruddin)
Menurut penganut Marxisme, terutama Friedrich Engels, model dan gagasan sosialis dapat dirunut hingga ke awal sejarah manusia dari sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Pada masa pencerahan abad ke-18, para pemikir dan penulis revolusioner seperti Marquis de Condorcet, Voltaire, Rousseau, Diderot, Komunisme adalah sebuah ideologi. Penganut faham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifes politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik. (http://id.wikipedia.org/wiki/ Sosialisme#Sosialisme). Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan komunis internasional. Komunisme atau Marxisme adalah ideologi dasar yang umumnya digunakan oleh partai komunis di seluruh dunia. Sedangkan komunis internasional merupakan racikan ideologi yang berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut ”Marxisme-Leninisme”. Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari pengambil alihan alat-alat produksi melalui peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar, namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil dengan melalui perjuangan partai. Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro. Inilah yang menyebabkan komunisme menjadi ”tumpul” dan tidak lagi diminati karena korupsi yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Komunisme sebagai anti-kapitalisme menggunakan sistem partai komunis sebagai alat pengambil-alihan kekuasaan dan sangat menentang kepemilikan akumulasi modal atas individu. Pada prinsipnya semua adalah direpresentasikan sebagai milik rakyat dan oleh karena itu, seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna kemakmuran rakyat secara merata. Akan tetapi dalam kenyataannya hanya dikelola serta menguntungkan para elit partai. Komunisme memperkenalkan penggunaan sistim demokrasi keterwakilan yang dilakukan oleh elit-elit partai komunis. Oleh ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
99
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
karena itu sangat membatasi langsung demokrasi pada rakyat yang bukan merupakan anggota partai komunis karenanya dalam paham komunisme tidak dikenal hak perorangan sebagaimana terdapat pada paham liberalisme. Secara umum komunisme berlandasan pada teori Dialektika materi oleh karenanya tidak bersandarkan pada kepercayaan agama dengan demikian pemberian doktrin pada rakyatnya, dengan prinsip bahwa ”agama dianggap candu” yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rakyatnya dari pemikiran ideologi lain karena dianggap tidak rasional serta keluar dari hal yang nyata (kebenaran materi). Komunis sebagai teori ideologi mulai diterapkan setelah meletusnya Revolusi Bolshevik di Rusia tanggal 7 November 1917. Sejak saat itu komunisme diterapkan sebagai sebuah ideologi dan disebarluaskan ke negara lain. Pada tahun 2005 negara yang masih menganut paham komunis adalah Tiongkok, Vietnam, Korea Utara, Kuba dan Laos. Komunis internasional adalah teori yang disebutkan oleh Karl Marxis. c. Maoisme Ideologi komunisme di Tiongkok agak lain daripada dengan Marxisme-Leninisme yang diadopsi bekas Uni Soviet. Mao Zedong menyatukan berbagai filsafat kuno dari Tiongkok dengan Marxisme yang kemudian ia sebut sebagai Maoisme. Perbedaan mendasar dari komunisme Tiongkok dengan komunisme di negara lainnya adalah bahwa komunisme di Tiongkok lebih mementingkan peran petani daripada buruh. Ini disebabkan karena kondisi Tiongkok yang khusus di mana buruh dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari kapitalisme. D. Analisis/ Penutup Jitka kita mencermati perkembangan sosialisme semenjak zaman Abu Zar, atau boleh dikatakan zaman sepur lempung (bahasa jawa). Artinya zaman pra modern hingga masa industrialisasi ternyata keberadannya sebagai ”al-masih” (yang ditunggu-tunggu oleh kaum mustad’afin (tertindas) sebagai dewa penyeamat masyarakat. Robert Owen misalnya, namanya selalu dikenang masyarakat dalam konsep ekonomi koperasi. Lalu tumbuh menjadi kelompok yang kuat dan bahkan berubah menjadi kekuatan politik yang mampu mendirikan 100
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Islam dan Sosialisme (M. Nuruddin)
negara – negara sosialis seperti di Eropa,Afrika, Asia, dan Amerika Latin tampil menjadi pesaing kuat kaum kapitalis. Lahirlah Blok Barat dan Blok Timur. Pada akhir abad XX blok Timur runtuh, hal ini berdampak terhadap sistem ekonomi sosialis. Sejak hancurnya negara Uni Soviet (US) sebagai motor utama blok ekonomi sosialis menyebabkan kehancuran sistem ini di beberapa negara, termasuk negara Islam. Akibatnya, kelompok kapitalis semakin tak terkontrol lagi hingga terjadi krisis ekonomi pada awal bad XXI ini. Jadi, munculnya krisis ekonomi disebabkan oleh faktor tersebut, tiadanya konterol terhadap kaum kapitalis. Sebagai umat Islam dalam menyoroti faham Sosialisme yang berakar dari persoalan tata ekonomi, suatu reaksi terhadap kapitalisme tidak lepas dari prinsip ekonomi Islam. Sebagaimana dikatakan M. Solakhudin, dalam bukunya ”Asas-asas Ekonomi Islam ” (2007: 5) yang mengutip pendapat para ahli ekonomi Islam. Di antara prinsip ekonomi Islam hendaklah mencakup beberepa aspek. Antara lain; mensejahterakan masyarakat, adanya redistribusi kekayaan, tidak membatasi kebebasan individu, antaranya, adalah; 1. Ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat dalam persepektif nilai-nilai Islam (Mannan: 1986, 18) 2. Cabang ilmu yang mempelajari bagaimana cara merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekologis (Chapra: 1996, 33) Dengan demikian Islam tidak serta merta mengklaim sebagai bagian dari Sosialis, meskipun dalam banyak hal banyak memiliki kesamaan. Sebagaimana dikatakan Dawam Rahardja, dalam Islam yang terppenting adalah pembebasan haikiki dari tuhan-tuhan kecil (lailah), menuju kepada Allah (Ilallah) dengan senantiasa berserah diri kepada-Nya melalui penghayatan (internalisasi) sifat-sifat Tuhan seperti kasih sayan, keadilan, kebenaran, kedamaian.Sifat-sifat tersebut mesti ditransendensikan dalam teori-teori baru dalam kehidupan yang lebih manusiawi. (Dawam Rahardja: 1999, 255) ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
101
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Sebagaimana dikatakan Chapra bahwa prinsip ekonomi Islam adalah mensejahterakan masyarakat, tidak membatasi kebebasan individu, mengabdi kepada Tuhan, tidak menimbulkan kesyirikan/ kekafiran, menghentikan keserakahan, menghilangkan eksploitasi terhadap fihak yang lemah, dan redistribusi kekayaan. Dengan demikian nilai-nilai sosialisme yang positif menjadi spirit dalam membangun peradaban dunia ke depan, seperti menghentikan keserakahan, eksploitasi terhadap fihak yang lemah, dan redistribusi kekayaan. Untuk itu perlu adanya realisasi dari prinsip tersebut. Sementara itu kini masyarakat di dunia tidak bias melepaskan diri dari kehidupan kapitalisme di segala bidang mulai dari persoalan yang besar hingga masalah terkecil. Semua aspek kehidupan berada dalam belenggu kaum pemodal. Untuk itu perlu adanya proteksi yang kuat terhadap masyarakat awam. Selain perlunya proteksi juga diperlukan bimbingan dan pendampingan bagi kaum dhu’afa untuk belajar bangkit dari keterpurukan.sebagai insane yang beriman dan bertakwa segala urusan ynag telah dilakukan secara makasimal juga ikuti dengan penuh tawakkal (do’a) sepanjang waktu. Dengan demikian keinginan mewjudkan tatanan ekonomi yang Islami akan terwujud. Sehingga kehidupan menjadi terasa indah. Oleh karenanya tenggelam dalam belenggu sosialisme juga akan menjayebabkan malapetaka bagi kehudupan. Sebagaimana. dikatakan oleh Peter R. Berger bahwa sosialisme tidak hanya berkorelasi negative sangat tinggi terhadap demokrasi saja, melainkan juga berkorelasi dengan totalisme. (M. Dahlan: 2000, x).
102
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Islam dan Sosialisme (M. Nuruddin)
REFERENSI
John Esposito, ed (1995). “Socialism and Islam”. Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. vol. 4. Oxford University Press. M. Dahlan, Sosialisme Religius, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2000 M. Dawam Rahardja, Intelektual Intelegensi dan Perilaku Politik Bangsa, Mizan, Bandung, 1999 HOS. Cokroaminoto, Sosalisme Islam, Bulan Bintang, Jakarta, Hanna, Sami A.; George H. Gardner (1969). Arab Socialism: A Documentary
Survey. Leiden: E.J. Brill. p. 273 http://books.google.com/books?id. Sosialisme Arab: A Documentary Survey. Leiden: E.J. Brill. hal 273.
Ackelsberg, Martha A. (2005). Free Women of Spain: Anarchism and the Struggle for the Emancipation of Women. AK Press, hal.41 Rocker, Rudolf Anarcho-Syndicalism: Theory and Practice. AK Press, (2004). . Sims, Franwa (2006). The Anacostia Diaries As It Is. Lulu Press, Jeffery Ian. ‘Controlling State Crime’ Transaction Publishers (200) hal.400 Bottom of Form “http://id.wikipedia.org/wiki/Sosialisme” Shariati, Ali (in Shariati and Marx: A Critique of an “Islamic” Critique of Marxism by Assef Bayat). ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
103
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
----------, Tugas Cendekiawan Muslim, terj,. Srigunting, Jakarta, 1995. M. Chengappa, Bidanda Pakistan: Impact of Islamic Socialism, Senior Research Fellow, IDSA: A Monthly Journal of the IDSA JanMar 2002
104
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
MEMBANGUN SISTEM DISTRIBUSI PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
Oleh: Anita Rahmawaty Dosen Program Studi Ekonomi Islam STAIN Kudus
Abstract Distribution is one of human economic activity. As one economic activity, the distribution becomes important in the study area of the economy. Studies on the distribution of the positions of the theory of Islamic economics because the economic problems it is actually located on the distribution of goods and services in order to meet human needs, so the study was always draws attention to the Islamic economic thinkers as well as conventional economics today. Reality in society today shows that many of the injustice, inequality and distortion distribution of goods and services that result in scarcity, and the impact on prices of goods on the market. Looking at the above phenomena, this paper examine, and analyze the various problems distribution that many irregularities occurred in Indonesia, and at the end of this paper offers a distribution system in the economic perspective of Islam as the solution to the Islamic economy toward justice and prosperity. Keywords: Sistem distribusi, Perspektif Ekonomi Islam.
A. Pendahuluan Islam sebagai agama rahmah lil ’alamin mencakup ajaran-ajaran yang bersifat manusiawi dan universal, yang dapat menyelamatkan manusia dan alam semesta dari kehancuran. Karena itu, Islam menawarkan nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan hidup yang bersifat manusiawi dan universal itu kepada dunia modern dan diharapkan mampu memberikan alternatif-alternatif pemecahan terhadap berbagai problematika hidup manusia. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
105
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Salah satu ajaran penting dalam Islam adalah adanya tuntunan agar manusia berupaya menjalani hidup secara seimbang, memperhatikan kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Sebagai prasyarat kesejahteraan hidup di dunia adalah bagaimana sumber-sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan secara maksimal dan benar dalam kerangka Islam. Di sini, al-Qur’an turut memberikan landasan bagi perekonomian umat manusia. Distribusi merupakan salah satu aktivitas perekonomian manusia, di samping produksi dan konsumsi. Dorongan al-Qur’an pada sektor distribusi telah dijelaskan secara eksplisit. Ajaran Islam menuntun kepada manusia untuk menyebarkan hartanya agar kekayaan tidak menumpuk pada segolongan kecil masyarakat saja. Pendistribusian harta yang tidak adil dan merata akan membuat orang yang kaya bertambah kaya dan yang miskin semakin miskin. Sebagai salah satu aktivitas perekonomian, distribusi menjadi bidang kajian terpenting dalam perekonomian. Distribusi menjadi posisi penting dari teori mikro Islam sebab pembahasan dalam bidang distribusi ini tidak berkaitan dengan aspek ekonomi belaka tetapi juga aspek sosial dan politik sehingga menjadi perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini (Sudarsono, 2002: 216). Pada saat ini, realitas yang nampak dalam masyarakat adalah banyak terjadi ketidakadilan, ketimpangan dan penyimpangan distribusi barang dan jasa yang mengakibatkan kelangkaan, dan akhirnya berdampak pada kenaikan harga barang di pasaran. Masih segar dalam ingatan kita beberapa kasus penyimpangan distribusi, seperti kelangkaan minyak tanah di beberapa provinsi, termasuk Jakarta, ternyata disinyalir sebagai akibat terjadinya penyimpangan distribusi. Banyak data menunjukkan bahwa minyak tanah bersubsidi yang seharusnya disalurkan untuk masyarakat menengah ke bawah sebagian dibelokkan atau dijual ke industri (http://fpks-dpr.0r. id), melambungnya harga minyak tanah di Palembang (http:// www.tempointeraktif.com), penyimpangan distribusi bahan bakar minyak (BBM) di Purwokerto (http://www.suaramerdeka.com), kelangkaan pupuk bersubsidi di sejumlah daerah di Kab. Ciamis sehingga mengakibatkan harga pupuk di pasaran naik (http://www. pikiranrakyat.com), kelangkaan pupuk di Kab. Malang yang terjadi 106
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Membangun Sistem Distribusi Perspektif Ekonomi Islam (Anita Rahmawaty)
karena penyimpangan distribusi, disinyalir pupuk bersubsidi masuk ke tambak, perkebunan besar dan industri (http://www.tempointeraktif. com), penyimpangan distribusi pupuk di Kaltim (http:www.pusri. co.id), penyimpangan distribusi Raskin yang mengakibatkan warga kekurangan pangan dan kelaparan (http://fpls-dpr.or.id), dan sederetan kasus-kasus penyimpangan distribusi lainnya. Realitas-realitas di atas menunjukkan bahwa penyimpangan distribusi minyak tanah, pupuk, beras, dan yang lainnya berdampak pada langkanya barang-barang produksi sehingga harga barang di pasaran melambung tinggi, bahkan banyak juga warga masyarakat yang kekurangan pangan dan kelaparan. Berangkat dari dasar pemikiran dan realitas tersebut di atas, Islam sebagai agama yang rahmah lil ’alamin diharapkan mampu memberikan alternatif-alternatif pemecahan terhadap problem ekonomi umat. Makalah ini memfokuskan pembahasan pada perbincangan isu-isu penyimpangan distribusi di Indonesia, kritik terhadap distribusi dalam ekonomi kapitalis serta diakhiri dengan tawaran sistem distribusi dalam ekonomi Islam sebagai solusi menuju keadilan dan kesejahteraan masyarakat. B. Membincang Isu-Isu Penyimpangan Distribusi di Indonesia Fenomena-fenomena ekonomi mengenai penyimpangan distribusi barang, baik minyak tanah, pupuk dan beras yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi dan kebijakan ekonomi yang diterapkan di Indonesia. Sistem ekonomi Indonesia saat ini masih didominasi oleh sistem ekonomi pasar, meskipun dalam perkembangannya muncullah wacana pemikiran tentang Konsep Ekonomi Pasar Terkelola (KEPT) (Rahardja dan Manurung, 2005: 407). Sistem ekonomi pasar ini menekankan untuk tidak menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Pendukung doktrin ekonomi pasar bebas atau dikenal dengan istilah ”Laissez-faire”. ”Laissez-faire” adalah sebuah frase bahasa Perancis yang berarti ”biarkan terjadi”. Istilah ini berasal dari diksi Perancis yang digunakan pertama kali oleh para psiokrat di abad keADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
107
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
18 sebagai bentuk perlawanan terhadap intervensi pemerintah dalam perdagangan (Chapra, 2001: 22). Pandangan ini berpendapat bahwa pemanfaatan terhadap sumber-sumber ekonomi yang terbatas akan mencapai tingkat efisiensi yang tinggi, dan pada gilirannya akan mendorong tercapainya pemerataan dan kesejahteraan bersama apabila pemerintah tidak campur tangan secara langsung dalam perekonomian (Jusmaliani, dkk, 2005: 34). Dalam pandangan ”laissez-faire”, kewajiban negara bukanlah melakukan intervensi untuk menstabilkan distribusi kekayaan atau untuk menjadikan sebuah negara makmur untuk melindungi rakyatnya dari kemiskinan, melainkan masalah ekonomi hendaknya sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar. Dasar filosofis pemikiran ekonomi pasar (kapitalis) bersumber dari karya monumental Adam Smith pada tahun 1776 dalam bukunya yang berjudul An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations yang merumuskan bahwa alam semesta berjalan serba teratur, sistem ekonomi-pun akan mampu memulihkan dirinya sendiri (self adjustment) karena ada kekuatan pengatur yang disebut sebagai invisible hands (tangan gaib) (Jusmaliani, dkk, 2005: 38). Dalam bahasa sederhana, invisible hands tersebut adalah mekanisme pasar, yaitu mekanisme alokasi sumber daya ekonomi berlandaskan interaksi kekuatan permintaan dan penawaran. Pemikiran Adam Smith ini terbentuk atas kritiknya terhadap konsep Merkantilisme, yang menjadi sistem dominan di Britania Raya, Spanyol, Perancis dan negara Eropa lainnya pada masa kejayaannya. Dari dasar filosofi tersebut, kemudian menjadi sistem ekonomi dan pada akhirnya mengakar menjadi ideologi yang mencerminkan suatu gaya hidup (way of life). Landasan atau sistem nilai (value based) yang membentuk kapitalisme adalah paham materialisme-hedonisme dan sekulerisme. Paham materialisme-hedonisme cenderung berpandangan parsial tentang kehidupan dengan anggapan bahwa materi adalah segalanya. Paham materialisme ini telah membawa orientasi hidup kebanyakan manusia lebih kepada kekayaan, kesenangan, dan kenikmatan fisik semata sehingga mengabaikan dimensi spiritual. Sedangkan paham sekulerisme berusaha memisahkan antara agama dan ilmu pengetahuan, bahkan cenderung mengabaikan dimensi normatif atau moral. Implikasi selanjutnya, paham ini menempatkan manusia sebagai pusat dari segala hal kehidupan (antrophosentris) yaitu manusialah 108
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Membangun Sistem Distribusi Perspektif Ekonomi Islam (Anita Rahmawaty)
yang berhak menentukan kehidupannya sendiri (Anto, 2003: 358359). Kedua nilai dasar ini telah menjadi bingkai bagi pembentukan pandangan dunia (world view) ekonomi kapitalis. Dengan demikian, segala aturan kehidupan masyarakat, termasuk di bidang ekonomi, tidaklah diambil dari agama, tetapi sepenuhnya diserahkan kepada manusia, apa yang dipandang memberikan manfaat. Dengan asas manfaat ini, yang baik adalah yang memberikan kemanfaatan material sebesar-besarnya kepada manusia dan yang buruk adalah yang sebaliknya. Sehingga kebahagiaan di dunia ini tidak lain adalah terpenuhinya segala kebutuhan yang bersifat materi, baik itu materi yang dapat diindera dan dirasakan (barang) maupun yang tidak dapat diindera tetapi dapat dirasakan (jasa). Oleh karena itu, tidaklah mengherankan, jika penyimpangan distribusi banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Menurut analisis penulis, terdapat beberapa faktor penyebabnya diantaranya adalah: Pertama, penyimpangan moral (moral hazard) para pelaku ekonomi disebabkan oleh sistem nilai (value based) yang membentuk perilaku pelaku ekonomi pasar (kapitalis) adalah paham materialismehedonisme dan sekulerisme. Kedua paham ini telah membawa orientasi hidup kebanyakan manusia cenderung kepada kekayaan, kesenangan, dan kenikmatan fisik semata, sehingga mengabaikan dimensi spiritual. Pandangan inilah yang selanjutnya memunculkan perilaku-perilaku menyimpang, seperti perilaku tadlis (penipuan), baik penipuan terhadap jumlah barang (quantity), mutu barang (quality), harga barang (price) dan waktu penyerahan barang, taghrir (kerancuan, ketidakjelasan), dan ihtikar (penimbunan) barang, Kedua, peran pemerintah dalam intervensi kegiatan ekonomi, khususnya dalam distribusi barang dan jasa masih sangat kurang. Ketiga, kurang maksimalnya wewenang dan fungsi dari pengawasan distribusi barang, seperti contoh Pertamina hanya memiliki wewenang mengawasi jalannya distribusi hingga ke depot minyak tanah, sedangkan selebihnya mulai dari depot ke agen, pangkalan hingga ke pengecer bukan menjadi tanggung jawab Pertamina. Dan keempat, belum maksimalnya upaya penegakan hukum terhadap para pelaku penyimpangan distribusi barang dan jasa. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
109
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
C. Kritik Terhadap Distribusi dalam Ekonomi Kapitalis Sistem distribusi ekonomi di Indonesia masih mengandung beberapa kelemahan. Hal ini disebabkan dominasi sistem ekonomi pasar (kapitalis) yang cenderung memiliki kelemahan, diantaranya ketidakmerataan dan ketimpangan sosial, timbul ketidakselarasan, maksimasi profit, materialistis, krisis moral dan mengesampingkan kesejahteraan (Sudarsono, 2002: 84-86). Kecenderungan ekonomi pasar sebagaimana dikemukakan di atas menyebabkan keadilan sebagai tujuan ekonomi Islami tidak mungkin dapat dicapai. Berkaitan dengan masalah distribusi, sistem ekonomi pasar (kapitalis) menggunakan asas bahwa penyelesaian kemiskinan dalam suatu negara dengan cara meningkatkan produksi dalam negeri dan memberikan kebebasan bagi penduduk untuk mengambil hasil produksi (kekayaan) sebanyak yang mereka produksi untuk negara. Dengan terpecahkannya kemiskinan dalam negeri, maka terpecah pula masalah kemiskinan individu sebab perhatian mereka pada produksi yang dapat memecah masalah kemiskinan mereka. Maka solusi yang terbaik untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat adalah meningkatkan produksi (www.MSI-UII.net). Dengan demikian, ekonomi hanya difokuskan pada penyediaan alat untuk memuaskan kebutuhan masyarakat secara makro dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income), sebab dengan banyaknya pendapatan nasional, maka seketika itu terjadilah pendistribusian pendapatan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat, sehingga setiap individu dibiarkan bebas memperoleh kakayaan sejumlah yang dia mampu sesuai dengan faktor-faktor produksi yang dimilikinya. Asas distribusi yang diterapkan oleh sistem ekonomi pasar (kapitalis) ini pada akhirnya berdampak pada realita bahwa yang menjadi penguasa sebenarnya adalah para kapitalis (pemilik modal dan konglomerat). Oleh karena itu, hal yang wajar, jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu berpihak kepada para pemilik modal atau konglomerat dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat, sehingga terjadilah ketimpangan (ketidakadilan) pendistribusian pendapatan dan kakayaan (www.MSI-UII.net). 110
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Membangun Sistem Distribusi Perspektif Ekonomi Islam (Anita Rahmawaty)
Secara umum, kritik mendasar terhadap pasar bebas dalam kapitalisme adalah pada konsep kebebasan pasar yang benar-benar terlampau bebas. Kebebasan ini telah melahirkan apa yang disebut sebagai ”Darwinisme sosial” dalam aspek alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi. Pasar telah menciptakan sebuah sistem seleksi kehidupan yang hanya berpihak pada golongan masyarakat yang berdaya beli, sehingga tidak ada tempat bagi masyarakat miskin. Pasar akan menutup mata terhadap kemiskinan dan pengangguran, sambil menawarkan rasionalitas baru yang tidak mempersulit dirinya terhadap moralitas atau pertimbangan pemerataan. Akhirnya, masyarakat miskin akan terpinggirkan dan semakin miskin. Kemiskinan dianggap sebagai konsekwensi logis dan alamiah – karena harus diterima (given) – dari sebuah persaingan. Bahkan kemiskinan tidak hanya dianggap sebagai konsekwensi logis kekalahan dalam persaingan ekonomi, tetapi juga divonis karena sikap malas dan bodoh semata dari orang miskin sehingga tidak bisa bersaing. Usaha produktif dan kerja keras masyarakat miskin tidak diberi penghargaan yang selayaknya, karena tidak didukung oleh kapital yang memadai. Kemiskinan terjadi karena sebuah vicious cyrcle yang seolah benar-benar tidak bisa diinterupsi atau diputus sehingga harus diterima apa adanya. Pada akhirnya, kemiskinan dianggap bukan masalah ekonomi tetapi merupakan masalah sosial dan agama yang diselesaikan dengan banyak sedekah (Anto, 2003: 317). Dalam sistem ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national income) adalah teori yang tidak dapat dibenarkan dan bahkan kemiskinan menjadi salah satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi kekayaan secara tidak adil. Fakta empirik menunjukkan bahwa bukan karena tidak ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya distribusi makanan. Ketidakadilan tersebut juga tergambar dalam pemanfaatan kemajuan teknik yang dicapai oleh ilmu pengetahuan hanya bisa dinikmati oleh masyarakat yang relatif kaya, yang pendapatannya melebihi batas pendapatan untuk hidup sehari-hari, sedangkan mereka yang hidup sekedar cukup untuk makan sehari-hari terpaksa harus tetap menderita kemiskinan abadi (www.MSI-UII.net). ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
111
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Kritik konstruktif di atas menghantarkan kita kepada pemikiran untuk membangun sistem distribusi perspektif ekonomi Islam yang diharapkan akan mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat, baik di dunia dan akhirat. D. Sistem Distribusi dalam Ekonomi Islam: Solusi menuju Keadilan Distribusi Ekonomi Islam dibangun atas dasar agama Islam, karenanya ia merupakan bagian integral dari agama Islam. Berbeda dengan ilmu ekonomi kapitalis, ilmu ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk mengalokasikan dan mengelola sumber daya untuk mencapai falah berdasarkan pada prinsip-prinsip dan nilai-nilai al-Qur’an dan as-Sunnah (P3EI UII dan BI, 2008: 19). Dengan demikian, sangat jelas bahwa ekonomi Islam terkait dan memiliki hubungan yang erat dengan agama, yang membedakannya dari sistem ekonomi kapitalis. Ekonomi Islam mempelajari perilaku individu yang dituntun oleh ajaran Islam, mulai dari penentuan tujuan hidup, cara memandang dan menganalisis masalah ekonomi, serta prinsip-prinsip dan nilainilai yang harus dipegang untuk mencapai tujuan tersebut. Berbeda dengan ekonomi Islam, ekonomi konvensional lebih menekankan pada analisis terhadap masalah ekonomi dan alternatif solusinya. Dalam pandangan ini, tujuan ekonomi dan nilai-nilai dianggap sebagai hal yang sudah tetap (given) atau di luar bidang ilmu ekonomi. Dengan kata lain, ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi konvensional tidak hanya dalam aspek cara penyelesaian masalah, namun juga dalam aspek cara memandang dan manganalisis terhadap masalah ekonomi (P3EI UII dan BI, 2008: 19). Ilmu ekonomi Islam berkembang secara bertahap sebagai suatu bidang ilmu interdisipliner yang menjadi bahan kajian para fuqaha, mufassir, sosiolog dan politikus, diantaranya Abu Yusuf, Abu Ubaid, al-Mawardi, al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun, dan lainnya. Konsep ekonomi para cendikiawan muslim tersebut berakar pada hukum Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnnah, sehingga ia sebagai hasil interpretasi dari berbagai ajaran Islam yang bersifat abadi dan universal, mengandung sejumlah perintah serta mendorong umatnya untuk mempergunakan kekuatan akal pikirannya (Karim, 2006: VIII). 112
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Membangun Sistem Distribusi Perspektif Ekonomi Islam (Anita Rahmawaty)
Islam memandang bahwa pemahaman materi adalah segalanya bagi kehidupan adalah merupakan pemahaman yang keliru, sebab manusia selain memiliki dimensi material juga memiliki dimensi non material (spiritual). Dalam ekonomi Islam, kedua dimensi tersebut (material dan spiritual) termasuk didalamnya, sebagaimana tercermin dari nilai dasar (value based) yang terangkum dalam empat aksioma sebagaimana dikemukakan oleh Naqvi (2003: 37), yaitu kesatuan/ Tauhid (unity), keseimbangan (equilibrium), kehendak bebas (free will) dan tanggung jawab (responsibility). Pertama, penekanan Islam terhadap kesatuan/tauhid (unity) merupakan dimensi vertikal yang menunjukkan bahwa petunjuk (hidayah) yang benar berasal dari Allah SWT. Hal ini dapat menjadi pendorong bagi integrasi sosial, karena semua manusia dipandang sama dihadapan Allah SWT. Manusia juga merdeka karena tidak seorangpun berhak memperbudak sesamanya. Kepercayaan ini diyakini seluruh umat Islam, sehingga dapat mendorong manusia dengan sukarela melakukan tindakan sosial yang bermanfaat. Kedua, dimensi horisontal Islam yaitu keseimbangan (equilibrium) yang menuntut terwujudnya keseimbangan masyarakat, yaitu adanya kesejajaran atau kesimbangan yang merangkum sebagian besar ajaran etik Islam, diantaranya adalah pemerataan kekayaan dan pendapatan, keharusan membantu orang yang miskin dan membutuhkan, keharusan membuat penyesuaian dalam spektrum hubungan distribusi, produksi dan konsumsi, dan sebagainya. Prinsip ini menghendaki jalan lurus dengan menciptakan tatanan sosial yang menghindari perilaku ekstrimitas. Ketiga, kebebasan (free will) yaitu kebebasan yang dibingkai dengan tauhid, artinya manusia bebas tidak sebebas-bebasnya tetapi terikat dengan batasan-batasan yang diberikan Allah. Kebebasan manusia untuk menentukan sikap -baik dan jahat- bersumber dari posisi manusia sebagai wakil (khalifah) Allah di bumi dan posisinya sebagai makhluk yang dianugerahi kehendak bebas. Namun demikian agar dapat terarah dan bermanfaat untuk tujuan sosial dalam kebebasan yang dianugerahkan Allah tersebut, ditanamkan melalui aksioma keempat yaitu tanggung jawab (responsibility) sebagai komitmen mutlak terhadap upaya peningkatan kesejahteraan sesama manusia. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
113
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Berkenaan dengan teori distribusi dalam sistem ekonomi pasar (kapitalis) dilakukan dengan cara memberikan kebebasan memiliki dan kebebasan berusaha bagi semua individu masyarakat, sehingga setiap individu masyarakat bebas memperoleh kekayaan sejumlah yang ia mampu dan sesuai dengan faktor produksi yang dimilikinya dengan tidak memperhatikan apakah pendistribusian tersebut adil dan merata dirasakan oleh semua individu masyarakat atau hanya dirasakan segelintir orang saja. Teori yang diterapkan sistem ekonomi pasar (kapitalis) ini termasuk dzalim dalam pandangan ekonomi Islam sebab teori ini berimplikasi pada penumpukan harta kekayaan pada sebagian kecil pihak saja. Hal ini berbeda dengan sistem ekonomi Islam, yang sangat melindungi kepentingan setiap warganya, baik yang kaya maupun yang miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Sistem ekonomi Islam menghendaki bahwa dalam hal penditribusian harus didasarkan pada dua sendi, yaitu kebebasan dan keadilan (Qardhawi, 1997: 201). Kebebasan di sini adalah kebebasan yang dibingkai oleh nilainilai tauhid dan keadilan, tidak seperti pemahaman kaum kapitalis, yang menyatakannya sebagai tindakan membebaskan manusia untuk berbuat dan bertindak tanpa campur tangan pihak mana pun, tetapi sebagai keseimbangan antara individu dengan unsur materi dan spiritual yang dimilikinya, keseimbangan antara individu dan masyarakat serta antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Sedangkan keadilan dalam pendistribusian ini tercermin dari larangan dalam al-Qur’an (al-Hasyr: 7) agar supaya harta kekayaan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja, tetapi diharapkan dapat memberi kontribusi kepada kesejahteraan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dalam al-Qur’an disebutkan keadilan adalah tujuan universal yang ingin dicapai dalam keseimbangan yang sempurna (perfect equilibrium). Pengertian lain disampaikan oleh al-Farabi dalam Jusmalinai, dkk (2005: 98) yang menyatakan bahwa keadilan adalah sama dengan keseimbangan. Dalam tafsir al-Qur’an, perintah adil adalah perintah yang paling dianjurkan dan harus diterapkan dalam keseluruhan aspek kehidupan. Sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ar-Rahman (55): 7-9 yang menekankan tentang keadilan di bidang 114
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Membangun Sistem Distribusi Perspektif Ekonomi Islam (Anita Rahmawaty)
ekonomi. Lebih lanjut nash al-Qur’an (QS. Al-Hujurat (49), atTaubah (9), al-Mumtahanah (60): 8, al-Maidah (5): 42, al-Fajr (89): 20 menjelaskan pentingnya keadilan sosial yang tidak hanya mencakup keadilan dalam membagi kekayaan individu melainkan juga kekayaan negara, memberikan kepada pekerja upah yang sesuai dengan jerih payahnya. Keadilan sosial juga berarti mempersempit jurang pemisah antara individu maupun golongan satu sama lain, dengan membatasi keserakahan orang-orang kaya di satu sisi dan meningkatkan taraf hidup orang-orang fakir miskin di sisi lain (Jusmaliani, dkk, 2005: 99100). Dengan demikian, sistem distribusi dalam pandangan ekonomi Islam harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam, diantaranya adalah kebebasan individu, adanya jaminan sosial, larangan menumpuk harta dan distribusi kekayaan yang adil. Upaya untuk merealisasikan kesejahteraan dan keadilan distribusi tidak dapat bertumpu pada mekanisme pasar saja. Karena mekanisme pasar yang mendasarkan pada sistem harga atas dasar hukum permintaan dan penawaran tidak dapat menyelesaikan dengan baik penyediaan barang publik, eksternalitas, keadilan, pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan. Dalam realitas, pasar juga tidak dapat beroperasi secara optimal karena tidak terpenuhinya syaratsyarat pasar yang kompetitif, seperti informasi asimetri, hambatan perdagangan, monopoli, penyimpangan distribusi, dan lain-lain. Untuk itu, diperlukan adanya peran pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama mewujudkan kesejahteraan (P3EI UII dan BI, 2008: 83). Pemerintah berperan secara aktif dalam sistem distribusi ekonomi di dalam mekanisme pasar Islami yang bukan hanya bersifat temporer dan minor, tetapi pemerintah mengambil peran yang besar dan penting. Pemerintah bukan hanya bertindak sebagai ’wasit’ atas permainan pasar (al-muhtasib) saja, tetapi ia akan berperan aktif bersama-sama pelaku-pelaku pasar yang lain. Pemerintah akan bertindak sebagai perencana, pengawas, produsen sekaligus konsumen bagi aktivitas pasar. Mekanisme sistem distribusi ekonomi Islam dapat dibagi menjadi dua (2) yaitu mekanisme ekonomi dan mekanisme nonekonomi. Mekanisme ekonomi meliputi aktivitas ekonomi yang ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
115
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta dalam akad-akad mu’amalah, seperti membuka kesempatan seluasluasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan individu dan pengembangan harta melalui investasi, larangan menimbun harta, mengatasi peredaran dan pemusatan kekayaan di segelintir golongan, larangan kegiatan monopoli, dan berbagai penipuan dan larangan judi, riba, korupsi dan pemberian suap (http://www.khilafah1924.org). Pemerintah berperan dalam mekanisme ekonomi, yang secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu pertama, peran yang berkaitan dengan implementasi nilai dan moral Islam; kedua, peran yang berkaitan dengan teknis operasional mekanisme pasar; dan ketiga, peran yang berkaitan dengan kegagalan pasar (P3EI UII dan BI, 2008: 84). Ketiga peran ini diharapkan akan mampu mengatasi berbagai persoalan ekonomi karena posisi pemerintah tidak hanya sekedar sebagai perangkat ekonomi, tetapi juga memiliki fungsi religius dan sosial. Sedangkan mekanisme non-ekonomi adalah mekanisme yang tidak melalui aktivitas ekonomi produktif melainkan melalui aktivitas non-produktif, seperti pemberian hibah, shodaqoh, zakat dan warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi, yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna, jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata (http://www.khilafah1924.org). Mekanisme non-ekonomi diperlukan, baik disebabkan adanya faktor penyebab yang alamiah maupun non-alamiah. Faktor penyebab alamiah, seperti keadaan alam yang tandus atau terjadinya musibah bencana alam. Semua ini akan dapat menimbulkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memiliki keadaan tersebut. Dengan mekanisme ekonomi biasa, distribusi kekayaan tidak dapat berjalan karena orang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti kompetisi kegiatan ekonomi secara normal, sebagaimana orang lain. Jika hal ini dibiarkan saja, orang-orang yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya) makin terpinggirkan secara ekonomi dan rentan terhadap perubahan ekonomi, yang selanjutnya dapat memicu munculnya problema sosial, seperti kriminalitas (pencurian, perampokan), tindakan asusila (pelacuran) dan sebagainya (http://www.khilafah1924.org). 116
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Membangun Sistem Distribusi Perspektif Ekonomi Islam (Anita Rahmawaty)
Mekanisme non-ekonomi juga diperlukan karena adanya faktor penyebab non-alamiah, seperti adanya penyimpangan mekanisme ekonomi. Penyimpangan mekanisme ekonomi, seperti monopoli, penyimpangan distribusi, penimbunan, dan sebagainya dapat menimbulkan ketimpangan distribusi kekayaan. Untuk itu, diperlukan peran pemerintah untuk mengatasi berbagai permasalahan ekonomi ini (http://www.khilafah1924.org ). Bentuk-bentuk pendistribusian harta dengan mekanisme nonekonomi ini antara lain adalah: 1. Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan. 2. Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik. 3. Pemberian infaq, shadaqoh, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan. 4. Pembagian harta waris kepada ahli waris, dan lain-lain. Dengan adanya pendistribusian harta dengan mekanisme nonekonomi melalui aktivitas pemberian zakat, infaq, hibah, wakaf dan shadaqoh, maka diharapkan akan dapat menjembatani kesenjangan distribusi pendapatan antara ”the have” dan ”the have not”. E. Penutup Fenomena penyimpangan distribusi barang, baik minyak tanah, pupuk dan beras yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi dan kebijakan ekonomi yang diterapkan di Indonesia, yang saat ini masih didominasi oleh sistem ekonomi pasar (kapitalis). Sistem pendistribusian dalam sistem ekonomi kapitalis ini ternyata menimbulkan ketidakadilan dan ketimpangan pendapatan dalam masyarakat serta menciptakan kemiskinan ’permanen’ bagi masyarakat sebab sistem ini berimplikasi pada penumpukan harta kekayaan pada sebagian kecil pihak saja. Sistem ekonomi Islam menawarkan sistem penditribusian ekonomi yang mengedepankan nilai kebebasan dalam bertindak dan berbuat dengan dilandasi oleh ajaran agama serta nilai keadilan dalam kepemilikan yang disandarkan pada dua sendi, yaitu kebebasan dan keadilan. Sistem distribusi ini menawarkan mekanisme dalam sistem ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
117
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
distribusi ekonomi Islam, yaitu mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi, dengan melibatkan adanya peran pemerintah dalam aktivitas ekonomi produktif dan non-produktif, sehingga dapat mewujudkan keadilan distribusi.
