DAILY LIVING SKILLS PADA ANAK DENGAN GANGGUAN AUTISME Pustika Sari Universitas Ahmad Dahlan Jalan Kapas 9, Semaki Yogyakarta 55166
[email protected] ABSTRACT This study aimed to determine the ability of daily living skills in children wit autism. Research method used was qualitative.Subjects in this study were three children who had been diagnosed with autism over the age of 6 years. Data collection techniques in this study was conducted using semi-structured interviews and non-participant observation based guideline development task in the Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS). The results showed that the ability of daily living skills more quickly controlled by the child on a personal subdomain drinking, wearing shoes, using utensils, dress according to the weather, the beginning of health care, and hair neatness. For domestic subdomain is using a tool, clean up and set the table. For subdomain communities are ordering food in a restaurant. For master developmental tasks in accordance with age VABS developmental tasks in the personal subdomain is eating, playing taps, wash hands, and put some clothes on. In domestic subdomain is cleaning house. To slow development tasks mastered by children in the personal subdomain undress, brush teeth, shower affairs, nasal hygiene, bathing without help, keeping the nails, and skilled health care. For domestic subdomains of moving something, use basic tools, using kitchen utensils, household cleaning tools, cleaning the house, repairing equipment and home appliances, cooking, and sewing clothes. For communities that subdomain safety in the home, the use of telephone or HP, safety on the road, meaning the money, right-left orientation, skills in the diner, calling time: day, date, year, calling time: hours and minutes, giving change, skilled use of the phone, spending money, planning spending, job skills, and manage money. The process of formation of daily living skills influenced by the acceptance of the parents, the ability of the children, the demands of the environment in which the child lives, the child's chronological age, the typical environment in which the task will be done, teaching and instruction loud and clear, and consistent in giving instruction. Keywords: autism, daily living skills.
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan daily living skills pada anak dengan autisme. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif.Subjek dalam penelitian ini adalah tiga orang anak yang telah didiagnosis mengalami autisme dengan usia diatas enam tahun. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan wawancara semi terstruktur dan observasi nonpartisipan berdasarkan pedoman tugas perkembangan dalam Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan daily living skills yang dikuasai lebih cepat oleh anak pada subdomain personal yaitu minum,
memakai sepatu, menggunakan alat makan, berpakaian sesuai cuaca, permulaan menjaga kesehatan, dan kerapian rambut. Untuk subdomain domestik yaitu menggunakan alat, membersihkan dan mengatur meja. Untuk subdomain komunitas masyarakat yaitu memesan makanan dirumah makan. Untuk tugas perkembangan yang dikuasai sesuai dengan usia tugas perkembangan dalam VABS dalam subdomain personal yaitu makan, memutar kran, mencuci tangan, dan menaruh pakaian. Pada subdomain domestik yaitu membersihkan rumah. Untuk tugas perkembangan yang lambat dikuasai oleh anak dalam subdomain personal yaitu membuka baju, sikat gigi, urusan kamar mandi, kebersihan hidung, mandi tanpa dibantu, menjaga kuku, dan terampil menjaga kesehatan. Untuk subdomain domestik yaitu memindahkan sesuatu, mempergunakan alat-alat dasar,menggunakan peralatan dapur, alat kebersihan rumah tangga, kebersihan rumah, perbaikan peralatan dan perlengkapan rumah tangga, memasak, pakaian dan menjahit. Untuk subdomain komunitas masyarakat yaitu keamanan di dalam rumah, penggunaan telepon atau HP, keamanan di jalan, pengertian uang, orientasi kanan kiri, keterampilan di rumah makan, menyebut waktu:hari,tanggal, tahun, menyebut waktu: jam dan menit, memberi kembalian, terampil menggunakan telepon, membelanjakan uang, merencanakan pengeluaran, keterampilan kerja, dan mengatur uang. Proses terbentuknya daily living skills dipengaruhi oleh penerimaan dari orangtua, kemampuan dari anak, tuntutan dari lingkungan dimana anak tinggal, usia kronologis anak, lingkungan khas dimana tugas tersebut akan dilakukan, pengajaran dan instruksi yang jelas dan keras, dan konsisten dalam memberikan instruksi. kata kunci: autisme, daily living skills
PENDAHULUAN Manusia tidak pernah statis. Dari saat pembuahan hingga kematian, manusia mengalami perubahan (Hurlock, 1993). Perubahan tersebut meningkat secara perlahan, bermula dari masa bayi ke kanak-kanak, kanak-kanak ke remaja, dan dari remaja ke dewasa yang disebut dengan perkembangan. Perkembangan terjadi disepanjang rentang hidup manusia atau life-span. Perkembangan manusia berlangsung secara bertahap, teratur dan kontinyu. Yang dimaksud dengan bertahap ialah perkembangan berjalan sedikit demi sedikit, tidak secara tibatiba dan sporandis. Teratur yaitu perkembangan mengikuti pola yang berlaku umum bagi semua individu. Semua individu diseluruh dunia sama, mulai dari masa konsepsi hingga masa tua atau lansia. Perkembangan berlangsung secara kontinyu yang berarti terus menerus atau berkelanjutan. Suatu tahap akan mendasari tahap berikutnya atau suatu tahap merupakan kelanjutan dari tahap sebelumnya. Agar individu mampu melangkah dari satu tahap ke tahap berikutnya, individu harus menyelesaikan tugas dari setiap tahap perkembangan yang disebut dengan tugas perkembangan. Havighurst (Hurlock,1993) mendefinisikan bahwa tugas perkembangan ialah tugas yang timbul pada atau sekitar periode kehidupan individu tertentu, keberhasilan melakukannya menimbulkan kebahagiaan dan keberhasilan pelaksanaan tugas lainnya kelak, sedangkan kegagalan menimbulkan ketidakbahagiaan, ketidaksetujuan masyarakat, dan kesulitan dalam pelaksanaan tugas lainnya kelak. Havighurst membagi tugas perkembangan menjadi dua, yaitu tugas perkembangan untuk usia 0-6 tahun dan usia 6-12 tahun. Beberapa tugas perkembangan untuk anak usia 0-6 tahun ialah belajar berjalan, makan makanan padat, berbicara, dan mengendalikan pembuangan sampah tubuh/toilet training. Tugas perkembangan untuk usia 6-12
