DAMPAK KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG TERHADAP STRUKTUR SUBSIDI APBN DAN EFISIENSI USAHA MIKRO DI KOTA BOGOR (PERIODE 2005-2010)
OLEH SARI MAULIDYAWATI H14070064
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
SARI MAULIDYAWATI. Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG Terhadap Struktur Subsidi APBN dan Efisiensi Usaha Mikro Di Kota Bogor (Periode 20052010) (dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI).
Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas Bumi merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Pemerintah menjamin ketersediaan dan kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital bagi seluruh masyarakat Indonesia. Terjadinya kenaikan harga minyak mentah di dunia dari awal tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 ini ternyata berdampak terhadap harga minyak mentah di Indonesia. Hal ini tentunya akan mempengaruhi besarnya beban subsidi BBM yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Sehingga salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan ini melalui kebijakan program konversi minyak tanah bersubsidi ke LPG 3 kg pada pertengahan tahun 2007 yang berakhir pada tahun 2012. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dari tahun 2005 sampai tahun 2010, untuk melihat dampak program konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010) dan untuk melihat dampak program konversi minyak tanah ke LPG terhadap usaha mikro dalam hal ini pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara dan kuesioner kepada usaha mikro yaitu 30 pedagang bakso kaki lima yang mewakili enam Kecamatan di Kota Bogor. Sedangkan data sekunder diperoleh dari BPS, Kementerian Keuangan, Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor, Ditjen Migas dan ESDM (Energi dan Sumberdaya Mineral), Pertamina. Analisis kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dilakukan dengan metode deskriptif. Metode deskriptif juga digunakan untuk menganalisis dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010) dan efisiensi usaha mikro yaitu pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor. Hasil analisis deskriptif kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 di Indonesia mengalami perubahan terutama setelah adanya program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg. Untuk konsumsi minyak tanah mengalami penurunan, sedangkan konsumsi untuk LPG 3 Kg mengalami peningkatan. Hal ini menggambarkan sebagian besar masyarakat telah beralih menggunakan LPG dikarenakan jumlah pasokan minyak tanah yang semakin berkurang/ langka dan harganya semakin mahal dikalangan masyarakat, serta penggunaan LPG yang dirasa lebih efisien. Dampak program konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010), telah memberikan penghematan subsidi negara sebesar 21,38 triliun rupiah. Penghematan subsidi energi ini menggambarkan program konversi telah berhasil
menurunkan konsumsi BBM bersubsidi secara bertahap yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia guna menghemat anggaran subsidi BBM. Sedangkan dengan adanya program konversi minyak tanah ke LPG terhadap usaha mikro khususnya pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor, berdampak terhadap efisiensi usaha baik dari sisi biaya, waktu, dan tenaga. Pengeluaran untuk bahan bakar minyak tanah dirasa lebih besar dibandingkan LPG 3 kg, dan besarnya penerimaan pedagang bakso mengalami peningkatan karena pedagang bakso menetapkan harga yang lebih tinggi setelah program konversi. Sebagian besar pedagang bakso kaki lima menyatakan sangat setuju dengan penggunaan LPG 3 kg yang lebih menguntungkan dibandingkan minyak tanah dan setuju menerima LPG 3 kg sebagai pengganti minyak tanah serta tidak ada unsur keterpaksaan dalam menjalankan program konversi. Rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan antara lain pemerintah pusat dan PT. Pertamina hendaknya terus melakukan evaluasi dan lebih memperbaiki pelaksanaan program konversi minyak tanah ke LPG, seperti mengatasi distribusi LPG bagi masyarakat dan harus mengambil tindakan hukum yang tegas apabila terjadi penyelewengan di jaringan distribusi tersebut, sehingga program konversi dapat diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia secara merata. Pemerintah Kota Bogor hendaknya lebih memperhatikan para pelaku usaha seperti usaha mikro dan PKL dengan adanya program konversi minyak tanah ke LPG, dengan terus menggalakkan sosialisasi dan penyuluhan kepada pedagang bakso kaki lima sehingga dapat mengefisienkan penggunaan bahan bakar LPG dan program konversi diharapkan dapat berhasil.
DAMPAK KONVERSI MINYAK TANAH KE LPG TERHADAP STRUKTUR SUBSIDI APBN DAN EFISIENSI USAHA MIKRO DI KOTA BOGOR (PERIODE 2005-2010)
Oleh SARI MAULIDYAWATI H14070064
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Struktur Subsidi APBN dan Efisiensi Usaha Mikro Di Kota Bogor (Periode 2005-2010)
Nama
: Sari Maulidyawati
NIM
: H14070064
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A. NIP. 19520408 198403 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 19641022 198903 1 003
Tanggal Kelulusan :
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor,
Juli 2011
Sari Maulidyawati H14070064
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Sari Maulidyawati lahir pada tanggal 1 Juni 1989 di Bogor. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Warsono dan Nunung Yuliati, S.Pd. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Negeri Kotabatu 06 pada tahun 2001. Di tahun yang sama, penulis melanjutkan ke SLTP Negeri 1 Bogor dan lulus pada tahun 2004. Penulis kemudian diterima di SMA Negeri 3 Bogor dan lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan diterima masuk di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI). Di tahun berikutnya, penulis mendapatkan Mayor di Ilmu Ekonomi dan Minor Ekonomi Pertanian di Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif di beberapa organisasi seperti FOSMA IPB, COAST Tari BEM FEM IPB, dan HIPOTESA. Penulis menjadi pengurus divisi Training ESQ FOSMA IPB pada tahun 2007. Pada tahun 2008 penulis menjadi pengurus COAST Tari BEM FEM IPB. Dan pada tahun 2009 penulis menjadi
staf
divisi
INTEL
(Information,
Comunication,
and
External
relationship) di HIPOTESA. Selain itu penulis juga aktif dalam kepanitiaan seperti ESPRESSO 2009, ECONOMIC CONTEST 2009 dan Hipotex-R 2009.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa penulis juga memanjatkan shalawat serta salam ke hadirat Nabi Besar Muhammad SAW. Judul skripsi ini adalah “Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Struktur Subsidi APBN dan Efisiensi Usaha Mikro Di Kota Bogor (Periode 2005-2010)”. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain: 1.
Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, S.E., M.S., D.E.A., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan saran, pengarahan, dan bimbingan baik secara teknis, teoritis
maupun moril dalam proses
penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik. 2.
Dr. Ir. Sri Mulatsih, M.Sc. Agr., sebagai Dosen Penguji Utama dalam sidang skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini.
3.
Dr. Muhammad Findi Alexandi, M.E., selaku Dosen Penguji Komisi Pendidikan yang memberikan banyak informasi mengenai tatacara penulisan skripsi yang baik, juga memberikan perbaikan pada substansi skripsi.
4.
Seluruh jajaran staf Departemen Ilmu Ekonomi atas segala bantuan dan kerjasamanya.
5.
Kedua orang tua penulis, Ibunda Nunung Yuliati dan Ayahanda Warsono, serta adik penulis Kharisma Muhamad Naufal atas doa, dorongan moral dan materi, serta pandangan hidup atas kebahagiaan yang besar artinya bagi pembentukan karakter dan pola pikir selama perjalanan hidup penulis.
ii
6.
Teman-teman tersayang d’rempongs Wahyu Putri Pamungkas, Dyah Pramita Raharti, Resti Anditya, Ranty Purnamasari, Putri Nilam Kencana, dan Hilman Kurniawan yang selalu memberikan semangat dan menemani penulis selama masa perkuliahan di Institut Pertanian Bogor.
7.
Dian Nurdiana sebagai teman bimbingan atas dukungan dan kerjasamanya selama ini.
8.
Teman-teman tercinta d’cabs Nhimas Anthyan, Novia Handayani, dan Retno Khairunnisa yang selalu memberikan inspirasi dan menghibur penulis selama perkuliahan di Ilmu Ekonomi.
9.
Teman-teman Ilmu Ekonomi angkatan 44 Winda Aprianti, Lilih Suprianti, Andi Inggryd Cheryana, Elvha Aditia Sidik dan semua teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan doa, semangat dan dukungan selama penulis menyusun skripsi.
10.
Teman-teman semasa di Tingkat Persiapan Bersama Indira Indraswari dan Ganisa Kusumawardhani atas motivasi dan semangat yang telah diberikan selama ini.
11.
Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini namun tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang
membutuhkan.
Bogor, Juli 2011
Sari Maulidyawati H14070064
iii
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR…….…………………………………………….........
i
DAFTAR ISI……………………………………………………………….....
iii
DAFTAR TABEL……………………………………………………….........
v
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………...
vi
I. PENDAHULUAN………………………………………………………..
1
1.1. Latar Belakang…………………………………………………….....
1
1.2. Perumusan Masalah………………………………………………….
6
1.3. Tujuan Penelitian...…………………………………………………..
8
1.4. Manfaat Penelitian…………………………………………………...
9
1.5. Ruang Lingkup Penelitian……………………………………………
9
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN...................
11
2.1. Bahan Bakar Minyak dan Gas.............................................................
11
2.1.1 Minyak Tanah.............................................................................
12
2.1.2 LPG (Liquefied Petroleum Gas).................................................
12
2.2. Dampak................................................................................................
13
2.3. Konversi Energi Minyak Tanah ke LPG.............................................
14
2.4. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).............
15
2.4.1 Struktur Subsidi APBN..............................................................
17
2.5. Usaha Mikro.........................................................................................
18
2.5.1 Pedagang Mikro.........................................................................
19
2.5.2 Pedagang Kaki Lima (PKL).......................................................
20
2.6. Teori Efisiensi......................................................................................
21
2.6.1 Efisiensi dalam Ekonomi............................................................
21
2.6.1.1 Efisiensi dalam Produksi................................................
24
2.6.2 Asas-asas Efisiensi.....................................................................
25
2.7. Penelitian Terdahulu............................................................................
28
2.8. Kerangka Pemikiran.............................................................................
33
iv
2.9. Hipotesis Penelitian.............................................................................
36
III. METODOLOGI PENELITIAN…………………………………………..
37
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian………………………………………...
37
3.2. Jenis dan Sumber Data…………………………………………….....
37
3.3. Kerangka Sampel………………………………………………….....
38
3.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data................................................
39
3.4.1 Analisis Kondisi Penggunaan Minyak Tanah dan LPG.............
40
3.4.2 Analisis Dampak Konversi terhadap Struktur Subsidi APBN...
40
3.4.3 Analisis Dampak Konversi terhadap Efisiensi Usaha Mikro....
41
IV. GAMBARAN UMUM SUBSIDI BBM………………………………….
43
4.1. Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)…….....
43
4.2. Kondisi Geografis dan Demografi Kota Bogor……………………...
47
4.2.1 Perkembangan Usaha Mikro di Kota Bogor………………......
48
4.2.2 Perkembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Bogor..........
50
V. HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………….
53
5.1. Kondisi Penggunaan Minyak Tanah dan LPG di Indonesia dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010……………………………... 5.2. Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Struktur Subsidi APBN (2007-2010)……………………………………..................... 5.3. Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Efisiensi Usaha Mikro (Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor)……………..…. 5.3.1 Karakteristik Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor.........
53 57 63 63
5.3.2 Efisiensi (Hemat) Pedagang Bakso Kaki Lima Kota Bogor......
64
5.3.3 Pengeluaran Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor..........
73
5.3.4 Penerimaan Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor..........
74
5.3.5 Persepsi Pedagang Bakso Kaki Lima Mengenai Program Konversi.....................................................................................
75
VI. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………..…
78
6.1 Kesimpulan…………………………………………….......................
78
6.2 Saran……………………………………………………………….....
79
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...…
81
v
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Perkembangan Jumlah Perusahaan Menurut Skala Usaha Di Kota Bogor………………………………………………………………….... 1.2. Pengurangan Subsidi Melalui Konversi Minyak Tanah ke LPG…..…...
6 7
4.1. Ringkasan APBN Tahun 2010 (Triliun Rupiah).....................................
44
4.2. Perkembangan Jumlah UKM dan Tenaga Kerja Di Kota Bogor …..…..
49
4.3. Jumlah PKL Kota Bogor Hasil Pemetaan 2010.......................................
51
5.1. Produksi Minyak Tanah dan LPG tahun 2005-2009...............................
53
5.2. Penggunaan Minyak Tanah dan LPG 3 kg Tahun 2005-2010.................
54
5.3. Neraca Penggunaan LPG di Indonesia Tahun 2007-2009 (dalam ribu ton)........................................................................................................... 5.4. Subsidi, 2005-2010 (Miliar Rupiah)........................................................
56 58
5.5. Besarnya Subsidi Untuk Minyak Tanah dan LPG 3 Kg……………..…
59
5.6. Karakteristik Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor.......................
64
5.7. Harga Terjangkau (%) Pedagang Bakso Kaki Lima................................
65
5.8. Harga Sebelum Program Konversi (%) Pedagang Bakso Kaki Lima......
66
5.9. Harga Setelah Program Konversi (%) Pedagang Bakso Kaki Lima........
66
5.10. Harga Perlengkapan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima..............
67
5.11. Biaya Pemeliharaan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima..............
68
5.12. Lama Waktu Memasak (%) Pedagang Bakso Kaki Lima.......................
69
5.13. Memerlukan Bantuaan saat Mengangkat dan Proses Penggantian (%) Pedagang Bakso Kaki Lima..................................................................... 5.14. Memerlukan Bantuaan dalam Pemeliharaan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima..................................................................................... 5.15. Penggunaan Bahan Bakar (%) Pedagang Bakso Kaki Lima...................
70 71 71
5.16. Jarak Pembelian Bahan Bakar (%) Pedagang Bakso Kaki Lima.............
72
5.17. Pengeluaran (%) Pedagang Bakso Kaki Lima……………………..…...
74
5.18. Penerimaan (%) Pedagang Bakso Kaki Lima..........................................
74
5.19.Sebaran Responden Berdasarkan Persepsi Mengenai Program Konversi (%)............................................................................................................
76
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Perkembangan Permintaan, Penawaran dan Harga Minyak Dunia, 2005-2009…………………………………………………………........
1
1.2. Distribusi Penyebaran Perusahaan Menurut Skala Usaha……………...
5
2.1. Efisiensi Produksi dan Alokasi…………………………………………
22
2.2. Diagram Kotak Edgeworth untuk Efisiensi dalam Produksi…………...
25
2.3. Efisiensi dari Segi Usaha…………………………………………….....
26
2.4. Efisiensi dari Segi Hasil………………………………………………...
27
2.5. Kerangka Pemikiran………………………………………………….....
35
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Bahan Bakar Minyak (BBM) dan gas Bumi merupakan kekayaan alam
yang dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat Indonesia.
Pemerintah menjamin
ketersediaan
dan
kelancaran pendistribusian BBM yang merupakan komoditas vital dan menguasai hajat hidup orang banyak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, hal ini tercantum dalam Undang-undang No. 22 Tahun 2001 Pasal 8. Pemanfaatan Minyak dan Gas Bumi ini secara langsung diimplementasikan melalui penyediaan BBM murah dengan adanya subsidi BBM yang merupakan pengeluaran rutin Negara.1
Gambar 1.1. Perkembangan Permintaan, Penawaran dan Harga Minyak Dunia, 2005-2009
1
Undang-undang No. 22 tahun 2001 Pasal 8. www.esdm.go.id/.../uu/doc.../500-undang-undangn022-tahun-2001.html [ 28 Oktober 2010 ]
2
Harga minyak dunia dari awal tahun 2005 sampai dengan pertengahan tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat signifikan (Gambar 1.1). Ratarata harga minyak dunia (West Texas Intermediate Spot Average) tahun 2005 sebesar USD 53,4 per barel meningkat menjadi USD 64,3 per barel pada tahun 2006 dan USD 72,3 per barel pada tahun 2007. Pada awal tahun 2008, terjadi peningkatan yang cukup drastis yaitu pada bulan Juni yang mencapai USD 97,0 per barel. Namun, memasuki semester kedua tahun 2008, harga minyak dunia mengalami penurunan. Sementara itu, pemulihan ekonomi dunia yang utamanya didorong oleh pemulihan ekonomi dua raksasa, yaitu China dan India, telah memberikan dampak pada naiknya permintaan minyak dunia pada tahun 2009. Permintaan minyak dunia yang berfluktuasi kecenderungan meningkat, diikuti pula dengan peningkatan harga minyak dunia (WTI). Seiring dengan perubahan pergerakan minyak dunia (WTI), harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude-Oil Price/ ICP) juga mengalami peningkatan. Dalam semester I pada tahun 2009 harga minyak ICP mencapai rata-rata sebesar USD 51,6 per barel, kemudian pada semester II mengalami peningkatan menjadi USD 71,6 per barel, sehingga selama tahun 2009 harga rata-rata minyak ICP mencapai USD 61,6 per barel.2 Terjadinya persoalan kenaikan harga minyak dunia yang dihadapi oleh bangsa Indonesia ini, memaksa pemerintah untuk mengambil keputusan yang amat berat dengan menaikkan harga BBM selama dua kali pada tahun 2005. 2
Kementerian Keuangan. 2010. Bab II Perkembangan Ekonomi Dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011 dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2010. Hal. 18. www.anggaran.depkeu.go.id/.../10-0824%20NK%20dan%20RUU%20APBN%202011_BabII_ rev1.pdf [ 28 Oktober 2010 ]
3
Selain itu, adanya kenaikan harga minyak mentah Internasional memberikan dampak terhadap meningkatnya beban subsidi BBM dalam APBN. Beban subsidi BBM yang terus meningkat ini akan mengganggu keberlanjutan (sustainability) anggaran pemerintah, yang nantinya dapat mengancam stabilitas perekonomian dan mengurangi kepercayaan terhadap ekonomi Indonesia. Selain itu, peningkatan beban subsidi BBM akan membawa akibat kepada pengurangan anggaran pemerintah untuk berbagai program penting bagi kesejahteraan rakyat, seperti alokasi untuk kemiskinan dan infrastruktur. Oleh karena itu, stabilitas makro harus tetap dijaga. Untuk mengendalikan beban subsidi BBM ini, pemerintah mengambil salah satu kebijakan untuk mengurangi besarnya pengeluaran negara dalam mensubsidi bahan bakar minyak tanah bagi masyarakat melalui langkah-langkah penghematan subsidi, salah satunya dengan melaksanakan program konversi minyak tanah bersubsidi ke LPG (Liquid Petroleum Gas) 3 kg pada tahun 2007. Jika subsidi minyak terus dipertahankan, hal ini dinilai akan membebani anggaran pemerintah. Isu inilah yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai targetnya dalam mengurangi subsidi bahkan hingga tercapainya target akhir yaitu menghapus subsidi. Dasar persiapan pemasaran LPG 3 kg untuk penggantian minyak tanah terdapat dalam surat dari Menteri ESDM No.32429/26/MEM/2006 tanggal 31 Agustus 2006 tentang P.T. Pertamina untuk melakukan pengalihan minyak tanah ke LPG bagi konsumen rumah tangga serta surat Wakil Presiden RI
4
No.20/WP/9/2006 tanggal 1 September 2006 Perihal : Konversi Pemakaian Mitan ke Elpiji . Melalui program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg ini, diharapkan dapat memangkas subsidi minyak tanah dari 35 trilyun rupiah menjadi 17,5 trilyun rupiah atau setara dengan 50 persen pada tahun 2008. Regulasi pemerintah mencanangkan konversi penggunaan sekitar 5,2 kilo liter minyak tanah kepada pengguna 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007.3 Program konversi minyak tanah ke LPG dipandang sebagai bahan bakar pengganti yang lebih murah, yang lebih ditujukkan bagi masyarakat miskin pengguna minyak tanah yang kemudian beralih ke bahan bakar gas melalui pembagian kompor gas dan tabung gas 3 kg pada tiap kepala keluarga (KK). Selain ditujukan bagi masyarakat miskin, program konversi BBM ini tentunya akan berpengaruh juga kepada para pelaku usaha, dalam hal ini usaha mikro khususnya pedagang mikro yang menggunakan minyak tanah untuk bahan bakar memasak dalam usahanya, yang kini harus beralih ke bahan bakar gas guna menghemat pengeluaran. Menurut laporan hasil penelitian oleh World Bank (2006), menunjukkan 99 persen perusahaan negara berkembang di seluruh dunia, dengan pekerja kurang dari 50 orang adalah usaha mikro, kecil dan menengah. Kategori usaha di sektor
3
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral 2007 dalam Simanjuntak, M., R.A.B. Kusumo, dan M. Nasarullah. 2009. “Pola Pengeluaran, Persepsi, dan Kepuasan Keluarga Terhadap Perubahan Penggunaan Energi dari Minyak Tanah ke LPG”. Jurnal Ilmu Keluarga dan Konsumen, Volume 2 Nomor 2 ISSN: 1907-6037. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor. Hal. 165
5
ini juga merupakan kesempatan kerja yang paling realistis bagi masyarakat miskin. Gambaran distribusi penyebaran perusahaan menurut skala usaha ini berdasarkan Sensus Ekonomi 2006 (BPS, 2006) terlihat sebagai berikut:
Sumber: BPS, 2006.
