Computer Mediated Discourse Analysis Reproduksi Berita Wolipop dalam Twitter
1. Pendahuluan Sejak kali pertama diluncurkan pada 15 Juli 2006, Twitter mengisi dunia maya dengan kicauannya. Dari waktu-waktu kicauan Twitter semakin banyak dinikmati, terbukti dari jumlah penggunanya yang terus mengalami peningkatan. Terlebih bila ada peristiwa besar terjadi yang kemudian menjadi topik di setiap kicaupan pemilik akun Twitter yang sering disapa dengan tweps. Sehingga kemudian muncul istilah trending topic, untuk menyebut peristiwa yang tengah jamak dibicarakan oleh para tweeps. Mulanya, Twitter yang masuk dalam kategori media sosial ini hanya didesain untuk berkomunikasi. Oleh karena itu fasilitas yang tersedia dibuat hanya utuk menerbitkan suatu twit dengan jumlah karakter terbatas, yakni 140 karakter. Meningkatnya pemilik akun Twitter, membuat sosial media ini kemudian menggerakkan developer Twitter untuk menggandeng penyedia twitter client seperti Tweet Deck, Seesmic Desktop, dan lain sebagainya. Ada juga fitur tambahan berupa upload gambar yang disediakan oleh alamat web twitpic.com, instagram.com, dan yfrog.com. Di negara kita sendiri, kehadiran Twitter telah berhasil memposisikan Indonesia sebagai negara kelima dengan akun Twitter terbanyak di dunia, seperti dilansir oleh www.forbes.com pada 30/12/2012 lalu. Melalui posting sebanyak 140 karakter, para tweeps menyampaikan berbagai pemikirannya, atau melakukan retweet dengan memposting ulang informasi yang disampaikan oleh akun-akun Twitter lainnya. Keterbatasan jumlah karakter ini membuat tweet people harus mempersingkat informasi yang diperolehnya sebelum akhirnya dapat diposting. Pengemasan ulang informasi dalam Twitter ini menjadi menarik karena dalam perjalanannya memunculkan tipe komunikasi baru yang berbeda dengan komunikasi tatap muka. Seperti disebutkan dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Crystal (2001), bahwa computer mediated communication melahirkan tipe komunikasi baru yakni Netspeak. Genre baru komunikasi ini memiliki karakteristik penggunaan singkatan, emoticons, dan ejaan yang tidak sesuai kaidah. Karakteristik ini pun tampak nyata saat portal berita online juga menyediakan fitur Twitter agar pembaca bisa men-tweet berita yang dianggap menarik. Cara ini
salah satunya dilakukan oleh www.wolipop.com. Laman Wolipop semenjak diluncurkan pada tanggal 9 Desember 2009 telah berkembang menjadi menjadi salah satu
laman
berita
untuk
perempuan.
Terbukti
pada
situs
http://www.statshow.com/www/wolipop.com menyebutkan bahwa Wolipop memiliki peringkat global 695.468 yang menempatkan dirinya di antara 1 juta situs yang paling populer di seluruh dunia. Wolipop itu sendiri merupakan salah satu potral di bawah naungan www.detikcom. Laman www.wolipop.com menyajikan berita diantaranya seperti: Rubrik Fashion dari dalam maupun luar negeri yang menjadi tren terkini, serta karyakarya desainer ternama. Wolipop juga membahas secara blak-blakan tentang masalah seks dalam Rubik Love & Sex. Di Rubik Beauty Wolipop membahas tentang kecantikan beserta solusi atas masalah pada wajah. Wedding membahas seputar pra dan sesudah pernikahan, dan HotGuide yang update di setiap harinya. Selain itu Wolipop juga membahas tentang Sale Info yang sedang berlangsung di beberapa mall di Indonesia dan membahas Horoskope. Artikel pada rubik-rubik tersebut selain bisa diakses melalui laman www.wolipop.com juga bisa diakses melalui sosial media, seperti: Twitter, Facebook, dan dapat disaksikan di program acara my TRANS, yang tayang setiap hari Jumat pukul 14:00, Sabtu dan Minggu pukul 10:00 di Trans 7. Terkait aktifitas yang dilakukan melalui akun Twitter resmi Wolipop, dari penghitungan yang dilakukan www.twittercounter.com, akun @wolipop memiliki 281.109 follower (pengikut) dan menempati posisi ke 6.065 diantara akun twitter lainnya. Dalam waktu satu minggu terhitung mulai tanggal 7 – 14 Oktober 2013 akun ini telah mem-posting 222 twit. Keterbatasan
jumlah
karakter
membuat
tweeps
yang
mengakses
www.wolipop.com harus menyeleksi kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan berita yang akan disebarkan. Melalui pemilihan kata-kata tersebut dapat dilihat bagaimana tweet people di Wolipop memaknai berita yang dibaca, yang pada muaranya akan memengaruhi bagaimana informasi tersebut disebarkan kembali. Pemaknaan yang salah ataupun ambigu bukan tak mungkin akan mengubah perspektif berita yang disebarkan sehingga menimbulkan adanya salah pemaknaan.
