Blended Librarianship dan Pengguna Multitasking Jonner Hasugian12
1. Pendahuluan Blended Librarianship (BL) merupakan terminologi baru yang mucul dalam kepustakawanan di Perpustakaan Perguruan Tinggi. BL adalah sekaligus sebuah konsep kepustakawanan yang memadukan layanan tradisional (kovensional) dan layanan baru (online) di Perpustakaan Perguruan tinggi untuk mendukung kegiatan akademik yang semakin berkembang. BL sebagai konsep kepustakawanan di perpustakaan perguruan tinggi pertama sekali dikemukakan oleh John D. Shank dan Steven Bell pada tahun 2004. Konsep ini dipaparkan dalam atikelnya yang berjulul: “The blended librarian: A blueprint for redefining the teaching and learning role of academic librarians”, yang dipublikasikan pada College & Research Libraries News, 65 (7), 372375 tahun 2004. Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi informasi merubah sejumlah kegiatan akademik di perguruan tinggi. Perubahan yang terjadi dalam berbagai kegiatan akademik terutama pada kegiatan belajar mengajar dan kegiatan penelitian, mendorong pustakawan perguruan tinggi berubah mengikuti perubahan yang terjadi. Di awal tahun 2000-an ada dua hal yang berkembang dalam kegiatan akademik di perguruan tinggi yaitu pembelajaran online dan penelitian online. Di sejumlah Perguruan tinggi di negara maju seperti halnya di Eropah dan Amerika Serikat, untuk matakuliah tertentu komunikasi dosen dengan mahasiswa dilakukan secara online, materi kuliah disampaikan dengan online, tugas-tugas dikerjakan dengan online bahkan ujian ada yang dilakukan secara online. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul konsep e-learning, dimana pembelajaran dimungkinkan berlangsung dilakukan secara daring (dalam jaringan online) menggunakan media elektronik khususnya internet. Mahasiswa mendaftar secara online, materi kuliah disampaikan secara online, tutorial dilakukan secara online, ujian dilakukan secara online, nilai disampaikan secara online dan semua komunikasi mahasiswa dengan dosen dilakukan secara online. Konsep e-learning menjadikan pembelajaran dapat dilakukan tanpa melihat jarak dan lokasi mahasiswa dan dosen. Selain itu, kegiatan penelitian sudah banyak yang dilakukan secara online, kuesioner disebarkan secara
1 2
Dosen pada Program Studi Ilmu Perpustakaan dan Informasi, Fakultas Ilmu Budaya USU. Kepala Perpustakaan USU.
1
online, bahkan ada yang langsung diisi secara online dan laporannya dipublikasi secara online juga. Singkatnya, kegiatan akademik berubah ke arah digital. Shank dan Bell (2004) menyatakan bahwa BL memimpikan ke depan bahwa pustakawan selain sebagai pengelola dan pelayan informasi, juga dapat berperan sebagai pendidik yang mampu mendisain pembelajaran berkaitan dengan pelayanan informaasi di era informasi digital (the role of librarian as educator in the digital information age). BL memandang bahwa di masa mendatang pustakawan akan lebih dominan berhadapan dengan komunitas pengguna online (online community), sekalipun tetap harus mengelola bahan-bahan tercetak. Perubahan yang terjadi di era tahun 1960-an, ketika automasi mulai diaplikasikan di perpustakaan, sangat berbeda dengan perubahan yang terjadi di awal tahun 1990-an, khususnya ketika internet mulai muncul pada tahun 1994. Perubahan itu semakin kuat ketika sumber daya informasi semakin tersedia dalam format digital (e-journal, e-books dsb) di awal tahun 2000-an. Jumlah dan jenis sumber daya informasi digital terus berkembang biak atau berlipat ganda, sehingga ada kalanya semakin sulit ditemukan. Pustakawan telah berupaya membantu pengguna untuk dapat menemukan informasi yang relevan dengan keperluannya melalui pendidikan literasi informasi. Akan tetapi ada kalanya pendidikan literasi yang disampaikan kurang dan/ataupun tidak mencapai harapan, karena disain instruksional (materi, metode penyampaian, media pembelajaran, rumusan tujuan) yang kurang tepat. Dalam konsep BL, pustakawan perguruan tinggi seharusnya memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang disain instruksional agar dapat mendisain berbagai program pembelajaran dan/atuau literasi berkaitan dengan perubahan yang terjadi. Perubahan yang terjadi sekarang ini semakin kuat dan bergerak secara linear ke suatu titik yang tidak dapat diprediksi akhirnya. Perubahan ini terasa lebih dominan di Perpustakaan Perguruan Tinggi di banding dengan perpustakaan lainnya, dan perubahan itu mendorong kepustakawanan pada perpustakaan perguruan tinggi terus berkembang dan berubah dengan kompetensi dan/atau keterampilan baru yang tidak hanya berasal dari ilmu perpustakaan, akan tetapi menuntut keterampilan (skill) dari bidang ilmu yang lain. Dalam konsep BL, diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang dapat mendorong pustakawan agar juga dapat berperan sebagai pendidik, tanpa harus berganti profesi sebagai dosen atau tenaga pengajar utamanya sebagai pendidik informasi, atau menjadi mitra pendidikan yaitu membantu peran instruksional yang diemban oleh dosen.
