VOLUME 32 - NO. 5 - TAHUN 2013
ISSN:2301-9190 Akreditasi Jurnal Ilmiah SK No. 52/DIKTI/Kep./2002
JURNAL HUKUM BISNIS, VOLUME 32 NOMOR 5 TAHUN 2013
BUKTI TIDAK LANGSUNG (INDIRECT EVIDENCE) DAN PENERAPANNYA DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA Indirect Evidence dalam Hukum Persaingan Usaha Analisis Ekonomi dalam Pembuktian Kartel Bukti Petunjuk dan Pembuktian Keadaan dalam Perkara Persaingan Penerapan Alat Bukti Petunjuk dalam Perkara Pidana Bukti Tidak Langsung dalam Menentukan Pelanggaran UU No. 5 tahun 1999: Studi Kasus Industri Minyak Goreng Sawit
OJK dan BI: Kewenangannya dalam Pengawasan Perbankan di Indonesia
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Volume 32 No. 5 Tahun 2013
JURNAL HUKUM BISNIS 1
JURNAL HUKUM BISNIS adalah publikasi dan Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis (YPHB) berupa jilid-jilid buku himpunan catatan atau tulisan yang diterbitkan secara berkesinambungan, dan dimaksudkan sebagai wadah pertukaran gagasan, telaah dan kajian, di samping sebagai penyalur informasi, untuk tujuan pengembangan dari pembangunan hukum bisnis di Indonesia. Penerbitan ini memuat catatan atau tulisan bersifat ilmiah dan ilmiah populer dalam lingkup hukum bisnis dan kalangan ahli, akademisi maupun praktisi. Peredaran penerbitan terbatas di kalangan pemerhati. Tulisan-tulisan yang dimuat setelah melalui penyuntingan seperlunya oleh penerbit dengan tanpa mengubah substansi sesuai naskah aslinya. Tulisan dalam penerbitan ini sepenuhnya merupakan pendapat dan tanggung jawab pribadi penulisnya, dan tidak dapat diartikan sebagai mencerminkan pendapat penerbit/Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.
YAYASAN PENGEMBANGAN HUKUM BISNIS (YPHB) berdiri di Jakarta 6 Februari 1997 berdasarkan Akta Notaris No. 21 dan Notaris Imas Fatimah, SH. YPHB adalah lembaga nirlaba yang dibentuk oleh sejumlah akademisi, praktisi dan pemerhati dan kalangan hukum dan dunia usaha untuk tujuan turut serta dalam upaya-upaya pengembangan dan pembangunan hukum bisnis pada khususnya, dan pembangunan hukum nasional pada umumnya. Badan Pendiri: Ketua merangkap anggota: Prof. Dr. St. Remy Sjahdeini, SH. Sekretaris: Anggota: Soehadibrolo, SH; Drs. Normin S. Pakpahan,SH, MBA; Ir. Djoko Ramiadji, MSc; Ir. ThamrinTanjung, MBA; Ir. Eddy K. Sariaatmadja; G. Munusamy. Badan Pengurus: Ketua: Prof. Dr. St. Remy Sjahdeini, SH. Wakil Ketua I: Soehadibroto, SH; Wakil Ketua II: Drs.Agus Darjanto, MBA. Sekretaris: - ; Wakil Sekretaris: Soemarjoto, SH. Bcndahara: Ir. ThamrinTanjung, MBA; Wakil Bendahara: Drs. Aso Sentana, MM. Anggota: Drs. Normin S. Pakpahan, SH, MBA; Ir. Eddy K. Sariaatmadja.
Alamat: Gedung Manggala Wanabakti, Blok IV, Lantai 3, Wing B, No. 316B Jl. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270 Telp. (021) 57902972, 5703246 Psw. 5229; Fax: 57902972 E-mail:
[email protected] J URNAL HUKUM BISNIS
JURNAL HUKUM BISNIS i
Volume 32 No. 5 Tahun 2013 ISSN: 2301-9190
Dewan Redaksi Prof. Dr. St. Remy Sjahdeini, SH Dr. Tjip Ismail, SH., MH
Pelaksana Penerbitan Pemimpin Umum/Redaksi: Dr. W. Djuwita Ramelan Wakil Pemimpin Umum/Redaksi:: Dr. Myrna Laksman - Huntley Produksi: Hasanudin Pemasaran & Sirkulasi: Tarmuji Wiguno Keuangan & Sekretaris: Herlina, SE
Pengantar...............................................................................................................iii Editorial Bukti Tidak Langsung dalam Kasus Kartel........................................ iv
Artikel Utama Dr. Jur. M. Udin Silalahi, SH, LLM Indirect Evidence dalam Hukum Persaingan Usaha................................376 Dr. Andi Fahmi Lubis, SE, ME Analisis Ekonomi dalam Pembuktian Kartel................................. 386 A. Junaidi, SH, MH, LLM, M.Kn Bukti Petunjuk dan Pembuktian Keadaan dalam Perkara Persaingan..............................................................................394 Mahrus Ali, SH, MH Penerapan Alat Bukti Petunjuk dalam Perkara Pidana........................405 Dr. Alum Petronella Simbolon, SH, MH Bukti Tidak Langsung dalam Menentukan Pelanggaran UU No. 5 tahun 1999: Studi Kasus Industri Minyak Goreng Sawit............................................414 Artikel Pendamping Amalia Yustisia, SH, SS, MH OJK dan BI: Kewenangannya dalam Pengawasan Perbankan di Indonesia........424 Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat................................................................................................ 434 Penjelasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ............................................................................................... 446
ii
JURNAL HUKUM BISNIS
Pembaca e-JHB yang setia, ketika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam menangani perkara-perkara kartel hanya bersandarkan pada satu alat bukti, banyak yang mempersoalkannya. Kritikan pedas datang dari para pelaku usaha, praktisi hukum, pengamat ekonomi, dan akademisi. Contohnya, dua kasus yang menyangkut perkara fuel surcharge maskapai penerbangan dan perkara produsen minyak goreng yang diputus KPPU itu terkait dengan dugaan praktik kartel. Apalagi ketika KPPU hanya bersandarkan pada satu alat bukti. Oleh karena itu, masalah bukti tidak langsung menjadi penting untuk pembahasan kita. Pembaca e-JHB yang setia, redaksi menampilkan Bukti Tidak langsung (Indirect Evidence) dan Penerapannya dalam Hukum Persaingan Usaha menjadi bahasan utama dalam JHB Vol 32 No 5 tahun 2013. Seperti biasanya, artikel utama ditulis oleh para pakar hukum, yaitu M. Udin Silalahi: “ Indirect Evidence dalam Hukum Persaingan Usaha”, Andi Fahmi Lubis: “Analisis Ekonomi dalam Pembuktian Kartel”, A. Junaidi: “Bukti Petunjuk dan Pembuktian Keadaan dalam Perkara Persaingan”, Mahrus Ali: ”Penerapan Alat Bukti Petunjuk dalam Perkara Pidana”, dan Alum Simbolon: “Bukti Tidak Langsung” dalam Menentukan Pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999: Studi Kasus Industri Minyak Goreng Sawit”. M. Udin Silalahi, dalam urainnya menegaskan bahwa: “peranan bukti tidak langsung dalam hukum persaingan usaha dipergunakan oleh lembaga persaingan usaha untuk menuntut pelanggaran kartel ini perlu dikaji lebih lanjut”. Pandangannya dilandasi oleh pemikiran bahwa diperlukan bukti tidak langsung dalam mendeteksi praktik kartel di pasar yang bersangkutan. Penerapan bukti tidak langsung pun sudah diakui oleh negara yang mempunyai hukum persaingan usaha. Namun, peran bukti tidak langsung tergantung pada jurisdiksi hukum masing-masing negara. Dalam sudut pandang ekonomi, Andi Fahmi Lubis memberikan pandangan bahwa: “Untuk perkara kartel, analisis ekonomi yang digunakan dapat dipecah menjadi dua tahapan analisis, yaitu 1) analisis struktural, yang digunakan untuk menjelaskan apakah pasar bersangkutan memiliki kecenderungan untuk berkolusi, dan 2) analisis perilaku atau perubahan, yang digunakan untuk menjelaskan apakah perilaku di pasar konsisten dengan perilaku kartel”. Lebih jauh dikatakan: “analisis ekonomi akan sangat berguna untuk menjustifikasi perlunya investigasi lebih mendalam, untuk mendapatkan bukti langsung.” A. Junaidi yang juga memperhatikan sudut pandang ekonomi, menyimpulkan bahwa (a)
