CORAK PEMBAHARUAN MUHAMMADIYAH: Purifikasi dan Dinamisasi Imron Rosyadi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta E-mail:
[email protected] ABSTRACT
M
uhammadiyah attendance at the beginning of the 20th century is part of the chain of the reform movement in the Islamic world. As a chain, the ideas of renewal of the stretcher KH Ahmad Dahlan through Muhammadiyah has a balance point with the idea of reform in the Middle East, but at the same time the idea was adapted according to the needs as Indonesian human mind. The style exemplified by Muhammadiyah is two-legged renewal namely; purification of Islam and dynamic of content with a life that is constantly changing. Keywords: Renewal of Muhammadiyah, purification, dynamic, life.
PENDAHULUAN Umat Islam pernah memimpin peradaban dunia selama 7 abad (VII-XXIV M). Kejayaan tersebut meluas tidak hanya dirasakan oleh
umat Islam di kawasan Timur Tengah dan Afrika, tetapi dirasakan pula oleh umat manusia di kawasan dunia Barat. Namun, kejayaan itu lambat laun mengalami kemeroso-
Corak Pembaharuan Muhammadiyah... (Imron Rosyadi)
117
tan. Sebab kemerosotan karena berbagai faktor, mulai faktor keagamaan, krisis politik, sampai krisis ilmu pengetahuan. Pada awal abad XIX mulai ada usaha-usaha untuk melakukan pembangunan kembali peradaban Islam, baik oleh individu maupun kelompok. Usaha seperti ini memang tidak mudah. Tantangan yang dihadapi tidak hanya muncul dari kalangan eksternal, khususnya dunia Barat yang memang sangat tidak menghendaki kebangkitan kembali dunia Islam, tetapi tantangan tersebut juga datang dari kalangan internal umat Islam sendiri. Gerakan kebangkitan kembali Islam, yang kemudian disebut dengan gerakan pembaharuan Islam, terus dikumandangkan oleh berbagai kalangan umat Islam. Kemunculan kembali gerakan pembaharuan ini kemudian meluas ke berbagai kawasan dunia Islam, tidak hanya di kawasan Timur Tengah, Afrika saja, tetapi di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Salah satu gerakan pembaharuan Islam di Asia adalah Muhammadiyah. Tulisan pendek ini akan menelaah makna pembaharuan menurut Muhammadiyah, sebuah persyarikatan yang secara serius sejak satu abad yang lalu melakukan gerakan pembaharuan di berbagai bidang kehidupan.
Akar Historis Gerakan Pembaharuan Menurut Achmad Jainuri, gerakan pembaharuan Islam yang terjadi di tengah masyarakat Muslim di manapun berada memiliki dasar yang kuat pada warisan pengalaman sejarah kaum Muslimin. Oleh karena itu, kata Jainuri lebih lanjut, tajdid adalah sebuah tema yang sudah lama dan tetap ada dalam dimensi kehidupan kaum Muslimin di dunia Islam sampai kapan pun. Namun, bentuk dan coraknya dapat muncul sangat variatif sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Ragam gerakan tajdid tersebut merupakan pencerminan dari jawabannya atas problem yang dihadapi oleh kaum Muslimin.1 Achmad Jainuri melanjutkan bahwa gerakan tajdid dalam sejarah Islam memiliki landasan teologis. Paling tidak, ada dua landasan teologis,2 kata Jainuri. Pertama, Islam sebagai agama yang universal dengan misi rahmat bagi seluruh alam. Universalitas ajaran Islam ini tampak pada ajaran Islam yang mencakup segala aspek kehidupan, semua tempat dan waktu. Segala aspek kehidupan di sini maksudnya adalah ajaran Islam itu mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama, dan dengan ling-
1 Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam: Konservatisme, Fundamentalisme, Sekularisme, dan Modernisme (Surabaya: lpam, 2004), hlm. 5. Bandingkan dengan Akh. Minhaji”Tradisi Islah dan Tajdid Dalam Hukum Islam,” dalam Profetika (Surakarta: Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2001), hlm. 243-244. 2 Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam, hlm. 5-6.