tahun ialah belajar bergaul dengan teman sebaya, belajar memainkan peran pria dan wanita yang sesuai, dan mengembangkan kecakapan dasar dalam membaca, menulis, dan menghitung. Tugas perkembangan mempunyai suatu tujuan, yaitu agar individu mencapai kematangan. Akan tetapi dalam prosesnya untuk mencapai kematangan tersebut, masing-masing individu dapat menemui hambatan yang berbeda-beda. Hambatan tersebut muncul seiring dengan tugas perkembangan yang tingkat kesulitannya semakin lama semakin meningkat dan sering ditemui saat melakukan aktifitas sehari-hari. Maka dari itu dibutuhkan keterampilan dalam kehidupan sehari-hari atau disebut juga daily living skills. Daily living skills adalah tugas yang diperlukan individu untuk dapat hidup di masyarakat. Tugas tersebut meliputi makan, berpakaian, mandi, transfer (berpindah dari satu tempat ke tempat lain) dan mobilitas (aktivitas ringan: minum teh) (Sajatovic-Loue, 2008). Individu yang normal, pada umumnya mampu melakukan aktivitas hariannya sendiri mulai dari bangun di pagi hari sampai tidur lagi di malam hari. Meskipun terlihat sederhana, aktivitas yang biasa dilakukan ini merupakan komponen dasar yang penting untuk dimiliki agar individu bisa mandiri. Akan tetapi tidak setiap orang mampu dan terampil melakukan aktivitas sederhana tersebut seperti halnya dengan anak-anak atau individu yang didiagnosis mengalami autisme. Autisme (autism)atau gangguan austistik, adalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak, bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup (Nevid, dkk, 2005). Pada awalnya, autisme merupakan suatu gangguan langka yang terjadi pada lima dalam 10.000 kelahiran. Akan tetapi sejak tahun 1990, angka kejadiannya terus meningkat di seluruh dunia menjadi 60 dari 10.000 kelahiran (Autism Research Institute, 2012). Secara umum, anak yang mengalami gangguan autisme akan menunjukkan gejala: kurang respon terhadap orang lain, mengalami kendala berat dalam komunikasi, dan memunculkan respon aneh terhadap berbagai aspek lingkungan disekitarnya, yang semua ini berkembang pada 30 bulan pertama dari masa kelahiran anak. Anak yang mengalami gangguan autisme menunjukkan kegagalan membina hubungan interpersonal yang ditandai dengan kurangnya respon dan minat terhadap orang disekitarnya. Hal ini terlihat misalnya, pada masa bayi anak terlihat kurang tertarik pada saat diajak bermain, tidak merasa kehilangan pada saat ditinggal pergi, tidak tertawa pada saat dililing dan sebagainya (Widihastuti, 2007). Maulana (2010)mengatakan bahwa orang tua yang mempunyai anak dengan autisme sering melontarkan pertanyaan seperti apakah autisme dapat disembuhkan? Secara umum, seorang anak dengan autisme bisa dikatakan ‘sembuh’ jika ia mampu hidup mandiri (sesuai dengan tingkat usia), berperilaku normal, berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lancar serta memiliki pengetahuan akademis yang memadai untuk anak seusia mereka (Pamoedji, 2010). Anak dengan autisme juga dapat dikatakan “sembuh” apabila gejalanya tidak lagi terlihat jelas sehingga ia mampu hidup dan berbaur secara normal dalam masyarakat luas (Maulana, 2010). Akan tetapi pada kenyataannya masih banyak anak dengan autisme yang belum mampu untuk mandiri dan berperilaku normal seperti anak pada umumnya. Hal ini dikarenakan adanya tiga hambatan utama yang menghalangi anak dengan autisme yaitu hambatan di bidang komunikasi, interaksi sosial dan perilaku. Yang pertama, yaitu hambatan dalam komunikasi. Umumnya, perkembangan bicara anak dengan autisme nonverbal, sedikit suara atau kata-kata dan echolalia (membeo). Misalnya saat ditanya, “Nama kamu siapa?” bukannya menjawab dengan benar, tetapi merespondengan mengatakan, “Nama kamu siapa?” (echolalia cepat), atau di rumah, tiba-tiba anak mengulang
perintah gurunya yang didapatkan anak di sekolah, kata per kata (echolalia lambat) (Prasetyono,2008). Yang kedua ialah interaksi sosial anak dengan autisme. Secara umum terdapat keengganan untuk berinteraksi secara aktif dengan orang lain, sering terganggu dengan keberadaan orang lain di sekitarnya, tidak dapat bermain bersama anak lain, lebih senang menyendiri dan sebagainya (Puspita, 2008). Menurut Prasetyono (2008)anak dengan autisme sering menganggap orang lain sebagai benda. Misalnya, seorang anak memanjat ke pangkuan ibunya bukan untuk mendapatkan kasih sayang, melainkan untuk meraih toples kue. Yang terakhir yaitu hambatan dalam perilaku. Anak-anak dengan autisme cenderung melukai dirinya sendiri, tidak percaya diri, bersikap agresif, menanggapi secara kurang atau bahkan berlebihan terhadap suatu stimuli eksternal, dan menggerak-gerakkan anggota tubuhnya secara tidak wajar. Mereka mungkin melakukan tindakan-tindakan tidak wajar seperti menepuknepukkan tangan mereka, mengeluarkan suara yang diulang-ulang, atau gerakan tubuh yang tidak bisa dimengerti seperti menggigit, memukul, atau menggaruk-garuk tubuh mereka sendiri (Maulana, 2010). Carothers dan Taylor (2004) berpendapat bahwa karena anak dengan autisme memiliki kekurangan untuk berfungsi secara optimal, ketika dewasa nanti akan memiliki penghasilan yang sedikit. Secara umum, mereka memiliki pengalaman kerja yang rendah (Peraino, 1992) dan membutuhkan perlindungan dalam jangka panjang (Marcus, Kunce, danSchopler, 1997). Dalam hal ini sangat terlihat bahwa daily living skills merupakan suatu keterampilan yang harus dikuasai dan penting untuk keberlangsungan hidup anak dengan autisme. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian ini karena daily living skills atau keterampilan dalam kehidupan sehari-hari merupakan aspek yang sangat penting karena daily living skills merupakan langkah awal untuk melatih anak dengan autisme memenuhi kebutuhan pribadi sehingga mereka mampu menjadi pribadi yang lebih mandiri dan bisa diterima masyarakat sebagai individu yang normal. KAJIAN PUSTAKA 1. Autisme a. Pengertian Autisme Autisme (autism), atau gangguan austistikadalah salah satu gangguan terparah di masa kanak-kanak, bersifat kronis dan berlangsung sepanjang hidup.Autisme berasal dari bahasa Yunani, autos yang berarti “self.” Pertamakali digunakan tahun 1906 oleh psikiater Swiss, Eugen Bleuler, untuk merujuk pada gaya berpikir yang aneh pada penderita skizofrenia. Cara berfikir autistik adalah kecenderungan untuk memandang diri sendiri sebagai pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian eksternal mengacu pada diri sendiri (Nevid, dkk, 2005). Autisme pertama kali dikemukakan oleh Kanner pada tahun 1943 (Sue, dkk, 1986) dengan autisme infantil, berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti “self”. Kanner menyebutkan bahwa “A highly unusual symptom of autistic children is their extreme lack of responsiveness to adults. Along with extreme social isolation and lack of responsiveness to others, a distinct and particularly puzzling characteristic of autism is language and speech defisits. Definisi tersebut memiliki arti bahwa sebuah gejala yang menonjol dari anak dengan autisme adalah ketidakmampuan mereka dalam berinteraksi dengan orang dewasa. Seiring dengan isolasi sosial yang ekstrim dan ketidakmampuan berinteraksi dengan orang lain,
karakteristik lain ialah adanya gangguan dalam berbicara dan bahasa. Sekitar 50% anak dengan autisme gagal mengembangkan kemampuan berbicara. Mereka menunjukkan gangguan berbicara yang aneh seperti echolalia (menggemakan sesuatu yang baru saja dikatakan) dan secara tetap mengulang kalimat tersebut. Misalnya seperti ketika satu anak dengan autisme terus mengulang sebuah slogan “bagaimana cara mengeja kata lega?” tanpa suatu alasan yang jelas. Kalimat yang diucapkan tersebut tidak bertujuan untuk membangun sebuah komunikasi. Kanner (Widihastuti, 2007) menambahkan definisi dari autisme sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, echolalia, mutest, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya. Berdasar uraian diatas, dapat diketahui bahwa autisme adalah suatu gangguan yang umumnya dimulai dan dialami oleh seseorang pada masa kanak-kanak yang dimulai sejak tiga tahun pertama setelah konsepsi yang ditandai dengan ketidakmampuan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. 2. Daily Living Skills a. Pengertian Daily Living Skills Activity of Daily Living (ADL) atau aktivitas kegiatan harian yang lebih familiar dalam dunia Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dikenal dengan istilah “Bina Diri”. Bina Diri mengacu pada suatu kegiatan yang bersifat pribadi, tetapi memiliki dampak dan berkaitan dengan human relationship. Disebut pribadi karena mengandung pengertian bahwa keterampilan-keterampilan yang diajarkan atau dilatihkan menyangkut kebutuhan individu yang harus dilakukan sendiri tanpa dibantu oleh orang lain bila kondisinya memungkinkan. Ditinjau dari arti kata: bina berarti membangun/proses penyempurnaan agar lebih baik, maka Bina Diri adalah usaha membangun diri individu baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial melalui pendidikan di keluarga, di sekolah dan di masyarakat sehingga terwujudnya kemandirian dengan keterlibatannya dalam kehidupan sehari-hari secara memadai (Widati, 2010). Sparrow (1984) mengemukakan definisi dari daily living skills, yaitu “Another area has to do with the practical skills that are needed to take care of oneself”. Definisi tersebut memiliki pengertian bahwa daily living skills merupakan sebuah area atau daerah yang memerlukan keterampilan praktek yang diperlukan untuk perawatan diri sendiri. Sparrow membagi daily living skills menjadi tiga subdomain, yaitu personal subdomain, domestic subdomain, dan community subdomain. Keterampilan dari masing-masing subdomain ini yaitu 1) Personal Subdomain: a) Eating and drinking: makan dan minum b) Toileting: urusan kamar mandi c) Dressing: berpakaian d) Bathing: mandi e) Grooming: perawatan diri f) Health care: menjaga kesehatan 2) Domestic Subdomain: a) Housekeeping: pekerjaan rumah
