DESAIN DIDAKTIS KONSEP GARIS SINGGUNG LINGKARAN PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA (SMP) Oleh: Nur’ela (1) Didi Suryadi (2) Elah Nurlaelah (2) ABSTRAK Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu alternatif desain pembelajaran terkait konsep garis singgung lingkaran yang dilatarbelakangi oleh adanya learning obstacle khususnya hambatan epistimologis pada konsep tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif berupa penelitian desain didaktis (Didactical Design Research). Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik triangulasi dengan subjek penelitian yaitu (1) siswa SMP kelas IX dan siswa SMA kelas X untuk identifikasi learning obstacle awal ,dan (2) siswa SMP kelas VIII untuk implementasi desain didaktis dan identifikasi learning obstacle akhir. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat empat tipe learning obstacle, yaitu: tipe 1: learning obstacle terkait konsep garis singgung lingkaran dan materi prasyarat; tipe 2: learning obstacle terkait dengan konteks variasi informasi yang tersedia pada soal; tipe 3: learning obstacle terkait dengan koneksi konsep garis singgung lingkaran dengan konsep matematika yang lain; dan tipe 4: learning obstacle terkait dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah. Berdasarkan implementasi desain didaktis dan gambaran learning obstacle dapat disimpulkan bahwa desain didaktis ini merupakan salah satu alternatif desain pembelajaran konsep garis singgung lingkaran untuk SMP. Kata Kunci : Desain Didaktis, Garis Singgung Lingkaran, Learning obstacle. Abstract: This research purpose to formulate an alternative learning design concept of the tangent circle by learning obstacle, especially about epistemological obstacle. This research is a qualitative research using a descriptive method of Didactical Design Research. As for the data collection techniques used in this research a triangulation technique with subjects: (1) students 9th grade at junior high school and students 10th grade at senior high school for the beginning identified learning obstacle, and (2) students 8th grade at junior high school for implementation design didactic and the last identified learning obstacle. Results of this research was the discovery of the four types of learning obstacle, namely Type 1: learning obstacle-related to concept tangent circles and material prerequisites, Type 2: learning obstacle associated with context variety information available on the matter; Type 3: learning obstacle associated with the connection the concept of the circle tangent to other mathematical concepts, and Type 4: learning obstacle related tosolve problem solving. Based on the implementation design didactic and overview learning obstacle can be concluded that the didactic design is one alternative tangent circles education for student at junior high school. Keywords: Design didactic, Tangent Circles, Learning Obstacle. 1)
Mahasiswa 1
2) 3)
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan upaya sadar yang dilakukan agar peserta didik atau siswa dapat mencapai tujuan tertentu. Dalam sistem pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003) dikemukakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Tujuan pendidikan nasional ini merupakan tujuan umum dari sistem pendidikan nasional dan merupakan landasan dalam menentukan tujuan sekolah dan kurikulum sekolah. Dengan kata lain, tujuan pendidikan nasional menjadi pedoman dari semua kegiatan pendidikan di negara Indonesia. Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, disusunlah sebuah kurikulum sekolah yang dijabarkan lagi dalam setiap tujuan mata pelajaran. Misalnya, pada mata pelajaran matematika. Mata pelajaran ini dipelajari siswa mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Matematika perlu dipelajari siswa dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional selain karena dapat mencerdaskan siswa namun matematika pun dapat membentuk kepribadian siswa dan mengembangkan kemampuan/keterampilan tertentu. Seperti yang dikemukakan oleh Suwarsono (Ariyanti, 2011) bahwa matematika perlu diajarkan kepada siswa karena matematika mengandung nilai-nilai yang sangat berguna untuk pembentukan sikap dan kepribadian yang utuh. Adapun