118
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Membangun Sistem Distribusi Perspektif Ekonomi Islam (Anita Rahmawaty)
DAFTAR PUSTAKA
Anto, Hendrie, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2003. Chapra, M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi Islam: Sebuah Tinjauan Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Fraksi PKS Online ,”Kelaparan Bisa Disebabkan Penyimpangan Distribusi Raskin”, didownload dari http://fpks-dpr.or.id/ new/main.php? op=isi&id=1925 -----------, ”Penyimpangan Distribusi Jadi Faktor Utama”, didownload dari http://fpks-dpr.or.id/new/main.php?op=isi&id=2413. Hoetoro, Arif, Ekonomi Islam, Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi, Malang: BPFE Unibraw, 2007. id.html. al-Jawi, Muhammad Shiddiq,”Asas-Asas Sistem Ekonomi Islam”, didownload dari http://www.khilafah1924.org Jusmaliani, dkk., Kebijakan Ekonomi dalam Islam, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005. Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIT Indonesia, 2002. ------------, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006. Mannan, MA, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1997. Naqvi, Syed Nawab Haider, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia (P3EI UII) dan Bank Indonesia, Ekonomi Iskam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
119
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Pikiran Rakyat, ”Distribusi Pupuk Bersubsidi Diduga menyimpang”, didownload dari http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2006/ 052006/04/0310.htm PT.
Pupuk Sriwidjaya, “Penyimpangan Distribusi Pupuk Diusut”,didownload dari http://www.pusri.co.id/index. php?option=com_content&task=view&id=83&Itemid=2
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung, Teori Ekonomi Makro Suatu Pengantar, Jakarta: LPFEUI, 2005. Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995. Sidiq, Sofyan Kabul, ”Distribusi dalam Ekonomi Islam (Sebuah Kritik Terhadap Ekonomi Kapitalis)”, didownload dari MSI-UII. Net. Suara Merdeka, “11 Orang jadi Tersangka Distribusi Minyak Tanah”, didownload dari http://www.suaramerdeka.com/harian/0509/ 18/nas02.htm. Sudarsono, Heri, Konsep Ekonomi Islam, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2002. Suprayitno, Eko, Ekonomi Islam, Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 2005. Tempo Interaktif, ”Anton: Pupuk Langka Karena Penyimpangan Distribusi” didownload dari http://www.tempointeraktif. com/hg/ekbis/2006/04/07/ brk, 20060407-75941,id.html. -----------, “Presiden Minta Perketat Pengawasan Distribusi Minyak Tanah” didownload dari http://www.tempointeraktif.com/ hg/ekbis/2004/04/05/ brk, 20040405-29,
120
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
EKONOMI ISLAM DAN HEGEMONI KAPITALISME GLOBAL
Oleh: Muh. Mustaqim
Abstrak Dominasi kapitalisme global sebagai ideologi dunia menjadi sebuah sistem ekonomi dunia yang kuat. Namun, dibalik kekokohan sistem tersebut, terdapat anomali dan ketimpangan bagi masyarakat. Hegemoni kapitalisme yang ditancapkan pada Negara dunia ketiga menjadi fenomena riil yang melahirkan penindasan tersistem. Hegemoni tersebut harus dilawan dengan konter hegemoni, sebagai paradigma tandingan – sekaligus penggeser – bagi hegemoni kapitalis Di sini ekonomi Islam diharapkan mampu menjadi konter hegemoni dan paradigma penggeser bagi dominasi kuat kapitalisme global. Melalui prinsip-prinsip yang universal daan humanis, ekonomi islam menjadi alternative atas keangkuhan kapitalisme global. Kata kunci: Hegemoni, kapitalisme global dan ekonomi Islam
A. Pendahuluan Saat ini, kita sedang memasuki sebuah babak baru formasi sosial dunia. Babak tersebut adalah sebuah era dimana pasar menjadi sentral penentu nasib manusia. Negara yang selama ini diyakini sebagai institusi dimana manusia mampu berdaulat dan melindungi anggotanya, dibuat tidak berdaya dan diam seribu bahasa. Babak baru ini sering disebut dengan era globalisasi, dimana batas Negara-bangsa digeser sehingga menjadi sebuah desa besar ( the large village), tanpa ada sekat yang membatasi. Adalah Francis Fukuyama, seorang sejarawan dan futurolog Jepang yang meramalkan bahwa pasca perang dingin antara Blok Barat ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
121
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
yang dikomandoi Amerika Serikat dan Blok Timur yang dinahkodai Uni Soviet, kapitalisme-liberar terbukti mampu mengalahkan sosialisme komunis. Dengan demikian, akan terjadi apa yang disebut sebagai the end of ideology, berakhirnya sebuah ideology dunia. Dan kapitalisme liberal adalah ideology terakhir yang menjadi pemenang atas ideoilogi-ideologoi dunia yang lain. (Fukuyama, 1992:31). Bagi Fukuyama, kapitalisme adalah sebuah ideologi pemenang yang tanpa ada tanding. Sehingga, sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Margaret Tatcher, Perdana Menteri Inggris era 70-an, “There Is No Alternative”, tidak ada aternatif lain selain pilihan tunggal kapitalisme. Lain halnya dengan Samuel Huntington, yang menganggap akan ada babak baru dalam pertentangan ideology (baca: peradaban). Dalam bukunya The Clash of Civilization, Huntington meramalkan bahwa berakhirnya perang dingin, akan ada peradaban-peradaban besar dunia yang saling berhadap-hadapan. Huntington mentesakan ada 7 peradaban dunia yang akan bersaing dalam membangun kekuasaan, yaitu barat WSAP, Congfucian, Jepang, Islam, Hindu, Slavia-Ortodoks dan Amerika Latin. Di antara tujuh peradaban besar dunia tersebut, dua peradaban besar akan saling berbenturan, yakni barat dan Islam. (Huntington, 2003: 9). Di sini, Islam di anggap sebagai peradaban yang akan bergesekan dengan Barat. Jika hal ini dihubungkan dengan tesis Fukuyama, maka barat- Kapitalisme yang telah memenangkan perang dingin, akan berhadap-hadapan dengan Islam yang saat ini sedang di abad kebangkitan. Mengikuti alur berfikir ini, maka Ekonomi Islam sebagai salah satu madzhab ekonomi menjadi alternative “tandingan baru” bagi kejayaaan kapitalisme Barat tersebut. Dengan kata lain, Ekonomi Islam berpeluang untuk menandingi ideologi kapitalis yang telah dianggap sebagai pemenang. Mengingat, abad 21 ini merupakan abad bagi kebangkitan peradaban Islam, sebagaimana tesis Huntington tersebut. Ekonomi Islam, akan menemui metamorfosis diri yang lebih sempurna, sebagai tawaran system ekonomi kapitalis yang banyak melahirkan ketimpangan Sosial. B. Pembahasan 1. Sejarah Kapitalisme Global Globalisasi, pada dasarnya adalah proses sejarah dominasi dan eksploitasi manusia atas manusai yang lain (Mansour, 2003). 122
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Ekonomi Islam Dan Hegemoni Kapitalisme Global (Muh. Mustaqim)
Dan dalam sejarah manusia, proses dominasi ini telah ada lebih dari lima ratus tahun yang lalu. Dalam hal ini, proses tersebut dapat dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah periode kolonialisme. Tahap ini didasari oleh keterbatasan bahan baku industri di negeri sendiri, sehingga mengharuskan ekspansi ke negara lain. Inilah babak pertama penjajahan manusia secara fisik. Dan proses ini telah berlangsung selama berabad abad. Betapa masih ingat dalam benak kita bahwa negara kita pernah terjajah lebih dari tiga setengah abad. Sebuah kurun waktu yang sangat lama, sebanding dengan 6 turunan manusia. Periode ini berakhir pasca perang dunia II, di tandai dengan banyaknya revolusi negara–negara jajahan menuju kemerdekaan. Tahap kedua adalah neo kolonialisme, atau developmentalisme . Berakhirrnya Seteru perang dunia II, menandakan era baru formasi dunia. Tetapi itu bukan berarti era penjajahan telah selesai, melainkan penjajahan akan tetap ada, dengan menampilkan wajah manis dan berseri. Lepas dari mulut harimau, masuk mulut buaya, pepatah itu yang barangkali tepat untuk menggambarkan keadalan negara- negara yang baru merdeka. Karena pada fase ini, penjajahan secara fisik dan langsung memang sudah tidak ada - sebagaimana di tuangkan dalam declaration of human right, yang merupakan buatan negara-megara kolonial. Tetapi penjajhan kali ini lebih kepada penjajahan non fisik, khususnya penjajahan teori dan ideologi. Tahun 1944 dilaksanakan pertemuan di Bretton Woods, Amerika Serikat antara negara-negara Eropa dan Amerika. Hasil kesepakan ini – yang dikenal dengan kesepakatan Bretton woods – secara umum menghasilkan tiga organisasi internasional baru. Untuk mengatur sistem moneter internasional, di bentuklah IMF ( International Fund Monetary). Untuk mendanai proyek-proyek pembangunan negara dunia ketiga di bentuklah WB ( World Bank), dengan hidden agenda, menciptakan ketergantungan negara bekas jajahan. Sedangkan untuk mengadur lalu lintas perdagangan multilateral, dicanangkan GATT ( General Agreement on Tarrif and Trade). Semuanya bertujuan untuk mengendalikan arus ekonomui dunia untuk melakukan hegemoni terhadap dunia ketiga, dengan slogan Pembangunan. Doktrin Pembangunanisme pada era ini boleh jadi merupakan trend dunia yang tak terbantahkan. Di saat negara- negara yang baru merdeka memerlukan pembangunan yang intens, organisasi dunia ini ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
123
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
datang dengan menawarkan bantuan yang menggiurkan, meskipun sebenarnya sangat mematikan. Di indonesia sendiri, Pembanunan menjadi sebuah ideologi bangsa yang menghujam kuat di jiwa para birokrat, khususnya masa orde baru. Dengan dalih trickle down effec, efek menentes ke bawah, pembangunan seakan-akan satu-satunya jalan untuk dapat mensejahterakan masyarakat. Hal ini tidak lepas dari hegemoni teori barat yang di tancapkan ke negara dunia ketiga. Sebagai contoh, Rostow dengan teori pembangunannya yang terkenal dengan the five-stage scheme. Menurutnya semua masyarakat pada dasarnya merupakan masyarakat “tradisional”. Tradional dalam hal ini dianggapnya sebagai suatu masalah. Untuk itu, tradisional harus di rubah menuju modern. Untuk menuju ke masyarakat modern, development mutlak di perlukan. Sehingga, pembangunan merupakan prasarat me nuju masyarakat modern. Periode ketiga, era globalisasi yang terjadi menjelang abad kedua puluh satu. Era ini di tandai dengan proses liberalisasi di segala bidang. Liberalisasi ini sesungguhnya di paksakan melalui Structural Adjusment Program ( SAP), yakni persetujuan perdagangan yang di sepakati melalui lembaga dunia WTO ( World Trade Organization). Melalui WTO ini, arus perdagangan dunia dikendalikan oleh negaranegara kaya yang menanamkan modalnya di WTO. Dan ironisnya, mekanisme pengambilan keputusan WTO dilakukan melalui pengambilan suara anggota, yang didasarkan pada besarnya modal yang di tanamkan. 2. Anomali Kapitalisme Global Hari ini sistem sosial dunia sedang dibentuk dengan sebuah system global yang mampu merasuk ke ranah terkecil dalam masyarakat. Globalisasi, menawarkan berbagai macam kemudahan bagi masyarakat di belahan dunia manapun, sehingga setiap orang dalam arus bawah sadar akan mengikuti buaian globalisasi tersebut. System informasi dan komunikasi adalah lokomatif yang menarik “gerbong” kebutuhan masyarakat. Antony Gidden, pernah mengatakan bahwa globalisasi bukanlah apa yang ada dan terlihat di luar sana. Tapi globalisasi adalah apa yang mempengaruhi aspek kehiduan kita yang sangat 124
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Ekonomi Islam Dan Hegemoni Kapitalisme Global (Muh. Mustaqim)
intim dan pribadi sekalipun (Giddens, 2001:24). Nah inilah masa yang tak tertawar lagi, sehingga memaksa semua orang - termasuk Negarauntuk mengikutinya. Trend Globalisasi di tandai dengan tergesernya peran Negara yang selama ini berfungsi melindungi warganya. Adalah sebuah permakluman, jika Negara merupakan sebuah entitas, dimana orangper-orang berafiliasi di dalamnya untuk sebuah tujuan. Bahkan untuk tujuan bersama tersebut, Negara mempunyai kemampuan memaksa, anggotanya untuk mentaati apa yang menjadi konsensus bersama.dalam hal ini, Indonesia, sebuah Negara bangsa yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya, mempunyai tekad bersama untuk mampu mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahreraan rakyatnya. Namun “keperkasaan “ Negara sebagaimana yang selama ini ada, saat ini akan mengalami pergeseran yang cukup krusial. Oleh globalisasi, Negara mencoba dikebiri oleh sebuah pisau yang bernama pasar. Saat smua asset Negara diambil alih oleh pihak swasta inilah kredibilitas Negara dipertanyakan. Sayangnya, pihak swasta dalam hal ini bukanlah sebuah perusahaan yang dimiliki oleh warga negaranya. Namun dalam hal ini adalah perusahaan-perusahaan raksasa global, yang beroperasi di hampir seluruh penjuru dunia. Perusahaan tersebut adalah TNC (Trans National Corporation) atau MNC (Multi National Corporation). Perusahaan inilah yang mengambil alih secara diamdiam (silent take over) semua milik Negara. Inilah dunia baru yang segera – dan bahkan sudah – dimulai. Inilah dunia dimana kekayaan perusaaan menyerap habis kekayaan Negara. (Norena Herzt: 2005). 3. Globalisasi, Sebuah Hegemoni Jika kita disuruh memilih, antara hidup kaya atau miskin, sepertinya setiap orang aakn memilih untuk hidup kaya, mewah dan harta yang berlimpah. Pun demikian juga, kebanyakan orang akan memilih adanya kebebasan individu yang tak terbatas oleh aturan aturan yang menjerat. Kecenderungan inilah yang oleh Antonio gramsci disebut sebagai Hegemoni. Hegemoni merupakan upaya pemaksaan (coercion) suatu kelompok atas kelompok yang lain, dengan cara persetujuan kelompok tertindas melalui system yang ada. Dengan kata lain, hegemoni merupakan sebuah upaya penguasa ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
125
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
– global – untuk membentuk pikiran, pandangan paradigma dan prilaku masyarakat – dan Negara – yang dikuasai agar sesuai dengan yang dikehendakinya, demi kelangsungan kekuasaan. Di sini, kelompok dunia petama, dengan paradigma kapitalismenya mencoba menancapkan hegemoninya kepada Negara-negara dunia ketiga, yang merupakan Negara berkembang. Hegemoni dibentuk melalui pranata masyarakat dalam menciptakan persepsi tentang realitas sosial. Disini, hegemoni merupakan bentok control dan kekuasaan yang sangat penting dan efektif. Sehingga kekuasaan hegemonik merupakan kekuasaan melalui persetujuan, yang mencakup jenis penerimaan intelektual dan emosional atas tatanan sosioal-politik yang ada. Persetujan untuk menerima “paksaan” secara halus ini menunjukkan ungkapan intelektual dan moral massa untuk terikat pada ideology dan kepemimpinan politik, sebagai ungkapan keyakinan dan aspirasinya. Konsep pembangunan adalah bentuk riil dari upaya hegemoni dunia ketiga oleh kekuatan kapitalisme. Hampir setiap Negara dunia ketika percaya dan yakin bahwa dengan pembangunan, kesejahteraan masyarakat akan tercapai. Melalui doktrin modernisasi, pembangunan seakan –akan alternative tunggal dalam proses perkembangan sebuah Negara. Doktrin pertumbuhan Rosstow adalah bagian dari intelektual hegemoni ideologi developmentalisme. Dengan teori pertumbuhannya, pembangunan adalah prasyarat mutlak untuk merubah Negara yang tradisional menuju Negara modern dengan orientasi industrialisasi. Teori five-stage scheme (skema lima tahap) oleh WW Rostow disebar luaskan hampir ke seluruh negara dunia ketiga dan terbukti, semua Negara tersebut mengikuti – dan menikmati – upaya hegemoni tersebut. Dan Indonesia adalah salah satu Negara yang sangat enjoy dan bangga – dan berhasil – dalam konteks pembangunanisme. Era Orde baru menjadi saksi betapa pembangunan ekonomi, dengan logika tickle down effeck (dampak menetes ke bawah) menjadi persepsi peningkatan kesejahteraan masyarakat.Meskipun menjanjikan banyak kemanfaatan, namun ternyata pembangunaniime terbukti paradok dengan pencapai kesejahteraan masyarakat. Saat ini, bentuk hegemoni kuasa kapitalis mencapai relevansainya. Kemajuan sistem komunikasi dan informasi adalah 126
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Ekonomi Islam Dan Hegemoni Kapitalisme Global (Muh. Mustaqim)
senjata ampuh yang di jadikan gerbong upaya hegemoni tersebut. Dengan mengkampanyekan sarana komunikasi yang canggih, negara berkembang dipaksa untuk melakukan ketergantuangan kepada Negara-negara produksi. Emanuel Wellerstain dan teman-temannya di Fernan Broudell Center Binghamton University memperkenalkan sistem dunia persepektif wilayah kerja (international divicion of labour). Dalam hal ini, dunia dibagi menjadi tiga wilayah kerja, yaitu: petama, negara inti (Core), terdiri dari negara yang memiliki proses-proses produksi yang cangih, di daerah ini borjuis indigenous memiliki industri otonom yang memproduksi komoditas manufaktur untuk pasar dunia. Negara core pada umumnya adalah Northwest Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan Australia. Kedua negara pinggiran (Periferi), terdiri dari negara-negara yang memiliki proses produksi yang sederhana. Biasanya produk-produk negara periferi ikut menyumbang proses akumulasi kapital di negara-negara core karena dagang memerlukan pertukaran-pertukaran yang tidak seimbang. Kontrol buruh juga dijalankan dengan kekerasan, dengan struktur negara yang lemah. Ketiga, Semi Periferi, mempunyai kompleksitas kegiatan ekonomi, modus kontrol buruh, mesin negara yang kuat dan sebagainya. Fungsi politik periferi adalah sebagai buffer zone antara dua kekuatan yang saling berlawanan. Secara historis, semi periferi terdiri dari negara-negara yang sedang naik atau turun dalam system dunia. Hegemoni alat-alat produksi dalam hal ini dilakukan oleh negara core kepada negara-negara semi-periferi maupun periferi. Ketergantungan tehadap alat komunikasi dan informasi yang perkembangannya dalam hitungan detik ini menjadikan negara periferi maupun semi periferi, mau tidak mau berusaha mengikuti perkembangan pasar, dengan melakukan ikatan kerja dengan negara inti. Kalau sudah seperti ini, tak pelak terjadi sebuah ketergantungan, yang pada akhirnya mampu mempengaruhi kegiatan politik, ekonomi maupun budaya di negara baik periferi maupun semi periferi. Pasar bebas dalam hal ini menjadi pupuk subur proses hegemoni. Dengan doktrin persaingan sehat dan efisiensi, negara-negara miskin dan berkembang mencoba dihegemoni dengan berbagai barang yang murah dan berkualitas. Inilah peluang bagi Perusahaan global untuk menancapkan kuku hegemoninya dalam membentuk budaya dan pola hidup masyarakat. Dengan barang yang di ciptakan, ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
127
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
pola hidup masyarakat di bangun dengan perlahan. Pola konsumneris adalah bagian dari target proses hegemoni. Jika masyarakat sudah mempunyai pola konsumerisme, maka pengendalian melalui barangbarang kebutuhan atas kesadaran dan pola hidup menjadi efektif. Sampai sini peran negara kemudian turun pada derajat yang sangat rendah. Negara dibuat diam seribu bahasa atas pola liberalisasi pasar. Kuasa negara yang sebenarnya mempunya kekuatan memaksa mencoba digeser dengan dalih-dalih demokrasi, liberalisasi dan modernisasi. Hegemoni pasar atas negara dan masyarakat adalah bentruk kekuasan negara atau kelompok dominan untuk membentuk kesadaran kelompok subordinat. Sebuah fakta menarik, sebagaimana yang pernah diungkap oleh Norena Herzt bahwa televisi merupakan wahana yag ampuh untuk melakukan proses hegemoni. Lebih tegas Herzt mengatakan bahwa revolusi tidak akan disiarkan melalui televisi. Karena Televisi hanya akan melayani kekuatan-kekuatan pemodal. Sedangkan segala aktifitas atau apapun yang konra produktif dengan kepentingan kapitalis, sudah barang tentu tidak menjadi mitra kerjanya. Dalam hal ini, Herzt mencontohkan bahwa bagaimana stasion televisi Amerika Serikat seperti NBC, ABC dan CBS secara tegas menolak untuk menayangkan iklan Buy Nothing Day (Hari Tanpa Membeli), meskipun ada bayaran untuk iklan tersebut. Para pemilik stasion secara terbuka mengatakan bahwa mereka tidak akan menayangkan iklan yang bertentangan dengan bisnis sah mereka. Bahkan dengan tegas pula mereka menyatakan bahwa Buy Nothing Day adalah beretentangan dengan kebijakan ekonomi Amerika. Disamping itu, hegemoni juga menggunakan pendidikan sebagai piranti penyokongnya. Jika Pendidikan diyakini sebagai upaya sadar membangun manusia yang dewasa dan sempurna, maka dengan pendidikanlah tipologi manusia konsumeris dibentuk. Di sini pendidikan sengaja di set up dengan konsep yang berorientasi pembangunan orientasi pasar. Sehingga mentalitas matrealistik dan hedonis mejadi pintu masuk untuk melanggengkan doninasi kuasanya. Satu contoh yang relevan adalah wacana pemikir barat yang prokapitalis menempati porsi yang besar dalam kurikulum pendidikan. Ini adalah bagian dari upaya hegemoni wacana kepada masyarakat, sehingga kesadaran intelektualnya akan senantia matching dengan kekuatan kapitalis. 128
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Ekonomi Islam Dan Hegemoni Kapitalisme Global (Muh. Mustaqim)
Jika sekolah yang merupakan institusi sakral mampu dijamah oleh pasar, maka sudah barang pasti output dari sekolah akan selalu berorientasi pada pasar. Di sinilah kehebatan hegemoni pasar menempatri titik relevansi yang nyata. Sehingga masyarakat kita yang sudah berabad-abad dikuasai oleh kekuatan asing yang cenderung kapitalis mempunyai kesadaran dan intelektual yang sudah mind set. 4. Ekonomi Islam, sebuah alternatif lain Jika Margaret Thatcher pernah mengatakan” There Is No Alternatif” (TINA) maka kita pun sebenarnya bisa pula mengatakan “There Is Many Alternatif” (TIMA). Ekonomi Islam adalah salah satu alternatif atas ketimpangan sistem kapitalisme global. Dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang universal, maka ekonomi Islam akan mampu menjadikan wajah pasar yang ramah dan humanis. Secara etimologi, ekonomi Islam terdiri dari dua suku kata, yakni ekonomi dan Islam. Kata ekonomi dapat diatrikan sebagai segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya; pengaturan rumah tangga. Sedangkan term Islam berarti: damai, tenteram; agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, dengan kitab suci Al-Qur’an. (Pius A Partanto dkk: 1994). Secara mudah ekonomi Islam dapat diartikan sebagai segala usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya guna mencapai kemakmuran hidupnya yang dilakukan dengan cara yang teratur, berdasarkan pandangan Islam. Ekonomi Islam dibangun di atas landasan yang kokoh yang merupakan warisan yang tak ternilai sebagai wasiat utama bagi umat Islam yang tidak mungkin manusia akan tersesat selamanya selama berpegang kepada dua wasiat itu yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Mengenai pemahaman tentang Ekonomi Islam, setidaknya ada tiga penafsiran tentang istilah Ekonomi Islam (Dawam Raharjo, 1999: 4). Pertama, yang dimaksud adalah “ilmu ekonomi” yang berdasarkan nilai-nilai atau ajaran Islam. Kalau ini yang dimaksud, maka akan timbul kesan bahwa ajaran Islam itu mempunyai pengertian yang tersendiri mengenai apa itu ekonomi. Dalam hal ini, ada beberapa definisi mengenai ekonomi islam yang disampaikan oleh para pakar. Menurut Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam merupakan ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
129
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Menurut M.M. Metwally, Ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti al Quran, Hadis, Ijma dan Qiyas. Umar Chapra mendefinisikan Ekonomi Islam sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqashid (tujuan-tujuan syariah), tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan ketidak seimbangan makro ekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat. Penafsiran kedua, ekonomi Islam dipandang sebagai “sistem ekonomi” (Islam). Sistem menyangkut pengaturan, yaitu pengaturan kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat atau negara berdasarkan suatu cara metode tertentu. Misalnya, bank Islam dapat disebut sebagai unit (terbatas) dari beroperasinya suatu sistem ekonomi Islam, bisa dalam ruang lingkup makro atau mikro. Bank Islam disebut unit sistem ekonomi Islam, khususnya doktrin larangan riba. Dan ketiga, ekonomi Islam itu berarti perekonomian umat Islam atau perekonomian di dunia Islam, maka kita akan mendapat sedikit penjelasan dan gambaran dalam sejarah umat umat Islam baik pada masa Nabi sampai sekarang. Hal ini bisa kita temukan, misalnya, bagaimana keadaan perekonomian umat Islam di Arab Saudi, Mesir, Irak, Iran, Indonesia, dan sebagainya, atau juga perekonomian umat Islam di negara non-Islam seperti Amerika, Cina, Perancis, dan sebagainya. Kosa kata ekonomi merupakan kosa kata yang baru, dalam arti tidak dikenal pada masa awal Islam. Pada masa ini hanya mengenal istilah muamalah dalam arti luas, hubungan antar manusia secara umum: ekonomi, rumah tangga dan lain-lain. Istilah “iqtishad” (bahasa Arab) yang diartikan atau disepadankan dengan “ekonomi” merupakan kosa kata yang baru. Sehingga kita tidak menemukan pada literatur keislaman klasik.istilah iqtishad muncul dari perkembangan pemikiran Muhammad Iqbal (1876-1938) salah seorang tokoh pembaruan Islam dari India. Pada tahun 1902 Iqbal menerbitkan buku yang berjudul “‘Ilm al-Iqtishad” (ilmu ekonomi). Pemikiran tentang 130
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Ekonomi Islam Dan Hegemoni Kapitalisme Global (Muh. Mustaqim)
ekonomi Islam sebagai kajian teoritis baru mulai ramai dibicarakan pada awal dasawarsa 1970-an, walaupun pembahasan yang bersifat fikih sudah tampak sebelumnya sebagai bagian dari pemikiran hukum Islam. Kerangka teori sistem ekonomi Islam dibangun di atas landasan nilai-nilai dasar Ketuhanan (Tauhid) dimana internalisasi nilai-nilai Ketuhanan mampu memberikan dorongan yang kuat untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tataran social kemanusiaan. Aspek-aspek kebutuhan dasar terhadap aktualisasi kemanusiaan dalam perfektif internasilasasi nilai tauhidi merupakan transformasi nilai yang dalam istilah, disebut obyetivikasi. Obyektifikasi merupakan penerjemahan nilai-nilai ke dalam kategori-kategori objektif (Kuntowijoyo 1997:65-67). Sehingga nilai dasar tauhid akan mendasari segala aktifitas dan prilaku ummat islam, termasuk dalam aspek ekonomi. Ekonomi Islam mempunyai tujuan yang sama dengan tujuan Islam, yakni mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat, melalui tata kehidupan yang baik dan terhormat. Tujuan tersebut dirumuskan dalam term falah (kemenangan). Dalam hal ini, falah di dunia mencakup 3 hal, yakni kelangsungan hidup, kebebasan keinginan serta kekuatan dan kehormatan. Sedangkan falah di akherat terdiri dari kelangsungan hidup yang abadi, kesejahteraan abadi, kemuliaan abadi dan pengetahuan abadi (Anita, 2009: 21). Di sini, tujuan jangka panjang (akherat) dan jangka pendek (dunia) menjadi orientasi yang selalu melekat pada kegiatan ekonomi. 5. Ekonomi Islam dan Konter Hegemoni Melihat dominasi kapitalis yang hari ini sangat kuat, maka ekonomi Islam diharapkan mampu menjadi konter terhadap hegemoni tersebut. Adalah Antonio Gramsci yang menawarkan sebuah konsep untuk melakukan konter terhadap hegemoni (counter hegemony). Bagi Gramsci, hegemoni harus dilawan dengan upaya penyadaran akan hegemoni kultural dan keterpesonaan terhadap hegemoni kapitalis. Konter hegemoni akan terwujud jika ada para intelektual yang mengakar pada basis masyarakat, yang telah terhegemoni. (Roger Simon, 2005:34) Dalam hal ini, ekonomi islam merupakan perangkat intelektual yang didasarkan sebagai antitesis terhadap prinsip ekonomi kapitalis yang timpang. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
