Corporate Social Responsibility Dalam Perspektif Ekonomi Berbasis Syari’ah Abdul Haris Abdullah, M.Pd1 Samsudin Antuli, MA2 Abstract Konsep Corporate Social Responsibility atau Tanggungjawab Sosial Perusahaan selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan, bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan bisnisnya tidak semata mengejar laba tetapi dituntut pula tanggungjawab sosial dan lingkungan dimana perusahaan tersebut beraktifitas saat ini maupun jangka panjang. The concept of Corporate Social Responsibility or Corporate Social Responsibility in the article will hereinafter abbreviated as CSR is a concept that organizations, especially the company is having a responsibility towards customers, employees, shareholders, communities and environment in all aspects of company operations. CSR is closely linked to sustainable development, that a company in executing its business not only profit but also demanded social responsibility and the environment in which the company's current activities and long term. Keyword: Corporate Social Responsibility
Pendahuluan Pada empat tahun terakhir dalam pemerintahan transisi reformasi kita banyak menyaksikan gejolak sosial yang muncul akibat dari kesalahan pengelolaan bisnis-bisnis besar yang memiliki konsekuensi sosial dan lingkungan. Sebutlah dua contoh yang paling besar diulas media tentang lumpur Lapindo Sidoarjo yang tak kunjung selesai hingga tulisan ini dibuat dan kasus Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara. Kedua contoh tersebut menjadi saksi untuk
1
Dosen Tetap di Lingkungan STAIN Manado dengan Matakuliah Binaan Manajemen Pendidikan, Email:
[email protected] 2
Dosen Tetap di Lingkungan STAIN Manado dengan Matakuliah Binaan Metodologi Muamalah
tidak menyebut serampangan perusahaan-perusahaan yang didukung regulasi memberi konstribusi negatif dalam kehidupan sosial masyarakat. Lahirnya konsep Corporate Social Responsibility atau Tanggungjawab Sosial Perusahaan selanjutnya dalam artikel akan disingkat CSR adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen,
karyawan,
pemegang saham,
komunitas dan
lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat dengan pembangunan berkelanjutan, bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan bisnisnya tidak semata mengejar laba tetapi dituntut pula tanggungjawab sosial dan lingkungan dimana perusahaan tersebut beraktifitas saat ini maupun jangka panjang. CSR merupakan salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh perusahaan sesuai dengan Undang-undang Perseroan Terbatas (UUPT) yang baru. Dengan adanya Undang-undang ini, industri atau korporasi-korporasi wajib untuk melaksanakannya, tetapi kewajiban ini bukan merupakan suatu beban yang memberatkan. Industri dan korporasi berperan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan mempertimbangkan pula faktor lingkungan hidup. Dunia usaha tidak lagi hanya memperhatikan catatan keuangan perusahaan semata (single bottom line), melainkan sudah meliputi keuangan, sosial, dan aspek lingkungan biasa disebut (Triple bottom line) sinergi tiga elemen ini merupakan kunci dari konsep pembangunan berkelanjutan.3
3
Siregar, Chairil, Analisis Sosiologis Terhadap Implementasi Corporate Social Responsibility Pada Masyarakat Indonesia, Jurnal Sosioteknologi Edisi 12 Tahun 6, Desember 2007, h. 285
Konsep tanggung jawab sosial perusahaan telah dikenal sejak awal 1970, yang secara umum diartikan sebagai kumpulan kebijakan dan praktik yang berhubungan dengan stakeholder, nilai-nilai, pemenuhan ketentuan hukum, penghargaan masyarakat, lingkungan, serta komitmen dunia usaha untuk berkontribusi dalam pembangunan secara berkelanjutan. Penting diingat bahwa kehadiran pengaturan tentang CSR tidak hanya merupakan kegiatan kreatif perusahaan dan tidak terbatas hanya pada pemenuhan aturan hukum semata. Masih banyak perusahaan tidak mau menjalankan program-program CSR karena melihat hal tersebut hanya sebagai pengeluaran biaya (Cost Center). CSR tidak memberikan hasil secara keuangan dalam jangka pendek. Namun CSR akan memberikan hasil baik langsung maupun tidak langsung pada keuangan perusahaan di masa mendatang. Investor juga ingin investasinya dan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaannya memiliki citra yang baik di mata masyarakat umum. Dengan demikian, apabila perusahaan melakukan program-program CSR diharapkan keberlanjutan, sehingga perusahaan akan berjalan dengan baik. Oleh karena itu, program CSR lebih tepat apabila digolongkan sebagai investasi dan harus menjadi strategi bisnis dari suatu perusahaan. Istilah CSR pertama kali menyeruak dalam tulisan Social Responsibility of the Businessman tahun 1953. konsep yang digagas Howard Rothmann Browen ini menjawab keresahan dunia bisnis. Belakangan CSR segera diadopsi, karena bisa jadi penawar kesan buruk perusahaan yang terlanjur dalam pikiran masyarakat dan lebih dari itu pengusaha di cap sebagai pemburu uang yang tidak peduli pada
dampak kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kendati sederhana, istilah CSR amat marketable.4 Dalam proses perjalanan lahirnya peraturan perudangan CSR banyak masalah yang dihadapinya, di antaranya adalah: 1) Program CSR belum tersosialisasikan dengan baik di masyarakat. 2) Masih terjadi perbedaan pandangan antara departemen hukum dan HAM dengan departemen perindustrian mengenai CSR dikalangan perusahaan dan Industri. 3) Belum adanya aturan yang jelas dalam pelaksanaan CSR dikalangan perusahaan.5 Bila
dianalisis
permasalahan
di
atas
yang
menyangkut
belum
