126
STAIN Palangka Raya
BOOK REVIEW Politik Media dan Pertarungan Wacana Surya Sukti Buku ini boleh dikatakan sangat bermanfaat bagi segenap lapisan masyarakat. Ia tidak saja berguna bagi kalangan intelektual tetapi juga dapat menjadi bacaan bagi kalangan masyarakat awam yang ingin mengenal dan memahami perilaku media. Bagi pelajar, mahasiswa, guru, dosen, manajer perusahaan, pejabat pemerintahan, dapat menjadikan buku ini sebagai referensi ilmiah. Bagi kalangan pers sendiri buku ini dapat menjadi acuan dalam melakukan "otokritik". Menurut hemat penulis, buku ini masih terbilang langka karena di dalamnya dominan memuat hasil-hasil riset yang mengkritisi perkembangan pers dan media pada umunya di tanah air. Lebih-lebih karena buku ini ditulis oleh "orang" media yang selama ini memang berprofesi memantau perkembangan media (Media Watch ISAI Jakarta). Kata Kunci : Politik Media dan Pertarungan Wacana A. Pendahuluan Untuk menunjuk salah satu ciri dari demokratis dan tidaknya sebuah pemerintahan, kehidupan media sering kali dijadikan parameter. Demokrasi mengandaikan kebebasan warga untuk berkumpul, berpendapat, dan mengemukakan kritik. Sebaliknya, pemerintahan yang antidemokrasi akan selalu mengawasi orang berkumpul, menekan pendapat, dan memberangus kritik. Cara yang paling mudah sekaligus tradisional untuk hal ini adalah mengawasi distribusi informasi: mengatur dan mengarahkan pemberitaannya, menempatkan orangorang yang propemerintah dalam jajaran redaksi dan kepemimpinan organisasi pers, dan bahkan "merekayasa berita bohong". Di bawah pemerintahan yang otoriter, pers adalah makhluk yang paling tersiksa. Ia korban sekaligus dengan terpaksa harus menjadi pelakunya sendiri. Demikian nasib pers di bawah pemerintahan otoriter, tak terkecuali pers di bawah Orde Baru.1 Transisi kekuasaan dan pergolakan politik yang terjadi pada Mei 1998 dan banyak disorot media merupakan fenomena menarik bila dihubungkan dengan keberadaan pers itu sendiri. Berbagai media sesuai dengan kapasitasnya berupaya menyajikan informasi tentang jatuhnya rezim Orde Baru dan harapan munculnya era reformasi. Khalayak pembaca di seluruh penjuru tanah air begitu antusias menyerap segenap informasi yang disajikan media. Masyarakat pembaca seolah begitu yakin akan pemberitaan pers yang menyajikan hasil liputan terhadap peristiwa-peristiwa tersebut dengan "apa adanya". Padahal sangat patut untuk
Penulis adalah dosen pada Jurusan Syari’ah STAIN Palangka Raya. Menyelesaikan S2 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada tahun 2004, konsentrasi Pemikiran Hukum Islam dan sekarang sedang mengikuti Program S3 Doktor pada Universitas yang sama dengan konsentrasi Politik Islam. Alamat Kantor: STAIN Palangka Raya Jl. G. Obos Komp. Islamic Centre Palangka Raya Kalimantan Tengah 73112. E-mail:
[email protected] 1 Pengantar Redaksi, h. v.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 2, Desember 2009
127
STAIN Palangka Raya
dipertanyakan: Benarkah pemberitaan pers itu sama sekali bebas dari "campur tangan" awak media yang membuatnya? Atau bagaimana sebenarnya pers memaknai peristiwa pergolakan politik transisi dari Orde Baru ke era reformasi? Bagaimana seharusnya pembaca bisa menjadi lebih kritis dalam menyerap informasi yang disajikan media? Jika salah satu dari beberapa pertanyaan di atas ada di benak anda, maka jawabannya dapat anda temukan dalam buku ini. B. Inti Persoalan Buku ini menghimpun berbagai hasil riset teks berita media massa tentang beragam peristiwa dan isu yang menjadi perhatian publik dan hampir seluruhnya dilakukan pada pers pasca-Orde Baru. Dengan beberapa metode dan melibatkan berbagai