Gambar 1.2. Distribusi Penyebaran Perusahaan Menurut Skala Usaha Dari grafik pie-chart diatas (Gambar 1.2.) memberikan gambaran dan penjelasan lebih detail mengenai penyebaran usaha di Indonesia. Terlihat bahwa skala usaha mikro mendominasi yaitu sebesar 83,27 persen atau sebanyak 18,933 juta dibandingkan 15,81 persen usaha kecil dan 0,67 persen usaha menengah. Hal ini jelas memberi gambaran bahwa UKM di Indonesia sangat penting, dan kebijakan yang menyentuh kepadanya harus sistematis dan jelas. Begitu pula di Kota Bogor, adanya perkembangan dari tahun 2007 hingga tahun 2009 pada perusahaan menurut skala usaha seperti terlihat pada Tabel 1.1. Dapat dilihat bahwa usaha mikro juga mendominasi di Kota Bogor, serta adanya peningkatan dari tahun 2007 sebanyak 23.873 menjadi 25.804 pada tahun 2009, jika dibandingkan dengan usaha kecil yaitu sebanyak 6.366 pada tahun 2007 menjadi 4.838 pada tahun 2009.
6
Tabel 1.1. Perkembangan Jumlah Perusahaan Menurut Skala Usaha Di Kota Bogor No. Jenis Usaha 2007 2008 2009 1. Usaha Mikro 23.873 25.718 25.804 2. Usaha Menengah 1.598 1.607 1.614 3. Usaha Kecil 6.366 4.822 4.838 Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2009.
Pada usaha mikro ini, didalamnya terdapat pedagang mikro yang terkena dampak dari adanya program konversi minyak tanah ke LPG terhadap kegiatan usaha mereka. Oleh karena itu, judul Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG Terhadap Struktur Subsidi APBN dan Efisiensi Usaha Mikro di Kota Bogor (Periode 2005-2010) dipilih untuk dikaji lebih lanjut, dengan menganalisis struktur subsidi energi dalam APBN yaitu subsidi BBM serta dampaknya terhadap efisiensi pada usaha mikro.
1.2
Perumusan Masalah Apabila subsidi BBM dilanjutkan, hal ini dapat mengakibatkan tingginya
subsidi dalam penyediaan energi khususnya BBM dan potensi pemborosan yang semakin besar dalam APBN. BBM dalam hal ini minyak tanah, digunakan sebagian besar oleh rumah tangga Indonesia dan disubsidi secara besar-besaran oleh pemerintah (volume 9,9 juta KL – Rp 37 T/ tahun menurut data tahun 2007). Sedangkan LPG hanya digunakan 10 persen rumah tangga dan harga per tabung jauh lebih mahal dari harga subsidi eceran minyak tanah. Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi tingginya beban subsidi BBM yaitu melalui program konversi minyak tanah ke LPG. LPG dipilih sebagai
7
bahan bakar alternatif karena nilai kalor efektif LPG lebih tinggi dibandingkan minyak tanah, selain karena aspek kelestarian lingkungan, LPG lebih ramah lingkungan karena gas buangnya bersih. Oleh karena itu, diversifikasi dari minyak tanah ke LPG merupakan bagian dari kebijakan energi nasional. Dalam konversi minyak tanah ke LPG ini, dapat dilihat bahwa pemerintah mendapatkan keuntungan berupa pengurangan subsidi yang harus dikeluarkan seperti terlihat dalam Tabel 1.2. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Direktorat Riset Energi dan Manajemen Indonesia tahun 2007 dengan asumsi seluruh minyak tanah telah dikonversi ke LPG 3 kg. Dari Tabel 1.2. dapat dilihat bahwa pemerintah Indonesia dapat menghemat subsidi sebesar 20 triliun rupiah per tahun. Program konversi seluruh minyak tanah bersubsidi ke LPG 3 kg akan selesai dalam jangka waktu 5 tahun (dimulai tahun 2007 dan selesai tahun 2012). Tabel 1.2. Pengurangan Subsidi Melalui Konversi Minyak Tanah ke LPG. Perbandingan Minyak Tanah LPG Kesetaraan 1 liter 0,57 kg Harga Jual ke Rp 2.500/ltr Rp 4.250/kg Masyarakat Pengalihan Volume 10.000.000 kilo liter 5.746.095 MT/Tahun Minyak Tanah Subsidi Asumsi Harga Rp 5.665/ltr Rp 7.127/kg Keekonomian Harga Jual Rp 2.000/ltr Rp 4.250/kg Besaran Subsidi Rp 3.665/ltr Rp 2.877/kg Total Subsidi Rp 36,65 Triliun/Tahun Rp 16,53 Triliun/Tahun Selisih Rp 20,12 Triliun/Tahun Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2007.
Kota Bogor dijadikan daerah studi kasus karena memiliki usaha mikro sebanyak 25.804 dan mendominasi diantara usaha menengah yaitu sebanyak 1.614 dan usaha kecil sebanyak 4.838 pada tahun 2009. Menurut Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindakop)
8
Kota Bogor, pada 3.600 usaha mikro kecil menengah (UMKM) diantaranya memproduksi tekstil, sandal, sepatu, tas, dan makanan. Selain itu, usaha mikro yang meliputi pedagang mikro didalamnya, dengan adanya program konversi minyak tanah ke LPG ini tentunya akan memengaruhi efisiensi biaya, waktu dan tenaga usaha mikro. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010? 2. Bagaimana dampak setelah diterapkannya program konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN tahun 2007 sampai dengan tahun 2010? 3. Bagaimana efisiensi usaha mikro di Kota Bogor khususnya pedagang bakso kaki lima setelah diterapkannya program konversi minyak tanah ke LPG?
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dari kurun waktu tahun 2005 sampai dengan tahun 2010. 2. Menganalisa struktur subsidi APBN dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 setelah diterapkannya program konversi minyak tanah ke LPG. 3. Menganalisa efisiensi usaha mikro di Kota Bogor, dalam hal ini efisiensi biaya, waktu, serta tenaga bagi pedagang bakso kaki lima serta pengeluaran,
9
penerimaan dan persepsinya setelah diterapkannya program konversi minyak tanah ke LPG.
1.4
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna baik bagi penulis maupun
pihak-pihak lain yang berkepentingan. Manfaat yang diharapkan tersebut antara lain adalah : 1. Bagi pemerintah atau instansi pengambil keputusan terkait diharapkan dapat
memberikan masukan dan bahan pertimbangan baik dalam perencanaan maupun dalam pengambilan keputusan terkait dengan kelanjutan program konversi minyak tanah ke LPG. 2. Bagi pembaca diharapakan dapat menjadi sumber informasi dan masukan
dalam penelitian-penelitian selanjutnya. 3. Bagi penulis diharapkan dapat menjadi tempat untuk pengaplikasian ilmu
pengetahuan sekaligus menambah pengalaman selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor.
1.5
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian untuk menganalisa dampak konversi minyak tanah ke LPG
terhadap struktur subsidi APBN sebelum adanya program konversi dibatasi pada periode tahun 2005 sampai dengan tahun 2006 dan setelah adanya program konversi minyak tanah ke LPG yaitu periode tahun 2007 sampai dengan tahun 2010.
10
Untuk usaha mikro, studi kasus pada penelitian ini adalah Kota Bogor pada periode tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 dimana tahun 2007 dijadikan baseline karena dianggap sebagai titik dimulainya program konversi minyak tanah ke LPG dan untuk responden dapat dipastikan masih memiliki ingatan yang baik pada tahun tersebut. Adapun usaha mikro disini dibatasi dengan pedagang mikro yaitu pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor yang awalnya menggunakan bahan bakar minyak tanah kemudian beralih ke LPG 3 kg.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai beberapa pustaka yang dijadikan dasar teori dalam penelitian ini. Adapun pustaka tersebut adalah bahan bakar minyak dan gas, dampak, konversi energi dalam hal ini minyak tanah ke LPG, struktur subsidi APBN dan usaha mikro. Selain itu dalam bab ini juga akan dijelaskan mengenai konsep efisiensi, dan beberapa penelitian terdahulu yang menjadi referensi dalam penyusunan penelitian. Kemudian, di bagian terakhir dalam bab ini akan dibahas tentang kerangka pemikiran penulis yang mendasari dimulainya penelitian ini.
2.1.
Bahan Bakar Minyak dan Gas BBM (bahan bakar minyak) adalah jenis bahan bakar (fuel) yang
dihasilkan dari pengilangan (refining) minyak mentah (crude oil). Merupakan minyak mentah dari perut bumi diolah dalam pengilangan (refinery) terlebih dahulu untuk menghasilkan produk-produk minyak (oil products), yang termasuk di dalamnya adalah BBM. Selain menghasilkan BBM, pengilangan minyak mentah menghasilkan berbagai produk lain terdiri dari gas, hingga ke produkproduk seperti naphta, light sulfur wax residue (LSWR) dan aspal.4
4
Hanan Nugroho dalam Perencanaan Pembangunan Edisi 02, Tahun X, 2005. Apakah Persoalannya Pada Subsidi BBM? Tinjauan Terhadap Masalah Subsidi BBM, Ketergantungan pada Minyak Bumi, Manajemem Energi Nasional, dan Pembangunan Infrastruktur Energi [jurnal]. Perencanaan Bidang Energi BAPPENAS. Hal. 2.
12
2.1.1
Minyak Tanah Minyak tanah adalah bahan bakar minyak jenis distilat tidak berwarna
yang jernih. Pengguna minyak tanah pada umumnya untuk keperluan bahan bakar di rumahtangga, tetapi pada beberapa industri juga memerlukan minyak tanah untuk beberapa peralatan pembakarannya. Pertamina, sesudah kebijakan pemerintah telah membatasi pemakaian minyak tanah untuk keperluan industri (harga dengan izin khusus). Minyak tanah disebut juga kerosene.5 Minyak tanah atau kerosene merupakan bagian dari minyak mentah yang memiliki titik didih antara 150 °C dan 300 °C serta tidak berwarna. Minyak tanah digunakan selama bertahun-tahun sebagai alat bantu penerangan, memasak, water heating, dan lain-lain yang umumnya merupakan pemakaian domestik (rumahan).6 2.1.2
LPG (Liquefied Petroleum Gas) LPG (Liquefied Petroleum Gas), merupakan nonbahan bakar minyak yang
merupakan gas minyak cair. Merupakan gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan untuk memudahkan penyimpanan, pengangkutan, dan penanganannya. Gas minyak cair yang dipasarkan dengan nama elpiji ini, di Indonesia pada dasarnya terdiri atas propana, butana atau campuran keduanya.7
5
6
7
Mayawati, Tuti dan Tri Hidayatno. 2008. Statistika Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 20032007. BPS, Jakarta. Hal. 62. PERTAMINA. http://www.pertamina.com/index.php/detail/read/fuel-minyak-tanah. [ 01 Maret 2011 ] Mayawati, Tuti dan Tri Hidayatno. 2008. Statistika Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 20032007. BPS, Jakarta. Hal. 65-66.
13
LPG adalah produk gas yang dihasilkan dari penyulingan minyak bumi atau juga produk gas yang dihasilkan dari kondensasi gas bumi di unit pengolahan pabrik. LPG digunakan sebagai bahan bakar untuk rumahtangga dan industri. LPG ini banyak digunakan terutama oleh masyarakat tingkat menengah yang kebutuhannya semakin meningkat dari tahun ke tahun dan selain itu LPG juga merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan. Aplikasinya pada kawasan industri, produk LPG digunakan sebagai pengganti Freon, Aerosol, Refrigerant/ Cooling Agent, kosmetik dan juga digunakan sebagi bahan baku produk khusus. Adapun spesifikasinya, yaitu berdasarkan penggunaannya LPG dibedakan sebagai berikut :8 a. LPG Mix, adalah campuran Propana dan Butana dengan komposisi antara 50 persen dan 50 persen dari volume serta ditambah bau (Mercaptant) dan umumnya digunakan untuk bahan bakar di rumah tangga. b. LPG Propane dan LPG Butan, adalah LPG yang mengandung 95 persen Propane dan Butan 97,5 persen dari volume masing-masing dan ditambah bau (Mercaptant), umumnya digunakan untuk industri.
2.2.
Dampak Dampak dapat diartikan sebagai benturan, pengaruh kuat yang
mendatangkan akibat, baik akibat yang negatif maupun akibat yang positif. Dampak negatif merupakan pengaruh kuat yg mendatangkan akibat yang negatif, 8
PERTAMINA. http://www.pertamina.com/index.php/detail/read/fuel-minyak-tanah. [ 01 Maret 2011 ]
14
sedangkan dampak positif merupakan pengaruh kuat yang mendatangkan akibat yang positif. Dampak ekonomis merupakan pengaruh suatu penyelenggaraan kegiatan terhadap perekonomian.9 Sedangkan pengertian dampak secara umum, dalam hal ini adalah segala sesuatu yang ditimbulkan akibat adanya sesuatu. Dampak itu sendiri juga bisa berarti, konsekuensi sebelum dan sesudah adanya sesuatu.10 Dampak disini, penulis ingin menjelaskan mengenai dampak adanya konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN dari tahun 2007 sampai tahun 2010 dan efisiensi usaha mikro.
2.3.
Konversi Minyak Tanah ke LPG Konversi energi adalah perubahan bentuk energi dari yang satu menjadi
bentuk energi lain. Dalam textbook buku fisika tentang hukum konversi energi mengatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan (dibuat) ataupun dimusnahkan akan tetapi dapat berubah bentuk dari bentuk yang satu ke bentuk lainnya.11 Dalam hal konversi minyak tanah ke LPG menurut electroniclab, dapat dijelaskan sebagai bentuk pengalihan pemakaian bahan bakar minyak tanah ke LPG yang dilakukan oleh Pemerintah, dalam upaya mengurangi kelangkaan 9
Anonim. 2011. Definisi Dampak. http://www.artikata.com/arti-324325-dampak.htm. [ 5 Mei 2011 ]
10
11
_______. 2008. Pengertian Dampak. http://mediabelajarkoe.worspress.com/2008/11/24/ dampak-implementasi-it-di-organisasi/ [ 5 Mei 2011 ] _______. 2009. “Konversi Energi”. http://www.electroniclab.com/index.php?option =com_content&view=article&id=5:konversi-energi&catid=1:archive-alias&Itemid=3. [ 27 Oktober 2010 ]
15
minyak tanah yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia yang diakibatkan karena semakin melambungnya harga minyak dunia yang berdampak terhadap harga minyak Indonesia. Hal ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan terhadap minyak tanah. Program konversi minyak tanah ke gas (LPG) ini, dicanangkan melalui regulasi pemerintah dengan melakukan konversi penggunaan sekitar 5,2 kilo liter minyak tanah kepada pengguna 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010 yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007. 12 Berdasarkan surat Menteri ESDM Nomor 3249/26/MEM/2006 tentang hasil rapat koordinasi terbatas yang dipimpin oleh Wakil Presiden mengenai program konversi mitan ke elpiji yang menunjuk Pertamina sebagai pelaksana program bagi konsumen rumah tangga (31 Agustus 2006).
