BIOGAS HASIL FERMENTASI HIDROLISAT BAGAS MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI TERMOFILIK KOTORAN SAPI
IMAM SUCIPTO
PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
ABSTRAK IMAM SUCIPTO. Biogas Hasil Fermentasi Hidrolisat Bagas menggunakan Konsorsium Bakteri Termofilik Kotoran Sapi. Dibimbing oleh EMAN KUSTAMAN dan DWI SUSILANINGSIH. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan teknologi mengakibatkan dunia termasuk Indonesia membutuhkan energi yang sangat besar. Eksploitasi energi yang berlebihan dari sumber daya yang tak terbarukan menimbulkan kerusakan lingkungan dan krisis energi di seluruh dunia. Penelitian ini bertujuan menghasilkan biogas dengan menggunakan substrat bagas tebu dengan bantuan konsorsium bakteri termofilik kotoran sapi melalui fermentasi. Penelitian ini diawali dengan melakukan preparasi seed sludge dengan pemanasan 102 °C. Sebanyak 75 ml media ditambahkan substrat glukosa dan hidrolisat bagas dengan konsentrasi glukosa yang berbeda, yaitu 0.5, 1.5, dan 2.5 g/L kemudian dishaker selama lima hari pada suhu kamar. Biogas yang dihasilkan dianalisis dengan kromatografi gas dengan temperatur injektor, detektor, dan kolom adalah 150, 250, dan 80 ºC. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan pertumbuhan bakteri seiring dengan menurunnya kadar gula yang berarti bakteri mengkonsumsi gula untuk menghasilkan biogas. Jumlah biogas yang diperoleh pada fermentasi glukosa 0,5 g/L, 1,5 g/L, dan 2,5 g/L berturut-turut 2,5, 13, dan 38 ml sedangkan fermentasi bagas tebu 0,5 g/L, 1,5 g/L, dan 2,5 g/L berturut-turut 30, 13, dan 2 ml. Fermentasi glukosa menghasilkan hidrogen 0,6 % sedangkan fermentasi bagas tebu 0,9 %. Jadi bagas tebu dapat menghasilkan biogas sebagai sumber energi alternatif dengan menggunakan bakteri termofilik kotoran sapi.
ABSTRACT IMAM SUCIPTO. Biogas as Fermentation Product of Baggase Hydrolysate Using Consortium Thermopilic Bacteria of Manure. Under the direction of EMAN KUSTAMAN and DWI SUSILANINGSIH. Growth of society and development of technology cause the world especially Indonesia require energy very much. Over exploitation of energy from unrenewable resource cause environmental damage and crisis of energy in the world. The purpose of this research was to produce biogas using baggase as substrate by thermophilic bacteria consortium of manure with fermentation. This research was begun by seed sludge preparation with heating 102 °C. A number of 75 ml of medium were mixed by substrate of glucose and baggase hydrolysate with different glucose concentration, that is 0.5, 1.5, and 2.5 g/L then were shaked for five days in normal temperature. The product of biogas was analyzed by gas chromatography with temperature of injector, detector, and column were 150, 250, dan 80 ºC. The result of this research shows the growing of bacteria was in accordance with decreasing of sugar concentration implying that the bacteria consume sugar to produce biogas. A mount of biogas produced in glucose fermentation 0.5 g/L, 1.5 g/L, and 2.5 g/L were 2.5, 13, and 38 ml respectively in the other hand baggase fermentation 0.5 g/L, 1.5 g/L, and 2.5 g/L were 0, 13, and 2 ml respectively. glucose fermentation produced hydrogen 0,6 % in the other hand baggase fermentation 0,9 %. So that baggase can produce biogas as alternative energy resource by using thermophilic bacteria of manure.
BIOGAS HASIL FERMENTASI HIDROLISAT BAGAS MENGGUNAKAN KONSORSIUM BAKTERI TERMOFILIK KOTORAN SAPI
IMAM SUCIPTO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Biokimia
PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
Judul Skripsi Nama NIM
: Biogas Hasil Fermentasi Hidrolisat Bagas Menggunakan Konsorsium Bakteri Termofilik Kotoran Sapi : Imam Sucipto : G44104004
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Eman Kustaman Ketua
Dr. Dwi Susilaningsih, M. Pharm Anggota
Diketahui
Dr. drh. Hasim, DEA Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang Maha Tinggi lagi Maha Agung, yang Maha Pandai dan menguasai segala macam ilmu, karena rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Biokimia. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai bulan Agustus 2008 di Laboratorium Biorekayasa Lingkungan, Puslit Bioteknologi, LIPI. Terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. Eman Kustaman selaku pembimbing utama, dan Dr. Dwi Susilaningsih, M. Pharm selaku pembimbing kedua, serta Mbak Umi sebagai asisten pembimbing atas semua arahan dan bimbingannya kepada penulis. Terima kasih penulis sampaikan pula kepada ayah dan ibu, adik, serta seluruh keluarga dan teman-teman yang senantiasa memberi dorongan, doa, dan kasih sayangnya. Akhirnya penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat untuk semua pihak. Amin.
Bogor, Januari 2009
Imam Sucipto
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumenep pada tanggal 25 Desember 1984 dari ayah Moh. Salamet dan ibu Rachmani. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Anak kedua bernama Moh. Saiful Rahman, ketiga bernama Miftahul Arifin, dan yang keempat bernama Achmad Effendi. Tahun 2004 penulis lulus dari SMUN 1 Sumenep dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada Program Studi Biokimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten praktikum biokimia 2007/2008, pengajar kimia Bimbingan Belajar BTA 8 Bogor selama dua tahun, dan mendapatkan beasiswa, diantaranya PPA, karya salemba empat, dan PPSDMS Nurul Fikri. Penulis juga aktif berorganisasi, sebagai Kepala Divisi Keilmuan CREBs dan Ketua Departemen Humas KAMMI Daerah Bogor. Prestasi penulis adalah juara 2 lomba penulisan artikel ilmiah popular tanaman obat asal hutan dalam rangkaian ITTO Project yang diadakan oleh PSB bekerjasama dengan Dept. Kehutanan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... ... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... ... ix PENDAHULUAN ........................................................................................... ... 1 TINJAUAN PUSTAKA Biogas ..................................................................................................... ... Biohidrogen ............................................................................................ ... Bakteri Termofilik................................................................................... ... Fermentasi .............................................................................................. ... Kromatografi Gas .................................................................................... ... Limbah Bagas ........................................................................................ ...
1 2 3 3 4 5
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan ....................................................................................... ... 6 Metode ................................................................................................... ... 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Bakteri ............................................................................. ... Penurunan Kadar Gula ........................................................................... ... Biogas Hasil Fermentasi ......................................................................... ... Analisis Biogas dengan Kromatografi Gas ............................................ ...
7 8 8 9
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ................................................................................................. ... 9 Saran........................................................................................................ ... 10 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... ... 10 LAMPIRAN .................................................................................................... ... 12
DAFTAR TABEL Halaman 1
Komposisi biogas hasil fermentasi kotoran sapi ........................................ ...
2
2
Komposisi kimia bagas (ampas tebu) ........................................................ ...
6
3 Persentase komposisi karbon dioksida dan metana .................................. ... 9
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Fermentasi laktat oleh S. lactis................................................................... ...
4
2
Pertumbuhan bakteri pada fermentasi glukosa .......................................... ...
7
3
Pertumbuhan bakteri pada fermentasi bagas tebu ...................................... ...