media sebagai objek penelitian, riset-riset itu mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan: "Apakah dalam perkembangan pers pasca Orde Baru mengindikasikan kontribusi-kontribusi yang berarti bagi usaha demokratisasi?" Apakah perubahan-perubahan teks isi media dari pers era Orde Baru menuju pers era reformasi benar-benar bermakna bagi upaya demokratisasi? Ataukah perubahan ini justru bermakna bagi ideologi atau kekuatan yang lain, misalnya "ideologi" kapitalisme yang berpihak pada kaidah-kaidah pasar? Dengan pertimbangan yang berbeda-beda, telah dipilih beberapa media sebagai "sampel" pada masing-masing riset untuk mengidentifikasi kecenderungan pemberitaan dalam kasus-kasus tertentu. Yang paling menarik mungkin adalah bagaimana menjelaskan sikap dan perilaku dominant media dalam setting pergantian kekuasaan yang bergulir sejak Mei 1998.2 Latar belakang penulisan buku ini menurut pengarangnya Agus Sudibyo, alumni Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM 1998, dan sekarang bekerja sebagai analis media di Media Watch ISAI Jakarta, adalah bertitik tolak dari hasil pengamatan terhadap perubahan dan pergolakan politik dari Orde Baru ke era reformasi yang tidak lepas dari peran dan fungsi pers di dalamnya. Menurut Agus Sudibyo, yang juga pernah bekerja di Jawa Pos Biro Yogyakarta, menjelang dan sesudah pergeseran politik Mei 1998, perubahan signifikan pada struktur ekonomi-politik pers Indonesia banyak dilihat sebagai hasil dari tindakantindakan para pengelola pers, atau lebih luas lagi produk interaksi yang seimbang antara pekerja pers, pemilik modal, dan penguasa. Perubahan kondisi politik dan ekonomi yang terjadi sedemikian cepat melahirkan kapasitas yang relatif lebih besar pada para pekerja pers untuk melakukan tindakan-tindakan signifikan sehingga isi teks media secara umum mengalami perubahan dramatis dibandingkan dengan era Orde Baru. Lebih jauh lagi, banyak yang menganggap pemberitaan media juga turut memberikan kontribusi pada eskalasi atau kumulasi tekanan-tekanan terhadap stabilitas hegemoni penguasa dan kemapanan struktur politik otoritarian Orde Baru.3 Menurut Agus Sudibyo, memahami perubahan karakter media dalam setting perubahan politik seperti yang terjadi sejak medio Mei 1998 adalah suatu hal yang menarik sekaligus perlu dilakukan. Karena bagaimanapun pers dalam 2
Sudibyo, Agus, Mewaspadai Pemberitaan Pers Menjadi Pembaca Kritis, (Yogyakarta: LKiS, 2006), h. 1. 3 Pengantar Penulis, h. xiii.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 2, Desember 2009
128
STAIN Palangka Raya
sejarahnya adalah salah satu kekuatan sosial yang hampir selalu turut menentukan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Peran pers bukan sekadar menyampaikan realitas, karena pers juga niscaya bekerja bekerja berdasarkan kecenderungan atau keberpihakannya, seperti halnya ketika pers terlibat intens dalam gerakan politik untuk menjatuhkan rezim Orde Baru bersama dengan mahasiswa dan kelompok-kelompok prodemokrasi.4 C. Sistematika Isi Buku Sistematika isi buku ini secara garis besar dapat digambarkan sebagai berikut. Keseluruhan yakni sebagaimana layaknya buku ilmiah terdiri dari bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir. Bagian awal dimulai dengan sampul dengan warna warni khas penerbit LKiS, kemudian lembar identitas penerbitan, pengantar redaksi, juga Pengantar dari Dr. Dedy N. Hidayat (pakar komunikasi), pengantar dari pengarang buku, dan daftar isi. Bagian isi terdiri atas tiga bab, masing-masing Bab I tentang Media dan Konflik SARA, memuat artikel: (1) Aceh Merdeka Minim Sikap Kritis Media, (2) Empat Tabloid Penuh