BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah ISSN: 1907‐610X Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Daftar Isi
Penulisan Lontar dalam Kehidupan Masyarakat Bali I.B. Putu Juni Eka Putra‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 01 – 06 Upacara Ritual Pomparan Guru Tatea Bulan Frans Jun Manalu ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 07 – 11 Kinerja Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Kalangan Akademik (Universitas Padjadjaran) dalam Menjaga Konsistensi Bahasa, Sastra, dan Budaya Sunda Mohd. Erwin Nugraha‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 12 – 18 Peranan Tiga Tungku Sejarangan pada Etnik Melayu di Sumatera Timur dalam Merekat Kesatuan Bangsa Epan Hasyim Siregar‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 19 – 24 Vitalitas Budaya Daerah sebagai Aset Bangsa Tarlan ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 25 – 27 Masyarakat Pedesaan sebagai Penyelamat Budaya Tradisional Dwi E. Ulandari ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 28 – 38 Tentang Penulis ‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ 39 – 40 i
Sekapur Sirih
eanekaragaman budaya yang kita bangsa Indonesia miliki mulai Sabang Khingga ke Marauke merupakan sebuah kekayaan yang sepatutnya dapat kita
banggakan. Akan tetapi kekayaan itu tidak dapat dijaga oleh bangsa kita. Masyarakat Indonesia yang merupakan bangsa yang beradat, saat ini tidak dapat mempertahankan budaya yang dimiliki. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya sendiri, mengabaikan berarti menghilangkan kebudayaan bangsa itu sendiri…” (Sejarah Kebudayaan Sumatera Utara, 1987). Pemahaman budaya tidaklah segampang dalam pemikiran awam, jika dipahami dan dikaji budaya yang dibangun oleh nenek moyang ternyata sangat berarti dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara saat ini. Oleh sebab itu, atas dasar kesadaran dalam mengembangkan budaya di Indonesia, maka Ikatan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Daerah Se–Indonesia yang didukung oleh Departemen Sastra Daerah Fakultas Sastra – Universitas Sumatera Utara, terdorong untuk menerbitkan jurnal yang bernama “Budaya Nusantara“, Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah, di mana jurnal ini diharapkan dapat membuka wawasan akan berbagai kekayaan nusantara bangsa kita, kami menyampaikan terima kasih, atas kerja sama dari seluruh pihak‐ pihak yang ikut membantu penerbitan jurnal ini. Akhirnya kami berharap, kiranya jurnal ini dapat bermanfaat sebagai penambah wawasan budaya dan bahan penyadaran bagi semua pembaca akan pentingnya budaya nusantara.
ii
Salam Penyunting
ucapan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, atas bimbingan‐Nya Teriring sehingga edisi perdana “Budaya Nusantara Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah”
ini dapat diterbitkan. Jurnal ini merupakan langkah awal demi terbentuknya media informasi tentang budaya yang ada di nusantara tercinta. Jurnal ini juga diharapkan dapat menjadi sarana bagi pemerhati budaya, seniman, dan peneliti dalam mengemukakan gagasan‐gagasan tentang kebudayaan Indonesia agar budaya‐budaya yang terpendam tetap hidup dalam jiwa generasi penerus tanah air Indonesia. Penyunting mengucapkan banyak terima kasih pada semua pihak yang telah mendukung penerbitan jurnal ini. Penyunting juga selalu mengharapkan saran‐saran yang membangun sehingga tim penyunting bisa berbenah guna peningkatan kualitas jurnal ini. Pada edisi perdana ini topik‐topik yang dikemukakan yakni dari berbagai budaya daerah yang ada di tanah air. I.B. Putu Eka Putra adalah seorang mahasiswa Sastra Bali Universitas Undayana, mengangkat topik tentang fungsi dan cara pembuatan aksara Bali (lontar) bagi masyarakat Bali khususnya. Dua artikel berikutnya dari Frans Jun Manalu (Sastra Batak Universitas Sumatera Utara) membahas upacara ritual pomparan guru tatea bulan dan Mohd. Erwin Nugraha (Sastra Sunda Universitas Padjadjaran) memaparkan kinerja pemerintah daerah Jawa Barat dan kalangan akademik dalam menjaga konsistensi bahasa, sastra, dan budaya di Sunda. Tulisan lainnya adalah tentang peranan tiga tungku sejarangan pada etnik melayu di Sumatera Utara dalam merekat kesatuan bangsa yang dipaparkan oleh Epan Hasyim Siregar (Sastra Melayu Universitas Sumatera Utara), vitalitas budaya daerah sebagai aset bangsa dipaparkan oleh Tarlan (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/Daerah Universitas Pendidikan Indonesia) dan Dwi E. Ulandari (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/Daerah Universitas Negeri Surabaya) mengangkat topik tentang masyarakat pedesaan sebagai penyelamat budaya tradisional pada saat sekarang. Semoga topik‐topik yang ditampilkan pada edisi perdana ini dapat membuka wacana kita tentang keanekaragaman budaya bangsa Indonesia. Selamat membaca!
iii
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
FORMULIR BERLANGGANAN Nama
:
Institusi
:
Alamat : Telp./Fax
:
Pekerjaan
:
Pelajar/ Mahasiswa
Umum
Berlanganan untuk umum: 3 edisi = Rp 75.000,-
6 edisi = Rp 120.000,-
Berlanganan untuk pelajar/mahasiswa: 3 edisi = Rp 50.000,-
6 edisi = Rp 100.000,-
Pembayaran melalui: Transfer ke rekening BNI Cab. Kampus USU No. 0062939811/ Bank Mandiri Cab. Pulo Brayan No. 106.00.0404366.0 a. n. Risdo Saragih Cash
-
Keterangan: Isi dengan tanda √ Harga sudah termasuk ongkos kirim Bagi pelajar/mahasiswa harap mengirimkan fotokopi kartu pelajar/ KTM Formulir dapat diperbanyak Kirim kembali formulir ini via surat ke Bagian Sirkulasi Jurnal Budaya Nusantara: Jl. Universitas No. 19 Kampus USU Medan Sumatera Utara Jurnal Budaya Nusantara akan dikirim setelah bukti pembayaran kami terima.
iv
41
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Epan Hasyim Siregar Lahir di Medan, 27 Oktober 1983, beralamat di Medan, mahasiswa Sastra Melayu Universitas Sumatera Utara. Aktif di perkuliahan. Motto: tingkatkan nafsu untuk hal‐hal yang positif Tarlan Lahir di Subang, 10 September 1983 mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia/Daerah Universitas Pendidikan Indonesia. Hobi melamun. Motto: hidup adalah pencarian makna di balik mata Dwi E. Ulandari Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia/Daerah Universitas Negeri Surabaya, sangat aktif di dunia perkuliahan.
Penulisan Lontar dalam Kehidupan Masyarakat Bali1 I.B Putu Juni Eka Putra Fakultas Sastra Universitas Udayana PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam tradisi di Bali khususnya karya‐karya sastra mendapat tempat yang sentral dalam kehidupan sehari‐hari karena sastra tersebut menjiwai seluruh gerak kehidupan masyarakat yang penuh dengan dinamika. Fenomena‐fenomena alam, kehidupan sosial masyarakat serta hubungan vertikal dengan sang Pencipta senantiasa menghiasi setiap guratan daun‐daun lontar yang dituangkan ke dalam bentuk karya sastra yang penuh dengan keindahan dengan kata‐kata yang apik. Oleh para pujangga zaman dahulu ritual seperti itu sudah merupakan rutinitas sehari‐hari. Keadaan ini sangat mendukung penuh dengan masyarakatnya yang hidup secara komunal dan belum terjamah oleh arus modernisasi sehingga kealamian karya‐karya sastra tidak perlu dipertanyakan sebab setiap isinya sudah barang tentu mengangkat tema yang bernafaskan khasanah budaya bangsa umumnya dan Bali khususnya. Sejalan dengan perubahan yang semakin cepat karya‐karya tersebut makin lama makin ditinggalkan sehingga lapuk dimakan zaman. Kurangnya peran masyarakat Bali sebagai pewaris budaya dalam memelihara, melestarikan, menciptakan, dan mengkreasikan karya‐karya sastra yang bernaung di bawah payung ketimuran, dapat disebabkan berbagai macam faktor di antaranya adalah derasnya arus modernisasi dengan budaya‐budaya asing tanpa adanya filter agar tidak merusak budaya nasional maupun daerah. Puncak‐puncak kebudayaan daerah sebagai ujung tombak kebudayaan nasional seakan‐akan terabaikan sehingga benteng pertahanan budaya kita menjadi tergerus dan terpinggirkan. Ditambah dengan kurangnya kemauan untuk mempertahankan kebudayaan secara bersama‐sama di semua kalangan baik generasi muda maupun generasi tua yang melibatkan generasi muda menjadi kehilangan jati diri karena kurang memahami akan budayanya, kepribadiaan mereka mudah goyah. Bila kita melihat kuantitas generasi muda yang menekuni, mempelajari budaya daerahnya khususnya di Bali lebih sedikit dibandingkan dengan yang mempelajari, menekuni ilmu‐ilmu lain. Hal ini sangat mengkuatirkan mengingat jumlah pengusung kebudayaan Bali sudah sangat sedikit. Alasan‐alasan yang kami kemukakan ini merupakan sebagian kecil dari sekian banyak alasan yang ditemukan dalam kehidupan masyarakat Bali. Maka 1
40
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam Temu Ilmiah Nasional di Universitas Negeri Surabaya, 2005
I.B. Putu Juni Eka Putra: Penulisan Lontar…
1
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
sebagai orang timur yang menjunjung tinggi warisan budaya yang turun‐temurun wajiblah kita melestarikan segala potensi yang kita miliki. Salah satunya penulisan karya sastra di atas daun lontar merupakan hal yang cukup baik untuk dibahas, mengingat aktivitas ini dapat mengangkat kembali nilai‐nilai budaya daerah yang telah terkubur oleh arus globalisasi. Dengan demikian pujangga‐pujangga baru untuk berkarya semakin terpancing, sehingga benang merah penyambung kebudayaan tidak terputus. Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yakni: 1. Bagaimanakah proses pembuatan lontar tersebut? 2. Bahasa dan aksara apa yang dipergunakan dalam menulis lontar? 3. Nilai‐nilai apa saja yang dapat kita petik dalam lontar? 4. Usaha‐usaha apa saja yang dapat dilakukan guna meningkatkan kreativitas menulis di atas daun lontar? Tujuan Penulisan Penulisan ini diharapkan dapat mencapai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui cara pembuatan lontar. 2. Untuk mengetahui bahasa dan aksara apa saja yang digunakan dalam menulis lontar. 3. Untuk mengetahui nilai‐nilai yang terkandung di dalamnya. 4. Untuk mengetahui usaha‐usaha yang dapat ditempuh untk meningkatkan aktivitas penulisan lontar. Metode Penulisan Metode yang kami gunakan dalam penulisan laporan ini adalah metode wawancara dan metode kepustakaan. Namun tidak banyak nara sumber yang dapat kami wawancarai, maka dari itu penulis membandingkannya dengan tulisa‐ tulisan dari beberapa literature agar tidak mengurangi kesan keilmiahan. PEMBAHASAN Proses Pembuatan Lontar Bentuk‐bentuk karya sastra yang ada di Bali seperti ka kawin, kidung, geguritan, tutur, usada, dan lain‐lain yang menjadi bahan untuk selanjutnya ditulis di atas daun lontar. Sebelum memulai tahap penulisan, hendaknya diketahui kualitas pemilihan lontar yang layak pakai. Daun lontar yang sesungguhnya layak digunakan untuk menulis adalah daun lontar yang tidak terlalu tua dan tidak terlalu muda, ditandai oleh ujung daun yang kuning kecoklatan. Setelah ujungnya berwarna seperti itu berarti daun lontar itu sudah 2
I.B. Putu Juni Eka Putra: Penulisan Lontar…
Tentang Penulis I.B. Putu Juni Eka Putra Lahir di Gianyar 19 Juni 1984. Biasa disapa “Gustu”. Akedemisi dari Sastra Bali Universitas Udayana. Motto: hidup adalah perjuangan Frans Jun Manalu Panggilan “Frans”. Lahir di Tarutung 12 Juni 1984. Aktivis pencinta alam dan mahasiswa Sastra Batak Universitas Sumatera Utara. Motto: lebih baik memberi dari pada menerima Mohd. Erwin Nugraha Sapaan “Me”, lahir di Bogor 03 Agustus 1983. Akademisi dari Sastra Sunda Universitas Padjadjaran. Motto: hidup jadi yang terbaik
39
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Tjiptoyuwono, Soemadi. 1995. Mengungkap Keberhasilan Pendidikan dalam Keluarga (Sebuah Tantangan Mendidik Putra‐Putri). Surabaya: Bina Utama. Djajasudarma, Fatimah T. 1993. Metode Linguistik (Ancaman Metode Penelitian dan Kajian) Bandung: Eresco. Moeleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Eresco. Arikunto, Suharsini. 1998. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra Wacana Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
38
Dwi E. Ulandari: Masyarakat Pedesaan…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
