Anita Marwing*
CHILD ABUSE MENURUT TINJAUAN HUKUM ISLAM ABSTRAK Child abuse merupakan kekerasan atau perilaku yang salah pada anak. Bentuk-bentuk child abuse diantaranya kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologis, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial. Hukum Islam secara konsisten mendukung upaya perlindungan terhadap anak termasuk hadanah sebagai konsep Islam tentang pemeliharaan anak hingga menjadi dewasa dan baliq, dengan pemenuhan dimensi wiqayah, dimensi Siyanah, dimensi Kafalah, dimensi Ta’lim wa’ at-Tarbiyah pada anak. Adapun Child abuse menurut tinjauan hukum Islam, merupakan perbuatan yang menyalahi tujuan hukum Islam, maqashid al-syari'ah aldharuriyah terutama berkenaan dengan Hifz al-nafs, terlindunginya hak hidup dan jiwa bagi anak, sehingga syariat Islam memberikan konsekuensi hukum qishash, diyat dan ta’zir bagi pelaku child abuse yang telah melakukan kejahatan seperti pembunuhan dan penganiayaan, baik sengaja maupun tidak sengaja.
Kata kunci : Child Abuse, Hukum Islam, Hadanah, Kekerasan. A. Pendahuluan Akhir-akhir ini pemberitaan mengenai kekerasan terutama yang menjadikan anak-anak sebagai korban atau dikenal dengan sebutan child abuse seakan menunjukkan tren yang cenderung meningkat. Beberapa kasus yang mencuat dalam pemberitaan media massa bahkan menarik perhatian publik diantaranya kasus tindak kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta Timur, yang dialami oleh Rs, anak berusia 9 tahun yang akhirnya tewas pada 6 Januari lalu setelah sebelumnya dirawat akibat mengalami peradangan di otak dan luka parah akibat benda tumpul pada kelaminnya. 1 Di Batam, seorang ibu yang sedang depresi, ketika 1
Suara pembaruan, “ Divonis 15 tahun, Ayah perkosa anak hingga tewas santai saja” http://www.suarapembaruan.com, akses 28 september 2013.
18
kalap melampiaskan amarahnya dengan mencekik anak kandungnya sendiri, AM (6 tahun) hingga tewas. 2 Sementara di Ambon, seorang guru Sekolah Dasar Negeri menganiaya muridnya RR, siswa kelad IV SD hingga pingsan 3. Pemberitaan-pemberitaan child abuse atau kekerasan yang dipaparkan tersebut, sejalan dengan data yang dirilis Komisi nasional perlindungan anak bahwa sejak Januari 2013 hingga Juni 2013, telah terjadi sebanyak 1.032 kasus kekerasan terhadap anak. Dari jumlah kasus kekerasan tersebut terbagi menjadi tiga kategori, yakni kekerasan fisik 294 kasus (28 persen), Psikis 303 kasus (20 persen), dan paling banyak kekerasan seksual sebanyak 535 kasus (52 persen) 4 Bagaikan fenomena gunung es, data yang dikumpulkan oleh Komnas anak tersebut hanya menyingkap data permukaan dari kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Hal yang patut mendapatkan perhatian sekaligus keprihatinan adalah lingkup kekerasan terhadap anak kerap terjadi pada tiga tempat, yaitu rumah, sekolah dan lingkungan masyarakat dengan mayoritas pelaku kasus child abuse merupakan orang-orang yang terdekat dengan korban. Temuan ini merujuk pada data Hotline Service Pengaduan dan Advokasi Pusat Data dan Informasi (2005) tentang kekerasan pada anak di sekolah, bahwa 4.9 persen Kekerasan fisik dilakukan oleh bapak guru dan 42.16 persen oleh ibu guru sementara kekerasan psikis dilakukan oleh 4.1 persen bapak guru dan 6.2 persen oleh ibu guru.5 Dalam konteks Indonesia kenyataan ini memang sangat memprihatinkan mengingat para pelaku merupakan pendidik yang diharapkan memberikan contoh serta teladan dalam melindungi dan mendidik anak. 2
Suara merdeka, “ Seorang ibu mencekik anak kandungnya hingga tewas” www.suaramerdeka.com, akses 28 september 2013 3
Siwalima, “ Aniaya murid sampai pingsan, Guru SDN 86 terancam dimutasi” http://www.siwalimanews.com. Akses 2 oktober 2013. 4
Komisi nasional Pelindungan anak. Kekerasan seksual pada anak di Jateng makin tidak terbendung, http://komnaspa.wordpress.com/ akses pada tanggal 2 oktober 2013 5
YPHA Annual Lobby,“ Kekerasan anak dalam pendidikan: akar masalah, locus, korban, pelaku, dan kewajiban negara, http://www.scribd.com/ akses 2 oktober 2013.