7
4 Penurunan konsentrasi gula total pada fermentasi bagas tebu .................. ...
8
5 Penurunan konsentrasi gula total pada fermentasi glukosa ....................... ... 8 6 Volume biogas yang dihasilkan pada fermentasi glukosa ........................ ... 9 7 Volume biogas yang dihasilkan pada fermentasi bagas tebu .................... ... 9 8
Konsentrasi hidrogen (% v/v) hasil fermentasi anaerob ........................... ... 9
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Tahapan penelitian .................................................................................... ... 13 2
Optimasi seed sludge untuk penggunaan fermentasi anaerob.................... ... 14
3
Hasil pengamatan fermentasi glukosa ....................................................... ... 15
4 Hasil pengamatan fermentasi bagas tebu .................................................. ... 18 5 Pengukuran gula total hasil fermentasi glukosa dan bagas tebu ............... ... 21 6
Pengukuran kadar glukosa fermentasi bagas tebu .................................... ... 22
7
Hidrolisis bagas tebu ................................................................................. ... 23
PENDAHULUAN Laju pertumbuhan penduduk, tingkat ekonomi yang semakin meningkat, serta perkembangan teknologi yang semakin pesat dari waktu ke waktu mengakibatkan dunia termasuk Indonesia membutuhkan energi yang sangat besar. Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara merupakan sumber energi utama di Indonesia. Eksploitasi energi yang berlebihan dari sumber daya alam terutama minyak bumi selama ini menyebabkan menipisnya kandungan minyak bumi tersebut, menimbulkan kerusakan lingkungan, dan krisis energi di seluruh dunia. Minyak bumi adalah sumber energi yang tidak terbarukan, butuh ratusan bahkan jutaan tahun untuk mengkonversi biomassa menjadi minyak bumi. Di antara beberapa jenis BBM, premium cukup dominan penggunaannya sebagai bahan bakar transportasi nasional. Dari tahun ke tahun kebutuhan premium meningkat dan akan terus bertambah sejalan dengan perkembangan jumlah penduduk, wilayah permukiman, perkotaan, dan infrastruktur transportasi. Krisis energi dan kerusakan lingkungan ini memerlukan penanganan serius. Usaha mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan pengembangan sumber energi alternatif termasuk bioenergi terus diupayakan dan dilakukan. Bioenergi merupakan energi terbarukan yang berasal dari biomassa. Bioenergi ini adalah salah satu bentuk energi alternatif yang prospektif untuk dikembangkan. Pengembangan bioenergi ini tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang harganya terus melambung, tetapi juga dapat meningkatkan keamanan pasokan energi nasional. Perhatian masyarakat dunia yang semakin meningkat pada penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan menjadikan pengembangan bioenergi sangat strategis dan menuntut untuk direalisasikan. Oleh karena itu, energi alternatif yang dapat diperbaharui (renewable energy) dan aman lingkungan (green energy) sangat dibutuhkan dan sangat penting untuk diupayakan serta dioptimalkan pengolahan dan penggunaannya. Biogas seperti metana dan biohidrogen merupakan energi terbarukan yang dihasilkan oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen. Umumnya bakteri yang menghasilkan biogas adalah bakteri kotoran ternak termasuk kotoran sapi. Gas yang dominan adalah metana dan karbon dioksida disamping juga dihasilkan hidrogen. Hidrogen merupakan
salah satu pilihan energi alternatif karena mudah dikonversi dan tidak merusak lingkungan baik dalam proses pembuatan maupun penggunaannya. Hidrogen adalah unsur paling ringan, sangat mudah terbakar, dan paling banyak terdapat di alam semesta. Unsur ini dikandung oleh air dan semua senyawa organik serta makhluk hidup (Mohsin 2007). Senyawa ini dapat dikembangkan di Indonesia karena bahan bakunya cukup tersedia. Biohidrogen diproduksi dengan memanfaatkan organisme bakteri melalui proses fermentasi atau fotoproduksi untuk merombak substrat organik (limbah atau nonlimbah) menjadi hidrogen (Sirait 2007). Krisis energi dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pertumbuhan jumlah penduduk, pembukaan lahan untuk wilayah pemukiman, dan bertambahnya sarana transportasi mengakibatkan keresahan masyarakat, bangsa, dan negara. Sementara itu sumber energi yang tersedia cukup menipis dan hanya mengandalkan sumber daya yang tak dapat diperbarui. Oleh sebab itu, energi alternatif yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan perlu dikembangkan. Salah satu sumber energi alternatif adalah biohidrogen. Penelitian tentang biohidrogen masih jarang padahal substrat untuk menghasilkan itu melimpah di Indonesia. Penelitian ini bertujuan menghasilkan biogas dengan menggunakan substrat limbah tebu (bagas) dengan bantuan konsorsium bakteri termofilik kotoran sapi melalui teknik fermentasi. Bakteri kotoran sapi dapat menghasilkan biogas sebagai energi alternatif seperti gas metana dan H2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah bahwa bioenergi dapat dihasilkan dari limbah tebu dengan bantuan konversi konsorsium bakteri kotoran sapi.
TINJAUAN PUSTAKA Biogas Kotoran sapi adalah limbah peternakan yang merupakan buangan dari usaha peternakan sapi yang bersifat padat dan dalam proses pembuangannya sering bercampur dengan urine dan gas seperti metana dan amoniak. Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi bervariasi tergantung pada keadaan tingkat produksinya, macam, jumlah makanan yang dimakannya, serta individu ternak sendiri (Abdulgani 1988). Kandungan unsur hara dalam kotoran sapi antara lain
2 nitrogen (0,29 %), P2O5 (0,17 %), dan K2O (0,35%) (Hardjowigeno 2003). Pupuk kandang berupa kotoran sapi, babi, dan unggas hampir 100 % menyumbangkan unsur P dan K yang dikandungnya ke dalam tanah. Kotoran sapi lebih efektif daripada kotoran unggas dalam menurunkan bobot isi tanah (Rahman 2007). Kotoran sapi yang tinggi kandungan hara dan energinya berpotensi untuk dijadikan bahan baku penghasil biogas. Biogas adalah campuran berbagai macam gas yang susunannya tergantung pada komposisi bahan baku masukan. Sahidu (1983) mengungkapkan bahwa biogas adalah suatu campuran gas-gas yang dihasilkan dalam suatu proses pengomposan bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen (proses anaerob). Definisi lain menyebutkan bahwa biogas adalah campuran beberapa gas yang tergolong bahan bakar hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob dan gas yang dominan adalah metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) (Simamora et al. 2006). Biogas merupakan energi terbarukan yang fleksibel, dapat menghasilkan panas, dan listrik sebagai pengganti bahan bakar kendaraan. Selain berupa energi terbarukan, proses perombakan anaerob menghasilkan pupuk berharga dan mengurangi emisi serta bau yang tak sedap. Biogas bersifat bersih, tidak berasap hitam seperti kayu bakar dan minyak tanah. Selain itu derajat panasnya lebih tinggi dari bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar serta dapat disimpan untuk penggunaan yang akan datang (Darminto 1984). Produksi biogas didasarkan pada perombakan anaerob kotoran hewan dan bahan buangan organik lainnya. Selama perombakan anaerob akan menghasilkan gas metana 54-70 %, karbondioksida 25-45 %, hidrogen, nitrogen, dan hidrogen sulfida dalam jumlah yang sedikit (Simamora et al. 2006) seperti yang terlihat pada Tabel 1. Biogas berbeda dari sumber-sumber energi terbarukan lainnya. Keuntungannya terkait dengan pengendalian dan pengumpulan limbah bahan organik, yaitu pada saat yang sama dihasilkan pupuk dan air untuk pemakaian kembali irigasi pertanian. Biogas dapat digunakan untuk berbagai keperluan sesuai dengan sifat gas alam. Pemanfaatan biogas dalam teknologi mesin internal (mesin berbahan bakar gas) sangat andal dan telah berkembang. Ribuan mesin berbahan bakar gas telah dioperasikan di areal pengolahan limbah dan pembangkit biogas (ACE 2005). Pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar
kendaraan digunakan mesin yang sama konstruksinya dengan kendaraan mesin berbahan bakar gas alam. Terdapat lebih dari tiga juta kendaraan berbahan bakar gas alam di dunia dan sekitar 1000 kendaraan mobil dan bus berbahan bakar biogas. Ini menunjukkan bahwa konstruksi kendaraan menggunakan biogas sebagai bahan bakar kendaraan tidak bermasalah (IEA 2002). Tabel 1 Komposisi biogas hasil fermentasi kotoran sapi Jenis Gas Konsentrasi biogas (%) Metana (CH4) 65,7 27,0 Karbon dioksida (CO2) Nitrogen (N2) 2,3 0,1 Oksigen (O2) 0,7 Propena (C3H8) Hidrogen sulfida (H2S) (Simamora et al. 2006) Biohidrogen Hidrogen merupakan sumber energi alternatif yang bisa diproduksi dari sumber yang dapat diperbarui seperti biomassa. Selain sumbernya melimpah, biohidrogen juga ramah lingkungan. Hidrogen dapat diproduksi dari mikrob melalui dua cara, yaitu perubahan secara fotobiologis dan melalui teknik fermentasi. Teknik yang pertama hanya dapat dilakukan pada siang hari, yaitu ketika adanya matahari. Hal ini disebabkan mikrob fotosintetik menggunakan energi dari sinar matahari sebagai sumber energi mereka, tetapi teknik yang kedua dapat berlangsung pada siang maupun malam hari (dalam keadaan gelap). Hal ini bergantung pada tipe mikrob yang digunakan dalam fermentasi (Sirait 2007). Produksi hidrogen yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik fermentasi. Hal ini disebabkan produksi hidrogen secara fermentasi lebih cepat daripada secara fotosintetik. Hidrogen yang diproduksi oleh mikroalga dan bakteri disebut biohidrogen. Di alam hanya bakteri dan mikroalga yang mempunyai kemampuan memproduksi biohidrogen. Di antara mikroorganisme ini, yang sering digunakan untuk penelitian adalah bakteri anaerob dan mikroorganisme fotosintetik seperti bakteri fotosintetik dan sianobakteria. Sianobakteria dapat menguraikan air menjadi hidrogen dan oksigen dengan bantuan energi cahaya
3 (Zaborsky 1998). Keuntungan mikroorganisme ini dalam memproduksi hidrogen adalah tidak menggunakan senyawa organik sebagai substrat tetapi menggunakan sinar matahari. Kelemahannya adalah produksi hidrogennya lambat, sistem reaksinya membutuhkan energi yang besar, dan pemisahan gas hidrogen dan oksigen membutuhkan penanganan yang khusus (Zaborsky 1998). Reaksi biofotolisis dari organisme ini adalah sebagai berikut: 0.5 O2 + H2 ΔG = - 242 kJ H 2O Bakteri fotosintetik tidak menggunakan air sebagai senyawa penghasil biohidrogen namun menggunakan senyawa organik. Keuntungan dari bakteri ini adalah reaksi pembentukan hidrogen yang cepat dan tidak memerlukan energi solar. Kelemahan dari bakteri ini dalam memproduksi gas hidrogen adalah hasil dekomposisi atau penguraian senyawa organik tersebut meninggalkan asam-asam organik seperti asam asetat, asam butirat, dan lain-lain. Asam organik tersebut menjadi masalah baru jika tujuan dari produksi adalah untuk menanggulangi limbah. Reaksi produksi hidrogen dari substrat glukosa sebagai berikut: 2Asetat+2CO2+4H2 Glukosa+2H2O ∆G = -184.2 kJ Glukosa Butirat + 2CO2 + 2H2 ∆G = -257.1 kJ Berbagai macam mikroorganisme yang dapat menghasilkan biohidrogen antara lain bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas, Rhodobacter, Chromatium, Thiocapsa), sianobakteri (Anabaena, Oscillatoria), alga hijau (Chlamydomonas), bakteri pengikat nitrogen (Klebsiella, Clostridium, Enterobacter, Azotobacter), dan bakteri anaerob (Zaborsky 1998). Bakteri Termofilik Bakteri adalah sel prokariot yang khas, uniseluler dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Sel-selnya secara khas berbentuk bola, batang, dan spiral. Bakteri yang khas berdiameter sekitar 0.5-0.8 μm dan panjangnya 1.5-2.5 μm (Pelczar & Chan 1986). Reproduksinya terutama dengan pembelahan biner sederhana, yaitu suatu proses aseksual. Beberapa dapat tumbuh pada suhu 0 ºC, ada yang tumbuh dengan baik pada sumber air panas yang suhunya 75-90 ºC atau lebih. Kebanyakan tumbuh pada berbagai suhu diantara kedua suhu ekstrim ini. Beberapa membutuhkan oksigen bebas
sedangkan yang lainnya tidak membutuhkannya. Sel-sel individu bakteri dapat berbentuk elips, bola, batang (silindris), atau spiral (heliks). Bakteri dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan temperatur tempat dia tumbuh. Psikrofilik merupakan bakteri yang hidup pada temperatur terendah pada suhu dibawah -10 ºC walaupun temperatur optimumnya ialah 15 ºC atau lebih rendah. Mesofilik hidup pada medium bersuhu 20-45 ºC dan termasuk patogen pada manusia. Termofilik hidup di atas suhu 45 ºC dan beberapa di antaranya bahkan dapat hidup diatas titik didih air, yaitu hipertermofilik yang hidup pada suhu 120-300 ºC (Edward 1990). Bakteri termofilik pertama kali diisolasi pada tahun 1879 oleh Miquel, yang menemukan bakteri mampu berkembang biak pada suhu 72 ºC. Dia menemukan bakteri ini pada tanah, debu, kotoran badan, tempat pembuangan limbah, dan lumpur sungai. Pada tanah perkebunan yang mengandung pupuk terdapat 1-10% bakteri termofilik sementara tanah lapang yang luas biasanya hanya mengandung 0.25 % atau kurang. Tanah yang tidak ditumbuhi tanaman kemungkinan sama sekali tidak terdapat bakteri termofilik. Bakteri termofilik juga ditemukan pada kotoran sapi setelah mengalami pemanasan 100 ºC. Jenis bakteri yang ditemukan setelah diisolasi adalah genus Clostridium. Clostridium acetobutylicum dan Clostridium felsineum paling banyak ditemukan. Selain itu juga ditemukan C. roseum, C. thiosulforeducens, C. subterminale, C. argentinense, C. beijerinckii dan C. botulinum. Banyak spesies ini yang dikenal sebagai bakteri fermentatif dan dapat memproduksi hidrogen, yaitu C. beijerinckii, C. roseum, dan C. acetobutylicum (Fang et al. 2005). Bakteri termofilik mempunyai peran penting dalam mengembangkan ilmu dasar selain juga bermanfaat untuk aplikasi industri. Mikroorganisme ini menghasilkan enzimenzim tahan panas yang potensial dalam penggunaan di bidang industri. Penggunaan enzim termostabil dalam bidang bioteknologi telah dapat menurunkan biaya operasi (Aguilar et al. 1998) di samping dapat meningkatkan kecepatan reaksi. Fermentasi Fermentasi merupakan proses penting dalam kehidupan sehari-hari manusia.
4 Fermentasi berasal dari bahasa latin ferfere yang artinya mendidihkan, yaitu berdasarkan ilmu kimia terbentuknya gas-gas dari suatu cairan kimia yang pengertiannya berbeda dengan air mendidih. Gas yang terbenuk diantaranya karbon dioksida (Herlina 2002). Fermentasi secara umum dapat dinyatakan sebagai proses katabolisme, yaitu suatu pemecahan senyawa organik yang kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana. Aplikasi proses ini dapat dilihat pada produksi minuman beralkohol atau produk yang bersifat asam seperti asam asetat atau cuka. Pengetahuan mengenai proses ini berkembang pesat sejak penelitian Louis Pasteur mengenai proses fermentasi yang terjadi dalam pembuatan wine (anggur). Penelitian mengenai proses ini berkembang pesat semenjak tumbuhnya industri minuman beralkohol dan industri antibiotik (Rachman 1989). Aplikasi metode ini diawali dengan pembuatan bir sekira 6.000 tahun sebelum masehi. Pembuatan roti dengan bantuan khamir atau ragi diperkirakan sudah terjadi sejak 4.000 tahun sebelum masehi. Pembuatan produk fermentasi kecap dan tauco di Cina telah dilakukan sejak 722 SM. Fermentasi anggur mulai berkembang kira-kira abad ke17 dengan menggunakan bakteri Acetobacter menghasilkan asam asetat (asam cuka). M J Johnson membagi perkembangan teknologi fermentasi ke dalam beberapa periode. Periode pertama berlangsung sampai dengan tahun 1860 dengan mengembangkan fermentasi alkohol, produksi ragi roti dan produksi venegar. Antara tahun 1900 dan 1920 disebut sebagai periode lahirnya industri fermentasi (Rachman 1989). Berbagai penelitian di abad ke-20 melahirkan pengertian baru dari fermentasi, yaitu reaksi oksidasi-reduksi. Zat yang dioksidasi (pemberi elektron) maupun zat yang direduksi (penerima elektron) adalah zat organik dengan melibatkan mikroorganisme (bakteri, kapang dan ragi). Jadi fermentasi merupakan proses metabolisme yang menyangkut perubahan kimia bahan organik yang disebabkan aktivitas enzim yang dimiliki mikroorganisme (Amarine et al. 1987). Zat organik yang digunakan umumnya glukosa yang kemudian dipecah menjadi aldehid, alkohol, atau asam. Fermentasi terbagi menjadi dua berdasarkan kebutuhan akan oksigen, yaitu fermentasi aerob dan anaerob. Fermentasi aerob adalah fermentasi yang prosesnya memerlukan oksigen. Keberadaan oksigen
membuat mikroorganisme dapat mencerna glukosa menghasilkan air, karbondioksida dan sejumlah besar energi. Fermentasi dalam proses anaerob tidak memerlukan oksigen (Pringgomulyo & Wardoyo 1980). Ada berbagai produk metabolit yang bisa dihasilkan dalam proses fermentasi, antara lain berbagai jenis asam (asam laktat, asetat, etanol, asam volatil), alkohol, protein, dan ester. Produk hasil fermentasi dapat diubah lebih lanjut melalui proses fermentasi lain untuk menghasilkan produk akhir yang lain seperti gas hidrogen (Zaborsky 1998). Fermentasi asam laktat dari satu molekul glukosa menghasilkan dua molekul ATP. Bakteri Streptococcus lactis dapat menguraikan glukosa menjadi asam laktat (Gambar 1) sedangkan bakteri E. coli merupakan bakteri anaerob fakultatif yang dapat melakukan respirasi aerob dan fermentasi yang menghasilkan beberapa produk, yaitu asam laktat, asam format, etanol, asam asetat, hidrogen, dan CO2 (Sirait 2007).