Prasangka, (3) Republika Antusias Memberitakan Seruan Jihad, (4) Konflik Antarwarga atau Antaragama?, (5) Meliput Konflik SARA Sonder Visi Rekonsiliasi. Bab II tentang Media, Ideologi, dan Kekuasaan, memuat artikel: (1) Media Umum Tak Beda dengan Media Partisan, (2) Jurnalisme Perang vs Jurnalisme Damai, (3) Wacana Penjarahan dan Kekerasan Media terhadap Petani, (4) Pers Tionghoa, Sensibilitas Budaya, dan Pamali Politik. Bab III tentang Media dan Tokoh Politik, memuat artikel: (1) Bung Karno dalam Wacana Pers Orde Baru, (2) Pers, Demokratisasi, dan Delegitimasi terhadap Gus Dur, (3) Banyak Tuduhan, Minim Pelacakan, dan (4) Garda: Gardu Jaga Keluarga Cendana. Bagian akhir dari buku ini terdiri dari Indeks dan Biodata Pengarang. Daftar pustaka tidak ditempatkan di bagian akhir buku, akan tetapi di bagian akhir setiap artikel. Yang paling menarik sebelum masuk Bab I, II dan III, adalah pembahasan tentang kerangka teoritik sebagai Pendahuluan. Pada bagian ini dengan bahasa yang gamblang dan mudah dipahami, pengarang buku ini mengajak pembaca untuk mengenal sekilas teori-teori tentang media dalam ilmu komunikasi. Bagian ini menurunkan empat sub judul yakni (1) Menjelaskan Isi Media, (2) Menjelaskan Produksi Teks Media, (3) Menjelaskan Konsumsi Teks Media, dan (4) Kebebasan Sonder Demokrasi. (Pendahuluan, Pers di Zaman yang Telah Berubah, hlm 1 – 19). Kerangka toritik dimaksud secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut. Tentang isi media. Ketika media memberitakan suatu peristiwa dengan orientasi tertentu, bagaimana kita menjelaskannya? Ada tiga pendekatan untuk menjelaskan isi media. Pertama, pendekatan politikekonomi (the political-economy approach). Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik di luar pengelolaan media. Kedua, pendekatan organisasi (organizational approach). Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan ekonomi-politik. Pendekatan ini melihat pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Ketiga, pendekatan kulturalis (culturalist approach). 4
Ibid., h. xiv.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 2, Desember 2009
129
STAIN Palangka Raya
Pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi politik dan pendekatan organisasi. Menurut pendekatan ini, proses produksi berita dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media (rutinitas organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal di luar diri media.5 Tentang Produksi Teks Media. Apa yang disajikan media pada dasarnya adalah akumulasi pengaruh yang beragam. Pamela J. Shoemaker dan Stepen D. Reese mengidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi redaksi. Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Kedua, rutinitas media (media routine). Faktor ini berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Ketiga, faktor organisasi. Faktor ini berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Keempat, faktor ekstramedia. Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media, seperti sumber media, penghasilan media, pemerintah dan lingkungan bisnis, dan ideologi.6 (Hlm 7-13). Tentang Konsumsi Teks Media. Dalam studi media, ada dua pandangan mengenai bagaimana khalayak menafsirkan teks. Pandangan pertama, melihat khalayak sebagai pihak yang pasif. Media dibayangkan sebagai entitas yang otonom dan aktif, sementara khalayak sebagai entitas yang pasif. Apa yang dibayangkan oleh khalayak ditentukan oleh apa yang disajikan oleh media. Pandangan kedua melihat khalayak sebagai entitas yang aktif dan dinamis. Khalayak aktif bukan hanya dalam hal memilih media dan berita apa yang sesuai dengan dirinya, tetapi aktif dalam memaknai