DAFTAR ISI DRAFT PEDOMAN KRITERIA TRANSPORTASI BERKELANJUTAN Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Prinsip Sistem Transportasi Berkelanjutan Bab II KONDISI DAN PERMASALAHAN Peraturan dan Kebijakan Sistem Lalu Lintas yang ada • Produsen dan konsumen transportasi (pilihan yang ada di masyarakat dan produsen dan jumlah produksinya) • Teknologi transportasi • Rasio pelayanan (kapasitas angkut dan passanger demand) 1. Peningkatan arus lalu lintas 2. Kebutuhan akan transportasi yang menghasilkan kemacetan, tundaan, kecelakaan dan masalah lingkungan 3. Sistem transportasi yang ada belum terintegrasi dalam pengembangan tataruang; 4. Pergerakan transportasi melebihi kapasitas sistem prasarana transportasi yang ada dan melebihi daya tampung wilayah perkotaan. 5. Sistem transportasi umum masih belum tertata dengan baik 6. Belum adanya sistem pelayanan minimal angkutan umum perkotaan. 7. Peningkatan emisi kenderaan bermotor Bab III
KRITERIA TRANSPORTASI BERKELANJUTAN
3.1 Tingkat Kesadaran (Awarness) dan Upaya Mengurangi Tingkat Pencemaran Udara 3.1.1 Pemantauan Kualitas Udara 3.1.1 Anggaran pengelolaan 3.1.2 Kegiatan pemantauan kualitas udara 3.1.2.1 Pemantauan ambient dan jalan raya a. Jumlah titik pengamatan b. Lokasi pemantauan c. Frekuensi pemantauan d. Jumlah parameter kualitas udara yang dipantau e. 3.1.2.2 Pengarsipan data 3.1.2.3 Diseminasi/sosialisasi hasil pengamatan 3.2 Program kegiatan untuk mereduksi tingkat pencemaran udara akibat lalu lintas 3.2.1 Jenis kegiatan a. manajemen lalu lintas Panduan KriteriaSUT Des’05
1
Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan manusia seiring dengan kebutuhan dasar manusia dengan manusia lainnya atau system kebutuhan lainnya seperti alat perhubungan yang disebut dengan alat transportasi. Dengan adanya alat transportasi, maka pergerakan lalu lintas menjadi lebih cepat, aman, nyaman dan terintegrasi. Sarana transportasi (alat angkut) berkembang mengikuti fenomena yang timbul akibat penggalian sumberdaya
seperti
penemuan
teknologi
baru,
perkembangan
struktur
masyarakat, dan peningkatan pertumbuhan. Pertumbuhan di sektor ekonomi memberi dampak terutama dirasakan di kawasan perkotaan, dengan terlihat makin menguatnya konsentrasi penduduk di kota-kota besar dan metropolitan. Dewasa ini tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan telah mencapai + 4% per tahun, lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata nasional yang hanya mencapai + 1,8%. Sampai akhir 1995 diperkirakan 45% dari total penduduk nasional tinggal di wilayah perkotaan atau 90 juta dari 200 juta penduduk, dimana 60,5% dari penduduk perkotaan tersebut tinggal di kota-kota besar, metropolitan dan megapolitan. Dengan gejala seperti dapat diperkirakan pada tahun 2018 penduduk perkotaan akan mencapai 52% atau sekitar 140 juta jiwa penduduk perkotaan dari sekitar 270 juta jiwa penduduk Indonesia (Grafik 1.). Peningkatan pertumbuhan ekonomi ini telah meningkatkan peranan sektor transportasi dalam menunjang pencapaian sasaran pembangunan dan hasilhasilnya. Fungsi sektor transportasi akan merangsang peningkatan pembangunan ekonomi karena antara fungsi sector transportasi dan pembangunan ekonomi mempunyai hubungan kausal (timbal balik).
1
Grafik 1. Jumlah penduduk di perkotaan dan pedesaan 200 180 151
160
Millions
140
123.3
120 90.1
120119
69.64
113
85.8
74.6
69.9
60
43.7
40 20
126.2
108.8
100 80
127.1
26.2 9.86
11.6
16.9
0 1950
1955
1965
1975 Rural
1985 Urban
1995
2000
2010
2020
Expon. (Urban)
Source: Directorate of Land Transportation, Ministry of Communication
Pemerintah harus menerapkan kebijakan sosial dan kebijakan teknis yang dapat mengembangkan pola transportasi nasional yang dapat melayani kebutuhan masyarakat secara baik dan terpadu.
Kebijakan sosial pemerintah memiliki
dampak terhadap sistem transportasi nasional dan industri transportasi itu sendiri.
Di banyak kota-kota besar, transportasi melalui jalan merupakan moda yang paling dominan dibandingkan dengan moda transportasi lainnya. Dari sejumlah angkutan yang melalui jalan tersebut, penggunaan kendaraan pribadi cenderung lebih dominan dari pada kendaraan angkutan umum. Untuk terwujudnya lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, nyaman, cepat, tertib dan menjangkau seluruh wilayah daratan
dibutuhkan
manajemen
transportasi
yang
antara
lain
meliputi
pengembangan moda transportasi, penataan frekuensi dan jarak perjalanan lalu lintas kendaraan, bahan bakar yang digunakan, dan pengaturan serta pembinaan terhadap kendaraan bermotor dan kendaraan angkutan umum.
2
Tingkat kepadatan lalu lintas di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan sampai saat ini masih menjadi masalah khususnya pada upaya pengendalian pencemaran udara dari emisi kendaraan bermotor. Pertumbuhan kendaraan yang cukup tinggi di kota-kota besar ini tidak saja menimbulkan masalah kemacetan lalu lintas tetapi juga menimbulkan masalah lain seperti kecelakaan lalu lintas , polusi udara, dan kebisingan. Sekitar 87 % kontribusi pencemaran udara berasal dari sektor transportasi. Saat ini jumlah dan penggunaan kendaraan bermotor bertambah dengan tingkat pertumbuhan ratarata 12% per tahun. Komposisi terbesar adalah sepeda motor (73% dari jumlah kendaraan pada tahun 2002-2003 dan pertumbuhannya mencapai 30% dalam 5 tahun terakhir). Rasio jumlah sepeda motor dan penduduk diperkirakan 1:8 pada akhir tahun 2005; Kebutuhan moda transportasi yang berwawasan lingkungan sangat diharapkan realisasinya, khususnya untuk angkutan umum antar dan di kota-kota besar seperti
Jakarta
dan
wilayah
Jabodetabek
(Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-
Bekasi). Kebutuhan ini diupayakan dalam rangka menurunkan tingkat emisi dan konsumsi bahan bakar. (Beri komentar untuk konsumsi bahan bakar) Grafik 2. Konsumsi bahan bakar di sektor industri dan transportasi
Thousend BOE
200,000 150,000 100,000 50,000 0 1999 Industry
2000 Transportation
2001
2002
2003
Linear (Transportation)
Pemisahan lalu lintas, termasuk sistem prioritas bagi bis (seperti sistem transportasi busway yang baru diperkenalkan di Jakarta) dapat menurunkan
3
keragaman kecepatan arus lalu lintas, peningkatan tingkat keselamatan, dan peningkatan efisiensi dan daya tarik transportasi umum, apabila dikelola dengan baik.
Permasalahan lainnya adalah semakin tingginya volume kegiatan transportasi di perkotaan antara lain Kemacetan lalu lintas yang semakin serius. Biaya yang dikeluarkan akibat kemacetan menurut data dari Ditjen Hubdat tahun 1997 adalah sekitar Rp. 10 triliun per tahun. Kemacetan umumnya terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya dan akibatnya terjadi inefisiensi sistem jaringan transportasi yang ada di wilayah perkotaan. Selain itu, waktu dan jarak tempuh yang lebih panjang akibat kemacetan telah menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 2.5 triliun per tahun di wilayah Jabodetabek (SITRAMP 2004) dan Biaya operasional kendaraan dan waktu tempuh akibat kemacetan mencapai Rp. 5.5 triliun per tahun di wilayah Jabodetabek (SITRAMP 2004);
Pengembangan wilayah harus terintegrasi dengan pengembangan jaringan transportasi. Antara perencanaan pengembangan wilayah dan pengembangan sistem tranportasi adalah saling berinteraksi dan mempengaruhi. Pengembangan wilayah di suatu daerah akan menciptakan atau menimbulkan sistem tarnsportasi yang baru, demikian pula sebaliknya, pembuatan jaringan trasnportasi akan memicu tumbuhnya wilayah-wilayah terbangun. Dalam hal ini sangat dibutuhkan pengembangan secara terpadu, baik kawasan permukiman baru maupun jaringan transportasi beserta moda nya, sehingga masing-masing tidak akan ”tumbuh liar”. Belajar dari pengalamn di Jakarta, pengembangan wilayah cenderung sangat dispersif (tersebar luas) di daerah suburban, bahkan imbasnya sampai di kota-kota tetangga. Karena sistem transportasi tidak ikut dikembangkan (atau dikembangkan namun tidak secepat tumbuhnya pengembangan daerah) maka yang terjadi adalah bertambah panjangnya kemacetan lalulintas, tidak hanya di Kota Jakarta tetapi sudah sampai di daerah suburban. Bahkan pada jam puncak, ruas tol tidak
4
dapat lagi memampung kendaraan. Alternatif pemecahan bagi pengembangan wilayah yang berdampak positif bagi kualitas transportasi, seperti dicontohkan oleh berbagai kota modern di negara maju, adalah pengembangan permukiman dalam bentuk
rumah
susun
yang
terkonsentrasi
di
perkotaan.
Hal
ini
akan
memperpendek jarak origin-destination, sehingga akan mengurangi dampak ikutan (polusi, kemacetan dll) dan luasan pencemaran dapat ditekan sekecil mungkin. Oleh karena itu, sistem perhubungan atau transportasi di wilayah Indonesia harus direncanaka secara terkoordinasi, terpadu,
dan sesuai dengan perubahan dan
tuntutan di masa mendatang. Di samping itu tergantung pada kondisi fisik (alami) wilayah yang bersangkutan maupun sosial ekonomi, sektor pembangunan yang ada, serta potensi lainnya yang dimiliki oleh daerah tersebut. Di samping itu panduan dalam perencanaan manajemen angkutan umum yang berwawasan lingkungan dan terintegrasi dengan tata ruang menjadi penting salah satunya melalui penyusunan suatu pedoman bagi daerah secagai acuan dalam penyusunan master plan pengadaan transportasi yang baik dan sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan.
1.2. Kondisi dan permasalahan
Peraturan dan Kebijakan Sampai saat ini, Peraturan yang terkait dengan sistem transportasi serta masalah lalulintas masih sangat terbatas. Peraturan berupa Undang-undang sudah ada, namun Peraturan Pemerintah sebagai turunan dari undang-undang tersebut masih sedikit. Peraturan yang ada tersebut adalah: 1. Undang-Undang no. 38 Tahun 2004 mengenai Jalan – yang merupakan pengganti dari UU no. 13 Tahun 1980 tentang Jalan dengan menyesuaikan pada perkembangan otonomi daerah, persaingan global dan peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan jalan
5
2. Undang-Undang no. 14 Tahun 1992 mengenai Lalulintas dan Jalan Raya – saat ini UU sedang mengalami proses revisi 3. Peraturan Pemerintah no. 15 Tahun 2005 mengenai Jalan Tol – yang merupakan peraturan untuk melaksanakan Pasal 43 sampai dengan Pasal 53 dan Pasal 57 dari UU no. 38 Tahun 2004 4. Peraturan
Pemerintah
No.
41
Tahun
1999
tentang
Pengendalian
Pencemaran Udara 5. Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1993 tentang Angkutan Jalan 6. Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan 7. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom 8. Kepmen LH No 35 Tahun 1993 tentang Ambang Batas Emisi Kenderaan 9. Kepmen Perhubungan No. KM 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kenderaan Umum 10. Beberapa Pemerintah Daerah dan Kota telah memiliki Peraturan Daerah mengenai Transportasi, Lalulintas dan Jalan Raya. 11. Peraturan Daerah mengenai Ketertiban Umum
Sistem Lalu Lintas yang ada A. Kondisi moda transportasi (angkutan umum dan pribadi) 1. jenis moda transportasi dengan berbagai macam operatornya. 2. Jumlah moda transportasi sesuai jenis yang ada 3. Teknologi kendaraan bermotor yang digunakan 4. teknologi transportasi B. Kondisi sistem pelayanan dan jaringan infrastrukturnya 1. jaringan jalan raya atau rel termasuk terminal;
6
2. ciri ruas jalan 3. konfigurasi jaringan transportasi • Pada dasarnya permasalahan transportasi dibagi menjadi permasalahan inti sebagai berikut: 1. Peningkatan arus lalu lintas telah mengakibatkan peningkatan pencemaran udara 2. Kebutuhan akan transportasi yang menghasilkan kemacetan, tundaan, kecelakaan dan masalah lingkungan; Waktu dan jarak tempuh yang lebih panjang akibat kemacetan menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp. 2.5 triliun per tahun di wilayah Jabodetabek, sementara biaya operasional kendaraan dan waktu tempuh akibat kemacetan Rp. 5.5 triliun per tahun di wilayah Jabodetabek (SITRAMP 2004); Tabel 1. Pergerakan masyarakat di Jabodetabek Movement
Volume
Volume
(vehicles/day)
(person/day)
Jakarta- Tangerang
412,543
1,221,079
Jakarta- Bekasi
499,198
1,503,654
Jakarta- Bogor/Depok
424,219
1,369,626
Source: SITRAMP 2000
Beberapa unsur yang mempengaruhi tingginya tingkat kemacetan lalu lintas kendaraan bermotor di jalur jalan-jalan di perkotaan di Indonesia antara lain: •
Kondisi jalan dan pedestrian
•
Sikap dan kebiasaan pengguna jalan dan angkutan umum.