2.4.
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Penyusunan
Anggaran
Pendapatan
dan
Belanja
Negara
(APBN)
didasarkan pada ketentuan pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang telah diubah menjadi pasal 23 ayat (1), (2) dan (3) Amendemen UUD 1945 yang berbunyi: (1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (2) Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan 12
_________. 2009. “Konversi Energi”. http://www.electroniclab.com/index.php?option =com_content&view=article&id=5:konversi-energi&catid=1:archive-alias&Itemid=3. [ 27 Oktober 2010 ]
16
Perwakilan Rakyat dengan memerhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.13 APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan ditetapkan dengan undang-undang (menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 1 ayat 7). APBN juga merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan undang-undang. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam 1 tahun anggaran (1 Januari – 31 Desember) harus dimasukkan dalam APBN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam APBN 2010, merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, sekaligus sebagai penentu arah dan prioritas kebijakan pembangunan nasional. Jadi, APBN berfungsi sebagai otoritas, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Oleh karena itu, semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam satu tahun anggaran harus dimasukkan dalam APBN.14
13
14
Ismawanto. 2009. Ekonomi 2: Untuk SMA dan MA Kelas XI, Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Hal. 27-29. Kementerian Komunikasi dan Informatika, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2010. (Jakarta, 2010), Hal. iii.
17
2.4.1
Struktur Subsidi APBN Dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) dan Presiden Republik Indonesia, memutuskan dan menetapkan Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran (APBN) 2010 Pasal 1 ayat 16 dan 17 dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan subsidi: (16) Subsidi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan/ lembaga yang memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan jasa, yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau oleh masyarakat. (17) Subsidi energi adalah alokasi anggaran yang diberikan kepada perusahaan atau lembaga yang memproduksi dan/ atau menjual bahan bakar minyak (BBM), bahan bakar nabati (BBN), Liquefied Petroleum Gas (LPG), dan tenaga listrik sehingga harga jualnya terjangkau oleh masyarakat yang membutuhkan.15 Dalam hal dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, dapat dilihat dari besarnya subsidi BBM dalam anggaran belanja negara. Adanya kenaikan harga minyak dunia yang berdampak terhadap harga minyak Indonesia menyebabkan terjadinya kelangkaan minyak, sehingga pemerintah harus mengurangi subsidi BBM. Dalam hal ini melalui bentuk konversi minyak tanah ke LPG terutama untuk LPG 3 kg bagi seluruh masyarakat, baik bagi rumah tangga maupun pelaku usaha dalam hal ini usaha mikro. Hal ini dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi besarnya subsidi terhadap minyak dalam anggaran belanja negara.
15
Ibid, Hal. 11
18
2.5.
Usaha Mikro Kriteria kelompok usaha mikro adalah usaha produktif milik orang
perorangan dan/ atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).16 Usaha Mikro yaitu usaha produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia dan memiliki hasil penjualan paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per tahun, dan dapat mengajukan kredit kepada bank paling banyak Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).17 Adapun ciri-ciri usaha mikro: 1.
Jenis barang/komoditi usahanya tidak selalu tetap, sewaktu-waktu dapat berganti;
2.
Tempat usahanya tidak selalu menetap, sewaktu-waktu dapat pindah tempat;
3.
Belum melakukan administrasi keuangan yang sederhana sekalipun, dan tidak memisahkan keuangan keluarga dengan keuangan usaha;
4.
Sumber daya manusianya (pengusahanya) belum memiliki jiwa wirausaha yang memadai;
5.
Tingkat pendidikan rata-rata relatif sangat rendah;
16
Bank Indonesia. 2003. Usaha Mikro sebagaimana dimaksud menurut Keputusan menteri Keuangan No. 40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003. www.bi.go.id/biweb/utama/ peraturan/pib-5-18-03.pdf. [27 Oktober 2010]
17
Kementerian Koperasi. 2008. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menurut UndangUndang No. 2 Tahun 2008 tentang UMKM. htpp://www.depkop.go.id/index.php?option=com_ content&view=article&id=129 [28 Januari 2011]
19
6.
Umumnya belum akses kepada perbankan, namun sebagian dari mereka sudah akses ke lembaga keuangan non bank;
7.
Umumnya tidak memiliki izin usaha atau persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP. Adapun contoh usaha mikro adalah sebagai berikut:
1.
Usaha tani pemilik dan penggarap perorangan, peternak, nelayan dan pembudidaya;
2.
Industri makanan dan minuman, industri meubelair pengolahan kayu dan rotan, industri pandai besi pembuat alat-alat;
3.
Usaha perdagangan seperti kaki lima serta pedagang di pasar dan lain-lain;
4.
Peternak ayam, itik dan perikanan;
5.
Usaha jasa-jasa seperti perbengkelan, salon kecantikan, ojek dan penjahit (konveksi). Usaha mikro dalam hal ini merupakan studi kasus usaha mikro di Kota
Bogor, yaitu usaha pedagang bakso yang merupakan pedagang kaki lima di Kota Bogor. Pedagang bakso kaki lima ini termasuk usaha mikro yang terkena dampak dari adanya kebijakan pemerintah melalui konversi minyak tanah ke LPG, dimana mereka harus menyesuaikan dalam penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar kemudian beralih ke LPG. 2.5.1
Pedagang Mikro Pedagang Mikro adalah suatu bentuk kegiatan ekonomi yang berskala
kecil yang banyak dilakukan oleh sebagian masyarakat lapisan bawah dengan sektor informal atau perekonomian subsisten, dengan ciri-ciri tidak memperoleh
20
pendidikan formal yang tinggi, keterampilan rendah, pelanggannya banyak berasal dari kelas bawah, sebagian pekerja adalah keluarga dan dikerjakan secara padat karya serta penjualan eceran, dengan modal pinjaman dari bank formal kurang dari dua puluh lima juta rupiah guna modal usahanya.18 2.5.2
Pedagang Kaki Lima Pedagang kaki lima yang dapat disingkat PKL adalah penjual barang dan
atau jasa yang secara perorangan dan atau kelompok berusaha dalam kegiatan ekonomi yang tergolong dalam skala usaha mikro atau kecil yang menggunakan fasilitas umum dan bersifat sementara/tidak menetap dengan menggunakan peralatan bergerak maupun tidak bergerak dan atau menggunakan sarana berdagang yang mudah dipindahkan dan dibongkar pasang.19 PKL adalah termasuk usaha kecil yang berorientasi pada laba (profit) layaknya sebuah kewirausahaan (entrepreneurship). PKL mempunyai cara tersendiri dalam mengelola usahanya agar mendapatkan keuntungan dan menjadi manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan usaha, menggerakkan usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya, padahal fungsi-fungsi manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka dapatkan dari pendidikan formal. Manajemen usahanya berdasarkan pada pengalaman dan alur pikir mereka yang otomatis terbentuk sendiri berdasarkan
18
19
Deperindag dan Abdullah et. all: 1996 dalam Moh. Ridwan. 2006. Determinan Dari Kredit Rentenir Untuk Pedagang (Studi Kasus Pada Pedagang Mikro di Pasar Tradisional Gunungkidul, Yogyakarta) [skripsi]. Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 13 tahun 2005 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima. Pasal 1.
21
arahan ilmu manajemen pengelolaan usaha, hal inilah yang disebut “learning by experience” (belajar dari pengalaman). Kemampuan manajerial memang sangat diperlukan PKL guna meningkatkan kinerja usaha mereka, selain itu motivasi juga sangat diperlukan guna memacu keinginan para PKL untuk mengembangkan usahanya.20
2.6.
Teori Efisiensi
2.6.1
Efisiensi dalam Ekonomi Efisiensi ekonomi mempersyaratkan penghindaran pemborosan sumber
daya, hal ini guna memastikan pemanfaatan sepenuhnya semua sumber daya. Sumber ketidakefisienan mengisyaratkan kondisi penting yang harus dipenuhi agar efisiensi ekonomi tercapai. Kondisi ini dikelompokkan menjadi efisiensi produksi dan efisiensi alokasi. Efisiensi produksi mempersyaratkan bahwa tiaptiap perusahaan memproduksi keluarannya dengan mengkombinasikan faktorfaktor produksi sedemikian hingga rasio hasil marjinal dari setiap pasang faktor dibuat sama dengan rasio harga mereka. Sedangkan efisiensi alokasi dimana alokasi sumber daya ekonomi dikatakan efisien bila, untuk setiap barang yang diproduksi, biaya marginal produksinya sama dengan harganya. Hal ini telah ditelaah oleh ahli pakar ekonomi Italia Vilfredo Pareto (1848-1923). Karenanya,
20
Mulyanto (2007) dalam Santoso, S. 2008. “Konsep Sektor Informal: Pedagang Kaki Lima”. http://www.santoso.blogspot.com/2008/07/konsep-sektor-informal-pedagang-kaki_28.html [ 28 Januari 2011]
22
efisiensi dalam penggunaan sumber daya sering kali dinamai optimalisasi pareto atau efisiensi pareto untuk menghormatinya.21 Barang y
Y2
b d
Y1
a X1
c X2
Barang x
Gambar 2.1. Efisiensi Produksi dan Alokasi. Kurva pada Gambar 2.1. ini memperlihatkan semua kombinasi dua barang X dan Y yang dapat diproduksi bilamana sumber daya ekonomi dimanfaatkan sepenuhnya dan digunakan dengan efisiensi produksi. Sembarang titik pada kurva kemungkinan produksi adalah efisien dari segi produksi, tidak semua titik pada kurva ini efisien dari segi alokasi. Sembarang titik dalam kurva, seperti a, tidak efisien dari segi produksi. Jika ketidak-efisienan terjadi dalam industri x, produksi dapat direalokasikan diantara perusahaan-perusahaan dalam industri tersebut sedemikian hingga menaikkan produksi X dari X1 ke X2. Ini akan memindahkan ekonommi dari titik a ke titik c, meningkatkan produksi X tanpa mengurangi produksi Y. Demikian pula, jika ketidak-efisienan terjadi di industri Y, produksi Y dapat ditingkatkan 21
Lipsey et all, 1997. Pengantar Mikroekonomi Edisi Kesepuluh Jilid Dua. Binarupa Aksara. Jakarta. Bab 15 Kebijakan Publik Terhadap Monopoli dan Persaingan Sub Bab Efisiensi Ekonomi, hal. 96-99.
23
dari Y1 ke Y2, yang akan memindahkan ekonomi dari titik a ke titik b. Jika kedua industri tidak efisien dari segi alokasi, produksi dapat ditingkatkan untuk membawa ekonomi ke titik tertentu pada kurva diantara b dan c, dan dengan demikian meningkatkan produksi kedua komoditas tersebut. Efisiensi alokasi menyangkut penetapan titik paling efisien pada kurva kemungkinan produksi. Menetapkan efisiensi alokasi berarti menilai berbagai titik pada kurva, seperti b, c, dan d. Biasanya hanya satu titik seperti itu yang efisien dari segi alokasi, sedangkan titik-titik lainnya akan tidak efisien. Ada beberapa cara untuk mengukur dan atau membandingkan tingkat efisiensi antar kelompok perusahaan dalam suatu proses produksi (Saragih, 1980), yaitu :22 1. Efisiensi teknis; dua perusahaan mempunyai efisiensi teknis yang berbeda jika pada tingkat penggunaan input yang sama tingkat output yang dihasiilkan berbeda. 2. Efisiensi harga; dua perusahaan mempunyai efisiensi harga berbeda bila masing-masing perusahaan mempunyai kesanggupan yang berbeda dalam hal menyamakan nilai produksi marginal suatu input tidak tetap dengan harga input tidak tetap bersangkutan. 3. Efisiensi ekonomi; dua perusahaan mempunyai efisiensi ekonomi yang berbeda walupun keduanya beroperasi pada kondisi pasar input maupun pasar
22
Saragih (1980) dalam Warsana (2007). Analisis Efisiensi dan Keuntungan Usaha Tani Jagung (Studi di Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora) [tesis]. Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Diponegoro. Semarang.
24
output yang sama tetapi mungkin masing-masing mendapat perlakuan harga yang berbeda, atau dapat dikatakan bahwa efisiensi ekonomi merupakan gabungan antara efisiensi teknis dan efisiensi harga. Alokasi yang Efisien Pareto (Pareto Efficient Alocation) menurut Nicholson (1999), alokasi sumber daya bersifat efisien pareto jika tidak mungkin lagi (melalui alokasi ulang) bagi seseorang untuk berada dalam kondisi yang lebih baik tanpa membuat seseorang lainnya menjadi lebih buruk. Kondisi ini dikelompokkan menjadi efisiensi dalam produksi dan efisiensi dalam pertukaran. Namun dalam hal ini saya hanya akan menjelaskan efisiensi dalam produksi. 2.6.1.1 Efisiensi dalam Produksi Alokasi sumber daya adalah efisien dalam produksi (atau efisiensi teknis) jika tidak ada lagi alokasi ulang lebih lanjut yang akan memungkinkan peningkatan produksi salah satu barang tanpa menurunkan produksi barang lainnya.23 Pada diagram di bawah ini, menggambarkan kurva produksi sama untuk X dan Y (Gambar 2.2.) Jadi diagram ini memperlihatkan cara-cara yang efisien secara teknis untuk mengalokasikan jumlah K dan L yang tetap di antara produksi dua keluaran. Garis yang menghubungkan Ox dan Oy adalah tempat kedudukan titik-titik yang efisien ini. Di sepanjang garis ini, RTS (dari L terhadap K) dalam produksi barang X adalah sama terhadap RTS dalam produksi Y.
23
Nicholson, 1991. Teori Mikroekonomi Jilid 1. Binarupa Aksara. Jakarta.
25
Qy
Q Y1 Y2
P4
Y3
P3
X3
X4
P2 Y4
P1
Total K
X1
A X2
Qx
Total L
Gambar 2.2. Diagram Kotak Edgeworth untuk Efisiensi dalam Produksi Perimbangan di antara keluaran diperlukan berdasarkan pergerakan di sepanjang batas kemungkinan produksi yang mencerminkan sifat efisien secara teknis dari semua alokasi di batas kemungkinan produksi itu. Efisiensi teknis adalah prasyarat yang jelas untuk efisiensi Pareto secara keseluruhan. Peningkatan keluaran ini dapat diberikan kepada seseorang membuatnya berada dalam posisi yang lebih baik (dan tidak seorang pun menjadi lebih buruk). Jadi, inefisiensi dalam produksi juga inefisiensi pareto. Tetapi, seperti yang akan kita lihat dalam bagian berikutnya, efisiensi teknis tidak menjamin efisiensi pareto. Sebuah perekonomian dapat efisiensi dalam memproduksi barang yang salah. 2.6.2
Asas-asas Efisiensi Penataan terhadap tatausaha dan pelaksanaan bidang kerja harus selalu
berkiblat pada efisiensi. Efisiensi ini sendiri perlu sekali dijadikan satu-satunya dasar pemikiran, ukuran baku, dan tujuan pokok bagi semua pelaksanaan kerja ketatausahaan. Efisiensi adalah suatu asas dasar tentang perbandingan terbaik
26
antara suatu usaha dengan hasilnya. Perbandingan ini dapat dilihat dari 2 segi yaitu :24 1. Segi Usaha: suatu kegiatan dapat dikatakan efisien jika sesuatu hasil tertentu tercapai dengan usaha yang sekecil-kecilnya. Pengertian usaha dapat dikembalikan pada 5 unsur yang dapat juga disebut sumbersumber kerja, yakni: a. Pikiran (untuk mencapai cara yang termudah) b. Tenaga (untuk mencapai cara yang teringan) c. Waktu (untuk mencapai cara yang tercepat) d. Ruang (untuk mencapai cara yang terdekat) e. Benda, termasuk uang (untuk mencapai cara yang termurah).
Usaha biasa
Usaha lebih kecil
Usaha terkecil
A
B
Hasil tertentu
c
Gambar 2.3. Efisiensi dari Segi Usaha
24
The Liang Gie, PhD. 1995. Administrasi Perkantoran Modern Edisi Keempat (dengan tambahan). Liberty Yogyakarta. Bab 10 Efisiensi Perkantoran, hlm. 171-172.
27
Dari Gambar 2.3. diatas, dapat dilihat bahwa usaha huruf C adalah efisien karena memberikan perbandingan yang terbaik dilihat dari sudut usaha, yaitu paling sedikit mengeluarkan lima sumber kerja untuk mencapai hasil tertentu yang diharapkan. 2. Segi Hasil: suatu kegiatan dapat disebut efisien jika dengan sesuatu usaha tertentu memberikan hasil yang sebanyak-banyaknya, baik yang mengenai mutunya ataupun jumlah satuan hasil itu.
Hasil biasa
A
Usaha tertentu
B
Hasil lebih besar
C Hasil terbesar
Gambar 2.4. Efisiensi dari Segi Hasil Dari Gambar 2.4. diatas, dapat dilihat bahwa hasil huruf C adalah yang efisien karena menunjukkan perbandingan yang terbaik ditinjau dari sudut hasil, yaitu memberikan hasil yang paling besar mengenai jumlah atau mutunya. Efisiensi pada usaha mikro dalam hal ini pedagang bakso kaki lima, erat kaitannya dengan penggunaan input produksi seperti bahan bakar untuk menghasilkan suatu output tertentu yaitu bakso. Efisiensi disini lebih kepada efisiensi teknis, dimana dampak adanya konversi minyak tanah ke LPG, yaitu
28
input bahan bakar minyak tanah dialokasikan kepada input bahan bakar LPG. Selain itu, efisiensi disini juga meliputi efisiensi dari segi usaha yang berupa pengematan terhadap benda termasuk uang (untuk mencapai cara yang termurah), tenaga (untuk mencapai cara yang teringan), waktu (untuk mencapai cara yang tercepat) dan pikiran (untuk mencapai cara yang termudah). Hal ini tentunya akan berdampak pada produksi pedagang bakso kaki lima, juga akan berdampak tehadap pengeluarannya untuk membeli bahan bakar tersebut serta penerimaan pedagang bakso kaki lima.
