PERAN MUHAMMADIYAH DALAM PEMBAHARUAN ISLAM DI SUKOHARJO Peni Hapsari
Guru SMA Muhammadiyah 1 Sukoharjo email:
[email protected]. ABSTRAK
T his study discusses Islamic renewal undertaken by Muhammadiyah since 1966 until 1996. This study not only describes what and when it happened, but also identifies the problem of how and what factors caused the fact happened. The research is based on qualitative research pattern presented descriptively analytical with attention to the principles of sequence or chronology. Then it’s got the result, that the role of the Muhammadiyah movement and renewal covers many areas of life such as religious, social, and education. The role of the religious field to align the worship practices of the community, especially in Sukoharjo is based on Qur’an and Sunnah (clearing and establish monotheism). For public role is to free people from ignorance, alienation, and poverty. And the last and most prominent role is in education by maintaining religious traditions. Implementation through the development of educational institutions started from (Early Childhood Education) to the university. Keywords: Muhammadiyah, renewal, preaching.
Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
103
PENDAHULUAN Muhammadiyah berawal di Yogyakarta mewakili kelompok yang menekankan keunggulan hukum Islam. Didirikan oleh Ahmad Dahlan pada tanggal 18 Nopember 1912 atau 8 Dzulhijjah 1330. Organisasi ini mencurahkan kegiatannya pada usaha-usaha pendidikan serta kesejahteraan dan pada program dakwah guna melawan agama Kristen dan takhayultakhayul lokal. Tujuan persyarikatan Muhammadiyah adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur. Pendiri Muhammadiyah yaitu Ahmad Dahlan merupakan salah seorang elit Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1890, pertama kali ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar selama setahun dengan Syaikh Ahmad Khatib sebagai salah seorang gurunya. Ahmad Dahlan terinspirasi untuk memurnikan agamanya dengan me-
nggunakan label haram dan syirik terhadap kebiasaan lokal yang dipengaruhi oleh tradisi Jawa HinduBuddha. Dahlan sama sekali tidak sependapat terhadap praktik-praktik tarekat yang berkembang di daerahnya, Yogyakarta. Para pendukungnya menyarankan agar Dahlan mendirikan organisasi sendiri yang bersifat permanen. Saran inilah yang kemudian ditindaklanjuti Ahmad Dahlan dengan pendirian Muhammadiyah.1 Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah dengan harapan agar pengikutnya benar-benar bisa mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw.2 Secara etimologis (bahasa), kata Muhammadiyah merupakan kata jadian dari kata Muhammad dan Iyah. Kata Muhammad menunjuk pada pengertian Rasulullah atau seorang Rasul yang diutus Allah ke muka bumi untuk menyampaikan risalah dan agama Islam kepada seluruh ummat manusia. Sedangkan kata Iyah merupakan kata yang me-
1 M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (terjemahan oleh Satrio Wahono , dkk), (Jakarta: Serambi, 2005), hlm. 356. 2 Suyoto, dkk., Pola Muhammadiyah Ranting Ketegangan Antara Purifikasi dan Dinamisasi , (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005), hlm. 17. Lihat juga Kamal, Mustafa., et al., Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam,( Yogyakarta: Persatuan), hlm. 34. Lihat juga Abdul Munir Mulkhan, Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Usaha Muhammadiyah, (Yogyakarta: Persatuan, 1990), hlm. 57.
104
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
nunjuk pada pengertian para pengikut Rasulullah yang senantiasa mengerjakan perintah dan ajaran serta meninggalkan larangan yang dibawakannya.3 Sebagai gerakan yang berlandaskan agama, maka ide pembaharuan Muhammadiyah ditekankan pada usaha untuk memurnikan Islam dari pengaruh tradisi dan kepercayaan lokal yang bertentangan dengan ajaran Islam. Ciri khas pembaharuan pemikiran keagamaan Islam model Muhammadiyah adalah adanya hubungan yang bersifat dialektis-hermeneutis (hubungan timbal balik dan bolak-balik) bukan hubungan yang bersifat dikotomis eksklusif antara sisi normativitas al-Qur’ an (dengan simbolisasi kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah) dan historisistas pemahaman manusia Muslim atas norma-norma al-Qur’an tersebut pada wilayah kesejarahan tertentu (dengan simbolisasi perlunya ‘ijtihad’ dan ‘tajdid’ setiap saat).4 Strategi tajdid yang dijalankan Muhammadiyah merupakan pemahaman bahwa nilai-nilai Islami itu memang tidak boleh “digadaikan” dan tidak boleh dikompromikan dengan nilai-nilai non Islami tetapi tidak boleh bersikap menolak seluruhnya terhadap apa yang datang dari luar Islam. Apa saja yang datang dari luar belum tentu merupakan hal buruk sehingga penerimaan terhadap westernisme atau modern-
isme bisa saja terjadi, berbeda dengan tanggapan kaum tradisionalis yang menolaknya. Namun, juga tidak menerima begitu saja modernisme sampai meninggalkan nilainilai Islam itu sendiri. Bagi Muhammadiyah pintu ijtihad masih terbuka sepanjang masa. Oleh karena itu, Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan cara modernisasi Islam bagi masyarakat Indonesia sekaligus juga secara progresif revolusioner mengadakan perlawanan terhadap ancaman dari pihak pemerintah kolonial Belanda. Dengan cara itu, maka ijtihad masih selalu dilakukan selama al-Qur’an dan Sunnah Nabi menjadi pedoman dan tidak hanya terbatas pada mazhab-mazhab yang ada saja. Muhammadiyah dalam hal ini hanyalah alat untuk selalu mengikuti dan melanjutkan ajaran Nabi Muhammad Saw, maka Muhammadiyah sebagai alat yang menjadi subjek dalam melakukan dakwahnya kepada masyarakat Indonesia yang menjadi objeknya. Kegigihan pemberantasan TBC (Takhayul, Bid’ah, Churafat) yang mulai tampak pada masa kemerdekaan berbeda dari masa kolonial semasa dalam kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan dan mulai mencair sesudah kepemimpinan gerakan ini didominasi elit baru berpendidikan tinggi modern pada masa terakhir
Paryanto, Format Theologi, Gerakan Dakwah Muhammadiyah dan Transformasinya Untuk Reformasi Sosial 1912-1914, (Yogyakarta: Fakultas Da’wah Institut Agama Islam Negeri 3
Sunan Kalijaga, 1999), hlm. 50. 4 Suyoto, dkk., op. cit., hlm. 18-43
Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
105
Orde Baru.5 Selain itu, pemurnian Islam dalam pandangan Muhammadiyah merupakan pencarian referensi sistem kepercayaan dan ritual Islam pada fakta historis kenabian Muhammad Saw. Oleh karena itu, pembentukan sebuah organisasi untuk membela Islam merupakan konsekuensi logis. Pada masa-masa awalnya, tindakan yang dilakukan Muhammadiyah sebagai upaya pemurnian dengan mengecam kebiasaan yang telah diyakini oleh orang Jawa sebagai Islam sebenarnya mengandung begitu banyak permusushan dan kebencian dari komunitas agama di Jawa. Pada tahun 1925, dua tahun sesudah kematian pendirinya, Muhammadiyah hanya beranggotakan 4000 orang. Namun, organisasi ini telah mendirikan 55 sekolah dengan 4000 orang murid, dua balai pengobatan di Yogyakarta dan Surabaya, sebuah panti asuhan, dan sebuah rumah miskin. Hal ini membuktikan peranan rintisan Muhammadiyah dalam Islam di Indonesia modern. Organisasi ini diperkenalkan di Minangkabau oleh Haji Rasul pada tahun 1925. Begitu berhubungan dengan dunia Islam Minangkabau yang dinamis, organisasi ini berkembang dengan pesat. Pada tahun 1930, jumlah anggota organisasi ini sebanyak 24.000 orang, menjadi 43.000 orang pada tahun 1935, dan
pada tahun 1938, organisasi ini mengaku mempunyai anggota 250.000 orang.6 Peningkatan jumlah anggota yang luar biasa ini diikuti dengan penyebaran organisasi ke semua pulau utama di Indonesia. Islam selalu memberikan gambaran yang berbeda dalam setiap masa yang dilaluinya sebagai hasil tafsir dari para pengikutnya. Hasil pemahaman dan penafsiran manusia disesuaikan dengan kondisi fisik maupun psikologis individu dalam memahami dunia dengan pandangan Islami melalui cara-cara yang sangat berbeda. Melalui usaha dakwah yang intensif, Muhammadiyah mendapat sambutan di daerah-daerah di luar Yogyakarta sampai dengan pelosok di pulau Jawa bahkan di bagian-bagian lain di luar Jawa. Perjuangan yang dilakukan Muhammadiyah melalui cara meniru model kelembagaan dan organisasi barat untuk mengubah reformisme menjadi sebuah kekuatan sosial baru dalam bidang pendidikan. Pada kenyataannya, umat Islam berhasil berkembang setelah tahun 1927 karena pemerintah lebih menaruh perhatian kepada gerakan-gerakan yang bersifat politik dari pada gerakan keagamaan maupun sosial dimana gerakan politik dianggap sebagai kendala yang lebih berarti dalam menguasai Indonesia. Sejak awal pendiriannya, telah ditetapkan bahwa Muhammadiyah
5 Abdul munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani , (Yogyakarta: Bentang, 2000), hlm. 1-2. 6 M.C Ricklefs, loc.cit., hlm. 357
106
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
bukan organisasi (partai) politik. Meskipun fakta membuktikan bahwa Muhammadiyah pernah terlibat dengan partai politik, yaitu pada masa kepemimpinan Mas mansur (1936-1942) ikut membidani lahirnya MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) tahun 1937, PII (Partai Islam Indonesia) tahun 1938 dan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) tahun 1968. Pada masa Demokrasi Terpimpin Muhammadiyah menjadi anggota istimewa Masyumi (Majelis Syuro Muslimin), terlibat dengan PPP pada masa Orde Baru serta hubungan moral dengan PAN. Lain halnya dengan NU yang mengubah dirinya menjadi partai politik pada tahun 1952.7 Sejak lahir 1912 hingga kurang lebih tahun 1995, jumlah anggotanya belum mencapai satu juta orang, kurang 10% diantaranya petani yang semakin kecil jika dikurangi yang meninggal. Namun, gerakan ini memiliki 26 pimpinan tingkat provinsi, 271 pimpinan tingkat kabupaten, 3.000-an pimpinan tingkat kecamatan dan puluhan ribu pimpinan tingkat desa. Gerakan ini juga memiliki puluhan ribu lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah, ratusan pendidikan tinggi, rumah sakit dan balai kesehatan. Menunjukkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam gerakan ini jika dilihat dari jumlah anggota, terutama dari petani dan buruh.8
Muhammadiyah memiliki organisasi yang kukuh, juga memiliki peran dalam pendidikan agama yang memberikan banyak pengaruh kepada umat Islam Indonesia, demikian pula amal usaha serta penerbitannya. Kehidupan politiknya memberikan pengaruh kepada kehidupan umat Islam di Indonesia tetapi bila dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain pengaruhnya dirasa kurang karena komitmennya. Organisasi ini telah berusaha mendefinisikan untuk masyarakat Indonesia khususnya daerah Sukoharjo apa yang dimaksud dengan Islam, apa prinsip dasar agama Islam, dan apa sebenarnya perilaku religius yang tepat bagi umat Islam. Suatu gagasan yang ditandai oleh keanekaragaman pemikiran sosial dan politik, telah menarik sejumlah pengikut dan misinya berpengaruh dalam kehidupan sosial-keagamaan umat Islam. Membutuhkan pengungkapan mengenai wawasan baru yang telah diberikan Muhammadiyah pada perkembangan Islam di Sukoharjo selama tahun 1966-1996 sedang berlangsung, telah ditahan, atau telah mengambil arah yang berbeda. Artinya, mengenai pengaruh ajaran dari Muhammadiyah terhadap masyarakat Sukoharjo yang berupaya mencari pemecahan persoalan-persoalan kehidupan yang kompleks dengan menyerukan kembali kepa-
Suwarno, Muhammadiyah Sebagai Oposisi , (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 28. PP Muhammadiyah, Laporan Pimpinan Pusat Muhammadiayah Periode 1990-1995 , (Yogyakarta: PP Muhammadiyah, 1995). 7 8
Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
107
da al-Qur’an dan sunnah. Muncul dualitas Islam murni yang syariahistis dan sufistis terlihat dari ambivalensi di antara komitmen pada aturan legal syariah dan komitmen spiritual dari sufisme. Dengan latar belakang di atas, maka perumusan permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut, 1. Bagaimana kondisi Sosial Budaya dan keagamaan masyarakat di Sukoharjo tahun 19661996? 2. Bagaimana strategi dakwah yang digunakan Muhammadiyah dalam pembaharuan Islam di Sukoharjo tahun 1966-1996? 3. Bagaimana peran Muhammadiyah dalam pembaharuan Islam di Sukoharjo tahun 19661996?
