Editor: Dr. Abdur Rahman As’ari, M.Pd, MA Dr. Edy Bambang Irawan, M.Pd
COVER DALA M
i
VARIASI KONSTRUK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Editor Dr. Abdur Rahman As’ari, M.Pd, MA Dr. Edy Bambang Irawan, M.Pd
PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI MALANG
i
VARIASI KONTRUK DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Oleh Dr. Abdur Rahman As'ari, M.Pd, MA, dkk Copyright © 2016, Dr. Abdur Rahman As'ari, M.Pd, MA, dkk Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan(KDT) Diperbolehkan memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk fotokopi atau merekam dengan teknik apapun dengan seijin atau tanpa ijin dari penulis. Editor
: Dr. Abdur Rahman As‟ari, M.Pd., M.A. Dr. Edy Bambang Irawan, M.Pd. Lay out Cover : Tim CV. Bintang Sejahtera ISBN : 978-602-1150-25-2 xii + 179 hal, 29 x 20.5
Diterbitkan oleh Penerbit CV. Bintang Sejahtera Anggota IKAPI (No: 136/JTI/2011) Jl. Sunan Kalijaga no. 7AA, Lowokwaru, Malang Telepon +62 85102744383, 082140150043
Dicetak dan dijilid di Malang, Jawa Timur, Indonesia
ii
KATA PENGANTAR Berbagai upaya dalam mengembangkan gagasan tentang pembelajaran matematika di semua jenjang pendidikan perlu dilakukan terus menerus, baik pada jenjang pendidikan dasar, sekolah menengah, bahkan sampai pendidikan tinggi. Gagasan tentang pembelajaran matematika dapat diitinjau dalam dua konteks, yaitu pembelajaran matematika dalam konteks praktis di sekolah dan pembelajaran matematika dalam konteks riset. Buku yang berjudul Variasi Konstruk dalam Pembelajaran Matematika berorientasi pada gagasan tentang pembelajaran matematika dalam konteks riset. Tema yang diangkat dalam buku ini mencakup: berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir reflektif, komunikasi matematis, berpikir spasial, penalaran induktif, membuktikan, dan penalaran statistik. Buku ini diharapkan berguna sebagai salah satu rujukan bagi para peneliti yang melakukan penelitian terkait tema-tema tersebut. Disadari bahwa masih banyak hal yang perlu dikritisi dalam buku ini, dan diharapkan ada masukan dari pembaca. Pada edisi berikutnya diharapkan dihasilkan revisi buku yang lebih baik.
Penyusun
iii
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... iii DAFTAR ISI ....................................................................................................................... v DAFTAR KONTRIBUTOR ................................................................................................ vi PENDAHULUAN ............................................................................................................. viii BERPIKIR KRITIS .............................................................................................................. 2 Dr. Abdur Rahman As'ari, M.Pd, MA BERPIKIR KREATIF ........................................................................................................ 22 Muchtadi, S.Pd, M.Pd BERFIKIR REFLEKTIF .................................................................................................... 41 Anies Fuady, S.Pd, M.Pd KARAKTERISTIK KOMUNIKASI MATEMATIS ......................................................... 60 Sumaji, S.Pd, M.Pd BERPIKIR SPASIAL ......................................................................................................... 76 Shinta Wulandari, S.Si, M.Pd PENALARAN INDUKTIF................................................................................................. 94 Sandie, S.Pd, M.Pd PERUBAHAN KONSEPTUAL ....................................................................................... 110 Syaiful Hadi, S.Pd, M.Pd PEMBUKTIAN ................................................................................................................ 135 Fuat, S.Pd, M.Pd PENALARAN STATISTIK ............................................................................................. 151 Parhaini Andriani, S.Pd, M.Pd.Si
v
DAFTAR KONTRIBUTOR Dr. Abdur Rahman As’ari, M.Pd, MA Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Malang. Muchadi, S.Pd, M.Pd Prodi Pendidikan Matematika, Fakultas Pendidikan Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi, IKIP-PGRI Pontianak. Anies Fuadi, S.Pd, M.Pd Prodi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Islam Malang. Sumaji, S.Pd, M.Pd Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Maria Kudus. Shinta Wulandari, S.Si, M.Pd Prodi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Borneo Tarakan. Sandie, S.Pd, M.Pd Prodi Pendidikan Matematika, Fakultas P.MIPATEK, IKIP-PGRI Pontianak. Syaiful Hadi, S.Pd, M.Pd Prodi Tadris Matematika, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, IAIN Tulungagung. Fuat, S.Pd, M.Pd Prodi Pendidikan Matematika, STKIP-PGRI Pasuruan. Parhaini Andriani, S.Pd, M.Pd.Si Prodi Tadris Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, IAIN Mataram.
vi
PENDAHULUAN
Oleh : Edy Bambang Irawan
Universitas Negeri Malang
Makna Pembelajaran Matematika dapat diasosiasikan dalam berbagai konteks, antara lain dalam konteks praktis dan dalam konteks riset. Dalam kontesk praktis,
pembelajaran
matematika
dapat
diasosiasikan
sebagai
praktek
pembelajaran yang melibatkan alat, metode , dan berbagai pendekatan yang dirancang guru untuk memfasilitasi siswa dalam belajar matematika, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Dalam konteks riset, makna pembelajaran matematika tidak sekedar melibatkan alat, metode, dan berbagai pendekatan dalam praktek pembelajaran, namun mencakup berbagai ide-ide pembelajaran yang dihasilkan melalui kajian hasil-hasil riset terkait upaya memfasilitasi siswa dalam belajar matematika. Variasi Konstruk dalam Pembelajaran Matematika dalam buku ini menunjuk pada berbagai konstruksi ide-ide pembelajaran yang dihasilkan melalui kajian hasil-hasil riset pembelajaran matematika. Tema yang diangkat dalam buku ini mencakup: berpikir kritis, berpikir kreatif, berpikir reflektif, komunikasi matematis, berpikir spasial, penalaran induktif, membuktikan, dan penalaran statistik. Pola penyajian setiap judul bab dalam buku ini memuat pengertian, karakteristik, contoh dan bukan contoh, dan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan tema-tema tersebut. Berpikir kritis merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah informasi secara logis. Orang yang berpikir kritis tidak dengan serta merta
vii
menerima dan mempercayai kebenaran suatu informasi. Orang yang berpikir kritis senantiasa menantang, menganalisis, dan menilai kebenaran dari informasi tersebut agar kebenarannya bisa dipertahankan dan dipertanggungjawabkan. Orang yang berpikir kritis senantiasa menganalisis informasi dan memunculkan gagasan yang dilandasi dari berbagai sumber secara seksama dan logis. Kegiatan yang menuntut sebagian dari kegiatan berpikir kritis itu antara lain adalah kegiatan ketika seseorang : (1) harus mengambil keputusan apakah perlu
atau tidak perlu
mempercayai suatu informasi , (2) mengambil langkah untuk menyelidiki kebenaran suatu informasi, (3) mengemukakan argumen terhadap orang yang tidak mempercayai kita, maka orang tersebut pasti berpikir kritis. Berpikir kreatif merupakan sesuatu kekuatan terorganisir bersifat abstrak, berani, disiplin, tidak pernah berhenti yang muncul akibat kondisi lingkungan dan menjadi pendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Orang yang berpikir kreatif (creative thinker) memiliki gaya berpikir inovatif, ketekunan, dan yang memiliki keberanian khas berdasarkan keyakinan mereka sendiri dan kesediaan untuk mengambil risiko. Ciri utama dari berpikir kreatif adalah penciptaan suatu gagasan baru, belum pernah dilihat atau belum pernah dipikirkan sebelumnya. Berpikir reflektif merupakan proses berpikir yang terarah dan tepat dimana individu menganalisis, mengevaluasi, memotivasi, mendapatkan makna yang mendalam, menggunakan strategi pembelajaran yang tepat. Siswa yang memiliki gaya reflektif cenderung menggunakan lebih banyak waktu untuk merespons dan merenungkan akurasi jawaban. Individu reflektif lebih lamban dan berhati-hati dalam memberikan respons, tetapi cenderung memberikan jawaban secara akurat. Siswa yang reflektif lebih mungkin melakukan tugas-tugas seperti mengingat informasi yang terstruktur, membaca dengan memahami dan menginterpretasikan teks, memecahkan masalah dan membuat keputusan. Selain itu, siswa yang reflektif juga mungkin lebih menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan. Dan biasanya memiliki standar kerja yang tinggi Dalam konteks pembelajaran di kealas, komunikasi matematis merupakan interaksi yang direncanakan di ruang kelas, yang meliputi strategi seperti pertanyaan, diskusi dan kegiatan kelompok dalam pembelajaran matematika.
viii
Sebelum proses pembelajaran di kelas dimulai sebaiknya guru harus merancang proses pembelajaran diantaranya adalah membuat pertanyaan, pemberian pertanyaan atau scafolding sehingga proses diskusi dalam kelompok, berbagi ide matematika bisa berjalan lancar. Kegiatan komunikasi matematis dikelas dapat diwujudkan dalam bentuk kegiatan diskusi dan berbagi ide matematis yang dapat meningkatkan asimilasi antara pengalaman baru dan lama. Dengan berbagi ide maka akan terjadi proses asimilasi sehingga dapat menggabungkan pengetahuan baru bagi siswa dengan struktur pengetahuan yang sudah ada. Oleh karena itu dengan komunikasi matematis dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep matematika. Berpikir spasial merupakan proses-proses menangkap, mengkodekan (encoding) dan memanipulasi secara mental dari bentuk spasial. Proses menangkap merupakan kegiatan fisik yang melibatkan panca indra pada saat bertemu dengan bentuk fisik suatu benda. Mengkodekan (encoding) mengacu pada bagaimana mengubah suatu fisik, input sensorik menjadi suatu bentuk representasi yang dapat ditempatkan ke dalam memori. Proses mental selanjutnya adalah penyimpanan yang mengacu pada bagaimana mempertahankan informasi yang dikodekan dalam memori kemudian bagaimana seseorang mendapatkan akses ke informasi yang tersimpan dalam memori sehingga dapat menyajikannya kembali sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, Ketika seorang berpikir spasial, maka perhatiannya akan terpusat pada lokasi objek, bentuknya, hubungannya dengan bentuk yang lain dan proses jika bentuk-bentuk tersebut dipindahkan Pandangan lain menyatakan bahwa berpikir spasial merupakan proses-proses mental pada penyajian, penganalisisan dan penggambaran inferensi dari relasi spasial. Relasi spasial ini bisa saja berupa relasi antara obyek-obyek atau relasi di dalam suatu obyek. Seseorang dapat menganalisis relasi spasial sebagaimana dia dapat mengamati dan menyajika atau membayangkan perubahan bentuk pada relasi spasial , misalnya memutar secara mental suatu obyek tiga dimensi. Penalaran induktif berangkat pada tahap yang dinamakan observasi. Dari masing-masing observasinya seseorang tersebut mencari pola keterkaitan yang dimiliki dari masing-masing observasi atau kejadian. Dari keterkaitan dari masing-
ix
masing kejadian atas hasil observasinya, seseorang dapat membuat kesimpulan sementara dari masing-masing hasil observasi dan kejadian. Hasil kesimpulan tersebut dinamakan dengan tentative hypothesis.Penalaran induktif, sebagai kebalikan penalaran deduktif atau penalaran abduktif, adalah penalaran di mana premis-premis dipandang untuk menyediakan atau mendukung bukti untuk kebenaran suatu kesimpulan, namun bukti tersebut bukan merupakan bukti kuat. Sedangkan konklusi dari argumen deduktif adalah pasti, tetapi kebenarannya dari konklusi suatu argumen induktif belum bisa ditetapkan dan tergantung pada faktafakta yang diberikan. Penalaran deduktif dapat dipandang sebagai proses penalaran dari fakta atau pengamatan khusus untuk mencapai kemungkinan kesimpulan yang dapat menjelaskan fakta-fakta. Penalaran induktif kemudian dapat menggunakan kemungkinan kesimpulan untuk mencoba memprediksi kejadian selanjutnya. Pembuktian
(proofing)
merupakan
aktivitas
mengontruksi
bukti.
Pengonstruksian bukti menurut dapat dilakukan dengan mengeksplorasi apa yang sudah diketahui dan prinsip yang mendasarinya untuk mencapai kesimpulan yang diharapkan, kemudian mengerjakan kembali jika terjadi kesalahan sewaktu menulis bukti, setelah bukti telah selesai ditulis dilakukan validasi secara keseluruhan. Mengonstruksi bukti menawarkan skema bukti (proof scheme)
dalam
menggambarkan proses pembuktian dengan kategori prosedural, sintaksis, dan semantik. Skema bukti prosedural merupakan upaya membangun bukti dengan mengikuti langkah-langkah tertentu yang akan menghasilkan bukti yang valid. Skema bukti sintaksis merupakan upaya membangun bukti dengan memanipulasi definisi dan fakta lain yang relevan serta benar dengan cara logis. Sedangkan skema bukti semantik, mencoba untuk memahami mengapa pernyataan tersebut benar dengan memeriksa representasi objek matematika yang relevan dan kemudian menggunakan argument intuitif sebagai dasar untuk membangun bukti formal. Penalaran statistik mencakup penggunaan ide dan alat statistik untuk merangkum dan menggambarkan asumsi disamping membuat kesimpulan berdasarkan data. Penalaran statistik merupakan penafsiran berdasarkan data dan penarikan inferensi dari data. Terdapat 5 tahapan model perkembangan penalaran
x
statistik pada siswa, yaitu: penalaran idiosinkratik (idiosyncratic reasoning), penalaran verbal, penalaran transisional, penalaran procedural, dan penalaran proses terintegrasi. Pada penalaran idiosinkratik, siswa mengetahui beberapa kata dan simbol tentang distribusi sampel dan dapat menggunakannya tanpa benar-benar memahaminya, kadangkala salah, dan mungkin mempersulit mereka dengan informasi yang tidak relevan. Pada penalaran verbal, siswa memiliki pengetahuan verbal tentang beberapa konsep tetapi tidak dapat mengaplikasikannya dalam suatu konteks. Misalnya, siswa dapat memberikan definisi secara benar tetapi tidak secara penuh memahami implementasi konsepnya. Misalnya siswa memahami definisi rata-rata dan median, tetapi tidak dapat menjelaskan bahwa rata-rata lebih besar dari median pada distribusi sampel yang kemencengannya positif. Pada penalaran transisional, siswa mampu mengindentifikasi satu atau dua dimensi dari proses proses statistik secara benar tanpa sepenuhnya mengintegrasikan dimensi tersebut. Pada penalaran prosedural, siswa siswa mampu mengindentifikasi satu atau dua dimensi konsep atau proses statistik secara benar tetapi tidak sepenuhnya mengintegrasikan dan memahami proses tersebut untuk menghasilkan proses tersebut. Sedangkan pada penalaran proses terintegrasi, siswa memiliki pemahaman yang lengkap tentang dimensi konsep atau proses statistic secara benar serta mampu menyesuaikan aturan sesuai konteks yang dihadapi. --------------------------------------------------------
xi
BAB I BERPIKIR KRITIS
Oleh : Abdur Rahman As’ari
Universitas Negeri Malang
1
BAB – I
BERPIKIR KRITIS
A. PENDAHULUAN Mengembangkan kemampuan dan disposisi berpikir kritis merupakan hal yang sangat penting dalam dunia pendidikan saat ini. Di samping diperlukan untuk sukses belajar di jenjang yang lebih tinggi (As‟ari, 2014; Starkey, 2004), kemampuan dan disposisi berpikir kritis memungkinkan seseorang membuat keputusan yang lebih baik (Cottrell, 2005), tidak mudah tertipu (Bowell & Kemp, 2002), menunjukkan kinerja yang baik dalam dunia kerja (Starkey, 2004) dan menikmati kedamaian di dunia (As‟ari, 2014). Keterampilan dan disposisi berpikir kritis bahkan dipercaya sebagai salah satu dari empat keterampilan (4C‟s: Critical Thinking, Creative Thinking, Collaboration, and Communication skills) yang sangat diperlukan untuk sukses di dunia dalam era global (As‟ari, 2015; As‟ari. 2016). Oleh karena itu, para pendidik matematika khususnya harus mendorong tumbuh dan berkembangnya kemampuan dan disposisi berpikir kritis siswanya. B. DEFINISI BERPIKIR KRITIS Cottrell (2005) menyatakan hampir setiap orang, dalam kehidupan sehariharinya, selalu menggunakan sebagian dari kegiatan berpikir yang termuat dalam berpikir kritis. Kegiatan yang menuntut sebagian dari kegiatan berpikir kritis itu antara lain adalah kegiatan ketika seseorang : (1) harus mengambil keputusan apakah dia harus mempercayai apa yang dilihat dan di dengarnya, (2) mengambil langkah untuk menyelidiki kebenaran sesuatu, (3) mengemukakan argumen terhadap orang yang tidak mempercayai kita, maka orang tersebut pasti berpikir kritis. Akan tetapi, pemikiran kritis itu tidak setiap saat dilakukan. Kadang kita terlalu menyandarkan keyakinan kita kepada seseorang, dan apapun yang dikemukakannya senantiasa kita percaya tanpa memeriksa lagi kebenarannya. Karena itu, kadang kita berpikir secara kritis, tetapi kadang juga tidak. Karena itu, kita perlu memahami apa itu berpikir kritis. Ennis (2011) menyatakan berpikir kritis sebagai berpikir yang logis dan reflektif yang difokuskan kepada pengambilan keputusan apa yang harus dipercaya
2
atau apa yang harus dilakukan. Dengan berpikir kritis, keputusan yang diambil (mempercayai apa yang diinformasikan, atau melakukan apa yang diperintahkan) harus diperiksa terlebih dahulu kelogisannya. Di samping itu, kegiatan berpikir itu harus dilakukan dengan penuh kesadaran (Innabi, 2003). Semua langkah yang dilakukan dalam pengambilan kesimpulan harus disadari, dinilai, dan diperbaiki manakala diperlukan. Di samping logis dan reflektif, sebenarnya ada dua hal yang perlu mendapatkan perhatian dari definisi berpikir kritis yang dikemukakan Ennis (2011) di atas, yaitu to believe (mempercayai) or to do (melakukan). Definisi ini memang mencakup dua tantangan dalam berpikir kritis, yaitu: (1) mempercayai klaim atau argumen, baik tertulis maupun lisan, dan (2) melakukan hal yang diminta atau diperintahkan untuk dikerjakan. Ennis (2011) memang membedakan antara critical thinking abilities (kemampuan berpikir kritis), yaitu berpikir kritis dalam rangka memutuskan apakah dia harus mempercayai atau tidak dengan critical thinking dispositition (disposisi berpikir kritis), yaitu berpikir kritis dalam rangka memutuskan apakah dia harus melakukan tindakan yang diminta/diperintahkan atau tidak. Moon (2008) mengumpulkan berbagai definisi tentang kemampuan berpikir kritis. Salah satu definisi yang disajikannya adalah sebagai berikut. Critical thinking is the ability to consider a range of information derived from many different sources, to process this information in a creative and logical manner, challenging it, analysing it and arriving at considered conclusions which can be defended and justified. Tampak bahwa berpikir kritis itu dipandang sebagai kemampuan dalam mengolah informasi secara logis. Orang yang berpikir kritis tampaknya tidak dengan serta merta menerima dan mempercayai kebenaran suatu informasi. Orang yang berpikir kritis senantiasa menantang, menganalisis, dan menilai kebenaran dari informasi tersebut agar kebenarannya bisa dipertahankan dan dipertanggungjawabkan. Orang yang berpikir kritis senantiasa menganalisis informasi dan gagasan dari berbagai sumber secara seksama dan logis (Alfrey & Cooney, 2009). Segala macam klaim,
3
informasi, simpulan, atau pun argumen selalu dianalisisnya terlebih dahulu sebelum mempercayai. Oleh karena itu, terdapat beberapa proses yang dilakukan ketika seseorang berpikir kritis Menurut Lai (2011), beberapa keterampilan yang terlibat dalam berpikir kritis adalah: 1. Menganalisis argumen, 2. Membuat inferensi (simpulan) menggunakan penalaran induktif atau deduktif, 3. Melakukan evaluasi (judging or evaluating), dan 4. Membuat keputusan. The Cambridge Assessment (Black, 2008) mengemukakan bahwa proses proses tersebut adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis argumen (analysing arguments). 2. Mempertimbangkan kesesuaian dan signifikasi informasi yang diperoleh (judging the relevance and significance of information). 3. Menilai klaim, simpulan, argumen dan penjelasannya (evaluating claims, inferences, arguments and explanations). 4. Menghasilkan argumen yang jelas dan koheren (constructing clear and coherent arguments). 5. Mengambil keputusan yang logis (forming well-reasoned judgements and decisions). National Education Association (tanpa tahun) mengemukakan hal yang hampir serupa. Dikemukakan bahwa di dalam berpikir kritis, seseorang melakukan beberapa hal berikut 1. Menalar secara efektif (Reason effectively) menggunakan berbagai macam penalaran (induktif, deduktif, dll) yang sesuai dengan situasinya 2. Menggunakan pemikiran sistem (Use system thinking) yaitu menganalisis bagaimana bagian dari suatu keseluruhan berinteraksi satu sama lain untuk menghasilkan luaran yang menyeluruh di dalam sistem yang kompleks 3. Membuat keputusan (make judgements and decisions) dengan cara: a. Menganalisis dan menilai bukti, argumen, klaim, dan kepercayaan secara efektif
4
b. Menganalisis dan menilai sudut pandang alternatif yang utama c. Mensintesis and membuat koneksi antara informasi dengan argumen d. Menafsirkan informasi dan menarik kesimpulan berdasarkan analisis terbaik e. Melakukan refleksi kritis terhadap pengalaman dan proses belajarnya Sehubungan dengan proses-proses yang dilalui dalam berpikir kritis di atas, Watson & Glazer menggunakan beberapa konstruk yang digunakan oleh untuk mengukur kemampuan berpikir kritis seseorang (Saadati, Tarmizi, & Bayat, 2010), yaitu: 1. Interpretation yang berarti menimbang bukti dan memutuskan apakah generalisasi atau kesimpulan yang dikembangkan dari data yang ada tersebut sudah terjamin 2. Deduction yaitu menentukan apakah kesimpulan tertentu memang merupakan merupakan syarat perlu dari pernyataan atau premis yang diberikan 3. Evaluation yaitu membedakan antara argumen yang kuat dan relevan dengan argumen yang lemah atau tidak relevan terkait dengan pertanyaan atau isyu tertentu 4. Inference adalah membedakan derajat kebenaran atau kesalahan dari simpulan yang diambil dari data yang disediakan 5. Recognition of assumptions yaitu mengenali asumsi yang tidak ternyatakan di dalam suatu pernyataan tertentu. Kalau semua hal di atas telah dilakukan secara konsisten, kemampuan berpikir kritis ini akhirnya akan menjadi kebiasaan. Orang yang terbiasa berpikir kritis ini akhirnya akan memiliki kecenderungan untuk berpikir kritis, dan disposisi adalah suatu kecenderungan umum untuk melakukan sesuatu ketika diberikan kondisi tertentu (Ennis, 1996). Karena itu, disposisi berpikir kritis adalah kecenderungan menggunakan pemikiran kritis ketika dihadapkan dengan situasi tertentu. C. CONTOH DAN BUKAN CONTOH BERPIKIR KRITIS Menurut hemat penulis, kemampuan berpikir kritis ini berkenaan dengan reaksi berpikir seseorang terhadap klaim/argumen. Karena itu, untuk menilai
5
kemampuan berpikir kritis seseorang, beberapa hal berikut tampaknya perlu dilakukan. 1. Claim/Argumen Identification. Menilai apakah orang tersebut bisa menentukan apakah kalimat yang dihadapinya merupakan suatu klaim/argumen atau bukan. Orang yang memiliki kemampuan berpikir kritis pasti bisa membedakan apakah suatu kalimat merupakan suatu klaim atau bukan. Orang yang memiliki kemampuan berpikir kritis akan bisa membedakan apakah suatu kumpulan kalimat merupakan suatu argumen atau bukan. Dengan demikian, untuk menilai apakah seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis, hal yang bisa dilakukan adalah dengan memberikan suatu kalimat atau kumpulan kalimat dan meminta yang bersangkutan menentukan apakah kalimat atau kumpulan kalimat tersebut merupakan suatu klaim/argumen atau bukan. Kalau dia mampu menentukan secara tepat jawab yang seharusnya, maka dia berpotensi memiliki kemampuan berpikir kritis (meskipun belum sepenuhnya). 2. Premises and Conclusion Identification. Menilai apakah orang tersebut bisa menentukan premis dan simpulan dari klaim/argumen yang dibuat. Orang yang berpikir kritis, ketika dihadapkan dengan suatu klaim atau argumen, dia akan akan bisa menyatakan klaim atau argumen tersebut menjadi kalimat jika maka, dan menetapkan mana yang menjadi premis dan mana yang menjadi simpulan. Karena itu, kalau ketika diberikan suatu klaim atau argumen, seseorang tidak mampu menentukan mana premis dan mana simpulannya, orang tersebut sudah pasti dapat dikatakan tidak memiliki kemampuan berpikir kritis. 3. Possible Assumption(s) Identification. Menilai apakah orang tersebut mengenali asumsi yang digunakan, dan asumsi lain yang juga bisa digunakan. Orang yang berpikir kritis, akan mampu menentukan asumsi (baca= semesta pembicaraan) yang diperlukan agar klaim atau argumen yang dihadapinya bernilai benar atau salah. Karena itu, orang yang berpikir kritis pasti mampu menentukan dengan asumsi apa suatu klaim atau argumen bernilai benar, dan dengan asumsi apa suatu klaim atau argumen bernilai salah. Menghadapi orang yang membuat klaim atau argumen tertentu, dan yakin dengan kebenaran klaim
6
atau argumennya, orang yang berpikir kritis pasti tahu dengan pasti asumsi atau semesta pembicaraan yang digunakan oleh orang tersebut. 4. Inferencing. Menilai apakah orang tersebut mampu mengambil inferensi dari suatu pernyataan atau premis. Orang yang berpikir kritis adalah orang yang mampu menggunakan teknik pengambilan kesimpulan (induktif maupun deduktif) yang valid. Karena itu, orang yang berpikir kritis mampu menentukan simpulan apa saja yang tepat manakala diberikan suatu premis kepadanya. 5. Validating. Menilai apakah orang tersebut mampu menilai kevalidan dari argumen. Orang yang berpikir kritis adalah orang yang mampu memberikan justifikasi terhadap keabsahan penarikan kesimpulan. Dia bisa menentukan teknik penarikan kesimpulan yang digunakan, dan menilai tepat tidaknya penggunaan unsur-unsurnya. 6. Other points of view identification. Menilai apakah orang tersebut mampu mengidentifikasi argumen valid lain yang mungkin terjadi. Orang yang berpikir kritis adalah orang yang luwes dalam menerima simpulan lain yang memenuhi prinsip-prinsip penarikan kesimpulan yang valid. 7. Comparing & Contrasting of Claims/Conclusions. Menilai apakah orang tersebut bisa membanding-bandingkan kelebihan dan kelemahan dari klaim atau
simpulan
yang
terbentuk.
Orang
yang berpikir
kritis
mampu
membandingkan kekuatan dan kelemahan dalam suatu argumen. Orang yang berpikir kritis mampu membedakan mana argumen yang kebenaran simpulannya dapat sepenuhnya dipertanggungjawabkan berasal dari premispremisnya, dan mana argumen yang kebenaran simpulannya masih harus bersandar pada asumsi tertentu yang tidak dibicarakan secara eksplisit di dalam argumen tersebut. 8. Decision Making. Menilai apakah orang tersebut mampu memilih dan mengambil keputusan yang tepat. Berdasarkan kemampuan menilai kekuatan dan kelemahan argumen yang dimiliki, orang yang berpikir kritis, mampu mengambil keputusan yang terbaik dari sekian banyak alternatif yang tersedia. 9. Communicating
Ideas.
Menilai
apakah
orang
tersebut
mampu
mengomunikasikan idenya dengan santun dan penuh hormat (respek). Orang
7
yang berpikir kritis bukanlah orang yang suka menolak pendapat orang lain dengan lantang dan menyakitkan. Orang yang berpikir kritis justru harus memiliki empati. Orang yang berpikir kritis mampu mengemukakan ide dan pemikirannya secara santun. Meskipun pendapatnya berbeda dengan orang yang memiliki klaim atau argumen tertentu, orang yang berpikir kritis mampu mengomunikasikan idenya dengan baik. Orang yang berpikir kritis peduli dengan dampak pengungkapan idenya. Sehubungan dengan hal di atas, untuk mengetahui contoh orang yang memiliki kemampuan berpikir kritis, maka 9 (sembilan) aspek di atas harus diukur. Kalau semuanya dapat dipenuhi, maka kemampuan berpikir kritis dari orang tersebut dapat dikatakan tinggi. Kemampuan pertama dan kedua (claim/argument dan premise and conclusions identifications) di atas merupakan persyaratan utama yang tidak bisa ditolak. Kalau seseorang tidak bisa menentukan apakah sesuatu merupakan klaim/argumen atau tidak, atau orang tersebut tidak bisa membedakan mana yang merupakan premis dan mana yang menjadi simpulan dalam suatu argumen, orang tersebut jauh dari dikatakan memiliki kemampuan berpikir kritis. Orang tersebut cenderung tidak memiliki kemampuan berpikir kritis. Menilai seseorang memiliki kemampuan berpikir kritis yang baik atau tidak akan lebih mudah dengan mengukur disposisi berpikir kritisnya. Dengan melihat bagaimana kecenderungan orang tersebut dalam menjalankan perintah atau permintaan, kita akan dengan mudah melihat apakah orang itu cenderung berpikir kritis atau tidak. Tapi, setelah melihat disposisinya, barulah kita mengkaji secara lebih mendalam. Kita bisa meminta yang bersangkutan untuk menyuarakan secara nyaring (thinking aloud) proses berpikirnya ketika mengambil keputusan melakukan tindakan tersebut.
8
Contoh 1 Misalkan si A dan B diberi soal sebagai berikut. Diketahui
Segitiga ABC adalah segitiga siku-siku dengan sudut C adalah 60 derajat. BD adalah garis tinggi. Panjang CD 1 satuan Panjang BC 3 satuan Panjang AB 4 satuan Tentukan keliling segitiga ABD
Si A mengerjakannya sebagai berikut √
√
√
√
√
Jadi keliling segitiga ABD adalah =
√
√ √
√ √
Sementara itu si B mengerjakan sebagai berikut
Sementara itu, dari segitiga BCD, berdasar gambar, Bertentangan. Karena itu, soal ini salah. Saya tidak perlu mencari keliling yang diperintahkan. Perhatikan dua jawaban di atas. Jawaban di atas menunjukkan bahwa si A tidak memperlihatkan disposisi berpikir kritis. Dia menerima informasi yang diberikan begitu saja tanpa ada upaya untuk memperoleh keyakinan tentang kebenarannya. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa si A tidak memiliki kemampuan berpikir kritis. Si A bisa saja memiliki kemampuan berpikir kritis. Si A ini perlu diuji 9 hal yang dikemukan di atas untuk menentukan apakah yang bersangkutan memiliki kemampuan berpikir kritis atau tidak.
9
Sementara itu, si B menunjukkan yang sebaliknya. Dia melakukan inferensi terlebih dahulu terhadap premis yang diberikan dan mengambil keputusan dengan benar. Si B memiliki kemampuan berpikir kritis dan memperlihatkan disposisi berpikir kritis. Contoh 2 Si C dan si D diberikan suatu klaim berikut. Banyaknya akar dari persamaan kuadrat
adalah 2
Si C menjawab: BENAR Si D menjawab: Dalam semesta Himpunan Bilangan Real pernyataan tersebut benar. Tetapi, dalam semesta yang lain bisa salah. Banyak akarnya bisa 0, 1, 2, bahkan bisa lebih Melihat jawaban si C, jelas bahwa si C tidak melakukan disposisi berpikir kritis. Dia tampaknya mengasumsikan bahwa semesta pembicaraannya adalah himpunan semua bilangan real, dan kalau memang benar demikian, maka jawaban dia adalah benar. Sayangnya, dia sepertinya tidak memikirkan kemungkinan semesta pembicaraan yang lain. Mungkin saja jawabannya akan berbeda kalau kita sebagai guru menanyakan kepada yang bersangkutan pertanyaan berikut: Kalau semesta pembicaraannya himpunan bilangan prima, apakah banyak selesaiannya masih 2? Kalau semesta pembicaraannya himpunan bilangan asli? Kalau semesta pembicaraanya himpunan bilangan bulat negatif? Kalau semesta pembicaraannya himpunan bilangan bulat modulo 8? Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa membantu siswa mengambil kesimpulan lain. Dengan demikian, meskipun siswa tersebut tidak menunjukkan disposisi berpikir
10
kritis, tetapi belum tentu dia tidak mampu berpikir kritis sama sekali. Mungkin ada sebagian dari 9 hal yang penulis uraikan di atas yang masih dimilikinya. Sebaliknya, jawaban si D menunjukkan bahwa dia memperlihatkan disposisi berpikir kritis. Dia bisa memberikan respons dengan benar, sebab jawabannya memang bisa tidak seperti yang diklaimkan. Jawabannya bisa sama dengan 0 kalau semestanya himpunan bilangan prima, bisa 1 bila semestanya himpunan bilangan asli, bisa 2 bila semestanya bilangan real, bahkan bisa lebih kalau semestanya adalah himpunan kelas sisa modulo yang akar-akarnya bisa [1], [3], [5], dan [7]. Akan tetapi, disposisi berpikir kritis tersebut tidak menjamin bahwa yang bersangkutan (si D) memiliki kemampuan berpikir kritis. Jawaban itu bisa saja diperolehnya dari mengingat peristiwa sebelumnya. Mungkin dia sudah pernah mendapatkan pertanyaan dan jawaban yang sama. Dia hanya sekedar mengingat apa yang sudah pernah dialaminya. Dalam hal demikian, si D tidak memiliki kemampuan berpikir kritis. Akan tetapi, kalau si D ini bisa memberikan alasan yang baik, mampu memberikan justifikasi logis terhadap jawabannya, si D masih dikatakan mampu berpikir kritis kendati tidak memperlihatkan disposisi berpikir kritis. Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis ini tidak serta merta diwujudkan dalam disposisi berpikir kritis. Sebaliknya, orang yang terlihat berdisposisi kritis juga belum tentu memiliki kemampuan berpikir kritis. D. HASIL-HASIL PENELITIAN TERKAIT BERPIKIR KRITIS Cukup banyak penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan berpikir kritis ini. Berikut disajikan beberapa hasil penelitian yang sempat penulis rekam. Appelbaum (2015) menyatakan bahwa ketika calon guru dihadapkan dengan kontradiksi dari beberapa selesaian yang berbeda, calon guru banyak mengalami kesulitan dalam mencari penjelasannya. Akan tetapi, bimbingan yang cermat dari seorang instruktur bisa membantu kesuksesan mereka. Karena itu, secara umum dikatakan bahwa instruktor memiliki peran penting dalam membantu pengembangan kemampuan berpikir kritis.
11
Firdaus dkk (2015) menyatakan bahwa penggunaan modul berbasis Pembelajaran Berbasis Masalah berhasil meningkatkan tiga aspek kemampuan berpikir kritis, yaitu: kemampuan mengidentifikasi dan menafsirkan informasi, kemampuan menganalisis informasi, dan kemampuan mengevaluasi bukti serta argumen. Maricica & Spijunovicb (2015) menyatakan bahwa pemilihan materi memiliki peranan penting dalam mendorong dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Valvez (2015) mengemukakan bahwa pembelajaran berbasis aktivitas yang dipadukan dengan pembelajaran kooperatif mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Kegiatan belajar dalam pembelajaran berbasis aktivitas dan pembelajaran kooperatif secara otomatis mendorong mereka untuk berpikir kritis, dan lebih asyik dalam belajarnya. Pembelajaran ini juga berhasil mengurangi miskonsepsi siswa. Nugraha & Kirana (2015) menyatakan bahwa eksperimen berbasis pemecahan masalah mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, mulai dari deduction, induction, credibility, observation, and assumption.Hartati & Sholihin (2015) menyatakan bahwa pembelajaran berbasia masalah dalam pembelajaran IPA terpadu mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Happy & Widjajanti (2014) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah efektif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif, tetapi tidak untuk berpikir kritis dan self esteem. Akan tetapi, pembelajaran berbasis masalah tetap lebih efektif daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan kritis, serta self esteem siswa. Hendarto & Setyarsih (2014) menyatakan bahwa modifikasi Highbinaural beats dan guided problem solving efektif meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada rentang level High-
20 – 85, serta guided problem solving
efektif pada rentang efek GPS 65 – 75 Lestari
(2014)
menyatakan
bahwa
brain-based
learning
mampu
meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Biber, Tuna & Incikabi (2013) menyatakan bahwa calon guru matematika memiliki disposisi berpikir kritis yang rendah dan satu-satunya faktor yang menjadi
12
penyebabnya adalah latar belakang sekolahnya, tetapi praktik membaca kurang berkorelasi dengan disposisi berpikir kritis mereka. Chukwuyenum (2013) menyatakan bahwa keterampilan berpikir kritis merupakan alat yang efektif untuk meningkatkan kinerja dalam matematika, dan karenanya keterampilan berpikir kritis perlu di-infuse dalam pembelajaran matematika. Erceg, Aviani, & Mesic (2013) menyatakan bahwa ill-defined problem memiliki potensi untuk membangkitkan berbagai macam ide yang berasal dari siswa terkait dengan kebermaknaan masalah dan solusinya. Lebih jauh dikatakan bahwa level kemampuan berpikir kritis siswa rendah tanpa melihat level dan kurikulum pendidikannya. Pembelajaran tradisional tidak memadai untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Grosser & Nel (2013) menyatakan adanya korelasi positif yang signifikan antara keterampilan berpikir kritis (baik dalam hal membuat inferensi maupun dalam keterampilan berpikir kritis secara menyeluruh) dengan kemahiran berbahasa. Mitrevski & Zajkov (2013) menyatakan bahwa calon guru matematika dan sain tidak familiar atau merasa masih asing dengan konsep berpikir kritis. Mereka terlihat tidak memahami persyaratan yang diperlukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Hanya segelintir guru yang menerapkan pembelajaran yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Pallinusa (2013) menyatakan bahwa dengan Realistics Mathematics Education (Pembelajaran Matematika Realistik) kemampuan berpikir kritis siswa meningkat lebih baik daripada dengan pembelajaran biasa. Rohmatin (2013) menyatakan bahwa siswa dengan kemampuan aljabar tinggi mengetahui fokus, alasan, situasi, dan kejelasan dalam tiap tahap pemecahan masalah. Ia juga menjelaskan inferensinya pada setiap tahap pemecahan masalah, kecuali pada tahap pelaksanaan rencana. Ia tidak melaksanakan kegiatan memeriksa kembali tahap memahami masalah. Siswa dengan kemampuan sedang tidak memeriksa kembali jawabannya. Meskipun pada tiga tahap yang ada ia mengetahui fokus, alasan, situasi, dan kejelasannya, tetapi dia tidak mampu
13
menjelaskan situasinya pada saat melaksanakan rencana. Sementara itu, siswa dengan kemampuan aljabar rendah mengetahui fokus dan alasan, memeriksa kembali pada setiap tahap. Namun inferensi dan kejelasan hanya mampu dijelaskannya pada saat melaksanakan rencana dan memeriksa kembali. Hidayat (2012) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif TTW (Think Talk Write) lebih baik daripada pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis, baik untuk kelompok tinggi, sedang, maupun rendah. Akkaya (2012) menyatakan adanya korelasi yang positif antara tingkat penggunaan strategi membaca dengan disposisi berpikir kritis calon guru. Somakim (2011) menyatakan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa yang diajar dengan PMR (Pembelajaran Matematika Realistik) lebih baik daripada yang diajar dengan PMB (Pembelajaran Matematika Biasa). Ismaimuza (2010) menyatakan bahwa siswa yang diajar dengan pembelajaran berbasis masalah dengan strategi kognitif konflik menampilkan kemampuan berpikir kritis yang lebih baik daripada siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional. McMahon (2009) menyatakan bahwa terdapat korelasi yang positif dan signifikan antara keberadaan lingkungan dengan teknologi tinggi dengan kemampuan berpikir kritis. Noer (2009) menyatakan bahwa pembelajaran dengan PBL lebih baik dari pembelajaran konvensional dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Saurino (2008) menyatakan bahwa concept journaling memberikan kontribusi berharga terhadap kemampuan berpikir kritis siswa dalam kelas matematika. E. PELUANG PENELITIAN BERIKUTNYA Penelitian-penelitian di atas memang sudah cukup banyak. Dari penelitian tersebut, sudah teridentifikasi beberapa metode pembelajaran yang terbukti membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis, antara lain: Pembelajaran Berbasis
Masalah,
Pembelajaran
Kooperatif
Model
TTW,
Pembelajaran
Matematika Realistik, Pembelajaran Berbasis Aktivitas dikombinasikan dengan Cooperative Learning. Pembelajaran strategi membaca juga terkesan memiliki potensi untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis.