2
2. Apakah Blended Librarianship? Shank dan Bell (2004) mendefinisikan blended librarian sebagai berikut: “An academic librarian who combines the traditional skill set of librarianship with the information technologist’s hardware/software skills, and the instructional or educational designer’s ability to apply technology appropriately in the teaching-learning process”. Definisi di atas setidak-tidaknya menjelaskan bahwa BL adalah pustakawan pada perpustakaan perguruan tinggi harus mampu mengkobinasikan 3 (tiga) hal yaitu: (1) Keterampilan (skill) kepustakawan tradisional (the traditional skill set of librarianship) (2) Keterampilan teknologi informasi baik hardware/software (the information technologist’s hardware/software skills) (3) Kemampuan mendisain instruksinonal atau pembelajaran untuk menerapkan teknologi yang tepat dalam proses belajar mengajar (the instructional or educational designer’s ability to apply technology appropriately in the teaching-learning process) Pendapat lain menyatakan bahwa BL adalah: “Tech-intensive reference and instruction librarians are concerned with books, emerging technologies, e-learning, instructional design and web design, usability, blogging, library trend spotting, digital media, open access, innovation, social web tools, participatory librarianship, networked learners, online learning, etc. (http//:blendedlibrarian.org). Pendapat ini menjelaskan bawha BL adalah Tech-intensive reference dan pustakawan pengajar (instruction librarians) yang penuh perhatian dengan bukubuku, teknologi terkini, e-learning, disain instrusional, disain web, pemanfaatan, blog, library trend spotting, media digital, akses terbuka, inovasi, peralatan media/web sosial, kepustakawanan partisipatif, peserta didik jaringan, pembelajaran online, dan sebagainya). Selanjutnya Carrie A. McDonald (2011) menyatakan bahwa BL adalah “A blended librarian seamlessly combines 21st century skills, instructional research and design, and technological skills into their existing library program. Through these skills, the librarian is able to make more and better connections with faculty, students, and patrons”. Pendapat McDonald di atas menyatakan bahwa BL sebenarnya adalah kombinasi ketampilan di abad 21, desain dan penelitian instruksional dan keterampilan teknologi ke dalam program perpustakaan yang sudah ada sebelumnya. Melalui keterampilan ini, pustakawan mampu membuat lebih banyak dan lebih baik hubungannya dengan dosen, mahasiswa, dan pelanggan lainnya. 3
Dari pendapat di atas dapat diringkaskan bahwa BL adalah seseorang selalu bersama
perpustakaan,
teknologi
informasi
dan
keterampilan
mendisain
isstruksional (A blended librarian is some one with library, information technology, and instructional design skills) 3. BL adalah Pustakawan Akademik Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa BL adalah “professional bidang akademik” yang memberikan layanan sekaligus memiliki ketrampilan dan/atau kemampun untuk mendukung lembaganya dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran. Berkaitan dengan definisi Shank dan Bell dan McDonald di atas, setidak-tidaknya ada 6 (enam) kata kunci untuk memahami BL yaitu: (1) Academic librarian yaitu pustakawan yang tidak terpisahkan dari kegiatan akademik. Siapakah Academic librarian?. Mereka adalah pustakawan yang bekerja di Perpustakaan Perguruan Tinggi yang memberikan layanan kepada stakeholders perguruan tinggi, utamanya kepada mahasiswa, tenaga pendidik (dosen), tenaga kependidikan, peneliti, pimpinan fakultas/universitas, pengurus yayasan dan sebagainya. Memiliki pengetahuan dan keterampilan kepustakawanan, mampu bermitra dengan stakeholder dan mampu mampu berjejaring dan berkolaborasi dengan pustakawan lain. Untuk perguruan