beberapa sikap atau kepribadian yang dapat terbentuk antara lain sikap jujur, disiplin, teliti, kritis, sabar, tepat waktu, dan tanggung jawab. Sedangkan kemampuan yang dapat berkembang adalah kemampuan untuk berpikir kritis, sistematis, logis dan kreatif. Matematika sangat berhubungan erat dengan kehidupan seharihari dan berperan penting dalam menunjang kualitas kehidupan. Walaupun matematika memiliki kekuatan tersendiri untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, tetapi dalam pembelajarannya terdapat berbagai kelemahan yang nyata dan menjadi pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai. Kelemahan tersebut adalah ketidakbermaknaan proses pembelajaran. Pembelajaran matematika pada siswa, sampai saat ini pada umumnya masih bersifat sebagai penyampaian informasi tanpa banyak melibatkan siswa untuk dapat membangun sendiri pemahamannya. Dalam hal ini siswa diibaratkan sebagai suatu cangkir yang siap di isi air. Hal serupa diungkapkan oleh mantan menteri pendidikan dan kebudayaan, Wardiman Djojonegoro (Turmudi, 2010) dalam sebuah seminar nasional bahwa kebanyakan sekolah dan guru-guru (di Indonesia) memperlakukan siswa 2
bagaikan suatu wadah yang siap untuk diisi pengetahuan. Senada dengan yang diungkapkan oleh de Lange (Turmudi, 2010) bahwa pembelajaran matematika sering kali ditafsirkan sebagai kegiatan yang dilaksanakan guru, ia mengenalkan subyek, memberikan satu atau dua contoh, lalu ia mungkin menanyakan satu atau dua pertanyaan, dan pada umumnya meminta siswa yang biasanya mendengarkan secara pasif untuk menjadi aktif dengan mulai mengerjakan latihan yang diambil dari buku. Ketidakbermaknaan proses pembelajaran matematika, selain karena kurangnya keterlibatan siswa dalam aktivitas belajar dan berpikir, muncul juga karena dalam proses pembelajaran, siswa memahami konsep-konsep matematika secara parsial (bagian-bagian), tidak terintegrasi antara konsep yang satu dengan konsep yang lain. Padahal matematika adalah ilmu pengetahuan yang dibangun dari variasi topik yang terstruktur sehingga dalam proses pembelajarannya dilakukan secara berjenjang (bertahap) yaitu dimulai dari konsep yang mudah menuju konsep yang lebih sukar. Begitupun dalam pembelajaran matematika di bidang geometri khususnya pada konsep garis singgung lingkaran. Keterkaitan antar konsep dalam geometri yang sangat erat, menjadikan beberapa hal perlu diketahui siswa sebelum dia mempelajari konsep garis singgung lingkaran diantaranya ialah siswa harus memahami terlebih dahulu konsep lingkaran dan sifat-sifatnya, konsep tentang garis, serta teorema Phytagoras. Apabila konsepkonsep awal yang menjadi prasyarat sebuah konsep geometri belum dipahami, sudah dapat dipastikan siswa tidak mampu memahami konsep tersebut. Dalam mempelajari geometri yang berkaitan dengan konsep garis singgung lingkaran, fakta di lapangan menunjukkan tingkat penguasaan siswa terhadap materi ini masih sangat kurang. Dalam hal ini siswa masih mengalami kesulitan (learning obstacle) dalam mempelajari konsep tersebut. Fakta pertama terlihat dari penelitian terdahulu yang dilakukan Trisulawati (2009) kepada siswa kelas VIII A SMP Negeri 13 Malang memberikan gambaran bahwa siswa mengalami kesalahan dalam memecahkan masalah berkaitan dengan garis singgung lingkaran. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa letak kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah garis singgung lingkaran adalah kesalahan dalam memahami konsep garis singgung lingkaran dan memahami teorema Pythagoras. Dalam hal ini siswa tidak dapat menggunakan teorema Phytagoras dalam menghitung panjang garis singgung lingkaran karena siswa tidak memahami secara utuh bahwa jari-jari sebuah lingkaran selalu tegak lurus dengan garis singgung lingkaran. Fakta kedua ditemukan dalam penelitian Khozanatu (2012)
3