isi media. Tentang Kebebasan Sonder Demokratisasi. Pada satu sisi, institusi pers sebagai satu kombinasi antara kegiatan pers dan kepentingan modal memang telah terbebas dari kekangan rezim penguasa. Namun pada sisi lain, tampak bahwa pada perkembangannya pers semakin tidak bisa melepaskan diri dari cengkeraman the invisible hand mekanisme pasar serta proses-proses "alami" akumulasi modal yang mengarah pada konsentrasi dan homogenisasi komoditi informasi. Kebebasan pers yang mampu menciptakan public sphere dalam sebuah sistem demokrasi-di mana wacana publik mengenail legitimasi penguasa berlangsung dalam kawasan yang relative terlindungi dari intervensi politik penguasa dan penetrasi kepentingan modal-masih harus terus diperjuangkan oleh publik.7 D. Pemberitaan Konflik SARA Pada Bab I tentang Media dan Konflik SARA, diungkapkan peristiwaperistiwa konflik yang banyak disorot media massa pasca runtuhnya Orde Baru. Pembahasan lebih ditekankan pada perilaku dan kecenderungan media dalam pemberitaannya. Bab yang berisi lima artikel ini menjelaskan tentang perilaku dan kecenderungan media terhadap peristiwa-peristiwa konflik yang melanda di beberapa daerah di tanah air dan kritik pengarang terhadap media. Pada artikel 1 dengan judul "Aceh Merdeka Minim Sikap Kritis Media",8 media yang terlibat memberitakan kasus-kasus GAM dan tuntutan Aceh Merdeka, yang menjadi 5
Sudibyo., Mewaspadai … h. 2-6. Ibid., h. 7-13. 7 Ibid., h. 15-17. 8 Ibid., h. 25-41. 6
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 2, Desember 2009
130
STAIN Palangka Raya
sampel riset ini (Kompas, Republika, Terbit, Pos Kota), dinilai terlalu datar dan kurang menempatkan pers sebagai media kontrol untuk mengkritik kedua kubu yang bertikai yaitu antara GAM dan pemerintah RI. Pada artikel 2 dengan judul "Empat Tabloid penuh Prasangka,"9 empat tabloid yang menjadi sampel riset ini (Adil, Aksi, Detak, Tekad) dinilai kurang mengedepankan objektifitas dalam pemberitaan, tetapi justru keempat media terbawa arus "ideologi" para awak media. Meski demikian, diakui pengarang bahwa media sulit melepaskan diri dari kepentingan dan hegemoni kekuasaan. Untuk itu, media sering dipandang sebagai instrument ideologi, melalui mana satu kelompok menyebarkan pengaruh dan dominasinya kepada kelompok lain. Di samping itu, media juga berperan sebagai sumber legitimasi, di mana lewat media mereka yang berkuasa dapat memupuk kekuasaannya agar tampak abash, dan benar, dan memang seharusnyalah seperti itu. (hlm 55). Sementara pada artikel 3 dengan judul "Republika Antusias Memberitakan Seruan Jihad", (hlm 61-75) meski sampel ada empat media (Kompas, Republika, Suara Pembaruan, Pos Kota), hanya Republika yang masuk dalam kalimat judul. Hal ini menunjukkan hasil analisis riset ini bahwa dari empat media tersebut, dinilai hanya Republika yang paling antusias dalam pemberitaan kasus seruan jihad pada konflik Ambon. Tiga media lainnya dianggap kurang antusias atau bahkan kurang berempati terhadap seruan jihad tersebut. Dari hasil riset ini juga diketahui bahwa masing-masing media sangat minim dalam penggunaan sumber pemberitaan, khususnya yang berkaitan dengan sumbersumber dari kedua kubu yang bertikai (kelompok Islam dan Kristen). Pada artikel 4 dengan judul "Konflik Antarwarga atau Antaragama" menjadikan perilaku tiga media (Suara Pembaruan, Kompas, Republika) sebagai objek analisis dalam pemberitaan kasus Kerusuhan Ambon tahun 2000. Ketiga media dalam pemberitaan kasus Kerusuhan Ambon itu digambarkan dengan perilaku yang berbeda-beda. Misalnya dalam perbandingan berita, ketiga media sangat berbeda dalam hal-hal: sumber berita, sumber