tersosialisasikannya dengan baik program CSR di kalangan masyarakat. Hal ini menyebabkan program CSR belum bergulir sebagai mana mestinya, mengingat masyarakat umum belum mengerti apa itu program CSR. Apa saja yang dapat dilakukannya? Bagaimana dapat berkolaborasi dengan prosedur perusahaan. Untuk menjawap pertanyaan masyarakat umum, perlu dijelaskan keberhasilan program CSR baik di media cetak, atau media elektronika dan memberikan contoh keberhasilan program CSR yang telah dijalankan. Di samping itu peranan perguruan tinggi perlu ambil bagian dalam proses sosialisasi ini, mengingat perguruan tinggi sebagai agen perubahan dalam masyarakat. Kerjasama ini dapat berupa penelitian, seminar, dan pemberdayaan masyarakat. Implementasi program CSR di kalangan pendidikan diharapkan dapat ditelaah dalam beragam disiplin ilmu agar konsep keberpihakan dan kepedulian
4
http://business enveroment.wordpress.com/2007. Nurwoko, J.Dwi., Sosiologi teks pergaulan dan terapan, Jakarta : Kencana Prenada, Media Group, 2006, h. 35 5
perusahaan terhadap sosial dan lingkungan tempat tinggal masyarakat makin terasa. Dalam artikel ini penulis akan berupaya memberikan sumbangsih pemikiran tentang CSR dengan semangat disiplin ilmu ekonomi syari’ah yang dalam hemat penulis konsepsi-konsepsi dasar ekonomi syari’ah dalam Islam amatlah searah dengan perintah kepada manusia untuk memperhatikan dan melindungi kehidupan manusia dari ulah tangan-tangan manusia sendiri. Kekhalifaan manusia di bumi (Q.S: 2: 30),6 dimaksudkan oleh Allah SWT agar manusia dapat menggunakan dengan secara bersyukur (tidak merusak dan membuatnya semena-mena) apa yang telah di karuniakan-Nya. Dialah (Allah) telah menundukkan kepada manusia apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi sebagai rahmat (Q.S: 45:13).7 Fokus telaahan artikel adalah CSR dalam perspektif ekonomi berbasis syari’ah dengan usaha mengeksplorasi kesepadanan bahasa syari’ah dengan nilainilai sosial kemanusiaan yang menjadi semangat konsepsi CSR. Konsepsi CSR dalam telaahan ekonomi berbasis syari’ah merupakan tempat titik singgung kapitalisme ekonomi, sosialisme komunis dan ekonomi Islam disisi lain yang selama ini nampak dalam kajian-kajian akademik selalu tak pernah bertemu. Namun sebelum eksplorasi lebih jauh dalam melihat kesepadanan CSR dengan
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". 7 “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tandatanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”. 6
bahasa ekonomi syari’ah penting menjelaskan lebih awal apa itu CSR, apa tujuan ekonomi berbasis syari’ah, prinsip-prinsip ekonomi berbasis syari’ah, dan prinsipprinsip CSR, serta pada akhirnya kajian fokusnya melihat pertautan antara CSR dengan ekonomi berbasis syari’ah.
Corporate Social Responsibility CSR atau disebut dengan Corporate Social Responsibility merupakan suatu tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan sekitar perusahaan, fungsi CSR tidak hanya sebagai suatu kewajiban menjalankannya saja, namun berproses kepada dampak yang lebih dalam lagi yakni bagaimana CSR bisa menuntaskan kemiskinan dan berhasil menggerakan sektor riil. Namun dapat pula dikatakan bahwa apabila perusahaan telah menjalankan fungsi CSR ini ada baiknya pemerintah mengurangi pajak dimana CSR secara nyata telah membangun suatu daerah apalagi daerah tersebut merupakan daerah tempat perusahaan beroperasi.8 CSR lahir dari desakan masyarakat atas perilaku perusahaan yang mengabaikan tanggung jawab sosial seperti perusakan lingkungan, eksploitasi sumber daya alam, dan menindas buruh. Pendeknya, perusahaan berdiri secara diametral dengan kehidupan sosial. Kesan perusahaan, terutama pemilik modal, lebih menampakkan wajah yang a-sosial. Biasanya orang menyebutnya pelit, tertutup, mau untung doang,
8
Zulfikar, Menggerakkan Sektor Riil Lewat Peran Sosial Perusahaan, http//www.menggerakkansektor-riel-lewat-csr.html
menghalalkan segala cara dan tidak punya hati kepada karyawan. Ini kenyataan bahwa kaum kapitalis memang tegak berdiri di atas derita banyak orang. Kini situasi semakin berubah. Konsep dan praktik CSR sudah menunjukkan sebagai keharusan. Para pemilik modal tidak lagi menganggap sebagai pemborosan. Hal ini terkait dengan meningkatnya kesadaran sosial kemanusiaan dan lingkungan. Di luar itu, dominasi dan hegemoni perusahaan besar sangat penting peranannya di masyarakat. Kekuatan perusahaan yang semakin besar, sebagaimana dinilai Dr David Korten, penulis buku ”When Corporations Rule the World” melukiskan bahwa dunia bisnis setengah abad terakhir telah menjelma menjadi institusi paling berkuasa. Bahkan pengamat globalisasi, Dr Noorena Herzt berpendapat perusahaan besar di berbagai negara telah mengambil alih kekuasaan politik dari politisi.9 Desakan yang semakin tinggi dari masyarakat agar perusahaan tidak menjadi entitas yang selfish, mendorong banyak perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan, atau yang dikenal dengan CSR. Kini, perusahaan berlomba-lomba untuk hadir ditengah-tengah masyarakat melalui berbagai macam program sosial yang meriah: mulai dari pemberian beasiswa, pelayanan kesehatan kepada ibu dan anak, hingga pendampingan untuk menyelesaikan masalah-masalah lingkungan hidup.10 Penerapan konsep tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR bagi masyarakat yang menjadi kewajiban perusahaan harus berkelanjutan, tak lagi
9
Nurhayati, Siti., http://www.sinarharapan. co.id/berita/ 0603/25/ opi02.html Margiono, Ari., Menuju Corporate Social Leadership, http//www.CSR Resources in Indonesia.htm 10
hanya insidental. Selama ini CSR memang bersifat sukarela, sehingga penerapannya pun bebas tafsir berdasarkan kepentingan masing-masing. Hal ini dibuktikan dengan perusahaan yang memberi bantuan yang bersifat charity, seperti memberi sumbangan, santunan, sembako, dan lain-lain. Ini bukanlah inti dari CSR yang harus bersifat berkelanjutkan. Kritik praktek perusahaan seperti demikian disampaikan Psikolog UGM Prof Dr Djamaludin Antjok M dalam Talkshow Smart Corner Club MM UGM bertema ‘The Power of Corporate Social Responsibility’ di Student Lounge Magister Manajemen’ Universitas Gadjah Mada 2007. Oleh sebab itu ada baiknya CSR harus dikelola secara baik dan benar, dimana penempatan CSR tersebut harus berimbang, 20% untuk pendidikan, 30% untuk pembangunan daerah setempat dan selebihnya untuk menggerakkan sektor riil, dimana keuntungan yang diperoleh dari kredit bergulir tersebut harus digulirkan lagi tidak boleh dianggap sebagai laba perusahaan namun diakumulasikan dengan dana CSR untuk tahun depan. Apabila konsep ini dijalankan untuk seluruh perusahaan di Indonesia maka dipastikan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tentunya juga akan memberi dampak postif dalam mengurangi pengangguran. Namun pada pelaksanaannya banyak aktivitas CSR yang bias. Akitivitasaktivitas yang dilakukan seringkali hanya bagian kegiatan promosi produk atau perusahaan belaka. Banyak perusahaan yang memberikan sejumlah uang dan barang kepada sekelompok masyarakat, kemudian dengan bantuan jasa pemoles citra, aktivitas tersebut di sulap menjadi aktivitas tanggung jawab sosial
