http: triatmokonature.wordpress.com 2010
Beberapa Aspek Bio-ekologi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) TRI ATMOKO 1, 2 * 1. Balai Penelitian Kehutanan Samboja, Kementerian Kehutanan 2. Program Mayor Primatologi, Institut Pertanian Bogor
Correspondence: * Tri Atmoko Balai Penelitian Kehutanan Samboja, Jl. Soekarno-Hatta Km 38 Samboja 76112 Balikpapan, Kalimantan Timur Telp. +62 542 7217663 Fax. +62 542 7217665 HP. +62 81347387302 e-mail.
[email protected] http: triatmokonature.wordpress.com
Ringkasan Tri Atmoko, 2010. Beberapa Aspek Bio-ekologi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb). Bekantan adalah salah satu satwa primate dilindungi endemic Borneo. Dalam upaya konservasi, baik in-situ maupun ex-situ berbagai informasi mengenai biologi dan ekologinya sangat penting untuk diketahui. Bekantan terutama yang jantan dicirikan dengan hidungnya yang besar dan khas. Penyebarannya terbatas pada daerah pasang surut, sehingga ancamannya cenderung tinggi, terutama konversi hábitat menjadi areal tambak. Upaya konservasi yang dapat dilakukan dengan konservasi in-situ dan exsitu. Kata kunci: deskripsi, sebaran, ekologi, ancaman, konservasi
Pendahuluan Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia. Kondisi geografi Indonesia memungkinkan tingginya tingkat keanekaragaman spesies fauna di negara ini. Dengan bentangan dari Sabang sampai Merauke, Indonesia memiliki tiga kawasan fauna yang masing-masing mengandung kekhasannya. Region Oriental di sebelah barat, Region Australian di timur dan Kawasan Wallacea di antaranya telah membentuk keanekaragaman fauna yang tinggi tarafnya dan unik susunannya (Acevedo et al. 2005). Dalam hal kekayaan jenis hewan, Indonesia merupakan salah satu pusat kekayaannya. Sebanyak 350.000 jenis binatang diperkirakan hidup secara alami di Indonesia. Luas daratan Indonesia yang hanya 1,32% luas seluruh daratan di bumi, ternyata menjadi habitat 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan amfibia, 17% burung, 25% ikan, dan 15% serangga yang ada di dunia. Dari 515 jenis mamalia besar dunia, 36% endemik di Indonesia, dari 78 jenis burung paruh bengkok, 40% endemik, 121 jenis kupu-kupu dunia, 44% endemik dan dari 33 jenis primata, 18% endemik di Indonesia (Mc Neely et al., 1990). Dari 233 jenis primata yang ada di dunia (Goodman et al., 1998) 77 jenis ada di Asia (Brandon-Jones et al., 2004) dan 40 jenis diantaranya ada di Indonesia, dari jumlah tersebut 30% diantaranya adalah endemik (Mc Neely et al., 1990). Salah satu sawa primata endemik Borneo adalah bekantan (Nasalis larvatus Wurmb). Jenis ini sering dikenal dengan sebutan kera belanda, bekara atau warek belanda. Saat ini bekantan mengalami penurunan populasi yang drastis, akibat terus menurunnya kualitas dan kuantitas habitatnya. McNeely (1990) melaporkan luas habitat bekantan diperkirakan 29.500 km2, dari luas tersebut, 40 persen diantaranya sudah berubah fungsi dan hanya 4,1 persen saja yang berada di kawasan konservasi. Padahal bekantan termasuk jenis yang sangat sensitive terhadap kerusakan habitat (Bismark, 1995). Dengan adanya ancaman terhadap kelangsungan hidup bekantan di masa mendatang, maka perlu dilakukan pengambilan langkah-langkah strategis dalam upaya perlindungan dan pelestariannya. Untuk itu diperlukan bebagai informasi dasar tentang
1 Beberapa aspek bio-ekologi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) (Atmoko, 2010)
http: triatmokonature.wordpress.com 2010
beberapa aspek bio-ekologi bekantan sebagai dasar pengambilan kebijakan dan strategi perlindungannya Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mengetahui beberapa aspek biologi dan ekologi dari kehidupan bekantan, sehingga dapat menjadi dasar informasi dalam upaya perlindungan dan pemanfaatannya secara lestari. Ruang lingkup pembahasan meliputi deskripsi bekantan secara taksonomi, morfologi dan biologi; penyebaran; ekologi: habitat, home range dan pakan ; ancaman dan upaya-upaya konservasi.