informasi, frame kerusuhan, penyebab kerusuhan, dan identitas pelaku kerusuhan. Dari hasil riset ini diketahui bahwa seluruh media mengalami kegamangan dalam meliput konflik SARA. Di samping kegamangan yang disebabkan beberapa faktor, juga kelengkapan berita yang sangat bervariasi dari ketiga media.10 Pada artikel 5 di bawah judul "Meliput Konflik SARA Sonder Visi Rekonsiliasi" mengetengahkan hasil analisis tentang perilaku tiga media (Republika, Media Indonesia, Suara Pembaruan) dalam pemberitaan kasus Kerusuhan Poso tahun 2000. (Hlm 97-118). Riset ini lebih menekankan peran media sebagai sonder visi rekonsiliasi. Hasil analisis ini menunjukkan kecenderungan media dalam pemberitaan terhadap kasus Poso. Pertama media bercorak ideologi Kristen, atau media-media minoritas, sangat berhati-hati dalam memberitakan kasus SARA. Kedua, Republika sebagai media bercorak Islam, berkepentingan untuk menonjolkan aspirasi umat Islam. Ketiga media dinilai "lebih baik" dalam pemberitaannya karena tidak vulgar dan tidak provokatif, dibandingkan dengan pemberitaan kasus Ambon/Maluku.11 9
Ibid., h. 45-57. Ibid., h. 93. 11 Ibid., h. 116 10
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 2, Desember 2009
131
STAIN Palangka Raya
E. Hubungan Media, Ideologi dan Kekuasaan Lebih jauh tentang hubungan antara media, ideologi, dan kekuasaan dibahas pada Bab II. Bab ini menurunkan empat artikel. Pada artikel 1 dengan judul "Media Umum Tak Beda dengan Media Partisan" (hlm 123-154) diketengahkan kajian tentang bagaimana tujuh media nasional (Forum Keadilan, Gatra, Panji Masyarakat, Tajuk, Tempo, Media Dakwah, Sabili) mewacanakan tentang kasus PKI/Komunis. Lebih tepatnya menganalisis kecenderungan media majalah dalam mewacanakan isu PKI/komunisme yang dipicu pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid tentang permintaan maaf kepada eks PKI dan mengusulkan pencabutan Tap MPRS No.25 Tahun 1966. Dalam menganalisis berita tersebut periset mendasarkan pada kerangka kerja semiotika sosial M.A.K. Halliday, yang mana memungkinkan untuk membedah interaksi antara teks dan situasi (konteks) yang didasarkan pada tiga konsep: medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan mode wacana (mode of discourse).12 Pada artikel 2 dengan judul "Jurnalisme Perang vs Jurnalisme Damai" diketegahkan hasil analisis framing terhadap berita-berita media massa tentang persitiwa penarikan mundur pasukan Israel dari Lebanon Selatan tanggal 23 Mei 2000. Ada empat media nasional yang menjadi subjek yaitu Suara Pembaruan, Kompas, Media Indonesia, dan Republika. Hasil riset ini menunjukkan bagaimana jurnalisme damai dan jurnalisme perang dipraktikkan oleh keempat media. Pada artikel 3 dengan judul "Wacana Penjarahan dan Kekerasan Media terhadap Petani"13 dikemukakan hasil analisis tentang eskalasi penjarahan dan protes petani yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia beberapa waktu yang lalu dan gambaran-gambaran yang dimunculkan dalam wacana negara dan wacana media. Analisis ini untuk menjawab pertanyaanpertanyaan: sejauh manakah penderitaan dan ketidakberdayaan kaum petani itu sehingga mereka berani menggunakan jubah kolektif untuk melakukan berbagai gerakan perlawanan sosial? Secara historis, faktor-faktor apa yang melatarbelakangi gerakan-gerakan ini? Bagaimana kecenderungan negara dalam mewacanakannya? Dan gambaran yang bagaimanakah yang mendominasi pemberitaan media terhadap aksi-aksi penjarahan yang dilakukan kaum petani? Hasil analisis dikemukakan di antaranya terlihat bahwa wacana media tentang aksi penjarahan petani cenderung menonjolkan frame yang illegitimate tentang petani pelaku