perusahaan. Di tempat lain, perusahaan melakukan aktivitas community development dan community empowerment tanpa ada keinginan sedikitpun untuk membangun dan memberdayakan masyarakat. Tujuan Ekonomi Berbasis Syari’ah Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku muslim (yang beriman) dalam suatu masyarakat Islam yang mengikuti Al-Qur’an, Hadis Nabi Muhammad SAW, ijma, dan qiyas. Adapun tujuan Ekonomi Islam adalah segala aturan yang Allah Swt turunkan dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.11 Seorang fuqaha asal Mesir yakni Prof. Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukkan Syariat Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia. adalah: 1) Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya. 2) Tegaknya keadilan dalam masyakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum, muamalah. 3) Tercapainya maslahah. Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjadi puncak sasaran di atas meliputi 5 jaminan dasar, yakni: 1. Keselamatan keyakinan agama (al-din); 11
http//www. pengertian, tujuan dan prinsip-prinsipekonomiislam_ekonomi syariah.htm.
2. Keselamatan jiwa (al-nafs); 3. Keselamatan akal (al-aql); 4. Keselamatan keluarga dan keturunan (al-nafsl); 5. Keselamatan harta benda (al-mal). Prinsip-prinsip Ekonomi Berbasis Syari’ah Terdapat
kesepakatan
tentang faktor penyebab kemiskinan. Jika
disederhanakan, faktor pemicu kemiskinan dapat dibagi dalam dua kategori: internal dan eksternal. Untuk kategori internal, kemiskinan disebabkan oleh: 1) ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, seperti sandang, pangan, dan papan, air bersih, kesehatan minimal, dan pendidikan dasar. 2) ketidakmampuan menampilkan peranan sosial, seperti tidak mampu melaksanakan tanggungjawab sebagai pencari nafkah, sebagai orang tua, dan sebagai warga masyarakat dalam sebuah komunitas. 3) ketidakmampuan dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang dihadapi, misalnya tidak memiliki keahlian, atau keahlian yang tidak sesuai dengan permintaan lapangan kerja, kurang motivasi, kurang percaya diri, atau tidak memiliki akses informasi.12 Sedangkan untuk faktor eksternal biasanya ditentukan oleh kondisi sosial dimana seseorang hidup sehingga seberapa kuatpun seseorang berusaha untuk keluar dari kondisi kemiskinan amat sangat sulit kecuali berkat uluran tangan masyarakat lainnya. Beberapa pakar ekonomi menyebut faktor-faktor tersebut, di antaranya; 1) Korupsi yang marak di Indonesia, sehingga pendanaan terhadap
12
Jurnal Perta, Melacak Akar Kemiskinan, Jurnal Inovasi Pendidikan Tinggi Agama Islam, Vol. VII, No. 1, 2005
sarana dan prasarana negara secara tidak langsung berkurang. 2) Pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang kurang hati-hati, sehingga berimplikasi kepada habisnya SDA yang ada sekarang di Indonesia dan banyak menimbulkan bencana alam seperti longsor dll. 3) Kesalahan kebijakan pemerintah.yang terlalu dini tanpa memperhatikan aspek Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Sebagai contoh investasi di Indonesia diserahkan secara penuh kepada kebijakan globalisasi yang berefek pada ketimpangan ekonomi, karena secara tidak langsung usaha Mikro, kecil, dan Menengah akan jarang tersentuh. 4) Kesalahan sistem ekonomi Indonesia, yakni ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada sistem ekonomi kapitalis yang justru lebih memihak individu manusia, sehingga berdampak timbulnya rasa egoisme yang tinggi dari individu manusia itu sendiri tanpa memperhatikan mayoritas rakyat Indonesia yang kurang mampu. Dengan melihat faktor-faktor tersebut di atas, pantas dikaji kembali tentang bentuk sistem ekonomi di Indonesia yang dapat mensejahterakan rakyat Indonesia, dan apa yang seharusnya dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut. Islam menawarkan paket ekonomi berbasis syaria’ah sejak dari awal kelahirannya. Paket ekonomi syari’ah tersebut dimaksudkan semata-mata untuk membantu manusia memanfaatkan karunia yang di berikan Allah Swt demi kesejahteraan hidup di dunia dan kelapangan tempat di akhirat yang dijanjikan kepada siapapun yang menginginkkannya. Enam Prinsip Ekonomi Islam:
1. Berbagai jenis sumberdaya dipandang sebagai pemberian atau titipan Allah Swt kepada manusia (Q.S. 57:5)13 2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu (Q.S. 6:165)14 3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama (Q.S. 59:7)15 4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja (Q.S. 43:32)16 5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang (Q.S. 51:19)17 6. Seorang Muslim harus takut kepada Allah Swt dan hari penentuan di akhirat nanti (Q.S. 2:201)18. Prinsip-prinsip CSR Perkembangan tingkat kehidupan ekonomi masyarakat yang terus berkembang, juga berpengaruh pada perkembangan dunia usaha. Iklim usaha semakin mengalami kemajuan yang pesat. Hal ini juga diikuti dengan kemajuan di
13
Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan. 14 Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 15 Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…. 16 Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. 17 Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. 18 Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.