Deskripsi A. Taksonomi Secara taksonomi bekantan termasuk dalam (Gron, 2009): Suborder : Haplorrhini Infraorder : Simiiformes Superfamily : Cercopithecoidea Family : Cercopithecidae Subfamily : Colobinae Genus : Nasalis Species : N. larvatus Wurb. Nama lain : warek belanda, bekantan, bangkatan, monyet belanda (Indonesia), Proboscis monkey (Inggris) B. Morfologi Bekantan adalah subfamily Colobinae yang paling besar ukurannya, jenis ini termasuk “sexual demorphisme” yaitu memeiliki perbedaan dimensi antara jantan den betina. Panjang badan-kepala bekantan jantan adalah 73-76 cm (rata-rata 75,5 cm), betina 61-64 cm (rata-rata 62 cm); berat jantan sekitar 20 kg sedangkan betina adalah setengahnya (Napier & Napier 1985). Selain itu satwa ini mempunyai morfologi yang khas yaitu pada jantan dewasa memiliki hidung yang besar, menonjol agak menggantung, memiliki selaput pada jari kaki dan jari tangannya (Soerianegara et al., 1994).
Gambar 1. Bekantan jantan dewasa di Sungai Kuala Samboja (Foto: Tri A.) Warna bulu bekantan dewasa berwarna jingga terang, coklat kekuningan. Pada saat bayi wajahnya berwarna biru kemudian berubah menjadi abu-abu pada umur 2,5 bulan dan kemudian berwarna seperti bekantan dewasa. Ciri yang mudah dikenali dari jantan dewasa adalah hidungnya yang besar panjang menggantung (sekitar 10 cm), kelaminnya berwarna merah, sedangkan betina hidungnya lebih lancip (Gron, 2009).
2 Beberapa aspek bio-ekologi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) (Atmoko, 2010)
http: triatmokonature.wordpress.com 2010
C. Biologi Seperti jenis Colobinae lainnya, sistem pencernaan bekantan menyerupai sistem pencernaan pada hewan berlambung ganda (ruminatia) (Soerianegara et al., 1994). Sistem pencernaannya sudah beradaptasi dengan sumber pakan yang berasal dari daun-daunan (folivorous). Dalam hal reproduksi, kematangan seksual pada bekantan betina adalah 5 tahun, dengan lama masa kehamilan selama 166 hari, setiap kali kelahiran jumlah anaknya adalah sebanyak 1 ekor dengan berat sekitar 450 g, dengan interval antar kehamilan selama 1,48 tahun dan rata-rata kelahiran 0,68/tahun (Primata Info Net, 2010).
Penyebaran Bekantan hanya ditemukan di Pulau Borneo, yang masuk dalam tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunai Darusalam. Penyebaran di Kalimantan (Indonesia) meliputi Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Meijeard & Nijman (2000) melaporkan sebanyak 153 titik penyebaran bekantan di Pulau Kalimantan (Gambar 2)
Gambar 2. Sebanyak 153 titik penyebaran bekantan di Pulau Kalimantan (Meijaard & Nijman, 2000) Penyebaran bekantan di Kalimantan Timur meliputi daerah Tanjung Redeb, Taman Nasional Kutai, Sungai Kayan, Sungai Sepaku, Teluk Balikpapan, Tenggarong, SangaSanga, Sungai Mariam, Delta Mahakam, dan Sungai Kuala Samboja (Bismark, 1995; Atmoko et al., 2007). Soedjoto (2003) dalam Bismark (2009) melaporkan terdapat 18 titik penyebaran bekantan, yang semuanya berada di luar kawasan konservasi di Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.