penjarah. Penjarahan petani lebih banyak dikonstruksi dalam frame kekerasan dan anarkisme sipil, dan bukannya dalam frame usaha-usaha petani untuk mengembalikan hak-haknya sebagai warga negara. Penjarahan petani lebih banyak dikonstruksi dalam frame pembangkangan masyarakat terhadap negara dan bukannya dalam frame demokratisasi dan egalitarianisme hubungan negaramasyarakat. Pada artikel 4 di bawah judul "Pers Tionghoa, Sensibilitas Budaya, dan Pamali Politik" dikemukakan analisis tentang kecenderungan-kecenderungan pers Tionghoa pasca Orde Baru. Menurut Agus Sudibyo, pers Tionghoa di era reformasi ternyata tetap menunjukkan karakter sebagai pers budaya. Ketika media pada umumnya getol menampilkan berita, gossip, analisis, atau opini politik, pers 12 13
Ibid., h. 129. Ibid., h. 173-192
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 2, Desember 2009
132
STAIN Palangka Raya
Tionghoa tetap berkutat pada problem-problem budaya, dan masih konsisten berbicara tentang pelestarian tradisi-tradisi leluhur. Pers Tionghoa belum menjadi sarana yang efektif untuk menuangkan aspirasi politik dan kegelisahan warga Tionghoa. Berita bercorak politis baru terasa ketika pers Tionghoa mempersoalkan diskriminasi dan rasialisme yang telah memporak-porandakan kehidupan etnis Tionghoa sejak lama.14 F. Media dan Tokoh Politik Pembahasan tentang perpautan antara media dan tokoh politik tercakup dalam Bab III. Dalam bab ini dibahas lebih jauh tentang keterkaitan media dan tokoh-tokoh politik di Indonesia terutama perlakuan pers Orde Baru terhadap Bung Karno, Abdurrahman Wahid, dan H.M. Soeharto. Bab ini memuat empat artikel. Artikel 1 dengan judul "Bung Karno dalam Wacana Pers Orde Baru"15 mengetengahkan analisis tentang bagaimana sikap politik Orde Baru dan sorotan media terhadap Bung Karno. Kesimpulan hasil riset ini secara umum menyimpulkan bahwa pers Orde Baru cenderung menghadirkan wacana legitimasi terhadap Bung Karno. Pers Orde Baru sebenarnya cukup egaliter dalam menyoroti kesalahan dan kegagalan Bung Karno. Dengan kata lain, mereka tidak kehilangan daya kritis dalam merekonstruksi realitas-realitas Bung Karno. Namun seperti terungkap dalam analisis data kuantitatif, wacana media Orde Baru lebih banyak melahirkan konstruksi sejarah yang favourable dan legitimate tentang Bung Karno. (Hlm 236). Pada artikel 2 dengan judul "Pers, Demokratisasi, dan Delegitimasi terhadap Gus Dur" (hlm 243-261) dikemukakan hasil analisis terhadap aksentuasi-aksentuasi visual Gus Dur (Abdurrahman Wahid, pen.) yang ditampilkan pers dalam prsentasi media. Pers, khususnya yang menjadi sampel (Tempo, Forum Keadilan, Garda) banyak menyajikan foto, gambar dan kartun yang menimbulkan efek penajaman atas kritik-kritik yang mereka munculkan terhadap Gus Dur. Dari hasil riset ini diketahui bagaimana kecenderungan media dalam memaknai realitas-realitas sosial-politik aktual, termasuk yang tersirat dalam cover muka majalah-majalah yang dianalisis. Dari pilihan-pilihan gambar yang ditampilkan, tampak bahwa masing-masing majalah menonjolkan ideologi demokratisasi. Ideologi inilah kiranya yang telah membuat mereka menjadi sangat peka terhadap isu-isu penegakan hukum, perwujudan clean government, pemberdayaan civil society dan penghapusan nilai-nilai militerisme. Pada gilirannya, ideologi demokratisasi mengantarkan kalangan media pada "konfrontasi" yang semarak dengan presiden Abdurrahman Wahid. Masingmasing media sangat bersemangat menampilkan citra negatif tentang Gus Dur berkaitan dengan sikap-sikapnya yang tidak profesional dalam menjalankan pemerintahan. Dengan bahasa gambar, mereka mengkritik kebijakan-kebijakan Gus Dur yang berbau KKN, koncoisme, dan tidak sesuai dengan cita-cita mewujudkan clean government.16 Pada artikel 2 dengan judul "Banyak Tuduhan, Minim Pelacakan" (hlm 277-294) diketengahkan hasil analisis terhadap pemberitaan empat media, yakni Pos Kota, Rakyat Merdeka, Media Indonesia, 14