bidang teknologi, yang mengakibatkan semakin mutakhirnya teknologi yang digunakan oleh kalangan dunia usaha tersebut. Perkembangan dunia usaha yang semakin pesat ditandai dengan munculnya berbagai perusahaan yang berskala produksi besar dan menyerap banyak tenaga kerja. Bidang-bidang usaha yang tersedia juga semakin banyak sehingga semakin membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Apalagi didukung dengan adanya kebijakan Otonomi Daerah, yang menyebabkan daerahdaerah juga turut berlomba-lomba untuk memajukan dirinya dengan cara memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan untuk beroperasi di daerahnya. Kemajuan yang seperti ini tentunya membawa dampak yang positif bagi perkembangan dunia investasi dan bisnis di Indonesia. Selain itu turut berperan serta dalam peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia. Namun, yang sangat disayangkan, tidak jarang perusahaan-perusahaan yang ada terlalu terfokus kepada kegiatan ekonomi dan produksi yang mereka lakukan, sehingga melupakan keadaaan masyarakat di sekitar wilayah beroperasinya dan juga melupakan
aspek-aspek
kelestarian
lingkungan.
Padahal,
sebagaimana
diamanatkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada pasal 28H ayat 1, yang berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Hak yang sama juga diatur di dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai berikut:
Ayat (2) “Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.” Ayat (3) “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Hak yang sama juga diatur di dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebagai berikut: Ayat (2) “Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin.” Ayat (3) “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Dari kedua aturan hukum tersebut dapat dilihat dengan jelas, bahwa masyarakat memiliki hak akan kehidupan sosial yang baik dan atas lingkungan hidup yang sehat. Selanjutnya, kewajiban untuk melakukan pelestarian lingkungan hidup juga diatur di dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai berikut: “Setiap orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.” Di lain pihak, seiring dengan perkembangan jaman, juga mendorong masyarakat untuk menjadi semakin kritis dan menyadari hak-hak asasinya, serta berani mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis Indonesia. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan semakin bertanggung jawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya. Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadaran baru tentang pentingnya melaksanakan Corporate Social Responsibility (CSR). Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas
yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja, melainkan suatu entitas usaha yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya. Hal yang sama juga terjadi pada aspek lingkungan hidup, yang menuntut perusahaan untuk lebih peduli pada lingkungan hidup tempatnya beroperasi. Sebagaimana hasil KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janerio, Brasil, pada tahun 1992, yang menegaskan mengenai konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) sebagai suatu hal yang bukan hanya menjadi kewajiban negara, namun juga harus diperhatikan oleh kalangan korporasi. Konsep pembangunan berkelanjutan menuntut korporasi, dalam menjalankan usahanya, untuk turut memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: 1. Ketersediaan dana; 2. Misi lingkungan; 3. Tanggung jawab sosial; 4. Terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah); 5. Mempunyai nilai keuntungan/manfaat). 6. Kemudian, di dalam Pertemuan Yohannesburg pada tahun 2002, memunculkan suatu prinsip baru di dalam dunia usaha, yaitu konsep Social Responsibility. Dasar Hukum CSR 1. ISO 2006: Guidance Standard on Social Responsibility; 2. Undang-Undang Dasar 1945;
3. Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 4. Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; 5. UU RI No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara; 6. Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; 7. Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal;
Substansi keberadaan Prinsip Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan bagi Perusahaan adalah dalam rangka memperkuat kemampuan perusahaan untuk beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya,
baik
lokal,
nasioal,
maupun
global.