2. Metode Penelitian
Untuk mengetahui hal tersebut, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan computer mediated discourse analysis (CMDA) dari Susan Herring. Dari empat domain penelitian yang ada dalam kasus ini peneliti menggunakan domain meaning (makna). Makna di sini adalah apa yang disampaikan oleh pengguna. Makna dapat diekspresikan dengan huruf-huruf maupun simbolsimbol yang menggambarkan ekspresi wajah sebagai pengganti dari pesan teks. (Herring: 2004). Dengan metode tersebut peneliti akan melihat bagaimana pemilihan kata yang digunakan oleh tweeps untuk mereproduksi pesan di laman www.wolipop.com yang mereka baca. Termasuk juga penggunaan simbol ekspresi pengganti pesan teks sebagai representasi atas apresiasi tweet people atas berita yang dibacanya.
3. Landasan Teori Online Discourse Media sosial seperti Twitter menjadi media yang mengarah pada terbentuknya komunitas yang saling berbagi minat yang. Melalui internet, pengguna Twitter dapat mengekspresikan opini dan perasaannya pada komunitas (Chemy, 1999). Dalam perjalanannya komunitas virtual ini pun berkembang menjadi wadah untuk saling berinteraksi dan berbagi. Komunitas di dunia maya memproduksi online discourse dimana bahasa digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi antara satu orang dengan yang lainnya. Online discourses yang dimaksudkan di sini adalah bahasa verbal yang ditulis oleh pengguna saat mereka terhubung melalui internet. (Herring, 2004). Fenomena komunikasi online ini pun menjadi menarik untuk dipelajari lebih lanjut bagaimanakah pengaruh teknologi dalam proses komunikasi. Studi mengenai hal ini kemudian diwadahi melalui pendekatan Computer Mediated Discourse Analysis (CMDA). Pendekatan ini meneliti dari 4 domain utama (Herring, 2004): a. Struktur Sebagian besar pengguna akan memilih kata-kata yang sesuai saat mengeti mengingat adanya batasan penggunaan aplikasi atau waktu. Pengguna juga cenderung untuk berkreasi dalam mengekspresikan kata-kata yang dipilih, dan menggunakan struktur gramatikal yang pendek. Beberapa pengguna bahkan tidak memasukkan kata ganti, keterangan tujuan, kata kerja bantu, cenderung sangat sering menggunakan singkatan.
b. Makna Makna mencakup apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh pengguna. Makna ini dapat diekspresikan melalui beberapa huruf dan simbol yang berusaha menyerupai ekspresi wajah tertentu, untuk melengkapi pesan teks.
c. Interaksi Manajemen
interaksi
dalam
CMDA
mengacu
pada
bagaimana
pengguna
mengkoordinasikan interaksi yang terjadi diantara mereka
d. Perilaku Sosial Faktor sosial ataupun konteks dapat membentuk fungsi discourse yang terjadi.
Discourse Centered Studies Studi analisis discourse dalam proses komunikasi bermedia komputer (computer mediated communication - CMC) secara umum bertujuan untuk melihat bagaimanakah sebuah discourse dalam proses komunikasi tersebut terbentuk, dimana letak perbedaannya dengan discourse pada proses komunikasi oral maupun tertulis yang biasa. Discourse dalam CMC ini juga bisa digunakan untuk melihat struktur pesan yang kemudian muncul, termasuk juga bagaimana pengorganisasian pesan dalam lingkungan online, sehingga kemudian akan didapatkan sebuah gaya (style) berkomunikasi yang menjadi karakteristik dari CMC (Mei, Caroline Lin Ho). Dalam studi yang pernah dilakukan oleh Murray (1985, 1988, 1991) dalam Mei, Caroline Lin Ho, menunjukkan bahwa percakapan melalui komputer merupakan bentuk komunikasi interaktif dengan karakteristik adanya kalimat aktif, kata ganti personal, pemilihan kata yang informal dan penggunaan tanda-tanda emoticon, tatanan kalimat yang tidak sempurna, kode-kode paralingual, serta kutipan langsung. Bentuk CMC yang berbeda dengan komunikasi oral maupun tertulis pada umumnya tersebut kemudian membawa pada penelitian lain yang dilakukan oleh Davis dan Brewer (1997); Slauti (1998); serta Gruber (2000), yang hasilnya menyebutkan bahwa diskusi elektronik bermedia komputer merupakan bentuk narasi yang menggabungkan antara ciri-ciri percakapan tertulis dan lisan yang kemudian disebut dengan writen talking.
Technological Determinism Pembahasan mengenai CMDA tak dapat dilepaskan dari persoalan pemilihan medium penyampaian pesan itu sendiri, yakni komputer. Merujuk pada teori Technological Determinism yang disampaikan oleh Marshal McLuhan pada tahun 1962 melalui tulisannya yang bertajuk The Guttenberg Galaxy: The Making of Typographic Man. Teori ini mencoba memaparkan tentang terjadinya perubahan cara dalam berkomunikasi dan bagaimana pengaruhnya terhadap keberadaan manusia itu sendiri. McLuhan menyebutkan bahwa teknologi akan membentuk individu, bagaimana cara berpikir, berperilaku dalam masyarakat, dan bagaimana teknologi akhirnya mengarahkan manusia untuk bergerak dari satu abad teknologi ke abad teknologi yang lain. Menurut McLuhan, perubahan tersebut terjadi dalam 3 tahap. Pertama, penemuan dalam teknologi komunikasi menyebabkan perubahan budaya. Kedua, perubahan di dalam jenis-jenis komunikasi akhirnya akan membentuk kehidupan manusia itu tersendiri.