bahwa siswa mengalami kesulitan (learning obstacle) dalam mempelajari konsep garis singgung lingkaran terkait dalam memilih dan menggunakan informasi yang ada. Dalam mengembangkan suatu pembelajaran konsep garis singgung lingkaran yang tidak bersifat tekstual lagi, upaya yang perlu dilakukan seorang guru adalah perlu menyusun rancangan pembelajaran (Desain Didaktis) sebagai langkah awal sebelum pembelajaran. Desain didaktis merupakan suatu rancangan bahan ajar yang dapat mendidik dan membelajarkan siswa yang disusun berdasarkan penelitian mengenai hambatan pembelajaran (learning obstacle) dalam hal ini adalah hambatan epistimologis (epistimological obstacle) suatu materi dalam pembelajaran matematika. Menurut Duroux (Suryadi, 2010) mengemukakan bahwa Epistimological obstacle pada hakekatnya merupakan pengetahuan seseorang yang hanya terbatas pada konteks tertentu. Jika orang tersebut dihadapkan pada konteks berbeda, maka pengetahuan yang dimiliki menjadi tidak bisa digunakan atau dia mengalami kesulitan untuk menggunakannya. Suryadi (2010) mengemukakan bahwa learning obstacle khususnya yang bersifat epistimologis merupakan salah satu aspek yang perlu menjadi pertimbangan guru dalam mengembangkan antisipasi didaktik dan pedagogis. Dengan suatu desain didaktis yang berorientasi pada penelitian mengenai hambatanhambatan yang dialami oleh siswa pada suatu konsep tertentu pada matematika, diharapkan siswa tidak lagi menemui hambatan-hambatan yang berarti pada saat proses pemahaman konsepnya. Sehingga tujuan pembelajaran matematika sebagai salah satu upaya mencapai tujuan pendidikan nasional pun dapat terwujud dengan baik dan khususnya dengan adanya desain didaktis ini siswa dapat lebih memahami dan mengaplikasikan konsep yang dipelajarinya. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian mengenai “Desain Didaktis Konsep Garis Singgung Lingkaran pada Pembelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama (SMP)” diperlukan. Penelitian ini berfokus pada masalah: (1) Apa saja learning obstacle yang terkait dengan konsep garis singgung lingkaran?; (2) Bagaimana konsep dan konteks pada garis singgung lingkaran?; (3) Bagaimana desain didaktis tentang konsep garis singgung lingkaran yang mampu mengatasi learning obstacle yang sesuai dengan karakteristik siswa SMP kelas VIII?; (4) Bagaimana implementasi desain didaktis, khususnya ditinjau dari respon siswa yang muncul?; dan (5) Bagaimana gambaran learning obstacle sebagai dampak dari desain didaktis yang telah diimplementasikan? METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif karena dengan metode ini peneliti memperoleh gambaran dari permasalahan yang 4
terjadi secara rinci, baik itu berupa kata-kata, gambar, maupun perilaku, dan tidak dituangkan berupa bilangan atau angka statistik, melainkan dalam bentuk kualitatif. Secara umum, penelitian ini memiliki tiga langkah formal (Suryadi, 2010) yaitu: 1.
Analisis situasi didaktis sebelum pembelajaran yang diwujudkan berupa Desain Didaktis Hipotetis termasuk Antisipasi Didaktis Pedagogis (ADP).
2.
Analisis metapedadidaktik.
3.
Analisis retrosfektif yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotetis dengan hasil analisis metapedadidaktik. Fokus dari penelitian ini adalah mengkaji learning obstacle pada konsep garis
singgung lingkaran dan kemudian dijadikan sebagai acuan dalam penyusunan desain didaktis yang disesuaikan dengan karakteristik siswa. Dengan desain didaktis tersebut diharapkan dapat mengatasi learning obstacle yang telah ditemukan sebelumnya. Dalam penelitian ini, subjek penelitian dibedakan menjadi dua yaitu subjek untuk identifikasi learning obstacle awal dan subjek untuk implementasi desain didaktis dan identifikasi learning obstacle akhir. Subjek pada identifikasi learning obstacle awal adalah siswa yang telah mendapatkan materi garis singgung lingkaran. Mereka adalah 40 siswa dari siswa kelas IX dan kelas X. Subjek penelitian diambil secara random. Subjek penelitian pada implementasi desain didaktis dan identifikasi learning obstacle akhir adalah siswa kelas VIII semester genap. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah instrumen tes dan instrumen non tes. Instrumen tes digunakan untuk mengidentifikasi learning obstacle awal dan identifikasi learning obstacle akhir yang bertujuan untuk mengetahui gambaran learning obstacle sebagai dampak dari desain didaktis yang telah diimplementasikan. Intrumen tes terdiri dari lima buah soal esai dengan karakteristik yang berbeda satu sama lain, meliputi kemampuan pemahaman konsep terkait konsep garis singgung lingkaran dan materi prasyarat, variasi informasi, koneksi, dan pemecahan masalah. Sedangkan untuk instrumen non tes digunakan wawancara, observasi, angket dan dokumentasi. Salah satu soal esai pada instrumen tes adalah soal nomor 3 sebagai berikut. Sebuah lingkaran yang berpusat di titik O memiliki jari-jari 8 cm. Jarak titik pusat ke titik P yang terletak di luar lingkaran adalah 17 cm. Lukislah dan tentukan: a. Panjang garis singgung lingkaran tersebut b. Luas daerah layang-layang garis singgung Gambar 1. Instrumen tes nomor 3 5