Di
dalam
pengimplementasiaannya, diharapakan agar unsur-unsur perusahaan, pemerintah dan masyarakat saling berinteraksi dan mendukung, supaya CSR dapat diwujudkan secara komprehensif, sehingga dalam pengambilan keputusan, menjalankan
keputusan,
dan
pertanggungjawabannya
dapat
dilaksanakan
bersama. Pada bulan September tahun 2004, International Organization for Standardization atau ISO), sebagai induk organisasis standardisasi internasional berhasil menghasilkan panduan dan standardisasi untuk tanggung jawab sosial, yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social Responsibility. ISO 26000 menjadi standar pedoman untuk penerapan CSR. ISO 26000 mengartikan CSR sebagai tanggung jawab suatu organisasi yang atas dampak dari keputusan dan aktivitanya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
1. Konsisten
dengan
pembangunan
berkelanjutan
dan
kesejahteraan
masyarakat; 2. Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder; 3. Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional; 4. Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan, produk maupun jasa. Di dalam ISO 2006, CSR mencakup 7 (tujuh) isu pokok, yaitu: 1. Pengembangan masyarakat; 2. Konsumen; 3. Praktek kegiatan institusi yang sehat; 4. Lingkungan; 5. Ketenagakerjaan; 6. Hak Asasi Manusia; 7. Organizational Governance (Organisasi Kepemerintahan). Berdasarkan konsep ISO 26000, maka untuk penerapan CSR hendaknya terintegrasi di seluruh aktivitas perusahaan yang mencakup 7 (tujuh) isu pokok di atas. Prinsip-prinsip dasar CSR yang menjadi dasar pelaksanaan yang menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan CSR menurut Iso 26000 meliputi: 1. Kepatuhan kepada hukum; 2. Menghormati instrumen/badan-badan internasional; 3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya;
4. Akuntabilitas; 5. Transparansi; 6. Perilaku yang beretika; 7. Melakukan tindakan pencegahan; 8. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia. Di Indonesia sendiri, munculnya Undang-Undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) menandai babak baru pengaturan CSR. Selain itu, pengaturan tentang CSR juga tercantum di dalam Undang-Undang No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM). Walaupun sebenarnya pembahasan mengenai CSR sudah dimulai jauh sebelum kedua undang-undang tersebut disahkan. Salah satu pendorong perkembangan CSR yang terjadi di Indonesia adalah pergeseran paradigma dunia usaha yang tidak hanya sematamata untuk mencari keuntungan saja, melainkan juga bersikap etis dan berperan dalam penciptaan investasi sosial. Adapun pengaturan CSR di dalam UU PT adalah sebagai berikut: Pasal 74: 1. Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. 2. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. 3. Perseroan yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sedangkan pengaturan di dalam UU PM, yaitu di dalam Pasal 15 huruf b adalah sebagai berikut: “Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Kemudian di dalam Pasal 16 huruf d UU PM disebutkan sebagai berikut:
“Setiap penanam modal bertanggung jawab menjaga kelestarian lingkungan hidup.” Dengan diaturnya CSR di dalam peraturan perundang-undangan, maka CSR kini menjadi tanggung jawab yang bersifat legal dan wajib. Namun, dengan asumsi bahwa kalangan bisnis akhirnya bisa menyepakati makna sosial yang terkandung di dalamnya, gagasan CSR mengalami distorsi yang serius, yaitu sebagai berikut: 1. Sebagai sebuah tanggung jawab sosial, dengan adanya pengaturan CSR, maka mengabaikan sejumlah prasyarat yang memungkinkan terwujudnya makna dasar CSR tersebut, yaitu sebagai pilihan sadar, adanya kebebasan, dan kemauan bertindak. Dengan mewajibkan CSR, maka memberikan batasan kepada ruangruang pilihan yang ada, berikut kesempatan masyarakat mengukur derajat pemaknaannya dalam praktik. 2. Dengan adanya kewajiban tersebut, maka CSR bermakna parsial sebatas upaya pencegahan dan penanggulangan dampak sosial dan lingkungan dari kehadiran sebuah perusahaan. Dengan demikian, bentuk program CSR hanya terkait langsung dengan jenis usaha yang dijalankan perusahaan. Padahal praktek yang berlangsung selama ini, ada atau tidaknya kegiatan terkait dampak sosial dan lingkungan, perusahaan melaksanakan program langsung, seperti lingkungan hidup dan tak langsung, seperti rumah sakit, sekolah, dan beasiswa. Kewajiban tadi berpotensi menghilangkan aneka program tak langsung tersebut. 3. Tanggung jawab lingkungan sesungguhnya adalah tanggung jawab setiap subyek hukum, termasuk perusahaan. Jika terjadi kerusakan lingkungan akibat
aktivitas usahanya, hal itu jelas masuk ke wilayah urusan hukum. Setiap dampak pencemaran dan kehancuran ekologis dikenakan tuntutan hukum, dan setiap perusahaan harus bertanggung jawab. Dengan menempatkan kewajiban proteksi dan rehabilitasi lingkungan dalam domain tanggung jawab sosial, hal ini cenderung mereduksi makna keselamatan lingkungan sebagai kewajiban legal menjadi sekedar pilihan tanggung jawab sosial. Atau bahkan lebih jauh lahi, justru bisa terjadi penggandaan tanggung jawab suatu perusahaan, yakni secara sosial (menurut UU PT) dan secara hukum (menurut UU Lingkungan Hidup). 4. Dari sisi keterkaitan peran, kewajiban yang digariskan UU PT menempatkan perusahaan sebagai pelaku dan penanggung jawab tunggal program CSR. Di sini, masyarakat seakan menjadi obyek semata, sehingga hanya menyisakan budaya ketergantungan selepas program, sementara negara menjadi mandor pengawas yang siap memberikan sanksi atas pelanggaran. Terlepas dari berbagai konflik yang membayangi pengaturan mengenai CSR di dalam peraturan perundang-undangan nasional, CSR merupakan suatu konsep yang penting untuk dilaksanakan oleh perusahaan. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan hubungan timbal balik yang saling sinergis antara perusahaan dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Perusahaan yang telah beroperasi di suatu wilayah tertentu, memiliki kewajiban untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan tersebut, salah satunya dengan cara melakukan sistem pengolahan limbah yang baik. Selanjutnya, perusahaan juga
seharusnya
turut
berperan
serta
dalam meningkatkan
kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, antara dengan cara pemberian pelatihan keterampilan dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat tersebut. Pada umumnya implementasi CSR di perusahaan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 1. Komitmen pimpinan perusahaan Perusahaan yang pimpinannya tidak tanggap dengan masalah-masalah sosial dan lingkungan, kecil kemungkinan akan mempedulikan aktivitas sosial. 2. Ukuran dan kematangan perusahaan Perusahaan besar dan mapan lebih mempunyai potensi memberikan kontribusi ketimbang perusahaan kecil dan belum mapan. Namun, bukan berarti perusahaan menengah, kecil, dan belum mapan tersebut tidak dapat menerapkan CSR. 3. Regulasi dan sistem perpajakan yang diatur pemerintah Semakin meluasnya regulasi dan penataan pajak akan membuat semakin kecil ketertarikan perusahaan untuk memberikan donasi dan sumbangan sosial kepada masyarakat. Sebaliknya, semakin kondusif regulasi atau semaikin besar insentif pajak yang diberikan, akan lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat. Di dalam prakteknya, penerapan CSR disesuaikan dengan kemampuan masing-masing perusahaan dan kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kegiatan CSR sangat beragam. Hal ini bergantung pada proses interaksi sosial, bersifat sukarela didasarkan pada dorongan moral dan etika, dan biasanya melebihi dari hanya sekedar kewajiban memenuhi peraturan perundang-undangan.
