Berita Penelitian Revitalisasi Lembaga Adat dalam Menyelesaikan Konflik Etnis Menghadapi Otonomi Daerah: Studi Kasus Pulau Bangka1 Nurhayat Arif Permana (Harian Bangka Pos) Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dampak otonomi daerah terhadap identitas lokal. Sebagaimana terlihat dari kasus Sampit di Kalimantan Tengah, otonomi daerah terkait dengan munculnya identitas putra daerah. Kasus yang dibahas dalam tulisan ini berkaitan dengan pembentukan Provinsi Bangka-Belitung (Babel) yang mengakibatkan munculnya identitas putra daerah di kalangan orang Melayu di Bangka-Belitung. Dalam tulisan ini, saya menganalisis sejauhmana lembaga hukum adat dapat menyajikan solusi untuk mengatasi konflik etnis yang sedang terjadi di Bangka Belitung. Pemerintah daerah di Bangka Belitung telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Pangkalpinang No.12 tahun 2000 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat; dan Surat Keputusan Walikota Pangkalpinang No.140/1999 tentang Pembentukan Komposisi Personalia Pembina Adat Kota Pangkalpinang. Namun, hingga saat ini Walikota Pangkalpinang belum melantik para pengurus/personalia Pembina Adat itu secara resmi. Lembaga hukum adat pun belum berfungsi secara baik. Dalam tulisan ini saya mengulas penyebab mengapa implementasi lembaga adat itu berlangsung demikian bertolak dari studi kasus lembaga hukum adat yang ada di Pangkalpinang. Pangkalpinang ditetapkan sebagai ibukota Provinsi Babel. Sampai saat ini sejumlah pembina adat banyak berdomisili di kota ini. Munculnya gejala konflik umumnya terjadi di Pangkalpinang karena sebagai ibukota provinsi, Pangkalpinang merupakan sentra dari seluruh aktivitas pemerintahan dan kemasyarakatan.
Latar Belakang Pulau Bangka memiliki luas 11.614.125 km2, sedangkan luas Pulau Belitung 4.800 km2. Kedua pulau ini dipisahkan oleh Selat Gaspar (Azzam 2001). Kepulauan Bangka Belitung merupakan 1
Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang disajikan dalam panel tentang ‘Konflik sekitar Proses Devolusi Kekuasaan Ekonomi dan Politik’ pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2: ‘Globalisasi dan Kebudayaan Lokal: Suatu Dialektika Menuju Indonesia Baru’, Universitas Andalas, Padang, 18–21 Juli 2001.
74
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
salah satu provinsi termuda di Indonesia, terbentuk seiring berlakunya paket UU Otonomi daerah.2 Dalam sejarahnya, Bangka Belitung telah tiga kali mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadi provinsi sendiri, terlepas dari Provinsi Sumatera Selatan. Tetapi, permintaan itu baru dikabulkan pada 21 November 2001 dan Bangka Belitung pun menjadi provinsi ke-31. Gugusan ratusan pulau di lepas pantai timur Sumatera Selatan ini memiliki luas daratan lebih dari 18.000 km2 dengan perairan laut 65.301 km2 (79,9 % dari luas total). Jumlah penduduk kurang lebih satu juta jiwa. Beribukota Pangkalpinang, provinsi ini terdiri dari tiga Daerah Tingkati II, yaitu Kotamadya Pangkalpinang beribukota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka beribukota Sungailiat, dan Kabupaten Belitung beribukota Tanjungpandan. Lebih dari 72% penduduk Babel hidup di sektor pertanian, peternakan, perkebunan, dan nelayan; 5,57% di sektor publik (PNS, TNI dan Polri); 3,48 % di sektor perdagangan; dan 3,05% di sektor pertambangan. Sejarah kedua pulau ini tidak jauh berbeda satu sama lain. Pada abad ke-7 Pulau Bangka pernah dihuni orang-orang Hindu. Bangka juga merupakan bagian dari daerah taklukan pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, selain Mataram dan Majapahit. Karena tak ada rempah-rempah, pulau ini juga tak banyak diminati penjajah, sehingga menjadi tempat para lanun (bajak laut). Pada abad ke-17, pertama kali Bangka memiliki Bupati bernama Bupati Nusantara yang dikirim Sultan Banten guna menumpas gerombolan lanun tersebut. Ketika ia wafat, kekuasaan jatuh ketangan putrinya yang dinikahkan dengan Sultan Palembang: Abdurrahman. Pulau Bangka dan sekitarnya pun menjadi bagian dari Kesultanan Palembang. Kandungan timah yang besar pertama kali ditemukan orang-orang Johor dan Siantan pada tahun 1710. Pada akhir tahun 1722, VOC mengadakan perjanjian dengan Sultan Ratu Anom Kamaruddin dari Palembang, dan membeli timah secara monopoli. Kekuasaan Sultan Palembang berakhir ketika Inggris membalas kekalahan VOC, mengganti Sultan Machmud Badaruddin II dengan putranya Sultan Najamuddin, serta memaksanya menyerahkan Bangka Belitung kepada Inggris tahun 1812. Dalam sejarah Belitung disebutkan, yang pertama kali datang ke Pulau Belitung adalah orang Gresik (Jawa Timur) bernama Kiai Ronggo Udo. Pada tahun 1822, ditemukan timah untuk pertama kali (Husnial 1983). Potensi sumberdaya alam termasuk timah dan peluang ekonomi menarik minat para pendatang dari luar ke pulau Bangka dan Belitung.