•
Pergerakan transportasi yang melebihi kapasitas sistem prasarana transportasi yang ada dan melebihi daya tampung wilayah perkotaan.
•
Pengemudi angkutan umum Perilaku
pengemudi
yang
kurang
benar
dalam
mengemudikan
kendaraannya sangat mempengaruhi besarnya pemakaian bahan bakar pada kendaraan bermotor, antara lain sebagai berikut :
7
¾ Kebiasaan mengemudi dengan kecepatan melibihi kecepatan optimal; ¾ Penggunaan gigi persneling tidak sesuai dengan kecepatan; ¾ Mengemudikan kendaraan dengan kejutan dan menyentak pedal gas. ¾ Kebiasaan mengisi tangki bahan bakar terlalu penuh dan sampai tumpah. Perilaku pengemudi tersebut di atas apabila tidak diikuti dengan perawatan kendaraan secara baik, akan mengakibatkan kualitas polusi udara akibat emisi gas buang semakin tinggi. •
Infrastruktur perkotaan yang belum optimal dalam pemanfaatan sarana jalan
(Terlalu
besarnya
kebutuhan
akan
pergerakan
lalu
lintas
transportasi dibanding dengan sistem prasarana transportasi yang tersedia) atau pergerakan transportasi yang melebihi kapasitas sistem prasarana transportasi yang ada. •
Penggunaan kenderaan pribadi lebih tinggi dibandingkan penggunaan kenderaan umum (volume kenderaan pribadi menurunkan efektivitas penggunaan ruang jalan)
3. Sistem transportasi yang ada belum terintegrasi dalam pengembangan tataruang; 4. Sistem transportasi umum masih belum tertata dengan baik, yaitu dalam hal: •
Sistem transportasi berorientasi “jalan”;
•
Transportasi berbasis rel belum berkembang;
•
Jaringan transportasi bus belum memiliki interkoneksi yang memadai;
•
Rute bus yang masih tumpang tindih (dapat mencapai 60%);
•
Manajemen terminal masih lemah;
8
•
Sistem transportasi cepat dan massal belum mencukupi;
•
Infrastruktur transportasi tidak bermotor belum tersedia;
•
Pengelolaan kebutuhan transportasi belum efektif; kebutuhan perjalanan dari dan ke sentra bisnis masih tinggi pada jam-jam padat;
5. Sistem pelayanan angkutan umum perkotaan. Belum adanya standar pelayanan minimal yang harus dipenuhi oleh pengelola angkutan umum, misalnya terkait dengan aspek keamanan, kenyamanan, menyebabkan lemahnya tingkat pelayanan angkutan umum, sehingga mengakibatkan keengganan masyarakat untuk beralih menggunakan angkutan umum. Selain itu lemahnya interkoneksi antar moda menyebabkan efisiensi waktu yang rendah dan menambah keengganan masyarakat untuk menggunakan angkutan umum. Kelemahan tingkat pelayanan, dalam hal: •
sarana dan prasarana yang kurang memadai
•
Kapasitas angkut kendaraan umum masih terbatas; pengaturan waktu dan wilayah layanan bus masih belum memadai;
•
waktu tempuh yang cukup lama
•
Pemantauan kualitas layanan bus belum dilaksanakan dengan baik; ¾ jumlah penumpang yang melebihi kapasitas angkut ¾ tingkat kenyamanan yang rendah ¾ Tingkat keamanan yang rendah
•
Tidak ada perhatian yang memadai bagi orang tua dan penyandang cacat
•
aksesibilitas yang sulit untuk beberapa daerah tertentu
6. Emisi kenderaan bermotor •
Lebih dari 50% kendaraan yang beroperasi di jalan tidak memenuhi ambang batas emisi;
9
•
Ambang batas emisi gas buang kendaraan yang berlaku saat ini masih longgar;
•
Tidak ada sistem kontrol emisi terhadap sebagian besar kendaraan yang beroperasi di jalan;
•
Sistem Pengujian Kendaraan Bermotor (kelaikan jalan dan persyaratan teknis kendaraan umum) tidak efektif karena mekanisme pengawasan, pemantauan, dan evaluasi kinerja PKB belum diterapkan secara konsisten;
•
Pemeriksaan emisi di jalan sebagai bagian dari penegakan hukum belum dilaksanakan;
•
Pengujian
kendaraan
tipe
baru
sesuai
standar
EURO-2
belum
dilaksanakan secara konsisten karena keterbatasan fasilitas; •
Perawatan kendaraan untuk mengurangi emisi dan meningkatkan kinerja kendaraan belum dilaksanakan secara rutin;
•
Pengembangan dan penggunaan kendaraan dengan teknologi yang dapat mereduksi emisi dan menghemat bahan bakar masih terhambat;
•
Belum ada sistem disinsentif untuk membatasi jumlah kendaraan penghasil polusi tinggi dan sistem insentif untuk kendaraan hemat BBM dan menggunakan bahan bakar alternatif ramah lingkungan;
•
Kapasitas institusi pelaksana sistem transportasi dan pengujian kendaraan bermotor di daerah masih rendah;
•
Pemantauan dan evaluasi kinerja pengujian kendaraan bermotor belum efektif;
10
b. pengembangan angkutan umum c. kenderaan tanpa bermotor d. Fasilitas pejalan kaki e. pengembangan bahan bakar ramah lingkungan f. 3.2 Karakteristik kota 3.2.1 Ukuran pencemaran (Parameter pencemaran udara) Parameter a. SO2 (sulfur dioksida) b. CO (Carbon monoksida) c. NO2 (Nitrogen dioksida) d. O3 (Oksidan) e. HC (Hydrocarbon) f. PM10 (particulate < 10 μm g. TSP (ash) h. Pb (lead) 3.2.2 Kinerja lalu lintas perkotaan a. Kecepatan operasi b. Kepadatan lalu lintas c. Rata-rata jarak perjalanan harian d. Penggunaan angkutan umum
PERENCANAAN/SISTEM TRANSPORTASI BERWAWASAN LINGKUNGAN 3.1 Pendekatan Perencanaan 1. Sistem transportasi secara menyeluruh (MAKRO) 2. Sistem transportasi yang lebih kecil (MIKRO) 3.2
Aspek-aspek yang mempengaruhi : 1. Kenyamanan 2. Keamanan 3. Estetika 4. Teknologi kendaraan bermotor 5. Sosial, ekonomi
3.3
Indikator 1. Berkurangnya kemacetan / percepatan waktu tempuh 2. Penurunan Angka emisi gas buang / penurunan beban emisi ke udara (gas buang dan kebisingan) 3. Peningkatan kualitas udara ambient
3.4
Sistem manajemen 1. Kepadatan lalu lintas 2. Kilometer dan Waktu Tempuh Kendaraan Bermotor 3. Pola Transportasi 4. Masterplan Transportasi dan Perencanaan Tata Kota/Daerah
Panduan KriteriaSUT Des’05
2
Bab IV KRITERIA PENGEMBANGAN MODA TRANSPORTASI BERKELANJUTAN 5.1 Kebijakan dan Peraturan 5.2 Penerapan standar pelayanan minimum angkutan umum 1. jalan satu arah 2. road pricing 3. pengaturan kelas jalan (lebih kearah jenis kendaraan, tonnase dll) 5.3 5.4 5.5 5.6 5.7 5.8 5.9
Non motorised transport. Jumlah dan jenis angkutan umum Infrastruktur jalan. Pengembangan jaringan dan moda transportasi yang bersifat preventif Perencanaan sistem transportasi kota terintegrasi dengan pengembangan wilayah/tata ruang Ekonomi Biaya Rendah Teknologi transportasi (bahan bakar, teknologi mesin, teknologi reduksi , daya angkut) 1. Pemakaian bahan bakar ramah lingkungan 2. Penggunaan teknologi mesin 3. Penggunaan teknologi untuk mengontrol emisi gas buang 4. Daya angkut
5.10 Perpindahan antar moda 5.11 Penguatan budaya melalui sosialisasi penggunaan angkutan umum Bab V
PENUTUP 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran/rekomendasi kebijakan:
Panduan KriteriaSUT Des’05
3
BAB II Sistem Transportasi Berkelanjutan 2.1 Prinsip Sistem Transportasi Berkelanjutan A.R. Barter Tamim Raad dalam bukunya Taking Steps: A Community Action Guide to People-Centred, Equitable and Sustainable Urban Transport menyebutkan, bahwa sistem transportasi berkelanjutan harus memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Aksesibilitas untuk semua orang Sistem transportasi yang berkelanjutan harus dapat menjamin adanya akses bagi seluruh lapisan masyarakat, termasuk para penyandang cacat, kanak-kanak dan lansia, untuk mendapatkan –paling tidak— kebutuhan dasarnya seperti kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan 2. Kesetaraan sosial Sistem transportasi selayaknya tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat tingkat atas, yaitu dengan mengutamakan pembangunan jalan raya dan jalan tol semata. Penyediaan sarana angkutan umum yang terjangkau dan memiliki jaringan yang baik merupakan bentuk pemenuhan kesetaraan sosial, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan pelayanan transportasi yang diberikan. 3. Keberlanjutan lingkungan Sistem transportasi harus seminimal mungkin memberikan dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu, sistem transportasi yang berkelanjutan harus mempertimbangkan jenis bahan bakar yang digunakan selain efisiensi dan kinerja dari kendaraan itu sendiri. Kombinasi dan integrasi dengan moda angkutan tak bermotor, termasuk berjalan kaki, dan moda angkutan umum (masal) merupakan upaya untuk mempertahankan keberlanjutan lingkungan dengan meminimalkan dampak lingkungan. 4. Kesehatan dan keselamatan
11
Sistem transportasi yang berkelanjutan harus dapat menekan dampak terhadap kesehatan dan keselamatan. Secara umum, sekitar 70% pencemaran udara dihasilkan oleh kegiatan transportasi dan ini secara langsung, maupun tidak langsung, memberikan dampak terhadap kesehatan terutama terhadap sistem pernafasan. Di sisi lain, kecelakaan di jalan raya mengakibatkan kematian sekitar 500 ribu orang per tahun dan mengakibatkan cedera berat bagi lebih dari 50 juta lainnya. Jika hal ini tidak ditanggulangi, dengan semakin meningkatnya aktivitas transportasi dan lalu lintas akan semakin bertambah pula korban yang jatuh. 5. Partisipasi masyarakat dan transparansi Sistem transportasi disediakan untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus diberikan porsi yang cukup untuk ikut menentukan moda transportasi yang digunakan serta terlibat dalam proses pengadaannya. Bukan hanya masyarakat yang telah memiliki fasilitas seperti motor atau mobil yang dilibatkan, melainkan juga mereka yang tidak memiliki fasilitas namun tetap memerlukan mobilitas dalam kesehariannya. Partisipasi ini perlu terus diperkuat agar suara mereka dapat diperhitungkan dalam proses perencanaan,
implementasi
dan
pengelolaan
sistem
transportasi
kota.
Transparansi merupakan satu hal penting yang tidak boleh ditinggalkan. Keterbukaan dan ketersediaan informasi selama proses merupakan penjamin terlaksananya sistem yang baik dan memihak pada masyarakat. 6. Biaya rendah dan ekonomis Sistem transportasi yang berkelanjutan tidak terfokus pada akses bagi kendaraan bermotor semata melainkan terfokus pada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, sistem transportasi yang baik adalah yang berbiaya rendah (ekonomis) dan terjangkau. Dengan memperhatikan faktor ini, bukan berarti seluruh pelayanan memiliki kualitas yang sama persis. Beberapa kelas pelayanan dapat
diberikan
dengan
mempertimbangkan
biaya
operasi
dan
keterjangkauannya bagi kelas masyarakat yang dituju. Bukan biaya rendah yang menjadi kunci semata melainkan ekonomis dan keterjangkauannya.
12
7. Informasi Msyarakat harus terlibat secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan serta pengelolaan sistem transportasi. Untuk itu, masyarakat harus memahami latar belakang pemilihan sistem transportasi serta kebijakannya. Ini juga merupakan bagian untuk menjamin proses transparansi dalam perencanaan, implementasi dan pengelolaan transportasi kota. 8. Advokasi Advokasi merupakan komponen penting untuk memastikan terlaksananya sistem transportasi yang tidak lagi memihak pada pengguna kendaraan bermotor pribadi semata melainkan memihak pada kepentingan orang banyak. Di banyak kota besar, seperti Tokyo, London, Toronto dan Perth, advokasi masyarakat mengenai sistem transportasi berkelanjutan telah mampu mengubah sistem transportasi kota sejak tahap perencanaan. Advokasi dapat dilakukan oleh berbagai pihak dan dalam berbagai bentuk. Penguatan bagi pengguna angkutan umum misalnya, akan sangat membantu dalam mengelola sistem transportasi umum yang aman dan nyaman. 9. Peningkatan kapasitas Pembuat kebijakan dalam sektor transportasi perlu mendapatkan peningkatan kapasitas untuk dapat memahami paradigma baru dalam pengadaan sistem transportasi yang lebih bersahabat, memihak pada kepentingan masyarakat dan tidak lagi tergantung pada pemanfaatan kendaraan bermotor pribadi semata. 10. Jejaring kerja Jejaring kerja dari berbagai stakeholder sangat diperlukan terutama sebagai ajang bertukar informasi dan pengalaman untuk dapat menerapkan sistem transportasi kota yang berkelanjutan.