Sebagai upaya untuk meningkatkan pelaksanaan CSR di Indonesia, terdapat beberapa lembaga yang sangat memberikan perhatian terhadap pelaksanaan CSR, yaitu: Indonesia Business Link (IBL), Corporate Forum for Community Development (CFCD), dan Business Watch Indonesia (BWI). Dalam rangka menciptakan kemajuan pelaksanaan konsep CSR, harus didukung oleh peranan pemerintah, baik sebagai partisipan, convenor, atau fasilisator, dan sebagainya. Masyarakat juga dapat turut serta mendukung konsep CSR, yaitu dengan cara memberikan informasi, saran, dan masukan atau pendapat untuk menentukan program yang akan dilakukan. Pertautan Antara CSR Dengan Ekonomi Berbasis Syari’ah Masalah ekonomi selalu menarik perhatian besar baik individu atau masyarakat, dan berbagai usaha telah dilakukan orang untuk memecahkan masalah yang sulit tapi penting ini. Namun mereka ada yang gagal atau hanya sebahagian saja yang berhasil menemukan cara penyelesaian yang berimbang dan merata terhadap masalah yang kronis ini. Sebagian dari usaha mereka telah mencapai puncaknya, dan sebahagian lagi kehilangan arah keseimbangannya. Mereka terlalu mementingkan perlindungan atas hak-hak perseorangan, dan mengabaikan sama sekali kepentingan bersama dari masyarakat, seperti terjadi dalam system kapitalis, atau telah menghancurkan hak-hak seseorang, seperti terjadi dalam system komunistis19. Sistem ekonomi Islam secara mendasar berbeda dengan system ekonomo lainnya dalam hal corak, bentuk dan tujuannya. Sistem tersebut berusaha Rahman, Afzalur., Quranic Science, terjemahan ‘Alquran Sumber Ilmu Pengetahuan’ oleh Prof. H.M. Arifin, M.Ed, Rineka Cipta, Jakarta 1992, h. 180 19
memecahkan problem ekonomi manusia dengan cara menempuh jalan tengah antara dua pola yang ekstrim, yaitu Kapitalisme dan Komunisme, mengambil kebaikan-kebaikan dari keduanyadan membuang unsur-unsurnya yang jelek. Ia tidak memberikan kebebasan mutlak untuk merusak kepentingan masyarakat dan kepentingan individu; juga tidak menganjurkan penguasaan yang sewenangwenang sehingga menghancurkan kepribadian (ego) seseorang, yang justru menjadi pelaku utama dan sumber kekuatan dalam system ekonomi tersebut20. Secara hukum dan moral, negara bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan pokok warganya. Suatu cirri yang menonjol dari negara adalah bahwa ia harus bertanggungjawab sepenuhnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat agar kepentingan hidupnya terpenuhi dan dijamin kesejahteraan seosialnya. Kebutuhan pokok setiap warga negara harus dijamin pemenuhannya. Prinsip pelayanan kepentingan umum meliputi seluruh lapisan masyarakat Islam. Setiap orang dibebani tanggungjawab terhadap diri pribadinya, keluarganya, sanak familinya yang dekat, masyarakat dimana ia hidup, yang akhirnya juga bertanggungjawab kepada seluruh umat manusia. Kini, ide untuk memasukan etika ke dalam dunia ekonomi (bisnis) mencuat kembali. CSR tidak lagi ditempatkan dalam ranah sosial dan ekonomi sebagai imbauan, tetapi masuk ranah hukum yang ‘memaksa’ perusahaan ikut aktif memperbaiki kondisi dan taraf hidup masyarakat21. Disahkannya Rancangan Undang-Undang Perseroan Terbatas (RUU PT) telah menuai pro-kontra, terutama terhadap Pasal 74 tentang Aturan Tanggung 20 21
Ibid, h. 182 Kompas, 4/8.