131
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Beberapa prinsip Ekonomi Islam, yang diharapkan sebagai konter hegemoni tersebut diantaranya adalah: a. Prinsip amanah. Islam menganggap berbagai jenis sumber daya yang ada merupakan pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Kegiatan tersebut kelak akan dipertanggung-jawabkannya di akhirat. Prinsip ini tidak diakui dalam system kapitalis. Tidak ada “Tuhan dan akherat” dalam urusan dunia. Mereka menganggap bahwa akherat itu tidak ada, dunia hanya akan berakhir ketika mereka mati. Sehingga kegiatan ekonomi bagi kapitalis tidak lain adalah pemenuan kebutuhan dunia. b. Prinsip kepemilikan terbatas. Islam mengakui kepemilikan individu dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Kepemilikan individu dalam hal ini dibatasi oleh kepentingan masyarakat. Selain itu, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat. Hal ini berbeda dengan prinsip kapitalis yang individualistik. Mereka menganggap bahwa apa yang dimiliki merupakan kepunyaan mutlak, yang didapatkannya dari hasil usaha. Sehingga, tidak ada tanggap jawab moral untuk mempertanggung jawabkannya. Kecenderungan ini mengarahkan manusia untuk menumpuk harta tanpa batas, tanpa memperhatikan orang lain. c. Prinsip kerjasama dalam kebaikan. Kekuatan penggerak utama Ekonomi Islam adalah kerjasama. Seorang muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT. Upaya pencapaian tujuan, harus selalu didasari dengan nilai-nilai Islam. Sistem kapitalis menafikan prinsip ini. Meskipun mereka mengakui adanya prinsip kerjasama, namun kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama yang berbasis kepentingan. Dasar keuntungan menjadi sandaran dalam setiap kerjasama. Sehingga 132
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Ekonomi Islam Dan Hegemoni Kapitalisme Global (Muh. Mustaqim)
yang terjadi adalah maciavellian, lakukan apa saja, yang penting anda untung. Meskipun itu dilakukan dengan menginjak orang lain, menipu, menindas dan memaksa. d. Prinsip tanggung jawab sosial. Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, Sistem Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan Sistem Ekonomi Kapitalis, dimana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan umum. Sehingga kepemilikan kekayaan hanya terfokus pada segelintir orang saja. Yang akan terjadi, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. e. Prinsip kepemilikan bersama. Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Namun demikian, hal ini bukan berarti islam mendukung sosialis-komunis. Prinsip ini menekan Negara untuk pro-aktif terhadap kesejahteraan masyarakat. Berbeda dengan kapitalisme yang menggeser peran Negara, namun ekonomi Islam memberikan kewenangan Negara (ulil amri) untuk menyeimbangkan sirkulasi kekayaan. Privatisasi yang liberal hanya akan melahirkan ketimpangan sosial yang jauh dari tujuan ajaran Islam. f. Prinsip distribusi ekonomi. Seorang muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu (nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya , yang ditujukan untuk orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Lain halnya dengan kapitalisme yang menganjurkan kepemilikan individu semaksimal mungkin. Sebagaimana tesis penggagasnya, bahwa sistem ekonomi itu tidak perlu dibatasi, karena secara alamiah akan diseimbangkan oleh tangan-tangan gaib yang tak terlihat (invisible hand) yang bernama pasar. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
133
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
g. Prinsip keadilan. Islam melarang setiap pembayaran bunga atau riba atas berbagai bentuk pinjaman. Karena riba hanya akan menyakiti salah satu pihak, yang ini akan melahirkan ketidak adilan. Islam menganjurkan jual beli yang fair, dan melaraang riba. Islam sangat mengutuk orang yang melakukan riba, karena riba hanya kan melahirkan ketidak adilan dalam ekonomi (Krisna Adiyangga, 2006, 31). Sistem kaptalis menjunjung tinggi bunga uang. Eksploitasi dalam hal ini menjadi sesuatu yang niscaya, yang termanifestasi dalam sebuah sistem. Ketujuh prinsip tersebut setidaknya akan menjadi konter hegemoni terhadap dominasi kapitalisme global yang mapan. Meskipun itu tidak dapat terjadi secara instan, namun upaya pembumian prinsip ekonomi islam akan mampu membangun sistem yang lebih humanis. Jika kapitalisme hari ini menjadi ideologi yang menang, itu karena didukung oleh paradigma normal yang hari ini berlaku. Sehingga, meminjam istilahnya Thomas Kuhn, jika paradigma ini suah mengalami anomali, dan titik klimaksnya mengalami krisis, maka diperlukan sebuah paradigma baru untuk menggesernya. Pergeseran paradigma (shifting paradigma), akan membangun ilmu menjadi normal kembali (S. Khun, 2000:43). Paradigma baru itu boleh jadi adalah paradigma ekonomi islam. Mengingat paradigma normal “kapitalis” saat ini lambat tapi pasti telah mengalami banyak anomali. Sehingga melalui pembumian ekonomi islam yang massif dan konprehensif, akan terwujud sistem ekonomi ‘normal” baru yang akan lebih humanis. Melalui pendidikan, ekonomi islam sebagai paradigma baru akan teris diinternaslisasi kedalam diskursus dan wacana pendidikan. Jika hegemoni kapitalis selama ini tapat enancap tajam melalui pendidikan dan sistem informasi, maka dengan cara yang sama, ekonomi islam akan mampu menjadi konter hegemoni melalui pendidikan dan informasi. Dan hal ini membutuhkan proses yang panjang dan substansial.
134
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Ekonomi Islam Dan Hegemoni Kapitalisme Global (Muh. Mustaqim)
C. Kesimpulan Dari paparan tulisan ini, ada beberapa kesimpulan yang menjadi titik simpul, yaitu: saat ini sistem ekonomi kapitalis merupakan sistem ekonomi “pemenang” yang dominan dalam sistem ekonomi dunia. Namun sistem tersebut meniscayakan beberapa ketimpangan dan anomali yang meminggirkan negara dan masyarakat. Hegemoni kapitalis, harus dilawan dengan konter hegemoni. Sebagaimana tesis gramsci dalam konsep hegemoni, konter hehemoni membutuhkan seperangkat intelktual tandingan yang akan melawan dominasi kapitalisme global. Ekonomi islam dalam hal ini adalah upaya konter hegemoni terhadap dominasi kapitalis. Melalui prinsip-prinsip ekonomi islam, akan menjadi “intelektual organik” yang akan mampu menandingi hegemoni. Prinsip-prinsip tersebut adalah: prinsip amanah, kepemilikan individu yang terbatas, taawwun ala al birr, tanggung jawab sosial, kepemilikan bersama, distribusi ekonomi dan keadilan. Ekonomi islam diharaokan akan mampu menjadi paradigma penggeser terhadap sistem mapan kapitalisme yang saat ini sarat anomali. D. Penutup Demikian tulisan ini, diharapkan mampu memberi “harapan’ baru terhadap sistem ekonomi islam yang saat ini baru bangkit. Kami yakin, tulisan ini bukan “apa-apa”, hanya goresan dangkal yang sefikit makna. Dan banyak kutipan-kutipan yang penulis ambil dari berbagai sumber. Namun begitu, niatan besar untuk meramaikan diskursus ekonomi islam akan mampu memberikan konstribusi “kecil” terhadap hazanah intelektual islam. Permohonan maaf dan masukan dari pembaca, akan menjadi penyegar, untuk kesempurnaan di masa yang akan datang. Semoga bermanfaat.
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
135
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
DAFTAR PUSTAKA
Anita Rahmawati, Ekonomi Makro Islam, Kudus: STAIN Kudus, 2009. Antonio Giddens, Jalan Ketiga (terj), Jakarta: Gramedia, 1999 Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Jakarta: LSAF, 1999. Francis Fukuyama , Samuel P. Huntington, The Future of World Order, Yogyakarta: Ircisod, 2005 Goenawan Moehammad, Metodologi Ilmu Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, Jogjakarta : UII-Press, 2000. http://hermanmoslem.blogspot.com/2009/11/prinsip-prinsipekonomi-islam.html/ 23 oktober 2010 http://tanbihun.com/kajian/analisis/prinsip-prinsip-ekonomiislam/22 Oktober 2010 Immanuel Wallerstein, Lintas Btas Ilmu Sosial, Yogyakarta: LKIS, 1997. Krishna Adityangga, Membumikan Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pilar Media, 2006. Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991 Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme, Yogyakarta: Insist, 2003. ____________, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Yogyakarta: Insist, 2003. Noorena Hertz, Perampok Negara (terj), Yogyakarta: Alenia, 2005. Pius Partanto dkk, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994. Rita Abrahamsen, Sudut Gelap Kemajuan (terj), Yogyakarta: Lafal Pustaka, 2004. Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci (terj), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Saifiul Arif, Pemikiran-Pemikiran Revolusioner, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. __________, Menolak Pembangunanisme, Yogyakarta: LKIS, 2001. Thomas S. Khun, The Structure of Scientific Revolution: Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, bandung: Remaja Rosdakarya, 2000. William K Tabb, Tabir Politik Globalisasi (terj), Yogyakarta: Lafal Pustaka, 2006 Yusuf Qardawi, Bunga Bank Haram, Jakarta: Akbar Media Sarana, 2001 136
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
PENGGUNAAN GAME THEORY DALAM STRATEGI PENETAPAN HARGA KONSUMEN
Oleh: Ekawati Rahayu Ningsih
Abstraksi Secara umum teori permainan (Game Theory) digunakan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan keputusan bertindak dari lembaga bisnis dalam rangka memenangkan persaingan bisnis. Seperti diketahui, bahwa dalam praktek sehari-hari, setiap organisasi usaha akan berhadapan dengan para pesaing untuk memenangkan persaingan. Maka dari itu diperlukan analisis dan pemilihan strategi yang tepat, khususnya strategi bersaing yang paling optimal. Salah satu konsep strategi yang bisa digunakan dalam bersaing adalah teori permainan (Game Theory). Game Theory pada saat ini banyak digunakan sebagai alat analisis yang membantu para pemimpin perusahaan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengembangkan strategi perusahaan untuk memenangkan persaingan. Dalam Game Theory dikenal adanya beberapa asumsi yang digunakan untuk membantu merumuskan bentuk matematika, dari yang sangat rumit dan tidak realistis, maupun yang sederhana dan mudah diselesaikan. Diharapkan dari penyelesaian matematik, ditemukan titik temunya (sadle point) antara pihak-pihak yang terlibat dalam permainan agar persaingan mudah untuk dikendalikan. ekonomi eksperimental akan membantu memeriksa validitas asumsi dengan melihat bagaimana seharusnya masing-masing pihak akan bertindak dalam lingkungan yang telah dikendalikan. Key Word: Game Theory, Asumsi, Sadle Point, Validitas Asumsi
ِA. Pendahuluan Teori permainan (Game Theory) adalah cabang khusus dari matematika yang telah dikembangkan untuk mempelajari sebuah pengambilan keputusan dalam situasi yang kompleks. Gagasan ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
137
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
untuk melihat bisnis bisa berawal dan dikembangkan dari aktifitas permainan. Jika kita amati, dalam permainan selalu ada pemain sebagai subyeknya dan jenis permainan sebagai obyeknya. Obyek permainan bisa dimainkan oleh subyek (pemain) tergantung dari aturan dan strategi yang digunakan. Pemain yang satu bisa mengambil gerakan percikan bagi pemain yang lain. Efek dari suatu permainan adalah menang dan kalah ataupun seri. Konsep dan langkah-langkah dalam permainan seperti tersebut diatas, sekarang ini digunakan sebagai alat analisis yang membantu para pemimpin perusahaan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengembangkan strategi perusahaan untuk memenangkan persaingan. Konsep dan langkah-langkah dalam permainan ini berkembang dan mengalir melalui pemikiran strategis modern. Sejarah membawa kita kembali ke Talmud dan beberapa tulisan Sun Tzu tentang bagaimana memenangkan persaingan dalam sebuah persaingan. Kodifikasi kontemporer tentang Teori Permainan dan Perilaku Ekonomi oleh John von Neumann dan Oskar Morgenstern pada tahun 1944, juga telah dipublikasikan dalam Value Based Management. Dan pada awal 1950-an, John Nash berhasil mengembangkan hasil-hasil teori permainan secara umum dan memberikan dasar bagi pengembangan teori permainan modern. Sun, Jie. (2006) menyebutkan bahwa perkembangan teori permainan yang cukup pesat menyebabkan pendiri jurnal akademis pertama yaitu Oskar Morgenstern tahun 1972 berhasil menyediakan wahana bagi para penulis untuk mengembangkan beberapa teori permainan dalam bisnis. Dalam Hasibuan (2006), tehnik-tehnik pengambilan keputusan manajer dapat dilakukan dengan tehnik Gaming War Games, tehnik ini biasa digunakan untuk menentukan strategi apa yang akan diambil. Prakash L (1988) membahas tentang teori permainan, mulamula dikembangkan oleh ilmuwan Prancis bernama Emil Borel, secara umum teori permainan ini digunakan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan tindakan dari lembaga bisnis dalam rangka memenangkan persaingan dalam usaha yang digelutinya. Seperti diketahui, bahwa dalam praktek sehari-hari, setiap unit usaha atau organisasi pada umumnya harus berhadapan dengan para pesaing. Untuk memenangkan persaingan itulah, diperlukan analisis dan 138
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Penggunaan Game Theory dalam Strategi Penetapan ... (Ekawati Rahayu Ningsih)
pemilihan strategi yang tepat, khususnya strategi bersaing yang paling optimal bagi unit usaha atau organisasi yang bersangkutan. B. Definisi Game Theory Teori permainan (Game Theory) dapat didefinisikan sebagai studi tentang bagaimana orang-orang berinteraksi dan membuat keputusan (Moulin, H: 1986). Definisi yang luas ini berlaku untuk sebagian besar ilmu-ilmu sosial, tapi teori permainan menerapkan model matematis dalam setiap interaksi. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa perilaku setiap orang memiliki dampak kemenangan dibandingkan dengan peserta lain dalam permainan. Model ini seringkali cukup sederhana sebagai abstraksi interaksi di dunia nyata. Meskipun banyak teori permainan, menikmati bermain game dalam sebuah permainan, ternyata merupakan representasi abstrak dari banyak situasi serius dan memiliki tujuan yang serius pula Masalah utama dalam teori permainan adalah ketika membuat asumsi. Setiap model yang dikembangkan harus berangkat dari asumsi sederhana tentang fakta yang terjadi, karena kalau tidak demikian maka kesulitan dalam menganalisis dengan berbagai presisi apapun. Terdapat tradeoff konstan antara realisme dan solvabilitas. Bahkan jika seseorang bisa menuliskan sebuah model yang akurat sekalipun dan mampu menjelaskan bagaimana orang membuat keputusan pada umumnya, maka komputer tidak akan mampu menghitung jumlahnya. Oleh karena itu, asumsinya harus merupakan asumsi normal. Cara yang paling umum untuk membuat asumsi normal menurut Prakash (1988) adalah: a. Rasionalitas Rasio seseorang akan mengendalikan setiap tindakan seseorang dalam rangka memenuhi kebutuhannya dalam batasbatas kemampuannya. Misal: Seseorang akan mengambil tindakan apapun yang akan membuat dia bahagia dan dia tahu apa yang membuatnya bahagia, dengan tidak melanggar ketentuan dari aturan yang berlaku dan tidak melebihi batas hak-hak orang lain b. Pengetahuan umum Dalam membuat asumsi normal, selain harus berangkat dari rasionalitas, juga harus mengetahui berbagai informasi tentang beberapa hal terkait dengan obyek asumsi. Misal; Setiap orang ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
139
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
selalu mencoba untuk membuat dirinya berbahagia dengan kebahagiaan yang amat sangat. Untuk mencapai kebahagiaanya tersebut, maka dia harus mengeluarkan biaya dalam rangka memenuhi kebahagiaannya tersebut. Asumsi normal dalam Game Theory, biasanya dibuat dengan cara mengambil kebanyakan bentuk matematika, dari yang sangat rumit dan tidak realistis, maupun yang sederhana dan mudah diselesaikan. Dalam hal ini, ekonomi eksperimental akan membantu memeriksa validitas asumsi dengan melihat bagaimana sebenarnya orang bertindak dalam lingkungan yang telah dikendalikan. C. Ketentuan Dasar Game Theory dalam Strategi Penetapan Harga ȱ
ȱ
ȱ
ȱ
Perusahaanȱ Andaraȱ
ȱ
Perusahaanȱ Bangunȱ Strategiȱ Hargaȱ Murahȱ(St1)ȱ
ȱ
ȱ Strategiȱ Hargaȱ Mahalȱ (St3)ȱ 5ȱ
6ȱ
Strategiȱ Hargaȱ Murahȱ (St1)ȱ
2ȱ
Strategiȱ Hargaȱ Sedangȱ (St2)ȱ 9ȱ
Strategiȱ Hargaȱ Mahalȱ (St2)ȱ
10ȱ
7ȱ
ȱ
Dari contoh tabel matrik pay off (matrik permainan) di atas, dapat dijelaskan beberapa ketentuan dasar yang terpenting dalam teori permainan berdasarkan penelitian dari M. Esmaeili a, Mir-Bahador Aryanezhad a, P. Zeephongsekul b2. Tang, Qimeng. (2008), yakni : a. Nilai-nilai yang terdapat dalam tabel tersebut (yakni angka 2, 9, 5 di baris pertama dan 10, 7, 6 di baris kedua), merupakan hasil yang diperoleh dari penggunaan berbagai strategi yang dipilih oleh kedua perusahaan. Satuan nilai tersebut merupakan efektifitas yang dapat berupa modal, jumlah keuntungan, jumlah pelanggan, persentase pangsa pasar dan lain-lain. Nilai positif menunjukkan keuntungan bagi pemain baris tetapi kerugian bagi pemain kolom, begitu pula sebaliknya, nilai negatif menunjukkan kerugian bagi pemain baris tetapi keuntungan bagi pemain kolom. Sebagai contoh nilai 9 pada baris pertama kolom ke dua, menunjukkan 140
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Penggunaan Game Theory dalam Strategi Penetapan ... (Ekawati Rahayu Ningsih)
b.
c.
d.
e.
f.
apabila pemain/perusahaan Andara menggunakan strategi harga murah (St1) dan perusahaan Bangun meresponnya dengan strategi harga sedang (St2), maka perusahaan Andara akan mendapatkan keuntungan sebesar 9 yang berarti perusahaan Bangun akan mengalami kerugian sebesar 9. Strategi dari perusahaan (pemain) dalam strategi permainan dianggap sah-sah saja dan tidak dapat dirusak oleh perusahaan (pemain) lainnya. Setiap perusahaan (pemain) akan memilih strategi-strategi tersebut secara terus menerus selama perusahaan masih memiliki keinginan untuk melanjutkan usahanya untuk memenangkan persaingan sampai pada titik jenuh. Persaingan dalam suatu permainan dikatakan adil atau ‘fair’ apabila hasil akhir permainan menghasilkan nilai nol (0), atau tidak ada pemain atau perusahaan yang menang/kalah atau mendapat keuntungan/kerugian. Suatu strategi dikatakan dominan terhadap strategi lainnya apabila memiliki nilai pay off yang lebih baik dari strategi lainnya. Maksudnya, bagi perusahaan yang merupakan pemain baris, nilai positif (keuntungan) yang diperoleh dari suatu strategi yang digunakan, menghasilkan nilai positif yang lebih besar dari hasil penggunaan strategi lainnya. Bagi pemain kolom, nilai negatif (kerugian) yang diperoleh dari suatu strategi yang digunakan, menghasilkan nilai negatif yang lebih kecil dari hasil penggunaan strategi lainnya. Tujuan penting dari teori permainan ini adalah untuk mengidentifikasi strategi yang paling optimal yang bisa digunakan oleh setiap perusahaan.
Penyelesaian masalah dalam permainan seperti tersebut diatas, biasanya menggunakan dua karakteristik strategi, yaitu : 1. Strategi Murni Penyelesaian masalah dengan strategi murni dilakukan dengan menggunakan konsep maximin untuk pemain/perusahaan baris dan konsep minimax untuk pemain/perusahaan kolom. Dalam strategi ini seorang pemain atau perusahaan akan menggunakan satu strategi atau disebut juga dengan strategi tunggal untuk mendapatkan ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
141
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
hasil yang optimal (sadle point) yang sama. Sebagaimana contoh kasus dalam Strategi Murni dibawah ini: Terdapat dua perusahan (Perusahaan Andara dan Perusahaan Bangun) yang selama ini memiliki produk yang hampir sama, selama ini mereka saling bersaing dan berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari pangsa pasar yang ada. Untuk keperluan tersebut, perusahaan Andara mengandalkan 2 strategi dan perusahaan Bangun menggunakan 3 macam strategi, dan hasilnya terlihat pada tabel berikut ini : Perusahaan Bangun
Perusahaan Strategi Andara Harga Murah (St 1) Strategi Harga Mahal (St 2)
Strategi Harga Murah (St 1)
Strategi Harga Sedang (St 2)
Strategi Harga Mahal (St 3)
2
9
5
10
7
6
Dari kasus di atas, tugas pemain adalah mencari bagaimana strategi yang harus digunakan oleh masing-masing pemain atau perusahaan, agar masing-masing mendapatkan hasil yang optimal (kalau untung, keuntungan tersebut sangat besar, dan kalau harus rugi maka kerugian tersebut adalah paling kecil). Maka untuk menyelesaikan permasalahan dalam permainan tersebut, ada tiga langkah yang bisa diambil oleh kedua perusahaan: -Langkah 1 Untuk pemain baris (perusahaan Andara), memilih terlebih dahulu nilai yang paling kecil untuk setiap baris (Baris satu nilai terkecilnya 2 dan baris dua nilai terkecilnya 6). Selanjutnya dari dua nilai terkecil tersebut, kita pilih nilai yang paling baik atau besar, yakni nilai 6.
142
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Penggunaan Game Theory dalam Strategi Penetapan ... (Ekawati Rahayu Ningsih) ȱ
ȱ
ȱ
ȱ
Perusahaanȱ Andaraȱ
Strategiȱ Hargaȱ Murahȱ (St1)ȱ ȱ Strategiȱ Hargaȱ Mahalȱ (St2)ȱ
ȱ ȱ
Perusahaanȱ Bangunȱ Strategiȱ Hargaȱ Murahȱ(St1)ȱ
ȱ
ȱ
2ȱ
Strategiȱ Hargaȱ Sedangȱ (St2)ȱ 9ȱ
Strategiȱ Hargaȱ Mahalȱ (St3)ȱ 5ȱ
ȱ 10ȱ
ȱ 7ȱ
ȱ 6ȱ
ȱ ȱ ȱ Maximinȱ
2ȱ
ȱ
6ȱ
-Langkah 2 Untuk pemain kolom, (perusahaan Bangun), pilih nilai yang paling besar untuk setiap kolom (kolom satu nilai terbesarnya 10, kolom dua nilai terbesarnya 9, dan kolom tiga nilai terbesarnya 6). Selanjutnya dari tiga nilai terbesar tersebut, pilih nilai yang paling baik atau kecil bagi Perusahaan Bangun, yakni nilai 6 (rugi yang paling kecil). ȱ
ȱ
ȱ
ȱ
Perusahaanȱ Bangunȱ Strategiȱ Hargaȱ Murahȱ (St1)ȱ 2ȱ
Perusahaanȱ Strategiȱ Andaraȱ Hargaȱ Murahȱ (St1)ȱ ȱ ȱ ȱ 10ȱ ȱ Strategiȱ Hargaȱ Mahalȱ (St2)ȱ ȱ Minimaxȱ 10ȱ
ȱ Strategi Hargaȱ Sedangȱ (St2)ȱ 9ȱ
Strategi Hargaȱ Mahalȱ (St3)ȱ 5ȱ
ȱ 7ȱ
ȱ 6ȱ
9ȱ
6ȱ
Maximinȱ
2ȱ
ȱ
6ȱ
6ȱ
-Langkah 3 Karena pilihan pemain baris (Perusahaan Andara) dan pemain kolom (Perusahaan Bangun) sudah sama, yakni masing-masing ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
143
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
memilih nilai 6, maka permainan ini sudah dapat dikatakan optimal, karena para pemain sama-sama menemukan nilai permainan (sadle point) yang sama. Hasil di atas dikatakan telah optimal karena masing-masing pemain memilih nilai 6. Hal ini mengandung arti bahwa pemain baris (Perusahaan Andara) meskipun menginginkan keuntungan yang lebih besar, namun Perusahaan Andara hanya akan mendapatkan keuntungan maksimal sebesar 6, bila ia menggunakan strategi harga mahal (St2). Sedangkan pemain kolom (Perusahaan Bangun), meskipun menginginkan kerugian yang sekecil mungkin, namun kerugian yang paling baik bagi perusahaan Bangun adalah sebesar 6, dan itu bisa diperoleh dengan merespon strategi yang digunakan Perusahaan Andara dengan juga menerapkan strategi harga mahal (St3). Penggunaan strategi selain yang direkomendasikan di atas, maka akan berdampak pada menurunnya keuntungan bagi Perusahaan Andara dan meningkatnya kerugian bagi Perusahaan Bangun. Dengan kata lain, persaingan atau permainan yang ada tidak akan pernah bisa diselesaikan dengan baiki. b. Strategi Campuran Penyelesaian masalah dengan strategi campuran dilakukan apabila strategi murni yang digunakan belum mampu menyelesaikan masalah permainan atau belum mampu memberikan pilihan strategi yang optimal bagi masing-masing pemain/perusahaan. Dalam strategi ini seorang pemain atau perusahaan akan menggunakan campuran atau lebih dari satu strategi untuk mendapatkan hasil yang optimal. Agar sebuah permainan atau persaingan menjadi optimal, setiap strategi yang dipergunakan diusahakan agar mendapatkan nilai permainan (sadle point) yang sama. Untuk memahami dengan lebih jelas mengenai penggunaan strategi campuran ini, akan digambarkan sebagaimana dua contoh kasus berikut ini : Contoh kasus 2 ( Strategi Campuran), dari kasus di atas, dilihat karena terjadi perkembangan di pasar, maka perusahaan Andara, yang tadinya hanya memiliki produk dengan harga murah dan mahal, sekarang mencoba untuk menambah satu lagi strategi bersaingnya dengan juga mengeluarkan produk berharga sedang, dan hasil yang diperoleh tampak pada tabel berikut ini : 144
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Penggunaan Game Theory dalam Strategi Penetapan ... (Ekawati Rahayu Ningsih)
ȱ
ȱ
ȱ
ȱ
Perusahaanȱ Strategiȱ Andaraȱ Hargaȱ Murahȱ(St1)ȱ ȱ Strategiȱ Hargaȱ Sedangȱ(St2)ȱ ȱ Strategiȱ Hargaȱ Mahalȱ(St2)ȱ
Perusahaanȱ Bangunȱ Strategiȱ Hargaȱ Murahȱ(St1)ȱ 2ȱ
ȱ
ȱ
Strategiȱ Hargaȱ Sedangȱ(St2)ȱ 9ȱ
Strategiȱ Hargaȱ Mahalȱ(St3)ȱ 5ȱ
Ȭ1ȱ
3ȱ
4ȱ
10ȱ
1ȱ
6ȱ
Dari perkembangan kasus di atas, bagaimana strategi yang harus digunakan oleh masing-masing pemain atau perusahaan, agar masing-masing mendapatkan hasil yang optimal (kalau untung, keuntungan tersebut besar, dan kalau harus rugi maka kerugian tersebut adalah paling kecil). Keputusan ini sangat mungkin diambil perusahaan manakala perusahaan telah siap dengan kondisi pasar yang semakin berkembang dan kompleks. Maka untuk menyelesaikan permasalahan dalam permainan tersebut, ada tujuh langkah yang bisa diambil oleh kedua perusahaan: -Langkah 1 Pada langkah awal ini, terlebih dahulu akan dicoba dengan menggunakan strategi murni. Seperti telah dijelaskan di atas, bagi pemain baris akan menggunakan aturan maximin dan pada pemain kolom akan menggunakan aturan minimax. Untuk pemain baris, kita pilih nilai yang paling kecil untuk setiap baris (Baris satu nilai terkecilnya 2, untuk baris kedua nilai terkecilnya -1 dan baris tiga nilai terkecilnya 1). Selanjutnya dari dua nilai terkecil tersebut, pilih nilai yang paling baik atau besar, yakni nilai 2.