tinggi di Indonesia sekarang ini, Academic Librarians diharapkan memiliki pemahaman akan sejumlah isu, beberapa diantaranya adalah seperti berikut: (a) Isu Kurikulum Academic Librarians memiliki kemauan yang selalu ingin memahami persoalan persoalan yang berkembang dalam dunia akademik. Misalnya perubahan kurikulum yang sedang terjadi sekarang ini dalam dunia pendidikan tinggi dari kurikulum berbasis kompetensi (KBP) dengan kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). (b) Isu Research University Konsekuensi logis dari visi dari sejumlah perguruan tinggi yang ingin menjadi research university, maka Perpustakaan harus mengakselerasi dirinya bergerak dari tahap penyedia informasi yang sering berperan sebagai gudang buku (store house period) ke tahap pendidikan dan penelitian (educational and research period). Pada tahap tersebut, peran Perpustakaan tidak hanya sebatas sebagai tempat simpan pinjam buku saja. Namun perpustakaan berperan sebagai katalis bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Berbagai kegiatan dapat dilakukan, misalnya Perpustakaan dapat membentuk forum-forum diskusi yang bermuara pada 4
pemikiran-pemikiran kritis dan membebaskan para penggunanya dari literasi informasi. Mengacu pada pentahapan tersebut maka Perpustakaan diharapkan akan bertransformasi menjadi perpustakaan riset. Untuk melangkah ke tahap pendidikan dan penelitian (perpustakaan riset), maka ada beberapa hal yang harus dipersiapkan oleh Perpustakaan. Jika merujuk pada definisi di situs Online Dictionary of Library and Information Science (ODLIS) maka pengertian perpustakaan riset (research library) adalah sebagai berikut “A library containing a comprehensive collection of materials in a specific field, academic discipline, or group of disciplines, including primary and secondary sources, selected to meet the information needs of serious researchers”, yaitu perpustakaan yang memiliki koleksi yang komprehensif yang terdiri dari bahan-bahan perpustakaan dalam bidang tertentu, disiplin akademik, atau kelompok disiplin, termasuk sumber-sumber primer dan sekunder, yang dipilih untuk memenuhi kebutuhan informasi dari peneliti yang serius". (c) Isu Akreditasi Program Studi dan Institusi. Persoalan akademik lainnya misalnya, Akreditasi Program Studi meminta 400 judul buku teks per program studi (S1) dengan publikasi termutakhir (10 tahun terkahir), memiliki lebih dari ( ≥ 3) judul jurnal nasional terakreditasi DIKTI, yang nomornya lengkap per Program Studi, memiliki lebih dari (≥) 2 judul jurnal internasional, yang nomornya lengkap per program studi, memiliki jumlah prosiding seminar lebih dari ( ≥) 9 judul, ada beberapa perpustakaan di luar PT yang dapat diakses dan sangat baik fasilitasnya dan sebagainya. (d) Isu pemeringkatan perguruan tinggi Sekarang ini isu pemeringkatan pergruan tinggi sedang hangat dibicarakan. Pada awlanya pemeringkatan perguruan tinggi yang paling terkenal adalah webometrics. Bagi beberapa Perguruan Tinggi tertentu pengumuman dari webometrics (biasanya setiap bulan Agustus) sangat ditunggu-tunggu kedatangannya karena mungkin telah dituangkan sebagai salah satu capaian visi/misi Perguruan Tinggi tersebut, adapula Perguruan Tinggi yang memproklamirkan peringkat Webometrics ini sebagai Brand bahwa kampus tersebut sudah bertaraf World Class University, pada hal belum tentu. Belakangan ini pemeringkatan perguruan tinggi ini berkembang menjadi beberapa versi, ada versi Dikti, dan ada versi dari asosiasi tertentu. Penilaiannya ada yang melibatkan perpustakaan dan ada yang tidak. Sekarang ini pemeringkatan perguruan tinggi yang dilakukan oleh Dikti Berdasarkan 4 aspek yaitu kualitas SDM, kualitas manajemen, kualitas kegiatan mahasiswa, dan kualitas penelitian dan publikasi. 5