14
Namun demikian, terdapat banyak faktor yang menentukan sukses tidaknya pelaksanaan suatu metode pembelajaran. Gaya belajar siswa, gaya berpikir siswa, tipe kepribadian, gaya kognitif, dan berbagai macam karakteristik siswa bisa berpengaruh terhadap proses dan hasil belajarnya. Hasil-hasil penelitian di atas tampaknya masih belum membahas hal tersebut. Karena itu, pertanyaan “untuk siswa dengan karakteristik seperti apakah suatu model pembelajaran mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya?” tampaknya masih belum ada jawabnya. Ini berarti, masih ada peluang melakukan penelitian untuk menemukan model atau metode pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dengan mempertimbangkan karakteristik siswanya. Gaya guru ketika menjelaskan, urutan materi yang digunakan, contoh soal (worked examples) yang diperlihatkan, pertanyaan yang diajukan, umpan balik yang diberikan adalah beberapa dari tindakan guru yang juga mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa. Bahkan, tindakan guru yang sama yang dilakukan di kelas yang satu dan di kelas yang lain bisa berdampak berbeda. Kalau di kelas yang satu berdampak pada keaktifan belajar siswa, di kelas yang lain bisa berdampak kepada frustasi. Karena itu, pertanyaan “bagaimana menjalankan metode pembelajaran tertentu yang bisa meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa?” juga belum bisa dijawab oleh penelitian-penelitian di atas. Penelitian tindakan kelas bisa dilakukan oleh guru untuk menemukan tindak pembelajaran yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa. Pemilihan materi dan tugas yang bersifat ill-structured dikatakan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir kritis siswa. Akan tetapi, jumlah tugas, cakupan materi yang dijelaskan, urutan sajian materi, alokasi waktu yang diberikan untuk penyelesaian tugas, jenis tagihan adalah beberapa yang juga berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Karena itu, penelitian dalam rangka pengembangan bahan ajar yang mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis juga masih terbuka lebar. Bahkan penelitian-penelitian tentang teknis pembelajaran, misalnya eksperimen terkait dengan urutan materi ajar, jenis ill-structured problem dan lainlain juga masih terbuka lebar.
15
Terakhir, dari daftar penelitian di atas, ada satu penelitian tentang profil berpikir kritis siswa. Beberapa karakteristik yang dilakukan oleh siswa dalam berpikir kritis telah diungkapkan. Namun demikian, penulis melihat bahwa sampai saat ini, masih cukup banyak pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh teori dan hasil-hasil penelitian. Beberapa di antara pertanyaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut. 1. Untuk masalah matematika yang seperti apakah, siswa yang memiliki kemampuan berpikir kritis mempertunjukkan disposisi berpikir kritis? 2. Dalam kondisi seperti apakah siswa melakukan disposisi berpikir kritis? 3. Bagaimanakah tahap-tahap proses berpikir kritis siswa dalam memecahkan masalah? 4. Apakah proses berpikir kritis siswa dipengaruhi oleh jenis masalah yang dihadapi? Terakhir, sampai saat ini masih belum ada instrumen terstandar yang secara khusus digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis. Instrumen yang ada selama ini lebih bersifat verbal, belum matematis. Karena itu, ada peluang untuk mengadakan penelitian pengembangan instrumen untuk mengukur kemampuan berpikir kritis matematis. Sebenarnya masih banyak lagi ide-ide penelitian yang bisa dilakukan. Sepanjang kita memiliki pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh teori dan hasilhasil penelitian terdahulu, pertanyaan itu layak untuk ditemukan jawabnya dengan mengadakan penelitian. Jadi, sampai saat ini, masih terbuka lebar peluang penelitian-penelitian yang bisa dilakukan terkait dengan berpikir kritis ini.
16
REFERENSI Akkaya, N. 2012. The relationship between teachers candidates‟ critical thinking skills and their use of reading strategies. Procedia: Social and Behavioral Sciences 47, 797-801. Alfrey, K. & Cooney, E. 2009. Developing a rubric to assess critical thinking in assignments with an open-ended component. American Society for Engineering Education Applebaum, M. 2015. Activating pre-service mathematics teachers‟ critical thinking. European Journal of Science and Mathematics Education, 3(1), 77 – 89 As‟ari, A.R. 2016. Pengembangan karakter dalam pembelajaran Matematika: Prioritas dalam rangka mengembangkan 4C’s. Makalah disajikan dalam Seminar Pendidikan Nasional 2016 di Universitas Muhammadiyah Surabaya, Surabaya, 26 Maret 2016. As‟ari, A.R. 2015. Pendidikan matematika kreatif untuk meningkatkan daya saing siswa Indonesia dalam era global. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan MIPA 2015. Fakultas Keguruan danIlmu Pendidikan Universitas Lampung, Bagian 1, 1 – 12. As‟ari, A.R. 2014. Ideas for developing critical thinking at primary school level: Paper presented at an International Seminar Addressing High Order Thinking at Universitas Islam Muhammadiyah Makasar, Makasar: April 12 – 13, 2014 Biber, A.C., Tuna, A. & Incikabi, L. 2013. An investigation of critical thinking dispositions of mathematics teacher candidates. Educational Research, 4(2), 109 – 117 Black, B. 2008. Critical thinking – a definition and taxonomy for Cambridge Assessment: supporting validity arguments about critical thinking assessment administered by Cambridge Assessment. Paper presented at 34th International Association of Educational Assessment Annual Conference, 9th September 2008, Cambridge Bowell, T. & Kemp, G. 2002. Critical thinking: A concise guide. London: Routledge Chukwuyenum, A.N. 2013. Impact of critical thinking on performance in mathematics among senior secondary school students in lagos state. IOSR Journal of Research & Method in Education. 3(5), 18 – 25 Cottrell, S. 2005. Critical thinking skills: Developing effective analysis and argument. New York, N.Y: Palgrave Macmillan
17
Ennis, R.H. 1996. Critical thinking dispositions: their nature and assessibility. Informal Logic, 18(2 & 3). 165 – 182 Ennis, R.H. 2011. The nature of critical thinking: an outline of critical thinking dispositions and abilities. Several times revision of a presentation at the Six International Conference on Thinking at MIT, Cambridge, MA, July 1994. Erceg, N., Aviani, I. & Mesic, V. 2013. Probing students‟ critical thinking processes by presenting ill-defined physics problems. Revista Mexicana de Fisica E 59, 65 – 76 Firdaus, Kailani, I., Bin Bakar, Md Nor, Bakry. 2015. Developing critical thinking skills of students in mathematics learning. Journal of education and learning. 9(3), 226 – 236 Grosser, M.M. & Nel, M. 2013. The relationship of critical thinking skills and the academic language proficiency of prospective teachers. South African Journal of Education 33 (2) Happy, N. & WIdjajanti, D.B. 2014. Keefektifan PBL ditinjau dari kemampuan berpikir kreatif dan kritis, serta Self Esteem siswa SMP. Jurnal Riset Pendidikan Matematika. 1 (1), 48 –57 Hartati, R. & Sholihin, H. 2015. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa melalui implementasi model pembelajaran berbasis masalah pada pembelajaran IPA terpadu siswa SMP. Prosiding simposium nasional inovasi dan pembelajaran sains 2015. 8 dan 9 Juni 2015, Bandung, Indonesia. Herdianto, H. & Setyarsih, W. 2014. Identifikasi profil berpikir kritis siswa dalam pembelajaran fluida statis dengan modifikasi High- binaural beats and guided problem solving. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika 3(2), 154 – 160 Hidayat, W. 2012. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik siswa SMA melalui pembelajaran kooperatif Think-Talk-Write (TTW). Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan, dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2 Juni 2012 Innabi, H. 2003. Aspects of critical thinking in classroom instruction of secondary school mathematics in Jordan. Proceedings of the International Conference The Decideable and the Undecidable in Mathematics Education, Brno, Czech Republic, September 2003 Ismaimuza, D. 2010. Pengaruh pembelajaran berbasis masalah dengan strategi konflik kognitif terhadap kemampuan berpikir kritis matematis dan sikap siswa SMP. Jurnal Pendidikan Matematika, 4(1), 1 – 10 Lai, E.R. 2011. Critical thinking: a literature review (research report). Pearson: Always Learning downloaded September 18, 2014 from: http://images.pearsonassessments.com/images/tmrs/criticalthinkingreviewfin al.pdf
18
Lestari, K.E. 2014 Implementasi Brain-based learning untuk meningkatkan kemampuan koneksi dan kemampuan berpikir kritis serta motivasi belajar. Jurnal Pendidikan UNSIKA. 2(1), 36 – 46 Maricica, S. & Spijunovicb, K. 2015. Developing critical thinking in elementary mathematics education throuh a suitable selection of content and overall student performance. Procedia – Socia and Behavioral Sciences 180, 653 – 659 McMahon, G. 2009. Critical thinking and ICT integration in a Western Australian Secondary School. Educational Technology and Society. 12(2), 269 – 281 Mitrevski, B & Zajkov, O. 2011. Mathematics and Science teachers concept of critical thinking. Bulg. J. Phys. 38, 318 – 324 Moon, J., 2008. Critical thinking: an exploration of theory and practice. Abingdon, Oxon: Routledge National Education Association. Tanpa tahun. Preparing 21st students for a global society: an educator‟s guide for the “Four Cs”. Washington DC: USA diunduh dari www.nea.org/assets/docs/A-Guide-to-Four-Cs.pdf 9 MAret 2016, pukul 10.00 Noer, S.H. 2009. Peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa melalui pembelajaran berbasis masalah. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY, 5 Desember 2009, 473 – 483 Nugraha, M.G. & Kirana, K.H. 2015. Profil keterampilan berpikir kritis mahasiswa fisika dalam perkuliahan eksperimen fisika berbasis problem solving. Prosiding Seminar Nasional Fisika (E-Journal), Volume IV October 2015 Pallinusa, A.L. 2013. Students‟ critical mathematical thinking skills and character: experiments for junior high school students through Realistic Mathematics Education Culture-Based. IndoMS J.M.E. 4(1), 75 – 94 Rohmatin, D.N. 2013. Profil berpikir kritis mahasiswa matematika dalam memecahkan masalah nilai dan vektor eigen ditinjau dari pemetaan kemampuan aljabar. Gamatika 3 (2), 101 – 109 Saadati, F., Tarmizi, R.A., & Bayat, S. 2010. Assessing critical thinking of postgraduate students. Procedia Social and Behavioral Sciences 8, 543 -- 548 Saurino, D.R. 2008. Concept journaling to increase critical thinking disposisitions and problem solving skills in adult education. The journal of human resource and adult learning, 4 (1), 170 – 178 Somakim. 2011. Peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa sekolah menengah pertama dengan penggunaan pendidikan matematika realistik. Forum MIPA, 14 (1), 41 – 48
19
Starkey, L. 2004. Critical thinking skills success: In 20 minutes a day. New York: Learning Express Valdez, A.V., Lamoljo, A., Dumran, S.P. & Didatar, M.M. 2015. Developing critical thinking through activity-based and cooperative learning approach in teaching school chemistry. International Journal of Social Science and Humanity, 3(1).
20
BAB II BERPIKIR KREATIF
Oleh : Muchtadi
Universitas Negeri Malang
21
BAB – II
BERPIKIR KREATIF
A. PENDAHULUAN Krulik, Rudnick, & Milou (2003:89) membagi tingkatan berpikir menjadi empat macam, yaitu Recall, Basic, Critical, dan Creative. Basic thinking, critical thinking, dan creative thinking termasuk ke dalam berpikir penalaran. Critical thinking, dan creative thinking merupakan kemampuan tingkat tinggi. Recall thinking berada pada tingkat dasar. Berpikir recall tidak benar-benar memerlukan pemikiran sadar. Misalkan orang dewasa ketika ditanya mengenai jumlah 3+7, mereka tidak benar-benar berpikir tetapi secara otomatis menjawab”10”. Recall thinking berdasarkan pada ingatan. Contoh yang lain recall thinking adalah mengingat nama jalan, nomor handphone dan lain-lain.
(Krulik, S., & Rudn ic k,J.A., & M ilou,E, 2003)
Tingkat berikutnya adalah basic thinking. Berpikir ini merupakan bentuk dasar berpikir. Pembuatan keputusan dilakukan dalam basic thinking. Misalkan seseorang ingin membeli 2 pulpen dengan harga satu pulpen Rp. 8.000,00. Ketika akan memutuskan untuk menggunakan perkalian dalam menentukan harga pulpen, maka bisa dikatakan telah melakukan basic thinking. Untuk mendapatkan total harga, orang tersebut harus mengalikan 2 pulpen dengan harga satu pulpen yaitu Rp. 8.000,00 sehingga diperoleh total harga pulpen adalah Rp. 16.000,00. Kemudian tingkat berikutnya adalah critical thinking (berpikir kritis). Berpikir ini merupakan kemampuan menganalisis masalah, menentukan apakah cukup data untuk menyelesaikannya, memutuskan apakah terdapat kelebihan informasi dalam masalah, dan menganalisa situasi. Berpikir kritis termasuk mengenali data konsisten atau tidak dan menentukan keputusan valid atau tidak. Tingkat tertinggi dari berpikir adalah creative thinking (berpikir kreatif). Terdapat multilevel dalam berpikir kreatif. Siswa dikatakan berpikir kreatif ketika dapat menyelesaikan suatu masalah dengan cara non algoritmik. tingkat lain berpikir kreatif, misalkan siswa yang menghasilkan solusi masalah yang tidak biasa, unik atau berbeda. Hasil berpikir kreatif seringkali sangat berbeda dari yang diharapkan. Untuk memudahkan pemahaman diperlukan definisi dari berpikir kreatif yang dicetuskan beberapa ahli berdasarkan pemikiran dan peneitian.
22
B. DEFINISI BERPIKIR KREATIF Beberapa peneliti telah memberikan definisi dari berpikir kreatif (Torrent, 2002; McGregor, 2007; Meintjes & Groser, 2010; Enyinna, 2013; Kamplis & Berki, 2014; Amier, 2015). Torrent (2002) mendefinisikan berpikir kreatif sebagai proses pembentukan ide atau hipotesis, mengujinya, dan mengkomunikasikan hasilnya. Sementara itu McGregor (2007) mendefinisikan berpikir kreatif adalah pembentukan suatu sudut pandang yang unik atau sudut pandang alternatif, kegiatan yang menghasilkan suatu desain yang innovatif atau pendekatan baru terhadap sebuah masalah atau tantangan menarik. Meintjes & Grosser (2010) menyatakan bahwa berpikir kreatif adalah kemampuan menghasilkan berbagai ide asli, melihat dari sudut pandang berbeda dan menguraikan ide-ide. Berpikir kreatif adalah belajar untuk melakukan sesuatu dengan perspektif yang berbeda untuk hasil yang positif (Enyinna, Success Without Brain For Entrepreneurs - Human Development and Finance, 2013).
(Torrance, The Manifesto: a Guide to Developing a Creative Carear, 2002) (McGregor, Developing Thin king Learning A G uide to T hin king Skill in E ducation, 2007) (Mein tjes,H., & Grosser,M., 201 0) (Kamplis & Berki, 2014) (Amier, Analy tical Thin king , 2015)
Gambar 1 Beberapa Definisi Berpikir Kreatif Selanjutnya Kamplis & Berki (2014) menyatakan bahwa berpikir kreatif sebagai pemikiran yang memungkinkan siswa untuk menerapkan imajinasi mereka untuk menghasilkan ide-ide, pertanyaan dan hipotesis, bereksperimen dengan alternatif, dan untuk mengevaluasi mereka sendiri dan ide-ide rekan-rekan mereka, produk akhir dan proses. Selain itu didefinisikan juga berpikir kreatif 23
menghubungkan atau menciptakan hal-hal atau ide-ide yang mana sebelumnya tidak terkait (Amier, 2015). Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dibahas di atas maka berpikir kreatif adalah sesuatu kekuatan terorganisir bersifat abstrak, berani, disiplin, tidak terbendung, ada kelancaran, ada keluwesan, ada kebaruan, dan tidak biasa yang muncul akibat kondisi lingkungan dan menjadi pendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Berpikir kreatif mengacu antara lain pada kemampuan menghasilkan berbagai kemungkinan, ide-ide baru, asli, pemikiran yang mencerminkan wawasan, rasa ingin tahu, dan kemampuan mengidentifikasi hubungan antara konsep atau gagasan. Kemampuan berpikir kreatif merujuk pada kemampuan menghasilkan produk yang diidentifikasi oleh Guilford ( Meintjes & Groseir, 2010) sebagai faktor unik yang relevan dalam berpikir kreatif, yaitu: (1) kepasihan (banyak ide); (2) fleksibilitas (banyak kategori berbeda dari ide yang relevan, pergeseran pendekatan, fluiditas informasi, kurangnya kekakuan); (3) elaborasi (kemampuan mengembangkan, menguraikan ide-ide dan menambahkan berbagai rincian untuk informasi yang telah dihasilkan); (4) orisinilitas (respon yang tidak biasa (unik) dan jarang (langka)). Kemampuan berpikir kreatif dan pribadi kreatif diperlukan dalam kreativitas dimana terdapat empat hal yang terlibat yang meliputi kelancaran, fleksibilitas, orisinilitas, dan elaborasi, sedangkan dalam kepribadian kreatif melibatkan rasa ingin tahu, kemandirian, pengambilan resiko dan komitmen tugas (Lee, 2005). Walapun siswa memiliki kemampuan kreatif, bisa saja produk yang kreatif tidak dapat dihasilkan jika tidak didukung dengan pribadi yang kreatif. Kepribadian kreatif tidak dapat dibangun, ketika siswa takut berpikir mengenai hal baru atau tidak mau menjadi kreatif (Lee, 2005). Rasa ingin tahu, kemandirian, pengambilan resiko, dan komitmen pada tugas diperlukan siswa untuk dapat menggali ide-ide kreatif sehingga menghasilkan memenuhi unsur kreatif.
produk yang
(Ward, T. B, 2 007) (Lee, K. H, 2005)
Penggunaan istilah berbeda dari “berpikir kreatif” juga digunakan oleh peneliti yang lain untuk menyatakan berpikir kreatif yaitu istilah kognisi kreatif. Ward (2007) menyatakan bahwa pendekatan kognisi kreatif dapat dilakukan guna menghasilkan produk baru dan ide-ide baru yang sesuai, melalui penerapan proses 24
kognitif dasar pada struktur pengetahuan yang ada. Penerapan proses kognitif dasar pada struktur pengetahuan yang ada seperti retrieval, combination, analogy, dan seterusnya. Struktur pengetahuan yang ada dapat dipanggil kembali, dilakukan kombinasi, atau dianalogikan untuk menghasilkan ide-ide baru. Solso, Maclin, & Maclin (2008: 526) menyatakan “Creativity (kreativitas) merupakan proses yang melibatkan aktivitas kognitif dalam menghasilkan ide-ide atau konsep-konsep baru”. Lebih lanjut Solso, Maclin, & Maclin (2008: 444) mendefinisikan kreativitas sebagai aktivitas kognitif yang menghasilkan pandangan baru mengenai suatu bentuk permasalahan dan tidak dibatasi pada hasil yang pragmatis (selalu dipandang menurut kegunaannya). Kreativitas merupakan hasil dari berpikir kreatif yang dapat ditunjukkan dengan munculnya ide-ide baru atau konsep-konsep baru, dan bukan hanya sebatas menghasilkan sesuatu yang bermanfaat saja.
So lso, R., Maclin, O, & Maclin, M.K 200 8. Terjemahan Mikael Rahardanto & Kristian to Batuadji, 2008)
Berpikir kreatif melibatkan berpikir konvergen dan divergen. Guilford (Solso, Maclin, & Maclin, 2008: 449) membedakan tipe berpikir menjadi dua macam yaitu berpikir konvergen atau memusat (convergent thinking) dan berpikir divergen atau menyebar (divergent thinking). Cara berpikir konvergen mengarah pada satu kesimpulan khusus. Umumnya pembelajaran lebih menekankan kepada pemikiran konvergen, dimana siswa diminta mencari solusi tunggal dari suatu soal atau masalah matematika. Misalkan 1 + 2 = ..., pada contoh tersebut siswa berpikir untuk mencari solusi tunggal dari penjumlahan 1 dengan 2. Berbeda dari berpikir konvergen, cara berpikir divergen lebih menekankan pada variasi jawaban yang berbeda dari suatu pertanyaan sehingga kebenaran jawaban yang dihasilkan bersifat subjektif. Siswa diberikan masalah open-ended sehingga menghasilkan solusi yang beragam. Misalkan siswa diminta mengisi titik-titik pada soal berikut, ... + ... = 8, ada banyak kemungkinan bilangan yang dapat diisikan agar persamaan tersebut menjadi benar. Berpikir divergen menghasilkan produk yang divergen. (Jha, A. K, 2012) Jha (2012) menyatakan bahwa kreativitas matematika dan berpikir divergen berkaitan dengan istilah kelancaran (banyak respon), fleksibilitas (banyaknya jenis respon), orisinilitas (tingkat keunikan respon secara individu) dan elaborasi tidak dengan cara absolut tetapi secara fallibillist (kemungkinan 25
keliru). Kefasihan dalam berpikir mengacu pada banyaknya respon yang dihasilkan. Fleksibilitas dalam berpikir mengacu pada beberapa jenis perubahan yaitu arti, penafsiran, penggunaan sesuatu pemahaman tugas, strategi dalam melakukan tugas, atau arah pemikiran yang mungkin berarti interpretasi baru dari tujuan. Orisinilitas dalam pemikiran berarti menghasilkan yang tidak biasa, jauh dari yang direncanakan atau tanggapan yang pintar. Selain itu ide asli harus berguna
secara
sosial.
Elaborasi
dalam
pemikiran
berarti
kemampuan
menghasilkan langkah-langkah rinci membuat rencana kerja dan menjelaskannya kepada orang lain. Kritetria kreatif kefasihan, fleksibilitas, dan orisinilitas berguna dalam penentuan karakteristik berpikir kreatif. C. KARAKTERISTIK BERPIKIR KREATIF Karakteristik dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan ciri khas dari sesuatu. Tentu “sesuatu” itu biasanya yang bisa diamati. Sementara berpikir tidak mungkin untuk diamati, karena tidak tampak. Berpikir merupakan bagian dari seseorang yang tidak berhenti dilakukan dari waktu ke waktu. Perilaku seseorang akibat berpikir itulah yang bisa diamati. Dengan berpikir orang akan tergerak untuk melakukan sesuatu. Begitu juga dengan orang-orang yang memiliki pemikiran kreatif (creative thinker), tindak tanduknya, tingkah lakunya bisa diamati. Menurut Laura Berk (Chesters, 2012) menyatakan bahwa pemikir kreatif adalah gaya inovatif dari pemikir yang memiliki toleransi ambiguitas dan ketekunan, dan yang memiliki keberanian khas berdasarkan keyakinan mereka sendiri dan kesediaan untuk mengambil risiko. Sehingga dapatlah di buat semacam ciri khas dari perilaku tersebut. Adapun karakteristik kreatif orang dewasa (Characteristics of Creative Adult) yang merupakan hasil studi penelitian dari seniman, penulis, para ilmuwan, dan orang-orang dewasa yang kreatif lainnya menunjukkan sifat-sifat yaitu: flexibility, fluency, elaboration, tolerance of ambiguity, originality, breadth of interest, sensitivity, curiosity, independence, reflection, action, cncentration and persistence, commitment, expression of total personality, dan sense of humor (Guilford, 1971).
26
Hasil studi penelitian tentang karakteristik kreatif orang dewasa di atas dijadikan karakteristik berpikir kreatif (Alder, 2002),seperti pada gambar 1.
Gambar 2. Karakteristik Berpikir Kreatif Orang Dewasa Karakteristik berpikir kreatif tentulah melewati serangkaian proses yang terjadi pada pemikir kreatif yang dinamakan proses berpikir kreatif. Menurut Wallas (Gabora, 2002; Solso, Maclin, & Maclin, 2008:445; Herring, Jones, & Bailey, 2009) proses kreatif memiliki empat tahapan, yaitu persiapan, inkubasi, iluminasi, verifikasi. Wallas (Herring, Jones, & Bailey, 2009) menyatakan bahwa tahap persiapan, melibatkan pengumpulan pengetahuan dan pemahaman masalah. Pada tahap inkubasi, alam bawah sadar mengambil alih, merenungkan masalah tanpa konsentrasi yang sengaja dilakukan. Iluminasi terjadi seperti kilatan cahaya secara tiba-tiba, ketika solusi telah ditemukan. Verifikasi terdiri dari evaluasi ide atau gagasan yang baru dibentuk.
(Gabora, I, 2002)
Wallas (Gabora, 2002) menyatakan bahwa pertama, tahap persiapan yaitu saat seseorang menjadi terobsesi dengan masalah, mengumpulkan data yang relevan dan melakukan pendekatan tradisional, dan mungkin mencoba menyelesaikan namun tidak berhasil. Kedua tahap inkubasi yaitu saat seseorang tidak aktif berusaha untuk memecahkan masalah, tetapi secara tidak sadar pikiran terus bekerja mencari ide. Ketiga, tahap iluminasi yaitu saat kemungkinan atau 27
solusi muncul dalam bentuk samar-samar dan kasar. Keempat, tahap verifikasi yaitu saat ide atau gagasan digunakan ke dalam bentuk yang dapat dibuktikan dan dikomunikasikan kepada orang lain.
(Gabora, I, 2002)
Wallas (Solso, Maclin, & Maclin, 2008:446) menyatakan bahwa pertama, tahap persiapan yaitu memformulasikan masalah dan membuat usaha awal untuk memecahkannya. Tahap persiapan ini melibatkan seluruh pengetahuan dan pengalaman untuk mencari beberapa solusi sementara yang diujikan, tetapi kemudian solusi tersebut tidak digunakan. Kedua, tahap inkubasi yaitu masa dimana tidak ada usaha yang dilakukan secara langsung untuk memecahkan dan mengalihkan perhatian sejenak pada hal lainnya. Ide-ide kreatif terkadang muncul pada saat masalah tersebut tidak sedang dipikirkan, hal ini merupakan tahap inkubasi. Solso, Maclin, & Maclin (2008:446) menyatakan bahwa “menghentikan proses
pemecahan
masalah
sementara
waktu
dapat
membantu
untuk
mereorganisasi atau menyusun kembali pemikiran pemikiran-pemikiran terhadap masalah yang sedang dihadapi”. (Wang, Y, 2009) Ketiga, tahap iluminasi yaitu memperoleh insight (pemahaman yang mendalam) dari masalah yang dihadapi. Pada tahap iluminasi jalan menuju solusi mulai terlihat. Solso, Maclin, & Maclin (2008:446) menyatakan bahwa “pada tahap iluminasi/pencerahan jalan terang menuju permasalahan mulai terbuka, pemahaman meningkat, ide-ide muncul dan saling melengkapi untuk penyelesaian masalah”. Keempat, tahap verifikasi yaitu menguji pemahaman yang telah didapat dan membuat solusi. Setelah ide/solusi diperoleh, selanjutnya ide/solusi tersebut harus diuji. Verifikasi merupakan tahap untuk menguji sebuah produk hasil proses kreatif untuk membuktikan legitimasinya. Verifikasi pada umumnya lebih singkat daripada tahap-tahap sebelumnya, karena hanya menguji dan meninjau kembali hasil perhitungan seseorang, atau dapat juga untuk melihat apakah penemuannya berhasil. Tetapi dalam beberapa kasus, verifikasi masih membutuhkan waktu untuk melakukan penelitian lebih lanjut maupun peninjauan ulang. Tahapan berpikir kreatif Krulik & Rednick (Siswono, 2007) adalah menyintesis ide, membangun (generating) ide, menerapkan ide. Siswono (2007) mendefinisikan menyintesis ide adalah menjalin dan memadukan ide-ide 28
(gagasan) yang dimiliki; yang dapat bersumber dari pembelajaran di kelas maupun pengalaman sehari-hari. Membangun ide-ide adalah memunculkan ideide yang berkaitan dengan masalah yang diberikan sebagai hasil dari menyintesis ide
sebelumnya.
Menerapkan
ide
adalah
mengimplementasikan
atau
menggunakan ide yang direncanakan untuk menyelesaikan masalah. Tahapan berpikir kreatif menurut Krulik & Rudnick (Siswono 2007) lebih spesifik pada proses menggali ide-ide untuk menyelesaikan masalah, dan tidak memunculkan adanya tahap inkubasi seperti dalam proses kreatif menurut Wallas (Herring, Jones, & Bailey, 2009) yang merupakan salah satu dari tahap yang cukup penting dari proses kreatif.
(Sisw ono, T. E . Y, 2007) (Herring, S.R, Jones, B.R, & Bailey ,B.P, 2009)
Mensintesis ide yang merupakan tahap pertama Krulik & Rudnick sama dengan tahap persiapan menurut Wallas. Dalam tahap persiapan, dilakukan pemahaman ke dalam situasi atau masalah yang dihadapi. Dilakukan pengumpulan informasi dan pengetahuan yang relevan ke dalam situasi atau masalah yang dihadapi, yang seterusnya dilakukan pemaduan ide atau gagasan. Memadukan ide atau gagasan menurut Krulik & Rudnick disebut dengan mensintesis ide. Jadi komponen tahap persiapan ada dua yaitu memahami situasi atau informasi dan menyintesis ide. Ketika seseeorang mengalami kebuntuan dalam mencari ide maka terjadilah inkubasi. Jika tidak terjadi kebuntuan maka inkubasi berlangsung dengan cepat seakan tidak terjadi inkubasi. Bila terjadi kebuntuan, inkubasi terjadi lebih lama sehingga dapat diamati dari perilaku yang ditunjukkan seperti diam atau berhenti, membaca,
melihat
kembali
hasil
kerja
sebelumnya dan
sebagainya. Jadi tahap inkubasi ada dua yaitu cepat (tidak kelihatan) dan lambat (terlihat). Tahap kedua berpikir kreatif menurut Krulik & Rudnick, yaitu membangun ide sesuai dengan tahap ketiga proses kreatif menurut Wallas yaitu iluminasi. Tahap iluminasi terjadi saat ide-ide mulai muncul. Ide-ide dimunculkan atau dibangun untuk mengajukan soal sebagai hasil menyintesis ide. Memunculkan dan memadukan ide-ide dalam proses berpikir kreatif menurut Krulik & Rudnick, disebut dengan membangun ide. Jadi komponen iluminasi yaitu membangun ide. 29
Tahap ketiga berpikir kreatif menurut Krulik & Rudnick, yaitu implementasi ide sesuai dengan tahap keempat proses kreatif menurut Wallas, yaitu verifikasi. Tahap verifikasi yaitu ide-ide yang muncul diperiksa dan dipilih yang paling sesuai untuk digunakan. Kemudian ide dinyatakan dalam bentuk bahasa atau tulisan, selanjutnya diperiksa atau diverifikasi apakah hasilnya sudah sesuai. Jadi tahap verifikasi ada dua komponen yaitu menuliskan ide dan memeriksa atau memverifikasi hasil penulisan ide. D. CONTOH DAN BUKAN CONTOH BERPIKIR KREATIF Menjadi kreatif adalah bagaimana menemukan cara-cara baru yang dapat memecahkan masalah. Berpikir kreatif berarti menemukan cara-cara baru yang lebih baik untuk mengerjakan apa saja. Dibutuhkan susunan berpikir kreatif untuk menjawab berbagai masalah seperti bagaimana agar supaya bisa melakukannya dengan lebih cepat? Bagaimana agar hubungan dengan anak, istri lebih romantis? Bagaimana membuat anak-anak lebih menyukai buah dan sayur? dan lain sebagainya. Sebagai contoh, seorang ayah yang merupakan seorang guru memikirkan bagaimana caranya mendapatkan lebih banyak pemasukan karena saat ini keluarga mereka baru mendapatkan buah hati belahan jantung. Ia pun merintis bisnis sampingan di luar pekerjaaan inti sebagai guru. Atau seorang ibu rumah tangga yang berpikir keras bagaimana caranya agar anaknya bisa dan mau makan sayur. Ia pun lalu membuat smoothies sayur dan buah dengan rasa yang lezat. Itu berpikir kreatif. Bagaimana seorang akuntan berusaha menemukan software terbaru yang lebih memudahkan menggunakannya dalam bekerja. Itu kreatif. Bagaimana seorang penulis memperoleh berbagai ide tambahan untuk judul buku barunya. Itu juga disebut kreatif. Seorang atasan yang menerapkan strategi rapat kerja di luar kantor agar karyawannya lebih rileks, itu kreatif. Seorang guru yang menemukan metode mengajar yang lebih fun agar proses belajar mengajar lebih menyenangkan, itu juga bisa disebut kreatif. Akan tetapi, berpikir kreatif dan menerapkannya dalam pekerjaaan kita ternyata tidaklah mudah. Agar kita bisa selalu berpikir kreatif untuk
30
menyelesaikan permasalahan di setiap pekerjaan, beberapa langkah bisa dikerjakan seperti berikut. 1) Selalu pikirkan cara yang lebih baik; 2) Percaya bahwa sesuatu dapat dilakukan; 3) Pikirkan hal istimewa yang akan dilakukan dan tulis mengapa dapat dilakukan; 4) Terbuka pada perubahan yang meliputi suka melakukan eksperimen, bersedia menerima gagasan, jadilan progresif bukan regresif. (Aquarius Learning, 2015) Kalau keempat point tersebut diatas sudah ada pada Anda maka akan ada sesuatu yang dihasilkan. Berikut ini beberapa contoh dan non contoh orang yang memiliki pemikiran kreatif. 1) Seseorang melihat peluang pekerjaan yaitu menjual air putih untuk orang minum setelah melakukan berbagai aktivitas. Pertama kali yang ia lakukan adalah memasukkan air tersebut kedalam kantong plastik dengan takaran tertentu. Ketika ditawarkan ke orang, hampir tidak ada yang mau membelinya. Mungkin rata-rata orang berpikiran apa yang dilakukan oleh penjual air adalah tidak menarik sehingga tidak ada yang mau membeli. Si penjual air berpikir bagaimana supaya minumannya laku. Akhirnya dibuatlah kemasan khusus dan diberi merk dan label. Dibuatlah dengan berbagai macam bentuk dan warna. Ketika ditawarkan ke orang, pertama yang menjadi daya tarik orang untuk membeli adalah kemasan dari air minum tersebut. Sehingga dari kecil-kecilan menjadi bisnis yang besar dan berkembang sampai sekarang. Jadi apa yang menjadi pegalaman di penjual minuman sampai sekarang adalah akibat dari pemikiran kreatif yang dia lakukan sejak awal. 2) Pada contoh pertama, jika si penjual minuman tidak ide-ide baru dan berani maka ia tidak mungkin berjualan sampai sekarang, karena tidak akan ada orang yang membeli minuman darinya. 3) Seorang pimpinan perguruan tinggi, jika memiliki attitude yang tidak baik, maka lembaga yang dipimpinnya pasti tidak akan berjalan dengan mulus. Untuk sukses tentu ia harus memikirkan dan memberlakukan sesuatu yang baru, pelayanan yang maksimal, bisa memberikan contoh kepada yang dipimpinnya dan mengusahakan kepuasan buat semuanya. Hal itu akan 31
berakibat semua yang di perguruan tinggi tersebut akan merasa memiliki, senasib sepenanggungan, dan berusaha memajukan lembaganya. 4) Contoh lainnya adalah seorang yang berpikiran kreatif mampu mengubah tumbuhan eceng gondok menjadi berbagai kerajinan berguna, misalnya mebel dan tikar. Semula orang menganggap bahwa eceng gondok adalah tanaman yang dengan cepat mempu menyumbat perairan. E. PENELITIAN TENTANG BERPIKIR KREATIF Para peneliti di dunia telah banyak melakukan penelitian yang terkait dengan berpikir kreatif. Yang paling banyak adalah dibidang psikologi, gender dan pendidikan. Dibidang psikologi, berdasarkan kajian jurnal yang sudah dilakukan, fokus penelitian pada fungsi otak dan andil bagian-bagian tubuh yang menyebabkan seseorang berpikir kreatif. Untuk gender, telah diteliti mana yang memiliki kreativitas lebih diantara laki-laki dan perempuan. Hampir semua sasaran penelitian adalah siswa dan mahasiswa yang masih sekolah. Wang (2012) melakukan penelitian mengenai eksplorasi hubungan membaca dan menulis pada berpikir kreatif. Peserta 196 mahasiswa dari sebuah universitas di Taiwan. Alat Ukur yang digunakan kuesioner dan alat tes kreativitas Torrent (ATTA). Prosedur yang dipakai kepada semua mahasiswa diberikan tes ATTA dan mengisi kuesioner. Uji yang digunakan adalah uji korelasi Pearson. Hasil penelitian meliputi: 1) Sikap membaca dan menulis yang positif memiliki korelasi dengan kreativitas tinggi, sedangkan sikap yang negatif berkolerasi dengan kreativitas rendah, 2) Sikap Kreativitas dalam memabca dan menulis berkorelasi singnifikan dan positif terhadap berpikir kreatif, sementara waktu yang dihabiskan tidak mempengaruhi kinerja berpikir kreatif, 3) Secara umum, siswa yang menghabiskan lebih banyak waktu membaca dan menulis dilakukan lebih baik pada tes kreativitas. Adapun kelemahan yang bisa diamati dari penelitian tersebut adalah: 1) Perbedaan gender tidak diperhitungkan dalam hal kemampuan kinerja kreatif, seharunya bisa ditemukan alasan kenapa pada jurusan tertentu salah satu gender lebih mendominasi dalam hal kinerja kreatif dan kreativitasnya tentu jika dihubungkan dengan membaca dan menulis, 2) Perbedaan Jurusan untuk tempat subjek menimba ilmu juga tidak diperhitungkan, seharusnya bisa dicari penyebab 32
kenapa tiap jurusan kemampuan kreatif dan kreativitasnya berbeda-beda dalam membaca dan menulis.
(Wang, A.Y, 2012)
He, Wong, Li, dan Xu (2013) melakukan penelitian mengenai penerapan hipotesis variabilitas laki-laki lebih besar dalam budaya yang berbeda dan dalam domain yang berbeda. Peserta 627 siswa terdiri dari senior sebuah sekolah menengah (n=297) dan yunior sekolah sekunder (n=330), siswa laki-laki (n=332) dan perempuan (n=295).semua sudah memenuhi syarat pemilihan sampel. Kepada siswa diberikan tes berpikir kreatif dan mengerjakan diwaktu luang tampa batasan waktu. Instrumen penelitian menggunakan Test for Creative Thinking-Drawing Production
yang
diadopsi
dari
He&Wong(2011).
Hasil
penelitian:
1)
Menunjukkan bahwa anak laki-laki memiliki varians lebih besar dari perempuan dalam kinerja tes kreativitas Sesuai dengan temuan penelitian sebelumnya, 2) Berdasarkan perbandingan laki-laki-perempuan tidak secara signifikan diungguli oleh jumlah siswa laki-laki, ini
masih sejalan dengan prediksi hipotesis
variabilitas laki-laki lebih besar, 3) Perbedaan gender dalam kreativitas dimana perbedaan rata-rata dalam TCT-DP, diperoleh siswa laki-laki dilakukan secara signifikan lebih baik dibandingkan siswa perempuan. Adapun kelemahan yang bisa dikemukakan dari pembahasan penelitian ini adalah: 1) Penelitian ini membandingkan superior laki-laki dengan perempuan dalam berpikir kreatif di China, padahal sudah jelas di China laki-laki sudah diunggulkan dalam segala hal sejak jaman dahulu. Perempuan diharuskan untuk selalu tunduk terhadap laki-laki, 2) Penelitian ini hanya dilakukan pada satu daerah saja, sehingga belum mewakili secara keseluruhan, 3) Peserta laki-laki lebih banyak dari perempuan walaupun katanya tidak terlalu signifikan perbedaannya, namun mungkin perbedaan jumlah bisa mempengaruhi hasil.