Jawab Sosial dan Lingkungan, yang rumusannya, “perseroan di bidang/berkaitan dengan SDA wajib melaksanakan CSR. Perseroan yang tidak melaksanakan wajib CSR dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan”. Tanggung jawab sangat terkait dengan hak dan kewajiban, yang pada akhirnya dapat menimbulkan kesadaran tanggung-jawab. Ada dua bentuk kesadaran: Pertama, kesadaran yang muncul dari hati nurani seseorang yang sering disebut dengan etika dan moral. Kedua, kesadaran hukum yang bersifat paksaan berupa tuntutan-tuntutan yang diiringi sanksi-sanksi hukum. Etika Bisnis Islami Kata etika, menurut Taufik Effendi22. mempunyai dua pengertian, secara luas dan secara sempit Secara luas, dilihat dari bahasa Inggris yaitu ethics. Secara etimologi berasal dari bahasa Yunani ethica, yang berarti cabang filsafat mengenai nilai-nilai dalam ikatannya dengan perilaku manusia, apakah tindakannya benar atau salah, baik atau buruk. Dengan kata lain, etika adalah filsafat moral yang menunjukkan bagaimana seseorang harus bertindak. Sedangkan bisnis sebagai suatu organisasi yang menjalankan aktivitas produksi dan penjualan barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen untuk memperoleh profit. Penggabungan etika dan bisnis dapat berarti memaksakan norma-norma agama bagi dunia bisnis, memasang kode etik profesi bisnis, merevisi sistem dan hukum ekonomi, meningkatkan keterampilan memenuhi tuntutan-tuntutan etika pihak-pihak luar untuk mencari aman dan sebaginya. Bisnis yang beretika adalah 22
Effendi, Taufik, Membangun Tata Pemerintahan yang Baik, dalam Layanan Publik, Edisi Ketiga, Tahun I, November 2004, h. xi
bisnis yang memiliki komitmen ketulusan dalam menjaga kontrak sosial yang sudah berjalan. Kontrak sosial merupakan janji yang harus ditepati. Bisnis Islami ialah serangkaian aktivitas bisnis dalam berbagai bentuknya yang tidak dibatasi jumlah kepemilikan (barang/jasa) termasuk profitnya, namun dibatasi dalam cara memperolehnya dan pendayagunaan hartanya karena aturan halal dan haram (lihat. QS. 2:18823 & 4:2924). Etika bisnis Islam sebenarnya telah diajarkan Nabi Saw. saat menjalankan perdagangan. Karakteristik Nabi Saw., sebagai pedagang adalah, selain dedikasi dan keuletannya juga memiliki sifat shidiq, fathanah, amanah dan tabligh. Shidiq berarti mempunyai kejujuran dan selalu melandasi ucapan, keyakinan dan amal perbuatan atas dasar nilai-nilai yang diajarkan Islam. Istiqamah atau konsisten dalam iman dan nilai-nilai kebaikan, meski menghadapi godaan dan tantangan. Istiqamah dalam kebaikan ditampilkan dalam keteguhan, kesabaran serta keuletan sehingga menghasilkan sesuatu yang optimal. Fathanah berarti mengerti, memahami, dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi tugas dan kewajibannya. Sifat ini akan menimbulkan kreatifitas dan kemampuan melakukakn berbagai macam inovasi yang bermanfaat. Amanah, tanggung jawab dalam melaksanakan setiap tugas dan kewajiban. Amanah ditampilkan dalam keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (kebajikan) dalam segala hal. Tablig, mengajak sekaligus memberikan contoh 23
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. 24 Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
kepada pihak lain untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan sifat-sifat tersebut, dalam konteks CSR, para pelaku usaha atau pihak perusahaan dituntut besikap tidak kontradiksi secara disengaja antara ucapan dan perbuatan dalam bisnisnya. Mereka dituntut tepat janji, tepat waktu, mengakui kelemahan dan kekurangan (tidak ditutup-tutupi), selalu memperbaiki kualitas barang atau jasa secara berkesinambungan serta tidak boleh menipu dan berbohong. Pelaku
usaha/pihak
perusahaan
harus
memiliki
amanah
dengan
menampilkan sikap keterbukaan, kejujuran, pelayanan yang optimal, dan ihsan (berbuat yang terbaik) dalam segala hal, apalagi berhubungan dengan pelayanan masyarakat. Dengan sifat amanah, pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk mengamalkan kewajiban-kewajibannya. Sifat tablig dapat disampaikan pelaku usaha dengan bijak (hikmah), sabar, argumentatif, dan persuasif akan menumbuhkan hubungan kemanusiaan yang solid dan kuat. Para pelaku usaha dituntut mempunyai kesadaran mengenai etika dan moral, karena keduanya merupakan kebutuhan yang harus dimiliki. Pelaku usaha atau perusahaan yang ceroboh dan tidak menjaga etika, tidak akan berbisnis secara baik sehingga dapat mengancam hubungan sosial dan merugikan konsumen, bahkan dirinya sendiri. Hukum Islam Al-Qur’an adalah suatu ajaran yang berkepentingan terutama untuk menghasilkan sikap moral yang benar bagi tindakan manusia. “Moral” menurut