13
2.2 Kriteria Transportasi Berkelanjutan Mengingat transportasi adalah kebutuhan publik, maka faktor pelayanan adalah menjadi kata kunci dalam perbaikan sistem transportasi. Masalah transportasi adalah masalah mobilitas dan akses yang berkeadilan bagi semua warganegara tanpa pengecualian. Oleh karena itu dengan mempertimbangkan kebutuhan tersebut, maka mobilitas dan akses masyarakat yang ideal harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Kebijakan dan Peraturan
Pemerintah daerah harus menerapkan kebijakan sosial dan kebijakan teknis yang dapat mengembangkan pola transportasi nasional yang dapat melayani kebutuhan masyarakat secara baik dan terpadu.
Kebijakan
sosial pemerintah memiliki dampak terhadap system transportasi nasional dan industri transportasi itu sendiri. Kebijakan yang dituangkan dalam peraturan yang mendukung bagi transportasi berwawasan lingkungan, meliputi: •
Kebijakan tentang master plan sistem transportasi yang harus disesuaikan dengan tipologi lingkungan dan budaya setempat dan sesuai dengan kaidahkaidah transportasi.
•
Penetapan batas ambang kualitas udara dan kebisingan, dilengkapi hasil monitoring kualitas udara dan kebisingan. Pemerintah pusat jika perlu mengembangkan sistem informasi kualitas udara dan kebisingan di seluruh penjuru Indonesia, dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah.
•
Dalam setiap pembangunan infrastruktur jalan, perlu disyaratkan penanaman pohon di sepanjang pinggir jalan untuk menyerap polusi dan menahan kebisingan.
•
Pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi (mobil dan motor) untuk setiap keluarga.
14
•
Adanya peraturan tentang zona pembatasan kenderaan dan peningkatan biaya parkir
•
Adanya kebijakan dalam hal mengembalikan biaya eksternalitas kepada pencemar
(pengguna
kendaraan
pribadi-
bisa
dalam
bentuk
pajak
lingkungan). Beban pencemaran tidak lagi ditanggung oleh publik namun oleh pencemar dan digunakan kepada masyarakat dalam bentuk tunjangan kesehatan atau lainnya. Upaya preventif yang selama ini dilakukan adalah dengan
kir
kendaraan,
namun
masih
saja
ada
perdebatan
dalam
pelaksanaannya. Pemeriksaan dan perawatan kendaraan (I/M) secara konsisten menjadi kewajiban bagi seluruh pemilik dan pengendara kendaraan bermotor.
2. Penerapan standar pelayanan minimum angkutan umum Penerapan sistem layanan transportasi umum harus diselaraskan dengan standar pelayanan minimum dan ditujukan untuk pengangkutan dalam jumlah banyak dan cepat dan menjadi daya tarik bagi pengguna kendaraan pribadi beralih ke moda angkutan umum. Pelayanan ini dilakukan melalui: •
Pelayanan angkutan umum, meliputi: 1. Kenyamanan, keselamatan, keamanan, dan ketepatan waktu 2. Pelaksanaan uji berkala angkutan umum Sistem Pengujian Kendaraan Bermotor (kelaikan jalan dan persyaratan teknis kendaraan umum) yang efektif meliputi mekanisme pengawasan, pemantauan, dan evaluasi kinerja PKB harus diterapkan secara konsisten;
•
Sistem angkutan massal, yang akan memberikan layanan dan kemudahan akses bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Sistem angkutan massal dapat berupa bus (contoh bagus adalah busway di DKI Jakarta), truly bus (bertenaga listrik – seperti kereta listrik), trem, Mass Rapid Transit (MRT), car
15
pooling (feeder bus), mono rel, Kereta Listrik dan lain-lain. Sistem agkutan massal bertenaga listrik mempunyai keunggulan, yaitu pemakaian listrik tidak mencemari jalur lalulintas yang dilalui, tetapi akan lebih terkendali atau terlokalisasi di tempat pembangkitan listrik saja. Meskipun bagi kota-kota kecil mungkin belum memerlukan angkutan massal saat ini, namun untuk perencanaan ke depan yang memperhitungkan perencanaan pengembangan wilayah dan pertumbuhan populasi, sistem angkutan massal ini harus diakomodasi
dalam
perencanaannya,
terutama
bagi
pengembangan
jaringannya. •
jalan satu arah
•
road pricing
•
pengaturan kelas jalan (lebih kearah jenis kendaraan, tonnase dll) detailkan ya...check di perdanya
Transportasi umum harus dikembalikan lagi sebagai ”layanan publik” yang bila perlu harus disubsidi oleh pemerintah, sehingga semua komponen masyarakat akan terlayani angkutan publik dengan baik dengan harga yang terjangkau. Hal ini akan menjadi aset tersendiri bagi pemerintah, dengan adanya sistem angkutan publik yang memadai. 3. Non motorised transport. Memperhatikan kemampuan pejalan kaki untuk orang Indonesia, penderita cacat anak sekolah dan orang tua. Hal ini sangat penting bagi pengambilan keputusan setiap individu untuk memilih moda transportasi yang sesuai untuk dirinya. Sebagai contoh, kekuatan normal pejalan kaki untuk aktivitas harian adalah 0.5 km dalam satu perjalanan (mengingat negara tropis lebih cepat lelah), maka sistem transportasi yang dikembangkan harus menjangkau pengguna transportasi. Oleh karena itu butir 2 di atas sangat penting artinya bagi pengembangan sistem transportasi.
Jika
pengguna
transportasi
umum
harus
berjalan
diluar
16
jangkauannya ataupun tidak mendapatkan fasilitas yang sesuai, maka individuindividu akan memilih kendaraan pribadi. Akumulasi individu-individu ini yang menciptakan kemacetan lalulintas. Integrasi antara sistem angkutan massal dan angkutan lokal dapat diharmonisasikan. Selain itu penyediaan fasilitas jalan dan penyebrangan bagi para pejalan kaki, orang cacat dan sepeda harus disediakan (asas keadilan). 4. Jumlah dan jenis angkutan umum 5. Infrastruktur jalan. Pada saat ini yang lebih dikembangkan adalah jaringan jalan raya, sedangkan jaringan yang berbasis rel hampir-hampir tidak ada pengembangan, malah ada penyusutan dibandingkan jaman penjajahan Belanda (penutupan operasi sebagian jalur KA). Pembangunan yang berorientasi keuntungan semata (profit oriented) seperti pengembangan jalan tol, secara tidak langsung memicu pertumbuhan kendaraan bermotor, untuk menikmati kenyamanan berkendaraan. Jaringan tol telah membuka akses baru, dan memunculkan sistem transportasi yang cenderung tidak dapat dibendung jumlahnya. 6. Ekonomi dan biaya rendah. Menghentikan atau menyurutkan langkah liberalisasi di bidang transportasi dan keuangan, yang nyata-nyata telah menciptakan collaps nya sistem transportasi kita. mega rendah
Terlalu
banyak
proyek
yang
mahal.
biaya
dan
termasuk
rencana
Kebijakan
didominasi
transportasi
pembatasan
terhadap
oleh
berkelanjutan moda
sangat
transportasi
termahal- mobil pribadi. Kemudahan pembelian mobil atau motor pribadi melalui kemudahan kredit seperti leasing telah mendorong tumbuhnya kendaraan pribadi secara cepat dan mencengangkan. Secara individu, para pengguna motor roda dua lebih
untung
secara
finansial
karena
dapat
menghemat
dibandingkan
menggunakan angkutan umum. Persepsi inilah yang harus dirubah untuk menciptakan sistem transportasi yang ramah lingkungan. Penggunaan motor roda
17
dua sebagai moda transportasi bukanlah pilihan yang baik, karena sangat tinggi risiko keselamatannya. Hal ini yang sekarang menjadi problem besar di perkotaan. 7. Pengembangan jaringan dan moda transportasi yang bersifat preventif akan lebih baik dari pada yang bersifat counter action (kuratif). Kusutnya permasalahan transportasi di DKI Jakarta, karena bersifat kuratif, sebagai contoh untuk membangun mono rail atau MRT, banyak menemui kendala karena adanya kegiatan pembebasan lahan, yang peruntukannya tidak disiapkan jauh sebelum wilayah yang dilewati menjadi terbangun.
8. Perencanaan
sistem
transportasi
kota
terintegrasi
dengan
pengembangan
wilayah/tata ruang
9. Teknologi transportasi (bahan bakar, teknologi mesin, teknologi reduksi , daya angkut) •
Pemakaian bahan bakar ramah lingkungan (Biofuel, gas, dsb.)
•
Penggunaan teknologi mesin
•
Penggunaan teknologi untuk mengontrol emisi gas buang
•
Daya angkut
10. Penguatan budaya melalui sosialisasi penggunaan angkutan umum. Saat ini penggunaan mobil pribadi masih dianggap mempunyai nilai prestisius yang tinggi, sementara penggunaan angkutan umum masih dianggap rendah dalam stratifikasi budaya. Hal ini dapat dicontohkan melalui sikap para pejabat, yang notabene menggembar-gemborkan pemakaian angkutan publik, namun para pejabat sendiri tidak pernah menggunakan fasilitas angkutan umum.
18
Sambungan Bab 2 PERENCANAAN/SISTEM TRANSPORTASI BERWAWASAN LINGKUNGAN 3.1 Pendekatan Perencanaan Tujuan perencanaan transportasi adalah memperkirakan jumlah serta kebutuhan akan transportasi (misalnya menentukan total pergerakan, baik untuk angkutan umum maupun angkutan pribadi) pada masa mendatang atau pada tahun rencana yang akan digunakan untuk berbagai kebijakan investasi perencanaan transportasi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan system yaitu: pendekatan umum untuk suatu perencanaan atau teknik dengan menganalisis semua faktor yang berhubungan dengan permasalahan yang ada. Pendekatan system transportasi memiliki criteria yaitu: 1. Sistem transportasi secara menyeluruh (MAKRO) 2. Sistem transportasi yang lebih kecil (MIKRO)
Sistem Transportasi Makro
Sistem Kelembagaan (KL)
Kebutuhan akan transportasi (KT)
Prasarana transportasi (PT)
Rekayasa dan Manajemen Gambar 2. Sistem Transportasi Makro Lalu lintas (RL dan ML)
Sistem transportasi mikro terdiri dari: Sistem kegiatan Rencana tata guna lahan yang baik dapat mengurangi kebutuhan akan perjalanan yang panjang sehingga membuat interaksi menjadi lebih mudah.
Sistem jaringan prasarana transportasi Meningkatkan kapasitas pelayanan prasarana yang ada (pelebaran jalan, jaringan jalan baru dll).
Sistem pergerakan transportasi Mengatur teknik dan manajemen lalu lintas (jangka pendek), fasilitas angkutan umum yang lebih baik (jangka pendek dan menengah), atau pembangunan jalan (jangka panjang). Kebutuhan akan pergerakan transportasi tergantung kepada perbedaaan tujuan perjalanan, sistem dan manajemen transportasi, moda transportasi yang digunakan dan waktu terjadinya pergerakan.
Sistem kelembagaan Di Indonesia system kelembagaan yang berkaitan dengan masalah transportasi secara umum dapat terkoordinasi melalui beberapa sistem, yaitu: 1. Sistem Kegiatan: dilakukan oleh Bappenas, Bapeda, Bangda dan Pemda 2. Sistem jaringan: Dephub, Bina Marga 3. Sistem pergerakan : Dinas perhubungan, Organda, Polantas dan masyarakat. Hubungan dasar antara system kegiatan, system jaringan dan system pergerakan memiliki urutan tahapan sebagai berikut: 1. Aksesibilitas dan mobilitas (bersifat lebih abstrak) Ukuran potensial atau kesempatan untuk melakukan perjalanan. Digunakan untuk mengalokasikan masalah yang terdapat dalam system transportasi dan mengevaluasi pemecahan alternatif. Pada dasarnya mobilitas penduduk menyebabkan adanya persaingan antara sarana transportasi untuk kegiatan wisata dengan kegiatan ekonomi lainnya yang akan menyebabkan: Kepadatan lalu lintas tinggi. Transportasi umum regional kurang terjamin. Fasilitas antarmoda kurang mendukung mobilitas wisatawan. 2. Pembangkit lalu lintas (tertuju kepada tata guna lahan) Perjalanan dapat bangkit dari suatu tata guna lahan atau dapat tertarik ke suatu tata guna lahan. 3. Sebaran penduduk (daerah kajian perkotaan)
Perjalanan disebarkan secara geografis di dalam daerah perkotaan (daerah kajian). 4. Pemilihan moda transportasi (pengaruh terhadap tujuan perjalanan tertentu) Menentukan faktor yang mempengaruhi pemilihan moda transportasi untuk tujuan perjalanan tertentu. 5. Pemilihan rute Menentukan faktor yang mempengaruhi pemilihan rute dari setiap zona asal dan ke setiap zona tujuan.