ada alat bukti dalam pasal 42 UUHPU yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dengan memperhatikan karateristik analisis ekonomi, (b) pembuktian keadaan (circumstancial evidence) atau pembuktian tidak langsung adalah penilaian fakta melalui interpretasi logika termasuk analisis ekonomi, (c) pembuktian keadaan atau pembuktian tidak langsung dibenarkan digunakan dalam putusan sebagai bagian dari kewenangan menilai alat bukti Komisi, dan (d) pembuktian keadaan atau pembuktian tidak langsung bukanlah alat bukti dan tidak sama dengan alat bukti petunjuk. Sementara itu, Mahrus Ali menyoroti penerapan alat bukti petunjuk dalam perkara pidana. Ia menegaskan bahwa: “.....agar penerapan alat bukti petunjuk mencerminkan perlindungan hak terdakwa dalam kerangka peradilan pidana yang adil, ada empat proses yang harus diikuti hakim, yaitu pemeriksaan terhadap keterangan saksi, keterangan terdakwa, dan bukti surat secara cermat, seksama dan hati-hati; pengambilan kesimpulan pada tiaptiap keterangan saksi, terdakwa dan bukti surat; analisis kesesuaian atas kesimpulan tersebut yang hasilnya berupa bukti petunjuk; dan mengkaitkan antara bukti petunjuk yang dihasilkan dari analisis kesesuaian dengan tindak pidana/unsur objektif dan kesalahan/unsur subjektif terdakwa”. Dalam studi kasus Perkara Nomor 24/KPPU-I/2009 Tentang Industri Minyak Goreng Sawit, Alum Simbolon menegaskan bahwa seharusnya KPPU menggunakan setidaknya dua alat bukti yang digunakan untuk membuktikan sebuah perbuatan melanggar hukum. Dalam perkara itu KPPU menggunakan indirect evidence, yaitu bukti komunikasi (communication evidence) dan bukti ekonomi (economic evidence) yang terdiri atas bukti yang terkait dengan struktur dan perilaku. Dalam edisi ini, redaksi juga menyuguhkan artikel pendamping mengenai OJK dan Bank Indonesia yang ditulis oleh Amalia Yustisia. Ia menyimpulkan bahwa: “Penetapan parameter yang jelas tentang bank yang dianggap memiliki kesulitan likuiditas dan layak mendapatkan bantuan FPJP dalam peraturan pelaksana yang dirumuskan lebih lanjut oleh BI dan OJK dapat mencegah potensi permasalahan kelayakan pemberian FPJP pada bank yang dianggap mengalami masalah likuiditas di kemudian hari. Untuk menganggulangi kedua masalah tersebut, koordinasi OJK dan BI menjadi kunci utama keberhasilan pengawasan dalam sektor perbankan.” Sebagai bahan, redaksi menyertakan UU RI No 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat beserta Penjelasannya Pembaca e-JHB yang setia, selamat membaca. (WDR)
JURNAL HUKUM BISNIS iii
BUKTI TIDAK LANGSUNG DALAM KASUS KARTEL Pembuktiankartelsulitdilakukanjikadihubungkan dengan hukum acara perdata di Indonesia, yang lebih menekankan penggunaan bukti langsung (direct evidence).Padahal, bukti langsung sangat sulit ditemukan dalam pemeriksaan perkara dugaan kartel, sehingga pembuktian kartel lebih banyak menggunakan bukti tidak langsung (indirect evidence). Dengan alat bukti tidak langsung, pembuktian yang diajukan tidak bersifat fisik, tetapi pembuktian diperoleh sebagai kesimpulan dari hal atau peristiwa yang terjadi di persidangan. Pertanyaannya adalah, apakah hukum positif Indonesia mengakui tentang bukti tidak langsung? Pasal 184 KUHAP menentukan alat bukti terdiri atas keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Tata urutan alat bukti ini sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 1866 KUHPerdata dan Pasal 164 HIR menentukan alat bukti terdiri atas bukti tulisan, keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Contoh penggunaan alat bukti tidak langsung dalam praktik penegakan hukum persaingan usaha, yaitu putusan terhadap dugaan pelanggaran Pasal 22 UU Nomor 5 Tahun 1999. Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 906 K/Pdt. Sus/2010, menegaskan bahwa persekongkolan tender dianggap terjadi jika ditemukan beberapa petunjuk atau bukti tidak langsung (indirect evidence) yang bersesuaian dengan beberapa peristiwa lainnya. Indirect evidence adalah bukti yang tidak dapat menjelaskan secara spesifik dan jelas materi kesepakatan antarpelaku usaha, baik bukti-bukti ekonomis maupun bukti komunikasi atau pertemuan. Untuk menggunakan bukti tidak langsung tersebut, harus terdapat kesesuaian fakta secara utuh, yang ditemukan selama proses pemeriksaan perkara. Putusan Mahkamah Agung itu mengakui adanya dua macam bukti tidak langsung. Dalam kartel, bukti ekonomi dapat membantu untuk mengidentifikasi pasar cenderung akan cartelized. Dengan bukti ekonomi misalnya, dapat membantu untuk membuktikan adanya kartel dengan menganalisis perilaku para pemain di pasar. Selanjutnya, bukti komunikasi adalah bukti-bukti bahwa operator kartel (misalnya) bertemu atau berkomunikasi, tetapi tidak menggambarkan substansi komunikasi mereka. Ini antara lain mencakup, catatan percakapan telepon antara para peserta tersangka kartel, namun tidak termasuk substansi yang sebenarnya dari komunikasi tersebut. Selanjutnya, perjalanan ke tujuan melalui rute umum atau partisipasi dalam rapat. iv
Bukti komunikasi lainnya seperti risalah rapat yang menunjukkan bahwa pemanfaatan harga, permintaan atau kapasitas, dokumen internal yang membuktikan pengetahuan atau pemahaman tentang strategi harga pesaing, seperti prediksi harga di masa depan. Apakah indirect evidence dapat berdiri sendiri sebagai bukti telah terjadinya pelanggaran Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1999 ataukah harus didukung oleh bukti lainnya? Beban pembuktiannya ada pada siapa? Menjawab pertanyaan ini tidak mudah. Mengingat bahwa tata cara penanganan perkara dugaan pelanggaran UU Nomor 5 Tahun 1999 lebih berkecenderungan menggunakan tata cara beracara pidana setidak-tidaknya urutan alat-alat bukti sama dengan Pasal 184 KUHAP meskipun substansi pelanggarannya termasuk dalam hukum perdata. Untuk itu, bila berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009, maka tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undangundang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Hukum pidana mewajibkan penuntut untuk membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan penerapan batas minimum bukti yang sah (beyond reasonable doubt). Dalam kasus pidana, pihak yang dianggap tidak bersalah harus dilindungi dari tuduhan tanpa bukti dan kemungkinan perampasan terhadap kebebasan. Pada sisi lain, pembuktian perkara perdata menerapkan argumen pihak yang paling meyakinkan (preponderance of evidence). Pengadilan dituntut untuk memutuskan perkara berdasarkan bukti argumentasi berupa keyakinan para pihak dan pengadilan tidak memiliki kewajiban untuk mencari kebenaran sendiri. Hakim harus memutuskan apakah argumentasi penggugat atau tergugat yang lebih logis dan dapat diterima (preponderance of evidence). Pengadilan dianggap sebagai pihak netral yang mempertimbangkan keseimbangan hak dan argumentasi dari kedua pihak yang berperkara. Dalam kasus perdata, standar pembuktian sering bergeser berdasarkan tingkat keseriusan perkara. Tingkat keseriusan dari perkara penggugat yang harus dibuktikan di hadapan pengadilan dapat dianggap meyakinkan, bahkan dalam ranah preponderance of evidence, mencerminkan bahwa terdapat pertimbangan keseriusan dalam sebuah perkara. JURNAL HUKUM BISNIS
ARTIKEL UTAMA
376
JURNAL HUKUM BISNIS
ARTIKEL UTAMA
ANDI FAHMI LUBIS Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
[email protected]
ANALISIS EKONOMI DALAM PEMBUKTIAN KARTEL
The role of economic analysis is important in the antitrust law to detect cartel. The economic analysis used in antitrust case usually can be differentiate into three categories, i.e: i) analysis of incentive, ii) analysis of ability, and iii) analysis of benefit and cost. In cartel cases, the economics analysis can be broke down into two-step analysis, which are 1) structural analysis, to analyse whether the market under investigation had the possibility to collude, and 2) behaviour or change analysis, to analyze whether behaviour of the market under investigation consistent with cartel behaviour. The economic analysis can be useful in pro-active anti-cartel policy, but this paper argue that the economic evidence should not be used as a tool to prove the exisence of cartel agreement but merely as a trigger for issuing inspection in cartel cases.