2
Menurut catatan sejarah, aspirasi tersebut telah muncul sejak tahun 1950 dan telah diperjuangkan hingga ke tingkat DPRGR tahun1956. Usulan ini sempat diproses hingga sampai tahap Rencana Undang-Undang (RUU) pada tahun 1967. Alasan batalnya Babel menjadi provinsi saat itu menjadi prokontra antara Presidium Pembentukan Provinsi Babel dan pemerintah daerah Sumatera Selatan (Sumsel). Menurut presidium, Sumsel tak rela melepaskan Babel menjadi provinsi karena Sumsel masih ingin mengeruk dan mengeksploitasi hasil tambang Babel, khususnya timah. Sumsel melepaskan Bengkulu menjadi provinsi di tahun 1969 karena dinilai hanya menjadi beban pemerintah daerah Sumsel. Tetapi, menurut catatan Tim Peneliti Persiapan Pembentukan Provinsi Babel (TPPPPB), alasan yang menyebabkan Pemda Sumsel tak memberi restu untuk Babel menjadi provinsi adalah banyaknya faktor-faktor yang akan merugikan rakyat Babel sendiri. Pro kontra ini menjadi wacana yang alot. Presidium pembentukan Provinsi Babel yang terdiri atas beragam kelompok masyarakat ini sangat gencar melakukan sosialisasi dan opini publik. Di samping melobi DPR dan Gubernur Sumsel, mereka juga merekrut beberapa putra daerah yang dinilai sukses di perantauan. Sebaliknya, Pemda dan DPRD Sumsel tetap belum bersedia melepaskan Babel menjadi provinsi. Gubernur Sumsel meminta kepada masyarakat Babel untuk berpikir ulang dengan mengajukan dua opsi: provinsi atau otonomi penuh.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
75
Pendatang awal Beberapa sumber mengaku, ketika orang-orang Bangka gagal menyerahkan sejumlah produksi timah ke Palembang, beberapa buruh kemudian didatangkan dari Siam dan Cina. Rekrutmen buruh dari Cina sangat memungkinkan, meskipun bertentangan dengan peraturan imigrasi setempat karena munculnya sukuisme antara Canton-Palembang. Pada tahun 1755, pemerintah Belanda di Palembang melaporkan bahwa buruh tambang di Bangka ‘semuanya orang miskin Cina’. Sebelum itu, buruh-buruh tambang Cina memang telah melakukan penambangan ke berbagai wilayah, seperti penambang emas di Pulau Kalimantan tahun 1740. Perkampungan Cina mulai berdiri sejak abad ke-18. Ketika pengeboran timah dilakukan, banyak pedagang Asia—termasuk Cina—berdatangan. Pada saat itu Bangka masih berada di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang. Kedatangan orang-orang Cina ke Bangka ini bertujuan untuk memanfaatkan kesempatan dalam perekonomian tambang timah. Belanda ikut serta dalam kesempatan tersebut karena secara administratif, tanah tersebut milik mereka. Saat itu, masih terjadi tarik-menarik kekuasaan antara Belanda dan Inggris (1812-1816) (Heidnues 1992:10). Buruh tambang Cina itu dikenal dengan istilah Cina Parit. Walau kehadiran mereka dapat menjadi sumber pertikaian, tetapi tidak banyak terjadi permasalahan di pulau Bangka. Orang Bangka mengatakan, kehadiran Cina Bangka minoritas itu merupakan hal yang biasa. Di abad ke20, sedikit sekali dilaporkan adanya kekerasan antaretnis di Bangka. Orang Cina dan kebudayaannya telah dianggap merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan pulau itu sejak Lim Tau Kian, yang anak-anaknya menikah dengan keluarga Kesultanan Palembang, membantu menemukan tambang timah pertama di Mentok. Tipe ‘wheel barrow’ orang Cina, yakni kebiasaan saling mengunjungi antara orang Bangka dan Cina saat Tahun Baru Cina dan Lebaran, telah merupakan bagian dari kehidupan orang Bangka. Pengaruh Cina juga dijumpai dalam bahasa sehari-sehari (Heidnues 1992:225). Di samping itu, banyak orang Cina yang melakukan perkawinan antaretnis, yakni dengan orang kampung yang berprofesi sebagai pedagang, nelayan atau petani. Kaum ‘Peranakan’ yang lahir dari perkawinan antaretnis ini kemudian bertumbuh kembang. Mereka menggunakan bahasa Hakka yang kuat dipengaruhi oleh bahasa Melayu (Heidnues 1992:145). Setelah kedatangan etnis Cina, beberapa pendatang lain mulai mencari penghidupan di Babel. Karena Babel terdiri atas gugusan pulau-pulau, maka orang-orang Bugis dan Buton pun banyak berdatangan mencari penghidupan di wilayah ini. Hingga saat ini, beberapa daerah di Babel dikenal sebagai daerah tempat tinggal keturunan orang-orang Bugis dan Buton, seperti di Kampung Nelayan II di Sungailiat dan Desa Kuraudi Koba. Mereka bermata pencaharian sebagai nelayan. Akhir-akhir ini, orang-orang Jawa dan Madura pun mulai berdatangan. Jika orangorang Jawa banyak menjadi pedagang dan petani dalam program transmigrasi (seperti di Desa Rias Toboali), orang Madura banyak menjadi pedagang sate. Hingga saat ini tidak ada data konkrit dari BPS dan Bapeda tentang jumlah dan komposisi etnis di Babel. Hal itu disebabkan jumlah pendatang yang datang dan pergi tidak melapor ke pihak pemerintah setempat. Namun dari wawancara saya dengan beberapa tokoh masyarakat di Babel, diperoleh komposisi penduduk sebagai berikut: Melayu (masyarakat yang telah menetap dalam limapuluh tahun terakhir) 60 persen, Cina 30 persen, dan sisanya terdiri dari etnik Jawa, Madura, Bugis, Buton, Palembang, Batak, Aceh, Minang, dan Sunda. Beberapa di antaranya telah melakukan perkawinan campuran dan menetap di Babel.
76
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Pendatang baru menjelang pembentukan Provinsi Babel Sejak Babel dikukuhkan menjadi provinsi, jumlah pendatang semakin bertambah. Hal itu terlihat dari semakin maraknya perdagangan di Babel: pedagang sayur dan buah dari Palembang; pedagang bakso dari Jawa; pedagang sate dari Madura; dan rumah makan Padang. Dengan menjadi provinsi, Bangka yang semula mayoritas penduduknya Melayu dan Cina, semakin banyak didatangi kelompok etnis lain mencari pekerjaan. Bangka, terutama dikenal sebagai daerah yang makmur dengan dua andalan utamanya: timah dan lada. Ketika krisis moneter melanda rakyat Indonesia, Bangka merupakan salah satu daerah yang sama sekali tidak terimbas apa pun oleh krisis tersebut. Pada tahun 1997, harga lada pernah mengalami booming mencapai Rp114.000/kg dari hanya Rp8.000/kg pada tahun 1992. Bangka juga dikenal sebagai daerah yang aman dan memiliki angka kriminalitas rendah. Kekompakan hubungan Melayu-Cina ini telah dibuktikan pada saat pecahnya kerusuhan Mei di Jakarta dan sejumlah tempat lain seperti Medan, Semarang, Surabaya, dan Palembang. Tetapi, penduduk etnis Cina di Bangka benar-benar terlindungi.3 Pejabat Gubernur Babel, A.M., yang memegang jabatan hingga April 2002 melihat kecilnya potensi konflik antaretnis di Babel karena koordinasi di instansi terkait cukup baik. Karena itu, jika ada musuh, mereka dapat secara cepat mengantisipasinya (Bangka Pos 2002b). Dalam sejumlah peristiwa konflik antaretnis, sinyalemen kuat yang sering dilontarkan adalah peranan provokator yang sengaja disiapkan dari pusat untuk menggoyahkan stabilitas politik negara. Hal itu pun tampaknya disadari oleh pemerintah daerah Babel. Sepertiga jumlah penduduk Bangka yang merupakan etnis Tionghoa dapat menjadi salah satu pemantik yang sewaktu-waktu dapat meledak oleh provokasi. Terutama dengan semakin ramainya para pendatang yang bermukim di Bangka, seperti orang Palembang (‘Sumsel daratan’) yang selama ini mendominasi beberapa posisi penting di pemerintahan. Karakter orang-orang Palembang itu dikenal keras dan sering bertikai. (Menurut catatan kepolisian, angka kriminal di Sumatera Selatan termasuk tertinggi di Indonesia, di samping Sumatera Utara dan Jawa Timur). Beberapa sebutan khas ‘Sumsel daratan’ seperti: mati dem asal top (mati biarlah yang penting popular), nido monoh mati jadia (tidak membunuh mati pun jadilah), wong Plembang dak katek mati sakit, matinyo keno tujah galo (orang Palembang tak ada yang mati sakit, matinya kena tusuk semua) sangat dikenal masyarakat Bangka. Karena kondisi inilah maka pemerintah daerah Pangkalpinang (ibukota administratif paling ramai di Bangka yang kemudian dijadikan ibukota Provinsi Babel) bersama-sama komponen masyarakat menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Pangkalpinang No.12 tahun 2000 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat. Perda ini memang belum berjalan efektif karena kondisi konflik yang belum terjadi. Namun demikian, Pemda sangat menyadari rawannya bibit konflik di Bangka. Pada tanggal 4 April 2002, Pemda Pangkalpinang mengumpulkan seluruh paguyuban yang ada di Pangkalpinang. Paguyuban tersebut terdiri atas Paguyuban Bangka, Belitung, Palembang, Jawa, Madura, Sunda, Minang, Batak, Tionghoa, dan Sulawesi Selatan (Bangka Pos 2002d). 3
Pada tahun 1998 itu, masyarakat Bangka sering dikejutkan oleh banyaknya mobil-mobil mewah yang masuk ke Bangka dari Jakarta melalui Pelabuhan Tanjunggudang Belinyu dan Pelabuhan Pangkalbalam, Pangkalpinang. Hal itu menunjukkan banyaknya etnis Cina asal Bangka yang berhasil menjadi pengusaha di tempat lain.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
77
Mereka dikumpulkan di rumah Walikota dalam lomba nyanyi lagu dangdut ‘Tidak Semua Lakilaki’ dalam versi bahasa daerah masing-masing. Panitia cukup selektif. Mereka yang turut serta dalam lomba itu hanya mereka yang mewakili paguyuban masing-masing. Acara ini dihadiri Walikota Pangkalpinang, Kapolwil Babel, Kapolres Bangka, dan para sesepuh adat di Bangka. Acara itu menjadi sebuah pengikat kesadaran bagi semua kelompok etnis di Bangka untuk saling menghargai hak masing-masing.
Pembentukan Provinsi Babel dan munculnya identitas etnis di Babel Babel sendiri memiliki perjalanan panjang melepaskan diri dari Sumatera Selatan. Karena wilayah Sumsel yang tergolong luas (113.339,07 km2), maka timbullah istilah ‘Sumsel Daratan’ seluas 97.005 km2, dan ‘Sumsel Kepulauan’ yaitu Babel seluas 16.334 km2. Jumlah penduduk Babel pada tahun 2000 diperkirakan 977.450 orang dengan kepadatan 60 orang/km2. Dengan wilayah yang terbagi antara ‘daratan’ dan ‘kepulauan’ itu, maka pemerintah daerah Sumsel memiliki dua konsep pembangunan, yaitu konsep pembangunan daerah kontinen/daratan (continental strategy development concept), dan konsep pembangunan daerah maritim/kepulauan (maritim strategy development concept). Konsep pembangunan yang berbeda dan letak wilayah yang tergolong jauh itulah yang mendasari pemikiran awal sejumlah tokoh di Babel untuk memisahkan diri dari Sumsel. Muncul perasaan di kalangan masyarakat bahwa penduduk BangkaBelitung terabaikan oleh pemerintah Sumsel (Sakai akan terbit). Setelah pada tahun 1956 dan 1967 Bangka-Belitung gagal menjadi suatu provinsi, maka pada tanggal 23 Januari 1999 Harian Umum Sriwijaya Pos mempublikasikan kembali gagasan pembentukan provinsi tersebut. Selama enam bulan sejak terbit, Harian Umum Bangka Pos secara kontinyu menyosialisasikan gagasan dan keinginan masyarakat Babel untuk melepaskan diri dari Sumsel. Pada tanggal 18 Juni 1999, di Gedung Hamidah Pangkalpinang, berkumpul sekitar 300 orang yang menamakan diri Komite Perjuangan Provinsi Bangka Belitung (KPPBB). Selama enam bulan kemudian, mereka berhasil memperoleh tiga memorandum dari DPRD Tk. II Pangkalpinang, DPRD Kabupaten Bangka, dan DPRD Kabupaten Belitung. Selanjutnya, pada tanggal 23 Januari 2000 di mess DPR/MPR Cikopo Bogor, KPPBB bersama segenap tokoh Kepulauan Bangka Belitung membentuk presidium Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada tanggal 21 November 2000, DPR RI mengesahkan Undang-Undang pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung No.27 tahun 2000. Setelah Babel resmi menjadi provinsi dan program pembangunan mulai dilaksanakan, beberapa individu yang dulu tergabung dalam presidium pembentukan provinsi mulai mencari identitas etnis. Mereka yang merupakan ‘putra daerah’ dan ‘pejuang’ pembentukan provinsi sajalah yang ‘lebih berhak’ menjabat untuk menjalankan roda pemerintahan. Dalam pemilihan gubernur misalnya, beberapa calon kuat yang didukung oleh parpol maupun ormas, jika tidak termasuk anggota presidium, ‘tidak direstui’ menjadi gubernur. Dari empat calon kuat gubernur Babel, hanya dua orang yang ‘direstui’. Identitas etnis ini berimbas pada anggota dewan dan semua kelompok organisasi pemuda. Keberhasilan melepaskan diri dari Sumsel dianggap sebagai perjuangan yang luar biasa, karena telah lebih dari tiga puluh tahun gagal memperjuangkannya.
78
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Bangka Melayu dan ‘putra daerah’ Tampaknya, pemerintah daerah Babel ingin menggiring dan mengukuhkan masyarakat Babel menjadi masyarakat Melayu. Seiring dengan pembentukan provinsi pada 21 November 2001 lalu, beberapa anggota presidium pembentukan provinsi mulai memperkenalkan ‘telok belanga’ sebagai pakaian khas Bangka. Pakaian ini lazim dipakai di Malaysia dan merupakan pakaian resmi.4 Pada pelantikan Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, anggota DPRD, tokoh masyarakat, alim ulama, serta undangan lainnya mengenakan telok belanga. Ketua DPRD Provinsi Babel memandang pelantikan ini sebagai sebuah momentum untuk menemukan kembali jati diri masyarakat Babel yang merupakan bagian dari rentang tanah Melayu (Bangka Pos 2002f). Pada saat itu pula, beberapa tokoh masyarakat Bangka mendirikan Palbatu (Persaudaraan Lencang Melayu Bersatu) sebagai sebuah lembaga swadaya masyarakat yang menjembatani hubungan bilateral antara Bangka-Malaysia sebagai satu rumpun Melayu. Aktivitas Palbatu dimulai dari aktivitas budaya, yakni melalui kesenian hingga perekonomian. Walikota Pangkalpinang dan Walikota Melaka berkeinginan menjadikan Pangkalpinang dan Melaka sebagai ‘Kota Kembar’ (Twin Cities).5 Sebagai usaha untuk ‘memelayukan’ Babel, pemangku adat Bangka telah memberikan gelar ‘Datuk’ kepada Ketua DPRD, Gubernur, dan Direktur Utama PT Timah. Pemberian gelar ini menimbulkan perdebatan dan polemik di media massa, karena menurut beberapa sesepuh adat di Bangka, tidak ada gelar Datuk dalam sejarah kemelayuan Bangka. (Bangka Pos, hotline tanggal 28 Maret 2002, 30 Maret 2002, 3 April 2002).6 Polemik kemelayuan ini kemudian dikaitkan dengan sejarah dan keberadaan ‘orang Bangka’ sebagai putra daerah Bangka. Banyak kalangan yang memperdebatkan apakah orang Bangka itu termasuk orang Melayu. Orang Bangka dalam pengertian orang asli Bangka adalah beberapa suku bangsa asli (indegenous people) yang pertama kali menempati beberapa wilayah di Bangka. Dalam hal ini suku-suku bangsa asli Bangka adalah orang Mapur dan orang Lum. Hal ini juga yang kemudian diajukan dalam wacana lanjutan. Identitas antara ‘putra daerah’ dan ‘pendatang’ pun menjadi komoditi politik. Semua aktivitas sosial dan politik selalu dikaitkan dengan putra daerah: pejabat pemerintah, anggota dewan, sampai ke masalah kemungkinan dan penyebab konflik etnis di Bangka-Belitung
4
Pakaian ini merupakan pakaian khas Melayu seperti yang sering digunakan pada acara resmi di Malaysia. Perangkat pakaian ini meliputi celana dan kemeja lengan panjang yang tak memiliki kerah, sarung, dan kopiah hitam. Di Indonesia, pakaian ini sering dipakai pada acara keagamaan (Islam). 5
Pada tanggal 17 April 2002 diselenggarakan ‘2nd International Convention and Expotition Twin Cities’ di Melaka, Malaysia. Di kota itu juga dilakukan Festival Gendang Melaka Nusantara V di Melaka, Malaysia, pada tanggal 12–16 April 2002. 6 Gelar ‘Datuk’ diberikan pemangku adat Bangka Romawi Latif kepada Gubernur Babel, yaitu gelar Datuk Raje Mude Angin, Ketua DPRD Babel Emron Pangkapi sebagai Datuk Sungai Menduk, dan Direktur PT Tobroni Alwi. Namun pemangku adat Bangka, Romawi Latif, membantah telah memberikan gelar. Menurutnya, dia hanya diam—tidak mengiyakan dan tidak menolak—ketika seorang tokoh pemuda memberikan penjelasan kepada wartawan. Kata ‘datuk’ menurutnya bukan gelar, tetapi kata sapaan dalam adat istiadat berbahasa Melayu yang sopan dan beradab.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
79
Sumber konfik di Bangka Belitung berasal dari beberapa kelompok etnis yang ada, antara lain Bangka-Palembang, Bangka-Belitung, dan Bangka-Madura. Bangka-Palembang Isu pertama yang terjadi adalah selebaran gelap yang beredar di lingkungan Pemda Bangka pada awal November 2000. Isi selebaran itu adalah menolak kehadiran orang daratan di lingkungan Pemda Bangka. Namun, selebaran yang sempat beredar di mesjid-mesjid dan sejumlah tempat pertemuan itu akhirnya hilang dengan sendirinya. Pada awal Maret 2001, di Pasar Trem Pangkalpinang terjadi keributan antara orang Babel dan orang ‘daratan’ (sebutan bagi orang Palembang). Hari itu juga Muspida setempat turun ke lapangan dan melakukan pemeriksaan. Kejadian itu sempat memanas dan memunculkan banyak isu yang simpang siur. Intinya, orang‘daratan’ dan ‘kepulauan’ (Babel) terlibat konflik etnis. Pada tanggal 7 April 2001, seorang warga ‘daratan’ diduga telah membunuh seorang warga Jl. Kampung Opas Indah Pangkalpinang Babel, sedangkan seorang lain terluka parah. Kejadian yang ditengarai merupakan rentetan kejadian dari Pasar Trem itu juga merebakkan isu bahwa yang terbunuh bukan hanya satu, melainkan tiga orang. Peristiwa ini memicu niat aksi balas dendam antara kedua pihak. Mendengar isu-isu yang menghangat dan ramainya tuntutan masyarakat tentang warga pendatang dan warga asli, pada tanggal 9 April 2001, jajaran Muspida melakukan pertemuan dengan warga setempat. Dalam pertemuan tersebut, warga meminta kepada Muspida agar para pendatang melaporkan diri apabila akan tinggal dalam waktu lebih dari 24 jam. Jika dalam waktu tersebut para pendatang tidak memperoleh pekerjaan, agar dipulangkan dari Babel (Catatan Bangka Pos November 2000-April 2001). Bangka dan Belitung Kepulauan Babel terdiri dari beragan pulau. Dua pulau terbesar adalah Bangka dan Belitung. Sebelum memisahkan diri dari Sumsel, Bangka dan Belitung adalah dua Daerah Tingkat II. Konflik antara dua pulau ini secara politis dimulai ketika Bangka dan Pangkalpinang menyatakan diri akan keluar dari Sumsel, dan membentuk provinsi sendiri. Saat itu, muncul kekhawatiran Belitung akan ditinggalkan dan semua aktivitas akan berpusat di Bangka. Anggota Presidium pembentukan Provinsi Babel dari Belitung memberikan tiga opsi, yakni Gubernur asal dari Belitung, Ibukota Provinsi ada di Belitung, atau Belitung menjadi pusat industri. Dari ketiga opsi tersebut di atas, yang terealisasi adalah jabatan Wakil Gubernur yang diduduki orang Belitung, sedangkan Gubernur asal dari Bangka, dan Ibukota Provinsi adalah Pangkalpinang. Hingga saat ini, belum dapat dipastikan keputusan untuk opsi ketiga, karena untuk Pulau Bangka pun, industri masih merupakan sektor yang sulit dijangkau. Wakil Gubernur Babel asal Belitung yang baru terpilih bulan Maret 2002 tampaknya memang menjadi pertimbangan politis, karena jumlah suara DPRD asal Belitung dipastikan memilih pasangan gubernur dan wakilnya ini. Namun, hal itu ternyata belum dianggap menyelesaikan masalah. Isu kesetaraan Bangka dan Belitung masih menjadi agenda penting bagi Pemda Babel dan seluruh komponen masyarakat. Pada saat pengisian keanggotaan DPRD Babel, Belitung hanya mengantongi suara dari fraksi PBB, PDIP, dan PILAR. Saat pemilihan pimpinan dewan, semua suara didominasi Pangkalpinang, kecuali dari TNI/Polri yang di’drop’ dari pusat. Menteri Kehakiman dan HAM
80
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra—yang merupakan orang asli Manggar Belitung dan juga salah satu tokoh penting terbentuknya Provinsi Babel—sangat mengkhawatirkan kondisi ini. Dalam salah satu wawancaranya dengan harian pagi Bangka Pos, Yusril sempat mengatakan, ‘Bagi saya, jika orang Bangka dan Belitung saja bisa akur, saya sudah senang.’ Kekhawatiran munculnya disintegrasi karena kepentingan politik ini sempat dimunculkan melalui ‘Baiat Tanjung Kelayang’ yang mengancam akan memisahkan diri dari Babel jika tak satu pun orang Belitung memperoleh jabatan di tingkat provinsi. Hal itu dapat menimbulkan kecemburuan, kekecewaan, dan rasa tidak puas. Tuntutan kesetaraan itu bahkan meluas. Beberapa aktivitas yang mengatasnamakan Babel—misalnya mengirimkan perwakilan untuk ajang kompetisi maupun eksibisi—kerapkali dipersoalkan karena dianggap tidak mewakili Belitung. Orang Belitung saat ini beranggapan, Babel hanya diwakili Bangka dan Pangkalpinang saja. Hingga saat ini memang belum pernah terjadi konflik fisik antarkedua daerah. Namun demikian, konflik politik yang terjadi dapat saja memicu terjadinya konflik horizontal. Bangka-Madura Konflik antara kelompok Bangka dan Madura diawali dengan peristiwa di Desa Cit. Warga Desa Cit Kecamatan Belinyu hampir saja melakukan pengrusakan dan pengusiran terhadap warga pendatang lainnya yang bermukim di Desa Cit. Aksi pembakaran yang berkembang menjadi ancaman pengusiran setiap pendatang di Desa Cit itu, merupakan akibat dari adanya tiga warga pendatang (Madura) yang kedapatan sering melakukan pencurian, baik tanaman kebun maupun mesin TI milik warga. Di antaranya aksi pembakaran kebun milik Zul dan dua rekannya yang terjadi tanggal 24 Februari 2002. Karena kesal tidak berhasil meringkus ketiga tersangka itu, akhirnya warga mengancam mengusir seluruh pendatang jika dalam tempo tiga hari ketiga tersangka tidak diserahkan. Warga pendatang sebagian besar dari etnik Madura yang sudah puluhan tahun hidup bertetangga dengan warga Desa Cit akhirnya melaporkan ancaman itu kepada pihak berwajib. Pemerintah Kabupaten Bangka yang tidak menginginkan pertikaian meluas menjadi masalah SARA akhirnya mengutus tim yang dipimpin Asisten Pemerintahan dan Pembangunan Setda Bangka. Selanjutnya kedua belah pihak berjanji tidak bakal melakukan pengrusakan, bahkan pengusiran (Bangka Pos 2002a).
Lembaga adat sebagai respon atas konflik etnis Tujuan lembaga adat Perda No.15/2000 tentang pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat istiadat dan lembaga adat tidak secara khusus melampirkan tujuan lembaga adat. Bab III yang terdiri dari 3 pasal menyebutkan kedudukan, tugas, dan fungsi lembaga adat kelurahan dan kota. Tugas dan fungsi lembaga adat secara umum seperti tertuang pada pasal 10 ialah: · mengusahakan kelestarian, pembinaan, pengembangan, dan pemberdayaan adat istiadat; · pelestarian dan pengembangan adat istiadat, mengusahakan pembinaan, pemberdayaan; · menyelesaikan urusan adat istiadat; dan · membantu pemerintah sepanjang menyangkut adat istiadat.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
81
Seorang pemerhati masalah sosial kemasyarakatan Bangka menyebutkan tujuan dibentuknya lembaga hukum adat sebagai institusi yang berwenang untuk mengatur semua urusan kemasyarakatan, di antaranya ialah memberikan gelar adat kepada seseorang, dan kelengkapan berdirinya sebuah provinsi. Dengan berdirinya hukum adat, masyarakat tidak sebasing nek (semaunya sendiri) melakukan tindakan yang berhubungan dengan kemasyarakatan (Bangka Pos 2002e). Keanggotaan lembaga adat Anggota Lembaga Adat Kelurahan dan Lembaga Adat Kota terdiri atas unsur-unsur pemuka adat, pemuka agama, cendekiawan, dan pemuka masyarakat lainnya dari kelurahan dan kota (pasal 7 Perda No.12/2000). Dari pasal ini dapat dilihat bahwa proses legislasi sebetulnya begitu kuat. Orang-orang yang ditunjuk untuk duduk dalam keanggotaan Lembaga Adat ini— sebagaimana tertuang dalam SK Walikota Pangkalpinang No 140/1999 tentang struktur komposisi personalia Pembina Adat—hampir menyentuh seluruh tataran masyarakat di Pangkalpinang. Nama-nama pembina adat yang dipilih itu mewakili semua elemen masyarakat di Pangkalpinang: pendidik, politikus, birokrat, profesional, organisasi kepemudaan, dan organisasi wanita. Anggota lembaga adat tersebut tidak semua asli orang Bangka, tetapi tidak juga disebutkan secara khusus perwakilan daerah atau golongan etnis tertentu para anggota lembaga adat tersebut. Dalam komposisi ini, struktur tertinggi (Ketua) masih dipegang oleh para pejabat pemerintah seperti Walikota dan Sekda. Ketika SK ini diterbitkan, Walikota Pangkalpinang itu adalah orang asli Bangka, berisiterikan orang Lahat (Sumsel). Sekda Pangkalpinang adalah orang Sumsel yang beristerikan orang Bangka. Keduanya menjalani karir birokrasi di Bangka. Jumlah anggota Lembaga Adat Kelurahan berdasarkan Perda No.12/2000 sekurang-kurangnya sembilan dan sebanyakbanyaknya sebelas orang (pasal 8 ayat 1), sedangkan Lembaga Adat Kota sebanyak-banyaknya 52 orang. Dalam SK-No.140/1999, jumlah pembina adat adalah 34 orang, termasuk para pejabat pemerintah. Aktivitas lembaga adat Hingga saat ini, dua Surat Keputusan seperti diungkapkan di atas belum berjalan. Bahkan, nama-nama anggota Lembaga Adat yang ditunjuk Walikota Pangkalpinang berdasarkan SK No.140/1999 belum juga dilantik. Inilah yang membuat keberadaan dan aktivitas lembaga adat di Bangka—khususnya Pangkalpinang—menjadi mandek. Menurut catatan Bangka Pos, aktivitas lembaga adat Bangka pernah dilakukan di Desa Pelangas Kecamatan Simpangteritip. Pada tanggal 29 Juni 2001 dibentuk kerapatan adat. Saat itu yang terpilih sebagai pemangku adat adalah AlUstadz Rusdy (Bangka Pos 2001). Walau demikian, hampir semua jajaran Muspida (Musyawarah Pimpinan Daerah) selalu mengingatkan masyarakat di daerah untuk selalu menjaga keutuhan daerah dan menghindari konflik etnis melalui adat. Namun, menurut catatan salah seorang pembina adat Bangka, dalam perjalanan hukum adat di Bangka, hanya satu kali konflik desa diselesaikan secara adat. Pada tahun 1946 di Toboali, seorang Depati Rawi mengadili pertengkaran suami isteri. Pertengkaran itu disudahi dengan damai setelah dinasihati oleh depati tersebut, tanpa pergi ke pengadilan agama (Bangka Pos 2002c).
82
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
Karena aktivitas terhambat pada urusan birokratis itulah, maka perlu dilakukan revitalisasi agar keberadaan dan aktivitas lembaga adat dapat berfungsi dan berjalan.
Dapatkah lembaga adat berfungsi sebagai solusi konflik etnis? Konflik yang terjadi di Babel sampai saat ini masih merupakan konflik yang bersifat kriminal biasa. Pemerintah setempat—termasuk kepolisian—dan anggota masyarakat menyadari sekali bahaya konflik SARA seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Namun demikian, Babel merupakan sebuah daerah alternatif bagi para pendatang untuk mempertaruhkan hidup dan masa depan. Jumlah penduduk di Babel relatif masih sedikit, namun Babel memiliki sumberdaya alam yang besar dan kaya. Persaingan yang masih belum begitu ketat merupakan jaminan bagi para pendatang untuk mencari hidup baru di Babel. Secara sosial, kewenangan daerah yang semakin besar tanpa dibarengi pemahaman yang benar tentang otonomi daerah, dapat memunculkan sikap primordialisme dan fanatisme kedaerahan. Sikap ‘siapa kamu, siapa aku’ dalam memandang kewenangan menjadi bibit konflik yang membahayakan. Sebagai sebuah provinsi baru, Bangka dianggap merupakan daerah menjanjikan bagi para pendatang yang mengalami kekalahan dalam persaingan di kota asalnya. Para pendatang pun berbondong-bondong mencari pekerjaan di daerah baru yang akan berkembang. Sementara itu, tingkat pengangguran di Bangka tergolong tinggi. Menurut catatan, baru 73% dari 499.599 orang angkatan kerja di Babel tahun 1999 yang memperoleh pekerjaan. Jumlah penduduk miskin juga masih besar. Kategori prasejahtera dan keluarga sejahtera I mencapai 29,53% yang terutama terkonsentrasi di Kabupaten Bangka (Azzam 2001). Persaingan dalam memperebutkan lahan pekerjaan pun menjadi tendensial. Untuk melangsungkan persaingan secara terbuka, sumberdaya manusia di Babel sangat terbatas. Karena itu, yang muncul adalah isu ‘putra daerah’. Sejak pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Babel, isu ‘putra daerah’ ini terus ditiupkan. Pelantikan gubernur dari Bangka dan wakil gubernur dari Belitung pada bulan April 2002 melegakan semua masyarakat. Gubernur, H.R. yang lahir di Sungailiat dan besar di Pangkalpinang, serta Wakil Gubernur, S.S. yang lahir di Belitung telah memenuhi kriteria kesetaraan dalam opsi yang ditawarkan Belitung. H.R, adalah tokoh pendidikan dan politikus ulung dari Partai Golkar, sementara S.S. adalah tokoh LSM, pejuang Mantan Karyawan Timah (MKT) yang sederhana dan berasal dari Partai Pilar. Seperti digambarkan di atas, kondisi itu menyebabkan beberapa jajaran muspida melakukan antisipasi, karena menyadari bahwa Babel akan banyak dimasuki para pendatang. Saat itu, tak kurang dari 15 suku bangsa berdomisili di Babel. Banyak di antara mereka berprofesi sebagai pegawai dan pedagang. Pada pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Babel, Menteri Dalam Negeri juga mengingatkan agar masyarakat jangan terpancing dalam perdebatan soal putra daerah. Hal itu menunjukkan, perdebatan soal putra daerah (khususnya dalam perekrutan CPNS) telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Dalam kondisi demikian, sangat diperlukan revitalisasi lembaga adat di Babel. Dengan terbentuk dan dihidupkannya lembaga adat, para pembina adat dapat menjelaskan kepada masyarakat perihal tidak adanya istilah ‘putra daerah’ dan ‘pendatang’ di Babel. Orang-orang yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk perkembangan Babel layak disebut putra daerah. Konflik antaretnis yang terjadi juga dapat diantisipasi lebih dini melalui penyebarluasan