siap dipetik. Selain layak dari sudut kematangan, juga dilihat dari jenis pohon lontar itu. Di Bali terdapat dua jenis pohon lontar yakni lontar telor (taluh) dan lontar blulang (kulit/kaku). Yang baik digunakan sebagai bahan tulisan dalam jangka waktu yang lain adalah lontar taluh, sedangkan lontar blulang hanya berfungsi sebagai sarana dalam surat‐menyurat maupun cenderamata. Produksi lontar di Bali dapat kita temukan di sekitar daerah Bangli dan Karangasem. Kedua daerah tersebut secara rutin menghasilkan daun‐daun lontar yang sudah siap dipakai untuk ditulisi. Adapun tahap‐tahap pembuatan lontar itu ialah pertama beberapa daun lontar dijemur. Sesudah kering direndam dengan air selama tujuh hari. Selanjutnya digosok hingga bersih dan dijemur kembali sampai kering. Sesudah kering lalu direbus dengan diberi padi, untuk menandai apakah daun lontar itu sudah masak atau belum. Bila beras sudah masak berarti lontar sudah masak, serta diisi daun pepaya. Berikutnya rendam dengan air biasa satu malam, baru besoknya dibersihkan dan dikeringkan. Setelah kering direndam kembali dengan roroban selama 3 malam. Selanjutnya diangkat dibersihkan dengan air biasa, dan dijemur. Kemudian lontar diangkat dan ditaruh pada tempat yang lapang supaya terkena sinar matahari dan malamnya terkena embun selama 5 hari. Setelah itu dijepit dengan kayu (blagblag) selama 3 bulan. Proses berikutnya adalah pemotongan dan perataan dengan alat ketan pada kedua ujungnya. Pemotongan pada kedua ujungnya dan di tengah‐tengah sebagai tempat tali. Tiap‐tiap lontar digarisi (disepat dalam benang) kedua halamannya tiga atau empat garis. Setelah itu siap lontar ditulisi dengan menggunakan pisau kecil yang disebut dengan pengrupak. Setelah selesai ditulisi semua baru digosok dengan arang kemiri yang dibakar agar tulisannya terang atau disipat. Setelah semua proses selesai kemudian diisi dengan benang terpilih serta diikat dengan kayu agar dapat berbentuk “Cakepan”. Dapat dipakai peti kecil (kropak) bila ingin menyimpan lontar. Bahasa dan Aksara yang Digunakan dalam Penulisan Lontar Dalam menulis sebuah karya sastra masyrakat Bali pada umumnya menggunakan bahasa daerahnya sendiri yakni bahasa Bali. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahasa yang lain dapat dipakai, seperti bahasa Jawa kuna, Jawa tengah, sangsekerta, dan lain‐lain. Bentuk‐bentuk karya sastra seperti kakawin biasanya menggunakan bahasa Jawa kuna, bentuk kidung menggunakan bahasa Jawa tengah, geguritan menggunakan bahasa Jawa baru atau bahasa Bali. Tetapi pemakaian jenis bahasa dalam karya sastra tersebut tidak mutlak dalam artian bahasa Jawa bukanlah satu‐satunya bahasa dalam menciptakan sebuah karya sastra kakawin. Penggunaan bahasa lain sangat terbuka asalkan berpedoman pada kaidah‐kaidah yang sudah ditentukan yakni pedoman guru dan laghu. Begitu pula halnya dengan pemakaian bahasa dalam kidung dan bahasa dalam geguritan tidak selalu harus menggunakan bahasa yang pada umunya digunakan. I.B. Putu Juni Eka Putra: Penulisan Lontar…
3
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Selain untuk unsur utama dalam penulisan salah satunya ialah aksara yang tersirat. Pada mulanya aksara bermula dari kebudayaan India yang menggunakan aksara Dewanagari. Selanjutnya susunan aksara itu diadopsi oleh Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu aksara‐aksara itu mengalami perubahan yang disesuaikan dengan kebutuhan ucapan Indonesia. Perubahan aksara itu lebih cenderung pada pengurangan konsonan yang beraspirat. Oleh karena itu aksara yang sampai di Jawa, setelah digubah sedemikian rupa oleh para pujangga berkurang menjadi 20 buah. Sedangkan aksara suara dirgha tidak dimasukkan. Laju evolusi sistem aksara juga berimbas ke Bali. Kebudayaan Bali tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan Jawa zaman dahulu karena keduanya memiliki hubungan yang erat. Bila ingin mengetahui lebih jauh khususnya kebahasan maka kedua bahasa tersebut harus dipelajari. Aksara yang sampai ke Bali berkurang menjadi 18 akibat penyesuaian dengan lingkungan baru. Selain ke 18 aksara itu terdapat ornamen‐ornamen pendukung dalam kegiatan menulis lontar. Di antaranya aksara suara yakni aksara yang dipakai dalam mengeja kata‐kata dalam yang berasal dari bahasa Jawa kuna atau sansekerta, aksara wianjana, pengangge suara, pengangge aksara, menulis angka, menulis aksara anceng, menulis ceciren pepaos contohnya tanda carik siki, carik kalih, tanda persalinan, tanda panti, dan pemada, carik pesalinan (carik agung) dan tanda pamungkah. Demikian uraian singkat mengenai bahasa dan aksara yang biasanya dipergunakan dalam penulisan lontar di Bali. Nilai‐Nilai yang Terkandung dalam Naskah Lontar Lain zaman lain pula kebiasaan‐kebiasaan yang berlaku. Pergeseran‐ pergeseran ini disebabkan oleh tuntutan zaman yang selalu berkembang. Hal inipun berlaku pada budaya menulis lontar. Yakni bila kita melihat ke belakang hanya kesederhanaan dan kesakralan yang tampak jelas dalam setiap aktivitas penulisan lontar tersebut. Nilai agama yang bersifat religius, magis, kepercayaan, dan spiritual semuanya terdapat dalam lontar. Lontar‐lontar yang mewakili jenis ini hubungannya dengan agama Hindu khususnya. Hal ini bisa kita dapatkan dalam lontar putru. Namun sedikit demi sedikit nilai‐nilai tradisional itu berubah. Ketika masyarakat tidak lagi mementingkan hari baik (dewasa) dalam menulis lontar, bila ingin memulai tanpa harus disertai mantra‐mantra maupun sarana persembahyangan seperti banten, dupa, dan lain‐lain. Keadaan sekarang yang agak berbeda dengan kebiasaan zaman dulu adalah upacara mewinten (suatu upacara untuk seseorang secara niskala maupun sekala agar dewi saraswati sebagai dewi ilmu pengetahuan membuka pikiran dan jalan yang benar bagi orang yang bersangkutan dalam mempelajari maupun menekuni segala sesuatunya tentang lontar). Selain itu nilai‐nilai etika juga menjiwai isi lontar yang sarat akan makna. Nilai‐nilai etika dapat berupa nilai kepahlawanan, nilai moral, nilai sopan‐santun, dan lain‐lain. Lontar jenis ini dapat jumpai dalam bentuk ithiasa, cerita tantri, dan 4
I.B. Putu Juni Eka Putra: Penulisan Lontar…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
pandangan itu, maka kita harus bisa menyangkalnya, kita harus menanamkan dan menyakinkan kepada generasi muda bahwa semua anggapan itu salah. Dewasa ini masyarakat kita, khususnya masyarakat Jawa sudah mulai melupakan budayanya sendiri. Hal ini terpengaruh oleh adanya kemajuan teknologi. Khususnya pada masyarakat perkotaan, mereka sudah tidak memiliki waktu untuk memikirkan apa yang namanya budaya. Apalagi itu yang berbau tradisional. Mereka sudah disibukkan dengan dunia kerja mereka sendiri. Berbeda dengan masyarakat pedesaan, mereka memiliki kesadaran untuk mempertahankan budaya sendiri. Masyarakat pedesaan masih menghendaki budaya tradisional tetap ada, hal ini terlihat dari peranan orang tua dalam mendidik anaknya. Mereka masih selalu menanamkan kebiasaan‐kebiasaan yang memiliki nilai luhur kepada anak‐anaknya. Dengan adanya generasi muda yang masih memiliki kecintaan terhadap budaya tradisionalnaya maka budaya tradisional masih tetap lestari meskipun harus dimodifikasi. Nilai‐nilai luhur budaya kita harus diselamatkan, nilai‐nilai itu dapat tercermin dari sikap‐sikap yang mereka lakukan. Dengan menyelamatkan budaya yang bernilai luhur itu maka sebenarnya kita telah menyelamatkan nasib anak cucu kita dari penurunan nilai normal. Saran Saran yang dapat diberikan dari selesainya penulisan ini adalah hendaknya kita khususnya orang tua harus selalu menanamkan kepada anak‐anak kita betapa pentingnya suatu budaya terhadap suatu bangsa. Kita harus membentengi generasi penerus dengan suatu kesadaran sikap untuk selalu mencintai budaya sendiri. DAFTAR PUSTAKA Karim, Muhamad Rusli. ‐‐‐‐. Seluk Beluk Perubahan Sosial. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional. Purna, Made. Sri Gutomo. 1997, Arti Makna Tokoh Pewayangan Mahabharata dalam Pembentukan dan Pembinaan Watak Seri 3. Jakarta: CV Eka Dharma. Lestari. 1983. Mengenal Permainan Anak. Jakarta: PT Pondok Press. Kartono, Kartini, Mengenal Dunia Kanak‐Kanak. Jakarta: CV Rajawali. Koentjoroningrat. 1990. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Tama. Van Peursen, C. A. 1976. Strategi Kebudayaan. Jakarta: Penerbit Kanisus. Yogyakarta. Mahmud, Kusman K. 1987. Mosaik Budaya. Bandung: Penerbit Kota Kembang Yogyakarta.
Dwi E. Ulandari: Masyarakat Pedesaan…
37
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
dapat kita lihat pada masyarakat pedesaan. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa masyarakat pedesaan merupakan penyelamat budaya tradisional. • Nilai gotong‐royong. Gotong‐royong merupakan suatu sikap saling membantu, ringan tangan dalam melakukan suatu pekerjaan. Pekerjaan berat akan semakin terasa ringan dan mudah jika dikerjakan secara bersama‐sama. Sikap gotong‐royong ini mencerminkan sikap kebersamaan suatu masyarakat di suatu daerah tertentu. Contohnya di sebuah desa ada salah seorang warga yang sedang mendirikan rumah, tanah disuruhpun para tetangga berdatangan untuk membantu dan memberikan sedikit bantuan sekedarnya. Sikap gotong‐royong ini sudah jarang kita lihat di perkotaan. Hal ini dikarenakan masyarakat perkotaan sudah disibukkan oleh pekerjaannya masing‐ masing. Rasa kepedulian terhadap lingkungan sangat berkurang. Padahal sikap gotong‐royong adalah suatu sikap yang luhur dan patut kita tanamkan pada anak cucu kita. Karena gotong‐royong adalah suatu perbuatan yang tanpa embel‐embel apapun kecuali rasa ketulusan. • Menjunjung tinggi norma‐norma. Norma adalah suatu aturan yang mengikat suatu masyarakat dan biasanya tidak bersifat tertulis. Masyarakat sekarang sudah tidak begitu memperhatikan norma‐norma lagi. Hal ini terlihat dari adanya pergaulan bebas di kalangan remaja. Contohnya anak gadis yang keluyuran di tengah malam tanpa memperhatikan waktu. Kasus ini umumnya dialami oleh masyarakat yang tinggal di kota, lingkungan yang tidak memperhatikannya membuat dia dapat seenaknya dalam berperilaku. Berbeda dengan masyarakat pedesaan, segala tingkah laku yang sekiranya tidak pantas dilakukan seseorang akan menjadi bahan perbincangan. Sanksi yang diberikan dalam kasus ini adalah gadis itu akan menjadi bahan perbincangan orang banyak. Sehingga dalam masyarakat pedesaan akan selalu timbul mawas diri. PENUTUP Kesimpulan Sebagai suatu bangsa yang masih tetap peduli terhadap identitasnya, maka kita harus bisa melestarikan budaya tradisional yang ada di negara kita. Budaya tradisional adalah bagian dari budaya tradisional. Budaya tradisional dewasa ini sudah kurang diminati, hal ini karena adanya anggapan dari orang‐orang yang tidak memahami kebudayaan. Mereka menganggap budaya tradisional itu budaya yang konon, budaya yang ketinggalan jaman, dan sebagainya. Dari semua
36
Dwi E. Ulandari: Masyarakat Pedesaan…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
lain‐lain. Sastra klasik inipun penuh dengan nilai estetika. Keindahan karya oleh para pujangga ini biasanya tersurat dalam ithiasa yang terekam dalam alur cerita, seting, maupun tragedi yang dikisahkan melalui penulisan maha karya tersebut. Nilai yang dapat kita telaah dalam naskah lontar yaitu nilai logika yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan falsafah hidup. Tema mengenai nilai‐ nilai pengetahuan dan filsafat hidup umumnya terdapat dalam naskah yang berhubungan dengan wariga yang terdiri dari tutur, kanda, dan usahda serta yang berhubungan dengan babad. Wujud nilai tradisional yang ada dalam lontar tidak semuanya dapat diterima dalam kehidupan masyarakat karena ada yang mulai bergeser seiring dengan perubahan zaman. Tetapi tidak semua nilai‐nilai yang terkandung luntur di tengah arus modernisasi. Usaha‐Usaha dalam Melestarikan Tradisi Menulis Lontar Untuk menghindari kekrisisan budaya dalam hal ini bahasa sebaiknya dilakukan usaha‐usaha pencegahan. Usaha ini dilakukan untuk tetap mempertahankan segala yang kita miliki. Adapun usaha‐usaha yang dilakukan oleh masyarakat Bali adalah: Melakukan kegiatan mabebasan, kegiatan ini berupa praktik membaca (melagukan kakawin) dengan mengikuti aturan guru laghunya yang kemudian diterjemahkan dengan disertai ulasan‐ulasan. Kegiatan ini dilakukan dalam kelompok pesantian. Dalam melaksanakan mabebasan sarana yang dipergunakan sebagai bahan untuk ditembangkan berupa lontar. Sehingga di sini terjadi keterkaitan antara praktik mabebasan dan usaha penulisan lontar, guna memenuhi kebutuhan setiap acara. Selain itu setiap upacara keagamaan yang dilakukan di Bali tidak lepas dari peran lontar atau pustaka suci dan juga para sulinggih. Di dalam lontar‐lontar itu disebabkan tata urut jalannya upacara, ketentuan sarana dan prasarana upacara yang dipakai, dan masih banyak lagi penjelasan yang dapat kita petik dari pustaka lontar‐lontar yang berhubungan dengan ritual keagamaan, maka kekrisisan budaya menulis di atas daun lontar dapat tercegah. Dengan melaksanakan perlombaan menulis lontar di tingkat sekolah turut pula meningkatkan minat generasi muda mendalami kebudayaannya. Seperti yang dilakukan setiap tahun dalam acara pesta kesenian Bali yang biasa diadakan di Taman Budaya Denpasar Bali. Perlombaan bergengsi ini biasanya diikuti oleh peserta dan masing‐masing kabupaten. Perwakilan murid‐murid inilah yang diharapkan nantinya sebagai generasi penerus untuk lebih memasyarakatkan salah satu aset budaya ini, agar nilai‐nilai budaya yang terkandung tidak usang. Sosialisasi melalui murid yang berprestasi dalam perlombaan penulisan lontar dapat dijadikan ajang untuk memancing minat generasi muda mencintai dan mempelajari kebudayaannya.