Keywords: cartel, circumstantial evidence, economic analysis, collusion, antitrust investigation
Peran analisis ekonomi penting dalam hukum persaingan usaha untuk mendeteksi perilaku kartel, menentukan motif, dan atau memprediksi dampak dari perilaku perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan kajian untuk menjelaskan bagaimana bukti ekonomi dapat digunakan sebagai bukti tidak langsung (circumstantial evidence) di dalam perkara dugaan kartel. Analisis ekonomi yang umumnya digunakan dalam perkara persaingan usaha dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: i) analisis insentif, ii) analisis kemampuan, dan iii) analisis untungrugi. Untuk perkara kartel, analisis ekonomi yang digunakan dapat dipecah menjadi dua tahapan analisis, yaitu: 1) analisis struktural, yang digunakan untuk menjelaskan apakah pasar bersangkutan memiliki kecenderungan untuk berkolusi, dan 2) analisis perilaku atau perubahan, yang digunakan untuk menjelaskan apakah perilaku di pasar konsisten dengan perilaku kartel. Analisis ekonomi dapat berperan penting dalam kebijakan aktif melawan kartel, tetapi sebaiknya bukti-bukti ekonomi yang ada tidak digunakan untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi kesepakatan kartel, melainkan untuk menyatakan dugaan atas pemberlakuan kesepakatan kartel, sehingga dapat dilanjutkan pada tahapan investigasi berikutnya. Kata kunci: kartel, bukti tidak langsung, analisis ekonomi, kolusi, investigasi perkara persaingan
386
JURNAL HUKUM BISNIS
ARTIKEL UTAMA
PENDAHULUAN Seberapa pentingnya analisis ekonomi dalam hukum persaingan usaha (antitrust law)? Mungkin tidak ada praktisi atau pemerhati hukum persaingan yang akan menjawab ‘tidak penting’. Bahkan Hakim Robert Bork pada tahun 1978 menyatakan bahwa “to abandon economic theory is to abandon the possibility of rational antitrust law”1. Rasionalitas dari hukum persaingan usaha memang berdiri di atas konsep ekonomi2. Rasanya semua orang sepakat akan hal ini. Namun, pertanyaan yang lebih penting adalah apakah konsep ekonomi hanya akan berhenti pada tataran rasionalitas? Kemudian menyerahkan sepenuhnya penegakan hukum persaingan usaha pada aspek dan perangkat legal? Masih ada anggapan bahwa penggunaan analisis ekonomi akan menambah biaya dan menambah kerumitan penyelesaian suatu kasus pelanggaran hukum persaingan usaha. Anggapan demikian seharusnya tidak muncul apabila disadari bahwa penggunaan analisis ekonomi pada dasarnya untuk saling melengkapi dengan aspek legal dari penegakan hukum dan bukan untuk mempersulit. Tidak selamanya analisis ekonomi membutuhkan model dan instrumen yang kompleks, melainkan harus disesuaikan dengan kebutuhan suatu kasus. Hingga saat ini, penggunaan analisis ekonomi umumnya masih terbatas pada pendefinisian pasar bersangkutan (relevant market) dan penilaian merger. Penggunaan analisis ekonomi dalam perkara perjanjian horisontal seperti penanganan kasus kartel, relatif masih kurang jika dibandingkan dengan penggunaan analisis ekonomi dalam pasar bersangkutan dan merger. Analisis ekonomi dalam penegakan hukum persaingan diperlukan untuk menentukan motif dan atau memprediksi dampak dari perilaku (behavior) perusahaan. Analisis ekonomi dalam penentuan motif dan dampak sebuah perilaku yang dilarang di dalam hukum persaingan dapat berupa: i) analisis 1 UNCTAD, “The Use of Economic Analysis in Competition Cases”, 2009. 2 Lihat Andi Fahmi Lubis, “Analisis Ekonomi Dalam Hukum Persaingan”, Law Review, Vol. IX, No.3, 2010 untuk diskusi mengenai rasionalitas hukum persaingan.
insentif, ii) analisis kemampuan, dan iii) analisis untung-rugi 3 . Analisis insentif digunakan untuk melihat apakah sebuah perusahaan tertarik atau termotivasi untuk melakukan perilaku yang bersifat strategis. Sementara itu, analisis kemampuan bertujuan untuk melihat apakah sebuah perusahaan mampu untuk melakukan perilaku strategis yang efektif; sedangkan analisis untung rugi berperan dalam melihat apakah dampak negatif suatu perilaku strategis lebih besar dari dampak positifnya (jika ada). Perilaku strategis (strategic behavior) perusahaan di pasar pada hakekatnya adalah bagaimana sebuah perusahaan dapat mengurangi tingkat persaingan yang berasal dari pesaing yang sudah ada maupun pesaing potensial yang baru akan bermain di pasar yang ditujukan untuk meningkatkan profit perusahaan. Perilaku strategis dapat dipisahkan menjadi dua jenis, yaitu: i) perilaku non-kooperatif dan ii) perilaku kooperatif. Perilaku non kooperatif merupakan tindakan perusahaan yang mencoba meningkatkan keuntungannya dengan cara menempatkan posisi perusahaan diatas pesaing. Perilaku jenis ini biasanya meningkatkan keuntungan satu perusahaan dan menurunkan keuntungan perusahaan pesaingnya. Perilaku kooperatif bertujuan untuk mengubah kondisi pasar sehingga memudahkan semua perusahaan untuk berkoordinasi. Bentuk perilaku kooperatif ini mampu meningkatkan keuntungan semua perusahaan (joint profit) yang berada di pasar dengan meminimalisir persaingan. Dalam terminologi hukum persaingan, perilaku strategis non kooperatif dikenal dengan istilah unilateral action, sedangkan perilaku strategis kooperatif disebut sebagai coordinated action atau concerted action. Jadi, analisis ekonomi akan digunakan untuk memahami motivasi perusahaan di pasar dalam berperilaku. Analisis kemampuan dimulai dengan pertanyaan: apakah semua perusahaan di pasar mampu menerapkan perilaku strategis dengan efektif? Secara teoretis, syarat utama untuk dapat memberlakukan perilaku strategis adalah ketika perusahaan memiliki market power. Tanpa market power 3 Ibid.
JURNAL HUKUM BISNIS 387
ARTIKEL UTAMA
yang signifikan, perusahaan tidak akan dapat memberlakukan perilaku strategis dengan efektif, sehingga tidak akan berdampak signifikan terhadap proses persaingan di pasar. Jadi, analisis kemampuan pada dasarnya adalah upaya untuk mengestimasi market power perusahaan-perusahaan yang ada di pasar. Peran analisis ekonomi selanjutnya adalah mencoba membuktikan dampak dari perilaku strategis tersebut. Hukum persaingan pada dasarnya adalah sebuah mekanisme untuk melindungi konsumen dan masyarakat umum dari perilaku perusahaan yang dapat menurunkan kesejahteraan. Oleh karena itu, analisis ekonomi digunakan untuk menilai apakah kesejahteraan konsumen dan masyarakat mengalami penurunan akibat perilaku strategis perusahaan. Seperti telah disinggung sebelumnya, penggunaan analisis ekonomi relatif masih berkisar pada penentuan cakupan pasar bersangkutan dan penilaian merger, sementara kasus-kasus perjanjian horisontal, seperti kasus kartel yang notabene merupakan salah satu pelanggaran utama di dalam hukum persaingan, penggunaan analisis ekonomi masih sangat terbatas. Di sisi lain, dengan semakin berkembangnya teknologi dan pengetahuan perusahaan-perusahaan di pasar, penegakan hukum melalui aspek legal semata tampaknya semakin mempersulit otoritas persaingan untuk dapat menuntaskan perkara-perkara kartel. Tulisan ini mencoba mendiskusikan penggunaan analisis ekonomi –sebagai bukti ekonomi– dalam penegakan hukum perkara kartel, yang akan diawali dengan uraian mengenai konsep dan definisi bukti ekonomi, bukti ekonomi sebagai circumstantial evidence, dan diakhiri dengan pemaparan indikator-indikator ekonomi seperti apa yang dapat dijadikan sebagai bukti ekonomi. Konsep dan Definisi Bukti dalam Kasus Kartel Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)4 tertulis bahwa bukti adalah sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa; keterangan nyata; tanda. Sementara itu, 4 http://kbbi.web.id/buktitikel, Jan 22, 2013).