Dari permasalahan yang ada, diharapkan kajian tentang sejarah sosial keagamaan mampu memberikan solusi atas beberapa masalah yang ada. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut, 1. Untuk mendeskripsikan kondisi Sosial Budaya dan keagamaan masyarakat di Sukoharjo tahun 1966-1996.
2. Untuk mengetahui strategi yang dugunakan Muhammadiyah dalam pembaharuan Islam di Sukoharjo tahun 1966-1996. 3. Untuk mengetahui peran Muhammadiyah dalam pembaha108
ruan Islam di Sukoharjo tahun 1966-1996.
Penelitian ini mempunyai dua manfaat yang ingin dicapai, yaitu : 1. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah melengkapi temuan-temuan peneliti sebelumnya. Terutama memberi sumbangan bagi kelengkapan sejarah lokal bagi daerah Sukoharjo. 2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah budaya penelitian tentang masalah sosialkeagamaan terutama mengenai Muhammadiyah terutama mengenai peranan dan perkembangannya di Sukoharjo. Hasilnya, peranan ilmu sejarah akan semakin nyata dan akan terus berkembang. Penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat bagi kepentingan pendidikan dan penelitian selanjutnya. TINJAUAN PUSTAKA Untuk mendukung dan membahas permasalahan-permasalahan pada penelitian ini, maka digunakan beberapa literatur sebagai acuan dan pedoman untuk landasan berpikir. Adapun literatur dan bahan acuan tersebut antara lain: Buku yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah buku Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Sebuah analisa tentang Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan. Sebuah buku karya
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
MT Arifin yang di dalamnya menggambarkan keberhasilan usaha Muhammadiyah dalam merintis kelembagaan sosial terutama bidang pendidikan yang merupakan refleksi dalam bentuk perubahan dan inovasi kelembagaan sosial. Korelasi yang diinginkan dari buku dengan kasus yang sedang diteliti adalah mengenai konsep pokok pembaharuan yang diterapkan Muhammadiyah.9 Pembaharuan dalam Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap umat Islam pada masanya. Pembaharuan merupakan terjemahan dari istilah asing reformation. Istilah reformasi merupakan derivasi dari kata “reform” yang menjadikan (seseorang, lembaga, prosedur, sistem atau tradisi) menjadi lebih baik dengan melakukan pembaharuan. Pembaharuan Islam bukanlah sesuatu yang evolusioner bahkan cenderung devolusioner dimana pembaharuan bukan merupakan proses perkembangan bertahap diartikan bahwa sesuatu yang kemudian bisa jadi lebih baik dari sebelumnya. Memang bukan perubahan tetapi hanya peragaman makna dan penafsiran dari konsep asalnya sehingga lebih jelas bagi masyarakat pada masanya. Di samping itu, pembaharuan ini bisa berarti memperbaharui
ingatan orang yang telah melupakan ajaran Islam yang benar dengan memberi penjelasan-penjelasan sehingga dapat meluruskan keyakinan bagi orang yang ragu, keliru atau salah paham. Pada pengertian ini, pembaharuan Islam memiliki rujukan yang jelas yaitu Al-Qur’an sedangkan pembaharuan lain tidak memiliki rujukan mutlak dan pasti.10 Strategi dapat diartikan sebagai kemampuan yang terampil dalam menengani dan merencanakan sesuatu.11 Ahmad S. Adnan putra, pakar humas dalam work shop berjudul Strategi pada tahun 1990 mengatakan bahwa strategi adalah bagian terpadu dari suatu rencana (plan) sedangkan rencana merupakan suatu produk dari suatu perencanaan (planning) yang pada akhirnya rencana adalah salah satu fungsi dari proses manajemen. Tahapan-tahapan fungsi manajemen yang utama adalah menetapkan tujuan (objek) yang hendak diraih, posisi tertentu atau dimensi yang ingin dicapai sesuai dengan perencanaan (statement of organization destination) yang telah diperhitungkan dengan baik oleh pihak yang terlibat dalam manajemen atau organisasi yang bersangkutan, berikutnya adalah strategi “apa dan bagaimana” yang digunakan dalam perencanaan untuk mancapai suatu
M.T. Arifin, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah , (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987). Eka Lusiandani Kuncara, Konsep Pembaharuan Dalam Islam ,
2009, (diakses tanggal 27 Agustus 2010 pukul 09.07) 11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 964. 9
10
Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
109
tujuan organisasi. Kemudian program kerja (action plan), terakhir yang paling menentukan adalah unsur anggaran (budget) yang sudah dipersiapkan, berfungsi sebagai pendukung khusus yang dialokasikan demi terlaksananya suatu dakwah. Dakwah bisa diartikan sebagai ajakan atau seruan kepada sesuatu menurut arti bahasanya. Pengertian yang lain dikemukakan oleh Syekh Ali Mahfudz bahwa dakwah adalah mendorong manusia agar berbuat kebaikan dan menuruti petunjuk, menyuruh mereka berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan kemungkaran agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.12 Syekh Muhammad Abduh dan Mochtar Husein (1986) mengemukakan bahwa dakwah adalah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir untuk memeluk Islam.13 Memeluk agama adalah hak asasi manusia itulah prinsip toleransi yang diajarkan dalam Islam. Agama tidak mungkin dipaksakan pada seseorang. Dakwah agama hanyalah menyeru, mengajak, dan mengingatkan. Apakah seseorang akan beriman atau mengingkarinya diserahkan kepada orang bersangkutan. Sesuai dengan Al-Qur’an dari surat Al-Ma’idah ayat 67-68 bahwa Allah menegaskan kepada Rasul Muhammad Saw untuk menyampaikan risalah Islam kepada umat manusia. 12 13
110
Di antara dakwah yang wajib dikerjakkan oleh Rasulullah begitu juga para pengikutnya adalah ajakan kepada Ahli Kitab (Yahudi-Nasrani) untuk kembali menegakkan ajaran agama Allah yang benar sebagaimana Allah turunkan di dalam kitab seperti Taurat dan Injil yang murni dan beriman kepada kitab Al-Qur’an yang turun kepada Nabi akhir zaman yaitu Muhammad Saw. Nabi Muhammad Saw menyampaikan dakwah dengan cara langsung (face to face) artinya langsung berhadapan dengan orang atau massa yang didakwahinya atau secara tidak langsung yakni dengan membina komunikator perantara (membina orang lain yang nantinya akan menyampaikan dakwah kepada manusia lain). Penyampaian dakwah secara langsung ini, pada umumnya dilakukan secara lisan tetapi adakalanya dengan contoh perbuatan beliau atau dengan pembenaran atas perbuatan orang lain. Cara lain yang digunakan adalah dengan mengirim surat kepada raja-raja atau kepala suku serta kepala negara agar mereka mau memeluk agama Islam. Dakwah dimulai kepada orang terdekat kemudian meluas dan makin meluas hingga ke seluruh penjuru Kota Makkah dan Madinah bahkan dunia. Salah satu organisasi yang terkenal mengadakan pembaharuan Islam adalah Muhammadiyah. Sumber intelektual pandangan pembaruan Muhammadiyah dapat
Zulkifli Musthan, Ilmu Dakwah, Jilid I, (Makassar: Yayasan Fatiya, 2002), hlm.3. Ibid. Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
ditelusuri paling tidak sampai ke Muhammmad bin Abd al-wahhab dari Arab saudi, Muhammad Abduh dari Mesir serta Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir. Gerakan pembaharuan yang ditekankan oleh Muhammad bin abd Al-wahhab adalah “pemurnian akidah sehingga gerakannya lebih bersifat puritan (purifikasi)”14. Muhammad Abduh , seorang pemikir Muslim terkemuka yang memberikan sumbangan berharga bagi pembaruan Islam atau modernisme.15 Diilhami oleh pemikiran sosial barat dan aliran kalam rasional, mu’tazilah16, Abduh mementingkan penalaran (aql). Abduh percaya bahwa perhitungan rasional untuk membuat keputusan demi kebaikan manusia di dalam masyarakat yang berubah adalah betul-betul Islami. Akal lebih penting bagi perkembangan hukum Islam di samping alQuran dan sunnah. Lebih jauh lagi, akal harus didahulukan jika norma atau hukum tertentu dalam al-Qur’ an dan sunnah bertentangan dengan akal. Kecenderungan rasional ini merupakan dasar bagi modernisme Islam di bawah kepemimpinan intelektual Abduh dengan “menempuh jalur pendidikan”17. Sementara itu, Rasyid Ridha memahami Islam
dengan kembali pada al-Quran dan sunnah. Menurut konsep Ridha, syariah memainkan peranan penting, memisahkan antara persoalan agama dan duniawi. Oleh karena itu, “gerakannya lebih bersifat skriptualis (tekstual)”18 sehingga bidang sosial serta politik pada akhirnya berada di bawah kekuasaan agama. Beberapa versi dalam teori modernisasi mengklaim bahwa agama merupakan fenomena masyarakat tradisional yang cenderung akan kehilangan peran seiring dengan berkembangnya masyarakat industri modern. Akar-akar agama dipandang terdapat di pedesaan dan dalam masyarakat kelas sosial bawah. Mengenai Islam di Indonesia, beberapa kecenderungan dan perilaku keagamaan seringkali dihubungkan dengan kelas-kelas sosial. Geertz contohnya percaya bahwa kelompok Islam modernis seperti anggota Muhammadiyah adalah orang-orang kota dan berasal dari kelas sosial menengah.19 Kaum modernis memiliki perbedaan dengan kelompok tradisionalis yang bisa dijadikan gambaran tentang Islam Indonesia. Kaum modernis mempunyai kecenderu-
14 Adi Nugroho, K.H. Ahmad Dahlan: Biografi Singkat (1869-1923), (Yogyakarta: Garasi, 2009), hlm. 94. 15 Saiful mujani, Muslim Demokrat:Islam,Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 54-55. 16 Mu’tazilah berpendirian bahwa manusia dengan akalnya, bebas atas segala perbuatan dan tindakannya yang dapat menentukan baik dan buruk sekalipun tanpa tuntunan agama. 17 Adi Nugroho, loc.cit. 18 Ibid. 19 Geertz, Clifford., The Religion of Java (edisi terjemahan oleh A. Mahasin), (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981).
Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
111
ngan untuk mengacu langsung pada al-Qur’an dan sunnah dalam menjalankan kehidupan pribadi, sosial, dan politiknya. Kaum modernis yang dimaksud adalah Muhammadiyah. Identitas Muhammadiyah dikenal berakar pada kelas menengah. Terpaut akan kecenderungan anggapan bahwa Muhammadiyah identik dengan seseorang yang berpendidikan tinggi dengan penghasilan tinggi pula. Sekalipun demikian, pemilahan desa dan kota sebenarnya tidak berkolerasi dengan identitas kemuhammadiyahan. Alasan sesungguhnya karena mereka yang mengidentifikasikan diri dengan Muhammadiyah tinggal baik di desa maupun di kota. Lahirnya organisasi Muhammadiyah ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Hindia-Belanda, yaitu Ratu Wihelmina yang mengeluarkan keputusan menjalankan politik etis di Indonesia. Dimulai sejak tahun 1901, politik etis yang dicetuskan oleh Van Deventer mendorong perubahan sosial di kalangan pribumi. Kebijakan ini secara tidak langsung telah mendorong munculnya elit baru berpendidikan yang selanjutnya mendirikan organisasi atau perkumpulan secara modern sebagai alat perjuangan.20 Sejak kelahirannya tahun 1912, Muhammadiyah telah mengembangkan sayapnya keluar Karesidenan Surakarta. Bersamaan de-
ngan persebarannya terbentuk juga cabang-cabang Muhammadiyah di daerah-daerah. Salah satu cabang yang didirikan adalah Muhammadiyah Surakarta. Bisa dikatakan sebagai cikal bakal berdirinya Muhammadiyah di Sukoharjo. Alasannya bahwa Sukoharjo sebelum tahun 1946 merupakan salah satu wilayah bagian Kasunanan Surakarta. Usaha Muhammadiyah dalam menjaga ketahanan dan imunitas Ideologi adalah pertama dengan menjaga jarak dan bersikap kritis terhadap partai politik sehingga Muhammadiyah tidak pernah identik dan diidentikkan dengan partai politik manapun, meskipun partai tersebut dikelola oleh sebagian kader Muhammadiyah. Kedua, menggunakan peluang politik sebagai media dakwah. Ketiga, memerangi paham-paham yang sangat berseberangan dengan Muhammadiyah seperti paham paganisme yang mengusung takhyul, bid’ah, dan khurafat bahkan kemusyrikan yang selama ini telah menjadi priorotas utama dakwah Muhammadiyah. Paham lain yang harus diperangi yaitu paham Islam Liberal, yang mengususng (1) liberalisasi pemikiran Islam, menghujat Al-Qur’an dan Sunnah serta para ulama dengan memuji-muji orientalis dan mengutamakan akal pikiran, (2) sekularisasi, sebagai gerakan yang mengupayakan terpisahnya kehidupan dari bimbingan agama, bahkan memusnahkan agama dari kehidupan manusia. (3)
20 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional dari Boedi Utomo sampai Proklamasi 19081945, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 16.
112
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
pluralisme, cara pikir yang memandang semua agama sama serta mensintesiskan agama-agama menjadi agama baru yang akhirnya berujung tidak berlakunya nilai-nilai agama dalam kehidupan manusia. Muhammadiyah mempergunakan jalan dakwah kultural yang meliputi dua pintu utama yaitu konvensional dan komunikasi. Yang pertama menyampaikan ajaran Islam melalui ceramah, khutbah, dialog interaktif dan kegiatan tabligh lainnya. Cara ini sudah berlangsung lama dan masih terus digunakan sampai saat ini. Yang kedua sebagai proses interaksi nilai dan saling mempengaruhi dalam rangka terjadinya perubahan pemahaman, keimanan dan pengamalan Islam secara individual, dan perubahan struktur dan norma kehidupan menuju masyarakat madani secara sosial. Buku yang berjudul Pola Gerak-
an Muhammadiyah Ranting Ketegangan Antara Purifikasi dan Dinamisasi, mengemukakan bagaimana
dinamika perkembangan Muhammadiyah dari munculnya sampai kini. Analisis model dilakukan untuk memotret, karena pada kenyataannya telah dilakukan survei awal, maka ditemukan beberapa fenomena. Fenomena tersebut adalah bahwa Muhammadiyah diterima dengan cepat serta kemudian Muhammadiyah berkembang secara pesat di suatu tempat, bila dilihat dari sisi amal 21 22
usaha maupun jumlah pengikut Muhammadiyahnya tetapi juga ada ranting yang lambat dan bahkan ada yang lambat sekali perkembangannya baik dari sisi kuantitas, amal usaha maupun dari sisi jumlah umatnya, dan dari sisi corak kultural baru yang diciptakan oleh Muhammadiyah.21 Beberapa fenomena ini memiliki korelasi dengan kasus yang diteliti. Abdul Munir Mulkhan menemukan empat varian praktek Islam murni di kalangan pengikutnya. Hasil penelitian tentang Muhammadiyah dari tahun 1997-1998 ini mengemukakan Islam murni versi Tarjih diterapkan secara konsisten oleh ahli syariah, tetapi toleransi terhadap tradisi TBC bisa meluas ketika peran ahli syariah melemah. Melemahnya peran ahli syariah karena modernisasi pendidikan yang dilakukan Muhammadiyah. Petani terdorong menjadi pengikut Muhammadiyah setelah adanya krisis sosial-politik dan keagamaan akibat peristiwa G-30-S/PKI. 22 Buku ini memberi persamaan dengan kasus yang diteliti pada akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa G-30-S/PKI serta praktek toleransi terhadap tradisi TBC yang berkembang di daerah yang diteliti. Syarifah Husna Barokah dalam skripsinya yang berjudul Pimpinan
Pusat Muhammadiyah di Bawah Kepemimpinan Ahmad Syafi’i Ma’ arif Periode 1998-2003, mengung-
Suyoto, dkk., op.cit., hlm. 11-12 Abdul munir Mulkhan, op.cit., hlm. 349-350 Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
113
kapkan mengenai corak kepemimpinan dalam organisasi Muhammadiyah. Sistem pengambilan keputusan yang dijalankan di dalam organisasi Muhammadiyah paling utama adalah Muktamar yang merupakan permusyawaratan tertinggi dalam persyarikatan (organisasi). Pemimpin tertinggi persyarikatan secara keseluruhan dipegang oleh pimpinan pusat yang berkedudukan di kantor Pimpinan Pusat. Pimpinan untuk setingkat Kabupaten dipegang oleh Pimpinan daerah Muhammadiyah yang berkedudukan di ibukota Kabupaten. Peranan dari Pimpinan Pusat ini tidak bisa disangsikan lagi yaitu untuk menetapkan kebijakan persyarikatan, memimpin, dan mengendalikannya. Untuk pimpinan di bawahnya seperti Pimpinan Daerah memiliki tugas memimpin persyarikatan dalam daerahnya serta melaksanakan kebijakan Pimpinan di atasnya. Para pemimpin dari Pimpinan Pusat bisa mempengaruhi kebijakan, strategi dakwah dan jalannya persyarikatan Muhammadiyah. Korelasi dengan kasus yang diteliti adalah mengenai kebijakan pimpinan terhadap jalannya persyarikatan yang dipimpinnya. Referensi berikutnya adalah skripsi dari Indah Susanti yang berjudul Peranan Muhammadiyah Bi-
dang pendidikan di Kecamatan Gemolong tahun 1990-2000 . Mem-
berikan gambaran dan penjelasan bahwa dalam bidang pendidikan Muhammadiyah menaruh perhatian khusus dengan memberikan pelajaran (materi) agama lebih banyak dari sekolah-sekolah negeri milik 114
pemerintah. Materi yang diajarkan di sekolah Muhammadiyah tersebut sama, baik di sekolah umum maupun kejuruan. Hal yang membedakan adalah penambahan materi agama yang setiap hari ada. Pelajaran agama tersebut diantaranya Aqoid, Ibadah, Muamalah, Akhlak, AlQur’an dan Hadits, Tarikh, Kemuhammadiyahan dan Bahasa Arab. Dilihat dari hasilnya, ada persamaan dengan kasus yang diteliti yaitu menggunakan metode sejarah untuk mengetahui perkembangan organisasi Muhammadiyah dalam kurun waktu tertentu. Perbedaannya adalah pada penelitian sebelumnya penelitian hanya dilakukan pada wilayah Kecamatan setingkat Cabang dalam organisasi Muhammadiyah, sedangkan pada penelitian ini dilakukan pada kesatuan wilayah Kabupaten, setingkat Pimpinan Daerah dalam organisasi Muhammadiyah. Hasil lain yang sesuai adalah kesamaan mengenai strategi dakwah melalui bidang pendidikan yang diterapkan oleh Muhammadiyah. Melalui pendidikan dikembangkanlah pendidikan Ismuba yang di dalamnya mempelajari tentang ajaran agama Islam. METODE PENELITIAN Penelitian ini membahas tentang pembaharuan Islam yang dilakukan Muhammadiyah sejak tahun 1966 sampai tahun 1996. Studi ini bukan hanya menggambarkan apa dan kapan peristiwa itu terjadi tetapi juga mengidentifikasi masalah bagaimana dan faktor apa yang menyebab-
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
kan peristiwa itu terjadi. Dilihat dari aspek waktu penelitian dan permasalahan yang dibahas, penelitian ini sangat relevan apabila menggunakan metode sejarah. “Metode sejarah dapat diartikan kumpulan prinsip-prinsip atau aturan yang sistematis, dimaksudkan untuk memberikan bantuan secara efektif di dalam mengumpulkan bahan-bahan bagi sejarah, menilai secara kritis dan kemudian menyajikan suatu sintesa serta hasil-hasilnya secara tertulis.”23 Proses penyajian dari kisah sejarah atau yang disebut historiografi tersebut bertujuan untuk merekonstruksi masa lampau sejarah yang dilakukan dengan empat tahap penelitian, yaitu : Proses pertama adalah heuristik, yaitu pengumpulan bukti-bukti sejarah untuk mendapatkan keaslian data yang ditemukan. Dalam studi ini dokumen-dokumen baik dengan tema sangat diperlukan. Sesuai dengan penelitian kualitatif dan sumber data yang dimanfaatkan maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Studi Dokumen
Bagi penelitian sejarah, dokumen dari suatu peristiwa sangat penting artinya sebab dokumen adalah saksi dari sebuah peristiwa atau kejadian masa lampau dengan tingkat keterpercayaan yang paling tinggi. Di dalam dokumen tersimpan fakta-fakta dari peristiwa sejarah 23
masa lampau. Dokumen merupakan bahan tertulis atau benda yang berkaitan dengan suatu peristiwa atau aktivitas tertentu, bisa berupa rekaman, tulisan, gambar, atau benda peninggalan yang berkaitan dengan suatu aktivitas atau peristiwa tertentu. Catatan dan rekaman yang lebih bersifat formal dan terencana disebut arsip. Dokumen-dokumen yang berhasil ditemukan adalah AD/ART Muhammadiyah, Hasil Keputusan Musyawarah PDM Kabupaten Sukoharjo tahun 1990-1995, Program Kerja PDM Kabupaten Sukoharjo tahun 1990-1995, Daftar Amal Usaha Muhammadiyah Daerah Kabupaten Sukoharjo tahun 1990-1995, Daftar Amal Usaha Muhammadiyah Daerah Kabupaten Sukoharjo, Dokumen dari Badan Pusat Statistik Sukoharjo, Dokumen Bagian Humas, Dokumentasi dan Informasi kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Dokumen Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo, dan lain-lain. 2. Wawancara
Selain studi bahan dokumen, juga digunakan metode wawancara karena kurang lengkapnya bahan dokumen. Dokumen yang ada belum tentu dapat memberikan gambaran mengenai masalah yang dikaji. Wawancara dalam penelitian ini memegang peranan yang sangat penting dan vital karena menjadi sumber informasi utama (sumber primer). Wawancara ini dilakukan
Luis Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: UI Press, 1985), hlm. 32. Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
115
pada pihak-pihak yang berkompeten dengan topik masalah atau permasalahan yang diteliti. Nara sumber yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah Ketua II Pimpinan Daerah Muhammadiyah Sukoharjo Tahun 1985-1990, Anis Sugito. Tokoh lain yang dapat menjadi narasumber adalah Sugino dan Harun Al-Rosyid. 3.