(Wang, A.Y, 2012)
Navarrete (2013) melakukan penelitian mengenai pengalaman pemikiran kreatif pelajar pada desain game dan pengembangan kursus digital untuk siswa sekolah menengah dan mengembangkan wawasan untuk kreativitas yang melekat dalam merancang dan memproduksi permainan digital interaktif dalam lingkungan belajar tradisional. Metode penelitian yang digunakan studi kasus. Peserta berjumlah 300 siswa kelas 7, 8, 9; Siswa terlibat dalam menciptakan permainan
interaktif
yang
berfokus 33
pada
isu-isu
sosial
kritis
yang
mengintegrasikan daerah konten seperti sains, matematika, dan ilmu sosial; Teknik Pengumpulan Data yang digunakan adalah wawancara, pengamatan, dan permainan. Hasil penelitian: 1) Pada wawancara; siswa berpengalaman cenderung untuk mengidentifikasi proses berpikir kreatif, pemahaman yang melekat, sementara yang yunior, yang lebih konkret ditemukan di seni visual, seperti ekspresi kreatif melalui garis dan warna, dari teknologi yang terlibat dalam penciptaan game, 2) Pengamatan; siswa bekerja pada permainan mereka secara independen tetapi beberapa menyatakan frustrasi jelas ketika kode tidak bekerja seperti yang direncanakan. Namun para siswa diberikan demonstrasi kode dan prosedur melalui proyektor dan siswa berkolaborasi menciptakan game, 3) Banyak game digital yang dihasilkan terkait berbagai isu-isu kontemporer yang ditangani dengan topik tentang pencemaran lingkungan, politik, geng, intimidasi, kehamilan remaja, dll.
Adapun kelemahan yang bisa di jelaskan pada
pembahasan penelitian jurnal ini adalah: bahwa penelitian semacam ini tidak bisa dilakukan di semua tempat, paling tidak persyratan memiliki unit komputer dan pendukung lainnya mutlak harus ada. Lebih lanjut tidak semua sekolah atau perguruan tinggi memiliki unit komputer lengkap dan dukungan listrik yang memadai.
(Navarrete, 2013)
Goclowka, Crisp (20013) melakukan penelitian mengenai paparan manipulasi, fluency, flexibility, dan originality antara stereotip dan
counter-
stereotip. Peserta terdiri dari 67 orang Sarjana, 68% perempuan dan 74% mahasiswa psikologi, sisanya dari jurusan lain dan berumur rata-rata 20 tahun. Prosedur yang dilakukan adalah diberikan pertanyaan dengan skala PNS; kemudian diberikan tiruan mekanik laki-laki atau perempuan, peserta diminta untuk memberikan komentar menggunakan 10 kata sifat tunggal tentang tiruan tersebut. Selanjutnya diminta dua orang petugas yang tidak ada hubungannya dengan peserta perbuat untuk memberikan penilaian karakteristik kreativitas. Hasil penelitian: 1) Dari hasil cek manipulasi diperoleh bahwa peserta lebih banyak yang berpikiran counter-stereotip dibandingkan stereotip, 2) Paparan counter-stereotip individu menimbulkan kelancaran tinggi dibandingkan dengan paparan individu stereotip, 3) Paparan counter-stereotip individu menimbulkan lebih tinggi fleksibilitas, 4) Paparan counter-stereotip individu menimbulkan lebih 34
tinggi fleksibilitas. Kelemahan yang dapat dijelaskan berdasarkan penelitian tersebut adalah: 1) Peneliti tidak bisa menjelaskan dalam penelitian ini dasar awal pemikiran peserta itu memiliki pandangan stereotip atau kontra stereotip atau tidak keduanya, 2) Peneliti mengatakan bahwa yang memberikan efek signifikan pada penelitian ini adalah karena kontra stereotip kurang berdasar.
(Goclow ka, Cris p, 2013)
Bart, Hokanson, Sahin, dan Abdelsames (2015) melakukan penelitian mengenai investigasi perbedaan gender dalam kemampuan berpikir kreatif antara siswa kelas 8 dan 11. Peserta yang diteliti 996 siswa kelas 8 termasuk 503 lakilaki dan 493 perempuan dan 748 siswa kelas 11 termasuk 407 laki-laki dan 341 perempuan. Instrumen yang diberikan berupa kuesioner pribadi umum dan TTCT figural, Form A. memberikan skor lima subyek: (1) Kefasihan, (2) Orisinalitas; (3) Elaborasi; (4) keabstrakan judul; dan (5) Ketahanan terhadap penutupan. Pengumpulan data dilaksanakan peneliti dibantu guru yg memberikan kuesioner dan tes TTCT di tiap sekolah dengan persetujuan orang tua siswa. Hasil penelitian: 1) Bahwa perempuan kelas 8 secara signifikan lebih tinggi dari lakilaki kelas 8 disemua subyek kreativitas kecuali subtes kelancaran, 2) Temuan utama kedua perempuan secara signifikan lebih tinggi daripada laki-laki di antara siswa kelas 11 pada tiga subyek dari kreativitas, yaitu, elaborasi, abstraksi judul, dan ketahanan terhadap penutupan prematur; sedangkan, pria dan wanita mencetak sama dengan baik pada subyek kefasihan dan orisinalitas, 3) Subyek yang memiliki skor tinggi untuk fleksibilitas memiliki homogenitas fungsional yang lebih tinggi di gyrus oksipital superior kiri dan gyrus oksipital tengah kiri; dan homogenitas rendah regional di precuneus kanan, 4) Subyek yang memiliki skor tinggi untuk kelancaran memiliki homogenitas fungsional yang lebih rendah di precuneus kanan.
(Bart, Ho kans on, Sah in, Abdelsamea, 2015)
F. PELUANG PENELITIAN BERIKUTNYA Penelitian selanjutnya yang bisa dilakukan dapat berupa menggabungkan fokus berpikir dengan ide pembangkit kreatif dalam hal ini beberapa penelitian terdahulu ada yang dikenal dengan istilah SCAMPER (Ma, 2006; Lou, Chen, Tsai, Tseng, & Shih, 2012; Moreno, Yang, Hernandez, & Wood, 2014) merupakan metode dengan singkatan dari Substitute, yaitu berpikir mengenai 35
penggantian ide dengan ide yang baru; Combine, yaitu berpikir mengenai penggabungan dua atau lebih ide untuk menghasilkan ide yang baru; Adapt, yaitu berpikir mengenai bagian dari ide yang bisa diadaptasi atau dibuat perubahan dari ide; Modify atau Magnify atau Minimize, yaitu berpikir mengenai penggantian bagian atau seluruh ide, atau mengubahnya dengan cara tidak biasa; Put to other Uses, berpikir mengenai penggunaan ide atau soal untuk keguanaan/ tujuan lain; Eliminate, yaitu berpikir mengenai penghilangan bagian dari ide dan mempertimbangkan yang bisa diperoleh dari situasi tersebut; Reverse/Rearrange, yaitu berpikir mengenai pembalikan urutan atau pengubahan pada suatu ide.
(Ma. H, 2006) (Lou. J, Chen. C, Tsai. Y, Tseng.H, Shih. C, 2012)
(Moreno. P, Yang. C, Hermandez, & Wood. L , 20 14)
Fokus berpikir yang dianjurkan bisa dalam bentuk penyusunan soal (problem posing). Jika fokus berpikir dalam penyusunan soal digabungkan dengan ide pembangkit SCAMPER, maka selanjutnya dapat ditentukan karakteristik berpikir kreatif, tingkatan dari berpikir kreatif fokus berpikir yang digabungkan dengan ide pembangkit SCAMPER. Atau bisa mencari tingkatan baru berpikir kreatif
dalam
penyelesaian
36
soal.
REFERENSI Alder. (2002). Boost Your Creative Intelligence; Powerful Ways to Improve Your Creativity Quotient. London: British Library Cataloguing in Publication Data. Amier. (2015). Analytical Thinking. Cairo: Center for Advancement of Postgraduate Studies and Research in Engineering Science, Faculty of Engineering - Cairo University (CAPSCU). Aquarius Learning. (2015, Desember 6). Rahasia Sukses Dengan Berpikir Kreatif. Diambil kembali dari Aquaries Resources: http://aquariuslearning.co.id/rahasia-sukses-dengan-berpikir-kreatif/ Bart, Hokanson, Sahin, Abdelsamea. (2015). An Investigation of the Gender Differences in Creative Thinking Abilities Among 811 and 11th Grade Students. Thinking Skills and Creativity 17, 17 - 24. Chesters. (2012). The Socratic Classroom; Reflective Thinking Trough Collaborative Inquiry. Rotterdam: Scase Publishers. Enyinna. (2013). Success Without Brain For Entrepreneurs - Human Development and Finance. -: Xlibris Publishing.co.uk. Gabora, I. (2002). Cognitive Mechanism Underlying The Creative Process. T. Hewett and T. Kavanagh (Eds). Fourth International Conference on Creativity and Cognition, October 13-16 (hal. 126-133). UK: Loughborough University. Goclowka, Crisp. (2013). On Counter - Stereotypes and Creative Cognition: When Interventions for Reducing Prejudice Can Boost Divergent Thinking. Thinking Skills and Creativity 8, 72 - 79. Guilford. (1971). Characteristics of Creativity. State of Illinois: Illinois State Office of the Superintendent of Public Instruction, Springfield. Gifted Children Section. Herring,S.R, Jones,B.R, & Bailey,B.P. (2009). Idea Generation Technologies Among Creative Professionals . Procedings of the 42nd Hawai International Coferences on System Sciences, 17-20 Mei (hal. 1-10). Macca, Honolulu, HI, USA: HI, USA. Jha, A. K. (2012). Creative Epistemology and Creative Pedagogy: Implication for Creative Mathematics Education. The 8th Global Conference on Creative
37
Engagements: Thinking with Children (hal. 1-10). Oxford, UK: Mansfield College. Kamplis & Berki. (2014, December 6). Nurturing Creative Thinking. Diambil kembali dari International Academy of Education - International Bureau of Education: (http://www.iaoed.org) (http://www.ibe.unisco.org/publications.htm) Krulik,S., & Rudnick,J.A., & Milou,E. (2003). Teaching Mathematics in Middle School: A Practical Guide. USA: Pearson Education. Lee, K. H. (2005). The Relationship Between Creative Thinking Ability and Creative Personality of Preschoolers. International Educational Journal 6 (2), 194-199. Lou. J, Chen. C, Tsai. Y, Tseng.H, Shih. C. (2012). Using Blended Creative Teaching: Improving a Teacher Education Course on Designing Materials for Young children. Australasian Journal of Educational Technology (5) 28, 776 - 792. Ma. H. (2006). A Synthetic Analysis of the Effectiveness of Single Components and Packages in Creativity Training Program. Creativity Research Journal Vol. 18 No. 4, 435 - 446. McGregor. (2007). Developing Thinking Learning A Guide to Thinking Skill in Education. New York: Open University Press. Meintjes,H., & Grosser,M. (2010). Creative Thinking in Prospective Teacher The Status Quo and The Inpact of Contextual Factors. South African Journal of Education, 30, 361-386. Moreno. P, Yang. C, Hermandez, & Wood. L . (2014). Creativity in Transactional Design Problems: Non- Intuitive Findings of An Expert Study Using SCAMPER. International Design Conference- Design Dubrovnik- Crotia, May 19 - 24, 1-10. Navarrete, C. (2013). Creative Thinking in Digital Game Design and Development: a Case Studi. Computer & Education 69, 320 - 331. Siswono, T. E. Y. (2007). Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika. Disertasi Tidak Diterbitkan. Surabaya: Pascasarjana Negeri Surabaya.
38
Torrance. (2002). The Manifesto: a Guide to Developing a Creative Carear. British: Library of Conggress Catalog-in-Publication Data. Wang, A.Y. (2012). Exploring The Relationshio of Creative Thinking to Reading and Writing. Thinking Skills and Creativity 7, 38 - 47. Ward, T. B. (2007). Creative Cognition as a Window on Creativity. Methods International Journal, 28-37.
39
BAB III BERPIKIR REFLEKTIF
Oleh : Anies Fuadi
Universitas Negeri Malang
40
BAB – III
BERFIKIR REFLEKTIF
A. PENDAHULUAN Dalam mempelajari matematika orang harus berpikir agar ia mampu memahami
konsep-konsep
matematika
yang
dipelajari
serta
mampu
menggunakan konsep-konsep tersebut secara tepat ketika ia harus mencari jawaban bagi berbagai soal matematika. Berfikir berasal dari kata „pikir‟ yang berarti akal budi, ingatan, angan- angan. ( Sunaryo, 2011) berpendapat berfikir artinya menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menimbang-nimbang dalam ingatan. Menurut Dewey (1933) berpikir merupakan proses yang menghasilkan representasi mental yang baru melalui transformasi informasi yang melibatkan informasi yang kompleks antara berbagai proses mental, seperti penilaian, abstraksi, penalaran, imajinasi, dan pemecahan masalah. Krulik
(2003)
“Higher
logical, reflective thinking,
order
metacognitive,
thinking skills include critical, and
creative thinking “
bahwa berfikir tingkat tinggi meliputi kritis, logis, berfikir reflektif, matakognisi dan berfikir kreatif. . Rodgers (2002) mendefinisikan karakteristik berfikir tingkat tinggi sebagai berikut: a. Berfikir tingkat tinggi bersifat non-algoritmik. Artinya, urutan tindakan itu tidak dapat sepenuhnya ditetapkan terlebih dahulu. b. Berpikir tingkat tinggi cenderung kompleks. Urutan atau langkahlangkah keseluruhan itu tidak dapat “dilihat” hanya dari satu sisi pandangan tertentu. c.
Berpikir tingkat tinggi sering menghasilkan multisolusi, setiap solusi memiliki kekurangan dan kelebihan.
d. Berpikir tingkat tinggi melibatkan pertimbangan yang seksama dan interpretasi e. Berpikir tingkat tinggi melibatkan penerapan multikriteria, sehingga kadang-kadang terjadi konflik kriteria yang satu dengan yang lain. 41
f.
Berpikir tingkat tinggi sering melibatkan ketidakpastian. Tidak semua hal yang berhubungan dengan tugas yang sedang ditangani dapat dipahami sepenuhnya.
g. Berpikir tingkat tinggi melibatkan pengaturan diri dalam proses berpikir. h. Berpikir tingkat tinggi melibatkan penggalian makna, dan penemuan pola dalam ketidakberaturan. i.
Berpikir tingkat tinggi merupakan upaya sekuat tenaga dan kerja keras.
Berfikir tingkat tinggi salah satunya adalah berfikir reflektif. Berpikir reflektif adalah serangkaian langkah-langkah rasional logis berdasarkan metode ilmiah mendefinisikan, menganalisis, dan memecahkan masalah.(Wikiversity). John Dewey (1933) mendefinisikan berfikir reflektif yaitu “active, persistent, and careful consideration of any belief or supposed from of knowledge in the light of the grounds that support it and the conclusion to which it tends” . Bahwa berfikir reflektif adalah sesuatu yang dilakukan dengan aktif, gigih, dan penuh pertimbangan keyakinan didukung oleh alasan yang jelas dan dapat membuat kesimpulan/memutuskan sebuah solusi untuk masalah yang diberikan. Taggart (2005) mendefinisikan berfikir reflektif adalah proses membuat informasi dan membuat keputusan yang logis tentang pendidikan, kemudian menilai keputusan itu. Menurut Lipman (2003), kemampuan berfikir reflektif adalah
kemampuan untuk berpikir dengan perhatian pada asumsi (hipotesis
unsur-unsur yang dikenal) dan implikasinya didasarkan pada alasan atau bukti untuk mendukung kesimpulan. Sezer (2008) dalam Chee (2012:168) menyatakan bahwa berpikir reflektif didefinisikan sebagai kesadaran tentang apa yang diketahui dan apa
yang
dibutuhkan,
hal
ini
sangat penting untuk
menjembatani kesenjangan situasi belajar. Gurol (2011) mendefinisikan berpikir reflektif sebagai proses kegiatan terarah dan tepat dimana individu menganalisis, mengevaluasi, memotivasi, mendapatkan makna yang mendalam, menggunakan strategi pembelajaran yang 42
tepat. Dengan demikian berfikir reflektif itu untuk mendapatkan jawaban dengan cara yang tepat. Gurol (2011) juga berpendapat bahwa berfikir reflektif itu penting bagi guru dan siswa. Tetapi pada kenyataannya berfikir reflektif kurang mendapat perhatian yang serius dari guru, guru hanya mementingkan jawaban akhir yang diperoleh oleh siswa tanpa memperhatikan bagaimana jawaban siswa itu diperoleh. Berfikir reflektif menurut penulis adalah proses dengan menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki dan yang sedang dipelajari dalam menganalisa masalah , mengevaluasi , menyimpulkan dan memutuskan penyelesaian terbaik terhadap masalah yang diberikan.
B. KARAKTERISTIK BERFIKIR REFLEKTIF Boody (2008), Hamilton (2005), Schon (1987) dalam Schon (2012) menjelaskan tentang karakteristik dari dari berpikir reflektif sebagai berikut : a. Refleksi sebagai analisis retrospektif atau mengingat kembali (kemampuan untuk menilai diri sendiri). Guru dalam pendekatan retrospektif ini dapat merefleksikan pemikirannya untuk menggabungkan pengalaman sebelumnya dan bagaimana dari pengalaman tersebut berpengaruh dalam praktek mengajar dikelas b. Refleksi sebagai proses pemecahan masalah (kesadaran tentang bagaimana seseorang belajar). Diperlukannya mengambil langkah-langkah untuk menganalisis dan menjelaskan masalah sebelum mengambil tindakan. c. Refleksi kritis pada diri (mengembangkan perbaikan diri secara terus menerus).
Refleksi
kritis
dapat
dianggap
sebagai
proses
analisis,
mempertimbangkan kembali dan mempertanyakan pengalaman dalam konteks yang luas dari suatu permasalahan. d. Refleksi pada keyakinan dan keberhasilan diri. Keyakinan lebih efektif dibandingkan dengan pengetahuan dalam mempengaruhi seseorang pada saat 43
menyelesaikan tugas maupun masalah. Selain itu, keberhasilan merupakan peran yang sangat penting dalam menentukan praktik dari kemampuan berpikir reflektif Menurut Santrock (2010) dalam Suharna (2013:147), siswa yang memiliki gaya reflektif cenderung menggunakan lebih banyak waktu untuk merespons dan merenungkan akurasi jawaban. Individu reflektif sangat lamban dan berhati-hati dalam memberikan respons, tetapi cenderung memberikan jawaban secara benar. Siswa yang reflektif lebih mungkin melakukan tugas-tugas seperti mengingat informasi yang terstruktur, membaca dengan memahami dan menginterpretasikan teks, memecahkan masalah dan membuat keputusan. Selain itu, siswa yang reflektif juga mungkin lebih menentukan sendiri tujuan belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan. Dan biasanya memiliki standar kerja yang tinggi Proses berpikir reflektif tidak tergantung pada pengetahuan siswa semata, tapi proses bagaimana memanfaatkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Jika siswa dapat menemukan cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi sehingga dapat mencapai tujuannya maka siswa tersebut telah melakukan proses berpikir reflektif. Pada dasarnya berpikir reflektif merupakan sebuah kemampuan siswa dalam menyeleksi pengetahuan yang telah dimiliki dan tersimpan dalam memorinya untuk menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi untuk mencapai tujuan-tujuannya. Menurut John Dewey (1933) proses berpikir reflektif yang dilakukan oleh individu akan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : a) Individu merasakan problem. b) Individu melokalisasi dan membatasi pemahaman terhadap masalahnya. c) Individu menemukan hubungan-hubungan masalahnya dan merumuskan hipotesis pemecahan atas dasar pengetahuan yang telah dimilikinya d) Individu mengevaluasi hipotesis yang ditentukan, apakah akan menerima atau menolaknya.
44
e) Individu menerapkan cara pemecahan masalah yang sudah ditentukan dan dipilih, kemudian hasilnya apakah ia menerima atau menolak hasil kesimpulannya Mezirow (2011) dalam Suharna (2013 : 281) mengemukakan
empat
tahap berpikir reflektif prespektif teoritis yaitu tindakan kebiasaan, pemahaman, refleksi dan kritis. Tindakan kebiasaan adalah kegiatan otomatis yang dilakukan dengan pikiran. Pemahaman adalah belajar dan membaca tanpa terkait dengan situasi lain. Refleksi menyangkut pertimbangan aktif, gigih dan hati-hati dari setiap asumsi atau keyakinan didasarkan pada keadaan seseorang. Refleksi kritis dianggap sebagai tingkat yang lebih tinggi dari pemikiran reflektif yang menyebabkan seseorang menjadi lebih sadar bagaimana melihat suatu masalah, cara merasakan suatu masalah, bertindak dan penyelesaian suatu masalah. Dewey (1933) membagi pemikiran reflektif menjadi tiga situasi berikut : “…. Dewey divides reflective thinking into three situations as follows: The prereflective situation, a situation experiencing perplexity, confusion, or doubts; the post-reflective situation, a situation in which such perplexity, confusion, or doubts are dispelled; and the reflective situation, a transitive situation
from
the
pre-reflective situation to the post-reflective situ- ation…”. Situasi pre-reflektif yaitu situasi yang menunjukkan kebingungan atau keraguan, pasca-reflektif yaitu situasi yang menunjukkan bahwa kebingungan atau keraguan itu mendapatkan jawaban, reflektif yaitu situasi peralihan dari situasi pre-reflektif ke situasi pascareflektif. Dewey (1933) mengemukakan bahwa komponen berpikir reflektif (reflective thinking) adalah kebingungan (perplexity) dan penyelidikan (inquiry). Kebingungan adalah situasi dimana ketidakpastian tentang sesuatu yang sulit untuk dipahami dan dimengerti yang kemudian menantang pikiran untuk melakukan perubahan dalam pikiran dan keyakinan seseorang. Penyelidikan adalah
bagaimana mengarahkan
kepada pikiran untuk berfikir secara terarah.
Dengan membiarkan kebingungan dan penyelidikan terjadi pada saat yang sama, perubahan perilaku seseorang dapat terlihat, demikian juga sebaliknya jika pemikiran reflektif adalah kebiasaan yaitu kebingungan (perplexity) dan
45
penyelidikan (inquiry),
maka seseorang akan ada perubahan perilaku yang
mungkin (Dewey,1933). Dewey (1933) mengemukakan tentang peran berpikir reflektif bagi guru bahwa : “… reflective thought brings two challenges. First, teachers must be observers of all that concerns the students in their classrooms. They must know all of the conditions that could make things better or worse for the students as well as the consequences of those conditions. Second, teachers must also know about the school organization and about the atmosphere surrounding a child's learning…”. Berfikir reflektif memberikan dua tantangan bagi guru. Pertama, bahwa guru harus menjadi pengamat bagi semua siswa di dalam kelas. Guru harus mengetahui semua kondisi yang membuat siswa menjadi lebih baik atau lebih buruk dan mengetahui akibat dari dua kondisi tersebut. Kedua, para guru harus tahu tentang organisasi sekolah dan kondisi lingkungan sekitar tempat siswa-siswi belajar. Kemampuan berfikir reflektif pada anak dimulai ketika mereka berumur 7 tahun, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Inhaler dan Piaget dalam Skemp (1982). Menurut hasil penelitian mereka bahwa anak dapat mengembangkan proses berfikir reflektif ketika anak itu berusia 7 tahun, dimana anak sudah bisa menceritakan kembali apa yang pernah dilakukan atau yang dialaminya. Terjadinya proses berfikir reflektif menurut Skemp (1982) dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Bagan Berfikir Reflektif
46
Gambar 1. menunjukkan berfikir reflektif pada seseorang terjadi ketika merespon
atau menanggapi informasi atau rangsangan dari luar, informasi
tersebut kemudian diteruskan kepada aktivitas mental. Pada proses tersebut terjadi suatu permasalahan dan membutuhkan informasi yang dimiliki sebelumnya untuk menyelesaikan masalah tersebut. Informasi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah berasal dari dalam diri (internal), bisa menjelaskan apa yang dilakukan, menyadari kesalahan dan memperbaikinya (jika terdapat kesalahan), dan mengkomunikasikan dengan ide atau gambar, selanjutnya merespon persoalan atau masalah yang bersifat eksternal
sebagai
efek
dari
suatu berpikir
reflektif, dan hal tersebut terus berulang sampai permsalahan atau persoalan dapat terselesaikan. Sementara
itu
Len
dan
Kember (2008: 578) mengungkapkan
berdasarkan Mezirow’s theorical framework
bahwa berpikir reflektif dapat
digolongkan ke dalam 4 tahap yaitu: 1. Habitual Action (Tindakan Biasa). Habitual Action didefinisikan „… a mechanical and automatic activity that is performed with little conscious thought’, yaitu kegiatan yang mekanis dan otomatis dapat ditunjukkan dengan sekit pemikiran yag disengaja 2. Understanding (Pemahaman). Pemahaman yang dimaksud yaitu siswa belajar memahami situasi yang terjadi tanpa menghubungkannya dengan situasi yang lain. 3. Reflection (Refleksi). Refleksi yaitu aktif terus-menerus, gigih, dan mempertimbangkan dengan seksama tentang segala sesuatu yang dipercaya kebenarannya yang berkisar pada kesadaran siswa 4. Critical Thinking (Berpikir Kritis). Berpikir kritis merupakan tingkatan tertinggi dari proses berpikir reflektif yang melibatkan siswa, dengan mengetahui secara mendalam alasan seseorang untuk merasakan berbagai hal. Pada tahap ini siswa mampu memutuskan dan memecahkan penyelesaian.
47
Menurut King dan Kitchener dalam (Wowo:2011) ada tujuh tahap dalam berpikir reflektif, berikut penjelasannya disajikan dalam bentuk tabel 1 : Tabel 1 Model Tujuh Tahap Berpikir Reflektif menurut King dan Kitchener Berpikir pra-reflektif Tahap 1
Mengetahui keterbatasan dalam pengamatan konstruksi tunggal; apa yang diamati orang adalah benar. Perbedaan yang tidak disadari.
Tahap 2
Untuk mengetahui dua kategori jawaban benar dan salah. Jawaban benar dikatakan memiliki pengetahuan baik; dan jawaban salah dikatakan memiliki pengetahuan kurang. Perbedaan bisa diselesaikan melalui penambahan informasi yang lebih lengkap.
Tahap 3
Pada beberapa wilayah, pengetahuan tertentu telah dicapai,di wilayah lain untuk sementara telah pasti, keyakinan pribadi dapat diketahui.
Berpikir kuasi Tahap 4
refleksi Pengetahuan tidak dikenal dalam beberapa konsep kasus spesifik, dapat menyebabkan generalisasi abstrak tidak pasti. Pembenaran pengetahuan memiliki diferensiasi buruk.
Tahap 5
Pengetahuan tidak pasti harus dipahami dalam konteks tertentu, dengan demikian pembenaran spesifik konteks. Pengetahuan dibatasi oleh sudut pandang orang yang tahu.
Tahap 6
Pengetahuan tidak pasti, tapi dibangun dengan membandingkan bukti dan pendapat dari sisi yang berbeda serta konteksnya
Tahap 7
Pengetahuan adalah hasil dari suatu proses penyelidikan yang sistematis. Prinsip ini setara dengan prinsip umum di seluruh ranah. Pengetahuan bersifat sementara
48
Sabandar
(2012)
mengungkapkan
bahwa
untuk
memberdayakan
kemampuan berpikir reflektif adalah dengan memberikan tanggapan terhadap hasil jawaban siswa dalam menyelesaikan soal, karena pada saat menyelesaikan soal itu mereka sedang termotivasi dan senang dengan hasil yang dicapai, maka rasa senang dan termotivasi ini harus tetap dipertahankan dengan memberikan tugas baru kepada siswa, yaitu sebagai berikut: a. Menyelesaikan masalah dengan cara yang lain. Menyelesaikan masalah dengan cara yang lain, sesungguhnya dimungkinkan, karena guru dengan sengaja atau tidak sengaja sudah memilih soal yang penyelesaiannya dapat diperoleh dengan berbagai cara (strategi), ataupun beragam jawaban. Selain itu, hal ini amat direkomendasikan, dikarenakan konsep-konsep di dalam matematika saling terkait, dan kemampuan koneksi matematika siswa juga perlu mendapat kesempatan untuk dikembangkan. Hal ini mencerminkan betapa kayanya matematika, dan dapat diharapkan menimbulkan kekaguman atau apresiasi (disposisi siswa) terhadap matematika.Tuntutan bagi siswa untuk menyelesaikan soal itu dengan cara lain, sesungguhnya agar melatih siswa untuk berpikir kreatif serta memberdayakan pengetahuan serta pengalaman mereka. b. Mengajukan pertanyaan “bagaimana jika ...?” sesungguhnya memberi peluang untuk siswa kreatif dalam menciptakan strategi dan soal-soal baru dengan mengacu pada soal yang tadi diselesaikannya. Misalnya, informasi pada soal semula diganti, ditambah atau dikurangi. Soal ini juga dapat merupakan tantangan baru bagi siswa dan mereka harus menganalisisnya. Disini mereka selain kreatif, mereka juga akan kritis, untuk memastikan apakah informasi yang dikurangi atau ditambahkan itu dapat mempengaruhi terdapat tidaknya solusi, atau malahan akan memunculkan soal-soal yang benar-benar baru atau bersifat tidak rutin. c. Mengajukan pertanyaan “apa yang salah”. “Apa yang salah” merupakan pertanyaan yang memberi peluang untuk siswa menggunakan kemampuan berpikir kritis, misalnya menemukan kesalahan, ketika kepada mereka disajikan suatu situasi konflik, ataupun solusi yang mengandung kesalahan
49
apakah secara konsep atau perhitungan. Tugas siswa adalah untuk menemukan kesalahan itu serta memperbaikinya, dan kemudian menjelaskan apa yang salah , mengapa salah. d. Mengajukan pertanyaan “apa yang kamu lakukan”. “Apa yang akan kamu lakukan” termasuk suatu pertanyaan yang menstimulasi berpikir kreatif. Karena disini aspek tantangannya kuat sekali. Siswa diminta untuk membuat suatu keputusan, yang didasarkan pada ide individu ataupun pada pengalaman individu. Siswa harus menganalisis situasi kemudian membuat keputusan. Siswa dapat diminta untuk, dalam satu alinea mengungkapkan secara tertulis apa yang dipikirkannya. Roger (2002) mengungkapkan kembali pendapat Dewey
tentang
kriteria berpikir reflektif sebagai berikut: a) Refleksi adalah proses bermakna yang memindahkan pembelajar dari suatu pengalaman ke pengalaman selanjutnya dengan pemahaman yang lebih mendalam tentang hubungannya dengan pengalaman dan ide yang lain. b) Refleksi adalah cara berpikir yang sistematik, tepat disiplin dengan akarakarnya dalam penyelidikan ilmiah. c) Refleksi pasti terjadi dalam masyarakat, dalam interaksi dengan yang lain. d) Refleksi memerlukan sikap yang menilai pribadi dan pertumbuhan intelektual dari seseorang dan orang lain. Dewey dalam Choy (2012) juga mengungkapkan tiga sumber asli yang wajib untuk berpikir reflektif, yaitu: 1. Curiosity (Keingintahuan) Hal ini lebih kepada cara-cara siswa merespon masalah. Curiosity merupakan keingintahuan seseorang akan penjelasan fenomena-fenomena yang memerlukan jawaban fakta secara jelas serta keinginan untuk mencari jawaban sendiri terhadap soal yang diangkat. 2. Suggestion (Saran) Suggestion merupakan ide-ide yang dirancang oleh siswa akibat pengalamannya. Saran haruslah beraneka ragam (agar siswa mempunyai pilihan
50
yang banyak dan luas) serta mendalam (agar siswa dapat memahami inti masalahnya). 3. Orderlinnes (Keteraturan) Dalam hal ini
siswa harus mampu merangkum ide-idenya untuk
membentuk satu kesatuan. Terdapat lima komponen yang berkenaan dengan kemampuan berpikir reflektif, menurut (Kusumaningrum: 2010) diantaranya adalah: a. Recognize or felt difficulty problem, mengenali atau merasakan kesulitan suatu masalah. Masalah mungkin dirasakan siswa setelah siswa membaca data pada soal. Kemudian siswa mencari cara untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Pada langkah ini, siswa mengenali adanya permasalahan dan mengidentifikasinya. b. Location and definition of the problem, membatasi dan merumuskan masalah. Langkah ini menuntun siswa untuk berpikir kritis. Berdasarkan pengalaman pada langkah pertama tersebut, siswa mempunyai masalah khusus yang merangsang pikirannya, dalam langkah ini siswa mencermati permasalahan tersebut dan timbul upaya mempertajam masalah. c. c. Suggestion of possible solution, mengajukan beberapa kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan.
Pada
langkah
ini,
siswa
mengembangkan berbagai kemungkinan dan solusi untuk memecahkan masalah yang telah dibatasi dan dirumuskan tersebut, siswa berusaha untuk menyelesaiakn masalah itu. d. Rational elaboration of an idea, mengembangkan ide untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan. Siswa mencari informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut, dalam langkah ini siswa memikirkan dan merumuskan penyelesaian masalah dengan mengumpulkan data-data pendukung. e. Test and formation of conclusion, melakukan tes untuk menguji solusi pemecahan masalah dan menggunakannya sebagai bahan pertimbangan membuat
kesimpulan.
Siswa
menguji
51
kemungkinan
dengan
jalan
menerapkannya untuk memecahkan masalah sehingga siswa menemukan sendiri keabsahan temuannya. C. CONTOH
BERPIKIR
REFLEKTIF
SISWA
DALAM
pekerjaan
siswa dalam
MENYELESAIKAN MASALAH ALJABAR Menurut
Suharna, dkk (2013), berikut
ini
hasil
menyelesaikan masalah aljabar dengan kode R1 sampai R10
Dalam masalah terlihat dimengerti
menyelesaikan
masalah aljabar, pada saat memahami
bahwa
menggambarkan masalah
siswa
masalah
agar
menjelaskan
digambarkan.
agar
mudah
atau mudah dipahami. Hal ini terlihat dari kerja siswa pada
dengan menggambarkan/ mengilustrasikan mudah
:
difahami Data
dan R2 berusaha
tersebut
aljabar apa
R1
lebih dahulu yang
sudah
diperkuat dengan petikan wawancara, ketika
52
peneliti bertanya
“apa sih maunya soal
ini?”, subjek menjawab “iya kan
gini, pak Hery punya kebun berbentuk persegi panjang, terus kebunya itu di bagi menjadi dua bagian yang sama selanjutnya pak Hery ingin memagari kebun yang sudah dibagi itu dengan kawat berduri”. Selanjutnya peneliti menanyakan perkerjaan selanjut- nya, subjek menjawab “terus pak Hery memiliki kawat berduri sepanjang 1.500 meter”. Pada
tahap
memikirkan
pada dan R2 dan R1
rencana terlihat bawa dengan menggambar
siswa menghitung dengan cara memisalkan x ada 3 dan y
ada 2, dengan demikian untuk mengetahui kelilingnya subjek menjumlahkan panjang x dan y . Informasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara, ketika peneliti bertanya “apa yang akan kamu lakukan?” Subjek menjawab “saya misalkan lebar : x
dan panjangnya saya misalkan panjangnya: y ”, peneliti
bertanya lebih lanjut “kenapa kok dimisalkan seperti itu?” subjek menjawab “supaya, gampang menjawab soalnya”.
Berdasarkan
data
tersebut, subjek
berusaha meyakinkan deangan apa yang akan dilakukan pada masalah aljabar. Cara yang digunakan adalah menggambar dan memisalkan sisi-sisinya dengan x dan y . Selanjutnya pada tahap melaksanakan penyelesaian
terlihat
pada
R3
subjek meyakinkan dengan melakukan perhitungan, demikian juga dengan R4
subjek melakukan perhitungan untuk meyakinkan dengan
dikerjakan. Demikian juga dengan sudah
benar,
mengganti
R5
jawaban
dianggapnya benar, R8
subjek
R4
apa
yang
mengklarifikasi apakah jawaban
melakukan klarifikasi dengan cara menghitung, R6 dengan R7
yang
subjek
sudah ditulis dengan jawaban yang
tidak
yakin
dengan jawabannya,
dan
berusaha menjeleaskan walaupun jawabannya sudah diklarifikasi.
Informasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara, “selanjutnya gimana” subjek menjawab “dari gambar kan
kelihatan
kelilingnya 3x + 2y = 1.500,
peneliti menanyakan lebih lanjut “kenapa kok dicoret-coret?”, subjek menjawab “tadi saya salah menghitung dan salah menggambar”, peneliti juga bertanya “kenapa kok dicoret-coret?” dan subjek menjawab “tadi saya salah menghitung dan salah menggambar”.
53
Pada
tahap
berusaha menjelaskan kode R9
kembali terlihat
apa
telah
yang
setelah memeriksa
memperbaikinya akan
memeriksa
dilakukan.
kembali
yang terlihat pada R9 Data
pada
R8
subjek
dilakukan untuk mengecek jawaban, pekerjaan , dan
R10
di R6 ternyata subjek meyakinkan apa yang
tersebut diperkuat ketika peneliti bertanya “hasil
akhir untuk soal a) kenapa di coret?” subjek menjawab “iya saya lupa tadi saya liat lagi ternya yang di tanya kelilingnya. Kelilingnya diperoleh dari 3x + 2y = 1.500
kan
bisa
diperoleh y =
D. HASIL PENELITIAN TERDAHULU Penelitian yang berhubungan dengan berpikir reflektif siswa dalam memecahkan masalah matematika, dilaporkan peneliti sebagai berikut: 1. Penelitian dalam jurnal yang dilakukan oleh Hery Suharna, Toto Nusantara, Subanji dan Santi Irawati pada tahun 2013 ( Universitas Negeri Malang, Universitas Khairun). Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan alur berpikir reflektif calon guru (mahasiswa) dalam menyelesaikan masalah matematika. Dimana pada penelitian ini, lebih banyak menjelaskan tentang pengertian dari berpikir reflektif termasuk macam dari berpikir reflektif, kelebihan dan manfaatnya jika diterapkan dalam bidang pendidikan. Selain itu, penelitian ini mendiskripsikan jawaban siswa mulai dari tahap perencanaan dalam mengerjakan hingga kesimpulan yang benar dan sudah diteliti berulang kali oleh subjek penelitian. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa Universitas Malang. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 1 orang, namun dalam menjelaskannya secara terperinci. Masalah yang diberikan berkaitan dengan materi aljabar. Hasil penelitian menujukkan bahwa subjek sangat berhati-hati dalam menyelesaikan masalah dan menujukkan bahwa dia memiliki kemampuan berpikir reflektif. 2. Penelitian dalam jurnal yang dilakukan oleh Jozua Sabandar pada tahun 2011. (Prodi Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana UPI) .Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tentang keterampilan berpikir pada level tinggi
54
terutama berpikir reflektif untuk menemukan cara dalam menyelesaikan masalah dalam pembelajaran matematika. Peneliti lebih menekankan proses belajar sehingga menghadirkan kegiatan berpikir dengan perlunya suatu latihan yang diberikan kepada siswa. Selain itu, peneliti juga memberikan alternatif lain dalam penelitian ini yaitu memberikan pertanyaan selama proses penyelesaian masalah supaya siswa dilatih untuk berpikir jika dihadapkan
pada
situasi
atau
masalah
yang
menantang.