388
menurut Oxford5 , bukti adalah the available body of facts or information indicating whether a belief or proposition is true or valid. Definisi bukti menurut Webster6 adalah something that furnishes proof. Kesemua definisi ini menggambarkan bukti sebagai alat untuk menyatakan bahwa suatu kejadian atau peristiwa benar telah terjadi. Seberapa besar tingkatan bukti yang diperlukan untuk menyatakan kebenaran suatu peristiwa dinyatakan oleh standard of proof. Kebutuhan penggunaan bukti dalam perilaku anti persaingan non-kooperatif atau mandiri (standard of proof of unilateral action) berkemungkinan akan berbeda dengan penggunaan bukti dalam perilaku kooperatif atau kerja sama (standard of proof of concerted action). Diskusi berikut ini akan lebih menitikberatkan pada uraian tentang kebutuhan penggunaan bukti ekonomi dalam perilaku kartel yang tergolong ke dalam perilaku kerja sama (concerted action). Sebelum masuk ke dalam pembahasan penggunaan bukti, mari kita lihat bagaimana ilmu ekonomi mendefinisikan kartel. Kartel pada dasarnya adalah salah satu bentuk kolusi. Dalam ilmu ekonomi kolusi digambarkan sebagai suatu situasi dimana perusahaanperusahaan di pasar melakukan koordinasi dengan tujuan untuk mendapatkan market power yang lebih tinggi (dari yang dimiliki saat ini). Ta n p a a d a n y a k o o r d i n a s i , m a k a perusahaan-perusahaan di pasar akan berada dalam kondisi bersaing baik bersaing dari sisi harga, kuantitas, maupun aspek lain seperti pelayanan (service). Dengan adanya koordinasi, maka perusahaan-perusahaan dapat bersepakat untuk menetapkan harga yang lebih tinggi dibanding harga pada saat bersaing. Perusahaan-perusahaan juga dapat bersepakat untuk menetapkan jumlah produksi yang lebih sedikit dibanding produksi pada saat bersaing. Oleh karena itu, bagi seorang ahli ekonomi, kolusi bukanlah sebuah perilaku, melainkan sebuah hasil atau outcome. Keuntungan yang didapat perusahaanperusahaan ketika berhasil mencapai 5 http://oxforddictionaries.com/definition/english/evidence 6 http://www.merriam-webster.com/dictionary/evidence JURNAL HUKUM BISNIS
ARTIKEL UTAMA
kolusi akan jauh lebih tinggi dibanding kondisi bersaing. Dengan demikian, motivasi perusahaan untuk berada dalam kondisi kolusi akan sangat besar. Dengan demikian perusahaan-perusahaan di pasar akan berusaha untuk mengkoordinasikan strateginya. Apabila perusahaan-perusahaan di pasar bersepakat untuk menetapkan harga pada tingkat yang lebih rendah (misalkan harga persaingan atau competitive price) dengan alasan untuk melindungi konsumen, adalah hal yang tidak rasional. Karena tanpa bersepakat pun, kondisi persaingan pada jangka panjang akan memaksa perusahaan u nt u k m e n e tap k an harga d i ti ngkat persaingan.7 Proses koordinasi bukanlah sesuatu hal yang dengan mudah dilakukan perusahaan. Berapa harga yang harus disepakati, berapa kuota produksi yang harus ditetapkan, siapa yang melayani wilayah yang mana, adalah bentuk-bentuk permasalahan di dalam koordinasi. Koordinasi akan lebih mudah dilakukan apabila perusahaan-perusahaan dapat bertatap muka dan membicarakan permasalahan penetapan harga, jumlah produksi, maupun pembagian wilayah dalam suatu forum yang dihadiri oleh seluruh anggota kolusi. Proses koordinasi yang dilakukan dengan cara demikian akan menghasilkan suatu ketetapan yang disepakati bersama dan bersifat mengikat (binding agreement). Proses koordinasi demikian yang disebut dengan kartel. Namun, perusahaan-perusahaan di pasar juga umumnya mengetahui bahwa kesepakatan hitam di atas putih tersebut bersifat ilegal dan melanggar hukum persaingan usaha. Oleh karena itu, anggota kartel akan berupaya agar kesepakatan tersebut tidak muncul ke publik dan dilakukan dengan cara sembunyisembunyi. Proses koordinasi juga dapat terjadi tanpa adanya tatap muka dan tanpa menghasilkan suatu ketetapan yang disepakati bersama (no binding agreement). Koordinasi terjadi karena adanya kesadaran bersama diantara perusahaan-perusahaan untuk tidak bersaing. 7 Hal inilah yang melatarbelakangi mengapa kartel dilarang di dalam hukum persaingan dan termasuk ke dalam per se illegal karena tidak ditemukan alasan logis untuk menerima keberadaan suatu kartel.
Proses koordinasi demikian disebut dengan istilah tacit collusion. Ide kesadaran bersama atau conscious parallelism8 ini memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan sebagaimana layaknya kartel, karena semua perusahaan menyadari, bersaing (melalui penurunan harga, atau penambahan jumlah produksi) hanya akan menurunkan tingkat keuntungan perusahaan. Proses koordinasi untuk mencapai kondisi kolusi akan dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti jumlah perusahaan di pasar, keragaman biaya produksi di antara perusahaanperusahaan di pasar, distribusi pangsa pasar perusahaan-perusahaan, kondisi permintaan barang atau jasa dan faktor-faktor lain. Koordinasi akan lebih mudah dilakukan jika jumlah perusahaan di pasar relatif sedikit dan memiliki pangsa pasar yang relatif sama besar. Kesepakatan akan lebih mudah tercapai jika perusahaan-perusahaan di pasar memproduksi barang atau jasa yang relatif homogen sehingga biaya produksi juga relatif sama. Dengan memahami faktor-faktor yang memudahkan proses koordinasi diantara perusahaan-perusahaan di pasar, maka kita dapat memprediksi sektor-sektor mana saja 8 Konsep conscious parallelism sendiri tidak secara langsung melanggar hukum persaingan. Namun perdebatan tentang apakah dapat dijangkau oleh hukum persaingan atau tidak telah menjadi perdebatan yang cukup panjang baik di dalam konsep ekonomi maupun legal. Definisi OECD tentang conscious parallelism yang terdapat di dalam Glossary of Industrial Organisation Economic and Competition Law menggambarkan hal tersebut: “Under conditions of oligopoly, the pricing and output actions of one firm have a significant impact upon [those] of its rivals. Firms may after some period of repeated actions become conscious or aware of this fact and without an explicit agreement coordinate their behaviour as if they were engaged in collusive behaviour or a cartel to fix prices and restrict output. The fear that departure from such behaviour may lead to costly price cutting, lower profits and market share instability may further create incentives for firms to maintain such an implicit arrangement amongst themselves. This form of conscious parallel behaviour or tacit collusion generally has the same economic effect as a combination, conspiracy or price fixing agreement. However, whether or not conscious parallel behaviour constitutes an illegal action which is restrictive of competition is [a] subject of controversy in both competition law and economics. Price uniformity may be a normal outcome of rational economic behaviour in markets with few sellers and homogenous products. Arguments have been advanced that the burden proof must be higher than circumstantial evidence of concerted or parallel behaviour and uniform pricing and output policies. In other words, conscious parallelism in and of itself should not necessarily be construed as evidence of collusion. The problem arises more from the nature of the market or industry structure in which firms operate than from their respective behaviour.”
JURNAL HUKUM BISNIS 389
ARTIKEL UTAMA
yang memiliki tingkat kecedenderungan kolusi lebih tinggi. Analisis ekonomi akan menitikberatkan pada analisa kemampuan perusahaanperusahaan di pasar untuk mencapai kondisi kolusi. Di dalamnya termasuk kepada analisis faktor-faktor yang menentukan tingkat kecenderungan kolusi. Analisis ekonomi yang dilakukan tidak dapat digunakan untuk menyatakan bahwa benar telah terjadi kesepakatan diantara perusahaan-perusahaan di pasar, melainkan hanya kepada pendugaan bahwa benar telah terjadi kesepakatan di pasar. Bukti Ekonomi sebagai Circumstantial Evidence Dalam perilaku kerja sama, bukti (evidence) dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu: 1) Direct Evidence, yaitu bukti yang dapat diamati (observable elements) dan menunjukkan adanya suatu kesepakatan beserta substansi dari kesepakatan di antara perusahaan-perusahaan di pasar dan 2) Indirect Evidence (Circumstantial Evidence): bukti yang tidak secara langsung menyatakan adanya kesepakatan diantara perusahaanperusahaan di pasar. Bukti tidak langsung dapat digunakan sebagai pembuktian terhadap dugaan atas pemberlakuan suatu kesepakatan atau perjanjian. Bukti tidak langsung (circumstantial evidence) dapat berupa9: i) bukti komunikasi10 (namun tidak secara langsung menyatakan kesepakatan) dan ii) bukti ekonomi (economic evidence). Tujuan dari pembuktian tidak langsung dengan menggunakan bukti ekonomi adalah upaya untuk mengesampingkan kemungkinan terjadinya perilaku yang bersifat independen. Suatu bentuk bukti tidak langsung yang sesuai dan konsisten dengan kondisi persaingan dan kolusi sekaligus belum dapat dijadikan bukti bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha. Dengan adanya pemahaman perusahaanperusahaan di pasar bahwa berkoordinasi 9 OECD, “Prosecuting Cartel Without Direct Evidence”, Policy Roundtables, 2006 10 Dibanding bukti ekonomi, bukti komunikasi relatif lebih kuat dan lebih dapat diterima dalam penuntutan perkara kartel..