Studi Pustaka
Rekonstruksi berbagai gejala keagamaan dapat dilakukan terhadap saksi yang masih hidup tetapi juga dapat dilakukan melalui telaah berbagai kepustakaan. Studi pustaka menjadi penting dalam hal ini, karena dapat membantu peneliti memahami permasalahan serta memberi informasi awal mengenai topik permasalahan. Studi pustaka adalah untuk memeperdalam pengetahuan tentang masalah yang diteliti sehingga kita menguasainya sebaik mungkin untuk menegaskan kerangka teoritis yang dijadikan landasan jalan pikiran kita dan untuk mempertajam konsep-konsep yang digunakan sehingga memudahkan perumusan. Studi literatur yang digunakan berupa buku-buku, artikel dan referensi-referensi baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Referensi ini digunakan untuk mendukung data utama yang berupa dokumen. Dalam penelitian ini studi pustaka yang dilakukan peneliti yaitu, di Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan UMS, Perpustakaan Kantor PDM 116
(Pimpinan Daerah Muhammadiyah) Sukoharjo, Perpustakaan Kantor PDM Surakarta, Perpustakaan Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan lain-lain. Tahap kedua adalah melakukan kritik sumber. Tahap ini bertujuan untuk mencari otensitas atau keaslian data-data yang diperoleh melalui kritik intern dan ekstern. Tahap yang ketiga adalah interpretasi, yaitu penafsiran terhadap fakta-fakta yang telah diseleksi dengan disesuaikan pada tema yang dibahas. Setelah data dikumpulkan dengan teknik-teknik yang telah disebutkan, maka langkah selanjutnya adalah melakukan klasifikasi data. Klasifikasi data atau pengelompokan data dilakukan untuk kepentingan analisis. Sedangkan analisis merupakan jawaban dari perumusan masalah yang diteliti. Penelitian ini didasarkan pada pola penelitian kualitatif yang disajikan secara deskriptif analitis dengan memperhatikan prinsip berurutan atau kronologis. Oleh sebab itu, teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif. Analisis kualitatif dalam penelitian ini mempergunakan pola berpikir diakronik dan sinkronik. Pola berpikir diakronik digunakan untuk melihat bahwa peristiwa yang terjadi tentu mempunyai hubungan sebab akibat dengan peristiwa yang mengawalinya. Sedangkan pola berpikir sinkronik digunakan untuk melihat satu gejala atau faktor lain yang dalam satu kesatuan sistematika yang berdasarkan hubungan lo-
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
gis. Artinya, memerlukan pemahaman terhadap gejala-gejala yang saling terkait satu sama lain dalam hubungan fungsional dan merupakan kesatuan yang bulat dan menyeluruh. Analisis dimulai sejak pengumpulan data. Setiap informasi disilang melalui komentar responden yang berbeda untuk menggali informasi dalam wawancara. Selanjutnya, data dikategorisasikan sesuai tipe (Islamisasi, pribumisasi atau mendekati keduanya), kemudian dikaji dalam hubungannya dengan TBC dan Islam murni, status sosial-ekonomi pengikut berdasar pendidikan, dan pekerjaan. Melalui inilah proses penyimpulan dibuat dengan adanya jawaban dari perumusan masalah yang diteliti. Proses terakhir adalah historiografi, yaitu penyajian hasil interpretasi ke dalam suatu karya sejarah atau data bentuk penulisan skripsi. Dalam tahapan historiografi ini, seorang sejarawan dituntut untuk memiliki historial mindedness, yaitu kemampuan untuk menempatkan orang dan peristiwa pada latar belakang sejarahnya sendiri.24 HASIL DAN PEMBAHASAN Peran Muhammadiyah Dalam Pembaharuan Islam Di Sukoharjo dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukannya: 24 25
A. Bidang Sosial Kemasyarakatan Pemahaman psikologi memberikan pandangan yang diwakili Purwadi sebagai Dekan Fakultas Psikologi Ahmad Dahlan menyebutkan “tingkat pendidikan, ekonomi, dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah, biasanya akan mudah dipengaruhi oleh budaya-budaya magis yang cenderung mengarah kepada kemusyrikan”25. Seperti diketahui bahwa sebagian besar masyarakat Sukoharjo sangat bersandar pada ekonomi agraris lebih dekat dengan trdisi-tradisi budaya magis. Dekatnya budaya magis terhadap kehidupan sehari-hari masyarakat Sukoharjo tidak terlepas dari tingkat kesejahteraan rakyat yang rendah akibat penghasilan dari pertanian hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer yang utama seperti sandang, pangan dan papan Tempat tinggal). Kebutuhan lain seperti pendidikan kurang mendapat perhatian. Kurangnya pendidikan menyebakan pola pemikiran masyarakat cenderung tidak berubah atau tetap mengikuti pola pikir nenek moyang yang masih memegang teguh adat istiadat Jawa yang lekat dengan pengaruh animisme, dinamisme, serta ajaran Hindu dan Buddha yang menyimpang dari syariat Islam. Penyimpangan ajaran dari syariat Islam membuat organisasi Muhammadiyah hadir di Sukoharjo. Tujuan utamanya untuk membebas-
Ibid., hlm. 33. Suara Muhammadiyah, No 8/Th. Ke-94 16-30 April 2009, hlm. 7. Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
117
kan warga Sukoharjo dari kebodohan, keterasingan, dan kemiskinan. Karena itu Muhammadiyah memberi santunan, dan mengembangkan potensi generasi muda Sukoharjo agar mampu memiliki potensi untuk hidup mandiri. Usaha memberantas budaya-budaya masyarakat yang tidak sesuai dengan syariat Islam adalah dengan amal usaha pendidikan dan kesehatan. Pembaharuan yang bercorak amal menjadi penting karena tidak ada manifestasi lain dalam Islam kecuali dalam amal. Peran Muhammadiyah sekitar tahun 1945 seperti yang diungkapkan Muchlas Abror, yaitu : Pertama membersihkan dan menegakkan tauhid dengan cara menolak melakukan seikerei26 semasa jepang masih menjajah Indonesia. Kedua, dengan diwakili oleh Ki Bagus Hadikusumo memberi sumbangan dalam meletakkan kerangka landasan dasar negara. Ketiga, menjadi anggota istimewa Masyumi untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam dalam bidang politik. Keempat, peran terakhirnya adalah ikut serta membela dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, di bawah pimpinan para ulama, dengan membentuk Angkatan Perang Sabil (APS) .27 Salah satu Hadist Nabi mangatakan bahwa “kemiskinan itu lebih dekat pada kekufuran”. Peranan di bidang sosial diwujudkan dengan
adanya balai pengobatan, rumah bersalin, santunan keluarga serta panti asuhan. Muhammadiyah mewujudkannya dalam bidang sosial yang tergabung dalam Pembina Kesejahteraan Umat (PKU). Peran bidang sosial merupakan penafsiran isi Al-Qur’an seperti contoh berikut. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. (Q.s. AlMa’un: 1-2) Orang yang membiarkan anak yatim terlantar atau tidak mengajak orang lain untuk menyantuninya termasuk pendusta agama, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berusaha agar anak yatim dapat hidup layak dan terhormat dalam strata kehidupan sosial. Bukan persoalan sosial semata tetapi menyangkut berbagai aspek dari mulai kehidupan dunia sampai kehidupan akhirat karena mendhalimi anak yatim adalah dosa besar. Pemeliharan anak yatim tidak lagi sekedar diserahkan kepada kerelaan keluarga tertentu. Di samping masa dan suasana yang berubah yang mungkin menyebabkan rumah tangga modern berkeberatan menerima anak yatim, kecuali bila keluarga dekat serta perlunya perawatan yang sengaja maka pemeliharaan anak yatim dilakukan secara berorganisasi di bawah naungan Muhammadiyah. Bidang perawatan anak yatim, salah satunya diserahkan kepada Panti asuhan milik PKU
26 Penghormatan kepada kaisar Tenno Haika, dengan cara membungkuk seperti sikap rukuk dalam shalat dengan menghadap ke arah matahari terbit setiap pagi. 27 Muchlas Abror, “Peran Muhammadiyah Sekitar 1945”, Suara Muhammadiyah, No.16/ TH. KE-93/16-31 Agustus, 2008, hlm. 16.