b) Kitchen chores: tugas dapur c) Caring for clothes: kebersihan pakaian 3) Community Subdomain: a) Safety skills: keterampilan mengenai keselamatan b) Telephone skills: keterampilan menggunakan telepon c) Money skills: keterampilan menggunakan uang d) Time and dates: pemahaman mengenai waktu dan tanggal e) Left-right orientation: orientasi kanan-kiri f) Restaurants skills: keterampilan di rumah makan g) Job skills: keterampilan kerja Menurut Veteran’s Review Board (2010) definisi dari daily living skill, yaitu “The Activities of Daily Living (ADLs) are a defined set of activities necessary for normal self-care. The activities are movement in bed, transfers, locomotion, dressing, personal hygiene, and feeding”. Kegiatan dalam kehidupan sehari-hari didefinisikan sebagai seperangkat kegiatan yang diperlukan untuk merawat diri. Kegiatan tersebut meliputi gerakan di tempat tidur, transfer, bergerak, berpakaian, kebersihan diri, dan pemberian makan. Keenam kegiatan tersebut didefinisikan sebagai berikut : a) Gerakan di tempat tidur berarti duduk, naik ke tempat tidur, dan mengubah posisi di tempat tidur. b) Transfer berarti bergerak dari kursi ke kursi yang lain, mengubah posisi dari duduk ke berdiri, dan berpindah dari toilet ke tempat tidur dan sebaliknya. c) Bergerak berarti berjalan pada tanjakan, lereng atau tempat yang datar dan pada tangga. d) Berpakaian berarti mengenakan kaus kaki, stoking, dan sepatu serta pakaian bagian atas dan bawah. e) Kebersihan diri berarti perawatan dan pembersihan wajah, badan, serta kaki dan tangan. f) Pemberian makan berarti makan dan minum akan tetapi tidak termasuk menyiapkan makanan. Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa daily living skills adalah keterampilan dasar yang diperlukan oleh individu untuk hidup di masyarakat, meliputi tiga subdomain yaitu personal: makan dan minum, urusan kamar mandi, berpakaian, mandi, perawatan diri dan menjaga kesehatan, domestik: pekerjaan rumah, tugas dapur, dan kebersihan pakaian, komunitas masyarakat: keterampilan mengenai keselamatan, keterampilan menggunakan telepon,keterampilan menggunakan uang, pemahaman mengenai waktu dan uang, orientasi kanan-kiri, keterampilan di rumah makan, dan keterampilan kerja. Apabila individu tidak mampu melakukan satu atau lebih keterampilan dasar tersebut, maka individu akan membutuhkan bantuan dari orang-oranng di sekitarnya seperti orangtua, kakak, adik, atau pengasuh. b. Bentuk-bentuk Daily Living Skills Sparrow, dkk (1984) membagi daily living skills menjadi tiga subdomain yaitu : 1) Subdomain personal Subdomain personal ialah bagaimana seorang individu makan, berpakaian, dan mempraktekkan kebersihan diri. Adapun keterampilan dalam subdomain ini yaitu makan, membuka baju, mandi dengan dibantu, latihan buang air, minum, sikat gigi, mencuci tangan dan muka, urusan kamar mandi, kebersihan hidung, kancing, memakai sepatu, mandi tanpa dibantu,
menggunakan alat makan, menaruh pakaian, berpakaian sesuai cuaca, permulaan menjaga kesehatan, kerapian rambut, menjaga kuku, terampil menjaga kesehatan. 2) Subdomain domestik Subdomain domestik ialah tugas-tugas rumah tangga yang harus individu lakukan. Keterampilan dalam subdomain ini adalah membersihkan rumah, memindahkan sesuatu, mempersiapkan makan, menggunakan peralatan dan alat-alat kebersihan rumah tangga, membersihkan dan mengatur meja,menggunakan peralatan dapur, menggunakan alat pembersih, mengatur tempat tidur, terampil dalam kebersihan rumah, perbaikan peralatan dan perlengkapan rumah tangga, memasak, pakaian, dan menjahit. 3) Subdomain komunitas masyarakat Subdomain komunitas masyarakat adalah bagaimana seorang individu menggunakan waktu, uang, telepon dan keterampilan dalam pekerjaan. Keterampilan dalam subdomain ini adalah keamanan di dalam rumah, penggunaan telepon atau HP, keamanan di jalan, pengertian uang, orientasi kanan kiri, keterampilan di rumah makan, menyebut waktu: hari, tanggal, tahun, menyebut waktu: jam dan menit, memberi kembalian, terampil menggunakan telepon, menabung, membelanjakan uang, merencanakan pengeluaran, keterampilan kerja, mengatur uang. c. Daily Living Skills pada anak dengan autisme Daily living skills adalah tugas yang diperlukan individu untuk dapat hidup di masyarakat. Tugas tersebut meliputi makan, berpakaian, mandi, transfer (berpindah dari satu tempat ke tempat lain) dan mobilitas (aktivitas ringan: minum teh) (Sajatovic-Loue,2008). Meskipun terlihat sederhana, aktivitas yang biasa dilakukan ini merupakan komponen dasar yang penting untuk dimiliki agar individu bisa mandiri. Akan tetapi tidak setiap orang mampu dan terampil melakukan aktivitas sederhana tersebut seperti halnya dengan anak-anak atau individu yang didiagnosis mengalami autisme. Autisme adalahsuatu kondisi yang ditandaioleh ketidakmampuandalam bahasa danketerampilansosial yang timbal baliksertaperilaku repetitifdan tidak biasa.Anak dengan autismejugamemiliki polaberpikir yang berbedadan memiliki gangguan pada modulasisensorik.Ketidakmampuan inidapat mengganggukemampuan mereka untukhidup mandiri (Dominica, 2012). Daily living skills merupakan keterampilan dasar yang harus dikuasai dan penting untuk keberlangsungan hidup anak secara mandiri. Akan tetapi, anak dengan autisme tidak mampu untuk melakukannya dikarenakan adanya ketiga hambatan utama, yaitu hambatan di bidang komunikasi, interaksi sosial dan perilaku. Sajatovic-Loue (2008) berpendapat bahwa, ketika individu tidak mampu melakukan satu atau lebih kegiatan dasar tersebut, umumnya individu tersebut akan membutuhkan dukungan atau bantuan dari orang-orang yang peduli kepadanya (orangtua, kakak, adik, pengasuh) untuk hidup di masyarakat, sehingga pemahaman yang terbatas itu membuat mereka sangat bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Carothers dan Taylor (2004) berpendapat bahwa karena anak dengan autisme memiliki kekurangan untuk berfungsi secara optimal, kemungkinan ketika dewasa nanti akan memiliki penghasilan yang sedikit. Secara umum, menurut Peraino (Carothers dan Taylor, 2004) mereka memiliki pengalaman kerja yang rendah. Marcus (Carothers dan Taylor, 2004) menambahkan bahwa mereka membutuhkan perlindungan dalam jangka panjang (Marcus, dkk 1997).
