Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke - 10
Banjarmasin, 1 – 4 November 2010
DIALEKTIKA ISLAM DAN KEBUDAYAAN CIREBON A. Chozin Nasuha Islam dan Kebudayaaan Cirebon, merupakan dua sistem yang suatu ketika unsurnya bertemu dan suatu ketika berseberangan. Maka untuk membedah pemahaman yang memadai guna memberikan penyelesaian kesulitan dalam menemukan pertemuan dan persimpangan itu, dibuatlah sebuah gambaran tentang pembentukan kota Cirebon. Dulu, daerah ini dikuasai oleh Kerajaan Galuh dan Sunda dari Kerajaan Siliwangi yang bermarkas di daerah Kawali Ciamis. Daerah ini disebut Kebon Pesisir setelah dihuni oleh 52 orang. Pembangunan kota ini dipimpin oleh Ki Somadullah, seorang santri Syaikh Datul Kahfi di Pondok Pesantren Gunung Amparan Jati (Sekarang di Desa Istana Gunung Jati). Pembentukan kota itu terjadi pada 14 Bagian Terang (Sukia-Paksa) bulan Caitra tahun Saka 1367, bertepatan dengan tanggal 8 April 1445 M., atau 29 Zulhijjah 847 H., dibulatkan menjadi 1 Muharram 848 H. Tahun inilah yang kemudian dijadikan lahirnya Kota Cirebon. Kota ini, dulu disebut Kebon Pesisir dan masyarakat memilih Ki Danu Sela sebagai Kuwu pertama, karena dia sudah menetap di desa itu selama 5 tahun. Kuwu itu diberi gelar Ki Ageng Pengalang-Alang. Ki Danu Sela (Kuwu) sejak dulu senang menagkap ikan dan udang-udang kecil (rebon) di kali yang ada dekat rumahnya, hingga akhirnya penangkapan udang-udang itu banyak diikuiti oleh masyarakat. Sedangkan Ki Somadullah penginisiatif pertama pembangunan kota itu, dijadikan sebagai wakil kuwu, dengan gelar Ki Cakrabumi (Pangraksa Bumi).Dalam keadaan seperti itu, Ki Somadullah disuruh oleh gurunya agar dia menunaikan ibadah haji bersama adik kandungnya yang bernama Nyi Mas Rarasantang. Sedangkan istrinya, Nyi Endang Geulis tidak dapat ikut mendampingi suami, karena sedang hamil. Setelah pulang dari Makkah-Madinah (1447 M) Ki Cakrabuana diberi nama Haji Abdullah Iman. Dia menetap terus di Desa Kebon Pesisir yang kemudian dirubah menjadi Cirebon Larang. Setelah Ki Ageng Pengalang Alang wafat, maka H. Abdullah Iman diangkat menjadi Kuwu kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Ki Somadullah alias H. Abdullah Iman adalah cucu Ki Ageng Tapa, ibunya adalah Nyi Subang Larang, yang menjadi santri Syaikh Qurro di Krawang, yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi. Jadi H. Abdullah Iman (Kuwu Cirebon Larang II) yang menjadi santri Amparan Jati itu pada hakikatnya adalah anak sulung Prabu Siliwangi. Pada waktu Ki Kuwu memimpin, Kebon Pesisir itu banyak didatangi oleh orang dari berbagai daerah, Sunda, Jawa, Sumatera, Luar Jawa selain Sumatera, India, Cina, Persia, Irak, Arab, dan Syam (Siria). Tentu saja mereka memiliki kebudayaan yang berbedabeda. Meskipun begitu keakraban mereka tampak kompak, ketika mereka membangun tajug (masjid) Jalagrahan. Setelah dua tahun berikunya, Pangeran Cakrabuana membangun Kraton Pakungwati, yang namanya diambil dari nama puteri sulungnya sendiri yang lahir dari Nyi Endang Geulis. Pada waku itu Pangeran Cakrabuana mendapat gelar Tumenggung (Naradipa) dari Prabu Siliwangi dengan gelar Sri Mangana. Kemudian pada tahun 1479 M. Pakungwati diserahkan kepada keponakannya, yaitu Syekh Syarif Hidayatullah, menjadi susuhunan Cirebon, dengan tugas sebagai penetep Penatagama Islam
160 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Sinarat Sunda, (Imam Agama Islam untuk seluruh kawasan Jawa Barat), dan ia tetap bersemayam di Kraton Pakungwati Cirebon. Dalam keadaan seperti ini, H. Abdullah Iman (Cakrabuana) menjadi sesepuh Cirebon, sekaligus membantu Syarif Hidayatullah untuk menyusun politik dan pengembangan Islam di Jawa Barat. Atas dasar itu budayawan, dan penulis sejarah Cirebon lainnya, selalu mengatakan bahwa Cirebon adalah kota wali (Kota Penyebar Agama Islam). Dari uraian tadi ada dua masalah. Pertama, perjalanan Ki Somadullah sejak dari pembangunan Kebon Pesisir sampai pengangkatan Syarif Hidayatullah menjadi arsitek penyebaran Agama Islam di Jawa Barat bagian utara, dapat diberi makna bahwa Kebon Pesisir (Cirebon) adalah kota wali (Kota penyebar Agama Islam). Kedua, Sejak awal sampai perkembangan berikutnya, Kebon Pesisir dihuni oleh banyak manusia yang datang dari berbagai daerah. Manusia pada dasarnya adalah mahluk budaya, dan budaya sendiri pada dasarnya penuh dengan simbol, sehingga dapat dikatakan bahwa budaya Cirebon tercipta dari berbagai pemikiran yang mengikuti pola-pola yang banyak, yang didasarkan pada simbol-simbol tertentu. Dari dua persoalan itu muncul pertanyaan : 1. Apakah ada kaitan antara penyebaran Agama Islam (oleh para wali) dengan perkembangan kebudayaan Cirebon yang didukung oleh sekelompok manusia yang kehidupannya berbeda-beda? 2. Kebudayaan apa yang selalu dikembangkan oleh para wali sehingga agama Islam cocok dan diterima oleh masyarakat waktu itu.? 3. Dari mana kebudayaan itu berasal, dan pemikiran apa yang dituangkan oleh para wali terhadap kebudayaan itu, sehingga cocok dengan kehidupam masyarakat?. Yang dimaksud dengan istilah kebudayaan itu luas sekali, tetapi yang akan dikutip dalam tulisan ini hanya bentuk kesenian dan bahasa yang dipergunakan. Maka untuk memudahkan analisa, bahwa Islam adalah sesuatu yang sudah diketahui, sedangkan kebudayaan Cirebon adalah