19
Dari aspek hukum pula, negara republik Indonesia merupakan salah satu negara yang turut menandatangani Konvensi Hak anak (KHA) pada 26 januari 1990 di Bangkok, Thailand dan meratifikasi dengan Keputusan Presiden (Kepres) nomor 36 tahun 1990. Menindaklanjuti konvensi 1989, Pemerintah mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan memasukkan pasal 28 B Ayat (2), bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selanjutnya, pemerintah menerbitkan UndangUndang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan Undang-Undang nomor 23 tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta Undang-Undang nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak. Dengan adanya pelbagai perlindungan dari aspek hukum positif, ternyata tidak juga membuat jera para pelaku dan mengurangi angka kekerasan terhadap anak di Indonesia. Fakta yang terjadi, angka child abuse justru semakin meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Dengan demikian, pendekatan aspek hukum positif ternyata tidak saja cukup memadai, namun perlu diperkuat dengan peninjauan dari aspek hukum Islam. Sebagai negara yang dengan mayoritas penduduknya adalah muslim, semestinya kejadian-kejadian child abuse tidak boleh terjadi dan terulang, sebab ajaran-ajaran Islam secara eksplisit menuntun para penganutnya untuk senantiasa melindungi hak-hak anak. Oleh karena itu tulisan ini mencoba mengkaji child abuse dalam tinjauan Hukum Islam, dengan harapan pemahaman terhadap aspek hukum syar’i yang berdasar pada Al-Qur’an dan Al-Hadist tentang hak-hak dan perlindungan anak, mendorong setiap muslim khususnya di Indonesia untuk menerapkannya dalam kehidupannya sehari-hari, sehingga secara sistematis dapat mengurangi angka child abuse di Indonesia. B. Child abuse, bentuk, penyebab serta dampaknya Child dapat kita terjemahkan sebagai anak, atau kanakkanak, Anak dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002 disebutkan “Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
20
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.6 Sementara pengertian Abuse, dapat diartikan sebagai kekerasan, penganiayaan, penyiksaan atau perilaku yang salah, mencaci maki, atau memperlakukan dengan kasar. 7 Dengan demikian child abuse didefiniskan sebagai kekerasan atau perilaku yang salah pada anak. Baker mendefinisikan child abuse pada anak sebagai tindakan melukai yang berulang-ulang secara fisik dan emosional terhadap anak yang ketergantungan, melalui desakan hasrat, hukuman badan yang tak terkendali, degradasi dan cemoohan permanen atau kekersan seksual, biasanya dilakukan oleh para orang tua atau pihak lain yang seharusnya merawat anak, atau pihak-pihak yang dekat dengan anak seperti tetangga. 8 Terry E. Lawson, membaginya menjadi empat macam bentuk, yaitu emotional abuse, verbal abuse, physical abuse dan sexual abuse. 9 Menurut, Suhartochild abuse dibagi menjadi beberapa macam kekerasan diantaranya kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologis, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial. 10 Kekerasan secara fisik dapat berupa penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian anak. Kekerasan anak secara psikis, meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar atau film porno pada anak. Kekerasan anak secara seksual, dapat berupa perlakukan prakontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar, seperti pemerkosaan, pencabulan. Kekerasan secara sosial, dapat berupa 6
Undang-undang No. 23 tahun 2002 Pasal 1 ayat (1).
7
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia , (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1982), hlm. 4. 8
Robert Baker, The Sosial Work Dictionary, National Association of Sosial Workers, (Maryland, Silver Spring, 1987), hlm 23 9
Jalaudin Rahmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), hlm 34. 10
Edi Suharto, Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 1997), hlm 365-366.
