Jurnal Riset Pendidikan ISSN: 2460-1470
Mohammad Zahri
Conceptual Reasoning Based Dalam Pembelajaran Kalkulus Integral Mohammad Zahri STKIP Al Hikmah Surabaya e-mail:
[email protected]
Abstrak Artikel ini menyajikan hasil penelitian pendahuluan tentang kemampuan memberikan alasan matematis secara tertulis. Subjek penelitian ini dipilih dua mahasiswa, yang memiliki nilai tugas kalkulus tinggi, dan rendah. Data penelitian ini berupa jawaban tertulis mahasiswa pada soal tugas kalkulus integral. Analisis data dilakukan pada alasan matematis tertulis yang disajikan pada langkah-langkah jawaban tugas. Alasan tertulis ini merupakan indikator penalaran matematika mahasiswa. Conceptual Reasoning Based merupakan pendekatan yang bertujuan untuk mengembangkan penalaran matematika. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa subjek S1 memberikan alasan matematis secara lengkap, sistematis, dan logis. Sedangkan subjek S2 hanya mampu mengemukakan alasan matematis tertulis secara ringkas. Kata Kunci: Conceptual Reasoning Based, Penalaran, Alasan Matematis Tertulis Abstract This article presents the result of pre-research about the ability to give mathematical argument in written. The subjects of this research were two students who had the high and low score of calculus assignment. The data of this research were the students’ written answer of integral calculus assignments. The data analysis was based on written mathematical argument presented on the steps to answer the assignments. This written argument is the indicator of the student’s mathematical reasoning. Conceptual Reasoning Based is an approach purposed to develop mathematical reasoning. The results of this research showed that undergraduate subject gave mathematical argument completely, systematically, and logically. Meanwhile, postgraduate subject could only present written mathematical argument in brief. Keywords: Conceptual Reasoning Based, reasoning, written mathematical argument Pendahuluan Tujuan pembelajaran matematika tidak hanya untuk menguasai materi, juga untuk mengembangkan tata nalar dan problem solving. Untuk itu maka peran guru dalam pembelajaran matematika tidak hanya mementingkan hasil akhir, namun mengembangkan kemampuan bernalar para siswa.
perlu
Guru dapat memupuk kemampuan
bernalar dengan cara melatih siswa menulis alasan matematis dalam langkah-langkah penyelesaian soal matematika. Sejalan dengan hal tersebut maka pendidikan calon guru matematika tidak hanya berorientasi pada penguasaan materi, namun juga mengembangkan tata nalar. Hal ini berarti menguasai materi matematika saja belumlah cukup untuk menjadi guru matematika yang berkualitas. Bolyard & Packenham (2008) mengatakan, meskipun content knowledge 1
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
(pengetahuan tentang materi) sangat penting, banyak temuan-temuan penelitian mengungkapkan bahwa mengajar matematika akan efektif terutama tergantung pada kekayaan dari pedagogical content knowledge guru. (Bolyard & Packenham, 2008; Rusa & Nance, 1993; Fenstermacher, 1986; Sanders & Morris, 2000). Conceptual Reasoning Based oleh Osman Cankoy (2010) merupakan
pendekatan yang memperhatikan proses
penalaran dengan cara memberi alasan matematis secara tertulis pada setiap manipulasi matematika. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Kemampuan Mahasiswa Dalam Memberikan Alasan Matematis Secara Tertulis Dalam Menyelesaikan Soal Kalkulus?” Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk mengungkapkan kemampuan mahasiswa dalam memberikan alasan matematis secara tertulis dalam menyelesaikan soal kalkulus integral.
Kemampuan memberikan alasan matematis yaitu
kemampuan mahasiswa untuk memberikan alasan, penjelasan, argumentasi secara matematis dengan jelas, akurat, dan logis pada setiap langkah penyelesaian tugas kalkulus integral.
Pedagogical Content Knowledge Tujuan pembelajaran matematika menurut Permendiknas No. 22 Tahun 2006, yaitu agar peserta didik memiliki kemampuan memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan
dan
pernyataan
matematika,
memecahkan
masalah
dan
Hal ini juga sejalan dengan yang disampaikan oleh NCTM sebagai berikut:
The
mengkomunikasikan gagasan.
National Council of Teachers of Mathematics ( NCTM) has identified five imperatif or needs for all students (NCTM 1998, 45-46): become mathematical problem solvers, communicate knowledge, reason mathematically, learn to value mathematics, and become confident in one’s ability to do mathematics.
Jadi tujuan pembelajaran matematika agar
siswa dapat menyelesaikan masalah, mengkomunikasikan pengetahuan, memberikan alasan
secara matematis, mempelajari nilai-nilai dalam matematika, dan memiliki rasa percaya diri dalam menyelesaikan matematika. Jadi salah satu tujuan penting pembelajaran matematika yaitu memberikan alasan secara matematis. Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Pedagogical Content
Knowledge (Shulman, 1986), Conceptual Reasoning Based (Cankoy, 2010), dan 2
Jurnal Riset Pendidikan
Mohammad Zahri
Mathematical Reasoning (Eccles, 2007).
Shulman adalah pakar yang diakui sebagai
pencetus konsep Pedagogical Content Knowledge (PCK). PCK dapat diungkapkan sebagai sekumpulan atribut khusus yang membantu guru untuk menstranfer Content Knowledge (CK) atau konten atau materi matematika pada yang lainnya. Termasuk atribut khusus bagi guru, yang dapat membantu guru mengarahkan siswa untuk memahami materi dengan pemahaman yang sangat personal. Dengan kata lain Pedagogical Content Knowledge (PCK) juga meliputi keyakinan tentang cara menanamkan konsep (konseptualisasi) dalam pembelajaran (Shulman, 1986). Lebih lanjut dijelaskan, berdasarkan pandangan Shulman (1995: 130), Pedagogical
Content Knowledge (PCK) juga meliputi, “cara untuk merepresentasikan dan merumuskan subjek (materi) yang membuatnya dapat dipahami secara utuh oleh orang lain. Pemahaman tentang apa yang membuat pembelajaran pada topik tertentu dirasakan mudah atau sulit, konsepsi dan pra-konsepsi yang dibawa para siswa yang berbeda usia dan latar belakang dalam pembelajaran pada topik-topik dan materi yang paling sering diajarkan. Sedangkan Ball (2005) menyatakan, inti dari PCK yaitu cara untuk menstranformasi materi dalam pembelajaran. Proses transformasi ini muncul pada saat seorang guru menginterpretasikan materi pelajaran, mencari cara untuk merepresentasikan materi, dan membuatnya mudah dipelajari siswa. Grouws & Schultz seperti yang dikutip oleh Kellogg (2010) menyatakan: PCK dapat didefinisikan sebagai pemahaman tentang bagaimana merepresentasikan topik-topik tertentu dengan cara yang tepat untuk berbagai macam kemampuan dan minat siswa. Dari beberapa pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa Pedagogical Content
Knowledge (PCK) adalah cara untuk merepresentasikan materi agar mudah dipahami oleh siswa, yang memiliki latar belakang, kemampuan, dan minat yang berbeda, sehingga proses pembelajaran akan berjalan secara efektif. Conceptual Reasoning Based adalah salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika. Conceptual Reasoning
Based (CRB) merupakan pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan konsep-konsep matematika
dengan memperhatikan
proses berpikir (bernalar) yang didasarkan pada
alasan-alasan matematika yang logis. Conceptual Reasoning Based dikembangkan oleh Osman Cankoy (2010) untuk menjelaskan konsep-konsep khusus dalam matematika dengan tetap memperhatikan tata nalar dan alasan matematis yang logis. CRB digunakan oleh Osman Cankoy untuk menjelaskan topik seperti a0 =1 , 0! = 1, and a ÷ 0 bernilai tak hingga dengan tetap membangun tata nalar dan alasan matematis yang logis. Sebagai ilustrasi berikut dikutip bagaimana CRB menjelaskan a0 = 1. 3
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Tabel 1: Penjelasan topik ekponen Kategori Utama
a0 =1
Sub Kategori Hanya berdasarkan hafalan atau prosedural Penalaran berdasarkan konsep
Pendekatan
Contoh Penjelasan Guru
Ini pendekatan aturan
Guru hanya mengatakan bahwa, “ya itu memang aturannya begitu bahwa a0 =1”
Pendekatan Al Jabar
Contoh 1: Dietahui bahwa:
a2 : a2 = 1. Disisi lain a2 : a2 = a2 x a-2.. Karena a2 x a-2 = a0, maka a0 = 1 Contoh 2: Diketahui bahwa am x an = a maka an x a0 = an, Jadi a0 = 1
m+n
,
Pendekatan Pola
Perhatikan pola di bawah ini: 34 = 81 33 = 27 32 = 9 31 = 3 30 = ? Seperti anda lihat, bahwa setiap langkah kita membagi dengan 3 untuk memperoleh hasil di bawahnya. Maka jika kita membagi 3 dengan 3 maka hasilnya 1. Sehingga diperoleh 30=1 Penjelasan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa untuk menjelaskan mengapa a0 =1, seorang guru tidak cukup hanya mengatakan, “ya itu memang aturannya begitu bahwa a0 =1”. Perlu adanya uraian penjelasan yang didasarkan pada konsep, dan sifat-sifat dalam matematika itu sendiri. Conceptual Reasoning Based telah berhasil menyajikan hal yang sederhana ini menjadi menarik dan mendalam khusunya untuk pengembangan tata nalar dalam pembelajaran sebagaimana tampak pada Tabel 1. Dengan Conceptual Reasoning Based
proses pembelajaran matematika berupaya
membangun tata nalar, dan memberikan alasan matematis dalam menjelaskan konsep matematika, walaupun hal itu tampak sederhana.
Pendekatan al jabar dengan
menggunakan sifat pembagian pada eksponen, sedangkan pendekatan pola dengan mencermati pola bilangan yang terbentuk dari perpangkatan suatu bilangan hingga mencapai pangkat nol. Secara lebih khusus kemampuan memberi alasan matematis tersebut dapat dilakukan oleh mahasiswa melalui menulis alasan yang digunakan pada setiap langkah manipulasi matematika dalam dalam belajar konsep maupun menyelesaikan soal matematika.
4
Jurnal Riset Pendidikan
Mohammad Zahri
Perubahan kurikulum di Universitas Manchester juga memiliki fokus pada pengembangan penalaran matematika melalui pembuktian dan menulis matematika. Eccles (2007) mengatakan menyatakan bahwa kunci dari kurikulum baru Universitas Manchester
adalah
modul
tentang
penalaran
matematik
yang
bertujuan
untuk
mengenalkan ide dasar pembuktian matematika dan mengembangkan keterampilan menulis matematika, serta membantu menjembatani kesenjangan antara sekolah dan universitas. Hal ini berarti bahwa penalaran matematika merupakan hal yang sangat penting.
Penalaran
matematika
dapat
dikembangkan
memalui
kegiatan
menulis
matematika. Menulis matematika dapat berupa menulis pembuktian, dapat juga menulis alasan matematis yang digunakan dalam melakukan manipulasi matematika. Manipulasi matematis yang tidak diserta dengan penjelasan serta alasan yang logis akan diragukan kesahihannya.
Untuk itu maka menulis alasan matematis dapat digunakan sebagai
pendekatan untuk mengembangkan penalaran matematis.
Metode Subjek penelitian ini dua mahasiswa STKIP Al Hikmah yang memiliki nilai tinggi dan nilai rendah pada tugas kalkulus integral. Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri dengan instrumen pendukung soal tugas kalkulus integral. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen. Lincoln dan Guba (1985) teknik pengumpulan data ada 4 cara yaitu interview (wawancara), observasi, dokumen dan catatan/rekaman, dan informasi-informasi yang terkumpul selama penelitian mengatakan, Data penelitian ini integral, yang
berupa jawaban tertulis mahasiswa pada soal tugas kalkulus
dilengkapi dengan alasan matematis tertulis pada setiap langkahnya.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif yang akan mengungkap kemampuan memberikan alasan tertulis mahasiswa dalam menyelesaikan soal kalkulus integral. Data penelitian ini dianalisis secara kualitatif melalui proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, memilah-milah menjadi satuan yang dapat dikelola, menemukan apa-apa yang penting sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh Moleong (2007).
Data dan Analisis Data penelitian ini berupa hasil pekerjaan mahasiswa dalam menyelesaikan soal Kalkulus II.
Penyelesaian ini berupa jawaban tertulis yang dilengkapi dengan alasan
matematis pada setiap langkahnya. Perhatikan data hasil penyelesaian dari subjek S1 dan subjek S2 berikut.
5
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Gambar 1: Jawaban dua subjek penelitian Berikut disajikan data hasil jawaban mahasiswa beserta alasan yang dikemukakan pada tiap langkah. Tabel 2: Alasan yang dikemukakan oleh tiap subjek Alasan oleh Subjek 1 ( S1 )
Alasan oleh Subjek 2 ( S2 )
Penyelesaian terdiri atas 10 langkah Alasan matematis yang disajikan sebanyak 7, yaitu alasan ke: 1. Pemilihan teknik penintegralan yaitu substitusi 2. Menentukan bentuk substitusi 3. Menentukan kpk 4. Melakukan substitusi 5. Menggunakan aturan penjumlahan pada integral 6. Menggunakan rumus dasar 7. Mengembalikan ke bentuk semula Hasil akhir “benar”
Penyelesaian teridiri atas 11 langkah Alasan matematis yang disajikan sebanyak 3, yaitu alasan ke:
1. Menentukan kpk 2. Melakukan substitusi
3. Mengembalikan ke bentuk semula Hasil akhir “benar”
Dari sajian data diatas diperoleh bahwa untuk menyelesaikan soal tersebut S1 membutuhkan 10 langkah, sedangkan S2 membutuhkan 11 langkah.
Hal ini berarti S1
memiliki langkah yang lebih singkat. Sedangkan jika dilihat dari banyaknya alasan yang disajikan maka S1 mengemukakan 7 alasan matematis, sedangkan S2 hanya mengemukakan 3 alasan. Pada aspek kejelasan dan kelengkapan, maka S1 mengemukakan alasan yang lebih jelas dan lengkap. Kejelasan alasan akan membantu orang lain mudah memahami 6
Jurnal Riset Pendidikan
Mohammad Zahri
argumentasi yang digunakan, sedangkan kelengkapan berkaitan dengan banyaknya langkah dan kecukupan alasan dalam setiap langkah penyelesaian. Alasan yang logis berarti alasanalasan matematis tersebut masuk akal, bisa diterima secara matematis. Hampir semua langkah S1 dapat memberikan alasan matematis, sedangkan S2 memiliki 11 langkah dan hanya mengemukakan 3 alasan. Menariknya bahwa jawaban akhir keduanya sama benar. Pada langkah 1, subjek S1 memberikan alasan “menggunakan aturan substitusi untuk integran memuat akar tak senama”. Subjek S1 memberikan alasan yang yang benar, dan lengkap. Subjek memahami bentuk integrannya yaitu berupa fungsi yang memuat akarakar yang tak senama. Memilih substitusi untuk integraan yang memuat akar yang senama tentu berbeda dengan yang integrannya tidak senama. Pada langkah ini subjek S1 telah menggunakan 3 alasan matematis, integran yang memuat akar, integran yang memuat akar yang tidak sama, dan menggunakan aturan substitusi. Ketiga alasan ini saling berkaitan secara logis, bahwa beberapa fungsi yang berbentuk akar bisa senama dan bentuk akar yang tak senama. Istilah akar yang senama mengacu pada akar pangkat pada setiap fungsi. Sementara subjek S2 tidak memberikan alasan matematis secara tertulis. Hal ini akan diketahui pada penelitian lanjutan yang akan dilakukan pada waktu berikutnya.
Gambar 2: Jawaban S2 Pada langkah 2, subjek S2 memberikan alasan “substitusi dari penyebut pangkat-pangkat variabel di dalam akar. substitusi
memberikan
gambaran
bahwa
dengan
kpk
Pemberian alasan matematis mahasiswa
memahami
cara
menyederhanakan integran yang berbentuk akar ke bentuk yang lebih sederhana, melalui manipulasi aljabar yaitu substitusi. Selanjutnya agar bentuk-bentuk akar yang berbeda tersebut dapat di hilangkan akarnya, maka harus ditentukan kpk dari penyebut pangkatnya yaitu kpk 3 dan 6 yaitu 6. Pendekatan aljabar berikutnya yang digunakan oleh S1 dalam menyederhanakan bentuk integran tersebut yaitu numerical approach. Selain penalaran aljabar yang digunakan, subjek S1 dapat menyajikan reasoning-reasoning tersebut secara sistematis, lengkap dan mudah dipahami. Sedangkan subjek S2 memberikan alasan yang lebih ringkas, tanpa menjelaskan detil-detil alasan tersebut, namun hasilnya tetap benar. Hal ini menunjukkan bahwa penalaran matematikanya masih berjalan dengan baik, namun
7
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
S2 tidak menyajikan alasan tersebut secara tertulis, dengan kata lain komunikasi matematika tulisnya lebih terbatas. Perhatikan hasil pekerjaan subjek S2 berikut.
Gambar 3: Penggalan jawaban S2. Selanjutnya subjek S1 dan S2 mensubstitusikan z yang telah diperoleh ke integran, memanipulasi secar aljabar integran tersebut sehingga diperoleh bentuk yang paling sederhana yaitu integrannya berupa jumlah dua fungsi dalam z. Pada tahapan ini baik subjek 1 maupun subjek 2 melakukan langkah dan reasoning yang sama yaitu substitusi dan manipulasi aljabar.
Gambar 4: Penggalan langkah substitusi manupulasi aljabar S1 dan S2 Untuk menyelesaikan integral pada bentuk yang terakhir ini subjek S1 mengemukakan dua reasoning sebagaimana tertulis pada jawaban berikut.
Gambar 5: Penggalan jawaban S1 Penalaran pertama menggunakan sifat-sifat integral jumlah dua fungsi, sedangkan penalaran kedua menggunakan salah satu bentuk rumus dasar integral. Sifat-sifat integral jumlah lebih dekat pada alasan aljabar atau algebraic reasoning, sedangkan penggunaan rumus dasar merupakan alasan konseptual atau conceptual reasoning. Alasan yang disajikan oleh subjek S1 sangat kuat, jelas, dan lengkap. Sedangkan subjek S2 tidak menyajikan sama sekali alasan pada langkah tersebut. Namun kedua subjek dapat menjawab soal tersebut dengan benar.
8
Jurnal Riset Pendidikan
Mohammad Zahri
Diskusi dan Kesimpulan Hal yang paling menarik untuk didiskusikan yaitu jawaban akhir dari kedua subjek sama-sama benar, walaupun mereka sangat berbeda dalam memberikan alasan matematis secara tertulis. Diskusi ini akan didasarkan pada aspek kemampuan komunikasi matematika tertulis, penguasaan konseptual, serta penguasaan konsep dasar matematika. Subjek S1 dan S2 memiliki kemampaun memberi alasan matematis secara tertulis yang sangat berbeda.
Subjek S1 dapat mengkomunikasikan atau menyajikan alasan
matematis secara tertulis dengan lengkap, sistematis, dan akurat. Hal ini menggambarkan kemampuan komunikasi matematika tertulis subjek S1 sangat baik. Kemampuan komunikasi matematika tertulis sangat mendukung subjek untuk dapat memberikan alasan matematis secara tertulis. Jika dilihat dari uraian jawaban yang diberikan subjek, maka pola jawaban subjek S1 menggambarkan
pemahaman
konseptual,
sedangkan
subjek
S1
cenderung
pada
pemahaman prosedural. Hasil akhir kedua subjek sama dan keduanya benar. Namun untuk memperoleh hasil akhir, subjek S1 mengerjakan soal secara bertahap, artinya menulis semua bentuk
manipulasi matematika
beserta alasan matematisnya.
ia
Setiap
langkah pengerjaan, telah terjdi perubahan bentuk matematis yang diakibatkan oleh manipulasi matematika yang dilakukan.
Dalam melakaukan manipulasi matematika
argumentasinya harus logis, agar bentuk yang baru tetap ekivalen dengan bentuk aslinya Kemampuan manipulasi matematika memerlukan daya dukung penguasaan konsep dasar.
Jika konsep dasarnya lemah, maka akan menjadi hambatan dalam
melakukan
manipulasi matematis. Penguasaan konsep dasar, definisi, sifat-sifat, sangatlah penting agar seseorang dapat mengembangkan
kemampuan memberi alasan matematis, karena hal
tersebut akan digunakan saat akan memberikan alasan matematis. merupakan
Konsep dasar
pijakan dalam membangun argumentasi matematis dan memberi alasana
matematis. Dari analisis dan diskusi diatas disimpulkan bahwa subjek S1 dapat menyajikan alasan matematis tertulis yang lengkap, sistematis, dan logis, sedangkan subjek S2 menyajikan alasan matematis tertulis secara ringkas dan sederhana.
Wawancara mendalam akan
dilakukan pada penelitian lanjutan, untuk mengetahui lebih detil
tentang penalaran
matematis masing-masing subjek.
9
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Daftar Pustaka Ball, D. L., Lubienski, S. T., & Mewborn, D. S. (2001). Research on teaching mathematics: The unsolved problem of teachers’ mathematical knowledge. In V. Richardson (Ed.), Handbook of research on teaching (pp. 433-45). Washington, DC: American Education Research Association. Cankoy, Osman. (2010). Mathematics Teachers’Topic-Specific Pedagogical Content Knowledge in theContext of Teaching a0, 0! and a ÷ 0. Cyprus. Ataturk Teacher Training Academy, Nicosia/ North Cyprus. Eccles, P. J. (2007). An Introduction to Mathematical Reasoning. Cambridge: Cambridge University Press. Kellogg, Matthew S.(2010). Preservice elementary teachers' pedagogical content knowledge
related to area and perimeter: A teacher development experiment investigating anchored instruction with web-based microworlds. University of South Florida.