sesuatu yang belum diketahui. Kemudian dua unsur itu diaduk menjadi satu, untuk dicarikan suatu gambaran yang muncul dari sebuah analisa. Tujuannya sederhana yaitu (1) Ingin mengetahui perkembangan Agama Islam di Cirebon, dikaitkan dengan pertumbuhan kebudayaan masyarakat (2) Ingin mengetahui model-model kebudayaan dan kesenian Cirebon, baik yang masih bertahan, atau yang sudah punah. (3) Ingin mengetahui asal-usul masuknya kebudayaan itu. Sedangkan kegunaannya, secara metodologis adalah untuk menerangkan bahwa cara kerja yang sudah dilaksanakan itu, dapat dipakai lagi untuk penelitian kasus yang serupa. Secara teoritik hasil penelitian semacam itu, dapat dipergunakan untuk kegiatan ilmiah atau untuk kepentingan da‟wah Islamiyah dan atau untuk kepentingan lainnya. Pada umumnya, penelitian ilmu sosial atau ilmu sejarah selalu ditekankan pada suatu teori. Tetapi dalam kajian ini, teori tidak dijadikan sebagai landasan yang bersifat apriori. Studi ini tidak akan menguji teori atau akan mengembangkan suatu teori, tetapi teori dalam kajian ini hanya dibuat sebagai kompas dasar yang mengarahkan perhatian yang ada pada sebuah kajian itu saja. Sebagaimana uraian di atas, bahwa penelitian ini merupakan titik temu antara Islam dan kesenian Cirebon. Semua informasi yang masuk, merupakan teks dalam bentuk tulisan yang tersimpan dalam bahan pustaka. Karena itu sudut pandang yang dipergunakan adalah tinjauan teologis, dan tinjauan filosofis. Sedangkan metoda yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metoda sejarah, yang
A. CHOZIN NASUHA
Dialektika Islam 161
dipergunakan untuk memahami peristiwa pada masa lampau. Ciri metoda ini adalah tergantung pada hasil pengamatan orang lain. Karena itu penelitian ini berada di luar ruang, terutama waktu terjadinya peristiwa itu. Meskipun begitu, penelitian ini akan dilakukan melalui beberapa tahap. (1) tahap heuristik yakni pengumpulan data sebanyak mungkin tetapi fakta-faktanya terukur. (2) tahap kritik, yaitu kritik internal dan kritik eksternal tentang tingkat relevansi dan akurasi sumber. (3) tahap penafsiran data berdasarkan pendekatan yang dipergunakan. (4) tahap penulisan histografi, yakni deskripsi tentang kronologi peristiwa berdasarkan data yang ditemukan. Meskipun begitu, tulisan yang singkat ini akan mengaitkan informasi sebuah kesenian dengan analisanya. Atas dasar itu, tahap satu dan tahap tiga akan digabungkan dalam satu uraian..Sedangkan tahap ke empat disajikan dalam bentuk pendapat penulis.
Tahap pertama adalah pengumpulan data yang diungkap dari kesenian dalam kebudayaan Cirebon.
Kebudayaan termasuk kesenian dalam tulisan ini dikatakan sebagai proses atau hasil krida, cipta, rasa, dan karsa masyarakat Cirebon dalam upaya menjawab tantangan kehidupan yang berasal dari alam sekitarnya. Alam Cirebon, di samping memberikan fasilitas yang indah, juga menghadirkan tantangan yang harus diatasi. Sebelum orang Jawa (Cirebon) kedatangan pengaruh Hinduisme, dan Islam, masyarakat Jawa sudah teratur dengan animisme-dinamisme sebagai akar religiosnya, dan hukum adat dibuat sebagai pranata sosial mereka. Ciri khas religi animisme-dinamisme adalah menganut kepercayaan bahwa ruh itu tidak mati dan semua bersifat aktif. Mereka berpendapat bahwa ruh orang mati tetap hidup dan menjadi saksi seperti dewa, bisa mencelakakan atau mensejahterakan masyarakat. Menurut mereka, sebenarnya dunia ini dihuni oleh ruh-ruh ghaib yang mengganggu atau membantu kehidupan masyarakat. Karena itu semua gerakan di Cirebon termasuk gerakan kesenian selalu dikaitkan pada ciri khas, yaitu bersifat ritual yang menyentuh nilai-nilai animisme-dinamisme. Kesenian Cirebon banyak dimunculkan dari simbol kosmis dan simbol ajaran Islam. Simbol kosmis diwujudkan dalam bentuk payung sutera berwarna kuning dengan kepala naga. Payung ini melambangkan perlindungan dari raja kepada rakyatnya. Simbol-simbol yang berasal dari ajaran Islam dibagi menjadi empat tingkat, yaitu syari‟at, tarekat, hakikat, dan ma‟rifat. Syariat disimbolkan oleh pertunjukan wayang, tarekat disimbulkan dalam bentuk tari barongan, hakikat disimbolkan dalam bentuk tari topeng, dan ma‟rifat disimbolkan dalam bentuk tari tayub, atau tari ronggeng. . Semua bentuk kesenian itu diiringi dengan gamelan, ada yang sangat sederhana seperti pengiring tari barong, dan ada yang lengkap sekali seperti tari tayub.. Sebenarnya, gamelan tidak termasuk simbol yang perlu diuraikan dalam tilisan ini, karena fungsinya hanya sebagai alat propaganda, untuk mengundang orang, agar mendengarkan da‟wah Islamiah. Dalam perkembangannya gamelan dipergunakan untuk mengiringi penampilan wayang, topeng dan tari ronggeng. Melihat kenyataan seperti itu, gamelan diuraikan. Gamelan (karawitan) berasal dari kesenian kerajaan Majapahit sekitar abad 13-14 M. untuk upacara kebesaran. Setelah kerajaan itu punah, maka kesenian ini dipindahkan dari Majapahit ke kerajaan Islam di Demak. Setelah itu, gamelan ini tidak dijadikan sebagai
162 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