Teknik analisis data yang digunakan adalah berdasarkan Miles dan Huberman 1984 (Sugiyono, 2010) bahwa “aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan dilakukan secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh”. Aktifitas dalam analisis data meliputi: data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. HASIL DAN PEMBAHASAN Learning Obstacle Berdasarkan analisis terhadap cara-cara penyelesaian yang diajukan siswa terhadap seluruh masalah yang diberikan pada tes identifikasi learning obstacle awal, teridentifikasi beberapa kesulitan atau hambatan pembelajaran (learning obstacle) yang dialami siswa dalam proses pembelajaran konsep garis singgung lingkaran. Learning obstacle tersebut dibagi menjadi 4 tipe yaitu learning obstacle tipe 1 terkait konsep garis singgung lingkaran dan materi prasyarat yaitu mengenai teorema Pythagoras, learning obstacle tipe 2 terkait variasi informasi yang tersedia, learning obstacle tipe 3 terkait koneksi konsep garis singgung lingkaran dengan konsep matematika lainnya, dan learning obstacle tipe 4 terkait dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah. Misalnya pada soal 3.b (Gambar 1), di dapat bahwa siswa mengalami learning obstacle tipe 3. Hal ini terjadi karena siswa kesulitan dalam mencari hubungan antara bangun layang-layang dengan garis singgung lingkaran dan segitiga. Siswa masih banyak yang belum menemukan koneksi garis singgung lingkaran dengan segitiga. Padahal, menurut teori Piaget (Suherman, 2008), bahwa anak pada usia 11 tahun sampai dewasa sudah masuk ke dalam tahap operasi formal, yakni mampu berpikir dengan cara yang lebih abstrak dan mampu melakukan operasi yang menyatakan hubungan di antara hubungan-hubungan. Jika kesulitan-kesulitan yang diperlihatkan siswa pada penyelesaian masalah yang diajukan dilihat dari sudut pandang karakteristik learning obstacle, maka jenis kesulitan yang muncul tersebut lebih bersifat epistimologis. Duroux (Suryadi, 2010) menjelaskan bahwa hambatan epistimologis adalah hambatan pada seseorang terkait dengan pengetahuannya yang hanya terbatas pada konteks tertentu. Jadi, saat seseorang diberikan konteks yang berbeda, dia mengalami kesulitan untuk menggunakan pengetahuan yang dimilikinya. Dalam hal ini, pandangan siswa terhadap konsep yang satu dengan konsep yang lain terputus-putus dan tidak komprehensif. Desain Didaktis Pada proses pembelajaran matematika terdapat dua aspek mendasar yang dapat menciptakan suatu didaktis maupun pedagogis yang tidak sederhana yaitu hubungan siswa6
materi dan hubungan guru-siswa. Hubungan Guru-Siswa-Materi digambarkan oleh Kansanen (Suryadi, 2010) sebagai sebuah Segitiga Didaktis yang menggambarkan hubungan didaktis (HD) antara siswa dan materi, serta hubungan pedagogis (HP) antara guru dan siswa. Peran guru paling utama dalam konteks segitiga didaktis ini menurut Suryadi (2010) adalah Menciptakan suatu situasi didaktis (didactical situasion) sehingga terjadi proses belajar dalam diri siswa (learning situasion). Ini berarti bahwa seorang guru selain perlu menguasi materi ajar, juga perlu memiliki pengetahuan lain yang terkait dengan siswa serta mampu menciptakan situasi didaktis yang dapat mendorong proses belajar secara optimal. Menurut Suryadi (2010) pada saat seorang guru merancang sebuah situasi didaktis atau situasi pembelajaran, ia juga harus memikirkan prediksi respon siswa yang mungkin terjadi serta antisipasi yang akan diberikan terhadap prediksi-prediksi tersebut sehingga tercipta situasi didaktis yang baru. Antisipasi yang diberikan tidak hanya menyangkut hubungan siswa dengan materi, akan tetapi juga hubungan guru dan siswa. Sehingga seorang guru dalam merancang suatu pembelajaran perlu membuat antisipasi yang menyangkut hubungan siswa dengan materi serta hubungan guru dengan siswa atau disebut sebagai Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP). Salah satu aspek yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan ADP ini adalah learning obstacle. Atas dasar hal tersebut, maka pada segitiga didaktis Kansanen perlu ditambahkan suatu hubungan antisipatif guru-materi yang selanjutnya bisa disebut sebagai Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP) sebagaimana diilustrasikan pada gambar segitiga didaktis Kansanen yang dimodifikasi berikut ini. GURU