Berdasarkan hal di atas sudah selayaknya Pemerintah (baik pusat maupun daerah kota) dapat memformulasikan perencanaan yang tepat menuju manajemen transportasi nasional yang berwawasan lingkungan. Dengan demikian rumusanrumusan yang dibuat oleh Pemerintah dapat yang menjadi keinginan, harapan dan bahan pertimbangan dan kebijakan menuju terciptanya manajemen transportasi nasional berwawasan lingkungan yang akan disesuaikan dengan kebijakan yang ada. 3.2 Aspek-aspek yang mempengaruhi : • Kenyamanan • Keamanan • Estetika • Teknologi kendaraan bermotor • Sosial, ekonomi 3.3 Indikator • Berkurangnya kemacetan / percepatan waktu tempuh • Penurunan Angka emisi gas buang/penurunan beban emisi ke udara (gas buang dan kebisingan) • Peningkatan kualitas udara ambient 3.4 Sistem manajemen Sistem manajemen lalu lintas ditujukan untuk melancarkan arus lalu lintas dan meningkatkan tingkat mobilitas. Upaya ini pada akhirnya akan menurunkan tingkat emisi dan konsumsi bahan bakar. Pemisahan lalu lintas, termasuk sistem prioritas bagi bis (seperti sistem transportasi busway yang baru diperkenalkan di Jakarta) dapat menurunkan keragaman kecepatan arus lalu lintas, peningkatan tingkat keselamatan, dan peningkatan efisiensi dan daya tarik transportasi umum, apabila dikelola dengan baik. Semua tolak ukur ini dapat secara signifikan menurunkan konsumsi bahan bakar dan emisi. Manajemen Transportasi Lalu Lintas, meliputi: a. Kepadatan lalu lintas Kepadatan lalu lintas berkaitan erat dengan pertambahan jumlah kendaraan dan pertambahan jumlah panjang jalan. Di kota-kota besar kepadatan lalu lintas mencapai kondisi puncak pada waktu jam sibuk terutama pada pagi dan sore dimana akan mengakibatkan konsentrasi emisi gas buang kendaraan bermotor meningkat dan akan menurun pada saat kepadatan lalu lintas berkurang. Untuk itu, pengembangan mekanisme penurunan kepadatan kenderaan bermotor dapat dilakukan melalui: • Identifikasi lokasi kemacetan jalan dan penentuan penyebabnya • Identifikasi pengelolaan parkir terpadu yang bertujuan untuk menyediakan kantong-kantong parkir dekat lokasi perbelanjaan dan tidak lagi parkir di setiap ruas jalan • Pengalihan pemakaian moda transportasi dari mobil pribadi menjadi transportasi umum
•
Kegiatan bebas kendaraan roda empat pada hari tertentu yang digantikan dengan penggunaan kendaraan non motor (sepeda)
b. Kilometer dan Waktu Tempuh Kendaraan Bermotor Muatan emisi polusi udara diperoleh dari kilometer tempuh dikalikan faktor emisi. Sedangkan kilometer tempuh itu sendiri merupakan hasil perkalian volume lalu lintas dengan jarak tempuh. Dengan demikian semakin besar kilometer tempuh suatu jenis kendaraan bermotor, semakin besar muatan emisi polusi udaranya. (masukkan kaitannya dengan waktu tempuh) c. Pola Transportasi Pola Transportasi juga mempengaruhi aksesibilitas perjalanan kendaraan baik didalam maupun diluar kota. Jika aksesibilitas perjalanan kendaraan sudah baik, maka tingkat kepadatan dan arus lalulintas dapat menekan laju emisi kendaraan karena intensitas kerja mesin kendaraan dapat dikontrol dengan baik. d. Masterplan Transportasi dan Perencanaan Tata Kota/Daerah Kegiatan transportasi diperkotaan dapat juga merujuk kepada perencanaan induk (masterplan) transportasi dan tata kota yang telah dibuat oleh para pengambil keputusan. Dengan adanya masterplan yang tepat sasaran dan terintegrasi dengan baik ke depan, maka faktor-faktor yang mempengaruhi ketepatan waktu perjalanan dan kondisi kendaraan dan bahan bakar serta titiktitik kepadatan lalu lintas jalan dapat ditekan sedemikian rupa sehingga emisi gas buang dan kebisingan dapat dikendalikan. KRITERIA PENGEMBANGAN MODA TRANSPORTASI BERWAWASAN LINGKUNGAN Mengingat transportasi adalah kebutuhan publik, maka faktor pelayanan adalah menjadi kata kunci dalam perbaikan sistem transportasi. Masalah transportasi adalah masalah mobilitas dan akses yang berkeadilan bagi semua warganegara tanpa pengecualian. Oleh karena itu dengan mempertimbangkan kebutuhan tersebut, maka mobilitas dan akses masyarakat yang ideal harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Kebijakan dan Peraturan
Pemerintah daerah harus menerapkan kebijakan sosial dan kebijakan teknis yang dapat mengembangkan pola transportasi nasional yang dapat melayani kebutuhan masyarakat secara baik dan terpadu. Kebijakan sosial pemerintah memiliki dampak terhadap system transportasi nasional dan industri transportasi itu sendiri. Kebijakan yang dituangkan dalam peraturan yang mendukung bagi transportasi berwawasan lingkungan, meliputi: • •
Kebijakan tentang master dengan tipologi lingkungan kaidah transportasi. Penetapan batas ambang monitoring kualitas udara
plan sistem transportasi yang harus disesuaikan dan budaya setempat dan sesuai dengan kaidahkualitas udara dan kebisingan, dilengkapi hasil dan kebisingan. Pemerintah pusat jika perlu
• •
mengembangkan sistem informasi kualitas udara dan kebisingan di seluruh penjuru Indonesia, dan masyarakat dapat mengaksesnya dengan mudah. Dalam setiap pembangunan infrastruktur jalan, perlu disyaratkan penanaman pohon di sepanjang pinggir jalan untuk menyerap polusi dan menahan kebisingan. Pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi (mobil dan motor) untuk setiap keluarga.
•
Adanya peraturan tentang zona pembatasan kenderaan dan peningkatan biaya parkir
•
Adanya kebijakan dalam hal mengembalikan biaya eksternalitas kepada pencemar (pengguna kendaraan pribadi- bisa dalam bentuk pajak lingkungan). Beban pencemaran tidak lagi ditanggung oleh publik namun oleh pencemar dan digunakan kepada masyarakat dalam bentuk tunjangan kesehatan atau lainnya. Upaya preventif yang selama ini dilakukan adalah dengan kir kendaraan, namun masih saja ada perdebatan dalam pelaksanaannya. Pemeriksaan dan perawatan kendaraan (I/M) secara konsisten menjadi kewajiban bagi seluruh pemilik dan pengendara kendaraan bermotor.
2. Penerapan standar pelayanan minimum angkutan umum Penerapan sistem layanan transportasi umum harus diselaraskan dengan standar pelayanan minimum dan ditujukan untuk pengangkutan dalam jumlah banyak dan cepat dan menjadi daya tarik bagi pengguna kendaraan pribadi beralih ke moda angkutan umum. Pelayanan ini dilakukan melalui: • Pelayanan angkutan umum, meliputi: 1. Kenyamanan, keselamatan, keamanan, dan ketepatan waktu 2. Pelaksanaan uji berkala angkutan umum
•
Sistem Pengujian Kendaraan Bermotor (kelaikan jalan dan persyaratan teknis kendaraan umum) yang efektif meliputi mekanisme pengawasan, pemantauan, dan evaluasi kinerja PKB harus diterapkan secara konsisten; Sistem angkutan massal, yang akan memberikan layanan dan kemudahan akses bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Sistem angkutan massal dapat berupa bus (contoh bagus adalah busway di DKI Jakarta), truly bus (bertenaga listrik – seperti kereta listrik), trem, Mass Rapid Transit (MRT), car pooling (feeder bus), mono rel, Kereta Listrik dan lain-lain. Sistem agkutan massal bertenaga listrik mempunyai keunggulan, yaitu pemakaian listrik tidak mencemari jalur lalulintas yang dilalui, tetapi akan lebih terkendali atau terlokalisasi di tempat pembangkitan listrik saja. Meskipun bagi kota-kota kecil mungkin belum memerlukan angkutan massal saat ini, namun untuk perencanaan ke depan yang memperhitungkan perencanaan pengembangan wilayah dan pertumbuhan populasi, sistem angkutan massal ini harus diakomodasi dalam perencanaannya, terutama bagi pengembangan jaringannya.
•
jalan satu arah
•
road pricing
•
pengaturan kelas jalan (lebih kearah jenis kendaraan, tonnase dll)
Transportasi umum harus dikembalikan lagi sebagai ”layanan publik” yang bila perlu harus disubsidi oleh pemerintah, sehingga semua komponen masyarakat akan terlayani angkutan publik dengan baik dengan harga yang terjangkau. Hal ini akan menjadi aset tersendiri bagi pemerintah, dengan adanya sistem angkutan publik yang memadai. 3. Non motorised transport. Memperhatikan kemampuan pejalan kaki untuk orang Indonesia, penderita cacat anak sekolah dan orang tua. Hal ini sangat penting bagi pengambilan keputusan setiap individu untuk memilih moda transportasi yang sesuai untuk dirinya. Sebagai contoh, kekuatan normal pejalan kaki untuk aktivitas harian adalah 0.5 km dalam satu perjalanan (mengingat negara tropis lebih cepat lelah), maka sistem transportasi yang dikembangkan harus menjangkau pengguna transportasi. Oleh karena itu butir 2 di atas sangat penting artinya bagi pengembangan sistem transportasi. Jika pengguna transportasi umum harus berjalan diluar jangkauannya ataupun tidak mendapatkan fasilitas yang sesuai, maka individu-individu akan memilih kendaraan pribadi. Akumulasi individu-individu ini yang menciptakan kemacetan lalulintas. Integrasi antara sistem angkutan massal dan angkutan lokal dapat diharmonisasikan. Selain itu penyediaan fasilitas jalan dan penyebrangan bagi para pejalan kaki, orang cacat dan sepeda harus disediakan (asas keadilan). 4. Jumlah dan jenis angkutan umum 5. infrastruktur jalan. Pada saat ini yang lebih dikembangkan adalah jaringan jalan raya, sedangkan jaringan yang berbasis rel hampir-hampir tidak ada pengembangan, malah ada penyusutan dibandingkan jaman penjajahan Belanda (penutupan operasi sebagian jalur KA). Pembangunan yang berorientasi keuntungan semata (profit oriented) seperti pengembangan jalan tol, secara tidak langsung memicu pertumbuhan kendaraan bermotor, untuk menikmati kenyamanan berkendaraan. Jaringan tol telah membuka akses baru, dan memunculkan sistem transportasi yang cenderung tidak dapat dibendung jumlahnya. 6. Ekonomi dan biaya rendah. Menghentikan atau menyurutkan langkah liberalisasi di bidang transportasi dan keuangan, yang nyata-nyata telah menciptakan collaps nye sistem transportasi kita. Terlalu banyak rencana didominasi oleh mega proyek yang mahal. Kebijakan transportasi berkelanjutan sangat rendah biaya dan termasuk pembatasan terhadap moda transportasi termahal- mobil pribadi. Kemudahan pembelian mobil atau motor pribadi melalui kemudahan kredit seperti leasing telah mendorong tumbuhnya kendaraan pribadi secara cepat dan mencengangkan. Secara individu, para pengguna motor roda dua lebih untung secara finansial karena dapat menghemat dibandingkan menggunakan angkutan umum. Persepsi inilah yang harus dirubah untuk menciptakan sistem transportasi yang ramah lingkungan. Penggunaan motor roda dua sebagai moda transportasi bukanlah pilihan yang baik, karena sangat tinggi risiko keselamatannya. Hal ini yang sekarang menjadi problem besar di perkotaan.
7. Pengembangan jaringan dan moda transportasi yang bersifat preventif akan lebih baik dari pada yang bersifat counter action (kuratif). Kusutnya permasalahan transportasi di DKI Jakarta, karena bersifat kuratif, sebagai contoh untuk membangun mono rail atau MRT, banyak menemui kendala karena adanya kegiatan pembebasan lahan, yang peruntukannya tidak disiapkan jauh sebelum wilayah yang dilewati menjadi terbangun. 8. Perencanaan sistem wilayah/tata ruang
transportasi
kota
terintegrasi
dengan
pengembangan
Pengembangan wilayah harus terintegrasi dengan pengembangan jaringan transportasi. Antara perencanaan pengembangan wilayah dan pengembangan sistem tranportasi adalah saling berinteraksi dan mempengaruhi. Pengembangan wilayah di suatu daerah akan menciptakan atau menimbulkan sistem tarnsportasi yang baru, demikian pula sebaliknya, pembuatan jaringan trasnportasi akan memicu tumbuhnya wilayah-wilayah terbangun. Dalam hal ini sangat dibutuhkan pengembangan secara terpadu, baik kawasan permukiman baru maupun jaringan transportasi beserta moda nya, sehingga masing-masing tidak akan ”tumbuh liar”. Belajar dari pengalamn di Jakarta, pengembangan wilayah cenderung sangat dispersif (tersebar luas) di daerah suburban, bahkan imbasnya sampai di kota-kota tetangga. Karena sistem transportasi tidak ikut dikembangkan (atau dikembangkan namun tidak secepat tumbuhnya pengembangan daerah) maka yang terjadi adalah bertambah panjangnya kemacetan lalulintas, tidak hanya di Kota Jakarta tetapi sudah sampai di daerah suburban. Bahkan pada jam puncak, ruas tol tidak dapat lagi memampung kendaraan. Alternatif pemecahan bagi pengembangan wilayah yang berdampak positif bagi kualitas transportasi, seperti dicontohkan oleh berbagai kota modern di negara maju, adalah pengembangan permukiman dalam bentuk rumah susun yang terkonsentrasi di perkotaan. Hal ini akan memperpendek jarak origin-destination, sehingga akan mengurangi dampak ikutan (polusi, kemacetan dll) dan luasan pencemaran dapat ditekan sekecil mungkin. Oleh karena itu, sistem perhubungan atau transportasi di wilayah Indonesia harus direncanaka secara terkoordinasi, terpadu, dan sesuai dengan perubahan dan tuntutan di masa mendatang. Di samping itu tergantung pada kondisi fisik (alami) wilayah yang bersangkutan maupun sosial ekonomi, sektor pembangunan yang ada, serta potensi lainnya yang dimiliki oleh daerah tersebut, Berdasarkan sistem tersebut perencanaan sistem transportasi harus didasarkan kepada: 1. 2. 3. 4.