I.B. Putu Juni Eka Putra: Penulisan Lontar…
5
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Penulisan lontar itu tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat Bali untuk dipakai sebagai sarana membuka lapangan kerja. Sebagai contoh daun lontar dapat dikreasikan sebagai cendera mata. Dengan teknik‐teknik menggambar pewayangan (rerajahan) berdasarkan cerita‐cerita epos yang biasanya diambil dari kakawin ramayana, kakawin mahabaratha dan lain‐lain dengan inspirasi‐inspirasi itu biasanya para pujangga mengguratkan ide‐idenya dalam gambar. Selanjutnya hasil‐hasil karya seni itu dapat dipamerkan maupun dijual pada tempat‐tempat pariwisata seperti di pasar‐pasar seni, art shop yang ada di seantero Bali. PENUTUP Kesimpulan Lontar merupakan naskah yang di dalamnya mengandung teks yang sarat dengan nilai‐nilai budaya. Yang sampai sekarang sebagai cermin dari kebudayaan tradisional Bali khususnya. Teks yang terdapat dalam lontar perlu dikaji nilai di dalamnya sehingga bermanfaat bagi kehidupan masyarakat yang berkepribadian luhur. Usaha sangat perlu dilakukan guna meningkatkan kecintaan terhadap nilai‐ nilai budaya tradisional yang perlu diterapkan oleh masyarakat. Sebab perdebatan tidaklah akan menemukan titik temu. Sebagai manusia hendaknya kita berpikir lebih bijak, yakni dengan mengedepankan solusi, yang dapat lebih memberikan nilai tambah dalam setiap permasalahan yang kita hadapi. Dengan berbekal ilmu pengetahuan kita dapat menarik garis tengah, hal‐ hal mana yang kita unggulkan dan hal mana yang perlu kita benah. Saran Pada hakikatnya setiap kebudayaan daerah yang kita warisi haruslah mendapat perhatian lebih dari pengusungnya. Maka dalam kesempatan ini marilah kita bersama‐sama berbenah diri dan mengevaluasi setiap unsur kebudayaan, khususnya dalam bidang bahasa dan sastra yang kita miliki. Hal ini bertujuan agar bahasa dan sastra di masing‐masing daerah tetap lestari. DAFTAR PUSTAKA Simpen, Wayan. 1982. Riwayat Kesusastraan Jawa Kuno. Denpasar: Yayasan “Bali Metri“ Denpasar. Tinggen, I Nengah. 1975. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD Rhika. Zoetmulder, P. J. 1973. Kalangan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan. 6
I.B. Putu Juni Eka Putra: Penulisan Lontar…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
mendongeng terlebih dahulu. Dengan mendongeng maka akan menambah wawasan anak, hal ini sesuai dengan Kartono, Kartini (1985:84) bahwa dongeng akan memperkuat daya imajinasi dan mempertajam daya kreatif anak‐anak. Berbeda dengan masyarakat dewasa ini, mereka sudah jarang atau hampir tidak pernah mendongeng lagi. Alangkah bijaksananya orang tua apabila mereka menyempatkan diri setiap malam untuk mendongeng kepada anaknya. Suatu tradisi yang sudah berlaku sejak dahulu dan merupakan budaya tradisional. Bagi orang tua sendiri, dongeng juga memiliki manfaat yaitu dapat mengenang kembali masa kanak‐kanaknya yang penuh pesona dan sangat menyenangkan. • Orang tua harus kreatif dalam mengenalkan budaya tradisional. Agar seorang anak tidak memandang budaya tradisional dengan sebelah mata, maka orang tua harus pandai‐pandai dalam mengenalkan, juga memiliki akibat yang buruk yaitu anak justru sebaliknya akan membencinya. Orang tua harus bisa memodifikasi budaya tradisional sedemikian rupa, yaitu dengan cara dimodifikasi. Dengan cara dimodifikasi maka anak‐anak tidak justru akan maencintai hal‐hal baru yang ada di sekitarnya. Dengan adanya modifikasi anak akan menganggap budaya tradisional dapat menyesuaikan diri dengan keadaan zaman. Kondisi seperti itu akan menimbulkan kecintaan terhadap budaya sendiri. Mereka akan percaya diri dengan keemasan baru budaya tradisional. Nilai‐nilai apakah yang patut kita teladani dari budaya tradisional? Budaya tradisional adalah budaya yang masih menjunjung tinggi nilai‐nilai tradisi lama yang bernilai luhur. Tradisi ini mencerminkan sikap dan budi pekerti baik yang saat ini sangat diperlukan guna menyelamatkan bangsa kita dari penurunan moral. Sikap‐sikap tersebut antara lain: • Nilai anjangsana. Anjangsana merupakan suatu kebiasaan baik masyarakat terdahulu yang saat ini sudah mulai jarang dilakukan. Nilai anjangsana bisa menumpuk rasa kekeluargaan dan mempererat silaturrahmi. Suatu contoh pada saat hari raya Idul Fitri, seorang anak yang jauh dari orang tuanya selalu berupaya untuk bisa pulang ke kampung halamannya untuk bersilaturrahmi dengan kedua orang tuanya serta sanak keluarganya. Berbeda dengan sekarang, adanya kemajuan teknologi dan bidang komunikasi, mereka cukup dengan menelepon saja. Di sini kemudahan dan kepraktisannyalah yang mereka utamakan bukan adat kebiasaan. Dari situ terlihat bahwa nilai anjangsana sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat sekarang khususnya masyarakat perkotaan. Nilai‐nilai anjangsana tersebut masih bisa kita jumpai di masyarakat pedesaan. Pada saat hari raya Idul Fitri kita masih sering menjumpai orang‐orang berbondong‐bondong untuk mendatangi rumah sepupu atau orang yang dianggap tua. Rasa perduli terhadap budaya tradisional
Dwi E. Ulandari: Masyarakat Pedesaan…
35
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
mengetahui lagi budaya‐budaya tradisional yang mereka miliki. Dari segi pemahamannya saja mereka sudah tidak mengetahuinya apalagi dalam penerapannya. Kondisi seperti inilah yang dikatakan masyarakat sudah mulai meninggalkan warisan‐warisan leluhur yang seharusnya kita lestarikan. Adanya penurunan moral generasi muda merupakan satu bukti bahwa nilai‐ nilai budaya tradisional sudah menurun. Berkurangnya sopan‐santun anak kepada orang yang lebih tua adalah salah satu contohnya. Dahulu kala seorang anak selalu patuh dan taat terhadap apa yang dikatakan oleh orang tuanya. Berbeda dengan sekarang, saat anak sedang dinasihati orang tuanya mereka tidak begitu mengindahkannya bahkan mereka akan bicara seenaknya sendiri. Dari bukti di atas terlihat bahwa keberadaan budaya tradisional memerlukan uluran dari orang‐orang yang peduli terhadap budaya tradisional. Kita sebagai masyarakat Jawa yang masih menghendaki budaya tersebut hidup dan tumbuh maka sudah seyogianyalah selalu memperhatikannya. Bagaimanakah upaya masyarakat pedesaan khususnya orang tua dalam menanamkan budaya tradisional? Masyarakat pedesaan adalah masyarakat yang masih kental budaya tradisionalnya. Letak daerah yang berjauhan dengan pusat berkembangnya teknologi menjadikan budaya tradisional agak leluasa untuk berkembang. Hal ini sedikit memberikan nafas bagi budaya tradisional untuk hidup. Kesadaran para orang tua yang masih peduli dengan budayanya itu sangat memberikan arti. Sasaran orang tua itu adalah anak‐anak selaku tunas bangsa yang belum terkontaminasi, kemungkinan untuk menyelamatkannya masih besar. Upaya‐upaya yang dilakukan oleh orang dalam usaha penanaman kecintaan terhadap budaya sendiri kepada anak‐anaknya antara lain adalah sebagai berikut: • Orang tua harus bisa menjadi partner dalam bermain anaknya. Kedekatan orang tua dengan anak‐anaknya sangatlah berpengaruh terhadap perkembangannya. Orang tua bisa menanamkan keyakinan kepada anak‐anaknya melalui berbagai hal. Hal ini sesuai dengan Tjiptoyuwono (1995:20) bahwa peran keluarga khususnya orang tua sangat besar sekali yakni memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keyakinan. Salah satu cara yang bisa digunakan untuk melekatkan penanaman cinta budaya tradisional adalah orang tua harus bisa jadi teman bermain anak, orang tua bisa mengerti anak. Caranya adalah dengan selalu memperhatikan kesenangannya. Dari kondisi yang seperti itu maka orang tua dapat memasukkan hal‐hal mengenai pentingnya budaya tradisional melalui permainan anak yang mereka gemari. • Orang tua membiasakan diri untuk bercerita. Bercerita atau sering disebut mendongeng adalah kebiasaan rutin masyarakat terdahulu. Sebelum anak tidur, biasanya orang tua menyempatkan diri untuk 34
Dwi E. Ulandari: Masyarakat Pedesaan…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Upacara Ritual Pomparan Guru Tatea Bulan2 Frans Jun Manalu Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi budaya suku‐suku bangsa di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan, budaya yang dimiliki oleh para nenek moyang pelan‐pelan mulai hilang diterpa arus globalisasi. Kelestarian budaya maupun tradisi kurang diperhatikan lagi khususnya oleh generasi muda pada saat ini. Sesungguhnya, masih ada tradisi‐tradisi yang tertinggal dan masih dipertahankan oleh kelompok pemiliknya. Salah satu tradisi itu ada di tanah Batak, di desa Limbong, Sianjur mula‐mula Sumatera Utara. Tradisi ini berupa acara ritual yang dinamai “Pesta Ni Pomparan Guru Tatea Bulan”. Sebelum dipaparkan lebih lanjut, perlu pembaca mengetahui terlebih dahulu istilah‐istilah dalam bahasa Batak yang digunakan dalam ritual tersebut, antara lain: [ Suhut (manghasunduton) yaitu pihak yang mengadakan pesta ritual. [ Boru (parboru) dalam ritual ini Parboru adalah saudara perempuan dari suhut dan dalam adat ini Parboru sangat mengambil peran baik, dalam ritual maupun menyiapkan keperluan makanan (Parhobas) dan mempersiapkan sesajen. [ Bere/Ibebere yaitu putra/putri dari Parhobas, yang masih sebagai pelengkap dalam kegiatan acara ritual tersebut. [ Uluan Ni Ulaon yaitu orang yang memimpin acara ritual, Uluan Ni Ulaon ini diilhami oleh roh nenek moyangnya (marhasoropan), dialah yang menjadi media penyampai berita ataupun perintah‐perintah kepada manusia, khususnya suku Batak (dalam ritual yang berlangsung tahun 2004 Uluan Ni Ulaon‐nya dalam ompung Pasaribu yang bertempat tinggal di Berastagi, Sumatera Utara). [ Pangariri yaitu bertugas untuk mencucuk hidung kerbau (borhas) dengan memakai doa atau mantra, kemudian Sitogu Horbo memandu kerbau sampai ke lalas untuk dipersembahkan/dikurbankan kepada ompung Mula Jadi Na Bolon dan nenek moyang. Sebagai syarat utama menjadi Pangariri ini adalah harus dapat mengerti bahasa kerbau. [ Lalas/borotan, lalas ini menjadi tempat diikatnya kerbau persembahan (horbo porhas). Lalas ini dibuat oleh Pangalalas. Lalas ini terbuat dari: Sanggar Sampinur Pollang 2
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam Temu Ilmiah Nasional di Universitas Negeri Surabaya, 2005
Frans Jun Manalu: Upacara Ritual…
7
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Appawa Ri na hona dandan Ijuk (yang masih berguling) Bintang‐bintang (diambil dari kayu borotan) Kayu sari marurek dipakai untuk kerbau berkulit putih Kayu junjung buhit dipakai untuk kerbau berkulit hitam Semua bahan tersebut di atas diambil dari hutan. [ Pamuhai yaitu seorang dukun (datu) yang menombak kerbau persembahan kepada Ompung Mula Jadi Na Bolon dan roh nenek moyang orang Batak. Kerbau persembahan itu ditombak sebanyak dua kali, setelah itu Pamuhai pulang dari ritual itu dan tidak bisa melihat ke belakang. [ Pargoci adalah pemain gendang [ Marhasoropan yaitu kemasukan roh nenek moyang, ataupun dengan kata lain diilhami. Latar Belakang Ritual pesta pomparan Guru Tatea Bulan ini telah terlaksana mulai dari tahun 1999 setiap bulan September. Acara ritual Batak diadakan kembali karena seseorang dari keturunan Ompung Guru Tatea Bulan diilhami oleh roh nenek moyangnya dan menyuruhnya untuk memberitahukan kepada saudara‐ saudaranya agar mengadakan pesta sebanyak 7 kali (sekali dalam setahun) diambil pada bulan September. Sebenarnya pesta ini sudah berlangsung sebanyak 5 kali, yang dilaksanakan pada tahun 1999 (pesta 1), tahun 2001 (pesta 2), tahun 2002 (pesta 3), tahun 2003 dan yang baru dilaksanakan pada tanggal 27 s.d. 29 September 2004 di batu hobon (batu keramat), desa Limbong Sianjur Mula‐Mula Sumatera Utara. Pesta ritual ini tujuan umum dan khusus yaitu: Khusus o Agar senantiasa seluruh keturunan ompung Tatea Bulan mendapat berkat dan mengenal nenek moyangnya sehingga dapat bersatu. o Mengungkap rahasia pusaka ompung Guru Tatea Bulan (surat agong serta harta pusaka orang Batak) dan dapat mengungkapkan sejarah Batak. Umum o Agar orang Batak sendiri mengenal dan tahu sejarah nenek moyangnya sekaligus memperkenalkannya ke seluruh dunia. PEMBAHASAN Sejarah Ritual Bangsa Batak mempercayai bahwa nenek moyang (asal usul) bangsa Batak adalah Empu Si Raja Batak. Dahulu si Raja Batak bermukim di Anjur Mula‐Mula, 8