118
Tajdida, Vol. 11, No. 2, Desember 2013: 117 - 128
kungannya. Yang dimaksud dengan semua tempat dan waktu adalah ajaran Islam itu berlaku untuk semua jenis manusia di dunia ini tanpa dibatasi oleh batas-batas geografis, sejak Islam dibawa oleh Nabi Muhammad saw hingga berakhirnya kehidupan dunia ini. Kedua, agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. adalah agama terakhir. Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., sudah tidak ada lagi nabi dan rasul. Berdasarkan pada landasan teologis di atas, universalitas Islam harus tetap mewujud dalam kehidupan masyarakat Muslim sampai berakhirnya kehidupan dunia ini. Bersamaan dengan wafatnya Nabi, maka kewajiban para ulama adalah melanjutkan universalitas ajaran Islam dengan melakukan tajdid. Dengan demikian, tajdid merupakan suatu upaya untuk mewujudkan universalitas ajaran Islam dalam suatu tempat dan kurun waktu. Untuk dapat mewujudkannya, ijtihad merupakan suatu keniscayaan yang harus dilakukan. Ide tajdid dalam penelusuran Jainuri mulai muncul sejak al-khulafa’ ar-râsyidûn.3 Menurut Jainuri, gerakan tajdid memiliki misi ganda, yaitu misi pemurnian dan reformasi. Gerakan tajdid dalam wujud pemurnian dilakukan untuk mengembalikan ajaran Islam pada dua sumber pokok
ajaran Islam, yang terkenal dengan slogan: kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah. Semua gerakan tajdid dalam sejarah Islam selalu menekankan slogan ini. Misi gerakan tajdid dalam wujud reformasi dilakukan untuk perubahan bidang muamalat. Tajdid dalam muamalat ini dilakukan dengan ijtihad sebagai upaya untuk mengimplementasikan universitas ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan kehidupan dalam tempat dan waktu tertentu.4 Tesis Jainuri ini ingin menegaskan bahwa faktor gerakan pembaharuan dalam sejarah Islam didorong oleh ajaran Islam itu sendiri ketika pengamalan ajaran Islam telah mengalami pergeseran dari sumber utama ajaran Islam itu sendiri, dalam hal ini al-Quran dan as-Sunnah alMaqbûlah. Sementara itu, kemunculan gerakan pembaharuan Islam di era modern, di samping didorong secara internal oleh ajaran Islam itu sendiri, juga didorong oleh faktor eksternal. Faktor eksternal ini sering mempercepat kemunculan gerakan pembaharuan Islam.5 Kemunculan gerakan pembaharuan dalam sejarah Islam, dengan demikian, dipengaruhi oleh dua hal.6 Pertama, faktor ajaran Islam itu sendiri. Oleh karena itu, gerakan pembaharuan dalam Islam tidak akan pernah berhenti dilakukan oleh
Ibid., hlm. 33. Ibid., hlm. 14. 5 Ibid., hlm. 5. 6 Ibid. 3 4
Corak Pembaharuan Muhammadiyah... (Imron Rosyadi)
119
suatu kelompok umat Islam hingga kehidupan dunia ini tidak ada lagi. Ketika Islam yang dipahami oleh umat untuk memenuhi kehidupan di masanya tidak lagi memadai untuk kehidupan kekinian yang dihadapi, maka gerakan pembaharuan akan muncul ke permukaan sebagai bentuk responnya. Hadis berikut ini merupakan contoh bahwa ajaran Islam mendorong untuk melakukan pembaharuan:
Artinya: (Abû Dâud berkata) Sulaimân b Dâud al-Mahrî menceritakan kepada kami, Ibn Wahab
menceritakan kepada kami, Sa‘îd b Abî Ayyûb menceritakan kepada saya, dari Syarâhil b Yazîd al-Muhâfirî dari Alqamah dari Abû Hurairah berkaitan dengan apa yang saya ketahui tentang Rasulullah saw, beliau bersabda: sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap seratus tahun orang yang akan memperbaharui agamanya (HR. Abû Dâud, nomor 3740).8 Kedua, faktor eksternal. Dalam konteks sejarah gerakan pembaharuan Islam, khususnya masa modern, menurut klaim Barat, gerakan Islam yang muncul pada masa modern dipengaruhi oleh Barat. Artinya, gerakan pembaharuan Islam modern merupakan respon atas kehadiran Barat di dunia Islam. Jadi, simpul Jainuri, Barat bukan faktor dominan kelahiran gerakan pembaharuan Islam, melainkan hanya semacam pemicu kemunculan kembali gerakan pembaharuan Islam. Sejarah gerakan pembaharuan dalam Islam menurut Muhammadiyah dapat dikelompokkan ke dalam dua periode, yaitu periode klasik dan modern. Periode klasik, misalnya diwakili oleh Ibn Taimiyah (1263-1328 M) yang dilanjutkan oleh Muham-
Dikutip dari CD Mausûh ah al-$adîa asy-Syarîf Versi 2000. Redaksi hadis hanya diriwayatkan oleh Abû Dâud saja. Adapun derajat hadis ini adalah sahih karena rawi-rawi dalam sanad hadis berkualitas sahih dan.bersambung. Lihat, kualitas . Sulaimân b Dâud al-Mahrî dalam Ibn Hajar, Kitâb Tahzîb at-.Tahzîb (Beirut: Dâr al-Fikr, 1984), Jilid IV, hlm. 163-164; Ibn Wahab, lihat, Ibn $ajar, Kitâb Tahzîb, Jilid VI, hlm. 65-67; Sa‘îd b Abî . Ayyûb, lihat, Ibn hajar, Kitâb Tahzîb, Jilid VI, hlm. 7-8; Syarâhil b Yazîd al-Mu’âfirî, lihat, . Ibn . hajar, Kitâb Tahzîb, Jilid IV, hlm. 281-282; Abi ‘Alqamah, lihat, Ibn hajar, Kitâb Tahzîb, Jilid . XII, hlm. 191-192; Abû Hurairah, lihat, Ibn hajar, Kitâb Tahzîb, Jilid XII, hlm. 288-292. 7 8
120
Tajdida, Vol. 11, No. 2, Desember 2013: 117 - 128
mad b’Abd al-Wahhâb (1703-1787 M). Sementara itu, periode modern, misalnya diwakili oleh Jamal ad-Din al-Afgani (1837-1897), Muhammad ‘Abduh (1849-1905 M), dan Rasyîd Ri a (1865-1935).9 Ibn Taimiyah dan Muhammad b ‘Abd al-Wahhâb, dianggap sebagai penggerak pembaharuan dalam Islam pramodern atau sebelum maraknya penjajahan Barat. Tematema dakwahnya, baik Ibn Taimiyah maupun Muhammad b ‘Abd al-Wahhâb, lebih fokus pada tema-tema purifikasi. Di samping itu, gerakan kedua tokoh ini oleh banyak kalangan disebut sebagai gerakan salafi.10 Dalam gerakan-gerakannya, kedua tokoh ini lebih dikenal mengaplikasikan tajdid dalam bentuk pemurnian akidah dan ibadah. Dalam pemurnian ini, akidah dan ibadah harus didasarkan kepada al-
Qur’an dan as-Sunnah al-Maqbûlah. Semboyan mereka dalam pembaharuan Islam terkenal dengan kembali kepada al-Quran dan asSunnah (ar-rujû‘ ilâ al-Qurân wa asSunnah). Pemurnian akidah dan ibadah ini dilakukan karena sudah terjadi pemahaman dan pengamalan keduanya yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Adanya bias akidah dan ibadah ini diyakini sebagai sebab kemunduran umat Islam. Oleh karena itu, untuk menemukan Islam yang berkemajuan, gerakan pembaharuan pra-modern ini melakukan pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah.11 Ada perbedaan penyebaran gerakan purifikasi antara Ibn Taimiyah dan Muhammad b ‘Abd al-Wahhâb. Dalam penyebarannya, Ibn Taimiyah melakukannya dengan bertukar