Rencana Rencana Rencana Rencana
tata tata tata tata
ruang ruang ruang ruang
wilayah nasional (RTRWN). wilayah propinsi (RTRWP). wilayah Kab/Kota kawasan
Rencana tata ruang wilayah ini harus sejalan dengan: 1. Sistem transportasi nasinal (Sistranas). 2. Sistem transportasi regional propinsi. 3. Sistem transportasi regional Kab/Kota 4. Sistem transportasi kawasan
9 Teknologi transportasi (bahan bakar, teknologi mesin, teknologi reduksi , daya angkut) • Pemakaian bahan bakar ramah lingkungan • Penggunaan teknologi mesin • Penggunaan teknologi untuk mengontrol emisi gas buang • Daya angkut 10. Perpindahan antar moda Motorised dan non motorized 11.
Penguatan budaya melalui sosialisasi penggunaan angkutan umum. Saat ini penggunaan mobil pribadi masih dianggap mempunyai nilai prestisius yang tinggi, sementara penggunaan angkutan umum masih dianggap rendah dalam stratifikasi budaya. Hal ini dapat dicontohkan melalui sikap para pejabat, yang notabene menggembar-gemborkan pemakaian angkutan publik, namun para pejabat sendiri tidak pernah menggunakan fasilitas angkutan umum.
Bab III KRITERIA TRANSPORTASI BERKELANJUTAN 3.1 Tingkat Kesadaran (Awareness) dan Upaya Mengurangi Tingkat Pencemaran Udara 3.1.1 Pemantauan Kualitas Udara Kriteria ini bukan kriteria penilaian, hanya bersifat informasi untuk penilaian selanjutnya. Jika Pemerintah daerah melakukan pemantauan kualitas udara yang bersumber dari transportasi maka kriteria Tingkat Kesadaran (Awarness) dan Upaya Mengurangi Tingkat Pencemaran Udara mendapatkan penilaian. Tetapi jika Pemerintah daerah tidak melakukan pemantauan kualitas udara yang bersumber dari transportasi maka tidak memperoleh penilaian dari kriteria Tingkat Kesadaran (Awarness) dan Upaya Mengurangi Tingkat Pencemaran Udara dan penilaian berlanjut pada kriteria berikutnya. Status kualitas udara digambarkan oleh konsentrasi pencemar udara yang terukur di atmosfer. Terdapat berbagai jenis substansi yang dapat digolongkan sebagai
pencemar
udara.
Substansi
kimia
diemisikan
oleh
aktivitas
anthropogenik yang umum seperti aktivitas domestik, transportasi, perkotaan dan pembangkit energi, sehingga dipantau sebagai pencemar udara adalah senyawa oksida nitrogen, senyawa oksida sulfur, debu/partikel berupa partikel berukuran <10 mikron (PM10, PM2.5), senyawa oksidan (ozon) dan senyawa karbon (misalnya karbon monoksida, senyawa hidrokarbon). Pencemarpencemar ini disebut sebagai pencemar kriteria, karena telah diketahui dapat menyebabkan dampak merugikan terutama terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu terdapat banyak senyawa/unsur kimia lain yang dapat digolongkan sebagai pencemar udara, yang disebut sebagai Pencemar Udara Berbahaya dan pencemar penyebab pemanasan global yang merupakan gas rumah kaca, seperti
karbon
dioksida
(CO2),
metana
(CH4),
ozon
(O3),
senyawa
chlorofluorocarbons (CFCs) .
19
3.1.2 Anggaran pengelolaan kualitas udara Penilaian dilakukan dengan melihat alokasi anggaran untuk setiap tahun. Alokasi anggaran setiap tahun dihitung berdasarkan persentase alokasi anggaran untuk pemantauan kualitas udara terhadap APBD Dinas Lingkungan Hidup Kota setempat. Skala Penilaian - Alokasi Anggaran - Alokasi Anggaran - Alokasi Anggaran - Alokasi Anggaran - Alokasi Anggaran
0-0.5 % 0.6-1 % 1.1-1.5 % 1.6-2 % >2%
: : : : :
Sangat Jelek Jelek Sedang Baik Sangat Baik
Alokasi anggaran menjadi sesuatu yang penting di dalam evaluasi ini, karena dari alokasi anggaran dapat dilihat upaya dan komitmen pemerintah kota terhadap pencemaran udara melalui program pengendalian pencemaran udara perkotaan ataupun program pengelolaan kualitas udara perkotaan. Alokasi anggaran didapatkan dengan cara membandingkan antara alokasi anggaran yang ada di suatu kota dengan anggaran pengendalian pencemaran udara yang ada di semua dnas terkait di bawah pemerintah kota. Juga melalui persentasi alokasi anggaran pengendalian pencemaran udara yang ada di dinas Lh dengan alokasi anggaran dinas LH pada tahun tertentu. Alokasi anggaran setiap tahunnya akan menunjukkan trend peningkatan anggaran program pencemaran udara yang dialokasikan oleh kota. Mengingat tingginya pencemaran udara yang terjadi di perkotaan, maka anggaran untuk pengendaliannya pun semestinya lebih meningkat dari tahun ke tahun. Catatan: Untuk kegiata pemantaun kualitas udara baik ambient maupun roadside dibutuhkan dana yang tidak sedikit, oleh karena itu realisasi anggaran untuk program ini di dinas LH haruslah memadai. 3.1.3 Kegiatan pemantauan kualitas udara Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memantau konsentrasi PM10, NOx, SO2, CO, dan O3. Pencemaran udara sangat dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, sehingga pemantauan pencemar udara selalu disertai dengan pemantauan
20
parameter meteorologi seperti kecepatan dan arah angin, kelembaban udara, temperatur dan radiasi matahari.
Kriteria yang akan dievaluasi adalah: a. Jumlah titik pengamatan Penilaian ini dilakukan berdasarkan jumlah titik pengamatan setiap tahun. Semakin banyak titik pengamatan maka semakin baik penilaian indikator ini. Untuk kondisi ideal/optimal dapat dianalisa melalui persentase jumlah pengamatan terhadap jumlah penduduk. Skala Penilaian - Jumlah titik pengamatan - Jumlah titik pengamatan - Jumlah titik pengamatan - Jumlah titik pengamatan - Jumlah titik pengamatan
0 : Sangat Jelek 1-5 : Jelek 5-10 : Sedang 10-15 : Baik >15 : Sangat Baik
Penetapan jumlah titik pengamatan sangat ditentukan oleh faktor jumlah penduduk, tingkat pencemaran dan keragamannya serta berdasarkan hasil simulasi. Titik-titik pemantauan harus dapat merepresentasikan kualitas udara di kota tersebut. b. Lokasi pemantauan Lokasi pemantauan di suatu kota secara umum ditentukan untuk mewakili kualitas udara rata-rata di kota tersebut (urban background) serta mewakili beberapa peruntukan lahan, misalnya daerah padat lalu lintas, daerah industri, dan pinggiran kota. Penilaian ini dilakukan berdasarkan jumlah total lokasi pengamatan baik di pinggir jalan maupun lokasi lainnya. Skala Penilaian - Pernah ada, tetapi tidak melanjutkan program - Tidak pernah ada program pengamatan pemantauan kualitas udara - Dilakukan pengamatan tetapi tidak di jalan, melainkan di lokasi lain seperti dekat pabrik - Jika mempunyai titik lokasi pengamatan di jalan sebanyak
: Sangat Jelek : Jelek : Sedang
21
1-5 lokasi - Jika mempunyai titik lokasi pengamatan di jalan sebanyak > 5 lokasi
: Baik : Sangat Baik
Pemilihan area yang akan dipantau harus menggambarkan/mewakili kualitas udara di daerah yang memiliki intensitas tingkat kepadatan lalu lintas yang tinggi. Area yang dimaksud adalah dari objek pemaparan terhadap manusia, dan ekosistem. Kriteria pemilihan harus berhubungan terhadap: •
lokasi yang representatif
•
Jumlah penduduk dan kepadatan lalu lintas
•
Kemudahan akses kelokasi dan sarana pendukung pengukuran (akses listrik, penempatan peratan pengukuran, keamanan, kemudahan sarana transportasi)
•
Ranking dari pemaparan terhadap ruang dan waktu, yaitu dari yang tingkat
pemaparan rendah sampai tinggi. Distribusi pemaparan
terhadap populasi dalam ruang berbeda untuk masing-masing parameter. Semakin
banyak
lokasi
yang
dipantau
maka
semakin
menunjukkan
keakuratan data yang dapat mendefenisikan status kualitas udara yang diukur. c. Pemantauan ambient dan jalan raya
Penilaian ini dilakukan berdasarkan jumlah lokasi pengamatan yang dilakukan bukan di pinggir jalan dan di pinggir jalan. Skala Penilaian - Pernah ada, tetapi tidak melanjutkan program - Tidak pernah ada program pengamatan pemantauan kualitas udara - Jika mempunyai satu titik lokasi pengamatan di jalan - Jika mempunyai titik lokasi pengamatan di jalan sebanyak 2-3 lokasi - Jika mempunyai titik lokasi pengamatan di jalan sebanyak > 3 lokasi
: Sangat Jelek : Jelek : Sedang : Baik : Sangat Baik
Tata cara pemantauan mutu udara roadside sama seperti halnya dengan pemantuan udara ambient. Pemantauan dapat dilakukan dengan metode
22
passive dan aktif. Metode aktif dapat dibedakan secara manual atau kontinyu.
No 1
Parameter
Passive
4
Sulfur dioksida (SO2) Karbon monoksida (CO) Nitrogen dioksida (NO2) Ozon (O3)
5
Hidrokarbon (HC)
6 8 9
PM10 Debu (TSP) Pb
2 3
PbO2 Candle
Metode Pemantauan Aktif Manual Otomatis & Kontinyu Pararosanilin Fluoresence Non Dispersive Red (NDIR) Saltzman NBKI
Gravimetri
Infra
Non Dispersive Infra Red (NDIR) Chemiluminescent Absorpsi sinar ultraviolet (254 nm) Flame Ionization Detector (FID) Absorpsi beta ray
Secara umum tujuan pemantauan kualitas udara jalan raya adalah sebagai berikut : Mendapatkan data kualitas udara di sekitar jalan raya untuk mengetahui tingkat pencemaran udara Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang diakibatkan oleh emisi kendaraan bermotor Menyediakan data dasar untuk riset evaluasi efek pencemaran udara seperti dampak terhadap kesehatan dan
perencanaan penataan
transportasi Menyediakan data untuk membuat suatu simulasi model sehingga dapat memprediksi suatu polutan. Semakin
banyak
lokasi
yang
dipantau
maka
semakin
menunjukkan
keakuratan data yang dapat mendefenisikan status kualitas udara yang diukur. d. Frekuensi pengukuran Penilaian dilakukan berdasarkan frekuensi kegiatan pengukuran pencemaran udara setiap tahunnya.
23
Skala Penilaian - Jika frekuensi pengukuran < 6 setiap tahun - Jika frekuensi pengukuran 6-12 setiap tahun - Jika frekuensi pengukuran 12-18 setiap tahun - Jika frekuensi pengukuran 18-24 setiap tahun - Jika frekuensi pengukuran >24 setiap tahun
: Sangat Jelek : Jelek : Sedang : Baik : Sangat Baik
Pemantauan kualitas udara dilakukan secara terus menerus untuk parameter yang memiliki pengukuran secara otomatis dan secara manual (aktif dan pasif). Jika terjadi kasus pencemaran atau dari hasil pemantauan rutin menunjukkan kondisi kualitas udara mendekati/melewati baku mutu, maka frekuensi pemantauan dapat ditingkatkan atau periode pemantauan menjadi lebih pendek yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam upaya penataan baku mutu. Periode pematauan disesuaikan dengan tujuan pelaksanaan pemantauan. Tabel Frekuensi sampling kualitas udara Frekuensi Sampling Parameter
Jenis Sampler
Area dgn konsentrasi di atas BMUA Kontinyu
TSP SO2 CO HC NO2 NOx Oksidan
M M/A A A M/A M/A M/A
A A A A A A
Setiap 3 hr M
M M M
Setiap 6 hr M M
M M
Area Urban Kontinu
A A A A
Setiap 3 hr M M
Setiap 6 hr M M
Area Non Urban Setiap 6 hr M M
M
Keterangan : A : Alat sampling automatik M : Alat sampling mekanik/manual
e. Jumlah parameter kualitas udara yang dipantau Penilaian berdasarkan dengan semakin banyak parameter yang dipantau maka semakin besar penilaian. Catatan : parameter kualitas udara harus sesuai dengan parameter yang tercantum dalam peraturan perundangan. Skala Penilaian
24
- Jika jumlah parameter - Jika jumlah parameter - Jika jumlah parameter - Jika jumlah parameter - Jika jumlah parameter
0 1 1-3 3-4 4-5
: : : : :
Sangat Jelek Jelek Sedang Baik Sangat Baik
Berdasarkan potensi dan sumber pencemar maka parameter udara yang dipantau adalah sebagai berikut : •
Udara ambient Parameter yang dipantau adalah Sulfur dioksida (SO2), Nitrogen dioksida (NO2), Ozon (O3), PM10, PM2.5, Debu (TSP) dan Pb.