Brolin (1989) menambahkan bahwa anak berkebutuhan khusus, dalam hal ini anak dengan autisme, mungkin akanmenikahdan membangun keluarga. Mayoritas dari mereka mungkin akanmendapatkan gaji yangkecil. Oleh karena itu, sangat penting bagi mereka untuk belajarbagaimana cara mengelolarumah, keluarga,dan keuanganseefektif mungkin melalui daily living skills, karena daily living skills merupakan langkah awal untuk melatih anak dengan autisme memenuhi kebutuhan pribadi sehingga mereka mampu menjadi pribadi yang lebih mandiri dan bisa diterima masyarakat sebagai individu yang normal. Fragile X Research Foundation of Canada (2009) menyebutkan bahwa pada umumnya anak dengan autisme lambat dalam menguasai toilet training. Usia rata-rata anak laki-laki dengan gangguan autisme mampu menguasai toilet training adalah antara 5-6 tahun dan untuk perempuan ialah empat tahun. Toilet training atau latihan buang air merupakan tugas yang menantang bagi anak dengan autisme. Tugas ini juga bisa menjadi pengalaman yang panjang dan membuat frustrasi karena kurangnya perhatian pada anak. Rendahnya kemampuan sensori integrasi juga menambah kesulitan pada anak karena rendahnya isyarat tubuh seperti tidak merasa ingin buang air sehingga sering mengompol atau buang air besar di celana. Latihan buang air dapat optimal apabila dilakukan dengan jadwal yang rutin dan tetap. Orangtua dan guru mungkin membiasakan anak tersebut buang air kecil setiap 30 menit saat di sekolah. Anak juga mungkin dilatih untuk ke toilet pada waktu tertentu seperti setelah sarapan atau makan siang, jika mampu dijadwalkan. Sebagian besar anak laki-laki dengan gangguan autisme mampu melakukan latihan buang air secara mandiri, akan tetapi dibutuhkan kesabaran dan kewaspadaan yang tinggi bagi orangtua atau pengasuh agar anak dapat melakukannya secara optimal. Kesulitan dalam tugas perkembangan makan seperti meminum ASI dan susu pada botol, juga ditemukan pada anak dengan autisme. Sebagian besar perilaku makan anak tidak teratur, seperti memenuhi mulut dengan makanan yang terlalu banyak, sampai mereka mau muntah atau tersedak. Mungkin anak juga tidak bisa menggunakan peralatan makan dan mencoba untuk makan menggunakan tangan mereka. Orangtua dan guru perlu memberikan isyarat seperti “kunyah” dan “telan”, setelah anak mengambil makanan dalam beberapa gigitan. Penggunaan alat makan juga harus didorong supaya anak lebih mahir melakukannya dalam kehidupan sosial kelak. Anak dengan autisme mungkin mengalami kesulitan dalam berpakaian sendiri karena keterlambatan perkembangan secara keseluruhan seperti rendahnya kekuatan otot dan keengganan anak untuk mengenakan pakaian dengan tekstur tertentu. Tekstur yang tidak nyaman membuat anak ingin segera mengambil pakaian lain dan menggantinya. Orangtua mungkin mencari pakaian dengan kain yang lembut dan menghilangkan tag dari kerah belakang baju. Orangtua dan guru mungkin perlu untuk merancang strategi untuk membantu mengajarkan urutan berpakaian dari tahap demi tahap dan menggunakan rangkaian mundur atau backwards chaining (menyelesaikan semua tahap demi tahap kecuali yang terakhir, dimana anak harus melakukannya sendiri. Dilanjutkan dengan hari berikutnya, anak harus melakukan 2 tahap berpakaian yang terakhir dan begitu seterusnya sampai anak mampu berpakaian sendiri). Pakaian tanpa kancing atau tanpa ikatan (tali) lebih mudah digunakan bagi anak-anak. Celana dengan karet elastis, sepatu dengan perekat, dan kaos atau t-shirt akan sangat membantu keterampilan motorik halus anak apabila ia belum mampu menggunakan pakaian berkancing dan mengikat tali.