Gambar 1 Fermentasi asam laktat oleh S. lactis. Kromatografi Gas Analisis kromatografi gas adalah suatu metode analisis pemisahan komponen kimia yang didistribusikan di antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak. Fase gerak dapat berupa gas atau cairan dan fase diam dapat berupa padatan atau cairan. Fase gerak berfungsi membawa sampel sedangkan fase diam berfungsi untuk mengadsorpsi atau mempartisi komponen. Prinsip pemisahan kromatografi adalah partisi analat antara fase gerak gas dengan fase diam cairan yang diimobilisasi pada permukaan zat padat yang inert. Sampel dapat berupa gas, senyawa volatil, atau zat yang dapat diuapkan. Sampel ini harus stabil terhadap panas dan umumnya nonpolar (Currel 2002). Peralatan kromatografi gas terdiri atas injektor, kolom, detektor, pemanas (oven),
5 amplifier, rekorder, gas pembawa, dan pengatur aliran dan tekanan. Injektor berfungsi sebagai tempat masuknya sampel yang dirancang sedemikian rupa sehingga sampel dapat langsung masuk ke dalam kolom dengan perantaraan gas pembawa. Kolom berfungsi memisahkan komposisi sampel menjadi komponen-komponennya sehingga dapat terilusi dalam waktu yang berbeda. Detektor berfungsi untuk mendeteksi komponen yang keluar dari kolom. Pemanas berfungsi untuk memanaskan injektor, kolom dan detektor untuk injektor, kolom dan detektor yang dilengkapi dengan thermostate. Amplifier berfungsi untuk memperbesar sinyal arus listrik yang berasal dari detektor. Rekorder berfungsi sebagai pencatat hasil dalam bentuk kromatogram. Gas pembawa berfungsi sebagai pembawa gas sampel. Gas pembawa yang umum digunakan adalah Helium (He), Nitrogen (N2), dan Argon (Ar). Pengatur aliran dan tekanan berfungsi sebagai pengatur tekanan yang dapat menentukan kecepatan alir gas pembawa (Skoog 1998). Prinsip kerjanya sampel diinjeksikan ke dalam injektor kemudian diangkut oleh gas pembawa masuk ke dalam kolom yang berisi padatan sebagai fase diam. Fase diam memiliki sifat dapat berinteraksi dengan komponen-komponen dalam sampel sehingga dapat menghambat laju alir masing-masing komponen. Fase diam yang ideal memiliki ciri-ciri, yaitu inert pada suhu tinggi, menahan komponen sampel dengan kuat, dan memiliki kekuatan mekanik yang baik (Hargis 1988). Besarnya hambatan untuk masing-masing komponen berbeda-beda sehingga sesampai di ujung kolom tidak bersamaan melainkan satu per satu. Komponen yang keluar dari kolom dilewatkan ke detektor sedangkan signal dari detektor dikirim dari amplifier ke rekorder dan dicatat sebagai kromatogram (Skoog 2004). Agar peralatan kromatografi gas bisa bekerja dengan maksimal, maka perlu dilakukan optimasi suhu seperti suhu injektor, kolom, dan detektor. Injektor selain berfungsi untuk tempat masuknya sampel, juga berfungsi untuk mengubah sampel yang berfase cair atau padat menjadi gas tanpa terjadi dekomposisi. Umumnya suhu injektor kira-kira 50 oC lebih tinggi dari titik didih komponen sampel yang mempunyai titik didih paling tinggi. Bila titik didih komponen belum diketahui, dapat dilakukan secara coba-coba (trial), dengan memulai suhu injektor rendah kemudian dinaikkan. Jika diperoleh puncakpuncak kromatogram lebih baik berarti suhu
percobaan pertama terlalu rendah sehingga perlu dicoba kembali dengan cara menaikkan suhu secara bertahap hingga mendapatkan kondisi yang tepat. Namun demikian, suhu injektor tidak boleh terlalu tinggi sebab ada kemungkinan terjadinya dekomposisi (penguraian komponen yang hendak dianalisis). Kolom merupakan perangkat yang memiliki peranan penting dalam proses analisis dengan metode kromatografi sehingga pemilihan jenis kolom yang tepat dan kondisi yang optimal sangat diperlukan. Umumnya suhu kolom dibuat kurang lebih sama dengan titik didih rata-rata dari seluruh komponen dalam sampel. Namun demikian juga dapat dipilih berdasarkan coba-coba untuk mendapatkan kondisi operasi yang optimal (tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah). Kontrol suhu pada detektor sangat diperlukan terutama untuk detektor yang sensitivitasnya dipengaruhi oleh adanya fluktuasi suhu. Pada umumnya suhu detektor dijaga 20-50 oC lebih tinggi dari suhu kolom. Hal ini agar tidak terjadi uap sampel terkondensasi (Currel 2002). Limbah Bagas Pabrik gula selain menghasilkan produk utamanya berupa gula juga dihasilkan hasil samping berupa limbah. Limbah pabrik gula terdiri atas dua macam, yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat adalah blotong dan bagas atau ampas tebu sedangkan limbah cair berasal dari tetes dan air bekas cucian (Mubyarto & Daryanti 1991). Limbah padat yang terdiri atas bahan organik akan mengalami penguraian secara alamiah oleh mikroorganisme. Bagas terdiri atas sisa batang tebu yang telah diperas niranya. Komponen utama bagas antara lain serat kasar, air, dan sejumlah kecil padatan terlarut. Komposisi kimia tebu sangat variasi terutama dipengaruhi oleh varietas, tingkat kematangan, dan cara pemanenan. Komposisi kimia bagas dapat dilihat pada Tabel 2. Limbah pertanian seperti bagas, terutama pada dinding selnya mengandung hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Selulosa merupakan sumber daya yang dapat diperbarui yang melimpah di alam ini kirakira sekitar sepertiga sampai setengah dari semua vegetasi. Bahan baku dalam bentuk selulosa jarang digunakan dan dibuang begitu saja walaupun kalau dilihat lebih jauh banyak manfaatnya. Selulosa mudah dicerna oleh bakteri anaerob, tapi zat kayu (lignin) sukar
6 dicerna. Bahan yang sukar dicerna ini akan terapung pada permukaan cairan dan membentuk lapisan kerak. Jaringan serat penyusun bagas sangat baik digunakan sebagai media fermentasi untuk menghasilkan protein sel tunggal dan enzim selulosa (Harahap et al. 1980). Jumlah bagas yang dihasilkan dari industri gula tebu di Indonesia belum diketahui secara tepat, namun demikian dari data produksi gula dan luas areal tanaman dapat diperkirakan betapa besar jumlah bagas yang dihasilkan sebagai limbah. Pemanfaatan bagas selama ini hanya terbatas sebagai bahan bakar ketel uap yang digunakan di pabrik gula tebu namun bagas yang kaya akan selulosa mengandung potensi yang cukup baik sebagai media fermentasi yang dapat menghasilkan biogas (Harahap 1994). Tabel 2 Komposisi kimia bagas (ampas tebu) No. 1. 2. 3. 4.