ADP
HP
MATERI
HD
SISWA
Gambar 2 Segitiga didaktis yang dimodifikasi
Menciptakan situasi didaktis dan pedagogis dalam suatu pembelajaran tidaklah sederhana. Oleh karena itu seorang guru perlu mengembangkan kemampuan untuk bisa memandang peristiwa tersebut secara komprehensif, mengidentifikasi dan menganalisis hal7
hal penting yang terjadi, serta melakukan tindakan tepat sehingga tahapan pembelajaran berjalan lancar dan sebagai hasilnya siswa belajar secara optimal. Kemampuan yang perlu dimiliki guru tersebut selanjutnya oleh Suryadi (2010) disebut sebagai metapedadidaktik yang dapat diartikan sebagai kemampuan guru untuk: (1)Memandang komponen-komponen segitiga didaktis yang dimodifikasi yaitu ADP, HD, dan HP sebagai suatu kesatuan yang utuh, (2) mengembangkan tindakan sehingga tercipta situasi didaktis dan pedagogis yang sesuai dengan kebutuhan siswa, (3) mengidentifikasi serta menganalisis respons siswa sebagai akibat tindakan didaktis maupun pedagogis yang dilakukan, (4) melakukan tindakan didaktis dan pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respons siswa menuju pencapaian target pembelajaran. Selanjutnya hubungan Guru-Siswa-Materi oleh Suryadi (2010) digambarkan sebagai sebuah limas dengan titik puncaknya adalah guru yang memandang alas limas sebagai segitiga didaktis yang dmodifikasi. Gambar 3 adalah skema hubungan Guru-Siswa-Materi. Guru
Siswa
Guru
Guru
Materi
Siswa
Materi
ADP
HD
Guru
Guru
HP
8
Siswa
Materi
Gambar 3 Metapedadidaktik dilihat dari sisi ADP, HD dan HP
Dalam penelititan ini, desain didaktis yang disusun tidak hanya berdasarkan learning obstacle yang ditemukan, melainkan berdasarkan juga hasil repersonalisasi, karakteristik siswa dan diperkuat dengan teori-teori pembelajaran yang relevan. Konsep dan konteks terkait dengan konsep garis singgung lingkaran yang merupakan hasil repersonalisasi, dengan urutan pengembangan konsep sebagai berikut (1) lingkaran, (2) garis singgung, dan (3) garis singgung lingkaran yang meliputi pengertian garis singgung lingkaran, sifat-sifat garis singgung lingkaran, melukis garis singgung melalui sebuah titik pada lingkaran, melukis garis singgung melalui sebuah titik di luar lingkaran, dan menghitung panjang garis singgung lingkaran. Urutan pengembangan desain didaktis konsep garis singgung lingkaran terbagi ke dalam tiga tahapan utama yaitu apersepsi, kegiatan inti, dan penutup. Bagian apersepsi bertujuan untuk mengetahui atau menguji pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa, yang memiliki kaitan dengan konsep yang akan diajarkan. Menurut Bruner, pembelajaran yang mengaitkan antara konsep prasyarat dengan konsep yang sedang dipelajari akan menjadi pembelajaran yang efektif (Suherman, 2008). Adapun beberapa materi yang harus dikuasai oleh siswa sebelum mempelajari konsep garis singgung lingkaran diantaranya materi tentang segitiga seperti jenis-jenis segitiga yang ditinjau bersadarkan sisi-sisinya, jenis-jenis segitiga yang ditinjau berdasarkan sudut-sudutnya, jumlah besar sudut dalam segitiga, Teorema Pythagoras, dan materi tentang melukis garis sumbu, garis tegak lurus serta lingkaran. Tahapan yang kedua setelah apersepsi yaitu kegiatan inti. Kegiatan inti dalam mempelajari konsep garis singgung lingkaran adalah proses konstruksi atau menemukan pengertian dan sifat-sifat garis singgung lingkaran, melukis garis singgung lingkaran dan menghitung panjang garis singgung lingkaran. Pada kegiatan ini, siswa diberikan latihan melukis garis singgung lingkaran melalui sebuah titik pada lingkaran dan di luar lingkaran dengan menggunakan jangka dan penggaris serta latihan soal yang beragam sehingga melatih kemampuan siswa dalam menyelesaikan permasalahan garis singgung lingkaran. Berikut ini adalah alur atau tahapan pembelajaran konsep garis singgung lingkaran.