9 Lihat, misalnya, Haedar Nashir, dkk., Materi Induk Perkaderan Muhammadiyah (Yogyakarta, Badan Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1944); Musthafa Kamal Pasha dan A%mad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis) (Yogyakarta: LPPI, 2000); Sudarno Shobron dan Syamsul Hidayat (peny.), Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, Ideologis dan Organisasi (Surakarta, LPID UMS, 2011). 10 Secara bahasa, kata salaf berarti yang telah lewat. Lihat, Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, 1996), hlm. 1079. Kata salaf dipakai untuk memberi nama sebuah gerakan. Ia berarti gerakan menghidupkan kembali akidah salaf soleh (salaf ac-cali) dari kalangan sahabat Nabi dan Tabi’in. Gerakan ini pertama kali dimunculkan oleh para pengikut mazhab hanbali pada abad 4 H. Mereka mengklaim bahwa pemikiran salafi yang mereka kembangkan berasal dari Ahmad b $anbal. Pada abad 7 H, Ibn Taimiyah berusaha menghidupkan kembali, mengembangkan, dan menyebarkan pemikiran salafiyah ini. Lima abad kemudian, tepatnya pada abad 12 H, Muhammad b ‘Abd al-Wahhâb mengklaim untuk melanjutkan gerakan salafiyah, seperti yang dilakukan oleh Ibn Taimiyah. Lihat, Agus Moh. Najib, “Gerakan Wahabi: Ajaran dan Metode Penyebarannya,” dalam Yudian Wahyudi (ed.), Gerakan Wahabi di Indonesia (Dialog dan Kritik) (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 5. 11 Ibid.
Corak Pembaharuan Muhammadiyah... (Imron Rosyadi)
121
pikiran sementara Muhammad b ‘Abd al-Wahhâb melakukannya yang pada tingkat tertentu dengan kekerasan. Di samping itu, Ibn Taimiyah melakukannya tanpa dukungan oleh negara sedangkan Muhammad b ‘Abd al-Wahhâb didukung oleh negara.12 Bahkan gerakan Muhammad b ‘Abd al-Wahhâb yang didukung negara Saudi melancarkan aksi-aksi politik, termasuk melakukan konfrontasi dengan kekuatan kolonial dalam rangka menyelesaikan persoalan yang dihadapi kaum Muslimin waktu itu.13 Berbeda dengan Ibn Taimiyah dan Muhammad b ‘Abd al-Wahhâb, Muhammad ‘Abduh (18491905 M) dan Rasyîd Ri’a (18651935), dua tokoh pembaharu ini, memfokuskan pembaharuannya tidak hanya pada akidah dan ibadah (purifikasi) tetapi juga masalah kemerosotan ilmu pengetahuan dan kemiskinan yang menghinggapi umat Islam (modernisasi dan reformasi). Dua hal yang disebut terakhir ini dilakukan karena persentuhannya dengan Barat yang menjajah dunia Islam. Oleh karena itu, pembaharuan Islam yang dilakukannya sebagai upaya untuk memajukan umat Islam di tengah peradaban Barat yang maju. Di samping memurnikan akidah dan ibadah, yang tidak kalah penting adalah perlunya umat Islam membangun ilmu pengetahuan melalui pendidikan.