2.7.
Penelitian Terdahulu Dalam penelitian terdahulu terdapat beberapa penelitian yang dapat
dikategorikan berdasarkan metode yang digunakan, serta berdasarkan penelitian yang sejenis. Penelitian terdahulu tersebut adalah penelitian mengenai perubahan penggunaan energi dari minyak tanah ke gas, kenaikkan dan subsidi BBM serta pola efisiensi industri kecil. Sedangkan perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, bahwa pada penelitian yang berjudul dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010) dan efisiensi usaha mikro (studi kasus Kota Bogor) dengan menggunakan analisis deskriptif, belum pernah dilakukan. Penelitian ini akan menjelaskan adanya konversi minyak tanah ke LPG dampaknya terhadap struktur subsidi dalam APBN dan dampaknya terhadap efisiensi usaha mikro dimana studi kasus yang diambil adalah pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor.
29
a. Penelitian terdahulu tentang Perubahan Penggunaan Energi dari Minyak
Tanah ke LPG. Penelitian tentang perubahan penggunaan energi dari minyak tanah ke LPG, mengenai “Pola Pengeluaran, Persepsi, dan Kepuasan Keluarga terhadap Perubahan Penggunaan Energi dari Minyak Tanah ke LPG”. Penelitian ini dilakukan di dua Desa yaitu Desa Cikarang Kabupaten Bogor dan Desa Setu Gede Kotamadya Bogor pada Oktober 2008. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survei, dengan mengambil total contoh penelitian yaitu sebanyak 30 rumah tangga, dengan masing-masing contoh penelitian setiap desa adalah 15 rumah tangga. Hasil penelitiannya menunjukkan, rata-rata pengeluaran rumah tangga per bulan untuk pembelian bahan bakar setelah program konversi BBM dilaksanakan mengalami penurunan. Sebelum program konversi dilaksanakan rata-rata pengeluaran untuk membeli bahan bakar dari Rp 96.500,00 per bulan, dan setelah program konversi menjadi Rp 58.800,00 per bulan atau terjadi penghematan pengeluaran rumah tangga sebesar Rp 37.700,00 per bulan.
Sebagian besar
responden menyetujui program konversi yang dapat membantu mengurangi pengeluaran rumah tangga, penggunaan LPG lebih menguntungkan dibandingkan minyak tanah, menerima LPG sebagai pengganti minyak tanah, dan tidak ada unsur keterpaksaan dalam menjalankan program konversi ini. Dilihat dari tingkat kepuasan, responden lebih merasa puas dengan keamanan menggunakan minyak tanah dan kebutuhan biaya untuk membeli bahan bakar. Meskipun, masih terdapat responden yang merasa kurang puas dengan harga LPG, namun di sisi lain,
30
penggunaan LPG juga dirasakan lebih efisien dari segi waktu, lebih bersih, dan lebih praktis dibandingkan dengan menggunakan minyak tanah.25 b. Penelitian terdahulu tentang Dampak Kenaikan BBM.
Studi mengenai “Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Pendapatan dan Pengeluaran Rumah Tangga di Kota Bogor (Studi Kasus Rumah Tangga Pengojek Pengguna Kredit Motor)”. Penelitian ini menganalisis pengaruh kenaikan harga BBM terhadap pendapatan dan pengeluaran konsumsi rumah tangga pengojek, serta pengaruhnya terhadap daya bayar cicilan kredit motor. Penelitian tersebut menggunakan data primer, selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan uraian. Analisis data dilakukan secara kualitatif dan dijabarkan dalam pendeskripsian. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa adanya kenaikan harga BBM berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pendapatan rumah tangga pengojek motor. Sementara itu, kenaikan harga BBM berpengaruh positif dan signifikan terhadap pengeluaran konsumsi rumah tangga pengojek.26 c. Penelitian Terdahulu tentang Subsidi BBM
Studi mengenai “Apakah persoalannya pada subsidi BBM? Tinjauan terhadap masalah subsidi BBM, ketergantungan pada minyak bumi, manajemen energi nasional, dan pembangunan infrastruktur energi”, menguraikan tentang
25
Simanjuntaki, M., R.A.B. Kusumo, dan M. Nasarullah. 2009. “Pola Pengeluaran, Persepsi, dan kepuasan Keluarga Terhadap Perubahan Penggunaan Energi dari Minyak tanah ke LPG”. Jurnal Ilmu keluarga dan Konsumen, Volume 2 Nomor 2 ISSN : 1907 – 6037. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor. [28 Oktober 2010]
26
Rahmadini, Anadia. 2007. Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga di Kota Bogor (Studi kasus Rumah tangga Pengojek Pengguna Kredit Motor) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
31
pengertian dasar, praktek, dan kritik mengenai subsidi BBM yang diterapkan di Tanah Air. Dikemukakan perkembangan perdagangan minyak bumi yang dilakukan Indonesia. Lebih jauh, melihat bahwa masalah subsidi BBM sangat erat kaitannya dengan ketergantungan Indonesia yang sangat besar terhadap BBM dalam konsumsi energi nasionalnya, suatu hal yang tidak sehat karena negeri ini memiliki berbagai macam sumber energi yang lain. Dikemukakan langkah keluar dari perangkap subsidi BBM, bahwa sebagian masalah subsidi BBM dapat diatasi melalui pengembangan manajemen energi nasional, yang menekankan efisiensi konsumsi BBM dan pengembangan diversifikasi sumber energi. Upaya diversifikasi energi dipertegas melalui rencana pembangunan infrastruktur energi.27 Kemudian studi mengenai “Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Iklim Usaha (Studi Kasus Pemotongan Subsidi BBM)”, menguraikan tentang kenaikan harga BBM sebesar 28,7 persen diprediksikan akan berdampak pada peningkatan nilai produksi usaha mikro 8,4 persen, usaha kecil 7,1 persen dan usaha menengah 15 persen. Tetapi kenaikan harga BBM tersebut berakibat pada kenaikan biaya produksi UMKM, biaya produksi usaha mikro 34 persen, usaha kecil 24,6 persen dan usaha menengah 129,6 persen. Akibatnya usaha mikro menderita kerugian 20,56 persen, usaha kecil 21,8 persen dan usaha menengah 12,2 persen. Kenaikan harga BBM juga telah menyebabkan menurunnya penyerapan tenaga kerja oleh
27
Nugroho, Hanan. 2005. “Apakah Persoalannya pada Subsidi BBM? Tinjauan terhadap Masalah Subsidi BBM, Ketergantungan pada Minyak Bumi, Manajemen Energi Nasional, dan Pengembangan Infrastruktur Energi”. Jurnal Perencanaan Pembangunan, Edisi 02, Tahun X. Perencanaan Bidang Energi BAPPENAS. [01 Maret 2011]
32
usaha mikro sebesar 1,5 persen, usaha kecil 3,2 persen dan usaha menengah 2,5 persen. Untuk mengantisipasi menurunnya kualitas dan kuantitas keberhasilan program pemberdayaan UKM, idealnya memang perlu dipikirkan solusi penggunaan dana hasil pemotongan subsidi BBM, untuk mendukung programprogram perkuatan UMKM dan Koperasi. Beberapa langkah kebijakan pemerintah seperti BLT, Raskin dan Askeskin tidak akan berperan dalam mengatasi masalah yang dihadapi UMKM sedangkan efektifitas Program KUR, dan PNPM-Mandiri masih perlu dikaji lebih lanjut. Oleh karena sekarang ini belum ada program-program yang dapat menjamin peningkatan upaya pemberdayaan khususnya untuk dapat mengatasi dampak kenaikan harga BBM maka diperlukan adanya solusi dalam bentuk konsep kebijakan pemerintah. Salah satu solusi tersebut dengan mengembangkan program perkuatan UMKM dalam banyak hal dapat mengindikasikan kemampuannya untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan pendapatan UMKM.28 d. Penelitian Terdahulu tentang Efisiensi
Studi mengenai efisiensi industri kecil, data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder baik dari media cetak maupun media elektronik. Hasil penelitian diperoleh bahwa untuk tetap bertahan, industri kecil pengolahan pangan melakukan efisiensi meliputi penyesuaian terhadap input, proses produksi, output dan manajemen. Efisiensi dari sisi input, industri kecil
28
Siahaan, Rapma. 2008. “Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Iklim Usaha UMKM (Studi Kasus Pemotongan Subsidi BBM)”. Jurnal INFOKOP, Volume 16.
33
melakukan perluasan lokasi sumber bahan baku dan pembelian bahan baku secara kelompok, dari sisi proses produksi industri kecil pangan melakukan perubahan pada proses sehingga meningkatkan keawetan pangan maupun rasa yang lebih menarik konsumen, dari sisi output industri kecil melakukan difersifikasi produk secara kelompok, memilih bahan kemasan yang lebih menarik, dan dari sisi manajemen industri melakukan sistem pengupahan berdasarkan prestasi kerja, penataan tata letak atau lay-out side plan, dan pengelolaan mutu secara keseluruhan.29
2.8.
Kerangka Pemikiran Alur pemikiran konseptual dalam penelitian ini berawal dari kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 1 Oktober 2005 yang disebabkan oleh tingginya harga minyak dunia (West Texas Intermediate Spot Average) yaitu ratarata sebesar USD 53,4 per barel yang kemudian meningkat menjadi USD 64,3 per barel dan USD 72,3 per barel pada tahun 2006 dan 2007. Kenaikan harga minyak dunia yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia ini, memaksa Pemerintah untuk mengambil keputusan yang amat berat dengan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) selama dua kali pada tahun 2005. Hal ini menyebabkan semakin mahalnya biaya yang ditanggung masyarakat untuk membeli BBM. Selain itu, kenaikkan harga minyak mentah Internasional ini
29
Siahaan, UB. H. dan Sunaridjan. 1999. “Pola Efisiensi Industri Kecil”. Pusat Analisa Perkembangan IPTEK-LIPI. Voleme 10 Nomor 22. http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/ index.php/searchkatalog/byId/80 [ 29 Oktober 2010]
34
memberikan dampak semakin besarnya beban subsidi yang harus ditanggung oleh pemerintah. Sehingga terjadinya defisit anggaran pemerintah untuk mensubsidi BBM. Meningkatnya beban subsidi BBM akan membawa akibat terhadap pengurangan anggaran belanja pemerintah terhadap struktur subsidi dalam APBN. Untuk mengurangi beban anggaran subsidi BBM dalam APBN, pemerintah melakukan salah satu upaya melalui program konversi minyak tanah ke LPG, yang dimulai dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012. Melalui program konversi minyak tanah ke LPG khususnya LPG 3 kg, akan dilihat bagaimana pengaruhnya terhadap kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG 3 kg (2005-2010) serta pengaruhnya terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010) dan pengaruhnya terhadap efisiensi usaha bagi usaha mikro khususnya pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor. Hal ini akan dijelaskan dengan menggunakan analisis deskriptif. Dampaknya pada efisiensi usaha mikro dilihat dari sisi efisiensi produksi atau efisiensi teknis dan efisiensi atau hemat dari sisi biaya, waktu serta tenaga pada pedagang bakso kaki lima, yang kemudian berpengaruh terhadap pengeluaran serta penerimaannya, dan persepsi dari pedagang bakso atas program konversi tersebut. Sehingga nantinya diharapkan dapat memberikan saran serta rekomendasi agar program konversi ini dapat memberikan dampak positif bagi para pelaku usaha khususnya usaha mikro dan bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan. Kerangka pemikiran aliran dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010) dan efisiensi usaha mikro (studi kasus Kota Bogor), dapat dilihat pada Gambar 2.5.
35
Harga minyak dunia semakin tinggi. Harga minyak Indonesia tinggi.
Defisit Anggaran
Pengurangan subsidi BBM Kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG (2005-2010)
Program konversi minyak tanah ke LPG (2007-2012)
Struktur subsidi APBN (2007-2010)
Efisiensi usaha mikro (pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor)
Analisis efisiensi teknis, efisiensi (hemat) biaya, waktu dan tenaga pedagang bakso kaki lima Perubahan pengeluaran dan penerimaan pedagang bakso Persepsi pedagang bakso
Analisis deskriptif
Saran dan rekomendasi Gamabar 2.5. Kerangka Pemikiran
36
2.9.
Hipotesis Penelitian Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini berupa dugaan mengenai
dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (20072010) dan pola efisiensi usaha mikro (studi kasus Kota Bogor) adalah sebagai berikut: 1. Melalui program konversi minyak tanah ke LPG ini diharapkan dapat mengurangi defisit anggaran APBN. 2. Melalui program konversi minyak tanah ke LPG ini diharapkan dapat mengurangi besarnya subsidi BBM dalam APBN. 3. Para pelaku usaha mikro diharapkan dapat memperoleh keuntungan dengan adanya program konversi minyak tanah ke LPG. 4. Usaha mikro khususnya pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor, diharapkan melalui program konversi minyak tanah ke LPG ini dapat melakukan efisiensi produksinya terutama dalam hal penggunaan bahan bakar untuk memasak.
III. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai metodologi penelitian yang digunakan dalam menganalisa dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN tahun 2007 sampai dengan tahun 2010 dan efisiensi usaha mikro di Kota Bogor. Bab ini diawali dengan pembahasan mengenai lokasi dan waktu penelitian, jenis dan sumber data, kerangka sampel, kemudian diikuti dengan penjelasan mengenai metode analisis dan pengolahan data yang digunakan.
3.1
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian untuk usaha mikro khususnya pedagang mikro yaitu pedagang
bakso kaki lima dilaksanakan di Kota Bogor. Kegiatan penelitian dilaksanakan selama bulan Maret sampai dengan bulan April 2011. Waktu tersebut digunakan untuk pengambilan informasi dan data dari pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja (Purposive) dengan mempertimbangkan bahwa pedagang bakso kaki lima banyak berjualan di lokasi tersebut dan awalnya mereka menggunakan bahan bakar minyak tanah kemudian beralih ke gas (LPG 3 kg).
3.2
Jenis dan Sumber Data Dalam penelitian ini data yang digunakan meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara secara
38
langsung menggunakan kuesioner dengan pelaku usaha mikro khususnya pedagang mikro di Kota Bogor yaitu pedagang bakso kaki lima. Dimana pedagang bakso disini awalnya menggunakan bahan bakar minyak tanah kemudian beralih ke LPG 3 kg. Sedangkan data sekunder diperoleh dari pihak-pihak yang terkait antara lain: berasal dari BPS, Kementerian Keuangan, Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, Ditjen Migas dan ESDM
(Energi
dan Sumberdaya Mineral),
PERTAMINA, dan data-data penunjang laporan hasil penelitian terkait, jurnal, buletin, internet, serta sumber-sumber lainnya yang relevan.
3.3
Kerangka Sampel Penelitian untuk dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap usaha
mikro, dengan melakukan pengambilan sampel pada usaha mikro di Kota Bogor dengan ruang lingkup pedagang mikro yaitu pedagang bakso kaki lima yang berlokasi di enam Kecamatan di Kota Bogor. Pedagang kaki lima (PKL) ini yang berlokasi: Kecamatan Bogor Tengah
: diwakili oleh Jl. Dewi Sartika, Jl. Kapten Muslihat dan Jl. Merdeka.
Kecamatan Bogor Selatan
: diwakili oleh Jl. Surya Kencana dan Jl. Cikaret.
Kecamatan Bogor Barat
: diwakili oleh Jl. Semeru dan Jl. Sawojajar.
Kecamatan Bogor Timur
: diwakili oleh Jl. Siliwangi, Jl. Malabar dan Jl. Pajajaran (Sekitar Terminal, Cidangiang, Hero).
39
Kecamatan Bogor Utara
: diwakili oleh Jl. Raya Kedung Halang dan Jl. Villa Bogor Indah.
Kecamatan Tanah Sareal
: diwakili oleh Kebon Pedes dan Jl. Cimanggu Permai.
Lokasi tersebut dipilih sebagai PKL sampel untuk usaha mikro karena sebagian besar PKL yang berlokasi di jalan tersebut terdapat PKL dalam jumlah yang banyak. Penarikan sampel dilakukan kepada 30 pedagang bakso kaki lima pada beberapa lokasi yang mewakili keenam kecamatan di Kota Bogor tersebut untuk memenuhi syarat sebaran normal. Pemilihan sampel pedagang bakso kaki lima dilakukan dengan metode Purposive Sampling atau yang disebut juga judgemented sampling, yaitu penarikan sampel berdasarkan pertimbangan objektif dan kriteria tertentu dari penelitian.30 Sampel pedagang bakso kaki lima yang dipilih dengan kriteria adalah pedagang-pedagang yang minimal berdagang sejak tahun 2006 dan sebelumnya menggunakan bahan bakar minyak tanah kemudian beralih ke bahan bakar LPG 3 kg. Hal ini dilakukan mengingat tujuan penelitian adalah untuk menganalisis dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap efisiensi usaha mikro.
3.4
Metode Analisis dan Pengolahan Data Analisis data dilakukan setelah data berhasil dikumpulkan dari kegiatan
penelitian. Data tersebut selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan uraian.