Frans Jun Manalu: Upacara Ritual…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
dalam pelestarian budaya tradisional. Penulis menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode deskriptif. Pendekatan kualitatif berupa penelitian yang tidak memakai penghitungan secara mekanik (Moleong, 2000:2). Karakter pendekatan ini dapat dilihat dari empat hal yakni: (a) berlatar ilmiah, (b) analisis data induktif, (c) deskriptif, (d) lebih mementingkan proses daripada hasil (Djajasudarma, 1993:3). Menurut Djajasudarma (1993:8) metode deskriptif adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi, artinya membuat gambaran, melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data dan sifat‐sifatnya serta hubungan fenomena yang diteliti. Demikian halnya Arikunto (1998:208) menjelaskan bahwa metode deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan. Selanjutnya data‐data yang telah terkumpul nantinya akan digambarkan dengan kata‐kata atau kalimat, dipisahkan menurut kategori tertentu untuk memperoleh kesimpulan. Data Data yang akan dianalisis adalah mengenai peranan masyarakat pedesaan sebagai penyelamat budaya tradisional meliputi keberadaanya di era sekarang, upaya‐upaya yang dilakukan masyarakat pedesaan khususnya orang tua dalam menanamkan tentang kecintaan terhadap budaya tradisional serta nilai‐nilai budaya tradisional yang patut kita teladani. Teknik Analisis Data Dalam hal ini penulis mencari dan membaca buku‐buku tentang kebudayaan khususnya kebudayaan ideel, serta fakta‐fakta yang ada dalam masyarakat mengenai budaya tradisional yang sudah mulai hilang. PEMBAHASAN Melihat fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini, kondisi budaya tradisional sangatlah terancam dan memprihatinkan. Semuanya sudah didominasi oleh teknologi dan kini manusia diperbudaknya. Dalam hal ini kesadaran sangatlah diperlukan. Kesadaran dari masing‐masing orang untuk mencintai budayanya sendiri harus selalu ditanamkan dan dipupuk sedini mungkin. Jangan sampai identitas bangsa kita hilang termakan budaya Barat yang serba bebas. Berdasarkan rumusan masalah di atas, selanjutnya penulis akan menjabarkanya dalam pembahasan ini. Bagaimanakah keberadaan budaya tradisional (nilai‐nilainya) di era sekarang? Pengaruh perkembangan teknologi ternyata membawa dampak yang buruk terhadap budaya tradisional. Sebagian besar masyarakat sekarang sudah Dwi E. Ulandari: Masyarakat Pedesaan…
33
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
c. Kebudayaan artifact, wujud kebudayaan sebagai benda‐benda hasil karya manusia. Ide‐ide dan gagasan‐gagasan manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat memberi jiwa kepada masyarakat itu. Gagasan itu tidak berada lepas satu dari yang lain melainkan selalu berkaitan menjadi suatu sistem. Fungsi sistem budaya adalah menata dan memantapkan tindakan‐tindakan serta tingkah laku manusia. Menurut Tim MKDK (1996:89) kebudayaan merupakan keseluruhan total dari sesuatu yang pernah dihasilkan manusia di bumi ini dari zaman ke zaman. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan merupakan cerminan kehidupan masa lalu. Dalam hubungannya dengan anak sistem nilai budaya dibedakan pengertian peradaban dan adat. Peradaban merupakan bagian dari unsur‐unsur kebudayaan yang halus dan indah seperti kesenian, ilmu pengetahuan, serta sopan‐santun dan sistem pergaulan yang komplek dalam suatu masyarakat. Sedangkan peradaban sering dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan ilmu pengetahuan yang maju dan komplek (Tim MKDK, 1996:89). Suparlan dalam Sudikan (2001:11) perubahan kebudayaan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem ide yang dimiliki bersama sejumlah warga masyarakat yang bersangkutan meliputi aturan‐aturan, norma‐norma yang digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan warga masyarakat, nilai‐nilai teknologi, selera dan rasa, keindahan dan kesenian, dan bahasa. Agar suatu kebudayaan itu bisa lestari, maka diperlukan suatu kesadaran yang tinggi dari masyarakat khususnya orang tua. Para orang tua bisa menanamkan kecintaan budaya terhadap anak‐anaknya. Hal ini sesuai dengan lestari (1983:63) bahwa seringkali orang tua harus menjadi patner anak dalam bermain. Mungkin karena tidak punya teman atau memang perlu dibimbing. Dalam kerja sama yang baik ini orang tua bisa memberikan permainan‐permainan kepada anak‐anak yang sifatnya mendidik dan bisa menumbuhkan kecintaan kepada anak terhadap budaya sendiri. Orang tua juga bisa menanamkan kecintaan budaya kepada anak‐anaknya melalui dongeng. Sesuai dengan Kartono, tini (1985:84) dongeng mengajarkan kepada anak‐anak mengenali buku‐buku dan menumbuhkan minat baca, selain itu dongeng juga bisa memperkuat daya imajinasi dan mempertajam kreativitas anak‐anak. METODE PENELITIAN Pendekatan Pada sebuah penulisan, metode sangat dibutuhkan. Berdasarkan permasalahan yang akan dikaji, yakni mengenai peran serta masyarakat pedesaan 32
Dwi E. Ulandari: Masyarakat Pedesaan…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
tepatnya di Pusuk Buhit Samosir, Sumatera Utara. Si Raja Batak mempunyai 2 orang anak yaitu Ompu Guru Tatea Bulan dan Ompu Raja Isumbaoan. Menurut legenda Batak, si Raja Batak menurunkan pusaka batak kepada kedua anaknya yaitu: • Surat agong, diberikan kepada Guru Tatea Bulan. Surat ini berisi tentang: - Hadatuon (ilmu perdukunan, pengobatan tradisional) - Habeguon/ilmu hitam - Pangaliluhon/membodoh‐bodohi orang - Parmonsahon/ilmu pencak silat/bela diri - Parlemuon - Partahanon/pertahanan badan/ilmu hitam • Surat tombaga holing, diberikan kepada Raja Isombaon, surat ini berisi tentang: - Harajaon/kerajaan - Paruhumon/hukum - Paradaton/adat/budaya - Pangulaon tano/cara bercocok tanam - Partiga‐tigaon/berjualan - Parboniagaon Guru Tatea Bulan mempunyai beberapa anak: Raja Huti Saribu Raja Limbong Mulana Sagala Raja Silau Raja dan putri‐putrinya yaitu: Biding Laut Si Boru Pareme Si Pinta Haomason Si Anting Sabungan Natinjo Nabolon “Banci“. Ritual Pomparan Tatea Bulan ini dilaksanakan oleh keturunan yang pertama yakni: marga Pasaribu, Limbong, Sagala, dan Malau. Keempat marga inilah yang disebut dengan suhut (hasuhuton) atau yang mengadakan pesta. Sebelum Upacara 1. Sungkum Nipi Di dalam sungkum nipi inilah roh nenek moyang datang melalui mimpi ataupun kerasukan (marhasoropan) kepada Uluan Ni Ulaon (yang dalam ritual tahun lalu diwakili Ompung Pasaribu) dan di sinilah diberitahukan kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan ritual selanjutnya. Frans Jun Manalu: Upacara Ritual…
9
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
2. Marsaripe (margusip) Uluan Ni Ulaon memberitahukan kepada kerabat‐kerabatnya untuk segera menyiapkan upacara ritual itu. 3. Martonggo Raja (Galang Raja) Setelah diberitahukan mereka memanggil Raja‐Raja Adat (Sagala, Pasaribu, Malau, dan Limbong) di desa ini maupun pemerintah setempat untuk memberitahukan akan dilaksanakan pesta yang berikutnya atau lanjutan dari perjanjian dengan nenek moyangnya. Setelah itu galang raja diadakan, mereka (suhut) meminta izin kepada ibu (wanita yang diibukan agar mereka diberkati) Pelaksanaan Upacara A. Hari Pertama Dimulai pada pagi harinya seiring terbitnya matahari. Uluan Ni Ulaon membuka acara ini dengan membacakan mantra/doa kepada Ompung Mula Jadi Na Bolon agar acara ritual ini diberkati. Setelah itu, Uluan Ni Ulaon memberangkatkan Pangalap Borotan ke hutan untuk mencari borotan (beberapa jenis daun‐daun yang sudah ditentukan). Sementara itu para undangan dalam ritual ini mulai berdatangan. Pada siang harinya mereka memberikan pelean/persembahan sesajen, sebanyak 4 buah. Yaitu kepada kambing serta bagian‐bagian yang sudah ditentukan diletakkan di atas batu hobon. Penyerahan persembahan ini dilakukan dengan hikmah melalui mantra/doa. Beberapa saat kemudian Pangalap Borotan tiba, mereka disambut dengan suka cita. Parboru menyambut mereka dengan menaburkan Beras (boras sipir ni tondi) di atas kepala mereka. Penyambutan ini bermaksud agar Pangalap Borotan merasa terhibur karena sudah lebih mencari borotan/lalas. Pada malam harinya tepat pukul 22.15 WIB gondang pun mulai dimainkan, sebutan gondang itu dinamai dengan gondang mandudu. Gondang ini berfungsi sebagai perantara antara ritual nenek moyang mereka. Gondang ini juga dimainkan untuk memberitahu kepada nenek moyang mereka bahwa mereka sudah melakukan ritual yang telah diperintahkannya. Gondang ini berlangsung selama 2 jam, gondang ini dimainkan tidak boleh ada suara lain di sekitar tempat upacara ritual, semua lampu dimatikan serta benda apapun yang menimbulkan cahaya, yang terdengar hanyalah gondang itu saja. Pada pukul 04.00 dini hari gondang ini dimainkan lagi, fungsinya untuk menyambut matahari terbit dan mereka akan memulai pesta pada hari kedua. B. Hari Kedua Pada pagi harinya semua pelaku ritual melakukan aktivitasnya masing‐masing, di mana Pangalap Borotan mulai memasang lalas. Setelah itu Suhut memanggil Pangariri untuk melaksanakan tugasnya. Sementara itu, Suhut beserta yang ada di sana bersiap‐siap menyambut borhat (kerbau putih yang dibawa oleh Si Togu Horbo). Sesampainya horbo (kerbau) di tempat lalas para Suhut dan Boru 10
Frans Jun Manalu: Upacara Ritual…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian Masyarakat Pedesaan sebagai Penyelamat Budaya Tradisional dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat Teoretis Setelah penelitian ini selesai diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam disiplin‐disiplin ilmu lain, misalnya sosial, budaya, kemasyarakatan dan disiplin‐disiplin ilmu yang lain. Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dari penelitian ini yaitu memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang jerih masyarakat pedesaan dalam usaha pelestarian budaya tradisional. TELAAH PUSTAKA Masyarakat adalah bagian dari bangsa. Kita bisa menilai suatu bangsa dari budaya yang ia miliki. Semakin banyak budaya yang ia miliki maka semakin kayalah budaya bangsa ini. Menurut tim MKDK (1986:630) budaya berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti budi dan akal. Kebudayaan dapat diartikan sebagai hal‐hal yang bersangkutan dengan akal dan budi. Berdasarkan Mahmud (1987:38) budaya merupakan pustaka langka yang perlu diselamatkan. Sesuatu yang langka adalah sesuatu yang sulit dicari. Sesuatu yang sulit dicari itu perlu diselamatkan agar anak cucu kita kelak masih bisa menjumpainya. Konsep kebudayaan merupakan keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya (Koentjoroningrat, 1985:9). Sistem nilai budaya adalah tingkat tertinggi dan paling abstrak dari adat istiadat. Sebabnya adalah karena nilai budaya terdiri dari konsep‐konsep mengenai segala sesuatu yang dinilai berharga dan penting oleh masyarakat, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi pada kehidupan para warga masyarakat yang bersangkutan (Koentjoroningrat, 1996:75). Menurut Kroeber dalam Koentjaraningrat (1990:75) membedakan adanya tiga wujud kebudayaan, yaitu: a. Kebudayaan ideel, wujud kebudayaan sebagai suatu komplek ide‐ide, gagasan, nilai‐nilai, norma‐norma, peraturan, dan sebagainya. b. Kebudayaan activities, wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
Dwi E. Ulandari: Masyarakat Pedesaan…
31