kesenian saja, tetapi dipergunakan pula untuk syiar agama Islam. Bahkan pada masa Raden Fatah bertahta di Demak, gamelan itu dibunyikan ketika shalat jama‟ah akan dilaksanakan di masjid, terutama pada siang hari Setiap gamelan itu dibunyikan, masyarakat berkumpul, dan setelah itu shalat jama‟ah dilaksanakan. Gamelan di kraton Cirebon, seperangkat alatnya mendapat hadiah dari kerajaan Islam Demak. Gamelan di Cirebon dibunyikan pada hari-hari maulud Nabi Muhammad, hari Idul Adha, dan hari-hari penting lainnya. Tetapi pada tahap berikutnya gamelan juga bemunculan di kalangan masyarakat, dengan fungsi sebagai alat kesenian Berangkat dari cerita itu, .jenis gamelan terdiri dari dua model, yaitu gamelan kraton dan gamelan ageung. Gamelan kraton antara lain menggunakan gamelan sekaten, gamelan renteng, gamelan denggung, gamelan bale bandung, gamelan kodok ngorek, dan lain-lain. Sedangkan gamelan ageung yang berlaras pelog dan slendro itu dipergunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari barong, tari topeng, dan tari tayub. Penyebaran agama Islam di Cirebon yang menggunakan kesenian sebagai alatnya diurutkan dengan simbol-simbol Islam yang bercorak tasawwuf, yaitu syare‟at, tharekat, hakekat dan ma‟rifat. Urutan kesenian itu sebagai berikut : 1). Kesenian wayang. Wayang menurut Dr. G.A.J. Hazeu berasal dari kata wod dan hyang. Wod berarti mondar-mandir, dan hyang berarti sukma atau dewa. Sedangkan wayang menurut Kern adalah bayang-bayang yang bergoyang. Wayang pada awalnya adalah permainan bayang-bayang yang jatuh pada kelir atau layar yang terbentang yang dosorot oleh sinar dalung (obor). Pengertian ini terjadi pada wayang kulit. Tetapi pada perkembangan selanjutnya, wayang ditentukan oleh jenis bahan, dari kulit atau dari kayu, dan penunjang kelengkapannya bisa disebut wayang purwa atau cerita babad. Wayang oleh para wali dibuat sebagai alat untuk menyebarkan agama Islam (da‟wah Islamiyah). Menurut Carub Kanda, wayang kulit di Cirebon yang pertama kali memakai pakeliran di sekitar kompleks pesanggrahan Nur Giri Saptarengga adalah pergelaran wayang yang diselenggarakan oleh para wali dengan Sunan Kalijaga sebagai dalangnya. Musik pengiringnya menggunakan gamelan sekaten yang dimiliki oleh Syekh Syarif Hidayatullah, sebagai hadiah dari Sultan Demak, seperti tersebut di atas. Ketika itu, masyarakat Cirebon dan sekitarnya masih banyak yang memeluk agama Hindu, Budha, dan Animisme, yang umumnya senang mendengarkan crita wayang. Peristiwa itu menurut Kartini (budayawan Cirebon) terjadi pada tahun 1485 M. Tetapi sebelum itu, wayang kulit sudah dikenal oleh masyarakat untuk upacara shamansme dan inisiasi. Jenis wayang di Cirebon agak berbeda dengan wayang di tempat lain, terutama dalam hiasan, bentuk penampilan dan warnanya. Wayang yang dikenal oleh masyarakat Cirebon adalah wayang kulit purwa dan wayang golek cepak. Sedangkan wayang wong kurang berkembang, karena dikalahkan oleh penampilan topeng dan sandiwara. Wayang kulit di Cirebon sebagian besar mengambil tema lakon (cerita) epas Mahabrata dan Ramayana. Para dalang membawakan cerita itu berasal dari kitab-kitab sastra kuno yang oleh para dalang disebut Serat Paramayoga. Sedangkan pertunjukan wayang golek cepak dipentaskan dari macam-macam cerita atau sastra, baik dari cerita rakyat atau cerita dari luar. Cerita rakyat biasanya menceritakan tentang babad suatu daerah atau suatu kerajaan, sedangkan cerita dari luar, biasanya membawakan sejarah Islam yang dikenal oleh cerita-cerita Timur Tengah.
A. CHOZIN NASUHA
Dialektika Islam 163
Wayang dalam penyebaran agama Islam di Cirebon dilambangkan sebagai masyarakat yang mulai mempelajari syari‟at. Wayang pada dasarnya adalah mithologi religius orang Jawa, lebih-lebih tentang satu uraian yang dihasilkan dari cerita dalang atas nama wayang, lebih-lebih lagi tentang wayang Pandawa. Cerita ini betul-betul dimiliki oleh orang Jawa, dan tidak dimiliki oleh orang Barat. Myth yang berarti person, thing tidak emage, dan tidak fiktif. Isinya dianggap bertuah, dipercaya dan dijunjung tinggi. Mythos disini masih di tingkat bawah yakni tingkat makhluk yang memuja kepada dewa-dewa, yakni Syiwa, Bhrahma dan Wisnu. Pemujaan seperti itu, terjadi pula di kalangan bangsa Arab yang menyembah Hubal yang ada didekat Ka‟bah di Makkah, Laata yang ada di Thaif, dan Uzza yang ada di dekat Madinah. Untuk mendekatkan diri kepada berhalaberhala itu orang Arab menyajikan hewan-hewan kurban, melalui mythos dan perasaan, sebagaimana banyak diuraikan dalam Sejarah Islam. Di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, bahwa ilmu rasa adalah pangkal dasar penciptaan suatu kebudayaan. Karena itu masyarakat Jawa sering kelihatan unik, kadangkadang tidak rasional dan tidak realistis. Di sini tampak keaslian orang Jawa yang murni perasaannya yang dapat menyaring atau membenarkan segala aliran dari bangsa asing, sejak dari kedatangan agama Hindu, Budha, animisme, sampai Islam dengan pendekatan tasawuf. Ilmu yang dapat menyuburkan pengertian tentang keruhanian (dzauq) itu dapat mengangkat sampai pada maksud inti kejiwaan yang disebut “dumadi sejati” Kebudayaan jika diulang-ulang bisa menjadi akidah atau keyakinan. Atas dasar itu, di pulau Jawa terdapat banyak kebudayaan yang berkembang menjadi keyakinan seperti itu, sampai cerita wayang pun dibuat sebagai leluhur raja-raja. Padahal wayang yang dipentaskan oleh Sunan Kalijaga di Cirebon adalah hanya sarana untuk penyebaran agama Islam. Dalam kaitannya dengan pengislaman Cirebon, Sunan Gunung Jati adalah tokoh yang