21
penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran anak merupakan sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian secara layak pada tumbuh kembang anak. Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang baik.11 Prevalensi child abuse yang terus meningkat menunjukkan bahwa penyebab dari child abuse tidak bersifat tunggal, melainkan bersifat multi faktor baik meliputi faktor internal dan eksternal. Fakor internal adalah faktor yang berasal dari anak itu sendiri. Sementara faktor eksternal meliputi faktor orang tua atau keluarga maupun lingkungan sosial atau komunitas. Faktor internal atau faktor anak itu sendiri antara lain (1) Anak merupakan penderita gangguan perkembangan, menderita penyakit kronis disebabkan ketergantungan anak kepada lingkungannya; (2) Perilaku yang menyimpang pada anak. Sementara Faktor eksternal yang berasal dari kondisi keluarga antara lain: (1) Praktik-Praktik budaya yang merugikan anak; (2) Dibesarkan dengan penganiayaan; (3) Gangguan Mental; (4) Belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial, terutama mereka yang mempunyai anak berusia sebelum 20 tahun; (5) Pecandu minuman keras atau obat-obatan. Adapun faktor kondisi lingkungan sosial atau komunitas diantaranya: (1) Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialis; (2) Kondisi sosialekonomi yang rendah; (3) Adanya nilai dalam masyarakat bahwa anak adalah milik orang tua sendiri; (4) Status wanita yang dipandang rendah; (5) Sistem keluarga yang patriakal; (6) Nilai masyarakat yang individual.12 Hal yang paling mengkhawatirkan dari child abuse selain dampak langsung juga efek domino yang ditimbulkannya pada korban berlangsung sepanjang hidupnya. Richard J Gelles menjelaskan bahwa konsekuensi dari tindakan kekerasan dan penelantaran anak dapat menimbulkan kerusakan dan akibat yang
11
Abu Huraerah, Child Abuse, (Bandung: Nuasa , 2006), hlm 48-49. 12
Rusmil, Kusnaedi, “Penganiayaan dan Kekerasan terhadap Anak,” disadur oleh Abu Huraearah, Child Abuse, (Bandung,: Nuasa, 2008), hlm. 51.
22
lebih luas, luka-luka fisik, luka bakar, bahkan kematian. 13 Efek psikologis pada anak korban kekerasan dan penganiayaan bisa seumur hidup, seperti rasa harga diri rendah, ketidakmampuan berhubungan dengan teman sebaya, gangguan belajar. Dalam beberapa kasus kekerasan dapat mengakibatkan gangguangangguan kejiwaan seperti depresi, kecemasan berlebihan, atau gangguan identitas disosiatif dan juga bertambahnya resiko bunuh diri. C. Konsepsi Islam tentang anak dan pemeliharaannya Anak dalam konsepsi Islam ditetapkan sebagai Individu yang belum baliq.14Baliq merupakan fase perkembangan seseorang individu yang telah matang baik dari segi pemikiran, perilaku atau hal-hal lainnya, atau sering pula menjadikan indikator biologis sebagai patokan misalnya bahwa laki-laki yang belum keluar air mani disebut sebagai anak-anak sedangkan bagi perempuan adalah seseorang yang belum keluar darah haid. Oleh karena itu konsepsi anak dalam Islam sendiri menjadi sangat subjektif dan Individual, jika dibandingkan dengan konsepsi anak dalam The Minimum Age 1381, bahwa anak adalah seseorang berusia 15 tahun kebawah, atau UU No.23 tahun 2002 berdasarkan Convention on the Rights of the Child, bahwa anak adalah seorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, atau definisi UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia antara 0-18 tahun. Pendefinisian anak dalam Islam selanjutnya menjadikan mereka dikategorikan sebagai orang-orang yang belum mumayyis, atau orang yang kehilangan kecerdasannya, karena dinilai belum dapat mengerjakan keperluan diri sendiri. Oleh karena itu Islam memandang, bahwa perlindungan terhadap anak yang dikategorikan belum baliq atau mumayyis, merupakan suatu kewajiban bagi orang-orang yang memilki hubungan terdekat 13
Richard J Gelles, “ The social construction of child abuse. American Journal of Orthopsychiatry,1975, 45: 363–371 14
Mohammad Fauzil Adhim, Positive Parenting, Cara-cara Islami Mengembangkan Karakter Positif Pada Anak, (Jakarta: PT Mizan Media Utama, 2006), hlm. 247.