390
secara eksplisit dan melakukan kesepakatan yang mengikat yang dituang di atas kertas adalah pelanggaran hukum, proses koordinasi cenderung dilakukan tanpa ada kesepakatan tertulis dan berdalih bahwa perilaku perusahaan bersifat independen dan mandiri (unilateral action). Dengan demikian akan sangat sulit sekali untuk mendapatkan bukti langsung (direct evidence) untuk menyatakan bahwa benar telah terjadi perjanjian atau kesepakatan. Namun, meskipun bukti langsung sulit didapatkan, bukti tidak langsung (circumstantial evidence) untuk menduga telah terjadi kesepakatan atau perjanjian relatif lebih mudah diperoleh dan terkadang sangat meyakinkan untuk menduga telah terjadi suatu perjanjian. Semua bukti tidak langsung seperti catatan percakapan telepon, surat elektronik, dan komunikasi lain yang menunjukkan frekuensi korespondensi, atau kesamaan dalam bahasa dan format dokumen, yang terjadi sebelum kondisi kolusi tercapai, harus dianalisis secara bersama-sama dan kontekstual dengan dugaan pemberlakukan perjanjian, sehingga perilaku unilateral dapat dikesampingkan. Menurut Hans W. Friederiszick11, bukti ekonomi yang digunakan dalam pendugaan pemberlakukan suatu kesepakatan haruslah mengandung beberapa prinsip, seperti: i) analisis difokuskan pada perubahan (changes) dan bukan fakta pada satu waktu tertentu, ii) menggunakan beberapa indikator sekaligus (jangan hanya menggunakan satu indikator umum), dan analisis mendalam untuk masingmasing indikator, dan iii) keseimbangan antara biaya untuk mendapatkan informasi dan hasil analisis ekonomi. Tujuan dan Tahapan Penggunaan Bukti Ekonomi Dalam OECD roundtable conference (2006)12 dinyatakan bahwa bukti-bukti ekonomi sangatlah penting karena dua alasan, yaitu: 1) semakin sulitnya untuk memperoleh bukti langsung, sehingga diperlukan peran 11 Hans W. Friederiszick, “Detecting Cartels in Europe – the Role of Economics”, paper presented at 25th Conference on Political Economy, 12-14 October 2006 Saarbrücken 12 Ibid. JURNAL HUKUM BISNIS
ARTIKEL UTAMA
dari bukti tidak langsung dan 2) bukti-bukti ekonomi sangat dibutuhkan untuk dapat masuk ke dalam tahapan investigasi. Jadi pada dasarnya, tujuan dari penggunaan bukti-bukti ekonomi berupa analisis ekonomi secara kuantitatif maupun kualitatif adalah agar: i) dapat memutuskan apakah akan dilanjutkan pada tahapan investigasi di pasar bersangkutan; dan ii) menjustifikasi apakah tahapan investigasi memang layak untuk dilanjutkan. Dengan demikian, buktibukti ekonomi bukanlah sebagai alat untuk membuktikan bahwa kesepakatan di dalam kartel memang benar terjadi. Dalam melakukan analisis ekonomi 13, paling tidak terdapat dua tahapan 14 yang harus dilakukan, yaitu: 1) Analisis Struktural, yang diarahkan pada pembuktian apakah kesepakatan kartel memang mungkin terjadi di pasar bersangkutan (relevant market), dan 2) Analisis Perilaku atau Perubahan, yang ditujukan untuk membuktikan apakah perilaku di pasar bersangkutan konsisten dengan perilaku kartel dan bukan perilaku bersaing. Di dalam tahapan analisis struktural, aktivitas pertama kali yang harus dilakukan adalah mendefinisikan pasar bersangkutan secara tepat. Tahapan ini sangat krusial untuk memastikan apakah perusahaan-perusahaan yang diduga melakukan kesepakatan kartel adalah perusahaan-perusahaan yang sedang bersaing. Untuk mengingatkan kembali, kesepakatan kartel hanya terjadi di antara perusahaan-perusahaan yang seharusnya bersaing. Apabila perusahaan-perusahaan yang sedang diduga melakukan kesepakatan kartel ternyata berada di pasar bersangkutan yang berbeda, maka tuduhan pelanggaran hukum persaingan usaha atas perilaku kartel otomatis gugur. Aktivitas berikutnya terkait dengan penentuan periode analisa, termasuk periode dimana dugaan kesepakatan kartel terjadi. Berbeda dengan penggunaan bukti langsung, yang hanya diperlukan pada waktu dugaan terjadinya kesepakatan, penggunaan bukti 13 Analisis ekonomi seringkali dikategorikan sebagai bagian dari analisis “Plus Factor”, yaitu analisis tambahan dari bukti kesamaan harga (price parallelism). 14 Friederiszick (op.cit) menyebutnya sebagai kerangka dua-tahap yang terdiri atas: 1) Industry Analysis, dan 2) Critical-Event Analysis.
ekonomi didasarkan pada perubahan perilaku perusahaan-perusahaan di pasar ketika berhasil mencapai kondisi kolusi dan pada waktu sedang terjadinya proses berkoordinasi. Aktivitas selanjutnya adalah menentukan dan menilai indikator-indikator yang digunakan untuk menunjukkan apakah kolusi memang dapat dan mungkin terjadi di pasar bersangkutan. Aktivitas ini akan memakan porsi yang paling besar dari keseluruhan analisis struktural. Beberapa indikator-indikator yang mungkin digunakan untuk menilai apakah motivasi perusahaanperusahaan untuk berkolusi cukup besar, adalah15: 1. Product homogeneity. Motivasi perusahaanperusahaan di pasar untuk melakukan kesepakatan akan semakin besar jika produkproduk yang dihasilkan oleh perusahaan di pasar memiliki kemiripan yang cukup tinggi. 2. Absence of close substitutes. Kesepakatan kolusi akan lebih mudah dilaksanakan apabila konsumen tidak memiliki banyak pilihan kecuali membeli barang dan atau jasa dari perusahaan anggota kartel. 3. Readily observed price adjustments. Kemudahan mendapatkan informasi mengenai perubahan-perubahan harga di pasar akan mengurangi insentif perusahaan untuk melakukan kecurangan 16 terhadap kesepakatan kartel. 4. Standardized prices. Kesepakatan kolusi akan lebih mudah dilakukan apabila produk yang diperdagangkan di pasar memiliki standar harga, dan lebih mudah untuk dimonitor untuk mencegah terjadinya kecurangan. 5. Excess capacity. Motivasi untuk melakukan kesepakatan kartel akan meningkat ketika keuntungan dari kartel dapat digunakan untuk menutupi inefisiensi akibat perusahaan tidak 15 Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 Tentang Penetapan Harga telah menguraikan cukup lengkap indikator-indikator yang dapat digunakan sebagai bukti ekonomi. 16 Kecurangan (cheating) dalam kartel adalah ketika terdapat anggota kartel yang tidak mematuhi kesepakatan, misalnya menetapkan harga yang lebih rendah, memproduksi barang dan atau jasa diatas kuota, dan pelanggaran kesepakatan lainnya.
JURNAL HUKUM BISNIS 391
ARTIKEL UTAMA
berproduksi secara optimal.17 6. Few sellers. Semakin sedikit jumlah perusahaan yang ada di pasar maka semakin mudah untuk melakukan koordinasi dalam rangka kesepakatan kartel. 7. High barriers to entry. Kesepakatan kartel akan semakin mudah dijalankan karena tidak adanya ‘ancaman’ dari perusahaan baru yang dapat menggagalkan kesepakatan perusahaan-perusahaan di pasar bersangkutan. Setelah analisis struktural dilakukan, selanjutnya analisis perilaku atau perubahan harus dilakukan. Analisis ekonomi yang dilakukan pada tahapan ini pada dasarnya ditujukan untuk menyatakan bahwa kondisikondisi di pasar mengarah pada aktivitas kesepakatan kartel. Analisis ditekankan pada perubahan indikator-indikator yang ada di pasar bersangkutan yang diduga terjadi karena kesepakatan kartel dan bukan perilaku bersaing perusahaan-perusahaan di pasar yang dilakukan secara mandiri. Aktivitas pertama yang dilakukan adalah menentukan indikator-indikator yang digunakan untuk menilai hasil atau outcome dari kesepakatan kartel. Hasil yang diperoleh dari kondisi kolusi adalah tingkat keuntungan yang lebih tinggi daripada kondisi bersaing. Keuntungan yang lebih tinggi tersebut dapat diperoleh karena pemberlakuan harga yang lebih tinggi atau jumlah produksi yang lebih rendah. Oleh karena itu, indikator yang dapat digunakan di antaranya adalah: i) perubahan atas tingkat keuntungan perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi dalam kesepakatan kartel, ii) perubahan harga yang ditetapkan oleh perusahaan-perusahaan yang berpartisipasi (sebelum dan sesudah kesepakatan kartel), dan iii) perubahan jumlah produksi perusahaan-perusahaan anggota kartel. Selain indikator yang menunjukkan hasil dari kesepakatan kartel, aktivitas lain yang harus dilakukan di dalam analisis perilaku adalah penggunaan alat-alat atau instrumen 17 Dalam jangka panjang, secara normal, perusahaan akan berusaha untuk mencapai skala ekonomi, dimana penambahan jumlah produksi akan menurunkan biaya per unit. Jika perusahaan memproduksi dengan jumlah yang lebih sedikit yang artinya tidak memanfaatkan seluruh kapasitasnya, berarti biaya per unit yang harus ditanggung perusahaan menjadi lebih tinggi.