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Penelitian ini mengambil objek masyarakat pedesaan karena pada masyarakat pedesaan dilihat dari segi letaknya yang sangat jauh dari pusat keramaian memungkinkan sangat sedikit sekali terpengaruh oleh budaya‐budaya luar yang serba bebas. Berbeda dengan masyarakat kota, letaknya yang strategis memungkinkan sekali adanya pengaruh yang berdampak buruk bagi peradaban manusianya. Dalam penelitian ini kami hanya memfokuskan pada sistem nilai budaya, utamanya yaitu budaya ideel pada masyarakat Jawa. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas budaya memiliki sifat yang dinamis yaitu selalu berubah atau berkembang sesuai dengan tuntutan zaman. Namun perkembangan kebudayaan yang merupakan warisan leluhur yang memiliki nilai yang adi luhung. Suatu misal budaya menghormati orang yang lebih tua, budaya anjangsana, budaya makan dan berpakaian serta masih banyak lagi budaya‐ budaya yang bernilai luhur yang patut kita lestarikan. Budaya tradisional yang kita miliki lambat laun akan hilang jika generasi muda sudah tidak mengindahkan lagi, apalagi di zaman yang serba canggih seperti saat ini. Untuk melestarikan budaya tradisional itu diperlukan kesadaran yang tinggi. Dengan kesadaran yang tinggi itu maka akan bisa menumbuhkan kepedulian terhadap budaya sendiri. Dari sini dapat dirumuskan suatu permasalahan sebagai berikut: • Bagaimanakah keberadaan budaya tradisional (nilai‐nilainya) di era sekarang ini? • Bagaimana upaya masyarakat pedesaan khususnya orang tua dalam menanamkan kepada anaknya tentang budaya tradisional? • Hal‐hal apakah yang patut kita teladani dari nilai‐nilai budaya tradisional? Tujuan Penelitian Penelitian tentang masyarakat pedesaan sebagai penyelamat budaya tradisional ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum Tujuan umum dari penulisan ini adalah mengetahui keberadaan budaya tradisional di era sekarang, mengetahui hal‐hal apakah yang dilakukan oleh masyarakat tradisional khususnya orang tua dalam mendidik anaknya dalam usahanya menanamkan kecintaan terhadap budaya tradisional serta sikap‐sikap apakah yang patut kita teladani dari budaya tradisional? Tujuan khusus Tujuan khusus dari penulisan ini adalah untuk menumbuhkan kesadaran generasi muda terhadap pentingnya memelihara dan melestarikan budaya tradisional di tengah zaman teknologi yang serba canggih ini. 30
Dwi E. Ulandari: Masyarakat Pedesaan…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
menyambut dengan tor‐tor. Seiring manortor, kerbau itu dibawa mengelilingi lalas sebanyak 3 kali (setiap satu putaran Parboru menyambutnya dengan melemparkan boras sipir ni tondi sambil bersorak “horas…horas…horas…”). Setelah tubuh horbo diikat mereka meminta gondang dari Pargoci sambil manortor, mereka mengelilingi borotan. Lalas sebanyak 3 kali, kemudian mereka meninggalkan borotan yang sudah diikatkan borhas (kerbau persembahan). Beberapa saat kemudian Suhut serta para Boru ikut manortori borhas itu sampai 3 kali juga, kemudian diikuti oleh pelaku ritual lainnya. Pada saat itu juga Pamuhai pun datang untuk melaksanakan tugasnya. Pamuhai ini adalah sebagai perantara/orang yang menombak borhas tersebut. Borhas tersebut ditombak sebanyak 2 kali (sambil ditandai dengan datangnya roh‐roh nenek moyang melalui datangnya angin sangat kencang yang berarti persembahan sudah di terima) setelah itu Pamuhai pun pulang dari acara ritual itu dan tidak boleh melihat ke belakang. Pulangnya Pemuhai selesailah acara pada hari kedua. KESIMPULAN DAN SARAN Dari tulisan saya yang sangat minim pemaparannya di atas dapat kita peroleh kesimpulan bahwa masyarakat Batak khususnya Batak Toba menghargai budaya yang telah ada sejak zaman dahulu, walaupun setelah masuknya sebuah adaptasi budaya sosial, budaya yang dulunya dijunjung tinggi akhirnya terkikis. Dalam tulisan ini disebutkan Upacara Ritual Pomparan GuruTatea Bulan (agama Parmalim) harus dipatuhi dulunya pada saat ini telah mendapat sedikit perbedaan. Dan kita harus sadari bahwa bentuk tradisi yang dimiliki sekarang tidaklah murni seperti tradisi nenek moyang suku bangsa lain sehingga dapat membuat kita tidak dapat membedakan mana budaya yang murni dan mana budaya yang telah dipengaruhi oleh zaman globalisasi sekarang. Kemungkinan pergeseran dan pengadaptasian sosial budaya pada masyarakat Batak dapat diatasi dengan menelaah kembali budaya itu sendiri. Dan budaya yang masuk ke budaya aslinya harus kita kelola agar dapat diterapkan sehari‐hari. Oleh karena itu perlu usaha‐usaha untuk mengkaji mengapa upacara ritual seperti itu kini ditinggalkan, dan mengapa generasi muda kini tidak memperdulikan hal tersebut. Lagi pula sekarang ini banyak pengaruh budaya luar. Untuk itulah hal ini perlu diproteksi oleh pihak yang terkait dengan masalah ini. Kalau tidak, bersiap‐siaplah kita untuk mengubur salah satu kebudayaan bangsa yang tidak ternilai harganya. Kebudayaan dari suatu Bangsa adalah Wajah indah Bangsa itu sendiri. Mengabaikannya berarti menghilangkan ketinggian bangsa itu sendiri (Sejarah Kebudayaan Sumatera Utara, 1974 ).
Frans Jun Manalu: Upacara Ritual…
11
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Kinerja Pemerintah Daerah Jawa Barat dan Kalangan Akademik (Universitas Padjadjaran) dalam Menjaga Konsistensi Bahasa, Sastra, dan Budaya Sunda3 Mohd. Erwin Nugraha Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran PENDAHULUAN Perkembangan pemikiran manusia dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan, seiring dengan berjalannya waktu, perubahan yang dapat kita rasakan begitu cepat, baik itu yang berdampak positif maupun yang berdampak negatif semua itu merata pada seluruh aspek kehidupan dan salah satunya adalah terhadap konsistensi budaya yang mencakup bahasa dan sastra. Kebudayaan suatu bangsa merupakan indikator dan ciri tinggi rendahnya martabat dan peradaban suatu bangsa. Kebudayaan tersebut dibangun oleh berbagai unsur seperti bahasa, sastra dan aksara, kesenian dan berbagai sistem nilai yang tumbuh dan berkembang dari masa ke masa. Kebudayaan nasional kita ini dibangun atas berbagai kebudayaan daerah. Namun demikian, dalam kenyataannya dewasa ini budaya dalam wujud bahasa dan sastra daerah diperlakukan kurang setara dengan bahasa dan sastra nasional. Hal ini terjadi tidak lepas dari pengaruh perkembangan pola pemikiran manusia yang semakin meningkat. Karena hal di atas itulah perlu kiranya ada suatu usaha untuk menghidupkan kembali kondisi budaya yang di dalamnya mencakup sastra dan bahasa, disertai dengan strategi dan langkah konkrit yang dilakukan oleh semua pihak. Dan salah satu caranya yaitu dengan diadakannya Musyawarah Nasional IMBASADI sebagai langkah untuk merumuskan hal‐hal konkrit dalam merevitalisasi kondisi bahasa, sastra, dan budaya sebagai aset bangsa. Masalah kondisi budaya sebagai aset bangsa cakupannya sangatlah luas. Karena kita ketahui bahwa bangsa Indonesia beragam dalam hal budaya, bahasa dan sastra, maka kami membatasi masalah yang kami kaji dalam karya tulis ini yaitu: mengenai revitalisasi kondisi bahasa, sastra, dan budaya Sunda sebagai aset bangsa. Hal itu kami lakukan atas pertimbangan berbagai hal yaitu bahwa sastra Sunda tumbuh dan berkembang di Jawa Barat yang tidak bisa dilepaskan dari unsur kesundaan, pendidikan yang kami geluti adalah pendidikan berhubungan dengan kesundaan (Sastra Sunda), dan semoga uraian ini menjadi bahan untuk
3
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Pada masyarakat perkotaan umumnya mereka bersifat individualis. Mereka sudah disibukkan oleh kepentingannya masing‐masing yang hanya mengejar materi saja. Rasa peduli terhadap lingkungan sekitarnya berkurang bahkan mungkin tidak ada. Meskipun tempat tinggalnya berdekatan, terkadang mereka juga tidak saling mengenal. Terhadap kerabat atau keluarganya mereka jarang berkomunikasi apalagi bersilaturrahmi. Hal ini akan membawa konsekuensi negatif di mana rasa kekeluargaan menjadi berkurang. Masyarakat pedesaan yang belum terpengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi masih menjunjung nilai‐nilai anjangsana dengan mengadakan musyawarah keluarga. Tidak berarti ketinggalan zaman. Masyarakat pedesaan umumnya masih memiliki rasa sosial yang tinggi. Mereka memiliki sikap saling membantu, ataupun tolong‐menolong dengan sesamanya. Mereka masih menjunjung nilai‐nilai anjangsana dengan mengadakan musyawarah keluarga. Untuk mengetahui keadaan kerabat atau saudaranya mereka juga akan mendatangi atau mengunjunginya. Dalam segi norma mereka juga masih menjunjung tinggi sikap positif dan senang terhadap norma‐norma yang baik dan akan menjauhi adanya norma‐norma yang kurang baik. Masyarakat pedesaan juga masih memiliki rasa tanggung jawab terhadap kebudayaan sendiri. Mereka menandai sesuatu secara simbolis dengan memberikan arti sesuatu di balik sesuatu yang ada. Simbol‐simbol itu juga masih dihormati oleh generasi mudanya. Mereka masih peduli terhadap kebudayaannya sendiri. Menurut Whiting dalam Karim bahwa sosialisasi merupakan suatu istilah yang menunjukkan suatu proses pemindahan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Dari teori di atas dapat kita ketahui bahwa kebudayaan itu dapat diwariskan secara turun‐temurun atau melalui sistem kewarisan. Setiap generasi muda akan bersosialisasi dengan budaya yang ada di daerahnya masing‐masing. Dari situ lambat laun kebudayaan akan tertanam dan melekat dalam diri masing‐masing. Untuk mempertahankan budaya tergantung dari kesadaran masing‐masing orang. Di sini peranan orang tua sangat penting. Orang tua harus menanamkan kepada anak‐anaknya selaku generasi penerus agar memiliki rasa cinta terhadap budayanya sendiri. Dalam menanamkan suatu tradisi kepada anak, orang tua bisa dengan mendongeng atau bercerita. Rasa kecintaan terhadap budaya sendiri dalam masyarakat pedesaan dapat terlihat dari kebiasaan para orang tua yang pada umumnya masih sering mendongengkan suatu cerita sebagai pengantar tidur anaknya. Mereka masih menyempatkan diri di tengah kesibukan yang mereka kerjakan. Kartini ,Kartono (1985: 83) menyatakan bahwa alangkah bijaksananya orang tua apabila mereka menyempatkan diri setiap malam untuk mendongeng kepada anaknya, suatu tradisi yang sudah berlaku sejak dahulu. Dari pernyataan di atas dapat terlihat bahwa mendongeng adalah suatu tradisi yang sudah dilakukan orang tua sejak dahulu untuk mengenalkan kepada anak‐anaknya tentang kehidupan.
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam Temu Ilmiah Nasional di Universitas Negeri Surabaya, 2005
12
Mohd. Erwin Nugraha: Kinerja Pemerintah…
Dwi E. Ulandari: Masyarakat Pedesaan…
29
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Masyarakat Pedesaan sebagai Penyelamat Budaya Tradisional6 Dwi E. Ulandari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya PENDAHULUAN Latar Belakang Budaya adalah suatu tradisi yang ada di masyarakat. Masyarakat adalah sekelompok orang yang menempati suatu kawanan atau wilayah tertentu yang memiliki rasa identitas yang sama. Pembagian masyarakat berdasar letak tempat tinggalnya adalah masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Masyarakat perkotaan adalah sekelompok yang menempati wilayah yang letaknya di kota atau pusat kota. Sedangkan masyarakat pedesaan adalah sekelompok orang yang menempati wilayah tertentu yang letaknya jauh dari kota atau jauh dari keramaian. Dari pengelompokan di atas dapat dijelaskan bahwa pada masyarakat perkotaan sangat rentan sekali dengan adanya pengaruh suatu budaya. Pengaruh itu dapat memiliki dampak positif maupun dampak negatif, lebih‐lebih di era globalisasi seperti saat ini. Seiring dengan perkembangan zaman di abad 21 ini sangat mungkin sekali berdampak terhadap berbagai dimensi kehidupan manusia, baik dimensi ekonomi, sosial, budaya maupun kultural. Atas berbagai dampak tersebut maka bisa membawa konsekuensi logis terhadap kehidupan masyarakat, baik itu konsekuensi positif maupun konsekuensi negatif. Sedang pada masyarakat pedesaan kemungkinan adanya pengaruh atau perubahan itu sangat kecil sekali. Dilihat dari letak tempat tinggalnya yang jauh dari keramaian kota memungkinkan budaya tradisional dapat agak “bernafas” di tempat itu. Dampak positif dari perkembangan budaya salah satunya adalah majunya peradaban manusia, yaitu kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan berkembangnya budaya suatu bangsa, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat tersebut tidak ketinggalan zaman. Namun di sisi lain berkembangnya budaya juga dapat menimbulkan kemerosostan terhadap peradaban manusia. Salah satu contohnya adalah terjadinya dekadensi moral yang meresahkan masyarakat. Sesuai dengan Karim bahwa moralitas terancam oleh perkembangan teknologi, seni dikebiri oleh teknik, nilai‐nilai manusiawi dan instruktif akan dieliminir.