9
Pengertian garis singgung lingkaran
Sifat-sifat garis singgung lingkaran Garis sumbu
Melukis garis singgung lingkaran Teorema Pythagoras
Menghitung panjang garis singgung lingkaran
Gambar 4 Tahapan Pembelajaran Konsep Garis Singgung Lingkaran
Tahapan terakhir adalah kegiatan akhir (penutup) terdiri dari kegiatan kesimpulan terkait konsep garis singgung lingkaran dan evaluasi. Desain didaktis tersebut disusun dengan tujuan dapat mengurangi atau meminimalkan munculnya kesulitan belajar siswa dalam mempelajari konsep garis singgung lingkaran. Secara umum, desain didaktis ini disusun dengan memanfaatkan lima fase yang diajukan Van Hiele untuk meningkatkan tahap berpikir geometri siswa dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi. Kelima fase tersebut adalah fase information, guided / directed orientation, explicitation / explanation, free orientation, dan integration (Kristiyanto, 2007). Setelah tersusun sebuah desain didaktis konsep garis singgung lingkaran kemudian desain didaktis ini diimplementasikan di salah satu kelas VIII sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri di Kota Bandung dan analisis metapedadidaktik. Penyusunan skenario yang dilakukan guru hanyalah berupa prediksi atau rencana yang belum bisa dipastikan sesuai atau tidak dengan kenyataan di lapangan (kelas). Dalam suatu peristiwa pembelajaran, guru tentu saja akan memulai aktivitas sesuai skenario yang memuat antisipasi didaktis dan pedagogis. 10
Pada saat guru menciptakan sebuah situasi didaktis, terdapat tiga kemungkinan yang bisa terjadi terkait respon atas situasi tersebut yaitu seluruhnya sesuai prediksi, sebagian sesuai prediksi, atau tidak ada satupun yang sesuai prediksi. Walaupun secara keseluruhan hanya ada tiga kemungkinan seperti itu, akan tetapi pada kenyataannya respon tersebut tidak mungkin muncul seragam untuk setiap siswa. Dalam penelitian ini, secara umum implementasi desain didaktis konsep garis singgung lingkaran sesuai dengan situasi didaktis, respon siswa, dan antisipasi respon siswa yang telah diprediksikan. Namun, selain respon-respon yang telah diperkirakan sebelumnya, ada juga respon siswa yang muncul diluar prediksi selama kegiatan implementasi. Sehingga segera antisipasi diberikan terhadap respon siswa tersebut. Antisipasi terhadap respon siswa dilakukan secara personal atau kelompok siswa yang mengalami kesalahan atau kesulitan tertentu. Namun, ketika ada kesalahan atau kesulitan yang dialami oleh hampir sebagian besar siswa, antisipasi terhadap respon siswa dilakukan secara klasikal atau menyeluruh. Untuk membantu kesulitan siswa tersebut, peneliti menggunakan teknik scaffolding yaitu dengan cara peneliti memberikan pertanyaan-pertanyaan dan instruksi sederhana yang mengarahkan proses berpikir siswa untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan pada desain didaktis tersebut. Sebagaimana dijelaskan oleh Vygotsky (Baharudin, 2008) mengenai teknik scaffolding yang digunakan untuk mengarahkan proses berpikir siswa dengan cara memberikan bantuan kepada siswa yang kemudian sedikit demi sedikit mengurangi bantuan tersebut. Setelah desain didaktis konsep garis singgung lingkaran diimplementasikan kemudian diadakan evaluasi berupa tes identifikasi learning obstacle akhir yang bertujuan untuk mengetahui gambaran learning obstacle sebagai dampak implementasi desain didaktis. Kegiatan ini merupakan langkah terkahir dalam menyusun desain didaktis yaitu analisis retrosfektif yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotetis dengan hasil analisis metapedadidaktik. Berdasarkan hasil tes identifikasi learning obstacle akhir, diketahui bahwa terdapat penurunan banyaknya siswa yang tidak dapat menyelesaikan soal yang diberikan dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan kesulitan siswa dalam memahami konsep garis singgung lingkaran setelah siswa memperoleh desain didaktis dalam proses pembelajarannya. Sehingga gambaran learning obstacle sebagai dampak implementasi desain didaktis yaitu mengalami penurunan. Dengan demikian desain didaktis konsep garis singgung lingkaran ini dapat meminimalkan munculnya learning obstacle yang sebelumnya telah 11
teridentifikasi. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa desain didaktis yang disusun ini dapat menjadi salah satu alternatif desain pembelajaran untuk konsep garis singgung lingkaran. KESIMPULAN 1.