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
145
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman ȱ
ȱ
ȱ
ȱ
Perusahaanȱ Strategiȱ Andaraȱ Hargaȱ Murahȱ (St1)ȱ ȱ Strategiȱ Hargaȱ Sedangȱ (St2)ȱ ȱ Strategiȱ Hargaȱ Mahalȱ (St3)ȱ
Perusahaanȱ Bangunȱ Strategiȱ Hargaȱ Murahȱ(St1)ȱ
ȱ
ȱ
2ȱ
Strategiȱ Hargaȱ Sedangȱ (St2)ȱ 9ȱ
ȱ Strategiȱ Maximinȱ Hargaȱ Mahalȱ (St3)ȱ 5ȱ 2ȱ
Ȭ1ȱ
3ȱ
4ȱ
Ȭ1ȱ
10ȱ
1ȱ
6ȱ
1ȱ
-Langkah 2 Untuk pemain kolom (Perusahaan Bangun), kita bisa memilih nilai yang paling besar untuk setiap kolom (kolom satu nilai terbesarnya 10, kolom dua nilai terbesarnya 6, dan kolom tiga nilai terbesarnya 7). Selanjutnya dari tiga nilai terbesar tersebut, pilih nilai yang paling baik atau kecil bagi Perusahaan Bangun, yakni nilai 6 (rugi yang paling kecil). ȱ
ȱ
ȱ
ȱ
Perusahaanȱ Bangunȱ Strategiȱ Hargaȱ Murahȱ (St1)ȱ 2ȱ
Perusahaanȱ Strategiȱ Andaraȱ Hargaȱ Murahȱ (St1)ȱ ȱ Strategiȱ Ȭ1ȱ Hargaȱ Sedangȱ (St2)ȱ ȱ Strategiȱ 10ȱ Hargaȱ Mahalȱ(St3)ȱ ȱ Minimaxȱ 10ȱ
146
ȱ
ȱ
Strategiȱ Hargaȱ Sedangȱ (St2)ȱ 6ȱ
Strategiȱ Hargaȱ Mahalȱ (St3)ȱ 7ȱ
3ȱ
4ȱ
Ȭ1ȱ
1ȱ
6ȱ
1ȱ
6ȱ
7ȱ
2ȱ
ȱ ȱ Maximinȱ 2ȱ
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Penggunaan Game Theory dalam Strategi Penetapan ... (Ekawati Rahayu Ningsih)
-Langkah 3 Dari tabel di atas terlihat bahwa pilihan pemain baris (Perusahaan Andara) dan pemain kolom (Perusahaan Bangun) dalam menentukan harganya tidak sama, dimana pemain atau perusahaan Andara memilih nilai 2 dan perusahaan Bangun memilih nilai 6. Dengan demikian, permainan ini dapat dikatakan belum optimal karena belum menemukan nilai permainan (sadle point) yang sama. Oleh karena itu permainan perlu dilanjutkan dengan menggunakan strategi campuran, yang langkah-langkahnya adalah sebegai berikut : -Langkah 4 Masing-masing pemain akan menghilangkan strategi yang menghasilkan keuntungan atau kerugian paling buruk. Bila diperhatikan pada tabel sebelumnya, untuk pemain baris (Perusahaan Andara), strategi St2 adalah strategi paling buruk, karena bisa menimbulkan kemungkinan kerugian bagi perusahaannya. Hal ini bisa dibuktikan dengan munculnya nilai negatif -1. Dan bagi pemain kolom (perusahaan Bangun), strategi St3 adalah strategi paling buruk karena kerugian yang terjadi adalah kerugian paling besar (perhatikan nilai-nilai kerugian di strategi St3 pada pemain kolom). Langkah 5 Setelah pemain baris (Perusahaan Andara) membuang strategi St2 dan pemain kolom (perusahaan Bangun), membuang strategi St3, diperoleh tabel sebagiai berikut : ȱ
ȱ
ȱ
ȱ
Perusahaanȱ Andaraȱ ȱ
StrategiȱHargaȱ Murahȱ(St1)ȱ StrategiȱHargaȱ Mahalȱ(St3)ȱ
Perusahaanȱ Bangunȱ StrategiȱHargaȱ Murahȱ(St1)ȱ 2ȱ
ȱ
10ȱ
1ȱ
StrategiȱHargaȱ Sedangȱ(St2)ȱ 6ȱ
Perhatikan bahwa setelah masing-masing membuang strategi yang paling buruk, maka sekarang persaingan atau permainan dilakukan dengan kondisi, perusahaan Andara menggunakan strategi ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
147
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
St1 dan St3, sementara perusahaan Bangun menggunakan strategi St1 dan St2. -Langkah 6 Langkah selanjutnya adalah dengan memberikan nilai probabilitas terhadap kemugkinan digunakannya kedua strategi ini bagi masing-masing perusahaan. Untuk perusahaan Andara, bila kemungkinan keberhasilan penggunaan strategi St1 adalah sebesar p, maka kemungkinan keberhasilan digunakannya strategi St3 adalah (1-p). Begitu pula dengan pemain kolom (Perusahaan Bangun), bila kemungkinan keberhasilan penggunaan strategi St1 adalah sebesar q, maka kemungkinan keberhasilan digunakannya strategi St2 adalah (1-q). ȱ
ȱ
Perusahaanȱ Bangunȱ Strategiȱ HargaȱMurahȱ (St1)ȱqȱ
ȱ
ȱ
Strategiȱ HargaȱSedangȱ (St2)ȱ1Ȭqȱ
Perusahaanȱ Strategiȱ Andaraȱ Hargaȱ Murahȱ(St1)ȱpȱ
2ȱ
6ȱ
ȱ
10ȱ
1ȱ
Strategiȱ Hargaȱ Mahalȱ(St3)ȱ1Ȭpȱ
ȱ
-Langkah 7 Pada langkah ke-7 ini, kita akan mencari nilai besaran probabilitas setiap strategi yang akan digunakan dengan menggunakan nilai-nilai yang ada serta nilai probalitas pada masing-masing strategi. Untuk menghitung sadle point yang optimal, bisa dengan menggunakan cara berikut ini: 1. Perusahaan Andara Apabila, Perusahaan Andara menggunakan sembarang strategi dan Perusahaan Bangun merespon dengan menggunakan Strategi St1, maka: 2p + 10(1-p) = 2p + 10 – 10p = 10 – 8p 148
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Penggunaan Game Theory dalam Strategi Penetapan ... (Ekawati Rahayu Ningsih)
Apabila, Perusahaan Andara menggunakan sembarang strategi dan Perusahaan Bangun merespon dengan menggunakan Strategi St2, maka: 6p + 1(1-p) = 6p + 1 – 1p = 1 + 5p Jika kedua hasil persamaan tersebut digabung, maka akan menghasilkan persamaan baru sbb: 10 – 8p = 1 + 5p 9 = 13p P = 9/13 = 0,692 Dan apabila nilai p = 0,692, maka nilai (1-p) adalah (1 – 0,692) = 0,308, maka kedua nilai probabilitas untuk strategi St1 dan St3 dari perusahaan Andara bisa kita ketahui nilainya. Dari nilai hasil persamaan diatas, selanjutnya kita bisa mengetahui keuntungan yang diharapkan Perusahaan Andara dengan cara mensubstitusikan hasil dari persamaan baru ke persamaan ke-1 atau ke persamaan ke-2 sbb: -Substitusi ke persamaan 1 = 2p + 10(1-p) = 2 (0,692) + 10 (0,308) = 4,46 -Substitusi ke persamaan 1 = 6p + 1(1-p) = 6 (0,692) + 1 (0,308) = 4,46 Pastikan, bahwa keduanya menghasilkan keuntungan yang sama, yakni sebesar 4,46. Kalau kita lihat kembali, ternyata dengan menggunakan strategi campuran ini, ada perbedaan perolehan keuntungan bagi perusahaan Andara. Sebelum menggunakan strategi campuran, keuntungan perusahaan Andara hanya sebesar 2, tetapi dengan menggunakan strategi campuran, keuntungan perusahaan Andara bisa meningkat sebesar 2,46. 2. Perusahaan Bangun Apabila, apapun strategi yang digunakan Perusahaan Bangun, maka perusahaan Andara akan meresponnya dengan menggunakan strategi St1, maka : 2q + 6(1-q) = 2q + 6 – 6q = 6 – 4q ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
149
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Apabila, Perusahaan Bangun menggunakan sembarang strategi dan Perusahaan Andara merespon dengan menggunakan Strategi St3, maka: 10q + 1(1-q) = 10q + 1 – 1q = 1 + 9q Bila kedua hasil persamaan tersebut digabung, maka : 6 – 4q = 1 + 9q 5 = 13q q = 5/13= 0,385 Dan apabila nilai q = 0,385, maka nilai (1-q) adalah (1 – 0,385) = 0,615, sehingga kedua nilai probabilitas untuk strategi St1 dan St3 milik perusahaan Bangun sudah diketahui nilainya. Apabila kedua nilai probabilitas tersebut dimasukkan dalam kedua persamaan di atas, maka kerugian minimal yang diharapkan oleh perusahaan Bangun diperoleh dengan cara mensubstitusikan hasil dari persamaan baru ke persamaan ke-1 atau ke persamaan ke-2 sbb: -Substitusi ke persamaan 1 = 2q + 6(1-q) = 2 (0,385) + 6 (0,615) = 4,46 -Substitusi ke persamaan 2 = 10q + 1(1-q) = 6 (0,385) + 1 (0,615) = 4,46 Pastikan bahwa keduanya menghasilkan kerugian minimal yang sama, yakni sebesar 4,46. Kalau kita lihat kembali kerugian yang dialami Perusahaan Bangun sebelum menggunakan strategi campuran adalah sebesar 6, setelah menggunakan strategi campuran, kerugian minimal perusahaan Bangun bisa menurun sebesar 1,54. D. Kesimpulan Dari analisis tentang peran Game Theory dalam strategi penetapan harga diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa Game Theory memiliki peran strategis dalam membantu perusahaan menentukan strategi apakah akan mengambil strategi harga murah, sedang atau mahal. 150
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Penggunaan Game Theory dalam Strategi Penetapan ... (Ekawati Rahayu Ningsih)
Dalam penyelesaian masalah, ketika menggunakan strategi murni ternyata belum mampu menemukan nilai permainan (sadle point) yang sama, maka untuk membantu menyelesaikan masalah bisa dilanjutkan dengan menggunakan strategi campuran. Penggunaan strategi campuran ini terbukti disamping mampu menemukan nilai permainan (sadle point) yang sama, strategi campuran ini juga mampu memberikan hasil yang lebih baik bagi masing-masing perusahaan.
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
151
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
DAFTAR PUSTAKA
Abad, Prakash L., 1988. Determining optimal selling price and the lot size when the supplier offers all-unit quantity discounts. Decision Sciences 3 (19), 622–634 Aumann, R. J. 1959. Acceptable Points in General Cooperative Person Games, pp. 287-324 in “Contributions to the Theory of Games”, Volume IV, A. W. Tucker and R. D. Luce, editors. Princeton University Press. Basar, T. and G.J. Olsder. 1995. Dynamic noncooperative game theory. SIAM, Philadelphia. Cachon, G. and M. Lariviere. 2001. Contracting to assure supply: how to share demand forecasts in a supply chain. Management Science. Vol.47, 629-646. Hanafy, Mamduh M, 2003, Manajemen. Yogyakarta, UPP AMP YKPN. Hasibuan, Malayu, S.P, 2006, Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta, Bumi Aksara M. Esmaeili a, Mir-Bahador Aryanezhad a, P. Zeephongsekul b2. Tang, Qimeng. (2008). A game theory approach in seller buyer supply chain. European Journal of Operational Research (4): 1-7. Moulin, H. 1986. Game theory for the social sciences. New York University Press. Sun, Jie. (2006). Capital Structure, Governance Structure and Agency Costs : Theory, Experience and Revelation. Beijing: Social Science Press. Sitinjak, toni dkk, 2004, Model Matriks Konsumen, Gramedia Pustaka Utama Jakarta
152
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
URGENSI METODE VISITING AREA DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH
Oleh: Moh. Rosyid Dosen STAIN Kudus
Abstrak Mengunjungi lokasi yang bernilai sejarah agar peserta didik tak jenuh sekaligus dijadikan metode pembelajaran sejarah (visiting area/VA) sangat bermanfaat bagi pemahaman pesan sejarah. Hal ini dengan dalih, mengurangi kebosanan peserta didik jika hanya belajar (sejarah) di kelas dan meyakinkan peserta didik bahwa peristiwa masa lalu benarbenar terjadi. Area yang dikunjungi dapat di museum, makam, atau lainnya. Hal ini perlu dilakukan dengan pertimbangan, berdasarkan temuan United States Agency for International Development (USAID), kurang lebih sepertiga pelajaran yang diobservasi di kelas jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi (PT) masih didominasi model ceramah. Hal itu berdampak proses belajar tak berjalan kreatif, tak efektif, dan tak menyenangkan. Metode pembelajaran sejarah di sekolah harus diubah/disesuaikan jika tak inovatif agar lebih menyenangkan dan tak membosankan peserta didik. Siswa tak hanya menghafalkan isi buku teks sejarah dan tak memahami latar belakang sejarah tertentu. Mata pelajaran sejarah harus disampaikan dengan cara yang lebih menyenangkan dan tak harus secara konvensional di kelas. Metode pembelajaran meliputi pembelajaran aktif (active learning), pembelajaran berpusat pada anak (Child-centered learning), dan pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning). Berbekal fasilitas lembaga pendidikan berupa bus sekolah/kampus, laboratorium, lahan-ladang praktek, atau lainnya peserta didik dapat dengan mudah menggunakan fasilitas tersebut untuk menunjang proses pembelajaran. Di antara tempat yang ideal didatangi adalah museum. Hal yang dapat dipetik, peserta didik yakin dengan kebenaran peristiwa sejarah karena dapat membuktikan secara langsung peninggalan sejarah. Dengan metode “anjangsana dan praktek” diharapkan peserta didik tak jenuh dengan lingkungan monoton. Kata Kunci: Pembelajaran Sejarah dan VA ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
153
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
A. Latar Belakang Sejarah merupakan peristiwa yang telah berlalu, jika tak ditelaah, dikhawatirkan ‘menguap’ dan tak membekas bagi generasi kita. Endapan peristiwa sejarah dapat dijadikan pelajaran (i’tibar) bagi generasi kini dan mendatang. Naskah ini menelaah sejarah dalam praktek pembelajaran dengan metode visiting area (VA) yakni mengunjungi lokasi yang bernilai sejarah agar peserta didik tak jenuh, bosan, dan acuh dengan pelajaran (perkuliahan) sejarah terutama dalam merespon peristiwa masa lalu, sekaligus dapat memahami pesan sejarah secara tuntas ketika menerima mata ajar sejarah. Tindakan preventif dijadikan senjata ampuh, jika peserta didik pasif dalam pembelajaran, janganlah kita mencari kambing hitam, tetapi berinovasi dalam pembelajaran. Agar kebosanan tak berkelanjutan -sebagai indikator lemahnya penghargaan terhadap peristiwa sejarah adiluhung-, VA perlu dijadikan solusi problem pembelajaran agar pesan dan makna sejarah dapat mengendap dan dijadikan teladan bijak (uswatun hasanah) setiap generasi di tengah ’perselingkuhan’ sejarah oleh pihak yang berkepentingan (sempit dan sesaat) sehingga menyesatkan. Kata ‘sejarah’ dipahami masyarakat umum dengan makna kisah, cerita, atau tuturan yang mana aktifitas tersebut telah dilakukan oleh pelaku sejarah pada masa lalu. Pelaku sejarah bukan dominasi sosok hebat, besar, dan berpangkat, tetapi person yang berperan dalam menoreh dan berkiprah dalam percaturan sejarah. Kata ‘masa lalu’ berkedudukan sebagai keterangan waktu yang menunjukkan aktifitas yang telah berlalu dan tak memiliki batasan jangka waktu (sejak kapan). Semakin lama, semakin menggugah kenangan sejarah jika dibanding masa yang barusan berlalu. Masa lalu dalam menggalinya membutuhkan kepiawaian bagi penulis sejarah jika dibuat torehan sejarah karena referensi sejarah masa lalu membutuhkan kepedulian arsiparis handal. Diawali respon peserta didik yang jenuh menerima mata ajar Sejarah Peradaban Islam (SPI) karena bersifat pengulangan (mulai jenjang wajib belajar hingga perguruan tinggi), metode pembelajaran yang usang, dan pengajar yang tak profesional merupakan parasit pendidikan. Perlu reformulasi pembelajaran diawali dengan prinsip 154
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Urgensi Metode Visiting Area dalam Pembelajaran Sejarah (Moh. Rosyid)
pembelajaran dalam hal SWOT: kemampuan (strength), kelemahan (weaknesses), kesempatan (opportunity), hambatan (threat), solusi (solution), dan evaluasi oleh stakeholders pendidikan. Diharapkan bagi peserta didik ketika proses pembelajaran di kelas, lab, lapangan, bengkel kerja, di luar kelas dapat memahami secara utuh teks maupun makna di balik teks sejarah. Bagi guru, konselor atau pendamping; ketika mengajar dapat direspon dengan positif oleh peserta didik dalam proses pembelajaran. Untuk mata ajar; ketika guru menyampaikan materi ajar, peserta didik dapat piawai memahami pesan sejarah. Hasil belajarnya tercapai kaitannya dengan metode pembelajaran, dan lingkungan; hubungan antara lingkungan (sekolah/masyarakat) terwujud kesuksesan belajar. Hal tersebut berpijak adanya masalah dalam pembelajaran, untuk menelaah sisi lemah metode pembelajaran, identifikasi masalah, dan analisis masalah perlu dikedepankan. Untuk mendapatkan jawabannya, perlunya diteliti yang diawali dengan menggali problem pembelajaran dengan cara mendapatkan umpan balik secara terbuka dari peserta didik, apa kendala dan bentuk keterbatasan metode dan materi pembelajaran supaya kejenuhan dapat dicari solusinya. Hal tersebut tercipta jika menggunakan metode pembelajaran yang dinamis. Proses pembelajaran sejarah di kelas yang menjenuhkan karena metode yang layu akibat pendidik yang asal comot, tak jelas basic keilmuannya, asal ada di depan peserta didik merupakan pelaku sejarah. Berdasarkan analisis dan temuan United States Agency for International Development (USAID), kurang lebih sepertiga pelajaran yang diobservasi di kelas jenjang tingkat dasar hingga perguruan tinggi (PT) masih didominasi model ceramah. Menurut Djoko Santoso, Dirjen Dikti Diknas, hal itu berdampak proses belajar tak berjalan kreatif, tak efektif, dan tak menyenangkan (Republika, 6/7/2010, hlm.6). Lagian di jenjang wajib belajar, sejarah tak di-UN-kan! Sehingga asal jalan, asalasalan juga jalan. Indikator tersebut diperkuat dengan dilupakannya pelaku sejarah yang manis atau yang pahit dan keberadaan situs (tempat) sejarah, catatan/naskah sejarah, benda sejarah kreativitas bersejarah atau benda sejarah nuansa agama oleh generasi masa kini. Lihat! Pemerintah Arab Saudi membangun Hudaibiyah sebagai tempat dialog antaragama, hal ini diilhami kiprah Nabi SAW yang menjadikan Hudaibiyah sebagai tempat penandatanganan perjanjian damai antara ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
155
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Nabi dengan kaum Kafir Quraisy tahun 628 M (Republika, 23/6/2010, hlm.12). Dengan demikian, perlunya menumbuhkan memori sejarah agar tak dilupakan pewaris sejarah dengan mengkaji peristiwa yang terpendam oleh dinamika kehidupan. Metode pembelajaran sejarah di sekolah harus diubah/ disesuaikan jika tak inovatif agar lebih menyenangkan dan tak membosankan peserta didik. Siswa tak hanya menghafalkan isi buku teks sejarah dan tak memahami latar belakang sejarah tertentu. Hal ini dinyatakan oleh Dirjen Sejarah dan Purbakala, Kemenbudpar, Aurora Tambunan, seusai pembukaan Lawatan Sejarah Nasional (Lasenas) VIII, 25/10/2010 di Banjarmasin, Kalsel. Ditambahkan oleh Direktur Nilai Sejarah, Shabri Aliaman, mata pelajaran Sejarah harus disampaikan dengan cara yang lebih menyenangkan dan tidak harus secara konvensional di kelas (Kompas, 27/10/2010, hlm.12). Mengulas metode pembelajaran jika pendidiknya tak sigap dan dinamis memahami kondisi peserta didik dalam pembelajaran, patut diduga proses pembelajaran menjenuhkan. Kejenuhan yang menghinggapi peserta didik terhadap metode pembelajaran sejarah jika tak dievaluasi menimbulkan dampak apatisme sejarah. Solusinya antara lain reaktualisasi dan reformulasi metode pembelajaran sejarah, antara lain metode pemanfaatan pemberitaan media massa cetak untuk sumber pembelajaran yakni model kliping dan program lawatan sejarah atau muhibah sejarah. Bentuknya seperti kunjungan ke situs sejarah, berdialog dengan tokoh sejarah, dan saksi sejarah agar tumbuh kesadaran menghormati peristiwa sejarah. Sisi lain, perlunya pendidik mengoptimalkan sumber pembelajaran sejarah yang berasal dari dokumen, museum, bangunan peninggalan sejarah, pelaku sejarah, dan saksi sejarah. Adapun teknik sajian dalam pembelajaran sejarah dapat memanfaatkan media audio, visual, atau audio visual, seperti tayangan film, dsb. Adapun teknik sajian pembelajaran sejarah dapat berupa ceramah bervariasi, studi pustaka, penugasan, pengenalan lingkungan (visiting area), memanfaatkan syair dan lagu, lomba cerita sejarah dan puitisasi, studi wisata, studi lapangan, wawancara, dan kunjungan ke museum atau tempat bersejarah. Jika mengharap metode atau model pembelajaran sejarah yang ’renyah’, perlu berpijak dari penelitian. Di bidang pendidikan, penelitian terpilah empirisme (berdasarkan obyek penelitian yang dapat diindra), intepretivisme 156
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Urgensi Metode Visiting Area dalam Pembelajaran Sejarah (Moh. Rosyid)
(fakta mengandung unsur subjektif, pengetahuan dapat berubah dan tak dapat digeneralisasikan, kritis (menghasilkan penelitian untuk perbaikan, pengetahuan dipengaruhi unsur subjektif dan penguasa), dan poscritical (mempertanyakan kembali apa yang sudah dianggap benar, seperti teori, hukum, dalil, dsb.) (Subyantoro, 2009:6). VA merupakan perpaduan keempat pilahan penelitian pendidikan yang menyatu, tetapi lebih condong pada criticalism. Adapun alasan dilakukannya VA untuk mewujudkan kepekaan guru dalam mengatasi kejenuhan pembelajaran, meningkatkan metode pembelajaran yang belum optimal, dan mewujudkan kinerja guru profesional dan kreatif. Optimalisasi pembelajaran diukur dengan keberhasilan hasil pembelajaran yakni memahami makna sejarah yang tertuang dalam silabi dengan mengevaluasi dan responsif dalam pembelajaran. Sedangkan profesionalisme dan kreatifitas guru dapat diukur dengan dinamisnya metode pembelajaran yang disajikan dalam pembelajaran, disesuaikan dengan tema pembelajaran. Hal tersebut menjadi persoalan dalam pembelajaran, sekaligus dicari solusi bijak agar menjadi penikmat sejarah dan menjadi generasi yang bijaksana, tidak ’bijak sini’yakni generasi yang mikul duwur mendem jero terhadap torehan sejarah leluhurnya. Solusi yang perlu didalami sebagaimana tawaran konsep naskah ini adalah pembelajaran sejarah bermetodekan VA. Ingat kata bijak, untuk menghancurkan suatu bangsa, hancurkanlah ingatan sejarah generasi mudanya! Sejarah adalah guru kehidupan (historia vitae magistra) dan jangan sekali-kali melupakan sejarah (Jasmerah), apalagi ’jari merah’ (jangan lari dari sejarah)! Jika peduli dengan sejarah dalam bentuk berkarya, pada saatnya berpeluang mendapat reward dari publik. B. Rumusan Masalah, Harapan, dan Signifikansi Fokus telaah yang memperhatikan hal pokok yakni merasakan adanya masalah (tak puas terhadap pembelajaran yang dilakukan, berpikir balik untuk melihat sisi lemah pembelajaran, dan ada usaha mengatasi masalah) dan identifikasi masalah berupa sejauhmana urgensi metode pembelajaran VA dalam pembelajaran sejarah, dengan harapan tercipta generasi penikmat dan (calon) pelaku sejarah yang bijak dan handal berpijak dari metode pembelajaran VA. Adapun signifikansi penelitian ini adalah dimunculkannya inovasi metode pembelajaran, pengembangan silabi dan kurikulum, ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
157
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
dan meningkatkan profesionalisme pendidik yakni peka dan tanggap terhadap dinamika pembelajaran, meningkatkan kinerja pendidik, memperbaiki model pembelajaran, sehingga sukses dalam pembelajaran. Diharapkan ditemukan efektivitas dan urgensi pembelajaran sejarah dengan metode VA didukung prinsip SMART: specific (kajian khusus), managabel (dapat dilaksanakan), achievable (dapat dijangkau), realistic (nyata), time-bound (terencana), dan dievaluasi secara berkesinambungan. C. Landasan Teori Kerangka teori naskah ini mengulas (i) konsep pembelajaran sejarah, (ii) konsep sejarah (orientasi penulisan sejarah, peta penulisan sejarah, dan rancangan penelitian sejarah), dan (iii) rancangan penelitian sejarah. 1 Konsep Pembelajaran Sejarah Metode pembelajaran yang mengaktifkan diri antara pendidik dan peserta didik dalam proses pendidikan adalah modal dasar menuju keberhasilansesuaitugaskerjamasing-masing.Dengankeaktifan,segala sesuatunya dapat digapai dengan mudah, keaktifan itu berlaku untuk pendidik, peserta didik, dan lingkungan pendidikan. Inovatif dalam proses pendidikan sangat diharapkan untuk menggapai keberhasilan, dengan harapan diperoleh perkembangan baru menuju pembaruan dalam segala aspek. Kreatif tak hanya monopoli pendidik, peserta didik pun diharapkan mampu mengembangkan kreativitas sesuai dengan daya dan kemampuan diri menuju perbaikan. Efektif dalam proses pendidikan dibutuhkan penggunaan waktu secara optimal, dengan harapan tak terpaku pada aktivitas rutin. Adapun menyenangkan atau rasa enjoy dalam proses pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap proses pendidikan, hal ini diharapkan proses pendidikan memunculkan inovasi baru. Pembelajaran yang menyenangkan ini dikenal contextual teaching and learning (CTL); memfokuskan proses pembelajaran menyenangkan melalui kreatifitasnya atau learning by doing; pembelajaran mengedepankan aspek praktek sehingga menjadi kebiasaan, ada juga yang mengistilahkan quantum learning dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dengan materi yang menyenangkan dan menggairahkan siswa. 158
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Urgensi Metode Visiting Area dalam Pembelajaran Sejarah (Moh. Rosyid)
Sedangkan metode pembelajaran hasil reka pikir Indratno (2005) meliputi pembelajaran aktif (active learning), pembelajaran berpusat pada anak (Child-centered learning), dan pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning). Pembelajaran aktif; hal ini dapat diartikan bahwa proses pembelajaran membutuhkan keaktifan dari berbagai unsur antara lain peserta didik, pendidik, lingkungan pendidikan, dan lingkungan masyarakat. Keaktifan itu disesuaikan dengan kapasitas masing-masing dalam hal peningkatan prestasi pembelajaran. Pembelajaran berpusat pada anak; keberadaan peserta didik sangat dominan peran sertanya berupa kesiapan awal untuk mengkaji dan mendalami materi ajar atau disebut dengan berbasis kompetensi, yang mana keberadaan peserta didik mengembangkan potensi secara optimal yang diimbangi dengan keberadaan sarana dan prasarana pembelajaran untuk merealisasikan teori-konsep yang dikenal dengan praktek pembelajaran. Pembelajaran yang menyenangkan; konsep pembelajaran menyenangkan sangat dominan ditentukan oleh pendidik terhadap peserta didik dengan metode, kiat, dan strategi khas dari pendidik, di antara faktor “menyenangkan” dalam hal ini adalah adanya inovasi baru yang menyesuaikan dengan kondisi riil beserta prasarana yang ada, misalnya pembelajaran tentang mata ajar sejarah, dengan adanya fasilitas sekolah berupa bus sekolah, laboratorium, lahan-ladang praktek, atau lainnya peserta didik dapat dengan mudah menggunakan fasilitas tersebut untuk menunjang proses pembelajaran. Dengan metode “anjangsana dan praktek” tersebut, diharapkan peserta didik tak jenuh dengan lingkungan monoton. 2. Konsep Sejarah Sebagai ilmu, sejarah merekonstruksi peristiwa masa lampau dan mengedepankan aspek keaslian (otentisitas), keterpercayaan (kredibilitas), dan keterhandalan (reliabilitas) (Kuntowijoyo, 2001:199). Keunikan penelitian sejarah dibanding penelitian keilmuan lainnya, menurut penulis, pertama, penelitian sejarah ‘membedah’ data lintas keilmuan, maksudnya, sebagai perbandingan, jika penelitian bidang sosiologi, berkutat seputar kemasyarakatan, tetapi penelitian sejarah dapat menerobos sekat keilmuan tanpa batas, dengan catatan menggunakan kaidah penelitian sejarah yang berpijak pada analisis ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
159
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
sejarah yang mengulas (i) karakteristik (orientasi dan sumber), (ii) peta penulisan sejarah (tujuan, obyek, dan tahapan), (iii) rancangan penelitian sejarah (metode sejarah, langkah, kaidah, dan teori). Kedua, merangsang pengkaji untuk menerawang kejadian masa lalu dan (kemungkinan) dalam mengantisipasi masa kini dan mendatang karena peristiwa sejarah dijadikan pelajaran hidup. Selain keunikan, mengkaji sejarah berpijak dari filsafat sejarah yang memiliki tiga unsur pokok yakni historiografi, proses penulisan histori (sejarah spekulatif), dan filsafat sejarah kritis. Filsafat sejarah bermanfaat untuk (1) mempertajam kepekaan peneliti sejarah sehingga dapat mengurangi kepincangan penalaran sistematis yang muncul di kalangan sejarawan, (2) bagi peneliti sejarah, dapat menilai diri tentang kajian pada saat tertentu, (3) mengembangkan ilmu sejarah. Teori sejarah berfungsi menyajikan teori dan konsep yang memungkinkan sejarawan dapat mengintegrasikan semua pandangan yang terpecah mengenai masa silam yang dikembangkan berbagai spesialisasi ilmu sejarah untuk menyusun kembali kepingan masa silam agar dikenali generasi mendatang (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 2004:467). a. Orientasi Penulisan Sejarah Terdapat tiga orientasi penulisan sejarah (1) pengetahuan tentang kejadian masa lalu berkait dengan masa kini (sejarah tradisional), (2) pengetahuan tentang cara menguasai pada masa lalu, diperoleh dengan menyelidiki dan menganalisisnya (sejarah rasional), dan (3) falsafah perubahan masyarakat (Dudung, 2007:100). Naskah ini lebih memfokuskan pemahaman pesan sejarah dalam proses pembelajaran bagi peserta didik. Adapun sumber penulisan sejarah berupa peninggalan bendawi (relief, monumen), peninggalan tertulis (manuskrip), dan data verbal (prinsip hidup). Sumber primer naskah ini berupa silabi pembelajaran. b. Peta Penulisan Sejarah Peta penulisan sejarah meliputi tujuan, obyek, kaidah, dan tahap penulisan sejarah. Tujuan penulisan sejarah pada dasarnya menemukan gejala kehidupan dengan menelusuri sumber masa silam, didasarkan persoalan sejarah dalam berbagai hal (Dudung, 2007:84). Objek penelitian ini mengedepankan penggalian data berkaitan metode pembelajaran SPI berupa VA untuk dicari problem/ 160