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
83
pengertian tentang pentingnya wawasan kebangsaan. Namun, pandangan ini tampaknya berbeda dari pandangan masyarakat dan pemerintah daerah Babel yang menganggap persoalan etnisitas adalah persoalan kriminal biasa. Dari wawancara yang saya lakukan, saya menyimak adanya sejumlah penyebab dari tidak berjalannya lembaga adat di Bangka, khususnya dalam menyelesaikan pertikaian antaretnis sebagai berikut: • pemerintah daerah dan masyarakat belum memberikan perhatian yang penuh terhadap keberadaan lembaga adat. Hal itu terlihat dari penundaan pelantikan Surat Keputusan Walikota Pangkalpinang No.140/1999;dan tidak adanya pertanyaan dan gugatan dari beberapa anggota pembina adat kota terhadap SK tersebut; • kekeliruan dalam mempersepsikan keberadaan lembaga dan hukum adat. Adat tidak dilihat sebagai bagian dari hukum yang mengikat, atau akibat dari hubungan hukum antara masyarakat dengan masyarakat dan masyarakat dengan negara. Adat hanya dianggap sebagai bagian dari ritualisasi seni budaya dan pariwisata daerah seperti yang ditampilkan di Taman Mini Indonesia Indah dan museum provinsi. ‘Pembina adat’ baru diperlukan jika pemerintah daerah menyelenggarakan seni budaya untuk kepentingan pariwisata; dan • pemerintah daerah dan masyarakat beranggapan bahwa perselisihan antaretnis semata-mata persoalan hukum, bukan persoalan sosial dan politik. Karena itu, semua persoalan dilimpahkan ke aparat hukum. Padahal, banyak pasal dalam hukum positif yang tidak menjangkau dan menyelesaikan akar persoalan dalam masyarakat. Persoalan-persoalan kecil yang menyangkut hubungan kemasyarakatan—terutama jika yang berselisih berbeda etnis—seharusnya dapat diselesaikan melalui pendekatan secara kekeluargaan. Bertolak dari pandangan di atas, pemerintah daerah dan masyarakat seyogianya segera menyadari dan menyosialisasikan keberadaan lembaga adat melalui revitalisasi yang komprehensif, menyeluruh, dan memiliki kedekatan dengan masyarakat, pemerintah daerah, dan pembina adat itu sendiri untuk bersinergi. Revitalisasi itu dapat dimulai dengan: • menelaah kembali hukum-hukum adat yang pernah ada dan berlaku di Bangka. Di Bangka pernah diberlakukan hukum adat yang disebut Sindang Mardika; • melakukan analisis terhadap contoh-contoh kasus yang pernah ada yang diselesaikan melalui lembaga adat; dan • mengumpulkan, membicarakan, dan mengajak pihak-pihak yang berkepentingan untuk bersinergi (sebagai mitra) dalam menyertakan komponen masyarakat lembaga adat sebagai solusi alternatif dalam penyelesaian konflik etnis di Bangka. Pemikiran dan gagasan ini sebenarnya sedang dikembangkan oleh beberapa tokoh dan pembina adat di Bangka, terutama dengan kecenderungan adanya pencarian identitas etnis di Bangka. Seorang pemangku adat Bangka keturunan etnis Tionghoa, A.T, juga mengingatkan agar lembaga adat dihidupkan kembali di Bangka. A.T. khawatir bahwa dengan menjadi provinsi, persoalan di Bangka akan semakin kompleks. Jika lembaga adat tidak dihidupkan, maka adat budaya Bangka yang terkenal luwes dan orang-orang Bangka yang mudah bergaul akan terkontaminasi oleh adat dan budaya para pendatang. Sebagai antisipasi awal, beberapa pemangku adat mengharapkan agar para pendatang dapat membaur dengan adat istiadat dan tata cara hidup orang Bangka. Jika itu dilakukan, maka konflik etnis tak akan terjadi di Bangka, dan fungsi
84
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
lembaga adat dapat dipertajam untuk menjaga dan memelihara adat istiadat di Bangka agar tidak punah.
Kepustakaan Abdullah, H.H. 1983 Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Bangka Belitung. PT Karya Unipress. Azzam, T. 2001 Propinsi Sejahtera Kepulauan Bangka Belitung. Bangka Pos 2001 Bupati Bentuk Kerapatan Adat, 2 Juli 2002a 29 Februari. Tanpa Judul. 2002b Masih Perlukan Lembaga Hukum Adat, 10 Maret. 2002c Interupsi, 21 Maret. 2002d Ketika Dangdut Menjadi Simbol Pemersatu, 7 April. 2002e Interupsi, 10 April. 2002f Pelantikan Pakai Adat Melayu, 13 April. Biro Pusat Statistik 2000a Pangkalpinang dalam Angka. 2000b Bangka dalam Angka. 2000c Belitung dalam Angka. Heidnues, M.F.S. 1992 Bangka Tin and Mentok Pepper, Chinese Settlement on Indonesian Island. Social Issues in Southeast Asia, Asian Studies. Sakai, M. Akan terbit ‘Resisting the Mainland: The Formation of Bangka-Belitung Province’, dalam D. Kingsbury and H. Aveling (peny.)Autonomy and Disintegration in Indonesia, Routledge Curzon London. Peraturan Daerah (Perda) Kota Pangkalpinang 2000 Peraturan Daerah (Perda) Kota Pangkalpinang No.12 tahun 2000 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat.
ANTROPOLOGI INDONESIA 68, 2002
85