Ketiga,
disebutkan
bahwa
“Kita
membentuk
peralatan
untuk
berkomunikasi, dan akhirnya peralatan untuk berkomunikasi yang kita gunakan itu akhirnya membentuk atau mempengaruhi kehidupan kita sendiri”. (Nurudin, 2007), Terkait dengan teori Technological Determinism tersebut, Susan C.Herring (2001) mengkarakteristikkan bahasa lisan sebagai “rich medium” dan komunikasi via komputer sebagai “lean medium” karena komunikasi terjadi melalui satu channel yakni teks tertulis. Diskusi mengenai dampak perkembangan teknologi dalam CMC
kemudian
memunculkan dua pendapat. Pertama seperti dipaparkan oleh Siegel & McGuire (1984) dalam S.C. Herring, D. Stein, & T Virtamen (2013) dalam perspektif Technological Determinisme, perilaku dalam CMC merupakan hasil dari kondisi fisik produksi dan penerimaan dari media yang digunakan. Pendapat kedua, seperti disampaikan oleh Brennan (1998) dalam S.C. Herring, D. Stein, & T Virtamen (2013), CMC memiliki keterbatasan dalam penggunaan bahasa bila dibanding dengan komunikasi secara lisan dan tertulis karena CMC dianggap memiliki keterbatasan dalam menyampaikan informasi secara non-verbal. Dalam perkembangannya, Bieswanger (2013) menyampaikan, bahwa dalam CMC, bahasa non-verbal dalam CMC diwakili melalui penggunaan fitur-fitur seperti emoticon, pengulangan, pengurangan, dan penggunaan grafis.
4. Hasil dan pembahasan Wolipop adalah laman yang bebas untuk diakses tanpa perlu adanya prosedur mendaftar terlebih dahulu untuk bisa membaca seluruh berita yang ada di dalamnya. Fitur-fitur lain yang tersedia di laman ini, seperti mentautkan di laman Facebook, Google+, maupun Twitter pun juga bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki akun di laman-laman tersebut. Berbeda dengan fitur ”komentar” yang mengharuskan pengakses untuk mendaftar terlebih dahulu sebelum akhirnya bisa memasukkan komentar tepat di bawah artikel yang dibacanya. Penelitian ini melihat berita di laman Wolipop yang paling banyak di twit setiap harinya dan juga melihat twit dari berita tersebut yang disebarkan oleh akun @wolipop. Dari 960 twit yang diteliti, menunjukkan adanya perbedaan dalam penyampaian pesan antara twit yang dibuat langsung oleh tweeps dari laman berita yang terkait dengan penyampain informasi berita yang sama yang diperolehnya dari akun @wolipop. Dalam setiap berita yang dimunculkan, untuk memudahkan tweeps menyebarkan tautan berita yang dibacanya, maka begitu pilihan ”tweet” yang berada di bagian paling bawah berita di klik, maka laman akan langsung tersambung ke www.twitter.com. Di dalamnya telah tertulis judul artikel yang akan disebarkan berikut link untuk mengakses berita tersebut. Rata rata judul beserta link tersebut akan memakan kuota karakter huruf antara 25-70, sehingga dengan kata lain tweeps masih memiliki rata-rata 70 karakter untuk mengekspresikan perasaan ataupun menyampaikan pendapatnya. Sedangkan untuk berita yang sama yang disebarkan dari akun @wolipop maka jumlah karakter yang tersedia akan berkurang lagi 10 karakter sehingga tersisa 60 karakter untuk mengekspresikan berita yang dibacanya. Sekalipun memiliki kesempatan untuk menyebarluaskan informasi dengan lebih banyak karakter, nyatanya twit yang dibuat langsung dari halaman berita tidak dimanfaatkan untuk menunjukkan ekspresi tertentu. Pesan yang disampaikan dalam twit ini serta merta mengikuti pola yang telah dibuat oleh www.wolipop.com, yakni berisi judul berita yang dibaca beserti link untuk mengakses. Informasi tambahan yang kemudian disertakan pada beberapa twit berita ini adalah berupa hastag (#) yang fungsinya untuk pengkategorisasian berita. Beberapa diantaranya seperti yang terdapat dalam berita pada Senin, 14/10/2013 yang berjudul ”Wow, Ada Kain Pel
yang Digerakkan dengan Remote Control”. Berita ini di-twit sebanyak 68 kali. Sejumlah 28 twit diantaranya dibuat langsung dari laman berita tersebut di Wolipop, sementara 40 twit yang lain adalah berupa penyampaian ulang twit yang disebarkan oleh akun @wolipop. Dari 28 twit yang dibuat langsung oleh tweeps usai membaca berita ini di www.wolipop.com, delapan diantaranya ditambahkan hashtag yang secara otomatis akan memasukkan berita tersebut dalam kategori sesuai hashtag yang dibuat. Diantaranya hashtag yang ditambahkan tweeps adalah: #Life, #Followback, #tipsWanita, dan #Lifestyle. Model penyampaian pesan yang sama juga tampak dari berita pada Selasa, 15/10/2013 yang berjudul ”Banyak Wanita Operasi Plastik Demi Tampil Cantik Saat di Webcam.” dari 117 twit yang masuk, sejumlah 81 twit datang dari tweeps yang membaca berita tersebut melalui www.wolipop.com, sementara 36 sisanya berupa penyampaian ulang twit yang disebarkan oleh akun @wolipop. Pada berita ini twit yang masuk juga mengikuti pola yang dibuat oleh Wolipop dengan 9 diantaranya menambahkan hashtag. Berita-berita lain yang diteliti juga menunjukkan pola sama dimana pesan yang disampaikan oleh Wolipop akan langsung disebarkan dengan isi yang sama oleh tweeps. Dengan