mengamalkan Thariqat Syathariyah. Thariqat ini dalam sejarahnya diangkat dari ilmu tashawuf kelas tinggi, yang ajarannya sampai pada tingkat ma‟rifat, bahkan sampai tingkat ittihad yang oleh orang Jawa disebut „Manunggaling kaula Gusti” Wayang dilambangkan sebagai ajaran syari‟at, karena penampilan wayang selalu abstrak.Wayang-wayang yang terbuat dari kulit itu ditampilkan di blakang layar sehingga penonton hanya melihat bayang-bayangnya saja. Gambaran abstrak seperti itu, mirip dengan syari‟at yang isinya didominasi oleh Ilmu Kalam dan Ilmu Fiqih. Dua ilmu itu diproduksi melalui ijtihad yang kesimpulannya didasarkan pada dugaan keras (zhanni). Dari segi lain, penyajian wayang berbeda antara satu dalang dengan dalang yang lain, karena itu penampilan wayang banyak aliran yang bervariasi. Begitu pula dalam syari‟at, banyak bermunculan mujtahid yang menjadikan ilmu Fiqh bervariasi. Dari segi lain lagi, gerak-gerik dalang dan suaranya tidak dapat dilihat oleh penonton yang ada di belakang layar. Begitu itu sama seperi uraian Ilmu Kalam, bahwa Allah yang menggerakkan semua makhluk itu tidak dapat dilihat oleh manusia tingkat syari‟at. 2) Barongan atau barokan, berasal dari kata barokahan yang berarti selamatan. Menurut sebuah kamus, barokan dalam bahasa Jawa adalah istilah seni tiruan kepala singa berbadan raksasa, yang di dalamnya ada orang yang menggerakkan untuk sebuah pertunjukkan. Dari segi lain, barongan adalah jenis kesenian yang menggunakan alat utama berupa bentuk tiruan kepala singa dan bentuk tiruan badan raksasa Syiwa Durga. Tarian itu
164 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
dimainkan oleh seorang dalang barongan (barokan) yang ada dalam tubuh raksasa itu, sambil mengoceh dengan meniup terompet dan ucapannya selaku dalang. Dulu, masyarakat Jawa Barat masih banyak yang mengikuti agama Sanghyang (agama kepercayaan Sunda Wiwitan bercampur Hindu aliran Syiwa. Sedangkan undangundangnya memakai pepakem yang disebut Sanghyang Watang Agung. Mereka tidak senang kepada Islam, karena agama ini mengakui kesetaraan manusia dalam hak dan kewajiban dalam kehidupan, dan tidak mengakui adanya kasta-kasta..Masyarakat model ini berkembang di wilayah Pakuan Pejajaran. Dalam keadaan seperti itu, Mbah Kuwu Pangeran Cakrabuana mengajak mereka untuk memeluk Islam, melalui pertunjukkan kesenian barongan, yang di dalamnya disisipkan ajaran Islam. Ajakan itu dilakukan melalui gerakan secara lima tahap, yaitu: Menarik simpati, berbuat agar mengerti, menghayati secara hakiki, dan mengamalkan dengan tulus hati. Kesenian barongan sebenarnya dipergunakan untuk mengembangkan agama Islam terutama kepada masyarakat Jawa Barat, yang pengikut agama Sanghyang, yang nantinya diganti menjadi kata sembahyang (shalat). Tetapi pada tahap berikutnya, seni barongan dipergunakan untuk hajat selamatan seperti pesta keluarga, khitana, ruwatan, tolak bala, bahkan ada yang memanfaatkan kesenian barongan itu untuk mengusir hama tanaman, menolak penyakit berjangkit, dan lain-lain. Penyajian kesenian ini bertahap, dan setiap tahapan memiliki isyarat pelaksanaan sebuah tharekat. Karena itu, barongan adalah lambang pengamalan sebuah tharekat. Jalan pertunjukannya adalah (1) Tetalu dengan lagu ura-ura. (2) Barongan menari dengan mengikuti irama gendang yang sangat dinamis, sambil meniupkan bunyi-bunyi binatang. (3) Gamelan berhenti, barongan bedialog dengan wiyaga (pemukul gamelan) tentang kepandaian dia menirukan suara burung. (4) Barongan mulai menari lagi, bahkan lebih dinamis dari pada sebelumnya. (5) Gamelan volumenya dinaikkan dan dipercepat. (6) Barongan mengelilingi rumah milik orang yang hajatan. (7) Barongan masuk rumah kemudian mengambil (menggigit) bantal, lalu dilemparkan ke atas. (8) Barongan menari sesuai dengan irama gamelan (9) Ganti lagu „sicanggurit‟ (10) Dalam keadaan itu, pelaku „pentul‟ keluar dan menari-nari, barongan diam. (11) Pentul berdialog dengan wiyaga tentang karawitan (12) Pentul menari-nari lagi (13) Pentul berdialog dengan wiyaga tentang kehidupan sosial. (14) Ganti lagu „betet ijo‟ (15) Barongan dikucuri air kembang, (16) Pentul menari lagi, barongan siap menghadapi pentul (17) Barongan berdialog dengan pentul (18) Barongan gelut dengan pentul (19) Barongan dipenggal kepalanya oleh pentul. (20) Barongan mengejar-ngejar penonton. (21) Lagu penutupan. Pertunjukan kesenian barongan diberi tafsiran yang berbeda antara adegan barongan di Cirebon, di Jawa Tengah dan barongan yang dipentaskan di Bali. Di Cirebon adegan barongan dimulai tatalu dengan lagu ura-ura. Ini diberi makna bahwa pengamal syari‟at, akan ditambah lagi dengan mengamalkan tharekat. Ketika barongan menari-nari dengan membawakan bunyi-bunyi suara binatang yang berbeda-beda, berarti menggambarkan bahwa ajaran dan amalan tharekat pun berbeda-beda pula, seperti tarekat Qadiriyah, Naqyabandiyah, Syadzaliyah, Rifa‟iyah, Syathariyah dan lain-lain. Ketika musik berhenti, seorang shufi bertanya kepada kepada wiyaga (kaum muslimin) tentang ketepatan dia memilih satu thariqat. Setelah itu, shufi mengamalkan thariqatnya lebih tekun lagi. Itu dilambangkan dalam bentuk tarian yang lebih dinamis sekali. Ketika barongan mengelilingi
A. CHOZIN NASUHA
Dialektika Islam 165