23
dengan anak terutama orang tuanya hingga anak tersebut menjadi dewasa dan baliq. Pola pengasuhan seperti ini dikenal dengan Hadanah. Para ulama Fiqh sepakat bahwa hukum merawat dan mendidik anak adalah wajib, karena apabila anak yang belum dewasa tidak dirawat dan didik dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri mereka, bahkan bisa menjurus kepada kehilangan nyawa. 15 Perlindungan dan pemeliharaan anak dalam hadanah dibebankan kepada keluarganya terutama kedua orang tuanya. Dengan pertimbangan bahwa anak-anak adalah titipan (amanah) Allah Swt. yang harus dijaga baik-baik karena akan dipertanggung jawabkan kepada-Nya. Hadhanah pada dasarnya mencakup beberapa dimensi, yaitu (a) Dimensi Wiqayah: yaitu pemeliharaan anak dari segala bahaya fisik jasmani yang mungkin menimpanya, seperti kecelakaan dan penyakit; (b) Dimensi Siyanah: yaitu perlindungan terhadap anak dari kemungkinan gangguan psikis dan rohani, seperti pergaulan dengan teman sebayanya yang mungkin dapat merusak perkembangan kepribadiannya; (c) Dimensi Kafalah: yaitu pemberian makan, minum, pakaian dan tempat tinggal yang layak bagi anak; (d) Dimensi Ta’lim wa’ at-Tarbiyah: yaitu pemberian pendidikan dan penjagaan tahap awal terhadap sang anak. Dimensi-dimensi tersebut mengisyaratkan keluasan dimensi pemeliharaan anak yang keseluruhannya berpijak pada tujuan hukum Islam sebagaimana termaktub dalam pokok-pokok yang lima (al-muhafazatu ‘ala alkulliyat al-khams) terutama yang berkenaan dengan Hifz al-nafs, terlindunginya hak hidup. Dengan kata lain, pemeliharaan anak atau hadanah adalah manifestasi pengakuan terhadap hak-hak dasar manusia sekaligus pencerminan keadilan, dan kesetaraan manusia di depan hukum untuk mewujudkan atau menegakkan kemaslahatan bagi umat manusia, khususnya umat Islam.16
15
Abdul Azis Dahlan (et al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2 (Cet.V; Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), h. 415. 16
Yudian Wahyudi, Ph. D, Ushul Fikih Versus Hermeneutika, cet. I, (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2006), hlm. 45.
24
D. Child abuse Menurut Tinjauan Hukum Islam Hukum Islam dengan kedua sumber pokoknya Al-Qur’an dan As-Sunah, telah menetapkan tentang bagaimana orang-orang terdekat dengan anak terutama orang tua agar senantiasa memperlakukan anak dengan baik, oleh karena itu child abuse yang terbagi menjadi empat macam yaitu verbal abuse, seksual abuse, physical abuse, dan social abuse merupakan suatu hal yang dilarang sebab Islam merupakan suatu agama yang menekankan perlindungan anak dengan rasa kasih sayang, sehingga perlanggaran terhadap hak-hak anak, dalam bentuk apapun tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini sebagaimana digambarkan oleh Hadist Rasulullah Saw: “Tidak termasuk golongan umatku mereka yang (tua) tidak menyayangi yang muda, dan mereka yang (muda) tidak menghormati yang tua.” (HR. Al-Nasaiy)17. Dalam perspekftif hukum Islam sendiri, Child abuse lebih berkenaan dengan kedzaliman dikarenakan menyia-nyiakan hak anak-anak, untuk itu agar orang–orang yang berwenang termasuk orang tua tidak terjerumus dalam kondisi tersebut, Islam telah menggaris bawahi kewajiban orang tua dalam memperhatikan pemenuhan hak-hak anak sebagai berikut: (1) Hak untuk hidup; (2) Hak mendapat nama yang baik; (3) Hak disembelihkan aqiqahnya; (4) Hak untuk mendapatkan ASI (dua tahun); (5) Hak makan dan minum yang baik; (6) Hak diberi rizki yang baik; (7) Hak mendapatkan Pendidikan Agama; (8) Hak mendapatkan pendidikan sholat; (9) Hak mendapat tempat tidur terpisah antara laki-laki dan perempuan; (10) Hak mendapatkan pendidikan dengan pendidikan adab yang baik; (11) Hak mendapat pengajaran yang baik; (12) Hak mendapat pengajaran Al-Qur’an; (13) Hak mendapat pendidikan dan pengajaran baca tulis; (14) Hak mendapat perawatan dan pendidikan kesehatan; (15) Hak mendapat pengajaran keterampilan Islam memberantas pengangguran; (16)
17
Al-Hafiz Jalaluddin al-Suyuthiy, Sunan al-Nasaiy bi Syarh Jalaluddi al-Suyuthiy, Jilid 4, Juz 7 (Beirut: Dâr al-Jiil, t.th.), h. 311.