30
Juanda, Bambang. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis Edisi Kedua. Bogor: IPB Press. Hal 113-114
40
Sebagian data didapat melalui kuesioner dan wawancara terstruktur dengan pedagang sampel, pengamatan langsung di wilayah sampel dan pendukung lainnya. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Data kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel 2007. 3.4.1
Analisis Kondisi Penggunaan Minyak Tanah dan LPG di Indonesia dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2010 Analisis diawali dengan menjelaskan kondisi produksi minyak tanah dan
LPG serta kondisi masyarakat Indonesia dalam penggunaan minyak tanah yang kemudian beralih ke LPG. Dimana dibatasi oleh peneliti, produksi dan penggunaan minyak tanah serta LPG pada masyarakat yaitu dimulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010 yaitu sebelum dan sesudah program konversi minyak tanah ke LPG berlangsung. Untuk melihat adanya perubahan pada produksi dan konsumsi atau penggunaan minyak tanah serta LPG ini akan dijelaskan dengan tabel dan dijabarkan dalam pendeskripsian. 3.4.2
Analisis Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Struktur Subsidi APBN Dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN
akan dijelaskan melalui tabel Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berasal dari Anggaran Belanja Pemerintah Pusat dalam hal ini subsidi energi yaitu subsidi BBM/ LPG dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan struktur subsidi APBN sebelum dan sesudah adanya program konversi minyak tanah ke LPG. Sebelum adanya program konversi ini, dibatasi dari tahun 2005 sampai dengan
41
tahun 2006 dan setelah adanya program konversi dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2010. Dimana akan dianalisis ada atau tidaknya perubahan dari besarnya anggaran belanja pemerintah pusat yaitu subsidi BBM/ LPG melalui tabel dan penjabaran secara pendeskripsian. 3.4.3
Analisis Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Efisiensi Usaha Mikro Dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap efisiensi usaha mikro,
juga menggunakan analisis deskriptif. Dimana akan dianalisis efisiensi teknis yaitu efisiensi (hemat) biaya, waktu, dan tenaga pada pedagang mikro yaitu pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor. Kemudian dianalisis juga pengaruhnya terhadap pengeluaran, pendapatan serta persepsi dari pedagang bakso tersebut. Lebih lanjut akan dianalisis perilaku pedagang bakso terhadap penggunaan bahan bakar minyak tanah dan LPG dengan menggunakan metode kuisioner dan wawancara. Kemudian akan ditelaah melalui pendapat pedagang bakso dalam memasak bakso mengenani efisiensi meliputi penyesuaian terhadap proses memasak dengan bahan bakar tersebut. Efisiensi (hemat) dapat dilihat dari sisi biaya, dimana pedagang bakso untuk mencapai cara yang termurah, dari sisi waktu dimana pedagang bakso untuk mencapai cara yang tercepat, dari sisi tenaga dimana pedagang bakso untuk mencapai cara yang teringan dan termudah dengan adanya konversi penggunaan bahan bakar dari minyak tanah ke LPG tersebut. Selain itu memberikan gambaran mengenai pengeluaran dan penerimaan, serta persepsi pedagang bakso kaki lima sebelum dan setelah adanyah konversi minyak tanah ke LPG juga akan dideskripsikan.
42
Untuk analisis dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap efisiensi usaha mikro (pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor), teknik analisis yang digunakan adalah menggali persepsi responden pedagang bakso kaki lima terhadap pengeluaran dan penerimaan usaha setelah dilakukannya program konversi bahan bakar minyak tanah ke bahan bakar gas/LPG 3 kg.
IV. GAMBARAN UMUM SUBSIDI BBM
4.1
Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) APBN yang merupakan kependekan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, merupakan instrumen utama yang digunakan pemerintahan Negara kita untuk menjalankan roda pemerintahannya.31 Pada siklus dan mekanisme dalam APBN ini meliputi: (a) tahap penyusunan RAPBN oleh Pemerintah; (b) tahap pembahasan dan penetapan RAPBN menjadi APBN oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat; (c) tahap pelaksanaan APBN; (d) tahap pengawasan pelaksanaan APBN oleh instansi yang berwenang, antara lain Badan Pemeriksa Keuangan; dan (e) tahap pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. Siklus APBN akan berakhir pada saat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) disahkan oleh DPR.32 Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) didalamnya meliputi: (a) Pendapatan negara (meliputi penerimaan dalam negeri yang berupa penerimaan perpajakan dan negara bukan pajak) dan hibah; (b) Belanja negara (meliputi belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah dan Suspen); (c) Keseimbangan primer; (d) Surplus/ Defisit anggaran (A-B); dan (e) Pembiayaan (baik dalam maupun luar negeri).33 Hal ini akan digambarkan secara ringkas melalui tabel struktur APBN tahun 2010 (Tabel 4.1).
31
Kementerian Keuangan .2008. Mari Kenali APBN. Jakarta: Biro Humas, Setjen Kementerian Keuangan RI. Hal 5.
32
Ibid, Hal 39.
33
Ibid, Hal 15-18.
44
Tabel 4.1. Ringkasan APBN Tahun 2010 (Triliun Rupiah) Uraian APBN A. Pendapatan Negara dan Hibah 949,6 I. Penerimaan Dalam Negeri 948,1 1. Penerimaan Perpajakan 742,7 2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 205,4 II. Hibah 1,5 B. Belanja Negara 1.047,7 I. Belanja Pemerintah Pusat 725,2 1. Belanja Pegawai 160,4 2. Belanja Barang 107 ,1 3. Belanja Modal 82,2 4. Pembayaran Bunga Utang 1 15,6 5. Subsidi 157 ,8 a. Subsidi Energi 105,1 - Subsidi BBM 68,7 - Subsidi Listrik 37,8 b. Subsidi Non Energi 52,7 6. Belanja Hibah 7 ,2 7. Bantuan Sosial 64,3 8. Belanja Lain-lain 30,7 II. Transfer ke Daerah 322,4 C. Surplus/ (Defisit Anggaran) (98,0) D. Pembiayaan 98,0 I. Pembiayaan Dalam Negeri 107,9 II. Pembiayaan Luar Negeri (9,9) Sumber: Kementerian Keuangan (Nota Keuangan dan RAPBN 2011), 2010.
Pada ringkasan APBN tahun 2010 disusun berdasarkan perkembangan pendapatan dan belanja Negara, serta pokok-pokok kebijakan fiskal yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Pada struktur pendapatan negara dan hibah, penerimaan dalam negeri berupa penerimaan perpajakan dalam APBN tahun 2010 memberikan pemasukan bagi Negara yang paling besar, yaitu sebesar 742,7 triliun rupiah. Hal ini dikarenakan pemerintah tetap berupaya mengoptimalisasikan penerimaan perpajakan salah satunya dengan pembinaan pada wajib pajak, dan
45
mengambil kebijakan dibidang kepabeaan cukai. Sedangkan kebijakan di bidang PNBP, dengan optimalisasi penerimaan SDA terutama migas, peningkatan kinerja BUMN dan optimalisasi PNBP dari K/L. a. Belanja Pemerintah Pusat Belanja negara pada APBN meliputi belanja pemerintah pusat, transfer ke daerah dan suspen. Untuk belanja pemerintah pusat menurut jenisnya meliputi: (a) Belanja pegawai (gaji dan tunjangan, honorarium dan vakasi, kontribusi sosial); (b) Belanja barang (belanja barang, belanja jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan, BLU dan PNBP); (c) Belanja modal; (d) Pembayaran bunga utang, subsidi (utang dalam negeri dan utang luar negeri); (e) Subsidi (Energi dan Non energi); (f) Belanja hibah; (g) Bantuan sosial ( penanggulangan bencana dan bantuan yang diberikan oleh K/L); dan (h) Belanja lain-lain (policy measures dan belanja lainnya). Dari sisi Belanja Negara dalam APBN tahun 2010 (Tabel 4.1.), adanya peningkatan pada belanja negara terutama berasal dari kenaikan belanja pemerintah pusat yang mencapai 725,2 triliun rupiah, dibandingkan realisasi tahun 2009 sebesar 628,8 triliun rupiah. Kenaikan tersebut salah satunya dikarenakan kebijakan pemerintah untuk menjaga stabilitas harga barang dan jasa, yaitu dengan mempertahankan harga BBM, penyesuaian yang lebih rendah terhadap rencana kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk dan tarif daya listrik. b. Subsidi BBM Besarnya subsidi energi khususnya subsidi BBM dalam APBN tahun 2010 (Tabel 4.1.), adalah sebesar 68,7 triliun rupiah yang mengalami kenaikan 23,7
46
triliun rupiah pada realisasi tahun 2009. Kenaikan ini salah satunya dipicu oleh perubahan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dan perubahan parameter yang digunakan dalam perhitungan subsidi. Sehingga dari tahun ke tahun pemberian subsidi khususnya BBM mengalami perubahan. Subsidi BBM diberikan dengan maksud untuk mengendalikan harga jual BBM, sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat di dalam negeri, sehingga dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. BBM bersubsidi hanya diberikan pada beberapa jenis BBM tertentu, yaitu minyak tanah (kerosene), minyak solar (gas oil), premium kecuali untuk industri, dan LPG tabung 3 kilogram. Sementara itu, dalam APBN tahun 2010 (Tabel 4.1.), transfer ke daerah mencapai 322,4 triliun rupiah mengalami peningkatan dari realisasi tahun 2009 sebesar 308,6 triliun rupiah. Peningkatan disebabkan terutama oleh kenaikan dana bagi hasil (DBH) ke daerah dalam rangka mendukung penguatan desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah. Berdasarkan pendapatan dan belanja negara tersebut, defisit anggaran mencapai 98,0 triliun rupiah. Tingginya defisit tersebut disebabkan oleh ekspansi fiskal pemerintah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi. Guna menutupi defisit APBN tersebut, pemerintah memprioritaskan pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri sebesar 107,9 triliun rupiah.
47
4.2
Kondisi Geografis dan Demografi Kota Bogor Secara geografis Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS,
kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi dan pariwisata. Luas wilayah Kota Bogor sekitar 111,73 kilometer persegi atau sebesar 11.850 Ha terdiri dari 6 kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan, Bogor Utara, Bogor Timur, Bogor Tengah, Bogor Barat dan Tanah Sareal, yang meliputi 68 Kelurahan. Kemudian secara administratif, Kota Bogor terdiri dari 6 wilayah kecamatan, 31 Kelurahan dan 37 Desa (lima diantaranya termasuk desa tertinggal yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balungbangjaya, Mekarwangi dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, 2.712 RT dan dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Bogor dengan batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Selatan
: berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin , Kabupaten Bogor.
Sebelah Timur
: berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor.
Sebelah Utara
: berbatasan dengan Kecamatan Kemang, Bojong Gede, dan Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor.
Sebelah Barat
: berbatasan dengan Kecamatan Darmaga dan Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor.
48
Berdasarkan hasil pencacahan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Kota Bogor sementara adalah 949.066 orang, yang terdiri atas 484.648 laki-laki dan 464.418 perempuan. Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Tanah Sareal, dan Kecamatan Bogor Selatan adalah 3 Kecamatan dengan urutan teratas yang memiliki jumlah penduduk terbanyak yang masing-masing berjumlah 210.450 orang, 190.776 orang, dan 180.745 orang. Sedangkan Kecamatan Bogor Timur merupakan Kecamatan yang berjumlah penduduk paling kecil yakni sebanyak 94.572 orang. Dengan luas wilayah Kota Bogor sekitar 111,73 kilometer persegi yang didiami oleh 949.066 orang maka rata-rata tingkat kepadatan penduduk Kota Bogor adalah sebanyak 8.494 orang per kilo meter persegi. Kecamatan yang paling tinggi tingkat kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Bogor Tengah yakni sebanyak 12.791 orang per kilometer persegi sedangkan yang paling rendah adalah Kecamatan Bogor Selatan yakni sebanyak 5.880 orang per kilo meter persegi. 4.2.1
Perkembangan Usaha Mikro di Kota Bogor Sebagai kota penopang Jakarta, dari tahun ke tahun Kota Bogor terus
tumbuh dan berkembang, menopang berkembangnya Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan. Berdasarkan data BPS tahun 2009, laju pertumbuhan ekonomi kota hujan ini terpacu mencapai 6,02 persen. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tahun 2009 mencapai 12,2 triliun rupiah, atau naik 2 triliun rupiah dari tahun sebelumnya.
49
Tumbuhnya
perekonomian
beriringan
dengan
tumbuhnya
jumlah
penduduk. Pada kuartal pertama tahun 2010, penduduk Kota Bogor sudah menembus angka 1,055 juta jiwa. Begitu banyaknya penduduk dengan berbagai kebutuhan dan mobilitasnya, memicu munculnya berbagai jenis usaha seperti usaha mikro, kecil dan menegah (UMKM) yang merupakan kesempatan kerja yang paling realistis bagi masyarakat menengah ke bawah saat ini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tabel 4.2. Perkembangan Jumlah UKM dan Tenaga Kerja Di Kota Bogor No Uraian 2007 2008 2009 1. Jumlah UKM 31.831 32.147 32.256 2. Jumlah UKM yang terbina 1.949 1.984 2.019 oleh Dinas (6%) (6%) (6%) Perindakop 3. Jumlah 51.798 54.388 57.107 Tenaga Kerja 4. Usaha Mikro 23.873 25.718 25.804 (75%) (80%) (80%) 5. Usaha 1.598 1.607 1.614 Menengah (5%) (5%) (5%) 6. Usaha Kecil 6.366 4.822 4.838 (20%) (15%) (5%) Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2009.
Pada Tabel 4.2. dapat dilihat bahwa adanya perkembangan yang cenderung meningkat pada jumlah tenaga kerja dan sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UKM) di Kota Bogor dari tahun 2007 hingga tahun 2009. Jumlah UKM meningkat dari tahun 2007 sebanyak 31.831 menjadi 32.147 pada tahun 2008 dan 32.256 pada tahun 2009. Sedangkan jumlah UKM yang terbina oleh Dinas Perindakop Kota Bogor dari tahun 2007 sampai dengan 2009 tidak mengalami perubahan yang cukup besar yaitu hanya terserap 6 persen dari total jumlah UKM yang ada di Kota Bogor. Dimana tenaga kerja pada tahun 2007
50
sebanyak 51.798 orang, meningkat menjadi 54.388 orang pada tahun 2008 dan 57.107 orang pada tahun 2009. Hal ini juga diikuti dengan meningkatnya jumlah usaha mikro, kecil dan menengah (UKM) di Kota Bogor, dimana usaha mikro lebih mendominasi daripada usaha kecil dan menengah. Usaha mikro pada tahun 2007 sebesar 75 persen atau berjumlah 23.873, kemudian meningkat menjadi 80 persen pada tahun 2008 dan 2009 yaitu berjumlah 25.718 dan 25.804 dibandingkan usaha kecil dan usaha menengah. Ini jelas memberi gambaran bahwa UKM di Kota Bogor sangat penting, dan kebijakan yang menyentuh kepadanya harus sistematis dan jelas. 4.2.2
Perkembangan Pedagang Kaki Lima (PKL) Kota Bogor Usaha mikro pada penelitian ini, dibatasi dengan pedagang mikro yaitu
pedagang kaki lima di Kota Bogor. Pedagang kaki lima di Kota Bogor dari tahun ke tahun semakin bertambah dan kerap menimbulkan masalah, namun pedagang kaki lima ini merupakan salah satu sumber pendapatan bagi masyarakat. Menurut informasi dari Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, pada tahun 2010 jumlah PKL di Kota Bogor berdasarkan hasil pemetaan sudah mencapai 9710 PKL, dimana terdapat PKL dalam jumlah terbesar yang berlokasi di Jl. Dewi Sartika (depan Sartika Plaza) yaitu berjumlah 749 PKL dan yang terbesar kedua yang berlokasi di Jl. MA. Salmun berjumlah 731 PKL berdasarkan Tabel 4.3.
51
Tabel 4.3. Jumlah PKL Kota Bogor Hasil Pemetaan 2010 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51.
Lokasi Jl. Veteran (depan perkantoran) Jl. Veteran Kebawah (dari pertigaan veteran ke arah jembatan) Jembatan merah (sebelah kiri dan kanan) Jl. Kapten Muslihat Jl. Merdeka (depan Presiden Teater-Jembatan Merah) Jl. Sancang Jl. MA. Salmun Jl. Nyi Raja Permas Jl. Sawojajar Jl. Pengadilan Jl. Jendral Sudirman Jl. Jambu Dua (Jl. Pajajaran ujung Utara) Jl. Jambu Dua (pasar) Jl. Surya Kencana Jl. Mayor Oking Depan Kesehatan Jl. Otista Jl. Pajajaran (Sekitar Terminal, Cidangiang, Hero) Terminal Bubulak Jl. Batutulis (Sekitar Istana Presiden) Jl. Semeru Jl. Baru Kemang Jl. Ir. H. Juanda Villa Bogor Indah Jl. Siliwangi Jl. Raya Bogor (simpang Jl. Baru-Ciluar) Sindang Barang Taman Kencana Sekitar kampus Unpak Jl. Raya Ciawi arah Sukabumi Jl. Dewi Sartika (dari depan BRI) Gg. Selot Jl. Sukasai I Jl. Dewi Sartika (depan Sartika Plaza) Depan Bogor Permai dan Apotik Sudirman Lampu Merah Pangrango-Lodaya Jl. Bangbarung Jl. Gedong Sawah Jl. Polisi Jl. Pedati Putaran Air Mancur Jl. Mawar KH. Abdullah Bin Nuh Depan Makam Pahlawan Jl. Malabar Jl. Paledang Jl. Lawang Saketeng Cumpok Empang Bale Kembang Jl. Bina Marga Total Jumlah
Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor, 2010.
Jumlah 28 8 100 368 296 24 731 196 44 88 40 548 556 672 68 76 40 284 240 172 88 236 60 40 124 280 124 24 252 180 332 96 128 749 212 44 200 24 30 176 50 48 204 50 116 0 588 204 304 48 120 9710
52
Permasalahan PKL memang menjadi masalah dilematis kota-kota besar, begitu juga di Kota Bogor. Di satu sisi, PKL sebagai sektor informal harus diberi hak yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya. Di sisi lain, PKL perlu ditata untuk tidak menimbulkan gangguan ketertiban umum. Itulah semangat yang terkandung di dalam Perda Kota Bogor No. 13 Tahun 2005 tentang penataan PKL. Semakin meningkatnya jumlah PKL di Kota Bogor, Pemerintah Kota Bogor pada tahun 2011 akan segera merelokasikan sebanyak 9.710 pedagang kaki lima (PKL) yang tersebar di sejumlah lokasi di Kota Bogor. Pada kesempatan yang sama, Dirut PD Pasar Pakuan Jaya khusus untuk PKL di daerah Pasar Anyar, akan diusulkan untuk dipindah ke gedung eks President Theater.