kata lain proses reproduksi informasi ini dilakukan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemilik laman. Sekalipun tweeps memiliki kesempatan yang untuk menambahkan, mengurangi, ataupun mengubah pesan dengan memasukkan bagian lain dari bacaan yang menurut mereka menarik, nyatanya hal ini tidak dilakukan. Mereka cenderung menjadi perpanjangan tangan dari Wolipop dengan menyebarkan informasi sesuai pola pesan yang telah tersedia. Sekalipun pada beberapa twit yang dibuat ditambahkan hashtag, hal ini tetap dilakukan tanpa mengubah arti dari pesan yang ingin disampaikan oleh wolipop karena tanda hashtag hanya berfungsi untuk memasukkan berita tersebut dalam kategori tema tertentu. Twit yang dibuat oleh tweeps dari laman Wolipop tidak merujuk pada akun Twitter tertentu. Artinya pesan yang disampaikan oleh tweeps ini ditujukan secara umum pada seluruh pengikut (follower) yang ada di akunnya, bukan pada perorangan, sehingga di dalamnya tidak ada tambahan informasi-informasi tertentu yang sifatnya personal. Pola berbeda nampak dari pesan yang disampaikan ulang dari akun twitter @wolipop terhadap pengikutnya. Dalam hal ini tweeps terlebih dahulu memperoleh
pesan dari @wolipop yang berisi judul artikel beserta link-nya. Dari pesan ini kemudian mereka akan membaca secara keseluruhan berita yang diperolehnya, baru setelah itu memutuskan untuk menyebarkan ulang informasi yang diperoleh pada pengikut di akun pribadi tweeps, atau sekadar menyimpan informasi yang baru dibacanya untuk dirinya sendiri. Ini artinya, tweeps terlebih dahulu diberi stimulus pesan oleh @wolipop dan kemudan twit yang mereka sampaikan setelahnya adalah feedback dari pesan yang diterima. Karakter pesan yang kemudian disampaikan oleh tweeps pun sangat berbeda dari twit yang disampaikan langsung melalui laman berita Wolipop. Semisal berita yang diunggah pada Senin, 14/10/2013 yang berjudul ”Wow, Ada Kain Pel yang Digerakkan dengan Remote Control”, twit yang disebarkan dari akun @wolipop adalah sebanyak 40 twit dimana setiap informasi yang disebarkan ulang dalam twit tersebut memiliki pola penyampaian pesan yang lebih dinamis. Berikut adalah beberapa contoh twit dari berita ini: 1. T I K A @KartikaPutriP Ah harus beli sangat berguna bgt "@wolipop: Most read: Wow, Ada Kain Pel yang Digerakkan dengan Remote Control http://de.tk/uZ5av " 2. rianti @iiarianti Pesen 2 RT @wolipop: Most read: Wow, Ada Kain Pel yang Digerakkan dengan Remote Control http://de.tk/uZ5av 3. Satria @satriadwidar ngomong jorok!“@wolipop: Most read: Wow, Ada Kain Pel yang Digerakkan dengan Remote Control http://de.tk/uZ5av ” 4. Tri Asih Astuty @choasih Aiih, mau satu dunx RT @wolipop: Most read: Wow, Ada Kain Pel yang Digerakkan dengan Remote Control http://de.tk/uZ5av 5. Adiva mutia @adivamutia Cocok bgt buat IRT"@wolipop: Most read: Wow, Ada Kain Pel yang Digerakkan dengan Remote Control http://de.tk/uZ5av " 6. ♥ Ivonne ♥ @ivoneprelisia Bs d dsrh2 ga tuh ?? RT wolipop: Wow,Ada Kain Pel yang Digerakkan dengan Remote Control http://de.tk/uZ5av 7. feri @elysaferii hemat tenaga banget --->RT @wolipop: Most read: Wow, Ada Kain Pel yang Digerakkan dengan Remote Control http://de.tk/uZ5av 8. Tutyalawiyah Harahap @uty_wiyah27
ini membuat org mkin malas berkerja“@wolipop: Most read: Wow, Ada Kain Pel yang Digerakkan dengan Remote Control http://de.tk/uZ5av ” 9. Rd.Amanda U H @radenamanda17 Cocok .. "@wolipop: Most read: Wow, Ada Kain Pel yang Digerakkan dengan Remote Control http://de.tk/uZ5av " 10. @RaniMuza Lah enak dong haha RT @wolipop: Most read: Wow, Ada Kain Pel yang Digerakkan dengan Remote Control http://de.tk/uZ5av Pada contoh twit tersebut dapat dilihat bahwa saat menyampaikan ulang informasi mereka tidak mengurangi pesan yang disampaikan oleh akun @wolipop. Secara utuh pesan itu disampaikan ulang tanpa ada bagian-bagian tertentu yang dihilangkan. Di sini ada kecenderungan bahwa tweeps menambahkan informasi dari @wolipop dengan pendapat-pendapat pribadi mereka. Di sini pendapat personal tersebut tampak disampaikan secara lugas, tanpa mengindahkan struktur penulisan yang benar. Informasi tambahan tersebut dibuat dengan bahasa tutur yang seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap dengan para pengikut di akun twitternya. Seperti disebutkan oleh (Hering, 2004), CMC berlangsung dengan struktur gramatikal yang pendek. Beberapa pengguna bahkan tidak memasukkan kata ganti, keterangan tujuan, kata kerja bantu, dan cenderung sangat sering menggunakan singkatan. Dengan demikian pesan yang disampaikan pun jauh dari kesan formal. Di sini pemilik akun mengambil posisi seolah-olah dia sedang bercakap-cakap langsung dengan pengikutnya (follower) dan juga dengan akun @wolipop yang diikutinya (follow). Saat @wolipop mengambil peran sebagai komunikator dan menyampaikan informasi yang kemudian masuk dalam akun tweeps yang menjadi pengikut, di sini tweeps
pengikut
akun
@wolipop
mengambil
peran
sebagai
komunikan.