rumah, menggambarkan bahwa seorang shufi sedang muhasabah (introspeksi diri) mana materi atau kekayaan duniawi yang menghalang-halangi seorang shufi sampai melupakan ingatan (zikir) kepada Allah. Ketika barongan menggigit bantal, berarti shufi sudah menemukan materi duniawi yang menjadikan manusia lelap sampai meninggalkan zikir kepada Allah. Maka bantal dibuang ke atas genting yang berarti penghalang yang bersifat duniawi dibuang jauh. Atas dasar itu, maka seorang shufi dapat meningkatkan zuhudnya sampai dia menjadi zahid yang paripurna. Dalam keadaan seperti itu, seorang shufi merasa dirinya ringan dan tidak memiliki beban apapun yang selalu menghalang-halangi taqarrub kepada Allah. Di situ masuklah suluk “sicanggurit” yang menandakan bahwa shufi akan bertemu dengan seorang mursyid thariqat syathariyah yang dalam kesenian ini diawali oleh tarian „pentul‟.Setelah menari, pentul (mursyid) bertanya kepada wiyaga (masyarakat) tentang kehidupan shufi tadi dari segi ibadah, kemudian pentul bertanya lagi kepada wiyaga tentang kehidupan shufi tadi dari segi sosial dan kemasyarakatan. Dalam keadaan seperti itu, muncul suluk lagi yang akan mewarnai pembai‟atan (pelantikan) seorang shufi menjadi pengamal thariqat syathariyah, yang dilambangkan dengan lagu “betet ijo”. Kemudian barongan disiram dengan air kembang, yang berarti shufi tadi sudah dibai‟at sebagai pengamal thariqat syathariyah. Tarian pentul berikutnya menggambarkan bahwa mursyid akan memberikan ilmu kepada shufi, dan shufi pun siap menerima ilmu sampai dia mendapatkan maqamat yang lebih tinggi. Pergulatan barongan (shufi) dengan pentul (mursyid) dan pemisahan kepala barongan dari badannya, itu melambangkan bahwa shufi akan dilepas perasaan badaniahnya, dan ruhnya akan merasakan bersatu dengan Tuhan. Perasaan ini adalah klimaks dari segala kegiatan thariqat syathariah, yang dalam teori shufi disebut ittihad, yang dalam bahasa Jawa disebut “Manunggaling kaula Gusti” Tetapi dalam kesenian barongan ini baru bersifat teori yang pada hakikatnya barongan belum sampai kepada tingkat ma‟rifat, apalagi ittihad. Karenanya, barongan masih ditutup muka dan badannya, dan dia mengejar penonton. Begitu itu menjadi tanda bahwa dia dalam keadaan latihan. Dari studi thariqat ini, kesenian melanjutkan kepada model ketiga, yaitu hakikat. 3). Pertunjukan Topeng. Topeng adalah pertunjukkan tari yang penarinya memakai penutup wajah (topeng) yang terbuat dari kayu diukir dan diberi warna selaras dengan perwatakan tokoh tertentu yang ditampilkan dalam tarian. Pada umumnya, tokoh-tokoh yang diperankan adalah tokoh-tokoh dari cerita wayang purba, atau cerita wayang panji dan menak. Tari topeng atau juga disebut tari yang memakai kedok, meskipun banyak tersebar di berbagai daerah, tetapi topeng di Cirebon memiliki ciri-ciri khas tersendiri, seperti diuraikan dalam bentuk topeng (wanda), atau bentuk warnanya, seperti merah, merah tua, merah muda, putih dan sebagainya.Topeng awalnya hanya ditampilkan di kesultanan Cirebon, dan itu memiliki pengertian yang dalam di setiap penampilan. Tetapi setelah seniman di keraton mulai surut, topeng banyak dipelajari oleh masyarakat sebagai kesenian, dan mulai berkembangan di luar keraton, sehingga topeng menjadi milik masyarakat luas. Topeng dalam pertunjukannya ada dua model, yaitu topeng besar dan topeng kecil. Pertunjukan topeng besar hampir sama seperti penyajian “wayang wong”. Penyajiannya menampilkan suatu cerita utuh yang menggunakan antawacana dan dialog yang dibawakan oleh seorang dalang. Penari topeng hanya mempertunjukkan peragaan gerak-gerik sebagaimana orang yang sedang berbicara. Biasanya pertunjukan model ini menurunkan
166 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
kedok yang banyak, bahkan bisa mencapai 30 kedok, dengan maksud untuk disesuaikan dengan suatu peran ketika dia berbicara. Begitu pula pakaian penari sering berganti-ganti untuk disesuaikan dengan peran cerita yang ditampilkan. Topeng kecil sering disebut “Topeng Babakan” yaitu bentuk pertunjukan yang hanya menyajikan tarian tunggal sebagai peran utama dari cerita-cerita panji seperti kepahlawanan dan lain-lain. Gerak tari dan gending-gending pengiring menggunakan perbendaharaan yang lebih beragam. Begitu pula pakaian yang dipergunakan sangat bervariasi atau beragam juga, terutama pada tutup kepala dan penutup pinggang. Tari Topeng ini memiliki lima jenis, yaitu tari panji, tari samba (pamindo), tari temenggung (patih) dan tari klana. Dari sekian jenis ini, ada pula topeng jinggaranom. Tetapi topeng yang paling banyak penggemarnya adalah tari klana, yang berkembang juga di daerah priangan. Dulu, kekuasaan Cirebon pernah diganggu oleh Pangeran Welang dari Krawang yang belum masuk Islam. Dia memiliki kesaktian dan tidak ada yang berani menandingi kesaktiannya. Dia memiliki pusaka sebuah pedang yang bernama Curug Sewu. Penguasa Cirebon beserta pendukungnya, tidak ada yang berani menandingi kesaktian Pangeran Welang tadi. Maka dalam rapatnya, Pangeran Cakrabuana, Syarif Hidayatullah dan Sunan Kalijaga sepakat bahwa Pangeran Welang harus dihadapi dengan diplomasi kesenian. Maka terbentuklah team kesenian dengan penari yang sangat cantik, yaitu Nyi Mas Gandasari, dengan syarat, penari memakai kedok atau topeng. Kesenian ditampilkan dimana-mana, sehingga kesenian topeng terdengar oleh