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Urgensi Metode Visiting Area dalam Pembelajaran Sejarah (Moh. Rosyid)
penghambat keberhasilan pembelajaran. Penelitian sejarah menurut Suhartono melalui tahapan (i) mengumpulkan sumber (heuristik) yang tertulis (dokumen dan lainnya), benda peninggalan (artefak), halhal tak tertulis (oral), (ii) kritik sumber menguji keotentikan/keaslian sumber sejarah, (iii) interpretasi dengan menganalisis data sejarah dan mensintesakan (menelaah sebab-sebab dan aspek sejarah), dan (iv) eksposisi/narasi sejarah (2006:150). Hal-hal tersebut dituangkan dalam materi pembelajaran. c. Rancangan Penelitian Sejarah Untuk meneliti sejarah secara ilmiah, menggunakan metode sejarah mengedepankan aspek heuristik (menghimpun sumber sejarah), kritik (menyelidiki gejala sejarah), interpretasi (menetapkan makna saling hubungan), dan historiografi (penulisan sejarah), sedangkan Juraid (2006:80) mengedepankan penelitian sejarah berupa (a) eksplanasi yakni mengembangkan, menganalisis, dan menjelaskan hubungan (connection) antarfenomena dan kausalitas (causation) dan ditemukan akibatnya yang saling berkaitan (relation nature), (b) analogi untuk memberi informasi, ilustrasi, mengkomunikasikan, dan menjelaskan instrumen sejarah/alat bantu pembuktian sejarah, dan (c) hermeneutik, menafsirkan makna (meaning) dari peristiwa, proses, dan aksi pada masa lalu dengan menghayati, memahami, dan menjelaskan peristiwa sejarah. Adapun langkah menulis (meneliti) sejarah meliputi (i) pemilihan topik mengedepankan kedekatan emosional dan intelektual, (ii) pengumpulan sumber (tertulis, benda sejarah/artifact, sumber lisan (folklore), sumber kuantitatif, (iii) verifikasi/ pengecekan keotentikan (keaslian) dan kredibilitas (keterpercayaan), (iv) interpretasi/pemahaman, analisis, dan pernyataan ide/sintesis, dan (v) penulisan sejarah (historiografi) (Juraid,2006:70). Interpretasi sejarah menurut Dudung (2009:73) meliputi teologis, geografis, ekonomis, dan rasial. Adapun kaidah penulisan sejarah meliputi (i) regularitas (keajekan, keteraturan, dan konsistensi), (ii) generalisasi (persamaan karakteristik), (iii) pembagian waktu/pembabagan sejarah, dan (iv) multiinterpretable (menafsirkan, memahami, dan mengerti) (Kuntowijoyo, 2001:11). Sedangkan teori yang digunakan dalam menulis sejarah (i) konjungtif (menghubungkan), disjungtif (mencari ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
161
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
alternatif), rasional, deskriptif, evaluatif, dan kombinasi (Suhartono, 2009). D. Kontribusi yang Dihasilkan Cara pemecahan masalah merupakan hipotesa dasar penelitian ini yakni mengurai problem pembelajaran, masalah tersebut tertuang dalam permasalahan. Adapun hipotesa pemecahannya adalah (1) bagaimanakah metode pembelajaran VA yang ideal? Idealitas pembelajaran jika menghasilkan didikan yang paham terhadap substansi (silabi) dan dalam konteks kekinian, dialogis dan proaktif dalam pembelajaran terhadap dinamika sejarah, indikatornya adalah produktivitas berkarya ilmiah (makalah) individu, (2) kendala apa sajakah yang dihadapi stakeholders pendidikan dalam mewujudkan kualitas pembelajaran SPI, (3) bagaimana evaluasi dilakukan, dan (4) solusi apakah yang harus dilakukan pendidik agar pembelajaran SPI dengan VA dapat sukses. Metode pembelajaran sejarah menurut Hartono (1996) berupa pemahaman gambar, belajar dengan peta, permainan drama dan simulasi, tugas menulis, studi dokumen, kajian teks. Metode pembelajaran sejarah yang dominan di berbagai jenjang pendidikan adalah ceramah, dialog/diskusi, tugas individual, dan visiting area. 1. Ceramah dan Dialog Ceramah dijadikan media transformasi informasi dengan harapan materi yang disajikan dapat dipahami, sedangkan dialog merupakan media umpan balik hasil materi yang diceramahkan. Kendala metode ceramah jika peserta didik tak mampu ’bersuara’ karena berbagai hal, sehingga dalam proses pembelajaran tidak dialogis. Selain berceramah, metode yang tertradisi adalah tugas individual. 2. Tugas Individual Tugas individu lazimnya berupa makalah, kliping media (nonbuku) meliputi koran harian, mingguan, bulanan, dsb., jurnal, buletin, dsb. Semua itu dilaksanakan secara individu dengan diberi kemudahan berupa keleluasaan mencari sumber acuan (referensi) dan diperbolehkan ditulis secara manual (tak harus diketik 162
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Urgensi Metode Visiting Area dalam Pembelajaran Sejarah (Moh. Rosyid)
komputer) terhadap berbagai topik kesejarahan. Hal ini didasarkan realitas bahwa tak semua peserta didik memiliki komputer, dengan manual lebih ekonomis karena tujuan utama membuat/tugas makalah sebagai media penuangan ide. Konsekuensinya, pendidik membaca setiap makalah karya peserta didik untuk dikritisi sisi kekurangannya dan diberi jalan keluar. 3. Diskusi Pelaksanaan diskusi diharapkan mengasah kreatifitas peserta didik menuangkan ide, mengokohkan argumen di hadapan publik terbatas sebagai media tampil berdiskusi di tengah proses pembelajaran (ceramah) dan ketika peserta didik mempresentasikan makalahnya di kelas. 4. Kliping Media Media massa merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat yang mendambakan demokrasi dan kebebasan (yang terbatas), keberadaannya cukup strategis dan senantiasa diperhitungkan masyarakat. Dalam pandangan positivistik, berita adalah cermin dari realitas, karenanya (berita) harus mencerminkan realitas yang hendak diberitakan. Apapun yang disampaikan media dianggap sebagai sesuatu yang benar. Sedangkan dalam pandangan konstruksionisme, berita adalah hasil dari konstruksi (rekayasa) sosial media, berita selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai dari wartawan atau media, artinya sebagai aktor sosial, wartawan turut mendefinisikan apa yang terjadi dan secara aktif membentuk peristiwa dalam pemahaman mereka. Khalayak pembaca pun memiliki penafsiran sendiri yang (bisa jadi) berbeda dari pembuat berita. Untuk mengatasi perbedaan keduanya, dalam dunia jurnalistik terdapat kebijakan imparsial (tak utuh) serta teknik penyampaiannya yang memenuhi cover both side sebagai panduan etikanya. Kedua hal tersebut, artinya kebenaran dalam isi berita tidak bisa dilihat dari ‘satu pihak’, tetapi harus dikonfirmasi menurut kebenaran ‘pihak’ lain. Norma yang dapat dijadikan sandaran hukum dikenal dengan istilah Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEJ menandaskan (i) berita diperoleh dengan jujur, (ii) meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum menyiarkan/mewartakan (check and recheck), ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
163
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
(iii) membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion), (iv) menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tak mau disebut namanya, (v) tak boleh memberitakan keterangan yang diberikan secara off the record atau for your eyes only, dan (vi) dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu surat kabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi. Menurut Dja’far Assegaf (1983) KEJ adalah ketentuan yang dijadikan pedoman bagi setiap wartawan dalam menjalankan tugasnya, sedangkan dari aspek pengaduan hukum. Menurut Samsul Wahidin (2006) bahwa institusi yang disediakan untuk menyelesaikan terjadinya kerugian yang muncul akibat sajian pers adalah melalui tiga jalur (i) mempergunakan hak jawab (right to hit back), (ii) menempuh jalur hukum lewat lembaga peradilan, dan (iii) mempergunakan keduanya (Yuliyanto, 2008:1). Peristiwa global, kecil atau besar, menjadi kebutuhan publik karena ekspos media. Menurut teori agenda setting, media berperan mengajak publik untuk memikirkan suatu realitas sehingga menggiring penafsiran fakta terdekat di sekelilingnya. Pakar media memunculkan adagium The borders are gone. We have to grow. Batas wilayah sudah lenyap, namun kita harus tetap tumbuh dan berkembang. UU No.40/1999 tentang Pers, menandaskan pers dapat diandalkan sebagai sumber penelitian/penulisan. Meskipun sumber data media massa cetak menyimpan kelebihan dan keterbatasan/ kekurangan. Kelebihannya di antaranya pemberitaan media dapat dijadikan media informasi cepat-akurat-dan tepat kepada publik secara luas tak terbatas. Adapun kekurangan tersebut antara lain, pertama, setiap pemberitaan media massa tak selalu tuntas dalam menyajikan berita. Hal tersebut dilatarbelakangi karena karakter pemberitaan media massa yang tak selalu sama dalam hal ketajaman analisis dan jangkauan ‘memetik’ berita. Kedua, anggapan media terhadap berita yang tak selalu sama dalam memosisikan halaman pemberitaan, alokasi jumlah penuangan pemberitaan dalam setiap penerbitan, analisis peristiwa pemberitaan, dan penuntasan pemberitaan. Halaman pemberitaan menandaskan bahwa anggapan redaktur koran terhadap mutu dan ekses yang melatarbelakangi peristiwa, sedangkan alokasi jumlah penuangan pemberitaan menandakan ketajaman perolehan data. Adapun analisis dan penuntasan pemberitaan bermakna bahwa 164
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Urgensi Metode Visiting Area dalam Pembelajaran Sejarah (Moh. Rosyid)
redaktur mengikutsertakan perkembangan pemberitaan secara tuntas. Tetapi, jurnalis harus mengadakan check and recheck (crosscheck) atau cek silang antara info yang diperoleh dengan realitas data. Dengan harapan berita yang tersaji pada pembaca memiliki nilai berita (news values). Memahami esensi berita di media menandaskan bahwa berita media dikliping untuk dijadikan sumber (metode) pembelajaran sejarah sangat membantu dinamika pembelajaran sejarah itu sendiri. Perkembangan berikutnya, keterlibatan warga/masyarakat dalam menyampaikan informasi ke tengah publik melahirkan sebutan jurnalisme warga (citizen journalism) sebagai media melengkapi informasi yang tak diliput jurnalis menurut pertimbangan warga. Hal ini sebagai bukti makin menguatnya keterbukaan informasi dan berdayanya masyarakat yang berimbas terbukanya pemerintah dalam menyajikan informasi perihal kebijakannya pada warga. Langkah jurnalis warga ini pun difasilitasi oleh media yang berupa suara pembaca atau lainnya. Dengan demikian, metode pembelajaran sejarah dengan memanfaatkan nukilan berita dengan cara dipilah berita yang ada di media massa sesuai dengan topik sejarah merupakan media pembelajaran yang secara tak langsung mengondisikan peserta didik dekat dengan media massa, sehingga tertradisi menjadi generasi yang gemar membaca. 5. Konsep Visiting Area Visiting area (kunjungan ke lokasi bersejarah) secara mandiri atau kelompok bertujuan agar peserta didik leluasa mencari atau ditunjukkan situs sejarah sesuai dengan kemampuannya menjangkau dengan koridor sesuai dengan silabi (dalam bab analisis) yang tersaji. Jika peserta didik belum dewasa, perlu dipandu oleh pendidik atau guide, tetapi jika peserta didik telah dewasa, diberi kesempatan untuk mandiri. Di antara lahan yang dapat dijadikan tempat ’berteduh’ menggali dan memahami artefak masa lalu adalah museum. Museum merupakan wahana memberikan gambaran dan pendidikan tentang perkembangan alam dan budaya manusia pada masa lalu yang terdokumentasikan. Keberadaan museum di Indonesia lebih dari 279 museum, terdiri atas 58 museum umum (dikelola instansi pemerintah pada jajaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) sedangkan ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
165
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
221 museum khusus (milik Pemda atau swasta). Museum Nasional, Jakarta terdapat 145 ribu benda dari sejumlah daerah dan beragam usia meliputi koleksi prasejarah, arkeologi, keramik, numismatik dan hedralik, relik sejarah, etnografi dan geografi, 50 persennya yang dapat dipamerkan pada publik karena terbatasnya tempat pameran dan kondisi barang kuno yang rawan rusak jika sering dipindahpindahkan (Kompas, 24/5/2010, hlm.12). Museum swasta kini muncul seperti Museum Layang-Layang di Jakarta, House of Sampoerna di Surabaya, Museum Batik Danar Hadi di Solo, dsb. Semakin menjauhnya publik terhadap museum karena image negatif, maka setiap tanggal 18 April dijadikan Hari Situs dan Monumen Sedunia (World Heritage Day) yang pertama kali diusulkan oleh ICOMOS tahun 1982 dan ditetapkan UNESCO pada sidang umum ke-22 tahun 1983. Keberadaan museum ibarat potret masa lalu yang terdokumentasikan. Dokumen tersebut dijadikan kenangan antara menyenangkan-membahagiakan, menyedihkan- menistakan. Bahkan jika suatu bangsa tak memiliki museum, niscaya potret masa lalu leluhurnya hilang tak membekas. Sebagaimana terbakarnya Kamp Peninggalan Tentara Nazi Jerman di Majdanek, Polandia, pada tanggal 10/82010 menghanguskan sekitar 10 ribu sepatu peninggalan korban pembantaian terhadap Yahudi oleh tentara Nazi (holocaust). Museum tersebut memotret bahwa 80 ribu orang, 60 ribu di antaranya warga Yahudi, tewas di kamp Majdanek saat Jerman menduduki Plandia pada bulan Oktober 1941 sampai kamp itu dibebaskan Uni Soviet pada bulan Juli 1944. Semasa Nazi berkuasa, lebih dari 1,5 juta anak Yahudi diklaim tewas karena Nazi ingin menciptakan keturunan murni ras Aria. Pada tahun 1930 Nazi Jerman melarang anak-anak Yahudi bersekolah di sekolah Jerman atau berada di tempat terbuka (Republika, 12/8/2010, hlm.11). Bagaimana museum kita? Museum kita berada pada posisi memprihatinkankah? Sebagaimana kondisi Museum Negeri Sonobudoyo, Yogyakarta, pada tanggal 11/8/2010 (1 Ramadan 1431 H) sebanyak 17 buah koleksi emas, mulai dari topeng emas, patung emas, mangkok, kalung, hingga liontin, hilang dari tempatnya. Beberapa dalih yang mengenaskan, dana perawatan museum selama setahun dari APBD DIY sebesar 700 juta yang digunakan untuk menggaji 65 pegawai, membayar listrik bulanan, pemeliharaan koleksi museum, 166
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Urgensi Metode Visiting Area dalam Pembelajaran Sejarah (Moh. Rosyid)
dan menerjemahkan koleksi naskah kuno museum. Tak bedanya museum Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, koleksi barangnya tak terdata dan tak terawat. Ruangan museum menjadi mesum dan kusam, sehingga pengunjung digratiskannya pun yang singgah hanya 3.491 pada tahun 2008 dan 4.421 pada tahun 2009. Bagaimana dengan museum di Sulawesi Selatan? Museum La Galigo secara fisik agak bagus, meski perawatan barang dibersihkan hanya dengan lap, idealnya dengan bahan kimia karena barang museum terbuat dari logam, kayu, kertas, dan kain seminggu sekali. Akibatnya sebagian koleksi rusak dan dimakan rayap dan berdebu. Kerusakan juga dipicu oleh kelembaban museum yang kurang terjaga. Sisi lain, SDM permuseuman dikelola oleh orang yang kurang profesional. Meski demikian, tak seluruh museum kondisinya mesum, sebut saja Museum Ullen Sentalu di Yogyakarta menjadi tempat favorit para pengunjung karena tak sekedar hanya menyajikan, tetapi memberi informasi dan makna yang lengkap pada setiap obyek yang ditampilkan. Ditambah tata ruang, tata pamer, dan visualisasi yang unik (living heritage). Di Medan, ada Rahmat International Wildlife Museum and Galery yang menyimpan seribu spesies hewan dalam 3.000 koleksi. Ruangan museum bersih, dingin, dan wangi, meski dengan retribusi Rp 25 ribu dan pengunjung rata-rata seribu orang per minggu. Di Jakarta ada Museum Bank Mandiri yang memanfaatkan bangunan tua bekas Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) NV yang dibangun tanggal 27/2/1826. Meski baru berdiri tahun 2005, jumlah pengunjung meningkat. Tahun 2010, hingga Juli, sudah 120 ribu pengunjung yang menyaksikan koleksi museum. Di Bandung ada Museum Geologi yang beroperasi sejak 16/5/1928 dikunjungi lebih dari 300 ribu orang per tahun. Hingga Juli 2010, sudah 290 ribu orang yang mengunjunginya. Keunikan koleksi mulai dari gajah purba hingga replika Tyranosaurus serta 60 ribu koleksi lainnya seperti fosil, batuan, dan berbagai mineral bumi lainnya yang dikumpulkan sejak tahun 1850. Perihal dana tak masalah, seperti pada tahun 2010 mendapatkan kucuran dana dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebanyak 17 miliar, 45 persennya untuk membangun wahana baru agar menarik pengunjung (Kompas, 13/8/2010, hlm.45).
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
167
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Jumlah Pengunjung Museum tahun 2006 – 2009 Data bersumber dari Direktorat Museum, Dirjen Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Data yang diterima per 4 Mei 2010 Jumlah Museum se-Indonesia tahun 2009
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Provinsi NAD Sumut Sumbar Riau Babel Jambi Sumsel Bengkulu Lampung DKI Jaya Jabar Jateng DIY Jatim Bali NTB NTT Papua Maluku Malut Sulut Sulteng Sultenggar Sulsel Kaltim Kalsel Kalteng Kalbar Jumlah
Jenis Museum Umum 1 8 3 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 6 2 3 2 1 1 0 1 1 1 6 5 1 1 3
Khusus 1 4 5 3 0 1 5 0 0 53 22 37 24 18 18 1 6 3 1 3 1 2 1 9 1 1 0 1
Jumlah 2 12 8 4 1 2 6 1 1 54 24 38 26 24 20 4 8 4 2 3 2 3 2 15 6 2 1 4 279
Jajak pendapat yang dilakukan Harian Kompas, tanggal 11-12 Agustus 2010. Hasil jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat Indonesia.
168
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Urgensi Metode Visiting Area dalam Pembelajaran Sejarah (Moh. Rosyid)
A. Apakah Anda pernah berkunjung ke museum? Pernyataan
Persentase
Pernah, sekali Pernah, lebih dari sekali Tidak pernah Tidak menjawab
25,3 persen 48,7 persen 21,8 persen 4,2 persen
B. Hal/kesan negatif apakah yang Anda dapatkan dari kunjungan ke museum? Pernyataan Persentase Tidak terawat/ kotor/ kurang perhatian Pengelolaan/Fasilitas kurang Promosi/ minat/pengunjung kurang Lainnya Tidak tahu
14,7 persen 13,2 persen 6,8 persen 2,2 persen 63,1 persen
C. Hal/Kesan Positif apakah yang Anda dapatkan dari Kunjungan ke Museum?
Pernyataan Meningkatkan Pengetahuan Mendapatkan nilai sejarah Mengingat perjuangan bangsa/pahlawan Adanya pelestarian peninggalan kuno/bersejarah Menumbuhkan rasa nasionalisme Lainnya Tidak tahu
Persentase 24,2 Persen 25,6 Persen 16,3 Persen 15,6 Persen 10,7 Persen 1,6 Persen 6,0 Persen
D. Perlukan dilakukan pemberdayaan kunjungan Museum untuk menumbuhkan nilai cinta sejarah bangsa? Pernyataan Perlu Tidak perlu Tidak tahu Tidak menjawab
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Persentase 93,9 Persen 3,2 Persen 1,9 Persen 1,0 Persen
169
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Memahami museum dalam konteks metode pembelajaran VA terdapat beberapa hal yang dapat dipetik, peserta didik yakin dengan kebenaran peristiwa sejarah karena dapat membuktikan secara langsung peninggalan sejarah. Kontribusi yang dihasilkan (harapan) dalam pembelajaran VA ini pada dasarnya merespon permasalahan menuju tujuan ideal yakni mewujudkan metode pembelajaran SPI ideal, meningkatkan kualitas pembelajaran SPI di lembaga perguruan, memetakan kendala yang dijumpai dalam pembelajaran SPI, dan mencari solusi yang harus dilakukan pendidik agar pembelajaran SPI dapat sukses. Hal yang perlu diagendakan adalah penjadwalan yang tepat sasaran dan tepat lokasi tujuan agar meninggalkan ruang kelas mendapat pengetahuan yang berlimpah. Konsekuensinya harus tersedia waktu dan dana ekstra karena aktivitas di luar kelas membutuhkan akomodasi. Pelaksanaan VA dalam pembelajaran sejarah pada dasarnya bagian kecil dari usaha meluruskan perdebatan peristiwa sejarah. Menurut Nordholt, dkk (2008:1) perdebatan seputar asal-usul, kedaulatan wilayah, legitimasi, status kepahlawanan, siapa musuh dan siapa korban, peran dan nasib pengkhianat dan penjahat, siapa yang elit dan siapa yang tersisih, semua itu menjadi perdebatan sejarah, baik bagi pelaku politik maupun sejarawan. Penulisan sejarah dan klaim akan kebenarannya (truth-claims) tentang masa lampau menjadi penting karena sejarah dianggap sebagai dasar kesadaran sejarah yang fungsinya untuk memperkokoh identitas nasional atau kolektif. Kunjungan ke museum dan situs sejarah merupakan bagian kecil usaha kita membuktikan kebenaran peristiwa sejarah dan perlu pengkritisan oleh berbagai pihak agar tercipta lembaran sejarah yang sahih. Sederap dengan itu, menurut Margana, munculnya pemeo think global act local (berpikir global bertindak lokal) merupakan respon terhadap isu globalisasi yang masuk ke hampir seluruh wacana kehidupan poleksosbud. Revolusi dalam teknologi komunikasi telah mengubah cara berpikir dan berperilaku manusia. Komunitas lokal mulai mengubah pemikiran dan perilaku mereka agar apa yang disebut arus globalisasi tak menenggelamkan identitas dan eksistensi mereka. Pemeo tersebut dianggap sebagai strategy of survival melawan mitos derasnya arus globalisasi (2008:3). Berkunjung ke museum pada dasarnya bagian kecil usaha membangkitkan kecintaan kita terhadap 170
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Urgensi Metode Visiting Area dalam Pembelajaran Sejarah (Moh. Rosyid)
identitas lokal yang diwariskan oleh leluhur kita karena kita dapat menikmati pesan sejarah yang tertoreh dalam peninggalan sejarah. Berbekal dari museum pula, kita ingin mewujudkan sejarah Indonesia seutuhnya karena menurut Prof. Djuliati, sejarah kolonialisme di Indonesia menjadi kajian karena kebutuhan meninjau kembali penulisan sejarah Indonesia oleh para sejarawan kolonial yang pada umumnya menggunakan sudut pandang Eropa sentris yakni melihat perkembangan sejarah dari luar bangsa Indonesia (history from without) yang menampilkan bangsa Barat sebagai pemeran utama yang aktif dan bangsa Indonesia sebagai pemeran pembantu yang pasif dalam menentukan sejarah. Penulisan kembali sejarah Indonesia perlu menempatkan bangsa dan masyarakat Indonesia sebagai pusat perhatian utama untuk mengemukakan dinamika masyarakat dalam menghadapi penetrasi kolonial (2000:1-2). 6. Evaluasi Evaluasi (penilaian) menurut Hartono (1996:104) bertujuan mengukur prestasi hasil pembelajaran, berfungsi (i) formatif; membantu peserta didik mengembangkan ilmu yang sedang dipelajari, (ii) diagnostis formatif berfungsi sarana mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan materi (latihan) yang diberikan dan penyebab kegagalan, (iii) sumatif; memahami prestasi belajar yang sudah dilalui, (iii) diagnostik sumatif; mengetahui tingkat pengalaman belajar yang akan disiapkan bagi anak didik untuk belajar selanjutnya, sekaligus memahami di mana letak ‘kekuatan’ dan ‘kelemahan’ belajarnya. Adapun variasi penilaian (i) intuitif/perkiraan; mengamati keberhasilan pengajaran secara umum terhadap kegiatan pembelajaran, (ii) terstruktur; prosedur yang dirancang dan diadministrasikan dalam waktu yang ditentukan. Penilaian memiliki bentuk berkelanjutan dan terminal akhir mata ajar). Kriteria penilaian (i) validitas; sesuai dengan bentuk penilaian berhubungan dengan tujuan pembelajaran, (ii) kegunaan; mempertimbangkan masalah yang dihadapi dan sumber belajar yang diperoleh, (iii) reliabilitas; menggambarkan keakuratan terhadap keberhasilan peserta didik. Selanjutnya, menurut Hartono (1996:111) jenis penilaian yang tepat untuk pengajaran sejarah adalah (i) tes objektif (TO); memberi kesempatan menjawab (respon) terbatas, mengetahui secara tepat pengetahuan atau kecakapan ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
171
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
yang sederhana (fakta tertentu, istilah sejarah, periode kesejarahan, pengenalan konsep, pengenalan hubungan antarperistiwa, dan pengenalan metode penelitian sejarah). Adapun bentuk TO adalah dengan jawaban dan isian singkat, pertanyaan dengan jawaban alternatif, ujian dalam bentuk menyesuaikan (matching exercise), ujian pilihan ganda, (ii) interpretif (penafsiran/pemahaman terhadap teks), (iii) esai (pertanyaan dalam bentuk karangan atau open ended question) untuk memecahkan masalah atau pengembangan narasi pada topik singkat atau luas/panjang, (iv) memberi nilai angka pada tes karangan dengan cara, pertama, peringkat (grading) dengan tahap jawaban kritis atau berpikir tinggi, kemampuan yang baik (peluang keluar dari permasalahan yang diperintahkan, sedikit memahami pertanyaan tetapi tidak mengikuti arahan sesuai kategori. Kedua, memberi nilai angka sesuai kecakapan/keterampilan, berdasarkan skema: kurang, sedang, cukup, dan baik. Evaluasi dilakukan bertujuan pengajar sejarah perlu memahami keberhasilan pembelajaran peserta didik juga kelayakan atau idealitas metode pembelajaran yang telah dilakukan yakni apakah dengan metode VA peserta didik semakin jelas memahami pesan sejarah melalui artefak atau ada kendala lain. E. Simpulan Pembelajaran sejarah dengan visiting area menimbulkan keyakinan yang lebih tinggi bagi peserta didik terhadap kebenaran realitas sejarah karena terbukti secara riil berupa artefak sejarah. Sisi lain, dengan VA peserta didik tak jenuh menerima mata ajar sejarah selalu di ruang kelas dan andalan ceramah, tetapi mengunjungi peninggalan sejarah, juga memanfaatkan keberadaan museum sebagai tempat mendalami pesan sejarah secara nyata. Meskipun (tentunya) membutuhkan biaya tambahan yang diperlukan untuk akomodasi dan transportasi sebagai sebuah konsekuensi. Pembelajaran sejarah diawali dengan prinsip SWOT: kemampuan (strength), kelemahan (weaknesses), kesempatan (opportunity), hambatan (threat), solusi (solution), dan evaluasi oleh stakeholders pendidikan. Diharapkan bagi peserta didik ketika proses pembelajaran di kelas, lab, lapangan, bengkel kerja, di luar kelas dapat 172
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Urgensi Metode Visiting Area dalam Pembelajaran Sejarah (Moh. Rosyid)
memahami secara utuh teks maupun makna di balik teks sejarah, imbasnya tak jenuh dengan metode pembelajaran yang selama ini terkonsentrasi di ruang kelas dan ceramah. Akhir dari prinsip tersebut dievaluasi secara berkesinambungan. Berbagai usaha mewujudkan generasi mencintai leluhurnya tercipta jika pembelajaran sejarah muncul sosok pendidik sejarah yang memiliki multifungsi. Menurut Hartono (1996) selain sebagai pendidik juga sebagai pembimbing, guru, jembatan antargenerasi, pencari bahan yag belum diketahui, konselor, stimulan kreativitas, dan otoritas (orang yang lebih dulu tahu).
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
173
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
SUMBER BACAAN
A.M. Djuliati Suroyo. Eksploitasi Kolonial Abad XIX Kerja Wajib di Keresidenan Kedu 1800-1890. Yayasan Untuk Indonesia: Yogyakarta. Dudung Abdurahman. 2007. Metodologi Penelitian Sejarah. Arrus: Yogyakarta. Hartono Kasmadi. 1996. Model-model dalam Pengajaran Sejarah. IKIP Semarang Press: Semarang. Henk Schulte Nordholt,dkk. 2008. Memikir Ulang Historiografi Indonesia dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Buku Obor dan KITLV-Jakarta. Juraid Abd.Latif. 2006. Manusia, Filsafat, dan Sejarah. Bumi Aksara: Jakarta. Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Bentang: Yogyakarta. M.Yuliyanto. Kode Etik dan Kebebasan Pers. Suara Merdeka. 2008. hlm.6. Noeng Muhadjir. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Rakesarasin: Bandung. Suhartono W. Pranoto. 2006. Teori dan Metodologi Sejarah. Graha Ilmu: Jakarta. Sri Margana. 2008. Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan Global dalam Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia. Buku Obor dan KITLV-Jakarta.