25
Hak mendapat tempat yang baik dalam hati orang tua; (17) Hak mendapat kasih sayang.18 Sementara penelusuran bagaimana orang tua dalam mendidik anak dapat ditemukan dengan melakukan penafsiran terhadap teks-teks ayat 23-24 surat Al-Isra’ yang menekankan pendekatan emosional terhadap anak dengan cara memberikan perhatian dan kasih sayang kepada anak, bersikap lemah lembut, berkata dengan perkataan yang baik, dan tidak memaksakan kehendak orang tua sebab dunia anak dan orang dewasa itu berbeda. Dengan kata lain orang tua memberikan kelonggaran bagi anak untuk berkreativitas. Selain itu orang tua mendoakan anak agar Allah Swt. senantiasa melimpahkan kasih sayang-Nya terhadap anak. Sikap orang tua terhadap anak tersebut memerlukan kesabaran dan pengorbanan yang begitu besar. Orang tua yang telah bersabar dan berkorban dalam mendidik dan mengarahkan anak agar menjadi anak yang shalih.19 E. Fiqh Jinayah tentang child abuse Bagaimana hukum Islam jika terdapat pelanggaran terutama kekerasan terhadap anak? Dalam konteks hukum apapun, baik hukum positif atau hukum pidana Islam, tindakan penganiayaan yang terjadi baik diluar maupun dalam keluarga dapat dikatakan sebagai bentuk kejahatan, termasuk dalam ranah hukum pidana, dalam hukum pidana Islam yang bersumber dari Al-qur’an dan Sunnah dikenal dengan fiqh jinayah. Jinayah artinya perbuatan dosa, perbuatan salah atau jahat. Menurut Dr. Abdul Kadir Audah bahwa, jinayah menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan Syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta, benda, maupun selain jiwa dan harta benda. Perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana adalah suatu perintah dan larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan dampak yang 18
Shalahuddin hamid, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam, (Jakarta: Amissco, 2000), hlm. 139. 19
Departermen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahanya, Jakarta : Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an.1979, Terjemahan surah Al- Isra’ 24 “ Wahai Tuhanku, kasihilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.