Pangeran Welang, dan dia pun ingin menyaksikan. Setelah Pangeran Welang menyaksikan sendiri kelincahan penari, seketika itu pula dia jatuh cinta kepada Nyi Mas Gandasari. Dalam kisahnya, Nyi Mas Gandasari purapura menyambut cintanya, dan pada saat melamar, Nyi Mas Gandasari minta dilamar dengan pedang pusaka Curug Sewu. Pangeran Welang tanpa berfikir diserahkannya pedang itu, dan saat itu pula hilang semua kesaktian Pangeran Welang. Maka dia menyerah kepada Nyi Mas Gndasari, dan memohon kepada Sunan Gunung Jati, agar dia tidak dinunuh. Sunan Gunung Jati pun menerima dan mengajak dia memeluk agama Islam. Setelah itu, dia namanya diganti menjadi Pangeran Graksan. Setelah itu, kesenian topeng dikembangkan untuk menjalankan misi da‟wah Islamiyah dengan perpijak pada tatacara mendalami Islam di Cirebon. Tatacara itu manusia dikelompokkan mempunyai empat tingkat (maqam) yaitu syare‟at, tharekat, hakekat dan ma‟rifat, sebagaimana tersebut diatas. Manusia pemula memasuki tingkat (maqam) pertama yang dianggap mempelajari syare‟at. Manusia ini mencoba menghapalkan semua aturan-aturan agama. Pembawaan tingkat ini, biasanya ingin tahu segalanya, dan setelah itu dia merasa paling tahu dan berani menyalahkan orang lain. Dia berbuat semaunya, karena merasa segalanya bisa diatur. Dalam seni tari topeng manusia tingkat ini digambarkan dalam bentuk kedok Klana (mengembara) atau Rahwana, yang tindakannya lepas kontrol Semua tindakannya dianggap benar dan sah demi tujuan pribadi. Gerak tarinya sangat dinamis dan tidak mengenal batas. Warna kedoknya merah darah dan bentuk mata melotot, seperti lazimnya orang yang ingin tahu segalanya. Manusia tingkat (maqam) kedua disebut memasuki tharekat. Manusia yang memasuki tingkat ini adalah manusia yang mencoba melaksanakan ajaran-ajaran Islam yang
A. CHOZIN NASUHA
Dialektika Islam 167
bersumber dari Qur‟an dan Hadits kedalam perilaku sehari-hari, tahap-demi tahap. Dalam tahap ini, biasanya manusia bertindak tegas dan konsekuen. Dalam kesenian topeng, manusia tingkat ini digambarkan dengan kedok warna merah muda dan mata menteleng, serta gerak tarinya sangat mantap. Manusia tingkat (maqam) ketiga disebut hakekat yaitu manusia yang sudah sampai ke tingkat pengetahuan yang paham betul, mana hak makhluk dan mana hak Allah. Atas pemahaman itu manusia menjalankan hak dan kewajiban dirinya sebagai manusia yang tekun menjalankan kewajiban ibadah kepada Allah. Dalam seni tari topeng, tingkat ini digambarkan dengan kedok „Pemindo” yang jenis tariannya lincah serta halus dibarengi dengan gerakan centil yang menyenangkan. Sikap hidup manusia yang sudah tingkat hakikat, memang menyenangkan, dia bukan saja mampu menerangkan kebenaran untuk dirinya, tetapi juga menerangkan kepada sesamanya. Tingkah lakunya bisa menyalahkan dan sekaligus bisa membenarkan tindakan diri dan orang lain. Kedok yang dipergunakan oleh penari ini berwarna putih dengan hiasan rambut. Dalam cerita lain, tari ini lebih mengekspresikan kegembiraan dan kemudaan. Manusia tingkat (maqam) tertinggi adalah tingkat ma‟rifat. Manusia yang memiliki tingkat ini disebut Insan Kamil (Manusia Sempurna) Tingkat ini dikenal dalam dunia shufi sebagai tingkatan tertinggi dan tidak bisa dimilki oleh setiap shufi. Dalam kesenian topeng tingkat ini digambarkan dalam bentuk Tari Panji. Penyajian tari topeng sudah menguraikan tentang gambaran empat tingkatan, yaitu syari‟at, tharikat, hakikat, dan ma‟rifat. Tetapi dalam gambaran sebenarnya, tari topeng baru sampai pada tingkat ke tiga (hakikat) dan belum sampai pada tingkat ma‟rifat. Karena itu, penari topeng selalu ditutup mukanya, dengan kedok (topeng). Tingkat tertinggi (ma‟rifat) sebenarnya akan digambarkan dalam bentuk tari tayub, berikut ini. 4 ) Tayub berasal dari kata thayyib yaitu kata bahasa Arab yang berarti „baik‟ Dalam tempat lain, tayuban berasal dari kata thayyibah yang menggambarkan bahwa thariqat pada umumnya banyak mengucapkan kalimah thayyibah. Tayub atau tayuban merupakan tarian yang serat dengan improvisasi bentuk dan gerak penari yang sangat menarik, dan didukung oleh tepak kendang yang menakjubkan bagi setiap penonton. Lebih dari itu, pengiring tari tayub adalah seperangkat gamelan lengkap yang biasanya berlaras pelog dan merupakan pengiring gamelan terlengkap dari segala macam pertunjukkan kesenian. Penari tayub yang disebut “tari ronggeng” ditampilkan dengan tidak ditutup mukanya. Ini menggambarkan bahwa segalanya sudah terbuka yang oleh ulama shufi disebut mukasyafah. Dalam keadaan seperti itu, yang tampak bagi seorang shufi hanya satu, yaitu Allah. Itulah maqam (kedudukan) yang disebut ma‟rifat. Dalam keadaan shufi seperti itu, keluarlah suluk dengan nada kerinduan seorang hamba kepada Allah. Di situ seorang shufi tampak seorang tokoh yang sedang mengamalkan thariqat syathariyah. Dari suluk itu keluarlah sastra (syathahat) yang mengandung ajaran „wujudiyah‟ untuk mencapai „martabat tujuh‟. Dalam keadaan seperti itu, suara gamelan sangat riuh dan meriah secara badaniyah, tetapi seorang shufi yang merasakan ni‟matnya ma‟rifat kepada Allah tidak terpengaruh oleh apa pun, dan jiwa tidak rubah sedikitpun dari perasaan ruhaniyahnya. Begitulah gambaran makna kesenian di Cirebon dari wayang sampai tayub yang dikaitkan dengan pngembangan ajaran Islam.