174
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
PEREMPUAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN: Belajar dari Perempuan Pembuat Genteng Di Desa Ngembalrejo Kabupaten Kudus
Oleh: Siti Malaiha Dewi1 Abstrak Poverty is a crucial problem faced by all countries in the world, especially in developing countries like Indonesia. Until the year 2010, Central Statistical Agency estimates almost 31, 02 million people or 13.33 percent of the total population of Indonesia are still living in poor conditions which are dominated by women. They lack of not only economic, but also any identity, protection, knowledge, access, participation, and good control in the field of health, education, and politics. So it is fair to say that poverty in Indonesia is faced women. Learning from women’s strategies tile makers survive in the midst of poverty they experienced, it becomes the inspiration of this paper. With a little effort to publicize the knowledge they have, the author hopes this will be a solution to the problems of poverty that seems to never fade from life. Keywords: women, poverty
A. Pendahuluan ‘Kemiskinan’ adalah sebuah kata yang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Setiap hari gambaran kemiskinan selalu diperdengarkan dan dipertontonkan oleh media massa baik elektronik maupun cetak. Sebut saja, acara reality show sebuah stasiun televisi swasta, yang berjudul “Tolong” , “Bedah Rumah”, “Jika aku Menjadi”, dan “Uang Kaget” adalah sederet tayangan yang membuka mata kita 1. Dosen STAIN Kudus ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
175
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
bahwa kemiskinan terjadi hampir di semua lini kehidupan ini, dan di semua tempat di Indonesia ini. Tidak hanya di pedesaan tetapi juga di perkotaan. Fenomena kemiskinan ternyata tidak hanya tergambar di media massa. Mereka ada di jalan – jalan, di pemukiman kumuh dan jika kita berkunjung ke rumah sakit - rumah sakit, kita bisa lihat bahwa kemiskinan itu memang nyata adanya. Banyak ibu - ibu melahirkan yang terpaksa tidak bisa membawa pulang bayinya karena tidak mampu membayar biaya rumah sakit. Banyak anak-anak yang terpaksa dirawat di rumah padahal sakitnya parah disebabkan orang tua mereka yang tidak memiliki biaya. Pemerintah sebenarnya sudah melakukan berbagai tindakan untuk mengentaskan kemiskinan, diantaranya program PKPS BBM, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan infrastruktur pedesaan, bantuan desa miskin, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, Askeskin (dulu) atau Jamkesmas (sekarang ini), dan lainya. Namun, kemiskinan seolah tak pernah sirna. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Tahun 2010 ini merilis hasil sensus nasional bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 31, 02 juta orang,2 atau 13,33 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 237 juta orang. Indikator kemiskinan yang dibuat oleh BPS di atas, ditentukan berdasarkan dua hal, yaitu garis kemikinan makanan dan non makanan. Garis kemiskinan makanan ditentukan berdasarkan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kilo kalori per kapita per hari.3 Sedangkan garis kemiskinan non-makanan merupakan kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Indikator di atas, memang sangat ekonomistik. Batasan kemiskinan hanya dilihat sebagai suatu kondisi dimana orang tidak memiliki harta benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan nominal tertentu. Kemiskinan juga dijabarkan sebagai kondisi keluarga yang tidak memiliki cukup pendapatan untuk kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, dan perumahan. Tingkatan kemiskinan dinilai 2. Jumlah ini sebenarnya sudah berkurang 1,51 juta orang dari Maret 2009 sebanyak 32,53 juta orang, lebih lengkap lihat http://bisnis.vivanews.com 3. Kalau dirupiahkan sebesar Rp211.726,- per kapita per bulan pada Maret 2010, ibid
176
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Perempuan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Siti Malaiha Dewi)
atau ditentukan hanya berdasarkan ukuran – ukuran materi seperti pendapatan reguler, kondisi fisik dari bangunan, atau lingkungan permukiman. Pengertian kemiskinan yang sangat ekonomistik di atas, dinilai sangat sempit dan justru melahirkan bentuk – bentuk kebijakan penanggulangan kemiskinan yang lebih merupakan bantuan ekonomi saja. Kebijakan pengentasan kemiskinan dari pemerintah melalui program Jaring pengaman Sosial (JPS) misalnya, hanya menjadi program penyaluran dana bantuan saja tanpa mencoba memahami kemiskinan yang terjadi dan faktor penyebabnya. Sehingga tidak salah kalau ada yang memplesetkan BLT sebagai Bantuan Langsung Telas. Kebijakan itu cenderung semakin memiskinkan, karena menimbulkan ketergantungan ekonomi tanpa memberikan jalan keluar untuk lepas dari lingkaran kemiskinan. Justru, dengan digulirkanya program BLT banyak bermunculan orang – orang miskin ’dadakan’ yang orientasinya mendapat bantuan, sehingga menambah jumlah orang miskin yang ada. Konsep kemiskinan yang ekonomistik juga tidak akan tajam melihat berbagai ketimpangan akses sumber daya ekonomi yang dibedakan berdasarkan kelas, etnis, ras, atau gender. Padahal analisis ini sangat diperlukan agar kebijakan – kebijakan melawan kemiskinan dapat mengarah pada sasaran yang tepat. B. Mitos Kemiskinan Sejarah menunjukkan bahwa kemiskinan bukanlah sekedar fakta kemiskinan.4 Kemiskinan tak bisa dilepaskan dari penindasan, perampasan hak, yang melahirkan penderitaan, dan luka mendalam. Dengan kata lain, Kemiskinan tidak lahir dengan sendirinya (given), juga tidak muncul bukan tanpa sebab. Pendekatan kontemporer melihat bahwa penyebab kemiskinan bisa dilihat dari tiga teori berikut ini: Pertama, teori yang menekankan kepada nilai-nilai. Mereka miskin karena mereka bodoh, malas, tidak ulet, tidak mempunyai prestasi, fatalistik. Kedua, teori yang menekankan pada organisasi ekonomi masyarakat. Teori ini menganggap orang itu miskin karena kurangnya peluang dan kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka. Ketiga, teori yang menekankan pada 4. Imam Cahyono, ‘Wajah Kemiskinan, Wajah Perempuan’, dalam Jurnal Perempuan, No. 42, 2005, hlm. 8 ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
177
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
pembagian kekuasaan dalam struktur sosial dan tatanan masyarakat. Tatanan dan struktur masyarakat yang ada dianggap sebagai hasil paksaan (bukan konsensus) Sekelompok kecil anggota masyarakat yang berkuasa dan kaya akan mayoritas warga masyarakat miskin, dan inilah yang menjadi sebab kemiskinan.5 Jalan keluar dari teori ini bermacam- macam pula. Bagi teori pertama caranya mereka harus dicerdaskan, sedangkan bagi teori kedua caranya adalah perlu adanya industrialisasi agar ada tetesan ke bawah. Bagi teori ketiga yang diperlukan adalah perombakan struktur.6 Argumen pertama atau disebut sebagai penganut teori konservatif dan liberal telah lama dipatahkan. Orang – orang miskin muncul bukan karena mereka malas atau boros. Bukan pula karena mereka sial nasibnya sehingga menjadi orang miskin. Mereka menjadi miskin karena dibuat miskin oleh struktur ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Mereka miskin karena memang sengaja diestarikan untuk menjadi miskin. Mereka menjadi kaum tertindas karena memang disengaja, direkayasa, dan diposisikan sedemikian rupa untuk ditindas demi menunjang kepentingan kelompok dominan, elit penguasa (the rulling elite). Inilah yang disebut dengan Kemiskinan struktural. Berbeda dengan konsep kemiskinan yang ekonomistik, konsep kemiskinan struktural lebih melihat kemiskinan sebagai dampak dari salah urus pengelolaan kebijakan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Struktur ini menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan yang terindikasi dengan melemahnya tingkat keswadayaan masyarakat.7 Inilah yang selalu terjadi di negara – negara berkembang selalu saja miskin dan terbelakang sebab mereka secara berencana dimiskinkan. Sebut saja Bangladesh dan Pakistan yang selalu menjadi langganan wabah kemiskinan dan kelaparan. Mereka sejatinya bukanlah negara yang benar – benar miskin sebab mereka memiliki sumber daya alam 5. www.uinsuska.info/dakwah 6. ibid 7. Jurnal Perempuan, No. 42, 2005, hlm. 118
178
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Perempuan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Siti Malaiha Dewi)
dan manusia yang sangat berharga dan bernilai tinggi. Tetapi hasil kekayaan mereka dikorup dan dijarah oleh penguasa yang hidup dalam kemewahan. 8 Kemiskinan yang terjadi di Indonesia pun demikian, adalah bentuk kemiskinan struktural atau buatan karena sebenarnya secara alamiah Indonesia mempunyai cukup potensi dan sumber daya yang cukup untuk tidak mengalami kemiskinan. Selain kemiskinan struktural, ada lagi pendekatan untuk memahami persoalan kemiskinan yaitu pendekatan kemikinan integral atau majemuk. Kemiskinan integral atau majemuk adalah sebuah pendekatan yang lebih komprehensif dalam memahami kemiskinan. Jika kemiskinan dalam terminologi positivistik hanya melihat dari faktor – faktor ekonomi maka kemiskinan majemuk melihat kemiskinan dari berbagai dimensi. Kemiskinan majemuk adalah suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, waktu luang. Kemiskinan subsistensi terjadi karena rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan – kebutuhan dasar lainya. Kemiskinan perlindungan karena meluasnya budaya kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar masyarakat miskin; kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentukbentuk penindasan, pola hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam; kemiskinan pemahaman karena kualitas pendidikan yang rendah, selain faktor kuantitas yang tidak mampu memenuhi kebutuhan; kemiskinan partisipasi karena adanya diskriminasi dan peminggiran masyarakat dari proses pengambilan keputusan; kemiskinan identitas karena dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan hancurnya nilai sosio kultural yang ada.9 B. Pandangan Islam Terhadap Kemiskinan Perhatian Islam terhadap masalah kemiskinan sangat besar. Dalam al- Qur’an kata ’miskin’ dan ’masakin’ disebut sampai 25 kali, sementara ’faqir’ dan ’fuqoro’ sampai 14 kali.10 Semisal pada Surat 8. Ibid 9. Ibid, hlm 118 - 119 10. Biasanya kata miskin dijadikan kata majemuk dengan faqir, sehingga ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
179
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Al Hajj, 22:8, Allah SWT berfirman ”berikanlah makan kepada orang yang lagi faqir”. Kemudian, Nabi Muhammad SAW sendiri berdo’a: ”aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran dan kekufuran ”.(H.R Abu Daud). Hadits lain menyebutkan bahwa kefakiran yang menimpa seseorang atau suatu bangsa cenderung akan berperilaku kufur (Kadal Faqru An Yakuuna Kufran). 11 Menurut bahasa, ’miskin’ berasal dari bahasa Arab yang sebenarnya menyatakan kefakiran yang sangat. Allah Swt. menggunakan istilah itu dalam firman-Nya:
َأ ْو م ِْسكِ ي ًنا َذا َم ْت َر َب ٍة
“…atau orang miskin yang sangat fakir” (QS al-Balad [90]: 16).
Adapun kata ’fakir’ yang berasal dari bahasa Arab: al-faqru, berarti membutuhkan (al-ihtiyaaj). Allah Swt. berfirman:
ِير َ َف َقالَ َر ِّب ِإ ّنِي ل َِما َأ ْن َزل ٌ ْت ِإل ََّي م ِْن َخ ْي ٍر َفق
”…lalu dia berdoa, “Ya Rabbi, sesungguhnya aku sangat membutuhkan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku” (QS al-Qashash [28]:24).
Dalam Islam ada dua Madzhab dalam menjelaskan tentang siapa sebenarnya yang disebut miskin itu. Pertama, madzhab Hanafi dan Maliki yang berpendapat miskin itu adalah ”orang yang tidak mempunyai sesuatupun juga”. Kedua, madzhab Hambali dan Syafi’i yang menyatakan miskin itu adalah ”orang yang mempunyai seperdua dari keperluannya atau lebih tetapi tidak mencukupi”.12 Islam menyatakan perang dengan kemiskinan dan berusaha keras membendung serta mengawasi berbagai kemungkinan dampak yang ditimbulkanya. Yusuf al- Qordawy, bahwa kemiskinan ini bisa terentaskan kalau setiap individu mencapai taraf hidup yang layak didalam masyarakat. Dan untuk mencapai taraf hidup yang diidealkan itu islam memberikan kontribusi berbagai cara dengan jalan sebagai berikut:13 § Setiap orang yang hidup diharuskan bekerja dipermukaan bumi ini menjadi faqir miskin yang artinya kurang lebih sama. 11. Darusman, ‘Pandangan Islam terhadap Kemiskinan: Analisis Pemikiran Abdul A’la Al- Maududi dan Yusuf Al- Qardawi’, www.uinsuska.info/dakwah 12. ibid 13. ibid
180
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Perempuan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Siti Malaiha Dewi)
serta diperintahkan makan dari rizki Allah. Sebagaimana Firman Allah SWT dalam QS. Al-Mulk : 15:
َف ْام ُشوا فِي َم َناكِ ِب َها َو ُكلُوا م ِْن ِر ْز ِق ِه
“ maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian rizkiNya”.
§ Mencukupi keluarga yang lemah. Realitas menunjukkan bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan untuk bekerja. Mereka kadang ada yang cacat mental atau fisik, sakit-sakitan, usianya sudah lanjut, dan lain-lain. Semua ini termasuk ke dalam orangorang yang tidak mampu bekerja. Dalam kasus semacam ini, Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka. Allah Swt. berfirman:
ِ َو َعلَى ال َْم ْولُو ِد ل َُه ِر ْز ُق ُه َّن َوكِ ْس َو ُت ُه َّن ِبال َْم ْع ُر َّف َ وف ُ ال ُتكَ ل ُود ل َُه ِب َولَدِ ِه َ ال ُت َض َّار َوال َِد ٌة ِب َولَدِ َها َو َ ال ُو ْس َع َها َّ س ِإ ٌ ال َم ْول ٌ َن ْف َو َعلَى ال َْو ِار ِث ِم ْث ُل َذلِك
“Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani selain menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Waris pun berkewajiban demikian…” (QS al-Baqarah [2]: 233).
Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, karena alasan-alasan di atas, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya. § Zakat. Islam mewajibkan setiap orang sehat dan kuat, untuk bekerja dan berusaha mencapai rizki Allah, guna mencukupi dirinya dan keluarganya, Bagi orang yang tidak mampu berusaha dan tidak sanggup bekerja, serta tidak mempunyai harta warisan atau simpanan guna mencukupi kebutuhan hidupnya, ia berhak mendapatkan jaminan dari keluarganya yang mampu. Keluarga yang mampu tadi berkewajiban memberikan bantuan serta bertanggung jawab terhadap nasib keluarga yang miskin. Namun demikian, tidak semua fakir miskin mempunyai keluarga yang mampu dan sanggup memberi bantuan. Islam tidak membiarkan begitu saja nasib fakir miskin yang terlantar. Sesungguhnya allah SWT telah menetapkan bagi mereka ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
181
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
suatu hak tertentu di dalam harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan pasti, yaitu zakat. Sasaran utama zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang miskin. Senada dengan apa yang ditulis oleh Abul A'la al- Maududi dan Yusuf al- Qardawy, Al- Maududi menyatakan bahwa untuk mengatasi kemiskinan, maka yang akan digunakan dan diterapkan adalah sistem ekonomi Islam dengan karakteristik sebagai berikut:14 § Berusaha dan bekerja dengan mengindahkan yang halal dan haram tidak membenarkan bagi para pemeluknya untuk mencari kekayaan semau mereka dengan jalan apa saja yang mereka kehendaki. § Seyoganya orang tidak mengumpulkan harta yang meskipun didapatnya dengan jalan sah, karena akan menghambat perputaran (distribusi) kekayaan dan merusak keseimbangan serta pembagiannya dikalangan masyarakat. Orang yang mengumpulkan harta dan tidak membelanjakannya, tidak hanya mencampakkan dirinya kedalam penyakit moral saja, tetapi juga melakukan sesuatu kejahatan besar terhadap masyarakat banyak, di mana mudlarat dan keburukannya akan kembali menimpa dirinya sendiri juga. Oleh sebab itu Islam memerangi kebathilan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran (3): 18 yang artinya :” sekali-kali jangan lah orang-orang yang bathil dengan harta yang dikaruniakan allah, mereka menyangka, bahwa kebathilan itu baik bagi mereka, bahkan kebathilan itu adalah buruk bagi mereka”. Demikianlah beberapa gambaran secara singkat yang menunjukan betapa Islam sangat mempedulikan golongan miskin dan fakir. C. Feminisasi Kemiskinan Kemiskinan menjadi permasalahan krusial yang dihadapi oleh semua negara di dunia, lebih-lebih di negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia. Sampai tahun 2010 ini, BPS memperkirakan hampir 31, 02 juta orang atau 13,33 persen dari total penduduk Indonesia masih hidup dalam kondisi miskin dimana didalamnya didominasi kaum perempuan. Tidak hanya kemiskinan 14. ibid
182
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Perempuan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Siti Malaiha Dewi)
secara ekonomi, tetapi juga miskin akan identitas, perlindungan, pengetahuan, akses, partisipasi, dan kontrol baik di bidang kesehatan, pendidikan, maupun politik.15 Maka wajar kalau dikatakan bahwa kemiskinan di Indonesia sangat berwajah perempuan atau yang disebut dengan feminisasi kemiskinan (feminization of poverty). Feminisasi kemiskinan dimaknai sebagai sebuah kenyataan bahwa sebagian besar angka kemiskinan diisi oleh kaum perempuan. Contohnya di bidang pendidikan, dimana tingkat pendidikan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, angka partisipasi sekolah yang lebih rendah dari laki-laki, dan angka buta huruf yang justru berbalik, yaitu lebih tinggi dari laki-laki. Kondisi yang demikian ini menggambarkan bahwa telah terjadi feminisasi kemiskinan di bidang pendidikan. Feminisasi kemiskinan di bidang pendidikan berpengaruh terhadap kemiskinan lainnya, seperti pada akses terhadap pekerjaan dan pengambilan keputusan16. Perempuan yang tidak mempunyai human capital berupa pendidikan dengan sendirinya akan sangat sulit untuk mengakses pekerjaan terutama di sektor formal yang relatif berupah tinggi. Wilayah pekerjaan mereka biasanya terbatas pada sektor informal yang berupah rendah seperti buruh kasar atau pembantu rumah tangga. Karena berupah rendah, maka perempuan pun tidak bisa melakukan kontrol dalam pengambilan keputusan baik di keluarga maupun di tempat kerja. Jadi, dapat dikatakan bahwa Selain kesenjangan di bidang pendidikan, indikator lain yang menunjukkan telah terjadi feminisasi kemiskinan adalah terbatasnya kesempatan kerja, dan lemahnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan. Sumber dari permasalahan kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan menurut Muhadjir terletak pada budaya patriarki yaitu nilai-nilai di masyarakat yang memposisikan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai ’The Second sex’ atau makhluk nomor dua. Budaya patriarki seperti ini tercermin dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dan menjadi sumber pembenaran terhadap sistem distribusi kewenangan, sistem pengambilan keputusan, sistem pembagian kerja, sistem 15. Ari Ujianto, dikutip Amirudin dan Lita Purnama dlm JP.42.2005, kemiskinan yang demikian disebut sebagai kemiskinan majemuk. 16. http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/feminisasi ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
183
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
kepemilikan dan sitem distribusi resources yang bias gender. Kultur yang demikian ini akhirnya akan bermuara pada terjadinya perlakuan diskriminasi, marjinalisasi, ekploitasi maupun kekerasan terhadap perempuan.17 Uraian berikut membahas lebih rinci masing-masing manifestasi ketidakadilan gender.18 1. Marginalisasi perempuan Contoh marginalisasi terhadap perempuan adalah pada saat dicanangkanya program swasembada pangan atau revolusi hijau (green revolution) yang secara ekonomi telah menyingkirkan kaum perempaun dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka. Di Jawa misalnya, program revolusi hijau dengan memperkenalkan jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah, dan pendekatan panen dengan sistem tebang menggunakan sabit, tidak memungkinkan lagi permanen dengan ani-ani, padahal alat tersebut melekat dan dIgunakan oleh kaum perempuan. Akibatnya banyak kaum perempuan miskin di desa termarginalisasi, yakni semakin miskin dan tersingkir karena tidak mendapatkan pekerjaan di sawah pada musim panen. Marginalisasi ini tidak saja terjadi ditempat kerja, tetapi juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat dan bahkan negara. 2. Subordinasi Subordinasi atau penomorduaan terhadap perempuan terjadi dalam berbagai bentuk yang berbeda dan dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga. Bahkan, perempuan pernah memiliki peraturan jika suami akan pergi belajar (jauh dari keluarga) dia bisa mengambil keputusan sendiri. Sedangkan bagi istri yang hendak tugas belajar ke luar negeri harus seizin suami. Dalam rumah tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga sangat terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk menyekolahkan anak-anaknya maka anak laki-laki akan mendapatkan prioritas utama. Praktek seperti itu sesungguhnya meneguhkan bahwa perempuan adalah makhluk kedua setelah lakilaki. 16
17. Muhadjir, Negara dan Perempuan. Yogyakarta: CV. Adipura, 2005, hlm.
18. Mansour Fakih, Analisis Gender & transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 12-23
184
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Perempuan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Siti Malaiha Dewi)
3. Stereotipe Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Misalnya, jika ada kasus pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan perempuan karena perempuan dilabel sebagai penggoda. 4. Kekerasan Pada dasarnya, kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Banyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, di antaranya: § Pemerkosaan terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan dalam perkawinan. Perkosaan terjadi jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan yang bersangkutan. § Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga (domestic violence). Termasuk tindak kekerasan dalam bentuk penyiksaan terhadap anak-anak (child abuse). § Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin (genital mutilation), misalnya penyunatan terhadap anak perempuan. Berbagai alas an diajukan oleh suatu masyarakat untuk melakukan penyunatan ini. Namun salah satu alasan terkuat adalah, adanya anggapan dan bias gender di masyarakat, yakni untuk mengontrol kaum perempuan. § Kekerasan dalam bentuk pelacuran (prostitution). Pelacuran merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan yang diselenggarakan oleh suatu mekanisme ekonomi yang merugikan kaum perempuan. § Kekerasan dalam bentuk pornografi. Pornografi adalah jenis kekerasan lain terhadap perempuan. Jenis kekerasan ini termasuk kekerasan nonfisik, yakni pelecahan terhadap kaum perempuan dimana tubuh perempuan dijadikan objek demi keuntungan seseorang. § Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam keluarga berencana (enforced sterilization). Keluarga berencana di banyak tempat ternyata telah menjadi sumber kekerasan terhadap ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
185
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
perempuan. Dalam rangka memenuhi target mengontrol pertumbuhan penduduk, perempuan seringkali dijadikan korban demi program tersebut, meskipun semua orang tahu bahwa persoalannya tidak saja pada perempuan melainkan berasal dari kaum laki-laki juga. Namun, lantaran bias gender, perempuan dipaksa sterelisasi yang seringkali membahayakan baik fisik ataupun jiwa mereka. Ketujuh, adalah jenis kekerasan terselebung (molestation), yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan dengan pelbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaan si pemilik tubuh. Jenis kekerasan ini sering terjadi di tempat pekerjaan maupun di tempat umum, seperti di dalam bis. § Pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment. Ada banyak bentuk pelecehan, dan yang umum terjadi adalah unwanted attention from men. Ada beberapa bentuk yang bisa dikategorikan pelecehan seksual. Di antaranya: menyampaikan lelucon jorok secara vulgar pada seseorang dengan cara yang dirasakan sangat ofensif; menyakiti atau membuat malu seorang dengan omongan kotor; menginterogasi seseorang tentang kehidupan atau kegiatan seksualnya atau kehidupan pribadinya; meminta imbalan seksual dalam rangka janji untuk mendapatkan pekerjaan atau promosi atau janji-janji lainnya; dan menyentuh atau menyenggol bagian tubuh tanpa ada minat atau tanpa seijin dari yang bersangkutan. 5. Beban kerja Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak. Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Terlebihlebih jika perempuan tersebut harus bekerja, maka ia memikul beban kerja ganda. Bagi kelas menengah dan golongan kaya, beban itu kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic workers) yang juga perempuan. 186
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Perempuan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Siti Malaiha Dewi)
Manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk marginalisasi ekonomi, sobordinasi, kekerasan, stereotype dan beban kerja tersebut terjadi di berbagai tingkatan. Pertama, manifestasi ketidakadilan gender di tingkat negara. Kedua, manifestasi di tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan. Banyak aturan kerja, manajemen, kebijakan keorganisasian, serta kurikulum pendidikan yang masih melanggengkan ketidakadilan gender tersebut. Ketiga, manifestasi ketidakadilan gender di dalam adat istiadat masyarakat di banyak kelompok etnic, dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan. Keempat, manifestasi ketidakadilan gender di lingkungan rumah tangga. Oleh karenanya, rumah tangga menjadi tempat kritis dalam mensosialisasikan ketidakadilan gender. 19 D. Perempuan Pembuat Genteng Melawan Kemiskinan Fenomena perempuan bekerja dan berusaha bukanlah hal baru dalam kehidupan kelompok – kelompok marjinal dan miskin. Untuk menjaga kelangsungan hidup diri dan keluarga, umumya perempuan bekerja pada sektor informal—perdagangan dan jasa, sektor pertanian—buruh tani, dan buruh pabrik. Begitu juga yang terlihat di Dukuh Ngetuk Ngembalrejo Kabupaten Kudus, dimana sebagian besar ibu – ibu yang ada di sana bekerja pada usaha mikro pembuatan genteng sebagai buruh pembuat genteng. Menurut mereka, pekerjaan membuat genteng sudah dijalani secara turun temurun yang diperoleh dari orang tua mereka saat masih kecil, sebagaimana yang dituturkan oleh mbak Norwati dan ibu Saidah: “Kulo niki sampun kerjo ket alit mbak, kulo piyambak lulus SD langsung nderek kerjo bapak/ibu, sakniki kulo sampun 30 tahun, berarti kulo sampun kerjo 18 tahun. Kulo wakdal niko mboten mikir nopo-nopo, pokoe lulus SD langsung nderek bapak kerjo ndamel genteng. Ngantos sakniki kulo mboten ngraoske noponopo. Nek sayah sih sampun biasa mbak, wong sampun dadi kerjaane kulo kok. Kados pernafasan niku mboten halangan kagem kulo, sampun biasa. Alhamdulillah nek watuk-watuk niku sih watuk biasa, mboten keranten asepe genteng, nek watuk kulo namung tumbas obat-obat teng toko-toko biasa, bar niku mantun, dadose mboten mergo pembakaran genteng.”20
19. ibid 20. Hasil FGD dengan perempuan pembuat genteng di desa Ngembal rejo Kabupaten Kudus dengan Tim PSG STAIN Kudus, 27 September 2010. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
187
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Umumnya, setiap hari mereka berhasil mencetak21 sekitar 200-300 genteng, dengan upah Rp. 7500/100 genteng. Mereka mulai bekerja sekitar jam 07.30 WIB setelah mengurusi semua keperluan anak untuk bersekolah, meskipun ada juga yang lebih pagi karena memang tidak punya tanggungan. Mereka pulang sekitar jam 11.00 WIB untuk menyiapkan makan siang keluarga, biasanya mereka akan kembali lagi untuk mencetak atau tidak kembali kalau sekiranya merasa capek dan ada kepentingan. Ratih Dewayanti, dkk. Menyebut pekerjaan ini dengan istilah part-time employment yaitu jenis kerjaan yang memberikan sejumlah fleksibilitas waktu kerja yang sangat membantu perempuan mengkombinasikan kewajibanya sebagai pengelola rumah tangga dan sebagai pekerja.22 Di samping mencetak, mereka juga ada mengikir23 dengan upah yang lebih sedikit Rp. 2000/100 genteng karena lebih ringan dan lebih cepat pengerjaannya. Biasanya mereka nyambi dua tahapan tersebut, yaitu setelah mencetak dan mengeringkan mereka juga akan mengikir. Hal ini karena mencetak memerlukan tenaga ekstra, dan akan ternetralisasi dengan mengikir karena relatif ringan dengan duduk santai sambil ngobrol. Dari kerja yang begitu menyita kemampuan fisik, mereka membawa uang paling banyak Rp. 20.000,- yang sebagian besar habis untuk konsumsi keluarga sehari – hari. Penghasilan yang tidak sebanding dengan beban pekerjaan tersebut dijalani oleh perempuan pembuat genteng karena lapangan kerja itulah yang tersisa bagi pemenuhan kebutuhan mereka. ‘Daripada tidak mempunyai penghasilan’, demikian jawaban mereka. Meski pekerjaan yang dijalani tidak aman (insecure) dan sarat akan resiko kesehatan baik kulit maupun pernafasan, dan meski jaminan akan keselamatan kerja tidak didapatkan, tetapi mereka tetap bekerja dan bekerja sebagai upaya mempertahankan kelangsungan hidup keluarga. 21. Mencetak yaitu mencetak genteng, menurut mereka dulu dan sek rang system cetak berbeda. Dulu mereka menggunakan cetakan konvensional yaitu dengan lebih banyak menggunakan tenaga sehingga menghasilkan hasil cetakan yang sedikit. Sedangkan mereka sekarang menggunakan alat cetakan yang lebih canggih dan menghasilkan cetakan yang lebih banyak. 22. Rati Dewayanti, dkk, Marjinalisasi dan Eksploitas Perempuan Usaha Mikro di Perdesaan Jawa, Bandung: AKATIGA, 2004, hlm. 113 23. Mengikir adalah pekerjaan yang dilakukan sesudah mencetak dengan meratakan pinggiran genteng yang sudah kering untuk merapikan agar kelihatan bagus sebelum ke tahap pembakaran
188
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Perempuan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Siti Malaiha Dewi)
Menghadapi kondisi tersebut, perempuan pembuat genteng tidak tinggal diam. Mereka melakukan berbagai upaya untuk mengurangi beban. Upaya – upaya yang ada lebih tepat dipandang sebagai sebuah strategi bertahan. Bertahan tidak hanya demi kelangsungan pekerjaan mereka tetapi sekaligus demi kelangsungan ekonomi rumah tangga. Di tengah sulitnya mempertahankan kelangsungan pekerjaan tersebut, kebanyakan perempuan pembuat genteng mengalokasikan sejumlah dana untuk pendidikan dan kesehatan, terutama bagi anak. Hal ini merupakan bagian dari proses sosialisasi bahwa pekerjaan yang dijalankan orang tua bukanlah usaha yang prospektif dan terpaksa dijalankan karena tidak ada pilihan lain yang lebih baik. Dengan investasi dalam sektor pendidikan dan kesehatan mereka berharap anak – anak mereka akan datang mendapat kehidupan yang lebih baik. Bagi mereka, kehidupan yang lebih baik berarti bisa terserap sebagai buruh di sektor formal. Selain menginvestasikan sebagian pendapatan untuk pendidikan, berikut ini upaya – upaya yang dilakukan oleh perempuan pembuat genteng di tengah kemiskinan yang mereka rasakan: § Upaya individual dalam keluarga Masing – masing keluarga secara individual mengembangkan bentuk – bentuk strategi sesuai dengan kemampuan dan modal yang dimilikinya. Tidak hanya modal uang, barang, atau tanah, tetapi juga modal ketrampilan dan relasi. Di antara perempuan pembuat genteng ada yang mulai membuat diversifikasi pekerjaan yaitu dengan berdagang kecil – kecilan atau yang disebut dengan bakulan. Biasanya pekerjaan sampingan ini dilakukan pada saat musim penghujan dimana usaha pembuatan genteng berhenti dari produksi. Selain bakulan, banyak juga mereka yang bertani. Namun, keluarga yang tidak memiliki usaha pertanian harus mengalokasikan sejumlah uang setiap minggunya untuk membeli beras. Sementara pada keluarga yang masih memiliki lahan pertanian, beras atau gabah yang dihasilkan lebih banyak digunakan untuk konsumsi keluarga, sampai masa panen berikutnya. Namun, jika ada keperluan mendadak seperti membayar sekolah maka hasil panen tersebut dijual. § Mengupayakan tabungan barang dan uang Peran perempuan dalam upaya ini sangat besar. Bentuk – bentuk variasi tabungan yang dikembangkan kebanyakan muncul dari ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
189
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
kreativitas perempuan dengan memanfaatkan sumber daya yang secara langsung dapat diakses dan dikontrol oleh perempuan. Kebanyakan perempuan mengembangkan beberapa variasi bentuk tabungan untuk digunakan bagi keperluan besar, seperti menyekolahkan anak, mengadakan selamatan, atau ketika ada anggota keluarga ada yang sakit. Perempuan memegang tanggung jawab dalam mengelola tabungan barang dan uang. Termasuk kapan, untuk apa, dan untuk siapa tabungan tersebut akan digunakan. Hal ini dapat terjadi karena perempuanlah yang dapat memperkirakan kebutuhan-kebutuhan apa saja yang akan dipenuhi dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal ini, seolah – olah perempuan memiliki otonomi dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan sumber daya produktif yang penting bagi kelangsungan kehidupan, tetapi hal ini dapat juga dimaknai sebagai kerja dan tanggung jawab lebih bagi perempuan yang bersangkutan. Tabungan barang lain yang cukup dimanfaatkan adalah dalam bentuk perhiasaan yang mudah dijual. Tabungan berupa uang biasa disimpan di rumah. § Mengurangi Kualitas Konsumsi Strategi yang dilakukan dalam keadaan kurang adalah mengurangi kualitas konsumsi keluarga, yaitu mengurangi jenis lauk pauk, megurangi jajanan anak – anak atau menunda pembayaran uang sekolah. Fenomena semacam ini cukup sering terjadi di kalangan perempuan pembuat genteng. Sebetulnya menyekolahkan anak bagi mereka merupakan beban barat, tetapi hal ini tetap dilakukan dengan harapan ada perbaikan nasib bagi generasi berikutnya. § Membangun relasi atau jaringan sosial dalam komunitas Serupa dengan upaya individual, upaya kolektif juga berkembang di kalangan perempuan pembuat genteng sebagai strategi bertahan hidup. Relasi sosial yang dibangun dalam konteks saling menolong, pinjam meminjam uang, dan berbagi pekerjaan. Berbagi pekerjaan ini bisa dilakukan kerena mereka tidak ada yang menjadi buruh tetap di suatu tempat pembuatan genteng. Mereka bisa bekerja di mana saja yang sedang berproduksi.24 Biasanya mereka saling memberi informasi kalau ada pekerjaan. 24. Jadi mereka juga tidak punya juragan tetap.