•
Jalan raya Parameter yang dipantau adalah Hidrocarbon (HC), Karbon monoksida (CO), debu, timbal, NOx serta Sulfur dioksida (SO2).
Semakin
lengkap
parameter
yang
dipantau
maka
semakin
dapat
mendefenisikan status kualitas udara yang diukur.
f. Pengarsipan data Pengarsipan data ini berupa arsip data parameter kualitas udara hasil pengamatan. Penilaian dilakukan berdasarkan persentase data yang hilang. Catatan : Apabila terdapat beberapa titik pengamatan maka persentase data yang hilang dirata-ratakan. Skala Penilaian - Jika hilang >80% - Jika hilang 60% - Jika hilang 40% - Jika hilang 20% - Jika lengkap
: : : : :
Sangat Jelek Jelek Sedang Baik Sangat Baik
Inventarisasi emisi adalah basis data mengenai sumber-sumber pengemisi pencemar udara yang komprehensif yang dilengkapi dengan nilai beban pencemar untuk tiap-tiap parameter yang diinventarisasi yang terdapat pada suatu lokasi geografis dan pada periode waktu tertentu. Inventarisasi emisi
25
umumnya meliputi beberapa pencemar criteria seperti TSP, PM10, hidrokarbon total, NOx, SO2 dan CO. Inventarisasi dapat pula dilakukan untuk jenis-jenis pencemar lain seperti logam berat (timbale, merkuri), pencemar organik persisten (POP) dan pencemar udara berbahaya (HAP). Berkaitan dengan masalah perubahan iklim pada saat ini inventarisasi juga dilakukan terhadap GRK seperti CO2 dan CH4. g. Diseminasi/sosialisasi hasil pengamatan Penilaian ini dilakukan jika adanya diseminasi hasil pengamatan ke publik. Catatan: Apabila tidak terdapat kegiatan diseminasi hasil pengamatan ke publik maka tidak dapat penilaian dari variabel ini. Skala Penilaian - Belum/tidak terdata - Belum/tidak dipublikasikan - Dipublikasikan tetapi belum/tidak dimanfaatkan - Dimanfaatkan sebagai pengetahuan publik saja - Digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan
: : : : :
Sangat Jelek Jelek Sedang Baik Sangat Baik
Penyebaran informasi kualitas udara ditujukan bagi instansi pemerintah dan kepada masyarakat. Hasil yang diharapkan dari penyebaran informasi kualitas udara adalah: 1. Aspek kebijakan penanggulangan pencemaran udara 2. Aspek perencanaan pembangunan 3. Aspek pembiayaan 4. Aspek partisipasi sektor swasta dan masyarakat Informasi kualitas udara dimaksudkan menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah (instansi terkait) dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan khususnya udara.
3.1.4 Program kegiatan untuk mereduksi tingkat pencemaran udara akibat lalu lintas A. Jenis kegiatan dalam mengurangi tingkat pencemaran udara akibat lalu lintas, meliputi:
26
1. Manajemen lalu lintas Manajemen lalu lintas adalah istilah yang biasa digunakan untuk menjelaskan suatu proses pengaturan sistem lalu lintas dan sistem prasarana jalan dengan menggunakan beberapa metoda ataupun teknik rekayasa tertentu, tanpa menggandakan pembangunan jalan baru, dalam usaha untuk mencapai tujuan-tujuan ataupun sasaran–sasaran tertentu yang berhubungan dengan masalah lalu lintas. Penjelasan di atas diembel-embeli dengan perkataan ‘tanpa membangun jalan baru’ maksudnya adalah pengaturan yang dilakukan tanpa melibatkan pembangunan
usaha-usaha
yang
prasarana
secara
sifatnya
pengadaan
besar-besaran,
tapi
ataupun
lebih
pada
pengaturan ’lalu lintas’ dengan sistem prasarana yang yang ada. Jadi sifatnya lebih mengarahkan pada optimalisasi prasarana jalan yang ada. Selanjutnya, dapat dikatakan disini bahwa manajemen lalu lintas dapat dilakukan dengan skala kecil ataupun besar. Yang dimaksudkan dengan skala kecil adalah jika lingkup kajiannya terbatas pada beberapa ruas jalan tertentu saja ataupun terbatas pada beberapa prasarana transport tertentu saja. Sedangkan skala besar meliputi suatu wilayah yang cukup luas, misalnya suatu jaringan jalan tertentu, dimana didalamnya sudah termasuk seluruh fasilitas/prasarana transport lainnya yang relevan (misalnya, terminal, areal parkir dan lain-lain). Jika ditinjau dari skala waktu penanganan, maka dapat dikatakan bahwa orientasi penanganan manajemen lalu lintas adalah ‘jangka pendek’, yaitu dalam skala waktu di bawah lima tahun. Dalam skala waktu yang pendek ini perubahan sistem prasarana transportasi tidak terjadi, sedangkan pola ataupun orientasi pergerakan secara dinamis akan selalu berkembang.
27
Jadi, orientasi penanganan manajemen lalu lintas adalah berusaha mengantisipasi ataupun mengakomodasi perubahan orientasi ataupun pola pergerakan jangka pendek secara temporer selama perubahan prasarana belum dilakukan. Selain itu, manajemen lalu lintas juga dapat dilakukan untuk mengatisipasi adanya perubahan pola ataupun orientasi pergerakan
sebagai
konsekuensi
dari
suatu
perubahan
sistem
prasarana, misalnya pembangunan jalan baru. Meskipun kebijakan yang dapat diusulkan bagi suatu pelaksanaan manajemen lalu lintas sangatlah bervariasi, tergantung pada sasaran, situasi dan kondisi setempat, tetapi kita dapat mengelompokkan kebijakan-kebijakan tersebut dalam 4 (empat) kebijakan dasar, yaitu: a. Kebijakan yang berkaitan volume lalu lintas dan pengaturan rute • Mengatur sirkulasi lalu lintas pada suatu jaringan jalan tertentu. • Meminimumkan waktu tempuh total dalam suatau jaringan jalan tertentu. • Mengurangi volume kendaraan yang bersifat ‘through traffic’. • Mengurangi ataupun meniadakan kendaraan-kendaraan berat pada suatu ruas jalan ataupun jaringan jalan tertentu. • Mereview ataupun meningkatkan kondisi operasional traffic pada jaringan jalan dimana manajemen lalu lintas dilaksanakan, misalnya dengan : kanalisasi, pemarkaan, perambuan dll. b. Kebijakan yang berkaitan dengan perilaku pengemudi • Memperbaiki/meningkatkan disiplin pengendara. • Memperkecil/mengurangi bervariasi kecepatan (karena terlalu berfluktuasi), terutama terhadap kecepatan tinggi, baik pada suatu ruas jalan tertentu ataupun pada suatu jaringan jalan. • Mengurangi kecepatan rata-rata (mean speed), pada suatu titik tertentu, atau pada suatu ruas jalan tertentu ataupun pada suatu jaringan jalan. • Menciptakan suatu lingkungan berlalu lintas yang lebih teratur dan tertib (yaitu, meningkatkan kepedulian pengendara terhadap pengendara lainnya ataupun terhadap pejalan kaki). c. Kebijakan yang bnerkaitan dengan traffic safety • Mengurangi banyaknya titik konflik pada persimpangan jalan. • Mengurangi perbedaan kecepatan relatif antara beberapa jenis kendaraan, misalnya perbedaan kecepatan antara kendaraan pribadi (sedan) dengan kendaraan umum (bis).
28
• •
Mengurangi titik konflik antar kendaraan yang terjadi di luar persimpangan (misalnya terbentuk karena adanya ’weaving area’). Meningkatkan keterkaitan fungsional antara rute pejalan kaki dengan sistem jaringan jalan bagi pengendara (misalnya, akses ke sekolah, toko ataupun fasilitas umum lainnya).
d. Kebijakan ‘non-traffic’ • Tingkatkan /perbaiki kondisi lansekap jalan. • Sediakan fasilitas pejalan kaki ataupun fasilitas pengendara sepeda, baik yang berpotongan dengan ruas jalan ataupun yang sejajar. 2. Pengembangan angkutan umum Pengembangan angkutan umum ini sesuai dengan tahapann kegiatan mulai dari studi pengembangan angkutan umum, perencanaan DED dan implementasi pengembangan angkutan umum. Penilaian ini berdasarkan jumlah kegiatan manajemen lalu lintas dalam 5 tahun terakhir. Skala Penilaian - Tidak ada kegiatan dalam 10 tahun terakhir - Tidak ada kegiatan dalam 10 tahun terakhir - Ada kegiatan pada tahap perencanaan atau masih berupa studi/kajian - Kegiatan skala kecil - Kegiatan skala besar Cttn: Skala kecil adalah jika lingkup kajiannya terbatas pada beberapa ruas jalan tertentu saja ataupun terbatas pada beberapa prasarana transport tertentu saja. Sedangkan skala besar meliputi suatu wilayah yang cukup luas, misalnya suatu jaringan jalan tertentu, dimana didalamnya sudah termasuk seluruh fasilitas/prasarana transport lainnya yang relevan (misalnya, terminal, areal parkir dan lain-lain).
.................................. Jenis kegiatan ini diantaranya pengembangan busway, busline, monorail, subway, trem (ilustrasi gambar dapat di lihat pada lampiran) 3. Kendaraan tanpa bermotor (non motorize) Penilaian ini berdasarkan pengembangan kendaran tanpa bermotor (unmotorize) baik mulai dari studi sampai implementasi. Skala Penilaian
29
-
Tidak ada kegiatan dalam 10 tahun terakhir Tidak ada kegiatan dalam 10 tahun terakhir Ada kegiatan pada tahap perencanaan atau masih berupa studi/kajian Kegiatan skala kecil Kegiatan skala besar
Pendekatan
yang
paling
realistis
pada
saat
ini
adalah
dengan
memberdayakan dan memaksimalkan prasarana dan sarana yang ada serta membuka peluang untuk berkembangnya moda transportasi alternatif, sehingga masyarakat tidak hanya tergantung pada kenderaan bermotor, khususnya kenderaan pribadi. Dengan demikian kenderaan tanpa bermotor seperti becak, andong dan lainnya mungkin bisa dilirik kembali untuk dijadikan pilihan solusi dalam mendukunh rencana sistem transportasi yang diharpka akan lebih mengembangkan angkutan umum. Kenderaan tanpa bermotor dapat bertindak sebagai kenderaan feeder dari
perumahan-perumahan
jarak
dekat
lainnya
menuju
sarana
transportasi yang lebih besar Perlu diperhatikan bahwa kenderaan tanpa bermotor perlu diberi pengakuan merupakan bagian dari sistem transportasi di Jakarta. Pengakuan ini dapt dijabarkan dalm bentuk pengaturan sehingga dapat harmonis dengan moda transportasi lainnya tanpa ada kekhawatiran bahwa mereka merusak keberadaan citra suatu kota. Memang tidak bagus
apabila
melihat kenderaan
tanpa
bermotor
seperti
becak
beroperasi di jalan-jalan protokol dan jalan-jalan besar lainnya. Untuk itu perlu pengawasan yang ketat dan tindakan yang tegas dari aparat agar para pengemudi kenderaan tanpa bermotor tetap tertib aturan.
4. Fasilitas Pedestrian (pejalan kaki) Penilaian ini berdasarkan adanya pengembangan fasilitas pejalan kaki baik mulai dari studi sampai pembangunan fisik sarana pejalan kaki. (ilustrasi gambar dapat dilihat pada lampiran) Skala Penilaian
30
-
Tidak ada kegiatan dalam 10 tahun terakhir Tidak ada kegiatan dalam 10 tahun terakhir Ada kegiatan pada tahap perencanaan atau masih berupa studi/kajian Kegiatan skala kecil Kegiatan skala besar
Non motorised transport memperhatikan kemampuan pejalan kaki untuk orang Indonesia, penderita cacat anak sekolah dan orang tua. Hal ini sangat penting bagi pengambilan keputusan setiap individu untuk memilih moda transportasi yang sesuai untuk dirinya. Sebagai contoh, kekuatan normal pejalan kaki untuk aktivitas harian adalah 0.5 km dalam satu perjalanan (mengingat negara tropis lebih cepat lelah), maka sistem transportasi
yang
dikembangkan
harus
menjangkau
pengguna
transportasi. Oleh karena itu penerapan standar pelayanan butir 2 di atas sangat penting artinya bagi pengembangan sistem transportasi. Selain itu penyediaan fasilitas jalan dan penyebrangan bagi para pejalan kaki, orang cacat dan sepeda harus disediakan (asas keadilan).