Peneliti
menghubungkan berpikir kritis dan berpikir kreatif dalam kemampuan berpikir reflektif. Materi yang diberikan kepada siswa dalam penelitian ini adalah aljabar, seperti soal cerita, mencari koefisien, dan lainnya. 3. Penelitian yang dilakukan Zuhal Guvenc (MEd) Ministry of National Education Teacher Denizli Turkey dan Assist. Prof.Dr. Kazim Celik (Ph.D.) Pamukkale University Faculty of Education Denizli Turkey pada tahun 2011 di Turki. Penelitian ini judulnya The Relation Between The Reflective Thinking Skills And Emotional Intelligences Of Class Teacher. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap hubungan antara kecerdasan emosional guru kelas dengan keterampilan berfikir dan mengukur sejauh mana pengaruh emosional terhadap keterampilan berfikir. Fokus penelitian ini dilakukan pada 293 guru kelas sekolah dasar negeri tahun ajaran 2010-2011. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara ketrampilan berfikir reflektif dengan kecerdasan emosional dilahat dari jenis kelamin, latar belakang pendidikan, dan jumlah siswa dari guru kelas itu, tetapi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap senioritas. 4. Penelitian yang dilakukan oleh Fariba, Fatin dan Hamidreza dari Universitas Teknilogi Malaysia. Penelitian ini berjudul Measuring Teachers Reflektive Thinking Skills. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur keterampilan berfikir reflektif guru dengan cara mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan berfikir guru dan bagaimana cara meningkatkan keterampilan berfikir reflektif guru. Penelitian ini menggunakan desain Open Enden Quisioner dan wawancara. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa untuk mengukur
55
keterampilan berfikir reflektif dapat diketahui dengan melalui pengamatan, penilaian, komunikasi, pengambilan keputusan dan kerja tim. 5. Penelitian yang dilakukan oleh Lia Kurniati dari UIN Syarif Hidayatullah. Penelitian ini judulnya Developing Mathematical Reflektive Thinking Skills Through Problem Based Learning. Penelitian ini dilatar belakangi oleh keprihatinan karena banyak mahasiswa/calon guru malas “berfikir”, mereka cenderung untuk menjawab pertanyaan dengan mengutip buku tanpa melakukan pengecekan atau menganalisis jawabannya. Penelitian ini dilakukan kepada calon guru dengan menggunakan model Problem Based Learning. Desain penelitian ini dengan cara mempelajari dan mengkaji jurnal dan buku. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa mengembangkan berfikir reflektif penting untuk mahasiswa karena mendorong mereka untuk memecahkan masalah didasarkan pengetahuan sebelumnya dengan alasan yang logis dan membuat keputusan dengan mempertimbangkan barbagai aspek 6. 6. Penelitian yang dilakukan oleh S.Chee Choy, Ph.D dan Pou San Oo, Ph.D dari Tunku Abdul Rahman College, Malaysia. Dengan judul : Reflective Thinking And Teaching Practice : A Precursor For Incorpprating Critical Thinking Into The Class . Penelitian ini dilatar belakangi untuk mengetahui hubungan berfikir reflektif dan kemampuannya berfikir kritis, dimana berfikir reflektif dapat merangsang untuk berfikir kritis bagi seorang guru. Penelitian ini dilakukan di Malaysia, dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa sebagian besar guru tidak melaksanakan berfikir reflektif dan menunjukkan hal yang minimal terhadap berfikir kritis dalam praktek mengajar 7. Penelitian yang dilakukan oleh Sendil Can dari Mugla Sitki Kocman University, Faculty of Education, Mugla, Turkey. Dengan judul : Pre-Service Science Teachers Reflective Thinking Skills Toward Problem Solving. Penlitian ini dilatar belakangi untuk menyelidiki kemampuan berfikir reflektif guru terhadapa pemecahan masalah dan juga untuk mengetahui efek dari jenis kelamin, tingkat kelas dan prestasi akademik, tingkat pendidikan ibu, tingkat pendidikan ayah terhadap berfikir reflektif guru. Penelitian ini fokusnya pada
56
guru dan menggunakan metode survai, dengan instrument penelitian menggunakan skala keterampilan berfikir reflektif . hasil dari penelitian ini yaitu bahwa kemampuan berfikir reflektif guru terhadap pemecahan masalah rendah dan jenis kelamin, tingkat kelas, prestasi akademik, dan tingkat pendidikan ibu tidak berpengaruh signifikan terhadap berfikir reflektif guru terhadap pemecahan masalah, tetapi tingkat pendidikan ayah berpengaruh signifikan terhadap berfikir reflektif guru terhadap pemecahan masalah. 8. Penelitian yang dilakukan oleh Zaid Odeh dari Near East University Turkey. Dengan judul : Reflektive Practice And Its Role In Stimulating Personal And Professional Growth
. Penelitian ini dilatar belakangi untuk meneliti
kesadaran dan penerapan berfikir reflektif oleh guru dan juga untuk mengetahui variable gender, pengalaman dan tingkat pendidikan terhadap mengajar reflektif. Penelitian ini menggunakan kuisioner, dengan 60 guru sebagai responden . Dimana terdiri dari 9 guru laki-laki dan 51 guru wanita, dengan pendidikan 26 bergelar BA dan 34 bergelar MA. Pengalaman mengajar para guru mulai 1-20 tahun dan focus penelitian ini pada guru yang terdapat di negara Turki. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jenis kelamin, tingkat pendidikan ternyata tidak signifikan berpengaruh terhadap praktek reflektif guru dikelas.
57
REFERENSI Chee & Pou. 2012. Reflective Thinking And Teaching Practices : A Percusor For Incorporating Critical Thinking Into The Classroom ?. International Journal Of Interaction. Vol. 5. No.1 (e-ISSN: 1308-1470) Choy & Cheah. 2012. Teacher Perceptions Of Critical Thinking Among Students And Its Influence On Higher Education. International Journal of Teaching and Learning in Higher Education. 20(12), 196-204 Dewey, J. 1933. How We Think : A Restatement of The Relation of Reflective Thinking to The Educative Process. Boston, MA: D.C. Heath and Company Guroll, A. 2011. Determining The Reflective Thinking Skills of Pre- Service Teacher in Learning and Teaching Process. Energy Education Science and Technology Part B : Social and Educational Studies. Volume (issue) 3(3) : 387-402 Kember, D.Y.P & Kember, D. 2003. The Relationship Between Approaches to Learning and Reflection Upon Practice. Educational Psychology, 23(1), 61-67 Krulik, S & Milou, E. 2003. Teaching Mathematics in Middle School A Practical Guide. Boston. MA: D.C. Keath and Company Kusumaningrum, Maya, &Abdul Aziz. 2012. Mengoptimalkan Kemampuan Berfikir Matematika Melalui Pemecahan Masalah Matematika. Makalah Ini Disampaikan Dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika . Yogyakarta : FMIPA UNY Lipman. 2003. Thinking in Education. Cambridge University Press Rodgers, C. 2002. Defining Reflection : Another Look at Jhon Dewey and Reflective Thinking. Teachers College Record Volume 104 Number 4, pp. 842-866 Schon, D. 2012. Educating The Reflective Practitioner. Paper Presented at the Meeting of the American Educational Research Association, Washington DC Skemp, R. 1982. The Psychology of Learning Mathematics. USA : Peguin Books Suharna, Hery. 2013. Berfikir Reflective (Reflektive Thinking) Mahasiswa Calon Guru Dalam Pembelajaran. KNM XVI Unpad. Bandung Sunaryo. 2011. Taksonomi Berfikir. Bandung : PT. Remaja Rosda Karyaya
58
BAB IV KOMUNIKASI MATEMATIS
Oleh : Sumaji
Universitas Negeri Malang
59
BAB – IV
KARAKTERISTIK KOMUNIKASI MATEMATIS
A. PENDAHULUAN Definisi Komunikasi Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi adalah mempunyai peranan penting, dengan komunikasi setiap orang dapat saling bertukar informasi. Komunikasi merupakan proses pertukaran pendapat, informasi dengan tulisan, atau lisan termasuk bahasa tubuh. Dalam hal ini untuk menyampaikan pesan kepada orang lain melalui beberapa cara diantaranya yaitu: dengan tulisan, artinya ide atau gagasan kita tuangkan secara tertulis, sedangkan secara lisan dalam hal ini ide atau gagasan disampaikan secara lisan atau dengan kata-kata, sedangkan bahasa tubuh
untuk memerjelas pesan yang
disampaikan supaya mudah
dipahami orang lain. NCTM, (2000) menjelaskan bahwa komunikasi adalah cara berbagi ide untuk mengklarifikasi pemahaman bersama. Dengan mengklarifikasi sesuatu ide atau gagasan yang kita samapaikan kepada orang lain akan menumbuhkan saling pengertian antar individu. Sehingga dapat dikatakan bahwa melalui klarifikasi dapat
mengurangi terjadinya kesalahpahaman. Masing-masing individu yang
terlibat dalam komunikasi saling mengklarifikasi ide-ide atau gagasan yang telah di sampaikan. Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat bahkan mengalami ide/gagasan yang kita sampaikan sering kurang dipahami oleh lawan bicara kita. Hal ini berarti kita belum melakukan komunikasi dengan baik. Kalau kita melakukan komunikasi dengan baik tentunya hal seperti ini bisa dihindari. Komunikasi bukan hanya sekedar pertukaran ide tetapi dengan pertukaran ide tersebut saling memberikan manfaat dan bermakna bagi mereka. Vasileiadou, (2013) menjelaskan bahwa dengan komunikasi memastikan pencapaian intersubjektivitas, yang akan lebih bermakna dan bukan hanya sekedar pertukaran ide. Bahwa pengertian intersubjektif ini berawal dari konsep „sosial‟ dan konsep „tindakan‟. Konsep sosial diartikan sebagai hubungan antara dua atau lebih individu untuk saling bertukar ide. Sedangkan konsep tindakan sebagai perilaku
60
yang membentuk makna subjektif yang telah disepakati bersama untuk dimaknai secara sama dengan individu lain. Supaya ide kita bisa diterima oleh orang lain tentunya kita harus membagun hubungan sosial yang baik. Dengan hubungan sosial yang baik kita akan mudah berkomunikasi dengan orang lain. Proses interaksi merupakan proses sosial yang berlanjut pada pertukaran ide antar individu. Martinho, (2009) memberi penjelasan
bahwa komunikasi
dapat dianggap sebagai proses sosial/berinteraksi, berbagi informasi dan saling membatasi evolusi mereka. Artinya bahwa dengan berinteraksi dan berbagi informasi akan selalu mendapat pengetahuan dan informasi yang baru. Kalau kita kaitkan
dengan proses pembelajaran dikelas komunikasi yang terjadi bukan
hanya terbatas di dalam kelas tetapi juga terjadi luar kelas/ jam pelajaran. Sehingga proses sosial akan terjalin dengan baik yang akan berdampak pada peningkatan pengetahuan kita. Dalam menyampaikan pesan/gagasan pada lawan bicara kita harus memberikan kebebasan
kepada setiap anggota untuk menyampaikan ide atau
memberi tanggapan. (Sfard 2008), mendefinisikan komunikasi sebagai pola kegiatan kolektif
yang melibatkan setiap anggota
tindakan masing-masing
berkomunikasi dengan
dan, untuk setiap tindakan tersebut, anggota
diperbolehkan memberikan reaksi dengan individu lain. Dengan demikian akan berdampak pada pertukan informasi/ide antar individu. Sehingga akan terjadi saling bertukar ide dan informasi yang bermakna dan bermanfaat baik secara individu maupun kelompok. Berdasarkan ciri-ciri di atas yang dimaksud komunikasi dalam tulisan
ini adalah proses menyampaikan pesan, ide atau
gagasan baik secara tulis, lisan maupun maupun bahasa tubuh sehingga diperoleh pemahaman bersama. Definisi Komunikasi Matematis Komunikasi matematis adalah salah satu hal yang sangat di perlukan dalam pembelajaran bagi siswa agar konsep yang dipelajari mudah di pahami. Dalam komunikasi matematis siswa dapat berbagi ide dengan siswa lain tentang konsep matematika yang dipelajarinya. (NCTM 2000) mendefinisikan bahwa komunikasi
matematis
adalah
adalah 61
suatu
cara
bagi
siswa
untuk
mengartikulasikan, menjelaskan, mengatur, dan mengkonsolidasikan pemikiran matematika mereka. Hal ini menjadi penting dengan artikululasi ide-ide matematis yang dijelaskan melalui ucapan bisa di dengar oleh siswa, “menjelaskan” di sini
artinya bahwa siswa dapat menjelaskan ide-ide
matematisnya pada siswa yang lain, sedangkan yang dimaksud mengatur adalah siswa dapat mengkoordinasikan ide-idenya agar runtut dan jelas sehingga mudah diterima teman-temannya. Setelah mengartikulasikan, menjelaskan, mengatur selanjutnya adalah saling
menguatkan atau menghubungkan tentang ide-ide
matematisnya. Kaya &
Aydin,
(2014) memberikan penjelasan bahwa komunikasi
matematis merupakan proses menyampaikan ide matematis sehingga diperoleh pemahaman bersama antara yang memberikan dan yang menerima informasi. Cooke & Buchholz (2005) menyatakan bahwa komunikasi matematis merupakan proses menyampaikan pesan, gagasan yang berupa ide matematis yang dapat meningkatkan asimilasi antara pengalaman baru dan lama. Dengan berbagi ide maka akan terjadi proses asimilasi sehingga dapat menggabungkan pengetahuan baru seseorang dengan struktur pengetahuan yang sudah ada. Oleh karena itu dengan komunikasi matematis dapat meningkatkan pemahaman seseorang terhadap konsep matematika. Proses berbagi ide matematika dalam kelas akan berdampak positip terhadap
pemahaman dan pengetahuan siswa tentang matematika. Ontario
Ministry of Education, (2005) komunikasi matematis adalah proses penting untuk belajar matematika karena melalui komunikasi, siswa merenungkan, memperjelas dan memperluas ide-ide dan pemahaman tentang hubungan matematika dan argumentasi matematika. Komunikasi matematis perlu dibiasakan dalam kelas, hal ini dapat membantu siswa memperjelas pemahaman matematis siswa. Dengan komunikasi dalam kelas kemudian siswa merenungkan hal-hal yang didiskusikan. Setelah itu akan memunculkan ide-ide matematis untuk disampaikan kepada teman lainya, sehingga akan memperluas pemahaman mereka tentang konsep matematika.
62
Pemahaman ide-ide matematis akan berhasil jika masing-masing individu memikirkan tentang apa yang di diskusikan baik secara lisan maupun tulisan. Sfard, (2008) memberikan penjelasan bahwa komunikasi matematis merupakan proses menyampaikan ide matematis baik secara tulis maupun lisan oleh masingmasing individu. Hal ini berarti masing-masing individu berpikir tentang ide-de matematis yang dibahas kemudian masing-masing individu di dalam kelas menuangkan idenya baik secara lisan maupun tulisan. Dari beberapa ciri-ciri komunikasi matematis di atas yang dimaksud komunikasi matematis dalam tulisan ini adalah proses menyampaikan pesan, pendapat dalam bentuk ide matematis baik secara lisan maupun tulisan. B. IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN Karakteristik Komunikasi Matematis Shield & Galbraith, (1998) menemukan bahwa karakteristik komunikasi matematis meliputi: penggunaan simbolis (numerik atau simbol aljabar), secara lisan, diagram, grafik, atau dengan tabel data. Komunikasi matematis selain bisa diekspresikan baik lisan dan tulisan juga bisa di ekspresikan dalam berpikir. NCTM, (2000) menyebutkan karakteristik komunikasi matematis meliputi: kemampuan
untuk
membaca,
menulis,
mendengarkan,
berpikir,
berkomunikasi tentang masalah untuk memperdalam pemahaman
dan
matematis
siswa. Dengan membaca siswa dapat mengingat, memahami, dan menganalisis. Dengan menulis melatih siswa berpikir karena siswa dapat menuangkan ide mereka, di samping itu dapat menumbuhkan kreatifitas siswa. Selain itu mendengarkan adalah salah satu hal yang sangat penting dalam diskusi dan untuk dapat mendengar dengan baik diperlukan konsentrasi yang baik pula. Clark & Jacobs, (2005) berpendapat bahwa karakteristik komunikasi matematis adalah proses ekpresi dan pemikiran, untuk mendengarkan, menguraikan dengan kata-kata, mempertanyakan, dan merepresentasikan di seluruh kelas dan diskusi kelompok kecil tentang matematika. Dalam proses ekspresi dan pemikiran proses ekspresi dapat diwujudkan dalam berpikir terhadap masalah yang didiskusikan, mendengarkan ide atau gagasan yang disampaikan dan mempresentasikannya. 63
Kongthip & Inprasitha
(2012) menjelaskan bahwa karakteristik
komunikasi matematis meliputi antara lain: (1) rigorousness yaitu ketepatan ideide matematis dalam pemecahan masalah, (2) economy yaitu keiritan
ide
matematis dalam pemecahan masalah, dan (3) freedom yaitu kebebasan dengan bermacam-macam ide matematis dalam pemecahan masalah. Lebih lanjut Inprasitha & Pattanajak, (2010) menyatakan bahwa
karakteristik komunikasi
matematis terdiri dari dua aspek yaitu: (1) aspek kognitif yang meliputi: (a) rigorousness (ketepatan), (b) economy (keiritan), dan (c) freedom (kebebasan), (2) aspek emosional merupakan potensi siswa dalam mengekspresikan ide-ide matematika dengan percaya diri, senang, menghargai pendapat orang lain. Dengan percaya diri dan perasaan senang maka ide-ide matematika yang disampaikan dengan santai sehingga akan mudah dimengerti orang lain. Sedangkan apabila terjadi perbedaan pendapat dalam proses komunikasi kita harus saling menghargai ide/pendapat orang lain. Bra¨uning
& Steinbring (2011) menemukan bahwa
karakteristik komunikasi matematis terdiri dari tiga komponen: pertanyaan, mendengarkan dan menanggapi. Kosko & gao (2015) menyatakan bahwa karakteristik komunikasi matematis meliputi: menjelaskan, membenarkan, konjektur/dugaan, menulis, mempertanyakan, berdebat, mendengarkan, dan berbicara tentang matematika mereka. Berdasarkan ciri-ciri karakteristik komunikasi matematis di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik komunikasi matematis dalam tulisan ini adalah proses komunikasi dalam kelas yang meliputi kegiatan antara lain: (1) rigorousness (ketepatan), (2) economy (keiritan) dan (3) freedom (kebebasan).
Contoh dan Bukan Contoh Seseorang yang Menggunakan Komunikasi Matematis Dalam Kelas Komunikasi matematis merupakan proses menyampaikan pesan, pendapat atau gagasan dalam bentuk ide matematis. Untuk mengetahui atau menilai komunikasi matematis seseorang perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a.
Rigorousness yaitu ketepatan ide-ide matematis dalam pemecahan masalah
b.
Economy yaitu keiritan ide matematis dalam pemecahan masalah 64
c. Freedom yaitu kebebasan dengan bermacam-macam ide matematis dalam pemecahan masalah. Sehubungan dengan hal di atas, untuk mengetahui contoh orang yang memiliki kemampuan komunikasi matematis, maka 3 (tiga) indikator di atas harus diukur. Kalau semuanya dapat dipenuhi, maka kemampuan komunikasi matematisnya dapat dikatakan baik. Contoh 1. Susi mempunyai 3 kotak mainan. Setiap kotak diisi 3 bungkus kelereng. Setiap bungkus berisi 4 butir kelereng. Berapa jumlah kelereng Susi? Jawaban si A sebagai berikut. Jawaban si A sebagai berikut. Kotak 1
kotak 2
kotak 3
Jumlah kelereng susi adalah 36 butir diperoleh dari mengitung seluruh kelereng dalam kotak. Jawaban si B sebagai berikut. a. 3x
Jadi jumlah keseluruhan kelereng susi adalah 3 kotak x (4 kelereng +4 kelereng +4 kelereng ) = 3 x 12 = 36 kelereng. b.
65
Jumlah keseluruhan kelereng susi = 9 bungkus x jumlah kelereng tiap bungkus = 9 x 4 = 36 bungkus. c.
Kotak 1 adalah 12 kelereng, kotak 2 adalah 12 kelereng dan kotak 3 adalah 12 kelereng. Jadi jumlah keseluruhan kelereng kotak 1 + kotak 2 + kotak 3 = 12 + 12 + 12 = 36 kelereng.
Perhatikan dua jawaban di atas, Si A sudah menggunakan komunikasi matematis, tetapi belum bisa dikatakan sudah menggunakan komunikasi matematis dengan baik karena belum memenuhi semua indikator komunikasi matematis. Si B sudah bisa dikatakan menggunakan komunikasi matematis dengan baik karena sudah memenuhi ke tiga indikator diatas yang meliputi (1) rigorousness yaitu ketepatan ide-ide matematis dalam pemecahan masalah, (2) economy yaitu keiritan ide matematis dalam pemecahan masalah, dan (3) freedom
yaitu kebebasan
dengan bermacam-macam ide
matematis dalam pemecahan masalah. C. PENELITIAN TERKAIT Penelitian yang Relevan dengan Komunikasi matematis Banyak penelitian sebelumnya yang telah dilakukan terkait dengan komunikasi matematis antara lain sebagai berikut. Kongthip & Inprasita, (2012 ) yang melakukan penelitian pada kelas 5 Sekolah dasar di Thailand. Jenis penelitiannya adalah penelitian kualitatif. Subyek penelitian ini adalah 27 siswa kelas lima, di sekolah Nong-tum-nongngu-lerm dan 33 siswa kelas lima, di sekolah Beung-neum-beung-krai-noon. Hasil penelitiannya menjukkan bahwa terdapat 7 jenis komunikasi matematis oleh gestures siswa antara lain: (1) mengkomunikasikan secara tepat (rigorousness)
melalui
mengkomunikasikan
gesture
secara
tepat
berulang/berirama (rigorousness)
(beat melalui
gesture), gesture
(2) yang
menjelaskan konten abstrak (methaporic gesture), (3) mengkomunikasikan secara singkat (economy) melalui gesture menunjuk obyek/gambar (deictic gesture), (4) mengkomunikasikan secara singkat
(economy) melalui gesture
66
menggabar
konten pelajaran (iconic gesture), (5) mengkomunikasikan secara bebas (freedom) melalui
gesture
menunjuk
obyek/gambar
(deictic
gesture),
(6)
mengkomunikasikan secara bebas (freedom) melalui gesture menggambar konten pelajaran kemudian (iconic gesture), dan (7) mengkomunikasikan secara bebas ide matematis melalui gesture menggambar dan menunjuk obyek (iconic dan deictic gesture). Martinho, ( 2009 ) yang melakukan penelitian pada guru sekolah dasar di Swedia. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif, subyek penelitian penelitian kolaboratif yang melibatkan seorang peneliti (penulis pertama makalah ini) dan tiga guru matematika, satu di kelas 5-6 dan dua lainnya di kelas 7-9 di Portugal. Hasil penelitiannya dapat mengembangkan pemahaman guru tentang masalah komunikasi di kelasnya, menempatkan prakteknya di bawah pengawasan, dan mengembangkan proses komunikasi yang lebih baik antara guru dan muridmuridnya. Olteanu, ( 2012 ) yang melakukan penelitian pada kelas dua SMA di Swedia. Jenis penelitian kualitatif, subyek penelitiannya 45 siswa, (25 laki-laki, 20 perempuan) kelas dua SMA. Hasil Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif terjadi di dalam kelas jika memiliki aspek penting dalam belajar siswa sebagai titik awal. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa siswa tidak dapat memahami perbedaan antara nilai tertinggi /terendah dari fungsi kuadrat dantitik maksimum / minimum; itu perbedaan antara persamaan kuadrat dan fungsi. Tunç-Pekkan & D‟Ambrosio (2008 )yang melakukan penelitian pada calon guru sekolah dasar di Midwestern university USA. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif, subyek penelitiannya: 27 calon guru sekolah
dasar di
midwestern university Amerika Serikat. Hasil penelitiannya menegaskan bahwa keyboard matematika
memiliki karakteristik untuk matematika berbasis web
interaktif. Nilsson & Ryve (2010), yang melakukan penelitian pada siswa kelas enam (12-13 tahun) di Swedia. Jenis penelitian ini adalah kualitatif, subyek penelitian dalam penelitian ini adalah 8 siswa kelas enam di Swedia (12-13
67
tahun). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa penentukan fokus pada lawan bicara, membantu dalam menguatkan analisis komunikasi efektif dalam kegiatan matematika. Terutama menetapkan pentingnya berkomunikasi dengan
fokus
sesuai dalam konteks pembelajaran. Marchetti & Foster .dkk ( 2012 ) yang melakukan penelitian pada siswa SMA di Amerika serikat. Hasil Studi eksplorasi ini menghasilkan temuan menarik yang perlu penyelidikan lebih lanjut. Secara keseluruhan, implikasinya bagi pendidik adalah bahwa kita dapat meningkatkan pengalaman siswa secara kolaboratif bekerja dalam kelompok dengan menyediakan metode komunikasi yang efektif. Neria & Amit (2004 ) yang melakukan penelitian pada siswa SMA kelas IX di Israel. Jenis penelitiannya adalah kualitatif, subyek penelitian ini adalah siswa kelas sembilan terdiri dari (83 laki-laki dan 81 wanita). Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya sedikit siswa yang berprestasi sangat tinggi, memilih untuk berkomunikasi melalui representasi aljabar, bahkan setelah dua tahun belajar aljabar. Kaya & Aidyn, ( 2014) yang melakukan penelitian pada guru matematika di SD di Turki. Penelitian ini mengggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologis untuk menggambarkan persepsi guru matematika dan pengalaman hidup dengan komunikasi matematis di ruang kelas. Subyek penelitiannya adalah sembilan (n = 9) guru matematika yang bekerja di sekolah dasar di kota metropolitan terbesar dari Turki. Hasi penelitian menunjukkan bahwa komunikasi dalam pelajaran matematika memiliki peran penting dalam mengembangkan pemahaman matematika siswa. Inprasitha & Pattanajak, (2012) yang melakukan penelitian pada siswa kelas I SD Ban Bungniambungkrinoon di Thailand. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif termasuk pendekatan etnografi dan pendekatan studi kasus, pengajaran percobaan dan penelitian tindakan. Subyek penelitian adalah 23 siswa kelas I di Sekolah dasar Ban Bungniambungkrinoon di Thailand. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak hanya aspek kognitif bisa mengevaluasi komunikasi
68
matematis di kelas, tetapi juga Aspek emosional dapat membantu guru untuk memahami konsep matematika siswa. Kosko & Wilkins (2014 ) yang melakukan penelitian pada perwakilan siswa kelas V di Amerika serikat. Jenis penelitiannya adalah kualitatif, subyek penelitian adalah perwakilan dari siswa kelas lima di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara frekuensi siswa Amerika Serikat kelas V yang diamati menggunakan peraga manipulatif dengan seberapa sering mereka untuk membahas dan menulis tentang matematika. Hasil tambahan dari penelitian ini menunjukkan bahwa siswa kelas V membahas matematika secara signifikan lebih sering daripada mereka menulis tentang matematika atau penggunaan peraga manipulatif. Forrest, (2008 ) yang melakukan penelitian pada 15 guru matematika SMA di Amerika Serikat. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, subyek penelitian adalah 15 guru matematika berpartisipasi dalam penelitian ini. Tempat penelitian dipilih sekolah (perkotaan dan pinggiran kota). Hasilnya tiga pesan desain logika yang ditemukan ada antara guru matematika. Dua puluh persen dari pesan yang dikodekan dengan mempekerjakan desain logika ekspresif, 53% konvensional, dan 26% retoris. ElSheikh & Najdi, (2013) yang melakukan penelitian pada guru matematika di Alquds Open University (QOU) di Palestina. Jenis penelitian adalah penelitian tindakan, subyek penelitian adalah 12 guru matematika dari QOU di Palestina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keyboard matematika mendukung tujuan komunikasi matematis, dan memberikan kontribusi untuk pengembangan profesional dan praktek terbaik berpartisipasi pada guru dan siswa. Avci1 & Keene, ( 2015 ) yang melakukan penelitian pada guru SMA dan siswa di empat kelas yang berbeda di SMA di Amerika Serikat. Penelitian ini merupakan studi kasus dengan data kuantitatif dan kualitatif. Subyek penelitian adalah
2 guru SMA dan 79 siswa di empat kelas yang berbeda di sekolah
menengah umum di Amerika Serikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar siswa memiliki sikap positif terhadap alat-alat online, Google, dan
69
menggunakannya di kelas matematika; dan apresiasi kepada matematika telah meningkat. Uptegrove (2015) yang melakukan penelitian pada siswa kelas I Sekolah menengah Atas di Amerika Serikat. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif, subyek penelitian adalah 18 siswa sekolah menengah atas di Amerika Serikat. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa siswa yang membangun pemahaman dan kemudian mengembangkan simbol kosakata matematika dapat memperoleh pemahaman yang mendalam dan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, membangun pemahaman dapat memberikan kosakata matematika siswa yang luas; mereka tidak hanya dapat mengekspresikan ide menggunakan terminologi standar matematika, tetapi mereka juga dapat menggunakan bahasa sehari-hari ketika dibutuhkan dan diperlukan.
Kelemahan Penelitian-Penelitian Sebelumnya Berdasarkan
hasil review dan analisi penelitian yang sudah ada
sebelumnya yang terkait dengan komunikasi matematis maka diperoleh kelemahan-kelemahan sebagai berikut. 1. Penelitian sebelumnya tentang komunikasi matematis melalui gesture siswa masih yang dilakukan terbatas pada kelas 5 sekolah dasar belum dilakukan dalam tingkat kelas yang lebih tinggi/rendah untuk melihat komunikasi matematis oleh gestur/gerakan tubuh yang berdampak pada pemahaman matematika. 2. Penelitian sebelumnya hanya berfokus pada kata/ bahasa, gesture pada komunikasi matematis belum mempertimbangkan memeriksa jenis gestur dan interaksi antar individu, yang terletak di kegiatan matematika, dalam rangka untuk mengidentifikasi kompetensi matematika. 3. Penelitian sebelumnya sudah mencoba mengeksplorasi komunikasi efektif kaitannya dengan menggenerelasikan konsep yg tidak dipahami siswa dengan kontekstualisasi. Akan tetapi belum menggali lebih dalam kerangka domainspesifik dari penalaran matematis siswa yang berhubungan dengan konstruksi analitis, konteks dan komunikasi yang efektif. 70
4. Penelitian sebelumnya sudah ada kolaborasi antar guru dan peneliti akan tetapi peranan peneliti terlibat dalam kelas masih sangat besar masih didomonasi oleh peneliti. 5. Penelitian sebelumnya yang terkait dengan komunikasi matematis pada kelas campuran antara anak yang tuli dan normal jumlah subyek terbatas dan waktunya singkat. 6. Penelitian sebelumnya guru sudah terlibat dalam merefleksi kegiatan belajar matematika akan tetapi belum mengeksplorasi dampak dari refleksi yang dilakukan guru pada komunikasi matematis. 7. Penelitian sebelumnya terkait representasi aljabar siswa tetapi belum mempunyai pengalaman yang cukup atau pengalaman tentang aljabar. 8. Penelitian sebelumnya mengeksplorasi persepsi sekitar pengalaman hidup guru menggunakan komunikasi matematis tetapi belum mengeksplorasi dampak komunikasi matematis pada kemampuan berpikir matematika. 1. Penelitian sebelumnya menyelidiki hubungan antara komunikasi matematis siswa dan penggunaan manipulatif tapi sampelnya terbatas dan belum menyelidiki pengaruh penggunaan manipulatif pada komunikasi matematis. 2. Penelitian sebelumnya sudah mengeksplorasi hubungan komunikasi online dan sikap siswa terhadap alat-alat online, Google, dan menggunakannya di kelas matematika tetapi belum mengeksplorasi dampak dari penggunaan alatalat online, Google. 3. Penelitian sebelumnya menyelidiki bentuk interaksi matematika dalam pengaturan sosial antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa tapi belum mengkaji dampak atau akibat interaksi matematika dalam pengaturan sosial antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa dalam pembelajaran matematika. Penelitian Yang Mungkin Dilakukan 1. Penelitian selanjutnya perlu mengeksplorasi tentang komunikasi matematis oleh gestur siswa yang dilakukan pada kelas lain yang lebih tinggi untuk melihat komunikasi matematis siswa.
71
2. Penelitian selanjutnya mengeksplorasi matematis
bahasa, gesture pada komunikasi
perlu mempertimbangkan memeriksa jenis gesture dan interaksi
antar individu, dalam pembelajaran matematika, dalam rangka untuk mengidentifikasi kompetensi matematika. 3. Penelitian selanjutnya mengeksplorasi komunikasi efektif kaitannya dengan menggenerelasikan konsep yg tidak dipahami siswa dengan kontekstualisasi. Sekaligus menggali lebih dalam kerangka domain-spesifik dari penalaran matematis siswa dan berhubungan ini untuk konstruksi analitis, konteks dan komunikasi yang efektif. 4. Penelitian selanjutnya perlu kolaborasi antar guru dan peneliti dan perlu mengurangi peranannya untuk terlibat dalam kelas. 5.
Penelitian selanjutnya perlu mengeksplorasi komunikasi matematis pada kelas campuran antara anak yang tuli dan normal jumlah subyek luas dan waktunya lama.
6. Penelitian selanjutnya guru perlu terlibat dalam merefleksi kegiatan belajar matematika dan perlu mengeksplorasi dampak dari refleksi yang dilakukan guru pada komunikasi matematis. 7. Penelitian selanjutnya terkait representasi aljabar siswa harus mempunyai pengalaman yang cukup atau pengalaman tentang aljabar. 8. Penelitian selanjutnya mengeksplorasi persepsi
sekitar pengalaman hidup
guru menggunakan komunikasi matematis perlu mengeksplorasi dampak komunikasi matematis pada kemampuan berpikir matematika. 9. Penelitian selanjutnya menyelidiki pengaruh penggunaan manipulatif pada komunikasi matematis. 10. Penelitian selanjutnya perlu mengeksplorasi dampak dari penggunaan alatalat online, Google. 11. Penelitian perlu mengkaji dampak atau akibat interaksi matematika dalam pengaturan sosial antara guru dengan siswa maupun siswa dengan siswa dalam pembelajaran matematika.
72
REFERENSI Avci1, Z.Y & Keene, K.A, ( 2015 ). An Exploration of Student Attitudes towards Online Communication and Collaboration in Mathematics and Technology. International Online Journal of Educational Sciences, 7(1), 110-126. Bra¨uning ,K & Steinbring, H. 2011. Communicative characteristics of teachers‟ mathematical talk with children: from knowledge transfer to knowledge investigation. ZDM Mathematics Education. 43:927–939, DOI 10.1007/s11858-011-0351-4. Cooke, BD & Buchholz, D. 2005. Mathematical Communication in the Classroom: A Teacher Makes a DiflFerence. Early Childhood Education Journal, 32 (6), 365-369. Clark, K.K & Jacobs. J, (2005). Strategies for Building Mathematical Communication in theMiddle School Classroom: Modeled in Professional Development,Implemented in the Classroom. Current Issues in Middle Level Educations, (2) 11, 1-22. ElSheikh, R.M & Najdi, S.D, (2013). Math Keyboard Symbols and Its Effect in Improving Communication in Math Virtual Classes. International Journal of Information and Education Technology, (3) 6, 638-642. Forrest, D.B (2008 ). Communication Theory Offers Insight into Mathematics Teachers‟ Talk.The Mathematics Educator, (2), 18, 23–32. Inprasitha, M & Pattanajak, P, Inprasitha, N (2012). A Study of Student‟s Mathematical Communication in Teacher Professional Development. Journal of Modern Education Review, January 2012, 2, (1), 38–46. Kaya, D & Aidyn, H, ( 2014). Elementary Mathematics Teachers' Perceptions and Lived Experiences on Mathematical Communication.Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 10(6), 619629. Kongthip, Y & Inprasitha, M. 2012. Mathematical Communication by 5th Grade Students‟ Gestures in Lesson Study and Open Approach Context. Psychology Journal, 3(8), 632-637. Kosko & Wilkins (2014 ). Mathematical Communication and Its Relation to the Frequency of Manipulative Use. International Electronic Journal of Mathematics Education, 5(2), 79-90. Kosko, K.W & Gao, Y. 2015. Mathematical Communication in State Standards Before the Common Core. Educational Policy, 1– 28. DOI: 10.1177/0895904815595723 Marchetti, C & Foster, S, (2012). Crossing the Communication Barrier FacilitatingCommunication in Mixed Groups of Deaf and Hearing Students.Journal of Postsecondary Education and Disability, 25(1), 51 – 63. Martinho, M, H. ( 2009). Communications In The Classroom: Practice Aand Reflections Of a Mathematics Teacher. Quaderni di Ricerca in Didattica (Matematica)”, 2(9). 1-9.
73
National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and standards for schoolmathematics. Reston, VA: National Council of Teachers of Mathematics. Neria, D & Amit, M (2004 ). Students Preference Of Non-Algebraic Representations In Mathematical Communications.Proceedings of the 28th Conference of the InternationalGroup for the Psychology of Mathematics Education, 3, 409–416. Nilsson, P & Ryve, A, (2010), Focal event, contextualization, and effective communication in the mathematics classroom. Educ Stud Math 74:241–258DOI 10.1007/s10649-010-9236-7. Olteanu, C & Olteanu, L ( 2012 ). Equations, Functions, Critical Aspects and Mathematical Communication. International Education Studie, 5(5), 69-78. Ontario Ministry of Education. (2005). The OntarioCurriculum, Grades 1 to 8: Mathematics. Toronto, ON: Queen‟s Printer for Ontario. Sfard, A. (2008). Learning discourse. Discursive approaches to research in mathematics education. London: Kluwer Academic Publishers. Shield, M. & Galbraith, P. 1998. The Analysis of Student Expository Writing in in Mathematics. Educational Studies in Mathematics, 36, 29-52. Tunç-Pekkan, Z & D‟Ambrosio, B (2008 ). Mathematical Communications: Elementary Pre-service Teachers‟ E-mail Exchanges with Sixth Grade Students. MathematicsTeacher Education and Development, 10, 4-14. Uptegrove, E.B (2015). Shared communication in building mathematical ideas:A longitudinal study. The Journal of Mathematical Behavior. DOI: 10.1016/j.jmathb.2015.02.001 Vasileiadou, P.D, 2013. An Analysis of Students‟ Communication during Group Work in Mathematics. Electronic Journal of Vocational Colleges. 2(3), 59-70
74
BAB V BERPIKIR SPASIAL
Oleh : Shinta Wulandari
Universitas Negeri Malang
75
BAB – V
BERPIKIR SPASIAL
A. Pengertian Berpikir Spasial Berpikir spasial sangat penting untuk memecahkan masalah sehari-hari seperti bagaimana menggunakan peta untuk memandu seseorang menuju lokasi ketika berlibur, memarkir mobil, bermain game 3D, atau pada saat kita menginginkan untuk mengatur perabot rumah tangga pada suatu ruangan, dan mengatur ulang dekorasi ruangan. Menggunakan peta pada saat bepergian, seseorang akan melihat peta yang berbentuk dua dimensi maka dia akan mengkaitkan dengan kenyataan yang ditemui di sepanjang perjalanan. Ketika pada peta muncul ikon berupa gambar pom bensin pada jalan yang akan dilalui maka orang tersebut akan membayangkan bentuk pom bensin dipikirannya dan mencari pom bensin sesuai dengan lokasi yang tercantum pada peta di jalan yang dilaluinya. Demikian seterusnya hingga lokasi yang dituju dapat ditemukan dengan menggunakan peta. Berpikir spasial, merupakan satu bentuk dari berpikir, yang merupakan salah satu kelompok keterampilan kognitif. Bentuk keterampilan kognitif terdiri dari pengetahuan deklaratif dan pengetahuan perseptual. Beberapa operasi kognitif dapat digunakan untuk mentransformasi, mengkombinasikan, atau operasi lain pada kedua pengetahuan ini. Seperti yang disampaikan The Committee on Support for Thinking Spatially (2006), berpikir spasial adalah kombinasi konstruktif tiga elemen yaitu konsep ruang, alat penyajian, dan proses penalaran. Berpikir spasial tidak hanya berdasar pada satu elemen saja misalnya hanya pada penguasaan konsep ruang saja. Namun seseorang yang berpikir spasial mengkombinasikan ketiga elemen tersebut. Konsep ruang dan maknanya merupakan bagian dari definisi, alat penyajian sebagai contoh adalah peta dan denah; proses penalaran misalnya tentang interpolasi. Menurut Uttal dan Cohen (2013) berpikir spasial diistilahkan sebagai visualisasi spasial yaitu proses-proses menangkap, mengkodekan (encoding) dan memanipulasi secara mental bentuk spasial tiga dimensi. Proses menangkap
76
merupakan kegiatan fisik yang melibatkan panca indra pada saat bertemu dengan bentuk fisik suatu benda. Mengkodekan (encoding) mengacu pada bagaimana mengubah suatu fisik, input sensorik menjadi suatu bentuk representasi yang dapat ditempatkan ke dalam memori (Sternberg dan Sternberg, 2012). Proses mental selanjutnya adalah penyimpanan yang mengacu pada bagaimana mempertahankan informasi yang dikodekan dalam memori kemudian bagaimana seseorang mendapatkan akses ke informasi yang tersimpan dalam memori sehingga dapat menyajikannya kembali sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya (Sternberg dan Sternberg, 2012). Ketika seorang berpikir spasial, maka perhatiannya akan terpusat pada lokasi objek, bentuknya, hubungannya dengan bentuk yang lain dan bagaimana jika bentuk-bentuk tersebut dipindahkan (Newcombe, 2010). Menurut Uttal, Miller dan Newcombe (2013), berpikir spasial didefinisikan sebagai proses-proses mental pada penyajian, penganalisisan dan penggambaran inferensi dari relasi spasial. Relasi spasial ini bisa saja berupa relasi antara obyek-obyek (misalnya relasi antara landmark suatu kota) atau relasi di dalam suatu obyek (misalnya suatu bidang pada suatu balok). Seseorang dapat menganalisis relasi spasial sebagaimana dia dapat mengamati dan menyajikan (misalnya struktur kunci pada suatu sketsa mesin) atau membayangkan perubahan bentuk pada relasi spasial (misalnya, memutar secara mental suatu obyek tiga dimensi) (NRC, 2006). Jadi berpikir spasial adalah proses-proses menangkap, mengkodekan dan memanipulasi
secara
mental
bentuk-bentuk
tiga
dimensi
dengan
mengkombinasikan konstruksi tiga elemen yaitu konsep ruang, alat penyajian dan proses penalaran. Berpikir Spasial dan Istilah yang Terkait Terdapat istilah-istilah yang terkait dengan berpikir spasial, antara lain istilah konsep spasial (spatial concepts), penyajian spasial (spatial representation) dan penalaran spasial (spatial reasoning). Keterkaitan di antara istilah-istilah tersebut digambarkan ke dalam bentuk piramida seperti gambar 1.1 berikut ini.