118
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
Muhammadiyah di Kecamatan Polokarto.28 Perawatan anak yatim yang lain juga terdapat di Kartasura sehingga jumlahnya menjadi tiga pada tahun 1996. Pendirian PKU di samping sebagai strategi dakwah pembaharuan Islam juga berperan dalam bidang kehidupan masyarakat. Bidang ini sangat penting karena masyarakat kebanyakan terutama di Sukoharjo, lebih percaya akan dukun daripada berobat ke tempat pengobatan umum seperti rumah sakit puskesmas, atau balai pengobatan. Untuk inilah metode dakwah melalui PKU diadakan. Kaidahnya masyarakat lebih percaya dan memilih pengobatan umum daripada pengobatan melalui dukun. Pertanggungjawaban bidang kesehatan berada di bawah pengawasan Majelis PKU. Majelis ini lebih berperan serta terhadap pelayanan masyarakat secara intensif. Pelayanan yang dimaksud adalah meningkatkan mutu dan sarana pemeliharaan Rumah Bersalin (RB) dalam rangka peningkatan kesehatan umat dengan mengadakan perintisan Rumah Sakit (RS). Tercatat ada 2 BP yang masing-masing terdapat di Kartasura dan Weru serta ada 2 RB di Kartasura yang tetap ada sampai tahun 1996. (Lampiran 3) Selain itu, juga mengadakan pengobatan gratis ke desa-desa bagi masyarakat yang membutuhkan dan membebaskan biaya bagi yang kurang mampu dengan rujukan dari Ranting/Cabang 28
Muhammadiyah setempat. Secara ringkasnya, Balai pengobatan menyelenggarakan pelayanan dan menyediakan fasilitas-fasilitas bagi masyarakat umum dalam bidang kesehatan baik untuk yang mampu maupun kurang mampu. Muhammadiyah juga ikut berperan menjaga keamanan masyarakat dengan adanaya Kokam (Komando Keamanan Muhammadiyah). Sebagai badan keamanan tugasnya adalah menjaga keamanan. Sambil bekerjasama dengan pemerintah menjaga keamanan di daerah Sukoharjo. Setiap malam anggota Kokam dikerahkan untuk melakukan ronda bersama dengan anggota keamanan dari pemerintah. Penjagaan dilakukan karena situasi yang tidak aman dan kondusif setelah terjadinya peristiwa G 30 S/PKI dimana banyak warga Sukoharjo yang menjadi anggotanya. Anggota gerakan PKI yang atheis bertentangan dengan pihak negara yang ingin mempertahankan Pancasila. Melakukan pemberontakan kepada pemerintah yang sah tidak sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, Muhammadiyah mendukung pemerintah untuk membubarkan PKI. Penjagaan ini dilakukan sesaat setelah terjadinya pemberontakan PKI sampai keadaan daerah Sukoharjo kembali seperti sediakala. Dampak positif pemberontakan PKI bagi Muhammadiyah adalah peningkatan jumlah anggota dari kalangan petani. Masyarakat terutama
Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo. Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
119
petani lebih banyak yang mendatangi masjid maupun mushola untuk menunaikan shalat setelah terjadinya pemberontakan PKI dibanding sebelum terjadi pemberontakan. Mereka tidak mau dianggap sebagai anggota PKI dengan cara shalat berjamaah di masjid.29 Kesadaran untuk menunaikan kewajibannya sebagai umat beragama Islam mulai ada tanpa paksaan. Hal ini sesuai dengan tulisan abdul Munir Mulkhan bahwa sesudah terjadinya pemberontakan G 30 S/PKI petani terdorong menjadi pengikut Muhammadiyah.30 Agama Islam memiliki pandangan yang unik khususnya tentang hak-hak sosial dan politik kaum perempuan. Ayat-ayat dalam Al-Qur’ an (QS. Al.Nur [24]: 31;QS. AlAhzab [33]: 59) mengindikasikan bahwa Muslimah wajib menggunakan jilbab, merupakan norma yang penting bagi juru dakwah dan aktivis Islam. Awalnya, Muslimah di Indonesia menggunakan kerudung yang hanya menutup kepala dan dikalungkan ke leher mereka. Sejak akhir 1970-an, model jilbab yang populer adalah menutup kepala secara keseluruhan. Walaupun begitu, banyak Muslimah di Sukoharjo tetap tidak mengenakan jilbab. Mengenakan jilbab adalah isu yang terus berkembang di tanah air karena keti-
dakmauan mengenakan jilbab itu dihujat sebagai perilaku tidak Islami. Hal ini merupakan bagian dari penegakan syariah yang juga menjadi perhatian Muhammadiyah. Jilbab boleh dipakai di sekolah-sekolah Muhammadiyah walaupun pemerintah sendiri melarang. Tindakan pelarangan penggunaan jilbab baru berakhir ketika pemerintah Orde Baru memperbolehkan pemakaian jilbab tahun 1991.31 Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa dalam pandangan Islamis, perempuan adalah objek perhatian pertama penegakan syariah. Perempuan seringkali mengalami diskriminasi. Bacaan literal atas Al-Qur’an memang bisa memberikan pembenaran atas perilaku diskriminatif terhadap perempuan. Ayat yang bisa dikutip adalah QS. Al-Nisa [4]: 34, bahwa “laki-laki memiliki kemampuan lebih dibanding perempuan”. Ayat yang lain yang dirujuk atas pandangan Islamis terhadap perempuan adalah QS. Al-Nisa [4]: 11, menyatakan bahwa hak waris anak perempuan adalah setengah dari anak laki-laki. Orientasi kaum Islamis terhadap perempuan dapat dilihat pada adanya larangan bagi kaum perempuan untuk melakukan perjalanan panjang tanpa ditemani muhrimnya.32
Wawancara dengan Sugino, tanggal 23 Maret 2010. Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani , (Yogyakarta: Bentang, 2000), hlm. 349-350. 31 Noor Amzah Hidayati, “Politik Akomodasionis terhadap (Umat) Islam: Telaah Historis Kelahiran Perbankan Syariah”, Millah, Vol.4, No.2, Januari 2005. 32 Muhrim adalah seseorang yang memiliki hubungan darah dan kepada siapa seorang perempuan tidak boleh menikah, seperti kakak, adik, anak. 29 30
120
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
Muhammadiyah ikut serta memperhatikan persamaan dan kesetaraan gender dalam masyarakat. Ada anggapan bagi orang Jawa bahwa perempuan dianggap sebagai “konco wingking”. Peran Muhammadiyah terlihat dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan dengan adanya Nasyi’atul Aisyiyah. Kegiatan Nasyi’atul Aisyiyah merupakan terobosan inovatif dalam melakukan emansipasi perempuan di tengah kultur Jawa. Perempuan diberikan peranan yang cukup signifikan dalam ikut mengatasi persoalan umat dan bangsa. Namun, wilayah tugas dan kewenangan perempuan masih bersifat mikro yang berkisar pada persoalan “keperempuanan” atau program kerja organisasinya. B. Bidang Keagamaan Agama dipandang oleh para ilmuwan sebagai sebuah sistem nilai yang terdiri dari dua unsur: sekumpulan ide dan kewajiban ibadah, dan sebuah kolektivitas sosial dengan bentuk interaksi yang rutin, atau organisasi dengan aturan, norma, dan infrastruktur tertentu. Interaksi antara keduanya menghasilkan sikap dan perilaku tertentu. Melalui sikap dan perilaku yang dilakukan secara kolektif, individu merasa menjadi bagian dari kolektivitas keagamaan. Perasaan berada dalam suatu kolektivitas yang sama ini pada gilirannya dapat mempengaruhi bagaimana keyakinan mereka terhadap agama. Pada gilirannya unsur-unsur di
atas membentuk Islam. Islam dalam prakteknya merupakan interaksi antara keyakinan dan identitas kelompok yang berkembang menjadi sebuah kesatuan sosial pada tingkatan paling dasar. Islam menurut tingkatan iman, seorang muslim beriman bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah. Selanjutnya percaya bahwa al-Qur’an merupakan wahyu Tuhan yang isinya dipercaya sebagai ajaran, nilai, norma, atau hukum Tuhan. Kewajiban seseorang yang beragama Islam adalah menjalankan lima rukun Islam. Setelah beriman dengan mengucapkan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, selanjutnya melaksanakan salat lima waktu, mengeluarkan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji ke Mekkah bila mampu. Rukun Islam ini pada dasarnya merefleksikan kesatuan antara iman atau keyakinan, dan amal, iman dan ibadah, iman dan ritual, dan dapat dikatakan iman dan Islam meskipun secara konseptual keduanya dapat dibedakan. Islam memiliki seperangkat ibadah selain ibadah wajib yang biasa disebut ibadah sunnah, diartikan sebagai ibadah tambahan. Ibadah yang bila dikerjakan akan mendapat pahala tetapi tidak memiliki efek hukuman bila ditinggalkan. Contoh nyata ibadah sunnah seperti memberi sedekah, membaca al-Qur’an, melaksanakan salat sunnah, melaksanakan puasa sunnah. Mengisyaratkan ketaatan pada agama jika se-
Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
121
orang Muslim sering melakukan ibadah sunnah. Ada beberapa bentuk ibadah yang dianggap cukup kontroversial. Ibadah seperti ini dianjurkan dan memiliki pengaruh positif bagi sebuah kelompok Muslim seperti NU (kelompok tradisional). Berbeda dengan Muhammadiyah (kelompok modernis) yang menganggap ibadah seperti itu adalah bid’ah, karena Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya. Ibadah seperti itu contohnya “selamatan tujuh harian,” haul dan acara tahlilan. Acara ini berisi pengucapan kalimat la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) berulang-ulang untuk suatu tujuan khusus seperti untuk memberikan pertolongan kepada orang yang telah meninggal agar arwahnya diterima di sisi Allah. Kadangkala ibadah seperti itu bisa juga dianggap sebagai syirik. Secara bahasa, syirik (asy-syirku) artinya taswiyatu bayna asysyaiain (menyamakan antara dua hal). Menurut istilah agama, syirik adalah menyamakan Allah dengan sesuatu yang lain, baik urusan rububiyah , uluhiyyah , ataupun asma washshifat. Syirik bukan hanya masalah menganut agama atau tidak. Seorang muslim bisa berbuat syirik dan dosanya tidak akan diampuni kecuali bertaubat kepada Allah. Menyamakan Allah dengan sesuatu yang lain (syirik) dalam urusan rububiyah adalah meyakini Dzat atau makhluk hidup lain yang mempunyai kekuatan atau sifat rububiyah seperti menciptakan, mengatur 122
dan memelihara alam semesta, mendatangkan bahaya dan memberi manfaat serta rezeki, menghidupkan, mematikan serta sifat-sifat yang lain yang hanya dimiliki oleh Allah. Sifat Allah telah tertulis jelas dalam Al-Qur’an seperti yang tercantum dalam Surat Fathir ayat 3 dengan bunyi “Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia. Maka mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?” Meyakini Allah sebagai Pencipta bukanlah jaminan terhindar dari sifat syirik. Sifat ini bisa dilihat dari begitu banyaknya praktek kebudayaan dan tingkah laku manusia yang melanggar hukum-hukum ketauhidan. Tingkah laku yang menunjukkan sifat syirik yaitu dengan percaya adanya kekuatan lain yang berkuasa di Laut Selatan, meyakini keberuntungan dapat diatur dengan fengshui, percaya ramalan bintang (nasib), dan lain-lain. Perbuatan-perbuatan seperti itu termasuk perbuatan kafir. Menyamakan Allah dalam praktek uluhiyyah adalah ketika kita mengarahkan ibadah kepada selain Allah. Praktek ibadah yang bukan ditujukan untuk Allah seringkali dilakukan oleh masyarakat Sukoharjo dengan perbuatan seperti meminta kelapangan rezeki kepada orang saleh yang sudah wafat (contohnya Ki Ageng Balak) dan berdo’a di kuburannya dengan harapan mendapat kemudahan mencari nafkah dalam kehidupan sehari-hari. Contoh per-
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
buatan lain yang semisal yaitu berpuasa demi mematuhi syarat-syarat dari dukun serta menyembelih binatang guna ditanam di bawah jembatan guna menolak bala. Menurut ajaran Islam, beribadah dan berdoa itu hanya boleh ditujukan untuk Allah, begitu juga dengan berpuasa maupun menyembelih binatang. Allah memerintahkan dengan firmanNya di dalam Al-Qur’an, “Katakanlah, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. (Q.s. al-An’am [6]: 162-163) Dakwah adalah kegiatan mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah dan nasihat yang baik sehingga mereka meninggalkan kesesatan dan beriman kepada Allah agar mereka keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang yaitu Islam. Menurut bahasa aslinya, bahasa Arab, dakwah mempunyai arti sebagai ajakan, panggilan, seruan atau himbauan.33 Kegiatan dakwah ditujukan untuk mengubah jahiliyah (kebodohan) kepada pengetahuan, pengetahuan menjadi pola pikir (fikrah), pola pikir menjadi aktivitas, aktivitas amal menjadi hasil, dan mengubah hasil menjadi tujuan yaitu ridha Allah. Oleh karena itu berdakwah merupakan tugas dan kewajiban mulia bagi setiap Muslim. Tugas dan kewajiban mulia itu ter-
tera jelas dalam firman-firman Allah, Di antaranya : Allah Swt . Berfirman, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.s. Ali-Imran [3]: 104) “Adalah kamu sebaik-baiknya umat yang diciptakan manusia. Kamu menyuruh berbuat kebaikan dan melarang kejahatan dan kamu beriman kepada Allah”...(Surat Ali-Imran ayat 110). “Dan siapakah yang lebih baik perkataannya selain daripada orang yang berdakwah kepada Allah dan mengerjakan pekerjaan yang baik “(Surat Ha Mim Sajdah ayat 33). Selain dalam al-Quran, tugas dan kewajiban mulia manusia untuk berdakwah juga tertera jelas dan tegas dalam sejumlah hadis Nabi. Di antaranya: Barangsiapa yang menganjurkan orang berbuat baik, maka orang itu beroleh pahala sama seperti pahala orang yang mengerjakannya. (HR Muslim). Barangsiapa berdakwah kepada petunjuk, adalah baginya pahala seperti pahala yang didapatkan orang yang mengikutinya, dan tidak dikurangkan sedikitpun juga sesuatu daripadanya. (HR Muslim). Sekiranya manusia melihat kezaliman dan tidak berusaha mengatasinya, dengan segera Allah akan meratakan siksaan terhadap mereka. (HR Abu dawud, Turmudzi dan Nasai).