Menurut Carothers & Taylor (2004)langkah pertama dalam proses mengajari daily living skills pada anak dengan autisme adalah memilih keterampilan yang akan diajari. Menurut Snell dan Farlow (Carothers dan Taylor, 2004) setelah memilih daily living skills mana yang akan diajarkan, tujuan yang akan dicapai haruslah meningkatkan tingkat kemandirian anak. Nietupski (Carothers dan Taylor, 2004) menyatakan bahwa semua pengajaran harus diarahkan ke arah “fungsi tujuan akhir”. Faktor-faktor lain yang harus dipertimbangkan ketika memilih keterampilan yang akan diajarkan ialah kemampuan dari anak, tuntutan dari lingkungan dimana anak tinggal, usia kronologis anak, bagaimana cara teman sebaya melakukannya dan lingkungan khas dimana tugas tersebut akan dilakukan. Melihat faktor-faktor di atas, jelas bahwa tujuan dari pengajaran daily living skills pada anak dengan autisme akan berubah seiring dengan perubahan tingkat keterampilan yang disesuaikan dengan pertambahan usia pada anak dan anak perlu untuk melakukan keterampilan tersebut di seting yang berbeda. Untuk anak yang masih duduk di bangku SD misalnya, mungkin perlu mempelajari keterampilan seperti memakai pakaian yang telah dipilihkan oleh orangtuanya, mengenal koin dan mata uang, makan di kantin sekolah, naik bis sekolah dan mengatur tempat tidurnya sendiri. Untuk anak SMP, mungkin anak perlu untuk mempelajari bagaimana cara memilih pakaian yang akan dipakai (berdasarkan cuaca dan gaya yang dipakai oleh anak-anak yang lain), menghitung dan menukar uang, makan di restoran, dan membersihkan kamarnya sendiri. Untuk anak yang sudah SMA, instruksi bagi anak dapat difokuskan pada pembelian dan pemeliharaan pakaian, anggaran keuangan, menyiapkan makanan dan memebersihkan dapur, menggunakan transportasi umum atau taksi, dan membantu pekerjaan rumah tangga. Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan untuk mengajari daily living skills pada anak dengan autisme. Yang pertama yaitu pemodelan melalui rekaman video yang dilakukan dengan cara merekam suatu kegiatan yang dilakukan oleh seorang model untuk melaksanakan suatu tugas yang diinginkan dan memutarnya berulang-ulang sehingga anak mau mencoba melakukan keterampilan tersebut. Teknik yang kedua untuk mengajarkan suatu keterampilan pada anak yaitu dengan menggunakan foto atau jadwal yang bergambar. Pada teknik ini, dibuat serangkaian gambar yang menggambarkan tahapan tugas, untuk membantu anak melakukan tugas secara lebih mandiri misalnya untuk keterampilan memasak, penggunaaan komputer, dan merapikan tempat tidur sendiri. Untuk keterampilan ini, foto yang digunakan akan menggambarkan serangkaian kegiatan seperti anak memasuki kamar tidurnya, menarik sprei ke atas tempat tidur, menempatkan bantal di posisi yang benar, dan menghaluskan kerutan dari sprei. Teknik yang ketiga yaitu melibatkan teman-teman sebaya atau saudara kandungnya. Mereka harus menunjukkan kepada anak, misalnya ketika di sekolah, mereka mampu belajar untuk memilih buku sendiri di perpustakaan, membeli barang dari sebuah toko, dan menyeberang jalan dengan menonton tindakan teman sebayanya. Untuk di rumah, kakak atau adik dapat berpura-pura bermain sebagai penjual dan pembeli sehingga mereka bisa mengajari anak dengan autisme untuk menghitung dan menukar uang. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kemampuan daily living skills pada anak dengan autisme.
METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan strategi penelitian Pendekatan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif.Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2011). Strategi penyelidikan yang digunakan dalam memperoleh data atau fenomena pada penelitian ini adalah dengan menggunakan studi kasus. Menurut Alsa (2011) penelitan dengan rancangan studi kasus dilakukan untuk memperoleh pengertian yang mendalam mengenai situasi dan makna sesuatu atau subjek yang diteliti. Penelitian studi kasus lebih mementingkan proses daripada hasil, lebih mementingkan konteks daripada suatu variabel khusus, lebih ditujukan untuk menemukan sesuatu daripada kebutuhan konfirmasi. Pemahaman yang diperoleh dari studi kasus dapat secara langsung mempengaruhi kebijakan, praktek, dan penelitian berikutnya. B. Pendekatan dalam analisis data Pendekatan dalam analisis data penelitian ini adalah analisis tema atau thematic analysis. Menurut Moleong (2011) analisis tema merupakan seperangkat prosedur untuk memahami secara holistik pemandangan yang sedang diteliti. Sebab setiap kebudayaan terintegrasi dalam beberapa jenis pola yang lebih luas. C. Sampling Sampel yang digunakan dalam metode penelitian ini adalah sampel kriteria. Menurut Poerwandari (2009) sampel kriteria akan mengamati dan mempelajari kasus yang memenuhi kriteria tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Pengambilan sampel ini dilakukan pada subjek dengan ciri-ciri: anak laki-laki dengan autisme yang berusia lebih dari enam tahun yang telah didiagnosa mengalami autisme dengan pertimbangan anak dengan rentang usia tersebut telah menyelesaikan tugas perkembangan anak berusia 0-6 tahun seperti belajar berjalan, makan makanan padat, berbicara, dan mengendalikan pembuangan sampah tubuh/toilet trainingHavighurst (Hurlock, 1993). Pertimbangan lain ialah mengingat tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk perilaku daily living skills pada anak dengan autisme. Dalam penelitian ini, peneliti terlebih dahulu mencari subjek yang berusia lebih dari enam tahun dan bersekolah di sekolah luar biasa dan sekolah dasar inklusi. Peneliti kemudian menentukan sampel penelitian yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Kemudian peneliti melakukan pendekatan untuk menjalin rapport kepada orang tua dan guru, sehingga mempermudah jalannya penelitian. D. Metode Pengambilan Data Sesuai dengan bentuk pendekatan penelitiannya, yaitu kualitatif maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan wawancara dan observasi. 1. Wawancara Wawancara yang digunakan adalah wawancara semi terstruktur. Jenis wawancara ini sudah termasuk dalam kategori in-deptinterview, dimana dalam pelaksanaannya lebih bebas bila dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk
menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya (Sugiyono, 2011). Wawancara akan dilakukan kepada ibu, guru, dan significant person seperti nenek, tante dan pengasuh untuk dikumpulkan datanya menggunakan rekaman dan data dari hasil rekaman tersebut akan dideskripsikan dalam verbatim. 2. Observasi Observasi yang digunakan adalah observasi nonpartisipan atau partisipasi pasif (passive participation), yaitu peneliti datang di tempat kegiatan orang yang diamati, tetapi tidak ikut terlibat dalam kegiatan tersebut (Sugiyono, 2011). Moleong (2011) mengatakan bahwa peranan peneliti sebagai pengamat dalam hal ini tidak sepenuhnya sebagai pemeranserta tetapi melakukan fungsi pengamatan. Peneliti sebagai anggota pura-pura, jadi tidak melebur dalam arti sesungguhnya. Observasi dilakukan di rumah dan sekolah subjek dengan bentuk pencatatan dengan check listberdasarkan Vineland Adaptive Behaviour Scale yang dikembangkan oleh Sparrow, dkk(1984) dalam domain Keterampilan Bina Diri. E. Desain Penelitian Penelitian yang akan dilakukan menggunakan subjek anak laki-laki dengan autisme yang berusia lebih dari enam tahun. Sebelum penelitian dimulai, peneliti melakukan observasi awal untuk membangun rapport dengan calon subjek. Setelah menentukan subjek penelitian, hal yang selanjutnya dilakukan adalah membuat guide wawancara dan observasi untuk memudahkan peneliti mengambil data subjek melalui metode wawancara dan observasi. Data yang diperoleh dari hasil wawancara kemudian dibuat transkrip. Peneliti akan menganalisis transkrip tersebut menggunakan analisis tema (thematic analysis). Peneliti akan memaparkan tahapan analisis tema dalam bagan berikut ini :
Membuat & mengorganisasikan file untuk data Membaca keseluruhan teks verbatim, membuat catatan di pinggir teks, dan membentuk kode awal Menggambarkan makna kasus dan konteksnya Pergunakan agregasi kategoris; Tentukan pola-pola kategori Pakai interpretasi langsung; kembangkan "naturalistic generalization". Tampilkan narasi yang dilengkapi dengan tabel dan gambar. Gambar 1. Bagan Analisis Tema HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan daily living skills pada anak dengan gangguan autisme sangatlah bervariasi. Daily living skills sendiri dibagi menjadi tiga subdomain, yaitu personal, domestik, dan komunitas masyarakat. SUBDOMAIN DALAM DAILY LIVING SKILLS
SUBDOMAIN KOMUNITAS MASYARAKAT
SUBDOMAIN PERSONAL
SUBDOMAIN DOMESTIK
Gambar 2 : Subdomain dalam Daily Living Skills Subdomain yang paling banyak dikuasai oleh subjek adalah subdomain personal karena subdomain ini berkaitan dengan diri pribadi subjek untuk memenuhi kebutuhan dasar sehariharinya seperti makan, minum, dan mandi dengan dibantu. Penguasaan kemampuan ini dipengaruhi oleh faktor perhatian, pengajaran atau instruksi yang jelas, sistematis dan kesabaran dari orangtua, kemampuan dari anak, tuntutan dari lingkungan dimana anak tinggal, usia kronologis, lingkungan khas dimana tugas tersebut akan dilakukan. Sedangkan untuk subdomain yang masih sulit dilakukan oleh subjek yaitu subdomain komunitas masyarakat. Tugas perkembangan dalam subdomain tersebut masih sulit dilakukan oleh subjek dipengaruhi oleh belum ada pengajaran dari orangtua, anak yang belum paham tentang uang dan kemampuan bicara yang lambat menghalangi subjek untuk menjalin interaksi dengan orang lain sehingga proses belajar hanya berlangsung satu arah.
KESIMPULAN Tugas perkembangan yang cepat dikuasai oleh ketiga subjek pada subdomain personal yaitu perkembangan minum, sikat gigi, kancing, menggunakan alat makan, berpakaian sesuai cuaca, permulaan menjaga kesehatan dan kerapian rambut. Pada subdomain domestik, ketiga subjek cepat menguasai tugas perkembangan yaitu memindahkan sesuatu, mempersiapkan makan, mempergunakan alat, membersihkan dan mengatur meja, mengatur tempat tidur, dan memasak. Pada subdomain komunitas masyarakat yaitu menggunakan telepon, keterampilan di rumah makan, menyebut waktu: jam dan menit, dan terampil menggunakan telepon, hal ini disebabkan karena tugas perkembangan tersebut cukup mudah dilakukan oleh subjek, serta dipengaruhi oleh faktor kemampuan dari anak dan tuntutan dari lingkungan dimana anak tinggal yang mengharuskan subjek menguasai tugas perkembangan tersebut. Untuk tugas perkembangan yang mampu dikuasai oleh ketiga subjek sesuai dengan pedoman tugas perkembangan pada Vineland Adaptive Behavior Scales dalam subdomain personal yaitu makan, membuka baju, mandi dengan dibantu, mencuci tangan dan muka, dan menaruh pakaian. Dalam subdomain domestik yaitu membersihkan rumah. Dalam subdomain komunitas masyarakat yaitu keamanan di dalam rumah dan menyebut waktu: hari, tanggal dan tahun. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kemampuan dari anak, peran dari orangtua dan guru dalam merancang strategi dalam mengajarkan tugas perkembangan kepada anak, dan tuntutan lingkungan tempat tugas perkembangan itu akan dilaksanakan yang mengharuskan subjek untuk menguasai tugas perkembangan tersebut. Tugas perkembangan yang lambat dikuasai oleh ketiga subjek hanya ada dalam subdomain personal yaitu latihan buang air, urusan kamar mandi dan memakai sepatu. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kemampuan dari anak yang belum mampu menguasai tugas perkembangan tersebut, dan lingkungan khas dimana tugas tersebut dilakukan belum menuntut anak untuk menguasai tugas perkembangan tersebut, serta pola asuh orangtua. Tugas perkembangan yang belum mampu dikuasai oleh ketiga subjek dalam subdomain personal yaitu kebersihan hidung, mandi tanpa dibantu, menjaga kuku, dan terampil menjaga kesehatan. Dalam subdomain domestik meliputi menggunakan peralatan dapur, menggunakan alat pembersih, terampil dalam kebersihan rumah, perbaikan peralatan dan perlengkapan rumah tangga, pakaian, dan menjahit. Pada subdomain komunitas masyarakat meliputi keamanan di jalan, pengertian uang, orientasi kanan kiri, memberi kembalian, menabung, merencanakan pengeluaran, keterampilan kerja, dan mengatur uang. Hal ini dipengaruhi oleh faktor kemampuan dari anak, tuntutan dari lingkungan dimana anak tinggal, usia kronologis anak, lingkungan khas dimana tugas tersebut akan dilakukan, orangtua yang belum mengajarkan dan belum memperbolehkan anak menguasai tugas perkembangan, dan perkembangan bicara anak yang lambat menghambat subjek untuk menjalin interaksi dengan orang lain sehingga proses belajar hanya berlangsung satu arah.