komunikan melihat informasi tersebut seperti percakapan inisiasi yang dilakukan oleh @wolipop sebagai komunikator yang kemudian ditanggapi dengan menyampaikan ulang informasi yang diperolehnya dalam dari @wolipop pada pengikut di akunnya, termasuk juga masuk dalam akun @wolipop. Pada proses penyampaian komunikasi yang kedua ini maka peranan pun berganti, tweeps menjadi komunikator, dan @wolipop menjadi komunikan. Seperti disampaikan Murray (1985) dalam Mei LH, ”Computer conversation did not have a static place on the oral/written
continuum" but rather moved back and forth between writer-style and talker-style, as interactants change voice. (Percakapan bermedia komputer tidak berada dalam kondisi statis seperti dalam komunikasi lisan dan tertulis, melainkan membentuk gerakan bolak balik antara gaya penulis dan gaya pembicara sehingga seolah-olah antara pihak yang terlibat dalam percakapan tersebut mengubah suaranya." Relasi yang terbentuk oleh @wolipop dan pengikutnya ini dapat dikategorikan sebagai cybercommunity. Dunia maya memang telah menghadirkan sebuah alternatif ruang bagi manusia untuk saling bertukar pikiran meski tanpa adanya pertemuan secara fisik. Komunitas di dunia cyber ini diminati karena dipandang mampu menciptakan komunitas ideal yang mampu melampaui keterbatasan dan terbebas dari berbagai perbedaan gender, ras, warna kulit, dan agama. Menurut Mitra (2010), masyarakat maya (cyber community) terbentuk dari sebuah komunal anggota jaringan yang terjalin atas motif tertentu dan identitas pribadi setiap anggota komunitas maya terwakilkan oleh tampilan tekstual, gambar, atau ikon lainnya yang terlihat dalam dunia virtual. Mereka yang mengikuti akun @wolipop adalah sebuah bentuk cyber community yang terjalin atas kesamaan motif yakni mengikuti berita-berita yang ada di Wolipop. Meski tak ada pertemuan fisik yang nyata antara @ wolipop dan pengikutnya, komunikasi ini mengalir secara terbuka, fleksibel, dan dinamis. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana pesan-pesan yang disampaikan oleh @wolipop saat disampaikan ulang. Follower @wolipop memanfaatkan sisa space twit-nya sebagai media untuk mengekspresikan pendapat dan perasaannya. Kalimat-kalimat seperti ” Bs d dsrh2 ga tuh ??”, ” Lah enak dong haha,” atau ”Ah harus beli sangat berguna bgt,” yang disertakan saat mereka mengemas ulang informasi dari @wolipop menunjukkan bahwa komunikasi yang terjadi dalam twit ini menjadi bersifat informal dengan pemilihan diksi dari bahasa-bahasa tutur, alih-alih bahasa tulis yang dibuat dengan struktur bahasa sesuai kaidah. Para follower memilih penggunaan kalimat aktif untuk menunjukkan bagaimana perasaan mereka dalam menanggapi berita yang ada. Gaya penulisan informal ini juga membuat twit @wolipop dan pengemasan ulang twit tersebut berganti dari writer-style menjadi talker-style, sehingga seolaholah diantara keduanya saling bergantian berbicara. Twit follower akun berita Wolipop juga kental dengan penggunaan singkatansingkatan yang acap kali bukan singkatan resmi. Misalnya menuliskan kata bisa
dengan ”bs”, disuruh dengan ”dsrh,” dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa bagi mereka yang penting adalah dapat menyampaikan informasi yang diinginkan secara komplit, meski harus dengan singkatan-singkatan yang tidak lazim dan bukan tak mungkin membuat mereka yang membaca twit tersebut tidak memahami maksudnya. Bahkan juga tidak mungkin, penggunaan singkatan yang serampangan ini malah membuat salah pengertian dari mereka yang membaca twit tersebut. Dalam twit berita lain juga tampak bagaimana gaya bahasa lisan yang informal tersebut jamak digunakan. Para follower kemudian juga berusaha menggunakan kodekode atau kata-kata untuk menunjukkan ekspresi paralinguistik dalam tulisan tersebut. Diantaranya