392
yang dapat memuluskan dan menstabilkan kesepakatan kartel (facilitating devices). Instrumen-instrumen tersebut di antaranya18 : 1) Resale Price Maintenance (RPM). Praktik ini dapat digunakan untuk meminimalkan variasi harga di tingkat konsumen, 2) Most-Favoured Nation (MFN) clause. Praktik ini dapat digunakan untuk meminimalkan insentif memberikan harga lebih rendah dari harga kesepakatan (cheating), dan 3) Meeting-Competition clause. Praktik ini digunakan untuk mendapatkan informasi tingkat harga pelaku usaha lain sehingga meminimalkan insentif melakukan kecurangan. Fokus analisis diarahkan pada perubahan penggunaan instrumen-instrumen tersebut. Misalkan, apakah penggunaan instrumen tersebut hanya muncul pada periode yang diduga terjadinya kesepakatan kartel atau tidak. Setelah penentuan indikator dan penggunaan facilitating devices dilakukan, langkah berikutnya adalah penentuan skenario kolusi yang akan dikontraskan dengan skenario bersaing. Analisis ekonomi yang dilakukan adalah pembuktian apakah perubahan-perubahan indikator lebih dapat dijelaskan oleh skenario kolusi atau skenario bersaing. Kesimpulan Dengan semakin sulitnya memperoleh bukti langsung maupun bukti komunikasi untuk dapat membuktikan eksistensi dari sebuah kartel, peranan analisis dan bukti ekonomi dapat ditingkatkan sehingga dapat berperan aktif dalam penyelesaian perkara-perkara kartel. Melalui analisis dua-tahap, yaitu 1) Analisis Struktural dan 2) Analisis Perilaku atau Perubahan, buktibukti ekonomi dapat diandalkan untuk menduga adanya kesepakatan di antara perusahaan-perusahaan anggota kartel. Bukti ekonomi belum dapat digunakan untuk menyatakan bahwa benar telah terjadi kesepakatan diantara anggota kartel. Namun analisis ekonomi akan sangat berguna 18 Lihat Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 Tentang Penetapan Harga. JURNAL HUKUM BISNIS
ARTIKEL UTAMA
untuk menjustifikasi perlunya investigasi lebih mendalam, untuk mendapatkan bukti langsung, melalui inspeksi di tempat (on-spot inspection), cartel informant reward, atau plea settlements dan leniency program. Daftar Pustaka Friederiszick, Hans W, “Detecting Cartels in Europe – the Role of Economics”, paper presented at 25th Conference on Political Economy, 12-14 October 2006 Saarbrücken. Lubis, Andi F., “Analisis Ekonomi Dalam Hukum Persaingan”, Law Review, Vol. IX, No.3, 2010. OECD, “Glossary of Industrial Organisation Economic and Competition Law”, 1993. OECD, “Prosecuting Cartel Without Direct Evidence”, Policy Roundtables, 2006. Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pedoman Pasal 5 Tentang Penetapan Harga UNCTAD, “The Use of Economic Analysis in Competition Cases”, 2009.
JURNAL HUKUM BISNIS 393
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan atau jasa, dalam iklim usaha yang sehat, efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar; c. bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan yang sehat dan wajar, sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu, dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian internasional; d. bahwa untuk mewujudkan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, atas usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat perlu disusun Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; Mengingat : 1. Pasal 5 Ayat (1), Pasal 21 Ayat (1), Pasal 27 Ayat (2), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; Republik Indonesia Nomor 3564); 434
Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: a. Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. b. Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. c. Pemusatan kekuatan ekonomi adalah peng-uasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa. d. Posisi dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu. e. Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. f. Persaingan usaha tidak sehat adalah persaing-an antarpelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. g. Perjanjian adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apa pun, baik tertulis maupun tidak tertulis. h. Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
k. Struktur pasar adalah keadaan pasar yang memberikan petunjuk tentang aspek-aspek yang memiliki pengaruh penting terhadap perilaku pelaku usaha dan kinerja pasar, antara lain jumlah penjual dan pembeli, hambatan masuk dan keluar pasar, keragaman produk, sistem distribusi, dan penguasaan pangsa pasar. l. Perilaku pasar adalah tindakan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam kapasitasnya sebagai pemasok atau pembeli barang dan atau jasa untuk mencapai tujuan perusahaan, antara lain pencapaian laba, pertumbuhan aset, target penjualan, dan metode persaing-an yang digunakan. m. Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu. n. Harga pasar adalah harga yang dibayar dalam transaksi barang dan atau jasa sesuai kesepakatan antara para pihak di pasar bersangkutan. o. Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. p. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
i. Pasar adalah lembaga ekonomi di mana para pembeli dan penjual baik secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi perdagangan barang dan atau jasa.
ASAS DAN TUJUAN
j. Pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang dan atau jasa tersebut.
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
BAB II
Pasal 2
435 JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 3 Tujuan pembentukan undang-undang ini adalah untuk: a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat; b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil; c. mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha; dan d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha. BAB III PERJANJIAN YANG DILARANG Bagian Pertama Oligopoli Pasal 4 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) P elaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha meng-uasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. 436
Bagian Kedua Penetapan Harga Pasal 5 (1) P elaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: a. suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau b. suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku. Pasal 6 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama. Pasal 7 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian deng-an pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Pasal 8 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bagian Ketiga
Bagian Keenam
Pembagian Wilayah
Trust
Pasal 9
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Keempat Pemboikotan Pasal 10 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. (2) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga perbuatan tersebut: a. merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelaku usaha lain; atau b. membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang dan atau jasa dari pasar bersangkutan. Bagian Kelima Kartel Pasal 11 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketujuh Oligopsoni Pasal 13 (1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Bagian Kedelapan Integrasi Vertikal Pasal 14 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan
437 JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Bagian Kesembilan
BAB IV KEGIATAN YANG DILARANG Bagian Pertama Monopoli
Perjanjian Tertutup
Pasal 17
Pasal 15
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan
(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu. (2) P elaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok. (3) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok: harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok; atau tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok. Bagian Kesepuluh Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri Pasal 16 Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang 438
memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila: a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Bagian Kedua Monopsoni Pasal 18 (1) Pelaku usaha dilarang menguasai peneri-
maan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian Ketiga
Pasal 24
Penguasaan Pasar Pasal 19 Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; b. atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Pasal 21 Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Bagian Keempat Persekongkolan Pasal 22 Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan. BAB V POSISI DOMINAN Bagian Pertama Umum Pasal 25 (1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi
dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:
a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan. (2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila: a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% (lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar
439 JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
satu jenis barang atau jasa tertentu; atau b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Bagian Kedua
b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu. Bagian Keempat Penggabungan, Peleburan,
Jabatan Rangkap
dan Pengambilalihan
Pasal 26
Pasal 28
Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan– perusahaan tersebut:
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Bagian Ketiga Pemilikan Saham
(2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan saham perusahaan sebagaimana dimaksud ayat dalam (2) pasal ini, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 27
Pasal 29
Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:
(1) P enggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan atau pengambilalihan tersebut.
a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;
(2) Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
440
JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BAB VI KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Bagian Pertama
2. setia kepada Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945; 3. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
Status
4. jujur, adil, dan berkelakuan baik;
Pasal 30 (1) Untuk mengawasi pelaksanaan Undangundang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut Komisi. (2) Komisi adalah suatu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan Pemerintah serta pihak lain. (3) Komisi bertanggung jawab Presiden.
dan setinggi-tingginya 60 (enam puluh) tahun pada saat pengangkatan;
kepada
5. bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia; 6. berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi; 7. tidak pernah dipidana; 8. tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan; dan 9. tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha. Pasal 33
Bagian Kedua Keanggotaan Pasal 31 (1) K omisi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota, dan sekurangkurangnya 7 (tujuh) orang anggota. (2) Anggota Komisi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Masa jabatan anggota Komisi adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. (4) Apabila karena berakhirnya masa jabatan akan terjadi kekosongan dalam keanggotaan Komisi, maka masa jabatan anggota dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru. Pasal 32 Persyaratan keanggotaan Komisi adalah: 1. warga negara Republik Indonesia, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun
Keanggotaan Komisi berhenti, karena : a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri; c. bertempat tinggal di luar wilayah negara Republik Indonesia; d. sakit jasmani atau rohani terus menerus; e. berakhirnya masa jabatan keanggotaan Komisi; atau f. diberhentikan. Pasal 34 (1) Pembentukan Komisi serta susunan organisasi, tugas, dan fungsinya ditetapkan dengan Keputusan Presiden. (2) U ntuk kelancaran pelaksanaan tugas, Komisi dibantu oleh sekretariat. (3) Komisi dapat membentuk kelompok kerja. (4) Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, dan fungsi sekretariat dan kelompok kerja diatur lebih lanjut dengan keputusan Komisi.