190
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Perempuan dan Strategi Penanggulangan Kemiskinan (Siti Malaiha Dewi)
Demikian beberapa strategi bertahan yang dilakukan oleh perempuan pembuat genteng dari kemiskinan yang sudah terlalu biasa mereka rasakan. E. Penutup Lebih dari separo penduduk miskin di negara berkembang adalah perempuan. Ini menguatkan terjadinya feminisasi kemiskinan yakni sebuah kenyataan bahwa sebagian besar angka kemiskinan diisi oleh kaum perempuan. Persoalan kemiskinan perempuan bukan hanya sekedar persoalan akses terhadap sumberdaya keuangan semata. Persoalan perempuan miskin adalah persoalan struktural dengan faktor penyebab dan kendala yang tidak tunggal. Ketimpangan gender dalam seluruh aspek kehidupan merupakan kondisi utama yang mengantarkan perempuan pada kemiskinan yang berkepanjangan. Kendati seorang laki-laki dan perempuan sama – sama miskin, kemiskinan itu disebabkan oleh alasan yang berbeda, pengalaman yang berbeda, serta kemampuan yang berbeda pula dalam menghadapinya dan perempuan pembuat genteng telah lama melakukanya. Menginvestasikan sebagian penghasilanya untuk pendidikan anak – anak, mencari pekerjaan sampingan, mengupayakan tabungan, mengurangi kualitas konsumsi keluarga, dan membangun relasi sosial dalam konteks saling menolong, pinjam meminjam uang, dan berbagi pekerjaan.adalah adalah upaya – upaya atau lebih tepat dipandang sebagai sebuah strategi bertahan yang dilakukan oleh perempuan pembuat genteng. Bertahan tidak hanya demi kelangsungan pekerjaan mereka tetapi sekaligus demi kelangsungan ekonomi rumah tangga. Oleh karena itu, mendengar dan menjadikan pengetahuan mereka sebagai sebuah solusi mengatasi kemiskinan adalah langkah kecil yang mungkin saja akan membawa perubahan yang besar. Semoga bisa. *********
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
191
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
SUMBER BACAAN
Lea Jellineck, Seperti Roda Berputar, Jakarta: LP3ES, 1994 Mansour Fakih, Analisis Gender & transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999 Muhadjir, Negara dan Perempuan. Yogyakarta: CV. Adipura, 2005 Peter L. Berger, Piramida Pengorbanan Manusia, Bandung: Iqra, 1983 Rati Dewayanti, dkk, Marjinalisasi dan Eksploitas Perempuan Usaha Mikro di Perdesaan Jawa, Bandung: AKATIGA, 2004 Tadjudin Noer Effendi, Sumber Daya Manusia Peluang Kerja dan Kemiskinan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995 Sumber lain: http://bisnis.vivanews.com Jurnal Perempuan, No. 42, 2005 www.uinsuska.info/dakwah
192
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
FENOMENA JIN DALAM PENELITIAN ILMIAH
Oleh Kisbiyanto1 Abstrak Penelitian ilmiah yang terpancang pada hipotesis, logika, dan verifikasi telah banyak mengungkap sisi lain dari sesuatu yang nyata. Namun, banyak juga tantangan dan hambatan yang dialami penelitian ilmiah dalam mengungkap banyak sisi dari kehidupan dan alam, misalnya tentang jin. Fenomena jin banyak dikaji dalam literatur keagamaan berbagai agama di dunia, dan keberadaannya menarik bagi para peneliti. Tata surya, listrik, magnet, gelombang elektromegnetik, dan UFO merupakan temuan-temuan yang scientifik dimana pada mulanya dianggap tidak ada, atau keberadaannya masih dipertanyakan. Pembahasan tentang jin merupakan fenomena yang terus diteliti. Sudah dimulai, terus dilaksanakan, dan terus diteliti sampai waktu tanpa batas.
A. Pendahuluan Dunia banyak dicerahkan oleh temuan-temuan penelitian yang luar biasa karena berhasil mengungkap tabir pengetahuan manusia dari hal yang bersifat tersembunyi, tertutup, atau irrasional menjadi sesuatu yang nampak, terbuka, dan rasional. Di satu sisi, (1) hal-hal yang bersifat rasional empirik sudah banyak diteliti dan masih tetap menjadi bidang kajian yang sangat luas dan penting. Namun, di sisi lain, (2) para ilmuwan tertantang untuk melakukan kajian dan penelitian tentang hal-hal yang dimungkinkan ada, atau adanya belum 1. Penulis adalah dosen pada Jurusan Tarbiyah STAIN Kudus, alumni S2 dan peserta pendidikan pada Program Doktor di Universitas Negeri Semarang. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
193
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
terjelaskan secara memadai. Tulisan ini membahas deskripsi (review) tentang the jinn from a scientific viewpoint sebagai kajian awal tentang hal kedua tersebut. Jin selama ini dipahami sebagai fenomena keyakinan dalam doktrin agama atau semacamnya. Karena menjadi bagian dari sistem keyakinan, keberadaan jin direspon secara keyakinan saja, tanpa banyak dikaji secara scientific sebagaimana kajian dan penelitian pada manusia, hewan, dan lingkungan pada umumnya. Orang memikir keberadaan jin dari informasi literatur keagamaam, misalnya al-Qur’an, dan semakin lama semakin timbul keinginan untuk mengetahui lebih mendalam. Tradisi ilmiah yang berbasis pada rasio dan empiri, tentu saja tidak bisa dengan mudah mendapatkan bukti-bukti ilmiah tentang keberadaan jin. Namun dalam banyak kesempatan di belahan dunia ini, ada orang yang mengaku bisa bertemu dengan jin, berbicara dengan jin, bersahabat dengan jin, bahkan ada yang menikah dengan jin. Tidak hanya itu, banyak orang yang juga percaya bahwa ada orang yang bertemu dan bergaul dengan jin. Tentu saja, fenomena ini menarik perhatian banyak orang, karena jin dikenal luas olah manusia di jagat ini. Namun, manusia merasa tertutup dan belum bisa mengungkap fenomena jin. Keingintahuan membuka tabir fenomena jin inilah yang menarik penelitian. Model dan ragam penelitian apa yang digunakan, masih menjadi pilihan-pilihan. McMillan (2001:29) menjelaskan bahwa penelitian dengan pendekatan kualitatif mempunyai beberapa model, yaitu etnografi, fenomenologi, studi kasus, grounded theory, critical studies, concept analysis dan historical analysis. Sedangkan penelitian dengan pendekatan kuantitatif bisa berupa true experimental, quasi experimental, single-subject experimental, descriptive, comparative, correlasional, survey, dan ex post facto. Tabel : Model of Inquiry Quantitative Experimental Nonexperimental • True • Descriptive Experimental • Quasi• Comparative Experimental
194
Qualitative Interactive Noninteractive • Ethnographic • Concept Analysis • Phenomenologic • Historical Analysis
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Fenomena Jin dalam Penelitian Ilmiah (Kisbiyanto)
• Single-Subject
• Correlational
• Case Study
• Survey • Ex Post Facto
• Grounded Theory • Critical Studies
Sumber : McMillan (2001:31)
B. Jin dalam Sudut Pandang Ilmiah Flying Saucer Review (FSR) mendeskripsikan fenomena jin dari perspektif yang tidak seperti biasanya—jin banyak dipahami dari sudut metafisik—namun jin dalam beberapa sisi bisa dikaji dari sudut pandang ilmiah (scientific). FSR melaporkan beberapa hal sebagai berikut : 1. The Jinn and Infra-red Dalam pembahasan pada umumnya, jin dikategorisasi sebagai mahluk yang terbuat dari api (bodies of essensial flame). Pemahaman seperti ini dimengerti dari berbagai informasi dalam agama, misalnya al-Quran yang menyebutkan bahwa mahluk Tuhan ada manusia, malaikat dan jin. Di dalam cerita-cerita kuno juga disebutkan kisah-kisah tentang jin, misalnya dalam cerita arab seribu satu malam (the one thousand and one nights atau alfu lailah wa lailah) yang sangat terkenal itu. Dalam pandangan ilmiah, berkembang pemikiran tentang api, cahaya dan semacamnya. Jika jin berkaitan dengan api atau cahaya, bagaimana dengan dunia sain yang sekarang mengenal infra merah (infra red). Sejak dunia mengenal dan menggunakan radar setelah perang dunia II, muncul pemikiran bahwa jin terbentuk dari infra merah. Tentu saja pemikiran ini membutuhkan ekplorasi dan pembuktian yang mendalam. 2. Why did UFO Appear En Masse in 1947 UFO sejak 1947 dan setelahnya lebih sering muncul. Hal ini jauh dibandingkan sebelum 1947. Menurut the New Zealander Trevor James Constable dalam buku The Cosmic Pulse of Life, bahwa UFO-UFO mulai nampak dalam jumlah lebih sering sejak manusia mulai menggunakan radar. Dengan kata lain, UFO-UFO lebih sering nampak sejak manusia mulai memenuhi atmosfer bumi ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
195
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
dengan radiasi gelombang mikro (microwave radiation). Sejak Radar banyak digunakan oleh manusia khususnya setelah masa perang dunia II, manusia mulai berpikir dan mengotak-atik kemungkinan mahluk asing. Radar yang bekerja dengan sistem gelombang mikro, sangat memungkinkan mendeteksi atau bersinggungan dengan bahan yang sama atau serupa, misalnya infra merah. Jin dimungkinkan akan dapat dideteksi dengan gejala gelombang mikro dan infra merah tersebut. 3. How Jin Materialize Dalam khazanah teks ke-Islaman, dideskripsikan bahwa Jin memungkinkan dalam bentuk atau wujud material (nampak) dan juga bisa dalam bentuk tidak nampak (immaterial). Dengan pemikiran tersebut ada kemungkinan jin mempuyai dimensi material, setidaknya dengan kemungkinan-kemungkinan antara lain : (1) jin mempunyai kontrol yang bergantung pada dunia realitas, atau (2) jin bisa mempunyai kontrol menyerupai bentuk fisik manusia sehingga bisa berbentuk seperti manusia, atau (3) Jin bisa menciptakan ilusi (illusions) dari luar diri mereka sebagaimana manusia menciptakan hologram. Ini semua merupakan kemungkinan bentuk-bentuk jin. Beberapa pengamatan melaporkan bahwa jin lebih sebagai benda atau mahluk luar angkasa atau mahluk langit yang bisa saja menuju ke bumi tempat manusia hidup. Dengan pengamatan gejala-gejala benda asing/ langit, jin diprediksi ada dalam berbagai bentuk. C. Hakekat tentang Jin Hakekat dari suatu realitas yang ada atau mungkin ada merupakan bagian yang sangat menarik dari studi filsafat maupun filsafat ilmu. Tentu yang dimaksud adalah hakekat dari kebenaran atas keberadaan sesuatu. Dalam kaitan ini Yuyun menegaskan sebagai kebenaran yang berdasarkan rasional, sebagaimana A. Tafsir juga menambahkan bahwa kebenaran filosofis adalah kebenaran “rasional” sedangkan kebenaran ilmiah (scientific) adalah kebenaran berdasarkan pada “rasional” dan atau “empiris”. Dalam pandangan ulama muslim, menurut penjelasan Quraisy Shihab, jin memiliki kemampuan membentuk dirinya dalam berbagai 196
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Fenomena Jin dalam Penelitian Ilmiah (Kisbiyanto)
bentuk. Memang dari al-Quran tidak ditemukan penjelasan tentang hal ini, tetapi banyak riwayat yang menginformasikannya. Allah SWT berfirman (yang artinya), ”(Ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (Al-Anfal: 30). Pakar tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ketika pemuka-pemuka suku di Mekah berunding untuk menghadapi Nabi saw., Iblis tampil dalam bentuk seorang tua terhormat dari suku Najed dan memberikan mereka saran agar memilih dari setiap suku, seorang pemuda, kemudian pemudapemuda pilihan itu secara bersamaan membunuh Muhammad. Dengan demikian, suku Nabi Muhammad saw. (Quraisy) tidak bisa membalas, karena bila menuntut, mereka akan menghadapi banyak suku. Ibnu Katsir mengemukakan juga riwayat yang dinisbahkan kepada Ibnu Abbas r.a. bahwa dalam Perang Badar, Iblis tampil dalam gabungan tentara setan dalam bentuk seorang yang mereka kenal bernama Suraqah bin Malik bin Ju’syum yang ditakuti oleh suku Quraisy, karena ada dendam antarmereka. Suraqah berkata kepada kaum musyrikin, ”Tidak ada seorang manusia pun yang dapat mengalahkan kamu pada hari ini dan aku adalah pembela kamu. Tetapi, ketika perang berkecamuk, Rasulullah saw. mengambil segumpal tanah dan melemparkannya ke muka orang-orang musyrik, sehingga mereka kacau-balau. Ketika itu juga Malaikat Jibril menuju ke arah Iblis yang berpenampilan seperti Suraqah. Ketika ia, yang memegang tangan salah seorang musyrik, melihat Malaikat Jibril, makhluk terkutuk itu melepaskan tangan yang dipegangnya dan meninggalkan medan pertempuran bersama kelompoknya. Orang yang dipegang tangannya tadi berkata, ”Wahai Suraqah, bukankah engkau berjanji membela kami?” Iblis menjawab, ”Sesungguhnya saya dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihatnya; sesungguhnya saya takut kepada Allah.” Inilah menurut Ibnu Katsir yang dimaksud dengan firman Allah dalam Alquran surah Al-Anfal: 48, ”Dan, ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan, ’Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
197
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka, tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu balik ke belakang seraya berkata, ’Sesungguhnya saya berlepas diri dari kamu; sesungguhnya saya melihat apa yang kamu sekalian tidak lihat; sesungguhnya saya takut kepada Allah.’ Dan, Allah sangat keras siksa-Nya.” Sebelum ini telah dikemukakan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari bahwa Abu Hurairah menangkap jin yang berbentuk manusia ketika ia mencari kurma sedekah. Rasulullah saw. juga menyampaikan kepada para sahabatnya bahwa, ”Semalam tiba-tiba muncul di hadapanku jin ifrit untuk membatalkan salatku, maka Allah menganugerahkan aku kemampuan menangkapnya dan aku bermaksud mengikatnya pada salah satu tiang masjid, hingga kalian semua di pagi hari dapat melihatnya. Tetapi, aku mengingat ucapan (permohonan) saudaraku (Nabi) Sulaiman, ’Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh seorang jua pun sesudahku’,” (38: 35). Berkata perawi hadis ini, ”Maka, Nabi mengusirnya (tidak mengikatnya) dalam keadaan hina dan terkutuk.” Imam Bukhari juga menyebutkan sekian riwayat menyangkut perubahan bentuk jin, antara lain dalam bentuk ular. Ibnu Taimiyah menulis dalam kumpulan fatwanya bahwa jin dapat mengambil bentuk manusia atau binatang, seperti ular, kalajengking, sapi, kambing, kuda, dll. Sahabat Nabi Ibnu Umar menyampaikan perintah Nabi untuk membunuh ular yang ditemukan di rumah. Demikian diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Di tempat lain termaktub juga riwayat bahwa Nabi saw. melarang membunuh ular yang ditemukan di rumah tanpa peringatan, karena penghuni rumah dari jenis jin sering mengambil bentuk ular-ular kecil. Bukhari dan Muslim meriwayatkan juga bahwa Nabi saw. bersbda, Ibnu Umar membunuh semua ular sampai sahabat Nabi saw. Abu Lubabah menyampaikan kepada kami bahwa Rasulullah saw. melarang membunuh ular-ular yang ditemukan di rumah (sebelum memberinya peringatan), dan sejak itu ia (Ibnu Umar) tidak lagi membunuhnya. Imam Muslim menjelaskan, peringatan yang dimaksud tersebut adalah dengan ucapan, ”Aku mengimbau kalian, demi janji yang telah diambil dari kalian oleh Nabi Sulaiman putra Daud, agar 198
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Fenomena Jin dalam Penelitian Ilmiah (Kisbiyanto)
kalian tidak mengganggu kami dan tidak pula menampakkan diri kepada kami.” Hal serupa diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab Sunannya melalui Abi Laila, bahwa nsa ketika ditanya tentang ularular kecil yang ditemukan di rumah, maka beliau bersabda, ”Kalau kalian menemukannya di rumah kalian, maka ucapkanlah, ’Ansyudu kunna bil ahed allazy akhaza ’alaikunna Nuh, …. Ansyudu kunna bil ahed allazy akhaza ’alaikunna Sulaiman bin Daud an laa tu’zuuna!’ (Aku mengimbau demi janji yang telah diambil dari kalian oleh Nabi Nuh, aku mengimbau demi janji yang telah diambil dari kalian oleh Sulaiman, agar kalian tidak mengganggu kami dan bila ia kembali lagi, maka bunuhlah).” Jin atau setan--katanya--jika mampu berbentuk manusia secara sempurna, maka ini dapat menjadikan kita meragukan setiap orang yang kita lihat. Apakah dia manusia yang kita kenal atau setan. Jin atau setan dapat menyerupai manusia secara sempurna, tetapi menyerupai Rasulullah saw. tidaklah bisa. Karena, Rasulullah saw. telah bersabda, ”Siapa yang melihatku dalam mimpi, maka dia benar-benar telah melihatku (dalam mimpinya), karena setan tidak dapat menyerupakan dirinya dengan aku.” (HR Bukhari melalui Anas bin Malik). Manakala mahkluk-makluk lain pula Allah jadikan daripada salah satu unsur tersebut, contohnya, binatang yang dijadikan daripada campuran Jisim Ksayif dan Jisim Syafaf sahaja. Batu dan tumbuh-tumbuhan pula dijadikan daripada Jisim Kasyif semata-mata. Manakala Malaikat pula dijadikan daripada Nurani semata-mata. 1. Cara Pembiakan Jin Manusia memerlukan masa mengandung selama sembilan bulan untuk melahirkan zuriat dan anak manusia juga memerlukan masa yang lama untuk matang dan menjadi baligh. Berbeda dengan Jin di mana, apabila di sentuh alat kelamin lelaki dengan alat kelamin perempuan, maka Jin perempuan akan terus mengandung dan beranak dan anak Jin yang baru lahir itu terus mukallaf. Begitulah keadaannya sehingga ke hari kiamat. Iblis pula apabila menyentuh paha kanan dengan paha kiri akan mengeluarkan 33 biji telor. Dalam setiap biji telor itu ada 33 pasang benihnya. Tiap-tiap pasang benih itu apabila menyentuh paha kanan dengan paha kiri akan keluar seperti yang terdahulu. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
199
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Begitulah proses pembiakan Jin dan Iblis sehinggalah ke hari kiamat. Bunian atau lebih masyhur di kalangan orang-orang Melayu dengan panggilan orang Ghaib pula ialah hasil campuran lelaki atau perempuan Jin dengan lelaki atau perempuan dari kalangan manusia. Anak yang terhasil daripada percampuran itu dikenali dengan nama Bunian. Perangai dan tingkah laku serta rupa bentuknya orang Bunian ini dalam beberapa perkara mengikut manusia dan dalam beberapa perkara pula mengikut Jin. Jika asal usul datuk manusia ialah Nabi Adam, maka asal usul datuk Jin pula ialah ” Jaan ” yang asalnya adalah beriman kepada Allah dan melahirkan keturunan yang beriman. Selepas itu terdapat pula dari keturunan Jaan yang kufur dan melahirkan pula keturunan yang kufur. Anak cucu Jaan yang asal beriman itu ada yang kekal dalam iman dan ada pula yang kufur dan ada pula yang kembali beriman kepada Allah. 2. Agama dan Jin. Jin Juga seperti manusia, iaitu ada yang baik, ada yang jahat, ada yang soleh, ada yang tidak soleh, ada yang alim lagi mukmim, ada ada yang kufur, ada yang murtad, fasik dan zalim, ada yang masuk syurga dan ada yang dihumbankan oleh Allah ke dalam neraka di hari akhirat kelak. Majoriti puak-puak Jin terdiri daripada golongan Jin kafir. Golongan Jin kafir ini kebanyakanya beragama Yahudi, Kristian, Komunis dan sangat sedikit daripada mereka yang beragama Buddha dan Majusi. Terdapat juga golongan Jin yang tidak beragama. Golongan Jin yang memeluk Islam hanyalah sedikit bilangannya dan terdiri daripada golongan manoriti jika di bandingkan dengan keseluruhan bilangan Jin. Seperti juga manusia biasa, Jin juga berada dalam tingkattingkat iman, ilmu dan amalan yang tertentu berdasarkan kepada keimanan dan amalan mereka kepada Allah. Antaranya ada Jin Islam yang bertaraf awam sahaja , Jin Islam yang di tingkat iman Khawas dan Jin Islam yang berada ditingkat iman yang KhawasilKhawas. Walaupun Jin Islam yang paling tinggi imannya dan paling soleh amalannya serta paling luas serta banyak ilmunya , tetapi 200
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Fenomena Jin dalam Penelitian Ilmiah (Kisbiyanto)
masih ada pada diri mereka sifat-sifat mazmumah seperti takbur, riak, ujub dan sebagainya, tetapi mereka mudah menerima teguran dan pengajaran. Mungkin inilah yang sering diperkatakan bahawa ” sebaikbaik Jin itu ialah sejahat-jahat manusia yang fasik. ” Tetapi yang berbezanya manusia yang paling jahat susah menerima pengajaran dan teguran yang baik. Golongan Jin Islam yang awam dan Jin kafir suka merasuk manusia yang awam dengan berbagai-bagai cara, kerana pada pandangan mereka manusia-manusia yang awam itu bukanlah manusia sebenarnya, sebaliknya adalah rupa seekor binatang. Manusia yang Khawas dan Khawasil-Khawas tidak dapat di rasuk oleh Jin, bahkan Jin pula akan datang kepada mereka untuk bersahabat. 3. Rupa Bentuk Jin. Pada asasnya rupa bentuk Jin tidaklah banyak berbeza daripada rupa bentuk manusia, iaitu mereka mempunyai jantina, mempunyai hidung mata, tangan, kaki, telinga dan sebagainya, sepertimana yang di miliki oleh manusia. Pada dasarnya 80 hingga ke 90 peratus Jin menyerupai manusia. Cuma yang berbezanya fizikal Jin adalah lebih kecil dan halus daripada manusia. Bentuk tubuh mereka itu ada yang pendek, ada yang terlalu tinggi dan ada bermacam-macam warna, iaitu putih, merah biru, hitam dan sebagainya. Jin yang kekal dalam keadaan kafir dan Jin Islam yang fasik itu mempunyai rupa yang huduh dan menakutkan. Manakala Jin Islam yang soleh pula mempunyai rupa paras yang elok. Menurut sesetengah pendapat tinggi Jin yang sebenarnya adalah kira-kira tiga hasta sahaja. Pengetahuan mereka lebih luas dan umurnya tersangat panjang dan ada yang beribu tahun umurnya. Kecepatan Jin bergerak adalah melebihi gerak cahaya dalam satu saat. Memandangkan Jin adalah terdiri daripada makluk yang seni dan tersembunyi, tidak zahir seprti manusia dan tidak sepenuhnya ghaib seperti Malaikat, maka ruang yang kecil pun boleh di duduki oleh berjuta-juta Jin dan ianya juga boleh memasuki dan menghuni tubuh badan manusia. Jumlah Jin terlalu ramai sehingga menurut sesetengah pendapat bilangannya ialah jumlah semua manusia daripada Nabi ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
201
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Adam hingga ke hari kiamat di darab dengan haiwan-haiwan, di darab dengan batu-batu, di darab dengan pasir-pasir dan semua tumbuh-tumbuhan. Itu pun baru satu persepuluh daripada jumlah keseluruhan Jin. ManakalajumlahkeseluruhanJinialahsatupersepuluhdaripada jumlah keseluruhan Malaikat. Jumlah keseluruhan Malaikat hanya Allah dan Rasulnya sahaja yang lebih mengetahuinya. Alam kediaman Jin ialah di lautan, daratan, di udara dan di Alam Mithal iaitu suatu alam di antara alam manusia dan alam malaikat. Jika di berikan oleh Allah kepada kita melihat Jin, sudah tentulah kita akan melihat jarum yang dijatuhkan dari atas tidak akan jatuh ke bumi , tetapi hanya jatuh di atas belakang Jin, disebabkan terlalu banyaknya jumlah mereka. Sebab itulah orang-orang tua kita selalu berpesan supaya anakanak segera balik ke rumah apabila telah tiba waktu maghrib dan pintu serta tingkap rumah mesti di tutup, supaya tidak dimasuki oleh Syaitan dan Iblis. Sebagaimana sebuah Hadis yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari daripada Rasulullah s.a.w yang bermaksud : ”Apabila kamu menghadapi malam atau kamu telah berada di sebahagian malam maka tahanlah anak-anak mu kerana sesungguhnya syaitan berkeliaran ketika itu dan apabila berlalu sesuatu ketika malam maka tahanlah mereka dan tutuplah pintupintu rumahmu serta sebutlah nama Allah, padamkan lampulampu mu serta sebutlah nama Allah, ikatlah minuman mu serta sebutlah nama Allah dan tutuplah sisa makanan mu serta sebutlah nama Allah ( ketika menutupnya ) ” Hadis di atas bermaksud bahawa Jin dan Syaitan akan tidur di waktu siang dalam cahaya dan sinar sehingga menjelang petang, di mana pada waktu itu mereka berkeliaran mencari rezeki dan makanan, baik lelaki maupun perempuan, samada yang dewasa atau kanak-kanak. D. Penutup Bagaimanapun, studi tentang jin secara falsafi menjadi keniscayaan filosofis, satu sisi rasionaliasi menjadi alat utama untuk 202
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Fenomena Jin dalam Penelitian Ilmiah (Kisbiyanto)
mengatakan jin itu realitas, namun pada dataran empiric, studi ini menjadi tertantang dan tentu belum sepenuhnya jelas sebagai empiri, melainkan sebagai fenomena yang naked sciences.
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
203
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir. Filasafat Pendidikan. Fritjof Capra. 2002, Kearifan Tak Biasa Percakapan dengan Orangorang Luar Biasa (Terj. Hartono HK). Husein Al-Kaff . Kuliah Filsafat Islam di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad. John Horgan. The End of Science. M. Quraish Shihab, Yang Tersembunyi: Jin Iblis, Setan, & Malaikat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa kini dalam (http://www. ceramahislam.com) McMillan, James H and Sally Schumacher. 2001. Research In Education A Conceptual Introduction. Yuyun S. Sumantri. Filsafat Ilmu Suatu Pengantar.
204
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
MENGKRITISI PENGAWAS SEKOLAH DILINGKUNGAN KEMENAG KUDUS
Oleh: M. Saekhan Muchith *)
Abstrak Salah satu tenaga kependidikan yang memiliki peran strategis dalam peningkatan kualitas pendidikan dan profesionalisme guru adalah Pengawas Sekolah . Pengawas Sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwewenang untuk melakukan pengawasan dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi tehnis pendidikan, administrasi pada satuan pendidikan prasekolah, pendidikan dasar dan menengah. (KMA Nomor 381 tahun 1999, bab I, Huruf C, angka 1). Berdasarkan rumusan tersebut, pengawas sekolah memiliki peran atau tupoksi sangat dominan dalam pendidikan. Pengawas memiliki tugas membina, mengawasi seluruh aktivitas yang dilakukan di dalam satuan pendidikan. Oleh sebab itu pengawas harus memiliki berbagai pengetahuan dan ketrampilan akademik, metodologis dan manajerial agar pendidikan dapat berjalans ecara efektif dan efisien. Pengawas sekolah di lingkungan kantor kementeriana agama (kemenag) memiliki berbagai problematika yang patut dicermati agar eksistensi pengawas sekolah tetap menjadi elemen yang penting bagi kelangsungan pendidikan dalam mewujudkan kualitas proses maupun hasil. Banyak problem yang dialami pengawas dilingkungan kemenag, mulai dari system pengangkatan, rasio perbandingan antara pengawas dengan lokasi, kemampuan profesi, dan ketersediaan personil pengawas dalam memenuhi kebutuhan atau tuntutan guru dan satuan pendidikan. Kantor kemenag memiliki berbagai sumberdaya yang harus dibina dan diawasi pengawas, antara lain guru PAI yang ada di sekolah (SD,SMP,SMU,SMK), pengawas mata pelajaran umum yang ada di madrasah seperti IPS, IPA, MTK, Geografi, ekonomi, kesenian yang ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
205
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
ada di madrasah, dan pengawas khusus madrasah diniyah yang nota benenya menjadi bagian pembinaan dari kantor kemenag. *) M. Saekhan Muchith, Sedang menyusun desertasi “Pengembangan Model Pembinaan Pengawas Sekolah, Dosen tetap STAIN Kudus
A. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas adminsitrasi dalam suatu lembaga pendidikan adalah mengoptimalkan Manajemen Pengembangan Sumberdaya Manusia (MSDM). Dengan harapan sumberdaya manusia yang ada dalam lembaga pendidikan akan mampu berjalan secara optimal. Dalam lembaga pendidikan sumberdaya manusia disebut tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Hal ini dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional bab I pasal 1 ayat 5 dan 6 bahwa: “Tenaga kependidikan adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, sedangkan tenaga pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instuktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kskhususannya serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan” .