Miles, M.B. dan Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Shulman, L.S. (1995). Those who understand: knowledge growth in teaching in: B. Moon & A.S. Mayes (Eds) Teaching and Learning in the Secondary School (London: Routledge). Shulman, L. S. (1987). Knowledge and Teaching: Foundations for the new reform. Harvard Educational Review, 57 (1), 1-22 Shulman, L. (1986). Those who understand: Knowledge growth in teaching. Educational Researcher, 15(2),414 Shulman, Lee. (2012). Pedagogical Content Knowledge. American Educational Research Association. Siswono, Tatag Y. E. (2010). Penelitian Pendidikan Matematika. Surabaya: Unesa University Press. Tate dan Johnson. (1999). Teaching mathematics in The 21st Century. NCTM Turnukl, Elif B. ( 2007). The Pedagogical Content Knowledge in Mathematics: Preservice Primary Matehamtics Teaches Perspectives in Turkey. Department of Primary Mathematics Teacher Education, Buca-Izmir Turkey
10
Jurnal Riset Pendidikan ISSN: 2460-1470
Zainal Abidin
Metakognisi Mahasiswa dalam Memahami Hakikat Belajar Zainal Abidin STKIP Al Hikmah Surabaya e-mail:
[email protected]
Abstrak Artikel ini menyajikan hasil penelitian pendahuluan tentang metakognisi mahasiswa calon guru dalam memahami hakikat belajar. Dipilih 6 mahasiswa sebagai subjek penelitian, masing-masing 2 mahasiswa untuk kategori rendah, sedang, dan tinggi. Kategori ini berdasar nilai tugas sebelumnya untuk mata kuliah teori belajar. Analisis data dilakukan dengan memeriksa hasil jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan “untuk apa belajar?”. Selanjutnya dilakukan interview dengan pertanyaan apakah puas dengan jawaban yang ditulis?, bagian mana yang dirasa tidak memuaskan?, Mengapa?, dan bagaimana seharusnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 6 mahasiswa, 5 mahasiswa tidak puas dengan jawabannya. Secara umum alasannya karena jawaban yang ditulis dirasa tidak efektif, bertele-tele dan tidak sesuai dengan yang diharapkan soal. Setelah mengetahui kekurangannya, mahasiswa diberi kesempatan memperbaiki dan menuliskan kembali jawaban. Rangkaian proses tersebut mampu memperbaiki cara berfikir mahasiswa melalui metakognisi. Kata Kunci: metakognisi, calon guru, hakikat belajar Abstract This article presents of the pre-research about pre-service teacher metacognition in understanding the learning‟s essence . 6 students were selected as subject. Each group consists of 2 students having low middle, and high category, based on the previous assignment score on learning theory course. Data analysis was carried out by checking students‟ answer on the question “what is learning for?”. Then, interview was conducted by questioning student “are you satisfied with your answer?, what part disappointed you?, in what way? And how should be? This result shows that of the 6 students, 5 students were not satisfied with their answers. Generally, the reason taken by the students shows that the answers were not effectif, redundant, and inappropriate. Having known their weaknesses, the students were given another chance to fix and rewrite their answers. The series of those processes are able to fix how the student think through metacognition. Keywords: Metacognition, pre-service teacher, learning‟s essence Pendahuluan Belajar adalah aktivitas setiap individu. Umumnya kegiatan belajar banyak dijumpai di sekolah formal. Namun tidak semua pembelajar memahami apa itu hakikat belajar. Bisa jadi mereka menghabiskan waktu berhari-hari bahkan bertahun-tahun, namun tidak memahami sesungguhnya buat apa belajar. Hal ini dialami banyak orang, termasuk siswa, guru dan mahasiswa calon guru. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mahaiswa calon guru terhadap hakikat belajar.
11
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Pengertian Belajar Istilah belajar (learning) sering kita dengar dan kita gunakan. Tetapi konsep belajar sulit untuk didefinisikan. Menurut American Heritage Dictionary, belajar adalah upaya untuk mendapatkan pengetahuan, pemahaman, atau penguasaan melalui pengalaman atau studi.
Namun definisi ini belum memuaskan banyak kalangan, terkait dengan dengan
istilah samar: pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan. Menurut Kimble (1961, dalam Hergenhahn and Oslon, M.H., 2008), belajar didefinisikan sebagai perubahan yang relatif permanen di dalam potensi behavioral yang terjadi sebagai akibat dari reinforced practice (praktek yang diperkuat). Meskipun populer, definisi ini tidak diterima secara universal karena bisa diperdebatkan apakah belajar harus ada perubahan perilaku. Relatif permanen itu seberapa permanen, dan seterusnya. Menurut Gagne (dalam Hergenhahn and Oslon, M.H., 2008), belajar merupakan sejenis perubahan yang diperlihatkan dalam perubahan tingkah laku, yang keadaaannya berbeda dari sebelum individu berada dalam situasi belajar dan sesudah melakukan tindakan yang serupa itu. Perubahan terjadi akibat adanya suatu pengalaman atau latihan. Hal ini tentu berbeda dengan perubahan serta merta akibat refleks atau perilaku yang bersifat naluriah.
Metakognisi Menurut Larkin, metakignisi berasal dari kata “meta‟ dan „Kognisi‟. Meta merujuk kepada suatu perubahan posisi, suatu hal yang bersifat bergerak keluar atau menuju lapisan yang lebih tinggi. „Kognisi‟ merujuk kepada kemampuan atau kecakapan kita dalam mengetahui atau berpikir. Dengan deikian metakognisi menggambarkan suatu proses berpikir lebih tinggi, sesuatu yang bersifat reflektif dan terus bergerak melampaui tingkatan berpikir normal dalam merefleksikan berpikir itu sendiri. (Larkin dalam Murtadho, 2013). Menurut Suherman et.al (2001 : 95, dalam Muis, 2014), metakognitif adalah suatu kata yang berkaitan dengan apa yang diketahui tentang dirinya sebagai individu yang belajar dan bagaimana dia mengontrol serta menyesuaikan perilakunya. Dengan kata lain, metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Hal ini berarti bahwa seseorang perlu menyadari kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Dengan kemampuan seperti ini seseorang dimungkinkan mempunyai kemampuan tinggi dalam menyelesaikan masalah, sebab dalam setiap langkah yang dia kerjakan senantiasa muncul pertanyaan : “Apa yang saya kerjakan?‟; “Mengapa saya mengerjakan ini?” ; “Hal apa yang membantu saya untuk menyelesaikan masalah ini?”.
12
Jurnal Riset Pendidikan
Zainal Abidin
Jadi metakognisi adalah suatu kesadaran tentang kognitif kita sendiri, bagaimana kognitif kita bekerja serta bagaimana mengaturnya. Kemampuan seperti ini sangat penting, terutama untuk efisiensi penggunaan kognisi kita dalam menyelesaikan masalah. Secara singkat, meta kognisi dapat diistilahkan sebagai “thinking about thinking”.
Strategi Metakognisi Strategi metakognisi berkaitan dengan cara meningkatkan kesadaran tentang proses berpikir dan pembelajaran yang berlangsung. Apabila kesadaran itu ada, seseorang dapat mengontrol pikirannya. Dalam mempelajari sesuatu seseorang dapat menggunakan strategi metakognisi dengan menggunakan tiga tahapan berikut, yakni merancang apa yang hendak dipelajari, memantau perkembangan diri dalam belajar, dan menilai apa yang dipelajari. Strategi metakognisi dapat digunakan untuk mempelajari ilmu apapun. Hal ini penting untuk mengarahkan mahasiswa agar bisa secara sadar mengontrol proses berpikirnya dan proses belajar yang dia dilakukan. Dengan
menggunakan
strategi
metakognisi,
diharapkan
mahasiswa
mampu
mengontrol kelemahan diri dalam belajar dan kemudian berupaya memperbaiki kelemahan tersebut. Mahasiswa dapat menentukan cara belajar yang tepat seseuai dengan kemempuan sendiri. Mahasiswa dapat menyelesaiakan masalah – masalah dalam belajar, baik yang berhubungan dengan soal-soal latihan mamupun masalah yang timbul berkaitan dengan proses perkulhan. Mahasiswa juga dapat memahami sejauhmana keberhasilan yang telah ia capai dalam belajar.
Berpikir Kritis Dalam kehidupan se hari-hari, setiap manusia selalu berpikir, walaupun dalam tingkat yang
berbeda-beda.
Umumnya
tahapan
berpikir
adalah
mengenali
masalah,
memahaminya, dan memecahkannya. Bagi mahasiswa, kegiatan berpikir adalah jantung bagi setiap aktifitas perkuliahan. Belajar adalah domain utama dalam kegiatan mahasiswa. Berpikir merupakan langkah awal dalam belajar (Abraham P. Sperling, 1982:52). Berpikir itu sendiri memiliki empat aspek yaitu penyusunan konsep, pemecahan masalah, penalaran formal, dan pengambilan keputusan (Andrew B. Crider, dalam Murtado, F. 2013). Terdapat berbagai jenis berpikir, diantaranya adalah berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan cara pengambilan keputusan tingkat tinggi. Berpikir kritis berarti berpikir logis dan reflektif yang berfokus pada pengambilan keputusan mengenai hal yang akan dilakukan atau dipercaya. Hal ini mengimplikasikan lima hal, yaitu (1) berpikir logis menggunakan alasan-alasan yang baik; (2) berpikir reflektif berarti secara sadar mencari dan
13
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
menggunakan alasan-alasan yang baik; (3) berpikir terfokus, berarti berpikir untuk tujuan tertentu; (4) pengambilan keputusan mengenai hal yang akan dilakukan atau dipercaya dengan mengevaluasi pernyataan atau perbuatan; (5) kemampuan kognitif dan kecenderungan untuk menggunakan kemampuan tersebut. (Anthony J. Nitko, 1996 : 65 – 66, dalam Murtado, F. 2013).
Metakognisi dan kesuksesan belajar Seseorang akan sukses dalam belajarnya jika menggunakan metakognisi dalam setiap proses belajarnya. Tahapan-tahapan berikut dapat digunakan untuk meningkatkan hasil belajar. (1) Mengembangkan suatu rencana kegiatan belajar. (2) Mengidentifikasi kelebihan dan kekurangannya berkenaan dengan kegiatan belajar. (3) Menyusun suatu program belajar untuk konsep, keterampilan, dan ide-ide yang baru. (4) Mengidentifkasi dan menggunakan pengalamannya sehari-hari sebagai sumber belajar. (5) Memanfaatkan teknologi modern sebagai sumber belajar. (6) Memimpin dan berperan serta dalam diskusi dan pemecahan masalah kelompok. (7) Belajar dari dan mengambil manfaat pengalaman orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu. (8) Belajar mengambil manfaatkan dari pengalaman orang-orang tertentu yang telah berhasil dalam bidang tertentu. (9) Memahami faktor-faktor pendukung keberhasilan belajarnya. (Taccasu Project:2008).
Metode Penelitian ini melibatkan 25 orang mahasiswa semester genap tahun akademik 2014 – 2015 di STKIP Al Hikmah Surabaya sebagai subyek penelitian. Terdiri dari 15 mahasiswa jurusan pendidikan matematika dan 10 mahasiswa jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Diambil 6 mahasiswa sebagai sampel untuk mengetahui tingkat metakognisi mahasiswa dalam memahami hakikat belajar. Dua mahasiswa untuk kategori rendah (M1 dan M2), 2 mahasiswa kategori sedang (M3 dan M4), dan 2 mahasiswa untuk kategori tinggi (M5 dan M6). Kategori ini diambil berdasarkan nilai-nilai tugas mata kuliah teori belajar sebelumnya. Terdapat satu pertanyaan mendasar yang diajukan penulis kepada para mahasiswa. Pertanyaan tersebut adalah untuk apa belajar?. Pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan mahasiswa tentang hakikat belajar. Selanjutnya pertanyaan tersebut dijawab oleh masing-masing mahasiswa secara tertulis. Setelah terkumpul, mahasiswa diinterview satu per satu tentang jawaban mereka.
14
Jurnal Riset Pendidikan
Zainal Abidin
Langkah-langkah saat interview adalah, (1) mahasiswa diberi kesempatan membaca hasil tulisannya tentang jawaban atas pertanyaan yang diajukan penulis. (2) Penulis mengajukan pertanyaan, apa pendapat mahasiswa tentang jawaban dia. (3) Mahasiswa ditanya, apakah puas dengan jawaban yang dia tulis. (4) Jika dijawab puas selesai. (5) jika dijawab belum puas, bagian mana yang dirasa kurang memuaskan. (6) mahasiswa disuruh memberikan alasan mengapa jawaban dia dianggap kurang memuaskan. (7) selanjutnya mahasiswa diberi kesempatan untuk mengoreksi jawabannya. (8) mahasiswa diberi kesempatan
menuliskan
kembali
jawabannya.
(9)
mahasiswa
diberi
kesempatan
memverbalkan jawabannya.
Analisis Data dan Pembahasan Terhadap pertanyaan pertama, buat apa belajar?, ke enam mahasiswa menjawab dengan beragam. M1 menjawab sesuai dengan modul kuliah, yakni belajar adalah suatu upaya guna mendapatkan pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan melalui pengalaman atau studi. M2 menjawab belajar untuk mengembangkan diri agar lebih baik dari sebelumnya. M3 mengemukakan bahwa belajar merupakan proses pengembangan dari yang semula tidak tahu menjadi tahu. M4 menuliskan jawaban selain sesuai dengan yang di modul, juga menambahkan keterangan bahwa kita sebagai makhluk sosial yang diwajibkan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan dapat memecahkan segala macam masalah, maka kita ditunut untuk terus belajar. M5 menjawab belajar memiliki tujuan meningkatkan kemampuan kognitif individu yang mulanya sederhana menjadi lebih kompleks. M6 mengemukakan
jawaban
bahwa
belajar
adalah
salah
satu
cara
menyelesaikan,
memecahkan, dan mendapatkan solusi dari masalah yang dihadapi. Terhadap pertanyaan apakah puas terhadap jawabaan yang ditulis, 5 mahasiswa menjawab tidak puas dan 1 mahasiswa menjawab puas. Selanjutnya mahasiswa diberi kesempatan menuliskan untuk memberi nilai terhadap jawaban masing-masing. Tentu ini subyektif masing-masing mahasiswa. Namun ini dilakukan untuk mengukur metakognisi mahasiswa, sejauhmana mereka bisa menilai dirinya sendiri. Tabel 1 menunjukkan puas atau tidaknya mahasiswa terhadap jawaban mereka sendiri sekaligus nilai yang mereka berikan terhadap jawaban mereka sendiri. Selanjutnya penulis mengajukan pertanyaan, bagian mana dari jawaban yang dirasa belum memuaskan. Terhadap peratanyaan ini, mahasiswa diberi kesempatan untuk menggaris bawahi atau memberi tanda kurung pada jawaban meraka yang dianggap kurang memuaskan.
15
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Tabel 1: Respon Mahasiswa terhadap Jawabannya Penilaian terhadap Jawaban
M1
Respon terhadap Jawaban Kurang puas
M2
Kurang puas
78
M3
Tidak puas
66
M4
Tidak puas
60
M5
Puas
80
M6
Tidak puas
79
Mahasiswa
69
M1 memberi tanda { } pada kalimat menurut American Heritage Dictionary menyatakan bahwa belajar adalah suatu upaya guna mendapatkan pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan melalui pengalaman atau studi. M2 menggarisbawahi orang yang rugi adalah mereka yang tidak berkembang. Hari ini sama dengan hari kemarin. Agar tidak merugi, maka seharusnya bagi kita, untuk selalu meningkatkan diri dalam semua aspek, baik spiritual, emosiaonal dan kecerdasan intelektualnya. M3 tidak puas dengan semua yang dia tulis. Dia memberi tanda { } pada semua jawaban. Begitu juga M4. Sedangkan M5 memberi tanda { } pada kalimat awal, yakni belajar adalah rangkaian skema yang merespon suatu lingkungan di luar individu. Lalu disesuaikan dengan pengalaman yang telah didapatkan sebelumnya. Jika tidak ada pengalaman yang sesuai, maka dibutuhkan proses ekuilibrasi (penyeimbangan) struktur kognitif, sehingga akan terjadi proses akomodasi yaitu proses memodifikasi struktur kognitif yang telah ada sebelumnya (sederhana) menjadi lebih kompleks. Pada akhirnya individu akan mendapatkan sebuah informasi / pengalaman yang baru. M6 memberi garis bawah pada kalimat di awal paragraf, yakni sejatinya hidup adalah pilihan, ketika kita memilih salah satu pilihan pasti ada sesuatu yang dikorbankan. Selain itu, M6 juga memberi tanda {} pada contoh yang dia gunakan untuk memberi ilustrasi tujuan belajar. Setelah mahasiswa menunjukkan bagian mana yang dirasa kurang memuaskan, penulis bertanya mengapa hal itu dianggap kurang memuaskan. Terhadap pertanyaan ini, jawaban mahasiswa juga beragam. M1 memberi alasan, “karena yang saya tulis terlalu bertele-tele dan tidak to the point”. M2 memberi alasan „kurangnya korelasi dan koherensi yang ada pada paragraf tersebut. M3 memberi alasan „kurang nyambung, terlalu berteletele (tidak singkat, jelas, dan padat). M4 memberi alasan “karena tidak sesuai dengan esensi yang diinginkan. Akan tetapi soal dengan jawaban harus ada korelasi sehingga dapat dipahami dengan mudah. M5 memberi jawaban yang kontradiksi, dia memberi jawaban puas namun masih menuliskan alasan ketidakpuasaanya, yakni “karena yang saya tulis 16
Jurnal Riset Pendidikan
Zainal Abidin
terlalu melebar dari apa yang ditanyakan”. M6 memberi alasan “karena kurang efektif dalam penggunaan kata. Untuk contoh kurang efektif. Selanjutnya mahasiswa diberi kesempatan menuliskan kembali jawabannya. Pada tahap ini mereka sudah menyadari bahwa apa yang meraka tulis sebelumnya belum mencerminkan secara utuh apa yang diharapkan oleh pertanyaan. Rata-rata mereka menjawab lagi dengan kalimat yang lebih praktis, singkat dan padat. Berikut perbaikan jawaban oleh masing-masing mahasiswa. M1 menulis, belajar adalah untuk meningkatkan apa-apa saja yang ada pada diri seseorang baik secara fisik, pengetahuan, maupun hati, rohani, dan keimanan. M2 menuliskan jawaban hampir sama dengan jawaban sebelumnya. Hanya ada perubahan redaksi. Dia menulis, belajar ada agar seseorang mampu menjadi lebih baik dari sebelumnya. Hal ini sesuai pendapat Rosululloh SAW bahwasanya orang yang merugi ialah mereka yang ”hari ini”nya sama dengan “hari kemarin”nya. Oleh karena itulah, agar menjadi orang yang tidak merugi, seseorang perlu belajar demi berkembangnya berbagai aspek. M3 menuliskan agar menjadi orang yang pada awalnya tidak tahu menjadi tahu, semula tidak berilmu menjadi berilmu, dan semula tidak berakhlak menjadi orang yang berakhlak mulia. Sedangkan M4 menuliskan, untuk mengangkat harkat dan martabat suatu individu atau golongan. Jika belajar dan esensinya sudah bisa diaplikasikan di kehidupan sehari-hari, maka belajar tersebut dikatakan sukses atau berhasil. Akan tetapi jika esensi belajar tidak dapat dipraktekkan maka hal tersebut tidak bisa dikatakan belajar. M5 menuliskan revisi jawabannya sebagai berikut. Belajar untuk meningkatkan struktur kognitif yang mulanya sederhana menjadi lebih kompleks atau dari keadaan tidak tahu menjadi tahu sehingga terjadi perubahan sikap, perilaku, dan akhlak. M6 mermberikan revisi jawaban yang lebih kompleks. Dia menulis, belajar itu untuk menghilangkan kebodohan, meraih kemulyaan, dan beribadah kepada Allah SWT. Dia menambahkan keterangan, belajar adalah salah satu usaha manusia untuk menghilangkan kebodohan karena nafsu. Lebih lanjut belajar meraih kemulyaan baik dimata manusia maupun Allah. Dengan belajar manusia mendapat ilmu, dan dari ilmu itu manusia dapat beramal ibadah baik ke sesama ataupun kepada Allah SWT. Dari jawaban di atas menunjukkan bahwa mahasiswa menyadari akan kekurangan jawaban mereka sebelumnya. Mereka sudah bisa merasakan puas atau tidak puas dengan apa yang mereka tulis. Mereka sudah mengetahui bagian mana yang dirasa kurang memuaskan. Selanjutnya mereka mampu memberi alasan mengapa jawaban itu dianggap kurang memuaskan. Pada akhirnya mereka dapat memperbaiki jawaban. Jawaban akhir ini
17
Jurnal Riset Pendidikan
dirasa mereka mampu menjawab dengan tepat
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
apa yang diinginkan oleh pertanyaan
tersebut.
Simpulan Dalam menjawab pertanyaan “untuk apa belajar?‟, mahasiswa memberikan jawaban yang beragam. Jawaban yang ditulis sesuai dengan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya. Namun pada saat mahasiswa menilai jawaban mereka sendiri, tidak ada satupun yang memberi nilai melebihi 80. Artinya tidak ada yang berani memberi nilai A. Range nilai yang diberikan adalah 60 – 80. Terhadap pertanyaan apakah puas terhadap jawaban yang ditulis? Dari 6 mahasiswa hanya 1 mahasiswa yang merasa puas, selebihnya menjawab tidak puas atau kurang puas. Ketika diberi pertanyaan bagian mana yang dianggap kurang memuaskan, mahasiswa mampu menunjukkan bagian jawaban yang dianggap kurang mengena, yakni dengan cara memberi garis bawah atau tanda { }. Mengapa bagian tersebut kurang memuaskan?, ratarata mereka menjawab karena jawaban yang ditulis tidak efektif, bertele-tele, dan tidak sesuai dengan soalnya. Selanjutnya mahasiswa diberi kesempatan untuk menuliskan kembali jawaban yang semestinya menurut mereka. Rangkaian proses tersebut untuk memperbaiki cara berfikir mahasiswa melalui metakognisi. Daya kritis mahasiswa menjadi lebih meningkat, ketika diberi pertanyaan refleksi tentang apa yang telah mereka tulis. Dengan demikian metakognisi mampu meningkatkan mahasiswa untuk berpikir kritis khususnya dalam hal memahami hakikat belajar.
Daftar Pustaka Hergenhahn and Oslon, M.H. (2008).Theories of Learning diterjemahkan oleh Tri Wibowo, Jakarta: Penerbit Kencana. Schunk, D.H. (2012). Learning Theories, an Educational Perspective Sixth Edition (Teori Teori Pembelajaran : Perspektif Pendidikan), diterjemahkan oleh Eva Hamdiah. Yogjakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Slavin, R.E. (2011). Educational Psycology : Theory and Practice, Ed. 9., (Psikologi Pendidikan: Teori dan Praktik), diterjemahkan oleh Drs. Marianto Samosir, Penerbit Indeks, Jakarta. Dindin Abdul Muiz Lidinillah, 2014, Perkembangan Metakognitif dan Pengaruhnya Pada Kemampuan Belajar Anak., file.upi.edu. Murtadho, Fathiaty. (2013). Berpikir Kritis dan Strategi Metakognisi : Alternatif Sarana Pengoptimlan Latihan Menulis Argumentasi. Makalah yang disampaikan pada 2nd International Seminar on Quality and Affordable Education (ISQAE). 18
Jurnal Riset Pendidikan ISSN: 2460-1470
Yiyin Isgandi
Keteladanan dan Intensitas Pendidik dalam Berdo’a: Optimalisasi Kesuksesan dalam Pendidikan Karakter Yiyin Isgandi STKIP Al Hikmah Surabaya e-mail:
[email protected]
Abstrak Artikel ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh keteladanan dan intensitas berdo‟a pendidik terhadap kesuksesan dalam pendidikan karakter. Data dikumpulkan dari buku-buku tokoh pendidikan Islam, seperti Imam Al-Ghazali, Al-Zarnuji, dan Badruddin Ibnu Jama‟ah. Data dianalisis dengan metode analisis domain dan metode reflektif. Hasil penelitian pustaka ini yaitu bahwa keteladanan dan intensitas berdo‟a pendidik berpengaruh sangat besar dalam optimalisasi kesuksesan dalam pendidikan karakter. Meskipun dalam ilmu psikologi penelitian terhadap do‟a kepada Allah yang bersifat agamis belum diakui secara menyeluruh, namun fakta pengakuan orang berakhlak mulia, teori pendidikan Islam, yang diperkuat dengan dalildalil agama dan rasional membuktikan adanya pengaruh yang signifikan pada kesuksesan dalam pendidikan karakter. Kata kunci: keteladanan pendidik, intensitas berdo‟a, pendidikan karakter Abstract This article aims to acknowledge the influence of educator‟s exemplary and intensity of praying to Allah toward success of the character education. The data has collected using documents from resources of figure of Muslim educators, like Imam Al-Ghazali, Az-Zarnuji, and Badruddin ibn Jama‟ah. It has analyzed using domain and reflective analysis. The results of this library research that educator‟s exemplary and intensity of praying to Allah have more influence in optimalization success of the character education. Even psichology science did not recognize research about praying to Allah at all couse of it‟s religious, but the fact of more confession of man who have good behavior, Islamic Education Theory, and many rasional and religious argumentations proof their signifacant influence for success of the character education. Keywords: educator‟s exemplary, intensity of praying, the character education Pendahuluan Pada dasawarsa ini pendidikan karakter di Indonesia sangat penting. Pendidikan karakter diwajibkan untuk diintegrasikan dalam setiap pelajaran yang diajarkan di sekolah maupun perguruan tinggi. Bahkan ada usaha pengkhususan untuk dijadikan pelajaran dan mata kuliah tersendiri. Sebagai akibat dari dekadensi moral generasi penerus bangsa dengan maraknya tawuran masal, pergaulan bebas, pornografi, konsumsi narkoba, dan berbagai penyimpangan sosial lain. Perbaikan terus menerus ini sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UURI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
19
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Sejak saat itu berbagai bentuk dan model kurikulum dibuat dan dirancang. Desain kurikulum berubah-ubah seperti mengalami metamorfosis. Di saat yang sama sering juga mengalami kebingungan dalam tahap aplikasi di lapangan. Mulai KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), K-13 (Kurikulum 2013), dan sekarang kembali ke KTSP. Para pengambil kebijakan dan ahli pendidikan sering lupa bahwa kesuksesan pendidikan terbesar bukan terletak pada materi kurikulum dan perangkatnya, tapi pada kualitas guru pendidiknya. Sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Heyneman dan Loxely tahun 1983 di 29 negara menemukan bahwa di antara perkara yang menentukan mutu pendidikan adalah sepertiganya ditentukan oleh guru pendidik. Hasil penelitian di 16 negara berkembang; guru pendidik berkontribusi pada prestasi belajar siswa 34%, fisik 26%, manajemen sekolah 22%, dan waktu belajar 18%. Sementara di 13 negara industri; kontribusi pendidik 36%, manajemen 23%, waktu belajar 22%, dan fisik 19%. (Dedi Supriadi, 1999, h. 178). Barber dan Mourshed (2007) sebagaimana dikutip oleh Muchlas Samani dalam artikel blognya “Guru, MBS, dan Kurikulum” menyatakan bahwa 53% hasil belajar siswa ditentukan oleh pendidik. Bahkan studi John Hettie (2011) menyebutkan pengaruh tersebut sebesar 58,8%. Pendidik adalah faktor utama dalam proses pendidikan, sekaligus unsur paling penting dalam kesuksesan dan keberhasilan sebuah pendidikan. Karena itu, dalam berbagai literatur Islam disebutkan bahwa hal paling utama yang tidak boleh dikesampingkan adalah pendidik wajib menjadi teladan dalam akhlak mulia dan sering mendo‟akan diri sendiri maupun semua peserta didiknya dalam kebaikan dan kesuksesan. Tokoh pendidikan Islam Az-Zarnuji (w.1195 M) dalam buku Ta‟lim al-Muta‟llim mensyaratkan seorang pendidik itu harus bersifat kasih sayang, „alim, dan wara‟, yaitu mampu menjaga diri dari hal-hal yang
syubhat, apalagi yang diharamkan oleh Allah (h. 11, 36). Lebih-lebih jika kesuksesan itu dikhususkan pada pendidikan karakter dalam lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, serta kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga keteladanan unsur pendidik dari guru, dosen, orang tua, pejabat, dan tokoh / figur masyarakat menjadi penentu arah keberhasilan pendidikan suatu bangsa. Artikel ini mendeskripsikan hubungan keteladanan dan intensitas berdo‟a pendidik dengan kesuksesan dalam pendidikan karakter. Data-data diambil dari literatur tokohtokoh ahli pendidikan Islam seperti Az-Zarnuji, Imam Al-Ghazali, dan Badruddin Ibnu Jama‟ah. Lalu data dianalisa dengan metode analisa domain dan analisa reflektif dari dalil
20
Jurnal Riset Pendidikan
Yiyin Isgandi
agama, dikombinasikan dengan fakta-fakta hasil penelitian terkini dari ahli pendidikan dan psikologi modern guna membuktikan bahwa keteladanan dan intensitas mendo‟akan peserta didik memiliki signifikansi dan pengaruh sangat kuat dalam kesuksesan mendidik karakter seperti adanya The Law of Atraction (hukum tarik menarik) di alam semesta.
Urgensi Pendidikan Karakter Bagi Pendidik Terungkapnya banyak fakta dekadensi moral pelajar membuat masyarakat dan aktifis pendidikan sadar bahwa ada yang salah dalam proses pendidikan di Indonesia. Merebaknya isu-isu penyalahgunaan narkoba, tawuran, pornografi dan prostitusi, aborsi, pencurian dan fenomena begal, perjudian, penganiayaan dan pembunuhan di antara pelajar telah menjadi masalah sosial yang semakin hari semakin rumit dan membesar seperti bola salju. Akibat yang ditimbulkan juga sangat serius dan tidak bisa dianggap sebagai masalah sederhana. Karena tindakan-tindakan tersebut dapat masuk kategori tindakan kriminal. Kondisi ini benar-benar membuat masyarakat banyak yang „shock‟ karena mayoritas para pelaku dan korbanya masih berstatus pelajar. Selain itu nilai-nilai pendidikan karakter yang ditentukan oleh pemerintah juga tidak optimal dalam pelaksanaan. Para pelajar tidak terlihat konsisten dalam melaksanakan nilainilai kejujuran, toleransi, kedisiplinan, kerja keras, kreatifitas, kemandirian, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab dan sikap religius. Salah satu bukti meski UN sudah tidak lagi menjadi penentu utama kelulusan, ternyata para pelajar masih saja ditemukan indikasi kecurangan dan ketidak jujuran. Lebih parah lagi ketidak jujuran tersebut diprakarsai oleh oknum pejabat dan guru yang seharusnya menjadi teladan. Dalam mayoritas perguruan tinggi di Indonesia, disadari atau tidak, fakta realitas proses pembelajaran juga masih jauh dari standart nilai „baik‟. Padahal perguruan tinggi itu akan mencetak calon guru pendidik, tenaga ahli profesional, pejabat, dan pastinya orang tua yang berkewajiban memberikan pendidikan terbaik untuk generasi penerus bangsa. Para guru dan dosen lebih sering berceramah dan menulis di papan tulis, menampilkan slide materi di layar proyektor, berdiskusi tentang tema yang tidak aplikatif. Atau memberikan tugas yang membebani mahasiswa guna mengasah kemampuan mahasiswa dalam penguasaan materi. Padahal skil hidup itu lebih penting daripada penguasaan materi. Karena itu banyak perusahaan dan lembaga pendidikan yang bagus masih memberikan pelatihan kepada calon karyawan yang bergelar sarjana dalam meningkatkan prilaku dan kepribadian, komunikasi dan leadership, serta keterampilan yang dibutuhkan. Karena itu
21
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
juga Budiningsih dalam Pembelajaran Moral menuliskan“Pendidikan moral penting sebagai
salah satu alternatif pembentukan karakter yang kuat bagi seorang calon pendidik, karena mahasiswa yang dipersiapkan sebagai calon pendidik perlu mendapatkan penekanan khusus mengenai pendidikan moral sebagai bekal untuk menjadi “orang-orang dewasa” yang nantinya akan berinteraksi dengan peserta didik. (2004, h.12) Guna memperbaiki keterpurukan moralitas bangsa inilah pendidikan karakter sangat diperlukan bagi pelajar, utamanya bagi pendidik. Para pendidik memerlukan pendidikan karakter yang oleh Lickona diartikan sebagai usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Pendidikan karakter yang harus berhasil dalam mendidik peserta didik untuk dapat mengambil keputusan dengan bijaksana dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap lingkungan masyarakat sekitar (Ratna Megawati, 2004; 95) Pendidikan karakter di perguruan tinggi yang sering dilakukan melalui kuliah umum, seminar, pengajian, talk show, pembelajaran klasikal, pendampingan mentor, kegiatan insidental seperti life skill, bakti sosial,camping, PKL, KKN, dan lain-lain masih belum cukup. Metode di atas hanya menyentuh ranah konsep karakter dan pengenalan prilaku saja. Atau „pemaksaan‟ prilaku sementara dan belum menjadi watak dan tabiat tetap. Mahasiswa calon pendidik masih membutuhkan pembiasaan akhlak terpuji secara intens, pengendalian diri dari akhlak tercela, dan penugasan secara komprehensif yang mampu melatih skil hidup mandiri dan bertanggung jawab. Akan lebih optimal dan cepat berhasil jika dilakukan dengan pola pengasuhan dan keteladanan pendidik yang berjiwa murobbi. Jika pembiasaan akhlak mulia, karakter baik dan keteladanan pendidik lebih diutamakan dalam pembentukan lingkungan tempat berinteraksinya para peserta didik, maka para pendidik mampu mewujudkan tujuan pendidikan karakter bangsa yang telah dirumuskan oleh Kemendiknas (2010: 7-9) sebagai berikut. 1. Mengembangkan potensi kalbu / nurani / afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakterbangsa. 2. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius. 3. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. 4. Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan.
22
Jurnal Riset Pendidikan
Yiyin Isgandi
1. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
Unsur Keteladanan dalam Kesuksesan Pendidikan Karakter Pembentukan karakter pada diri seseorang memang tidak mudah seperti kita membalikkan tangan. Pembentukan karakter dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antaranya; faktor bawaan (genetik) dari orang tua, terutama ibu kandung, faktor diri sendiri, dan faktor lingkungan tempat seseorang biasa berinteraksi. Faktor bawaan adalah sesuatu yang khas pada diri seseorang, yang biasanya didapatkan melalui pewarisan genetik dari orang tua. Pada tahun 1979, Thomas Bouchard dan koleganya dalam The Minnesota Twin Study melakukan penelitian dengan mengumpulkan pasangan kembar terpisah dari seluruh dunia dan menguji kepribadian dan IQ mereka. Hasilnya ternyata korelasi anak-anak adopsi yang dibesarkan bersama dalam sebuah lingkungan keluarga adalah nol. Artinya yang sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter, kepribadian, dan sikap anak-anak adalah faktor genetik, utamanya dari ibu kandung, bukan lingkungan. (Science, New Series, Vol. 250, No. 4978 (Oct. 12, 1990), p. 223-228). Faktor diri sendiri sebenarnya kelanjutan dari perkembangan faktor bawaan dari orang tua. Setiap manusia itu dilahirkan dalam keadaan suci dengan fitrah yang diberikan oleh Allah. Setiap jiwa manusia yang suci itu memiliki keunikan yang berbeda-beda, tapi memiliki dua potensi yang sama, yaitu potensi untuk berbuat jahat dan potensi untuk berbuat baik / bertaqwa (QS. As-Syams: 7-8). Potensi-potensi inilah yang selalu bertarung untuk menjadi yang dominan dalam mendorong akal untuk memerintahkan anggota tubuh guna melakukan perbuatan. Jika jiwa yang senantiasa memerintah kejahatan lebih dominan dan menguasai akal maka seseorang akan melakukan kejahatan. Demikian juga sebaliknya jika jiwa yang tenang itu dominan dan terbiasa selalu mengarahkan akal untuk berbuat baik, maka perbuatan baik dan akhlak mulia menjadi tabiat dan wataknya. Sedangkan faktor lingkungan mencakup semua interaksi seseorang dengan dunia di luar dirinya. Seperti interaksinya dengan kedua orang tua, keluarga, guru dan dosen, teman dan masyarakat sekitar, termasuk televisi, internet, dan media tekhnologi informasi lain. Meski pada awal pengaruhnya kecil, tapi faktor lingkungan akan lebih berpengaruh saat seorang itu beranjak dewasa. Seorang anak akan senang menirukan apapun yang dilihat, didengar, dibicarakan dan dirasakan dari lingkungan sekitar. Jika seorang anak tumbuh dan besar di lingkungan keluarga yang rajin sholat, maka ia akan menjadi pribadi sholeh yang
23
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
rajin sholat. Jika ia sering berkomunikasi bahasa Inggris dan gemar membaca buku bersama pendidik dan teman-temannya, maka ia akan menjadi pribadi yang gemar membaca dan pandai berkomunikasi. Sebaliknya jika ia bergaul dengan orang-orang pengangguran yang senang merokok, berjudi, dan ahli maksiat, maka lambat laun ia akan mengikuti jalan mereka, menjadi pribadi pemalas dan ahli maksiat. Disinilah pentingnya peran keteladanan dari orang tua, guru, tokoh masyarakat, dan semua pendidik. Kepribadian dan akhlak mulia tidak bisa diajarkan, tapi ditularkan dengan keteladanan. Keteladanan akhlak mulia adalah metode dakwah para nabi dan rasul. Terbukti sangat efektif dan berdampak luar biasa pada masyarakat. Ibnu Abbas Ra pernah bercerita tentang masa kecil di rumah bibinya, Maimunah, salah satu istri Rasulullah SAW: “Suatu
malam aku menginap di rumah bibiku. Tengah malam Rasulullah SAW bangun dari tidur dan langsung berwudhu dari kantong air terbuat dari kulit yang tergantung. Kemudia beliau sholat. Lalu aku bangun dan berwudhu dengan air yang tersisa dalam kantong air tersebut sebagaimana yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Kemudian aku sholat di samping kiri beliau. Rasul lalu menggeserkan aku ke sebelah kanannya.” (HR. Bukhori) Keteladanan adalah cara mendidik karakter yang paling baik dan hemat. Karena keteladanan tidak membutuhkan obral kata-kata dalam bentuk perintah, nasehat, debat, pemberian tugas, atapun sanksi. Bahasa keteladanan lebih fasih dari bahasa perintah dan larangan, atau reward and punishment, seperti ungkapan bahasa Arab “Lisan al-hal afshah
min lisan al-maqaal” (Bahasa perbuatan lebih fasih daripada bahasa perkataan). Karena itu para pendidik dari guru, dosen, orang tua, ataupun tokoh masyarakat harus berusaha semaksimal mungkin menjadi figur murobbi (baca: pendidik) yang teladan. Keteladanan pendidik akan sangat berarti guna mempengaruhi perkembangan mental dan sikap peserta didik. Pendidik tidak hanya mentransfer ilmu, tapi juga harus mampu menginternalisasi iman dan akhlak mulia. Pendidik tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi harus menjadi pengamal pertama dari ilmu yang diajarkan. Pendidk tidak hanya diakui sebagai orang baik di lembaga tempat mengabdi, tapi juga harus berakhlak mulia dan dipercaya di keluarga dan masyarakat. Untuk itulah Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M) dalam buku Ihya‟ Ulum al-Din mensyaratkan pendidik itu harus cerdas, berakal sempurna, berakhlak mulia, dan berfisik kuat. Selain keempat syarat utama ini, Al-Ghazali menambahkan delapan kriteria lain. Yaitu pendidik harus bersifat kasih sayang, tidak menuntut upah atas ilmu yang diajarkan, mampu mengarahkan peserta didik, menggunakan cara yang simpatik, bisa menjadi panutan dan teladan, memahami kemampuan individu tiap peserta didik yang pasti berbeda satu sama lain, memahami perkembangan jiwa anak, serta tidak melakukan
24
Jurnal Riset Pendidikan
Yiyin Isgandi
perbuatan yang bertentangan dengan apa yang diajarkan. (Al-Ghazali, 1979, h 170-181). Az-Zarnuji (w.1195 M) memperkuatnya dengan keharusan memiliki niat yang ikhlas dan keteladanan dalam akhlak terpuji, serta tidak sombong dengan ilmu.
Intensitas Berdo‟a Sebagai Usaha agar Allah Mengubah Anak Didik Menjadi Lebih Baik Pendidikan karakter selalu dikaji lewat kajian ilmu psikologi. Psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. Robert H. Thouless sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin (2007) dan Arifin (2008), mendefinisikan psikologi sebagai ilmu tentang tingkah laku dan pengalaman manusia. Menurut Plato dan Aristoteles psikologi adalah ilmu yang mempelajari hakikat manusia (Hidayati & Yudiantoro, 2007, h.1). Secara umum psikologi adalah sebuah ilmu yang meneliti dan mempelajari sikap dan tingkah laku manusia sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada dibelakangnya. Atau jika diperluas suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang aktivitas atau tingkah laku individu dalam hubungannya dengan sesama dan dengan alam sekeliling, seperti flaura dan fauna (Atkinson dkk, 1999, h. 25). Sementara prilaku yang berhubungan dengan Tuhan tidak diakui eksistensinya. Meski ada ilmu Psikologi Agama1 tapi validitas ilmiahnya diragukan oleh sarjana Barat. Padahal untuk mengetahui hakekat sebenarnya dari manusia dan prilakunya, seorang peneliti disamping mengamati prilaku manusia, ia harus memahami informasi yang meyakinkan dari Tuhan, Dzat Yang menciptakan manusia. Tentu dari Kitab yang asli, otentik, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Dengan pemahaman yang baik dari firman Tuhan yang ada di Al-Qur‟an dan penjelasan Rasulullah SAW dalam hadits, seseorang dapat memecahkan beberapa permasalahan terkait dengan prilaku manusia. Termasuk seberapa besar pengaruh do‟a kepada Allah dalam kesuksesan pendidikan karakter? Meskipun sulit membuktikan pengaruh do‟a pada karakter, tapi fakta sejarah dan realitas lapangan dapat menjelaskan dengan lebih meyakinkan. Dalam sejarah para nabi, Al-Quran menceritakan bahwa Nabi Zakaria As pernah berdo‟a, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi
uban dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau wahai Tuhanku. Sesungguhnya aku khawatir terhadap orang yang akan menggantikan sepeninggalanku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul. Kerana itu anugerahkanlah aku dari sisi 1
Psikologi Agama merupakan cabang ilmu psikologi yang meneliti dan mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan pengaruh keyakinan terhadap agama yang dianutnya serta dalam kaitannya dengan pengaruh usia masing-masing (Jalaluddin, 2007). Atau meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisme yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi, dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan masuk kedalam konstribusi kepribadiannya (Darajat, 2005, h.10).
25
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya‟kub dan jadikanlah ia wahai Tuhanku, seorang yang diridhoi.” Do‟a Nabi Zakaria As diterima oleh Allah dan dijanjikan dengan kelahiran seorang anak yang benar-benar diridhoi dan menjadi nabi, bernama Nabi Yahya As. Bahkan lebih dahsyat lagi Nabi Ibrahim As yang selalu intens menyelipkan dalam semua do‟anya agar Allah menjadikan anak-anak dan keturunanya tetap mendirikan sholat, tunduk patuh kepada Allah, dan tidak pernah menyembah berhala.2 Allah mengkabulkan do‟a Nabi Ibrahim As dengan dikaruniai dua putra yang sholeh bernama Nabi Isma‟il As dan Nabi Ishaq As. Dari keturunan beliau lahirlah para nabi hingga Nabi Muhammad SAW. Banyak fakta lain menunjukkan bahwa orang-orang sukses di dunia ini karena memiliki hubungan yang sangat baik dengan orang lain, terutama dengan kedua orang tua, dan mendapatkan do‟a dari mereka. B.J. Habibie pernah mengungkapkan rahasia suksesnya adalah dukungan do‟a dan kasih sayang dari dua wanita dalam hidupnya.“Saya jadi begini
karena dua orang wanita. Dua-duanya seorang ibu. Yang satu melahirkan saya dan yang satunya yang melahirkan anak-anak saya,” ucapnya dalam acara Temu Nasional UMK Nasabah UlaMM PNM di kediamannya, hari Rabu, 14 Januari 2014. Do‟a adalah suatu yang sederhana, tapi berpengaruh sangat besar. Rasulullah SAW meyakinkan umatnya dengan sabdanya,“Tidak ada yang dapat menolak ketentuan
(ketentuan Allah) selain do‟a. Dan tidak ada yang dapat menambah (memperpanjang) umur seseorang selain (perbuatan) baik.” (Hadits Riwayat at-Tirmidzi dari Salman al-Farisi, Sunan at-Tirmidzi, juz VIII, hal. 278, hadits no. 2289). Ketika seseorang divonis oleh dokter sakit yang tidak akan sembuh, maka pasti ia akan bergantung pada Allah dengan do‟a yang sering mengubahnya menjadi sembuh dengan izin Allah. Seperti hasil penelitian Dokter Arman Yurisaldi Shaleh yang dikutip oleh Cahyo (2011, 99-101) membuktikan bahwa pasien yang suka berdzikir mengalami perbaikan lebih cepat dibandingkan dengan pasien yang tidak suka berdzikir. Pelafalan dzikir bersama aliran darah saat pernafasan yang keluar dari mulut mengandung zat karbon dioksida. Zat karbon dioksida yang keluar dari otak dapat menghilangkan rasa nyeri, menumbuhkan ketenangan, dan kestabilan saraf pasien. Karena itu seorang pendidik tidak boleh putus asa saat mendidik karakter peserta didik. Pendidik harus berusaha sekuat tenaga dengan mengeluarkan seluruh kemampuan yang bersifat manusiawi. Tetapi juga harus konsisten berdo‟a kepada Allah dengan intensitas tinggi. Agar supaya jika tidak berhasil lewat usaha-usaha manusiawi, maka Allah mengubah karakter peserta didik menjadi lebih baik dan terus lebih baik melewati usaha
2
Do‟a-do‟a Nabi Ibrahim As diantaranya (QS. As-Shaffat: 100), (QS. Ibrahim: 39-41), (QS. AlBaqarah: 128)
26
Jurnal Riset Pendidikan
Yiyin Isgandi
do‟a. Sebab itulah Badruddin Ibn Jama‟ah (1241-1333 M), seorang ulama besar bidang fiqih, tasawwuf, dan pendidikan dari Mesir, mendetailkan kriteria bagi pendidik sukses dalam bukuTadzkirat al-Sami‟ wa al-Mutakallim fi Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim. Di antaranya pendidik harus berakhlaq mulia, seperti selalu patuh kepada Allah, khusu‟ dalam beribadah, memiliki wibawa, berpakaian rapi, menunjukkan kasih sayang dan kesabaran, selalu merasa berada dalam pengawasan Allah, dan tidak menjadikan profesi guru untuk menutupi kebutuhan ekonominya. Dalam bidang pedagogis, guru harus berdo‟a saat keluar rumah dan setiap memulai atau mengakhiri aktifitas pembelajaran, istiqomah mendo‟akan peserta didik, menguasai metode terbaik dalam mengajar, selalu memotivasi dan membangkitkan minat anak didik. Kemudian ia harus mengetahui situasi yang terjadi pada lingkungan sosial dan masyarakat, adil dalam memperlakukan anak didik, berupaya maksimal dalam menolong mereka mencapai pemahaman yang benar secara bertahap dan menurut skala prioritas saat memberikan materi. Di saat yang sama guru harus menguasai kompetensi bidang ilmu yang diajarkan. Keteladanan akhlak dan intensitas berdo‟a menjadi unsur paling penting untuk optimalisasi kesuksesan dalam pendidikan karakter. Secara ilmiah terdapat teoriThe Law of
Atraction (hukum tarik menarik), atau dalam ilmu psikologi dikenal dengan konsep psikologi positif. Yaitu gelombang pikiran otak akan selalu bergetar yang dihantarkan oleh gelombang elektromagnetik yang akan memancarkan energi ke seluruh alam semesta. Getaran pikiran ini akan selalu memancar tanpa henti dan menembus apapun tanpa halangan. Sehingga pikiran dari satu pihak akan mudah ditangkap oleh pikiran yang memancar pula dari pihak lain tanpa disadari. Akhlak terpuji seseorang akan mudah menular kepada orang lain di sekitar. Sebaliknya akhlak tercela lebih cepat menular kepada orang lain. Inilah proses hukum alam semesta saling bertemu dalam gelombang yang sama. Pikiran positif akan bertemu dengan pikiran positif. Pikiran negatif akan bertemu dengan pikiran negatif.
Kesimpulan
Keteladanan dan intensitas berdo‟a seorang pendidik sangat berpengaruh pada
keberhasilan dalam pendidikan karakter. Jika usaha-usaha rutinitas yang dilakukan oleh pendidik seperti motivasi, pembelajaran klasikal, pembelajaran insendental melalui kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler seperti SKI, Life Skill, perkemahan, dan ceramah agama sudah dilakukan dan kurang menghasilkan, maka pendidik harus menularkan akhlak mulia melalui keteladanan. Karena pembentukan karakter paling efektif adalah ditularkan dengan keteladanan. Peserta didik lebih bisa menirukan tingkah laku pendidik daripada melalui perintah dan nasehat. Di saat bersamaan pendidik harus intens berdo‟a kepada Allah agar 27
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Dia mengubah karakter peserta didik dari tidak baik menjadi baik, atau dari baik menjadi lebih baik dan terbaik.
Daftar Pustaka Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. (1979). Ihya‟ Ulum al-Din. Terjemah oleh Mohamad Zuhri, Muqoffin Muctar, M Muqorrobin Misbah. Jilid 1. Semarang: CV Asy Syifa‟. Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa. (2001). Al-Jami‟ al-Shahih Sunan al-Tirmidzi. Juz VIII. Beirut: Dar al-Fikr. Al-Zarnuji, Syeikh. (2006). Ta'lim al-Muta'allim Thariq al-Ta'allum. Surabaya: AlHaromain Jaya. Arifin, Bambang Syamsul. (2008). Psikologi Agama. Bandung: Pustaka Setia. Atkinson, Rita L, Richard C Atkinson, & Ernest R Hilgard. (1999). Pengantar Psikologi. Terjemah oleh Nurdjannah Taufiq dan Rukmini Barhana. Jakarta: Penerbit Erlangga. Budiningsih, C. Asri. (2004). Pembelajaran Moral. Jakarta: Rineka Cipta. Cahyo, A. N. (2011). Penjelasan-Penjelasan Ilmiah Tentang Dahsyatnya Manfaat IbadahIbadah Harian Untuk Kesehatan Jiwa dan Fisik Kita. Jogjakarta: DIVA Press. Darajat, Zakiah. (2005). Ilmu Jiwa Agama. Cet 17. Jakarta: Bulan Bintang. Hidayati, Heny Narendrany, dan Yudiantoro, Andri. (2007). Psikologi Agama. Cet. 1. Jakarta: UIN Jakarta Press. Ibn Jama‟ah, Badruddin. (2005). Tadzkirat al-Sami‟ wa al-Mutakallim fi Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim. Kairo: Maktabah Ibn Abbas. Jalaluddin. (2007) Psikologi Agama. Jakarta: PT. Rajagrafindo Perasada. Supriadi, Dedi. (1999). Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Samani, Muchlas. (2015). Guru, MBS, dan Kurikulum. Diakses pada 26 Mei 2015 http://muchlassamani.blogspot.com/2015/01/guru-mbs-dan-kurikulum.html Bouchard, Thomas J., David T Lykken, Matthew McGue, Nancy L Segal, & Auke Tellegen. (1979). Sources of Human Psychological Differences: The Minnesota Studi of Twins Reared Apart dalam Jurnal Science, New Series, Vol. 250, No. 4978 (Oct. 12, 1990). American Association for the Advancement of Science, diakses pada 26 Mei 2015 dari http://www.d.umn.edu/~jetterso/documents/ ScienceMNTwin Studies.pdf.
28
Jurnal Riset Pendidikan ISSN: 2460-1470
Ahmad Syafi’i
Utilizing Podcast For Assessing Reading Fluency Ahmad Syafi’i STKIP Al Hikmah Surabaya e-mail:
[email protected]
Abstrak Kemajuan teknologi telah merubah paradigma penilaian keterampilan berbahasa Inggris. Kefasihan membaca bisa di nilai dengan cara yang lain. Membaca nyaring secara tradisional di percaya sebagai alat penilaian yang paling efektif. Namun, beberapa penelitian membuktikan beberapa kelemahan cara ini. Oleh karena itu, podcast muncul sebagai instrumen alternatif untuk menilai kefasihan membaca. Sebagai tambahan, podcast menawarkan wilayah ekspolarasi yang lebih luas, khususnya dalam menilai ketrampilan berbahasa Inggris. Podcast mudah di buat. Beberapa penelitian menunjukkan keunggulankeunggulan podcast. Penelitian ini meneliti 15 podcast yang dibuat oleh mahasiswa dari program studi Matematika. Podcast tersebut di analisa untuk di guanakan menilai kefasihan membaca mereka. Multidimensial Fluency Scale di gunakan untuk menganalisa podcast tersebut. Kami simpulkan dengan beberapa rekomendasi penggunaan podcast sebagai intrumen alternatif penilaian kefasihan membaca. Kata kunci : podcast, menilai, membaca, kefasihan Abstract Technological advancement has greatly shifted the paradigm of assessing skills in English. Reading fluency could be assessed in different way. Reading aloud was traditionally believed as the most effective assesment tool. However, several studies reveals the weaknesses of it. Therefore, podcast appears as the alternative instrument for assessing reading fluency. Moreover, podcast offers huge area of exploration, especially in assessing skills in English. In addition to, podcast is easily generated. Several studies have revealed the advantages of it. This study investigates 15 podcasts generated by students from Mathematics Department. The podcasts were analyzed to assess their reading fluency. Multidimensional Fluency Scale was incorporated to analyze the podcasts. We conclude with several recommendation of utilizing podcasts as altenative instrument for assessing reading fluency. Keywords: podcast, assessing, reading, fluency Introduction In foreign language learning, reading is likewise a skill that teachers simply expect learner to acquire. Reading is something many of us take for granted (Grabe: 2009). If we reflect on our reading, we become conscious of other skills we have (Hughes:2003). Reading arguably the most essential skill for success in all educational contexts, remains of paramount importance as we create assessments of general language ability (Brown: 2004). In addition, reading is a complex process involving multiple linguistic and cognitive challenges. It is clear that the ability to read text effortlessly, quickly, accurately, and with expression plays an essential role in becoming a competent reader (Fuchs, et al; 2001).
29
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Furthermore, Rasinski (2004) stated that reading is a complex performance that requires simultaneous coordination across many tasks. There are four types of skills in reading. They are perceptive, selective, interactive and extensive. Each of category has distinctive features. However, this study focuses on the perceptive reading. Perceptive reading deals with the set of categories specified for listening comprehension, similar specifications are offerred here, except with some differing terminology to capture the uniqueness of reading. Perceptive reading tasks involve attending to the components of larger streches of discourse: letters, words, punctuation, and other graphemic symbols. Two strategies could be applied in reading. They are bootom-up strategies for processing separate letters, words, and
phrases.
While
top-down
strategies
are
conceptually
driven strategies
for
comprehension. Second, as part of that top down approach, second language reader must develop appropriate content and formal schemata – background information and cultural experience to carry out those interpretations effectively. To sum up, bottom up strategies could be applied in perceptive reading. Fluency in reading is the ability to read rapidly with ease and accuracy, and to read with appropriate expression and phrasing (Grabe:2009). Differences in reading fluency not only distinguish good readers from poor, but a lack of reading fluency is also a reliable predictor of reading comprehension problems (Hudson: 2005). In addition to, Pikulski (2005) stated that reading fluency refers to efficient, effective word-recognition skills that permit a reader to construct the meaning of text. Fluency is manifested in accurate, rapid, expressive oral reading and is applied during, and makes possible, silent reading comprehension. With instantaneous execution, reading fluency is achieved so that performance is speeded, seemingly effortless, autonomous, and achieved without much consciousness or awareness. Moreover, reading fluency can be assessed via isolated word lists or text. In addition, it may be tested under oral or silent reading conditions. Fluent reading comprises three key elements: accurate reading of connected text at a conversational rate with appropriate prosody or expression (Hudson, 2005). Rasisnski (2004) defines the ability to measure students’ level of achievement in fluency and monitor their progress is key to successful fluency teaching. He added that teachers need to be able to measure the effectiveness of their instruction in fluency; to do this, they need ways to assess student fluency validly and efficiently. Moreover, fluency assessments must have some degree of reliability and validity. Users of the assessments must be assured that the results they obtain are reliable – that the results will provide consistent measures of fluency and will not vary because of imperfections in the assessment itself. Users must also be assured that the assessments are valid – that they actually measure reading fluency. The
30
Jurnal Riset Pendidikan
Ahmad Syafi’i
assessments themselves should resemble the ways in which reading fluency is defined. Fluency is defined in terms of three key components: accuracy in reading, automaticity in reading, and prosody (or expression) in reading. Second, the assessments must be efficient in administration, scoring, and interpretation. Assessments should be as quick and easy to use as possible. Moreover, time given to assessment is usually time taken away from instruction. Thus, quick and easy assessments will allow teachers to gauge students’ progress and maximize teaching time so that academic progress can be made. Since current views suggest that reading fluency consists of three distinct components. 1. Decoding accuracy – the ability of readers to decode words accurately in text. 2. Automaticity – the ability of readers to decode words in text with minimal use of attentional resources. 3. Prosody – the ability of readers to appropriately use phrasing and expression. Multidimensional Fluency Scale was applied in this study. There are four dimensions on it. The following table describes the dimensions of the scale. Although fluency rubrics may not be as precise as assessments of decoding accuracy and reading rate, they do provide valid measurements of the third component of reading fluency – prosodic reading. In the hands of knowledgeable teachers, rubrics provide valid and reliable information on students’ development and progress in perceptive reading. They also provide teachers with tools for informing their own instruction and students with a method for guiding their own personal fluency development. To that extent, fluency rubrics are an ideal assessment tool – they provide assessment information that can also guide instruction. Table 1: Multidimensional Fluency Scale Dimension
1
2
3
4
Expression and Volume
Reads with little expressions or enthusiasm in voice. Reads words as if simply to get them out. Little sense of trying to make text sound like natural language. Tends to read in quiet voice.
Some expressions. Begins to use voice to make text sound like natural language in some areas of text but not others. Focus remains largerly on saying the words. Still reads in quiet voice.
Read with good expressions and enthusiasm throughout the text. Sounds like natural language. The reader is able to vary expression and volume to match his or her interpretationof the passage
Phrasing
Monotonic, with little sense of
Frequent two or three word
Sounds like natural language throughout the better part of the passage. Occasionally slips into expressionless reading. Voice volume is generally appropriate throughout the text. Mixture of run ons, mid
Generally well phrased, mostly 31
Jurnal Riset Pendidikan
Dimension
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
1 pharase boundaries, frequent word
Smoothness
Frequent extended pauses, hesitations, false starts, sound outs, repetitions, and/or multiple attempts
Pace (during sections of minimal disruption)
Slow and laborious
2
3
4
phrases giving the impression of choppy reading; improper stress and intonation that fail to mark ends of sentences and clauses Several rough spots in text where extended pauses,hesitations, etc are more frequent and disruptive
sentence pause for breath, and possibly for choppiness; reasonable stress/intonation
in clauses and sentence units, with adequate attention to expression
Occasional breaks in smoothness caused by difficulties with specific words and/ or structures.
Moderately slow
Uneven mixture of fast and slow reading
Generally smooth reading with some breaks, but word and structure difficulties are resolved quickly, usually through self-correction Consistently conversational
Adapted from “Training Teachers to Attend to Their Students’ Oral Reading Fluency,”by J. Zuttel and T.V. Rasinski, 1991, Theory into Practice, 30, pp. 211-217
As can be seen on the table above, reading fluency was assessed on the dimensions of expressions and volume, phrasing, smoothness, and pace. Score ranges from 4 to 16. Generally, scores below 8 indicate that fluency may be a concern. Score of 8 or above indicate that the student is making good progress of fluency. However, recent technological advancement might bring alternative instrument for assessing reading fluency. Podcasts could be an alternative instrument for assessing reading fluency. It provides the opportunity to practise, experiment, innovate, self-correct and improve (Thomson: 2007). Several studies has revealed the advantages of using podcast in higher education as stated by Nie (2008) that podcast offers several advantages as follows: 1. Providing cognitive and affective benefits Student-produced short podcasts could be used to address preconceptions and anxiety that students bring into the university classroom. These podcasts can provide both affective and cognitive benefits to student listeners. By producing their own podcasts, students would be able to develop their cognitive knowledge. Podcasts also would help them to reflect and improve their metacognition and by promoting collaborative knowledge building.
32
Jurnal Riset Pendidikan
Ahmad Syafi’i
2. Promoting reflection Listen to the podcasts and individually reflect on questions asked by peers, and they wrote reflective essays for assessment purposes. It showed how podcasting can enable reflection to take place by giving students the opportunity to come back to their original presentations, allowing them time and space to think over questions asked by peers. It also showed how students can learn from peers by taking their insightful questions and by learning how peers answered questions. 3. Fostering collaborative learning Student-generated podcasts offer the potential for promoting collaborative learning through voice interaction. It showed the collaborative learning opportunities
offered
by
student-
generated
podcasts
through
sharing
understanding, perspective-taking and negotiation of meaning among student producers. In addition to, student-contributed podcasts can foster a collaborative learning opportunity, by enabling listeners to take in information from different perspectives and opinions offered by producers. 4. Improving learner engagement and motivation Student-created podcasts were a method to engage learners and promote their learning motivation for a range of disciplines. Student-generated podcasts based on field trips, replacing conventional text-based field reports were used as a means for assessment to engage students with the field activity and enable them to produce field reports creatively. In addition to, comments from students indicated that they appreciated listening to discussion in a way which they saw as ‘a lot of fun’. To sum up, podcasts are usable in higher education. Moreover, recent discussion of student assessment has focused on ways of detecting and preventing inappropriate student behaviour and plagiarism. For this assessment task, podcast would be the appropriate choice. By using podcast, plagiarism is not possible because it is all about students’ creativity. Voice and styles of speaking are unique. During the process of creating their podcasts students learn a lot of other things simultaneously, so as well as being an authentic learning experience. Students have to practice a lot when creating the podcast and this is positive experience (Thomson: 2007). In this study, the students were asked to create podcasts to accomplish mid term assignments. The texts were taken from English for Reading module. Each student got different topic. They were math related topics. They were given a week to finish their podcasts. Then upload them into Schoology platform. Then, their podcasts were analyzed
33
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
using Multi Dimensional Fluency Scale. This current study was aimed to describing how podcasts can be utilized as an alternative instrument for assessing reading fluency of the students of Mathematic Department of STKIP Al Hikmah Surabaya.
Method The instrument applied in this study was 15 podcasts generated by students of Mathematic Department of STKIP Al Hikmah Surabaya. They had to create podcasts to accomplish mid term assignment. Each of student was given different text. The had to read the whole text. Then record their voice in the form of MP3. After that, they upload them into Schoology platform. Then, the podcasts were analyzed using Multi Dimensional Fluency Scale. There are four dimensions of fluency applied to analyze the podcasts. They are expression and valume, phrasing, smoothness and pace. Those dimensions were believed to be able to assess the factual fluency of the students. The participants of this study were 15 students of Mathematic Department of STKIP Al Hikmah Surabaya. They were attending English for Reading course this semester. This study was conducted from mid April to mid May 2015.
Findings Using Multidimensional Fluency Scale, this study has identified four dimensions of fluency. They are expression and volume, phasing, smoothness and pace. Having listened to the podcasts generated by the students, here is the result of the analysis. Table 2: Student Reading Fluency Dimensions Participants
Expression and Valume
Phrasing
Smoothness
Pace
Total Score
Student 1
1
1
2
2
6
Student 2
1
1
1
2
5
Student 3
2
1
2
2
7
Student 4
1
2
2
2
7
Student 5
2
2
2
2
8
Student 6
2
2
2
2
8
Student 7
2
2
2
2
8
34
Descriptor fluency may be a concern fluency may be a concern fluency may be a concern fluency may be a concern good progress of fluency good progress of fluency good progress of fluency
Jurnal Riset Pendidikan
Ahmad Syafi’i
Student 8
2
1
1
2
6
Student 9
1
2
2
1
6
Student 10
2
1
1
2
6
Student 11
1
1
2
2
6
Student 12
2
1
1
2
6
Student 13
1
2
1
2
6
Student 14
1
1
1
2
5
Student 15
2
1
1
2
6
fluency may be a concern fluency may be a concern fluency may be a concern fluency may be a concern fluency may be a concern fluency may be a concern fluency may be a concern fluency may be a concern
Discussions
1. Expression and Volume Based on the table above, it can be concluded that 46% of the students read with little expressions or enthusiasm in voice. They read words as if simply to get them out. They had little sense of trying to make text sound like natural language. They also tended to read in quiet voice. 54% of the students began to use voice to make text sound like natural language in some areas of text but not others. Their focus remains largerly on saying the words. Furthermore, they still reads in quiet voice. It was a classic problem for non-English speakers who deal with authentic text. Their limited vocabulary also contributed on it. Consequently, the students tended to read in lower volume. Basically podcast could help them deal with this problem. It was because they did not have to read with otherr. They might read at anytime and anywehere. Furthermore, unfamiliar spelling and pronunciation were believed to be the contributors.
2. Phrasing As can be seen on the table above, it can be concluded that 60% of the students were still monotonic, with little sense of pharase boundaries, frequent word. And 40 % of the students still did mistakes in reading two or three word phrases frequently. It gave the impression of choppy reading; improper stress and intonation that fail to mark ends of sentences and clauses were still done by the students.
3. Smoothness From the table above, it can be concluded that 46% of students were still doing frequent extended pauses, hesitations, false starts, sound outs, repetitions, and/or
35
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
multiple attempts. And 54% of the students did several rough spots in text where extended pauses, hesitations, etc are more frequent and disruptive.
4. Pace From the above table, it can be concluded that 6% of the students were very slow and laborious. And 94% of the students were moderately slow. To sum up, 6% of the students were still making progress with their fluency. And 94% of the students were still facing difficulties in achieving fluency in reading. In other words, reading still become a big problem, especially for non English students. Their knowledge on letters, phrases, punctuation, intonation, etc is still very limited. Actually podcasts were expected to raise their motivation and confidence in reading. It is because they could record their reading at anytime and any place. They did not have to stick inside the classroom. However, they lacked of practices. They did not record, revise and re-record their reading.
Conclusions and Suggestions In conclusion, fluency is more than reading fast: it is reading at an appropriately fast rate with good expression and phrasing that reflects solid understanding of the passage. Since fluency is multidimensional, methods of assessment must capture its multidimensional nature. The result of the study reveals that the majority of the students of Mathematic Department are still having problem with fluency. 94 % of students needs to improve their fluency, especially in the area of expression and volume, phrasing, smoothness and pace. Only 6 % of students were making good process of fluency. Phrasing was the most serious problem encountered by the students. It was caused by the limitation of knowldge. Podcasts could be an appropriate alternative instrument of assessment for some reasons. The first one is that podcast is easily generated. Lots of free softwares are available, such as Audacity. Podcast allows students to practice reading at any time and anywhere. It is expected to build their confidence. Podcast also reinforces creativity and the audios produced are always authentic. In short, podcast can be applied as reliable and valid instrument of assessment. The findings of this study suggest the teachers or lecturers to deal with dimensions of fluency. It is multideminsional. Each dimension is inseparable. So, the students must be intensively trained to achieve those dimensions. However, reading fluency takes process. So the students must practice a lot. Furthermore, the production of podcast needs to be improved. There must a team that work together in it. Therefore, the result will be better.
36
Jurnal Riset Pendidikan
Ahmad Syafi’i
References Brown, Douglas.H. (2003). Language Assessment: Principles and Classroom Practices. California: Longman Pearson Education. Fuchs, Lynn S et all. (2001). Oral Reading Fluency as an Indicator of Reading Competence: A Theoretical, Empirical, and Historical Analysis. SCIENTIFIC STUDIES OF READING, 5(3), 239–256. Grabe, William. (2009). Reading in a Second Language: Moving from Theory to Practice. Cambridge University Press. Hudson, Roxanne F. (2005). Reading fluency assessment and instruction; What, why, and how?. The Reading Teaher; May 2005; 58,8; Research Library Core p.702 Hughes, Arthur. (2003). Testing for Language Teacher. Cambridge University Press. Nie, Ming, et.al. (2008). The educational value of student- generated podcasts. ALT-C 2008 Research Proceedings. Pikulski, John J. (2005). Fluency: Bridge between decoding and reading comprehension. The Reading Teacher 58 no 6 pp. 510-19. Rasinski , Timothy V. (2004). Assessing Reading Fluency. Hawaii: Pacific Resources for Education and Learning. Thompson, L. (2007). Podcasting: The ultimate learning experience and authentic assessment. Singapore: National Institute of Education
37
Jurnal Riset Pendidikan ISSN: 2460-1470
Agustin Ernawati
Penggunaan Video untuk Mengembangkan Kemampuan Mahasiswa Calon Guru Matematika dalam Menjelaskan Materi Agustin Ernawati STKIP Al Hikmah Surabaya e-mail:
[email protected]
Abstrak Pengembangan penelitian tentang penggunaan video kasus pembelajaran di kelas telah dilaksanakan para pakar pendidikan dalam menyiapkan para pendidik yang profesional. Namun demikian, membantu guru mengembangkan keterampilan menjelaskan materi matematika sekolah merupakan pekerjaan rumah yang menuntut untuk segera diselesaikan. Artikel ini menyajikan kerangka umum penelitian tentang penggunaan video pembelajaran di kelas kecil dalam membantu mahasiswa calon guru matematika (mathematics pre-service teachers) mengembangkan kemampuan menjelaskan materi melalui kegiatan pendampingan Induksi Guru Senior (IGS). Kegiatan ini dilaksanakan melalui diskusi intensif antara mahasiswa dengan dosen selaku fasilitator, dalam hal ini penulis, menggunakan video pembelajaran yang dilaksanakan mahasiswa tersebut. Kata Kunci: video kasus pembelajaran, keterampilan menjelaskan materi Abstract The development of case studies on the use of video in the classroom have been implemented by education experts in preparing professional educators. However, helping teachers develop their skills in explaining school math materials is a homework that requires to be solved. This article presents a general framework for research on the use of video learning in small classes to help students (mathematics pre-service teachers) develop their skill through mentoring activities in the name of Induction Senior Teacher (IGS). These activities are carried out through intensive discussions between students and lecturers as a facilitator, using video teaching of the student performed. Keywords: video case study, teaching delivery skills Pendahuluan Berbagai studi tentang efektivitas penggunaan video kasus dalam membantu menyiapkan guru profesional telah dilaksanakan oleh para pakar pendidikan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (Borko, Jacobs, Eiteljorg, & Pittman, 2008; Kale, 2008; Öksüz, Uça, & Genç, 2009; So, Pow, & Hung, 2009; van Es & Sherin, 2008). Borko et al. (2008) telah melakukan studi tentang penggunaan video dalam membantu para guru mengevaluasi kegiatan pengajaran mereka serta mampu melihat sisi-sisi mana saja dalam pengajarannya perlu untuk ditingkatkan. Kegiatan ini memotivasi para guru untuk terus belajar, meningkatkan keterampilan mengajar serta memberikan layanan yang lebih baik terhadap siswa.
38
Jurnal Riset Pendidikan
Agustin Ernawati
Koc, Peker, and Osmanoglu (2009) dalam studinya menemukan bahwa kasus telah digunakan untuk berbagai tujuan dalam pendidikan guru paling sedikit selama dua dekade, diantaranya untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memperbaiki dan meningkatkan
penalaran,
menfasilitasi
kemampuan
pengambilan
keputusan,
mengembangkan pengetahuan pedagogi dan keprofesionalan, membangun keterampilan metakognitif, dan menjembatani kesenjangan antara teori dan praktek. Ludenberg, Levin & Harrington, dalam artikel yang ditulis Koc et al. (2009), berpendapat bahwa penggunaan kasus dalam pendidikan guru memberi kesempatan bagi guru menerapkan pengetahuan teoretis dan praktis mereka ke dalam konteks kelas. Sedangkan Bencze et al dalam artikel yang sama juga menegaskan bahwa mempelajari kasus berpotensi untuk mengurangi kesenjangan antara teori dan praktek. Seiring perkembangan teknologi, kasus dapat disajikan melalui video dan penyajian melalui video mempunyai kelebihan tersendiri. Seperti dikemukan oleh Koc et al. (2009) bahwa video kasus adalah alat yang berguna untuk pendidikan guru dengan beberapa alasan berikut. Video kasus memungkinkan guru melihat karakteristik sebuah kelas nyata dan menyediakan sebuah konteks bagi calon guru dalam menyiapkan pembelajaran yang sesungguhnya di kelas nyata. Selain itu, melalui video kasus memungkinkan calon guru melihat kompleksitas dan kekayaan dari suatu setting kelas nyata dengan menangkap setiap suara, bahasa tubuh, interaksi, serta gambaran tentang lingkungan pembelajaran yang lebih realistik. Kaji literatur yang dilakukan Koc dkk juga menunjukkan bahwa video kasus berpotensi dalam merangsang diskusi tentang praktek-praktek pengajaran dan membantu guru membuat hubungan yang lebih baik antara teori dan praktek. Kebutuhan akan belajar bagaimana mengajar di kelas nyata di samping belajar teori mengajar dirasakan sangat penting dari waktu ke waktu oleh mahasiswa calon guru STKIP Al Hikmah Surabaya. Sejak tahun-tahun pertama masa studi, secara terjadwal mahasiswa telah dikenalkan dengan iklim akademik sekolah baik SMP maupun SMA dalam wadah kegiatan Induksi Guru Senior (IGS). IGS merupakan program khusus yang dikemas dalam bentuk magang mahasiswa kepada guru-guru SMP dan SMA Al Hikmah, selanjutnya disebut sebagai guru model. Secara langsung mahasiswa dihadapkan pada berbagai kasus pembelajaran di kelas baik yang rutin maupun nonrutin serta penanganannya. Sebagian mahasiswa menyampaikan bahwa beberapa kasus seringkali merupakan hal baru yang belum mereka pelajari selama perkuliahan. Sementara itu, ada juga yang menyatakan bahwa melalui IGS mereka mampu menangkap beberapa hal yang sejalan dengan teori yang mereka pelajari. Dengan kata lain kegiatan IGS mampu memberikan ruang belajar bagi mahasiswa tentang kegiatan belajar mengajar di sekolah nyata.
39
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Selama kegiatan IGS mahasiswa mengamati kegiatan pembelajaran yang berlangsung di kelas guru model, dalam hal ini kegiatan pembelajaran matematika. Dengan bekal
logbook, mahasiswa merekam setiap informasi yang diperoleh selama pengamatan berlangsung. Beberapa mahasiswa menyatakan bahwa temuan di kelas selama IGS merupakan bahan diskusi mahasiswa dengan sesama mahasiswa, mahasiswa dengan guru model bahkan dengan dosen. Diskusi intensif terkait hasil pengamatan dilaksanakan mahasiswa dengan dosen pendamping IGS segera setelah kegiatan IGS usai. Lebih lanjut, secara terbimbing setiap mahasiswa berlatih merancang dan mengembangkan sebuah skenario pembelajaran serta melaksanakan skenario tersebut secara bergantian dan terjadwal dengan teman sejawat sebagai siswa model dalam wadah microteaching. Diskusi lebih lanjut terhadap hasil pelaksanaan microteaching mengkerucutkan pada kebutuhan mahasiswa terhadap penguasaan keterampilan mengajar di samping penguasaan materi ajar. Kebutuhan ini memberikan tantangan bagi penulis untuk merancang sebuah kegiatan pendampingan yang lebih memfokuskan pada pengembangan keterampilan menjelaskan materi. Dengan harapan bahwa mahasiswa prodi Pendidikan Matematika STKIP Al Hikmah Surabaya sebagai pastisipan mampu merasakan apa yang telah dirasakan „para guru yang telah terfasilitasi‟ seperti yang dijelaskan pada uraian di awal, penulis memiliki keyakinan yang kuat tentang penggunaan video kasus pembelajaran di kelas dalam membantu mahasiswa
meningkatkan kompetensi pedagogis khususnya dalam
membantu siswa belajar melalui penyajian materi sekolah yang efektif. Dalam studi ini, video kasus yang digunakan adalah video kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakan oleh mahasiswa yang bersangkutan. Oleh karena itu, penggunaan video kasus dalam pengembangan keterampilan menjelaskan materi merupakan fokus pada makalah ini. Mengapa demikian? Karena penulis memiliki keyakinan bahwa melalui diskusi tanya-jawab yang menekankan pada pengajuan pertanyaan yang dilakukan penulis dalam menganalisis video pembelajaran bersama mahasiswa dapat memberikan pemahaman yang baru bagi mahasiswa tentang pentingnya kemampuan menjelaskan materi dalam mendorong terjadinya proses belajar siswa.
Video Kasus Pembelajaran Brophy dalam Borko et al. (2008) menyatakan bahwa penggunaan video dalam pengembangan profesionalme guru “sangat menjanjikan” karena kemampuannya yang unik untuk menangkap kekayaan dan kompleksitas ruang kelas yang dapat digunakan untuk analisis lebih jauh. Hal ini sejalan dengan pendapat Sherin pada tulisan yang sama bahwa video memungkinkan seseorang untuk memasuki “dunia kelas” tanpa harus berada
40
Jurnal Riset Pendidikan
Agustin Ernawati
pada posisi sebagai pengajar. Hal lain yang dapat tertangkap video adalah kondisi kelas yang tidak memungkinkan guru untuk mengamati secara seksama di tengah-tengah melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan lebih jauh lagi tatanan sosial kelas juga dapat tertangkap video. (Clarke & Hollingsworth; LeFevre dalam Borko et al. (2008)). “I think this [watching and discussing video clips] was the single most valuable
part of the STAAR program. I have learned the most about my teaching by watching my teaching practice. Even better, though, was watching others teach a lesson that I also taught. My ideas have been sparked by others in this group. Having a safe place to watch ourselves and not feel like we werebeing criticized or evaluated was critical also.” (diadopsi dari Borko et al. (2008)) Kutipan pernyataan di atas disampaikan oleh seorang guru selaku peserta (partisipan) di akhir program pengembangan profesionalisme guru selama dua tahun yang telah dilaksanakan oleh Borko et al. (2008). Berdasarkan kutipan di atas tampak bahwa guru mengungkapkan pengalaman belajarnya dengan melihat video pembelajaran dirinya sendiri maupun orang lain. Selain itu, beliau merasakan kenyamanan dalam melihat video tersebut dan tidak merasakan bahwa seolah-olah sedang dikritisi dan dievalusi bagaimana pengajarannya. Dalam artikel yang sama, Borko et al. (2008) menambahkan bahwa kegiatan tersebut dapat meningkatkan pengetahuan profesionalime guru tentang bagaimana mengajar, meningkatkan kegiatan belajar di kelas serta mampu membantu siswa dalam pencapaian hasil belajarnya. Manfaat yang hampir sama terhadap efektivitas forum diskusi terkait video kasus pembelajaran dalam program pengembangan profesionalisme guru juga diungkapkan oleh Koc et al. (2009) dalam artikelnya. Koc et al. (2009) menyebutkan bahwa diskusi menggunakan video kasus pembelajaran merupakan “alat produktif” yang membantu guru untuk lebih memperkuat hubungan antara teori dan praktek. Pernyataan ini diperkuatkan dengan dokumentasinya ketika guru mampu menangkap berbagai aspek pengajaran matematika yang disajikan melalui video tersebut. Manfaat lain yang disampaikan Koc et al. (2009) adalah tampaknya kemampuan guru dalam membuat hubungan antara apa yang mereka pelajari di bangku kuliah dengan apa yang mereka lihat dari video yang disajikan. Bahkan, mereka mampu mengidentifikasi aspek lain seperti pemahaman siswa dan ketercapaian pembelajaran. Manfaat-manfaat ini tentu tidak akan tampak tanpa kemasan diskusi yang dilaksanakan. Lebih jauh, Koc et al. (2009) mengemukakan empat kriteria agar diskusi menggunakan video kasus pembelajaran berjalan efektif yaitu berkelanjutan (sustainability), fokus terhadap tujuan diskusi, keterkaitan antar topik diskusi yang mengindikasikan kekayaan (richness) diskusi dan
41
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
keberadaan berbagai level peran peserta diskusi (guru) yang mengindikasikan kedalaman topik diskusi.
Keterampilan Menjelaskan Materi Amanah Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan dasar dan menengah. Secara praktis, Musbikin (2010) menyatakan bahwa peran dan tugas guru masa depan ada tiga yaitu sebagai pengajar (instructional); pendidik (educator) dan sebagai pemimpin (managerial). Dalam mengajar terdapat dua komponen pokok yang harus dikuasai oleh seorang guru, yaitu menguasai materi/bahan ajar yang akan diajarkan (what to teach) dan menguasai metode/cara untuk membelajarkannya (how to teach). Keterampilan dasar mengajar (generic teaching skills) atau dikenal dengan keterampilan dasar teknik instruksional termasuk dalam aspek kedua yaitu cara membelajarkan siswa. Keterampilan dasar mengajar merupakan keterampilan kompleks yang merupakan integrasi utuh dari berbagai keterampilan yang sangat berperan dalam keberhasilan kegiatan belajar mengajar, salah satunya adalah keterampilan menjelaskan materi. Menjelaskan berarti mengorganisasi materi ajar dalam tata urutan yang terencana secara sistematis, sehingga dengan mudah dapat dipahami siswa. Kegiatan ini bertujuan untuk: 1) membimbing siswa memahami konsep, hukum, prinsip maupun prosedur; 2) membimbing siswa menjawap pertanyaan “mengapa” secara bernalar; 3) melibatkan siswa terlibat dalam penalaran; 4) mendapatkan balikan mengenai pemahaman siswa; serta 5) membantu siswa menghayati proses penalaran. Keterampilan menjelaskan terdiri dari berbagai komponen berikut. 1) Komponen merencanakan penjelasan yang mencakup: a) materi pokok yang dipilih dan disusun secara sistematis disertai dengan contohcontoh, dan b) hal-hal yang berkaitan dengan karakteristik siswa. 2) Komponen menyajikan penjelasan yang mencakup berikut. a) Kejelasan, yang dapat dicapai dengan bahasa yang jelas, berbicara yang lancar maupun penyampaian definisi istilah-istilah teknis dan berhenti sejenak untuk melihat respon siswa. b) Penggunaan contoh dan ilustrasi yang dapat mengikuti pola pikir induktif atau deduktif.
42
Jurnal Riset Pendidikan
Agustin Ernawati
c) Pemberian tekanan pada bagian yang penting dengan penekanan suara, membuat ikhtisar, atau mengemukakan tujuan. d) Balikan terhadap penjelasan yang diberikan dengan melihat mimik siswa atau mengajukan pertanyaan. Terkait dengan kemampuan ini, seorang guru harus memahami terlebih dahulu karakteristik dari materi yang akan diajarkan, sehingga dapat menentukan cara penyampaian materi yang sesuai. Berikut disajikan beberapa jenis pengetahuan dan saran pengajaran yang sesuai. 1) Pengetahuan deklaratif; berupa pengetahuan tentang hal-hal yang faktual seperti fakta, generalisasi, teori. 2) Pengetahuan prosedural; berupa pengetahuan tentang tahapan yang harus dilakukan (proses). 3) Pengetahuan kondisional; berupa aplikasi kedua jenis pengetahuan di atas, dengan kata lain pengetahuan ini terkait kapan suatu prosedur/skills/strategi digunakan dan mengapa lebih baik dari lainnya. 4) Pengetahuan
konseptual;
berupa
pengetahuan
kategori
dan
klasifikasi
serta
keterhubungan atau keterkaitan gagasan yang menjelaskan dan makna pada prosedur matematika. Untuk memahami pengetahuan ini dapat dilakukan menggunakan model konrit atau semikonkrit. Selain beberapa hal di atas, dalam menerapkan keterampilan menjelaskan perlu diperhatikan beberapa hal berikut. 1) Penjelasan dapat diberikan pada awal, tengah atau akhir pelajaran sesuai dengan keperluan. 2) Penjelasan harus sesuai dengan tujuan. 3) Materi yang dijelaskan harus bermakna. 4) Penjelasan yang diberikan sesuai dengan kemampuan dan latar belakang siswa.
Pengembangan Keterampilan Menjelaskan Materi melalui Penggunaan Video Kasus Pembelajaran Dalam studi ini, sebuah video pembelajaran matematika akan dianalisis oleh seorang pengamat, dalam hal ini penulis sendiri. Video yang digunakan merupakan video pembelajaran matematika yang dilaksanakan mahasiswa ketika kegiatan microteaching. Mahasiswa yang terlibat dalam video pun merupakan mahasiswa yang akan terlibat dalam kegiatan pendampingan.
43
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Analisis video dilakukan untuk menemukan kejadian-kejadian dalam pembelajaran yang mengindikasikan bahwa mahasiswa sedang menjelaskan materi. Analisis video yang dimaksud disini adalah penulis akan menyaksikan video pembelajaran tersebut secara keseluruhan. Kemudian, video itu akan diputar ulang beberapa kali sesuai dengan kebutuhan pengamat. Pengulangan ini dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas pause-
play, rewind-fast forward yang tersedia dalam video player. Selama menyaksikan video tersebut, penulis dapat menghentikan, memainkan, mempercepat dan memperlambat video untuk menangkap maksud dari bagian-bagian video tersebut. Bagian-bagian video yang dimaksud di sini adalah kejadian-kejadian yang menunjukkan aktivitas menjelaskan materi. Aktivitas-aktivitas ini akan dianalisis dan diadopsi per bagian untuk dibuat sebuah video clip yang akan digunakan penulis berdiskusi dengan mahasiswa. Selama tahap analisis video ini, penulis selanjutnya akan menyusun daftar pertanyaan yang akan diajukan kepada mahasiswa. Pertanyaan-pertanyaan yang dibuat penulis akan dikonsultasikan kepada rekan sejawat atau salah satu pakar pendidikan yang telah berkecimpung dalam program pengembangan profesionalisme guru. Setelah melakukan analisis tersebut, penulis dengan mahasiswa duduk bersama untuk menyaksikan video pembelajaran tersebut. Awalnya video akan diputar secara penuh untuk memberikan ruang bagi mahasiswa mengeksplorasi kegiatan pembelajaran yang telah dilaksanakannya selama microteaching. Selanjutnya, dengan menghentikan dan memainkan video pada bagian-bagian tertentu yang telah ditentukan, penulis akan memfokuskan diskusi pada bagian tersebut. Proses semacam ini sejalan dengan proses yang telah dilakukan oleh Borko dkk (2008). Setelah kegiatan diskusi ini, penulis akan mendampingi guru
yang
bersangkutan
untuk
merancang
pembelajaran
selanjutnya
kemudian
mendokumentasikan pelaksanaan video tersebut, lalu melakukan analisis serta merancang pertanyaan kemudian diskusi intensif kembali dengan mahasiswa. Selama proses diskusi tersebut, penulis akan mendokumentasikan keseluruhan jalannya diskusi sebagai bahan penulis untuk merancang pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan kepada partisipan pada diskusi selanjutnya. Data ini diperoleh dengan menggunakan voice recorder maupun video recorder, dan data ini juga merupakan bahan analisis hasil untuk mengetahui sejauh mana kegiatan pendampingan melalui penggunaan video kasus ini dalam membantu mahasiswa mengembangkan keterampilan menjelaskan materi. Catatan lapangan penulis juga akan menjadi data pendukung lain dalam kegiatan analisis. Koc et al. (2009) dalam artikelnya mengungkapkan bahwa program pengembangan profesionalisme guru melalui diskusi video kasus pembelajaran memiliki beberapa
44
Jurnal Riset Pendidikan
Agustin Ernawati
keterbatasan. Keterbatasan pertama adalah dalam hal pemilihan video yang relevan dengan topik yang didiskusikan, peran peneliti sekaligus fasilitator program yang dapat memungkinkan adanya bias terhadap analisis hasil program, serta gambaran data yang kurang representatif menggambarkan bagaimana proses partisipan berpikir dan belajar selama mengikuti program. Untuk mengatasi ketiga hal ini Koc et al. (2009) memberikan beberapa saran bagi peneliti lain yaitu keanekaragaman kasus yang disajikan dalam video pembelajaran sehingga akan memperkaya topik diskusi, penggunaan berbagai alternatif metode dan sudut pandang teoritis dalam menangkap berbagai aspek interaksi partisipan dan hasil program, serta keberlanjutan diskusi antar partisipan meskipun program telah selesai untuk melihat apakah partisipan tetap mengembangkan hubungan antara teori dengan praktek pembelajaran nyata.
Diskusi dan Simpulan Berdasarkan hasil tinjauan di atas tampak bahwa penggunaan video kasus pembelajaran mahasiswa calon guru matematika memiliki kemungkinan yang besar dalam membantu mahasiswa mengembangkan keterampilan menjelaskan materi. Besar harapan dengan diskusi menggunakan video ini mahasiswa mampu menjelaskan materi yang mendorong siswa berpikir. Mengingat pentingnya diskusi dalam penggunaan video ini maka beberapa hal perlu dipertimbangkan sebelum melaksanakan diskusi dengan guru diantaranya sebagai berikut. 1) Penulis perlu menyaksikan video secara seksama dan cermat dalam menyeleksi bagianbagian dalam video yang menampilkan kegiatan menjelaskan materi guru. 2) Dengan tidak mengurangi tujuan utama diskusi, penulis perlu berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan, agar tidak terkesan bahwa mahasiswa sedang dikritisi maupun diinterogasi. Dengan kata lain menciptakan kondisi yang nyaman bagi mahasiswa merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan diskusi. 3) Mahasiswa perlu diberikan ruang yang sebebasnya untuk bertanya dan mengeksplorasi video pembelajarannya.
Daftar Pustaka Borko, H., Jacobs, J., Eiteljorg, E., & Pittman, M. E. (2008). Video as a tool for fostering productive discussions in mathematics professional development. Teaching and Teacher Education, 24(2), 417-436. doi: 10.1016/j.tate.2006.11.012 Kale, U. (2008). Levels of interaction and proximity: Content analysis of video-based classroom cases. The Internet and Higher Education, 11(2), 119-128. doi: 10.1016/j.iheduc.2008.06.004
45
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Koc, Y., Peker, D., & Osmanoglu, A. (2009). Supporting teacher professional development through online video case study discussions: An assemblage of preservice and inservice teachers and the case teacher. Teaching and Teacher Education, 25(8), 1158-1168. doi: 10.1016/j.tate.2009.02.020 Öksüz, C., Uça, S., & Genç, G. (2009). Designing multimedia videocases to improve mathematics teaching with technology: “technology integration into mathematics education” project. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 1(1), 489-494. doi: 10.1016/j.sbspro.2009.01.089 So, W. W.-m., Pow, J. W.-c., & Hung, V. H.-k. (2009). The interactive use of a video database in teacher education: Creating a knowledge base for teaching through a learning community. Computers & Education, 53(3), 775-786. doi: 10.1016/j.compedu.2009.04.018 van Es, E. A., & Sherin, M. G. (2008). Mathematics teachers‟ “learning to notice” in the context of a video club. Teaching and Teacher Education, 24(2), 244-276. doi: 10.1016/j.tate.2006.11.005
46
Jurnal Riset Pendidikan ISSN: 2460-1470
Faishol Hadi
An Analysis of ESL Students’ Segmental Phonemes in Pronunciation Class Faishol Hadi STKIP Al Hikmah Surabaya e-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini menyajikan sebuah analisa tentang kesulitan mahasiswa dalam melafalkan segmental phonemes Bahasa Inggris, terutama dalam kelas pronunciation. Partisipan dalam penelitian ini adalah 10 mahasiswa program studi Bahasa Inggris yang telah mengikuti perkuliahan prounciation practice. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data penelitian diperoleh melalui observasi, wawancara, dan rekaman suara mahasiswa. Rekaman suara mahasiswa kemudian dianalisa untuk memperoleh data mengapa mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengucapkan beberapa segmental phonemes Bahasa Inggris. Berdasarkan dari analisa data, perbedaan segmental phonemes Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia menyebabkan mahasiswa mengalami kesulitan dalam melafalkan segmental phonemes Bahasa Inggris. Kata kunci: mahasiswa ESL, pronunciation, segmental phonemes Abstract This study is about an analysis of students’ difficulty in pronouncing English segmental phonemes, particularly in pronunciation class context. the participants of this study was ten students of English Department of Al Hikmah Teacher Institute which has accomplished pronounciation practice course. This study was qualitative research. The data were collected by observation, interviews and recording. Students’ recording was analyzed to get the data why they face difficulty in producing several English segmental phonemes. According to the data analysis, the differences segmental phonemes between English and Bahasa Indonesia causes students’ difficulty in pronouncing several English segmental phonemes. Keywords: ESL students, pronunciation, segmental phonemes Introduction Learning second/foreign language (L2), English on this case, is more complicated than learning mother tongue (L1). The students who are learning English as second language frequently many years to understand the second language itself. Since language involves receptive skills and productive skills, most students feel that mastering productive skill is more difficult than receptive skill. In learning English as productive skill, the students are not only required to enable apply the language in form of written form, but they are also demanded to be able to use the language in spoken way. Dealing with mastering spoken language, since the students are not living in natural English environment, they face
47
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
difficulties in getting exposure of the language itself. Furthermore, the students can not learn and master the native pronunciation and accent accurately (Richards & Scmidt, 2010). Mastering English pronunciation is one of the aspects to master spoken language. ESL learners who are learning English as spoken language have to do great effort to master this competence. Learners have to practise English as second language hard since the interference of the first language system becomes a barrier in mastering second language system, Brown (2000).The difference sound system between English and mother tongue (L1) becomes the main reason why every single learner is required to learn and practise English pronunciation hard. As stated by Goldsmith (1995), each language has different structure system. Consequently this different causes ESL learners face difficulty in learning English. ESL learners are not considered succesfully master English pronunciation when they are able to master the sound of single word in single time accurately, but they are considered master English pronunciation when they are able to practise it in a phrase or sentence accurately and consistently. The English pronunciation components are divided into segmental phonemes and suprasegmental phonemes. Segmental phonemes consist of vowel and consonant, suprasegmental phonemes, on the other side, has stress and intonation. In learning and practising English pronunciation, ESL learners are frequently failed in segmental components. The difference number of vocal and consonant sounds between English and mother tongue (L1) becomes the main factors of this difficulty. In other words, ESL learners are able to produce English sounds easily when they are also exist in their native (L1) sound system. When the sounds do not exist in their native (L1) they have to do great effort to practise pronouncing them accurately and consistently. From brief background above, therefore this study will focus on how ESL learners, on this context Indonesian students of English department master English pronunciation in term of learning and practising the segmental phonemes. Since ESL learners of Indonesia come from different cultures, a student must have different mother tongue from others. The difference sound system of mother tongue must bring variety difficulty in mastering English pronunciation, and it also determines the successful of learning English pronunciation.
Pronunciation Children generally learn pronunciation from imitation and mimicry. They pronounce or produce single word from their surroundings or environment especially from their parents. They are able to articulate sound of words after they hear from their parents’
48
Jurnal Riset Pendidikan
Faishol Hadi
articulation. They start to articulate sound of words which has short syllables. When they have grown up and their articulator capabilty is higher, they are able to pronounce longer words which have longer syllables. Children are able to pronounce clear sound of a word due to the fact that they copy a good sound quality of words from their environment (Kuhl, 1987). Their capability in imitating good quality sound is not only in term of copying consonant sounds but also copying clear vowel sounds. Therefore, this study will only consider the discussion of segmental phonemes of English as the salient components in mastering English pronunciation.
1. Consonants Consonants and vowels in English pronunciation components are included
in
segmental phonemes. According to (Roach, 1983), there are 44 sounds in the British English language sound system, which are 24 consonants and 12 vowels. In line (Kelly, 2001) states that there are 24 consonants of English sound. the detail of consonant sounds including is given in Table 1. Table 1: English Consonants (Kelly, 2001)
2. Vowels Vowel sounds are all voiced. Vowels are produced when the airstream is voiced through the vibration of the vocal cords in the larynx, and then shaped using the tongue and the lips modify the overall shape of the mouth. The position of the tongue is a useful reference point for describing the differences between vowel sounds, and these are summarised in the following figure.
49
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Figure 1: Diagram of English vowels (Kelly, 2001) In English sound, vowels has short vowel and long one. This vowel duration may bring difficulty for ESL learners of Indonesia, since in their language (L1), the duration of vowel does not change the meaning of word. In other words, in producing sounds, ESL learners face difficulty due to the difference number of vowel sounds between English (L2) and Indonesia (L1), and the duration of the vowel sounds themselves. Based on the quotations above, this study is going to investigate the difference between the segmental phonemes of English and those of Indonesian, particularly Indonesian students of English department in order to reveal the difficulty of most students of Indonesia in matering English pronunciation.
Methods This study uses a descriptive qualitative as the method of research. It is qualitative since it tries to explain and describe and analyze data, which are displayed in the form of field-notes (observation, interviews, and recording). The findings of this study are presented not by tools of statistical procedures or other devices of quantification. This study was conducted at Al Hikmah Teacher Institute by involving 10 students of the second semester of English Department. The 10 students have already passed pronunciation practice I. In other words, they have already been taught the English sound system, particularly segmental phonemes. However, those students still have problems of the segmental phonemes itself. Therefore, this study tries to find why the students face troubles to pronounce the English sounds, particularly in segmental phonemes (consonant and vowel sounds). In collecting data, the 10 students were examined to read an English text loudly. When each of 10 students was reading, his utterances were recorded by a set of headset and laptop. In other words, each English word or sentence articulated by the students in this examination was recorded. Then, the sound from the participants recording were analyzed one by one to evaluate whether the sounds are correctly pronounced.
50
Jurnal Riset Pendidikan
Faishol Hadi
Findings and Discussion The research question of this study is why Indonesia students, particularly English Department students of Al Hikmah Teacher Institute face problem in pronouncing English sounds. In order to reveal the question, the descriptions and analyses of the findings of this study are presented.
1. Consonants Based on the findings, all 10 students face troubles in pronouncing several segmental phonemes either consonants or vowel sounds. This problem emerges since there is difference segmental phonemes between students’ own in Bahasa Indonesia and English (L2). The followings are the English consonant phonemes that are different from Bahasa Indonesia.
/p/, /b/, /t/, /d/, /k/, /g/, /tʃ/, /dʒ/, /v/, /θ/, /ð/, /z/, /ʃ /, /ʒ/, /h/ The above consonant phonemes are analyzed using phonemic oppositions as follows. a. Phoneme /p/ in English The similiarity of English /p/ phonemes and Indonesia one is this sound appears in the beginning, middle, and end of the word. However the difference of this phonemes is it is aspirated in English phonemes while in Indonesia phonemes it is not aspirated. The English phoneme of /p/ is aspirated in all positions in a words except after ‘s’. This difference causes difficulty for Indonesia students in pronouncing English phonemes /p/ since they are accustomed to pronounce unaspirated /p/ in Indonesia phoneme. The following are the examples of the study above: Table 2: The examples of /p/ sounds English
Indonesia
Pan [phæn]
Pagi [pagi]
Compass [kʌm.pəs]
Umpan [umpan]
Cap [kæp]
Tetap [tetap]
b. Phoneme /b/ in English The /b/ phonemes in English appears in the beginning, middle, and end of the words. The /b/ phonemes in Indonesia, however only comes out on the beginning of the word. In Bahasa Indonesia when a letter ‘b’ appears on the end of the word, it will be pronounced with /p/ rather than /b/ phoneme itself. This fact becomes the factor why the Indonesia student face difficulty in pronouncing /b/ sound, particularly at the end of the word. 51
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
c. Phoneme /t/ in English The cause of Indonesia students’ problem in pronouncing /t/ phonemes is similiar with pronouncing /p/ phonemes. They face difficulty in producing /t/ sounds since this phoneme is aspirated in English, whereas the students of Indonesia are accustomed to pronounce this phoneme without aspiration in Indonesia phoneme. The followings are the examples. Table 3: The examples of /t/ sounds English
Indonesia
Top [t ɑːp ]
tetapi [tetapi]
Dentist [den.tɪst]
atas [atas]
Cut [kʌt]
pekat [pekat]
h
d. Phoneme /d/ in English Indonesia students’ problem in pronouncing English phonemes /d/ only occurs when the phonemes appears at the end of word. In Bahasa Indonesia, when ‘d’ letter appears at the end of word is pronounced /t/, while in English when ‘d’ word comes out at the end of word should be pronounced /d/. The followings are the examples of explanation above: Table 4: The examples of /d/ sounds English
Indonesia
day [deɪ]
dasar [dasar]
student [stjuː.dənt]
terhadap [terhadap]
bad [bæd]
abad [abad]
e. Phoneme /k/ in English There are two causes why Indonesia students face difficulty in pronouncing English /k/ phonemes. The first, Indonesia students are accustomed to pronounce Indonesia /k/ phonemes in unaspirated way, while it is aspirated in English phonemes. The second, when ‘k’ English letter comes at the end of word, it must be pronounced /k/. In Bahasa Indonesia, on the other hands, when ‘k’ letter emerged at the end of word, there are two differences in articulating it. It will be pronounced with phonemes /k/ without being released as in English or with a glottal stop /?/.
52
Jurnal Riset Pendidikan
Faishol Hadi
Table 5: The examples of /k/ sounds
f.
English
Indonesia
cat [kæt ]
kata [kata]
bracket [bræk.ɪt]
pekat [pekat]
brick [brɪk]
kotak [kotak]
Phoneme /g/ in English The ten students face trouble in pronouncing English /g/ phonemes since /g/
phoneme does not appear in Indonesia phonemes. When the phonemes /g/ comes out in the final position, it will be pronounced with /k/ or as a glottal stop /?/. Table 6: The examples of /g/ sounds English
Indonesia
game [geɪm]
garam [garam]
tiger [taɪ.gər]
bagi [bagi]
bag [bæg]
budeg [budek]
g. Phoneme /t∫/ in English, and phoneme /c/ in Bahasa Indonesia The ten students are not able to pronounce /t∫/ phoneme perfectly and fluency since they are accustomed to pronounce /c/ phoneme than this English phoneme /t∫/. These two phonemes are slightly similar. However, they are different in place of articulation. The phoneme /t∫/ in English is a voiceless palato-alveolar while the phoneme /c=t∫/ in Bahasa Indonesia is a voiceless palatal stop. Table 7: The examples of /tʃ/ sounds English
Indonesia
cheap [tʃiːp] teacher [tiː.tʃə r] teach [tiːtʃ]
cinta [cinta] benci [benci] nothing
h. Phoneme /dʒ/ in English, and /j/ in Bahasa Indonesia This phoneme /dʒ/ has similarity with phoneme /j/ in Bahasa Indonesia. Unfortunately, the similiarity between those two phonemes bring trouble to the ten students in pronouncing /dʒ/ phoneme. The phoneme /dʒ/ appears in three positions, they are in the beginning, in the middle, and at the end, but the Indonesia phoneme /j/ just appears in the beginning and in the middle. The phoneme /dʒ/ is pronounced 53
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
rounded but the /j/ in Bahasa Indonesia is not. In English, this phoneme /dʒ/ is voiced palate-alveolar, while /j/ in Indonesia is voiced palatal stop. This phoneme /dʒ/ in English is sometime represented by the latter ‘g’ that appears in the middle of the word, but the phoneme /j/ in Bahasa Indonesia is not. Table 8: The examples of /dʒ/ sounds
i.
English
Indonesia
jump [dʒʌmp]
jantung [jantung]
merger [mɜː.dʒə r]
manja [manja]
judge [dʒʌdʒ]
nothing
Phoneme /v/ in English. This phoneme /v/ brings a proble for Indonesia student since this phoneme does
not exist in Bahasa Indonesia. When a letter ‘v’ appears in a word of Bahasa Indonesia, it is generally pronounced as /f/ rather than /v/ phoneme itself. j.
Phonemes / / and /ð/ in English. Indonesia students, the ten students of English department on this context
absolutely have a problem in pronouncing these phonemes. These phonemes appear in the beginning, in the middle, and at the end position. Unfortunately, Bahasa Indonesia does not have these two phonemes. Consequently, when the students face these phonemes, they tend to pronounce them as /t/, /d/, and /s/. Table 9: The examples of /θ/ sounds English
Indonesia
think [θɪŋk] mothing [nʌθ.ɪŋ]
nothing
myth [mɪθ] k. Phonemes /z/ in English. This phonemes /z/ does not give problem for students when the position is in the beginning and in the middle. The trouble comes when this phoneme appears at the end because the Indonesian /z/ does not appear in this position. l.
Phoneme /∫/ in English Bahasa Indonesia has the phoneme /∫/ when it is represented with letter ‘sy’. This
phoneme in Bahasa Indonesia only appear in the beginning and middle position. However, Indonesia students often pronounce letter ‘sy’ with phoneme /s/ rather than phoneme /∫/. In phoneme English, on the other hands, phonemes /∫/ is represented by 54
Jurnal Riset Pendidikan
Faishol Hadi
letters ‘ch, sh, -tion. This difference feature of phoneme and letter brings difficulty to students to learn this phoneme. Table 10: The examples of /ʃ/ sounds English
Indonesia
shop [ʃɑːp]
Syarat [sarat]
mention [men. t ʃ ə n]
Bersyukur [sukur]
Push [pʊʃ]
Nothing
m. The phoneme /ʒ/ in English. This phonemes causes difficulty to ten students since this phoneme does not exist in Bahasa Indonesia. The complexity of place of articulation of this phoneme, it is the palato-alveolar brings confusing for students. As a result, the students of Indonesia tend to pronounce this phoneme with /z/ or /s/ rather than the phoneme /ʒ/ itself. Table 11: The examples of /ʒ/ sounds English measure [meʒ.ə r ] treasure [treʒ.ə r ]
Indonesia nothing
n. The phoneme /h/ in English This phoneme /h/ in English does not bring big problem to the students since it has similarity with the phoneme /h/ in Bahasa Indonesia. This phoneme will disturb the students when it should be pronounce silent completely as in ‘honour’, honesty’, ‘hour’, etc.
2. Vowels a. Phonemes /u/ in English There is no greater difference between phonemes /u/ in English and in Bahasa Indonesia. The English phoneme has long /u/ and short /u/ but Bahasa Indonesia does not. This silght difference sometimes make the students pronounce all phoneme /u/ with short sound. b. Phoneme /æ/ in English Ten students of English Department face difficulty in pronouncing this phoneme since it does not exist in Bahasa Indonesia phoneme. Consequently, the students usually this phoneme with /e/ sound.
55
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Table 12: The examples of /æ/ sounds English abstract [æbstrækt] cap [kæp]
Indonesia nothing
Conclusion The findings of the study have clearly shown that there are similarities and differences between English segmental phonemes and Indonesia one. The differences of segmental phonemes between these two languages cause difficulty for students to pronounce several English phonemes. According to the analysis of the difference between these two languages, there are three aspects of difference. The first is the phoneme which is exist in English, but it does not exist in Bahasa Indonesia. The second is that the aspirated phoneme which exist in English, but it does not appear in Bahasa Indonesia. The third aspect is that the spelling of English words.
References Brown, D. (2000). Principles of Language Learning and Teaching (4th Ed.). London: Longman. Goldsmith, John A. (ed.). (1995). The handbook of phonological theory. Cambridge, Mass. & Oxford: Blackwell. Kelly, G. (2001). How to teach pronunciation. London: Pearson. Richards, J.C., & Scmidt, R. (2010). Longman dictionary of language teaching and applied linguistics (4th Ed). London: Pearson. Roach, P. (1983) English Phonetics and Phonology. Cambridge: Cambridge University Press. Kuhl, P.K. (1987). Perception of speech and sound in early infancy. Handbook of infant perception, 2, 275-382.
56
Jurnal Riset Pendidikan ISSN: 2460-1470
Kurnia Noviartati
Profil Keterampilan Mengajar Mahasiswa Calon Guru Melalui Kegiatan Induksi Guru Senior Kurnia Noviartati STKIP Al Hikmah Surabaya e-mail:
[email protected]
Abstrak Guru merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam menjamin kualitas pendidikan. Empat kompetensi yang harus dimiliki guru dalam menjalankan tugasnya, yaitu kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Pendidikan calon guru menyiapkan keempat kompetensi tersebut termasuk kompetensi pedagogis. Artikel ini menyajikan profil keterampilan mengajar mahasiswa calon guru melalui kegiatan Induksi Guru Senior (IGS) selama satu semester. Dalam kegiatan ini, mahasiswa calon guru dilibatkan pada rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui sejauh mana dampak kegiatan IGS terhadap pengembangan keterampilan mengajarnya. Kata Kunci: keterampilan mengajar, IGS, matematika Abstract Teacher is an important factor that affect the quality of education . Teacher responsibility requires four competencies namely professional competence, pedagogical competence, character and social competence. Prospective teacher education prepare the students to aqcuire all those competencies including pedagogical competence. This article presents a teaching skill profiles of student teachers through Induksi Guru Senior (IGS) for one semester. In this activity, student teachers are involved in a series of activities aimed to determine the impact IGS activities towards the development of teaching skills. Keywords: teaching skills, IGS, matematika Pendahuluan UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, pasal (1) ayat (1) menyebutkan bahwa “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah” (Suyanto & Jihad, 2013). Muatan UU tersebut menjelaskan bahwa peran guru tidak hanya menyampaikan materi tetapi juga memahami karakteristik siswa dan ditambah beberapa tugas lainnya. Artinya untuk menjadi guru diperlukan keahlian khusus agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga tidaklah benar jika ada asumsi bahwa menjadi guru merupakan hal yang mudah. Oleh karena itu, negara menempatkan guru sebagai seorang profesional layaknya dokter, akuntan dan profesi lainnya.
57
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Pengakuan atas profesi guru menunjukkan bahwa guru tidak hanya sebagai salah satu faktor keberhasilan dalam sistem pendidikan tetapi juga sebagai salah satu bagian terpenting dalam proses pembelajaran. Pemerintah telah mendeskripsikan secara rinci tentang hak serta kewajiban guru dan dosen pada UU No.14 tahun 2005. Sebagai bentuk pelaksanan UU tersebut, pemerintah menetapkan empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru dalam menjalankan tugasnya, yaitu kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Untuk menjadi guru yang berkualitas, maka seorang guru harus dapat memahami dan menjalankan keempat kompetensi tersebut dengan baik. Berdasarkan pengalaman penulis di lapangan, masih ditemukan beberapa guru yang belum terampil dalam mengelola pembelajaran, melakukan evaluasi dan perbaikan terhadap pembelajaran. Hal ini mendorong terselenggaranya berbagai pelatihan dan workshop guru baik yang diselenggarakan oleh lembaga pencetak tenaga kependidikan maupun lembaga pendidikan. Namun demikian, hal yang tak kalah pentingnya adalah keseriusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) dalam menyiapkan lulusan mahasiswa kependidikan untuk menjadi guru yang berkualitas. Salah satu aspek yang mendukung lahirnya guru-guru yang berkualitas adalah kurikulum yang digunakan oleh perguruan tinggi. Seperti halnya di STKIP Al Hikmah Surabaya, kurikulum yang digunakan berdasarkan pada kurikulum sekolah. Artinya, mata kuliah yang diberikan memiliki keterkaitan antara materi matematika sekolah dengan matematika perguruan tinggi yang dipelajari. Sehingga nantinya mahasiswa calon guru tidak hanya memperdalam materi matematika sekolah dan matematika perguruan tinggi saja tetapi juga mencari keterkaitan antara materi matematika sekolah dan matematika perguruan tinggi serta mempelajari bagaimana menyampaikan materi tersebut kepada teman sejawat atau siswa. Dengan kata lain, kemampuan penguasaan materi dan keterampilan mengajar mahasiswa calon guru memiliki bobot yang seimbang. Salah satu program yang dirancang berdasarkan kurikulum STKIP Al Hikmah adalah kegiatan Induksi Guru Senior (IGS) dan kegiatan inilah yang menjadi pembeda antara STKIP Al Hikmah dengan perguruan tinggi keguruan lainnya. IGS merupakan kegiatan rutin semester yang ditempuh oleh mahasiswa calon guru. Melalui IGS, mahasiswa calon guru semester 1 (satu) mulai dikenalkan dengan lingkungan guru dan siswa, baik di SMP maupun SMA. Selain itu, mereka juga dilatih delapan keterampilan mengajar sehingga harapannya lulusan STKIP Al Hikmah dapat menjadi sosok guru yang sebenarnya. Pada tahun pertama, mahasiswa calon guru akan bersinggungan dengan siswa kelas VII dan kelas X. Kegiatan IGS bertujuan untuk melatih mahasiswa calon guru menguasai
58
Jurnal Riset Pendidikan
Kurnia Noviartati
delapan keterampilan mengajar. Namun pada semester pertama, mahasiswa calon guru difokuskan pada tiga keterampilan awal, yaitu keterampilan membuka dan menutup pembelajaran, keterampilan menyampaikan materi dan pengelolaan kelas. Ketika berkunjung ke sekolah, mahasiswa calon guru akan belajar dari guru senior mengenai cara menyampaikan materi dan mengelola kelas dengan baik. Selanjutnya, hasil kunjungan tersebut didiskusikan bersama dosen dan teman sejawat yang kemudian dipraktikkan baik secara kelompok maupun individu. Dengan demikian, mahasiswa calon guru tidak hanya belajar secara teori tetapi juga dapat praktik mengajar dengan baik dan benar.
Standar Kompetensi Guru Kualifikasi dan kompetensi merupakan syarat penting yang harus dimiliki oleh guru. Kualifikasi akademik merujuk pada syarat formal yang harus diselesaikan melalui aktivitas akademik tertentu dan dapat dibuktikan melalui dengan adanya ijazah atau sertifikat yang dimiliki setelah menyelesaikan masa studi pada jenjang pendidikan, dalam hal ini jenjang pendidikan S1/D-IV seperti yang disyaratkan UU No.14 tahun 2005 (Payong, 2011: 17). Selanjutnya, Payong (2011: 17) mendefinisikan kompetensi sebagai kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas dengan hasil memuaskan setelah menempuh pendidikan, pelatihan atau pengalaman belajar informal. Hal tersebut senada dengan definisi kompetensi yang diungkapkan oleh Suyanto & Jihad, A. (2013: 39). Seseorang yang memiliki kualifikasi akademik yang baik belum tentu memiliki kompetensi yang baik pula. Begitu juga sebaliknya, sehingga UU No.14 tahun 2005 mensyaratkan guru profesional harus memiliki kualifikasi akademik minimal S1/D-IV dan memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial. Penjabaran lebih lanjut mengenai keempat kompetensi dan indikator-indikator standar kompetensi diatur dalam pasal 28 Peraturan Pemerintah (PP) No.19 tahun 2005 dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.16 tahun 2007 sebagai berikut. 1.
Kompetensi profesional adalah kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan terhadap struktur keilmuan dari mata pelajaran yang diampu secara luas dan mendalam, sehingga dapat membantu guru membimbing siswa untuk menguasai pengetahuan atau keterampilan secara optimal.
2.
Kompetensi pedagogis adalah kemampuan mengelola pembelajaran siswa yang meliputi pemahaman terhadap siswa, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran,
59
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
evaluasi hasil belajar, dan pengembangan siswa untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 3.
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantab, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan bagi siswa dan berakhlak mulia.
4.
Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidikan sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan siswa, rekan sejawat, orang tua/wali siswa dan masyarakat sekitar. Namun artikel ini difokuskan pada satu kompetensi, yaitu kompetensi pedagogik,
mengingat subjek yang diamati adalah mahasiswa STKIP Al Hikmah semester 1.
Keterampilan Mengajar Perancangan dan pelaksanaan pembelajaran merupakan salah satu kemampuan yang harus dikuasai guru pada kompetensi pedagogik karenanya berkaitan dengan berbagai keterampilan yang diharapkan dapat membantu guru dalam menjalankan tugasnya. Delapan keterampilan mengajar yang harus dikuasai oleh guru, yaitu: 1) keterampilan membuka dan menutup pelajaran, 2) keterampilan menjelaskan, 3) keterampilan mengelola kelas, 4) keterampilan memberi penguatan, 5) keterampilan bertanya, 6) keterampilan variasi, 7) keterampilan membimbing diskusi kelompok kecil, dan 8) keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan. Mahasiswa calon guru STKIP Al Hikmah akan mendapatkan pelatihan kedelapan keterampilan tersebut secara bertahap di tiap semesternya. Pada tahun pertama, mahasiswa calon guru dilatih keterampilan membuka dan menutup pelajaran, keterampilan menyampaikan materi, dan keterampilan mengelola kelas. Keterampilan membuka dan menutup sangat diperlukan oleh guru karena keterampilan ini merupakan penentu sikap belajar siswa pada menit-menit selanjutnya. Komponen keterampilan ini meliputi: meningkatkan perhatian, menimbulkan motivasi, memberikan arahan dengan berbagai usaha, membuat hubungan antara materi yang akan dipelajari dengan pengalaman dan pengetahuan sebelumnya, mereviu materi-materi yang telah dipelajari dengan merangkum inti pelajaran dan mengevaluasi (Djamarah, 2000: 139). Keterampilan kedua yang dilatihkan kepada mahasiswa calon guru adalah keterampilan menyampaikan materi. Keterampilan ini menuntut guru untuk menguasai materi yang akan disampaikan dan terampil dalam berkomunikasi sehingga kelancaran berbicara merupakan hal yang harus diperhatikan oleh guru. Beberapa hal yang harus dihindari dalam menjelaskan antara lain penggunaan kata-kata tambahan negatif, kata ragu-ragu, jumlah yang tidak pasti, kelompok barang, kemungkinan, dan penunjuk yang
60
Jurnal Riset Pendidikan
Kurnia Noviartati
meragukan. Komponen keterampilan ini meliputi penyajian suatu penjelasan, analisis dan perencanaan menjelaskan. Sedangkan keterampilan yang ketiga adalah keterampilan mengelola kelas. Pengelolaan kelas merupakan masalah yang kompleks dan paling sulit dilakukan guru sehingga dengan keterampilan ini, guru dapat menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas (Djamarah, 2000: 144). Pada prinsipnya dalam mengelola kelas, guru: 1) memiliki kehangatan dan antusias dengan anak didiknya, 2) memberikan tantangan dalam pembelajaran, 3) memiliki variasi dalam penggunaan alat atau media, gaya mengajar, dan pola interaksi, 4) memiliki keluwesan tingkah laku sehingga dapat mencegah kemungkinan munculnya gangguan pada siswa dan menciptakan iklim belajar mengajar yang efektif.
Induksi Guru Senior (IGS) Kegiatan IGS merupakan program rutin semester yang ditempuh oleh mahasiswa calon guru. Melalui IGS, mahasiswa calon guru semester 1 (satu) mulai dikenalkan dengan lingkungan guru dan siswa, baik di SMP maupun SMA. Mahasiswa calon guru berkunjung ke kelas VII putra SMP Al Hikmah dan mengisi lembar hasil kunjungan IGS. Lembar hasil kunjungan memuat 3 (tiga) aspek, yaitu: 1) penjelasan materi, 2) pengelolaan kelas, dan 3) hal inspiratif. Mahasiswa mengamati ketiga aspek tersebut kemudian menuliskannya secara rinci di lembar yang telah disediakan. Kegiatan tersebut bertujuan agar mahasiswa mendapatkan pengetahuan mengenai cara menjelaskan atau menyampaikan suatu materi dengan baik dan cara mengelola kelas dengan berbagai kondisi.
Metode Data pada artikel ini diperoleh dari hasil pengamatan selama satu semester. Subjek yang diamati adalah tiga mahasiswa calon guru, yaitu
,
, dan
yang diambil secara
acak dari kelompok tinggi, sedang, dan bawah.
Hasil dan Analisis Data pendukung yang digunakan untuk melihat keterampilan mengajar mahasiswa calon guru melalui kegiatan IGS yaitu: 1) nilai matrikulasi pra perkuliahan, 2) nilai video pembelajaran Logika Matematika pada perkuliahan Pengantar Dasar Matematika dan 3) nilai microteaching. Penguasaan materi merupakan modal awal guru untuk menyampaikan materi dan ditunjang dengan keterampilan mengajar yang baik. Sehingga penulis menggunakan nilai matrikulasi sebagai data awal yang menggambarkan kemampuan penguasaan materi subjek
61
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
yang diamati, khususnya seluruh materi kelas VII SMP. Nilai matrikulasi ketiga subjek ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 1 Data Nilai Matrikulasi Subjek yang Diamati No. 1. 2. 3. Berdasarkan tabel 1,
Subjek
Nilai Matrikulasi 95,25 84,09 74,91
memperoleh nilai 95,25 dan berada di urutan pertama meskipun
secara umum ketiga subjek dapat dikatakan cukup menguasai materi kelas VII SMP. Kegiatan IGS memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pengembangan kompetensi penguasaan materi dan keterampilan mengajar mahasiswa calon guru. Untuk melihat sejauh mana pengembangan kompetensi mahasiswa terhadap kegiatan IGS maka penulis menjadikan video pembelajaran Logika Matematika pada Mata Kuliah Pengantar Dasar Matematika sebagai data kedua yang dapat menggambarkan kompetensi penguasaan materi sekaligus keterampilan mengajar subjek yang diamati. Penilaian video tersebut menitikberatkan pada 3 (tiga) aspek, yaitu sebagai berikut: 1. Penguasaan materi Aspek pertama memperhatikan muatan materi yang disampaikan, contoh soal latihan yang diberikan dan notasi yang digunakan. 2. Keterampilan mengajar Aspek kedua memperhatikan dua hal sekaligus, yaitu kompetensi penguasaan materi dan cara menyampaikan materi kepada teman sejawat atau siswa. 3. Bahasa Aspek ketiga memperhatikan bahasa lisan dan bahasa tulis yang digunakan dalam menyampaikan materi. Nilai video pembelajaran ketiga subjek ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 2 Data Nilai Matrikulasi Subjek yang Diamati No. Subjek Nilai Video 1. 83 2. 80 3. 80 Tabel 2 menunjukkan nilai akhir video pembelajaran ketiga subjek. Nilai tersebut diperoleh dari hasil konversi skor total dari ketiga aspek yang dinilai. Berdasarkan tabel tersebut,
mendapatkan nilai tertinggi, yaitu 83. Hal ini dikarenakan skor keterampilan
mengajar materi logika, 62
lebih baik dibandingkan dengan lebih unggul dibandingkan dengan
dan .
. Meskipun secara penguasaan
Jurnal Riset Pendidikan
Kurnia Noviartati
Selanjutnya, data terakhir yang digunakan untuk melihat dampak pengembangan keterampilan mahasiswa adalah nilai microteaching yang dilaksanakan di akhir semester. Nilai microteaching merupakan data yang menggambarkan penguasaan materi dan keterampilan mengajar mahasiswa secara menyeluruh sehingga aspek penilaiannya lebih beragam. Aspek penilaian microteaching meliputi sepuluh aspek, yaitu: 1) membuka pelajaran, 2) menyajikan materi, 3) pemberian contoh, 4) media yang digunakan, 5) upaya mengaktifkan siswa, 6) integrasi nilai-nilai Islam, 7) mengelola kelas, 8) mengevaluasi siswa, 9) menyimpulkan dan 10) menutup pelajaran. Aspek menyajikan materi dalam artikel ini juga termasuk penguasaan materi. Penilaian diberikan oleh tim dosen penguji dan teman sejawat secara langsung. Nilai microteaching ketiga subjek ditunjukkan pada tabel berikut. Tabel 3 Nilai Microteaching Subjek yang Diamati No. 1. 2. 3. Berdasarkan tabel 3 oleh
dan
Subjek
Nilai Microteaching 76,19 70 69,57
memperoleh nilai tertinggi, yaitu 76,19 yang kemudian disusul
. Hal ini dikarenakan
memperoleh nilai 80 pada aspek penyampaian
materi baik dari dosen penguji maupun teman sejawat. Melihat hasil matrikulasi, nilai video pembelajaran dan nilai microteaching maka dapat dikatakan bahwa
memiliki
kompetensi penguasaan materi dan keterampilan mengajar yang baik. Selanjutnya, subjek memperoleh nilai microteaching 70, hal ini dikarenakan aspek penyampaian materi. Salah satu penyebabnya adalah
memperoleh nilai 65 pada hanya memberikan satu
contoh sehingga tim dosen penguji menilai bahwa materi yang dijelaskan belum tersampaikan dengan baik. Melihat hasil matrikulasi, nilai video pembelajaran dan nilai microteaching maka dapat dikatakan bahwa
memiliki kompetensi penguasaan materi
yang cukup baik tetapi belum ditunjang dengan keterampilan mengajarnya. Sedangkan memperoleh nilai microteaching 69,57 padahal pada aspek penyampaian materi, memperoleh nilai 75. Hal ini dikarenakan tim dosen penguji menilai
memiliki koherensi
bahasa yang kurang baik sehingga materi yang dijelaskan kurang tersampaikan dengan baik. Selain itu, kompetensi penguasaan materi materi yang diajarkan meskipun
dinilai masih kurang khususnya konsep dasar
memiliki keterampilan mengajar yang cukup baik.
Melihat hasil matrikulasi, nilai video pembelajaran dan nilai microteaching maka dapat dikatakan bahwa
kurang memiliki kompetensi penguasaan materi, khususnya pada
konsep-konsep dasar dan kurang memiliki keterampilan mengajar yang baik.
63
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Simpulan Kegiatan IGS memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap pengembangan kompetensi penguasaan materi dan keterampilan mengajar mahasiswa calon guru mengingat keterbatasan waktu yang diberikan. Berdasarkan hasil dan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa
memiliki kecenderungan peningkatan keterampilan mengajar
sekaligus kompetensi penguasaan materi.
memiliki kompetensi penguasaan materi yang
cukup baik namun kurang didukung dengan keterampilan mengajar yang baik. Sedangkan memiliki kecenderungan peningkatan keterampilan mengajar tetapi kurang didukung dengan penguasaan materi. Hasil dan analisis pada artikel ini belum sepenuhnya dapat mengungkap dampak kegiatan IGS terhadap pengembangan keterampilan mengajar. Begitu juga berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi mahasiswa calon guru dalam meningkatkan keterampilan mengajarnya sehingga perlu diadakan studi lebih lanjut mengenai pengembangan keterampilan mengajar mahasiswa calon guru melalui kegiatan IGS.