Komponen
Protein Lemak Serat Kasar Ekstrak Nitrogen 5. Abu (Hardjo 1989)
Bebas
% Berat Kering 3,1 1,5 34,9 51,7 8,8
BAHAN DAN METODE Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah pH meter, sentrifus mikro, neraca analitik, hotplate, spektrofotometer UV-Vis, laminar air flow cabinet, stirer, pipet mikro, tips, ruang asam, labu Erlenmeyer, tabung reaksi kecil, botol serum, shaker, pipet volumetrik, tabung Falcon, gelas, kuvet, microtube, cool room, syringe, gelas piala, dan selang plastik. Bahan–bahan yang digunakan adalah seed sludge, substrat hidrolisis limbah tebu (hidrolisat bagas), larutan NaOH 0.1 N, larutan HCl 0.1 N, akuades, air mili-Q, larutan glukosa 20%, laktat, larutan media nutrient solution, larutan NaCl jenuh, larutan stok glukosa, alkohol 70%, kertas aluminium foil, plastik tahan panas, asam sulfat pekat, larutan fenol 5%, dan kertas saring. Metode Preparasi Seed Sludge (Yang M et al. 2005). Sejumlah kotoran sapi setengah kering dijemur selama beberapa hari sampai cukup
kering sehingga bisa diayak kemudian dihaluskan dan diayak. Setelah itu dipanaskan pada suhu 102 ºC selama 90 menit. Pembuatan Media Nutrient Solution. Untuk membuat 1 L larutan nutrient solution dibutuhkan senyawa NH4HCO3 2025 mg/L, K2HPO4.3H2O 800 mg/L, CaCl2 50 mg/L, MgCl2.6H2O 100 mg/L, FeCl2 25 mg/L, NaCl 10 mg/L, CoCl2.6H2O 5 mg/L, MnCl2.4H2O 5 mg/L, AlCl3 2,5 mg/L, (NH4)6Mo7O24 15 mg/L, H3BO3 5 mg/L, NiCl2.6H2O 5 mg/L, CuCl2.5H2O 5 mg/L, dan ZnCl2 5 mg/L. Semua senyawa tersebut diaduk sampai larut kemudian dimasukkan ke dalam botol serum yang kemudian dialiri nitrogen untuk menciptakan kondisi anaerob selanjutnya disterilisasi. Fermentasi Substrat. Sebanyak 75 ml nutrient solution dalam botol serum ditambahkan substrat (glukosa dan hidrolisat bagas) dengan konsentrasi yang berbeda (0.5, 1.5, 2.5 g/L) pada pH 6. Selanjutnya ditambahkan seed sludge dengan jumlah 250 mg kemudian dishaker pada 120 rpm selama lima hari. Pengukuran Optical Density (OD) Larutan Bakteri Seed Sludge. Sebanyak ±1 mL larutan sampel diambil dengan menggunakan syringe lalu dimasukkan ke dalam microtube. Larutan ini diukur absorbansinya pada panjang gelombang 660 nm. Nilai OD dihitung melalui persamaan: OD = Absorbans x faktor pengenceran Pengambilan Sampel (Sampling). Larutan sampel diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam microtube yang diberi label (H0 sampai H4) bergantung pada hari sampling. Berikutnya microtube tersebut disentrifus selama ±10 menit. Supernatannya diambil dengan pipet mikro di dalam laminar kemudian supernatan ini diukur kadar glukosa dan laktatnya. Pengukuran Kadar Gula Total dengan Metode Phenol-Sulphuric (Asam Fenol Sulfat) (Dubois et al. 1956). Hasil pengambilan sampel dari H0-H4 yang tidak diencerkan disentrifus selama 10 menit. Supernatan kemudian diencerkan 10 dan 100 kali. Diambil sebanyak 0.5 mL dari larutan hasil pengenceran tersebut ke dalam tabung reaksi kecil, kemudian ditambahkan fenol 5% sebanyak 0.5 mL dan larutan H2SO4 sebanyak 2.5 mL lalu dikocok dengan vortex. Setelah dikocok lalu didiamkan 10 menit dan diletakkan di dalam water bath dengan suhu 40 ºC selama 20 menit. Kadar gula total dalam sampel dianalisis dengan diukur
7 absorbansinya menggunakan spektrofotometer Vis 490 nm. Analisis Produk dengan Kromatografi Gas (Susilaningsih et al. 2007). Produk yang terbentuk seperti gas hidrogen, karbon dioksida, dan metana diambil melalui syringe kemudian dianalisis menggunakan kromatografi gas 5890 HP dengan detektor TCD (thermal conductivity detector), kolom poropak, dengan temperatur injektor, detektor, dan kolom adalah 150, 250, dan 80 ºC sedangkan gas pembawanya adalah nitrogen.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan Bakteri Pertumbuhan mikrob dapat ditandai dengan peningkatan jumlah dan massa sel sedangkan kecepatan pertumbuhan tergantung pada lingkungan fisik dan kimianya. Pertumbuhan bakteri membentuk pola pembelahan biner. Kurva pertumbuhan bakteri terdiri atas beberapa fase. Pertumbuhan bakteri dimulai dari fase lamban atau lag. Ciri-ciri fase ini adalah tidak ada pertumbuhan populasi, sel mengalami perubahan dalam komposisi kimiawi, bertambah ukurannya, dan substansi intraselulernya bertambah. Setelah fase lag atau lamban, bakteri akan memasuki fase pertumbuhan logaritma atau eksponensial, di dalam fase ini sel membelah dengan laju yang konstan, massa menjadi dua kali lipat dengan laju yang sama, aktivitas metabolik seimbang, dan pertumbuhan seimbang. Pertumbuhan seimbang ditandai dengan bertambahnya populasi secara teratur. Pertumbuhan bakteri selanjutnya, yaitu fase stasioner, fase ini ditandai habisnya nutrisi yang dibutuhkan oleh bakteri dalam pertumbuhannya. Hal ini ditandai dengan diproduksinya senyawa atau produk racun yang menyebabkan beberapa sel bakteri mati sedangkan yang lain tumbuh dan membelah sehingga jumlah sel yang hidup menjadi tetap. Antibiotik diproduksi pada fase stasioner ini. Fase selanjutnya adalah fase kematian atau penurunan pertumbuhan yang ditandai dengan sel-sel bakteri menjadi lebih cepat mati daripada terbentuknya sel-sel baru (Pelczar 1986). Pertumbuhan bakteri diamati dengan cara mengukur optical density (OD) pada panjang gelombang 660 nm dengan alat spektrofotometer. Proses tumbuh bakteri menunjukkan pertambahan sel yang meningkat. Proses pertambahan sel meningkat mulai jam ke-24 sampai jam ke-48 untuk
percobaan bagas tebu dan glukosa. Pertumbuhan sel rata-rata menurun pada jam ke-72 untuk substrat glukosa walaupun pada fermentasi glukosa 0,5 g/L sedikit menunjukkan ketidakstabilan. Berbeda dengan fermentasi bagas tebu, dengan substrat ini pertumbuhan bakteri umumnya meningkat sampai jam ke-48 dan mulai menurun pada jam ke-72. Untuk fermentasi bagas tebu 2,5 g/L menunjukkan ketidakstabilan. OD langsung tinggi pada jam ke-0 sekitar 0,1914 dan mengalami penurunan pada jam ke-24 selanjutnya naik kembali pada jam ke-48 dan akhirnya menurun tajam pada jam berikutnya. Pertumbuhan bakteri ini bisa dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3. Banyak aspek yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri terkait dengan metabolisme bakteri itu sendiri antara lain pH, penggunaan karbon dan sumber energi, efisiensi degradasi substrat, sintesis protein dan berbagai materi penyimpan, dan pelepasan produk metabolisme dari dalam sel (Baily & Ollis 1986).