5. Bahan bakar ramah lingkungan Penilaian ini berdasarkan persentase penggunaan bahan bakar ramah lingkungan terhadap total konsumsi bahan bakar di kota pengamatan.
Skala Penilaian - < 5% - 5% – 10% - 10% - 12% - 12% - 15% - > 15%
: Sangat Jelek : Jelek : Sedang : Baik : Sangat Baik
Kualitas bahan bakar merupakan salah satu komponen penting untuk pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor. Kualitas bahan bakar yang bersih (dalam hal ini bensin tanpa timbal dan solar bersulfur rendah, low sulfur) dapat mengurangi emisi gas buang kendaran bermotor disamping berpotensi untuk meningkatkan kinerja mesin kendaraan. Selain itu bahan bakar alternatif merupakan bahan bakar berkualitas tinggi karena relatif tidak mengeluarkan emisi. Bahan
31
bakar gas (BBG) dan bio diesel merupakan beberapa contoh bahan bakar alternatif yang dapat dikembangkan di daerah. Semakin baik kualitas bahan bakar maka semakin sedikit pula emisi berbahaya yang dikeluarkan dari proses pembakarannya.
B. Jumlah rencana program/kegiatan Penilaian ini berdasarkan jumlah rencana kegiatan yang akan dikembangkan dalam 5 tahun ke depan yang berkaitan dengan pemantauan kualitas udara akibat transportasi. Skala Penilaian - Tidak ada kegiatan - Ada 1-2 kegiatan - Ada 3-5 kegiatan - Ada 6-8 kegiatan - Ada > 8 kegiatan
: : : : :
Sangat Jelek Jelek Sedang Baik Sangat Baik
Dalam rangka pengembangan transportasi berkelanjutan di perkotaan secara efektif dan efisien, perlu ditingkatkan koordinasi dan keterpaduan antar lembaga. Peran masing-masing instansi tersebut perlu didudukkan dan diselaraskan kembali sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Instasi yang tersebut di antaranya adalah Dinas LH, Dinas Perhubungan, Dinas Kesehatan, dan Badan Perencana Daerah. Untuk itu program maupun kegiatan yang ada di setiap instansi terkait transportasi tersebut harus dapat diidentifikasi. Program atau kegiatan tersebut ditujukan dalam terwujudnya sistem lalu lintas dan angkutan yang handal dan terjangkau oleh masyarakat secara luas. Semakin banyak kegiatan yang direncanakan masing-masing istansi terkait akan
semakin
menunjukkan
keseriusan
suatu
kota
dalam
usaha
peningkatan kualitas udara di kotanya.
32
3.2 Karakteristik kota 3.2.1 Ukuran pencemaran udara Pengukuran pencemaran udara ini dilakukan hanya yang disebabkan oleh lalu lintas. Indikator/variabel yang diukur adalah : CO (Carbon monoksida), NO2 (Nitrogen dioksida), HC (Hydrocarbon), PM10 (Particulate < 10 μm). Lokasi pengukuran dilakukan pada jalan arteri dan kolektor (lokasi pengukuran pencemaran udara sama dengan pemantauan jalan pada penilaian Adipura). Catatan : Baku mutu pencemaran udara harus sesuai dengan standar seperti yang diatur pada PP No. 41/1999. Skala penilaian kriteria ini hanya 2 yaitu yaitu: penilaian Jelek jika > baku mutu dan penilaian baik jika < baku mutu. Pendekatan yang umum dilakukan untuk mengukur besar dampak pencemar udara yang terjadi pada reseptor adalah dengan mengukur konsentrasi pencemar tersebut di udara ambien. Perkiraan besarnya dampak yang terjadi diprediksi dengan melihat hubungan statistik antara konsentrasi di udara ambien dengan respons gangguan kesehatan berdasarkan studi-studi dosisrespons. Oleh sebab itu, pemantauan pencemar di udara ambien sangat penting untuk mengevaluasi tingkat reseptor.
konsentrasi yang terpajan pada
Data tersebut kemudian digunakan untuk mengevaluasi dan
mengestimasi besaran dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pencemar tertentu. a. SO2 (sulfur dioksida) Gas SO2 telah lama dikenal sebagai gas yang dapat menyebabkan iritasi pada sistem pernafasan, seperti pada selaput lendir hidung, tenggorokan dan saluran udara di paru-paru. Efek kesehatan ini menjadi lebih buruk pada penderita asma. Disamping itu SO2 dapat terkonversi di udara menjadi pencemar sekunder seperti aerosol sulfat. Aerosol yang dihasilkan sebagai pencemar sekunder umumnya mempunyai ukuran yang sangat halus sehingga dapat terhisap ke dalam sistem pernafasan bawah. Aerosol sulfat yang masuk ke dalam saluran pernafasan dapat menyebabkan dampak kesehatan yang
lebih berat daripada partikel-
partikel lainnya karena mempunyai sifat korosif dan karsinogen.
33
b. CO (Carbon monoksida) Gas karbon monoksida (CO) adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang tidak sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau, tidak menyebabkan iritasi. Gas karbon monoksida memasuki tubuh melalui pernafasan dan diabsorpsi di dalam peredaran darah. Karbon monoksida akan berikatan dengan haemoglobin (yang berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh) menjadi carboxyhaemoglobin. Gas CO mempunyai kemampuan berikatan dengan haemoglobin sebesar 240 kali lipat kemampuannya berikatan dengan O2. Secara langsung kompetisi ini akan menyebabkan pasokan O2 ke seluruh tubuh menurun tajam, sehingga melemahkan kontraksi jantung dan menurunkan volume darah yang didistribusikan. Kadar COHb darah di atas 60% dapat menyebabkan kematian, sekitar (30 – 40)% dapat menyebabkan pusing-pusing, keletihan dan pingsan.
Konsentrasi CO dapat meningkat di sepanjang jalan raya yang padat lalu lintas dan menyebabkan pencemaran lokal. CO kadangkala muncul sebagai parameter kritis di lokasi pemantauan di kota-kota besar dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi, tetapi pada umumnya konsentrasi CO di kota besar (Surabaya, Bandung) berada di bawah ambang batas Baku Mutu PP41/1999 (10,000μg/m3/24 jam), demikian juga di Jakarta walaupun ambang batas Baku Mutunya lebih ketat (9,000μg/m3/24 jam).
Karbon monoksida mempunyai kecenderungan terakumulasi di dekat sumber, tetapi mudah terdisipasi sehingga konsentrasinya di udara bebas dapat mengencer dengan cepat, tetapi CO dapat menyebabkan masalah pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution). Di dalam ruang konsentrasi dapat terakumulasi menjadi tinggi dalam waktu yang relatif
34
singkat, dan dapat menimbulkan dampak akut terhadap manusia. Hal ini dapat terjadi pada
pada ruang-ruang tertutup seperti garasi, tempat
parkir bawah tanah, terowongan dengan ventilasi yang buruk, bahkan dalam mobil ber-AC yang berada di tengah lalulintas. c. NO2 (Nitrogen dioksida) Senyawa NOx adalah senyawa kimia yang dapat menyebabkan iritasi pada dinding alat pernafasan dan dapat menyebabkan penyempitan saluran nafas baik pada orang yang sehat maupun pada penderita asma. Senyawa-senyawa oksida nitrogen terutama terdiri dari gas NO dan NO2, banyak dihasilkan dari gas buang kendaraan bermotor. Dampak negatif terhadap manusia terutama terjadi pada reaksinya terhadap fungsi paruparu dan saluran nafas. Gas NOx juga dapat meningkatkan reaksi terhadap bahan-bahan allergen alamiah (mis serbuk sari, dll). Ambang batas konsentrasi harian Baku Mutu Nasional (berdasarkan PP41/1999) untuk senyawa oksida nitrogen adalah 150 μg/m3. DKI Jakarta memiliki ambang batas yang lebih ketat dari PP 41/1999 yaitu 92,5 μg/m3/24 jam. Potensi dampak terhadap kesehatan karena terlampauinya ambang batas konsentrasi rata-rata harian dilakukan dengan mengamati jumlah hari melampaui ambang batas Baku Mutu konsentrasi rata-rata harian
(exceedence
days). Sebelum
analisis
potensi
dampak
kesehatan
dilakukan, perlu diamati jumlah data harian yang tersedia untuk perhitungan exceedence days tersebut.
d. O3 (Oksidan) Ozon termasuk kedalam pencemar sekunder yang terbentuk di atmosfer dari reaksi fotokimia NOx dan HC. Ozon bersifat oksidator kuat, karena itu pencemaran oleh ozon troposferik dapat menyebabkan dampak yang merugikan bagi kesehatan manusia. Laporan Badan Kesehatan Dunia menyatakan konsentrasi ozon yang tinggi (>120 μg/m3) selama 8 jam atau lebih dapat menyebabkan serangan jantung dan kematian atau
35
kunjungan ke rumah sakit karena gangguan pada sistem pernafasan. Pajanan pada konsentrasi 160 μg/m3 selama 6,6 jam dapat menyebabkan gangguan fungsi paru-paru akut pada orang dewasa yang sehat dan pada populasi yang sensitif. Emisi
gas
buang
berupa
NOx
adalah
senyawa-senyawa
pemicu
(precursor) pembentukan ozon. Senyawa ozon di lapisan atmosfer bawah (troposfer bawah, pada ketinggian 0 – 2000m) terbentuk akibat adanya reaksi fotokimia pada senyawa oksida nitrogen (NOx) dengan bantuan sinar matahari. Oleh karena itu potensi produksi ozon troposfer di daerah beriklim tropis seperti Indonesia sangat tinggi. Dampak terhadap kesehatan terjadi secara akut, yaitu setelah pemaparan selama beberapa jam, sehingga perlu dilakukan pengamatan pada nilai rata-rata 1 jam dan 8 jam. Dampak akut O3 terhadap kesehatan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pencemar lain, karena tidak
hanya
konsentrasi,
tetapi
lamanya
durasi
pajanan
juga
berpengaruh, walaupun pada konsentrasi yang lebih rendah. e. HC (Hydrocarbon) Hidrokarbon termasuk VOC tidak dipantau dalam jaringan pemantau nasional, tetapi sistem yang pernah terpasang dan beroperasi di Jakarta pada tahun 1995 – 2000 mengukur senyawa hidrokarbon sebagai NMHC (hidrokarbon non metana). Pemantauan HC selama proyek JICA tahun 1996 menunjukan bahwa nilai konsentrasi rata-rata 3-jam NMHC di seluruh stasiun pengamatan telah melampaui ambang batas Baku Mutu ambien DKI Jakarta, Walaupun pada saat ini jaringan pemantau tidak mengukur senyawa HC seperti NMHC, pengamatan JICA membuktikan bahwa di samping PM10 dan ozon yang sering menjadi parameter kritis, HC juga perlu mendapat perhatian, karena banyak senyawa NMHC adalah prekursor ozon. Sebagaimana ditunjukan dalam repartisi emisi HC yang mengestimasi bahwa lebih dari 90% HC berasal dari emisi gas buang;
36
data ini menunjukkan bahwa konsentrasi ambien HC yang tinggi diperkirakan juga berasal dari sumber yang sama dengan prekursor ozon yang lain (NOx dan CO). Analisis ini menggambarkan bahwa untuk menurunkan pencemaran ozon, strategi penurunan emisi kendaraan bermotor juga harus secara komprehensif mengendalikan emisi HC. f. PM10 (particulate < 10 μm Partikel yang terhisap ke dalam sistem pernafasan akan disisihkan tergantung dari diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada saluran pernafasan atas, sedangkan partikel kecil (inhalable) akan masuk ke paru-paru dan bertahan di dalam tubuh dalam waktu yang lama. Partikel inhalable adalah partikel dengan diameter di bawah 10 μm (PM10). PM10 diketahui dapat meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pernafasan, pada konsentrasi 140 μg/m3 dapat menurunkan fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 μg/m3 dapat memperparah kondisi penderita bronkhitis. Toksisitas dari partikel inhalable tergantung dari komposisinya. Partikel yang mengandung senyawa karbon dapat mempunyai efek karsinogenik, atau menjadi carrier pencemar toksik lain yang berupa gas atau semi-gas karena menempel pada permukaannya (Harrop, 2000). Partikel inhalable juga dapat merupakan partikulat sekunder, yaitu partikel yang terbentuk di atmosfer dari gas-gas hasil pembakaran yang mengalami reaksi fisik-kimia di atmosfer, misalnya partikel sulfat dan nitrat yang terbentuk dari gas SO2 dan NOx. Partikel sulfat dan nitrat yang
inhalable karena berukuran kecil serta bersifat asam akan bereaksi langsung di dalam sistem pernafasan, menimbulkan dampak yang lebih berbahaya. Termasuk ke dalam partikel inhalable adalah partikel Pb yang diemisikan dari gas buang kendaraan bermotor yang
menggunakan bahan bakar
mengandung Pb. Timbal adalah pencemar yang diemisikan dari
37
kendaraan bermotor dalam bentuk partikel halus berukuran lebih kecil dari 10 mikrometer. Karena ukuran aerodinamisnya, partikel timbal (Pb) dapat terisap ke dalam saluran pernafasan dan akhirnya terakumulasi di dalam jaringan tubuh seperti tulang, lemak dan darah. Konsentrasi Pb di dalam darah (PbB atau BLL/Blood Level Lead) sebesar 10 μg/dL pada wanita hamil dapat menyebabkan kerusakan janin, aborsi dan kematian neonatal.