DAFTAR PUSTAKA Alsa, A. (2011). Pendekatan kuantitatif &kualitatif serta kombinasinya dalam penelitian psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Autism
Research Institute. (2012). Is it http://www.autism.com/index.php/is_it_autism.
autism?.Diambil
dari
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of mental disorders. Washington DC: American Psychiatric Association. Benamou, R.S., Lutzker, J.R., &Taubman, M. (2002). Teaching daily living skills to children with autism through instructional video modeling. Journal of Positive Behavior Interventions, 4, 165-173. Carothers, D.E.& Taylor, R.L. (2004). How teachers and parents can work together to teach daily living skills to children with autism.Journal Focus on Autism and Other Developmental Disabilities, 19, 102-104. Cohen,
H.J.
& Hurria, A. (2010). http://books.google.co.id/.
Practical
geriatric
oncology.
Diambil
dari
Creswell,J.W. (1998).Qualitative inquiry and research design choosing among five traditions.USA: SAGE Publication. Dominica, S. (2012). Living with autism: solutions for independent living. Diambil darihttp://dailylivingskills.com/articles/specific-diagnoses-and-conditions/livingwith-autism/. Erfandi.
(2009). Merawat anak autis.Diambil http://forbetterhealth.wordpress.com/2009/01/19/ merawat-anak-autis/.
dari
Fragile X Research Foundation of Canada. (2009). Pre-school 0-3 years. Diambil darihttp://www.fragilexcanada.ca. Goodship, J.M.& Donn E. B. (2005). Life skills mastery for students with special needs. Diambil dari http://legacy.teachersfirst.com/sped/parents/transition/eric-lifeskills.html. Handojo, Y. (2006). Autisma. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Hurlock. (1993). Perkembangan anak, edisi ke 6. Jakarta: Erlangga. Jasmin, dkk. (2008). Sensori-motor and daily living skills of preschool children with autism spectrum disorders. Journal Autism Development Disorder, 39, 231–241.
Kusumah, D. (2012).Seberapa banyak jumlah anak autis di dunia ini?.Diambil dari http://dakubelajar.blogspot.com/2012/04/seberapa-banyak-jumlah-anak-autisdi.html. Lubis, M. U. (2009). Penyesuaian diri orangtua yang memiliki anak autis. Skripsi (tidak diterbitkan). Medan: Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Maulana, M. (2010). Anak autis. Yogyakarta: Kata Hati. Moleong, L.J. (2011). Metodologi penelitian kualitatif. edisi revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nawawi, A. (2010). Keterampilan kehidupan sehari-hari bagi tunanetra. Skripsi (tidak diterbitkan). Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia. Nevid,dkk. (2005).Psikologi abnormal, jilid ke 2, edisi ke 5.Jakarta: Erlangga. Pamoedji, G. (2010). 200pertanyaan dan jawaban seputar autisme. Jakarta: Yayasan MPATI. Perry, dkk. (2009). Brief report: the vineland adaptive behavior scales in young children with autism spectrum disorders at different cognitive levels. Journal Autism Development Disorder, 39, 1066–1078. Poerwandari, E. K. (2007). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Depok: LPSP3Fakultas PsikologiUniversitas Indonesia. Prasetyono, D. S. (2008). Serba-serbi anak autis. Yogyakarta: Diva Press. Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan RI. (2012).kemenkes peringati hari autis international. Diambil dari http://www.depkes.go.id. Puspita, D. (2008). Kiat praktismempersiapkan & membantu anak autis mengikuti pendidikan di sekolah umum. Diambil dari http://puterakembara.org/rm/sekolah.shtml. Ratnadewi. (2011). Peran orangtua pada terapi biomedis untuk anak autis. Jurnal Universitas Gunadarma. Diambil dari www.gunadarma.ac.id/library/articles/.../Artikel_ 10504147.pdf. Sajatovic, M.& Loue, S. (2008). Encyclopedia of aging and public health, springer, 79–81. Diambil dari http://books.google.com/books?id=rTMrB0AutLw C&pg=PA79. Sparrow, S. S., Balla, D. A., & Cicchetti, D. V. (1984). Vineland adaptive behavior scale:interview edition expanded form manual. New York: American Guidance Service.
Sue, D., Sue, D., &Sue S. (1986). Understanding abnormal behavior, second edition. Boston: Houghton Mifflin Company. Sugiyono. (2011). Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta. Sukotjo, S. (2009). Jumlah anak autis indonesia meningkat.Diambil dari http://artikel-kesehatanmasyarakat.blogspot.com/2009/12/jumlah-anak-autis-indonesia-meningkat.html. Veteran’s Review Board. (2004). Chapter 16 activities of daily living.Diambil dari www.vrb.gov.au/pubs/garp-chapter16.pdf. Werdiono, D. (2009). Kurang perhatian terhadap anak autisme. Kompas, 2 April 2009. Widati,
S. (2011). Pengajaran bina diri dan bina gerak(BDBG).Diambil dari http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195310141987032SRI_WIDATI/MK_BDBG/MODULrevisi.pdf.
Widihastuti, S. (2007). Pola pendidikan anak autis. Yogyakarta: Fajar Nugraha Autism Center. Wikipedia. (2011). Autisme. Diambil dari http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme.