bil terus membelai anjing itu. "Yang bisa kaulakukan hanyalah menjaga agar badannya hangat dan memberinya obat yang akan kuberikan pada kalian nanti. Cepat panggil ayahmu, Jimmy, minta dia membuatkan kandang untuk Punch." Jimmy cepat berlari ke karavannya. Ia begitu sedih. Ia menyayangi semua anjing yang ada. Dan alangkah sedihnya ia melihat Punch sakit. Bagaimana ia bisa sakit begitu? Padahal ia dirawat sebaik-baiknya. Mungkin sekali ia bertemu dengan anjing lain sewaktu jalan-jalan, dan kemudian ketularan. "Akan kurawat sendiri Punch," pikir Jimmy. 'Aku akan membuatnya sembuh. Harus!" Segera juga Brownie, ayah Jimmy, membuatkan rumah kecil bagi Punch. Punch kini terbaring di bawah karavan Jimmy, beralaskan sepotong permadani. Kepalanya terkulai pada kaki depannya, dan sedikit pun ekornya tak bergerak.
"Akan kurawat Punch," kata Lotta pada Jimmy. "Ia anjingku." "Tidak," kata Jimmy. "Aku lebih baik dalam merawat binatang daripada kau. Kau sendiri sering berkata begitu, Lotta. Aku ingin membuat Punch sembuh kembali." "Tak mungkin," kata Lotta. "Galliano berkata tak ada anjing yang bisa sembuh jika sampai kuning begitu. Lihat lidahnya, Jimmy, sudah mulai kuning pula! Dan matanya ... kasihan sekali Punch." "Sudah adakah obat yang dijanjikan Pak Galliano itu?" tanya Jimmy. Lotta menunjuk pada sebuah botol di rumput. "Ia harus meminumnya tiga kali sehari."
"Aku akan memberinya makan baik-baik," kata Jimmy. "Itu tak ada gunanya," kata Lotta. "Ia tak ingin makan, dan apa pun yang dimakannya selalu dimuntahkannya kembali." "Oh, Lotta, diamlah!" kata Jimmy gusar. "Kau malah membuatku bingung, mengatakan hal-hal seburuk itu!" Tetapi Lotta benar. Punch tak mau makan apa pun. Jika Jimmy berhasil memaksakan memasukkan sesuatu ke dalam kerongkongannya, maka anjing yang sakit itu memuntahkannya kembali. Sungguh kasihan. Sepanjang hari itu Jimmy hanya memikirkan Punch. Bahkan malamnya juga. Dan keesokan hannya. Ia tak bisa menemukan cara bagaimana menyembuhkan Punch. Punch begitu lemah hingga tak bisa bergerak. Malam itu Jimmy tidur di samping kandang Punch, beralaskan sepotong permadani tua.
Pada hari ketiga Oona si ahli akrobat datang mengunjungi Jimmy. Ia heran Jimmy tidak datang untuk berlatih berjalan di atas tali. Ketika dilihatnya Jimmy memangku kepala Punch di samping karavan, Oona langsung mengerti. "Kenapa anjing ini?" tanya Oona. "Oh, ia jadi kuning, ya? Wah, ia kena penyakit kuning! Belum pernah kudengar ada anjing yang bisa sembuh dari penyakit itu. Oh. Ya. Hanya sekali!" "Di mana? Kapan?" Jimmy bertanya bersemangat. "Dulu... waktu aku ikut sirkus lain," kata Oona. "Di sirkus itu ada tiga ekor anjing pudel Prancis ... kau tahu, anjing yang bulunya dicukur lucu sekali, sehingga sebagian dari tubuhnya tak berbulu sama sekali. Nah. Salah seekor
dari anjing-anjing itu jadi kuning seperti anjing ini." "Lalu?" Jimmy tidak sabar. "Semua orang bilang anjing itu pasti takkan bisa sembuh," kata Oona. "Tetapi di sirkus tadi terdapat seorang wanita tua. Ibu dari salah seorang badut di sirkus itu. Dan ia berkata ia bisa menyembuhkan anjing tersebut. Dan ternyata benar!" "Bagaimana caranya?" tanya Jimmy. "Bagaimana caranya?" "Aku tak tahu benar," kata Oona. "Ia membuat ramuan dari berbagai daun dan akar. Ia memang biasa mengumpulkan daun dan akar tiap pagi. Pagi-pagi sekali. Dan biasanya ia membuat obat. Salah satu obatnya itulah yang menyembuhkan anjing tersebut" "Tahukah Anda apa obat yang digunakannya?" tanya Jimmy penuh harap. "Sayang sekali tidak," jawab Oona. "Peristiwa itu terjadi tahunan yang lalu. Saat itu aku baru sebesar engkau."
Jimmy hampir menangis karena kecewanya. "Oh, kalau saja wanita itu ada di sirkus kita!" "Aku tahu di sirkus mana wanita itu berada," kata Oona tiba-tiba. "Betulkah?" seru Jimmy. "Kalau begitu, tulislah surat padanya, Oona. Tanyakan apa yang harus kita berikan pada Punch. Kalau kita kirimkan surat hari ini, besok ia akan menerimanya. Dan lusa kita mungkin sudah menerima balasan. Mungkin masih ada waktu untuk menolong Punch." "Aku tak bisa berkirim surat padanya," kata Oona. "Aku tak bisa menulis. Aku tak pernah belajar." "Ya ampun!" Jimmy terperangah. "Kalau begitu kau
harus belajar pada ibuku bersama-sama Lotta. Tak apa, Oona, katakan di sirkus mana wanita itu berada. Aku yang akan menuliskan suratnya." "Sirkusnya sih sirkus milik Pak Bang," kata Oona "Tetapi aku tak tahu saat ini sirkus tersebut berada di mana." Jimmy mengeluh. Kebetulan dilihatnya Pak Galliano lewat. Cepat ia berlari ke pemilik sirkus itu. "Pak Galliano, maaf," kata Jimmy. "Tahukah Anda di mana sirkus Pak Bang berada saat ini?" "Ya, di Blackpool," kata Pak Galliano, agak heran. Jimmy bersorak gembira dan berlari kembali ke Oona. "Di Blackpool!" teriaknya. "Aku akan menulis surat sekarang juga. Ibu! Ibu! Apakah ada kertas dan amplop?" Rasanya lama sekali baru kertas dan amplop itu bisa ditemukan. Jimmy mengambil pensil dari sakunya dan mulai menulis.
"Nyonya Benito yang terhormat," kata Oona yang kemudian ditulis oleh Jimmy. "Ini Oona, si tukang akrobat menulis surat untuk Anda. Harap segera kirimkan balasan. Tuliskan obat apa yang Anda berikan pada anjing yang sakit kuning seperti pudel Prancis dulu itu Kuharap Anda baik-baik saja. Oona." "Aku tak punya uang untuk beli perangko," kata Jimmy. Oona memberinya uang enam pence. Dan anak kecil itu pun berlari ke kota untuk membeli perangko dan mengeposkan suratnya. Betapa ia berharap surat itu segera sampai ke Nyonya Benito! Jimmy kemudian kembali menunggui Punch. Punch sangat lemah. Ia sama sekali tak mau makan. Badannya sangat kurus. Lotta ikut menungguinya, menangis. Ia telah
membawakan Punch beberapa cokelat yang paling disukainya Tetapi tentu saja Punch tak bisa makan. Mencium saja tidak. Jimmy bercerita tentang suratnya. "Apakah jawabannya akan kita terima hari ini?" tanya Lotta yang tak pernah menerima surat sepucuk pun. Ia tak tahu berapa lama surat itu baru sampai. "Tidak," kata Jimmy. "Paling-paling lusa." "Itu mungkin sudah terlambat," kata Lotta. "Oh, Punch sayang, makan sedikit dong ..." Untung sekali Blackpool tak begitu jauh dari Bigchester. Nyonya Benito menerima surat Jimmy sore itu juga. Dan ia langsung mengirimkan balasannya. Pagi berikutnya seorang tukang pos datang ke tempat sirkus Pak Galliano. Ia memberikan sepucuk surat pada Pak Galliano yang kemudian menyuruh orang mengantarkan surat itu pada Oona. Sungguh heran orang-orang sirkus. Mereka tak pernah menerima surat, kecuali Pak Galliano tentunya.
Oona berlari ke Jimmy dengan membau/a surat tadi. "Sudah datang! Sudah datang!" teriaknya. "Bacalah, Jimmy. Aku tidak bisa." (Oo-dwkz-syaugy-oO)
14. Obat Aneh Ketika Jimmy mendengar bahwa jawaban suratnya satu hari lebih awal dari yang diperkirakannya, ia begitu gembira. Ditinggalkannya Punch yang
dari tadi ditungguinya, dan ia berlari ke tempat Oona. Diambilnya surat itu. Oona tak bisa membaca, tetapi Jimmy dapat. Jimmy membuka amplop yang agak kotor itu. Di dalamnya terdapat surat dengan tulisan kecil-kecil dan amat sulit dibaca. "Oona yang tercinta," Jimmy mencoba membaca surat tersebut. "Inilah yang harus kauberikan pada anjing yang sakit itu. Carilah tumbuh-tumbuhan berikut ini... akar dari Bayangan Malam Maut... akar dari ... dari..." Jimmy tertegun. "Oh, aku tak tahu apa saja ini, Oona. Semua aneh dan tak bisa kumengerti. Tak ada gunanya sama sekali." Anak kecil itu begitu kecewa hinggga ia langsung menangis. Semalaman ia menjaga Punch, sehingga ia merasa begitu lelah. Oona memeluknya dan membelainya. "Sudahlah, sudahlah," kata ahli akrobat itu. "Jangan putus asa. Bawa saja surat ini pada Galliano. Mungkin ia bisa menolongmu. Ia pandai sekali." Jimmy menghapus air matanya dan berian ke karavan Pak Galliano. Pintunya tertutup. Jimmy mengetuknya keras-keras. "Siapa itu?" seru Pak Galliano. "Pergi saja!"
"Maaf, Pak Galliano, tolong!" teriak Jimmy. "Ini untuk Punch." Galliano membuka pintu. Ia memakai pakaian tidur dengan warna merah menyala berhias renda-renda emas. Aneh sekali ia, tanpa topinya. Nyonya Galliano memakai pakaian yang lebih menyolok lagi. Ia sedang memasak sesuatu di kompor.
Jimmy bercerita tentang suratnya, dan menunjukkan surat itu pada Pak Galliano. Pak Galliano membaca surat ters'ebut dan bersiul. "Wow," katanya. "Ini memang memerlukan kepandaian khusus. Coba lihat ini, Tessa ... kau pasti mengerti. Dulu kau pintar urusan macam ini... Ya?" Nyonya Galliano mengambil surat itu. Perlahan dibacanya. Lambat-lambat. Setiap patah kata diucapkannya. Kemudian ia berpaling pada Jimmy. Matanya yang lembut bersinar cerah. "Aku tahu apa yang dituliskan di sini," katanya dengan suaranya yang lembut perlahan. "Aku kenal Nyonya Benito sejak lama. Ia memang seorang yang hebat." "Nyonya Galliano, bisakah aku mengumpulkan semua obat-obatan itu?" tanya Jimmy. "Mungkinkah obat-obatan itu bisa menyembuhkan Punch? Ia begitu kurus kini." "Aku akan antarkan kau ke hutan dan mencari semua yang tertulis di sini," kata Nyonya Galliano. "Ibuku seorang gipsi, kaum pengembara. Ia punya keahlian untuk mengetahui kekuatan gaib yang ada pada akar tetumbuhan, daun, dan bunga-bunga. Pergilah berpamitan pada ibumu, katakan aku sendiri yang akan mengantarkanmu ke hutan. Kita akan kembali sekitar tiga jam lagi."
Jimmy berlari pulang. Ibunya memberi sebuah keranjang berisi beberapa potong roti dan sepotong kue cokelat, sebab Jimmy belum sempat sarapan. Jimmy membelai Punch dan
berlari kembali ke karavan Pak Galliano. Lotta mengikutinya. Jimmy menceritakan apa yang terjadi. Mata Lotta sampai membelalak heran. "Ooooh!" katanya. "Bayangkan! Nyonya Galliano sendiri yang akan mengajakmu! Dulu ia seorang ahli akrobat yang paling hebat kata ibuku. Tetapi kemudian badannya menggemuk dan akhirnya ia berhenti bermain. Orang sedikit takut padanya sebab ibunya seorang gipsi yang pandai. Dan kudengar orang-orang bercerita, jika kita hidup di masa lalu, pastilah Nyonya Galliano ini sudah jadi seorang nenek sihir!" Jimmy tertawa. "Dan cerita begitu kau percaya, Lotta? Sungguh lucu," katanya. "Nyonya Galliano hanyalah seorang manusia biasa yang baik hati dan pandai. Nah. Itu beliau datang." Pintu karavan terbuka. Dan turunlah Nyonya Galliano, memakai gaun merah, blus hitam, dan selendang kuning yang dilingkarkan di kepalanya. Tangga karavan sampai berderak berbunyi karena Nyonya Galliano memang sangat gemuk. Ia tersenyum pada Jimmy. "Ayo," katanya. "Kita harus bergegas." Tetapi mereka sama sekali tidak bergegas. Sebab Nyonya Galliano sama sekali tak bisa jalan cepat. Tetapi agaknya Nyonya Galliano tahu benar jalan yang harus ditempuh. Ia sama sekali tak pernah bertanya. Sekali ia berhenti di tepi sebuah parit dan memetik suatu tumbuhan yang baunya
sangat menyolok hidung Jimmy. Jimmy menaruh tumbuhan itu di keranjangnya. "Apakah Anda sudah sarapan, Nyonya Galliano?"
akhirnya Jimmy bertanya kemalu-maluan. Ia begitu lapar dan ingin sekali segera makan rotinya. "Aku membawa makanan." "Makanlah, Jimmy," kata Nyonya Galliano. "Aku sudah sarapan." Maka sambil mengunyah rotinya Jimmy berjalan di samping Nyonya Galliano sampai mereka tiba di hutan. Mata Nyonya Galliano tajam memandang ke sana kemari, dan sekali-sekali ia membaca surat yang dibawanya. "Bunga Kayu Kering," ia membaca. "Bunga Kayu Kering. Wah. Ini sulit dicari. Begitu kecil dan tersembunyi. Kauperhatikan baik-baik, Jimmy, kalau ada Bunga Madu. Kita harus mengambil akarnya." Jimmy ikut-ikutan mencari. Nyonya Galliano menerobos semak-semak, mencari-cari. Setelah beberapa lama keranjang yang dibawa Jimmy sudah penuh dengan berbagai macam tetumbuhan, sementara makanannya telah habis. Nyonya Galliano membaca surat di tangannya untuk terakhir kalinya. "Kukira semuanya telah kuper-oleh," katanya. "Ada satu yang tak ada di daerah sini. Tetapi itu bisa kugantikan dengan tanaman lain. Sekarang kita pulang, Jimmy." Jimmy dan Nyonya Galliano pulang ke padang sirkus. Jimmy membau/a keranjang. Tetapi sesampainya di tempat sirkus Nyonya Galliano mengambil keranjang itu. "Aku tahu semua ini harus diapakan," katanya. "Obatnya akan siap dua jam lagi."
Jimmy tak pernah tahu apa yang dilakukan Nyonya Galliano dengan akar, daun, dan bunga-bunga aneh itu. Didengarnya ia menumbuk akar-akar tadi, dan Lotta melihat ia merebus beberapa daun dan bunga di mangkuk besar. Betapapun, sekitar dua jam kemudian Nyonya Galliano minta Lotta memanggil Jimmy. Ketika Jimmy datang ia diberi sebotol cairan berwarna hijau kecokelatan. "Berikan pada anjing itu dua sendok setiap setengah jam," kata Nyonya Galliano. "Kau tahu bukan cara memasukkan obat ini ke dalam mulut anjing itu?" "Oh, ya," kata Jimmy bersemangat. Dibawanya botol tadi pulang, ke Punch. Kasihan sekali Punch. Sekarang mengangkat kepala saja ia tak bisa. Jimmy mengangkat hidung Punch, menarik kulit berlebih di sisi mulut anjing itu. Di situ terlihat suatu lowongan di antara gigi Punch Lewat lowongan ini Jimmy dengan rapi dan tepat mencurahkan dua sendok ramuan Nyonya Galliano. Obat tadi langsung masuk ke tenggorokan. Lotta membantu dengan memegangkan botol, sementara Jimmy menuangkan obat ke mulut Punch. Kemudian Jimmy mengangkat kepala Punch agar obat terus masuk. "Mudah-mudahan saja ia tak muntah," kata Jimmy. "Bisa terbuang percuma obat ini." Kedua anak itu memperhatikan dengan dada berdebar. Selama setengah jam mereka perhatikar* terus. Dan kemudian kembali Jimmy menuangkan) dua sendok lagi. Belum tampak perubahan pada Punch "Tinggalkan saja dia untuk sementara waktu," kata Ibu Jimmy. "Tak ada gunanya lagi kalian tunggu terus. Pergilah bermain sana. Atau. berlatihlah menunggang kuda,
Jimmy."
Dengan patuh Jimmy pergi. Ia berlatih menunggang kuda dengan Lotta. Sekarang Jimmy sudah cukup menguasai cara menunggang kuda tanpa pelana. Ia kini tahu bagaimana harus menjepit punggung kuda hingga ia tidak terjatuh. Lotta gembira akan kemajuan Jimmy walaupun ia juga berkata bahwa takkan mungkin Jimmy jadi penunggang kuda jempolan. Selesai berlatih keduanya berlari ke Punch. Dan Jimmy bersorak gembira. "Lotta! Ia menggerakkan ekornya! Memang hanya sedikit, tapi itu pasti karena ia membaik!" Mereka memberi dua sendok obat lagi pada Punch. Dan kini anjing itu bisa mengangkat kepala! Ia mencoba menjilat tangan Jimmy, tetapi lidahnya tak bisa terjulur panjang. Kasihan sekali Punch. Pasti ia lemas oleh sakit yang berkepanjangan itu. Tetapi sedikit demi sedikit keadaan Punch membaik. Ia masih tak mau makan apa pun, tetapi ketika Pak Galliano malam itu melihat Punch, ia menganggukkan kepala. "Ia lebih baik, ya?" katanya. "Ini adalah anjing pertama yang bisa sembuh dari penyakit seperti itu. Dan ini semua berkat kau, Jimmy. Ya? Tessa, Tessa! Kemarilah!" Nyonya Galliano datang ke kandang khusus Punch. Nyonya Galliano membelai Punch. "Sungguh obat mujarab," kata Nyonya Galliano. "Hanya Nyonya Benito saja yang tahu obat semacam ini. Ini surat beliau, Jimmy. Simpanlah. Sebab ini resep untuk menanggulangi penyakit anjing yang paling berbahaya di dunia. Punch akan sembuh. Akan kukirimkan seguci
makanan anjing untuknya. Beri makan dia malam ini dan besok pasti ia sudah membaik."
Lotta yang mengambilkan guci yang dijanjikan Nyonya Galliano. Dibacanya tulisan di guci tadi. "Sari Ayam," katanya. "Kedengarannya lezat sekali, ya, Jimmy? Pasti Punch menyukainya." Memang. Punch menjilati sendok yang dipakai untuk menyuapinya. Dan di malam hari, ia makan habis apa yang ada di dalam guci. Lambat laun warna kuning menghilang dari matanya, lidahnya, dan kulitnya. Dan ia mulai bisa menggerakkan ekor serta mendengking. "Ia sembuh! Ia sembuh!" seru Jimmy, meloncat-loncat tak keruan. "Oh, Lotta! Alangkah senangnya!" Lal dan Laddo segera datang. Lal jadi sangat sedih mendengar nasib Punch. Punch dipeliharanya sejak anjing itu masih bayi. Diajarinya sendiri anjing tersebut. Lal sangat pandai bermain dengan binatang. Tetapi ternyata ia tidak bisa sebaik Jimmy jika merawat anjing sakit. Karenanya Lal sangat berterima kasih pada Jimmy. "Begitu kudengar ada anak anjing yang berbakat besar, akan kubeli anak anjing itu untukmu," katanya pada Jimmy. "Sungguh memalukan anak seperti engkau malah tak punya anjing seekor pun. Terima kasih, Jimmy, untuk bantuanmu pada Punch. Kalau tak ada engkau, Punch pasti sudah mati." Menjelang akhir minggu Punch telah mulai ikut mengadakan pertunjukan. Hampir selincah seperti sebelum sakit! Dan ia kini sangat memuja Jimmy. Setiap kali Jimmy datang, gembira sekali dia, berguling-guling di tanah. Pak Galliano sangat bangga akan Jimmy. Ia berkata orang lain
mungkin tak akan bisa begitu bertekad untuk menyembuhkan Punch, orang lain mungkin tak mau bersusah payah seperti Jimmy mencari obat penyembuh Punch.
Kemudian ada berita yang menggembirakan: rombongan sirkus itu akan bertambah anggota baru lagi ... seekor simpanse! Pak Galliano telah lama merencanakan menambah hewan pemainnya. Dan suatu hari datanglah Pak Wally dengan seekor simpanse. Jimmy sudah terbiasa pada keanehan orang-orang sirkus dan cara hidup mereka yang luar biasa. Tetapi ia betul-betul tercengang ketika melihat seekor simpanse besar berjalan bergandengan tangan dengan majikannya, Pak Wally. Simpanse itu berpakain lucu sekali: celana merah, jas biru, topi jerami, dan merokok! Jimmy sampai melongo melihatnya. "Selamat sore," Pak Wally membuka topi jeraminya dan membungkuk rendah-rendah di hadapan Jimmy. "Apakah aku mendapat kehormatan untuk berbicara dengan Pak Galliano?" Jimmy tahu ini hanya bercanda. Ia tertawa. "Bukan, dan aku tahu bahwa Anda tahu aku bukan Pak Galliano. Di sana itu karavannya. Hei, simpanse Anda sungguh hebat!"
"Ah, kau belum tahu betapa hebatnya dia, Nak," kata Pak Wally, seorang yang bertubuh besar tetapi kepalanya sangat kecil. "Ia dapat naik sepeda, ia dapat membuka pakaian dan pergi tidur, ia dapat bangun pagi dan berpakaian. Tetapi ia tak bisa menggosok gigi" Saat itu sudah banyak orang yang berkumpul disekeliling Pak Wally dan simpansenya. Pak Galliano menjengukkan kepala ke luar karavannya dan berteriak keras: "Hei! Anda ingin bertemu aki Ya? Datanglah kemari. Tapi suruh simpanse it nanti membersihkan kakinya lebih dulu sebelur masuk."
Pak Wally dan simpansenya masuk ke karavan Pak Galliano. "Oh," kata Jimmy. "Mudah mudahan Pak Galliano akan mengambil simpanse itu untuk rombongan sirkus ini. Pasti lucu simpanse seperti itu." "Aku tak melihat apa lucunya," tiba-tiba Lot menggoda Jimmy. "Kau dan dia begitu mirip, susah sekali membedakannya." Dan Lotta pun lari secepat kilat sebelum Jimmy sempat menang kapnya. (Oo-dwkz-syaugy-oO)
15. Pak Wally dan Simpansenya Ketika Pak Wally keluar dari karavan Pak Galliano, hmpak ia tersenyum lebar. Pak Galliano telah memutuskan untuk menerima dia dan simpansenya. Ia kini harus mempertunjukkan kelebihan smpansenya di ring. "Ayo, Jimmy," Lotta muncul lagi di samping Jimmy. "Kita ikut nonton, yuk!"
Hampir semua anggota rombongan sirkus itu berkumpul di dalam tenda besar, duduk di kursi-kursi penonton. Mereka juga akan menonton pertunjukan Pak Wally dan simpansenya. Beberapa saat kemudian Pak Wally muncul, membawa kereta dorong yang isinya tertutup kain. Pasti ini dat-alat pertunjukan yang akan digunakan simpansenya. Sammy, simpanse Pak Wally itu, tersenyum dan melambaikan tangan pada para 'penonton*. Ia seekor simpanse yang masih muda, bersemangat, dan riang gembira. Ia bisa melakukan apa saja yang diperintahkan Pak Wally. Pak Wally telah merawatnya sejak bayi. Dan memang Sammy dibesarkan bagaikan membesarkan seorang anak manusia. Ia punya tempat tidur sendiri, punya pakaian sendiri, dan ia dapat menghitung sampai lima.
Pak Wally membuka kereta dorongnya. Jimmy melihat di dalam kereta itu terdapat tempat tidur lipat, meja lipat, sebuah kursi kecil, dan banyak lagi barang yang lain. Cekatan Pak Wally menyiapkan tempat tidurnya, memasang kasur, seprai, bantal, dan selimutnya. Diaturnya juga letak meja, dengan cermin di atasnya, dan juga sikat, sisir, gelas untuk sikat gigi, dan sikat gigi itu sendiri. Ia juga menaruh I sebuah baskom berisi air, sabun, dan spons. "Masakan simpanse itu akan menggunakan semua barang itu?" tanya Jimmy pada Lotta. Lotta mengangguk. "Aku yakin, ya," jawab Lotta. "Simpanse sangat pandai. Aku pernah melihat seekor simpanse bisa menulis dengan pensil. Memang binatang itu mudah sekali diajar pada waktu berumur satu atau dua
tahun. Setelah itu mereka tak mudah belajar lagi. Tidak seperti aku." "Lihat, Pak Wally sudah akan mulai," kata Jimmy. "Hei, tuh lihat, simpanse itu membuka pakaian" Memang. Diberi isyarat oleh Pak Wally, Sammy si simpanse membuka jasnya dan melipatnya! dengan rapi. Menaruhnya di kursi. Kemudian ia meloloskan celananya, dilipat dan ditaruhnya di atas lipatan jas. Hampir saja ia lupa membuka topinya. Tetapi ia teringat sebelum melakukan gerakan berikutnya. Di tempat tidur telah disiapkan-sepasang piyama. Sammy memakai celananya dan| kemudian kemejanya. "Lihat, ia memakai kemeja itu terbalik," kata Lotta, tertawa. Sammy mendengar Lotta tertawa. Ia melambaikan tangan pada gadis cilik itu. Diperhatikannya kemejanya. Ya, ternyata ia tak bisa mengancingkan kemeja tersebut. Dicopotnya lagi, dan kini dipakainya dengan benar. Lucu
sekali melihat binatang yang tampaknya bisa berpikir dengan baik itu. Ia naik ke tempat tidur. Menyelimuti diri — dan kemudian pura-pura mendengkur! Jimmy tertawa terpingkal-pingkal. Pak Galliano juga tertawa keras-keras. "Itu kepandaian baru, bukan?" tanyanya pada Pak Wally. "Ya? Belum pernah kudengar tentang yang ini." "Baru kuajarkan minggu lalu," kata Pak Wally bangga.
"Ayo, Sammy. Sudah waktunya bangun!" Sammy duduk di tempat tidur. Menguap. Kembali Jimmy dan Lotta tertawa terpingkal-pingkal. Lucu sekali! Sammy meloncat dari tempat tidur, pergi ke meja. Diambilnya spons, dicelupkan-nya ke dalam air. Dan diusapkannya spons basah itu ke mukanya dengan saksama. Saat itu ia melirik kepada Pak Wally. Dan tiba-tiba Sammy melem-i >arkan spons yang penuh air ke muka pemiliknya! Tepat sekali kena hidung Pak Wally. Beberapa saat ia megap-megap karena mukanya langsung basah kuyup. Jimmy tertawa sampai air matanya keluar. "Sudah, Sammy, sudah!" seru Pak Wally. "Itu cukup!" Pak Galliano tampak sangat senang dengan tingkah Sammy itu. Dimiringkannya topinya ke samping, wajahnya berseri-seri. Simpanse yang cerdik ini pasti akan membuat sirkusnya sangat terkenal. "Teruskan, Sammy, teruskan," kata Pak Wally, agak kuatir karena Sammy agaknya mencari-cari benda lain untuk dilemparkan lagi. Sammy kemudian mengambil handuk, mengeringkan muka, tangan, dan bahkan kakinya yang sebetulnya tidak basah sama sekali. Kembali Jimmy dan Lotta terpingkal-pingkal karenanya.
Sammy kemudian menyisir rambutnya, disikat rapi, dan disisir. Ia berdiri, dan seluruh tubuhnya juga disikatnya dengan sikat rambut. Sesudah itu ia mulai mencopot piyamanya. "Gosok gigi, Sammy, gosok gigi," kata Pak Wally. Tetapi inilah satu-satunya perintah yang tak bisa dilaksanakan oleh Sammy. Walau pun Pak Wally telah mencoba mengajari Sammy menggosok gigi selama
berminggu-minggu, ia tak pernah berhasil. Mengapa? Karena Sammy selalu langsung menggigit patah sikat gigi yang dimasukkan ke mulutnya! Tentu saja ini terlalu mahal bagi Pak Wally jika setiap kali akan mengadakan pertunjukan ia harus membeli sikat gigi baru. Kali ini pun Sammy menggigit patah sikat giginya, dan mengunyahnya walaupun Pak Wally berseru-seru melarangnya. Kemudian Sammy mencopot piyama dan memakai kembali celana dan jasnya. Ia pun memakai topinya kembali. "Kini pergilah ke sekolah, Sammy," kata Pak Wally. Sammy melihat berkeliling. Dilihatnya tas sekolahnya sudah siap di dekatnya. Disambarnya tas tersebut, digantungkannya di bahunya, dan pergilah ia ke tempat sepeda kecilnya tersandar. Ia melompat ke tempat duduk sepeda, dan dikayuh-nya mengelilingi ring! Berputar-putar Sammy melambaikan tangan, menyeringai lebar dan membuat suara seperti salakan lembut. "Sudah sampai ke sekolah!" kata Pak Wally, membunyikan sebuah lonceng kecil. Sammy menghentikan sepeda, melompat turun, membuka topi, dan duduk di sebuah kursi. Di depannya Pak Wally telah menaruh beberapa lembar kartu besar bergambarkan angka-angka.
"Kini kau berada di sekolah, Sammy," kata Pak Wally. "Tunjukkan padaku nomor tiga!" Sammy mengambil kartu nomor 3 dan menunjukkannya pada Pak Wally dan para penonton lainnya. Jimmy dan Lotta bertepuk tangan keras sekali. Mereka kagum akan kepandaian Sammy. "Sekarang empat," kata Pak Wally. Dan tak peduli berapa saja yang disebutkan pelatihnya, simpanse itu sanggup mengambil angka yang tepat. Tetapi karena ia hanya bisa berhitung sampai lima, maka hanya ada lima angka yang tersedia. "Kini coba, berapakah satu tambah dua?" tanya Pak Wally. Simpanse itu mengambil angka 3! Semua bertepuk tangan ramai. Pak Galliano masuk kej dalam ring. "Bagus sekali," katanya. "Kau bisa mulai malam nanti, Wally. Kau punya kandang sendiri untuty Sammy?" "Ya," kata Pak Wally senang. "Tetapi di malam hari ia tidur di dalam karavan bersamaku. Ia punya1 fempat tidur khusus. Aku telah merawatnya sejail kecil." "Alangkah lucunya simpanse itu," kata Jimmy pada Lotta saat mereka keluar tenda untuk merawat anjinganjing mereka. "Mudah-mudahan Pak Wally memperbolehkan aku membantunya kelak. Alangkah senangnya kalau aku bisa mengajar simpanse itu menggosok gigi."
"Puuuh! Tak mungkin! Pak Wally saja tak mampu!" ejek Lotta. Tetapi Jimmy yakin ia bisa. Ia ingin bersahabat dengan simpanse itu sore nanti.
Ditemuinya Sammy duduk di kandang di' belakang karavan Pak Wally, karavan berwarna kuning yang kini bergabung dengan karavan lain.l Pak Wally cukup kaya. Karavannya ditarik dengan! sebuah mobil kecil miliknya sendiri. Kadang-i kadang ia melepaskan karavan dari mobilnya kemudian berjalan-jalan bermobil dengan Sammy! duduk di sampingnya. Ini sungguh membuat siapaj saja yang melihat mereka tercengang — Sammy berpakaian mirip manusia lengkap dengan topinya. "Bolehkah aku berbicara dengan Sammy?" tanya Jimmy pada Pak Wally. Pak Wally sedang membersihkan mobilnya. Diperhatikannya Jimmy sesaat. "Apakah kau anak yang mencari dan menemukan gajah beberapa minggu yang lalu?" tanyanya kemudian. "Benar," kata Jimmy. "Ya, kalau begitu, boleh," kata Pak Wally. "Kau boleh berbicara dengan Sammy kapan saja kau mau. Ia pasti senang padamu." Jimmy membuka pintu kandang Sammy dan masuk. Simpanse itu duduk di sudut, merobek-robek selembar koran. Memang ini salah satu kegemarannya. Ketika Jimmy masuk, ia mengangkat muka dan memperhatikan anak itu. Mulutnya berbunyi sesuatu, tetapi ia tidak bangkit berdiri.
Dengan berani Jimmy mendekat, duduk di samping Sammy. Sammy memberinya selembar kertas. Jimmy meniru apa yang dilakukan Sammy tadi, dengan tenang merobek-robek lertas itu. Sammy tampak gembira. Agaknya ini permainan baru. Ia merangkul leher Jimmy, dengan lembut menggigiti telinga Jimmy. Jimmy tahu sikap ini sikap pernyataan
bersahabat. Monyet-monyet Lilliput juga sering berbuat seperti itu. Ia memasukkan tangan ke dalam saku dan mengeluarkan sebuah bola kecil. Diberikannya bola itu pada Sammy. Sammy sangat gembira. Dilemparkannya bola tadi ke atas dan ditangkapnya. Dilemparkannya ke Jimmy, dan ketika Jimmy menangkap bola tersebut dan melemparkannya kembali, Sammy tak terkira gembiranya. Ini pastilah seekor simpanse lain yang datang untuk menemaninya, pikirnya. Segera saja Jimmy dan Sammy ramai bermain-main. Pak Wally memperhatikan mereka. Ia gembira simpanse peliharaannya tampak senang. "Datanglah untuk bermain dengan dia tiap hari, Jimmy," kata Pak Wally. "Ia sangat menyukainya." "Aku juga senang bermain dengannya," kata Jimmy, menyelinap ke luar kandang. "Rasanya senang sekali jika kita bisa bersahabat dengan hewan. Bukankah begitu, Pak Wally?"
"Ah, agaknya kau memiliki salah satu bakat terbesar di dunia ini, Jimmy," kata Pak Wally. "Aku yakin kelak kau akan terkenal, sebab kau bisa melakukan apa saja dengan hewan apa saja. Sebab semua hewan yang kaujumpai pasti menyukaimu!" Merah muka Jimmy karena bangga. Hanya Lotta yang tahi betapa Jimmy sangat menyukai bergaul dengan binatang. Ia tak pemah takut pada binatang apa pun, dan agaknya semua binatang juga tak merasa takut padanya. Ia bisa merasakan apa yang dipikirkan hewan-hewan itu, apa yang mereka rasakan. Oh, kalau saja ia memiliki seekor saja binatang yang sepenuhnya miliknya! Ia ingin sekali memiliki seekor binatang, mencintainya dan mengajarinya. Oh, betapa bahagianya kalau keinginannya itu terlaksana!
Ia pulang ke karavannya untuk minum teh. Ketika ia mendekati karavannya ia mencium bau masakan lezat. Ibunya memandang Jimmy ketika ia sampai di karavannya. "Wah, dalam beberapa minggu saja kau tumbuh besar sekali, Jimmy," kata ibunya. "Agaknya kehidupan di sirkus ini sangat sesuai untukmu." "Memang," jawab Jimmy. "Ibu, indah tidak karavan kita sekarang? Bagus sekali ya, warnanya? Dan kain jendelanya?" "Ya," jawab ibunya. "Tetapi yah, aku masih merindukan sebuah rumah di mana aku bisa bergerak bebas. Kalau saja karavan kita lebih besar, alangkah senangnya! Tetapi itu tentu memerlukan tambahan uang banyak." "Jangan kuatir, Bu, suatu hari akan kubelikan Ibu sebuah karavan yang besar sekali," kata Jimmy memeluk pinggang ibunya. "Ayah dan aku akan memperoleh cukup banyak
uang hingga apa pun yang Ibu kehendaki pasti terlaksana." "Katakan pada Lotta, sehabis makan sore ia harus datang kemari untuk belajar," kata Ibu Jimmy saat Jimmy makan tiga buah sosis besar. "Kau juga belajar, Jimmy." "Baiklah, Bu," kata Jimmy. Ia senang sekali duduk di dekat ibunya, membacakan sebuah buku, atau menulis sesuatu dari sebuah buku. Tetapi Lotta tidak suka hal-hal seperti itu. Sungguh sulit mencari anak itu jika waktu belajar tiba. Jimmy segera berlari ke karavan Lotta setelah selesai makan. Dilihatnya Lotta duduk di tangga. "Lotta! Lotta!". panggil Jimmy.
"Aku datang," balas Lotta, melompat turun. Tetapi dengan cepat ia kemudian berlari ke balik karavannya! Ketika Jimmy tiba di situ, maka Lotta telah lenyap! Lal menjenguk keluar dari pintu, tertawa. "Lotta bersembunyi, Jimmy," katanya tertawa. "Ia pikir hari ini adalah hari belajar baginya. Carilah dia, Jimmy. Kalau bertemu dan ia tak mau belajar, tariklah rambutnya. Lotta paling tidak tahan bila rambutnya ditarik." Jimmy berangkat mencari Lotta. Diam-diam dia tersenyum karena sudah tahu kelemahan Lotta. Beberapa menit kemudian ia berhasil menangkap Lotta, mencengkam rambutnya dan menyeretnya ke karavannya sendiri. "Ini ada monyet baru, Bu," kata Jimmy pada ibunya. "Ia bersembunyi di karavan Lilliput, di belakang tempat tidurnya. Kata Lilliput ia monyet nakal dan berpengaruh buruk pada monyet-monyetnya, maka kubawa dia kemari. Coba ajar dia agar bisa sepintar Sammy, si simpanse." 16/ Jimmy Kini Punya Anjing
Sirkus Pak Galliano mencapai sukses gemilang di Bigchester. Ketika masa pertunjukan di tempat itu berakhir, Pak Galliano membagikan keuntungan pada semua anggota sirkusnya. Semuanya gembira, terutama Pak Brown yang ternyata memperoleh uang lebih banyak dari yang diperkirakannya. Bahkan Jimmy juga menerima uang dari Pak Galliano. Ini membuat Jimmy terkejut. Ia tak pernah mengharap akan mendapat upah. "Kau kan bekerja ya?" kata Pak Galliano melihat wajah Jimmy tercengang. "Kau merawat binatang-binatang, ya? Jadi kau harus dibayar."
Jimmy menyimpan uangnya di sebuah kotak dan disembunyikannya di tempat khusus di bawah karavannya. Pasti uang itu akan berguna baginya kelak, kalau ia sendiri akan bermain di sirkus. Ya. Itulah sesungguhnya cita-cita Jimmy. Ia ingin menjadi anak sirkus sejati — yang tiap malam mempertunjukkan suatu keahlian di depan penonton, membuat mereka bertepuk tangan atau tertawa. Seperti Lotta. Lotta tiap malam naik kudanya bagaikan seorang peri, beterbangan dari seekor kuda ke kuda yang lain. Kalau saja ia bisa berlaku seperti itu! Tetapi Jimmy tidak pandai naik kuda. Ia tak akan bisa sepandai Lotta. "kau terlambat belajar, Jimmy," kata Laddo, ayah Lotta. "Lotta mulai naik kuda ketika ia berumur sembilan bulan. Dan ia bisa menunggang kuda sendiri saat ia berumur setahun. Karena itulah ia kini begitu pandai menunggang kuda." Tadinya Jimmy juga berpikir untuk belajar main akrobat.
Tetapi ternyata badannya terlalu kaku. Oona berkata seperti Laddo. "Kau terlalu terlambat belajar, Jimmy. Kau memang bisa berjalan di atas tali, tetapi kau tak akan bisa mempelajari kepandaianku yang lain. Aku mulai dari umur satu tahun." Jimmy berpikir-pikir mungkin ia bisa jadi Badut. Tetapi ia merasa tak akan bisa berbicara lucu seperti Stanley. Dan Stanley selalu punya jawaban lucu untuk perkataan apa pun, cepat pula jawaban itu keluar, tidak seperti Jimmy yang harus berpikir lama sekali baru bisa menjawab. Itu pun biasanya tidak lucu. "Yah, tak apalah," pikirnya kemudian. "Paling tidak aku lebih baik dari siapa pun dalam berhubungan dengan binatang. Tunggu saja sampai nanti aku punya anjing
sendiri. Akan kuajarkan kepandaian yang belum pernah terpikirkan oleh Lal. Lal akan bisa membawa anjingku ke ring, dan anjing itu akan jauh lebih pandai dari semua anjingnya." Lal tak pernah melupakan janjinya pada Jimmy untuk memberi anak itu seekor anak anjing. Suatu hari ia datang ke karavan Jimmy dan membawa berita gembira. "Aku baru saja menerima pesan dari saudaraku yang tinggal di kota tempat kita nanti mengadakan pertunjukan," kata Lal. " Ia selalu memasang mata dan telinga, mencarikan anjing yang berbakat untukku. Ia mengirim pesan telah menemukan seekor anak anjing yang agaknya berbakat untuk main di sirkus. Kalau kau mau, dan senang pada anak anjing itu setelah kau melihatnya nanti, akan kubeli dia untukmu." Jimmy begitu gembira. Akhirnya ia akan memiliki anjing
sendiri! Ingin sekali ia segera pergi ke tempat anjing tersebut. Akhirnya sekali lagi semua benda telah dirapikan kembali. Sammy si simpanse berangkat lebih dulu. Sebab kata Pak Wally karena karavannya ditarik oleh mobil, maka karavannya jau lebih cepat dari karavan lainnya. Jimmy melambaikan tangan pada Sammy yang duduk di samping Pak Wally, memakai topi baru dengan pita biru. Jimmy telah bersahabat baik dengan Sammy. Tetapi ia belum berhasil mengajar Sammy menggosok gigi. Rombongan sirkus bergerak lagi. Beriring-iringan membentuk barisan panjang menyusuri jalan-jalan. Karavan. Kandang. Kereta. Dan Jumbo berada di tengah iring-iringan panjang itu. Melangkah bahagia, menggoyangkan ekor mengepakkan telinga Ia berpaling untuk mencari Jimmy. Ia paling suka jika Jimmy berjalan di
sampingnya. Kadang-kadang ia mengangkat Jimmy untuk didudukkan di punggung lehernya, dan anak itu membuat iri anak-anak lain yang menonton iring-iringan tersebut. Akhirnya mereka sampai di kota tujuan. Semua dibongkar dan dipasang lagi. Semua bekerja keras. Jimmy sudah tak sabar ingin segera melihat anak anjing yang
dikatakan Lal. Keesokan harinya ketika persiapan hampir selesai, Lal pergi ke Brownie, ayah Jimmy, yang sedang membuat beberapa bangku baru. Pak Galliano berharap penonton di sini akan lebih banyak dari biasanya. "Brownie! Mana Jimmy? Aku ingin membawanya ke kota untuk melihat seekor anak anjing," tanya Lal. "Ia pergi ke anak sungai dengan Jumbo," kata Pak Brown. Lal menyuruh Lotta memanggil Jimmy. Mendengar pesan Lal, Jimmy segera membawa Jumbo kembali ke tambatannya dan ia belari ke tempat Lal. Lal dan Jimmy naik trem ke kota. Lal tahu tempat itu dengan baik. Ia segera menemukan daerah tempat saudaranya tinggal. Dan ia langsung masuk ke sebuah toko permen, berseru keras, "Benjy! Ini Lal!" Seorang lelaki bertubuh kecil berkumis berwarna merah muncul dari bagian dalam toko, dengan gembira memeluk Lal erat-erat. "Wah, Lal! Kau kembali lagi!" orang itu berseru. "Kalau tak salah sudah setahun kita tidak bertemu. Kau datang untuk melihat anak anjing yang kuberitakan itu?" "Ya," kata Lal. "Ini Jimmy, Benjy. Ia ikut sirkus kami. Ia pernah menolong nyawa salah satu anjingku. Aku ingin memberinya seekor anjing."
"Mari kutunjukkan anjing itu," kata Benjy. Jimmy langsung merasa senang pada orang ini. Matanya begitu ceria, giginya sangat putih. Ia mengambil topi dan mengajak Lal dan Jimmy ke suatu tempat yang agak jauh. Akhirnya mereka sampai di sebuah halaman belakang yang
sempit, dan ia menunjukkan kandang anjingnya. "Nah, lihat," katanya. "Di kandang itu ada beberapa anak anjing yang kurasa paling baik di dunia ini. Ibu anjinganjing itu masih berada bersama mereka. Lebih baik kupanggilkan Pak Jiggs agar kalian bisa melihat anak-anak anjing itu. Induk anjing biasanya sangat galak jika anaknya diganggu." Pada saat itu pula Pak Jiggs muncul. Ia berpakaian kotor dan tidak rapi, mulutnya selalu mengunyah selembar jerami sambil berbicara. "Kami datang untuk melihat anjing-anjingmu, Jiggs," kata Benjy. "Anak ini ingin membeli satu." Pak Jiggs menarik keluar induk anjing dari kandangnya yang nyaman. Bersama induknya empat ekor anak anjing terrier yang manis-manis itu ikut keluar. Semuanya menggoyangkan ekor dan menggerak-gerakkan telinga. "Kukira yang itu cocok untukmu, Lal," Benjy menunjuk pada seekor anjing berkepala warna pasir dengan mata sangat cerdik. "Ya," Lal membelai anak anjing itu. "Bagus sekali ini. Ia pasti sangat cerdik dan mudah diajar. Bagaimana pendapatmu, Jimmy?" Jimmy memperhatikan keempat ekor anak anjing itu. Semuanya mengangkat muka memandangnya, menggerakkan ekor-ekor pendeknya. Jimmy memperhatikan anjing-anjing itu satu per satu. Ada yang
kepalanya berwarna pasir, dua ekor lagi berkepala hitam, dan seekor lagi separuh hitam separuh cokelat. Begitu pula punggungnya. Jimmy memperhatikan anjing yang separuh-separuh ini. Matanya cokelat lembut, seolah-olah berbicara pada Jimmy. "Pilih aku," mata anjing kecil itu seolah berkata. "Pilih aku. Aku anjingmu. Pilih aku, Jimmy!" Anjing yang berkepala wama pasir tampaknya paling cerdik. Ia menggosok-gosokkan badan ke kaki Jimmy seperti seekor kucing. Yang lain menunggu. Mereka seolaholah mengerti bahwa Jimmy akan mengambil salah satu di antara mereka. Si separuh-separuh tiba-tiba menyalak kecil dan menubruk kaki Jimmy. Jimmy langsung mengambilnya. "Ini yang kupilih," katanya. "Tetapi yang itu tampaknya paling cerdik," kata Lal heran, menunjuk yang berkepala wama pasir. "Yang ini tampaknya agak sulit belajar." "Kukira tidak begitu," kata Jimmy memeluk si separuhseparuh itu. "Aku yakin yang ini juga cerdik, Lal. Aku tak tahu bagaimana, tapi aku yakin anjing ini akan bisa belajar banyak sekali." "Ya, kalau begitu baiklah. Berikan padanya anjing yang dipilihnya." Lal berpaling pada Pak Jiggs yang masih
mengunyah-ngunyah jeraminya. "Anak ini tahu banyak tentang binatang, jauh lebih banyak dari kita semua. Berapa harganya?" Jimmy begitu bahagia. Anjing kecil di pelukannya itu juga tampak senang, melingkar di dalam jaket Jimmy dalam perjalanan pulang Diberi nama apa ya enaknya?
Sesampainya di tempat sirkus, Jimmy bertenak memanggil Lotta. Lotta cepat berlari mendekat. Ia tadi tak bisa ikut pergi karena Laddo menyuruhnya mempelajari suatu gerakan baru. Ia ingin sekali melihat anak anjing Jimmy. "Oh, Jimmy, manis sekali!" ia berseru gembira saat anak anjing kecil itu mengintip ke luar dari balik jaket Jimmy. "Oh, kepalanya sungguh lucu. Beruntung sekali kau punya anjing yang separuh-separuh. Akan kauberi nama apa dia?" "Kau saja yang memilihkan nama, Lotta," kata Jimmy. "Aku sama sekali tak bisa memikirkan nama yang baik. Carikan nama yang mudah diucapkan dan enak didengar." "Aku tahu, aku tahu!" teriak Lotta, berlompatan sekeliling Jimmy. "Kita beri nama dia Lucky, yang berarti beruntung\ Aku yakin ia akan memberimu banyak keberuntungan, Jimmy! Dan nama itu juga sangat enak didengar. Dengarkan. LUC-ky! LUC-ky! LUC-ky!" "Ya, itu nama yang bagus," kata Jimmy senang. "Nah, Lucky, kau suka nama barumu, bukan? Kau suka pada majikan barumu, bukan9" Lucky menggerakkan ekornya begitu cepat sehingga seolah-olah akan copot. Kedua anak itu begitu yakin bahwa Lucky menyukai nama baru dan majikan barunya. "Apakah ia akan tinggal bersama anjing-anjing yang
lain?' tanya Lotta. "Tidak," kata Jimmy tegas. "Ia akan jadi anjingku sendiri. Ia akan tidur di dekat kakiku." "Ia pasti akan menggigiti selimutmu hingga koyakkoyak," kata Lotta. "Ibumu pasti marah."
"Tak mungkin," kata Jimmy. "Udara kini panas, aku tak akan memakai selimut jadi ia takkan bisa menggigiti apaapa. Ha ha!" Lotta mencibir dan mencubit Jimmy. Lucky menjilat tangannya. Jimmy menaruh Lucky di rumput. Anjing itu pun berlarian gembira, berputar-putar, melesat ke sana kemari, menciumi apa saja clan berlari kembali ke sepatu Jimmy. Jimmy juga begitu gembira akhirnya memiliki seekor anjing, binatang peliharaan pertama yang betul-betul miliknya sendiri. Ditunjukkannya anjing itu kepada ayahibunya. Ayah-ibu Jimmy juga senang pada Lucky. Mereka juga menyukai binatang, walaupun tidak seperi Jimmy. "Ibu, semua makanan Lucky aku yang membiayai," kata Jimmy. "Aku betul-betul ingin agar dia sepenuhnya menjadi milikku. Akan kuajarkan berbagai kepandaian kepadanya. Kau pasti menyukai itu bukan, Lucky?" Lucky menggoyangkan ekornya dan mencakar-cakar kaki Jimmy. Ia merasa bahwa Jimmy-lah orang yang terbaik di dunia itu. Ia baru berumur dua setengah bulan, tetapi telah bisa menentukan siapa saja yang akan disukainya. Beberapa hari itu
Jimmy sungguh berbahagia mengakrabkan hubungannya dengan Lucky. Segera juga terbukti bahwa pilihannya tepat. Lucky betul-betul cerdas. Ia selalu berusaha keras untuk mengerti apa saja perintah Jimmy. "Lucky memiliki daya ingat yang hebat, Lotta," kata Jimmy suatu sore. "Sekali ia kuajarkan sesuatu, ia tak pernah lupa lagi."
Lucky sendiri juga merasa bahagia. Makanannya selalu cukup, kegiatannya terjaga, dan kebersihannya juga sangat diperhatikan. Ia juga merasa bahwa majikannya sangat mencintainya. Bukan hanya Jimmy, tetapi semua anggota sirkus itu menyukai anak anjing yang selalu cerah ceria itu — bahkan Sammy si simpanse juga sangat menyayangi Lucky! Sammy selalu Ingin bisa bermain-main dengan Lucky. Tiap malam Lucky tidur dengan Jimmy. Memang ia tidak menggigiti selimut Jimmy, karena Jimmy tak berselimut, tetapi hampir semua benda lain jadi korban gigitannya. Sandal Jimmy, alas kaki ibunya, dan kaus kaki ayahnya... semua dibuatnya berlatih menggigit. Tetapi tak ada yang merasa gusar. Kini Lucky telah menjadi anggota keluarga Brown. (Oo-dwkz-syaugy-oO)
17. Lucky Mulai Belajar Lucky cepat sekali tumbuhnya. Ia sangat cerdas,
matanya selalu cerah, dan selalu gembira. Ia selalu mengikuti Jimmy ke mana pun Jimmy pergi. "Lucky, kau harus segera mulai belajar," kata Jimmy membelai kepala yang berbulu lembut itu. "Kau harus menguasai banyak sekali kepandaian, dan menjadi anjing yang terpandai." "Guk! Guk!" Lucky menyalak, pura-pura akan menggigit tangan Jimmy. Kemudian ia melompat mundur, berguling, dan telentang di tanah. Lotta yang datang mendekat tertawa dibuatnya.
"Lucu sekali, Lucky," kata Lotta. "Kapan kau akan mengajarinya, Jimmy?" "Mulai sekarang juga," kata Jimmy. "Aku punya sekantung biskuit. Lihat, Lotta, akan kuajari Lucky meminta-minta." Lotta duduk di tangga karavan Jimmy. Jimmy mendudukkan Lucky di tarvah, punggungnya disandarkannya lurus-lurus merapat pada sebuah sisi peti, kaki depannya terangkat. "Duduk tegak! Duduk tegak!" perintah Jimmy dengan suara lembut dan perlahan. Lucky menggerakkan telinganya. Ia sangat mengenal suara itu, ia tahu apa yang diharapkan Jimmy jika ia bersuara seperti itu. Ia diam tak
begerak seperti saat Jimmy menempatkannya di situ, kakinya terangkat tinggi. "Cantik sekali," puji Jimmy. Diberikannya sebuah biskuit pada Lucky. Dengan gembira Lucky memakan biskuit itu. "Kau mau lagi?" tanya Jimmy. "Guk! Guk! Guk!" kata Lucky, berlarian berputar-putar mengelilingi kantung biskuit Jimmy. "Kau akan memperoleh lagi kalau kau, duduk tegak! Duduk tegak!" kata Jimmy. Dengan lembut ia mendudukkan Lucky seperti tadi, duduk meminta-minta —tapi kali ini di belakang Lucky tidak ada kotak untuk bersandar. Lucky agaknya tidak keberatan. Ia bisa duduk dengan punggung tegak. Seperti yang dikehendaki Jimmy. Ia ingin menggembirakan Jimmy. Dan ia ingin memperoleh biskuit lagi. Karenanya ia duduk dengan tegak, kaki depan terjulur tinggi. "Kini lihat, aku akan mengajar Lucky meminta biskuit," kata Jimmy kepada Lotta.
"Kauingin biskuit, Lucky?" tanya Jimmy dengan suara lembut. Telinga Lucky bergerak-gerak. Kini ia bisa menangkap dan mengingat kata biskuit. "Guk!" ia menyalak gembira. "Kau harus memintanya," kata Jimmy, mengacungkan sekeping biskuit. "Tidak. Duduk dulu dan mintalah!" "Guk! Guk! Guk!" kata Lucky gembira. Jimmy
melemparkan biskuitnya. Lucky dengan tepat menangkap biskuit itu. "Wah, Jimmy. Ia betul-betul pintar," kata Lotta. "Heran juga dia bisa belajar meminta dan mengatakan permintaannya itu dalam satu pelajaran saja." "Ya, ia jauh lebih pandai dari kau," goda Jimmy. "Kau harus belajar tiga kali baru bisa menghapal-kan abjad." Lotta mencibir. "Kalau saja aku diberi biskuit juga, pasti aku bisa belajar lebih cepat, seperti Lucky." "Memang Lucky cepat sekali belajar, tetapi mungkin sekali belajar tidak cukup," kata Jimmy. "Pelajaran ini harus diulang beberapa kali. Hari ini ia akan kuajari lagi memintaminta, dan kukira cukuplah pelajaran untuk hari ini." Maka Lucky pun beberapa kali harus duduk dan meminta biskuit, dan beberapa kali juga ia memperoleh biskuit dari Jimmy. Ekornya yang kecil bergerak begitu cepat. Gampang sekalit memperoleh biskuit, pikir Lucky. "Sekarang jalan-jalan yuk, Lucky," kata Jimmy. "Kita bawa juga anjing-anjing yang lain, Lotta. Lucky bisa dilepas. Ia tak pernah pergi terlalu jauh* dariku." Keduanya pun membawa anjing-anjing berjalan. Mulamula Lotta dan Jimmy membawa anjing-anjing itu berlarilari kecil. Kemudian ketika mereka telah sampai di
perbukitan yang sepi, semua anjing, kecuali dua ekor,
mereka lepaskan dari tambatan. Anjing-anjing itu kini telah begitu patuh kepada Jimmy. Siulan Jimmy yang keras dan panjang akan selalu membuat mereka berlari mendatangi, tak peduli mereka sedang sibuk mengejar kelinci atau pun kegiatan lainnya. Sedangkan Punch, yang pernah diselamatkan nyawanya oleh Jimmy, seperti Lucky, tak pernah jauh dari kaki anak itu. Sementara anjing-anjing itu bermain-main, Jimmy dan Lotta duduk-duduk di bawah semak-semak. Jimmy tak pernah bosan-bosannya mendengarkan berbagai dongeng tentang orang-orang sirkus dari Lotta. Kini Lotta bercerita tentang gajah. "Kau tahu, Jimmy, gajah sangat kuat daya ingatnya daripada semua binatang lain," kata Lotta. "Mereka tak pernah melupakan atau mengampuni kekejaman yang dilakukan pada diri mereka oleh makhluk lain." "Apa? Maksudmu kalau misalnya Jumbo bertemu dengan Harry yang pernah melarikan uang milik sirkus beberapa minggu yang lalu maka Jumbo akan mengenalinya?" "Pasti," kata Lotta. "Sebab Harry sering menyakitinya
dulu. Jika bertemu, pastilah Jumbo akan membalas perbuatan itu." "Dan apakah Jumbo juga teringat akan kebaikan yang dilakukan orang padanya?" "Tentu. Misalkan kau meninggalkan sirkus ini, Jimmy, dan kemudian pergi jauh sekali serta tak bertemu Jumbo lagi sampai kau sudah dewasa. Jika kemudian kau bertemu dengannya, ia pasti akan menyambutmu dengan gembira. Ia takkan pernah melupakan seorang sahabat dan takkan pula pernah lupa pada seorang musuh."
"Aku tak mengerti bagaimana seseorang bisa berbuat jahat pada seekor binatang," kata Jimmy. "Padahal binatang sangat mempercayai kita—dan semua memiliki mata yang indah dan bersahabat." "Ya, benar juga," kata Lotta memperhatikan mata Lucky yang lembut dan cokelat "Mungkin orang yang - membenci binatang tidak pernah memperhatikan mata mereka, Jimmy." Lucky menjilat hidung Lotta. "Kau ini betul-betul seekor penjilat, Lucky." Jimmy tertawa mendengar kata-kata Lotta yang bisa berdua arti itu. "Kau pandai sekali bicara, Lotta," katanya. "Tapi ayolah, sudah waktunya pulang. Lucky, menyalaklah untuk memanggil yang lain." Lucky mengangkat kepalanya dan menyalak keras-keras. Tentu saja salakannya itu tak begitu terdengar karena ia masih begitu kecil. Lotta dan Jimmy tertawa. "Patuh sekali dia, ya?" kata Jimmy, senang. Ia bersiul keras sekali. Dari berbagai penjuru muncul anjing-anjing berlari cepat mendekat. Tak lama kesepuluh ekor anjing terrier itu,
dengan Lucky terus berlarian mengelilingi mereka, sudah berjalan pulang dengan riang. Di perjalanan mereka bertemu dengan seorang wanita yang sedang menuntun seekor anjing terrier yang kegemukan, berbulu kaku-kaku. Wanita tadi memperhatikan anjing-anjing sirkus itu lewat "Kasihan sekali mereka. Anjing-anjing kecil dipaksa untuk bekerja!" kata wanita tersebut. "Kau sungguh beruntung, Tinker, tinggal bersamaku dan tidak menjadi anjing sirkus." Jimmy dan Lotta tak berkata apa pun ketika mereka melewati wanita itu. Tetapi begitu mereka sudah cukup jauh, Lotta meledak marah.
"Beraninya ia bicara begitu!" katanya. "Tak dapatkah ia melihat bahwa anjing-anjing kita begitu terawat? Tak dapatkah ia melihat betapa cemerlangnya anjing-anjing ini?" "Tak mungkin ia bisa melihat itu," kata jimmy. "Anjingnya terlalu banyak diberi makan, agaknya malah sepanjang hari diberi cokelat sehingga gendut dan lamban. Kalau saja ia mengerti, maka yang harus dikasihani adalah anjingnya, bukan anjing kita." Mereka segera sampai ke pemukiman sirkus. Anjinganjing mereka masukkan ke dalam kandang, mereka beri makan biskuit. Lucky mencium bau biskuit dan ingin juga memperolehnya. Ia tahu ia harus menunggu sampai anjinganjing lain selesai diberi makan baru gilirannya tiba. Tetapi ia ingat ajaran Jimmy untuk meminta-minta. Pak Tonks, pengasuh gajah, duduk di dekat tempat itu, sedang makan roti dan keju. Tiba-tiba Lucky berlari ke depannya, duduk tegak di kaki belakangnya dan
mengangkat kedua kaki depan. "Guk!" kata Lucky. "Guk!" Pak Tonks tertawa. "Hei, Jimmy!" teriaknya. "Lihat anak anjingmu ini. Ia meminta-minta makananku!" Lotta dan Jimmy tercengang. Lucky masih juga duduk dan meminta-minta. "Wah, ia betul-betul anjing cerdik," kata Lotta. "Ia mencoba pelajarannya pada Tonky!" Jimmy senang sekali. Ternyata Lucky jauh lebih pandai dari perkiraannya. Betapa senangnya nanti untuk mengajarkan kepandaian lainnya pada Lucky! Lucky harus diajari setiap hari. Ia akan mengajar dengan sangat sabar
dan lembut agar kelak Lucky bisa mempertunjukkan kepandaiannya di depan penonton sirkus. Sejak saat itulah setiap hari dengan rajin Jimmy mengajari Lucky. Anjing kecil itu agaknya gemar belajar. Ia begitu cerdas hingga kadang-kadang ia mengerti apa yang dimaksud Jimmy sebelum diberi contoh. Dalam waktu seminggu ia bisa duduk dengan sangat rapi, tak bergerak sedikit pun, bahkan dengan sekeping biskuit tepat di depan hidungnya. Baru setelah Jimmy berkata, "Nih, hadiahmu," ia mau menyambar biskuit itu. Segala kepandaian yang biasa dimiliki anjing-anjing rumah bisa dikuasai Lucky hanya dalam waktu beberapa hari saja. Jimmy kemudian mengajarkan kepandai-an-kepandaian khusus. Lucky bisa berjalan dengan kedua kaki belakangnya. Ia
bisa membawa bendera. Ia bisa mendorong sebuah kereta bayi kecil buatan ayah Jimmy, khusus dengan dorongan yang memungkinkan dengan mudah Lucky meletakkan kaki depannya. Para anggota sirkus itu tertawa terbahak-bahak melihat Lucky mendorong kereta bayi itu keliling perkemahan. Orang-orang memberi Lucky biskuit. Akhirnya Jimmy terpaksa menyimpan kereta bayi tadi, dan setiap Lucky menginginkan biskuit ia lalu mendorong kereta bayi tersebut berkeliling pemukiman. "Jimmy, suatu hari anak anjingmu itu pasti akan memberi keberuntungan padamu... ya?" kata Pak Galliano tertawa. "Kapan ia bisa bermain di ring?" "Belum waktunya," kata Jimmy. "Akan kuberi pelajaran beberapa buah lagi. Anda pernah melihat Lucky bermain dengan Sammy? Wah, sangat lucu!" Pak Galliano pergi- ke kandang Sammy dengan Jimmy. Jimmy memasukkan Lucky ke dalam kandang Sammy
yang besar itu. Dengan gembira Sammy menyambut Lucky, mengangkatnya dan menggendongnya seolah-olah anjing itu bayinya. Kemudian kedua binatang tersebut main tangkap-tangkapan. Jimmy memberi Sammy sebuah topi kertas. Sammy menangkap Lucky dan memasang topi kertas tadi di kepala anjing itu! "Pandai sekali!" Pak Galliano tertawa terbahak-bahak. "Suatu hari ia harus tampil di ring. Dengan Lal. Ya?" Pak Galliano pergi. Topinya sangat miring. Hari-hari ini topinya begitu selalu, dan tiap malam sirkusnya memperoleh keuntungan banyak. Berbondong-bondong orang datang untuk menonton Sammy dan Pak Wally.
Simpanse yang pandai itu semakin tenar saja. Jimmy memasuki kandang simpanse dan bermain dengannya. Diambilnya Lucky, didekapnya, dan dibisikinya, "Kaudengar kata Pak Galliano tadi? Suatu malam kau akan tampil di ring! Pasti itu sangat membanggakan hatiku, Lucky." Jimmy tidak hanya mengajar Lucky, tetapi ia juga berusaha keras mengajar Sammy satu-satunya kepandaian yang tak bisa diajarkan Pak Wally — menggosok gigi! Bagaimana Jimmy melakukannya? Jimmy tahu bahwa Sammy sangat suka rasa adas. Karenanya ia kemudian menggosok sikat gigi dengan minyak adas. Ketika Sammy mencium bau minyak adas serta merasakannya, ia begitu gembira. Dan ia pun mau menggosok gigi selama mungkin dengan sikat gigi tersebut. Kadang-' kadang terpaksa Jimmy harus menyuruhnya! berhenti menggosok gigi. Pak Wally gembira ketika ia mengetahui Jimmy berhasil mengajar simpansenya menggosok gigi. Untuk ini ia memberi Jimmy uang lima shilling. Jimmy menyimpan
uang tadi di kotak yang dijadikan tempat tabungannya. Kotak tersebut kini* cukup banyak berisi uang. Jimmy tak tahu bahwa tak lama lagi ia akan membelanjakan semua uangnya! (Oo-dwkz-syaugy-oO)
18. Pak Wally Mendapat Kecelakaan Hari-hari berlangsung dengan menggembirakan. Sirkus Pak Galliano terus dibanjiri pengunjung setiap malam. Kuda-kuda tampan Pak Galliano begitu terkenal. Begitu juga monyet-monyet cerdik Lilliput. Semua orang jatuh cinta pada anjing-anjing Lal. Tetapi sesungguhnya yang paling menarik perhatian penonton adalah Sammy, si simpanse. Memang sudah banyak sirkus yang mempertunjukkan simpanse, tetapi Sammy jauh lebih pandai dari semua simpanse yang ada. Pak Wally memperoleh uang banyak sekali. Pak Galliano memberinya upah yang sangat layak. Ia bahkan mampu membeli sebuah mobil kecil baru untuk menarik karavannya. Dibawanya mobil itu ke tempat pemukiman dan dipamerkannya pada semua orang. Para anggota rombongan sirkus mengelilingi mobil tadi, sangat kagum. Hanya Pak Wally satu-satunya yang punya mobil di antara mereka. "Siapa yang mau ikut mencobanya?" tanya Pak Wally. "Mobil ini bisa lari sangat kencang. Salah satu mobil terbaik di zaman ini. Ayolah, siapa mau ikut?" Tetapi agaknya tak ada yang ingin ikut Orang-orang sirkus itu sudah terbiasa untuk bergerak perlahan dengan karavan ditarik kuda mereka. Tak seorang pun suka
bergerak cepat, tidak seperti Pak Wally. Satu per satu mereka bubar meninggalkan mobil itu. Yang tinggal hanyalah Jimmy. "Kau ingin ikut, Jimmy?" tanya Pak Wally. "Kalau boleh, ya, ingin sekali," kata Jimmy. Tapi tepat saat itu didengarnya ayahnya memanggil. "Jimmy, kau harus membantuku pagi ini. Ada pekerjaan yang memerlukan dua pasang tangan," teriak ayah Jimmy. "Oh," kata Jimmy kecewa. "Maaf, Pak Wally." "Tak apa. Lebih baik aku ditemani Sammy saja,"- kata Pak Wally. "Ia selalu senang pergi dengan mobil. Tolong ambilkan dia di kandangnya, Jimmy." Jimmy mengambil Sammy dari kandangnya. Sammy berpakaian seperti biasa, celana merah, jas, dan topi jerami. Simpanse besar itu begitu gembira karena diajak berjalanjalan dengan majikannya. Ia tahu mobil yang akan dinaikinya baru, dan penuh kegirangan ia meraba-raba catnya yang halus berkilauan. Sammy sangat suka warnawarna cerah. Terutama wama merah seperti mobil itu. "Masuklah, Sammy," kata Wally, duduk di belakang kemudi. Sammy melompati pintu dan duduk di samping Pak Wally, di tempat duduk depan. Sesungguhnya ia dapat membuka pintu, tetapi baginya lebih mudah jika melompat saja. "Selamat jalan, Sammy!" seru Jimmy. Sammy melambaikan tangannya. "R-r-r-r-rrrrrr," mesin mobil menderu dan mobil kecil merah itu pun melaju
meninggalkan daerah pemukiman sirkus. Jimmy membantu ayahnya. Sepanjang pagi itu ia bekerja keras sekali. Menjelang makan siang ia mengunjungi
kandang Sammy. Ia heran ketika melihat Sammy belum kembali. "Ke mana Sammy?" ia bertanya pada Pak Tonks yang sedang meminyaki Jumbo agar tampak mengkilap sehat. "Ia belum kembali," kata Pak Tonks. "Galliano juga kuatir. Wally mestinya sudah kembali dua jam yang lalu." Saat Jimmy akan duduk di tangga karavan untuk makan dua buah sosis besar yang dimasakkan ibunya untuknya, ia melihat seorang tukang telegram muncul di pintu pagar. Jantung Jimmy serasa berhenti berdetak. Telegram dari mana? Mungkinkah dari Pak Wally? Apakah ia mendapat kecelakaan? Tukang telegram itu menyampaikan sepucuk telegram pada Pak Galliano. Jimmy berlari mendekat. Dilihatnya Pak Galliano membuka telegram tersebut, membacanya dan dahinya berkerut-kerut dalam. "Tak usah dijawab," katanya pada tukang telegram, kemudian ia berpaling pada Nyonya Galliano. "Dengar," katanya. "Wally mendapat kecelakaan dengan mobil barunya. Kakinya patah dan Sammy hilang! Wah. Apa yang harus kite kerjakan, ya?" Jimmy kecewa ternganga. Pak Wally kakinya patah ... dan Sammy hilang! Pasti simpanse itu sangat ketakutan oleh kecelakaan yang dialamin dan melarikan diri. Kasihan sekali! "Kini orang-orang sekeliling tempat ini pas sangat ketakutan jika hilangnya Sammy in tersebar," gerutu Pak
Galliano. "Wally di ruma' sakit dengan kaki patah, ia pasti takkan bi mencari Sammy. Dan walaupun kita bisa menemu kan Sammy, apa yang akan kita lakukan? Samm
tak bisa melakukan pertunjukan tanpa bimbingan pemiliknya!" Jimmy merasa sesuatu yang basah mengisap tangannya. Ternyata Lucky, menjilati tangan tersebut. Suatu pikiran muncul di benak Jimmy. Dapatkah Lucky mencari Sammy? Anjing kecil itu telah belajar banyak sekali. Jika Jimmy berkata, "Sapu tanganku hilang!, Lucky pasti akan segera berangkat mencari sapu tangan itu sampai dapat. Dan jika ia berkata, "Dompetku hilang," atau, "Aku kehilangan pisauku," maka Lucky akan langsung berusaha mencari benda yang hilang itu, asalkan ia mengerti benda tersebut apa. "Bagaimana kalau kubawa Lucky ke tempat di mana kecelakaan itu terjadi," pikir Jimmy. "Dan bagaimana kalau kukatakan padanya, 'Aku telah kehilangan Sammy!' Apakah ia cukup pandai untuk mencari simpanse itu?" Ia pergi mendekati Pak Galliano. Tetapi Pak Galliano begitu kuatir akan keadaan Pak Wally hingga tak punya waktu untuk berbicara dengan Jimmy. Malah disuruhnya anak itu pergi. "Aku ingin tahu, bolehkah aku pergi untuk ..." Jimmy masih mencoba untuk berbicara. Ini membuat Pak Galliano marah besar. "Kau tak boleh pergi ke manapun!" bentaknya. 'Tidak!
Wally pergi, dan dia tidak kembali. Sammy pasti hilang. Tak ada seorang pun tahu ke mana dia pergi. Tak seorang pun boleh keluar dari pemukiman ini. Semua orang tinggal di tempat masing-masing!" Dengan kecewa Jimmy pergi. Tak ada gunanya mencoba minta izin lagi pada Pak Galliano. Lotta menyusulnya. Jimmy bercerita tentang kecelakaan Pak Wally dan hilangnya Sammy.
"Mungkin kalau kubawa Lucky ke tempat peristiwa, kemudian kukatakan padanya bahwa Sammy hilang, pasti Lucky akan berusaha keras menemukannya kembali," kata Jimmy. "Tetapi Pak Galliano tidak memperkenankan siapa pun meninggalkan pemukiman ini." "Puuuuh! Kita bisa pergi tanpa minta izin dia," kata Lotta. Jimmy menatap gadis cilik yang pakaiannya tak keruan itu. "Aku tak mau membantah perintah Pak Galliano," katanya. "Aku takut." "Kau yang takut padanya, aku tidak," kata Lotta. "Biar aku yang membawa Lucky, dan kita buktikan apakah dia bisa mencari Sammy." "Tak boleh," tukas Jimmy. "Anjing ini sepenuhnya milikku. Tak boleh dipinjam orang. Hanya aku yang boleh mengajaknya pergi." "Kalau kau tak mau ikut, aku akan berangkat juga, dengan membawa Lucky," kata Lotta, matanya bersinar marah! "Kau penakut, Jimmy! Kau tak berani melakukan sesuatu yang kau yakin adalah satu-satunya yang benar hanya karena kau takut melawan perintah Pak Galliano! Aku tak peduli apakah ia akan mencambukku atau
menghukumku. Aku akan mencari Sammy yang malang itu. Coba pikirkan, dia mungkin sedang sembunyi entah di mana, ketakutan setengah mati, dan kemudian ... mungkin seseorang akan menembaknya!" Jimmy jadi ketakutan. "Menembak Sammy?" tanyanya. "Tak mungkin!" "Siapa bilang! Kalau ada orang ketakutan pada Sammy, mengiranya buas, pasti ia akan menembak binatang malang itu!" kilah Lotta. "Di sirkus semua orang berani melihatnya,
karena ada pelatihnya. Tetapi siapa yang berani bertemu seekor simpanse di kebun atau di jalan desa? Hanya orang sirkus atau pegawai kebun binatang yang berani! Lucky! Lucky! Ayo, ikut aku! Selamat tinggal, Jimmy!" "Aku juga ikut!" kata Jimmy. "Aku bukan penakut, Lotta. Aku hanya tidak berpikir sejauh itu. Sekarang aku mengerti, kita harus pergi, walaupun itu berarti menyalahi perintah Pak Galliano. Tetapi kita naik apa? Dan ke mana?" "Aku akan tanya kepada Laddo di mana kecelakaan itu terjadi," kata Lotta. "Jika terlalu jauh, kita bisa naik si Cantik, kudaku. Ia bisa membawa kita berdua dengan mudah." Tak lama Lotta telah mengetahui di mana kecelakaan Pak Wally terjadi. "Tak terlalu jauh," kata Lotta pada Jimmy. "Di persimpangan jalan di Bentonville. Sekitar enam kilometer dari sini. Ambillah si Cantik, akan kujaga agar tak ada orang melihatmu." Semuanya berjalan lancar. Orang-orang sirkus sedang berkumpul di sekeliling karavan Galliano. Pak Galliano menceritakan apa yang terjadi dan apa yang akan mereka lakukan malam itu di pertunjukan untuk mengganti acara
Pak Wally dan Sammy. Bahkan di kandang kuda juga tak ada orang yang melihat Jimmy mengambil si Cantik. Lotta dan Jimmy menyelinap ke luar lewat pintu pagar yang kecil, di ujung tanah lapang. Si Cantik adalah seekor kuda yang gagah, kuat, dan putih bersih. Milik Lotta sendiri. Dengan mudah kuda itu mengangkut kedua anak tadi yang juga mendukung Lucky. Lucky belum pernah naik kuda. Mula-mula gugup juga ia merasakan gerakan lari kuda itu. Namun selama ia merasa tangan Jimmy memeluknya maka ia tak mempedulikan apa pun. Mereka berbelok ke sebuah jalan kecil. Kemudian masuk ke jalan
utama. Di pinggir jalan besar itu terdapat bagian yang berumput. Di situlah si Cantik berpacu dengan riang. Setiap ada petunjuk jalan anak-anak itu berhenti untuk membacanya. Lotta tak bisa membaca, tetapi Jimmy dapat, tentu. "Mungkin kau akan tersesat, Lotta, kalau aku tak ikut," kata Jimmy memukul pelan punggung Lotta. "Kau takkan mungkin bisa membaca petunjuk jalan." "Benar, mulai sekarang aku akan belajar lebih baik," kata Lotta. "Sungguh memalukan kalau aku tersesat." Si Cantik mulai mempercepat larinya. Jimmy sekarang sudah cukup pandai menunggang kuda dan ia bisa merasa nyaman di punggung kuda itu. Lucky merengek sedikit. Agaknya ia masih merasa aneh. Mereka melaju terus. Dan akhirnya sampai juga ke Bentonville. Mereka sampai ke sebuah persimpangan dan mereka tahu itulah tempat yang mereka cari. Di sisi jalan terlihat mobil kecil merah milik Pak Wally. Mobil baru itu tampak penyok sisinya dan kacanya hancur berantakan.
"Kita tak usah bertanya pada siapa pun," bisik Lotta. "Turunlah dan suruh Lucky mencium-cium. Ia pasti tahu ke mana Sammy pergi." Jimmy melompat turun. Lucky menyalak riang. Sungguh senang bisa berjalan dengan keempat kakinya sendiri. Jimmy membiarkan Lucky berlari kesana kemari beberapa saat Kemudian dipanggilnya anjing itu. Dipegangnya kepalanya, dan ia memandang tajam-tajam pada matanya yang begitu cemerlang. "Lucky," katanya dengan suara lembut yang selalu membuat Lucky mendengarkan bersungguh-sungguh. "Aku
kehilangan Sammy. Sammy! Aku kehilangan Sammy. Di mana Sammy? Aku kehilangan Sammy!" Lucky menelengkan kepala dan merengek sejenak. Ia mengerti betul. Sammy hilang dan harus dicari. Lucky bisa menemukan kembali sapu tangan, dompet, atau pisau Jimmy yang hilang dengan mencium-cium tempat di mana benda-benda itu hilang. Dan kini ia harus mencari Sammy. Ia cepat berjalan berkeliling, mencium-cium tanah. Ia lari ke jalan. Tidak ada bau Sammy di sana. Ia lari ke pinggir jalan. Tak ada bau Sammy! Ia lari ke sebuah lubang di pagar hidup dekat mobil Pak Wally. Lubang itu menuju ke padang di balik pagar. Dan ya. Ia menemukan bau Sammy! Ya. Tak salah lagi! Sammy telah melompat dari mobil, melewati pagar jalan dan pergi ke padang! "Lotta, tunggulah di sini. Aku akan mengikuti Lucky!" teriak Jimmy. "Aku yakin ia telah menemukan bau Sammy. Pasti ia mengikuti bau itu sampai menemukan Sammy!" "Ya, aku akan menunggu dengan si Cantik," kata Lotta.
"Aku akan masuk ke padang itu." Jimmy berlari mengejar Lucky. Lucky makin cepat larinya, bau Sammy semakin kuat. Jimmy begitu bangga. Ternyata usulnya benar! Tak mungkin rasanya Pak Galliano marah padanya kalau ia berhasil menemukan Sammy. Dan kini, di mana Sammy? (Oo-dwkz-syaugy-oO)
19. Apa yang Terjadi pada Sammy?
Lucky berhasil menemukan jejak Sammy dengan hidungnya yang tajam. Tetapi Sammy telah lama pergi! Ia telah melompati pagar tumbuhan hidup di tepi jalan itu dan langsung berlari menyeberangi padang. Di seberang padang ia masuk ke sebuah jalan kecil menuju ke bukit. Diikutinya jalan tersebut hingga ia sampai ke balik bukit. Ia betul-betul sangat ketakutan. Sewaktu terjadi kecelakaan, Sammy sedang duduk diamdiam di samping Pak Wally. Di persimpangan jalan itu tibatiba muncul mobil lain dengan kecepatan tinggi. Tabrakan tak terhindarkan. Hebat sekali. Sammy langsung melompat ke luar dan berlari secepat mungkin tanpa menunggu apa yang terjadi pada Pak Wally. Saat ia berlari mendaki bukit ia bertemu dengan dua orang penebang kayu yang baru keluar dari hutan. Mereka tercengang melihat simpanse yang muncul di depan mereka itu "Oooh, apakah itu?" tanya penebang kayu pertama. "Seekor monyet?" sahut yang kedua. "Tidak... mungkin kera besar ... wah, apa yang dilakukannya di sini?"
Sammy juga tertegun. Dalam benaknya muncul pikiran mungkin kedua orang itu bisa menolongnya. Ragu-ragu ia mendekati mereka. Tetapi kedua orang tersebut malah ketakutan, membuang barang bawaan mereka dan lari tunggang langgang. Sammy jadi ketakutan karena jerit-jerit kedua orang itu. Ia tak mengejar mereka tapi segera* menghampiri kantung yang dibuang orang-orancjl tersebut. Sammy mencium bau yang enak—bekali makanan orang-orang tadi! Sammy merobekj kantung bekal hingga terbuka untuk melihat ada apa di dalam kantung itu
Roti lapis berisi daging. Sayur kacang. Apel.' Sammy mengambil semua makanan itu dan berlari( ke pagar jalan. Di antara semak-semak ia duduk meringkuk bersembunyi. Apa saja yang bisa dimakan, dimakannya habis. Apelnya sungguh sedap! Saat ia makan itu muncul seorang wanita berjalan ke arah puncak bukit. Bagi Sammy wanita* itu tampak baik hati. Hampir mirip ibu Lotta yang dikenalnya dengan baik. Ia keluar dari persembunyian dan menghampiri si wanita, mulutnya mencereceh lucu. Maksudnya sih minta tolong. Ial ingin kembali ke Pak Wally. Ia merasa begitui kesepian tak punya kawan seorang pun. Wanita itu menjerit keras-keras dan berlari menuruni bukit dengan kecepatan tinggi. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang pria yang bertanya mengapa ia tampak begitu ketakutan "Ada simpanse!" wanita itu berkata, terengah-engah. "Tak mungkin!" kata orang tadi, menepuk punggung si wanita untuk menenangkannya. "Tak ada simpanse di sini.
Hanya ada kelinci dan rubah.'' "Tidak, itu tadi simpanse!" si wanita menegaskan, tetapi pria itu menggelengkan kepala. Dan tepat pada saat itu Sammy muncul, berlari-lari kecil menuruni bukit. Ia mengira pria itu mungkin sahabatnya. Tapi begitu si pria melihat Sammy, ia juga menjerit takut. "Anda benar! Itu simpanse!" jeritnya. "Cepat. Masuk ke rumah itu!" Keduanya lari masuk ke dalam rumah yang berada di dekat tempat tersebut. Kasihan Sammy. Ia begitu kecewa ketika kedua manusia itu hilang dan menutup pintu rapat-
rapat. Ia tak berteman. Ia ingin sekali kembali ke Pak Wally. Ia memasuki halaman rumah. Mondar-mandir di kebun, mencari-cari kalau-kalau di situ ada yang dikenalnya. Si pria dan wanita, dan dua orang lagi, memperhatikan gerakgerik Sammy dari jendela. "Aku akan menelepon polisi," si pria berkata. "Itu pasti simpanse yang lari dari kurungan. Ia harus ditembak." "Kasihan," kata si wanita. "Mungkin ia anggota sirkus. Kemarin malam aku nonton sirkus, mungkin dia yang main. Orang-orang sirkus mungkin akan segera mencarinya." "Ya, tetapi ia tak boleh berkeliaran seperti ini," kata si pria. "Akan kukatakan pada polisi untuk membawa senjata
dan segera memburunya." Sammy tidak mendengar percakapan ini. Mendengar pun mungkin tak ada artinya, sebab ia pasti tak mengerti. Diciuminya semua pintu, dicobanya membuka pintu-pintu itu, tapi akhirnya ia berpendapat takkan mungkin ia bisa masuk. Ia kembali ke jalan, dan berjalan ke puncak bukit. Lewat puncak bukit ia turun ke sebuah desa. Di situ ia bertemu dengan beberapa anak kecil. Mereka tak tahu Sammy itu apa, karenanya diam saja mereka memperhatikannya. Sammy sangat menyukai anak-anak. Dengan mencereceh ia mendekat dan mengulurkan tangan pada seorang anak lelaki. Anak itu pun menyambut uluran tangan Sammy, menjabatnya. Sammy sangat gembira. Akhirnya ia bertemu dengan seorang kawan! Dibelainya rambut anak itu. Kemudian ia mulai mempertunjukkan kepandaiannya. Ia masih memakai celana dan jasnya, walaupun topinya telah hilang. Ia membuka pakaiannya, berpura-pura mengantuk
dan berbaring di semak-semak. Kemudian ia menguap, menggeliat, dan bangun. Ia berpakaian, dan berpura-pura cuci muka serta menggosok gigi dan menyisir rambut. Anak-anak mengelilinginya, bertepuk tangan riang. Pandai sekali binatang ini! Sammy juga senang. Dipeluknya seorang anak kecil, perempuan, dengan lembut. Dan ia pun
mulai bermain dengan anak-anak itu. Tetapi keadaan seperti itu tidak berlangsung lama. Seorang wanita menjenguk ke luar jendela melihat Sammy bermain-main dengan anak-anak itu. Sesaat ia tertegun ketakutan. Kemudian ia menjerit. "Johnny! Ellen! Cepat masuk!" pekiknya. "Oh, Ibu, kami ingin bermain dengan binatang aneh ini," kata Johnny. "Masuk! Sekarang juga!" teriak ibunya. "Dan suruh yang lain pulang!" Beberapa saat kemudian semua an