26
buruk, baik bagi sistem/aturan masyarakat (nizam al-jamaah), akidah (kepercayaan), kehidupan individu, keamanan harta, kehormatan diri (nama baik), perasaan-perasaannya, maupun berbagai pertimbangan lain yang harus dipelihara. Child abuse terutama dalam bentuk fisik merupakan Jinayah. Hal ini dipertegas oleh hadis Rasulullah Saw. bersabda : “Tidak boleh terjadi kerusakan kepada manusia dan tidak boleh manusia melakukan kerusakan terhadap orang lain”. Segala bentuk tindakan kerusakan terhadap orang maupun makhluk lainnya dilarang oleh agama dan tindakan tersebut adalah kejahatan atau disebut dengan jinayah atau istilah yang lebih tepat dari itu adalah jarimah (perbuatan pidana/tindak pidana). Dalam konteks fikih jinayah, jarimah (perbuatan pidana/tindak pidana) merupakan perbuatan dosa kepada Allah dan akan mendapatkan sanksi hukuman di akhirat. Fuqaha mengistilahkan lafal hukuman dengan lafal ajziyah (bentuk plural) dan bentuk singularnya adalah jaza, apabila dalam melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan atau meninggalkan suatu perbuatan tidak ditetapkan hukuman tertentu, perkara tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana (jarimah). Para fuqaha sendiri membagi tindak pidana (jarimah) terhadap manusia menjadi tiga bagian: (a). Tindak pidana atas jiwa secara mutlak. Masuk dalam bagian ini adalah tindak pidana yang merusak jiwa yaitu pembunuhan dengan berbagai macamnya; (b). Tindak pidana atas selain jiwa secara mutlak. Masuk dalam bagian ini adalah tindak pidana yang menyentuh anggota tubuh manusia tetapi tidak menghilangkan nyawa yaitu pemukulan dan pelukaan (penganiayaan); (c). Tindak pidana atas jiwa di satu sisi dan bukan jiwa di sisi yang lain yakni tindak pidana atas janin. Di satu sisi, janin dianggap jiwa (bernyawa) tetapi di sisi lain ia tidak dianggap jiwa. Dianggap jiwa karena ia adalah anak manusia, ia dianggap tidak berjiwa karena janin belum berpisah dari ibunya. Sementara para fuqaha membagi tindak pidana atas selain jiwa, baik yang disengaja dan tidak disengaja menjadi lima bagian. Pembagian ini didasarkan pada akibat perbuatan pelaku. Pembagian tersebut antara lain; (a) Memisahkan anggota badan atau yang sejenisnya; (b) Menghilangkan manfaat anggota badan, tetapi anggota badannya tetap ada; (c) Melukai kepala dan muka 27
(syajjaj); (d) Melukai selain kepala dan muka (al-jirah); (e) Luka yang tidak termasuk empat jenis sebelumnya. Tentang hukuman bagi child abuse sebagai bentuk pengaturan tentang penganiayaan fisik atau tindak pidana atas selain jiwa dalam hukum pidana maupun pengaturan yang berkaitan kekerasan fisik terhadap anak didasarkan pada pencapaian tujuan maqashid al-syari'ah al-dharuriyah, yaitu untuk memelihara jiwa serta mewujudkan keberlangsungan kehidupan manusia, karena itu Allah Swt. mensyari'atkan hukum qishash, diyat dan ta’zir bagi orang yang melakukan kejahatan seperti pembunuhan dan penganiayaan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Secara lebih jelas, Hukuman bagi pelaku tindak pidana atas selain jiwa adalah qisas, disamping itu juga diwajibkan hukuman takzir (penjara/pengasingan) bagi pelakunya. Jika qisas batal dilaksanakan maka hukuman diganti dengan diyat. F. Penutup Prevalensi kekerasan anak atau yang dikenal dengan child abuse di Indonesia, meningkat dengan sangat pesat. Pada medio Januari sampai Juni 2013, Komnas perlindungan anak telah mencatat 1.032 kasus kekerasan terhadap anak, sehingga tahun 2013 disebut sebagai tahun darurat kejahatan terhadap anak. Kondisi anak di Indonesia sangat memprihatinkan, mereka rentan menjadi korban berbagai macam kekerasan baik kekerasan secara fisik, kekerasan secara psikologis, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara sosial terutama ketika berada dalam lingkungan serta orang-orang yang diharapkan memberikan perlindungan kepada mereka. Dalam rangka melindungi anak-anak dari kekerasan serta dampak jangka pendek dan jangka panjang yang ditimbulkannya, Pemerintah Indonesia telah melakukan pelbagai upaya termasuk dengan menerbitkan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, Undang-Undang nomor 23 tahun 2003 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta Undang-Undang nomor 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, hanya saja berbagai payung hukum tersebut tidak berhasil menahan laju angka child abuse di Indonesia. Pendekatan lain yang dapat dilakukan secara integral