Selain itu,
Satpol PP juga telah mengalokasikan anggaran sebesar 498,1 juta rupiah untuk program pembinaan PKL dan asongan pada tahun 2011.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai hasil dan pembahasan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah dalam Bab. I. Hasil dan pembahasan yang akan dijelaskan ini meliputi; kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG di Indonesia dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010, kemudian dampak adanya konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010), dan menjelaskan dampak adanya konversi minyak tanah ke LPG terhadap efisiensi usaha mikro di Kota Bogor, khususnya pedagang bakso kaki lima.
5.1
Kondisi Penggunaan Minyak Tanah dan LPG di Indonesia dari Tahun 2005 sampai dengan Tahun 2010 Untuk memahami kondisi penggunaan dari minyak tanah dan LPG,
sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai produksi minyak tanah dan LPG dari kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2009 (Tabel 5.1). Tabel 5.1. Produksi Minyak Tanah dan LPG Tahun 2005-2010 Minyak Tanah LPG Tahun Kiloliter Trend ribu M. Ton Trend 2005 8.541.573 0 1.818.900 0 2006 8.545.566 3.993 1.428.590 -390.310 2007 8.257.493 -288.073 1.409.430 -19.160 2008 7.636.917 -620.576 1.690.571 281.141 2009 4.585.535 -3.051.382 2.201.903 511.332 Sumber: Buku Tahunan 2009 Ketahanan Energi Melalui Efisiensi dan Konservasi Energi, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2010, hal 73.
Dari Tabel 5.1. ini dapat dilihat bahwa produksi untuk minyak tanah dari tahun 2005 hingga 2009 cenderung mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan dampak perkembangan harga minyak mentah Indonesia, sehingga terjadi
54
penyesuaian terhadap harga BBM dan berpengaruh terhadap beban subsidi BBM. Adanya program konversi minyak tanah ke LPG yang merupakan salah satu upaya penghematan subsidi pada pertengahan tahun 2007, menyebabkan penurunan produksi menjadi 8.257.493 kiloliter yang berpengaruh pada penurunan jumlah produksi minyak tanah tahun berikutnya yaitu tahun 2008 menjadi 7.636.917 kiloliter. Sedangkan pada produksi LPG, mengalami peningkatan dari tahun 2005 hingga 2009. Pada tahun 2007, produksi LPG sebesar 1.409.430 ribu metrik ton yang merupakan awal dari program konversi minyak tanah ke LPG tentunya akan meningkatkan jumlah produksi LPG pada tahun berikutnya yaitu tahun 2008 menjadi 1.690.571 ribu metrik ton dan tahun 2009 sebesar 2.201.903 ribu metrik ton. Adanya peningkatan pada produksi LPG serta penurunan pada produksi minyak tanah yang dikarenakan adanya program konversi minyak tanah ke LPG yang dilakukan oleh pemerintah, tentunya akan menyebabkan perubahan pada tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap minyak tanah dan LPG. Hal ini dapat dijelaskan pada Tabel 5.2. dan Tabel 5.3. Tabel 5.2. Penggunaan Minyak Tanah dan LPG 3 Kg Tahun 2005-2010 Minyak Tanah LPG 3 kg Tahun Juta Kiloliter Trend ribu M. Ton Trend 2005 11,355 0 2006 9,959 -1,396 2007 9,850 -109 21,5 0 2008 7,855 -1,995 506,4 484,9 2009 4,596 -3,259 1.753,9 1.247,5 2010 3,800 -796 2.973,3 1.219,4 Sumber: Kementerian Keuangan (Anggaran Belanja Pemerintah Pusat), 2011.
55
Pada Tabel 5.2. menjelaskan mengenai kondisi penggunaan minyak tanah dan LPG 3 kg dari kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2010. Besarnya penggunaan minyak tanah dan LPG 3 kg ini diperoleh berdasarkan besarnya subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam APBN. Adanya program konversi minyak tanah ke LPG tentunya menyebabkan konsumsi minyak tanah mengalami penurunan, sedangkan konsumsi untuk LPG 3 Kg mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2007, penggunaan minyak tanah sebesar 9.850.000 kiloliter yang merupakan awal dari dijalankannya program konversi, berpengaruh pada tahun berikutnya yaitu tahun 2008 dimana penggunaan minyak tanah mengalami penurunan menjadi 7.855.000 kiloliter yang kemudian penurunan diikuti oleh tahun-tahun selanjutnya yaitu tahun 2009 menjadi 4.569.000 kiloliter dan tahun 2010 menjadi 3.800.000 kiloliter. Sedangkan untuk penggunaan LPG sendiri, tentunya mengalami peningkatan. Pada tahun 2007, penggunaan untuk LPG 3 kg sebesar 21.500 metrik ton meningkat drastis menjadi 506.400 metrik ton pada tahun 2008. Tentunya peningkatan ini diikuti oleh tahun berikutnya yaitu sebesar 1.753.900 metrik ton pada tahun 2009 dan 2.973.300 metrik ton pada tahun 2010. Adanya peningkatan penggunaan pada LPG 3 kg ini dikarenakan produksi untuk minyak tanah sendiri mengalami penurunan akibat adanya program konversi ini. Selain itu, harga jual dari minyak tanah pun semakin mahal serta sulit ditemukan oleh masyarakat.
56
Pada Tabel 5.3. akan dijelaskan tentang penggunaan LPG di Indonesia oleh rumah tangga, komersial dan industri. Untuk penggunaan LPG rumah tangga, memiliki proporsi yang paling besar dibandingkan komersial dan industri. Tabel 5.3. Neraca Penggunaan LPG di Indonesia Tahun 2007-2009 2007 2008 2009 Penggunaan ribu ton % ribu ton % ribu ton % Rumahtangga 773 70 1.100 75 1.900 83 Komersial 143 13 157 11 173 8 Industri 187 17 205 14 226 10 Total 1.103 100 1.462 100 2.299 100 Sumber: Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), 2010.
Pada rumah tangga, penggunaan LPG tahun 2007 sebesar 773 ribu ton atau hanya 70 persen, sedangkan tahun berikutnya meningkat menjadi 1.100 ribu ton atau 75 persen dan tahun 2009 menjadi 1.900 ribu ton atau 83 persen. Adanya peningkatan penggunaan pada LPG ini dikarenakan adanya program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg. Berbeda dengan penggunaan LPG pada komersial dan industri dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 yang mengalami sedikit peningkatan. Hal ini dikarenakan subsidi BBM yaitu program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg sendiri lebih diperuntukkan bagi rumah tangga dengan maksud untuk mengendalikan harga jual BBM, sebagai salah satu kebutuhan dasar masyarakat di dalam negeri, sehingga dapat terjangkau oleh daya beli masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah agar dapat menghemat penggunaan minyak tanah yang semakin mahal dan langka.
57
5.2
Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Struktur Subsidi APBN (2007-2010) Subsidi dalam Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN),
merupakan bagian dari belanja negara yaitu belanja pemerintah pusat. Adanya konversi minyak tanah ke LPG ini, merupakan bagian dari subsidi energi yaitu subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Subsidi BBM dilakukan oleh pemerintah disebabkan harga jual BBM dalam negeri sangat dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor eksternal seperti harga minyak mentah di pasar dunia, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Harga minyak dunia yang semakin mahal tentunya berdampak terhadap harga minyak mentah Indonesia yang dihadapkan dengan permintaan yang semakin tinggi akan BBM. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan bagi pemerintah untuk mengalihkan bahan bakar minyak tanah menjadi bahan bakar gas/ LPG bagi konsumsi masyarakat Indonesia agar beban subsidi yang ditanggung oleh pemerintah semakin berkurang dan daya beli masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah dapat terjangkau. Pada Tabel 5.4. dapat dilihat dalam rentang waktu tahun 2005–2010, dimana tahun 2005-2009 berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan tahun 2010 berdasarkan APBN, realisasi anggaran subsidi BBM secara nominal mengalami penurunan sebesar 6,7 triliun rupiah, atau menurun rata-rata 1,4 persen per tahun, dari sebesar 95,6 triliun rupiah (3,5 persen terhadap PDB) pada tahun 2005 dan mencapai 88,9 triliun rupiah (1,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2010. Penurunan realisasi anggaran belanja subsidi dalam kurun waktu tersebut, antara lain berkaitan dengan parameter volume konsumsi BBM
58
bersubsidi. Dapat dilihat juga, bahwa subsidi untuk energi lebih besar dibandingkan subsidi non energi, terutama untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) daripada subsidi listrik. Hal ini dikarenakan BBM merupakan kebutuhan pokok yang mendasar dan fital/penting bagi seluruh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, seperti memasak, mengendarai kendaraan, kegiatan usaha dan lain-lain. Tabel 5.4. Subsidi, 2005-2010 (Miliar Rupiah) Jenis 2005 2006 2007 2008 2009 Subsidi LKPP LKPP LKPP LKPP LKPP A. 104449.2 94.605,4 116.865,9 223.013,2 103.568,6 Energi Subsidi 95.598,5 64.212,1 83.792,3 139.106,7 45.039,4 BBM Subsidi 8.850,6 30.393,3 33.073,5 83.906,5 49.546,5 Listrik B. Non 16.316,1 12.826,5 33.348,6 52.278,3 43.496,3 Energi Subsidi 6.356,9 5.320,2 6.584,3 12.095,9 12.987,0 pangan Subsidi 2 .527,3 3.165,7 6.260,5 15.181,5 18.329,0 pupuk Subsidi 1 47,7 131,1 479,0 985,2 1.597,2 benih PSO 934,6 1.795,0 1 .025,0 1.729,1 1.339,4 Subsidi bunga 149,0 286,2 347,5 939,3 1.070,0 kredit program Subsidi minyak 24,6 225,7 goreng Subsidi 6.200,6 1.863,8 17.113,6 21.018,2 8.173,6 pajak Subsidi 103,3 kedele Subsidi obat generik Subsidi 264,4 1.514,0 lainnya Total 120.765,3 107.431,8 150.214,4 275.291,5 138.082,2 Sumber: Kementerian Keuangan ( Data Pokok APBN 2005-2010), 2011.
2010 APBN 143.997,1 88.890,8 55.106,3 57.265,9 13.925,1 18.411,5 2.263,5 1.375,0 2.856,4
18.434,4 201.263,0
59
Dalam rentang waktu tahun 2005 sampai tahun 2010, realisasi anggaran belanja subsidi secara nominal mengalami peningkatan sebesar 80,5 triliun rupiah, atau tumbuh rata-rata 10,8 persen per tahun, dari sebesar 120,8 triliun rupiah (4,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi 138,1 triliun rupiah (2,5 persen terhadap PDB) pada tahun 2009, dan mencapai 201,3 triliun rupiah (3,2 persen terhadap PDB) pada tahun 2010. Pada Tabel 5.5. menjelaskan tentang perkembangan besarnya subsidi BBM jenis tertentu yaitu minyak tanah, premium dan solar serta LPG tabung 3 kilogram periode tahun 2005 hingga tahun 2010. Untuk besarnya volume dari minyak tanah dan LPG 3 kg diperoleh dari laporan perkembangan subsidi (20052010) dalam APBN. Sedangkan untuk besarnya subsidi dalam rupiah, penulis mengasumsikan besaran subsidi untuk minyak tanah dan LPG 3 kg berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Direktorat Riset Energi dan Manajemen Indonesia tahun 2007 (Tabel 1.2.). Tabel 5.5. Besarnya Subsidi Untuk Minyak Tanah dan LPG 3 Kg
Tahun
Subsidi Jenis tertentu dan LPG 3 kg
Subsidi (Triliun Rupiah)
Volume % Terhadap PDB
Triliun Rupiah
Minyak Tanah (ribu kiloliter)
LPG 3 kg (ribu M. Ton)
Selisih Besarnya Subsidi
Minyak Tanah
LPG 3 kg
Triliun Rupiah
2005
95,6
3,5
11,355
-
41, 6175
-
-
2006
64,2
1,9
9,959
-
36,4997
-
-
2007
83,8
2,1
9,850
21,5
36,1003
0,06185
36,0384
2008
139,1
2,8
7,855
506,4
28,7886
1,45691
27,3317
2009
45,0
0,8
4,596
1.753,9
16,7454
5,04597
11,6994
2010
88,9
1,1
3,800
2.973,3
13,9270
8,55418
5,37282
Sumber: Kementerian Keuangan diolah , 2011.
60
Secara keseluruhan, besarnya subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mensubsidi jenis tertentu dalam hal ini minyak tanah, premium dan solar serta LPG 3 kg pada tahun 2005 sebesar 95,6 triliun rupiah dan pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 88,9 triliun rupiah. Untuk mengendalikan anggaran subsidi BBM, Pemerintah bersama DPR-RI sepakat untuk melakukan efisiensi, dengan menurunkan konsumsi BBM bersubsidi secara bertahap. Apabila pada tahun 2005 konsumsi BBM bersubsidi khususnya minyak tanah mencapai 11.355,4 ribu kiloliter, maka pada tahun 2010 konsumsi minyak tanah bersubsidi mengalami penurunan menjadi 3.800 ribu kiloliter dengan adanya program konversi minyak tanah ke LPG pada Tabel 5.5. Dari Tabel 5.5. untuk jumlah subsidi kerosen (minyak tanah) mengalami penurunan dari tahun 2005 hingga tahun 2010. Pada tahun 2005 subsidi minyak tanah sebesar 11.355,4 ribu kiloliter atau biaya yang dikeluarkan sama dengan 41,6175 triliun rupiah, kemudian menurun pada tahun 2006 menjadi 9.959 ribu kiloliter atau sama dengan 36,4997 triliun rupiah, pada tahun 2007 menjadi 9.850 ribu kiloliter atau sama dengan 28,7886 triliun rupiah, dan tahun 2008 turun drastis menjadi 7.855 ribu kiloliter atau sama dengan 16,7454 triliun rupiah, yang diikuti penurunan kembali pada tahun 2009 dan 2010 yaitu menjadi 4.569 ribu kiloliter atau sama dengan 16,7454 triliun rupiah dan 3.800 ribu kiloliter atau sama dengan 13,9270 triliun rupiah. Pada tahun 2008, penurun drastis terhadap subsidi minyak tanah ini dikarenakan pada tahun 2007 pemerintah melakukan program pengalihan minyak tanah ke LPG 3 kg, yang kemudian berpengaruh
61
pada terjadinya penurunan besarnya subsidi minyak tanah pada tahun 2008 hingga tahun 2010. Sedangkan subsidi untuk LPG 3 kg ini, baru dilakukan pada tahun 2007 yang merupakan awal diadakannya program konversi minyak tanah ke LPG, tepatnya pada bulan Mei 2007 di Jakarta. Subsidi untuk LPG 3 kg pada tahun 2007 sebesar 21.500 metrik ton atau biaya yang dikeluarkan sebesar 61,8555 miliar rupiah, kemudian meningkat drastis pada tahun 2008 menjadi 506.400 metrik ton atau sama dengan 1,45691 triliun rupiah dan tahun 2009 serta tahun 2010 yaitu menjadi 1.753.900 metrik ton atau sama dengan 5,04597 triliun rupiah dan 2.973.300 metrik ton atau sama dengan 8,55418 triliun rupiah. Dengan adanya program konversi minyak tanah ke LPG 3 kg yang dilaksanakan oleh pemerintah, jelas terlihat adanya pengurangan besarnya subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, terdapat selisih yang cukup besar antara besarnya subsidi minyak tanah dengan LPG 3 kg. Besarnya selisih pada tahun 2007 untuk subsidi minyak tanah dan LPG 3 kg yaitu 36,0384 triliun rupiah, pada tahun 2008 sebesar 27,3317 triliun rupiah, pada tahun 2009 sebesar 11,6994 triliun rupiah, dan tahun 2010 sebesar 5,37282 triliun rupiah. Menurut PT Pertamina (Persero), program konversi minyak tanah ke elpiji 3 kg telah memberikan penghematan subsidi negara sebesar 21,38 triliun rupiah. Dirut Pertamina Karen Agustiawan mengatakan, nilai penghematan tersebut merupakan akumulasi sejak awal program pada tahun 2007 hingga Agustus 2010. Total penghematan program konversi adalah 32,07 triliun rupiah, setelah dikurangi biaya paket perdana konversi 10,69 triliun rupiah, didapat
62
penghematan bersih 21,38 triliun rupiah. Pada awal konversi tahun 2007, program masih memerlukan tambahan subsidi 200 miliar rupiah. Selanjutnya pada 2008, sudah menghemat 5,53 triliun rupiah, 2009 menghemat 6,92 triliun rupiah, dan 2010 menghemat lagi 9,13 triliun rupiah dari target 13,63 triliun rupiah. Dengan demikian, akumulasi penghematan bersih mencapai 21,38 triliun rupiah.34 Adapun dari penghematan tersebut, sebesar 21,38 triliun rupiah diserahkan kembali ke Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk program subsidi lainnya, seperti dapat digunakan untuk membangun infrastruktur jalan dan jembatan, sekolah, rumah sakit, perumahan untuk rakyat jelata yang amat membutuhkannya dari ujung Sumatera hingga Papua. Selain itu adanya penghematan subsidi dari program konversi, Pemerintah diminta untuk merelakan/menghibahkan dana sebesar 4 triliun rupiah ke P.T. Pertamina. Juru bicara Pertamina Mochamad Harun mengatakan, dana hibah itu nantinya akan digunakan untuk menutup kerugian yang dialami perseroan, akibat tidak diizinkannya Pertamina menaikkan elpiji nonsubsidi, yakni kemasan 12 kg, 50 kg, dan bulk.35
34
Erlangga Djumena . 2010. “Konversi Elpiji Hemat Subsidi Rp 21,38 T”. [Kompas Online]. http://www1. kompas.com/read/xml/2010/09/03/14001394/konversi. elpiji.hemat.subsidi.rp.2138.t [ 3 September 2010]
35
Anonim. 2011. “Pemerintah Diminta Hibahkan Dana Rp 4 Triliun ke Pertamina”. http://indone siacompanynews.wordpress.com/2011/07/25/pemerintah-diminta-hibahkan-dana-rp-4-triliunke-pertamina/ [25 Juli 2011]
63
5.3 Dampak Konversi Minyak Tanah ke LPG terhadap Efisiensi Usaha Mikro (Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor) Di dalam sub bab ini, penulis akan membahas lebih terperinci berdasarkan kuesioner yang disebarkan serta wawancara kepada 30 pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor di enam Kecamatan yaitu Bogor Utara, Bogor Selatan, Bogor Barat, Bogor Timur, Bogor Tengah dan Tanah Sareal. 5.3.1
Karakteristik Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor Karakteristik pedagang bakso kaki lima responden digambarkan oleh jenis
kelamin, umur, tingkat pendidikan akhir, lama berdagang dan jumlah tenaga kerja. Umumnya jenis kelamin dari pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor ratarata berjenis kelamin laki-laki sebesar 80,00 persen responden dan sisanya perempuan 20,00 persen responden. Banyaknya responden yang berjenis kelamin laki-laki disebabkan mereka bertanggung jawab sebagai kepala rumah tangga yang bertugas untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Untuk rata-rata umur pedagang bakso kaki lima adalah 45 tahun dan yang terbanyak berada pada kisaran umur 41 tahun keatas sebesar 60,00 persen responden. Untuk tingkat pendidikan akhir, pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor rata-rata hanya tamatan SD sebesar 46,67 persen responden. Lama berdagang para pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor, rata-rata sudah berdagang selama 15 sampai 20 tahun dan yang terlama berdagang berada pada kisaran lebih dari 12 tahun sebesar 46,67 persen responden. Sedangkan untuk lama berdagang pedagang bakso ini membuktikan mereka sebelumnya telah menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakarnya, kemudian sekarang beralih ke LPG 3 kg. Dan rata-rata para pedagang bakso kaki lima di kota Bogor
64
ini bertenaga kerja 1 orang yaitu berjualan sendiri dengan dengan mengandalkan dirinya sendiri sebesar 70,00 persen responden (Tabel 5.6.). Tabel 5.6. Karakteristik Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor %Pedagang Bakso Kaki Lima Peubah Kategori n=30 Laki-laki 80,00 Jenis Kelamin Perempuan 20,00 20-25 tahun 26,67 26-30 tahun 3,33 Umur 31-35 tahun 10,00 36-40 tahun 0 41 tahun keatas 60,00 SD 46,67 SMP 40,00 Tingkat Pendidikan Akhir SMA 13,33 Diploma/S1 0 6-7 tahun 36,66 8-9 tahun 6,67 Lama Berdagang 10-11 tahun 10,00 lebih dari 12 tahun 46,67 1 orang 70,00 Jumlah Tenaga Kerja 2 orang 26,67 >2 orang 3,33 Sumber: Data Primer, diolah.