168 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Tetapi setelah Syarif Hidayatullah wafat dan para wali yang ada di sekitarnya juga wafat, maka nilai tasawuf dan thariqat syathariyah merosot. Faktornya banyak, antara lain (1) Kwalitas penguasa Cirebon sangat berbeda antara penguasa masa awal dengan penguasa berikutnya, dari segi keilmuan agama, kharisma, dan pengamalan tharikat.(2) Ahli-ahli agama dan pengembang misi agama Islam, banyak yang keluar dari keraton untuk mendirikan pondok-pondok pesantren di pedesaan. (3) Mulai tahun 1681 M., Penguasa Cirebon terpecah menjadi dua, yaitu Sultan Kesepuhan dan Sultan Kanoman, dan pemerintahan berubah dari misi agama, menjadi penata negara. (4) Thariqat Syathariyah yang dijalankan oleh dua sultan itu, berubah dari amalan yang bersifat suluk (mengejar maqam ma‟rifat) menjadi amalan yang bersifat tradisi. (5) Semua bentuk kesenian yang dulu dibuat sebagai alat untuk da‟wah Islamiyah, berikutnya banyak yang dikembangkan menjadi alat hiburan yang dapat dikomersilkan. (6) Pada zaman V.O.C, kota Cirebon dibuat menjadi pusat perniagaan Belanda di antara Batavia dan Jepara, akibatnya penjajah semakin kuat menguasai Cirebon. (7) Sultan-sultan sendiri menjalin kerjasama dengan kompeni Belanda, sehingga kehidupan sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan di Cirebon selalu disesuaikan dengan kepentingan penjajah. Dalam Mengkritisi Cerita di Atas Cirebon sebagai unsur dari perjuangan Wali Sanga dapat diuraikan sebagai berikut : Pertama nilai kesenian yang dikaitkan dengan tradisi masyarakat waktu itu selalu menarik, karena hiburan masyarakat sangat terbatas, sehingga bentuk kesenian apa pun, selalu mendapatkan tanggapan masyarakat. Kedua, Wali Sanga dalam menampilkan hiburan kesenian, selalu menampilkan missi utamanya, yaitu penyebaran agama Islam. Ketiga, missi Islam yang disajikan dalam bentuk kesenian, tidak membebani masyarakat yang hadir, baik dari segi waktu, tenaga, perasaan, dan atau material lainnya. Keempat, dasar-dasar ajaran agama Islam shufistik dianggap sesuai dengan teologi mereka animisme-dinamisme, yaitu ruh manusia tidak mati, dan hidup dalam alam ghaib. Mereka banyak berfikir dengan memakai otak kanan, yang dalam istilah lain dianggap menggunakan dzauq sufistik. Berangkat dari teologi ini, Wali Sanga meluruskannya dengan cerita wayang seperti ajimat kalimusyada (kalimat syahadat) yang dimiliki oleh Pandawa, dan kesenian lain yang sejalan dengan cerita wayang tadi.. Kelima, missi keagamaan Wali Sanga, diuraikan kepada masyarakat dalam bentuk wayang, barong, tarian topeng dan tarian tayub, yang berisi simbol-simbol syari‟ah, thariqah, hakikah, dan ma‟rifah sebagaimana tersebut di atas. Demikian salah satu bahan kritik internal kesenian yang ditampilkan di Cirebon oleh para wali dalam menyebarkan agama Islam. Sedangkan kritik eksternal, “Dialektika Islam dan Kebudayaan Cirebon”, biasanya dianggap tidak bergengsi, karena penelitiannya tidak menetapkan sejumlah teori dasar. Sasaran utama penelitian ini hanya upaya mencari perubahan yang bersifat pragmatis. Karena itu, kajian ini akan melihat latarbelakang masalah yang kuat, dari mana asal kebudayaan itu muncul, sehingga masyarakat di Cirebon dan sekitarnya memeluk agama Islam.. Dari itu, kemudian mencarikan alternatif pemecahan masalah yang dianggap kuat dan tajam antara ajaran Islam yang dikembangkan, dengan kesenian di Cirebon yang disajikan, sebagaimana sudah diuraikan di atas.
A. CHOZIN NASUHA
Dialektika Islam 169
Penafsiran kebudayaan Cirebon sebuah daerah pesisir yang diapit oleh dua kebudayaan yang dominan yaitu kebudayaan Sunda dan kebudayaan Jawa. Selain itu, Cirebon adalah daerah pesisir yang dibuat sebagai pelabuhan dagang yang banyak didatangi oleh masyarakat dari berbagai etnis, baik datang dari kalangan nusantara seperti dari Bugis, dari Sumatera dan lain-lain, atau datang dari etnis lain seperti dari Cina, India, Persia, Arab dan Eropa. Dalam teorinya, masyarakat pesisir terbuka untuk menerima pengaruh budaya dari luar. Tetapi masyarakat Cirebon dianggap memiliki kebudayaan dan bahasa tersendiri yang dipertahankan, meskipun semua itu bercampur dengan budaya dan bahasa yang datang dari pergulatan keagamaan (Islam). Cirebon yang dibangun oleh H. Abdullah Iman (Cakrabuana) itu, setelah berkembang menjadi Kerajaan Islam dan Syarif Hidayatullah dijadikan sebagai sultan pertama, maka Cirebon berhubungan erat dengan daerah-daerah Demak, Tuban, Gresik, dan Surabaya. Semua daerah-daerah itu menggunakan bahasa Jawa Pesisiran. Atas dasar itu, meskipun Cirebon dirangkul terus oleh leluhurnya, yaitu raja-raja Siliwangi yang berbahasa Sunda, tetapi masyarakat Cirebon tetap menggunakan bahasa Jawa, meskipun berbeda dengan bahasa Jawa yang lain. Koencaraningrat (1984) menulis bahwa bahasa Cirebon masuk dalam rumpun bahasa Jawa Pesisir Utara bagian Barat, dan Cirebon sebagai pusatnya. Selain bahasa, Cirebon juga menerima kebudayaan terutama gamelan dan wayang kulit, sebagaimana diuraikan di atas.Tetapi Cirebon sendiri menciptakan tari topeng, yang dalam ceritanya memiliki latarbelakang tersendiri, sebagaimana digambarkan di atas. Dengan demikian, kalau dalam kerangka berfikir disebutkan bahwa Islam sudah diketahui, dan kesenian di Crebon belum diketahui, maka dalam perjalanan cerita di atas, dapat disimpulkan bahwa kesenian di Cirebon hanya dibuat sebagai media untuk penyebaran agama Islam, dan bukan hakikat Islam itu sendiri. Penutup 1.
2.
Penulisan Dialektika Islam dan Kebudayaan Cirebon memerlukan analisa yang.tajam, karena informasi dari buku-buku yang ditulis oleh para ahli banyak variasi, bahkan kadang-kadang kontradiktif dan tidak masuk akal. Meskipun begitu, hampir semua tulisan baik dalam bentuk prosa atau dalam bentuk tembang, pada awalnya selalu menceritakan bahwa Cirebon adalah kota yang dibangun oleh seorang santri, yang dulu bernama Walangsungsang yang beralih nama menjadi Shomadullah, dan sehabis pulang dari ibadah haji, diberi nama Abdullah Iman, yang akhirnya terkenal dengan nama Pangeran Cakrabuana. Kebudayaan Cirebon selain memiliki bahasa yang khas dan pemikiran masyarakat yang ditekankan pada perasaan jiwa yang halus dan blak-blakan, Cirebon juga memiliki kesenian yang banyak. Antara lain gamelan, wayang, barong, topeng dan tari tayub. Selain itu, Cirebon juga memiliki kesenian keterampilan yang disebut debus, rudat, pencak silat, dan tari kuda lumping. Tidak hanya itu, Cirebon juga memiliki seni lukis dan seni sastra. Seni lukis yang hidup sampai sekarang adalah pembuatan kain batik bercorak cirebonan, dan lukisan
170 Annual Conference on Islamic Studies
3.