6
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam Temu Ilmiah Nasional di Universitas Negeri Surabaya, 2005
28
Dwi E. Ulandari: Masyarakat Pedesaan…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
mengambil nilai‐nilai positif dari semua hal yang telah dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat Sunda. Berdasarkan hal itu diharapkan karya tulis ini dapat menjawab pertanyaan‐ pertanyaan: 1. Bagaimana kondisi kehidupan budaya Sunda saat ini? 2. Hal‐hal apa saja yang telah dilakukan oleh kalangan akademik dan masyarakat Sunda dalam rangka menjaga konsistensi bahasa, sastra, dan budayanya? 3. Sejauh mana peran pemerintah dalam menjaga bahkan merevitalisasi kondisi bahasa, sastra, dan budaya Sunda? Metode yang digunakan dalam penelitian sebagai referensi dari karya tulis ini adalah pupuan lapangan, metode deskriptif dengan cara turun langsung ke lapangan, teknik pencatatan dari pihak‐pihak yang memang berkaitan dengan menggeluti objek kajian yang kami teliti, selain itu menggunakan teknik studi pustaka merupakan alternatif yang menerangkan teori yang berkaitan dengan objek yang diteliti. PEMBAHASAN Kebudayaan suatu bangsa merupakan indikator dan ciri tinggi rendahnya martabat dan peradaban suatu bangsa. Kebudayaan tersebut dibangun oleh berbagai unsur seperti bahasa, sastra, kesenian dan berbagai sistem nilai yang tumbuh dan berkembang dari masa ke masa. Kebudayaan nasional kita dibangun dari berbagai kebudayaan daerah yang beragam warna dan corak, sehingga merupakan suatu rangkaian yang harmonis dan dinamis. Dengan demikian tidak dapat disangkal bahwa bahasa, sastra, dan budaya daerah merupakan unsur penting dari kebudayaan yang membentuk kebudayaan nasional. Budaya itu sendiri berasal dari bahasa Sansekerta “buddayah” yang artinya akal atau budi. Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Koentjaraninggrat). Kalau kita perhatikan dari definisi kebudayaan di atas maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan itu sangat penting dalam kehidupan manusia dan tidak ada manusia yang tidak berkebudayaan. Namun demikian kenyataannya dewasa ini budaya dalam bentuk bahasa dan sastra daerah diperlakukan kurang setara dengan bahasa dan sastra asing. Hal ini diakibatkan oleh tidak adanya rasa tanggung jawab dari para penggunanya sendiri. Dalam budaya sastra dan bahasa sebenarnya terkandung nilai‐nilai estetika yang luhur sehingga perlu dipertahankan dan dipelihara sebagai suatu kebanggaan daerah. Mohd. Erwin Nugraha: Kinerja Pemerintah…
13
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Eksistensi kondisi bahasa, sastra, serta budaya memang keberadaannya semakin merosot, hal itu dikarenakan dua faktor yaitu eksternal dan internal. Faktor eksternal seperti masuknya arus globalisasi dengan gelombang‐gelombang besar sehingga menghempaskan nilai‐nilai budaya tradisional. Sementara dari faktor internalnya yang pertama yaitu masyarakat pengguna bahasa, sastra, dan budaya itu sendiri tidak punya rasa tanggung jawab bahkan mereka tidak perduli dan tidak menyadari bahwa mereka sendiri yang mengakibatkan kemerosotan nilai‐nilai budaya, yang kedua bahwa pemerintah tidak pernah menganggap kebudayaan itu penting, kalau dilihat dari kebijakan‐kebijakan terutama pada zaman Orde Baru. Masalah budaya hanya lip service belaka. Oleh karena itu sebagai manusia yang sadar akan pentingnya hal itu kita harus mencari jalan dalam merevitalisasi kondisi budaya, bahasa, dan sastra. Revitalisasi berarti sebagai salah satu upaya menghidupkan kembali sesuatu yang telah hilang atau hampir punah, yang dalam masalah ini menyangkut budaya, bahasa, dan sastra (Sunda). Suatu langkah konkret dari revitalisasi tersebut adalah dilakukannya sebuah upaya pemeliharaan yaitu berupa perlindungan, pengembangan, pemberdayaan dan pemanfaatan potensi bahasa, sastra, dan budaya. Untuk mewujudkan langkah di atas diperlukan adanya kemauan yang keras dari berbagai pihak di antaranya pemerintah dan masyarakat. Upaya pemeliharaan itu diwujudkan dalam beberapa bentuk, yang pertama perlindungan, dalam langkah ini dibutuhkan suatu wadah yang menghimpun dan menjaga untuk merealisasikan upaya revitalisasi tersebut. Kedua, pengembangan dan pemberdayaan, unsur‐unsur penggerak harus bekerja sama dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan eksistensi bahasa, sastra, dan budaya Sunda. Untuk berusaha mengembangkan dan meperdayakan budaya, bahasa dan sastra. Terakhir, pemanfaatan yaitu bagaimana caranya agar tujuan pokok di atas memiliki nilai jual dalam bentuk sebagai aset wisata, tetapi itu tidak dapat dijadikan hal yang paling pokok, karena hakikat dari kebudayaan itu sendiri sangat penting dalam membentuk pribadi manusia yang berbudi luhur. Sasaran dari pemeliharaan ini adalah terwujudnya apresiasi masyarakat terhadap bahasa, sastra, dan budaya daerah (Sunda). Peran Serta Pemerintah Salah satu tugas utama masyarakat dalam upaya merevitalisasi kondisi bahasa, sastra, dan budaya, yang kian hari kian terpojok oleh arus globalisasi yaitu dengan cara menggunakannya dan memasukkannya (mengapresiasikan) kembali ke dalam ruang lingkup kehidupan sehari‐hari. Namun semua itu memiliki konsekuensi yaitu dengan ditunjang oleh adanya peraturan daerah (Perda) yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Sebagai gambaran akan dikemukakan peran pemerintah Jawa Barat dalam rangka merevitalisasi kondisi bahasa, sastra, dan budaya Sunda.
14
Mohd. Erwin Nugraha: Kinerja Pemerintah…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Dalam konteks memvitalisasikan budaya daerah terutama bahasa daerah, saya kira adalah yang terutama dan pertama‐tama adalah bagaimana budaya daerah terutama bahasa daerah menjadi semacam mata pelajaran utama pada setiap satuan pendidikan. Hal ini penting karena kita ketahui bersama bahwa pendidikan pada intinya merupakan proses transformasi kebudayaan. Lantas apa yang akan terjadi seandainya saja yang ditransformasikan adalah bukan kebudayaan daerah, dapat kita mudah jawab bersama. PENUTUP Dari uraian‐uraian saya di atas, ada beberapa hal yang saya anggap penting dalam rangka memvitalisasikan kebudayaan daerah, terutama bahasa daerah, jadikan mata pelajaran bahasa daerah sebagai salah satu mata pelajaran penting di sekolah dan dijadikan bahasa daerah sebagai pengantar dalam jenjang pendidikan dasar. DAFTAR PUSTAKA Jurnal Budaya Dangiang Edisi I/Mei‐Juli 1999. K.M.,Saini. 2004. Krisis Kebudayaan; pilihan 10 esai. Bandung. Kelir. Koentjaraninggrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Aksara Baru. Rosidi, Ajip.1997. Cupumanik Astagina. Bandung. Girimukti Pasaka. Rosidi,Ajip.2004. Masa Depan Budaya Daerah; kasus bahasa dan sejarah sunda. Jakarta. Pustaka jaya.
Tarlan: Vitalitas Budaya Daerah…
27
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Namun apa yang menetas pada realitas tidaklah semanis di atas kertas. Masyarakat cenderung asyik dalam setiap geliat erotisme modernitas yang kerap digelembungkan media‐media masa cetak maupun elektronik. Sementara pemerintah pun hanya menempatkan kebudayaan lama dan asli daerah sebagai barang antik, menarik sebagai barang pajangan. Hal tersebut tak terkecuali bahasa. Di satu sisi dengan otodanya, pemerintah seolah memberikan setitik harapan. Namun di sisi yang lain dengan AFTA, ditandatanganinya MoU dengan IMF, dan banyak lagi, pemerintah juga memberikan gelombang Tsunami tersendiri bagi perikehidupan kebudayaan bangsa, termasuk bahasa daerah. Globalisasi. Saya bukan takut kepada globalisasi, kawan. Tetapi lihatlah, sejauh mata memandang adalah sederatan anak‐anak terlantar kurang gizi dan terpelajar. Akankah kita korbankan hanya karena segelintir orang yang merasa dirinya superior? VITALISASI BUDAYA DAERAH Dalam perikehidupan bangsa yang sentralistik seperti sekarang ini, sebenarnya angin segar bagi kebudayaan daerah untuk menata dirinya. Dalam sistem ini, akar rumput dapat menentukan apa yang terbaik untuk dirinya. Hal ini, seyogianya akan dapat mengurangi pembiasan kebijakan seperti yang terjadi selama ini. Di daerah kami di Jawa Barat, sebagaimana tersirat dan tersurat pemerintah provinsi terlihat sedikit serius terhadap perkembangan budaya daerah Jawa Barat dengan mengeluakan perda No. 5,6, dan 7, meskipun dengan beberapa fakta saya sependapat dengan Ahda Imran (wartawan PR) bahwa perda tersebut adalah ketergesaan yang ironis. Yang hendak saya cuatkan di sini adalah persoalan realisasinya. Tiga tahun sudah dari sejak bergulirnya perda Jawa Barat No. 5, 6 dan 7, tetapi signifikansi perubahan ke arah perbaikan tetap saja menjadi semacam omong kosong. Memang ada bahkan mungkin banyak kegiatan‐kegiatan yang diadakan, tetapi tidak lebih adalah sebuah kegiatan yang terkesan insidental saja, mengisi luang saja. Tidak pernah ada follow up. Seminar hanya sebatas seminar, lomba hanya sebatas lomba. Sedangkan hal yang menurut saya lebih esensi dari itu, hanya sebatas wacana itu saja. Pernah suatu ketika kami mengadakan sebuah acara RSB (Riksa Budaya Sunda) yang dalam rangkaiannya terdapat acara seminar menyoal “Bahasa Sunda sebagai bahasa pengantar untuk sekolah SD sampai dengan kelas 4”, tetapi apa yang menjadi daya tawar mereka saya kira teramat birokratis dan terkesan murahan. “APA yang kalian kehendaki akan saya catat dan sampaikan pada pimpinan saya”. Kurang lebih seperti itu. Dan sudah hampir setahun, konfirmasi saja perihal itupun tidak kami dapatkan.