Gambar
2
Pertumbuhan bakteri pada fermentasi glukosa. G 0,5 (glukosa 0,5 g/L), G 1,5 (glukosa 1,5 g/L), G 2,5 (glukosa 2,5 g/L)
Gambar
3
Pertumbuhan bakteri pada fermentasi bagas tebu. BT 0,5 (bagas 0,5 g/L), BT 1,5 (bagas 1,5 g/L), BT 2,5 (bagas 2,5 g/L)
8
Penurunan Kadar Gula Bakteri ini memanfaatkan gula sebagai substrat sehingga menghasilkan produk berupa biogas dari proses fermentasi tersebut. Kandungan gula yang terdapat pada bagas tebu menurun selama fermentasi seiring dengan peningkatan OD bakteri. Kandungan gula pada bagas tebu 0,5 g/L mengalami penurunan drastis dibuktikan dengan perbedaan konsentrasi gula total pada jam ke0 dengan jam ke-96 cukup tinggi dari kurang lebih 2500 ppm menjadi sekitar 300 ppm. Artinya bakteri tersebut mengkonsumsi gula dengan cepat. Hal ini didukung oleh data pertumbuhan bakteri yang menunjukkan pertumbuhan bakteri pada fermentasi bagas tebu 0,5 g/L cukup meningkat pesat jika dilihat dari kurva dibandingkan dengan fermentasi bagas tebu 1,5 g/L dan 2,5 g/L. Namun demikian, kandungan gula pada fermentasi bagas tebu 1,5 g/L dan 2,5 g/L juga mengalami penurunan walaupun tidak sebesar fermentasi bagas tebu 0,5 g/L. Di sini terlihat bahwa pada dua konsentrasi tersebut terdapat aktivitas konsumsi gula oleh bakteri. Perbedaan ini berkaitan dengan faktor metabolisme bakteri, yaitu efisiensi degradasi substrat. Jadi pada bagas tebu 0,5 g/L cukup efisien dengan penambahan seed sludge 250 mg. Demikian juga dengan glukosa, substrat ini ternyata cepat dikonsumsi oleh bakteri tersebut. Mulai dari konsentrasi 2500 ppm pada jam ke-0 menjadi sekitar di bawah 100 ppm pada jam ke-96 seperti yang terjadi pada fermentasi glukosa 2,5 g/L. Fermentasi glukosa 0,5 g/L dan 1,5 g/L juga mengalami penurunan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan fermentasi bagas tebu 1,5 g/L dan 2,5 g/L. Artinya fermentasi bagas tebu 0,5 g/L lebih efektif dibandingkan dua konsentrasi lainnya dengan seed sludge 250 mg. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 4, Gambar 5, dan Lampiran 5.
Gambar 4 Penurunan konsentrasi gula total pada fermentasi bagas tebu.
Gambar 5 Penurunan konsentrasi gula total pada fermentasi glukosa. Biogas Hasil Fermentasi Produk yang diharapkan dari proses fermentasi ini adalah biogas. Biogas dihasilkan bakteri dengan mengkonsumsi gula dari substrat yang digunakan. Berkurangnya kadar gula seperti diperlihatkan oleh gambar sebelumnya diikuti dengan meningkatnya produksi biogas. Biogas mulai diproduksi oleh mikroorganisme ini setelah jam ke-24 dan umumnya mencapai maksimum pada jam ke72. Jumlah biogas yang dihasilkan pada fermentasi glukosa 0,5 g/L, 1,5 g/L, dan 2,5 g/L berturut-turut 2,5, 13, dan 38 ml. Semakin tinggi kadar glukosa maka semakin banyak pula volume biogas yang dihasilkan pada fermentasi glukosa. Hal ini berbeda dengan jumlah biogas yang dihasilkan pada fermentasi bagas tebu. Dalam fermentasi ini, bagas tebu dengan konsentrasi glukosa 0,5 g/L menghasilkan jumlah biogas lebih banyak, yaitu 30 ml dibandingkan dengan fermentasi bagas tebu 1,5 g/L dan 2,5 g/L. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya kandungan protein pada bagas yang dalam proses hidrolisisnya menghasilkan amoniak. Amoniak merupakan salah satu senyawa toksik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri penghasil biogas. Selain itu pada konsentrasi tinggi dapat membunuh bakteri tersebut. Jadi semakin banyak jumlah hidrolisat bagas yang digunakan maka semakin tinggi kadar amoniak sehingga pertumbuhan bakteri semakin terhambat (Charles & David 1986). Furfural juga merupakan senyawa penghambat pertumbuhan bakteri penghasil metana (Boopathy 1996). Furfural diperoleh sebagai hasil samping dari proses hidrolisis bagas tebu (Iryani 2007).
9
Gambar 6 Volume biogas yang dihasilkan pada fermentasi glukosa.
menggunakan bakteri kotoran sapi sebagian besar menghasilkan gas metana. Persentase karbon dioksida pada fermentasi glukosa lebih tinggi dari pada fermentasi bagas tebu tapi persentase biogas lain yang diasumsikan metana pada fermentasi bagas tebu lebih tinggi. Begitu juga dengan konsentrasi hidrogen, yaitu 0,9 % sedangkan fermentasi glukosa hanya menghasilkan 0,6 %. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil ini bagas tebu menghasilkan bioenergi lebih besar dari pada glukosa. Jadi bagas tebu berpotensi untuk dijadikan sumber energi alternatif. Tabel 3 Persentase komposisi karbon dioksida dan metana Biogas lain Karbon (asumsi Substrat dioksida metana )
Analisis Biogas dengan Kromatografi Gas Secara umum untuk menghasilkan biogas dari fermentasi tersebut melalui beberapa tahap, yaitu tahap hidrolisis yang menguraikan polimer seperti karbohidrat menjadi monomernya. Tahapan berikutnya adalah proses acidogenesis yang mengubah gula menjadi asam lemak volatil dan alkohol. Proses berlanjut dengan acetogenesis yang akan merombak asam volatil membentuk asam lain yang lebih sederhana seperti asam asetat. Proses terakhir metanogenesis yang menghasilkan metana dan CO2. Biogas yang dihasilkan dianalisis dengan menggunakan kromatografi gas dengan detektor TCD yang khusus digunakan untuk mendeteksi gas yang dihasilkan namun tidak dapat digunakan untuk mendeteksi asam volatil dan cairan yang mudah menguap lainnya. Berdasarkan hasil analisis, biogas tersebut terdiri atas hidrogen, CO2, dan gas lain yang diasumsikan metana seperti yang terlihat pada Tabel 3 dan Gambar 8. Metana tidak dapat dideteksi karena tidak tersedianya standar. Asumsi tersebut didasarkan pada adanya peak yang muncul pada kromatogram selain peak CO2 dan hidrogen. Selain itu, umumnya hasil fermentasi anaerob dengan
61.62
38.38
Bagas Tebu
53.77
46.23
Konsentrasi hidrogen (%v/v)
Gambar 7 Volume biogas yang dihasilkan pada fermentasi bagas tebu.
Glukosa
1
0.9
0.9 0.8 0.7
0.6
0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
Glukosa
Bagas Tebu Jenis Substrat
Gambar 8 Konsentrasi hidrogen ( % v/v ) hasil fermentasi anaerob.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pertumbuhan bakteri rata-rata meningkat dari jam ke-0 sampai mencapai puncak pada jam ke-48 setelah itu mengalami penurunan. Peningkatan pertumbuhan bakteri seiring dengan menurunnya kadar gula yang berarti bakteri mengkonsumsi gula untuk menghasilkan biogas. Jumlah biogas yang diperoleh pada fermentasi glukosa 0,5 g/L, 1,5 g/L, dan 2,5 g/L berturut-turut 2,5, 13, dan 38 ml sedangkan fermentasi bagas tebu 0,5 g/L, 1,5 g/L, dan 2,5 g/L berturut-turut 30, 13, dan 2 ml. Hasil analisis biogas menunjukkan persentase karbon dioksida pada fermentasi glukosa lebih tinggi dari pada fermentasi
10 bagas tebu, tapi persentase biogas lain yang diasumsikan sebagai metana, fermentasi bagas tebu lebih tinggi. Begitu juga dengan konsentrasi hidrogen, yaitu 0,9 % sedangkan fermentasi glukosa hanya menghasilkan 0,6 %. Jadi bagas tebu dapat menghasilkan biogas sebagai sumber energi alternatif dengan menggunakan bakteri termofilik kotoran sapi. Saran Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk mengetahui optimasi pH, temperatur bioreaktor, dan kondisi lingkungan lainnya sehingga dapat menghasilkan biogas yang lebih besar. Selain itu, perlu adanya pengukuran metana dan produk fermentasi lainnya dengan metode yang berbeda sehingga diketahui seluruh komposisi yang terkandung di dalamnya.