441 JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Bagian Ketiga Tugas Pasal 35 Tugas Komisi meliputi: a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24; c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 28;
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi; 4. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini; 5. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan;
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana diatur dalam Pasal 36;
6. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
e. memberikan saran dan pertimbangan ter-hadap kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
7. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan Undang-undang ini;
8. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat. Bagian Keempat
Pembiayaan
Wewenang
Pasal 37
Pasal 36
Biaya untuk pelaksanaan tugas Komisi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan atau sumber-sumber lain yang diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Wewenang Komisi meliputi: 1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan 442
Bagian Kelima
JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
BAB VII TATA CARA PENANGANAN PERKARA Pasal 38
(5) Dalam melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4), anggota Komisi dilengkapi dengan surat tugas. Pasal 40
(1) Setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap Undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor.
(1) Komisi dapat melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha apabila ada dugaan terjadi pelanggaran Undang-undang ini walaupun tanpa adanya laporan.
(2) P ihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap Undang¬undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.
Pasal 41
(3) Identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dirahasiakan oleh Komisi. (4) Tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Komisi. Pasal 39 (1) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2), Komisi wajib melakukan pemeriksaan pendahuluan, dan dalam waktu selambat¬lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima laporan, Komisi wajib menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. (2) Dalam pemeriksaan lanjutan, Komisi wajib melakukan pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang dilaporkan. (3) K omisi wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari pelaku usaha yang dikategorikan sebagai rahasia perusahaan. (4) Apabila dipandang perlu Komisi dapat mendengar keterangan saksi, saksi ahli, dan atau pihak lain.
(2) P emeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tata cara sebagaimana diatur dalam Pasal 39.
(1) Pelaku usaha dan atau pihak lain yang diperiksa wajib menyerahkan alat bukti yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan. (2) Pelaku usaha dilarang menolak diperiksa, menolak memberikan informasi yang diperlukan dalam penyelidikan dan atau pemeriksaan, atau menghambat proses penyelidikan dan atau pemeriksaan. (3) Pelanggaran terhadap ketentuan ayat (2), oleh Komisi diserahkan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pasal 42 Alat-alat bukti pemeriksaan Komisi berupa: a. keterangan saksi, b. keterangan ahli, c. surat dan atau dokumen, d. petunjuk, e. keterangan pelaku usaha. Pasal 43 (1) Komisi wajib menyelesaikan pemeriksaan lanjutan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dilakukan pemeriksaan
443 JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1). (2) B ilamana diperlukan, jangka waktu pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. (3) Komisi wajib memutuskan telah terjadi atau tidak terjadi pelanggaran terhadap undang-undang ini selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2). (4) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha. Pasal 44 (1) Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), pelakuusaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi. (2) Pelaku usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat¬lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. (3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi. (4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (5) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. 444
Pasal 45 (1) P engadilan Negeri harus memeriksa keberatan pelaku usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut. (2) P engadilan Negeri harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut. (3) Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. (4) Mahkamah Agung harus memberikan putusan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima. Pasal 46 (1) Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (2) Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. BAB VIII SANKSI Bagian Pertama Tindakan Administratif Pasal 47 (1) Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. (2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa: JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
a. penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16; dan atau b. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan atau c. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat; dan atau d. perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan atau e. penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan atau f. penetapan pembayaran ganti rugi; dan atau g. pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). Bagian Kedua Pidana Pokok Pasal 48 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi¬tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan. (2) P elanggaran terhadap ketentuan Pasal
5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan. (3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama¬lamanya 3 (tiga) bulan. Bagian Ketiga Pidana Tambahan Pasal 49 Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; atau b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurangkurangnya 2 (dua) tahun dan selamalamanya 5 (lima) tahun; atau c. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain. BAB IX KETENTUAN LAIN Pasal 50 Yang dikecualikan dari ketentuan undangundang ini adalah: a. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang¬undangan yang berlaku; atau
445 JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
b. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau c. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau d. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan; atau e. perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau f. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau g. perjanjian dan atau perbuatan yang ber-tujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau h. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
semua peraturan perundang-undangan yang meng-atur atau berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undangundang ini. (2) Pelaku usaha yang telah membuat perjanjian dan atau melakukan kegiatan dan atau tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang ini diberi waktu 6 (enam) bulan sejak Undang-undang ini diberlakukan untuk melakukan penyesuaian. BAB XI KETENTUAN PENUTUP Pasal 53 Undang-undang ini mulai berlaku terhitung 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd
Pasal 51 Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 52 (1) S ejak berlakunya undang-undang ini, 446
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 5 Maret 1999 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd AKBAR TANDJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 33 JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
Menimbang : Pembangunan ekonomi pada Pembangunan Jangka Panjang Pertama telah menghasilkan banyak kemajuan, antara lain dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Kemajuan pembangunan yang telah dicapai di atas, didorong oleh kebijakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan bidang ekonomi yang tertuang dalam GarisGaris Besar Haluan Negara dan Rencana Pembangunan Lima Tahunan, serta berbagai kebijakan ekonomi lainnya. Meskipun telah banyak kemajuan yang dicapai selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi masih banyak pula tantangan atau persoalan, khususnya dalam pembangunan ekonomi yang belum terpecahkan, seiring dengan adanya kecenderungan globalisasi perekonomian serta dinamika dan perkembangan usaha swasta sejak awal tahun 1990-an. Peluang-peluang usaha yang tercipta selama tiga dasawarsa yang lalu dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan usaha swasta selama periode tersebut, disatu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk kebijakan Pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara langsung maupun
tidak langsung, sehingga lebih memperburuk keadaan. Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat monopolistik. Para pengusaha yang dekat dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan sehingga berdampak kepada kesenjangan sosial. Munculnya konglomerasi dan sekelompok kecil pengusaha kuat yang tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak mampu bersaing. Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial. Oleh karena itu, perlu disusun Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Undang-undang ini memberikan jaminan kepastian hukum untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya meningkatkan kesejahteraan umum, serta
447 JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
sebagai implementasi dari semangat dan jiwa Undang-Undang Dasar 1945. Agar implementasi undang-undang ini serta peraturan pelaksananya dapat berjalan efektif sesuai asas dan tujuannya, maka perlu dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha, yaitu lembaga independen yang terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain, yang berwenang melakukan pengawasan persaingan usaha dan menjatuhkan sanksi. Sanksi tersebut berupa tindakan administratif, sedangkan sanksi pidana adalah wewenang pengadilan. Secara umum, materi dari Undang-Undang Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini mengandung 6 (enam) bagian pengaturan yang terdiri dari : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
perjanjian yang dilarang; kegiatan yang dilarang; posisi dominan; komisi Pengawas Persaingan Usaha; penegakan hukum; ketentuan lain-lain.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Angka 8
Cukup jelas
Angka 9
Cukup jelas
Undang-undang ini disusun berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta berasaskan kepada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengan tujuan untuk : menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen; menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang; mencegah praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha; serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Angka 10
PASAL DEMI PASAL
Angka 16
Pasal 1
Cukup jelas
Angka 11
Cukup jelas
Angka 12
Cukup jelas
Angka 13
Cukup jelas
Angka 14
Cukup jelas
Angka 15
Cukup jelas Cukup jelas
Angka 1
Angka 17
448
Cukup jelas
Cukup jelas JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa.
Angka 18
Cukup jelas
Pasal 10
Angka 19
Ayat (1)
Cukup jelas Pasal 2
Cukup jelas Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 11
Cukup jelas Pasal 12 Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (2)
Ayat (1)
Cukup jelas Pasal 5
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 14
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas Pasal 6
Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Cukup jelas Pasal 9 Perjanjian dapat bersifat vertikal atau horizontal. Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar. Wilayah pemasaran dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia atau bagian wilayah negara Republik Indonesia misalnya kabupaten, provinsi, atau wilayah regional lainnya. Membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar berarti membagi wilayah untuk memperoleh atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa, menetapkan
Yang dimaksud dengan menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi atau yang lazim disebut integrasi vertikal adalah penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Praktek integrasi vertikal meskipun dapat menghasilkan barang dan jasa dengan harga murah, tetapi dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat yang merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Praktek seperti ini dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Pasal 15 Ayat (1) Yang termasuk dalam pengertian memasok adalah menyediakan pasokan, baik barang maupun jasa, dalam kegiatan jual beli, sewa menyewa, sewa beli, dan sewa guna usaha (leasing). Ayat (2)
Cukup jelas
449 JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Ayat (3)
Huruf d
Huruf a
Cukup jelas
Pasal 20
Huruf b
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 21 Pasal 16
Cukup jelas Pasal 17 Ayat (1)
Pasal 22 Tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang, atau untuk menyediakan jasa.
Huruf a
Kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya adalah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk memperoleh biaya faktor-faktor produksi yang lebih rendah dari seharusnya.
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf b Yang dimaksud dengan pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar bersangkutan.
Pasal 23 Cukup jelas Pasal 24 Cukup jelas Pasal 25
Huruf c
Ayat (1)
Cukup jelas Pasal 18
Huruf a
Ayat (1)
Cukup jelas
Huruf b
Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 19
Cukup jelas Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf a Menolak atau menghalangi pelaku usaha tertentu tidak boleh dilakukan dengan cara yang tidak wajar atau dengan alasan nonekonomi, misalnya karena perbedaan suku, ras, status sosial, dan lain-lain.