banyak terlihat pada twit berita ” Banyak Wanita Operasi Plastik Demi Tampil Cantik Saat di Webcam” pada Selasa, 15/10/2013. Berikut beberapa contoh twit berita tersebut: 1. Sonia Angeline @soniangeline kasian gak bersyukur~ ( ¬͡-̮ ¬͡"͡ ) RT @wolipop: Most read: Banyak Wanita Operasi Plastik Demi Tampil Cantik diWebcam http://de.tk/u540Z 2. Chika @Chika_Chix Yaela -_- RT @wolipop: Most read: Banyak Wanita Operasi Plastik Demi Tampil Cantik Saat di Webcam http://de.tk/u540Z 3. awang muslich @awangmuslich lol "@wolipop: Most read: Banyak Wanita Operasi Plastik Demi Tampil Cantik Saat di Webcam http://de.tk/u540Z " 4. NuraZizah @Nziizah NAAH!! @wolipop: Most read: Banyak Wanita Operasi Plastik Demi Tampil Cantik Saat di Webcam http://de.tk/u540Z 5. Wanda Hutami S @wandahutami Lah :| "@wolipop: Most read: Banyak Wanita Operasi Plastik Demi Tampil Cantik Saat di Webcam http://de.tk/u540Z " 6. Eveliny Adiputri @evelinyadiputri Wow! :O "@wolipop: Most read: Banyak Wanita Operasi Plastik Demi Tampil Cantik Saat di Webcam http://de.tk/u540Z " 7. Ve Gi Na @Ve_LadyFreaks Itu wanita bodoh , SUMPAH !RT @wolipop: Most read: Banyak Wanita Operasi Plastik Demi Tampil Cantik Saat di Webcam http://de.tk/u540Z 8. dhyanie astriaxanti @azvarry Krik "@wolipop: Most read: Banyak Wanita Operasi Plastik Demi Tampil Cantik Saat di Webcam http://de.tk/u540Z "
Dalam twit di atas, informasi yang disampaikan banyak berupa ekspresi emosi follower terhadap berita yang dibacanya. Alih-alih serta merta mengekspresikan perasaan dengan kata-kata kaget, lucu, tidak tertarik, dan lain sebagainya, mereka mengungkapkan perasaan tersebut dengan emoticon yang fungsinya untuk menegaskan espresi yang mereka sampaikan tertulis. Seperti misalnya twit yang disampaikan oleh @soniangeline. Sonia menyampaikan ulang secara utuh informasi dari @wolipop dan kemudian memanfaatkan sisa karakter yang bisa digunakan dengan menuliskan katakata ”kasian gak bersyukur” diikuti dengan emoticon ~( ¬͡-̮ ¬͡͡" ). Emoticon itu menjadi perwakilan emosi Sonia yang membuat pembaca twit bisa membayangkan, bagaimana ekspresi wajah dan perasaan Sonia andaikata kalimat ”kasian gak bersyukur” diucapkan secara lisan. Demikian pula halnya dengan tambahan informasi dari twit @Chika_Chix berupa ”Yaela -_-” dan juga twit @evelinyadiputri yang menuliskan Wow! :O. Secara umum kata ”yaela” biasa diucapkan seseorang saat ia merasa enggan menanggapi sesuatu yang dianggap berlebihan atau tidak pas. Dengan adanya tambahan emoticon ”-_- ” yang menggambarkan wajah datar tanpa ekspresi, maka twit tersebut tidak saja menggambarkan bagamana keengganan @Chika_Chix menanggapi fenomena yang dibacanya dari twit @wolipop, melainkan juga menjadi lebih hidup karena orang kemudian dapat membayangkan bagaimana ekpresi wajahnya. Emoticon ”:O” pun kemudian menjadi penegas ekspresi kaget dari kata-kata ”wow” yang disampaikan @evelinyadiputri. Dalam proses komunikasi ini informasi pun menjadi hidup karena disertai dengan petunjuk ekspresi sang komunikator. Tentunya ekspresi ini tentunya akan mengubah pesan bergaya ”writer style” yang disampaikan oleh @wolipop menjadi pesan bergaya ”talker style” yang lebih ekspresif dan kaya akan emosi, sehingga meski hanya berupa sebaris kalimat tanpa gambar yang dalam penulisan berita memiliki fungsi untuk menarik perhatian pembaca, twitter tetap mampu mencuri perhatian tweeps untuk membaca dan mengakses link beritanya melalui kekayaan emosi yang terdapat dalam kalimat twit tersebut. Hal ini seperti disampaikan oleh studi yang dilakukan oleh (Davis dan Brewer, 1997; Slaouti, 1998; Gruber, 2000) dalam Mei L.H., bahwa diskusi elektronik melahirkan pesan yang memiliki ciri-ciri komunikasi lisan dan tulisan, yang kemudian disebut dengan "writing talking" (tulisan yang berbicara).
Pesan yang disampaikan dalam twit berita @wolipop yang disampaikan ulang oleh tweeps juga terlihat lugas. Baik yang sifatnya mendukung, menertawakan, atau yang menentang, semuanya disampaikan secara terang-terangan. Tweeps tampak tidak ragu untuk mengekspresikan perasaannya terhadap informasi yang disampaikan @wolipop langsung pada @wolipop ataupun follower dari akunnya. Tanpa ragu tweeps mengumpat dan dalam twitnya sebagai bentuk ketidak sepakatan atau ketidaksukaannya. Beberapa diantaranya bisa dilihat dari komentar yang disampaikan oleh: 1. @Ve_LadyFreaks ”Itu wanita bodoh , SUMPAH !RT @wolipop: Most read: Banyak Wanita Operasi Plastik Demi Tampil Cantik Saat di Webcam http://de.tk/u540Z.” 2. @tiaramungkin Sakit jiwaaaaa ahahahaha RT @wolipop: Most read: Banyak Wanita Operasi Plastik Demi Tampil Cantik Saat di Webcam http://de.tk/u540Z 3. @Liapuchinno Lek iki bodo -..- “@wolipop: Most read: Bertemu Pertamakalinya, Wanita Ini Lapor Polisi Usai Lihat Wajah Kekasih http://de.tk/mTUjj ” Dari twit tersebut dapat dilihat, bagaimana euforia kebebasan dalam twitter membuat tweeps tidak takut untuk mengumpat dengan kata-kata ”bodoh” ataupun ”sakit jiwa”, kendati umpatan yang mereka sampaikan tersebut bisa dibaca oleh seluruh follower yang ada di akunnya. Kebebasan mereproduksi pesan dan memasukkan penilaian pribadi seakan menjadi hak prerogatif tweeps. Seakan tidak akan ada yang menghakimi atas sikap mereka tersebut. Seperti disebutkan oleh Sproull & Kiesler (1991), dalam Mei L.H.: ”People interacting on a computer are isolated from social cues and feel safe from surveillance and criticism. This feeling of privacy makes them feel less inhibited with others. It also makes it easy for them to disagree with, confront, or take exception to others’ opinions. (orang-orang yang berinteraksi melalui komputer terisolasi dari tanda-tanda sosial sehingga mereka merasa aman dari pengawasan dan kritikan. Privasi ini yang kemudian membuat mereka tidak terlalu dihalangi oleh orang lain, sehingga mereka lebih mudah untuk menyatakan tidak setuju, berkonfrontasi, atau tidak sepakat dengan opini orang lain.) Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap penyampaian ulang informasi dari @wolipop. Pesan yang semula disampaikan secara netral menjadi tidak obyektif lagi karena adanya subyektifitas pribadi yang dilekatkan oleh tweeps terhadap informasi
tersebut. Di lain sisi, subyektifitas ini bisa menjadi daya tarik yang akan membuat orang bertanya-tanya mengapa komentar yang begitu keras muncul dari berita yang di twit oleh @wolipop. Rasa penasaran ini pun akan membuat orang tertarik untuk mencari tahu ada apa dengan berita tersebut, dan kemudian masuk ke dalam tautan yang disediakan. Temuan lain dalam penelitian ini adalah munculnya akun-akun twitter yang setia menyebarkan ulang twitter yang disampaikan oleh @wolipop. Diantaranya adalah akun @akuPRIApujaan dan @arie_blueroom. Kedua akun ini secara rutin men-twit ulang informasi yang disampaikan @wolipop. Sehingga akun ini memiliki perpanjangan tangan yang senantiasa menyebarluaskan pesan yang disampaikan oleh akun twitter Wolipop. Seperti disampaikan oleh McQuail (2011), cyberspace mampu menciptakan budaya instan yang adiktif dalam kehidupan manusia. Semakin interaktif sebuah media, maka akan memungkinkan munculnya motivasi serta respon secara berkesinambungan dari para pengguna.
5. Simpulan Proses reproduksi berita dari www.wolipop.com terjadi dalam dua macam cara, yakni: Pertama, langsung dilakukan oleh pengakses laman Wolipop usai mereka membaca berita melalui tautan ke berbagai media sosial yang telah tersedia tepat di bawah berita. Kedua melalui akun twitter. Kedua cara tersebut menunjukkan pola reproduksi berita yang berbeda. Cara yang pertama, meski tweeps memiliki kesempatan untuk menyebarluaskan informasi dengan lebih banyak karakter, nyatanya twit yang dibuat langsung dari halaman berita tidak dimanfaatkan untuk menunjukkan ekspresi tertentu. Pesan yang disampaikan dalam twit ini serta merta mengikuti pola yang telah dibuat oleh www.wolipop.com, yakni berisi judul berita yang dibaca beserti link untuk mengakses. Informasi tambahan yang kemudian disertakan pada beberapa twit berita ini adalah berupa hastag (#) yang fungsinya untuk pengkategorisasian berita. Dengan begitu proses reproduksi berita melalui cara ini berjalan sesuai keinginan www.wolipop.com. Di sini tweeps menjalankan fungsinya sebagai perpanjangan tangan dari laman Wolipop sehingga mereka menjaga orisinalitas pesan saat mereproduksi informasi tersebut. Tambahan informasi yang diberikan adalah berupa hastag (#) yang fungsinya untuk pengkategorisasian berita, sehingga tidak mengubah esensi dari berita yang disampaikan,