26
Tarlan: Vitalitas Budaya Daerah…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Pemerintah sebagai salah satu unsur yang paling fundamental budaya memiliki peran yang sangat penting. Maka dari itu sebagai perwujudan rasa tanggung jawab pemerintah membuat aturan‐aturan yang mengurus masalah bahasa yang tercantum dalam SK Gubernur dan Perda seperti: 1. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Kesenian. 2. Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pemeliharaan Kesenian. 3. Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2004, tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah. 4. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah. Sebagai gambaran kami cantumkan beberapa poin yang berkaitan dengan upaya dan ruang lingkup pemeliharaan bahasa, sastra, dan budaya Sunda. Yang tercantum dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah, disertai realisasinya. Bab IV, pasal 7 tentang jangkauan pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah meliputi: a. Penyelenggaraan pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Pemerintah telah memasukkan pendidikan yang bernuansa Sunda ke dalam kurikulum sekolah baik itu sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas. Upaya pendidikan luar sekolah dengan mengadakan kursus‐ kursus bahasa sunda, yang baru berjalan dua tahun terakhir ini. b. Pemerintah berusaha mencetak buku‐buku pelajaran Sunda serta yang berkaitan dengan sastra Sunda kemudian disalurkan ke sekolah‐sekolah guna menunjang proses pembelajaraan yang berkualitas. c. Penyelenggaraan pelatihan, penataran, seminar, lokakarya, diskusi, apresiasi dan kegiatan sejenisnya. Untuk meningkatkan kualitas tenaga pengajar Sunda, pemerintah daerah Jawa Barat melaksanakan penataran dan seminar secara politik. d. Penyelenggaraan sayembara bagi siswa, guru dan masyarakat. Sayembara pasanggiri tidak hanya dilaksanakan oleh pemerintah tetapi juga sering diadakan oleh pihak atau lembaga‐lembaga lain di luar pemerintah daerah seperti oleh LBSS (Lembaga Bahasa Sastra Sunda). e. Penyelenggaraan penelitian dan sistem pengajarannya serta penyebarluasan hasilnya. f. Penyelenggaraan kongres bahasa daerah secara politik. Penyelenggaraan kongres bahasa Sunda tetap dilaksanakan secara periodik setiap 4 tahun sekali dan pada tanggal 28 Juni 2005 nanti pemerintah daerah Jawa Barat akan melaksanakan kongres bahasa sunda yang ke‐8 dengan tema: Mohd. Erwin Nugraha: Kinerja Pemerintah…
15
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Basa Sunda Kiwari ‘bahasa sunda sekarang’ yang akan dilaksanakan di Subang. Selain itu dari tahun 2001 yang lalu telah diadakan sebuah konferensi besar yang diadakan di Bandung yaitu KIBS (Konferensi Internasional Budaya Sunda), yang dihadiri oleh para pakar kebudayaan Sunda baik dari dalam maupun dari luar negeri. Tujuan utama diadakannya KIBS adalah mencari inti persoalan mengenai pewarisan budaya supaya kita dapat membuat peta untuk dijadikan pegangan dalam melaksanakan berbagai langkah dalam upaya penyelamatan budaya Sunda. g. Pemberian penghargaan untuk karya‐karya bahasa dan sastra terpilih serta penghargaan bagi bangsawan, sastrawan, dan peneliti unggulan. Kegiatan ini telah dilaksanakan secara periodik di mana pemerintah daerah bekerja sama dengan LBSS dalam memberikan penghargaan bagi sastrawan‐ sastrawan dan budayawan yang berprestasi di bidangnya. h. Pemasyarakatan aksara daerah. Pemasyarakatan aksara daerah baru terlaksana secara optimal pada tiga tahun terakhir ini salah satu upayanya adalah memasukkan pengajaran aksara daerah ke dalam kurikulum sekolah. Selain itu, penulisan nama‐nama jalan menggunakan aksara daerah. i. Pemberdayaan dan pemanfaatan media massa baik cetak maupun elektronik dalam berbahasa daerah. j. Pengelolaan sistem komunikasi, dokumentasi dan informasi tentang bahasa, sastra, dan aksara daerah. Realisasi dari poin i dan j pemerintah daerah memberikan kemudahan bagi orang Sunda untuk berekspresi dalam rangka melestarikan kembali kebudayaan sunda. Sementara itu, di lingkungan pemerintah daerah sendiri atas keputusan gubernur bahwa setiap hari jumat diharuskan menggunakan bahasa ibu dan pakaian adat. Dalam berbagai pertemuan, seminar harus disajikan makanan‐ makanan khas Sunda. Selain semua hal di atas banyak pula berbagai upaya yang dilakukan oleh tiap individu sebagai wujud rasa cintanya terhadap bahasa, sastra, dan budaya Sunda, salah satu contohnya adalah adanya upaya penerjemahan legenda (folklore) sebagai sumbangan pembagunan aset daerah wisata. Dengan demikian peran serta pemerintah dalam upaya perevitalisasian itu sangatlah penting sekali setara dengan peran serta masyarakat. Realisasi di Lingkungan Universitas Universitas Padjadjaran (Unpad) merupakan salah satu perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan sastra daerah di lingkungannya (Sunda). Semenjak awal berdirinya para pendiri Universitas Padjadjaran menginginkan adanya salah satu jurusan yang dapat memelihara dan mempertahankan bahasa,
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Vitalitas Budaya Daerah sebagai Aset Bangsa5 Tarlan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Pendidikan Indonesia PRAWACANA Ketika saya disodorkan pada sebuah tema “revitalisasi kebudayaan daerah sebagai aset bangsa”, saya sempat sejenak tertegun, karena sejauh yang saya ketahui kebudayaan daerah dalam konteks nasional, sejauh ini tidak pernah ada satu pemerintahan pun yang secara serius menggarap atau memvitalisasikan kebudayaan dalam setiap derap langkahnya. Dan kalaupun ada, bukankah hanya sebatas wacana atau ornamen belaka? Kebudayaan daerah dibiarkan tumbuh liar di hutan‐hutan belantara tanpa terjamah. Beranjak dari Kusnaka Adimiharja dalam salah satu tulisannya menggungkapkan bahwa paradigma tentang kebudayaan sekarang adalah sangat dipengaruhi oleh polemiknya Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Adinegoro. Alisjahbana beranggapan bahwa kebudayaan nasional sebaiknya menyerap nilai‐nilai kebudayaan Barat, agar bangsa ini dapat membebaskan diri dari belenggu nilai‐nilai budaya feodal‐agraris sebagai warisan kebudayaan masyarakat dahulu. Sebaliknya, Sanusi Pane beranggapan bahwa nilai‐nilai budaya masyarakat harus dijadikan sebagai landasan pengembangan kebudayaan nasional. Dari dua pandangan tersebut, tampilah Adinegoro sebagai penengah dengan memadukan kedua pandangan tersebut, wadah yang digunakan untuk kebudayaan nasional, dapat saja mengambil dari nilai‐nilai Barat, seperti konsep demokrasi, kedaulatan rakyat, dan lain‐lain, tetapi isi dari konsep tersebut harus tetap berakar pada nilai‐nilai luhur budaya masyarakat.♣ Berawal dari pemikiran ini, maka terlahirlah konsep kebudayaan nasional adalah “puncak‐puncak kebudayaan daerah”. Lebih lanjut dalam penjelasan pasal 32 dikemukakan bahwa “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak‐puncak kebudayaan di daerah‐daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan‐bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”.
5 ♣
16
Mohd. Erwin Nugraha: Kinerja Pemerintah…
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam Temu Ilmiah Nasional di Universitas Negeri Surabaya, 2005 Kusnaka Adimihardja dengan artikelnya Kebudayaan Sunda dalam Cakrawala Politik Kebudayaan Indonesia, dalam Jurnal Budaya Dangiang
Tarlan: Vitalitas Budaya Daerah…
25
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
pertengkaran yang dibuat‐buat dan tawar‐menawar tentang penyelesaian adat. Akhirnya Anak Beru pihak laki‐laki mengalah dan membayar uang barang yang dinamakan “Uang Hempang Pintu” (ada yang besarnya 1/4 uang mahar). Setelah itu dipenuhi, lalu arak‐arakan dapatlah menerobos masuk tetapi sesampainya dekat pelaminan terhalang lagi karena adanya hempang yang kedua oleh Anak Beru perempuan dari pihak laki‐laki. Terjadilah lagi pertengkaran yang dibuat‐ buat seperti di muka tadi. Akhirnya uang adat “Buka Kipas” dibayar (kadang‐ kadang besarnya 1/8 uang mahar), maka tabir pun dibuka. Pengantin laki‐laki pun naik ke pelaminan. Tanggung jawab Anak Beru bukan saja mengepalai seluruh pekerjaan ini dengan sukses, tetapi juga jika terdapat kekurangan biaya ia harus menanggungnya atau menjadi “Boroh” (jaminan). Begitu juga di dalam perkara hutang‐piutang mertuanya. Demikianlah terjadi di zaman dahulu kala. DAFTAR PUSTAKA Tengku Luckman Sinar. 2001. Jati Diri Melayu. LPPSBM “MABMI”, Medan, Tengku Luckman Sinar, SH dan Wan Syaifuddin. 2002. Kebudayaan Melayu Sumatera Timur. USU Press. Tengku Luckman Sinar. 1971. Sari Sejarah Serdang. Skeat: “Malay Magic“, Tengku Luckman Sinar. Sejarah Medan Tempo Doeloe, LPPSBM “MABMI” Newblod: “Political Account”
24
Epan Hasyim Siregar: Peranan Tiga Tungku…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
sastra, dan budaya daerah. Akhirnya lahirlah jurusan sastra sunda sebagai realisasi dari keinginan para pendiri Universitas Padjadjaran. Misi dari diadakannya Jurusan Sastra Sunda adalah melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dalam bidang bahasa dan sastra Sunda, sementara itu tujuannya ialah untuk membina dan mengembangkan serta melaksanakan budaya daerah Sunda yang memiliki nilai‐ nilai luhur yang universal. Setelah berdirinya Jurusan Sastra Sunda maka dibuatlah kurikulum yang berkaitan dengan seluruh unsur‐unsur budaya Sunda, terutama yang mendukung pada konvensi bahasa, sastra, dan budaya. 1. Mata kuliah yang menunjang konvensi bahasa di antaranya: a) Kemahiran bahasa Sunda b) Fonologi, morfologi, sintaksis, semantik bahasa Sunda c) Bahasa Sunda kuno 2. Mata kuliah yang menunjang konvensi sastra a) Pengantar Sastra Sunda Bahasanya mengenai semua generasi sastra Sunda dalam bentuk prosa, puisi maupun drama, mulai dari kelahirannya sampai sekarang. b) Telaah Puisi Sunda Pembahasannya mengenai analisis dan interpretasi teori kajian pada puisi Sunda modern. c) Kritik Sastra Sunda Di dalamnya mengkaji pengertian kritik sastra, sejarah perkembangan sastra secara umum, sejarah perkembangan kritik sastra Sunda, kedudukan, fungsi, teori dan metode kritik sastra, serta beberapa kriteria penilaian atas karya sastra sesuai dengan konvensi yang telah ditentukan. 3. Mata kuliah yang menunjang konvensi budaya a) Apresiasi Seni Tari Di dalamnya terdapat pembekalan penghayatan dan keterampilan seni tari sebagai bekal kemampuan berkarya. b) Apresiasi Seni Suara dan Karawitan Merupakan pembekalan penghayatan dan keterampilan seni suara dan karawitan sebagai bekal kemampuan berkarya. c) Apresiasi Seni Teater Sebagai pembekalan dan keterampilan, seni teater sebagai bekal kemampuan berkarya. Itulah sebagian mata kuliah yang ada di lingkungan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran yang mencakup konvensi bahasa sastra dan budaya. Secara umum mata kuliah Sastra Sunda Unpad terbagi menjadi dua yaitu perkuliahan yang bersifat teoretis atau pemahaman dan yang bersifat apresiasi yang terdiri dari apresiasi seni tari, karawitan, dan teater. Di samping itu tiap Mohd. Erwin Nugraha: Kinerja Pemerintah…
17
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
semester ganjil dilaksanakan kuliah kerja lapangan sebagai aplikasi dari semua teori yang telah didapat dalam perkuliahan, selain itu juga kuliah kerja lapangan dijadikan sebagai tolak ukur dalam mengetahui sejauh mana kemajuan dan kemunduran unsur‐unsur kebudayaan di setiap daerah. Itulah upaya yang dilaksanakan di kalangan akademik Fakultas Sastra dalam memelihara sekaligus merevitalisasi kondisi bahasa, sastra dan budaya sebagai aset bangsa pada saat ini. DAFTAR PUSTAKA Fasa Unpad. Panduan Fasa Unpad. 2003. Bandung: UNULA Press Keputusan Gubernur Jabar No. 3 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jabar tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah. Keputusan Gubernur No. 6 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Keseniaan. Kuswaya, Waway. Penerjemahan Legenda sebagai Sumbangan Pembangunan Aset Daerah Wisata. 2005. SKIM. Bandung. Maryani, Enok. Antropologi untuk SMU. 2000. Jakarta: Grafindo Media Pratama. Perda Provinsi Jabar No. 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah. Perda Provinsi Jabar No. 6 tahun 2003 tentang Pemeliharaan Keseniaan.