77
Spatial Literacy
• Graphicacy
Spatial Thinking
• Concepts • Representation • Reasoning
Spatial Abilities
Gambar 1.1 Konseptual skema berpikir spasial dan istilah terkait (Wakabayashi dan Ishikawa, 2011) Piramida pada gambar 1.1 juga terdapat istilah lain yang menggunakan isilah spasial yaitu literasi spasial (spatial literacy), grafikasi (graphicacy) dan kemampuan spasial (spatial abilities). Literasi spasial didefinisikan sebagai kemampuan atau sikap seseorang untuk berpikir secara spasial dalam suatu cara yang tepat (Wakabayashi dan Ishikawa, 2011). Selanjutnya Wakabayashi dan Ishikawa (2011) menyatakan bahwa grafikasi (graphicacy) adalah suatu dasar pendidikan pada literasi, artikulasi dan numerasi, yang mulai berkembang sejak pendidikan dasar. Kemampuan spasial (spatial abilities) adalah keterampilan kognitif yang mendasari berpikir spasial, yang dikomposisikan oleh visualisasi spasial, orientasi spasial dan relasi spasial (Wakabayashi dan Ishikawa, 2011).
Elemen Berpikir Spasial Berpikir secara spasial melibatkan tiga elemen pengetahuan, yaitu ruang, penyajian dan penalaran (NRC, 2006). (1) ruang (space) Ruang menghasilkan kerangka konseptual dan analitis yang didalamnya memuat beberapa data yang dapat diintegrasikan, direlasikan dan distrukturkan menjadi sesuatu yang utuh (NRC, 2006). Dasar berpikir spasial adalah pemahaman ruang dengan mengabstraksikan ruang melalui konsep geometri, visualisasi, jarak, koordinat dan dimensi (Wakabayashi dan Ishikawa, 2011). Contoh konsep ruang yaitu: hubungan antara unit-unit pengukuran (misalnya, kilometer vs mil), cara menghitung jarak (misalnya, mil, waktu perjalanan, biaya
78
perjalanan), dasar sistem koordinat (misalnya, Cartesian vs koordinat polar), sifat ruang (misalnya, jumlah dimensi [dua-vs tiga dimensi]). Konsep ruang pada berpikir spasial diklasifikasikan ke dalam beberapa bagian. Beberapa pengklasifikasian disajikan pada table 1.1 berikut ini. Tabel 1.1 Konsep Berpikir Spasial Gershmehl & Gershmehl
Golledge et al.
Janelle & Goodchild
Condition
Identity
Object and Fields
Location
Location
Location
Connection
Connectivity
Network
Comparison
Distance
Distance
Aura
Scale
Scale
Region
Pattern Matching
Neighbohood and Region
Hierarchy
Buffer
Spatial Dependence
Analogy
Adjacency, Classification
Spatial Heterogeneity
Pattern
Gradient, Profile
Spatial Association
Coordinate Pattern,Arrangement, Distribution, Order, Sequence Spatial Association, Overlay/Dissolve, Interpolation Projection, Transformation
Sumber : Bednarz dan Lee (2011)
(2) penyajian (representation) Penyajian internal dan eksternal menghasilkan bentuk yang didalamnya terdapat informasi yang dapat disimpan, dianalisis, dikomprehensikan dan dikomunikasikan ke yang lainnya (NRC, 2006). Penyajian spasial secara internal fokus pada formasi dan manipulasi bayangan spasial di dalam pikiran, yang memerlukan kemampuan spasial pada visualisasi, orientasi dan relasi spasial, sedangkan penyajian spasial secara eksternal mengacu pada pengorganisasian, pemahaman dan pengkomunikasian informasi dengan peta, gambar dan grafik (Wakabayashi dan Ishikawa, 2011). Penyajian spasial tidak hanya terbatas pada 79
bentuk visual, namun didalamnya termasuk bentuk sensori lain seperti bentuk fisik, kinestetik dan auditori. Contoh penyajian spasial yaitu, hubungan antara pandangan (misalnya, rancangan
gambar dibandingkan ketinggian bangunan
sebenarnya, atau orthogonal terhadap peta perspektif), efek dari proyeksi, prinsipprinsip desain grafis (misalnya, keterbacaan, kontras visual, dan pengorganisasin skala di pembacaan grafik dan peta). Representasi spasial adalah alat kognitif yang kuat yang dapat meningkatkan kemampuan belajar dan berpikir. Posisi ini didasarkan pada tiga klaim, yang masing-masing memiliki implikasi yang signifikan untuk mengajar dan belajar tentang berpikir spasial (NRC, 2006). Pertama, menciptakan representasi spasial adalah cara yang ampuh untuk mengkodekan informasi baru yang seseorang ingin mengingat di lain waktu. Kedua, menghasilkan bayangan tentang informasi "lama" yang telah dipelajari dan situasi di mana ia dapat memberi bantuan belajar yang kuat dalam mengingat informasi di kemudian hari. Ketiga, beberapa masalah lebih mudah dipecahkan menggunakan representasi spasial, sedangkan dalam kasus lain, mencoba untuk menggunakan representasi spasial dapat mempengaruhi pemecahan masalah. (3) penalaran (reasoning) Proses-proses
penalaran
menghasilkan
makna
dari
pemanipulasian,
penginterpretasian, dan penjelasan struktur informasi ( NRC, 2006). Penalaran spasial memuat proses kognitif pada tingkat yang lebih tinggi pada inferensi dari pengetahuan awal ke penyelesaian masalah atau pembuatan keputusan. Penalaran spasial diklasifikasi menjadi tiga level (Jo dan Bednarz, 2009). Tiga level tersebut yaitu : Level masukan (input level), melalui pengumpulan informasi dari sense atau pemanggilan informasi dari memori-memori. Level proses (processing level), pada level ini orang yang belajar menganalisa, mengklasifikasi, menjelaskan atau membandingkan informasi yang diperoleh pada level masukan.
80
Level keluaran (output level), pada level ini pembentukan generasi pengetahuan atau produk yang baru dari informasi yang diperoleh dari dua level yang pertama yaitu level masukan dan level pemrosesan. Contoh penalaran spasial yaitu cara berpikir yang berbeda tentang jarak terpendek (misalnya, seperti seseorang berjalan dengan rute berjarak di jalan yang berubin berbentuk persegi sehingga dapat dihitung rute terpendek yang dapat dia tempuh), kemampuan untuk meramalkan kemungkinan dan interpolasi (misalnya, memproyeksikan hubungan fungsional pada grafik ke masa depan atau memperkirakan kemiringan bukit dari peta kontur), dan pengambilan keputusan (misalnya, laporan yang diberikan lalu lintas di radio, pemilihan jalan memutar alternatif). B. Implementasi dalam Pembelajaran Siswa yang mampu berpikir secara spasial memiliki tingkat pengetahuan spasial dan keterampilan dalam berpikir dan bertindak secara spasial, disertai dengan literasi spasial. Tidak ada perbedaan secara jelas antara berpikir spasial dan literasi spasial (NRC:2006,Wakabayashi dan Ishikawa:2011 dan Newcombe: 2010) namun pada skema berpikir spasial Wakabayashi dan Ishikawa (2011) literasi spasial berada satu tingkat di atas berpikir spasial. Berikut adalah karakteristik literasi spasial (NRC, 2006) : 1. memiliki kebiasaan berpikir secara spasial -- mereka tahu di mana, kapan, bagaimana, dan mengapa dengan berpikir secara spasial; 2. mempraktikkan berpikir spasial ke suatu cara yang berdasar pada informasi -mereka memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam pada konsep tata ruang dan representasi spasial, perintah yang lebih dari penalaran spasial menggunakan
berbagai
cara
berpikir
dan
bertindak
spasial,
telah
mengembangkan dengan baik kemampuan spasial ke penggunaan alat pendukung dan teknologi; 3. mengadopsi sikap kritis untuk berpikir spasial -- mereka dapat mengevaluasi kualitas data spasial berdasarkan sumbernya, seperti akurasi, dan keandalan; mereka
dapat
menggunakan
data
81
spasial
untuk
membangun,
mengartikulasikan, dan mempertahankan garis penalaran atau sudut pandang dalam memecahkan masalah dan menjawab pertanyaan; dan mereka dapat mengevaluasi validitas argumen berdasarkan informasi spasial. Jika seseorang diberikan tugas berpikir spasial, dia dapat menyelesaikan tugas tersebut dengan pendekatan imagistic atau dengan strategi analitik (Cohen dan Hegarty, 2014). Pendekatan imagistic dilakukan dengan pembentukan dan pemanipulasian bayangan mental sedangkan strategi analitik misalnya dengan membandingkan fitur dua stimuli. Langkah-langkah pendekatan imagistic menurut Cohen dan Hegarty (2014) yaitu mengkodekan karakteristik spasial dari suatu figure atau benda seperti bentuknya yang padat secara geometris dan orientasi pada bidang potongnya. Langkah lainnya adalah membayangkan obyek yang sedang dilakukan pemotongan dan memindahkan bagian geometris yang dipotong antara yang melihat dengan bidang yang dipotong. Langkah selanjutnya adalah membuat suatu bayangan penampang figure atau benda geometri dari suatu orientasi yang posisinya orthogonal pada permukaan yang dipotong. Berpikir spasial pada bidang sains perkembangannya melewati tiga langkah (NRC, 2006), yaitu : 1) mengekstraksi struktur-struktur spasial 2) menyajikan transformasi spasial 3) menggambarkan inferensi fungsional Berpikir spasial selain berguna dalam kehidupan sehari-hari, juga berguna dalam bidang sains dan matematika. Berpikir spasial dapat mengantarkan anak pada jalur berpikir yang baik, yang juga dapat ditingkatkan pada orang dewasa. Jadi, jika seseorang tertarik di bidang teknik, misalnya pada saat di sekolah menengah atas, mereka tidak perlu berkata, 'Saya tidak pernah bisa melakukan itu'. Sebaliknya, mereka dapat mengubah arah dengan mencoba melakukannya. Siswa-siswa yang keterampilan spasialnya teruji di sekolah menengah dapat diprediksikan bahwa siswa tersebut akan memasuki karir di bidang Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika sebelas tahun kemudian (Uttal, Miller dan Newcombe, 2013).
82
Berpikir spasial menggunakan representasi, dapat membantu mengingat, memahami, mengemukakan alasan, dan berkomunikasi tentang sifat-sifat dan hubungan antara objek yang direpresentasikan dalam ruang, apakah benda-benda itu sendiri secara inheren spasial atau tidak. Benda dapat menjadi hal-hal konkret (seperti dalam peta jalan kognitif dan lingkungan di kota) atau konsep abstrak (seperti dalam plot grafis dua dimensi dari model skala hubungan antara motivasi dengan prestasi belajar) (NRC, 2006). Fungsi berpikir spasial menurut NRC (2006) yaitu : 1. fungsi deskriptif, menangkap, menyimpan, dan menyampaikan penampilan dari dan hubungan antara objek-objek; 2. fungsi analitik, memungkinkan pemahaman tentang struktur benda; 3. fungsi inferensial, menghasilkan jawaban pertanyaan tentang evolusi dan fungsi benda. Berpikir spasial memiliki kekuatan untuk mampu menghasilkan suatu pemahaman struktur dan fungsi (NRC, 2006). Pemahaman struktur berarti adanya deskripsi bagaimana sesuatu diorganisir yaitu bagian mana yang memiliki relasi dengan bagian lain. Kita dapat menangkap susunan suatu obyek di ruangan dan berbicara tentang urutan, relasi dan polanya. Pemahaman Fungsi berarti memahami bagaimana dan mengapa sesuatu bekerja. Melalui pemahaman fungsi kita dapat dengan cepat mengetahui bagaimana sesuatu berubah oleh waktu (kinematic) dan memberi kesempatan kepada kita untuk menjelaskan alasan perubahan susunan pola spasial pada waktu yang bervariasi (dinamik). Oleh karena itu berpikir spasial tidak statis, berpikir spasial adalah proses dinamis yang memberi kesempatan kepada kita untuk menjelaskan, mendeskripsikan dan memprediksi struktur dan fungsi obyek dan hubungannya di dunia spasial yang nyata dan yang ada pada bayangan. Bagaimana Meningkatkan Kemampuan Berpikir Spasial Seseorang? Pertanyaan tersebut mungkin saja muncul di benak seseorang. Bisa saja seseorang memiliki kemampuan berpikir spasial pada kategori rendah atau
83
kurang. Apabila seseorang memiliki kemampuan berpikir rendah, peningkatan kemampuan berpikir spasialnya dapat dilakukan melalui pelatihan. Pelatihan dapat dilakukan dengan menggunakan obyek virtual berbantuan komputer, karena pelatihan dengan obyek virtual lebih baik hasilnya daripada menggunakan benda fisik (Korkasem:2014, Cohen dan Hegarty: 2014). Pelatihan berpikir spasial yang diuji pada 2.545 artikel yang relevan oleh Uttal, Miller dan Newcombe (2013) melaporkan bahwa pelatihan spasial adalah efektif, memiliki daya tahan (durable) dan dapat dipindahkan (transferred). Pelatihan spasial efektif meningkatkan berpikir spasial dengan menggunakan berbagai macam metode pelatihan yang berbeda misalnya memainkan permainan pada video, mempraktikkan tes spasial, atau dengan mengikuti kursus gambar teknik. Pelatihan spasial tahan lama, karena meskipun dari 67% studi yang dilakukan oleh Uttal, Miller dan Newcombe (2013) dilakukan langsung setelah pelatihan, beberapa studi juga diukur beberapa minggu atau beberapa bulan setelah pelatihan spasial ternyata dengan pelatihan intensif dapat memberikan keuntungan pada berpikir spasial.
Pelatihan spasial dapat dipindahkan
(transferred) karena dengan pelatihan spasial, kinerja seseorang pada tugas spasial dapat ditingkatkan.
Contoh dan Bukan Contoh Berpikir Spasial Berpikir spasial dapat ditemui pada konteks kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, berpikir spasial di tempat kerja dimulai sebelum bekerja, kemudian hal-hal yang ditemui selama naik menggunakan kendaraan ke tempat kerja. Banyak pengemudi menyederhanakan bidang dua dimensi yang kompleks antara rumah dan tempat bekerja sebagai sebuah barisan yang berisi urutan tanda jalan secara bergantian. Konteks lingkungan yang tidak relevan dengan tugas mengendarai kendaraan diabaikan selama perjalanan tersebut. Jalan akan menentukan ke mana harus dihindari dan arah mana untuk ditempuh adalah sangat penting. Akibatnya, seseorang lebih memperhatikan tanda jalan yang menandai perubahan arah, dan mereka ingat tanda jalan tersebut dengan lebih baik daripada tempat lain di sepanjang rute yang dilaluinya. 84
Contoh soal tes berpikir spasial adalah dengan diberikannya suatu plat besi seperti yang ada pada gambar 4.1 di sebelah kiri bawah berikut ini. Plat besi tersebut dilipat sesuai dengan garis putus-putus. Kemudian siswa diminta untuk menentukan mana dari kelima bentuk A, B, C, D dan E yang merupakan representasi dari plat besi yang dilipat. Ketentuan melipat adalah tidak boleh ada lipatan yang menumpuk satu sama lain.
Gambar 4.1 Contoh Tes Spasial : Visualisasi Spasial Tiga Dimensi (Uttal, Miller dan Newcombe, 2013) Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir spasial akan dapat menentukan hubungan antara garis lurus dan garis putus-putus, apa yang akan terjadi jika plat besi dilipat sesuai dengan garis yang dimaksud serta dapat merepresentasikan bentuk tiga dimensi yang dihasilkan dan dapat merepresentasikan bentuk tersebut dari berbagai sudut pandang. Dari kelima gambar tersebut, seseorang yang memiliki kemampuan berpikir spasial akan memilih gambar A. Jika kemampuannya lemah dalam berpikir spasial akan memilih gambar selain A, yaitu B, C, D atau E. Seseorang yang kemampuan berpikir spasialnya rendah tidak menguasai konsep ruang pada plat besi tersebut. Dia tidak mengetahui hubungan sisi-sisi yang dilipat sesuai dengan garis putus, bagian mana yang permukaannya lebih tinggi dan bagian mana yang lebih rendah, atau bisa saja lemah dalam merepresentasikan plat tersebut dalam bayangan dipikirannya.
C. Penelitian Terkait Berpikir spasial telah banyak diteliti dan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Berpikir spasial sangat berguna bagi siswa-siswa di sekolah menengah untuk mempersiapkan karirnya di masa depan (Uttal, Miller dan Newcombe (2013). Penelitian yang dilakukan oleh (Uttal, Miller dan Newcombe (2013) dengan melakukan sintesis kuantitatif dari 206 studi pelatihan spasial, 85
ditemukan peningkatan pelatihan rata-rata 0,47 dari standar deviasi. Efek pelatihan berlangsung selama berbulan-bulan dalam studi meneliti daya tahan dan ditransfer ke tugas-tugas yang berbeda. Hasil penelitiannya adalah meskipun diabaikan dalam pendidikan tradisional, berpikir spasial memainkan peran penting dalam prestasi di bidang ilmu pengetahuan, teknologi, rekayasa, dan matematika (STEM) . Penelitian menunjukkan bahwa jawabannya adalah "ya" untuk kedua pertanyaan di atas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pelatihan spasial dapat meningkatkan pembelajaran STEM. Berpikir spasial tidak hanya dimulai di tingkat sekolah menengah saja. Berpikir spasial dapat mulai dilatih sejak anak duduk di tingkat pra sekolah, bahkan Mohring et.al (2015) yang melakukan penelitian tentang hubungan antara berpikir spasial dan penalaran proposional pada siswa pra sekolah menyimpulkan bahwa berpikir spasial dimulai sejak awal kehidupannya. Penelitian dilakukan pada anak-anak yang didominasi anak-anak Kaukasia, berasal dari latar belakang kelas menengah, dan tinggal di daerah pinggiran kota dari kota besar AS. Anakanak menyelesaikan tugas pertama lokasi spasial, diikuti oleh tugas penalaran proporsional. Hasil penelitian ini menjelaskan mekanisme yang terlibat memiliki hubungan yang erat antara berpikir spasial dan berpikir matematis sejak awal kehidupan.B Berbeda dengan Mohring, Newcombe dan Frick (2015) yang meneliti tentang berpikir spasial yang dikaitkan dengan satu komponen berpikir matematis, Ivantskii et.al (2015) meneliti tentang Pemetaan Otak (brain mapping) saat seseorang
berpikir verbal dan berpikir spasial. Penelitian ini adalah untuk
menggambarkan topografi zona kortikal aktif dan formasi subkortikal selama berpikir verbal dan spasial menggunakan pencitraan resonansi magnetik fungsional (fMRI). Subyek yang diambil sebanyak 18 orang, subyek tersebut menggunakan tangan kanan pada aktivitasnya. Empat jenis tugas yang disajikan dua tugas studi, verbal (anagram) dan spasial (mencari angka untuk persegi), serta dua jenis tugas kontrol (kata-kata dan tugas-tugas spasial di mana semua katakatanya identik). Data fMRI ini memberikan bukti bahwa jenis pemikiran verbal dan spasial didukung oleh aktivitas spesifik struktur otak, sementara studi
86
elektrofisiologi sebelumnya menunjukkan distribusi proses otak selama berpikir. Penggabungan dua pendekatan ini mengarah pada kesimpulan bahwa fungsi kognitif didukung oleh sistem-jenis proses otak dengan struktur kunci tertentu. Pemanfaatan kecanggihan teknologi dapat dimanfaatkan untuk membantu seseorang yang memiliki kelemahan dalam berpikir spasial. Pemanfaatan lingkungan virtual dalam pelatihan spasial secara intersif dapat meningkatkan kemampuan berpikir spasial dari pada menggunakan lingkungan fisik (Cohen dan Hegarty:2014, Kavouras et.al:2014, Kornkasem dan black:2014 dan Manson et.al:2014). Cohen dan Hegarty
(2014) meneliti tentang memvisualisasikan
penampang: Pelatihan berpikir spasial menggunakan animasi interaktif dan bendabenda maya (virtual). Penelitian dilakukan dalam dua percobaan, yang menyelidiki keandalan intervensi singkat menggunakan animasi interaktif untuk melatih siswa menyimpulkan penampang dua dimensi dari bentuk geometris virtual tiga dimensi. Mahasiswa dengan kemampuan spasial yang kurang ditugaskan
untuk
menerima
intervensi
atau
untuk
kelompok
kontrol.
Dibandingkan dengan kelompok kontrol, peserta yang dilatih meningkat secara signifikan pada stimuli yang diamati selama intervensi dan transfer menunjukkan adanya rangsangan terlatih. Keuntungan kinerja dan transfer dalam percobaan ini menunjukkan bahwa animasi interaktif dan benda padat virtual adalah alat menjanjikan untuk melatih berpikir spasial untuk mahasiswa. Kornkasem (2014), meneliti tentang Pelatihan berpikir spasial menggunakan artefak geometri dan arsitektur. Studi dilakukan untuk menguji efek dari metode pelatihan spasial pada kinerja kemampuan spasial. Dua percobaan, dilakukan pada total siswa 72 Columbia University. Secara khusus, studi menyelidiki penggunaan representasi spasial eksternal untuk mengembangkan simulasi mental di pendidikan bidang Sains, Teknologi, Teknik dan Matematika (STEM). Di kedua studi, siswa ditingkatkan keterampilan spasial mereka. Peserta didik yang terlatih dalam tiga dimensi (3D) ditambah lingkungan maya (sebagai kelompok eksperimen) meningkat di keterampilan spasial secara signifikan lebih dari pada siswa dengan artefak 3D lingkungan fisik (sebagai kelompok kontrol). Sebuah efek antisipatif ditemukan selama urutan pembelajaran. Urutan dalam lingkungan virtual 3D-
87
diperluas mengaktifkan isyarat spasial secara eksplisit dan bahasa teknis yang membantu peserta untuk merumuskan simulasi mental yang lebih baik; sebagai akibatnya, mereka tampil lebih baik di posttest dan tes transfer. Pemetaan web melibatkan penerbitan dan penggunaan peta melalui internet, dan dapat menjangkau penyajian peta statis ke penawaran data query yang dinamis dan analisis spasial Manson et.al (2014). Pemetaan Jaringan dipandang sebagai cara yang menjanjikan untuk mendukung pengembangan berpikir spasial dalam kelas tetapi ada pertanyaan yang belum terjawab tentang bagaimana janji tersebut diterapkan pada dunia nyata. Hasil penelitian Manson et.al (2014), menyatakan bahwa pemetaan web dapat efektif tetapi keberatan mengarah pada pedagogis, kelembagaan,dan teknologi beserta akibatnya. Kelemahan dan Keunggulan Penelitian Penelitian yang telah ditulis pada bagian 4, selanjutnya dianalisis untuk mendapatkan kelemahan dan keunggulan dari tiap-tiap penelitian tersebut. a. Penelitian oleh Mohring ,Newcombe dan Frick(2015) memiliki keunggulan yaitu bahwa ternyata terdapat hubungan yang erat antara berpikir spasial dan berpikir matematis sejak awal kehidupan. Penelitiannya
focus
pada
pembacaan
peta
sebagai
wakil
dari
mengaketerampilan spasial dan penalaran proporsional sebagai wakil dari keterampilan matematis. Bagian penting lainnya adalah bahwa anak-anak yang
pendugaan konsentrasi campurannya lebih baik pada tugas
penalaran proporsional ternyata juga memiliki penempatan posisi target lebih akurat setelah dilakukan pengontrolan usia dan kecerdasan verbalnya. Kelemahan penelitian ini adalah
masih terbatas pada
hubungan saja antara berpikir spasial dengan berpikir matematis. Relasi sebab akibat dari hubungan keduanya belum terlihat pada penelitian ini. b. Penelitian oleh Ivantskii et.al (2015) adalah tentang Pemetaan Otak (brain mapping) saat seseorang berpikir verbal dan berpikir spasial. Keunggulan penelitian ini adalah dengan memanfaatkan fRMI, dapat 88
tergambar dengan baik bagian-bagian otak yang aktif pada saat seseorang berpikir verbal dan berpikir spasial. Pada penelitian ini Ivanitskii et.al menyatakan tentang level pengetahuan yang disajikan, yaitu bahwa mereka dapat mengambil level tersebut sehingga proses-proses cerebral yang ditekankan pada fungsi mental lebih tinggi merupakan sistem yang melakukan proses-proses dan disebarkan melewati cortex. Kelemahan penelitian ini hanya masalah kebaruannya. Penelitian serupa telah dilakukan pada tahun 1932 oleh Pavlov. c. Cohen dan Hegarty (2014) meneliti tentang memvisualisasikan penampang: Pelatihan berpikir spasial menggunakan animasi interaktif dan benda-benda maya (virtual). Keunggulan penelitian ini adalah pemanfaatan teknologi dengan baik, sehingga gambaran visual sangat membantu siswa pada saat pelatihan spasial. Tampilan interaktifnya sangat sederhana, fleksibel, tampilannya dapat dihentikan sejenak ketika diklik tombol pause,memberi kesempatan kepada pengguna untuk mengeksplorasi obyek virtual sesuai kemampuannya. Selain itu animasi pelatihan yang le Selain itu animasi pelatihan yang lebih dari satu (misalnya, orthogonal,bih dari satu (misalnya, orthogonal dan irisan kerucut) dapat dilihat bersamaan. Aktivitas dan irisan kerucut) dapat dilihat bersamaan. Aktivitas pendukung pembelajaran seperti pendukung pembelajaran seperti menggambar dan memperbanyak bentuk-bentuk dapat secara mudah diintegrasikan pada pembelajada pembelajaran dengan tampilan yang interaktif. Kelemahan penelitian adalah bahwa pengujian dilakukan pada pembelajaran yang singkat. Sangat perlu untuk ke depannya dengan melakukan tes untuk mengetahui efek pada kegiatan belajar yang lebih lama. Selain itu penggunaan dua dimensi yang dicetak menstimuli ke penggambaran bentuk tiga dimensi pada saat pre test dan posttest. Proyeksi stimuli tiga dimensi yang berbentuk dua dimensi masih membingungkan secara mendasar, dan kebingungan tersebut mungkin saja sebagai bentuk tanggungjawab untuk partisipan yang memiliki
89
kinerja buruk pada pre test kami. Untuk selanjutnya, model fisik dari bentuk geometri padat yang sederhana dapat dihasilkan untuk mengatasi beberapa kebingungan tentang bayangan perpektif tiga dimensi menjadi dua dimensi. d. Studi Bednarz dan Lee (2011) adalah tentang komponen-komponen berpikir spasial. Keunggulan dari studi ini adalah faktor berpikir spasial pada STAT adalah yang sebelumnya terdiri dari delapan komponen, dan dengan studi ini mereka menghasilkan faktor yang lebih sedikit yaitu lima faktor saja. Kelemahan pada studi ini adalah bahwa mereka tidak menegaskan bahwa lima faktor tersebut sebagai komponen berpikir spasial yang definitive. Meskipun studi ini dinilai signifikan karena berdasarkan data empiris dan dukungan yang kuat bahwa berpikir spasial tidak didukung oleh satu keterampilan saja. e. Studi oleh Uttal, Miller dan Newcombe (2013) adalah
tentang
pengeksplorasian dan peningkatan berpikir spasial yang dikaitkan dengan prestasi pada bidang sains, teknologi, teknik dan matematika (STEM). Keunggulan penelitian ini adalah berdasar pada sintesis kuantitatif dari 206 studi pelatihan spasial. Penelitian ini tidak menyelidiki bagaimana meningkatkan keterampilan kognitif yang relevan untuk matematika, membaca, dan disiplin ilmu lainnya. Penelitian di masa depan diperlukan untuk menentukan metode pelatihan yang akan mengarah ke perbaikan bidang STEM yang terbesar. Seperti keterampilan kognitif, berpikir spasial dapat meningkat jika dipelihara dan didukung.
90
REFERENSI Bednarz dan Lee. The Componen of Spatial Thinking: Empirical evidence. Procedia Social and Behavioral Science, www.sciencedirect.com; 2011 Cohen dan Hegarty. Visualizing cross sections: Training spatial thinking using interactive animations and virtual objects. Learning and Individual Differences
33
(2014)
63–71,
journal
homepage:
www.elsevier.com/locate/lindif ;2014 Jo dan Bednarz, Evaluating Geography Textbiik Question from a Spatial Perspective: using concept of space, tools of representation, and cognitive processes to evaluate spatiality. Jounal of Geography; 2009 Kavouras, Tomai, Baglatzi, Lazoudis, Kokla, Darra, Sotiriu. The Geothnk platform: connecting spatial thinking to secondary education. Conference Paper. www.researchgate.net/publication; 2014 Kornkasem dan Black. Spatial Thinking Training Using Geometry and Architectural
Artifacts.
Conference
paper.
www.
researchgate.net/publication; 2014 Manson, Shannon, Eria, Kne,Dyke,Nelson,Batra,Bonsal,Kernik,Immich, Matson. Resource Need and Pedagogocal Value of Web Mapping for Spatial Thinking. Journal of Geography; 2014 Möhring ,
Newcombe dan Frick .The relation between spatial thinking and
proportional reasoning in preschoolers, Available online 20 February 2015 Journal of Experimental Child Psychology 132 (2015) 213–220. Journal homepage: www.elsevier.com/locate/jecp; 2015 Newcombe, N.S . Picture this: Increasing math and science learning by improving spatial thinking, American Educator , Vol. 34, No.2, http://www.silccenter.org/publ... ; 2010 Newcombe, N. S. , Shipley, T. F. Thinking about Spatial Thinking: New Typology, New Assessments. In J. S. Gero (Ed.), Studying visual and spatial reasoning for design creativity (pp. 179-192). Netherlands: Springer : 2015 91
NRC (National Research Council). Learning to think spatially. Washington DC: National Academies Press;2006. Sternberg,
Sternberg.
Cognitive
Psychology.Wadsworth.
Cangage
Learning:California; 2012 Tomaszewski, Vodacek, Parody, Holt. Spatial Ability Assessment in Rwandan Secondary
Schools:
Baseline
Result.
Journal
on
Geography.
www.researchgate.net/publication; 2014 Uttal , Cohen. Spatial Thinking and STEM Education: When, Why, and How? To appear in B. H. Ross (Ed.), The Psychology of Learning and Motivation; 2013 Uttal, Miller,Newcombe. Exploring and Enhacing Spatial Thinking: Links toAchievement in science, Technology, Engineering and Mathematics?. Psycological Science. www.researchgate.net/publication; 2013 Wakabayashi, Ishikawa. Spatial Thinking in Geographic Information Science:a Reviewof Past Studies and Prospect for The Future, Procedia Social and Behavioral Science, Elsevier Ltd; 2011
92
BAB VI PENALARAN INDUKTIF
Oleh : Sandie
Universitas Negeri Malang
93
BAB – VI
PENALARAN INDUKTIF
A. DEFINISI DAN KONSEP PENALARAN INDUKTIF Setiap tindakan kognitif yang dilakukan oleh manusia melibatkan penalaran. Ada banyak jenis penalaran yang telah dikemukakan. Pada kali ini akan dibahas secara mendalam mengenai penalaran induktif. Menurut (Feeney, 2007) tanpa penalaran induktif, kita tidak dapat menggeneralisasikan antara satu premis dengan premis yang lain, atau memprediksi sesuatu hal tanpa menggunakan penalaran induktif. Menurut (Stenberg dan Stenberg, 2012) Penilaian dan Pengambilan Keputusan digunakan untuk memilih berbagai pilihan atau untuk mengevaluasi kesempatan. Secara tidak disadari, kita sering menggunakan penalaran dengan pola induktif yang mana menyimpulkan kesimpulan berdasarkan hasil pengamatan, atau pun pengalaman yang telah kita lakukan. Misalnya dalam memilih jalan dengan lintasan terpendek dari tempat A melalui beberapa jalur jalan yang telah kita lalui untuk menuju tempat yang kita sebut dengan B. Untuk memilih lintasan terpendek ini tentunya kita harus memiliki pengalaman melalui semua jalur yang dapat dilalui untuk melakukan perjalanan dari A ke B. Dari setiap jalur perjalanan tentunya secara tidak disadari kita sudah merekam jejak mengenai jarak, waktu, spasial dari masing-masing jalan. Kita sudah menanamkan konsep kepada diri kita bahwa misalnya jalur 1 dekat tapi macet, jalur 2 agak jauh namun banyak lampu merah, jalur 3 jauh namun bisa lebih cepat dan sebagainya. Secara tidak disadari kesimpulankesimpulan tersebut muncul berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman yang telah dilakukan. Masing-masing jalur punya karakteristik yang berbeda, ketika kita akan memilih jalur terpendek dengan karakteristik-karakteristik yang kita inginkan tentunya pertimbangan-pertimbangan pun dilakukan dalam pemilihan jalur yang kita inginkan. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang telah dilalui tentunya, kita dapat melakukan pengambilan keputusan yang didasari penalaran induktif untuk melalui pilihan jalur yang disesuaikan dengan keadaan pada waktu tertentu. 94
(Feeney, 2007) mengemukakan alasan pentingnya dalam mempelajari penalaran induktif yakni : (1) Karena penalaran induktif berhubungan dengan probabilistik, kepastian, penalaran aproksimasi, dan tentunya berhubungan dengan penalaran diri seseorang dalam kejadian sehari-hari, (2) penalaran induktif merupakan aktivitas kognitif multifaset, ini dapat dipelajari dengan memberikan pertanyaan sederhana kepada seorang anak dengan menggunakan gambar kartun, atau memberikan pertanyaan kepada orang dewasa mengenai variasi argumen kompleks dan menanyakannya pada mereka mengenai penilaian probabilitasnya, (3) penalaran induktif berhubungan dengan, dan dapat dikatakan merupakan pusat, kegiatan kognitif, mengatagorisasi, menilai kesamaan, dan pengambilan keputusan. Dari ketiga alasan yang dikemukakan dapat diketahui bahwa, penalaran induktif amat penting perannya dalam pendidikan matematika. Dalam psikologi kognitif (Stenberg dan Stenberg, 2012) mengemukakan dua alasan mengapa orang perlu menggunakan penalaran induktif yakni : (1) membantu untuk semakin mahir dalam mengerti tentang variabilitas yang besar dalam lingkungan. (2) membantu untuk memprediksi kejadian di lingkungan, dengan demikian ketidakpastian dari prediksi suatu kejadian terminimalisir (Stenberg dan Stenberg, 2012) menyatakan bahwa penalaran induktif adalah proses penalaran dari fakta atau pengamatan khusus untuk mencapai kemungkinan kesimpulan yang dapat menjelaskan fakta-fakta. Penalaran Induktif kemudian dapat menggunakan kemungkinan kesimpulan untuk mencoba memprediksi kejadian selanjutnya. Menurut Johnson,Laird (dalam Stenberg dan Stenberg, 2012) orang yang melakukan penalran induktif dapat menggunakan kemungkinan kesimpulan untuk memprediksi Dari definisi-definisi yang diungkapkan bahwa secara umum penalaran induktif merupakan kegiatan kognitif yang mana menyimpulkan secara umum dari kejadian-kejadian khusus yang telah diamati atau pengalaman. Pada umumnya, penalaran induktif biasanya berbentuk informal. Dikatakan berbentuk informal dikarenakan, subyek melakukan pengamatan terlebih dahulu tanpa perlu tahu akan teori yang telah ada dalam mendukung pengamatannya. Dari masingmasing pengamatan, subjek tentunya mempunyai kesimpulan dari hasil
95
pengamatan yang dilakukan. Ini terjadi dikarenakan subjek dapat mengambil kesimpulan dari bagian-bagian pengamatan yang telah dilakukan selama ini. Penalaran induktif yang dilakukan masing-masing individu akan berbeda hasilnya. Seperti yang dikatakan bahwa penalaran induktif merupakan menyimpulkan kejadian secara umum berdasarkan kejadian khusus yang telah diamati atau pengalaman. Bisa disimpulkan pula bahwa pengalaman dan pengetahuan juga menjadi tonggak dasar dalam penalaran induktif ini. Dengan pengalaman dan pengetahuan yang mendalam, tentunya semakin dalam pula kemampuan penalaran induktifnya dan sebaliknya. Semakin luas pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, semakin banyak pula kesimpulan-kesimpulan alternative yang dapat disusun. Menurut (Feeney dan Heit, 2007) Induksi berbasis kategori biasanya melibatkan tiga komponen. Pertama, mengamati bahwa basis induktif atau "premis" memiliki properti P (misalnya, bahwa hiu memiliki sirip); kedua, memutuskan bahwa X dan target atau "kesimpulan" item Y terkait dalam beberapa cara (misalnya, bahwa hiu dan ikan air tawar keduanya ikan); dan ketiga, menyimpulkan properti. Investigasi penalaran induktif anak-anak memungkinkan kita untuk menentukan kapan kemampuan pertama alasan ini muncul dan untuk memetakan perubahan yang berkaitan dengan usia penting dalam induksi. Ini juga merupakan alat yang berharga untuk memahami perkembangan anak-anak representasi kategori. Pada katagori yang disebutkan di atas menyebutkan akan alasan yang muncul untuk memetakan per bahan berkaitan dengan usia. Ini bisa kembali kita kaitkan kembali kaitannya akan definisi penalaran induktif yang menyebutkan pengalaman. Usia bisa jadi memberikan pengalaman yang berbeda pada masingmasing manusia. Bertambahnya usia tentunya bertambah pula pengalaman manusia dalam menjalani hidup ini. Pada saat anak yang memiliki umur 5 tahun akan berbeda penalarannya dengan anak yang berumur 6 tahun ini dikarenakan anak yang berumur 6 tahun memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih luas. Jadi, pengambilan kesimpulan dari suatu kejadian akan lebih luas pemahamannya dibandingkan dengan anak yang usianya lebih muda.
96
Saya mempunyai pendapat secara pribadi, manusia dengan usia yang lebih muda memang dikatakan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih sedikit dibandingkan dengan manusia dengan usia yang lebih tua. Tapi saya punya pendapat walaupun, seseorang yang memiliki usia masih muda namun jika sering mengalami problema-problema yang mendewasakan dirinya sehingga memiliki pengalaman-pengalaman yang lebih banyak dibanding dengan seseorang dengan umur lebih tua namun, tidak mengalami problema-problema tidak akan memiliki pengalaman dan pengetahuan juga dalam menghadapi masalah. Ada pun tipe manusia yang selalu lari dari masalah, ini justru tidak akan menambah pengalaman dan pengetahuannya akan penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi. Jadi mungkin saja, mental ksatria juga mempengaruhi penalaran induktif disini dikarenakan mental ksatria akan selalu menghadapi masalahmasalah yang mendera dan menyelesaikan secara cerdas terntunya. Misalkan seseorang mengalami permasalahan yang sama namun kejadiannya berbeda. Pada kejadian pertama tentunya memerlukan waktu dan usaha yang lebih besar dalam penyelesaian masalah tersebut. Pada kejadian kedua pastinya seseorang tersebut sudah memiliki kesimpulan tersendiri dalam menyelesaikan permasalahan-permasalah tersebut dengan waktu yang lebih sedikit, lebih cepat, dan usaha yang tidak sebesar pada permasalahan pertama dalam penyelesaiannya. Untuk permasalahan-permasalahan selanjutnya, tentunya seseorang tersebut sudah dapat memperkirakan solusi yang terbaik dalam penyelesaian masalah tersebut. Jadi bisa disimpulkan disini, pada setiap permasalahan ada kesimpulan-kesimpulan yang dibangun. Namun dengan seringnya masalah yang dihadapi akan membuat seseorang memiliki penalaran induktif yang lebih luas dan lebih akurat dalam penyimpulannya. Semakin sering seseorang menggeneralisasikan premis-premis khusus akan meningkatkan kemampuan penalaran induktifnya dalam menggeneralisasikan kesimpulannya yang didasarkan pada premis-premis khusus.
97
Karakteristik Penalaran Induktif Untuk mengetahui karakterisasi dari penalaran induktif perlu diketahui terlebih dahulu mengenai perbedaan dari penalaran deduktif dan penalaran induktif. Untuk melihat perbedaan ini terdapat dua pandangan menurut (Hayes, 2007) berdasarkan “problem view” dan “process view”. Jika dipandang dari “problem view” penalaran deduktif dan induktif mengarah pada jenis permasalahan yang dinalar. Jadi, ini masih menjadi perdebatan yang panjang. Namun, jika dipandang dari “process view” lebih mengarah pada proses psikologis. Perbedaan yang signifikan terjadi pada “process view” seperti ilustrasi yang penulis ambil kali ini berdasarkan alur dari gambar 1. Pada gambar 1 menggambarkan perbedaan yang sangat jelas antara penalaran deduktif dan induktif di mana tampak alur dari penalaran deduktif sangat bertolak belakang dengan penalaran induktif yang mana pada penalaran deduktif dimulai dari tahapan yang dinamakan teori dengan tujuan akhir adalah konfirmasi dan pada penalaran induktif dengan dimulainya observasi dan diakhiri dengan teori.
sumber http://www.b0chun.com/ Gambar 1. Alur Penalaran Deduktif dan Induktif
.