(2) Traditional skill set of librarianship yaitu pustakawan yang memiliki keterampilan kepustakawanan tradisinonal. Keterampilan kepustakawanan tradisional yang dimaksud dalam hal ini adalah sejumlah pengetahuan dan keterampilan dasar perpustakaan yang harus dimiliki oleh setiap pustakawan. Keterampilan tersebut mencakup: pengelohan koleksi seperti cataloguing and classification, indexing, abctracting dan sebagainya. Pelayanan perpustakaan seperti sirkulasi, referensi dan sebagainya. Pengetahuan dasar tentang teknis teknologi informasi seperti otomasi, jaringan, internet dan sebagainya. Pemahaman tentang pengguna misalnya pendidikan pengguna, literasi informasi dan sebagainya. Penelitian perpustakaan misalnya studi kepusasan pengguna, pengukuran kinerja perpustakaan seperti Library visid pe Capita, Sirculation per Capita, Bibliometrika, Informetrika dan penelitian lainnya berkaitan dengan pengelolalan perpustakaan. (3) Hardware skills yaitu pustakawan yang memiliki keterampilan tentang perangkat keras komputer dan jaringan (hardware skills) terutama yang berkaitan dengan pengelolaan
sumber
daya
informasi.
Misalnya,
pengetahuan
tentang
perkembangan hardware, mengenal dan memahami berbagai jenis hardware untuk perpustakaan, mengenal perangkat lain terkait dengan hardware perpustakaan. (4) Software skills and knowledge yaitu pustakawan yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidang software khususnya untuk mengoperasikan program aplikasi berkaitan dengan pengelolaan informasi di perpustakaan. Pengetahuan maksudnya adalah mengetahui atau mengenal berbagai software perpustakaan, berbagai aplikasi-aplikasi untuk perpustakaan dan pengetahuan tentang media. Ketrampilan adalah mampu menggunakan aplikasi perpustakaan yang ada, atau menggunakan media social. Software untuk penulisan misalnya MS-Word, Excel, dan sebagainya. Software untuk penelitian, misalnya: SPSS, NVIVO, ATLAS.ti, SEM, Lisrel dan sebagainya. (5) Kemampuan untuk disain instruksional (instructional design) yaitu keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan belajar serta pengembangan teknik mengajar dan materi pembelajarannya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Termasuk di dalamnya adalah pengembangan paket pembelajaran, kegiatan mengajar, uji coba, revisi dan kegiatan mengevaluasi hasil belajar. Misalnya, mendisain literasi informasi untuk akses e-journal atau e-books, dan sebagainya. (6) Mengetahui berbagai teknologi untuk pengajaran dan proses pembelajaran (technologies for teaching and learning process), misalnya penggunaan teknologi media untuk proses pembelajaran. Termasuk media akses ke sumber-sumber informasi, media pembelajaran. Media teknologi yang umum digunakan untuk 6
pengajaran atau penyampaian bahan ajar, misalnya PowerPoint, Prezi (the presentation software that uses motion, zoom, and spatial relationships to bring your ideas to life and make you a great presenter), dan lainnya. Teknologi lain yang sekarang ini digunakan untuk pendidikan khususnya belajar berbasis internet adalah Moodle. Moodle adalah singkatan dari Modular ObjectOriented Dynamic Learning Environment yaitu adalah paket perangkat lunak yang diproduksi untuk kegiatan belajar berbasis internet dan situs web yang menggunakan prinsip social constructionist pedagogy. Moodle merupakan salah satu aplikasi dari konsep dan mekanisme belajar mengajar yang memanfaatkan teknologi informasi, yang dikenal dengan konsep pembelajaran elektronik atau elearning. Moodle dapat digunakan secara bebas sebagai produk sumber terbuka (open source) di bawah lisensi GNU. Moodle dapat diinstal di komputer dan sistem operasi apapun yang bisa menjalankan PHP dan mendukung database SQL. Contoh lain yang sering digunakan dalam