33 Faisal Ismail, Islam Transformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah , (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 227.
Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
123
Beberapa firman Allah dan hadis Nabi di atas memberi penjelasan bahwa setiap Muslim memiliki tugas dan kewajiban untuk berdakwah, mengajak serta menyerukan umat agar membangun diri, meraih keberhasilan dan meninggalkan kenistaan juga keterbelakangan demi kemajuan syiar Islam. Hal inilah yang diperjuangkan oleh Muhammadiyah sejak kelahirannya. Adapun tujuan pendirian organisasi Muhammadiyah dirumuskan dalam statuen (Anggaran Dasar). Ditetapkan oleh pemerintah Hindia Belanda melalui surat Gubernur Jenderalnya tertanggal 22 Agustus 1914. Isinya bahwa Muhammadiyah didirikan untuk menyebarluaskan ajaran Islam dan memajukan hal-ihwal ajaran Islam kepada seluruh umat Islam.34 Ahmad Dahlan merintis Muhammadiyah untuk itu. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah multi wajah. Titik orientasi gerakannya adalah masyarakat sebab Muhammadiyah memang berasal dari masyarakat, berakar di masyarakat, dan bekerja bersama masyarakat untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, Muhammadiyah kemudian dikenal sebagai organisasi kemasyarakatan atau Ormas, yaitu ormas Islam pertama di Indonesia. Penyampaian syiar Islam (dakwah) oleh Muhammadiyah tidak
lepas dari dua unsur utama ajaran Islam, yaitu al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad atau hadis Nabi. Jadi, setiap anggota Muhammadiyah yang akan melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai penyeru atau pendakwah harus berpegang kepada segala ketentuan serta keterangan yang ada pada al-Quran dan Hadis.Tekanan utama materi dakwah tidak lepas dari aqidah Islam, tauhid dan keimanan, pembentukan pribadi yang sempurna, pembangunan masyarakat adil dan makmur serta kemakmuran dan kesejahteraan di dunia maupun di akhirat. Pertama, bagaimana memahami Islam itu secara benar menjurus kepada apa yang disebut dimensi pemurnian agama yang bermuara kepada al-Quran dan hadis. Kedua, bagaimana melihat atau mengembangkan Islam secara benar dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat, berdimensi pembaharuan, mengambil keberanian-keberanian baru secara intelektual dan inisiatif-inisiatif baru di dalam sikap dan perbuatan untuk mengembangkan pemikiranpemikiran baru serta memperbanyak pengikut, tetapi juga sejatinya merupakan kegiatan untuk memperbanyak orang yang sadar akan kebenaran Islam dan selanjutnya mengamalkan ajaran tersebut.
34 Haedar Nashir, Ahmad Dahlan Sang Mujadid (bagian 3 : Pemikiran pembaharuan) , Suara Muhammadiyah. 16-31 Desember 2009. hlm. 29.
124
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
Tabel 1 Evaluasi Jumlah Tempat Ibadah Pemeluk Agama Islam dan Kristen Kabupaten Sukoharjo TAHUN
TAHUN
TAHUN
TAHUN
TAHUN
1977
1981
1986
1991
1995
MASJID
278
366
604
865
1.091
2
LANGGAR/MUSHOLA
414
434
656
635
691
3
GEREJA
36
44
51
59
78
NO
TEMPAT IBADAH
1
Sumber : BPS Sukoharjo. Sukoharjo Dalam Angka 1977,1991 dan 1995.
Masyarakat yang menganut agama Islam setelah pergantian tahun mengalami perkembangan yang menggembirakan bila dilihat dari jumlah peningkatan pemeluk agama Islam, dari 548. 413 orang pada tahun 1977 meningkat menjadi 638. 327 di tahun 1986 dan menjadi 706. 888 orang pada tahun 1995.35 Peningkatan pemeluk agama Islam ini juga diimbangi dengan peningkatan jumlah masjid dan mushola sebagai tempat ibadah seperti yang terlihat dalam tabel. Tempat ibadah yang dimiliki Muhammadiyah juga relatif banyak dibandingkan dengan jumlah tempat ibadah secara keseluruhan di Sukoharjo yang mencapai 364 pada tahun 1987. (Lampiran 3) Berarti jumlah tersebut mancapai separuh lebih jumlah keseluruhan tempat ibadah bagi kaum Muslim di Sukoharjo. Jadi, peran Muhammadiyah dalam bidang keagamaan melalui dakwah yang dapat dilihat keberhasilannya dengan banyaknya pem-
bangunan masjid, mushola atau langgar (untuk mendirikan PRM paling tidak harus ada mushola atau langgar sebagai kegiatan) serta peningkatan jumlah jamaah shalat dan pemeluk agama Islam. Anggota Muhammadiyah sendiri mencapai 8. 161 orang dengan ketentuan bahwa ada yang sudah dan ada yang belum memiliki KTA (Kartu Tanda Anggota) pada tahun 1987. (Lampiran 3) C. Bidang Pendidikan Salah satu ciri Islam berkemajuan yang dilekatkan kepada Muhammadiyah adalah sangat menghargai keilmuan. Semua warga Muhammadiyah didorong untuk mencari ilmu setinggi mungkin untuk menghindari taklid dan pembodohan. Diakui bahwa Muhammadiyah telah mengikrarkan diri sebagai organisasi tajdid (pembaharu)
35 Badan Pusat Statistik Sukoharjo, Sukoharjo Dalam Angka Tahun 1976-1995. (Sukoharjo: Badan Pusat Statistik, 1995).
Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
125
sebagaimana agenda Muktamar ke45 di Malang “ Tajdid Gerakan untuk Pencerahan bangsa”. Maksud dari tajdid adalah semangat yang didahului oleh kemauan melakukan ijtihad berdasarkan ilmu pengetahuan terhadap ajaran keagamaan untuk menemukan problem solving atas berbagai persoalan keumatan yang muncul. Bagi Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu tidak bisa mengesampingkan gerakan ilmu sebagai identitas dan bagian yang melekat dalam dirinya. Alasannya bahwa untuk memberikan tafsiran dan pemaknaan dalam memahami Al-Qur’an harus didekati dengan ilmu karena jika tidak maka akan menjauhkan pesan AlQur’an dari prinsipnya sebagai rahmatan lil’alamin. Kemajuan bidang pendidikan tidak terlepas dari adanya kebijaksanaan pemerintah Orde Baru yang terus manaikkan anggaran biaya pendidikan mulai dari Repelita II sebesar 10,0 %, kemudian Repelita III 10,4 %, dan naik lagi menjadi 14,7 % dalam Repelita IV.36 Masa pemerintahan Orde Baru pendidikan dijadikan program pemerintah dan dikelola secara sentralistik, baik perencanaan, pendanaaan maupun berbagai kebijakan kurikulum dan pembinaan sumber daya manusia serta berbagai sumber daya pendidikan lainnya. Pemerintah dalam hal ini
menggunakan politik akomodasi terhadap Islam untuk mempertahankan eksistensi kekuasaannya. Antara negara dan Islam tidak lagi bersifat antagonistik tetapi lebih kepada hubungan yang baik antara Islam dan negara walaupun belum sampai pada taraf yang ideal. Muhammadiyah Sukoharjo dalam melakukan pembaharuan pendidikan dilakukan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang merupakan amal usahanya, mulai dari TK BA, MI (53), MTS (5), SMA (5), MA (1), SMK (3), dan satu Perguruan Tinggi.37 Salah satu sekolah yang didirikan adalah Sekolah Menengah Umum Tingkat Atas (SMA) Muhammadiyah Sukoharjo yang secara resmi telah beroperasi tanggal 16 Januari 1978. Mengingat seluruh jumlah sekolah Muhammadiyah yang ada di Sukoharjo mencapai angka 70 lebih belum termasuk untuk tingkat TK ditambah jumlah anggota pemegang NBM (Nomor Baku Muhammadiyah) yang tercatat mencapai 6425 orang sejak tahun 1944,38 organisasi Muhammadiyah dapat diterima masyarakat dengan cepat sehingga dapat berkembang dengan pesat. Sekolah Muhammadiyah dari jenjang TK BA, MI/SD, SMP/MTS, serta SMA pada awal tahun berdiri (tahun ’60-an dan ’70-an) mengala-
36 Yuceu Ekajaya, Gerakan Tarbiyah di Surakarta , (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2004), hlm. 67. 37 Wawancara dengan Harun Al-Rosyid, tanggal 28 Juni 2010. 38 Bagian Humas, Dokumentasi dan informasi kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta
126
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
mi kemajuan yang sangat menggembirakan. Berbeda dengan SMK yang awalnya (tahun ’90-an) sulit berkembang tetapi mengalami kemajuan pada akhir tahun ’90-an. Kemajuan sekolah SMK tidak lepas dari pengaruh arus modernisasi sehingga masyarakat lebih memilih sekolah yang langsung berorientasi ke peluang bekerja. Kemajuan yang dicapai pendidikan Muhammadiyah (dari TK sampai jenjang SMA kecuali SMK) kurang lebih disebabkan karena masyarakat masih ketinggalan dalam keterbatasan akses informasi disertai terbatasnya institusi pendidikan (dari segi kuantitas) yang ada, baik dari pihak swasta maupun pemerintah sekitar tahun ’70-an dan ’80an. Hal ini membuat tingkat persaingan dalam dunia pendidikan tidak begitu ketat. Penyebab lain adalah tradisi masyarakat belum banyak terpengaruh arus modernisasi. Alasan yang dikemukakan membentuk pengaruh pada minimnya faktor penentu masyarakat dalam memilih sekolah. Sedangkan masyarakat sangat membutuhkan sarana untuk memajukan sumber daya manusianya. Dimana institusi pendidikan banyak didirikan oleh Muhammadiyah sehingga masyarakat antusias menyekolahkan anaknya di sekolahsekolah Muhammadiyah. Muhammadiyah sangat menaruh perhatian pada bidang pendidikan dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah untuk mendidik masyarakat menjadi berpengetahuan dan berperadaban. Untuk mengi-
Tabel 2 Evaluasi Jumlah Penerimaan Siswa Baru SMA Muhammadiyah 1 Sukoharjo No
Tahun Ajaran
Jumlah Siswa
1.