Currell G. 2002. Analytical Instrumentation: Performance Characteristics and Quality. England: John Wiley and Sons. Darminto. 1984. Pengaruh Penggunaan Energi Biogas Tentang Sosial dan Ekonomi Petani Peternak Sapi Perah di Wilayah Kecamatan Pujon Kabupaten Kelurahan Tingkat II Malang. Malang: Universitas Malang Pr. Edwards C. 1990. Microbiology of Extreme Environment. Buckingham: Open University Pr. Fang HP, Li C, Zhang T. 2005. Acidophilic biohydrogen production from rice slurry. International Journal of Hydrogen Energy 10: 10-16.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap F et al. 1980. Teknologi Biogas. Bandung: ITB Pr.
Abdulgani IK. 1988. Seluk Beluk Mengenai Kotoran Sapi Serta Manfaat Praktisnya. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Harahap N. 1994. Pengolahan limbah bagase pabrik gula sei semayang menjadi gas bio [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[ACE] ASEAN Centre for Energy. 2005. Biomass for electricity Generation in ASEAN. Background Paper, Final Version 7.0. http: //www. Innovation Energie Development (IED). ICRA. EC-ASEAN programme.org.pdf [23 Mei 2008].
Hardjo S. 1989. Biokonversi Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Aguilar A, Ingemansson T, Magnien E. 1998. Extremophiles microorganisms as cell factories: support from tea European Union. Extremophiles 2: 367-373.
Hardjowigeno S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta: Akademika Presindo.
Amarine et al. 1987. Technology of Wine Making. Wesport: The AVI Publication. Baily JE, Ollis DF. 1986. Biochemical Engineering Fundamentals. Ed ke-2. New York: Mcgraw-Hill. Boopathy R. 1996. Methanogenic transformation of methylfurfural compounds to furfural. Applied and Environmental Microbiology 62: 34833485. Charles GG, David CS. 1986. Anaerobic Digestion, Principles and Practices for Biogas Systems. Washington DC: World Bank.
Hargis LG. 1988. Analytical Chemistry. New Jersey: Printice Hall. Herlina AL. 2002. Keunggulan makanan fermentasi. http://www. pikiranrakyat. co.id. html [24 Desember 2008]. [IEA] International Energy Agency. 2002. Greenhouse gas balances of biomass and bioenergy systems. Bioenergy Task 38. http: //www.joanneum.ac.at/iea-bioenergytask38/publications/167.pdf [23 Mei 2008]. Iryani DA. 2007. Kajian awal terhadap Proses hidrolisis dan delignifikasi untuk memproduksi furfural dan pulp dari baggase (ampas tebu) [laporan hasil penelitian]. Lampung: Jurusan Teknik Kimia, Universitas Lampung.
11
Kawagoshi Y, et al. 2005. Effect of Inoculum Conditioning on Hydrogen fermentation and pH Effect on Bacterial Community Relevant to Hydrogen Production. Osaka: Department of Civil and Enviromental Engineering, Kumamoto University. Liu G, Shen J. 2004. Effect of culture and medium conditions on hydrogen production of starch using anaerobic bacteria. Journal of Bioscience and Bioengeneering 98: 251-256. Mahajoeno E. 2008. Pengembangan energi terbarukan dari limbah cair pabrik minyak kelapa sawit [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mohsin Y. Hydrogen. http://periodi c.lanl.gov/elements/1.html [5 September 2007]. Mubyarto, Daryanti. 1991. Gula, Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditia Media. Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume ke-1. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari: Elements of Microbiology. Pringgomulyo, Wardoyo. 1980. Petunjuk Praktek Kimia Industri. Volume ke-3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Rachman A. 1989. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor: IPB Pr. Rahman A. 2007. Pengaruh pemberian abu terbang batubara dan kotoran sapi terhadap
sifat kimia tanah podsolik dari Jasinga [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sahidu S. 1983. Kotoran Ternak sebagai Sumber Energi. Jakarta: Dewaruci Press. Simamora S, Salundik, S. Wahyuni, Surajudin. 2006. Membuat Biogas Pengganti Minyak dan Gas dari Kotoran Ternak. Jakarta: Agromedia Pustaka. Sirait LR. 2007. Produksi gas hidrogen dari limbah cair tahu dengan bakteri fotosintetik Rhodobium marinum [tesis]. Depok: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Skoog DA, Holler FJ, Nieman TA. 1998. Principles of Instrumental Analysis. Ed ke5. Orlando: Hourcourt Brace. Skoog DA, West DU, Holler FJ, Crouch SR. 2004. Fundamentals of Analytical Chemistry. Ed. ke-8. Belmont: Thomson Learning. Susilaningsih et al. 2007. Produksi bioenergi gas hidrogen dari biomassa limbah pertanian dan perkebunan melalui proses fermentasi aerobik dengan konsorsium bakteri [laporan penelitian]. Bogor: Puslit Bioteknologi, LIPI. Yang M, Gang W, Han QY. 2005. Response surface methodological analysis on biohidrogen production by enriched anaerobic cultures. Enzmictec Journal 10: 10-16. Zaborsky OR. 1998. Biohydrogen. New York: Plenum Pr.
12
LAMPIRAN
13
Lampiran 1 Tahapan penelitian Preparasi seed sludge
Pembuatan media
pengelompokan Substrat Hidrolisat bagas Hidrolisat bagas Hidrolisat bagas Glukosa Glukosa Glukosa
Konsentrasi (g/L) 0.5 1.5 2.5 0.5 1.5 2.5
75 ml nutrient solution ditambah substrat
Tambahkan seed sludge
Shaker pada 120 rpm Selama seminggu
Sampling dari H0 sampai H4
Analisis H2, CO2, dan metana dengan GC
• •
Jemur Oven 102 ºC
14
Lampiran 2 Optimasi seed sludge untuk penggunaan fermentasi anaerob
15
Lampiran 3 Hasil pengamatan fermentasi glukosa Fermentasi glukosa 0,5 g/L
Waktu (jam)
0 24 26 28 30 32 34 36 38 40 42 44 46
48 50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70
72 94
96
Volum Gas (ml)
pH
OD
Kontrol (-) G 0,5 (1) G 0,5 (2) Kontrol (-) G 0,5 (1) G 0,5 (2) Kontrol (-) G 0,5 (1) G 0,5 (2) 0 0 0 6 6 6 0 0.0257 0.0197 0 0 0 5 5 5 0 0.2126 0.1004 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 1 2 0 2 2 6 7 7 0 0.0365 0.0077 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 0 1 2 0 1 2 0 1 2 6 7 7 0 0.0655 0.0536 0 1 2.5 0 2.5 2.5 5 7 7 0 0.0496 0.0073