Pengaruh Barat dalam gerakan pembaharuan Islam era modern ini harus diakui, sedikit banyak, merupakan hasil persentuhan Islam dengan Barat. Pengaruh ini tampak pada tekanan tema-tema pembaharuan yang diusungnya. Modernisasi dalam berbagai bidang kehidupan umat Islam terus dilakukan, termasuk mempertanyakan relevansi beberapa hasil kajian Islam (turâœ) yang telah dilakukan oleh sekelompok umat Islam sebelumnya. Harus diakui bahwa Barat memang ikut berjasa membangunkan umat Islam dari tidurnya dalam kurun waktu yang lama. Bahkan ada sekelompok umat Islam, seperti sebagian orang Islam di Turki, yang melakukan gerakan deislamisasi. Karena ingin maju seperti Barat, mereka melakukan gerakan westernisasi, suatu usaha untuk menerima apa saja yang datang dari Barat agar kemajuan Barat dapat diwujudkan di masyarakatnya. Meski ada pengaruh Barat atas pembaharuan dalam Islam, tidak secara otomatis hasilnya sesuai dengan pemikiran Barat bahkan, bisa sebaliknya, tidak menutup kemungkinan hasil persentuhan dengan Barat tersebut akan melahirkan pemikiran-pemikiran anti Barat. Gerakan jihad di masa kolonialisme atas nama perang suci yang telah dilakukan di berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia serta Indonesia meru-
Ibid., hlm. 21. Samsu Rizal Panggabean, “Organisasi dan Gerakan Islam,” dalam Taufik Abdullah, (et.al), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 85. 12 13
122
Tajdida, Vol. 11, No. 2, Desember 2013: 117 - 128
pakan bentuk gerakan pemikiran sikap anti-Barat, lebih-lebih terhadap gerakan kolonialismenya. Syed Hossein Nasr mengingatkan umat Islam akan bahaya penetrasi pemikiran-pemikiran Barat: “Orang yang memahami esensi modernisme yang didasarkan pada dan berasal dari masyarakat sekuler dan kecenderungan humanistik masyarakat Eropa sejak masa renaisan, akan mudah mendeteksi adanya konfrontasi antara kehidupan tradisional dan elemen-elemen modern di dunia Islam.” 14 Abû al-A‘lâ al-Maudûdî (1903-1979 M), cendekiawan asal Pakistan, mengingatkan resiko mengadopsi nilai-nilai Barat dengan mengatakan, “konsep moral yang diadopsi masyarakat Barat sejak setahun setengah abad yang lalu telah menghasilkan ketidakharmonisan keluarga, dan mendorong lahirnya masyarakat amoral dengan kehidupan seksual tak terkendali yang tidak pernah dikenal dalam sejarah manusia manapun.”15 Pembaharuan (Tajdid) Menurut Muhammadiyah Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan yang berbasiskan agama Islam memiliki tiga identitas. Identitas pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Identitas
kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar. Identitas ketiga, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid.16 Pada sub bab ini akan dijelaskan identitas ketiga. Pada awalnya, sejak dideklarasikan oleh K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923 M) pada tahun 1330 H/1912 M, Muhammadiyah tidak secara eksplisit menyebut dirinya sebagai gerakan tajdid. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, pada Muktamar Muhammadiyah ke 40 tahun 1990 di Yokyakarta, Muhammadiyah secara resmi menyebut dirinya sebagai gerakan tajdid. Identitas Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid termaktub dalam pasal 4 Anggaran Dasar Muhammadiyah (ADM). Namun, deskripsi makna tajdid sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ADM ini tidak dijelaskan secara detail dalam pasalpasal yang lain. Uraian secara detail tentang makna tajdid menurut Muhammadiyah dapat dirujuk pada rumusan Muktamar Tarjih ke XXII di Malang pada tahun 1989. Secara bahasa, tajdid menurut Muhammadiyah adalah pembaharuan. Sementara itu, menurut istilah, tajdid memiliki dua arti, pertama, bermakna pemurnian, dan kedua, bermakna peningkatan, pengembangan, modernisasi, dan yang semakna
14 Syed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Longman, 1993), hlm. 148. 15 Abû al-A‘lâ al-Maudûdî, Purdah and the Status of Women in Islam, terj. ed., al-Anshari (Pakistan: Islamic Publication Limited, 1972), hlm. iii. 16 Lihat, pasal 4 Anggaran Dasar Muhammadiyah, hasil Muktamar Muhammadiyah ke 45 di Malang, tahun 2005.