Ekologi A. Habitat Habitat bekantan terbatas pada tipe hutan rawa gambut, bakau dan sangat tergantung pada sungai, walaupun sebagian ada yang hidup di hutan Dipterocarpaceae, hutan kerangas (Saltar et al., 1985 dalam Bismark, 1995) dan hutan karet yang di dalamnya terdapat baruh, yaitu hamparan lahan yang permukaannya cekung atau lebih rendah dari permukaannya lahan di sekitarnya (Soenjoto et al., 2005). 3 Beberapa aspek bio-ekologi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) (Atmoko, 2010)
http: triatmokonature.wordpress.com 2010
Gambar 3. Kondisi habitat bekantan di Sungai Kuala Samboja, Kalimantan Timur B. Sumber pakan Bekantan termasuk jenis folivorous (sekitar 52% dari semua makan) dan pemakan buah (sekitar 40% dari semua makan), dan lebih memilih daun muda dan buah yang belum masak. Pakan bulanan dapat berubah berdasarkan ketersediaan sumber pakannya sepanjang tahun (Yeager 1989 dalam Meijaard et al., 2008). Atmoko et al. (2007) melaporkan jenis pakan utama bekantan di Delta Mahakam adalah Sonneratia caseolaris disamping jenis Syzygium sp., Uncaria sp., Premna corymbosa, Vitex pinnata, Heritiera littoralis, Derris spp. (2 jenis), Barringtonia sp. dan Caesalpinia sp. Sedangkan jenis lainnya pada lokasi yang sama menurut Alikodra & Mustari (1994) adalah Nothophoebe umbellifora, Ficus sp., Eugenia reinwardtiana, Hibiscus tiliaceus, Eugenia zollingeriana, Sapium indicum (=Excoecaria indica), Ilex cymosa dan Gluta renghas. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Saidah et al. (2002) di kawasan mangrove Bagian Selatan Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan dimana bekantan sama sekali tidak memanfaatkan S. caseolaris baik sebagai sumber pakan maupun aktifitas lainnya. Pada penelitian tersebut sumber pakan bekantan terdiri dari Rhizophora mucronata dan Bruguiera parvifolia (sebagai pakan utama), Ceriops decandra, Ficus retusa dan Acrosthicum aureum. Sedangkan bekantan di Taman Nasional Kutai memakan jenis Rhizophora apiculata (daun, bunga, kulit batang), Avicennia officinalis (daun, buah), Bruguiera gymnorrhiza dan B. parviflora (daun) (Soerianegara et al., 1994). Berdasarkan pengalaman penulis pada tahun 2010 bekantan di Sekitar Teluk Balikpapan juga menggunakan jenis Rhizophora apiculata sebagai pakannya (Gambar 4)
Gambar 4. Bekas gigitan bekantan pada pucuk daun muda Rhizophora apiculata di Teluk Balikpapan 4 Beberapa aspek bio-ekologi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) (Atmoko, 2010)
http: triatmokonature.wordpress.com 2010
C. Air Ketersediaan sumber air tawar sangat penting dalam menunjang kehidupan bekantan di habitatnya. Kebutuhan air bagi bekantan diantaranya untuk keperluan minum dan berenang. Sungai termasuk komponen ekologis yang mempengaruhi pemilihan habitat oleh bekantan di hutan bakau. Sungai yang panjang, lebar dan dalam memungkinkan terbentuknya hutan bakau tipe ”riverine”, pada habitat ini pohon bakau relatif tinggi dan besar serta tersedia sumber air tawar bagi bekantan (Mitsch & Gosselink, 1984 dalam Bismark, 1995). Sedangkan pada sungai-sungai kecil, pendek dan dekat dengan laut sangat dipengaruhi oleh air laut. Kondisi ini kurang mendukung terhadap aktifitas bekantan, terutama untuk minum (Atmoko et al., 2007). D. Predator Penurunan populasi bekantan juga dipengaruhi oleh keberadaan predator. Jenis predator bagi bekantan diantaranya adalah biawak (Varanus salvator), macan dahan (Neofelis nebulosa), ular sanca (Python reticulata), buaya (Crocodylus siamensis), ular kobra (Ophiophagus hannah) (Bismark, 2004) dan macan dahan (Neofelis diardi) (Matsuda & Higashi. 2008).
(a) (b) Gambar 5 (a) Varanus salvator salah satu predator bekantan dan (b) penggunaan pohon tidur yang tinggi oleh bekantan di delta Mahakam untuk menghindari serangan predator Dalam upaya menghindri predator, pada umumnya bekantan menggunakan pohon yang tinggi, lurus, tidak banyak cabang, tajuk tidak bertautan dengan pohon lain dan tidak banyak tumbuhan merambatnya sebagai tempat tidur (Gadas, 1982).