pembelajaran adalah Blackboard. Dahulu teknologi pemebelajaran Blackboard adalah belajar menggunakan papan tulis berwarna hitam dengan kapur tulis, kemudian menggunakan papan tulis berwarna putih (whiteboard) dengan memaki spidol warna sebagai alat tulis. Media ini digunakan pengajar untuk menulis, menggambar atau mengoret-oret matari ajarnya. Sekarang ini Blackboard merupakan teknologi pembelajaran dengan mengunakan alat-alat online seperti blog, kolaborasi online, yang memungkinkan komunikasi yang mudah antara dosen dengan mahasiswa atau sesama mahasiswa dan sebagainya. Blackboard (sebelumnya Sistem Manajemen Pembelajaran Blackboard), adalah sistem manajeman lingkungan belajar berupa kursus virtual yang dikembangkan oleh perusahaan Blackboard (Blackboard Inc). Sistem ini menggunakan program aplikasi (software) berbasis web server. Sistem ini mempunyai sejumlah fitur manajemen yang arsitekturnya dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Tujuan utamanya adalah untuk menambahkan elemen online untuk mengurangi tatap muka. Misalnya, dosen menyediakan bahan kuliah dalam format pdf, kemudian mahasiswa dapat mendowload, atau mahasiswa mengumpulkan tugas secara online dan dosen mengoreksi atau menilai tugas secara online juga. Butir (5) dan (6) termasuk kompetensi yang tidak dan/atau kurang diakomdasi dalam pendidikan ilmu perpustakaan, sehingga untuk memahaminya perlu kolaborasi dengan disainer instruksional dan pakar teknologi media pendidikan. 7
Pustakawan memerlukan kerjama baik dalam bentuk perorangan maupun dalam bentuk tim. Kolaborasi dapat dilakukan dengan terlibat langsung dalam implementasi atau terlibat dalam dialog dengan pada desiner instructional dan/atau technolog untuk pengembangan program layanan sumber-sumber informasi yang dibutuhkan untuk misi instruksional perpustakaan Perpustakaan Perguruan Tinggi. 4. Prinsip dalam BL Ada beberpa prinsip dalam BL diantaranya adalah: (1) Memimpin di kampus sebagai inovator dan agen perubahan. Pustakawan harus dapat mengambil posisi kepemimpinan sebagai inovator dan agen perubahan di kampus melalui layanan informasi. Hal ini sangat penting untuk keberhasilan layanan perpustakaan dalam melahirkan masyarakat informasi di perguruan tinggi. Membangun perpustakaan yang memuaskan pengguna dengan menyediakan layanan prima (service excellent). (2) Berkomitmen mengembangkan inisiasi literasi informasi seluruh kampus. Literasi informasi bukan sekedar sosialisasi atau pengenalan dan orientasi perpustakaan. Literasi informasi adalah pendidikan yang menuntut disain instruksional yang setidak-tidaknya mempunyai tujuan, saran dan/atau kompetensi yang mau dicapai, metode dan media pembelajaran, bahan atau materi
ajar,
evaluasi
dan
sbagainya.
Singkatnya,
Literasi
informasi
mengharuskan adanya disain instruksional (syllabus). (3) Mendisain program pendidikan/pelatihan membantu staf dan pengguna memanfaatkan perpustakaan secara penuh. Selain literasi informasi, pustakawan harus memapu mendisasi programprogram pendidikan/pelatihan singkat baik kepada pustakawan (ToT), terutama kepada pengguna dalam agar dapat memanfaatkan perpustakaan secara penuh. (4) Bekerjasama dengan ahli Teknologi Informasi dan pembelajaran. Tidak mungkin pustakawan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam segala hal, untuk itu ia perlu bekerja sama dengan ahli lain. Seperti telah disebut di atas bahwa pengetahuan dan keterampilan tentang teknologi pembelajaran tidak atau kurang diberikan pada pendidikan ilmu perpustakaan, maka dipastikan kompetensi pustakawan dalam hal ini dipastikan kurang, maka untuk memenuhi hal itu perlu bekerjasama dengan ahlinya. (5) Implementasi perubahan inovatif, kreatif, dan adaptif dalam layanan perpustakaan dan pendidikan pemakai.