5.3.2
Efisiensi Pedagang Bakso Kaki Lima Kota Bogor Untuk melihat efisiensi pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor, maka
dibedakan menjadi saat berdagang dengan menggunakan bahan bakar minyak tanah dan saat menggunakkan gas/LPG 3 kg. Selain itu juga dibagi kembali menjadi efisiensi dari sisi biaya, efisiensi dari sisi waktu, dan efisiensi dari sisi tenaga.
65
a. Efisiensi Biaya Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor Untuk efisiensi biaya, sebagian besar pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor mengatakan bahwa penggunaan LPG dirasa lebih menguntungkan dan efisien dibandingkan dengan penggunaan minyak tanah. Tabel 5.7. Harga Terjangkau (%) Pedagang Bakso Kaki Lima Minyak Pernyataan Jawaban LPG 3 kg Tanah Sangat terjangkau 0 26,67 Harga terjangkau setelah Terjangkau 36,67 70,00 program konversi Tidak terjangkau 63,33 3,33 Sumber: Data Primer, diolah.
Tabel 5.7. menjelaskan mengenai efisiensi biaya pada pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor. Dari tabel dapat diketahui bahwa 63,33 persen responden mengatakan tidak terjangkau, 36,67 persen responden mengatakan terjangkau dan tidak ada seorang pun yang mengatakan sangat terjangkau untuk harga minyak tanah saat pedagang bakso mempergunakannya yaitu setelah program konversi berlangsung. Sedangkan 70,00 persen responden mengatakan terjangkau, 26,67 persen mengatakan sangat terjangkau, dan 3,33 persen mengatakan tidak terjangkau untuk harga LPG 3 kg saat pedagang bakso mempergunakannya yaitu setelah adanya program konversi. Adanya 63,33 persen responden yang mengatakan tidak terjangkau untuk harga minyak tanah saat mereka mempergunakannya yaitu setelah program konversi berlangsung, harga minyak tanah yang awalnya sebesar Rp 2.500,00 per liternya meningkat menjadi Rp 7.500,00 per liter. Sedangkan 70,00 persen responden mengatakan terjangkau untuk harga LPG 3 kg saat mereka mempergunakannya yaitu setelah program konversi, dikarenakan harga LPG 3 kg
66
lebih murah jika dibandingkan dengan harga minyak tanah saat ini, yaitu untuk harga satu tabung LPG 3 kg sebesar Rp 14.500,00 sedangkan untuk harga satu liter minyak tanah sebesar Rp 7.500,00. Tabel 5.8. Harga Sebelum Program Konversi (%) Pedagang Bakso Kaki Lima Minyak Pernyataan Jawaban LPG 3 kg Tanah Sangat murah 83,33 0 Harga sebelum program Murah 16,67 0 konversi Tidak murah/ mahal 0 100,00 Sumber: Data Primer, diolah
Tabel 5.8. dapat diketahui bahwa 83,33 persen responden mengatakan sangat murah, 16,67 persen responden mengatakan murah, dan tidak ada seorang pun yang mengatakan tidak murah/mahal untuk harga minyak tanah sebelum adanya program konversi. Sedangkan 100,00 persen responden mengatakan tidak murah/ mahal dan tidak ada seorang pun yang mengatakan sangat murah dan murah untuk harga LPG 3 kg sebelum adanya program konversi. Adanya 83,00 persen responden yang mengatakan sangat murah untuk harga minyak tanah sebelum adanya program konversi karena saat itu harga minyak tanah sebesar Rp 2.500,00 per liternya. Sehingga mereka lebih baik menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak bakso tersebut. Tabel 5.9. Harga Setelah Program Konversi (%) Pedagang Bakso Kaki Lima Minyak Pernyataan Jawaban LPG 3 kg Tanah Sangat murah 0 10,00 Harga setelah program Murah 0 90,00 konversi Tidak murah/ mahal 100,00 0 Sumber: Data Primer, diolah
Tabel 5.9. dapat diketahui bahwa 100,00 persen responden mengatakan tidak murah/mahal dan tidak ada seorang pun yang mengatakan sangat murah dan
67
murah untuk harga minyak tanah setelah adanya program konversi. Sedangkan 90,00 persen responden mengatakan murah, 10,00 persen responden mengatakan sangat murah dan tidak ada seorang pun yang mengatakan tidak murah/mahal untuk harga LPG 3 kg setelah adanya program konversi. Adanya 100,00 persen responden yang mengatakan tidak murah/mahal untuk harga minyak tanah setelah adanya program konversi dikarenakan harga minyak tanah melambung dari Rp 2.500,00 per liternya menjadi Rp 7.500,00 per liternya. Dan adanya 90,00 persen responden yang mengatakan murah untuk harga LPG 3 kg dikarenakan harga LPG 3 kg sebesar Rp 14.500,00 untuk setiap tabungnya dianggap lebih murah dibandingkan dengan harga minyak tanah per liternya, dan LPG 3 kg ini mudah untuk ditemukan. Tabel 5.10. Harga Perlengkapan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima Minyak Pernyataan Jawaban LPG 3 kg Tanah Sangat murah 63,33 6,67 Biaya membeli alat-alat Murah 36,67 3,33 perlengkapan kompor Tidak murah/ mahal 0 90,00 Sumber: Data Primer, diolah
Tabel 5.10. dapat diketahui bahwa 63,33 persen responden mengatakan sangat murah, 36,67 persen responden mengatakan murah dan tidak ada seorang pun yang mengatakan tidak murah/mahal untuk membeli alat-alat perlengkapan kompor dengan menggunakan minyak tanah. Sedangkan 90,00 persen responden mengatakan tidak murah/mahal, 6,67 persen responden mengatakan sangat murah dan 3,33 persen responden mengatakan murah untuk membeli alat-alat perlengkapan kompor dengan menggunakan LPG 3 kg.
68
Adanya 63,33 persen responden mengatakan sangat murah untuk membeli alat-alat perlengkapan kompor dengan menggunakan minyak tanah seperti sumbu kompor, kompor dan dirigen minyak. Dibandingkan dengan menggunakan LPG 3 kg, 90,00 persen responden mengatakan tidak murah/mahal untuk membeli alatalat perlengkapan seperti kompor, tabung dan selang gas serta karburator. Tabel 5.11. Biaya Pemeliharaan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima Pernyataan Biaya pemeliharaan kompor
Jawaban Sangat murah Murah Tidak murah/ mahal
Minyak Tanah 20,00 76,67 3,33
LPG 3 kg 0 20,00 80,00
Sumber: Data Primer, diolah
Dari Tabel 5.11. juga dapat diketahui bahwa 76,67 persen responden mengatakan murah, 20,00 persen responden mengatakan sangat murah dan 3,33 persen responden mengatakan tidak murah/mahal untuk biaya pemeliharan kompor dengan menggunakan minyak tanah. Sedangkan 80,00 persen responden mengatakan tidak murah/ mahal, 20,00 persen responden mengatakan murah dan tidak ada seorang pun yang mengatakan sangat murah untuk biaya pemeliharaan kompor dengan menggunakan LPG 3 kg. Begitu pula dengan pemeliharaan kompor, untuk kompor minyak sebesar 76,67 persen responden mengatakan murah. Jika dibandingkan dengan kompor gas sebesar 80,00 persen responden mengatakan tidak murah/ mahal. Hal ini dikarenakan untuk pemeliharaan kompor gas seperti mengganti selang dan karburator jika rusak membutuhkan biaya yang lebih mahal daripada kompor minyak yang hanya mengganti sumbu kompor jika sudah tidak layak pakai lagi.
69
b. Efisiensi Waktu Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor Untuk efisiensi waktu, seluruh pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor menyatakan waktu untuk memasak lebih cepat dengan menggunakan LPG 3 kg daripada minyak tanah. Sehingga penggunaan LPG 3 kg lebih efisien dari sisi waktu dan bakso lebih cepat matang serta tetap hangat. Hal ini dapat dijelaskan pada (Tabel 5.12.). Tabel 5.12. Lama Waktu Memasak (%) Pedagang Bakso Kaki Lima Pernyataan
Jawaban Tidak lama/ cepat Lama waktu memasak Lama Sangat lama
Minyak Tanah 10,00 73,33 16,67
LPG 3 kg 100,00 0 0
Sumber: Data Primer, diolah.
Tabel 5.12. menjelaskan mengenai efisiensi waktu pada pedagang bakso kaki lima di kota Bogor. Dari tabel dapat diketahui bahwa 73,33 persen responden mengatakan lama, 16,67 persen responden mengatakan sangat lama, dan 10,00 persen responden mengatakan tidak lama/cepat waktu memasak dengan menggunakan minyak tanah. Sedangkan 100,00 persen responden mengatakan tidak lama/ cepat, dan tidak ada yang mengatakan lama dan sangat lama waktu memasak dengan menggunakan LPG 3 kg. Adanya 73,33 persen responden yang mengatakan lama untuk waktu memasak dengan menggunakan minyak tanah dan 100,00 persen responden mengatakan tidak lama/ cepat untuk waktu memasak dengan menggunakan LPG 3 kg. Di lapangan didapat informasi bahwa dengan menggunakan gas/LPG 3 kg memasak lebih cepat 15 menit daripada menggunakan minyak tanah dan penggunaan minyak tanah dirasa boros/cepat habis.
70
c. Efisiensi Tenaga Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor Untuk efisiensi tenaga, para pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor menyatakan lebih efisien menggunakan gas/LPG 3 kg, karena dapat menghemat tenaga serta lebih praktis dalam penggunaannya. Tabel 5.13. Memerlukan Bantuaan saat Mengangkat dan Proses Penggantian (%) Pedagang Bakso Kaki Lima Minyak Pernyataan Jawaban LPG 3 kg Tanah Selalu 0 0 Memerlukan bantuaan saat mengangkat dan proses Kadang-kadang 16,67 30,00 penggantian jika habis Tidak pernah 83,33 70,00 Sumber: Data Primer, diolah.
Tabel 5.13. menjelaskan efisiensi tenaga pada pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor. Dari tabel dapat diketahui bahwa 83,33 persen responden mengatakan tidak pernah, 16,67 persen responden mengatakan kadang-kadang dan tidak ada seorang pun yang mengatakan selalu memerlukan bantuan orang lain untuk mengangkat dan proses penggantian jika minyak tanah habis. Sedangkan 70,00 persen responden mengatakan tidak pernah, 30,00 persen responden mengatakan kadang-kadang, dan tidak ada seorang pun yang mengatakan selalu memerlukan bantuan orang lain untuk mengangkat dan proses penggantian jika LPG 3 kg habis. Adanya 16,67 persen responden yang menyatakan kadang-kadang memerlukan bantuan orang lain saat mengangkat dan proses pengisian minyak tanah jika sudah habis lebih kecil jika dibandingkan dengan LPG 3 kg yaitu sebesar 30,00 persen responden, dikarenakan untuk mengganti tabung gas yang sudah habis dengan tabung yang baru pedagang bakso masih merasa takut salah
71
dalam pemasangannya yang nantinya dapat menimbulkan kecelakaan seperti tabung gas meledak. Tabel 5.14. Memerlukan Bantuaan dalam Pemeliharaan Kompor (%) Pedagang Bakso Kaki Lima Minyak Pernyataan Jawaban LPG 3 kg Tanah Selalu 6,67 6,67 Memerlukan bantuan dalam Kadang-kadang 6,67 16,67 pemeliharaan kompor Tidak pernah 86,66 76,66 Sumber: Data Primer, diolah.
Tabel 5.14. dapat diketahui bahwa 86,66 persen responden mengatakan tidak pernah, 6,67 persen responden mengatakan kadang-kadang dan 6,67 persen responden
mengatakan
selalu
memerlukan
bantuan
orang
lain
dalam
pemeliharaan kompor dengan minyak tanah. Sedangkan 76,66 persen responden mengatakan tidak pernah, 16,67 persen responden mengatakan kadang-kadang, dan 6,67 persen responden mengatakan selalu memerlukan bantuan orang lain dalam pemeliharaan kompor dengan LPG 3 kg. Sama dengan pedagang bakso yang memerlukan bantuan orang lain dalam mengangkat dan proses penggantian, mereka juga kadang-kadang memerlukan bantuan orang lain dalam pemeliharaan kompor karena takut melakukan kesalahan yang dapat menyebabkan tabung gas meledak. Sehingga sebesar 16,67 persen responden pengguna LPG 3 kg kadang-kadang masih memerlukan bantuan orang lain dalam pemeliharaan kompor. Tabel 5.15. Penggunaan Bahan Bakar (%) Pedagang Bakso Kaki Lima Minyak Pernyataan Jawaban LPG 3 kg Tanah Sangat mudah 0 56,66 Penggunaanya Mudah 40,00 26,67 Tidak mudah/ sulit 60,00 16,67 Sumber: Data Primer, diolah.
72
Dari Tabel 5.15. dapat diketahui bahwa 60,00 persen responden mengatakan tidak mudah/sulit, 40,00 persen responden mengatakan mudah dan tidak ada seorang pun yang mengatakan sangat mudah untuk penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak. Sedangkan 56,66 persen responden mengatakan sangat mudah, 26,67 persen responden mengatakan mudah dan 16,67 persen mengatakan tidak mudah/sulit untuk penggunaan LPG 3 kg sebagai bahan bakar untuk memasak. Dalam hal penggunaannya, sebesar 60,00 persen responden menyatakan tidak mudah/sulit menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar dibandingkan dengan menggunakan gas/LPG 3 kg yaitu sebesar 56,66 persen responden menyatakan sangat mudah. Hal ini dikarenakan penggunaan gas/LPG 3 kg dirasa lebih praktis daripada minyak tanah yang harus memasukkan sumbu ke kompor, menuangkan minyak tanah dari dirigen minyak ke kompor sedangkan dengan menggunakan gas/LPG 3 kg mereka hanya perlu mengganti tabung yang kosong dengan tabung yang baru dan memasangkan selang ke tabung. Tabel 5.16. Jarak Pembelian Bahan Bakar (%) Pedagang Bakso Kaki Lima Minyak Pernyataan Jawaban LPG 3 kg Tanah Sangat dekat 46,67 50,00 Jarak pembelian Dekat 50,00 36,67 Tidak dekat/ jauh 3,33 13,33 Sumber: Data Primer, diolah.
Dari Tabel 5.16. dapat diketahui bahwa 50,00 persen responden mengatakan dekat, 46,67 persen responden mengatakan sangat dekat dan 3,33 persen responden mengatakan tidak dekat/jauh untuk jarak pembelian minyak tanah dengan tempat berjualan. Sedangkan 50,00 persen responden mengatakan
73
sangat dekat, 36,67 persen responden mengatakan dekat dan 13,33 responden menyatakan tidak dekat/jauh untuk jarak pembelian LPG 3 kg dengan tempat berjualan. Baik untuk jarak pembelian minyak tanah dan gas/LPG 3 kg, para pedagang bakso menyatakan sangat dekat jaraknya dengan tempat mereka berjualan. Terutama untuk wilayah Kecamatan Bogor Tengah di sekitar Jl. Dewi Sartika, para pedagang mengaku mereka membeli minyak tanah maupun LPG 3 kg dari pedagang keliling, sehingga mereka tidak sulit mencarinya. Dan untuk pedagang bakso yang tidak tetap/berkeliling, mereka membeli di warung sekitar mereka berjualan. 5.3.3
Pengeluaran Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor Untuk pengeluaran bahan bakar pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor,
dari lapangan diperoleh bahwa rata-rata mereka menggunakan minyak tanah dua liter setiap harinya. Dimana sebelum konversi, harga minyak tanah hanya Rp 2.500,00 per liter sehingga biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 5000,00 per hari. Akan tetapi setelah adanya konversi, pengeluaran mereka untuk minyak tanah menjadi Rp 15.000,00 per hari meningkat tiga kali lipat karena harga minyak tanah menjadi Rp 7.500,00 per liternya. Tabel 5.17. menjelaskan pengeluaran bahan bakar pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor sesudah program konversi. Dari tabel dapat diketahui bahwa 60,00 persen responden menyatakan sangat setuju, 30,00 persen responden mengatakan setuju dan 10,00 persen responden mengatakan tidak setuju bahwa setelah program konversi pengeluaran untuk bahan bakar makin kecil.