28
dengan pendekatan hukum positif, adalah dengan melakukan kajian mendalam sekaligus pemberian pemahaman bagi umat Islam, sebagai mayoritas penduduk di Indonesia, mengenai aspek hukum Islam yang secara konsisten mendukung upaya perlindungan terhadap anak, misalnya konsepsi anak dalam Islam, sebagai individu yang belum baliq atau mumayyis yang selanjutnya wajib dipelihara oleh orang-orang yang terdekat terutama orang tuanya, yang disebut dengan hadanah. Tujuan hadanah, menyiapkan individu menjadi dewasa dan baliq dengan memperhatikan dimensi wiqayah, dimensi Siyanah, dimensi Kafalah, dimensi Ta’lim wa’ at-Tarbiyah pada anak. Dengan demikian, child abuse dalam tinjauan Islam, dianggap bertentangan dengan perlindungan anak dengan rasa kasih sayang sekaligus menyalahi tujuan hukum Islam, maqashid al-syari'ah al-dharuriyah terutama Hifz al-nafs, terlindunginya hak hidup dan jiwa bagi anak, sehingga syariat Islam juga memberikan konsekuensi hukum qishash, diyat dan ta’zir bagi orang yang melakukan kejahatan seperti pembunuhan dan penganiayaan, baik sengaja maupun tidak sengaja. Secara jelas, hukum Islam memiliki sikap yang tegas menjunjung hak-hak dasar manusia keadilan, dan kesetaraan manusia di depan hukum sehingga mendorong umatNya untuk mewujudkan serta menegakkannya demi kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang latar belakang apapun.
DAFTAR PUSTAKA Adzim, Mohammad Fauzil. (2006). Positive Parenting : Cara cara Islami mengembangkan Karakter Positif Pada Anak. Bandung: PT Mizan Media Utama. Al-Suyuthiy Al-Hafiz Jalaluddin. Sunan al-Nasaiy bi Syarh Jalaluddi al-Suyuthiy, Jilid 4, Juz 7 Beirut: Dâr al-Jiil. Baker, Robert,(1987). The Sosial Work Dictionary, National Association of Sosial Workers, Maryland, Silver Spring.
29
Dahlan , Abdul Azis dkk. (2001) Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 2 Cet.V, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Departermen Agama RI (1979). Al-Qur’an dan Terjemahanya, Jakarta : Proyek Pengadaan Kitab Suci al-Qur’an. Echols, John M. dan Shadily, H. (1982), Kamus Inggris-Indonesia .Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Gelles, R. J. (1975), The Social construction of child abuse. American Journal of Orthopsychiatry, 45: 363–371. Hamid, S. (2000). Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam. Jakarta: Amissco. Huraerah, A. (2006). Kekerasan Pada Anak . Bandung: Penerbit Nuansa Komisi nasional perlindungan anak (2013). Kekerasan seksual pada anak di Jateng makin tidak terbendung. Diakses pada 2 oktober 2013, Sumber:http://komnaspa.wordpress.com/ Rahmat, Jalaludin. (2001) Psikologi Komunikasi (ed. revisi) Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001 Siwalimanews, 26 Agustus 2013. Aniaya murid sampai pingsan, Guru SDN 86 terancam dimutasi” .Diakses pada 2 oktober 2013, sumber: http://www.siwalimanews.com Suara merdeka. 18 Agustus 2013. Seorang ibu mencekik anak kandungnya hingga tewas.Diakses pada 28 september 2013, sumber: www.suaramerdeka.com Suara pembaruan. 18 Juni 2013. Divonis 15 tahun, Ayah perkosa anak hingga tewas santai saja. Diakses pada tanggal 28 september 2013, sumber: http://www.suarapembaruan.com/ Suharto, E. (1997). Pembangunan Kebijakan Sosial dan Pekerjaan Sosial .Bandung: Lembaga Studi Pembangunan-Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
30
Wahyudi, Y. (2006) Ushul Fikih Versus Hermeneutika, cet. I, Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press YPHA Annual Lobby (2006). Kekerasan anak dalam pendidikan: akar masalah,locus, korban, pelaku, dan kewajiban negara. Diakses pada 2 oktober 2013, sumber: http://www.scribd.com. akses 2 oktober 2013.
31