98
Penalaran induktif berangkat pada tahap yang dinamakan observasi. Dari
masing-masing
observasinya
seseorang
tersebut
mencari
pola
keterkaitan yang dimiliki dari masing-masing observasi atau kejadian. Dari keterkaitan dari masing-masing kejadian atas hasil observasinya, seseorang dapat membuat kesimpulan sementara dari masing-masing hasil observasi dan kejadian.
Hasil kesimpulan tersebut dinamakan dengan tentative
hypothesis. Kesimpulan yang bersifat sementara ini diujikan kebenarannya dengan teori-teori yang telah berkembang. Pada penalaran deduktif berawal pada teori terlebih dahulu, lalu dari teori tersebut akan dilakukan praktikum dimana sebelum dilakukannya praktikum seseorang memulai dengan dugaan-dugaan akan kejadian yang akan terjadi yang dinamakan dengan hyphotesis. Selanjutnya dilakukan observasi dan hasil observasi ini dikaitkan dengan hipotesis sementara yang kebenarannya diujikan dengan teori. (Hayes, 2007) mengemukakan bahwa katagori berdasarkan penalaran induktif secara khusus melibatkan tiga komponen yakni mengamati premispremis, memutuskan konklusi yang tepat didasarkan pada premis-premis, menyimpulkan apakah konklusi menjelaskan sifat dari premis. Adapun dasar yang menggiring seseorang untuk menarik kesimpulan secara induktif yakni : persamaan
persepsi,
hubungan
taksonomi,
hubungan
hierarkis,
menghubungkan premis-premis yang berkaitan dilihat dari perbedaan dan kesamaan, memiliki pengeetahuan mengenai ciri-ciri. Kesamaan persepsi (Farrar, Raney, dan Boyer, 1992) menyatakan pengaruh pada persepsi pemikiran secara induktif seseorang pada masa keil (Osherson et al., 1990; Sloman, 1993) menyatakan kesamaan, tujuannya saling mendukung dalam hal structural antara dasar dan target induktif yang berperan penting dalam menentukan ketentuan dari pemikiran induktif. Dalam menggeneralisasikan premis-premis khusus yang ada menjadi umum dilihat dari persamaan ciri-ciri yang dimiliki oleh masing-masing premis sehingga, menggiring seseorang untk menyimpulkan berdasarkan persepsi yang sama dari masing-masing premis.
99
Hubungan taknsonomi, (Hayes, 2007) menyatakan banyak penelitian yang menginterpretasikan bahwa seseorang memahami istilah sesuatu dengan memberikan informasi mengenai katagori keanggotaan dan angora yang memiliki persamaan katagori cenderung memisahkan antara kesamaan dan perbedaan
dari
masing-masing
ciri-ciri.
Ada
dua
cara
untuk
menginterpretasikan sesuatu. Pertama, pemberian istilah dapat memiliki efek tidak langsung terhadap penatikan kesimpulan secara induktuf yang befungsi sebagai isyarat yang mendasari dan menuju pada contoh yang berkatagori sama. Dengan kata lain, pemberian istilah yang sesuai dapat memberikan efek yang langsung dengna memberikan fitur yang identik dalam membuath kesimpulan dari persepsi yang serupa. Hubungan hierarkis, (Rosch, Mervis, Gray, Johnson, dan Boyes, Braem, 1976) menyatakan bahwa hal yang penting mengenai tugas konseptual seperti katagorisasi dan penamaan merupakan hierarkis yang jelas secara dasar psikologis. Tingkat yang paling istimewa dapat didefinisikan sebagai level tertinggi dalam suatu hierarki dimana ada keyakinan yang kuat terhadap ciri-ciri objek dapat digeneralisasi menjadi level yang lebih tinggi. Menghubungkan premis-premis yang berkaitan mengenai diversity dan monotonicity. Ketika seseorang akan menyimpulkan secara induktif maka, ia menggabungkan informasi lebih dari satu premis. Premis monotonicity merupakan premis dengan ciri-ciri tertentu yang memberikan kemungkinan
besar
untuk
menggeneralisasi
kesimpulan
dengan
mempertimbangkan kesamaan dari ciri-ciri masing-masing premis. (Osherson et al., (1990) premis diversity merupakan premis yang memiliki komponen yang lebih beragam namun, memiliki relevansi yang besar dan memberikan penguatan untuk melakukan penalaran induktif. Pengetahuan
mengenai
ciri-ciri,
ketika
seseorang
melakukan
generalisasi dari ciri-ciri pernyataan tentang apa yang mereka ketahui, para ahli dan pemula mendasarkannya pada kesamaan ciri-ciri. Akibatnya, pengetahuan domainnya dihubungkan dengan lebih baik menggunakan
100
penalran induktif yang didasarkan pada interaksi antara katagori dan ciri-ciri spesifik.
B. IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN Untuk contoh dan bukan contoh hanya diberikan contoh penalaran induktif dan yang bukan contoh merupakan penalaran deduktif mengingat bertolak belakangnya kedua penalaran ini. Untuk penalaran induktif misalnya Siswa diberikan tentang persoalan pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Siswa diberikan contoh mengenai bahwa emas ketika dipanaskan memuai, tembaga ketika dipanaskan memuai, timah ketika dipanaskan memuai, nikel ketika dipanaskan memuai. Dari contoh-contoh yang diberikan oleh guru, siswa dapat mengenal bahwa emas, tembaga, timah, nikel merupakan sifat dari logam. Keempatnya merupakan logam dan ketika dipanaskan akan memuai. Jadi dari premis-premis khusus yang diberikan oleh guru, siswa dapat menyimpulkan premis umum bahwa logam ketika dipanaskan akan memuai. Untuk contoh yang kedua Buatlah segitiga lancip dan ukurlah besar tiap-tiap sudutnya dengan busur derajat. Berapa derajatkah besar ketiga sudutnya? Buatlah pula segitiga siku-siku dan segitiga tumpul. Berapa derajatkah jumlah ketiga sudut dari tiap-tiap segitiga tersebut? Siswa membuat tiga buah segitiga dan mengukur besar sudut tiap-tiap segitiga dengan busur derajat. Dan siswa memperoleh bahwa jumlah ketiga sudut dalam masing-masing segitiga yang telah buat adalah 180 derajat. Dari tiga contoh segitiga yang dibuat itu siswa dapat menarik kesimpulan bahwa jumlah besar ketiga sudut dalam segitiga adalah 180 derajat. Penarikan kesimpulan dari contoh-contoh seperti ini menggunakan penalaran induktif Ada pun yang menjadi bukan contoh disini, diberikan contoh mengenai penalaran deduktif misalnya Siswa diberikan teori oleh guru bahwa logam ketika dipanaskan akan memuai. Siswa mencari contoh-contoh dari logam apa-apa saja. Siswa menemukan contoh dari logam seperti emas, tembaga, timah, perak, platinum merupakan logam. Untuk membuktikan bahwa logam dipanaskan akan memuai atau tidak, siswa melakukan pengujian apakah emas, tembaga, timah,
101
perak, platinum itu ketika dipanaskan memuai atau tidak. Untuk contoh yang kedua misalnya Jumlah dua bilangan ganjil akan menghasilkan bilangan genap. Buktikan kebenaran atau kesalahan pernyataan tersebut secara deduktif. Dibuktikan secara deduktif dengan melakukan pemisalan secara umum bahwa bilangan ganjil dapat dituliskan sebagai 2n + 1 untuk n bilangan asli. Maka 2 bilangan ganjil dijumlahkan menjadi (2n + 1)+(2n + 1) = (2n + 2n + 1 + 1) = 4n + 2 = 2(2n + 1) Karena 2n + 1 merupakan bilangan ganjil maka 2 kali bilangan ganjil pasti akan menghasilkan bilangan genap, sehingga terbukti bahwa jumlah dari 2 bilangan ganjil akan menghasilkan bilangan genap. Selanjutnya untuk bukan contoh yang ketiga dan keempat mengenai pembuktian dengan kontradiksi dan kontraposisi dalam membuktikan ”jika adalah bilangan ganjil, maka
adalah bilangan ganjil” dengan bukti tak langsung!
Contoh pembuktian kontradiksi Untuk membuktikan benar. Dari –
benar, dapat dilakukan dengan mengandaikan –q
benar kita tunjukan suatu kontradiksi dengan
benar atau dengan
pernyataan benar lainnya. Dengan demikian langkah seharusnya adalah sehingga
benar
benar .
Buktikan bahwa ”jika
adalah bilangan ganjil, maka
adalah bilangan ganjil”
dengan bukti tak langsung! Jawab
: andaikan p maka q tidak benar, artinya andaikan benar
bahwa p dan non q benar Misalnya n adalah bilangan genap, yaitu
.
Karena Maka dengan Sehingga
adalah bilangan genap, kontradiksi dengan
adalah bilangan
ganjil. Jadi, terbukti bahwa jika
adalah bilangan ganjil, maka
ganjil.
102
adalah bilangan
Contoh pembuktian kontraposisi Untuk membuktikan
benar, dapat dilakukan dengan memisalkan –q
benar dan ditunjukan –
benar. Dari –
diperoleh –
benar sehingga (-q => -p)
adalah benar. Buktikan bahwa untuk semua bilangan bulat maka
, jika
adalah bilangan ganjil,
adalah bilangan ganjil!
Jawab
:
Untuk membuktikan pernyataan di atas dapat dilakukan dengan pembuktian tak langsung dengan kontraposisi. Misalnya
adalah bilangan ganjil adalah bilangan ganjil
Akan ditunjukkan bahwa kontraposisinya benar yaitu jika n tidak ganjil maka n2 juga tidak ganjil. Misalkan a adalah bilangan tidak ganjil Dapat dinyatakan dengan Diperoleh
dengan Jadi, jika a bilangan tidak ganjil maka
juga bilangan tidak ganjil
Akan kemudian misalnya – benar yang berarti
sehingga
dengan
103
adalah bukan bilangan ganjil, yaitu
Yang berarti n2 adalah bukan bilangan ganjil. Dengan demikian,
adalah bukan bilangan ganjil adalah bukan bilangan ganjil
Dan karena – Maka terbukti
adalah benar dan adalah benar.
Jadi, terbukti bahwa jika
adalah bilangan ganjil, maka
adalah bilangan ganjil.
Untuk memahami lebih mendalam mengenai penalaran induktif tentunya diperlukan kejelasannya mengenai ciri-ciri apa saja yang mana termasuk dalam penalaran induktif dan bukan penalaran induktif. Lebih singkatnya penalaran induktif dibangun dari berbagai premis-premis khusus yang mana menggiring seseorang untuk menyimpulkan kesimpulan dari premis-premis khusus tersebut. Ada pun contoh lain dari bukan contoh dari penalaran induktif yakni jika dalam menyimpulkan sesuatu hanya ditemukan satu buah saja premis khusus seperti yang biasa kita temukan dalam Tes Potensi Akademik tentunya banyak kita temukan soal yang mana diberikan suatu kata kunci dan penjawab soal wajib memahami maksud dari apa yang menjadi arah dari jawaban persoalan. Pada soal tersebut hanya ditemukan sebuah premis khusus saja, untuk kejadian demikian tidak dapat dikatakan sebagai penalaran induktif namun lebih tepat untuk dikatakan sebagai penalaran analogi. C. PENELITIAN TERKAIT Kelebihan dan Kelemahan Penelitian Terkait (Johnson, Merchant, Keil, 2015) menginduksi secara umum dari spesifik dari ciri-ciri kognisi manusia. Peneliti meminta peserta untuk menentukan seberapa kuat premis-premis yang ada untuk menyusun sebuah kesimpulan. Pada penelitian ini menyajikan bukti mengenai teori abduktif dari penelaran induktif yang ditentukan kesimpulan yang mana sebagai penjelasan dari premis-premis yang ada dan mengevaluasi kualitas dari penjelasan tersebut. Peserta pada penelitian in adalah 200 partisipan dari Amazon Mechanical Turk. Ada pun sebanyak 12 partisipan tereliminir dikarenakan mereka tidak dapat menjawab dengan benar 30% dari pertanyaan pilihan ganda. Peserta yang dapat menyelesaikan dengan baik diberikan 8 item pertanyaan dengan kekuatan 104
argument yang diukur dari rentang 0 – 10 (dengan kesimpulan sangat buruk hingga sangat baik). Pada penalaran induktif penelitian ini menemukan dua pola dari penjelasan penalaran yang sebelumnya pernah diteliti oleh peneliti lain yakni (1) sebuah aksimetri bukti antara bukti positif dan bukti negatif dengan keraguan hasil pengamatan terhadap sebuah hipotesis lebih besar dibandingkan dengan yang mendukung. (2) Ketidaktahuan tentang bukti perhitungan potensial dalam mendukung hipotesis.
Hasil penelitian ini menunjukkan penalaran induktif
bergantung pada kesamaan hipotesis yang sama yang mekanisme evaluasi merupakan sebuah alasan yang jelas. Adapun temuan lain dalam penelitian ini yakni fenomena penalaran induktif yang pembicaraannya dalam mendukung penalaran abduktif, ada pun kesimpulannya yakni ketika orang-orang beralasan induktif dari premis khusus menuju pada kesimpulan yang mana kesimpulan harus di dukung oleh tempat sejauh bahwa kesimpulan muncul menjadi penjelasan yang baik dari suatu tempat. (Zhang, Terai, dan Nakagawa, 2013) menunjukkan akan kegunaan penalaran induktif tidak hanya sebatas pada sebuah ilmu semata namun, penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Kegunaan dalam kehidupan seharihari yakni untuk membangun model komputasi dari penalaran induktif yang mewujudkan CAE untuk Bahasa Asing. Tujuan dari penelitian ini perbandingan penalaran induktif antara Cina dan Jepang berdasarkan model komputasi. Penelitian ini dilakukan di jepang dengan 38 mahasiswa yang terdiri dari 18 mahasiswa sarjana dan 20 mahasiswa pascasarjana. Peserta tereliminir menjadi 15 mahasiswa sarjana dan 18 mahasiswa pascasarjana. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada penelitian kuantitatif yakni memiliki pengaruh yang signifikan pada penalaran induktif dalam Bahasa Jepang, sementara tidak memiliki efek pada Bahasa Cina. Namun sebaliknya, kondisi argument pada penelitian kualitatif menunjukkan memiliki pengaruh yang signifikan pada penalaran induktif dalam Bahasa Cina, sementara sebagian besar berpengaruh pada Bahasa Jepang. Menurut (Csapo, 1997) menghubungkan dua paradigma penelitian yang mempelajari atribut dan mekanisme penalaran induktif dan mencoba untuk
105
membuat pembelajaran sekolah lebih bermakna dan pengetahuan yang lebih mudah dipahami dan diterapkan dengan meneliti bagaimana penalaran induktif berkembang selama rentang usia sekolah yang signifikan dan kaitannya dengan fungsi-fungsi kognitif lainnya. Tes yang diberikan yakni ada 6 tes yakni analogi penomoran, analogi verbal, seri jumlah, seri lisan, koding, pengecualian yang diberikan kepada siswa kelas 11 yang lebih dari 2000 siswa. Hasil penelitian menggunakan model analisis regresi menunjukkan bahwa penalaran induktif menyumbangkan dua kali lebih besar dari proporsi tes yang mengukur ilmu pengetahuan terapan dalam situasi sehari-hari. (Feeney, 2015) menganalisa penalaran asosiatif dan pengetahuan terstruktur yang mendukung kemampuan peserta untuk menggeneralisasi property genetic dari spesies ke taksonomi terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penalaran asosiatif dan pengetahuan terstruktur terlibat serta mempengaruhi keputusan tunggal dalam pengklasifikasian menurut taksonomi yang terkait. Hasil penelitian ini pun didukung oleh Model Bayesian yang memaparkan bahwa penalaran induktif seseorang mewakili hubungan terstruktur ketika melakukan penalaran sesuai dengan domain yang bersangkutan. Prospek Penelitian Lanjutan Pada penelitian pertama yakni untuk meneliti lebih lanjut mengenai interpretasi abduktif dari fenomena penalaran induktif lainnya. Untuk penelitian kedua meneliti kembali mengenai alasan penting dari perbedaan yang kontras antara penelitian kuantitatif dan kualitatif terhadap penalaran induktif yang diterapkan CAE Bahasa Cina dan Jepang. Selanjutnya dari penulis sendiri memberikan saran mengenai bagaimana proses penalaran induktif pada aspek yang berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari dan ciri-ciri undividu yang bernalar induktif itu seperti apa. Untuk saran selanjutnya mengenai proses pengembangan kemampuan berpikir kritis pada penalaran induktif. Selanjutnya perlu diselidiki juga apakah pada penalaran induktif menjangkau objek penelitian mengenai konsep-konsep dasar penyelesaian masalah. Misalnya pada penyelesaian permasalahan barisan,
106
apakah objek penelitian pola berpikirnya sampai tidak pada dasar-dasar konsep dari fungsi.
REFERENSI Csapo, B. (1997). The Development of Inductive Reasoning:Crosssectional Assessments in an Educational Context. International Journal of Behavioral Development, 609-626. Farrar, M.J., Raney, G.E., dan Boyer, M.E. (1992). Knowledge, concepts, and interferences in childhood. Child Development, 63, 73-691. Feeney, A. (2015). Relations Between Assosiative and Structured Knowledge in Category-Based Induction. Researchgate. Feeney, A., & Heit, E. (2007). Inductive Reasoning Experimental, Developmental, and Computational Approaches. Cambridge: Cambridge University Press. Hayes, B. K., The Development of Inductive Reasoning. Inductive Reasoning Experimental Developmental and Computational Approaches. Cambridge:Cambridge University Press Johnson, S. G., Merchant, T., & Keil, F. C. (2015). Argument Scope in Inductive Reasoning:
Evidence
for
an
Abductive
http://www.researchgate.net/publication/276145083.
Account Unites
Induction. State
of
America: researchgate. Osherson, D.N., Smith, E.E., Wilkie, O., Lopez, A., dan Shafir, E. (1990). Category-based induction. Psychological Review, 97, pp.185-200 Rosch, E., Mervis, C.G., Gray, W.D., Johnson, D.M., dan Boyes-Braem, P. (1976). Basic objects in natural categories. Cognitive Psychology, 8, 382439. Sloman, S.A. (1993). Feature-based induction. Cognitive Psychology, 25, 231-280 Stenberg, R. J., & Stenberg, K. (2012). Cognitive Psychology. United States of America: Wadsworth.
107
Goswami, U., (2011). Inductive and Deductive Reasoning. Handbook of Childhood Cognitive Development. pp 319-419 Zhang, Y., Terai, A., & Nakagawa, M. (2013). The Comparison of Inductive Reasoning Under Risk Conditions Between Chinese And Japanese Based On Computational Models:Towards The Application To Cae For Foreign Language. International Conference on Educational Technologies, 119124.
108
BAB VII PERUBAHAN KONSEPTUAL
Oleh : Saiful Hadi
Universitas Negeri Malang
109
BAB – VII
PERUBAHAN KONSEPTUAL
A. PENDAHULUAN Tujuan dari pendidikan matematika adalah siswa benar-benar memahami konsep-konsep matematika daripada hanya mekanik menghafal dan membaca. Oleh karena itu, perlu ditekankan untuk meningkatkan kemampuan konstruksi konseptual dan transformasi pada siswa. Hal ini sejalan dengan pandangan konstruktivisme, bahwa pengetahuan akan dibentuk atau dibangun di dalam pikiran siswa sendiri ketika ia berupaya untuk mengorganisasikan pengalaman barunya berdasar pada kerangka kognitif yang sudah ada di dalam pikirannya (Baki, 2008). Dengan demikian, belajar matematika merupakan proses memperoleh pengetahuan yang diciptakan atau dilakukan oleh siswa sendiri melalui transformasi pengalaman individu siswa. Siswa tidak masuk ke kelas seperti sebuah "papan tulis kosong" (Pinker 2003, Resnick, 1983), mereka sudah membangun kerangka konsep yang mereka pelajari di kelas dari pengalaman pribadi mereka sendiri; akurasi dan kebenaran dari struktur konsep ini bervariasi dari tiap-tiap siswa. Siswa tidak belajar domain baru suatu pengetahuan dari awal. Sebaliknya mereka harus mengintegrasikan informasi baru dengan yang sudah ada pada mereka, beberapa di antaranya mungkin salah atau tidak konsisten dengan pengetahuan baru. Apa yang terjadi ketika siswa menghadapi informasi baru yang bertentangan dengan fakta-fakta yang mereka anggap benar, terutama bila fakta-fakta yang sangat mendalam? Ini adalah masalah yang dieksplorasi oleh penelitian tentang perubahan konseptual: restrukturisasi dan mungkin meninggalkan suatu pengetahuan atau penambahan sederhana fakta-fakta baru ke pengetahuan dasar. Istilah perubahan konseptual dalam bahasa inggris Conceptual Change diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam bukunya, The Structure of Scientific Revolutions (Kuhn, 1970) yaitu untuk menunjukkan bahwa konsep yang tertanam dalam teori ilmiah berubah arti ketika teori (paradigma) berubah. Secara historis, teori
perubahan
konseptual
berdasarkan 110
pada
filosofi
pembelajaran
konstruktivisme khususnya berasal dari teori perkembangan konstruktivis kognitif Piaget (1929). Dalam psikologi kognitif istilah perubahan konseptual diartikan sebagai perubahan dalam proses dan hasil (Dole dan Sinatra, 1998). Keterkaitan perubahan konseptual dan pembelajaran dalam psikolog kognitif memiliki sejumlah akar sejarah seperti pada gambar 1. Perubahan konseptual adalah proses di mana konsep-konsep dan hubungan antara konsep-konsep tersebut berubah selama hidup atau selama sejarah seseorang. Perubahan konseptual didasari dari interdisipliner tiga bidang ilmu berbeda - psikologi perkembangan kognitif, ilmu pendidikan, dan ilmu sejarah dan filsafat (www.wikipedia.com).
Gambar 1. Alur Perubahan Konseptual (Dole dan Sinatra, 1998)
Begitu beragam arti dari istilah perubahan konseptual, mulai dari teoriteori kognisi sampai teori sosialisasi. Hal ini mengisyaratkan bahwa tidak ada definisi umum tentang apa yang dimaksud dengan perubahan konseptual. Namun, perbedaan utama diantara teori perubahan konseptual dapat dilihat dari cara mereka menjelaskan perubahan. Beberapa dari teori disajikan di bawah ini.
111
1) Posner dkk : pendekatan asimilasi dan akomodasi Posner, Strike, Hewson dan Gertzog (1982) menjelaskan bagaimana konsep berubah dalam pengaruh ide-ide baru atau informasi baru. Dua jenis perubahan konseptual dijelaskan dalam teori ini dengan menggunakan dua istilah Piaget yaitu asimilasi dan akomodasi. Istilah asimilasi digunakan untuk penambahan informasi ke struktur pengetahuan yang sudah ada dan istilah akomodasi untuk modifikasi atau berubah struktur pengetahuan yang sudah ada (Piaget, 1985). Posner dkk memandang proses perubahan konseptual diawali oleh proses asimilasi
kemudian
akomodasi.
Melalui
asimilasi,
siswa
menggunakan
konsepsinya yang telah ada untuk merespon fenomena yang baru. Sedangkan akomodasi merupakan proses perubahan konseptual dikarenakan konsepsi siswa tidak sesuai dengan fenomena yang baru; konteksnya berbeda. Namun seringkali konsepsi siswa tidak memadai untuk memungkinkan dia dalam memahami beberapa fenomena baru. Maka siswa harus mengganti atau mengatur ulang konsep utamanya. Bentuk yang lebih radikal dari perubahan konseptual ini disebut dengan akomodasi. Posner dkk. (1982) menyatakan bahwa perubahan konseptual dapat terjadi pada siswa karena beberapa kondisi, yaitu: 1. Harus ada ketidakpuasan terhadap konsepsi yang telah ada (Dissatisfaction). Menurut Posner dkk. (1982) siswa tidak menerima konsepsi baru dengan mudah sampai mereka menyadari bahwa konsepsi alternatif mereka tidak bekerja lagi. Dengan kata lain, ketika siswa menghadapi fenomena baru mereka mencoba untuk menjelaskannya dengan bantuan konsep yang ada. Selain itu, jika siswa tidak memiliki pengetahuan sebelumnya tentang fenomena siswa tidak akan mempertanyakan fenomena apakah memiliki fitur yang tidak relevan atau relevan. Oleh karena itu, siswa penting untuk memiliki pengetahuan dan menyadari bahwa konsepsinya saat ini tidak berhasil menjelaskan fenomena; Oleh karena itu, mereka harus mengubah atau memodifikasi untuk menerima konsep-konsep baru.
112
2. Konsepsi yang baru harus dapat dimengerti (intelligible). Dengan kata lain, siswa harus tahu apa arti dan menemukan bahwa konsep itu masuk akal. Hewson dan Hennessey (1992) menjelaskan bahwa dalam rangka konsep untuk dapat dipahami, siswa harus tahu apa arti dari konsep dan mereka harus mampu menjelaskan konsep dengan kata-kata mereka sendiri. Selain itu, mereka harus mampu memberikan contoh dan bukan contoh dan harus menemukan cara seperti menggambar, berbicara, peta konsep, untuk mewakili ide-idenya kepada orang lain. 3. Konsepsi yang baru harus masuk akal (plausible). Dengan kata lain, siswa harus percaya bahwa konsep tersebut wajar dan konsisten menurut pemahaman mereka. Dalam rangka konsep menjadi masuk akal, Hewson dan Hennessey (1992) menyatakan bahwa siswa harus menemukan konsep dimengerti dan konsep ini harus sesuai dengan pemahaman mereka. Selain itu, konsep harus konsisten dengan konsep-konsep lain yang terkait. 4. Konsep yang baru harus berdaya guna atau bermanfaat (fruitful) dalam pengembangan penemuan yang baru. Dengan kata lain, konsep baru harus mencapai sesuatu yang bernilai untuk siswa. Hewson dan Hennessey (1992) menunjukkan bahwa konsep harus dimengerti, masuk akal, dan berguna dan siswa harus dapat menerapkannya ke konsep lain dan konsep-konsep ini harus menjadi penjelasan yang lebih baik. Perubahan konseptual menurut Posner dkk. dapat diilustrasikan dalam gambar 2.
113
Gambar 2. Alur Perubahan konseptual Posner Perubahan konseptual tergantung pada kondisi di atas. Selain itu, perubahan konseptual tidak terjadi tanpa perubahan secara bersamaan dengan statusnya relatif dari perubahan konsepsi (Hewson & Hewson, 1991). Sebagai contoh, jika kondisi yang lebih terpenuhi maka status konsepsi dinaikkan, di sisi lain jika kondisi yang terjadi jarang maka status konsepsi diturunkan. Posner dkk. (1982) mengidentifikasi bahwa ekologi konseptual siswa adalah kunci untuk model perubahan konseptual karena tanpa konsep seperti itu tidak mungkin bagi siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang fenomena tersebut, untuk mengetahui apa yang akan dijelaskan sebagai jawaban atas pertanyaan, atau untuk membedakan relevan dari fitur yang tidak relevan dari fenomena.
Istilah ekologi konseptual digunakan untuk menggambarkan
bagaimana pembelajaran baru terus menerus terintegrasi, dimodifikasi atau ditolak
dari
kerangka
konseptual
siswa.
Strike
dan
Posner
(1985)
mengembangkan gagasan konsepsi siswa yang disesuaikan dengan berbagai faktor kognitif yang meliputi apa yang mereka disebut ekologi konseptual siswa.
114
2) Thagard : pendekatan revolusi konseptual Thagard (2003) menjelaskan bahwa perubahan konseptual adalah penciptaan dan perubahan representasi mental yang sesuai dengan kata-kata. Jenis paling sederhana dari perubahan konseptual adalah ketika orang belajar konsep baru. Jenis yang lebih menantang terjadi ketika konsep yang ada harus disesuaikan dan direorganisasi untuk mengakomodasi informasi baru. Sedangkan perubahan konseptual yang radikal yaitu, pengembangan pengetahuan yang melibatkan pergeseran di mana kumpulan konsep penting menjalani perubahan dalam pemaknaan. Dalam kasus tersebut, belajar bukan hanya suatu hal akumulasi konsep baru dan keyakinan; juga memerlukan revisi substansial dan restrukturisasi representasi mental. Perubahan konseptual yang seperti itu disebut sebagai branch jumping atau tree switching. Secara lengkap, Thagard (1992) dalam bukunya Conceptual Revolutions, membedakan berbagai tingkat dari perubahan konseptual sebagai berikut: 1. Menambahkan contoh baru dari konsep, 2. Menambahkan aturan baru yang lemah, 3. Menambahkan aturan yang kuat baru yang sering memainkan peran pada pemecahan masalah dan penjelasan, 4. Menambahkan bagian-hubungan baru, 5. Menambahkan jenis-hubungan baru, 6. Menambahkan konsep baru, 7. Melemahkan bagian dari jenis hirarkis, meninggalkan perbedaan sebelumnya, 8. Pengorganisasian ulang secara hirarkis dengan branch jumping, yaitu konsep bergeser dari satu cabang ke cabang lain pada pohon hirarkis. 9. Tree switching, yaitu, mengubah prinsip pengorganisasian pohon hirarkis, Perubahan jenis pertama, menambahkan contoh baru, melibatkan perubahan pada struktur konsep. Jenis kedua dan ketiga perubahan melibatkan menambahkan aturan kekuatan yang berbeda. Istilah "lemah" dan "kuat" menunjukkan pentingnya aturan untuk pemecahan masalah. Dengan demikian perbedaan antara perubahan 2 dan 3 adalah perubahan pragmatis. Perubahan 4,
115
menambahkan bagian-hubungan baru, bisa disebut dekomposisi. Perubahan konseptual biasanya terjadi pada bagian-hierarki ketika bagian baru ditemukan. Penambahan dalam perubahan 1 sampai 5 hanya akan terjadi ketika seseorang telah membentuk konsep yang berbeda dari entitas yang sudah ada. Konsep dapat ditambahkan untuk berbagai alasan, termasuk perpaduan. Konsep baru juga dapat diperkenalkan untuk alasan memperjelas konsep yang sudah ada. Untuk memberikan perspektif yang sedikit berbeda, Gambar 3 memberikan sebuah taksonomi berbagai jenis perubahan secara epistemik. Revisi keyakinan melibatkan penambahan atau penghapusan keyakinan. Perubahan konseptual melampaui revisi keyakinan ketika melibatkan penambahan, penghapusan, atau reorganisasi konsep, atau redefinisi sifat yang hirarkis.
Gambar 3. Taksonomi jenis-jenis perubahan menurut Thagard 3) Vosniadou: pendekatan teori framework Vosniadou (1994) menyatakan bahwa perubahan konseptual adalah sebuah proses yang memungkinkan siswa untuk menyintesis model mental dalam pikiran mereka, dimulai dengan framework awal mereka yang sudah ada. Siswa
116
sebelum melakukan pembelajaran sudah memiliki beberapa framework awal berdasarkan pengalaman pribadi sebelumnya. Melalui pembelajaran tentang topik yang ada pada framework awal menyebabkan beberapa kontradiksi dalam model mentalnya, yang pada gilirannya menghasilkan ketidakstabilan pada representasi mental.
Gambar 4. Alur Perubahan Konseptual Vosniadou Kombinasi bahan pembelajaran dan framework awal, atau model mental siswa yang ada, membentuk ketidakstabilan pemaknaan sintetis. Pemaknaan sintetis ini tidak koheren dan menyebabkan ketidakstabilan internal, dan mengingat fakta bahwa siswa mencari suatu framework yang koheren tentang kinerja fenomena fisik, dimulai dari menghilangkan inkoherensi internal. Resolusi inkoherensi internal yang dilakukan dengan reorganisasi struktur pengetahuan yang ada, dan dalam proses ini pengetahuan sebelumnya merupakan sebuah stimulus untuk perubahan, dan merupakan hambatan untuk berubah. Berkaitan dengan reorganisasi struktur pengetahuan Vosniadou dan Brewer (1987) menyatakan bahwa ada dua jenis reorganisasi struktur pengetahuan yang disebut restrukturisasi lemah dan restrukturisasi radikal. Restrukturisasi lemah memungkinkan informasi baru yang akan terakumulasi dan hubungan baru terjadi antara ide-ide yang ada, tanpa mengubah konsep inti. Proses ini mirip dengan asimilasi Piaget. Di sisi lain, dalam rangka restrukturisasi radikal, perubahan konsep inti dan struktur pengetahuan harus berlangsung. Selain itu, belajar digambarkan sebagai proses yang membutuhkan reorganisasi besar struktur pengetahuan yang ada (Vosniadou, 2003).
117
Seperti disebutkan sebelumnya, peserta didik mengasimilasi informasi baru dengan konsep yang dimiliki. Proses asimilasi disebut dengan pengayaan. Selain itu, peserta didik harus mengganti atau memodifikasi skema yang sudah ada melalui akomodasi yang disebut dengan revisi (Vosniadou, 1994).
4) Chi dan Roscoe : pendekatan kategori Chi dan Roscoe (2002) memandang perubahan konseptual sebagai perbaikan miskonsepsi, model mental awal siswa yang naif dan didasarkan pada konsepsi yang salah, dan seharusnya diganti dengan pemahaman yang luas. Miskonsepsi didefinisikan sebagai miskategorisasi konsep dan dipandang sebagai hambatan bagi perubahan konseptual. Miskonsepsi siswa berarti bahwa ada konsep dalam struktur mentalnya yang dikategorikan tidak benar, dan kategori yang benar harus ditemukan, atau dibuat. Oleh karena itu perubahan konseptual adalah pergeseran konsep dari kategori yang salah untuk kategori yang benar (Chi, 1992). Proses ini disebut kelalaian miskonsepsi, dan menghasilkan pembentukan model mental yang benar atau berubah.
Gambar 5. Alur Perubahan Konseptual Chi
Melalui pengakuan/ rekognisi konsepsi yang salah, dan berusaha untuk menggantinya, siswa terlibat dalam proses perbaikan yang menghasilkan perubahan konseptual. Terdapat beberapa kesalahpahaman yang mudah diperbaiki dengan pembelajaran, namun ada juga beberapa kesalahpahaman menolak
118
perubahan walau setelah melalui pembelajaran. Perubahan konseptual terjadi baik melalui proses asimilasi (menambahkan elemen pengetahuan baru dengan struktur pengetahuan yang ada), atau melalui proses perubahan mendasar (mengoreksi potongan-potongan/pieces pengetahuan), dan dalam kedua kasus itu adalah prosesnya secara bertahap. Chi (2008) membedakan antara tiga jenis perubahan konseptual: (1) pergeseran kategori; (2) revisi keyakinan; dan (3) transformasi model mental. Pergeseran kategoris sebagaimana diuraikan di atas melibatkan mengubah posisi cabang kategori dalam hirarki kategori. Revisi keyakinan terjadi pada rincianrincian dari keyakinan proporsional, yaitu ketika informasi baru secara logis tidak konsisten dengan keyakinan sebelumnya. Jenis ketiga perubahan konseptual dalam teori Chi adalah transformasi model mental, yang merupakan kasus khusus dari revisi keyakinan. Model mental adalah kelompok terorganisir dari keyakinan proporsional yang dapat memprediksi perubahan dan hasil dalam situasi atau sistem. seperti sistem peredaran darah manusia. Ketika model mental cacat “flawed”, maka menghasilkan penjelasan dan prediksi yang salah. Dua model mental (misalnya, cacat dan model yang benar) terjadi konflik ketika mental model tersebut membuat prediksi dan penjelasan yang saling tidak konsisten, meskipun keyakinan tidak secara eksplisit bertentangan. Model mental pada akhirnya berubah karena revisi keyakinan yang membentuk model mental. Oleh karena itu, informasi baru harus terjadi konflik secara eksplisit atau implisit dengan keyakinan pada model mental.
5) diSessa : pendekatan pengetahuan dalam potongan-potongan Prinsip utama dari perubahan konseptual adalah struktur mental yang berpengaruh pada diri siswa mendukung atau menghambat belajar (diSessa, 2008). Selanjutnya diSessa dkk. (1998, 2002) menyatakan bahwa perubahan konseptual adalah reorganisasi beragam jenis pengetahuan ke dalam sistem yang kompleks pada pikiran siswa. Selain itu, ia berpendapat bahwa pengetahuan siswa pemula berupa seperti potongan-potongan pengetahuan. Potongan-potongan ini
119
disebut primitif fenomenologi dan disimbolkan dengan p-prims, kemudian pprims menyatu untuk membentuk konsep individual (diSessa, 1993). P-prim dianggap sebagai fenomenologi karena merupakan respon dari fenomena yang dialami dan diamati oleh siswa. P-prim adalah struktur pengetahuan kecil yang berisi konfigurasi dari beberapa bagian. Selain itu, p-prim menjelaskan struktur yang disebut jaring kausal yang dapat dideskripsikan sebagai harapan intuitif orang pada kausalitas. diSessa dan Sherin (1998) menunjukkan bahwa jaring kausal adalah pengganti untuk teoriteori yang melatarbelakangi pengamatan. Perubahan konseptual dianggap sebagai reorganisasi yang meningkatkan koherensi internal p-prim. Pada model ini pengetahuan meningkat dengan menyempurnakan dan restrukturisasi p-prim. Dengan kata lain, beralih dari pengetahuan
intuitif
ke
pengembangan
keahlian
yang
dibutuhkan,
menyempurnakan dan diferensiasi p-prim.
Gambar 6. Alur Perubahan Konseptual diSessa
Pengetahuan sebelumnya memungkinkan untuk membuat perubahan konseptual, karena perubahan konseptual melibatkan pengorganisasian dari potongan-potongan yang terfragmentasi dari pengetahuan yang ada. Perubahan konseptual merupakan membangun sistem pengetahuan yang kompleks yang memuat beberapa unsur-unsur konseptual yang diubah dan terintegrasikan.
120
6) Ivarson dkk: pendekatan sosiokultural Ivarson, Scholtz, dan Saljo (2002) menyatakan bahwa perubahan konseptual terjadi melalui penggunaan alat mental (seperti konsep); alat budaya (misalnya bahasa); dan alat-alat fisik (seperti peta dan bola dunia), dalam kegiatan sosial. Mereka mengatakan kognisi manusia disosialisasikan melalui partisipasi dalam kegiatan di mana alat-alat yang digunakan untuk tujuan tertentu".
Gambar 7. Alur Perubahan Konseptual Ivarson Perubahan konseptual tidak terjadi secara individual, melainkan terjadi dalam interaksi antara individu, alat dan individu lainnya. Perubahan konseptual meliputi fungsi baru untuk menggunakan alat, dan kognisi didefinisikan sebagai penggunaan alat. Rusanen dan Lappi (2013) menjelaskan bahwa 1) tidak ada kesepakatan tentang apa saja jenis-jenis perubahan konseptual, dan 2) tidak ada konsensus tentang bagaimana mekanisme perubahan konseptual. Namun berdasarkan teoriteori di atas dapat disusun karakteristik dari perubahan konseptual sebagai berikut:
121
Tabel 1. Karakteristik perubahan konseptual menurut beberapa teori Teori
Apa Perubahan Konseptual?
Apa yang berubah?
Bagaimana perubahan terjadi?
Posner
Perubahan adalah Pengetahuan konsepsi tidak sesuai (asimilasidengan fenomena akomodasi) yang baru
Bertahap: dissatisfaction, intelligibel, plausible, fruitful
Thagard
Perubahan adalah revisi dan restrukturisasi
Pengetahuan
Brand jumping
Vosniadou
Perubahan adalah sistesis
Mental model (dari inkoheren ke koheren)
Bertahap: Penambahan informasi baru dari pembelajaran ke penjelasan awal dan pengorganisasian konflik
Chi dan Roscoe
Perubahan adalah pergeseran
Mental model (dari salah ke benar)
Bertahap: perbaikan konsep yang salah
Disessa
Perubahan adalah pengorganisasian
Pengetahuan (dari tidak terstruktur ke terstruktur)
Bertahap: pengorganisasian p-prims
Ivarson
Perubahan adalah penggunaan alat-alat
Penggunaan alat Bertahap (dari tidak efektif ke efektif)
Tree switching
Selanjutnya, istilah perubahan konseptual penulis artikan sebagai suatu proses di mana konsepsi awal yang siswa miliki bertentangan dengan pengetahuan (konsep) baru yang sedang dipelajari sehingga siswa memutuskan untuk beralih ke konsep yang baru. Dalam perubahan konseptual terdapat beberapa tahap (mungkin
tidak
linier)
yang
pemanggilan kembali (recalling),
meliputi
proses
mengenali
(recognizing),
mengevaluasi (evaluating) konsepsi dan
persepsi, kemudian memutuskan (deciding) apakah perlu membangun ulang (reconstructing) atau tidak konsepsi dan persepsi tersebut dengan yang baru,
122
penggambaran
kesimpulan
(drawing
conclutions)
tentang
konsep
baru,
menandakan (indicating) di mana konsep tersebut harus dikategorikan.
B. IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA Untuk menjelaskan teori perubahan konseptual berikut disajikan dua contoh perubahan konseptual dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan teori yang berbeda pada pendidikan matematika. 1. Contoh perubahan konseptual tentang garis singgung dengan menggunakan teori perubahan konseptual Vosniadou. Gagasan garis singgung diperkenalkan dalam tiga tahap selama mahasiswa duduk di bangku kuliah. Pada awalnya, di Geometri Euclid, mahasiswa belajar garis singgung pada lingkaran sebagai garis yang memiliki tepat satu titik yang sama dengan lingkaran (garis singgung adalah suatu garis yang memotong lingkaran tepat di satu titik dan tegak lurus terhadap jari-jari pada titik perpotongannya). Secara intuisi sifat dari garis singgung adalah mempunyai titik yang sama pada lingkaran dan membagi bidang dalam dua bagian, yang salah satunya memuat lingkaran.
Gambar 8. Garis singgung pada lingkaran Kemudian, pada Geometri Analitik, mahasiswa diperkenalkan dengan irisanirisan kerucut. Dalam kasus ini, definisi garis singgung adalah lebih canggih: "garis singgung pada suatu kurva di titik P adalah posisi pembatas dari garis-garis secan PQ sehingga Q mendekati P". Sifat memiliki tepat satu titik yang sama
123
(pada geometri euclid) tetap berlaku pada irisan kerucut (gambar (ii)), tetapi tidak cukup untuk menentukan garis singgung; ada garis yang memiliki satu titik yang sama pada parabola atau hiperbola dan itu bukan merupakan garis singgung.
Gambar 9. Garis singgung pada kurva Di sisi lain, sifat ini berlaku untuk semua kasus kecuali hiperbola, di mana garis singgung memisahkan dua bagian. Akibatnya, kita dapat mengatakan bahwa sifatnya tetap benar, bahkan dalam kasus hiperbola, namun untuk bagian-bagian secara terpisah. Oleh karena itu, tidak ada keharusan bagi mahasiswa untuk mengubah gambaran intuitif mereka sebelumnya tentang dua sifat pada garis singgung lingkaran. Sebuah adaptasi keyakinan kecil mereka cukup untuk mengasimilasi pengetahuan baru tentang garis singgung pada irisan-irisan kerucut (pengetahuan mereka yang sudah ada tentang garis singgung lingkaran). Dalam hal ini, hanya membutuhkan pengayaan pengetahuan tentang garis singgung. Akhirnya, dalam mata kuliah Kalkulus, mahasiswa menemukan konsep garis singgung dari suatu kurva pada titik. Pada tingkat ini, garis singgung kurva didefinisikan melalui konsep derivatif/ turunan. Bahkan, definisi ini adalah sama pada Geometri Analitik. Perbedaannya adalah bahwa tidak ada sifat di atas tetap berlaku secara umum. Ada fungsi yang memiliki garis singgung lebih dari satu titik potong dengan kurva atau membagi kurva menjadi dua atau lebih bagian (gambar (iii)). Dalam kaitannya dengan teori perubahan konseptual, ide-ide yang berkaitan dengan konsep garis singgung lingkaran adalah persepsi/ keyakinan, yang bertindak sebagai penghalang untuk proses penguasaan konsep garis 124
singgung pada kurva. Pada saat mahasiswa menghubungkan informasi yang mereka terima tentang garis singgung dengan pengetahuan mereka pada sifat lingkaran biasanya menghasilkan model sintetis. Model sintetis ini adalah "intuisi sekunder tanpa penyempurnaan formal" yang hanya didasarkan paradigma pada lingkaran. 2. Contoh perubahan konseptual tentang poligon dengan menggunakan teori perubahan konseptual Chi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya Chi (1992) membedakan perubahan konseptual dalam kategori. Sebagai contoh, Gambar 10 menunjukkan diagram pohon untuk merepresentasikan sub kategori pada konsep poligon. Seperti yang terlihat pada gambar, segi enam dapat dikategorikan berdasarkan sisi-sisinya, apakah sisinya sama atau tidak. Selanjutnya, segi enam sama sisi dapat diklasifikasikan yang berhubungan dengan sifat keteraturan. Segi enam beraturan merupakan cabang dari segi enam sama sisi karena segi enam beraturan memiliki beberapa sifat khusus, yaitu sudut dalam dan juga sudut luar ukurannya harus sama, sedangkan sifat ini bukan kondisi yang diperlukan untuk segi enam sama sisi. Hal ini sering mengakibatkan terjadinya miskonsepsi pada siswa saat mengembangkan konsep segi enam beraturan.
Gambar 10. Sub-kategori dari poligon Chi (1992) menegaskan tiga jenis perubahan konseptual dalam kategori, yang berfungsi untuk mengubah miskonsepsi. Penyempurnaan bagian dari keseluruhan hubungan.
125
Trapesium dapat didefinisikan sebagai segi empat yang memiliki dua sisi yang berhadapan sejajar sementara jajaran genjang dapat dianggap sebagai segi empat di mana sisi yang berhadapan yang lainnya juga sejajar, hal ini merupakan sifat tambahan yang dimiliki oleh trapesium. Dengan demikian, siswa dapat menafsirkan hubungan antara kedua konsep sebagai salah satu kasus yang diilustrasikan pada Gambar 11.
Gambar 11. Reorganisasi konsep segi empat pergeseran dari (a) ke (b) membutuhkan reorganisasi konsep, karena tidak ada pengetahuan baru yang diperoleh. Pembentukan kategori baru Segi enam beraturan memiliki sudut yang sama sedangkan segi enam sama sisi mungkin memiliki sudut yang tidak sama (lihat Gambar 12). Perubahan yang terjadi di sini merupakan hasil dari proses kognitif karena siswa membedakan satu kelompok bangun dari segi enam beraturan dan tidak beraturan (gambar 12-a) sehingga membentuk cabang baru di bawah pohon yang sama yaitu segi enam sama sisi (gambar 12-b). Oleh karena itu, perubahan konseptual dalam kasus ini dapat dianggap sebagai proses akuisisi daripada perpindahan langsung dari sub kategori. Proses kognitif tersebut adalah jenis diferensiasi dan integrasi serta generalisasi sub kategori karena siswa harus menempatkan upaya kognitif untuk membedakan konsep saat yang ada dan mengintegrasikan dengan cara yang berbeda untuk membangun skema kognitif baru.
126
Gambar 12. Reorganisasi konsep segi enam Pengklasifikasian kembali kategori yang ada. Pengklasifikasian kembali gambar 10 sebagaimana yang diilustrasikan pada gambar 13 memerlukan pembentukan struktur kategori baru. Jenis transformasi ini adalah mengubah dari satu struktur kategori yang ada ke satu yang lainnya yang dapat dilakukan tanpa migrasi konsep bahkan tanpa upaya kognitif yang benar-benar besar untuk menstruktur kembali atau memahaminya, tetapi hanya butuh mengklasifikasikan kembali pemahaman yang ada.
Gambar 13. Reklasifikasi dari Gambar 10
C. PENELITIAN TERKAIT PERUBAHAN KONSEPTUAL DALAM MATEMATIKA Teori perubahan konseptual dalam matematika sering kali dicerminkan pada pengembangan pemahaman struktur konseptual dalam matematika. Pengembangan pemahaman konseptual matematika siswa dalam kerangka teori perubahan konseptual telah dikaji oleh banyak peneliti (Vamvakoussi & Vosniadou, 2004; Biza dkk., 2005, Christou, 2007; dan Bofferding, 2014). 127
Vamvakoussi & Vosniadou (2004) menggunakan perspektif perubahan konseptual untuk menyelidiki pemahaman siswa tentang sifat aljabar dan struktur himpunan bilangan rasional. Pengetahuan awal siswa tentang bilangan asli mendukung pemahaman siswa dalam menyelesaikan sifat aljabar bilangan rasional, sementara ide discreteness adalah anggapan yang mendasar sebagai hambatan siswa dalam memahami konsep density pada bilangan rasional dan prosesnya lambat dan bertahap. Lima kategori tingkat pemahaman yang berbeda tentang struktur bilangan rasional, meliputi: (1) Naive Discreteness, (2) Advance Discreteness, (3) Discreteness – density, (4) Naive density, dan (5) Sophisticate density. Kategori naive discreteness adalah siswa yang menyatakan bahwa antara dua bilangan rasional berturut-turut (semu) tidak ada bilangan lain. Kategori advance discreteness mencerminkan jawaban siswa yang menyatakan bahwa ada berhingga banyak bilangan antara dua bilangan rasional berturut-turut (semu). Kategori discreteness – density adalah bahwa antara dua bilangan rasional, ada tak terhingga banyak bilangan di dalamnya tetapi tidak dalam semua kasus. Kategori naive density mencerminkan jawaban siswa yang menyatakan ada banyak tak terhingga bilangan antara dua bilangan rasional. Namun, ia tidak bisa menjawab secara langsung bahwa ada tak terhingga banyak tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang hal itu. Kategori sophisticate density adalah antara setiap dua bilangan rasional yang tidak sama, ada tak terhingga banyak bilangan rasional, terlepas dari cara merepresentasikannya. Siswa yang termasuk dalam kategori kedua dan ketiga memiliki miskonsepsi yang dapat dijelaskan sebagai model mental sintetik yaitu
128
mencerminkan upaya asimilasi informasi baru ke dalam struktur pengetahuan sebelumnya (Vosniadou, 1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemahaman tentang density membutuhkan reorganisasi pengetahuan tentang bilangan asli. Kasus ini merupakan perubahan konseptual dalam pembelajaran matematika. Biza dkk. (2005) menggunakan teori kerangka perubahan konseptual untuk menjelaskan miskonsepsi siswa yang berhubungan dengan konsep garis singgung kurva. Dalam kerangka teori perubahan konseptual, ide-ide yang berkaitan dengan garis singgung lingkaran merupakan suatu keyakinan yang bertindak sebagai penghalang untuk proses penguasaan konsep garis singgung kurva. Dalam upaya mengasimilasi konsep garis singgung kurva, siswa menghasilkan model sintetik yaitu menghubungkan konsep umum garis singgung kurva dengan pengetahuan yang sudah mereka miliki pada garis singgung lingkaran dan garis singgung pada irisan kerucut. Model sintetik ini adalah intuisi sekunder tanpa penyempurnaan formal yang didasarkan pada model paradigmatis lingkaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penguasaan pengetahuan garis singgung membutuhkan perubahan konseptual yang mana merupakan proses yang kompleks. Christou
dkk.
(2007)
mengungkapkan
kesulitan
siswa
dalam
menginterpretasikan penggunaan simbol-simbol huruf dalam aljabar yaitu siswa cenderung hanya menyubstitusi bilangan asli untuk simbol huruf dari persamaan aljabar. Dengan pendekatan perubahan konseptual dapat ditelusuri bahwa pengetahuan awal siswa pada bilangan asli menghalangi interpretasi mereka tentang simbol huruf dalam matematika.
129
Bofferding (2014) menguraikan karakterisasi model mental siswa dalam memahami konsep bilangan bulat negatif dengan menggunakan sudut pandang perubahan konseptual. Model mental siswa dikategorikan menjadi 3 yaitu awal (initial), sintetis (synthetic) dan ilmiah (formal). Adapun karakteristik model mental awal siswa pada konsep nilai dan mengurutkan bilangan bulat negatif meliputi: whole number mental model, dan absolute value mental model. Whole number mental model adalah siswa memperlakukan bilangan negatif seperti bilangan positif, seperti siswa mengurutkan bilangan sebagai 0, 3, -5, -7, 8, -9 dan menganggap -9 > 3, Absolute value mental model adalah siswa mengurutkan bilangan negatif sebelum bilangan positif namun menganggap nilai bilangan negatif bisa lebih besar/ lebih kecil dari bilangan positif, contohnya siswa mengurutkan dengan benar -8, -4, -2, 1, 5, 7 tetapi siswa mengatakan -8 > 1 dan 8 > -2. Sedangkan karakteristik model mental sistesis siswa adalah magnitude mental model. Magnitude mental model adalah siswa secara konsisten menunjukkan pemahaman bahwa bilangan negatif kurang dari nol tetapi memperlakukan bilangan bulat negatif dengan nilai absolut terbesar sebagai lebih besar dibandingkan dengan nilai absolut terkecil. Siswa dapat menyatakan dengan benar 5 > -7 tetapi memperlakukan -6 > -2. Karakteristik model mental formal siswa adalah ketika siswa menjawab semua pertanyaan dengan benar. Pada saat siswa menjelaskan bagaimana bilangan bulat negatif lebih besar, mereka menyatakan bahwa ada hubungan yang berlawanan antara bilangan positif dan negatif.
130
REFERENSI Baki, A. (2008). Mathematics education from theory to practice. Ankara: Harf Educational Publications. Biza, Irene, Souyoul, A, Zachariades, T. (2005) Conceptual change in advance mathematical thinking, Proceedings of CERME 5th, 1727-1736. Bofferding, L, (2014). Negative integer understanding: Characterizing fisrt graders‟ mental models, Journal for Research in Mathematics Education, 45(2), 194-245. Chi, M. T. H. & Roscoe, R. D. (2002). The Process and Challenges of Conceptual Change. In M. Limon, & L. Mason, (Eds.). Reconsidering Conceptual Change. Issues in theory and practice, 3-27. Kluwer Academic Publishers. Netherlands Chi, M. T. H. (1992). Conceptual change within and across ontological categories: Examples from learning and discovery in science. In R. Giere (Ed.), Cognitive models of science: Minnesota studies in the Philosophy of Science, 129-186. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press. Chi, M. T. H. (2008), Three Types of Conceptual Change: Belief Revision, Mental Model Transformation, and Categorical Shift. International handbook of research on conceptual change, 61-82. Routledge. New York Christou, K.P. Vosniadou S, & Vamvakoussi X, (2007) Students‟ Interpretations of Literal Symbols in Algebra. In S. Vosniadou, A. Batlas, X. Vamvakoussi (Eds.). Advances in learning and instruction series: Reframing the conceptual change approach in learning and instructions, 283-298. Amsterdam, The Netherlands: Elsevier Science. diSessa, A. A. (1993). Responses. Cognition and Instruction, 10 (2 &3), 261-280. diSessa, A. A. (1993b). Toward an epistemology of physics. Cognition and Instruction, 10 (2), 105-225. diSessa, A. A. (2002). Why conceptual ecology is a good idea. In M. Limón & L. Mason (Eds.), Reconsidering conceptual change: Issues in theory and practice, Dordrecht: Kluwer. diSessa, A. A., & Sherin, B. (1998). What changes in conceptual change? Internasional Journal ofScience Education, 20 (10), 1155-1191. diSessa, A.A., (2008), A Bird‟s-Eye View of the “Pieces” vs. “Coherence” Controversy (From the “Pieces” Side of the Fence). International handbook of research on conceptual change, 35-60. Routledge. New York
131
Dole, G.A.& Sinatra G.M. (1998). Reconceptualizing change in the cognitive construction of knowledge, Educational Psychologist, 33(2/3), 109-128 Hewson, P. W., & Hennessey, M. G. (1992). Making status explicit: A case study of conceptual change. In R. Duit, F. Goldberg, & H. Niedderer (Eds.), Research in Physics Learning: Theoretical issues and empirical studies. Proceedings of an International Workshop at University of Bremen, Germany. Ivarsson, J., Schoultz, J. & Saljo, R. (2002). Map Reading Versus Mind Reading. In M. Limon, & L. Mason, (Eds.). Reconsidering Conceptual Change. Issues in theory and practice, 77-99. Kluwer Academic Publishers. Netherlands. Kuhn, T. (1970). The structure of scientific revolutions. 3rd ed. Chicago: Chicago Press. Piaget, J. (1985) The equilibration of cognitive structurees. Chicago: University of Chicago Press. Pinker 2003 The Blank Slate: Modern Denial of Human Nature, Viking: Published by Penguin group. Posner, George J., Strilke, Kenneth A., Hewson, Peter W., and Gertzog, William A. 1982. Accomodation of a Scientific Conception: Toward a Theory of Conceptual Change. Science Education. 88(2): 211-227. Resnick, L. (1983). Mathematics and science learning: A new conception. Science, 220, 477-478. Thagard, P. (1992). Conceptual Revolutions (Princeton, NJ: Princeton University Press). Thagard, P. (2003). Conceptual change. In L. Nadel (Ed.), Encyclopedia of Cognitive Science. London Macmillan, vol. 1, 666-670. Vamvakoussi, X. & Vosniadou, S. (2004). Understanding the structure of the set of rational numbers: a conceptual change approach. Learning and Instruction, 14 (5), 453-467. Vosniadou, S. (2002). Capturing and modeling the process of conceptual change, Learning and Instruction, Vol. 4, pp. 45-69 Vosniadou, S. (2003). Exploring the relationship between conceptual change and intentional learning. In G. M. Sinatra, & P. R. Pintrich (Eds). Intentional conceptual change. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum Associates.
132
Vosniadou, S., & Brewer, W. (1987). Theories of knowledge restructuring in development. Review of Educational Research, 37 (1), 51-67
133
BAB VIII MEMBUKTIKAN
Oleh : Fuat
Universitas Negeri Malang
134
BAB – VIII
PEMBUKTIAN
A. DEFINISI DAN KONSEP DASAR Membuktikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai meyakinkan dengan bukti atau menyatakan kebenaran sesuatu dengan bukti. Membuktikan tidak hanya sekedar menulis bukti dari suatu teorema. Tidak pula membuktikan bersifat individualis. Hal inilah yang ditengarai sebagai penyebab kegagalan dari mengembangkan kemampuan membuktikan. Bukti merupakan produk akhir dari membuktikan. Bentuknya dapat berupa langsung atau tak langsung (Gantert, 2008). Modelnya dapat berupa alir, tabel, ataupun paragraf (Cirillo, 2012). Bukti dikonstruk terlebih dahulu oleh individu atau kelompok berdasarkan apa yang sudah diketahui dan prinsip yang mendasarinya. Pengonstruksian bukti oleh individu atau kelompok ini dalam rangka memastikan bahwa bukti tersebut ada, disebut mengonviksi diri sendiri. Jika bukti ini didiskusikan pada individu atau kelompok lain maka akan ada proses membujuk, disebut mengonviksi orang lain. Didalam ataupun setelah melalui proses mengonviksi orang lain ini, bisa jadi akan terjadi pengonstrukan ulang dari bukti yang telah dihasilkan sebelumnya. Kegiatan dalam membuktikan disebut sebagai pembuktian. Pembuktian terdiri dari aktifitas mengonstruksi (Selden & Selden 2011, 2013a, 2013b, 2015, 2016; Savic 2015a, 2015b; Zandieh 2014) dan mongonviksi bukti (Harel & Sowder, 1998, 2008; Alcock & Inglish 2008, 2012; Weber & Mejia-Ramos 2014, 2015). Pengonstruksian bukti menurut Selden (2013a) dapat dilakukan dengan mengeksplorasi apa yang sudah diketahui dan prinsip yang mendasarinya untuk mencapai kesimpulan yang diharapkan, kemudian mengerjakan kembali jika terjadi kesalahan sewaktu menulis bukti, setelah bukti telah selesai ditulis dilakukan
validasi
secara
keseluruhan.
Sedangkan
pengonviksian
bukti
merupakan kegiatan mengonviksi diri sendiri dan orang lain. Mengonviksi diri sendiri adalah memastikan diri sendiri tentang kevalidan bukti. Memastikan menurut Harel & Sowder (1998) merupakan proses seorang individu untuk menghapus keraguan sendiri tentang kebenaran dari suatu 135
pengamatan. Pendapat serupa disampaikan Stylianides (2016) bahwa ascertaining is the process employed by an individual to remove his or her own doubts about the truth or falsity of statement. Sedangkan mengonviksi orang lain adalah membujuk orang lain tentang kevalidan bukti. Membujuk menurut Harel & Sowder (1998) merupakan proses seorang individu untuk menghapus keraguan orang lain tentang kebenaran suatu pengamatan. Pendapat yang sama disampaikan oleh Stylianides (2016) bahwa persuading is the process employed by an individual or a group to remove the doubts of others about the truth or falsity of a statement. Terbukti merupakan tujuan akhir dan proses yang tak terpisahkan dari membuktikan. Ada proses menghubungkan atau memodifikasi nilai epistemis dan ada proses yang menghubungkan nilai logis. Epistemic value is a kind of value which attaches to cognitive successes such as true beliefs, justified beliefs, knowledge, and understanding (www.iep.utm.edu/ep-value). Nilai epistemis yang dimaksud adalah “true belief”. Ernest (2004) mengatakan bahwa istilah “true belief” diartikan sebagai pernyataan yang telah dijustifikasi serta dapat diterima. Sedangkan nilai logis adalah nilai kevalidan dari suatu argument yang menetapkan kebenaran dari pernyataan.
B. IMPLEMENTASI DALAM PEMBELAJARAN Karakteristik dalam pembuktian menurut Harel (2008) berupa skema bukti, seperti disajikan pada Gambar di bawah ini. Skema bukti merupakan karakteristik dari bukti sebagai hasil dari suatu aktivitas mental dari membuktikan. Sedangkan menurut Weber dan Mejia-Ramos (2015) menyatakan bahwa skema bukti melibatkan memahami bagaimana siswa berubah menjadi dugaan fakta: yaitu, bagaimana mereka mencari dan memperoleh keyakinan mutlak dalam pernyataan matematika. Diperjelas lahi oleh Weber, Inglis, dan Mejia-Ramos (2014) bahwa skema bukti individu mewakili bagaimana mereka menghasilkan bukti-bukti dengan penekanan khusus pada jenis bukti yang mereka gunakan untuk menjadi yakin bahwa pernyataan matematika adalah benar.
136
Gambar. Hubungan antara membuktikan, bukti dan skema bukti (dicopy dari Harel, 2008) Mengonstruksi bukti menawarkan skema bukti dalam menggambarkan proses ini dengan kategori prosedural, sintaksis, dan semantik (Weber, 2004; Zandieh, 2014). Dimana skema bukti prosedural, salah satu upaya untuk membangun bukti dengan mengikuti langkah-langkah tertentu yang akan menghasilkan bukti yang valid. Skema bukti sintaksis, salah satu upaya membangun bukti dengan memanipulasi definisi dan fakta lain yang relevan serta benar dengan cara logis. Sedangkan skema bukti semantik, mencoba untuk memahami mengapa pernyataan tersebut benar dengan memeriksa representasinya (misalnya diagram) dari objek matematika yang relevan dan kemudian menggunakan argument intuitif sebagai dasar untuk membangun bukti formal. Mengonviksi bukti menurut Harel & Sowder (1998) skema buktinya disajikan pada Gambar berikut.
137
Gambar.
Skema bukti (dicopy dari Harel & Sowder, 1998)
Kategori skema konviksi bukti eksternal adalah skema dimana argument siswa didasarkan pada sumber eksternal tanpa mengacu makna simbol. Sumber tersebut meliputi bentuk atau penampilan argumen, kata dari suatu sumber, atau manipulasi simbolik secara hafalan. Skema bukti empiris dapat berupa induktif atau persepsi. Ketika siswa menggunakan contoh atau kasus khusus sebagai dasar dari argumen, ia dianggap memiliki skema bukti induktif. Dalam skema bukti persepsi, dugaan divalidasi melalui citra mental dasar, yaitu, "gambar yang terdiri dari persepsi dan koordinasi persepsi tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengubah atau untuk mengantisipasi hasil transformasi" (Harel & Sowder, 1998). Sedangkan kategori skema bukti tergolong sebagai analitis ketika argumen ini didasarkan pada penggunaan deduksi logis. Skema bukti analitis dapat berupa transformasi atau aksiomatik. Sebuah skema bukti transformasional melibatkan operasi 138
berorientasi pada tujuan pada objek. Siswa beroperasi dengan proses deduktif dimana ia menganggap aspek umum, berlaku operasi mental berorientasi pada tujuan dan antisipatif, dan mengubah gambar. Sebuah skema bukti aksiomatik melampaui suatu transformasional dan siswa juga mengakui bahwa sistem matematika bersandarkan pada pernyataan
(mungkin
sewenang-wenang) yang diterima tanpa bukti. Suatu titik M yang terletak pada AB dan CD adalah titik tengah
AB , jika AC BC dan AD BD . Untuk membuktikannya pertama dari pernyataan AC BC dan AD BD dapat disimpulkan bahwa C dan D berjarak sama dari A dan B . Jika dua titik masing-masing berjarak sama dari titik-titik ujung pada segmen garis, maka titik tersebut terletak pada garis sumbu dari segmen garis. Dengan demikian, CD merupakan garis sumbu pada AB . Akhirnya, M adalah titik potong AB dengan garis sumbu CD , jadi u AM u BM . Dengan definisi titik tengah dapat disimpulkan bahwa M adalah titik tengah AB , (Terbukti). Proses tersebut merupakan contoh membuktikan sebagai mengonstruk bukti, dengan kategori skema bukti sintaksis. Jika pembaca meragukan pembuktian tersebut, maka pembaca dapat memastikan pernyataan tersebut dengan mengonviksi bukti, dengan kategori analitik, seperti pada Gambar berikut. Dari hasil tersebut pembaca akan percaya bahwa M adalah titik tengah AB .
139
Gambar.
Membuktikan M adalah titik tengah AB (dicopy dari Gantert, 2008)
Tersebut di atas merupakan contoh dari membuktikan. Sedangkan akan dibuktikan f o g g o f , dimana f x x ; g x x 2 , x . Pembuktiannya disajikan sebagai berikut,
f g x
g f x
x2 x x x
2
x
f g g f
Pembuktian tersebut di atas tidak lengkap karena tidak ada alasan pendukung pernyataan yang menyusun bukti tersebut, dan ada langkah yang kurang, yaitu langkah “dua fungsi h dan k sama jika dan hanya jika hx k x , x Dh, k .
f g x g f x f g g f
C. PENELITIAN TERKAIT Membuktikan merupakan suatu kajian matematis yang sedang ngetrend dibahas oleh peneliti dalam beberapa tahun belakangan. Berikut akan diulas beberapa penelitian tentang membuktikan yang pernah dilakukan, 140
penelitian yang dibahas pada bab ini dilakukan dalam rentang tahun 2014 sampai dengan 2015, yaitu: Cai dan Cirillo (20140 mereview tentang analisis buku teks yang pernah dilakukan. Memberikan data kualitatif pada setiap subjek kemudian menganalisis secara kualitatif dari tugas-tugas yang muncul dalam buku teks tersebut. Subjeknya adalah 5 penelitian tentang analisis buku yang sudah pernah dilakukan, yaitu oleh (1) Bieda el., (2) Fujita & Jones, (3) Otten el., (4) Davis el., (5) McCrory & Stylianides. Didapatkan bahwa rangkuman beberapa aspek metodologis yang digunakan dalam penelitian sebagai berikut,
Serta
kurang
konsisten
metode
analisis
ini
sehingga
membuat
perbandingannya kurang memungkinkan. McCrory dan Stylianides (2014) mencari penalaran dan pembuktian dalam buku teks yang digunakan di AS, dengan mengembangkan indikatornya melalui daftar istilah yang dipakai dalam buku teks tersebut. Data dalam penelitian ini berasal dari 16 buku teks matematika, bagi calon guru SD (kelas 1-5 atau 6, usia 6-11 tahun). Didapat bahwa sebagian besar buku pelajaran, masih kesulitan untuk dipelajari secara mandiri oleh siswa. Savic (2015a) melakukan kajian kualitatif, yang pertama diberi bahasan semigrup dan pena Livescribe dan kertas dengan waktu tak terbatas dan tidak banyak arah untuk membuktikan suatu teorema, yang kedua membuktikan teorema yang sama tapi terbatas. Subjeknya adalah satu orang
141
ahli Topologi dan satu mahasiswa pascasarjana; serta sembilan ahli matematika dan lima mahasiswa pascasarjana. Dari hasil penelitian didapat ahli matematika selesai dalam 5 jam 31 menit, dan mahasiswa pascasarjana selesai
dalam
22
jam
11
menit
dengan
istirahatnya.
Kerangka
Multidimensional Problem-Solving Carlson dan Bloom umumnya relevan untuk proses membangun bukti; termasuk atribut pemecahan masalah yang dibuat oleh subjek, seperti tersaji dalam tabel berikut,
Ada fase incubation dan insight yang tidak diperhitungkan dalam kerangka Carlson dan Bloom yang dilakukan dalam penelitian ini. Enam dari Sembilan ahli matematika mengalami kebuntuhan dan dua dari lima mahasiswa yang mencoba. Perbedaan antara ahli matematika dan mahasiswa pascasarjana adalah ahli matematika mempertanyakan kebenaran teorema terlebih dahulu dan mencari kendala-kendala yang diberikan. Sedangkan mahasiswa pascasarjana tidak, fase checking dimasukkan pada fase planning dimana mahasiswa mencoret sejumlah bukti pada upaya sebelumnya, sedangkan ahli matematika lebih banyak melakukan incubation dan insight, dan atribut monitoring sering dilakukan oleh ahli matematika daripada mahasiswa. Penelitian lain oleh Savic (2015b) dilakukan dengan subjek sembilan Ph.D matematika (tiga ahli aljabar, tiga ahli topologi, dua analisis, dan satu ahli logika) dengan delapan laki-laki dan satu perempuan, dikarenakan kenal dan punya waktu. Serta lima mahasiswa pascasarjana. Subjek diberi catatan yang berisi sepuluh definisi, tujuh permintaan contoh, empat pertanyaan untuk menjawab, dan tiga belas teorema untuk membuktikan. Empat subjek secara terpisah menulis bukti pada tablet PC (CamStudioTM dan MicrosoftOneNoteTM) dan lima subjek dengan LivecribeTM dan kertas rekaman khusus. Hasil yang didapat adalah diperlukan upaya yang cukup untuk membuktikan teorema dan memproduksi contoh; Enam dari Sembilan subjek memiliki kebuntuan ketika membuktikan salah satu dari dua teorema,
142
dan sebelas teorema lainnya semuanya terbukti benar dengan sebagian besar sangat cepat; Tindakan subjek yang digunakan untuk mengatasi kebuntuhan: a. menggunakan (mental) database dari teknik membuktikan; b. melakukan pekerjaan matematika lainnya; c. melakukan tugas yang tidak berhubungan dengan matematika; d. beristirahat (sleeping on it); dan Beberapa matematikawan mengambil tindakan yang disengaja untuk mengatasi kebuntuan dan juga untuk meningkatkan luasnya atau kualitas perspektif mereka. Hasil ini tampaknya setuju dengan literatur ilmu saraf, yang menyimpulkan bahwa inkubasi mungkin berkontribusi terhadap seseorang memproses masa lalu, sekarang, dan masa depan sekaligus (Buckner & Vincent, 2007). Stavrou (2014) menggunakan subjek 188 mahasiswa pendidikan matematika. 97 mahasiswa untuk mengetahui kesalahan umum yang dibuat mahasiswa pendidikan matematika saat menulis bukti dari hasil pekerjaan rumah tentang Teori Bilangan dan Aljabar Abstrak, dan 91 mahasiswa diinformasikan tentang kesalahan umum dan miskonsepsi setelah itu diberi pekerjaan rumah bertujuan untuk mendeskripsikan kebiasaan pembuktian mahasiswa ketika mereka secara eksplisit menyadari kesalahan umum ini. Didapatkan bahwa kesalahan yang paling umum dalam menulis bukti adalah: a.
pernyataan
umum
menggunakan
contoh-contoh
spesifik;
b.
mengasumsikan kesimpulan dari suatu pernyataan untuk membuktikan kesimpulan; c. tidak membuktikan kedua kondisi pada pernyataan bikondisional; d. tidak menerapkan definisi dengan benar; serta kebiasaan pembuktian mahasiswa ketika menyadari kesalahan umum adalah; a. mahasiswa memilih untuk meninggalkan pertanyaan yang sudah tahu ada kesalahan umumnya; b. mahasiswa mulai melengkapi bukti yang valid dengan bukti empiris; c. mahasiswa sering menulis “saya tidak yakin bagaimana untuk memulai bukti” untuk jawaban mereka. Zazkis, Weber, dan Mejia-Ramos (2015) meneliti dengan subjek 73 mahasiswa dalam satu departemen matematika dilihat selama empat semester, khususnya mata kuliah aljabar linier. Peserta diberi tujuh tugas pembuktian
143
kalkulus satu persatu dengan waktu 10-15 menit. Diperoleh 6 mahasiswa terbaik sebagai subjek. Kemudian akan diidentifikasi pendekatan yang berhasil digunakan mahasiswa untuk membuktikan suatu teorema baru. Didapatkan bahwa; a. Analisis holistic dan interpretative, di mana kami menjelajahi peserta pada perilaku tugas membuktikan untuk mendapatkan pengertian umum tentang bagaimana mereka mendekati tugas; b. Analisis sistematis dan terarah, terus menganalisis peserta pada tugas perilaku membuktikan; c. menguji recall retroaktif peserta melalui perilaku tulisan bukti mereka; d. Analisis wawancara sebagai pengecekan. Selain itu didapat pula, jika menggunakan targeted strategy akan mengembangkan pemahaman yang kuat dari pernyataan membuktikan, memilih rencana berdasarkan pemahaman ini, mengembangkan argumen grafis untuk mengapa pernyataan itu benar, dan merumuskan argumen grafis ini ke bukti. Bila menggunakan shotgun strategy, siswa akan mulai mencoba berencana segera setelah membaca pernyataan bukti yang berbeda dan akan meninggalkan rencana pada tanda pertama dari kesulitan. Zhen, Weber, dan Mejia-Ramos (2015) melakukan Penelitian berbasis internet (Inglis dan Mejia-Ramos), dengan subjek 12 mahasiswa masingmasing menulis bukti dan think aloud tujuh tugas pembuktian dari kalkulus selama 90 menit; 90 mahasiswa secara acak dikelompokkan jadi kelompok analisis real dan kelompok pengantar kalkulus masing-masing menilai jika disajikan tiga bukti yang masing-masing berisi persepsi grafis dan inferensi deduksi grafis. Didapat bahwa subjek memahami validitas setiap inferensi berbeda. Secara khusus, peserta menunjukkan kecenderungan yang kuat untuk percaya bahwa kesimpulan persepsi grafis, tetapi tidak kesimpulan deduktif grafis, diperlukan pembenaran non-grafis di bukti. Hasil yang lain adalah mahasiswa tidak percaya kesimpulan persepsi grafis yang tepat dalam bukti kalkulus; sebagian besar menunjukkan bahwa mereka percaya kesimpulan deduktif grafis yang tepat dalam bukti kalkulus; peserta percaya bahwa profesor dalam kursus kalkulus kurang mungkin untuk menghukum
144
kesimpulan valid; dan persepsi ini mempengaruhi cara yang maju untuk menerjemahkan argumen informal ke bukti. Weber dan Mejia-Ramos (2015) menganalisis kualitatif terhadap penelitian dari Harel dan Sowder (2003), Morris (2002), dan Weber (2010). Didapatkan hasil yang dikelompokkan dengan hasil metodologis, hasil teoritis dan hasil pedagogis. • Hasil metodologis –
Absolut conviction dimiliki berdasarkan bukti empiris
–
Dengan argument deduktif masih memiliki keraguan
• Hasil teoritis –
kecenderungan mahasiswa untuk menghasilkan atau menerima argumen
empiris
mungkin
didasarkan
pada
banyak
faktor.
Dibandingkan dengan argumen empiris, argumen deduktif lebih sulit untuk dihasilkan, dipahami, dan diverifikasi. Mahasiswa mungkin tidak memiliki kepentingan atau kepercayaan diri untuk mencoba untuk menulis atau memahami bukti. • Hasil pedagogis –
jika tujuan dari sebuah argumen untuk memperoleh keyakinan dalam sebuah pernyataan, dosen harus merasa bebas untuk menggunakan jenis lain dari argumen non-deduktif, karena argumen tersebut mungkin lebih persuasif kepada mahasiswa dari bukti. Weber dan Mejia-Ramos (2014) melakukan penelitian dimana
subjeknya dilakukan dengan penelitian berbasis internet (Inglis dan MejiaRamos); dua email dikirim ke sekretaris departemen matematika di universitas negeri besar di masing-masing 50 negara bagian di USA, email pertama untuk mengundang mahasiswa, ada 175 peserta yang pernah mengambil kelas yang diharapkan untuk menulis bukti. Email kedua mengundang ahli matematika, tersisa 83 peserta yang dilinkkan ahli matematika pernah membaca dan menulis bukti teratur. Tidak tahu dari universitas mana saja. Masing-masing keyakinan dibuat dua pernyataan bertentangan, mahasiswa memilih survey ini menggunakan skala Likert 5
145
point. Matematikawan juga diberikan survey ini, dengan pernyataan yang dibedakan. Keyakinan tiga menggunakan t-test, Wilcoxon one sample signed rank tests, dan Mann-Whitney tests. Didapat bahwa kebanyakan ahli matematika berharap bahwa mahasiswa akan perlu menghabiskan lebih dari 15 menit mempelajari beberapa bukti yang disajikan kepada mereka, namun sebagian besar mahasiswa jangan berharap bahwa mereka akan perlu melakukan ini. Kebanyakan mahasiswa percaya bahwa mereka memahami bukti sepenuhnya jika mereka dapat membenarkan setiap langkah dalam bukti, sementara ahli matematika umumnya percaya memahami bukti terdiri dari lebih dari ini. Mahasiswa menunjukkan mereka berpikir bahwa membaca bukti yang baik harus sedikit dari proses pasif dalam arti bahwa mereka tidak percaya bahwa mereka akan harus membangun sub-bukti atau diagram jika bukti itu ditulis dengan baik. Namun, banyak ahli matematika menyatakan sudut pandang sebaliknya. Weber, Inglis, dan Mejia-Ramos (2014) melakukan studi pustaka, didapatkan hasil bahwa dalam pendidikan matematika, sehubungan dengan pembenaran dan bukti, secara luas diyakini bahwa tujuan instruksi harus bagi siswa untuk memiliki keyakinan yang sama dan praktek pembenaran sebagai ahli matematika. Sedangkan tujuan instruksional memiliki siswa memperoleh kepastian yang mutlak dari bukti deduktif, dan bukti deduktif saja, tidak konsisten dengan praktek matematika. Dan bukti matematis dihargai oleh matematikawan, baik bagi pemahaman matematika yang diberikannya, sebagai tujuan dalam dan dari dirinya sendiri, dan jaminan bersyarat yang dapat memberikan (yaitu, jika bukti tersebut benar dan teori pendukung adalah suara, teorema harus benar). Hasil yang lain didapat bahwa mayoritas ahli matematika menyatakan bahwa mereka bergantung pada otoritas dalam menerima sebuah teorema diterbitkan sebagai benar tetapi beberapa matematikawan mengklaim tidak melakukan hal ini. Serta rekomendasi instruksional tidak hanya lebih konsisten dengan praktek matematika, tetapi juga lebih realistis dan memberikan kesempatan belajar yang lebih besar bagi siswa.