74
Tabel 5.17. Pengeluaran (% Responden) Pedagang Bakso Kaki Lima Jawaban Pernyataan Sangat setuju Setuju Tidak setuju Setelah program konversi pengeluaran bahan bakar makin 60,00 30,00 10,00 kecil Sumber: Data Primer, diolah
Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pedagang bakso untuk membeli bahan bakar setipa harinya, sebesar 60,00 persen responden mengatakan sangat setuju dan 30,00 persen responden mengatakan setuju bahwa setelah program konversi pengeluaran pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor makin kecil. Sehingga upaya pemerintah dengan mengkonversi minyak tanah ke LPG dirasa tepat, hal ini dikarenakan satu tabung LPG 3 kg seharga Rp 14.500,00 lebih murah dari minyak tanah setelah adanya konversi dan penggunaan satu tabung LPG 3 kg ini dapat digunakan untuk 2-3 hari. 5.3.4
Penerimaan Pedagang Bakso Kaki Lima di Kota Bogor Untuk besarnya penerimaan usaha yang diterima oleh pedagang bakso
kaki lima di Kota Bogor setelah adanya program konversi dirasa makin besar. Hal ini ditunjukan di lapangan, bahwa sebelum adanya konversi mereka memperoleh omset rata-rata sebesar Rp 226.500,00 setiap harinya dan setelah adanya konversi menjadi Rp 434.166,00 setiap harinya. Tabel 5.18. Penerimaan (% Responden) Pedagang Bakso Kaki Lima Jawaban Pernyataan Sangat setuju Setuju Tidak setuju Setelah program konversi penerimaan usaha makin besar Sumber: Data Primer, diolah.
20,00
76,67
3,33
75
Tabel 5.18. menjelaskan penerimaan pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor setelah adanya program konversi. Dari tabel dapat diketahui bahwa sebesar 20,00 persen responden mengatakan sangat setuju, 76,67 persen responden mengatakan setuju dan 3,33 persen responden mengatakan tidak setuju bahwa setelah program konversi, penerimaan usaha pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor makin besar. Penerimaan pedagang bakso kaki lima setelah program konversi yaitu 20,00 persen responden mengatakan sangat setuju dan 76,67 persen responden mengatakan setuju bahwa setelah program konversi penerimaan usaha pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor makin besar. Hal ini dikarenakan tentunya harga bahan bakar LPG 3 kg lebih murah dibandingan harga minyak tanah dan mereka ikut menaikkan harga setiap mangkok bakso mereka seiring dengan adanya program konversi ini. Selain itu, para pedagang bakso merasa cukup untuk omset pendapatan yang diterima dari berjualan bakso dalam mencukupi biaya rumah tangganya sehari-hari dikarenakan mereka beranggapan dari penghasilannya tersebut, yang penting kebutuhan akan makan sehari-hari saja dapat terpenuhi. 5.3.5
Persepsi Pedagang Bakso Kaki Lima Mengenai Program Konversi Untuk persepsi dari pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor mengenai
program konversi akan dijelaskan melalui Tabel 5.19. Dapat dilihat bahwa sebagian besar responden dengan 66,66 persen menyatakan setuju bahwa terdapat perbedaan harga yang cukup besar pada minyak tanah dan LPG 3 kg saat ini, kemudian 26,67 persen menyatakan setuju dan 6,67 persen menyatakan tidak setuju. Dimana dari lapangan dapat diketahui bahwa untuk 1 liter minyak tanah
76
pedagang bakso harus membayar dengan Rp 7.500,00 per liter untuk penggunaan satu hari, sedangkan dengan LPG 3 kg dengan harga Rp. 14.500,00 per tabungnya dapat digunakan 2-3 hari. Hal ini sejalan dengan harga minyak tanah menjadi mahal setelah adanya program konversi, dimana responden menyatakan 43,33 persen sangat setuju, 36,67 persen responden menyatakan setuju dan sisanya 20,00 persen responden menyatakan tidak setuju. Tabel 5.19. Sebaran Responden Berdasarkan Persepsi Mengenai Program Konversi (%) Jawaban Pernyataan Sangat Tidak Setuju setuju setuju Terdapat perbedaan harga yang cukup besar 26,67 66,66 6,67 pada minyak tanah dan gas/ LPG 3 kg Setelah program konversi, harga minyak 43,33 36,67 20,00 tanah menjadi mahal Penggunaan gas/ LPG 3 kg lebih 60,00 30,00 10,00 menguntungkan dibanding minyak tanah Program konversi dapat membantu 20,00 60,00 20,00 mengurangi pengeluaran Sudah bisa menerima gas/ LPG 3 kg 30,00 70,00 0 sebagai pengganti minyak tanah Ada unsur keterpaksaan dalam menjalankan 16,67 30,00 53,33 program konversi Pernah mengalami kecelakaan akibat 6,67 13,33 80,00 penggunaan gas/ LPG 3 kg Sumber: Data Primer, diolah.
Mahalnya harga minyak tanah setelah program konversi ini memang terlihat dilapangan, bahwa harga minyak tanah yang awalnya sebelum program konversi hanya Rp 2.500,00 setelah program konversi melonjak menjadi Rp 7.500,00 per liternya. Kemudian sebesar 60,00 persen responden mengatakan sangat setuju bahwa penggunaan LPG 3 kg lebih menguntungkan dibandingkan minyak tanah, 30,00 persen responden mengatakan setuju dan sisanya 10,00 persen responden mengatakan tidak setuju. Hal ini dikarenakan pemakaian gas
77
dari segi biaya lebih ekonomis dibandingkan minyak tanah dan pemakaian gas pun dirasa lebih praktis dibandingkan minyak tanah. Selain itu proses memasak pun menjadi lebih cepat. Oleh karena itu, sebesar 60,00 persen responden menyatakan setuju bahwa program konversi dapat membantu mengurangi pengeluaran mereka terhadap bahan bakar, lalu 20,00 persen responden sangat setuju sedangkan sisanya 20,00 persen responden menyatakan tidak setuju. Sebagian besar responden yaitu 70,00 persen menyatakan setuju dan 30,00 persen menyatakan sangat setuju untuk menerima gas sebagai pengganti minyak tanah karena responden merasakan manfaat dengan menggunakan bahan bakar gas. Begitu pula sebesar 53,33 persen responden menyatakan tidak setuju, 30,00 persen responden menyatakan setuju dan sisanya 16,67 persen responden menyatakan sangat setuju bahwa ada unsur keterpaksaan dalam menjalankan program konversi. Adanya responden yang menyatakan setuju dan sangat setuju ini dikarenakan masih ada beberapa pedagang bakso yang belum bisa menerima gas sebagai pengganti minyak tanah. Hal ini dikarenakan responden telah bertahun-tahun menggunakan minyak tanah dan telah nyaman menggunakannya. Dan sebesar 80,00 persen responden menyatakan tidak setuju bahwa mereka pernah mengalami kecelakaan akibat penggunaan gas/ LPG 3 kg, sedangkan sisanya sebesar 13,33 persen responden dan 6,67 persen responden menyatakan setuju dan sangat setuju. Hal ini dikarenakan mereka yang setuju dan sangat setuju mengakui kurang berhati-hati dalam penggunaan gas/ LPG 3 kg dan kurangnya informasi mengenai tata cara penggunaan gas/ LPG 3 kg tersebut.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan Berdasarkan penelitian dampak konversi minyak tanah ke LPG terhadap
struktur subsidi APBN (2007-2010) dan efisiensi usaha mikro (studi kasus Kota Bogor) maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Kondisi penggunaan minyak tanah oleh masyarakat Indonesia mengalami perubahan setelah adanya program konversi minyak tanah ke LPG yang dilaksanakan oleh pemerintah pada pertengahan tahun 2007. Sebagian besar masyarakat beralih menggunakan LPG. Hal ini dikarenakan jumlah pasokan minyak tanah yang semakin berkurang/ langka dan harganya semakin mahal dikalangan masyarakat, serta penggunaan LPG yang dirasa lebih efisien. 2.
Dampak program konversi minyak tanah ke LPG terhadap struktur subsidi APBN (2007-2010), telah memberikan penghematan subsidi negara sebesar 21,38 triliun rupiah. Penghematan subsidi ini diserahkan kembali ke Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk program subsidi lainnya, selain itu dihibahkan sebesar 4 triliun rupiah ke P.T. Pertamina untuk menutup kerugian yang dialami perseroan akibat tidak diizinkannya Pertamina menaikkan elpiji nonsubsidi.
3. Dampak program konversi minyak tanah ke LPG terhadap usaha mikro khususnya pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor, telah memberikan efisiensi usaha baik dari sisi biaya, waktu, dan tenaga. Setelah adanya program konversi pengeluaran pedagang bakso kaki lima di Kota Bogor untuk bahan
79
bakar makin kecil, sedangkan penerimaan pedagang bakso semakin besar. Sebagian besar pedagang bakso kaki lima menyatakan sangat setuju dengan penggunaan LPG 3 kg yang lebih menguntungkan dibandingkan minyak tanah dan setuju menerima LPG 3 kg sebagai pengganti minyak tanah serta tidak ada unsur keterpaksaan dalam menjalankan program konversi.
6.2
Saran
1. Pemerintah pusat dan P.T. Pertamina hendaknya terus melakukan evaluasi dan lebih memperbaiki pelaksanaan program konversi minyak tanah ke LPG, seperti mengatasi distribusi LPG bagi masyarakat dan harus mengambil tindakan
hukum
yang
tegas
apabila
terjadi
penyelewengan
seperti
pengoplosan dan penyuntikan gas yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu di jaringan distribusi tersebut, serta mempertajam sasaran penerima subsidi melalui sistem seleksi yang ketat dan basis data yang transparan, dan menata ulang sistem penyaluran subsidi yang lebih akuntabel, predictable, serta makin tepat sasaran sehingga program konversi dapat berjalan secara merata di Indonesia. 2. Adanya penghematan subsidi yang berasal dari program konversi, pemerintah pusat hendaknya lebih transparan dalam menyalurkan penghematan subsidi untuk mensubsidi kegiatan lain seperti subsidi untuk pendidikan, kesehatan serta untuk pembangunan dan infrastruktur Negara Republik Indonesia. 3. P.T. Pertamina hendaknya melakukan perbaikan kualitas tabung gas 3 kg yang berstandar SNI untuk memerhatikan keamanan bagi para konsumen.
80
4. Pemerintah Kota Bogor hendaknya lebih memerhatikan para pelaku usaha seperti usaha mikro dan PKL dengan adanya program konversi minyak tanah ke LPG, dengan terus menggalakkan sosialisasi dan penyuluhan kepada pedagang bakso kaki lima sehingga dapat mengefisienkan penggunaan bahan bakar LPG dan program konversi diharapkan dapat berhasil.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Pengertian Dampak. http://mediabelajarkoe.worspress.com/ 2008/11/24/dampak-implementasi-it-di-organisasi/ [ 5 Mei 2011 ] _______. 2009. “Konversi Energi”. http://www.electroniclab.com/index. php?option=com_content&view=article&id=5:konversienergi&catid=1:ar chive-alias&Itemid=3 [ 27 Oktober 2010] _______. 2011. Definisi Dampak. http://www.artikata.com/arti-324325-dampak .htm. [ 5 Mei 2011 ] _______. 2011. “Pemerintah Diminta Hibahkan Dana Rp 4 Triliun ke Pertamina”. http://indonesiacompanynews.wordpress.com/2011/07/25/pemerintah-dim inta-hibahkan-dana-rp-4-triliun-ke-pertamina/ [25 Juli 2011] Badan Pusat Statistik. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kota Bogor 20052009. Bogor: BPS. Bank Indonesia. 2003. Usaha Mikro sebagaimana dimaksud menurut Keputusan Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003 tanggal 29 Januari 2003. www.bi.go.id/biweb/utama/peraturan/pbi-5-18-03.pdf [ 27 Oktober 2010] Deperindag dan Abdullah et all: 1996 dalam Moh. Ridwan. 2006. Determinan Dari Kredit Rentenir Untuk Pedagang Mikro (Studi Kasus pada Pedagang Mikro di pasar Tradisional Gunungkidul, Yogyakarta) [skripsi]. Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. [ 28 Oktober 2010] Dinas Koperasi dan UMKM Kota Bogor. 2007-2010. Usaha Mikro dan PKL di Kota Bogor. Bogor.
Erlangga Djumena . 2010. “Konversi Elpiji Hemat Subsidi Rp 21,38 T”. [Kompas Online]. http://www1.kompas.com/read/xml/2010/09/03/14001394/konversi.elpiji. hemat.subsidi.rp.2138.t [ 3 September 2010] Ismawanto. 2009. Ekonomi 2: Untuk SMA dan MA Kelas XI. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta. Juanda, B. 2009. Metodologi Penelitian Ekonomi & Bisnis edisi Kedua. IPB Press. Bogor. Kementerian Keuangan. 2008. Mari Kenali APBN. Jakarta: Biro Humas, Setjen Departemen Keuangan RI.
82
Kementerian Keuangan. 2009. Nota Keuangan dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009. www.fiskal.depkeu.go.id/ webbkf/ .../NKAPBN2009complete.pdf [ 28 Oktober 2010] Kementerian Keuangan. 2010. Perkembangan Ekonomi dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2011. www.anggaran.depkeu.go.id/.../10-0824,%20NK%20dan%20RUU%20APBN%202011_BabII_rev1.pdf [ 28 Oktober 2010] Kementerian Komunikasi dan Informatika. 2010. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2010. Jakarta. Kementerian Koperasi. 2008. Kriteria Usaha Mikro, Kecil dan Menengah menurut Undang-Undang No. 2 tahun 2008 Tentang UMKM. http://www.depkop. go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=129 [ 28 Januari 2011] Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia. 2010. Usaha Kecil di Bogor.http://www.mediacenterkopukm .com/detail-berita.php?bID=6737 [ 28 Januari 2011] Lie, A. 2009. Program Konversi Minyak Tanah ke Elpiji: Potret kebijakan pemerintah dalam Sektor Pengelolaan Energi Nasional. Dalam: Kuliah Umum ; Semarang, 10 Januari 2009. eprints.undip.ac.id/990/1/Kulum _Alvin_Lie_2009.pdf [ 29 Oktober 2010] Lipsey et all. 1997. Efisiensi Ekonomi. Pengantar Mikroekonomi edisi Kesepuluh jilid dua. Binarupa aksara. Jakarta Mayawati, T. dan Tri Hidayatno. 2008. Statistik Pertambangan Minyak dan Gas Bumi 2003-2007. BPS. Jakarta. Mulyanto. 2007. “Konsep sektor Informal: Pedagang Kaki Lima”.http://ssantoso. blogspot.com/2008/07/konsep-sektor-informal-pedagang-kaki_28.html [28 Januari 2011] Nicholson. 1991. Teori Mikroekonomi jilid 1 Edisi Kelima. Binarupa aksara, Jakarta Nicholson. 1999. Teori Mikroekonomi jilid 2 . Binarupa aksara, Jakarta Nugroho, H. 2005. “Apakah Persoalannya pada Subsidi BBM? Tinjauan terhadap Masalah Subsidi BBM, Ketergantungan pada Minyak Bumi, Manajemen Energi Nasional, dan Pengembangan Infrastruktur Energi”. Jurnal
83
Perencanaan Pembangunan, Edisi 02, Tahun X. Perencanaan Bidang Energi BAPPENAS. [01 Maret 2011] Pertamina. 2011. http://www.pertamina.com/index.php/detail/read/fuel-minyaktanah [01 Maret 2011] Rahmadini, A. 2007. Dampak Kenaikan Harga BBM terhadap Pendapatan dan Pengeluaran Rumah tangga di Kota Bogor (Studi kasus Rumah tangga Pengojek Pengguna Kredit Motor) [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saragih (1980) dalam Warsana (2007). Analisis Efisiensi dan Keuntungan Usaha tani jagung (Studi di Kecamatan Randublatung Kabupaten Blora) [Tesis] Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Diponegoro. Semarang Siahaan, UB. H. dan Sunaridjan. 1999. “Pola Efisiensi Industri Kecil”. Pusat Analisa Perkembangan IPTEK-LIPI. Voleme 10 Nomor 22. http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/byId/80 [ 29 Oktober 2010] Siahaan, R. 2008. “Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Iklim Usaha UMKM (Studi Kasus Pemotongan Subsidi BBM)”. Jurnal INFOKOP, Volume 16. Simanjuntaki, M., R.A.B. Kusumo, dan M. Nasarullah. 2009. “Pola Pengeluaran, Persepsi, dan kepuasan Keluarga Terhadap Perubahan Penggunaan Energi dari Minyak tanah ke LPG”. Jurnal Ilmu keluarga dan Konsumen, Volume 2 Nomor 2 ISSN : 1907 – 6037. Fakultas Ekologi Manusia IPB. Bogor. [28 Oktober 2010] The Liang Gie. 1995. Administrasi Perkantoran Modern Edisi Keempat (dengan tambahan). Liberty Yogyakarta. Undang-Undang Republik Indonesia Pasal 8 No. 22 Tahun 2001. www.esdm.go. id/.../uu/doc.../500-undang-undang-n022-tahun-2001.html. [28 Oktober 2010]
.