Corak Pembaharuan Muhammadiyah... (Imron Rosyadi)
123
dengannya.17 Yang dimaksud tajdid dengan makna pemurnian menurut Muhammadiyah adalah “pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada alQur’an dan as-Sunnah al-Maqbûlah.”18 Tampaknya, makna tajdid ini dirumuskan karena adanya fakta amalan yang berkembang di masyarakat yang dianggap sebagai ajaran Islam padahal, kalau ditelusuri, tidak memiliki rujukan dari al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah sebagai sumber ajaran Islam. Merujuk pada pengertian ini, dalam sejumlah penelusuran, ditemukan adanya amalan bid’ah, khurafat, dan takhayyul dalam praktik berislam di kalangan umat Islam. Tajdid dalam makna pemurnian tersebut telah menjadi gerakan yang menyertai perjalanan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan Islam di Indonesia. Gerakan tajdid pemurnian ini sering bersentuhan dengan organisasi lain, yang berujung pada benturan antar kedua massa organisasi ini, bahkan ketegangan ini masih berlangsung hingga kini meskipun intensitasnya terus berkurang. Sementara itu, tajdid dengan makna kedua, yaitu peningkatan, pengembangan, modernisasi dan
yang semakna dengannya, dimaksudkan “sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah alMaqbûlah.”19 Definisi makna tajdid yang kedua ini mengindikasikan secara kuat Muhammadiyah sebagai gerakan yang bermaksud membangun masyarakat Muslim Indonesia yang berkemajuan dan berbasiskan ajaran Islam. Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah telah melihat adanya keterpurukan kaum Muslim Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan. Kondisi inilah yang mendorong Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah. Dengan demikian, kehadiran Muhammadiyah dijadikan Ahmad Dahlan sebagai instrumen untuk melakukan perubahan masyarakat Muslim Indonesia yang berkemajuan dengan berbasiskan ajaran Islam. Gagasan Ahmad Dahlan ini beralasan karena Islam di tangan Nabi telah mampu menjadi kekuatan untuk melakukan perubahan masyarakat Arab. Dengan demikian, gagasan tajdid Muhammadiyah, baik dalam pengertian pertama maupun kedua, merupakan kritik atas praktik berislam di Indonesia.
17 Berita Resmi Muhammadiyah, “Tanfi“ Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII Tahun 1989 di Malang” (Yokyakarta: PP Muhammadiyah, 1990), hlm. 47. 18 Ibid . Pada awalnya, penyebutan sumber ajaran Islam menurut Muhammadiyah menggunakan al-Quran dan as-Sunnah al-maqbulah . Dalam perkembangannya, Muhammadiyah menggunakan kata: as-Sunnah al-Maqbûlah. Perubahan ini karena menurut Muhammadiyah, al-Maqbûlah dapat bermakna as-Sunnah yang berderajat sahih dan asSunnah yang berderajat hasan untuk dijadikan sebagai hujah. Sementara itu, kata as-Sunnah al-maqbulah hanya mencakup as-Sunnah yang berderajat sahih saja. 19 Ibid.
124
Tajdida, Vol. 11, No. 2, Desember 2013: 117 - 128
Kedua makna tajdid di atas, baik makna tajdid sebagai pemurnian maupun sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunnah alMaqbûlah, menurut Muhammadiyah, pada dataran implementasinya diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam.20 Penegasan ini mengisyaratkan adanya peran akal pikiran dalam pengembangan Islam untuk diterapkan dalam rangka penafsiran Islam yang dapat mengawal jalannya sejarah kehidupan masyarakat Muslim Indonesia yang berkemajuan. Dengan kata lain, tujuan tajdid adalah untuk menfungsikan Islam sebagai hudan, furqân, dan rahmatan li al-’âlamîn sehingga perkembangan kehidupan masyarakat dapat terbimbing dengan baik.21 Peran akal dalam rumusan tajdid Muhammadiyah ini mengindikasikan keterbukaan Muhammadiyah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan untuk menafsirkan Islam sebagai petunjuk dan rahmat (hudan wa rahmatan) dalam menghadapi tantangan kehidupan masyarakat Indonesia yang terus berubah. Tanpa akal, ajaran Islam seperti yang termaktub di dalam al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah tidak akan bisa diimplementasikan dalam kehidupan nyata untuk memandu perjalanan hidup seseorang.