Ibid., h. 196 dan 197. Ibid., h. 211-237. 16 Ibid., h. 260 15
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 2, Desember 2009
133
STAIN Palangka Raya
dan Kompas berkaitan dengan kasus bantuan dari Sultan Brunei untuk Aceh (Bruneigate). Riset ini menggunakan kerangka analisis framing yang pernah digunakan Jisuk Woo untuk menganalisis pemberitaan televisi Korea Selatan tentang pemilihan Presiden Korea tahun 1987 dan 1992, yakni analisis framing dalam tiga tataran: makrostruktural, mikrostruktural dan retoris. Dari hasil analisis diketahui bahwa hal yang paling dominan dalam berita-berita tentang Bruneigate dalam empat media yang dianalisis adalah penggunaan sumber berita kalangan elit politik yang duduk di DPR RI. Selain bersifat elitis, sumber-sumber tersebut juga merupakan sumber-sumber tak langsung yang tidak mempunyai kompetensi langsung dengan persoalan Bruneigate. Dengan kata lain, pemberitaan pers tentang Gus Dur banyak bertumpun pada fakta psikologis daripada fakta sosiologis. Hal ini tentu mengurangi bobot analisis atau argumentasi yang telah disajikan untuk memperkuat tuduhan terhadap Gus Dur. Pada artikel 3 dengan judul "Garda: Gardu Jaga Keluarga Cendana"17 dipaparkan hasil riset tentang perilaku dan kecenderungan majalah Garda yang sangat partisan terhadap unsur utama Orde Baru: Soeharto dan Militer/TNI. Riset ini menggunakan pendekatan kognisi sosial Teun A. van Dijk. Dari hasil riset disimpulkan lima poin penting tentang kecenderungan majalah Garda, selama tahun 2000, yaitu pertama, paling menonjol dari setiap pemberitaan Garda adalah sikap pro-Soeharto dan menyudutkan kelompok-kelompok anti-Soeharto. Kedua, hampir setiap edisi Garda memuat berita, editorial, atau kolom yang menyudutkan Gus Dur, dengan kata lain propaganda anti-Gus Dur.18 Ketiga, dominan dalam pemberitaan Garda tentang legitimasi TNI, membangun opini publik yang positif tentang TNI dengan frame berita TNI dekat dengan rakyat dan peran politik TNI masih diperlukan. Keempat, kecenderungan Garda menampilkan citra positif TNI berkelindan dengan kecenderungan mengedepankan ideologi antikomunisme. Kelima, Garda adalah media paradoks, karena di satu sisi menolak disebut agen propaganda kelompok Orde Baru, tetapi di sisi lain mereka mengaku memposisikan diri sebagai pembela Soeharto.19 G. Kesimpulan Dengan menunjuk berbagai kasus di era reformasi ini, kajian dan pembahasan buku ini ingin meyakinkan kita untuk tetap curiga dan waspada terhadap pers. Kajian-kajian kasus ini bisa menjadi acuan praktis untuk mewaspadai pemberitaan pers. Kesan mendalam dari buku ini adalah bahwa pembaca atau audians tidak sekadar menjadi konsumer dari industri pers. Namun ia juga menjadi subjek yang mampu mengkritisi perilaku dan sikap-sikap pers dalam memproduksi dan menyajikan berita kepada khalayak. Buku ini boleh dikatakan sangat bermanfaat bagi segenap lapisan masyarakat. Ia tidak saja berguna bagi kalangan intelektual tetapi juga dapat menjadi bacaan bagi kalangan masyarakat awam yang ingin mengenal dan memahami perilaku media. Bagi pelajar, mahasiswa, guru, dosen, manajer perusahaan, pejabat pemerintahan, dapat menjadikan buku ini sebagai referensi 17
Ibid., h. 297. Ibid., h. 309. 19 Ibid., h. 314-317. 18
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 2, Desember 2009
134
STAIN Palangka Raya