8
Proaktif dalam membuat perubahan inovatis, kreatif dan adaptif dalam layanan perpustakaan menjadi sangat penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan suasana di perpustakaan dapat memotivasi pengguna untuk lebih memanfaatkan layanan perpustakaan. (6) Transformasi hubungan dengan dosen (Transform our relationships with faculty) Menjalin hubungan yang baik dengan dosen menjadi faktor penting dalam layanan perpustakaan. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak pustakawan yang gamang berhubungan dengan dosen program studi, dekan dan/atau petinggi perguruan tinggi. Komunikasi perlu menjadi perhatian semua pustakawan. Pada prinsipnya setidaknya ada dua bentuk komunikasi yang perlu dibangun oleh pustakawan dengan dosen yaitu hal-hal yang bersifat koordinasi, misalnya dalam pengadaan bahan-bahan perpustakaan, dalam pengawasan palgiarisme dan/atau masalah terkait hk cipta dan sebagainya. Komunikasi yang bersifat kolaboratif misalnya dalam melakukan lokakarya (workshop), melakukan kegiatan literasi informasi kepada mahasiswa, penyusunan materi pelatihan dan/atau menyususn disain instruksional. Untuk komunikasi tersebut BL harus mampu menggunakan peralatan Web 2.0 (misalnya, Facebook, Twitter, Flickr, YouTube, dll...) sebagai media. 5. Pengguna Multitasking Istilah multitasking pada awalnya berkaitan dengan dunia teknologi informasi (IT). Terminologi multitasking yang sering diterjemahkan sebagai tugas ganda adalah istilah dalam bidang teknologi informasi yang mengacu kepada sebuah metode di mana banyak pekerjaan, atau dikenal juga sebagai proses yang diolah dengan menggunakan sumberdaya CPU yang sama. Multitasking dalam dunia komputer berarti melakukan pekerjaan yang berbeda secara realtime dan bersamaan dalam satu perangkat. Sistem multitasking merupakan sistem yang mampu mengerjakan beberapa pekerjaan sekaligus pada saat yang bersamaan Selanjutnya terminology multitasking, digunakan untuk berbagai keperluan termasuk untuk menyatakan kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh manusia. Sejumlah hasil penelitian menyatakan bahwa perkembangan teknologi informasi berpengaruh terhadap perilaku manusia termasuk pengguna perpustakaan. Dzubak (2015) menyatakan, “Multitasking is a term frequently used to describe the activity of performing multiple tasks during a specified time period”. Pendapat ini menjelaskan bahwa multitasking adalah beberapa aktivistas yang dapat dilakukan seseorang dalam waktu tertentu. Pendapat lain yang lebih lugas menyatakan bahwa, “Human multitasking is 9
the performance by an individual of appearing to handle more than one task at the same time (https://realbalance.com). Pendapat ini menyatakan bahwa manusia atau orang multitasking adalah kinerja seseorang yang mampu menghandel atau melakukan lebih dari satu tugas atau perkerjaan dalam waktu yang sama. Pendapat yang hampir sama menjelaskan bahwa, “Human multitasking is an apparent human ability to perform more than one task, or activity, over a short period” (https://en.wikipedia.org). Pendapat ini menjelaskan bahwa human multitasking adalah manusia yang dapat atau mampu melakukan lebih dari satu tugas atau aktivitas dalam waktu yang singkat. Contoh, seseorang berbicara lewat phonsel, sambil mengetik/menulis di e-mail dan sedang membaca buku juga. Seseorang membaca di perpustakaan sambil mendengar musik dengan headset dari handphone di kepalanya. Studi tentang multitasking pengguna perpustakaan menjadi wilayah penelitian yang penting dalam kepustakawanan. Penelitian Spink, et al tahun 2002 tentang perilaku multitasking pada perpustakaan perguruan tinggi menunjukkan bahwa 13 (13, 6%) dari 95 mahasiswa pengguna perpustakaan yang diwawancarai/diinterview menyatakan bahwa mereka melakukan lebih dari satu tugas secara bersamaan ketika melakukan pencarian informasi di perpustakaan. Sembilan