Daftar Pustaka Daryanto. 2013. Standard Kompetensi dan Penilaian Kinerja Guru Profesional. Yogyakarta: Gavamedia. Djamarah, S. B. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta Payong, M. R. 2011. Sertifikasi Profesi Guru: Konsep Dasar, Problematika dan Implementasinya. Jakarta: Indeks. Suyanto dan Jihad, A. 2013. Menjadi Guru Profesional: Strategi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global. Jakarta: Erlangga.
64
Jurnal Riset Pendidikan ISSN: 2460-1470
Anisa Fatwa Sari
Pengembangan keterampilan berbahasa calon guru matematika Anisa Fatwa Sari STKIP Al Hikmah Surabaya e-mail:
[email protected]
Abstrak Artikel ini menyajikan diskursus pengembangan keterampilan berbahasa calon guru matematika. Pembekalan keterampilan bahasa bagi mahasiswa calon guru belum tercukupi dengan satu mata kuliah bahasa Indonesia. Sebuah skema pengembangan keterampilan berbahasa calon guru matematika dikembangkan berdasarkan teori pembelajaran bahasa kedua dan penelitian tentang pembelajaran komunikasi. Kata kunci: komunikasi, bahasa, mahasiswa calon guru matematika Abstract This article describes a discourse about developing language skills of prospective mathematics teachers. Indonesian language course in higher education is not sufficient to meet the need of communication skills. This article explains a scheme to develop the language skills based on theory of second language acquisition and research on communication learning. Keywords: communication, language, prospective teachers, mathematics Pendahuluan Salah satu tugas utama guru adalah menjadi fasilitator siswa dalam mengembangkan pengetahuan. Tugas sebagai pendamping proses belajar siswa menuntut guru untuk berinteraksi dengan siswa secara intensif. Komunikasi merupakan faktor utama dalam keberlangsungan interaksi tersebut. Indikator tingkat kecapakan guru juga dapat dinilai dari seberapa mahir guru mengkomunikasikan pengetahuan baru dan tugas-tugas belajar lain bagi siswa. Di sisi lain guru juga dituntut untuk memiliki keterampilan komunikasi sebagai sarana berinteraksi dengan sesama guru, orang tua siswa, dan masyarakat (Bernawi & Arifin, 2012; Priatna & Sukamto, 2013). Naim (2011) mengungkapkan jika guru tidak berkomunikasi secara efektif akan proses pembelajaran akan terhambat. Adapun salah satu syarat berkomunikasi efektif adalah penggunaan bahasa yang tepat dan berterima. Hal ini menunjukkan bahwa penting bagi guru untuk memperhatikan penggunaan bahasa pada saat melakukan proses pembelajaran di kelas. Pesan yang disampaikan melalui bahasa baik
lisan, tulisan, maupun isyarat
merupakan cara manusia untuk saling bertukar pikiran. Dalam konteks kelas, sebagian aktivitas guru dan siswa melibatkan komunikasi bentuk lisan. Kebiasaan bahasa lisan guru secara tidak langsung menularkan kebiasaan atau cara komunikasi yang sama kepada siswa.
65
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
Pendapat ini didukung oleh Rohmadi dan Nugraheni (2011) yang menegaskan bahwa guru adalah pilar teladan berbahasa baik dan benar. Guru --sekalipun bukan guru bahasa Indonesia-- memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan keterampilan berbahasa siswa. Fakta menunjukkan bahwa calon guru di Indonesia sebagian besar mempelajari bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Pada tahun 2014, Balai Bahasa Kementrian Pendidikan memetakan 594 bahasa daerah seperti yang dilansir dari harian Republika. Bahasa daerah inilah yang merupakan bahasa ibu atau bahasa pertama sebagian besar mahasiswa perguruan tinggi pendidik calon guru.Bahasa Indonesia baru mulai diajarkan secara formal mulai jenjang sekolah dasar hingga tingkat menengah atas. Pada tingkat perguruan tinggi, pengembangan keterampilan berbahasa merupakan lanjutan dari proses belajar pada tingkat sekolah.Selain itu, aspek keterampilan bahasa lebih ditekankan pada kecakapan lisan dan tulisan secara ilmiah. Namun porsi pendidikan bahasa Indonesia dalam pendidikan calon guru perlu dikaji ulang. Sejauh mana pembekalan keterampilan berbahasa dapat menghasilkan guru berkompetensi komunikasi yang baik di masa mendatang. Berdasarkan
latar
belakang
tersebut,
dibutuhkan
sebuah
diskursus
tentang
pengembangan keterampilan berbahasa calon guru matematika. Penulis bermaksud mengelaborasi pendidikan bahasa Indonesia terutama bahasa lisan sebagai salah satu keterampilan penting yang wajib dikembangkan oleh calon guru matematika. Penulis akan mendiskusikan bagaimana keterampilan bahasa untuk tingkat mahasiswa calon guru matematika dapat dikembangkan.
Komunikasi, Bahasa, dan Pembelajaran Matematika Pendidikan guru bertujuan membekali calon guru dengan keterampilan dan kecakapan sebagai bekal menjadi guru profesional. Kurikulum pendidikan guru disiapkan agar calon guru dapat menguasai empat komponen penting pembentuk sosok guru yaitu kompetensi pedagogis, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Adapun keterampilan komunikasi merupakan bagian dari empat komponen kompetensi seorang guru. Sebagaimana diungkap oleh Priatna dan Sukamto (2013), Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP) mempublikasikan aspek-aspek untuk proses Penilaian Kinerja
guru.
Dua
diantara
aspek
penilaian
melibatkan
kecakapan
komunikasi.
Keterampilan guru dalam berkomunikasi dengan peserta didik adalah poin penilaian kinerja guru untuk kompetensi pedagogis. Sementara kompetensi sosial guru juga dinilai melalui
66
Jurnal Riset Pendidikan
Anisa Fatwa Sari
keterampilan berkomunikasi terhadap sesama guru, tenaga kependidikan, orang tua, peserta didik dan masyarakat. Daryanto (2013: 113) mengungkapkan guru saat ini dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi interaktif dengan baik. Pendapat tersebut sejalan dengan Naim (2011) yang berpendapat proses pembelajaran merupakan proses komunikasi. Dalam suatu pembelajaran guru dapat dipandang sebagai seoarang komunkator. Lebih lanjut Naim (2011) mengutip pendapat Spitzberg dan Cupach tentang teori kompetensi komunikasi yang mensyaratkan seorang komunikator harus memiliki kualifikasi sebagai berikut: 1. memahami komunikasi praktis sesuai dengan situasi, 2. dapat mengungkapkan komunikasi secara aplikatif, 3. dapat berkomunikasi efektif sesuai karakter. Teori kompetensi komunikasi memiliki implikasi pada suatu proses pembelajaran. Guru disyaratkan dapat berkomunikasi secara praktis dan efektif dalam lingkup kelas agar proses pendidikan berjalan baik. Salah satu indikator komunikasi efektif adalah menggunakan bahasa yang berterima. Dengan demikian seorang calon guru perlu disiapkan untuk keterampilan bahasa yang baik. Terampil berbahasa juga merupakan bagian penting poin penilaian kinerja guru. Priatna dan Sukamto (2013) menyebutkan beberapa poin penilaian diantaranya bentuk variasi pertanyaan yang disajikan guru, frekuensi pertanyaan terbuka, serta cara guru merespon jawaban peserta didik. Ketiga poin tersebut merupakan bentuk aplikasi nyata dari keterampilan berkomunikasi. Jika kinerja guru salah satunya dinilai dari aspek-aspek tersebut maka seorang calon guru harus disiapkan untuk memenuhi kualifikasi komunikasi yang memadai. Di luar faktor bahasa sebagai alar komunikasi dalam pembelajaran, bahasa memiliki peran penting sebagai alat pembelajaran itu sendiri. Lowrie dan Patahudin (2015) menjelaskan bahasa sebagai salah satu kerangka yang perlu diperhatikan oleh guru matematika ketika merancang suatu pembelajaran. Bahasa di dalam kelas matematika dipandang dapat menjadi penghubung antara pengalaman peserta didik dengan istilah matematika sebagai upaya memaknai suatu konsep tertentu. Penelitian lain yang dilakukan oleh Spaepen dkk (2013) menunjukkan adanya hubungan antara perolehan bahasa dan pemahaman terhadap bilangan.
Pembelajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi Setiap jurusan atau program studi di perguruan tinggi wajib memasukkan bahasa Indonesia sebagai mata kuliah wajib tempuh. Peraturan ini berlaku tanpa kecuali, sehingga
67
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
meskipun bukan dari jurusan bahasa Indonesia setiap mahasiswa wajib memprogram dan lulus mata kuliah ini. Jurusan atau program studi keguruan pasti memuat mata kuliah bahasa Indonesia. Besaran beban studi mata kuliah ini berkisar 2 – 3 SKS. Fokus perkuliahan pada mata kuliah bahasa Indonesia di tingkat perguruan tinggi mengacu pada Rambu-rambu Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK). Keterampilan berbahasa lisan mahasiswa dikembangkan melalui kegiatan menyimak dan berbicara. Keterampilan menulis akademik ditumbuhkan melalui kegiatan membaca dan menulis. Secara spesifik, perkuliahan bahasa Indonesia terbagi menjadi pokok-pokok tujuan seperti disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1: Kegiatan perkuliahan bahasa Indonesia
No. 1
Keterampilan yang dicapai Berbicara
2
Membaca
3
Menulis
Kegiatan pembelajaran Presentasi; seminar; diskusi Membaca artikel populer; membaca buku teks; mengakses informasi dari internet Menulis karangan; menulis karya ilmiah; menulis artikel ilmiah
Program perkuliahan bahasa seperti pada Tabel 1 meliputi semua jurusan di perguruan tinggi, termasuk program keguruan. Kebutuhan bahasa Indonesia dalam konteks pembelajaran di kelas masih belum dimunculkan secara khusus. Ketrampilan berbahasa Indonesia dengan baik sebagai sarana komunikasi kepada pihak-pihak terkait sekolah dan kependidikan juga belum dijadikan salah satu tujuan tersendiri. Lebih lanjut terdapat pertimbangan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi hampir sebagian besar masyarakat Indonesia. Mahasiswa calon guru yang berasal dari berbagai daerah memiliki dasar kebahasaan yang berbeda pula. Dengan demikian pembelajaran bahasa Indonesia pada level ini dapat mengadopsi prinsipprinsippembelajaran
bahasa
kedua.
Prinsip-prinsip
yang
diadopsi
berupa
bentuk
pemantapan dan penguatan penggunaan bahasa Indonesia, sebab mahasiswa pernah dan telah belajar bahasa ini sejak tingkat sekolah dasar.
Pengembangan Keterampilan berbahasa lisan calon guru matematika Komunikasi selalu berkaitan dengan aktivitas yang melibatkan konteks tertentu (Reitmeier, 2004). Lebih lanjut dijelaskan konteks beragam dapat mempengaruhi keterampilan berkomunikasi seseorang. Hal ini dikarenakan konteks komunikasi menuntut seseorang untuk mempertimbangkan cara dan gaya komunikasi yang sesuai dengan
68
Jurnal Riset Pendidikan
Anisa Fatwa Sari
konteksnya. Komunikasi yang terjadi pada kelas pembelajaran matematika tentu berbeda dengan komunikasi pada situasi lain semacam transaksi jual beli ataupun transaksi perbankan. Berdasarkan klasifikasi Byrnes dalam Ghazali (2010), kegiatan pembelajaran termasuk dalam jenis berbahasa lisan dari teks tertulis. Seorang guru matematika menyajikan informasi secara objektif dan bertujuan untuk membangun kemampuan matematika siswa. Keterampilan menyampaikan informasi matematis perlu didukung kejelasan bahasa Indonesia yang berterima. Jika pembelajaran di kelas melibatkan kegiatan wawancara atau diskusi, proses komunikasi lisan yang terjadi terkategori dalam kegiatan berbicara secara bebas tetapi terencana. Percakapan dalam diskusi muncul dengan sifat spontan namun tetap interaktif. Calon guru matematika dituntut mampu berkomunikasi dalam konteks penyajian informasi maupun berdiskusi secara interaktif dengan siswa. Keterampilan komunikasi calon guru matematika harus meliputi konteks komunikasi di kelas maupun di luar kelas. Rietmeier (2004) berpendapat bahwa mahasiswa membutuhkan kesempatan berkomunikasi melalui ragam konteks yang sesuai disiplin ilmu mereka. Selain memperdalam bidang ilmu mereka, mahasiswa dapat belajar peran-peran profesional yang berkaitan. Mahasiswa calon guru matematika perlu belajar komunikasi dalam
konteks
pembelajaran
matematika.
Dengan
demikian
selain
memperkaya
pendalaman mahasiswa terhadap bidang matematika, mahasiswa dapat belajar menjalani proses komunikasi yang berkaitan dengan mengajarkan matematika. Bentuk komunikasi dalam pembelajaran seperti bertanya, klarifikasi jawaban, atau memberikan umpan balik dapat dilaksanakan dengan tetap melibatkan konteks matematika di dalamnya. Cara menciptakan konteks komunikasi sekaligus belajar matematika adalah melalui metode integrasi pada mata kuliah tertentu. Mata kuliah yang dipilih harus dapat menyediakan konteks komunikasi yang ingin dibangun. Mahasiswa bersama dosen dapat menambahkan pengembangan keterampilan komunikasi sebagai tujuan akhir pembelajaran selain tujuan utama yaitu belajar konten matematika. Integrasi semacam ini menyediakan konteks menyampaikan informasi matematis melalui penjelasan. Integrasi juga dapat dilakukan dalam mata kuliah yang berhubungan dengan kependidikan matematika seperti psikologi pendidikan, teori belajar, model pembelajaran atau mata kuliah lain yang relevan. Mata kuliah non matematika menyediakan konteks lebih luas dalam komunikasi namun terbatas dalam mengaitkan komunikasi yang melibatkan konten matematika. Tantangan berikutnya adalah apakah penambahan tujuan latihan komunikasi akan mengganggu proses belajar utama. Selain itu, apakah metode integrasi ini dapat benarbenar
membantu
proses
pengembangan
komunikasi
mahasiswa.
Penelitian
yang
69
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
dilaksanakan oleh Grace dan Gilsdorf (2004) menunjukkan adanya peningkatan kemampuan komunikasi mahasiswa melalui program integrasi dalam mata kuliah akuntansi. Adanya aktivitas program pengenalan komunikasi lisan melalui mata kuliah akuntansi memang tidak serta merta mengubah seorang komunikator yang kurang menjadi komunikator ulung. Kombinasi materi perkuliahan dan aktivitas komunikasi dapat dilakukan dan terbukti membantu. Penelitian ini bahkan menunjukkan penggabungan tersebut tidak menganggu struktur perkuliahan ataupun memunculkan poin penilaian tambahan. Implikasi penelitian ini merupakan argumen untuk pengembangan keterampilan komunikasi calon guru matematika melalui integrasi saat proses perkuliahan. Integrasi pengembangan komunikasi calon guru matematika harus sesuai dengan prinsip pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi yang telah didiskusikan pada pembahasan sebelumnya. Ghazali (2010: 115) berpendapat bahwa dalam situasi bahasa kedua seorang pembelajar dewasa dapat diajari bagaimana mengamati cara bicaranya sendiri dan dituntun untuk menyadari bagaimana cara berbicara. Mahasiswa sebagai pembelajar dewasa dapat dikondisikan dalam situasi agar dapat mengamati dan menyadari cara komunikasi diri mereka sendiri. Langkah pengembangan keterampilan berbahasa mereka didasarkan pada hasil pengamatan dan kesadaran tersebut. Koreksi terhadap kesalahan sendiri atau memantau ucapan-ucapan yang dibuat sendiri merupakan salah satu bentuk strategi peningkatan kemampuan komunikasi (Ghazali, 2010) . Berdasarkan pemaparan tentang pengembangan komunikasi lisan calon guru matematika, berikut ini dirangkum beberapa prinsip penting ketika mengintegrasikan pengembangan komunikasi pada pembelajaran. 1. Mahasiswa dipandang sebagai pembelajar bahasa kedua tingkat lanjut. 2. Bahasa lisan yang dikembangkan di tingkat mahasiswa bersifat pemantapan bukan pengenalan dasar. 3. Proses integrasi dilakukan dengan melibatkan konteks pembelajaran matematika dan konten matematika. Ketiga prinsip tersebut dijadikan dasar penyusunan skema integrasi pengembangan keterampilan berbahasa lisan sebagai berikut. 1. Pendahuluan. Pada mata kuliah yang telah dipilih, dosen menyampaikan capaian pembelajaran bahasa. Capaian pembelajaran ini merupakan tambahan selain capaian utama dalam mata kuliah tersebut. Mahasiswa juga diinformasika tentang tujuan program integrasi dan implikasi yang muncul. Secara umum program ini tidak diperkenankan
70
Jurnal Riset Pendidikan
Anisa Fatwa Sari
mengganggu tujuan utama mata kuliah serta tidak masuk dalam kriteria penilaian secara langsung. Pada
fase
ini
mahasiswa
juga
dikenalkan
tentang
tingkat
kesalahan
berkomunikasi/berbahas secara lisan. Mahasiswa diminta kesediaan jika sewaktu-waktu diperlukan perekaman terhadap proses komunikasi yang berlangsung selama proses perkuliahan. 2. Rekayasa situasi komunikasi. Selama proses perkuliahan, mahasiswa diberikan tugas-tugas berbahasa yang berkaitan dengan capaian pembelajaran utama. Misalnya program integrasi ini dilaksanakan dalam kelas Model Pembelajaran, maka tugas berbahasa dapat dilakukan ketika mahasiswa melakukan praktik pembelajaran. Melalui praktik pembelajaran, mahasiswa dituntut untuk praktik berkomunikasi dalam konteks kelas matematika. Dalam fase ini peneliti dapat melakukan proses perekaman untuk pengambilan data. 3. Identifikasi kesalahan berbahasa. Data tugas berbahasa yang telah direkam kemudian dibuat traskripsinya, bila perlu mahasiswa diminta membuat transkripsi suara mereka sendiri. Hal ini bertujuan agar mahasiswa dapat melakukan proses refleksi dan metakognisi pada proses berbahasa mereka. Mahasiswa melakukan identifikasi kesalahan berbahasa. Dosen dan peneliti kemudian
melakukan
pengecekan
terhadap
hasil
identifikasi
mahasiswa
dan
menambahkan hasil yang belum teridentifikasi jika ada. Selain menggunakan teknik perekaman, identifikasi kesalahan dapat langsung dilakukan setelah mahasiswa melakukan praktik pembelajaran. Dengan demikian mahasiswa dapat langsung mengidentifikasi kesalahan berbahasa mereka. 4. Koreksi dan pengembangan bahasa lisan. Koreksi kesalahan berbahasa mengikuti proses identifikasi kesalahan. Jika identifikasi dilakukan melalui traskripsi, maka koreksi dilakukan setelahnya. Jika identifikasi dilakukan tepat setelah mahasiswa melatih keterampilan komunikasi mereka, koreksi juga dilakukan saat itu. Pengembangan berikutnya, mahasiswa diminta untuk melakukan revisi dalam penyampaian kalimat atau frasa tertentu beberapa kali sebagai bentuk pengembangan bahasa lisan mereka.
Kesimpulan Mahasiswa calon guru matematika dipandang sebagai pembelajar bahawa kedua. Sifat pembelajaran bahasa Indonesia di tingkat lanjut berupa pemantapan dan pengembangan teknik-teknik komunikasi. Pengembangan keterampilan berbahasa calon
71
Jurnal Riset Pendidikan
Vol. 1, No. 1, Mei 2015
guru matematika dimungkinkan melalui kegiatan integrasi pembelajaran bahasa dalam perkuliahan. Proses integrasi melibatkan konteks pembelajaran matematika sekaligus konten matematika sehingga tetap berkomtribusi dalam pembentukan kompetensi calon guru matematika.
Daftar Pustaka Bernawi dan Arifin, Mohammad. (2012). Etika dan Profesi Kependidikan. Yogyakarta: ArRuzz Media. Daryanto.(2013). Standar Kompetensi dan Penilaian Kinerja Guru Profesional. Yogyakarta: Gava Media.
Pembelajaran Keterampilan Berbahasa dengan Pendekatan Komunikatif-Interaktif. Bandung: Refika Aditama.
Ghazali,
A.S.
(2010).
Grace, D.M., dan Gilsdorf, J.W. (2004). Classroom Strategies for Improving Students’ Oral Communication Skills. Journal of Accounting Education, 22, 165–172. Lowrie, T., dan Patahudin, S. M. (2015). ELPSA- kerangka Kerja untuk Merancang Pembelajaran Matematika. Jurnal Didaktik Matematika, 2(1), 94 – 108. Priatna, N., dan Sukamto, T. (2013). Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Remaja Rosdakarya. Reitmeier, C.A., Svendsen, L.K., & Vrchota, D.A. (2004). Improving Oral Communication Skills of Students in Food Science Courses. Journal of Food Science Education, 3, 15 – 20. Republika online. (2014). Bahasa Daerah Semakin Punah. Diakses pada 1 April 2015 dari http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/14/03/04/n1wzn0-bahasadaerah-semakin-punah. Rohmadi, M., dan Nugraheni, A.S. (2011). Belajar Bahasa Indonesia: Upaya Terampil Berbicara dan Menulis Karya Ilmiah. Surakarta: Cakrawala Media. Spaepen, E., Coppola, M., Flaherty, M., Spelke., dan Goldin-Meadow, S. (2013). Generating a Lexicon Without a Language Model: Do Words for Number Count? Journal of Memory and Language, 69, 496–505.
72