Ayat (2)
Huruf b
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 26
Huruf c
Huruf a
450
Cukup jelas
Cukup jelas JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Huruf b Perusahaan-perusahaan memiliki keterkaitan yang erat apabila perusahaan-perusahaan tersebut saling mendukung atau berhubungan langsung dalam proses produksi, pemasaran, atau produksi dan pemasaran.
Ayat (1) Ketua dan Wakil Ketua Komisi dipilih dari dan oleh Anggota Komisi.
Huruf c
Cukup jelas Pasal 27
Huruf a
Ayat (2) Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4) Perpanjangan masa keanggotaan Komisi untuk menghindari kekosongan tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun.
Cukup jelas
Huruf b
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Pasal 28 Ayat (1) Badan usaha adalah perusahaan atau bentuk usaha, baik yang berbentuk badan hukum (misalnya perseroan terbatas) maupun bukan badan hukum, yang menjalankan suatu jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan untuk memperoleh laba.
Huruf a
Ayat (2)
Huruf d
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf e
Cukup jelas Pasal 29
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (1)
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (1)
Huruf g Yang dimaksud dengan tidak pernah dipidana adalah tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berat atau karena melakukan pelanggaran kesusilaan.
Huruf h
Cukup jelas Pasal 30 Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf i
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas Yang dimaksud tidak terafiliasi dengan suatu badan usaha adalah bahwa sejak yang bersangkutan menjadi anggota Komisi tidak
451 JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
menjadi :
Pasal 35
1. anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu perusahaan; 2. anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi; 3. pihak yang memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan, seperti konsultan, akuntan publik, dan penilai; 4. pemilik saham mayoritas suatu perusahaan.
Pasal 33 Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf f
Huruf c
Cukup jelas
Huruf b
Huruf a
Cukup jelas
Huruf d Dinyatakan dengan surat keterangan dokter yang berwenang.
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas Pasal 36
Huruf e
Hurtuf a
Cukup jelas
Huruf f Diberhentikan, antara lain dikarenakan tidak lagi memenuhi persyaratan keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud Pasal 32. Pasal 34 Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2) Yang dimaksud sekretariat adalah unit organisasi untuk mendukung atau membantu pelaksanaan tugas Komisi. Ayat (3) Yang dimaksud kelompok kerja adalah tim profesional yang ditunjuk oleh Komisi untuk membantu pelaksanaan tugas tertentu dalam waktu tertentu.
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g Yang dimaksud dengan penyidik adalah penyidik sebagaimana dimaksudkan dalam Undang¬undang Nomor 8 Tahun 1981.
Ayat (4)
Huruf h
452
Cukup jelas
Cukup jelas JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Huruf i
Ayat (4)
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf j
Ayat (5)
Cukup jelas
Cukup jelas Pasal 40
Huruf k
Ayat (1)
Cukup jelas
Huruf l
Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 37
Pada dasarnya Negara bertanggung jawab terhadap operasional pelaksanaan tugas Komisi dengan memberikan dukungan dana melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun, mengingat ruang lingkup dan cakupan tugas Komisi yang demikian luas dan sangat beragam, maka Komisi dapat memperoleh dana dari sumber lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku yang sifatnya tidak mengikat serta tidak akan mempengaruhi kemandirian Komisi. Pasal 38 Ayat (1)
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) Yang diserahkan oleh Komisi kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan tidak hanya perbuatan atau tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (2), tetapi juga termasuk pokok perkara yang sedang diselidiki dan diperiksa oleh Komisi. Huruf a
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf c
Ayat (4)
Pasal 41
Pasal 42
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas Pasal 39
Cukup jelas
Huruf d
Ayat (1)
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas Cukup jelas Pasal 43
Cukup jelas
Ayat (3)
Ayat (1)
Cukup jelas
Cukup jelas
453 JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Ayat (2)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3) Pengambilan keputusan Komisi sebagaimana dimaksud ayat (3) dilakukan dalam suatu sidang Majelis yang beranggotakan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang anggota Komisi. Ayat (4) Yang dimaksud diberitahukan adalah penyampaian petikan putusan Komisi kepada pelaku usaha.
Cukup jelas Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Huruf b Penghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagian perusahaan kepada pelaku usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksinya.
Pasal 44 Ayat (1) 30 (tiga puluh) hari dihitung sejak diterimanya petikan putusan Komisi oleh pelaku usaha atau kuasa hukumnya. Ayat (2)
Huruf c Yang diperintahkan untuk dihentikan adalah kegiatan atau tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha pelaku usaha secara keseluruhan.
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Cukup Jelas
Huruf d
Ayat (4)
Cukup jelas
Cukup jelas
Huruf e
Ayat (5)
Huruf f Ganti rugi diberikan kepada pelaku usaha dan kepada pihak lain yang dirugikan.
Huruf g
Cukup jelas Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas Pasal 48
Cukup jelas
Ayat (3)
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 46
Cukup jelas
Ayat (1)
Ayat (3)
454
Cukup jelas
Cukup jelas JURNAL HUKUM BISNIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Pasal 49 Huruf a
Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 52
Huruf b
Ayat (1)
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 50
Huruf a
Pasal 51
Cukup jelas
Cukup jelas Pasal 53
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3817
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil adalah sebagaimana dimaksud Undangundang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil. Huruf i Yang dimaksud dengan melayani anggotanya adalah memberi pelayanan hanya kepada anggotanya dan bukan kepada masyarakat umum untuk pengadaan kebutuhan pokok, kebutuhan sarana produksi termasuk kredit dan bahan baku, serta pelayanan untuk memasarkan dan mendistribusikan hasil produksi anggota yang tidak mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. 455 JURNAL HUKUM BISNIS
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL HUKUM BISNIS 1. Artikel merupakan hasil penelitian atau pembahasan ilmiah dalam lingkup hukum bisnis. Tulisan merupakan hasil pemikiran sendiri (original) bukan plagiat. Redaksi tidak bertanggung jawab apabila ada tuntutan terhadap karya penulis. 2. Artikel terdiri atas dua jenis, yaitu: a. Artikel utama, yaitu pembahasan sesuai tema yang ditentukan redaksi. Penulis adalah pakar atau praktisi atas permintaan oleh redaksi. b. Artikel pendamping, yaitu pembahasan di luar tema utama. Penulis dapat mengajukan karyanya kepada redaksi untuk diterbitkan. Apabila dalam dua nomor berturut-turut belum dapat diterbitkan, penulis dapat menerbitkan dalam jurnal lain. 3. Pedoman teknis a. Jumlah halaman paling banyak 20 dan kertas berukuran A4. b. Margin kiri 3cm, margin kanan, 2.5 cm, margin atas dan bawah 2.5 cm. c. Spasi 1.5 dan ukuran huruf 12. d. Diketik dalam program word. 4. Sistematika penulisan sesuai ragam artikel jurnal, dengan urutan: a. Judul menggunakan bahasa Indonesia (tidak melebihi 12 kata) atau bahasa Inggris (tidak melebihi 10 kata); b. Nama penulis tanpa gelar; c. Instansi tempat kerja penulis; d. Alamat email penulis; e. Abstrak: Satu paragraf yang menggambarkan esensi isi tulisan. Apabila artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia (150-200 kata) dan terjemahannya dalam bahasa Inggris. Sebaliknya, apabila artikel ditulis dalam bahasa Inggris abstrak ditulis dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. f. Kata kunci dalam bahasa Indonesia dan Inggris yang menggambarkan konsep yang yang dikandung artikel. g. Uraian (ada pengantar, pembahasan, dan penutup); h. Daftar Pustaka menggunakan format MLA. 5. Kutipan dalam uraian: penulis yang diacu ditulis dalam kalimat atau pada akhir kalimat atau akhir paragraf dengan urutan kurung buka nama belakang koma tahun titik dua halaman yang dikutip kurung tutup titik. 6. Kutipan pustaka dalam bentuk catatan kaki ditulis dengan urutan: nama tanpa gelar (tidak dibalik) koma judul artikel atau buku (dicetak miring) koma tempat penerbit titik dua nama penerbit koma tahun koma halaman yang diacu titik. Contoh: Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah: Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, Jakarta: PT. Jayakarta Agung Offset, 2011: 234. 7. Instrumen pendukung seperti tabel, ilustrasi, atau gambar dapat disertakan untuk mendukung pemaparan. Judul tabel diletakkan di atas tabel, sedangkan judul foto atau gambar diletakkan di bawah. 8. Penulis menyertakan biodata lengkap. Artikel dan biodata dikirimkan via email
[email protected] 9. Hak penulis: a. Penulis artikel utama dan pendamping akan memperoleh: • 3 eksemplar artikel cetak lengkap dengan cover dan bagian muka jurnal. • Uang pengganti membeli satu Jurnal Hukum Bisnis yang dapat diakses di www. jurnalhukumbisnis.com sesuai harga yang tercantum. b. Penulis utama akan memperoleh honorarium yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan Jurnal Hukum Bisnis.