Berbeda dengan reproduksi berita ini yang disampaikan melalui akun @wolipop. Saat menyampaikan ulang informasi mereka tidak mengurangi pesan yang disampaikan oleh akun @wolipop. Secara utuh pesan itu disampaikan ulang tanpa ada bagianbagian tertentu yang dihilangkan. Kecenderungan yang terjadi adalah tweeps menambahkan informasi dari @wolipop dengan pendapat-pendapat pribadi mereka. Pendapat personal tersebut disampaikan secara lugas, tanpa mengindahkan struktur penulisan yang benar dan dibuat dengan bahasa tutur yang seolah-olah mereka sedang bercakap-cakap dengan para pengikut di akun twitternya. Gaya penulisan informal ini juga membuat twit @wolipop dan pengemasan ulang twit tersebut berganti dari writer-style menjadi talker-style, sehingga seolah-olah diantara keduanya saling bergantian berbicara. Seperti disampaikan Murray (1985) dalam Mei LH, percakapan bermedia komputer membentuk gerakan bolak balik antara gaya penulis dan gaya pembicara sehingga seolah-olah antara pihak yang terlibat dalam percakapan tersebut mengubah suaranya. Relasi yang terbentuk oleh @wolipop dan pengikutnya ini dapat dikategorikan sebagai cybercommunity. Komunitas di dunia cyber ini diminati karena dipandang mampu menciptakan komunitas ideal yang mampu melampaui keterbatasan dan terbebas dari berbagai perbedaan gender, ras, warna kulit, dan agama. Mereka yang mengikuti akun @wolipop adalah sebuah bentuk cyber community yang terjalin atas kesamaan motif yakni mengikuti berita-berita yang ada di Wolipop. Meski tak ada pertemuan fisik yang nyata antara @ wolipop dan pengikutnya, komunikasi ini mengalir secara terbuka, fleksibel, dan dinamis. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana pesan-pesan yang disampaikan oleh @wolipop saat disampaikan ulang. Follower @wolipop memanfaatkan sisa space twit-nya sebagai media untuk mengekspresikan pendapat dan perasaannya. Twit follower akun berita Wolipop yang kental dengan penggunaan singkatansingkatan yang acap kali bukan singkatan resmi, menunjukkan bahwa bagi mereka yang penting adalah dapat menyampaikan informasi yang diinginkan secara komplit, meski harus dengan singkatan-singkatan yang tidak lazim dan bukan tak mungkin membuat mereka yang membaca twit tersebut tidak memahami maksudnya. Bahkan juga tidak mungkin, penggunaan singkatan yang serampangan ini malah membuat salah pengertian dari mereka yang membaca twit tersebut. Euforia kebebasan dalam twitter membuat tweeps tidak takut untuk mengumpat dengan kata-kata ”bodoh” ataupun ”sakit jiwa”, kendati umpatan yang mereka
sampaikan bisa dibaca oleh seluruh follower yang ada di akunnya. Kebebasan mereproduksi pesan dan memasukkan penilaian pribadi seakan menjadi hak prerogatif tweeps. Seakan tidak akan ada yang menghakimi atas sikap mereka tersebut. Seperti disebutkan oleh Sproull & Kiesler (1991), dalam Mei L.H. hal ini terjadi karena saat berinteraksi melalui komputer, mereka terisolasi dari tanda-tanda sosial sehingga timbul rasa aman dari pengawasan dan kritikan. Privasi ini mendorong seseorang menjadi lebih mudah untuk menyatakan tidak setuju, berkonfrontasi, atau tidak sepakat dengan opini orang lain. Seperti dinyatakan dalam salah satu pernyataan Declaration of the Independence of Cyberspace oleh John Perry (1996), “We are creating a world where anyone, anywhere may express his or her beliefs, no matter how singular, without fear of being coerced into silence or conformity.” Hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap penyampaian ulang informasi dari @wolipop. Pesan yang semula disampaikan secara netral menjadi tidak obyektif lagi karena adanya subyektifitas pribadi yang dilekatkan oleh tweeps terhadap informasi tersebut. Di lain sisi, subyektifitas ini bisa menjadi daya tarik yang akan membuat orang bertanya-tanya mengapa komentar yang begitu keras muncul dari berita yang di twit oleh @wolipop. Rasa penasaran ini pun akan membuat orang tertarik untuk mencari tahu ada apa dengan berita tersebut, dan kemudian masuk ke dalam tautan yang disediakan. Temuan lain dalam penelitian ini adalah munculnya akun-akun twitter yang setia menyebarkan ulang twitter yang disampaikan oleh @wolipop. Seperti disampaikan oleh McQuail (2011), cyberspace mampu menciptakan budaya instan yang adiktif dalam kehidupan manusia. Semakin interaktif sebuah media, maka akan memungkinkan munculnya motivasi serta respon secara berkesinambungan dari para pengguna.
DAFTAR PUSTAKA Tannen, Deborah;Schriffrin,Deborah;&Hamilton, Heidi.(2004).The Handbook of Discourse Analysis.United Kingdom.Blackwell Publishing Ltd. Herring, Susan, C.(2007). A Faceted Classification Scheme for Computer-Mediated Discourse.E-journal of Language@Internet. Diakses dari http://www.languageatinternet.de, urn:nbn:de:0009-7-7611, ISSN 1860-2029. Herring, Susan, C.(2004). Slouching toward the ordinary: current trends in computermediated communication. Vol6(1):26–36 DOI: 10.1177/1461444804039906. Hunsinger, Jeremy; Klastrup, Lisbeth; Allen, Matthew.(2010). E-book International Handbook of Internet Research.Springer Science. Arshad, Aqila,&Hon, Bee,Tan.(2012). Discourse Analysis of Tertiary Students Tweets. Proceedings of the 7th Malaysia International Conference on Languages, Literatures, and Cultures, 2012. Diakses dari www.fbmk.upm.edu.my/micollac/proceedings Mei,L.H,Caroline.(2004). Computer Mediated Communication: Practice, Projects, and Purposes. E Journal of Teaching English With Technology.Volume 4 Issue 1, 2004. Diakses dari http://www.tewtjournal.org/pastissues2004.htm.