1980/1981
160
2.
1985/1986
384
3.
1988/1989
474
4.
1989/1990
376
5.
1990/1991
266
6.
1995/1996
264
Sumber : SMA Muhammadiyah 1 Sukoharjo. kuti pendidikan ini tidaklah mudah karena tidak semua warga masyarakat mampu menyekolahkan anaknya karena kekurangan biaya. Hal ini bisa disebabkan karena pekerjaan orang tua yang sebagian besar adalah petani dengan penghasilan yang kurang ditambah adanya slogan masyarakat Jawa pada umumnya yaitu “banyak anak banyak rezeki” sehingga masyarakat cenderung memiliki banyak anak. Masalah banyak anak ini memungkinkan orang tua kesulitan membiayai biaya pendidikan dengan penghasilan yang dihasilkan dari pekerjaan mereka sebagai petani dengan penghasilan yang bisa dikatakan pas-pasan untuk memenuhi kebutuhan primer seperti makan. Cara mengatasi kekurangan ini, oleh Muhammadiyah adalah dengan santunan keluarga dimana anakanak yang kekurangan biaya tetap
Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
127
bisa bersekolah dengan dibiayai oleh para penyandang dana Muhammadiyah yang biasanya dikhususkan untuk anak yang memiliki prestasi (semacam beasiswa).39 Masyarakat Sukoharjo bisa terangkat aspek pendidikannya melalui berbagai amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan. Mereka bisa menggunakan akal pikirannya dalam menyelesaikan masalah. Secara tegas pernah dikatakan Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Azra, mengatakan bahwa pendidikan merupakan alat yang ampuh untuk melakukan perubahan.40 Melalui pendidikan, generasi muda akan akan melihat banyak alternatif pemikiran. Artinya, masyarakat akan lebih menggunakan etos daripada mitos dalam penyelesaian masalah. Sebab, memang sudah menjadi tugas akal dan pikiran manusia untuk mencari solusi atas masalah hidup yang diberikan Allah SWT. Intelegensi dan rasionalitas merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia, baik yang bersifat perorangan maupun kelompok. Intelegensi membuat manusia mampu mengarahkan dirinya sendiri dalam arti dia adalah penguasa dari nasibnya, pemimpin dari jiwanya, makhluk yang mampu memahami dirinya dan bertindak untuk men-
capai kepentingan dan kehendaknya. Dalam konsep yang demikian maka masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai kemampuan kecerdasan atau akal yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan sehingga manusia mampu mengontrol nasibnya sendiri baik sebagai individu maupun sebagai suatu masyarakat. Pendidikan tinggi yang dicapai oleh mayoritas umat Islam membuat keadaan umat Islam yang akidahnya kuat dan ilmu pengetahuannya luas dan dalam itulah yang akan melahirkan khoiru ummah yang disebutkan oleh Allah dalam QS Ali Imran. Dan menjadi umat yang dijanjikan Allah diangkat derajatnya karena beriman dan berilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi bahwa mereka yang paling taat menjalankan ibadah wajib Islam justru ditemukan di kalangan kaum Muslim yang lebih terdidik dan berpenghasilan tinggi. 41
Pendidikan dipandang tidak hanya dapat menambah pengetahuan tetapi dapat juga meningkatkan keterampilan (keahlian) tenaga kerja sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan produtivitas.42 Selanjutnya dengan produktivitas tinggi dapat dengan mudah terserap di lapangan kerja bahkan mencipta-
Wawancara dengan Anis Sugito tanggal 3 April 2010. Ngainun Naim dan Ahmad Syauqi, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi , (Yogyakarta: Arus Media, 2008), hlm. 35. 41 Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam,Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), hlm. 111. 42 Sugino, op. cit., tanggal 23 Maret 2010. 39 40
128
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
kan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Perhatian terhadap masalah pendidikan membuat rakyat dapat terangkat derajatnya dimana untuk menjadi pegawai diperlukan orangorang yang memiliki pendidikan. Pendidikan yang tinggi membuat mereka mudah dalam mencari pekerjaan. Kebanyakan penduduk yang berpendidikan tinggi bisa bekerja sebagai pegawai, baik negeri maupun swasta dengan gaji yang tinggi. Kebalikannya bila tingkat pendidikan yang rendah, bisa membuat mereka kesulitan dalam mencari pekerjaan bahkan hanya bisa bekerja sebagai buruh pabrik, buruh tani, pegawai rendahan dengan upah yang minim. Upah minim tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin lama semakin meningkat. Akhirnya taraf hidup mereka tetap tidak bisa terangkat dengan kehidupan yang tetap miskin dan kekurangan dengan upah yang minim. Misalnya dengan gelar kesarjanaan seseorang bisa diterima sebagai guru, bahkan menjadi dosen di sebuah universitas. Berbeda dengan seseorang yang hanya tamatan SMP, bidang garapan kerja yang dimasuki hanya menjadi buruh. Bidang pendidikan yang dikelola organisasi Muhammadiyah memiliki peran penting seperti memelihara tradisi-tradisi keagamaan. Pemeliharaan secara formal dilakukan melalui pengajaran ilmu-ilmu agama seperti Al-Qur’an, Hadits, Aqidah, Akhlak, Fiqih, Bahasa Arab dan sejarah kebudayaan Islam. Penambahan pelajaran ilmu agama seperti ini bisa dikatakan sebagai salah satu
ciri khas yang dimiliki lembaga Muhammadiya. Upaya informal dilakukan melalui cara dengan membiasakan untuk mengerjakan dan mengamalkan syariat Islam seperti megucap salam bila bertemu kawan, mengerjakan sholat dengan tertib dan tepat waktu. Selain contoh yang telah disebutkan, sekolah-sekolah dibawah naungan Muhammadiyah biasa melakukan kegiatan keagamaan seperti kegiatan pengajian dalam bulan Ramadhan, mengadakan kegiatan sholat Ied bersama di sekolah serta pesantren kilat. Semua kegiatan dalam bidang pendidikan Muhammadiyah berada di bawah kepengurusan Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen). Majelis ini memikirkan mutu pendidikan Muhammadiyah meliputi sarana dan prasarana pendidikan, administrasi, pergedungan, manajemen serta kurikulum mulai dari MI, SMP sampai tingkat SMA agar tidak mudah dimasuki pemahaman-pemahaman yang menyimpang dari ajaran islam seperti Tahayul, bid’ah, dan khurafat. Untuk tingkat TK BA berada di bawah naungan Aisyiyah, dan tingkat Universitas keberadaannya di bawah naungan Majelis Pendidikan Tinggi. Perguruan Tinggi merupakan lembaga di bawah naungan PP Muhammadiyah langsung bukan dari kepengurusan di bawahnya seperti PDM. Pelaksanaan kegiatan pendidikan di TK Muhammadiyah sudah mulai diajarkan do’nilai-nilai agama kepada peserta didik. Sejak dini ditanamkan bagaimana pelaksanaan ibadah harian misalnya dengan ha-
Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
129
falan bacaan dan do’a-do’a rutinitas setiap hari. Contoh do’a yang diajarkan seperti d’oa sebelum dan sesudah tidur, do’a untuk kedua orang tua, do’a kebahagiaan dunia dan akhirat, do’a sebelum dan sesudah makan serta hafalan surat pendek dari Al-’Ashr sampai An-Naas. Jenjang pendidikan MI muhammadiyah memberikan empat mata pelajaran agama Islam diantaranya Aqidah-Akhlak, Baca Tulis AL-Qur’ an (BTA), Sejarah Islam (Tarikh), dan Bahasa Arab. Masing-masing mata pelajaran tersebut di atas dilaksanakan 1 jam pelajaran seminggu. Lain halnya untuk jenjang pendidikan setara SMP atau biasa dikenal dengan sebutan MTs (Madrasah Tsanawiyah), bidang garapan dilaksanakan secara lebih intensif. Mata pelajaran agama dalam kurikulum pembelajaran MTs Muhammadiyah diberi nama “Materi Khusus” yang meliputi Aqidah-Akhlak, Al-Qur’an Hadits, Fiqih Ibadah, Sejarah Islam (Tarikh), Bahasa Arab dan Kemuhammadiyahan. Materi Khusus ini juga diajarkan untuk jenjang pendidikan setara SMA tetapi lebih intensif dari pelajaran di jenjang SMP. KESIMPULAN Muhammadiyah lahir sebagai jawaban dari Ahmad Dahlan atas praktek-praktek umat Islam yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Memusatkan diri pada program yang jelas tentang pembaharuan Islam Jawa. Perumusan kembali doktrin Islam dipandang dari syariat Islam 130
murni, pembaharuan pedidikan Muslim, dan pembelaan keimanan terhadap pengaruh-pengaruh dari luar. Hakekatnya, Muhammadiyah tidak lebih dari sebuah organisasi atau suatu perkumpulan. Organisasi yang digunakan sebagai alat perjuangan untuk menegakkan kemuliaan dan kejayaan Islam secara hakiki. Muhammadiyah sesungguhnya tidak lebih dari organisasi dakwah yang mengikuti jejak generasi-generasi Muslim terdahulu. Kapasitas Muhammadiyah di bidang agama tidak lebih dari muttabi’ (pengikut mazhab yang ada), dan bukan mujtahid (penyimpul hukum agama sehingga melahirkan pendapat atau mazhab baru). Organisasi ini bukan pula mubtadi’ (pembuat ajaran baru dalam agama). Sama kapasitasnya dengan para ulama seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahab yang tidak pernah menyebut diri mereka sebagai pembawa mazhab baru walaupun banyak orang mengakui kapasitas keulamaan mereka. Manusia lahir dalam keadaan fitrah seperti kertas putih yang tidak tergores tinta apa pun. Alasannya karena Allah menciptakan manusia dalam keadaan suci. Kalaupun ada dosa, itu disebabkan manusianya sendiri. Tergantung bagaimana mengisi kertas yang kosong itu. Dalam psikologi sosial, hal ini disebut sebagai stimulus respons. Ada rangsangan dari luar yang baik, maka kertas putih itu akan tetap baik dengan sendirinya. Tetapi bisa menimbulkan dosa jika kertas yang putih itu diisi dengan yang tidak baik.