Learning obstacle yang ditemukan terkait konsep garis singgung lingkaran dibagi menjadi 4 tipe, yaitu: Tipe 1: learning obstacle terkait konsep garis singgung lingkaran dan materi prasyarat, Tipe 2: learning obstacle terkait dengan konteks variasi informasi yang tersedia, Tipe 3: learning obstacle terkait dengan koneksi konsep garis singgung lingkaran dengan konsep matematika yang lain, dan Tipe 4: learning obstacle terkait dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah.
2.
Konsep dan konteks yang terkait dengan konsep garis singgung lingkaran yang merupakan hasil repersonalisasi, dengan urutan pengembangan konsep sebagai berikut (1) lingkaran, (2) garis singgung, dan (3) garis singgung lingkaran.
3.
Desain didaktis konsep garis singgung lingkaran disusun berdasarkan hasil repersonalisasi, learning obstacle yang ditemukan, karakterisitk siswa dan diperkuat dengan teori-teori pembelajaran yang relevan. Urutan pengembangan konsep garis singgung lingkaran terdapat tiga tahapan utama dalam desain didaktis ini, yaitu: kegiatan awal (apersepsi), kegiatan inti, dan kegiatan akhir (penutup).
4.
Respon siswa pada implementasi desain didaktis konsep garis singgung lingkaran secara umum sesuai dengan prediksi awal respon siswa dalam memahami materi tersebut.
5.
Gambaran learning obstacle sebagai dampak implementasi desain didaktis mengalami penurunan. Dengan demikian, pembelajaran desain didaktis ini dapat meminimalkan munculnya learning obstacle terkait konsep garis singgung lingkaran. Oleh karena itu, desain didaktis ini dapat menjadi salah satu alternatif desain pembelajaran konsep garis singgung lingkaran untuk sekolah menengah pertama.
DAFTAR PUSTAKA Ariyanti, G. (2011). Peranan Matematika Bagi Pendidikan Nilai (Sikap) Anak. [Online]. Tersedia: http://www.widyamandala.ac.id. [2 Januari 2012]. Baharuddin. (2008). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. Khozanatu R, S. (2012). Identifikasi Kesulitan Siswa dalam Memahami Konsep Terkait Garis Singgung Lingkaran. Makalah. Bandung: Tidak diterbitkan. Kristiyanto, A. (2007). Pembelajaran Matematika Berdasarkan Teori Belajar van Hiele: Teori van Hiele. [Online]. Tersedia: http://kris12
21.blogspot.com/2007/12/pembelajaran-matematika-berdasar-teori.html. November 2012]
[9
Sugiyono. (2010). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Suherman, E. (2008). Belajar dan Pembelajaran Matematika. Hands-out Perkuliahan. UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Suryadi, D. (2010). Menciptakan Proses Belajar Aktif: Kajian dari Sudut Pandang Teori Belajar dan Teori Didaktik. Hand-out Seminar. Bandung: tidak diterbitkan. Trisulawati, D. (2009). Proses Terjadinya Kesalahan Siswa Dalam Memecahkan Masalah Berkaitan Dengan Garis Singgung Lingkaran. [Online]. Tersedia: http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/matematika/article/view/1732/0 [24 Oktober 2012] Turmudi. (2010). Pembelajaran Matematika: Kini dan Kecenderungan Masa Mendatang. Bandung: FPMIPA UPI
13