dari 13 pengguna melakukan dua tugas pencarian informasi dalam waktu yang bersamaan dan empat dari 13 pengguna melakukan tiga tugas dalam waktu yang bersamaan. Lima pengguna perpustakaan multitasking mencari informasi tentang tugas informasi yang terkait atau saling berhubungan, sedangkan delapan pengguna multitasking perpustakaan mencari informasi tentang tugas informasi yang tidak terkait atau tidak berhubungan. Observasi yang pernah dilakukan oleh sekelompok mahasiswa (tugas kelompok) Semester V Program Studi Ilmu Perpustakaan USU di ruanga baca Lantai3 dan 4 Perpustakaan selama 1 (satu) hari menyatakan dari sekitar 332 orang mahasiswa yang sedang membaca, ada 189 orang yang menggunakan gadget (utamanya handphone) pada saat membaca. Dari sekitar 32 pengguna layanan digital di lantai-1 Gedung Perpustakaan USU, seluruhnya melakukan lebih dari satu pencarian informasi dalam waktu yang sama pada satu terminal komputer yang sama. Uraian di atas menunjukkan bahwa pengguna perpustakaan perguruan tinggi sekarang ini dan di masa mendakang cenderung adalah pengguna multitasking. Jika keadaan ini dikaitkan dengan pendapat Prensky (2001) yang menyatakan bahwa sivitas akademika di perguruan tinggi di masa mendatang terdiri dari Digital Natives dan Digital Immigrants. Digital Natives adalah generasi manusia yang lahir di era digital yang diasumsikan lahir pada tahu 1994 ke atas (saat internet mulai beroperasi) 10
dan generasi ini dipandang lebih familiar dengan teknologi informasi dan bahanbahan digital. Generasi yang lahi di bawah tahun 1994 disebut Digital Immigrants yaitu generasi manusi yang migrasi ke era digital, bahkan ada yang menyebut mereka dipaksa harus menggunakan teknologi informasi dan sumber-sumber digital. Mahasiswa sebagai core bisnis layanan perpustakaan perguruan tinggi, sekarang ini dominan adalah generasi digital natives yang tentu akrap dengan peralatan teknologi informasi. Mereka yang akrap dengan peralatan teknologi informasi cenderung menjadi manusia multitasking. Pustakawan yang akan melayani mereka tentu juga adalah pustakawan yang multitasking. Pustakawan multitasking adalah pustakawan yang memiliki berbagai kemampuan dan keterampilan untuk menjalankan perannya. Untuk itu, konsep Blended Librarianship sangat penting dihayati dan dipraktikkan di perpustakaan perguruan tinggi. Daftar Bacaan: Dzubak, Cora M. 2015. Multitasking: The good, the bad, and the unknown. https://www.myatp.org/wp-content/uploads/2015/04/Synergy-Vol-2Dzubak2.pdf. Diakses 10 Ferbuari 2017. Corrall, Sheila. 2010. "Educating the academic librarian as a blended professional: a review and case study", Library Management, Vol. 31 Iss 8/9 pp. 567 - 593 Junco, Reynol and Shelia R. Cotton. 2012. “The relationship between multitasking and academic performance”. Computers & Education 59 (2012) 505 McDonald, Carrie A. 2011. The Library Transformed into a Learning Commons: a Look at the Library of the Future. Master of Science in Library Science and Information Services in the Department of Educational Leadership and Human Development University of Central Missouri. http://centralspace.ucmo.edu/bitstream/handle/10768/42/CMcDonald_Lib raryScience.pdf?sequence= . Diakses 10 Februari 2017. Prensky, Marc. 2001. Digital Natives, Digital Immigrants. From On the Horizon M CB University Press, Vol. 9 No. 5, October 2001. http://www.marcprensky.com/writing/Prensky%20%20Digital%20Natives,%20Digital%20Immigrants%20-%20Part1.pdf. Diakses 22 November 2007 Shank, John D. and Steven Bell. 2004. “The blended librarian: A blueprint for redefining the teaching and learning role of academic librarians”, College & Research Libraries News, 65 (7), 372-375, 2004. Spink, Amanda. 2004,"Multitasking information behavior and information task switching: an exploratorystudy", Journal of Documentation, Vol. 60 Iss 4 pp. 336 – 351.
11