Untuk menjembati antara ajaran yang termaktub dalam al-Quran dan as-Sunnah al-Maqbûlah dan kenyataan, diperlukan interpretasi melalui maksimalisasi akal pikiran. Dalam penggunaan akal sebagai bagian dari tajdid tersebut di atas, dengan jelas disebutkan bahwa Muhammadiyah memberikan batasan bahwa akal tersebut harus fitri dan bersih. Kriteria yang diajukan Muhammadiyah ini agaknya merupakan bentuk kehati-hatian Muhammadiyah terhadap warganya dalam penggunaan akal untuk menginterpterasikan Islam. Tampaknya Muhammadiyah telah mengantisipasi untuk menghindari penggunaan akal yang berlebihan. Tajdid bagi Muhammadiyah adalah sebuah keniscayaan untuk dilakukan di tengah kehidupan ini yang terus berkembang. Oleh karena itu, dalam pandangan Muhammadiyah, “tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.”22 Penegasan Muhammadiyah ini menunjukkan bahwa Islam harus menjadi bagian penting dari kehidupan itu sendiri. Dengan menjadikan tajdid sebagai bagian penting dari ajaran Islam, Islam dapat berkembang dengan baik. Tampaknya, melalui pemaknaan tajdid seperti yang dirumuskan ini, Muhammadiyah bermaksud menjadikan Islam sebagai bagian penting dari kemajuan Indonesia di tengah kehidupan sosial
Ibid. Ibid. 22 Ibid. 20 21
Corak Pembaharuan Muhammadiyah... (Imron Rosyadi)
125
yang terus berubah sebagaimana Islam di tangan Nabi yang dapat menjadi bagian dari kemajuan bangsa Arab itu sendiri. Oleh karena itu, Muhammadiyah sebagai gerakan di Indonesia diberi nama Muhammadiyah yang berarti pengikut Muhammad.23 Dengan memiliki nama Muhammadiyah, diharapkan gerakan Islam yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 8 zulhijjah tahun 1330 H ini dapat menjadikan Islam di Indonesia seperti Islam yang didakwahkan oleh Nabi Muhammad saw., yaitu Islam yang telah menjadi rahmat bagi semesta alam. Muhammadiyah sebagai Gerakan Pembaharuan di Indonesia Muhammadiyah merupakan fenomena gerakan pembaharuan Islam abad dua puluh. Dikatakan demikian karena Muhammadiyah dideklarasikan pada tanggal 8 zulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 M di Yogyakarta. Kelahiran Muhammadiyah dapat dikatakan sebagai kelanjutan dari gerakan pembaharuan Islam di kawasan Timur Tengah. Hal itu terlihat dari sejarah hidup Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah yang banyak belajar kepada tokoh-tokoh gerakan pembaharuan di Timur Tengah, baik secara langsung maupun melalui karya-karya mereka.24
Kelahiran suatu organisasi gerakan, termasuk Muhammadiyah, memang tidak lepas dari perjalanan sejarah hidup pendirinya. Sebagaimana disebutkan terdahulu, dalam sejarahnya sebagai gerakan pembaharuan, Muhammadiyah telah melakukan gerakan pemurnian dan modernisasi. Dua tema pembaharuan ini menyertai perjalanan Muhammadiyah yang hingga kini telah berlangsung satu abad. Pada daerah tertentu, tekanan kuat pembaharuan Muhammadiyah terlihat pada pemurnian dan pada daerah lainnya terlihat modernisasi lebih kuat dari pemurnian. Sebagai kelanjutan semangat gerakan pembaharuan dari Timur Tengah, kelahiran Muhammadiyah di bumi Nusantara yang terdiri dari kepulauan ini memiliki tujuan untuk membangun masyarakat Muslim Indonesia menjadi masyarakat Muslim yang maju dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain dengan basis agama. Tujuan ini tidak lain karena keadaan masyarakat Muslim waktu itu memprihatinkan di hampir berbagai segi kehidupan. Dari sisi ekonomi, masyarakat Muslim Indonesia banyak yang miskin. Dari segi politik, masyarakat Muslim Indonesia terjajah. Dari segi penguasaan ilmu dan teknologi, masyarakat Muslim Indonesia terbe-
23 Secara lugawî, Muhammadiyah itu terdiri dari dua kata, yaitu Muhammad dan yah. Yang dimaksud dengan Muhammad di sini adalah Muhammad saw, seorang nabi dan rasul Allâh terakhir (khâtam al-ambiyâ’ wa al-mursalîn). Adapun kata yah memiliki arti pengikut. Dengan kata lain, Muhammadiyah adalah pengikut Nabi Muhammad saw. 24 Musthafa Kamal Pasha dan Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam, hlm. 77.