Sedangkan
akumulasi
pada
jaringan
tubuh
anak-anak
menyebabkan penurunan IQ, hambatan pertumbuhan dan gangguan pendengaran. Pada orang dewasa yang tidak sering terpajan, PbB > 25 μg/dL atau yang sering terpajan seperti polisi lalulintas dan PKL, PbB > 40μg/dL dapat menyebabkan peningkatan hipertensi dan gangguan jantung, kerusakan ginjal, gangguan sistem syaraf dan kekebalan tubuh serta kanker. g. TSP (ash) ……………………….. ………………………. h. Pb (lead) ……………….. ………………… Baku mutu………………… 3.2.2 Kinerja lalu lintas perkotaan Kinerja lalu lintas perkotaan yang diukur meliputi: a. Kecepatan operasi Ruas jalan yang akan diamati kecepatan operasinya merupakan ruas jalan arteri dan kolektor (lokasi pengukuran kecepatan operasi sama dengan lokasi pengukuran pencemaran udara). Data kecepatan operasi diperolah dari dinas instasi terkait (data sekunder dari Dinas Perhubungan) dan harus
38
di tinjau ulang (cross cek) ke lapangan dengan metoda pelaksanaan pengukuran kecepatan yang sesuai dengan metoda yang ada. Metoda pengukuran kecepatan yang umum dilakukan adalah spot speed. Terdapat dua jenis pengukuran untuk mendapatkan data kecepatan sesaat yaitu: 1. Pengukuran tak langsung. Dikatakan pengukuran tak langsung karena sebenarnya kecepatan dapat diperkirakan dari waktu tempuh hasil pengamatan. Salah satu pengukuran tak langsung adalah metoda dua pengamat. Metoda dua pengamat (manual), yaitu dengan cara menghitung waktu yang ditempuh oleh suatu kendaraan melewati dua titik yang mempunyai jarak sekitar 20 – 200 m. Pada titik pertama, Ketika kendaraan berjalan, pengamat ke-1 menurunkan tangan dan pengamat ke-2 menjalankan
stopwatch
serta menghentikan stopwatch ketika kendaraan
melewati titik kedua.
Untuk mendapatkan kecepatan dihitung
dengan membagi jarak dengan waktu tempuh kendaraan. Ilustrasi pengukuran dua pengamat dapat dilihat pada Gambar 1.
Titik 1
Titik 2 20 – 200 m
Gambar 1. Ilustrasi Pengukuran Kecepatan Dengan Metoda 2 Pengamat 2. Pengukuran langsung, yaitu pengukuran kecepatan dilakukan secara langsung di lapangan. Salah satu jenis pengukuran kecepatan secara langsung adalah radar speed gun meter. Alat ini memungkinkan untuk dipegang dengan tangan, dipasang pada
39
kendaraan atau diletakan pada tripod. Alat ini menghantarkan gelombang mikro frekuensi tinggi ke arah kendaraan bergerak yang dituju. Gelombang tersebut dipantulkan kembali oleh kendaraan ke alat tersebut. Perubahan frekuensi antara gelombang hantar dan gelombang pancar adalah sebanding dengan kecepatan kendaraan relatif terhadap radar meter. Ilustrasi pengukuran dengan radar
speed gun meter dapat dilihat pada Gambar 2.
kendaraan 30º Titik radar speed gun meter Gambar 2. Ilustrasi Pengukuran Kecepatan Dengan Radar Speed Gun Meter
Catatan : - Perioda waktu pengamatan kecepatan operasi harus dilakukan pada saat jam sibuk di ruas jalan yang diamati. - Apabila diperoleh nilai kecepatan operasi berada dalan range skala penilaian maka untuk memperoleh skala penilaian yang tepat dapat dilakukan dengan interpolasi. Catatan : - Perioda waktu pengamatan kecepatan operasi harus dilakukan pada saat jam sibuk di ruas jalan yang diamati. - Apabila diperoleh nilai kecepatan operasi berada dalan range skala penilaian maka untuk memperoleh skala penilaian yang tepat dapat dilakukan dengan interpolasi. Skala Penilaian - Jika kecepatan rata-rata <10 km/jam - Jika kecepatan rata-rata 10-20 km/jam - Jika kecepatan rata-rata 21-30 km/jam - Jika kecepatan rata-rata 31-45 km/jam - Jika kecepatan rata-rata 45-60 km/jam
: : : : :
Sangat Jelek Jelek Sedang Baik Sangat Baik
b. Kepadatan Lalu Lintas (Rasio Volume Lalulintas terhadap Kapasitas jalan/ VCR)
40
Ruas jalan yang akan diamati kepadatan lalu lintas merupakan ruas jalan arteri
(lokasi
pengukuran
kecepatan
operasi
sama
dengan
lokasi
pengukuran pencemaran udara). Data kepadatan lalu lintas diperolah dari dinas instasi terkait (data sekunder dari Dinas Perhubungan) dan harus di tinjau ulang (cross cek) ke lapangan dengan metoda pelaksanaan pengukuran kepadatan lalu lintas yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Catatan : - Perioda waktu pengamatan kecepatan operasi harus dilakukan pada saat jam sibuk di ruas jalan yang diamati. - Apabila diperoleh nilai kecepatan operasi berada dalan range skala penilaian maka untuk memperoleh skala penilaian yang tepat dapat dilakukan dengan interpolasi. Skala Penilaian - Jika VCR > 1 - Jika VCR 0.81 - 1 - Jika VCR 0.61 – 0.80 - Jika VCR 0.41 – 0.60 - Jika VCR < 0.40 Kepadatan
lalu
lintas
: Sangat Jelek : Jelek : Sedang : Baik : Sangat Baik berkaitan
erat
dengan
pertambahan
jumlah
kendaraan dan pertambahan jumlah panjang jalan. Di kota-kota besar kepadatan lalu lintas mencapai kondisi puncak pada waktu jam sibuk terutama pada pagi dan sore dimana akan mengakibatkan konsentrasi emisi gas buang kendaraan bermotor meningkat dan akan menurun pada saat kepadatan lalu lintas berkurang. Untuk itu, pengembangan mekanisme penurunan kepadatan kenderaan bermotor dapat dilakukan melalui: •
Identifikasi lokasi kemacetan jalan dan penentuan penyebabnya
•
Identifikasi
pengelolaan
parkir
terpadu
yang
bertujuan
untuk
menyediakan kantong-kantong parkir dekat lokasi perbelanjaan dan tidak lagi parkir di setiap ruas jalan •
Pengalihan pemakaian moda transportasi dari mobil pribadi menjadi transportasi umum
41
•
Kegiatan bebas kendaraan roda empat pada hari tertentu yang digantikan dengan penggunaan kendaraan non motor (sepeda)
c. Rata-rata jarak perjalanan harian Indikator ini berdasarkan pergerakan asal-tujuan di wilayah perkotaan. Penilaian kriteria ini dari rata-rata jarak perjalanan harian, semakin pendek rata-rata jarak perjalanan harian maka penilaian semakin baik. Data ini dapat diperoleh dengan melakukan survey wawancara asal tujuan. Apabila memungkinkan dapat diperoleh dari data sekunder. Skala Penilaian - Nilai > 50 Km/jam - Nilai 50 - 36 Km/jam - Nilai 35 – 26 Km/jam - Nilai 25 – 16 Km/jam - Nilai < 15 Km/jam ........................ ..........................
: : : : :
Sangat jelek Jelek Sedang Baik Sangat baik
d. Penggunaan angkutan umum. Penilaian penggunaan angkutan umum ini berdasarkan dari persentase penggunaan angkutan umum terhadap total penggunaan kendaraan. Data sekunder ini dapat diperoleh dari dinas terkait di daerah (Dinas Perhubungan). Jika data sekunder yang dimaksud tidak tersedia, penggunaan angkutan umum dapat dihitung berdasarkan proporsi angkutan umum terhadap total kendaraan (atau lalulintas) pada ruas jalan yang ditinjau. Skala Penilaian - Nilai < 10% - Nilai 10% - 20% - Nilai 20% - 40% - Nilai 40% - 60% - Nilai > 60%
: : : : :
Sangat jelek Jelek Sedang Baik Sangat baik
Angkutan umum atau angkutan massal dikembangkan dengan tujuan untuk dapat mengangkut dalam jumlah banyak dan cepat dan berupaya menjadi daya tarik bagi pengguna kendaraan pribadi beralih ke moda angkutan massal. Sistem angkutan massal akan memberikan layanan dan kemudahan akses bagi masyarakat untuk mencapai tujuannya. Sistem angkutan massal dapat berupa bus (contoh bagus adalah busway di DKI Jakarta), truly bus (bertenaga listrik – seperti kereta listrik), trem, Mass
42
Rapid Transit (MRT), car pooling (feeder bus), mono rel, Kereta Listrik dan lain-lain. Meskipun bagi kota-kota kecil mungkin belum memerlukan angkutan massal saat ini, namun untuk perencanaan ke depan yang memperhitungkan perencanaan pengembangan wilayah dan pertumbuhan populasi,
sistem
angkutan
massal
ini
harus
diakomodasi
dalam
perencanaannya, terutama bagi pengembangan jaringannya.
43
Beban emisi suatu pencemar di suatu kota adalah total massa yang diemisikan dari sumber-sumber dalam suatu periode tertentu, misalnya dalam 1 tahun. Beban emisi dalam IE umumnya dilaporkan dalam unit massa per unit waktu (mis, ton SO2/tahun). IE perlu dilakukan secara teratur, sedikitnya setiap 2 tahun sekali. Tujuan dan kegunaan pembaharuan data IE adalah: •
Pengkajian kualitas udara
•
Pengamatan tren emisi
•
Input pemodelan kualitas udara
•
Mengevaluasi scenario di masa yang akan datang, seperti memprediksi dampak suatu rencana aksi pengelolaan terhadap perbaikan kualitas udara, dampak adanya sumber pengemisi baru, atau scenario penurunan emisi
•
Panduan untuk mengembangkan dan menyempurnakan jaringan pemantau kualitas udara
Pada saat ini IE belum disadari sepenuhnya sebagai aspek yang penting dalam pengelolaan kualitas udara di Indonesia. IE membutuhkan pembaharuan data yang teratur minimal 2 tahun sekali Secara singkat, permasalahan di dalam IE nasional adalah karena tidak adanya ketersediaan data yang tertata secara sistematis dan belum adanya metode standar yang dapat digunakan sebagai acuan untuk pembaharuan, estimasi dan evaluasi emisi. Masalah yang lain berhubungan dengan keakuratan dari estimasi, a.l. karena belum lengkapnya jenis-jenis sumber-sumber yang diinventarisasi serta kelangkaan factor emisi yang sesuai untuk kondisi local.
44
Bab IV PENUTUP 5.1 Kesimpulan Sistem transportasi merupakan bahagian dari manajemen sistem lalu lintas yang ditujukan dalam rangka melancarkan arus lalu lintas dan meningkatkan tingkat mobilitas. Upaya ini pada akhirnya juga akan menurunkan tingkat emisi dan konsumsi bahan bakar. 5.2 Saran/rekomendasi kebijakan: 1. Menetapkan kebijakan transportasi sesuai dengan karakteristik kota melalui pengembangan
cetak
biru
pengembangan
sistem
transportasi
yang
terintegrasi dengan kebijakan tata ruang kota yang sudah ditetapkan. 2. Menetapkan kebijakan transportasi kota dengan mengacu kepada statistik pertumbuhan ekonomi dan arus urbanisasi yang tinggi di perkotaan . 3. Menetapkan
kebijakan
pengembangan
transportasi
angkutan
umum/angkutan masal melalui pemenuhan sistem pelayanan umum terpadu bagi pengguna angkutan umum/masal dan dilakukan sesuai koridor daya dukung wilayah perkotaan, baik angkutan berbasis jalan raya, rel, maupun air/sungai. 4. Pengembangan sistem monitoring transportasi kota untuk memperkuat peran dan respon dari masyarakat.
5. Memperkuat sistem sosial budaya masyarakat kota dalam mendukung penyelenggaraan sistem transportasi makro yang aman, nyaman dan berkelanjutan serta terjangkau.
45
6. Secara teknis ada beberapa model kebijakan yang dapat dikembangkan untuk pengendalian pencemaran udara, yaitu: 1. Kebijakan emisi kenderaan, yaitu pengendalian emisi atau gas buang dari sumber kenderaan bermotor. 2. Kebijakan bahan bakar, yaitu dengan penyediaan bahan bakar yang ramah lingkungan 3. Kebijakan pembatasan populasi kenderaan, yaitu melalui: a. Pembatasan usia kenderaan, umur efisien dari kenderaan mobil diperkirakan 10 tahun, sementara umur efisien dari motor adalah 5 tahun b. pembatasan terbatas, yaitu denan menetapkan setiap hari jenis plat nomor mobil apa yang boleh jalan (plat mobil ganjil/genap) c. Pelarangan kenderaan luar kota d. Jalur terbatas melalui program pemberlakuan hari tanpa berkenderaan, jalan satu arah, jalur bus terpisah, tarif jalur padat, dsb. e. Larangan masuk, seperti kebijakan ”Three in one” f.
Larangan parkir, yaitu pembatasan jumlah mobil yag boleh parkir di suatu daerah
g. Daerah bebas mobil h. Hari tanpa mengemudi i.
Bersepeda
j.
Pengaturan jam operasi
46