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
Manusia yang sejak lahir masih suci akan berubah keadaannya setelah mengenal pendidikan dari lingkungan sekitar terutama orang tua. Ada pepatah mengatakan “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Mengikuti pola hidup seperti kebiasaan orang tua bisa memberikan dampak baik atau buruk tergantung contoh apa yang diberikan orang tua. Bila orang tuanya penganut kebudayaan Jawa maka anaknya juga akan mengikuti kebiasaan yang dilakukan orang tua sebagai penganut kebudayaan Jawa. Kebudayaan Jawa dianggap sebagian besar umat Islam merupakan perbuatan bid’ah seperti anggapan Muhammadiyah terutama yang menyangkut masalah ibadah keagamaan. Dimana penganut kebudayaan ini tersebar di seluruh wilayah Sukoharjo. Mereka menganggap tradisi Jawa yang diwarisi turun-temurun merupakan kebiasaan yang ada sesuai dengan ajaran Islam sebenarnya yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Pelurusan penyimpangan syariat Islam di Sukoharjo salah satunya dilakukan oleh organisasi Muhammadiyah. Tindak lanjut pelurusan dilakukan melalui kegiatan dakwah. Dakwah adalah kegiatan mengajak manusia kepada Allah dengan hikmah dan nasihat yang baik sehingga mereka meninggalkan kesesatan dan beriman kepada Allah agar mereka keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang yaitu Islam. Menurut bahasa aslinya, bahasa Arab, dakwah mempunyai arti sebagai ajakan, panggilan, seruan atau himbauan. Kegiatan dakwah ditujukan untuk
mengubah jahiliyah (kebodohan) kepada pengetahuan, pengetahuan menjadi pola pikir ( fikrah), pola pikir menjadi aktivitas, aktivitas amal menjadi hasil, dan mengubah hasil menjadi tujuan yaitu ridha Allah. Agar dakwah Islam mudah diterima, Muhammadiyah mengambil suatu kebijakan strategi dakwah. Strategi dakwah Muhammadiyah merupakan jawaban terhadap permasalahan umat Islam di Sukoharjo. Beberapa strategi yang diterapkan Muhammadiyah antara lain konsolidasi Ortom dan PRM, PCM dan menggerakkan semua majelis yang saling mendukung serta tidak ketinggalan amal usaha Muhammadiyah. Strategi Muhammadiyah Sukoharjo pada tahun 1966-1968 adalah dengan pembinaan pribadi dan keluarga serta menggunakan metode konvensional yaitu dengan ceramah, diskusi, dan perbuatan nyata. Dakwah terutama ditujukan untuk memberantas PKI. Pada tahun selanjutnya yaitu antara tahun 1968 sampai 1990 digunakanlah strategi dakwah kultural dan struktural yang memfokuskan gerakan pada masalah pendidikan dan kesehatan. Untuk masalah penanganan kaum dhu’afa dijadikan fokus dakwah Muhammadiyah sukoharjo tahun 1990-1996 dengan pendekatan kesejahteraan sosial melalui pendirian panti asuhan. Peran organisasi Muhammadiyah dalam dakwah pembaharuan Islam meliputi berbagai bidang kehidupan seperti keagamaan, kemasyarakatan, dan pendidikan. Peran bi-
Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
131
dang keagamaan untuk meluruskan praktik-praktik masyarakat terutama di wilayah Sukoharjo sesuai pedoman agama Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah (membersihkan dan menegakkan tauhid). Untuk peran di bidang kemasyarakatan adalah membebaskan warga Sukoharjo dari kebodohan, keterasingan, dan ke-
miskinan. Sebagai peran terakhir dan paling menonjol adalah bidang pendidikan dengan memelihara tradisi-tradisi keagamaan. Pelaksanaannya melalui pembangunan lembaga-lembaga pendidikan mulai dari PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sampai Perguruan Tinggi.
DAFTAR PUSTAKA A. Sumber Primer Rekapitulasi Laporan Tahunan Muhammadiyah Tahun 1987.
Program Kerja Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Sukoharjo Periode Muktamar 42-43 (1990-1995).
Susunan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Sukoharjo Tahun 1990-1995. AD/ART Muhammadiyah.
Dokumen Badan Pusat Statistik Sukoharjo.
Dokumen Bagian Humas, Dokumentasi dan Informasi Kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta. Dokumen Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo.
B. Buku Abdul Munir Mulkhan. 1990. Warisan Intelektual K.H. Ahmad Dahlan dan Amal Usaha Muhammadiyah. Yogyakarta: Persatuan.
______.1996. Ideologisasi Gerakan Dakwah: Episode Kehidupan M. Natsir dan Azhar Basyir. Yogyakarta : Sipress.
______.2000. Islam Murni dalam Masyarakat Petani. Yogyakarta: Bentang. Adi Nugroho. 2009. K.H. Ahmad Dahlan: Biografi Singkat (1869-1923). Yogyakarta: Garasi.
Arifin, M.T. 1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah . Jakarta: Pustaka Jaya. 132
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
Azumardi azra. 1999. Islam Reformis Dinamika Intelektual dan Gerakan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Badan Pusat Statistik Sukoharjo. 2005. Sukoharjo Dalam Angka 2005. Sukoharjo: Badan Pusat Statistik.
Badri Yatim. 1994. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Bondhan Hargana SW. 1996. Sukoharjo Sepanjang Jalan Kenangan,
Catatan Singkat Hari Lahir dan Memori Selama 50 Tahun Kabupaten Sukoharjo. Sukoharjo: Bagian Humas Setwilda Tingkat II Sukoharjo.
Buddy Prasaja. 1986. Pembangunan Desa dan Masalah kepemimpinannya. Jakarta: Rajawali. Burhanuddin Daya. 1990. Gerakan Pembaharuan Islam: Kasus Sumatera Thawalib. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Darori Amin. 2002. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Gama Media. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Deliar Noer. 1983. Administrasi Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali.
______. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 . Jakarta: LP3ES.
Faisal Ismail. 2001. Aslam, Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Fauzie Ridjal dan Rusli Karim, M (ed.). 1991. Dinamika Budaya dan Politik Dalam Pembangunan. Yogyakarta: Tiara Wacana. Geertz, Clifford. 1981. The Religon Of Java (edisi terjemahan oleh A. Mahasin). Jakarta: Pustaka Jaya. Gottschalk, Luis. 1985. Mengerti Sejarah. Jakarta: UI Press.
Indah Susanti. 2008. Peranan Muhammadiyah Bidang Pendidikan di Kecamatan Gemolong tahun 1990-2000. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Kamal, Mustafa., et al. 1988. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: Persatuan.
Kedaulatan Rakyat. “Gubernur Ismail: identitas pencak silat Indonesia akan terpancar dari Kartasura”. 19 Desember 1983.
Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
133
Koentjaraningrat. 1980. Pengantar Antropologi. Jakarta: Bina Aksara.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2010. Wakaf dan Hibah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. Mochtar Mas’oed. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 19661967. Jakarta: LP3ES.
M.T. Arifin. 1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah . Jakarta: Pustaka Jaya. Muhammadiyah Hari Zamharir. 2004. Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Murni Djamal. 2002. DR. H. Abdul Karim Amrullah: Pengaruhnya dalam
Gerakan Pembaharuan Islam di Minangkabau pada Awal Abad ke-20. Jakarta: INIS. Musa Asy’arie. 2001. Menggagas Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: LESFI.
Muslih Usa. 1991. Pendidikan Islam di Indonesia, Antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: Tiara Wacana. Muthardho, M. 2002. Islam Jawa: Keluar Dari Kemelut Santri Versus Abangan. Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama. Nasution, S. 1995. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Ngainun Naim dan Ahmad Syauqi. 2008. Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Arus Media. Paryanto. 1999. Format Theologi, Gerakan Dakwah Muhammadiyah dan Transformasinya Untuk Reformasi Sosial 1912-1914. Yogyakarta: Fakultas Da’wah Institut Agama Islam Sunan Kalijaga. PP Muhammadiyah. 1995. Laporan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Periode 1990-1995. Yogyakarta: PP Muhammadiyah.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (edisi terjemahan oleh Satrio Wahono, dkk). Jakarta: Serambi.
Ridha Taqobalallah. 2009. Banjir Bengawan Solo Tahun 1966: Dampak dan Respon Masyarakat Kota Solo. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Robert Redfield. 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan (edisi terjemahan oleh Djohan Effendi). Jakarta: Rajawali.
Rusli Karim, M. 1986. Muhammadiyah Dalam Kritik dan Komentar. Jakarta: Rajawali Press. 134
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136
Saiful Mujani. 2007. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sudirman Tebba. 1993. Islam Orde Baru: Perubahan Politik dan Keagamaan. Yogyakarta: Tiara Wacana. Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional dari Boedi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suwarno. 2001. Muhammadiyah sebagai Oposisi. Yogyakarta: UII Press.
Suyoto, dkk. 2005. Pola Muhammadiyah Ranting Ketegangan Antara Purifikasi dan Dinamisasi. Yogyakarta: IRCiSoD.
Syarifah Husna Barokah. 2003. Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Bawah Kepemimpinan Ahmad Syafi’i Ma’arif Periode 1998-2003 . Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Tajduddin Noer Effendi. 1995. Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana. Undang-Undang No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 4.
Wachid Anang Mustofa. 2007. Dinamika Pengelola Wakaf oleh Persyarikatan Muhammadiyah Kota Surakarta Tahun 1981-2006. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Yuceu Ekajaya. 2004. Gerakan Tarbiyah di Surakarta. Surakarta: Universitas Sebelas Maret. Zulkifli Musthan. 2002. Ilmu Dakwah. Jilid I, Makassar: Yayasan Fatiya.
C. Majalah, Surat Kabar, dan Artikel Dunia Dakwah. Pengertian Strategi Dakwah . (diakses tanggal 28 April 2010 pukul 10.21). Haedar Nashir. “Ahmad Dahlan Sang Mujadid (bagian 3 : Pemikiran Pembaharuan)”. Suara Muhammadiyah. Edisi 16-31 Desember 2009.
Hendri Firzani, et. Al.,. Jamaah Islamiyah Versi Dokumen Sukoharjo . (diakses tanggal 31 Maret 2010 pukul 12.15). Peran Muhammadiyah dalam Pembaharuan Islam di Sukoharjo (Peni Hapsari)
135
Iwan Khoiruddin. “Pendidikan Muhammadiyah di Pedesaan”. Suara Muhammadiyah. Edisi No.06/TH.Ke-93/16-31 Maret 2008. Muchlas Abror. “ Peran Muhammadiyah Sekitar 1945”. Suara Muhammadiyah. No.16/TH. Ke-93/16-31 Agustus 2008.
Noor Amzah Hidayati. “Politik Akomodasionis Terhadap (Amat) Islam: Tela Historis Kelahiran Perbankan Syariah”. Millah. Vol.4, No.2, Januari 2005.
Pemerintah Kabupaten Sukoharjo. Makam Ki Ageng Balak (diakses tanggal 7 September 2010 pukul 14-21) Samsul Nizar. 2001. “Lembaga Pendidikan Islam di Nusantara: Melacak Akar Pertumbuhan Surau sebagai Lembaga Pendidikan di Minangkabau Sampai Kebangkitan Perang Paderi” dalam Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Syamsul Hidayat. Dakwah Kultural dan Pemurnian Ajaran Islam. (diakses tanggal 12 November 2009 pukul 09.13).
136
Tajdida, Vol. 10, No. 2, Desember 2012: 103-136