Ancaman A. Konversi habitat Ancaman terbesar terhadap kehidupan bekantan adalah menurunnya luas dan kualitas habitatnya. Perubahan tersebut terutama diakibatkan oleh penebangan kawasan hutan untuk dikonversi menjadi lahan pertanian, perkebunan kelapa sawit, pertambangan, pemukiman penduduk, pertambakan (ikan dan udang), industri, pembakaran hutan dan penebangan pohon. Pembukaan lahan tersebut mengakibatkan fragmentasi habitat dan mengisolasi antar kelompok bekantan. Menurut Bismark (2004) luas habitat bekantan diperkirakan 29.500 km2, 40 persen sudah berubah fungsi dan kurang dari 10 % saja habitat yang berada di kawasan
5 Beberapa aspek bio-ekologi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) (Atmoko, 2010)
http: triatmokonature.wordpress.com 2010
konservasi. Sedangkan di Delta Mahakam pada tahun 2001 diperkirakan 80.000 ha hutan mangrovenya telah berubah menjadi areal pertambakan, sedangkan sisanya menjadi areal eksploitasi migas dan daerah bervegetasi termasuk habitat bekantan di dalamnya.
Gambar 6 (a) Perubahan habitat bekantan menjadi tambak udang dan (b) gangguan dari aktifitas perusahaan tambang batubara B. Pencemaran Sungai-sungai besar di Pulau Kalimantan merupakan jalur transportasi yang sangat penting. Kapal-kapal angkutan dan termasuk juga kapal-kapal tongkang yang memuat berton-ton batubara menggunakan sungai-sungai besar di Kalimantan. Bismark (1997) menyatakan bahwa tingginya arus lalu lintas motor dan kapal air dapat menyebabkan meningkatnya konsentrasi logam berat baik pada tanah maupun pada akar Sonneratia caseolaris. Padahal kandungan logam berat yang tinggi dapat menyebabkan kematian S. caseolaris, selain karena tumpukan sampah, tumbuhan air yang padat dan A.aureum yang menutupi akar napas S. caseolaris.
Konservasi A. Status Konservasi Satwa ini merupakan salah satu primata endemik Kalimantan yang dilindungi di Indonesia berdasarkan UU Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 5 tahun 1990 serta Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 301/Kpts-II/1991. Secara internasional bekantan termasuk dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) Appendix I, yaitu satwa yang secara internasional tidak boleh diperdagangkan (Gron, 2009). Spesies ini terdaftar sebagai satwa terancam punah karena telah mengalami penurunan populasi di seluruh lokasi sebarannya, perburuan yang berkelanjutan dan perusakan habitat terus menerus. Angka penurunannya sebesar lebih dari 50% (tapi kurang dari 80%) selama 3 generasi terakhir (sekitar 36-40 tahun), sehingga sejak tahun 2000 statusnya dalam daftar Red Book of Endengered Species IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Nature Resources) meningkat dari vulnerable menjadi endengered, yaitu jenis yang terancam punah (Meijaard et al., 2008). Selain itu sejak tahun 1990 bekantan dijadikan maskot fauna Provinsi Kalimantan Selatan. B. Konservasi Insitu Secara insitu, upaya yang harus dilakukan dalam melestarikan bekantan adalah dengan melindungi habitat bekantan dengan menetapkan beberapa kawasan konservasi yang didalamnya terdapat populasi bekantan. Beberapa kawasan konservasi tersebut diantaranya Taman Nasional (TN) Kutai, TN Sebangau, TN Gunung Palung, TN. Danau sentarum, TN Tanjung Puting, Cagal Alam (CA) Kendawangan, CA. Pulau Kaget, CA Sambas Paloh, CA. Muara Kaman, CA. Mandor, Hutan Lindung (HL) Lesan, HL. Sungai Wain (Indonesia); TN. Bako, HL. Gunung Pueh, HL. Kabili-Sepilok, TN. Klias, Suaka
6 Beberapa aspek bio-ekologi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) (Atmoko, 2010)
http: triatmokonature.wordpress.com 2010
Margasatwa Kulamba, Sanctuary Satwaliar Lower Kinabatangan, Sanctuary Satwaliar Sungei Samunsam, HL. Ulu Segama (Malaysia) (Meijaard et al., 2008). Selain di dalam kawasan konservasi, di luar kawasan konservasi juga harus dijaga dan dilakukan pembinaan habitat. Bismark et al. (2000) menyatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan pengelolaan habitat bekantan adalah: status hutan, tipe hutan, keragaman jenis kawasan hutan, pola kegiatan pemanfaatan lahan oleh masyarakat di sekitar kawasan dan luas areal yang akan di bina. Kepastian hukum terhadap pemanfaatan kawasan adalah masalah yang timbul pada habitat bekantan yang berada di luar kawasan konservasi. Sehingga perlu penertiban pemanfaatan kawasan secara tegas. Pembinaan habitat bekantan yang sudah rusak dapat dilakukan dengan menanam jenis-jenis tumbuhan sumber pakan atau jenis pohon tempat beraktifitas bekantan. Penanaman lebih diarahkan ke pengayaan jenis yang asli tumbuh di areal tersebut serta meminimalkan penanaman jenis baru.