126
Tajdida, Vol. 11, No. 2, Desember 2013: 117 - 128
lakang. Dengan kata lain, Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan dijadikan sebagai sarana untuk mendorong masyarakat Muslim Indonesia meraih kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan.25 KESIMPULAN Dari uraian yang singkat, sebagaimana dijelaskan di atas, dapat dikemukakan kesimpulan dari makalah singkat ini. Kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan merupakan sunnahtullah. Kehadirannya merupakan keniscayaan bagi bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Dengan kata lain, kehadirannya merupakan berkah bagi masyarakat Muslim Indonesia, dan bangsa Indonesia pada umumnya. Muhammadiyah memberikan makna pembaharuan ke dalam dua gerakan, yaitu gerakan purifikasi atas masalah akidah dan ibadah, dan gerakan modernisasi atau reformasi untuk bidang-bidang mua-
malah dalam berbagai bidang kehidupan. Tujuan tajdid menurut Muhammadiyah adalah untuk mefungsikan Islam sebagai hudan , furqân, dan rahmatan li al-’âlamîn sehingga perkembangan kehidupan masyarakat dapat terbimbing dengan baik. Dalam pandangan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam. Untuk dapat menfungsikan tajdid dalam berbagai bidang kehidupan di tengah masyarakat yang berubah, ijtihad merupakan sebuah keniscayaan untuk dilakukan. Dalam ijtihad ini, menurut Muhammadiyah, maksimalisasi peran akal yang bersih adalah suatu prasyarakat tajdid. Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan oleh KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dijadikan sebagai alat untuk memajukan bangsa Indonesia, bangsa yang berkemajuan, sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya yang telah maju. Wallahu A’lam
DAFTAR PUSTAKA Abû al-A‘lâ al-Maudûdî, Purdah and the Status of Women in Islam, terj. ed., al-Anshari (Pakistan: Islamic Publication Limited, 1972). Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam: Konservatisme, Fundamentalisme, Sekularisme, dan Modernisme (Surabaya: lpam, 2004). Ibid ., hlm. 71-78; Sudarno Shobron dan Syamsul Hidayat (peny.), Studi Kemuhammadiyahan, hlm., 30-57. 25
Corak Pembaharuan Muhammadiyah... (Imron Rosyadi)
127
Agus Moh. Najib, “Gerakan Wahabi: Ajaran dan Metode Penyebarannya,” dalam Yudian Wahyudi (ed.), Gerakan Wahabi di Indonesia (Dialog dan Kritik) (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009). Akh. Minhaji”Tradisi Islah dan Tajdid Dalam Hukum Islam,” dalam Profetika (Surakarta: Program Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2001). Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, 1996). Berita Resmi Muhammadiyah, “Tanfi“ Keputusan Muktamar Tarjih Muhammadiyah XXII Tahun 1989 di Malang” (Yokyakarta: PP Muhammadiyah, 1990).
CD Mausû’ah al-Hadîs asy-Syarîf Versi 2000. Haedar Nashir, dkk., Materi Induk Perkaderan Muhammadiyah (Yogyakarta, Badan Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1994) . . Ibn Hajar, Kitâb Tahzîb at-Tahzîb (Beirut: Dâr al-Fikr, 1984), Jilid IV, VI, XII. Musthafa Kamal Pasha dan Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis) (Yogyakarta: LPPI, 2000) Pasal 4 Anggaran Dasar Muhammadiyah, hasil Muktamar Muhammadiyah ke 45 di Malang, tahun 2005. Samsu Rizal Panggabean, “Organisasi dan Gerakan Islam,” dalam Taufik Abdullah, (et.al), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002). Sudarno Shobron dan Syamsul Hidayat (peny.), Studi Kemuhammadiyahan: Kajian Historis, Ideologis dan Organisasi (Surakarta, LPID UMS, 2011). Syed Hossein Nasr, Islam and the Plight of Modern Man (London: Longman, 1993).
128
Tajdida, Vol. 11, No. 2, Desember 2013: 117 - 128