ilmiah. Bagi kalangan pers sendiri buku ini dapat menjadi acuan dalam melakukan "otokritik". Menurut hemat penulis, buku ini masih terbilang langka karena di dalamnya dominan memuat hasil-hasil riset yang mengkritisi perkembangan pers dan media pada umunya di tanah air. Lebih-lebih karena buku ini ditulis oleh "orang" media yang selama ini memang berprofesi memantau perkembangan media (Media Watch ISAI Jakarta). Tentang penulis buku ini, Agus Sudibyo, lahir di Malang, pada 8 Juni 1974. Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi Fisipol UGM (1992-1998) ini, kini sedang menempuh studi S2 di program Magister Filsafat STF Driyarkara Jakarta, dan bekerja sebagai Peneliti pada Institut Studi Arus Informasi (ISAI) Jakarta. Sebelumnya dia pernah bekerja sebagai Koordinator Program Monitoring Media Untuk Pemilu 2004 (ISAI/Koalisi Media Untuk Pemilu Bebas dan Adil— Maret 2004-Oktober 2004), Koordinator Program Monitoring Media Untuk Konflik Aceh (ISAI— April 2003 - Februari 2004), Koordinator Kampanye Koalisi (Ornop) Untuk Kebebasan Informasi (Maret 2000 – Juli 2003), Anggota redaksi jurnal/majalah media watch Pantau (1999-2003) dan pernah menjadi Wartawan Jawa Pos Biro Yogyakarta (1998-1999). Di samping itu dia aktif sebagai Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) Jakarta dan Koordinator Loby Koalisi Untuk Kebebasan Informasi (Koalisi NGO yang berubaha memperjuangkan pengesahan UU Kebebasan Informasi/Freedom of Information Act, berdiri sejak Desember 2000). Beberapa kegiatan yang diikuti penulis buku ini tidak hanya berskala nasional tetapi juga internasional. Sejak 1999 Agus Sudibyo telah menulis enam buah buku, dan bukunya ini adalah buku ketujuh. Dalam statusnya sebagai peneliti di ISAI, dia tetap aktif menulis seputar kebebasan memperoleh informasi dan kebebasan pers untuk Kompas, Tempo, Forum Keadilan, Gamma, Tajuk, D&R, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Republika, Kedaulatan Rakyat, Bernas, Suara Merdeka, Duta Masyarakat Baru, Karya Dharma. Majalah Kebudayaan Basis, Jurnal Wacana, Jurnal ISP, Jurnal Taswirul Afkar, Jurnla KUPAS, Jurnal ELSIM, dan Jurnal MWCC Habibie Center. Mengingat prestasi dan reputasinya, Agus Sudibyo kemudian menerima penghargaan Press Freedom Award 2007 dari AJI Indonesia dan DRSP-USAID. Tak ada gading yang tak retak. Menurut hemat penulis, dari sekian banyak keunggulan dan kelebihan isi buku ini masih ditemukan titik-titik kelemahan baik dari segi substansi maupun aspek teknis. Dari segi substansi, misalnya, ada kutipan yang tidak tuntas atau terpotong sehingga dapat mengganggu konsentrasi pembaca yakni pada hlm 7-13 yang mengutip pendapat Pamela J. Shoemaker dan Stephen D Reese yang menyatakan bahwa ada lima faktor (cetak tebal oleh penulis) yang mempengaruhi kebijakan redaksi, namun ternyata uraiannya hanya memuat empat faktor. Dari aspek teknis penulisan, meski bobotnya ringan, akan tetapi, menurut hemat penulis, ini juga bisa mengganggu logika dan "kenikmatan" membaca, yaitu pada hlm 299 paragraf kedua kalimat pertama ditemukan tulisan "Penelitian akan dilakukan …" (cetak tebal oleh penulis) padahal yang dimaksud pengarang buku ini tentu "Penelitian yang telah dilakukan …" karena isi buku ini memuat laporan hasil-hasil riset. Meski demikian, secara keseluruhan tulisan dalam buku ini tampak tertata rapi dengan kualitas cetak yang memuaskan sehingga memudahkan pembaca untuk membacanya. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 2, Desember 2009
135
STAIN Palangka Raya
DAFTAR PUSTAKA Sudibyo, Agus, Politik Media dan Pertarungan Wacana, Yogyakarta: LKiS, 2006.
Jurnal Studi Agama dan Masyarakat
Volume 3, Nomor 2, Desember 2009