Gambar 7. Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) di Kota Tarakan Kegiatan konservasi insitu bekantan yang sekaligus digunakan sebagai areal wisata terdapat di Kota Tarakan, yaitu dalam bentuk Kawasan Konservasi Mangrove dan Bekanta (KKMB) (Gambar 7). KKMB terletak di pusat kota Tarakan dengan luas areal mangrove sekitar 21 ha, pada lokasi tersebut relative aman dari gangguan dari luar karena sudah dilakukan pemagaran tembok di sekelilingnya. Pada awalnya bekantan yang ada di areal tersebut hanya sedikit, namun sejalan dengan perjalanan waktu, sekarang sudah berkembang menjadi 45 ekor. Bekantan yang dijadikan sebagai obyek daya tarik wisata selain mangrove ternyata mampu memberikan pemasukan bagi pemerinyah daerah Tarakan. C. Konservasi Eksitu Kegiatan konservasi eksitu terhadap bekantan dapat dilakukan dengan penangkaran, kebun binatang dan taman safari. Walaupun sangat sulit menangani penangkaran bekantan, namun hal itu mungkin untuk dilakukan, hal itu terbukti dengan berhasilnya beberapa kebun binatang memeliharanya (Agoramoorthy et al., 2004). Selama bertahun-tahun, kebun binatang mengalami kesulitan dalam memelihara/menangkarkan bekantan. Pada tahun 1975, kebun binatang di Basel, Berlin, Cologne, Colorado Springs, Dallas, Frankfurt, Milwaukee, San Diego, dan Stuttgart melaporkan mengoleksi bekantan berkisar antara satu sampai enam ekor, namun tidak satupun yang bertahan sampai saat ini. Pada tahun 1997, Kebun Binatang Twycross memelihara empat ekor, namun namun juga gagal memeliharanya. Kebun Binatang Bronx
7 Beberapa aspek bio-ekologi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) (Atmoko, 2010)
http: triatmokonature.wordpress.com 2010
memiliki delapan orang pada tahun 1975, namun hanya bertahan dua ekor. Kurangnya informasi tentang kehidupan alaminya dan asupan gizi mungkin menjadi penyebab kegagalan penangkaran bekantan (Anonymous, 1999 dalam Agoramoorthy et al., 2004). Pada tahun 1998, Departemen Kehutanan menunjuk Kebun Binatang Surabaya untuk merawat 61 ekor bekantan dari Pulau Kaget, Kalimantan selatan. Namun karena stres selama transportasi, dehidrasi, dan penyakit seperti pneumonia dan enteritis, 37 dari 61 monyet meninggal. Tercacat terdapat dua lokasi penangkaran bekantan di luar Indonesia yaitu di Kebun Binatang Bronx dan Kebun Binatang Singapore (Agoramoorthy et al., 2004). Saat ini, kondisi bekantan di Taman Safari Indonesia-Cisarua terdapat satu jantan dewasa, dua betina dewasa, dua anak-anak betina dan sat anak-anak jantan (Yasaningthias, 2010). D. Penyadaran Masyarakat Penyuluhan terhadap masyarakat penting dilakukan, karena aktifitas sehari-hari masyarakat di sekitar kawasan tidak dapat dipisahkan dengan habitat dan kehidupan bekantan. Penyuluhan diarahkan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pemanfaatan lahan dengan tetap memperhatikan kelestarian habitat bekantan.
Kesimpulan Bekantan sebagai satwa yang langka memiliki karakteristi yang unik. Namun dengan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas habitat berpengaruh besar terhadap kehidupan dan reproduksi bekantan. Kepastian hukum terhadap pemanfaatan kawasan adalah masalah yang timbul pada habitat bekantan yang berada di luar kawasan konservasi. Sehingga perlu penertiban pemanfaatan kawasan secara tegas. Penyuluhan terhadap masyarakat perlu dilakukan, karena aktifitas sehari-hari masyarakat di sekitar kawasan tidak dapat dipisahkan dengan habitat dan kehidupan bekantan. Penyuluhan diarahkan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pemanfaatan lahan dengan tetap memperhatikan kelestarian habitat bekantan.