intelektual asal Pakistan Fazlur Rahman, merupakan esensi etika al-Qur’an yang akhirnya menjadi esensi hukum dalam bentuk perintah dan larangan. Nilai-nilai moral adalah poros penting dari keseluruhan sistem yang menghasilkan hukum. Dalam aktivitas kehidupannya, umat Islam dianjurkan mengutamakan kebutuhan terpenting (mashlahah) agar sesuai dengan tujuan syariat (maqashid alsyari’ah). Mengikuti al-Syatibi, M. Fahim Khan, (1992: 195), mengatakan mashlahah adalah pemilikan atau kekuatan barang/jasa yang mengandung elemen dasar dan tujuan kehidupan umat manusia di dunia ini (dan peroleh pahala untuk kehidupan akhirat). Maslahah ini tidak bisa dipisahkan dengan maqashid alsyari’ah. Al-‘Izz al-Din bin Abd al-Salam diikuti Sobhi Mahmassani (1977: 159), mengutarakan maqashid al-syari’ah ialah perintah-perintah yang pada hakikatnya kembali untuk kemaslahatan hamba Allah dunia dan akhirat. Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H) dalam al-Muwafaqat, tujuan pokok syari’at Islam terdiri atas lima komponen: pemeliharaan agama (hifdh al-din), jiwa (hifdh al-nafs), akal (hifdh al-aql), keturunan (hifdh nasl) dan harta (hifdh almaal). Lima komponen pokok syari’ah itu disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kepentingan manusia (mashlahah), yaitu kebutuhan primer (dharuriyyah), skunder (hajiyyah) dan tertier (tahsiniyyah). Dalam konteks ini, kebutuhan primer (dharuriyyah) adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan kemaslahatan agama dan dunia. Jika kebutuhan itu hilang, maka kemaslahatan manusia sulit terwujud. Bahkan, dapat menimbulkan keruksakan, kekacauan dan kehancuran. Skunder (hajiyyah) adalah segala hal yang dibutuhkan untuk memberikan kelonggaran dan mengurangi kesulitan yang
biasanya menjadi kendala dalam mencapai tujuan. Sedangkan tahsiniyyah ialah melakukan tindakan yang layak menurut adat dan menjauhi perbuatan-perbuatan ‘aib yang ditentang akal sehat. Tujuan syari’ah itu dapat menentukan tujuan perilaku konsumen dalam Islam dan tercapainya kesejahteraan umat manusia (maslahah al-‘ibad). Semua barang dan jasa yang dapat memiliki kekuatan untuk memenuhi lima komponen pokok (dharury) telah dapat dikatakan memiliki maslahat bagi umat manusia. Berkaitan dengan corporate sosial responsibility (CSR), kelima komponen itu perlu mendapat fokus perhatian. Dalam skala primer, perusahaan atau badan-badan komersial perlu menghargai agama yang dianut masyarakat, kepentingan masyarakat terhadap agamanya diabaikan, seperti perusahaan yang mengabaikan atau mengganggu peribadatan warga setempat. Dalam pemeliharaan jiwa seperti makan dan minum ditujukan agar hidup dapat lebih bertahan dan mencegah ekses kepunahan jiwa manusia. Begitu juga, pihak korporasi harus mampu menjaga keutuhan dan kehormatan (rumah tangga) warga masyarakat terkait atau internal perusahaan. Perusahaan dilarang memberikan ekses negatif dalam kegiatannya yang akan mengganggu rusaknya akal pikiran manusia. Islam melarang umatnya mengkonsumsi atau memproduksi makanan dan minuman yang dapat merusak akal karena akan mengancam eksistensi akalnya. Dalam pemeliharaan harta, transaksi jual beli harus dilakukan secara halal. Jika tidak, maka eksistensi harta akan terancam, baik pengelolaan atau
pemanfaatannya. Karena itu, pihak perusahaan dilarang melakukan kegiatan yang secara jelas melangar aturan syara’. Dalam konteks tanggung jawab sosial perusahaan, maqashid as-yari’ah ditujukan agar pelaku usaha atau pihak perusahaan mampu menentukan skala prioritas kebutuhannya yang terpenting. Kebutuhan-kebutuhan itu tidak hanya diorientasikan untuk jangka pendek, tetapi juga jangka panjang dalam mencapai ridha Allah. Kegiatan ekonomi tidak saja melibatkan aspek materi, tapi juga kualitas keimanan seorang hamba kepada Allah Swt. Oleh karena itu, konsep pembanguan yang melibatkan maqashid asyari’ah dimaksudkan agar terbentuk pribadi-pribadi muslim yang memiliki keimanan dan ketakwaan. Kewajiban mengaplikasikan tanggung jawab seorang hamba untuk melakukan kejujuran, kebenaran, kebajikan dan kasih sayang terhadap seluruh kehidupan aktual. Islam mengajarkan tanggung jawab agar mampu mengendalikan diri dari tindakan melampaui batas kewajaran dan kemanusiaan. Tanggung jawab ini mencakup tanggung jawab kepada Allah, kepada manusia dan lingkungan.
Daftar Pustaka Al-quran Al-Karim Effendi, Taufik, Membangun Tata Pemerintahan yang Baik, dalam Layanan Publik, Edisi Ketiga, Tahun I, November 2004. Jurnal Perta, Melacak Akar Kemiskinan, Jurnal Inovasi Pendidikan Tinggi Agama Islam, Vol. VII, No. 1, 2005 Siregar, Chairil, Analisis Sosiologis Terhadap Implementasi Corporate Social Responsibility Pada Masyarakat Indonesia, Jurnal Sosioteknologi Edisi 12 Tahun 6, Desember 2007 Rahman, Afzalur., Quranic Science, terjemahan ‘Alquran Sumber Ilmu Pengetahuan’ oleh Prof. H.M. Arifin, M.Ed, Rineka Cipta, Jakarta 1992.
Nurwoko, J.Dwi., Sosiologi teks pergaulan dan terapan, Jakarta : Kencana Prenada, Media Group, 2006. Zulfikar, Menggerakkan Sektor Riil Lewat Peran Sosial Perusahaan, http//www.menggerakkan-sektor-riel-lewat-csr.html Margiono, Ari., Menuju Corporate Social Leadership, http//www.CSR Resources in Indonesia.htm Nurhayati, Siti., http://www.sinarharapan. co.id/berita/ 0603/25/ opi02.html http//www. pengertian, tujuan dan prinsip-prinsip ekonomi islam _ ekonomi syariah.htm). http//www.penerapan Prinsip Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan.htm