18
Mohd. Erwin Nugraha: Kinerja Pemerintah…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
a. Sanggul Lipat Pandan (sanggul ala Palembang) atau b. Sanggul Tegang Sebagai perhiasan sekelilingnya ditaruhlah bunga mas. Kadang‐kadang sanggul itu demikian tegangnya dan tidak jarang pengantin harus sudah siap bersolek sejak sore harinya, sehingga tidak jarang bisa mengakibatkan luka di kepala atau pingsan. Demikian juga pihak pengantin laki‐laki memakai destar. - Malam Bersanding Pengantin perempuan telah siap diapit oleh Anak Beru dan diapit pula di kiri kanan oleh “Gading” (dua orang gadis kecil membawa kipas) naik ke pelaminan. Lalu tabir pun ditutup. Di dekat pelaminan telah tersedia alat‐alat tawar, balai tingkat tiga, lilin pun dipasang. Dan berkat‐berkat pun telah tersedia. Sementara itu pengantin dengan didampingi oleh bidan memejamkan mata sambil menggenggam sirih genggaman. Di muka tabir berdiri di kanan kiri Anak‐Anak Beru golongan wanita. Para ahli famili pihak pengantin perempuan dan handai tolan serta para undangan sudah penuh berdatangan dan mengambil tempat masing‐masing. Pasukan pemukul rebana telah menunggu dan demikian pula tukang penjulang pengantin laki‐laki. Di rumah pengantin laki‐laki, pengantin telah siap memakai destar dan menggenggam “Sirih Genggam” serta diapit oleh “Gading‐Gading” (dua orang anak laki‐laki kecil). Segenap undangan yang terdiri dari Anak‐Anak Beru baik laki‐ laki maupun perempuan, para Puang dan famili‐famili rapat maupun yang termasuk rombongan ikut mengantar semua telah terkumpul. Pengantin pun lalu menghadap dan menyembah serta mencium tangan kedua orang tuanya meminta doa restu. Balai pun telah tersedia untuk dibawa, demikian pula payung, tepak penyongsong, bidan, pembawa sirih pengantin, sisa uang mahar, uang ambang pintu dan uang buka kipas yang dipegang di dalam uncang kuning oleh ketua Anak Beru laki‐laki dan ketua Anak Beru perempuan masing‐masing, segala sesuatunya jangan ketinggalan menurut perjanjian dan sesuai dengan adat. Lalu rombongan pun tiba waktunya untuk berangkat menuju ke rumah pengantin perempuan. Sesampainya di halaman rumah pengantin perempuan maka sepasukan pemukul rebana dan pencak silat mengiringi rombongan pengantin laki‐laki menuju pintu, dijulanglah sampai ke ambang pintu. Rombongan pengantin laki‐laki didahului oleh kelompok Anak‐Anak Beru baik laki‐laki maupun perempuan. Pada waktu hendak masuk ke pintu rumah arak‐arakan terhenti karena pintu masuk dihempang dengan sehelai kain dan dijaga oleh Anak‐Anak Beru laki‐laki pihak pengantin perempuan. Sementara itu pihak tuan rumah menaburkan bertih dan beras kunyit kepada rombongan mempelai laki‐laki. Di zaman dahulu pada perkawinan raja‐raja sebagai ganti beras kunyit ialah “ambor‐ambor” (guntingan‐guntingan tipis terbuat dari perak dan emas). Penahan itu bernama “batang” yaitu hak adat Anak Beru. Terjadilah Epan Hasyim Siregar: Peranan Tiga Tungku…
23
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Adapun pihak Puang mempersiapkan tempat upacara perkawinan dan biaya untuk itu serta perlengakapan kamar pengantin. Ia juga mempersiapkan nama siapa‐siapa yang diundang dan kadhi. Upacara perkawinan Melayu pada prinsipnya terdiri dari: 1. Upacara Peminangan Pihak calon pengantin pria yang dikepalai oleh Anak Beru mereka datang ke tempat calon pengantin wanita dengan membawa peralatan adat seperti: tepak‐tepak sirih dan uang antaran serta tanda janji dan sebagian mahar. 2. Upacara Nikah Pihak calon pengantin pria yang dikepalai oleh Anak Beru mereka datang ke tempat calon pengantin wanita dengan membawa peralatan adat dan tanda janji serta juga uang mahar. Biaya Tuan Kadhi dibayar masing‐masing pihak separuh. Setelah akad nikah selesai maka dibayar juga uang mahar dan tanda janji dipulangkan. Menurut adat jika pihak pengantin wanita mungkir janji, maka tanda janji biasanya perluasan emas akan hangus (diambil oleh pihak pengantin lelaki) 3. Upacara Berinai Untuk keluarga raja dan mereka yang kaya upacara berinai terdiri atas: berinai kecil (berinai curi) dan berinai besar. Di malam yang dihadiri undangan dari semua pihak keluarga disajikan tepung tawar dan dicelitkan inai pada pengantin, disajikan juga Tari Inai. - Berandam dan Mandi Berhias Dirumah pengantin perempuan dilakukan upacara “Berandam” kepada mempelai perempuan. Kain putih dikembangkan di pangkuannya. Lalu benang dililitkan dan dimasukkan ke kepalanya seolah‐olah sebagai rantai. Lilin dipasang, bidan mulai mengambil rambutnya dan mulai menggunting sedikit‐sedikit agar cantik didandan dengan pisau cukur lalu pengantin direndam sambil ia didudukkan di tempat berandam. Pada sore harinya sebelum bersanding, pengantin lalu “Mandi Berhias” yaitu mandi dengan air wangi‐wangian dan air ukup. Setelah itu bersiap‐siaplah ia berhias untuk nanti malam naik bersanding. Pengantin laki‐laki pun berdandan juga yaitu dikerjakan oleh tukang pangkas. Upacara “Berasah Gigi” zaman dahulu dilakukan oleh pengantin perempuan sebelum pengantin laki‐laki mengantar belanja. Pada laki‐laki “Berasah Gigi” itu dilakukan sering di waktu usia muda. Perlu ditambahkan di sini bahwa mengambil daun inai haruslah berhati‐hati betul yaitu daun inai harus digendong dengan kain bertabur dan dipayungi. Sebelum menggiling inai, batu gilingan dilingkungi dahulu dengan kain panjang lalu ditepung‐tawari berganti‐ganti oleh famili akrab, baik yang laki‐laki maupun perempuan. Di dalam berhias tadi menjelang hendak naik bersanding pengantin perempuan bisa memakai dua macam jenis sanggul yaitu: 22
Epan Hasyim Siregar: Peranan Tiga Tungku…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Peranan Tiga Tungku Sejarangan pada Etnis Melayu di Sumatera Timur dalam Merekat Kesatuan Bangsa4 Epan Hasyim Siregar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia perlu terus secara optimal digerakkan untuk mencapai tingkat kehidupan penduduknya yang harmonis, damai, aman, dan sejahtera. Kondisi seperti ini hanya dapat dicapai secara optimal apabila seluruh etnik yang ada berperan secara bersamaan sesuai dengan kemampuan masing‐masing. Untuk menggerakkan peran serta masyarakat berbagai etnik secara optimal itu diperlukan kesadaran tentang arti turut sertanya mereka dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia itu. Masyarakat adat di Sumatera Utara mempunyai ciri khusus adat masing‐ masing di antaranya filosofi hidup yang dianut yang melekat dan mendarah daging pada diri masing‐masing etnik itu. Filosofi tadi merupakan pandangan hidup dan sistem kehidupan ini dapat menjadi daya penggerak untuk melakukan sesuatu kegiatan yang mengandung manfaat bagi kehidupan bersama di Sumatera Utara. Filosofi masyarakat adat ini disadari atau tidak, telah semakin mengkerut dilanda erosi dari budaya asing dalam berbagai kehidupan yang serba modern. Filosofi ini yang ada di kalangan sanubari etnik itu disosialisasikan kembali secara berkesinambungan di kalangan masyarakat, khususnya untuk mendorong mereka berperan secara optimal yang dapat menjadi perekat kesatuan bangsa Indonesia. DEFINISI MELAYU Bahwa nama “Melayu“ pertama muncul sebagai nama sebuah kerajaan “Melayu” di Jambi pada abad ke‐7 M yang kemudian adat dan bahasa yang dipakainya sama dengan kerajaan “Sriwijaya” (Zabaq) yaitu bahasa “Melayu Kuno” bercampur dengan bahasa Sansekerta. Sampai dengan abag ke‐14 M kedua kerajaan itu silih berganti menguasai negeri‐negeri di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, dan bahkan Wangsa Syailendra di Sriwijaya dengan gemilang telah menguasai Jawa dan mendirikan Candi Agung Borobudur pada abad ke‐9 M dan Candi di Padanglawas dan Muara Takus. 4
Tulisan ini pernah dipresentasikan dalam Temu Ilmiah Nasional di Universitas Negeri Surabaya, 2005
Epan Hasyim Siregar: Peranan Tiga Tungku…
19
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
Ketika kerajaan Singosari di Jawa Timur pada pertengahan abad ke‐13 M melancarkan operasi militer “ PAMALAYU” untuk merebut Melayu dan Sriwijaya, meskipun dengan susah payah dapat ditangkis bencana baru datang ketika kerajaan Majapahit (1360) melancarkan “Sumpah Palapa” Patih Gajahmada mengadakan operasi besar menguasai kepulauan Nusantara, adat istiadat dan bahasa Melayu, untuk dapat diselamatkan dengan berdirinya kerajaan Melaka (1400 M) oleh Parameshwara yang kemudian menjadikannya kerajaan Islam. Kerajaan Melaka yang Islam itu berhasil menguasai negeri‐negeri di Semenanjung Malaya, negeri‐negeri di sepanjang Selat Melaka dan Laut Cina selatan, sambil membawa Islamisasi dan sekaligus adat budaya Melayu Melaka. Budaya Melayunisasi itu sampai juga ke Tamiang dan wilayah kerajaan Haru sejak abad ke‐15 M ( Sumatera Timur). Sejak 1400 M timbullah definisi baru mengenai Melayu yaitu: “Seorang Melayu beragama Islam, berbahasa Melayu, dan beradat Melayu”. Adapun sendi‐sendi dari adat‐budaya etnik Melayu itu ialah: • Tidak melanggar rambu‐rambu hukum Syariah Islam • Sistem kekeluargaannya ialah parental • Organisasi kesatuan hukumnya ialah teritorial (yang kecil adalah keluarga, kampong, dan negeri) • Sistem pemerintahannya ialah negeri yang beraja Alam budaya Melayu seperti di atas itu kita dapati di Tamiang (Aceh timur), Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan dan Wilayah Labuhan Batu, Serawak, Brunei, Thailand Selatan (Patani), negeri‐negeri di Semenanjung Tanah Melayu, Singapura, dan Bangka Belitung. Beberapa kelompok Masyarakat adat budaya Melayu itu kita temui juga di alam dispora seperti di Kamboja, Srilangka, dan Afrika Selatan. ETNIS MELAYU DI SUMATERA TIMUR Kerajaan tua di pesisir Sumatera Timur ialah Kerajaan Haru (abad ke‐13 M s.d. akhir abad ke‐16 M) yang berpusat di Deli Tua, yang bersama Pasai dan Melaka menguasai hegemoni di Selat Melaka terutama pada abad ke‐15 M. Ketika Sultan Husin dari Haru kawin dengan puteri Sultan Mahmudsyah Melaka (Tun Putih), maka beribu‐ribu orang Melayu turut mengiringkan tuan puteri itu berdiam di Haru pada tahun 1520 M. Dengan demikian di Istana Sultan Haru (yang rajanya berasal dari merga Karo) yang sudah masuk Islam sejak pertengahan abad ke‐13 M itu semua berbudaya dan memakai adat Melayu. Setelah kerajaan Haru hancur ditaklukkan oleh Sultan Aceh Alaidinsyah Al Qahhar (1539 M) dan dihancurkan lagi oleh Sultan Iskandar Muda (1613 M), maka 20
Epan Hasyim Siregar: Peranan Tiga Tungku…
BUDAYA NUSANTARA Jurnal Bahasa dan Sastra Daerah
Volume 1, Nomor 1, Juli 2006
berdirilah di pesisir Sumatera Timur berbagai kerajaan‐kerajaan Melayu yang kecil‐kecil di muara sungai‐sungai yang besar umumnya sejak awal abad ke‐17 M itu seperti Langkat (asal merga Perangin‐angin), kerajaan Deli dan Serdang (perpaduan darah Gocah Pahlawan dengan Nang Baluan merga Surbakti Gajah), Batubara (migrasi Minangkabau dari Kampar bercampur etnik Simalungun), Asahan dan Kualuh (ibunya dari marga Simagolang), Panai‐Bilah‐Kota Pinang dari Batara Sinomba Nasution. Semua kerajaan itu beradat budaya Melayu Sumatera Timur yang spesifik. Penduduk satu kampung bukanlah berasal dari turunan darah yang sama. Beberapa kampung‐kampung tergabung di dalam satu negeri, karena mereka mendiami seluruh satu kesatuan geografis, bukan karena kebetulan saling berkerabat (non‐geneologis). Negeri‐negeri itu oleh karena sebab peperangan atau sukarela karena pertimbangan politis dan ekonomis bisa tunduk di dalam satu kerajaan yang lebih besar. Oleh karena masyarakat Melayu di kerajaan‐kerajaan Sumatera Timur itu hampir sebahagian nenek moyangnya berasal dari keturunan etnis Karo, Simalungun, Toba, Angkola/Mandailing, maka ketika masuk Islam mereka membawa juga sebahagian dari adat budaya “Batak” itu dan antara lain dapat dilihat lebih jelas ketika diadakan perhelatan (pesta) terutama upacara perkawinan (masuk Islam = masuk Melayu). Sebagai contoh ketika diadakan peminang oleh keluarga “A” kepada seorang gadis “B” akan mengadakan upacara jamu sukut (nama ini bersal dari bahasa Karo) di mana diundang: 1. pihak Puang (keluarga yang tua‐tua dari pihak “B”), 2. pihak Mertua (keluarga yang tua‐tua dari pihak “A”), dan 3. pihak Anak Beru (menantu dari pihak “B”). Setelah diadakan jamuan dan perbincangan serta dicapai kata sepakat maka diperintahkan kepada Anak Beru untuk mengepalai kerja perhelatan yang akan diadakan. Kepada Anak Beru juga diberi kuasa untuk mengadakan hubungan dengan pihak “A” (soal mahar, antaran, tanggal peminangan resmi, tanggal nikah, berinai, bersanding, dan lain‐lain). Jadi kita lihat bahwa suatu ikatan perkawinan etnis Melayu keluarga pihak suami dan pihak istri serta keluarga menantu sudah terjalin merupakan suatu keluarga besar bersama yang memikul konsekuensi baik dan buruknya suatu peristiwa. Di zaman dahulu, pada masa kerajaan masih mengatur fungsi keadaan, sistem “tiga sejarangan” ini juga dilakukan ketika akan membuka perladangan atau waktu panen atau jamu laut, dan lain‐lain sehingga kesatuan solidaritas gotong‐royong kekeluargaan itu berfungsi sebagai perekat kedamaian dan kesejahteraan dalam kampung bersama. Filosofi “tiga tengku sejarangan” di atas hanya ada terdapat pada etnis Melayu di Pasisir Termiang dan Sumatera Timur saja yang mendapat pengaruh unsur “Batak”. Epan Hasyim Siregar: Peranan Tiga Tungku…
21