4.
5.
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
kaca. Sedangkan seni sastra yang banyak digemari masyarakat waktu itu adalah sastra yang disebut “macapat” yaitu puisi yang terikat oleh (a) guru-gatra (banyaknya baris) pada setiap bait, yang mungkin dalam istilah Ilmu „Arudl disebut bahar. (b) guru wilangan (banyaknya suku kata) pada setiap baris, yang dalam Ilmu‟Arudl munkin disebut‟ wazan‟ (c) guru lagu (persamaan bunyi) pada setiap gatra, yang dalam Ilmu „Arudl disebut syaja‟ dalam qafiyah. Pada sebenarnya, jenis tembang Macapat di Cirebon sama seperti syair-syair yang dibawakan oleh para wali seperti tembang Dangganggula, Asmarandhana, Pucung, Kinanti, Maskumambang, dan lain-lain. Lagu-lagu itu, dulu dipergu-nakan oleh para wali untuk syi‟ar agama Islam. Kemudian oleh masyarakat di Cirebon, lagu-lagu itu dipergunakan lagi untuk upacara adat seperti Ruwatan untuk melepaskan kesulitan, atau untuk tolak bala, syukuran pernikahan, acara Mapagsri, Nadran (pesta laut) dan lain-lain. Semua model kesenian yang disajikan di atas, selalu diisi oleh ajaran agama Islam, dan banyak diwarnai oleh ajaran sovisme dan pengamalan thariqat. Di atas sudah diuraikan, bahwa kesenian wayang kulit menggambarkan ajaran syari‟at. Kesenian barong menggambarkan perjalanan tharekat. Kesenian topeng menggambarkan penyajian tingkat hakikat, dan tari tayub menggambarkan penyajian tingkat ma‟rifat. Begitu juga kesenian yang lain, selalu dikaitkan pada ajaran Islam, seperti tarian debus, penampilannya selalu disertai dengan do‟a, dan mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, dan nyanyian dalam syair rudat berisi shalawat Nabi dan mengangkat riwayat Nabi Muhammad. Saw. Perkembangan peradaban (tamaddun) Islam di Cirebon sangat kongkrit, sejak dari usaha mengubah dua desa nelayan yang semula tidak berarti, menjadi dua kota metropolis dengan corak Islami. Hal itu terlihat dari benda-benda purbakala di Cirebon seperti Istana Pakungwati yang ornamennya Islami, Alunalun Sangkala Buana yang dibangun di tengah kota, dan di sekitarnya dibangun kepentingan perkembangan Islam dan kepentingan masyarakat. Masjid agung Sang Ciptarasa, makam para wali di Gunung Jati, benda-benda pusaka dari persenjataan tradisiolanal hingga kereta Kencana, masih bisa dilihat sampai sekarang. Tidak hanya itu saja, tetapi kota Cirebon adalah prototipe awal dari kateristik pusat kota di Indonesia yang bercorak Islami. Yaitu alun-alun yang dikelilingi oleh bangunan dengan kraton di sebelah selatan alun-alun, masjid jami‟ yang dipergunakan untuk ibadah dan penyebaran agama Islam dibangun di sebelah barat alun-alun, dan pasar dibangun di sebelah utara atau timur alunalun. Semua itu dilihat dari perkembangan fisik yang dirancangbangun oleh para wali terutama pemikiran Pangeran Cakrabuana, Sunan Gunung Jari dan beberapa wali dari Demak. Islamisasi kehidupan masyarakat di Jawa Barat sangat berhasil, karena Islam bagi masyarakat Jawa Barat adalah agama yang menyatu dengan kebudayaan dan peradaban. Masyarakat Jawa Barat umumnya tekun menjalankan ibadah atas dasar syari‟at Islam. Kalau orang bertamasya di jalur pantura dari Cirebon sampai Banten maka dia akan menemukan masjid-masjid yang hidup dan ramai di setiap kampung yang berjalar di sepanjang jalan raya. Lebih dari itu, setiap pasar,
A. CHOZIN NASUHA
Dialektika Islam 171
pemberhentian kendaraan, bahkan setiap rumah-rumah makan selalu menyediakan tempat shalat (mushalla). Atas dasar itu, penulis berpndapat bahwa jalur pantura Jawa Barat adalah jalan raya yang dihiasi oleh seribu masjid. Kalau orang bertamasya lagi dari Bogor ke Rangkasbitung liwat pegunungan yang indah di waktu shubuh, maka dia akan melihat para bapak, kaum ibu, dan remaja berduyun-duyun mendatangi masjid untuk mengikuti shalat jama‟ah. Pandangan seperti itu, tidak hanya di dua jalan raya tadi, tetapi beberapa tempat lainpun di Jawa Barat ini hampir mirip seperti itu. Wallahu a‟lam bial-shawab.
172 Annual Conference on Islamic Studies
Banjarmasin, 1 – 4 Nov 2010
Daftar Pustaka Ambari, Hasan Muarif, Sunan Gunung Jati dan Peran Cirebon sebagai Pusat Penyebaran Islam, (Makalah), Cirebon, 2001. Sayyidil, Anam Ahmad, dan H. Muhammad Rois, Perjuangan Wali Sanga, Babad Cirebon, Cirebon Tb. Wildan, Dadan, Sunan Gunung Jati, Badung, 2002, Humaniora Utama Press Ekajati, Edi S, Sunan Gunung Jati dan Penyebaran Islam di Daerah Cirebon, (Pengantaran Filologi Tb). Masyhuri, Solihan, Jalan Kebenaran, Surabaya, 1967, Sahabat Offset. Simuh, Islam dan Pengaruh Budaya Jawa, Bandung, Cet. I, 2003, Mizan Media Utama. Sujana, TD, Keniscayaan Pluralisme Budaya, Cirebon (makalah) Cirebon, 2002. Jahari, Uung, dkk., Kesenian Daerah Cirebon, Cirebon 1999, Kodya Daerah II. Dendabrata, Yusuf, Elang, Topeng Cirebon dan Kraton Cirebon (Makalah) 2002. Suwiryo, Yoyo Nur, Deskripsi Kesenian Daerah Cirebon, Sumber, 2001, Disbudparpora.
Endnotes :
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Tafsir Pascasarjana UIN SGD Bandung, dan Rektor Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.