146
REFERENSI Alcock, L. & Inglis, M. 2008. Doctoral Students‟ Use of Examples in Evaluating and Proving Conjectures. Educational Studies in Mathematics, 69(2):111129. Cai, J. & Cirillo, M. 2014. What do we know about reasoning and proving? Opportunities and missing opportunities from curriculum analyses. International Journal of Educational Research, 64:132–140. Cirillo, M. & Herbst, P. G. 2012. Moving toward more authentic proof practice in geometry. Journal The Mathematics Educator, Vol. 21, No. 2: 11-33. Ernest, P. 2004. The Philosophy of Mathematics Education. Routledge Falmer, Taylor & Francis group. Gantert, A. X. 2008. Geometry. New York: AMSCO School Publication, Inc. Harel, G. 2008. DNR perspective on mathematics curriculum and instruction, Part I: focus on proving. ZDM Mathematics Education, 40:487–500. DOI 10.1007/s11858-008-0104-1 Harel, G. & Sowder, L. 1998a. Students‟ Proof Schemes: Results from Exploratory Studies. American Mathematical Society, 7:234-283. Inglis, M. & Alcock, L. 2012. Expert and Novice Approaches to Reading Mthematical Proofs. Journal for Research in Mathematics Education,43 (4). McCrory, R., & Stylianides, A. J. 2014. Reasoning and Proving in Mathematics Textbooks for Prospective Elementary Teachers. International Journal of Educational Research, 64:119-131. Savic, M. 2015a. The Incubation Effect: How Mathematicians Recover from Proving Impasses. The Journal of Mathematical Behavior, 39:67-79. Savic, M. 2015b. On Similarities and Differences Between Proving and Problem Solving. Journal of Humanistic Mathematics, 5, 2: 60-89. Selden, A. & Selden, J. 2011. Mathematical and Non-Mathematical University Students‟ Proving Diffulties. Wiest, L. R., & Lamberg, T. (Eds.). Proceedings of the 33rd Annual Meeting of the North American Chapter of 147
the International Group for the Psychology of Mathematics Education, 675-683. Selden, A. & Selden, J. 2013a. Persistence and Self-Efficacy in Proving. Martinez, M. & Castro Superfine, A (Eds.). Proceedings of the 35th annual meeting of the North American Chapter of the International Group for the Psychology of Mathematics Education,304-307. Selden, A. & Selden, J. 2013b. Proof and Problem Solving at University Level. http://www.researchgate.net/publication/256091550 Selden, A. & Selden, J. 2015. A Theoritical Perspective for Proof Construction. https://www.researchgate.net/c/o6em5o/javascript/lib/pdfjs/build/pdf.work er.js. Selden, A. & Selden, J. 2016. Using a Theoritical Perspective to Teach a Proving Supplement for an Undergraduate Real Analysis Course. Submission for Topic Study Group 2, Tertiary Mathematics Education, ICME-13, 1-4. Stavrou, S. G. 2014. Common Errors and Misconception in Mathematical Proving by Education Undergraduates. IUMPST: The Journal. Vol 1 (Content Knowledge) (www.k-12prep.math.ttu.edu) Stylianides, A. J., Bieda, K. N., & Morselli, F. 2016. Proof and Argumentation in Mathematics Education Research. PME Research Handbook. Weber, K. 2004. A framework for describing the processes that undergraduates use to construct proofs. Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, 4, 425432. Weber, K., & Mejia-Ramos, J. P. 2014. Mathematics Majors‟ Belief About Proof Reading. International Journal of Mathematical Education in Science and Technology,
45,
1:89-103,
http://dx.doi.org/10.1080/0020739X.2013.790514 Weber, K., & Mejia-Ramos, J. P. 2015. On Relative and Absolute Conviction in Mathematics. For the Learning of Mathematics, 35, 2:15-21.
148
Weber, K., Inglis, M., & Mejia-Ramos, J. P. 2014. How mathematicians obtain conviction: Implications for mathematics instruction and research on epistemic cognition. Educational Psychologist, 49(1), 36-58. Zandieh, M., Roh, K. H., & Knapp, J. 2014. Conceptual blending: Student reasoning when proving “condicional implies conditional” statements. The Journal of Mathematical Behavior, 33: 209-229. Zazkis, D., Weber, K., & Mejia-Ramos, J. P. 2015. Two Proving Strategies of Highly Succesful Mathematics. The Journal of Mathematical Behavior. 39:11-27. Zhen, B., Weber, K., & Mejia-Ramos, J.P. 2015. Mathematics Majors‟ Perceptions of the Admissibility of Graphical Inferences in Proofs. International Journal of Research in Undergraduate Mathematics Education, 1-29. DOI 10.1007/s40753-015-0010-1
149
BAB IX PENALARAN STATISTIK
Oleh : Parhaini Andriani
Universitas Negeri Malang
150
BAB – IX
PENALARAN STATISTIK
A. PENDAHULUAN Dalam bidang pendidikan pendidikan statistik terdapat tiga istilah penting yaitu: literasi statistik (statistical literacy), penalaran statistik (statistical reasoning) dan berpikir statistik (statistical thinking). Menurut Budẻ (2006) ketiga istilah ini menjadi tujuan pembelajaran, namun sampai saat ini belum ada kesepakatan formal mengenai definisi dan perbedaan ketiga istilah ini sebagaimana yang dikemukakan Ben-Zvi dan Garfield (2004). Beberapa orang berupaya membuat definisi dan membedakan istilah ini namun masih mengalami kebingungan, sehingga terjadi permasalahan dalam penilaian siswa dan berakibat pada pencapaian tujuan pendidikan. Adapun Garfield dan Ben-Zvi (2008: 34) memberikan definisi ketiga istilah tersebut sebagai berikut: -
Literasi Statistik (Statistical Literacy) adalah kemampuan utama yang diharapkan dimiliki oleh warga dalam masyarakat sarat yang informasi, dan biasanya disebut sebagai hasil yang diharapkan dari sekolah serta sebagai komponen penting dari kemampuan numeric dan literasi orang dewasa. Literasi statistik melibatkan pemahaman dan penggunaan bahasa dasar dan alat bantu statistik, misalnya: mengetahui istilah dasar statistik seperti mean, memahami penggunaan simbol-simbol statistik sederhana, serta mengenali dan mampu menginterpretasi representasi data yang berbeda (Garfield, 1999; Rumsey, 2002; Snell 1999). Ada pandangan lain dari literasi statistik seperti Gal (2000, 2002), yang fokus pada pengguna data, dengan memandang literasi statistik sebagai kemampuan menafsirkan, mengevaluasi secara kritis, dan mengkomunikasikan informasi dan pesan statistik.
-
Penalaran Statistik (Statistical reasoning) dapat didefinisikan sebagai cara orang memberi alasan (bernalar) dengan ide statistik dan membuat informasi statistik menjadi bermakna. Penalaran statistik dapat melibatkan pengaitan satu konsep ke yang lain (misalnya, pemuusatan dan penyebaran) atau menggabungkan ide-ide tentang data dan peluang. Penalaran statistik juga 151
berarti memahami dan mampu menjelaskan proses statistik, dan mampu menginterpretasikan hasil statistik (Garfield, 2002). Penalaran statistik juga dapat dipandang sebagai representasi dan koneksi mental yang dimiliki siswa yang berkaitan dengan konsep-konsep statistik. -
Berpikir statistik (statistical thinking) mencakup berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) dibandingkan dengan penalaran statistik. Berpikir statistik merupakan cara profesional statistik berpikir (Wild & Pfannkuch, 1999). Berpikir statistik mencakup pengetahuan tentang bagaimana dan mengapa menggunakan metode, ukuran, desain atau model statistik tertentu; pemahaman yang mendalam tentang teori-teori yang mendasari proses statistik dan metode; serta memahami kendala dan keterbatasan statistik dan inferensi statistik. Sehingga berpikir statistik dapat dipandang sebagai penggunaan formatif dari model, metode, dan aplikasi statistik dalam mempertimbangkan atau memecahkan masalah statistik. delMas (2002) berupaya menjelaskan perbedaan antara literasi, penalaran
dan berpikir sebagai hasil kognitif. Namun, menurutnya perbedaan tersebut masih tidak yang jelas karena adanya tumpang tindih dalam domain. delMas (2002) berupaya membandingkan padangan dari tiga ahli (Garfield, Chance dan Rumsey) mengenai ketiga istilah tersebut. delMas (2002) kemudian memberikan dua perspektif yang berbeda tentang bagaimana ketiga tujuan pembelajaran ini berkaitan. Jika difokus literasi sebagai perkembangan keterampilan dan pengetahuan dasar
yang dibutuhkan dalam mengembangkan penalaran dan
berpikir statistik, maka diagram Venn pada gambar 1 tampak lebih sesuai.
Gambar 1. Tujuan pendidikan statistik: Domain independen dengan beberapa domain yang overlap (delMas: 2002) 152
Alternatif
perspektif yang lain digambarkan pada gambar 2 yang
dianalisis oleh delMas, memandang literasi statistik sebagai tujuan yang mencakup seluruh tujuan pembelajaran. Penalaran dan berpikir statistik tidak lagi memiliki konten yang independen dari literasi. Keduanya menjadi sub tujuan dalam pengembangan kompetensi statistik.
Gambar 2. Tujuan Pendidikan Statistik: Penalaran dan Berpikir Statistik berada di dalam Literasi (delMas: 2002) Dari kedua perspektif ini memberikan kita gambaran bahwa ketiga istilah yang menjadi tujuan pembelajaran ini masih tumpang tindih (overlapping). Ketiga tujuan pembelajaran ini mungkin dapat tercapai secara bersama-sama dalam suatu pembelajaran materi statistik. Selanjutnya delMas (2002) menawarkan suatu perspektif berbeda terkait ketiga tujuan pembelajaran ini. Setiap konten statistik dapat dipandang dalam merepresentasikan
literasi, penalaran dan pemikiran.
Sehingga pelu lebih melihat ruang lingkup tugas tugas untuk mengidentifikasi apakah pembelajaran mendorong literasi, penalaran, atau pemikiran, sebagaimana dirangkum dalam Tabel 1 berikut. Tabel 6.1. Tugas yang dapat membedakan ketiga domain instruksional (delMas: 2002) Literasi Dasar
Penalaran
Berpikir
Mengidentifikasi Menggambarkan Memfrasekan kembali Mengartikan Menginterpretasi
Mengapa? Bagaimana? Jelaskan? (Proses)
Mengaplikasikan Mengkritisi Mengevaluasi Mengeneralisasi
153
Membaca
Lebih fokus pada definisi penalaran statistik, Grafield (2002) memandang penalaran statistik sebagai cara orang memberikan alasan menggunakan ide statistik dan membuat informasi statistik menjadi bermakna. Penalaran ini mencakup interpretasi terhadap sekumpulan data, representasi grafis, dan ringkasan secara statistik. Sebagian besar penalaran statistik mengkombinasikan ide mengenai data dan perubahannya yang digunakan untuk membuat kesimpulan dan menginterpretasi hasil statistik. Dasar dari penalaran ini adalah pemahaman konseptual mengenai ide-ide penting seperti distribusi, pemusatan, penyebaran, asosiasi, ketidaktentuan, keacakan dan pengambilan sampel. Menurut Lovet (2001), penalaran statistik mencakup penggunaan ide dan alat statistik untuk merangkum dan menggambarkan asumsi disamping membuat kesimpulan berdasarkan data. Sedangkan Martin (2009) memandang penalaran statistik mencakup penafsiran berdasarkan data dan penarikan inferensi dari data. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa penalaran statistik merupakan penggunaan ide-ide statistik dalam menginterpretasi, merepresentasikan dan merangkum sekumpulan data dengan tujuan untuk mendapatkan kesimpulan berdasarkan data. Penalaran statistik digunakan agar informasi statistik menjadi lebih bermakna dan mudah dipahami.
B. IMPLEMENTASI DALAM PENDIDIKAN Garfield, J. dan Ben-Zvi, D. (2008) memberikan contoh dan bukan contoh penalaran statistik. Misalnya siswa diberikan suatu masalah statistik yang berkaitan dengan data bivariate untuk menentukan persamaan garis regresi, menentukan kemiringan dan titik potong garis-garis. Hal serupa juga dapat diberikan untuk masalah aljabar seperti bilangan dan rumus yang digunakan untuk menghasilkan persamaan garis. Pada beberapa kelas statistik yang diajarkan oleh matematikawan, masalah tersebut mungkin belum selesai pada tahap ini. Namun jika penalaran dan berpikir statistik dikembangkan, siswa mungkin dapat diberikan pertanyaan tentang konteks dari data, kemudian mereka diminta 154
menggambarkan dan menafsirkan hubungan antara variabel, serta menentukan apakah regresi linier sederhana merupakan prosedur dan model yang sesuai untuk data tersebut. Jenis penalaran dan pemikiran seperti ini berbeda dengan penalaran dan pemikiran matematis yang cenderung menghitung kemiringan dan titik potong menggunakan rumus aljabar. Faktanya pada beberapa kelas, siswa tidak diminta
untuk
menghitung
kuantitas
berdasarkan
rumus
tetapi
lebih
mengandalkan teknologi untuk menghasilkan angka. Fokus kemudian bergeser pada kegiatan meminta siswa untuk menafsirkan nilai-nilai dari konteks (misalnya: dengan menafsirkan kemiringan sebagai perubahan yang digunakan untuk memprediksi perubahan respon pada
unit perubahan pada variabel
penjelas). Dalam membandingkan penalaran matematis dan penalaran statistik, delMas (2002) menjelaskan bahwa kedua istilah ini tampak mirip, beberapa perbedaannya mengarahkan pada tipe kesalahan yang berbeda. Dia berpendapat bahwa penalaran statistik harus menjadi tujuan ekplisit pembelajaran jika perlu untuk dipelihara dan dikembangkan. Dia juga menyarankan agar pengalaman di kelas statistik lebih memfokuskan pada aktivitas yang membatu siswa mengembangkan pemahaman mendalam tentang proses dan ide stokastik dibandingkan dengan mengajarkan perhitungan dan prosedur. Dalam rangka mendorong penalaran statistik, Moore (1998) merekomendasikan bahwa siswa harus mengalami secara langsung proses pengumpulan data dan eksplorasi data. Pengalaman harus mencakup diskusi tentang bagaimana data diperoleh, bagaimana dan mengapa rangkuman statistik dipilih, dan bagaimana kesimpulan dapat diambil. Siswa juga perlu memperluas pengalaman dengan mengenali implikasi dan menarik kesimpulan untuk mengembangkan pemikiran statistik. (Garfield, J., Ben-Zvi, D., 2008: 19)
Model Perkembangan Penalaran Statistik Garfield (2002) mengembangkan 5 tahapan model perkembangan penalaran statistik pada siswa:
155
a.
Idiosyncratic reasoning, siswa mengetahui beberapa kata dan simbol tentang distribusi
sampel
dan
dapat
menggunakannya
tanpa
benar-benar
memahaminya, kadangkala salah, dan mungkin mempersulit mereka dengan informasi yang tidak relevan. Misalnya, siswa telah belajar istilah mean, median, dan standar deviasi sebagai rangkuman pengukuran, tetapi menggunakannya dengan tidak benar (misalnya, membandingkan mean dengan deviasi standar, atau membuat penilaian tentang rata-rata atau standar deviasi yang baik). b. Verbal reasoning (penalaran verbal), siswa memiliki pengetahuan verbal tentang beberapa konsep tetapi tidak dapat mengaplikasikannya pada konteks. Misalnya, siswa dapat memilih atau memberikan definisi yang benar tetapi tidak secara penuh memahami konsep (contohnya, mengapa rata-rata lebih besar dari median pada distribusi sampel yang kemencengannya positif). c. Transitional
reasoning
(penalaran
transisional),
siswa
mampu
mengindentifikasi satu atau dua dimensi dari proses proses statistik secara benar tanpa sepenuhnya mengintegrasikan dimensi ini, contohnya, suatu ukuran sampel yang besar mengarah kepada interval kepercayaan yang kecil, standar error yang kecil juga mengarah kepada interval kepercayaan yang kecil. d. Procedural reasoning (penalaran prosedural), siswa mampu mengindentifikasi satu atau dua dimensi konsep atau proses statistik secara benar tetapi tidak sepenuhnya mengintegrasikan dan memahami proses tersebut untuk menghasilkan proses tersebut. Contohnya, siswa mengetahui bahwa korelasi tidak berarti sebab-akibat tetapi tidak dapat menjelaskan secara penuh mengapa pernyataan tersebut benar. e. Integrated process reasoning (penalaran proses terpadu), siswa memiliki pemahaman
yang
lengkap
tentang
proses
sampling
serta
mampu
menyesuaikan aturan dan konteks yang dihadapi. Siswa dapat menjelaskan proses tersebut dengan kata-kata mereka dengan pecaya diri. Contohnya, siswa dapat menjelaskan apa makna interval kepercayaan 95% dalam hal proses sampling yang berulang kali dari suatu populasi. 156
Penilaian Kemampuan Penalaran Statistik Garfield and Chance (2000) menawarkan beberapa teknik asesmen kelas untuk mengevaluasi penalaran statistik, yang meliputi: 1. Studi kasus atau tugas autentik: bentuk detail permasalahannya sesuai dengan konteks nyata yang menyatakan strategi dan interpretasi siswa dalam menyelesaikan permasalahan. 2. Peta konsep: representasi visual yang mengubungkan antar konsep yang dilengkapi atau dikonstruks sendiri oleh siswa. 3. Kritik terhadap ide atau isu statistik pada berita: laporan tertulis singkat yang menyatakan seberapa baik siswa memberi alasan mengenai informasi dalam suatu artikel berita; termasuk komentar terhadap informasi yang hilang maupun terkait kesimpulan dan interpretasu yang disajikan dalam artikel. 4. Minute papers: Komentar tertulis tanpa nama yang diberikan siswa yang mencakup
penjelasan
tentang
apa
yang
telah
mereka
pelajari,
membandingkan konsep atau tehnik dan sebagainya. 5. Enhanced multiple-choice items: item yang mengharuskan siswa untuk mencocokkan konsep atau pertanyaan dengan penjelasan yang tepat, dapat digunakan untuk menangkap penalaran siswa dan mengukur pemahaman konseptual. 6. The Statistical Reasoning Assessment: suatu test multiple-choice yang didesain untuk menilai benar dan salahnya siswa dalam bernalar tentang suatu konsep statistik tertentu.
C. PENELITIAN TERKAIT Studi tentang penalaran statistik mulai menjadi trend 20 dekade terakhir. semenjak tatistika menjadi ilmu yang memiliki peran penting dalam kehidupan pada era modern. Fakta yang dikumpulkan menjadi data, diolah, dianalisis dan diinterpretasi sangatlah bermanfaat terutama dalam hal pengambilan keputusan. Berbagai sendi kehidupan masa kini banyak ditentukan oleh data-data empirik
157
yang diperoleh dari analisis statistik. Pengkajian tentang bagaimana statistik diajarkan pada siswa kini menjadi hal yang sangat penting. Berbagai
kajian
penelitian
tentang
penilaian
penalaran
statistik
(sebagaimana dalam Garfield: 2002), menunjukkan bahwa kadangkala siswa dapat menjalani pembelajaran statistik dengan baik, mendapatkan nilai yang baik pada pekerjaan rumah, ujian, dan proyek-proyek, namun masih berkinerja buruk pada pengukuran penalaran statistik seperti Statistical Reasoning Assessment (Garfield 1998b). Hasil ini menunjukkan bahwa guru statistik tidak secara spesifik mengajar siswa bagaimana menggunakan dan menerapkan berbagai jenis penalaran. Sebaliknya, sebagian besar guru cenderung mengajarkan konsep dan prosedur, memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerja dengan data dan perangkat lunak, dan berharap menghasilkan pengembangan penalaran. Namun, nampaknya penalaran tidak benar-benar berkembang dengan cara ini. Penelitian saat ini (delMas, Garfield dan Chance: 1999) difokuskan pada eksplorasi dan menggambarkan perkembangan (dan penilaian) keterampilan penalaran statistik, khususnya di bidang statistik inferensial. Sedlmeier (1999) mengklaim bahwa penalaran statistik jarang diajarkan dan ketika diajarkan (yakni mengajarkan orang menggunakan aturan tertentu seperti yang dijelaskan oleh Nisbett dan rekan), jarang berhasil. Dia membahas "penalaran statistik sehari-hari," merangkum penelitian tentang pelatihan untuk meningkatkan penalaran statistik, dan menyajikan beberapa program pelatihan sendiri yang dirancang untuk mengajarkan orang untuk menggunakan jenis tertentu penalaran secara benar (misalnya melibatkan probabilitas bersyarat, sampel, dan inferensi Bayesian). Lovett (2001) menyarankan suatu model lingkungan belajar yang membantu siswa mengembangkan penalaran statistik dengan benar yang akan dievaluasi dalam kajian penelitian selanjutnya. Kemudian Garfield and Ben-Zvi (2008) mengemukakan suatu model bagi pembelajaran statistik pada level sekolah menengah dan perguruan tinggi untuk meningkatkan penalaran statistik. Model ini dikembangkan berdasarkan teori belajar konstruktivis, yang dinamakan Statistical Reasoning Learning Environment (SRLE). SRLE adalah suatu kelas statistik yang
158
efektif dan positif yang mengembangkan pemahaman yang mendalam dan bermakna siswa tentang statistik dan membantu siswa mengembangkan kemampuan mereka dalam berpikir dan bernalar secara statistik. Pendekatan ini dinamakan suatu lingkungan belajar karena adanya kombinasi interaktif antara teks materi, aktivitas dan budaya kelas, diskusi, teknologi, pendekatan dan penilaian pengajaran. Pada model ini terdapat enam prinsip desain pembelajaran sebagaimana yang dikemukakan Cobb and McClain (2004), yaitu: 1.
Fokus pada ide sentral statistik,
2.
Penggunaan data riil dan motivating,
3.
Penggunaan aktivitas kelas untuk mengembangkan penalaran statistik siswa,
4.
Mengintegrasikan alat teknologi yang sesuai,
5.
Mendorong wacana kelas, dan
6.
Melaksanakan alternatif asesmen Terdapat pula suatu kerangka berdasarkan Taksonomi SOLO (Stucture of
the Observed Learning Outcome) yang dapat digunakan untuk menilai penalaran inferensial informal mahasiswa pascasarjana telah dikembangkan oleh Mohd Nor, M, Noraini Idris (2010). Kerangka ini terdiri dari seperangkat deskriptor dari level penalaran dan interview task yang dapat digunakan untuk mengumpulkan bukti penalaran inferensial informal mahasiswa. Interview task terdiri dari suatu konteks penelitian hipotetik yang disertai dengan dua box plots yang merepresentasikan data yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut dan dua pertanyaan, pertanyaan pertama meminta siswa menarik kesimpulan berdasarkan dua box plots dan menilai kesimpulan mereka, pertanyaan kedua menanyakan apakah kesimpulan mereka dapat digeneralisasi dan memberikan penjelasan tentang hal tersebut. Selain itu terdapat pula studi tentang aspek Pedagogical Content Knowledge pada guru yang mengajarkan data Bivariate (Quintas, S., Ferreira, R.T., Oliveira, H (2014). Hasil analisis PCK dua guru yang diamati ketika mereka mengajarkan data bivariate dalam statistika menunjukkan bahwa ada beberapa kesulitan pada dalam memproses dan mendukung siswa menganalisa dan menafsirkan koefisien korelasi serta pada penalaran tentang garis regresi dan
159
model regresi linier. Ketika mengamati scatterplot, hanya hubungan linier saja yang dieksplorasi bahkan pada grafik menunjukkan yang sebaliknya. Selain itu, tidak terdapat analisis tentang bentuk distribusi yang berkaitan dengan keradaan kelompok atau pencilan, atau bagaimana hal ini dapat berakibat pada nilai koefisien korelasi. Kedua guru ini nampaknya tidak memiliki pengalaman yang kuat dalam membahas data bivariate yang disajikan dengan scatterplot, yang berdampak secara negatif terhadap KCS mereka. Kedua guru ini perlu membantu siswa mengembangkan penalarannya secara lebih mendalam tentang hubungan bivariate, yang mencakup aspek struktur dan kekuatan, penyesuaian model dan aturan pada model regresi linier dalam memprediksi peristiwa. Sehingga perlu memelihara pemahaman siswa tentang konsep yang berkaitan dengan korelasi dan regresi ketika mereka menegjakan tugas menyertakan data bivariate pada konteks kelas. Ben-Zvi (2006) menemukan bahwa penggunaan teknologi informasi berdampak positif terhadap perkembangan kemampuan penalaran statistik. Penelitian pada siswa kelas 5 SD menunjukkan adanya peningkatan kemampuan argumentative dan menyimpulkan ide secara informal dengan menggunakan Tinker Plots software. Efek dari penggunaan software ini banyak dikaji oleh beberapa peneliti diantaranya Fitzallen & Watson (2010) yang menguji dampak pemanfaatan software TinkerPlots untuk mengembangkan penalaran statistik pada 26 siswa kelas 5 dan 6. Siswa dilibatkan dalam empat kali pembelajaran yang berkaitan dengan pengumpulan data, representasi data, ringkasan data dan inferensi data berdasarkan aktivitas olahraga dimana mereka harus mengukur denyut jantung sebelum dan setelah aktivitas tersebut kemudian menggunakan TinkerPlots untuk menganalisis data.
Setelah dilibatkan dalam pembelajaran
selama sebulan, siswa berkembang menjadi pengguna TinkerPlots yang independen. Mereka dapat berubah dari mengikuti prosedur yang diajarkan di dalam kelas menjadi siswa yang menggunakan TinkerPlots secara kereatif, serta dapat menyesuaikan dengan apa yang mereka butuhkan.
160
Terkait dengan asesmen penalaran statistik, telah banyak dikembangkan pada pembelajaran pentar statistik oleh beberapa peneliti (dalam Ziegler: 2014), diantaranya: 1.
Statistics Reasoning Assessment (SRA; Garfield, 2003),
2.
Statistics Concepts Inventory (SCI; Reed-Rhoads, Murphy, & Terry, 2006),
3.
Comprehensive Assessment of Outcomes in a First Statistics Course (CAOS; delMas et al., 2007),
4.
Assessment Resource Tools for Improving Statistical Thinking (ARTIST; Garfield et al., 2002)
5.
Topic Scale tests, Quantitative Reasoning Test-Version 9 (QR-9; Sundre, Thelk, & Wigtil, 2008),
6.
Goals and Outcomes Associated with Learning Statistics (GOALS; Garfield et al., 2012), dan
7.
Basic Literacy In Statistics (BLIS; Ziegler, 2014) Selain itu, Chan dan Ismail (2014) membuat alat penilaian (asesmen) yang
dapat digunakan untuk memperhalus dan memvalidasi kerangka penalaran statistik awal. Terdapat 5 tugas dalam instrumen ini dan setiap itemnya diberi label berdasarkan empat kontruk kunci. Perangkat teknologi yang digunakan dalam menyelesaikan tugas ini adalah software matematika dinamik. Alat penilaian (asesmen) penalaran statistik berdasarkan teknologi dapat diaplikasikan untuk penelitian lanjutan. Sebuah forum penelitian internasional yang bertujuan untuk mendorong penelitian yang memfokuskan pada berpikir dan bernalar siswa yang dinamakan The International Collaboration for Research on Statistical Reasoning, Thinking and Literacy (SRTL) yang diinisiasi oleh Joan Garfield dan Dani Ben-Zvi mulai tahun 1999. Pada awalnya forum ini memfokuskan pada perbedaan tipe penalaran statistik (SRTL-1, 1999; SLTR-1, 2001), penalaran tentang variasi (SLTR-3, 2002), dan penalaran tentang distribusi (SLTR-4, 2005). Mulai tahun 2007 forum ini memfokuskan kajiannya pada penalaran inferensial, penalaran inferensi statistik (SLTR-5, agustus 2007), peranan bukti dan konteks dalam penalaran
161
inferensial informal (SLTR-6, 2009), penalaran tentang sampel dan pengambilan sampel (SLTR-7, 2011) dan penalaran tentang uncertainty (SLTR, 2013). Studi
terkini
telah
memfokuskan
penelitian
pada
pemahaman
pengembangan ide tentang kesimpulan statistik informal pada siswa sebagai suatu cara membangun pemahaman konseptual mereka tentang dasar pengambilan keputusan statistik dari ide yang lebih formal. Kelompok peneliti ini menamakan tipe penalaran ini sebagai penalaran IIR (Informal Inference Reasoning) dan memandangnya sebagai hal yang penting bagi siswa pada seluruh tingkatan untuk dikembangkan dan digunakan untuk membuat prediksi dan keputusan tentang data. (Garfield, et.al.: 2015). Review literature tentang berpikir expert dan berpikir statistik memberikan pertimbangan bagi pengajaran siswa pada berbagai level pendidikan. Ketika matematikawan membuat inferensi, mereka menggunakan domain pengetahuan tertentu yang berkaitan dengan sampling variability (seperti pengetahuan tentang ukuran sampel dan sample variability)
untuk membuat generalisasi atau
perbandingan. Mereka juga memanfaatkan pengetahuan kontekstual (misalnya, metode pengumpulan data, konteks masalah) dan juga pengalaman masa lalu untuk membuat perkiraan dan keputusan yang masuk akal. (Garfield, et al: 2015). Beberapa implikasi pedagogis antara lain (Garfield, et al: 2015): 1.
Mengatur kurikulum untuk mengenali pola bermakna dari pengetahuan (seperti: jaringan pengetahuan, visualisasi konsep kunci, relasi antar konsep menggunakan peta konsep).
2.
Memberikan siswa permasalahan data otentik (kompleks, menakjubkan, bertentangan) daripada masalah pada buku yang sifatnya kanonikal.
3.
Membantu siswa mengenali nilai kedalaman 1 mil dibandingan degan luasnya pengetahuan yang dapat membantu kita mendesain pembelajaran berbasis proyek.
4.
Mendesain pembelajaran yang memungkinkan siswa melihat bagaimana expert menyelesaikan masalah, menghadapi kesulitan dan seterusnya.
5.
Menggunakan media pembelajaran yang dinamis dan interaktif yang membantu siswa memiliki pengalaman investigasi seperti expert
162
6.
Mengajarkan siswa menggunakan berpikir metakognisi tidak sekedar berpikir statistik.
7.
Mulai menggunakan pendekatan informal dalam pengambilan kesimpulan statistik awal pada pendidikan dasar dan secara terus menerus membangun pendekatan ini seperti aktivitas “mengembangkan suatu sampel” (Bakker: 2004, Ben-Zvi: 2006)
8.
Memanfaatkan teknologi inovatif (seperti TinkerPlot) yang mendukung eksplorasi data seperti pendekatan modeling pada usia yang relative awal. Suatu penelitian logitudinal ini yang bertujuan untuk mengetahui dampak
jangka panjang pembelajaran pada mahasiswa tingkat Sembilan, tiga tahun setelah mereka terlibat dalam intervensi tiga tahun (tingkat 4 – 6) pada Connection Program
menunjukkan
bahwa
mahasiswa
mengikuti
program
melebihi
kemampuan mahasiswa yang tidak mengikuti program pada tiga bagian yaitu: (1) pemahaman konseptual, (2) inferensi statistik informal dan (3) penyatuan pandangan tentang suatu distribusi. Namun penelitian ini dikatakan memiliki keterbatasan pada kajian idiosyncratic circumstances. (Gil & Ben-Zvi: 2014). Makar (2013) mengkaji gagasan awal anak-anak tentang rata-rata dalam satu kelas penyelidikan untuk pertanyaan “Is there a typical height for a student in year 3? If so, what is it?”. Serangkaian pembelajaran dianalisis pada siswa kelas tiga (26 orang siswa berusia 8 tahun) pada suburban school di Quensland Australia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat lima konsep kunci “typical” (rata-rata) yang diperdebatkan siswa, yaitu (1) a reasonable height, (2) the most common value or interval of data in the class, (3) the middle height, (4) the medium (normative) population height and (5) representative of a subpopulation. Penelitian ini memberikan saran bahwa elemen yang diidentifikasi mendukung penalaran inferensial informal adalah a.
Lingkungan belajar berbasis inkuiri, kelas dimana data digambarkan sebagai salah satu yang dikembangkan dalam penyelidikan matematika. Pertanyaan yang diberikan ill-structured dan ambigu.
b.
Konsep dan alat bantu statistik. Anak-anak mungkin memahami gagasan tentang
outliers,
group
comparisons,
163
sampling
variability,
representativeness, populations dan informal inference melalui suatu lingkungan belajar berbasis inkuiri. Penggunaan konsep statistik secara informal menunjukkan bahwa mereka membangun pengetahuan dasar yang selanjutnya mungkin dapat berkembang ketika mereka kembali menghadapi permasalahan yang lebih kompleks. c.
Konflik. konflik yang dihadapi siswa antara harapan dan pesan yang diinterpretasikan dalam data memberi mereka kesempatan untuk berdebat, memperjelas dan berusaha untuk menyelesaikan ide-ide mereka. Konflik ini muncul dari kompleksitas situasi otentik dan budaya penyelidikan yang mendorong konsep statistik muncul melalui perdebatan dan musyawarah. Sebuah aspek kunci di sini adalah 'keterampilan guru dalam memprovokasi penalaran siswa serta pengembangan budaya kelas yang menghargai percakapan substantif Pemahaman tentang konteks masalah berperan penting dalam investigasi
statistik. Gil & Ben-Zvi (2011) mengkaji peranan penjelasan siswa dalam memaknai data dan belajar bernalar secara informal tentang inferensi statistik. Hasil penelitian menjukkan bahwa terdapat 4 tipe penjelasan yang memunculkan penalaran inferensial informal siswa, yaitu: 1.
Descriptive explanation, memberikan deskripsi statistik tentang bagaimana interpretasi atau inferensi berdasarkan representasi data.
2.
Abductive explanation, memberikan catatan hipotetis tentang alasan kontekstual dan teoritis tentang fenomena yang diinvestigasi
3.
Reasonableness explanation, memberikan suatu dasar bagi penegasan kewajaran/ ketidakwajaran suatu inferensi dan keperluan ekplorasi dan penjelasan lanjutan.
4.
Conflict resolution,memberikan resolusi terhadap konflik antara suatu ekspektasi dengan inferensi yang diajukan. Sedangkan Pfannkuch (2011) menemukan bahwa data-context dan
learning-experience-contexts berperan penting dalam mengembangkan penalaran inferensial
informal
siswa.
Studi
ini
menyarankan
bahwa
ketika
mempertimbangkan "konteks" sebagai peran sentral dalam pengembangan
164
berpikir statistik, pengaruhnya dalam siklus penyelidikan (inquiry cycle) dan pada pengembangan konsep berdampak nyata. Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa usaha untuk merancang kegiatan yang meningkatkan dan memajukan penalaran inferensial statistik siswa mungkin perlu diperhitungkan learningexperince-context dan bahwa guru dan peneliti perlu menyadari bagaimana mereka menggunakan data-context dan learning-experince-context untuk membentuk penalaran dalam siklus penyelidikan dan untuk mengembangkan konsep.
Prospek Penelitian Yang Dapat Dikembangkan Studi tentang penalaran statistik di Indonesia masih jarang dilaksanakan. Selama ini pembelajaran statistik baik di sekolah maupun di perguruan tinggi belum tereksplorasi secara mendalam, terlebih pada jenjang sekolah menengah. Pembelajaran statistik di sekolah masih mengedepankan keterampilan prosedural dan kurang memanfaatkan software atau aplikasi alat bantu seperti TinkerPlot. Sehingga perlu pengkajian tentang penalaran statistik siswa apabila dilibatkan dalam lingkungan belajar berbasis inkuiri dengan bantuan teknologi. Selain itu, pengkajian tentang penalaran siswa terkait topik tertentu pada statistik, seperti: sample, variabilitas sampling, distrubusi sampel, inferensi statistik serta topik lainnya perlu digali secara mendalam. Berbagai instrumen yang telah dikembangkan sebagaimana disebutkan sebelumnya mungkin dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan penalaran siswa pada berbagai konsep. Penelitian terkini yang sedang menjadi tren dalam pendidikan statistik adalah penalaran inferensial informal. Penalaran ini diyakini sangat penting dimiliki oleh siswa sebelum mereka bernalar secara lebih formal tentang ide statistik. Pengkajian ini mungkin menjadi prospek penelitian yang bagus untuk dikembangkan. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa pertanyaan yang mungkin dapat dikembangkan menjadi penelitian lanjutan, yaitu: 1.
Bagaimana proses penalaran statistik pada aspek yang berkaitan dengan masalah kehidupan sehari-hari? 165
2.
Bagaimana perbedaan individu dalam bernalar statistik?
3.
Bagaimana proses mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa pada penalaran statistika?
4.
Bagaimana
mengembangkan
model
pembelajaran
matematika
yang
mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa pada penalaran statistika? 5.
Bagaimana siswa memulai pengembangan konsep tentang inferensi statistik?
6.
Bagaimanakah level penalaran inferensial informal pada siswa Sekolah Menengah?
7.
Aspek apakah yang mendukung perkembangan penalaran inferensial informal siswa?
166
REFERENSI Budẻ, L. (2006). Assessing Students‟ Understanding of Statistics. ICOTS-7. Tersedia pada http://www.ime.usp.br/~abe/ICOTS7/Proceedings/PDFs/InvitedPapers/6 G3_BUDE.pdf Chan, S. W., Ismail, Z. A. (2014). Technology-Based Statistical Reasoning Assessment Tool Indescriptive Statistics For Secondary School Students, The Turkish Online Journal Of Educational Technology – January 2014, Volume 13 Issue 1 Chan, W. S., Ismail, Z. (2012). The role of information technology in developing students‟ statistical reasoning. Procedia - Social and Behavioral Sciences. 46 ( 2012 ) 3660 – 3664 delMas , Robert C. (2002). Statistical Literacy, Reasoning, and Learning: A Commentary, University of Minnesota, Journal of Statistics Education Volume 10, Number 3 (2002). Tersedia pada: http://www.amstat.org/publications/jse/v10n3/delmas_discussion.html Fitzallen, Noleine. A Model of Students’ Statistical Thinking and Reasoning about Graphs in an ICT Environment. Tersedia pada: http://www.merga.net.au/documents/RP212006.pdf Fitzallen, Watson. Developing Statistical Reasoning Falitated by TinkerPlots. In C. Reading (Ed.), Data and context in statistics education: Towards an evidence-based society. Proceedings of the Eighth International Conference on Teaching Statistics (ICOTS8, July, 2010), Ljubljana, Slovenia. Voorburg, The Netherlands: International Statistical Institute. www.stat.auckland.ac.nz/~iase/publications.php Garfield, J., Ben-Zvi, D. (2008a). Developing Students‟ Statistical Reasoning: Connecting Research and Teaching, Springer Science+Bussines Media B.V. Garfield, J., Ben-Zvi, D.(2008b). Preparing School Teachers to Develop Students‟ Statistical Reasoning. Proceeding of the ICMI Study 18 and 2008 IASE Round Table Conference Garfield, J., Ben-Zvi, D. (2009). Helping Students Develop Statistical Reasoning: Implementing a Statistical Reasoning Learning Environment. Artikel pada: https://www.causeweb.org/workshop/aims/Statistical%20Reasoning%20 Learning%20Environment.pdf
167
Garfield, J., Ben-Zvi, D. (2004). The Challenge Of Developing Statistical Literacy, Reasoning And Thinking, Springer Science+Bussines Media B.V. Garfield, J. (2002). The Challenge of Developing Statistical Reasoning, Journal of Statistics Education Volume 10, Number 3 (2002), University of Minnesota. Tersedia pada www.amstat.org/publications/jse/v10n3/garfield.html Garfield, Laura Le, Zieffler & Ben-Zvi. (2015). Developing students‟ reasoning about samples and sampling variability as a path to expert statistical thinking. Educ Stud Math (2015) 88:327–342. DOI 10.1007/s10649-0149541-7 Gil, E, Ben-Zvi, D. (2014). Long-Term Impact On Students‟ Informal Inferential Reasoning. In K. Makar, B. de Sousa, & R. Gould (Eds.), Sustainability in statistics education. Proceedings of the Ninth International Conference on Teaching Statistics (ICOTS9, July, 2014), Flagstaff, Arizona, USA. Voorburg, The Netherlands: International Statistical Institute. Gil., E., Ben-Zvi, D. (2011). Explanation and Context in the Emergence of Students‟ Informal Inferential Reasoing. Mathematical Thinking and Learning, 13, 87–108, (2011). Lovett, M. (2001). A collaborative convergence on studying reasoning processes: A case study in statistics. In D. Klahr & S. Carver (Eds.). Cognitive and instruction: Twenty-five years of progress (pp. 347-384). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum. Lovett, M., (2001). A collaborative convergence on studying reasoning processes: A case study in statistics. Cognition and Instruction: Twenty-Five Years of Progress, eds. D. Klahr and S. Carver, Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum, 347-384. Makar, K. (2013). Young children's explorations of average through informal inferential reasoning. Educ Stud Math. Springer Science+Business Media Dordrecht 2013 DOI 10.1007/s10649-013-9526-y Publish online: 13 Desember 2013 Martin, G. (2009). Focus in school mathematics: Reasoning and sense making. National Council of Teachers of Mathematics. Mohd Nor, M, Noraini Idris, Assessing Students‟ Informal Inferential Reasoning using SOLO Taxonomy based Framework. Procedia Social and Behavioral Sciences 2 (2010) 4805–4809
168
Nick J. Broers Learning Goals: The Primacy Of Statistical Knowledge. ICOTS-7, 2006: Broers. Tersedia pada: https://www.stat.auckland.ac.nz/~iase/publications/17/6G2_BROE.pdf Pfannkuch, M. The Role of Context in Developing Informal Statistical Inferential Reasoning: A Classroom Study. Mathematical Thinking and Learning, 13: 27 – 46, (2011) Quintas, S., Ferreira, R.T., Oliveira, H., (2014). Attending To Students‟ Thinking On Bivariate Statistical Data At Secondary Level: Two Teachers‟ Pedagogical Content Knowledge, In K. Makar, B. de Sousa, & R. Gould (Eds.), Sustainability in statistics education. Proceedings of the Ninth International Conference on Teaching Statistics (ICOTS9, July, 2014), Flagstaff, Arizona, USA. Voorburg, The Netherlands: International Statistical Institute Sedlmeier, Peter. (1999). Improving statistical reasoning: theoretical models and practical implications. Lawrence Erlbaum Associates, Inc., Publishers. Ziegler, (2014). Reconceptualizing Statistical Literacy: Developing An Assessment For The Modern Introductory Statistics Course. Disertasi. University of Minessota.
169
170