Salah satu tenaga kependidikan yang memiliki peran strategis dalam peningkatan kualitas pendidikan dan profesionalisme guru adalah Pengawas Sekolah . Pengawas Sekolah adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwewenang untuk melakukan pengawasan dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi tehnis pendidikan, administrasi pada satuan pendidikan prasekolah, pendidikan dasar dan menengah. (KMA Nomor 381 tahun 1999, bab I, Huruf C, angka 1). Dalam naskah akademik Standar Pengawas Sekolah yang diterbitkan Badan Standar Nasional pendidikan (BNSP) tahun (2006: 16) dijelaskan bahwa pengawas sekolah yang disebut Pengawas Sekolah adalah tenaga kependidikan profesional yang berstatus PNS yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat berwenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan pada sekolah/satuan pendidikan. Oleh sebab itu Pengawas 206
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Mengkritisi Pengawas Sekolah Dilingkungan Kemenag Kudus (M.Saekhan Muchith)
Sekolah dapat dikatakan jabatan fungsional yang memiliki tugas dan fungsi (tupoksi) pelaksana tehnis dalam melakukan pengawasan pendidikan terhadap sekolah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah atau perundang-undang yang berlaku. Dalam melaksanakan tugasnya Pengawas Sekolah memiliki peran sebagai supervisor pendidikan baik supervisor akademik maupun supervisor manajerial. Sebagai supervisor akademik, Pengawas Sekolah bertugas membantu dana membina guru untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya agar dapat mempertinggi mutu proses dan hasil belajar siswa. Sebagai supervisor manajerial, Pengawas Sekolah memiliki tugas membantu kepala sekolah dan staf sekolah agar dapat meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan dimasing-masing sekolah yang dibina atau diawasi. Artinya Pengawas Sekolah adalah suatu jabatan fungsional dalam lembaga pendidikan yang memiliki peran atau kewenangan untuk meningkatkan mutu pendidikan baik mutu yang menyangkut guru dalam pembelajaran maupun mutu pimpinan (kepala sekolah) dalam melaksanakan fungsi kepemimpinannya. Dalam petunjuk tehnis (juknis) jabatan fungsional Pengawas Sekolah dijelaskan bahwa ruanglingkup tugas Pengawas Sekolah meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Melakukan kegiatan pengawasan terhadap guru dan manajerial lembaga penbdidikan baik dilingkungan kantor kementerian pendidikan nasional dan kantor kementerian agama baik sekolah negeri maupun swasta; b. Pengawas di lembaga pendidikan merupakan pejabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis untuk melakukan pengawasan pendidikan terhadap sejumlah sekolah tertentu yang ditunjuk/ditetapkan dalam upaya meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar/bimbingan untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam satu kabupaten/kota, pengawas sekolah dikoordinasikan dan dipimpin oleh seorang koordinator pengawas (Korwas) sekolah/ satuan pendidikan. Aktivitas Pengawas Sekolah yang harus dilakukan selanjutnya adalah menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah satuan pendidikan/sekolah tertentu baik negeri maupun ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
207
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
swasta yang menjadi tanggung jawabnya. Penilaian itu dilakukan untuk penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolak ukur) yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dalam bentuk memberikan arahan, saran dan bimbingan (Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 020/U/1998 tanggal 6 Februari 1998). Menurut KMA Nomor 381 tahun 1999 bahwa tugas pokok dan fungsi pengawas dirinci kedalam berbagai hal sebagai berikut; 1. Melaksanakan identifikasi hasil pengawasan untuk dijadikan penyusunan program tahunan ditingkat kabupaten/kota 2. Merumuskan rancangan program tahunan pengawasan satuan pendidikan 3. Memantapkan program dan menyempurnakan rancangan program tahunan 4. Menyusun program catur wulanan yang ada dimasing-masing wilayah pengawasan 5. Menyusun kisi-kisi dalam rangka penyusunan soal/instrument penilaian 6. Melaksanakan uji coba butir soal/instrument penilaian 7. Menyempurnakan butir soal/instrument penilaian 8. Mengidentifikasi berbagai faktor dan sumber yang mempengaruhi terhadap perkembangan dan hasil belajar siswa 9. Memberi arahan dan bimbingan kepada para guru agama tentang pelaksanaan proses belajar mengajar siswa 10. Memberikan contoh pelaksanaan tugas guru agama dalam melaksanakan proses belajar mengajar/bimbingan siswa 11. Memberikan saran dan dukungan untuk peningkatan kemampuan profesionlisme guru 12. Menyusun laporan pengawasan setiap sekolah 13. Memberikan saran penyelesaian terhadap kasus atau problem khusus yang ada disekolah 14. Memantau dan membimbing pelaksanaan EBTA/EBTANAS 15. Membina pelaksanaan pengalolaan sekolah 16. Menciptakan karya seni 17. Menemukan teknologi tepat guna dalam pendidikan 208
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Mengkritisi Pengawas Sekolah Dilingkungan Kemenag Kudus (M.Saekhan Muchith)
Berdasarkan tugas dan fungsi serta kewennagan Pengawas Sekolah tersebut, dapat penulis kemukakan beberapa asumsi bahwa: a. Pengawas Sekolah adalah suatu jabatan fungsional yang memiliki tugas dan wewenang sangat jelas dalam mewujudkan kualitas pendidikan kususnya kualitas sumber daya manusia (SDM) guru maupun kualitas kepemimpinan. Elemen yang memiliki peran dominan dalam mewujudkan kualitas pendidikan harus selalu diberi pendidikan atau pelatihan agar kualiats Pengawas Sekolah selalu sesuai dengan dinamika dan perkembangan serta tuntutan ilmu pengetahuan dan sosial budaya masyarakat. b. Ruang lingkup pekerjaan Pengawas Sekolah adalah melakukan pembinaan, pengawasan, dan juga evaluasi segala proses pembelajaran dan kepemimpinan yang ada disetiap setuan pendidikan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai jenjang pendidikan menengah. Agar ruang lingkup pekerjaan dapat dilaksanakan secara optimal, maka Pengawas Sekolah perlu memiliki persepsi dan motivasi yang tinggi terhadap pekerjaannya. c. Pengawas Sekolah harus memiliki kompetensi yang utuh dan komprehensif agar mampu melaksanakan fungsi dan kewenangannya secara optimal. Kompetensi yang harus dimiliki Pengawas Sekolah antara lain: kompetensi personal, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kompetensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan, dan kompetensi sosial. Kompetensi tersebut diharapkan akan mampu melahirkan kinerja Pengawas Sekolah dalam melaksankan tugasnya. Oleh sebab itu Pengawas Sekolah perlu diketahui kualitas kinerja dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Idealisme pengawas sekolah untuk mewujudkan kualitas pendidikan dan membantu terwujudnya profesionalisme guru perlu selalu dikembangkan, agar pendidikan mampu menjawab berbagai tantangan yang ada ditengah-tengah masyarakat. Pengawas sekolah dilingkungan kantor kementerian agama (kemenag) Kudus memiliki beberapa realitas yang dapat dijadikan bahan awal untuk merumuskan model pembinaan pengawas sehingga pengawas mampu mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
209
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Realitas pengawas sekolah di Kantor kemenag adalah sebagai berikut: a. Kantor kementerian Agama kabupaten Kudus hanya memiliki Pengawas Sekolah dalam rumpun Pendidikan Agama Islam (PAI) sementara Kemenag di samping mengangkat guru PAI juga mengangkat guru non PAI seperti Guru Matematika, Guru Biologi, Guru Fisika, Guru IPS, Guru olah raga. Konsekuensi dari mengangkat juga memiliki tugas membina. Secara administratif Kemenag belum memiliki Pengawas Sekolah khsusus guru non PAI, sehingga untuk guru nonj PAI belum pernah dilakukan pembinaan terhadap Pengawas Sekolah. b. Berdasarkan survey yang dilaksanakan Pusat Penelitian Pengabdian Masyarakat (P3M ) STAIN Kudus tahun 2008 terhadap 300 guru yang ada di Lingkungan Departemen Agama (Depag) (Sekarang kemenag) Kabupaten Kudus menyebutkan bahwa mayoritas (87,30%) guru memiliki persepsi bahwa Pengawas Sekolah belum memiliki cara yang tepat dalam melaksanakan fungsinya sebagai tenaga pengawas terhadap lembaga pendidikan, sehingga Pengawas Sekolah belum mampu melaksanakan tugasnya secara optimal. Tugas yang dianggap belum optimal adalah tugas yang berkaitan dengan proses melaksanakan pembinaan terhadap peningkatan mutu lembaga pendidikan, proses peningkatan profesionalisme guru serta proses pemberian pembinaan, pengarahan dan bimbingan kepada guru kususnya dalam pengembangan kemampuan profesionalisme guru kususnya yang terkait dengan langkah tehnis untuk melaksanakan pembaharuan pembelajaran, pemberian pembekalan terhadap guru yang terkait dengan kemampauan menggunakan sarana atau media teknologi dan pemberian bantuan yang terkait dengan guru dalam memperoleh kesempatan mengikuti uji sertifikasi. c. Berdasarkan biodata yang diperoleh peneliti pada tanggal 10 desember 2009 dapat ditemukan data bahwa, dari sebanyak 23 pengawas satuan pendidikan, 3 pengawas yang memiliki pendidikan magister (S2), dalam proses studi lanjut magister 6 orang. d. Dilihat dari usia, mayoritas usia para pengawas di kantor kemenag Kudus berada dalam rentang usia produktif. 19 pengawas berada 210
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Mengkritisi Pengawas Sekolah Dilingkungan Kemenag Kudus (M.Saekhan Muchith)
dalam usia antara 40-50 tahun. Dan hanya 4 pengawas yang berada dalam rentang usia 50-56 tahun. Artinya dengan usia seperti ini, maka pengawas satuan pendidikan memiliki potensi untuk diberdayakan. Pengawas sekolah, pada saat diangkat menjadi pengawas 20 orang dalam usia 35-45 tahun. Sedangkan 3 orang pengawas diangkat sebagai pengawas pada usia 46-50 tahun. Jika dirinci secara detail ditemekan data dalam table di bawah ini: e. Program kegiatan pengawas satuan pendidikan di kantor kemenag Kudus memiliki beberapa kegiatan yang dapat dikembangkan sebagai media atau sarana untuk pembinaan para pengawas secara optimal. Kegiatan rutin yang dilakukan para pengawas adalah: 1. Rapat koordinasi pengawas (rakorwas) yang diikuti oleh seluruh pengawas satuan pendidikan disetiap jenjang dan dilaksanakan secara rutin setiap bulan. Dalam rapat ini agenda yang dibahas adalah problematika pengawasan yang di peroleh pada saat melakukan pengawasan di masing-masing satuan pendidikan. Dapat dikatakan rapat ini lebih menitikberatkan persoalan yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi pengawas sekolah. 2. RapatDinasTetap(radintap)diikutiseluruhpengawas,ditambah para kasi dilingkungan kantor kemenag dilaksanakan setiap 3 bulan sekali. Rapat jenis ini agenda yang dibahasa tentang persoalan pengawasan yang terkait dengan kebijakan kantor depag. Rapat ini lebih bersifat sosialisasi berbagai kebijakan dari kantor kemenag yang harus dilakukan para pengawas agar memiliki singkronisasi dengan kebijakanj dengan kantor Rapat jenis ini, lebih banyak menerima informasi kebijakan baru yang atau memantapkan kebijakan lama yang dianggap belum berjalan secara optimal dilingkungan kantor kemenag. 3. Rapat Gabungan Tetap (rakorgab) yang diikuti seluruh pengawas satuan pendidikan, para kasi dilingkunagn kemenag dan para kepala KUA di wilayah kabupaten Kudus, yang dilaksanakan setiap 6 bulan sekali. Dalam rapat ini agenda yang dibahas adalah persoalan kebijakan depag yang bersifat nasional seperti masalah Haji, pemberdayaan zakat, dan tentang BOS. Disamping sosialisasi kebijakan kantor kementerian agama, rapat ini juga memiliki agenda konsolidasi ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
211
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
dalam kegiatan pengawasan yang dilakukan para pengawas satuan pendidikan. Berdasarakan realitas tersebut, maka pengawas sekolah di kantor kementerian agama kudus perlu dicermati dan di kritisi untuk mewujudkan profil pengawass ekolah yang ideal. B. Posisi Pengawas Sekolah dalam Sistem Pendidikan Dalam Keputusan menteri Agama (KMA) nomor 381 tahun 1999 dijelaskan bahwa Pengawas Sekolah adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan pra sekolah, sekolah dasar dan sekolah menengah. Berdasarkan pengertian tersebut maka Pengawas Sekolah memiliki wilayah pengawasan diberbagai sektor, antara lain : Pertama, Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional adalah menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sekolah baik negeri maupun sekolah/madrasah di lingkungan Departemen Agama untuk seluruh mata pelajaran/rumpun mata pelajaran/rumpun mata pelajaran, kecuali mata pelajaran pendidikan agama dan yang termasuk rumpun mata pelajaran pendidikan agama Islam. Kedua, Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan di lingkungan Departemen Agama adalah menilai dan membina lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (TK/SD/SLB/SLTP/SMU/ SMK) dan departemen Agama (RA/MI/SD/MTs/MA), baik mata pelajaran pendidikan agamadan yang termasuk rumpun matapelajaran pendidikan agama lain. Ketiga, Kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah di lingkungan departemen di luar Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama adalah menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sekolah kedinasan di lingkungan departemen yang bersangkutan untuk mata pelajaran/rumpun mata pelajaran tertentu (Juknis Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah,2000:8) Pengawas Sekolah memiliki berbagai peran atau jenis, antara lain; 212
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Mengkritisi Pengawas Sekolah Dilingkungan Kemenag Kudus (M.Saekhan Muchith)
Pertama, Pengawas Sekolah jenjang TK/SD/SDLB adalah Pengawas Sekolah yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu baik negeri maupun swasta di TK/SD/SDLB untuk seluruh mata pelajaran kecuali mata pelajaran pendidikan Agama dan Penjaskes. Kedua, Pengawas Sekolah rumpun mata pelajaran adalah Pengawas Sekolah yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu, baik negeri maupun swasta di sekolah dasar (pendidik,an Agama dan Penjaskes) SLTP, SMU, SMK termasuk Balai Pelatihan Pendidikan Teknik di lingkungan Depdiknas. Ketiga, Pengawas Sekolah jenjang pendidikan luar biasa adalah Pengawas Sekolah yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu, baik negeri maupun swasta di SLTP, SMU, SMK termasuk balai pelatihan pendidikan teknik di lingkungan Depdiknas untuk seluruh mata pelajaran. Keempat, Pengawas Sekolah bimbingan dan konseling adalah Pengawas Sekolah yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu, baik negeri maupun swasta di SLTP, SMU, SMK termasuk balai pelatihan pendidikan teknik di lingkungan Depdiknas dalam kegiatan bimbingan dan konseling (Juknis Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah,2000:8). Secara umum wewenang Pengawas Sekolah dapat dirumuskan kedalam wewenang sebagai berikut; (a) Memilih dan menentukan metode kerja untuk mencapai hasil optimal dalam melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kode etik profesi. (b) Menetapkan kinerja guru dan tenaga lain yang diawasi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. (c) Menetapkan dan/atau mengusulkan program pembinaan serta melakukan pembinaan secara langsung Nana Sudjana, (2006: 36-38), buku “Standar Mutu Pengawas”. Ada tiga langkah yang harus ditempuh pengawas dalam menyusun program kerja pengawas agar dapat membantu sekolah ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
213
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
mengembangkan program inovasi sekolah. Ketiga langkah tersebut adalah : 1. Menetapkan standar/kriteria pengukuran performansi sekolah (berdasarkan evaluasi diri dari sekolah). Setiap Pengawas Sekolah harus mampu menyusun krteria standar yang harus ditetapkan di masing-masing sekolah. Kreteria standar sekolah tidak hanya disusun oleh kepala sekolah/madrasah, melainkan harus disusun pengawas sekolah. 2. Membandingkan hasil tampilan performansi itu dengan ukuran dan kriteria/benchmark yang telah direncanakan, guna menyusun program pengembangan sekolah. Pengawas Sekolah perlu memiliki kemampuan untuk mengembangkan sekolah dimasa yang akan datang. 3. Melakukan tindakan pengawasan yang berupa pembinaan/ pendampingan untuk memperbaiki implementasi program pengembangan sekolah. Selain kemampuan yang bersifat tenis, pengawas sekolah juga perlu memiliki kemampuan untuk memberdayakan elemen yang ada didalam sekolah minimal para guru dan kepala sekolah. 4. Dalam melaksanakan kepengawasan, ada sejumlah prinsip yang dapat dilaksanakan pengawas agar kegiatan kepengawasan berjalan efektif. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: (a) Trust, artinya kegiatan pengawasan dilaksanakan dalam pola hubungan kepercayaan antara pihak sekolah dengan pihak Pengawas Sekolah sehingga hasil pengawasannya dapat dipercaya (b) Realistic, artinya kegiatan pengawasan dan pembinaannya dilaksanakan berdasarkan data eksisting sekolah, (c) Utility, artinya proses dan hasil pengawasan harus bermuara pada manfaat bagi sekolah untuk mengembangkan mutu dan kinerja sekolah binaannya, (d) Supporting, Networking dan Collaborating, artinya seluruh aktivitas pengawasan pada hakikatnya merupakan dukungan terhadap upaya sekolah menggalang jejaring kerja sama secara kolaboratif dengan seluruh stakeholder, (e) Testable, artinya hasil pengawasan harus mampu menggambarkan kondisi kebenaran objektif dan siap diuji ulang atau dikonfirmasi pihak manapun. Bahwa hakikat posisi Pengawas Sekolah dapat dilihat dari empat dimensi: 214
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Mengkritisi Pengawas Sekolah Dilingkungan Kemenag Kudus (M.Saekhan Muchith)
Pertama Support, Dimensi pertama dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Support. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu mendukung (support kepada) pihak sekolah untuk mengevaluasi diri kondisi existing-nya. Oleh karena itu, supervisor bersama pihak sekolah dapat melakukan analisis kekuatan, kelemahan dan potensi serta peluang sekolahnya untuk mendukung peningkatan dan pengembangan mutu pendidikan pada sekolah di masa yang akan datang. Kedua, Trust, Dimensi kedua dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Trust. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu membina kepercayaan (trust) stakeholder pendidikan dengan penggambaran profil dinamika sekolah masa depan yang lebih baik dan lebih menjanjikan. Ketiga, Challenge, Dimensi ketiga dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Challenge. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu memberikan tantangan (challenge) pengembangan sekolah kepada stakeholder pendidikan di sekolah. Tantangan ini harus dibuat serealistik mungkin agar dapat dan mampu dicapai oleh pihak sekolah, berdasarkan pada situasi dan kondisi sekolah pada sat ini. Dengan demikian stakeholder tertantang untuk bekerjasama secara kolaboratif dalam rangka pengembangan mutu sekolah dan, Keempat, Networking and Collaboration. Dimensi keempat dari hakikat pengawasan yaitu dimensi Networking and Collaboration. Dimensi ini menunjuk pada hakikat kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh supervisor itu harus mampu mengembangkan jejaring dan berkolaborasi antar stakeholder pendidikan dalam rangka meningkatkan produktivitas, efektivitas dan efisiensi pendidikan di sekolah. C. Kompetensi Pengawas Sekolah Dalam permendiknas nomor 12 tahun 2007 diatur beberapa kualifikasi pengawas sekolah mulai tingkat TK/RA sampai sekolah menengah. ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
215
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Kualifikasi Pengawas Taman Kanak-kanak/Raudhatul Athfal (TK/RA) dan Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) adalah sebagai berikut; a. Berpendidikan minimum sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kependidikan dari perguruan tinggi terakreditasi; 1. Guru TK/RA bersertifikat pendidik sebagai guru TK/RA dengan pengalaman kerja minimum delapan tahun di TK/RA atau kepala sekolah TK/RA dengan pengalaman kerja minimum 4 tahun, untuk menjadi pengawas TK/RA; 2. Guru SD/MI bersertifikat pendidik sebagai guru SD/MI dengan pengalaman kerja minimum delapan tahun di SD/MI atau kepala sekolah SD/MI dengan pengalaman kerja minimum 4 tahun, untuk menjadi pengawas SD/MI; b Memiliki pangkat minimum penata, golongan ruang III/c; c. Berusia setinggi-tingginya 50 tahun, sejak diangkat sebagai Pengawas Sekolah ; d. Memenuhi kompetensi sebagai Pengawas Sekolah yang dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan fungsional pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah; dan e. Lulus seleksi Pengawas Sekolah . Kualifikasi Pengawas Sekolah Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), dan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK) adalah sebagai berikut : a. Memiliki pendidikan minimum magister (S2) kependidikan dengan berbasis sarjana (S1) dalam rumpun mata pelajaran yang relevan pada perguruan tinggi terakreditasi; 1 Guru SMP/MTs bersertifikat pendidik sebagai guru SMP/MTs dengan pengalaman kerja minimum delapan tahun dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMP/MTs atau kepala sekolah SMP/MTs dengan pengalaman kerja minimum 4 tahun, untuk menjadi pengawas SMP/MTs sesuai dengan rumpun mata pelajarannya; 2 Guru SMA/MA bersertifikat pendidik sebagai guru dengan pengalaman kerja minimum delapan tahun dalam rumpun 216
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Mengkritisi Pengawas Sekolah Dilingkungan Kemenag Kudus (M.Saekhan Muchith)
b. c. d.
e.
mata pelajaran yang relevan di SMA/MA atau kepala sekolah SMA/MA dengan pengalaman kerja minimum 4 tahun, untuk menjadi pengawas SMA/MA sesuai dengan rumpun mata pelajarannya; 3. Guru SMK/MAK bersertifikat pendidik sebagai guru SMK/ MAK dengan pengalaman kerja minimum delapan tahun dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMK/MAK atau kepala sekolah SMK/MAK dengan pengalaman kerja minimum 4 tahun, untuk menjadi pengawas SMK/MAK sesuai dengan rumpun mata pelajarannya; Memiliki pangkat minimum penata, golongan ruang III/c; Berusia setinggi-tingginya 50 tahun, sejak diangkat sebagai Pengawas Sekolah ; Memenuhi kompetensi sebagai Pengawas Sekolah yang dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan fungsional pengawas, pada lembaga yang ditetapkan pemerintah; dan Lulus seleksi Pengawas Sekolah .
E. Pengawas Sekolah dilingkungan kemenag Pengawas sekolah dilingkungan kantor kemenag memiliki banyak problematika yang harus segera di temukan solusinya. Problem itu dapat dilihat dari berbagai fenomena antara lain: Pertama, Dilihat dari tupoksinya, kemenag memiliki wewenang membina seluruh guru yang ada di sekolah/madrasah dan pendidikan keagamaan seperti madin dan TPQ. Tetapi dalam realitasnya, kantor kemenang belum memiliki personil pengawas yang memiliki tugas membina dan mengawasi guru mata pelajaran non PAI seperti IPS, MTK, biologi, IPA, ekonomi di madrasah seperti MI, MTS dan MA. Kemenag juga belum memiliki pengawas khusus yang memiliki wewenang khusus untuk membina dan mengawasi guru dan pengelolaan madin/TPQ. Akibatnya guru non PAI yang mengajar di madrasah dan guru madin belum ada pembinaan secara sistematis dari pengawas sekolah. Kedua, Dilihat dari proses pengangkatan pengawas, dilingkungan kamenag masih bersifat sentralistik, artinya proses seleksi peengawas lebih banyak ditentukan bukan dari kantor kemenag ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
217
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
kabupaten tetapi lebih banyak ditentukan dari kantor rkemenag propinsi. Ketiga, dilihat dari sifat lulusan, dilingkungan kantor kemenag kululusan seleksi pengangkatan pengawas bersifat alternatif, yaitu guru yang dinyatakan lulus mengikuti seleksi pengangkatan pengawas belum tentu diangkat sebagai pengawas, ada kemungkinan diangkat satu tahun kemudian, ada yang diangkat satu bulan kemudian bahkan ada yang tidak diangkat menjadi penegawas, meskipun memiliki sertifikat lulus ujian seleksi pengakatan pengawas. Keempat, dilihat dari sistem evaluasi, dilingkungan kantor kemenag sistem evaluasi atau penilaian kinerja pengawas masih bersifat formal birokrasi yaitu hanya dilakukan melalui DP3, sehingga hasil penilaiannya kurang komprehensif. Kelima, dilihat dari sistem pendidikan dan pelatihan, dilingkungan kantor kemenag belum memiliki model diklat yang resmi/formal. Diklat hanya dilakukan melalui forum forum rapat yang ada di lingkungan kamemeng sepeti Rakorwas, radintap dan rakorgab. Keenam, dilihat dari rasio pengawasan, dilingkungan kantor kemenag masih terlalu besar, karena rasio pengawasan mencapai 1: 25-35. Dilihat dari efektivitas kerja rasio seperti ini akan menghambat efektivitas pengawas sbagi pengawas. Ketujuah, dilihat dari kewenangan pembinaan, dilingkungan kemenag masih ada dualisme pembinaan terhadap guru PAI khususnya yang bertugs diluar kantor kemenag yaitu di kantor diknas. Guru PAI yang bertugs di kantor diknas, secara administratif pembinaaany dibawah pimpinan kantor diknas, sedangkan pembinaan profesinya menjadi tanggung jawab kantor kemanag.Adanya dualisme pembinaan ini, menyebabkan persoalan pengawas di kantor kemenag menjadi semakin rumit dan segera ditemukan solusi penyelesaiannya. F. PENUTUP Pengawas sekolah dilingkungan kantor kemenag masih menyimpan banyak persoalan yang harus segera di temukan solusinya. Oleh sebab itu upaya atau proses menuju pembinaan pengawas perlu terus menerus dilakukan agar dapat segera mewujudkan profil dan kinerja pengawas yang ideal. 218
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Mengkritisi Pengawas Sekolah Dilingkungan Kemenag Kudus (M.Saekhan Muchith)
DAFTAR PUSTAKA
AA. Anwar Prabu Mangkunegara (2009), Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Refika Aditama, Bandung Jawa Barat. Castetter William B, (1981) The Personal Functional in Aducation Administration, Ed 3, New York: Mc Milan Publishing Co, Inc. Burton WH & Lee J Bruckner (1955), Supervision, New York: Appleton Century Craff, Inc Davis, GA (1989), Effective School and Effective Teacher, Boston: Allyn and Bacon. Frances Hesselbein & Rob Johnston (ed) (2005), Misi dan kepemimpinan, PT Alex Media Komputindo, Jakarta Good CV (1973), Dictionary of Education, New York, Mc Grow Hill Book Company. James J. Jones & Donald L. Walters (2008), Manajemen Sumber Daya Manusia, Q- Media, Yogyakarta. Jerome S Arcaro (2006), Pendidikan Berbasis Mutu, Pustaka Pelajar Yogyakarta. Johan Holland (1973), Making Vocational Choices: A Theory of Careers, Engliwood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc. Mohammad Ali (1993), Strategi Penelitian Pendidikan, Angkasa, Bandung Jawa Barat ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
219
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
Mc Millan H James & Sally Schumacher (2001), Research In Education, A Conceptual introduction, Longman, New York, Sanfransisco Madya Ekosusilo (2003), Sekolah Unggulan berbasis Nilai, Univet bantara Press, Sukoharjo Mantja W (2007), Profesionalisme Tenaga Kependidikan, Elang Emas, Malang Jawa Timur Marihot Tua Efendi Hariandja (2007), Manajemen Sumber Daya Manusia, Pengadaan, pengembangan, pengkompensasian dan peninkatan Produktivitas Pegawai, Grasindo, Jakarta. Mondy R Wayne (2008), Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Erlangga, Jakarta. Nana Sudjana (2006), Standar Mutu Pengawas Sekolah, Depdiknas, Jakarta Ndraha, Taliziduhu (2005), Teori Budaya Organisasi, Rineka Cipta, Jakarta. Peter, Oliva F (1976), Supervison for Today Schools, Logman, New York & London Petunjuk tehnis (juknis) Jabatan Fungsional pengawas sekolah tahun 2000 Retno Sriningsih Satmoko (1999), Landasan Kependidikan, CV. IKIP Semarang Press, Jawa Tengah Ronald S Brandt (ed) (1982), Supervision of Teaching, Yearbook Committee. Samana A (1994), Profesionalisme Keguruan, kanisius, Yogyakarta Soetjipto (2007), Profesi Keguruan, Rineka Cipta, Jakarta Soekidjo Notoatmodjo (2009) Pengembangan Sumber Daya Manusia, Rinike Cipta, Jakarta. 220
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
Mengkritisi Pengawas Sekolah Dilingkungan Kemenag Kudus (M.Saekhan Muchith)
Sergiovanni J Thomas & Starrtt J Robert (1993), Supervison, McGrowHill, Inc New York Suharsimki Arikunto (2008) Manajemen Pendidikan, Aditya Media, Yogyakarta _____________________ (2008), Evaluasi Program Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta Surat keputusan (SK) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 118 tahun 1996 tentang jabatan fungsional Pengawas Sekolah Surat keputusan (SK) Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 091/KEP/M.PAN/10/2001 tentang jabatan fungsional Pengawas Sekolah Tony Bush (2006), Theories of Educational Leadership and Management, SAGE Publications, London Werther, William B dan Keith Davis (1996), Human Reseources and Personel Management (Fifth Edition), Mcgraw-Hill, Inc New York. Zaenal Aqib (2007), Profesionalisme Guru dan Pengawas sekolah, CV YRama Widya, Bandung Jawa Barat ____________ (2009), Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, CV Yrama Widya, bandung Jawa Barat. Depdikbud (1997), Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan angka kreditnya, Jakarta Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Naskah Akademik tentang Standar Pengawas Sekolah , Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tahun 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010
221
ADDIN Jurnal Media Dialektika Ilmu Keislaman
P. Robbin Stephen – Timothy A Judge (2008) Perilaku Organisasi, Salemba Empat, Jakarta. Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 381 tahun 1999 tentang Petunjuk Tehnis Pelaksanaan Jabatan fungsional Pengawas Pendidikan Agama dan angka kreditnya. Keputusan Mendiknas nomor 020/U/1998 tentang petunjuk tehnis tata kerja Pengawas Sekolah
222
ADDIN, Vol. 2 No. 2 Juli - Desember 2010