16
Lampiran 3 (lanjutan) Fermentasi glukosa 1,5 g/L Volum Gas (ml) pH OD Waktu (jam) Kontrol (-) G 1,5 (1) G 1,5 (2) Kontrol (-) G 1,5 (1) G 1,5 (2) Kontrol (-) G 1,5 (1) 0 0 0 0 6 6 6 0 0.0285 24 0 0 0 6 6 5 0 0.1609 26 0 0 0 28 0 0 0 30 0 0 0 32 0 0 0 34 0 3 2 36 0 5 5 38 0 5 5 40 0 5 5 42 0 6 6 44 0 6 7 46 0 5 7.5 48 0 6 8 6 8 8 0 0.8615 50 0 2.5 6 52 0 2.5 6 54 0 2.5 6 56 0 2.5 7 58 0 2.5 7.5 60 0 2.5 8.5 62 0 2.5 8.5 64 0 1 9 66 0 1 10 68 0 1 11 70 0 1 11 72 0 1 11 6 8 8 0 0.406 94 0 1 13 96 0 1 13 5 7 7 0 0.1849
G 1,5 (2) 0.0151 0.3019
0.3274
0.1661 0.0034
17
Lampiran 3 (lanjutan) Fermentasi glukosa 2,5 g/L Volum Gas (ml) pH OD Waktu (jam) Kontrol (-) G 2,5 (1) G 2,5 (2) Kontrol (-) G 2,5 (1) G 2,5 (2) Kontrol (-) G 2,5 (1) 0 0 0 0 6 6 6 0 0.024 24 0 0 0 6 6 6 0 0.0189 26 0 0 0 28 0 0 0 30 0 0 0 32 0 0 0 34 0 3 5 36 0 3 11 38 0 4 14 40 0 5 25 42 0 7 35 44 0 9 37 46 0 10 37 48 0 11 37 6 8 8 0 0.5512 50 0 20 35 52 0 27 35 54 0 35 35 56 0 36 35 58 0 37.5 35 60 0 37.5 35 62 0 37.5 35 64 0 37.5 35 66 0 38 35 68 0 38 35 70 0 38 35 72 0 38 35 4 8 8 0 0.5577 94 0 34 32.5 96 0 34 32.5 4 7 7 0 0.1239
G 2,5 (2) 0.0135 0.0369
0.6662
0.4345 0.1909
18
Lampiran 4 Hasil pengamatan fermentasi bagas tebu Fermentasi bagas tebu 0,5 g/L Volum Gas (ml) pH OD Waktu (jam) Kontrol (-) BT 0,5 (1) BT 0,5 (2) Kontrol (-) BT 0,5 (1) BT 0,5 (2) Kontrol (-) BT 0,5 (1) BT 0,5 (2) 0 0 0 0 6 6 6 0 0.0009 0.0072 24 0 0 0 6 6 6 0 0.0886 0.1824 26 0 2 3 28 0 2.5 5 30 0 3 6 32 0 4 7 34 0 5 7.5 36 0 5 8 38 0 5 9 40 0 6.5 11 42 0 7 12.5 44 0 8 12.5 46 0 10 14 48 0 12 16 6 7 7 0 0.3937 0.2566 50 0 15 17.5 52 0 15 17.5 54 0 17 18 56 0 21 18 58 0 22 20 60 0 22 23 62 0 22.5 25 64 0 23 25 66 0 24 25 68 0 25 26 70 0 27.5 29 72 0 28 30 6 7 7 0 0.4942 0.4106 94 0 28 30 96 0 28 30 6 8 8 0 0.4443 0.4019
19
Lampiran 4 (lanjutan) Fermentasi bagas tebu 1,5 g/L Waktu (jam) Volum Gas (ml) pH Kontrol (-) BT 1,5 (1) BT 1,5 (2) Kontrol (-) BT 1,5 (1) BT 1,5 (2) Kontrol (-) 0 0 0 0 6 6 6 0 24 0 0 0 6 6 6 0 26 0 0 0 28 0 0 0 30 0 0 0 32 0 0 0 34 0 0 0 36 0 0 0 38 0 1 0 40 0 1.5 0 42 0 1.5 2 44 0 2 2.5 46 0 2 4 48 0 3 6.5 6 6 6 0 50 0 3 8 52 0 2.5 10 54 0 2.5 11 56 0 2.5 11 58 0 2.5 12 60 0 2.5 12 62 0 2.5 12.5 64 0 2.5 12.5 66 0 2.5 12.5 68 0 3 12.5 70 0 3 14 72 0 5 13 6 6 6 0 94 0 5 13 96 0 5 13 6 7 6 0
OD BT 1,5 (1) BT 1,5 (2) 0.0793 0.0042 0.1619 0.2333
0.3122
0.2648
0.2601
0.2763
0.2083
0.2382
20
Lampiran 4 (lanjutan) Fermentasi bagas tebu 2,5 g/L Volum Gas (ml) pH Waktu (jam) Kontrol (-) BT 2,5 (1) BT 2,5 (2) Kontrol (-) BT 2,5 (1) BT 2,5 (2) Kontrol (-) 0 0 0 0 6 6 6 0 24 0 0 0 6 6 6 0 26 0 0 0 28 0 0 0 30 0 0 0 32 0 0 0 34 0 0 0 36 0 0 0 38 0 0 0 40 0 0 0 42 0 0 0 44 0 0 0 46 0 0 0 48 0 1 1 6 6 6 0 50 0 1 1 52 0 2 1 54 0 1 1 56 0 1 1 58 0 1 1 60 0 1 1 62 0 1 1 64 0 1 1 66 0 1 1 68 0 0 0 70 0 0 0 72 0 0 0 6 6 6 0 94 0 0 0 96 0 0 0 6 6 6 0
OD BT 2,5 (1) BT 2,5 (2) 0.2146 0.1682 0.1279 0.1355
0.1824
0.1596
0.0105
0.0247
0.0064
0.0093
21
Lampiran 5 Pengukuran gula total hasil fermentasi glukosa dan bagas tebu Standar glukosa konsentrasi (ppm) 10 20 40 60 80 100 120 200
Absorbans (A) 0.0722 0.1706 0.3532 0.5746 0.7654 0.9875 1.1752 1.9678
Kadar gula total fermentasi glukosa
Jenis G 0,5 (1) G 0,5 (2) G 1,5 (1) G 1,5 (2) G 2,5 (1) G 2,5 (2)
0 0.2862 0.2880 0.4946 0.6848 1.2788 1.2677
Absorbans (A) jam ke‐ 24 48 72 0.0546 0.0124 0.0083 0.0094 0.0234 0.0296 0.4297 0.0124 0.0182 0.2843 0.0298 0.0150 1.1090 0.0474 0.0122 0.9735 0.0628 0.0151
96 0.0613 0.0295 0.0329 0.0063 0.0114 0.0167
Konsentrasi (ppm) jam ke‐ 0 24 48 72 634.40 171.20 86.80 78.60 638.00 80.80 108.80 121.20 1051.20 921.40 86.80 98.40 1431.60 630.60 121.60 92.00 2619.60 2280.00 156.80 86.40 2597.40 2009.00 187.60 92.20
96 184.60 121.00 127.80 74.60 84.80 95.40
Kadar gula total fermentasi bagas tebu
J enis BT 0,5 (1) BT 0,5 (2) BT 1,5 (1) BT 1,5 (2) BT 2,5 (1) BT 2,5 (2)
0 0.2230 0.2354 0.6406 0.6410 1.0114 1.1019
Absorbans (A) jam ke‐ 24 48 72 0.1332 0.0570 0.0099 0.1116 0.0707 0.0221 0.5905 0.4806 0.4725 0.2861 0.4131 0.5504 1.4784 1.1538 1.0742 1.1497 1.2355 1.0708
96 0.0026 0.0022 0.4994 0.5021 0.8657 0.8649
Konsentrasi (ppm) jam ke‐ 0 24 48 72 2540.00 1642.00 880.00 409.00 2664.00 1426.00 1017.00 531.00 6716.00 6215.00 5116.00 5035.00 6720.00 3171.00 4441.00 5814.00 10424.00 15094.00 11848.00 11052.00 11329.00 11807.00 12665.00 11018.00
96 336.00 332.00 5304.00 5331.00 8967.00 8959.00
22
Lampiran 6 Pengukuran kadar glukosa fermentasi bagas tebu Standar glukosa Standar (ppm) 5 10 20 40 80 100
Absorbans 0.0873 0.2037 0.4069 0.7073 1.2604 1.5688
Konsentrasi glukosa hasil fermentasi bagas tebu Jenis
konsentrasi (ppm)
K(-) BT 0,5 BT 0,5 (1) BT 0,5 (2) K(-) BT 1,5 BT 1,5 (1) BT 1,5 (2) K(-) BT 2,5 BT 2,5 (1) BT 2,5 (2)
900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 -100
Absorbans (A) jam ke-
Konsentrasi (ppm) jam ke-
0
96
0
96
0.4401 0.4135 0.4099 0.8314 1.2173 1.2052 1.2928 1.2004 1.2082
0.4325 0.0086 0.0174 0.8125 0.1734 0.1711 1.2794 1.1465 1.1524
253.40 235.67 233.67 514.27 771.53 763.47 821.87 760.27 765.47
248.33 -34.27 -28.40 501.67 75.60 74.07 812.93 724.33 728.27
Konsentrasi glukosa jam ke-0 Konsentrasi glukosa jam ke-96
K(-) BT BT 0,5 0,5 (1)
BT K(-) BT 0,5 BT 1,5 (2) 1,5 (1)
BT K(-) BT 1,5 BT 2,5 (2) 2,5 (1)
jenis sampel
BT 2,5 (2)
23
Lampiran 7 Hidrolisis bagas tebu Ampas tebu kering digiling sampai halus
Ditimbang 300 g bubuk bagas tebu
Dimasukkan ke dalam 1500 ml H2SO4 4%
Rendam semalaman
Diautoklaf 121 °C selama 15 menit
Disaring dan diperas untuk memisahkan cairan dan ampasnya
24