Daftar Pustaka Acevedo, P., M. Delibes-Mateos & M. Escudero. 2005. Environmental constraints in the colonization sequence of roe deer (Capreolus capreolus Linnaeus, 1758) across the Iberian Mountains, Spain. Journal of Biogeography 32 : 1671-1680 Agoramoorthy, G., C. Alagappasamy & M.J. Hsu. 2004. Can Proboscis Monkeys Be Successfully Maintained in Captivity? A Case of Swings and Roundabouts. Technical Report. Zoo Biology 23:533–544 Alikodra, H.S. & A.H. Mustari. 1994. Study on ecology and conservation of proboscis monkey (Nasalis larvatus Wurmb.) at Mahakam River Delta, East Kalimantan: Behaviour and habitat function. Annual Report of Pusrehut Atmoko, T., A. Ma’ruf, I. Syahbani & M.T. Rengku. 2007. Kondisi Habitat dan Penyebaran Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur. Prosiding Seminar Pemanfaatan HHBK dan Konservasi Biodiversitas menuju Hutan Lestari Bismark, M. 1995. Analisis Populasi Bekantan (Nasalis larvatus). Rimba Indonesia, vol. XXX No. 3 September 1995 Bismark, M. 1997. Pengelolaan habitat dan populasi bekantan (Nasalis larvatus) di Cagar Alam Pulau Kaget, Kalimantan Selatan. Prosiding Diskusi Hasil-hasil Penelitian Penerapan Hasil Litbang Konservasi Sumberdaya Alam untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, Bogor
8 Beberapa aspek bio-ekologi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) (Atmoko, 2010)
http: triatmokonature.wordpress.com 2010
Bismark, M., 2004. Daya dukung habitat dan adaptasi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. 1(3):309-320 Bismark, M. 2009. Biologi konservasi bekantan (Nasalis larvatus). Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Badan Litbang Kehutanan Bismark, M., S. Iskandar & R. Sawitri. 2000. Pedoman Teknis Pengelolaan Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.) di Kalimantan. Info Hutan. No. 121: 16-17 Brandon-Jones, D., A. A. Eudey, T. Geissmann, C. P. Groves, D. J. Melnick, J. C. Morales, M. Shekelle & C.B. Stewart. 2004. Asian Primate Classification. Zoo Biology 23:533–544 Gadas, S.R. 1982. Mengamati kehidupan bekantan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian RI. 4(2): 3 Goodman, M., CA. Porter, J. Czelusniak, SL. Page, H. Schneider, J. Shoshani, G. Gunnell & CP. Groves. 1998. Toward a phylogenetic classification of primates based on DNA evidence complemented by fossil evidence. Molecular phylogenetics and evolution. 9 (3) : 585-598 Gron KJ. 2009 February 25. Primate Factsheets: Proboscis monkey (Nasalis larvatus) Conservation.
. Accessed 2010 October 9 Primata Info Net. 2010. Primate Info Net Sexually antagonistic selection on primate size. . Downloaded on 16 October 2010 Meijaard, E. & V. Nijman. 2000. Distribution and conservation of the proboscis monkey (Nasalis larvatus) in Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation 92 : 15-24 Napier, J.R. & P.H. Napier. 1985. The natural history of the primate. The MIT Press, Cambridge Massachusetts Saidah, S., M. Djoko & S. Achmad. 2002. Studi vegetasi habitat alternatif bekantan (Nasalis larvatus) di Brito Kuala, Kalimantan Selatan. Agrosains. 15(1):18-29 Soerianegara, I., D. Sastradipradja, H.S. Alikodra & M. Bismark. 1994. Studi habitat sumber pakan dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus) sebagai parameter ekologi dalam mengkaji sistem pengelolaan habitat hutan mangrove di Taman Nasional Kutai. PPLH. Institut Pertanian Bogor. Bogor Soenjoto, M.A., H.S. Alikodra, M. Bismark, H. Setijanto. 2005. Vegetasi tepi-baruh pada habitat bekantan (Nasalis larvatus) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan. Biodiversitas. 6(1):40-44 Yasaningthias, G. 2010. Aktifitas makan, kualitas dan kuantitas pakan pada bekantan (Nasalis larvatus) yang diberi berbagai jenis pakan di Taman Safari Indonesia. Skripsi. Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Institut Pertanian Bogor. Tidak di publikasikan
9 Beberapa aspek bio-ekologi bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) (Atmoko, 2010)