SP-15-9 Fauzan et al. Struktur Populasi Bekantan di Area Gunung Batu Sawar
Struktur Populasi Bekantan (Nasalis larvatus) di area Gunung Batu Sawar Kecamatan Hulu Sungai Tengah The Structure of Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) Population in the Area of BatuSawar Mountain Hulu Sungai Tengah District Nahri Fauzan1*, Kaspul1, Akhmad Naparin2 1 Master
Program of Biology Education, Postgraduate Program LambungMangkurat University Jl. Brigjend. H. HasanBasry Banjarmasin 70123, Indonesia 2 Study Program of Biology Education FKIP LambungMangkurat University Jl. Brigjend. H. HasanBasry Banjarmasin 70123, Indonesia *Email:
[email protected]
Abstract:
Proboscis monkey (Nasalislarvatus) is a species of primates endemic in Borneo. According to South Borneo Governor's Decree No. 29 Year 1990 dated January 16 at1990, proboscis monkey is set to be a mascot fauna of South Borneo Province. The habitat of proboscis monkeys are usually found along the rivers and swamp areas in Borneo. Research of proboscis monkeys who live in mountainous areas are still very rarely done so little known by the public. Therefore , to determine the condition of proboscis monkeys in a habitat of them to do research on the structure of the population. The purpose of this study was to calculate the number , density and age structure of the population pyramid illustrates the proboscis monkey (Nasalislarvatus). The method used is descriptive method by calculating the concentration technique (concentration count). The study was conducted on a population proboscis monkey (Nasalislarvatus) in the area of BatuSawar Mount in Hulu Sungai Tengah District. Data analysis was performed by direct calculation during primate visible. The largest number of individuals encountered on a whole series of observations is assumed as the number of individuals that represent a group, whereas the smallest number of individuals encountered is assumed that the other individual is not visible at the time of observation.The observation of the proboscis monkeys (Nasalislarvatus) found in the area of research were adult proboscis monkey amounted to 17 with a density of 0,028 ind / ha, totaling 23 juveniles proboscis monkey with a density of 0.038 ind / ha, and child proboscis monkey amounted to 13 with a density of 0,022 ind / ha. The population structure of proboscis monkey (Nasalislarvatus) in the area of BatuSawarmountain in Hulu Sungai Tengah district if depicted using the age pyramid, the pyramid form a jug or bowl.
Keywords:
Proboscis Monkey, population structure, Batu Sawar Mountain
1.
PENDAHULUAN
Pengelompokan ordo primata, dikenal istilah monyet dunia lama (old world monkey) dan monyet dunia baru (new world monkey). Penyebutan kedua kelompok primata tersebut mengacu pada lokasi penyebarannya secara umum. Kelompok monyet dunia lama menyebar di Asia dan Afrika, sedangkan kelompok monyet dunia baru di Amerika. Bekantan adalah bagian dari monyet dunia lama dari family Cercopitecinae dan subfamily Colobinae. Genus bekantan adalah Nasalis yang berasa dari kata “Nasu” yang dalam bahasa latin berarti hidung. Genus Nasalis hanya terdiri dari satu jenis yaitu Nasalis larvatus (Atmoko, 2012). Bekantan (Nasalis larvatus) adalah salah satu satwa primata endemik Borneo. Bekantan dilindungi baik secara nasional maupun internasional. Secara nasional dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah
nomor 7 tahun 1999 (Pemerintah RI 1999a), sedangkan secara internasional bekantan termasuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) (Gron 2009) dan sejak tahun 2000 masuk dalam kategori endengered species berdasarkan Red Book IUCN (International Union for Conservation of Natureand Natural Resources) (Meijaard dkk. 2008). Selain itu, bekantan juga merupakan Maskot Propinsi Kalimantan Selatan (SK Gubernur Kalsel No. 29 Tahun 1990 tanggal 16 Januari 1990). Habitat dan populasi bekantan banyak mengalami kerusakan dan penurunan. Kerusakan habitat lebih cepat terjadi pada habitat bekantan yang berada di tepi sungai. Hal itu dikarenakan kawasan hutan di tepi sungai mudah dijangkau dan dialih fungsikan menjadi areal permukiman, tambak, maupun areal pertanian. Luas kawasan yang menjadi habitat bekantan pada awalnya diperkirakan 29.500 km2, namun 40% diantaranya
Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi FKIP UNS 2015
721
Fauzan et al. Struktur Populasi Bekantan di Area Gunung Batu Sawar
sudah berubah fungsi dan hanya 4.1% saja yang berada di kawasan konservasi (McNeely dkk. 1990). Penyempitan dan penurunan kualitas habitat tersebut diikuti oleh penurunan populasi bekantan. Tahun 1987 populasi bekantan diperkirakan 260.950 ekor dan sekitar 25.625 ekor diantaranya berada di kawasan konservasi (MacKinnon, 1987). Tahun 1995 populasi bekantan menurun menjadi sekitar 114.000 ekor dan hanya sekitar 7.500 ekor yang berada di dalam kawasan konservasi (Bismark, 1995), sehingga dalam kurun waktu sekitar 10 tahun terjadi penurunan populasi sebesar 50%. Laporan terakhir menurut Meijaard, dkk. (2008) dan Gron (2009) menyatakan bahwa penurunan populasi bekantan berkisar antara 50-80% selama kurun waktu 36-40 tahun terakhir. Habitat bekantan biasanya ditemukan di sepanjang tepian sungai dan daerah rawa di Kalimantan. Penelitian pada umumnya dilakukan pada habitat rawa, estuaria dan sungai. Penelitian bekantan yang hidup di daerah pegunungan masih sangat jarang dilakukan. Sehingga bekantan yang hidup di daerah pegunungan ini masih sangat jarang diketahui oleh masyarakat luas. Karakteristik dari Gunung Batu Sawar yaitu karakteristik hutan yang memiliki keanekaragaman flora yang menjadi sumber makanan bagi bekantan tersebut. Karakteristik gunung ini adalah gunung batu kapur (marmer). Adanya aktifitas manusia yang membuka lahan untuk pertambangan batu marmer dan perkebunan cukup mengganggu habitat satwa ini. Banyak tidaknya populasi suatu spesies yang mendiami suatu habitat tergantung atas lingkungan tempat tinggalnya. Menurut Fachrul (2007) adanya suatu hubungan yang erat antara satwa dan lingkungannya. Dalam ekosistem alam, satwa liar memiliki peranan yang sangat banyak, salah satunya adalah untuk melestarikan hutan. Berdasarkan latar belakang di atas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Struktur Populasi Bekantan (Nasalis larvatus) di Kawasan Gunung Batu Sawar Desa Tandilang Kecamatan Batang Alai Timur Kabupaten Hulu Sungai Tengah”.
2.
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian deskriptif dengan metode observasi, yaitu terjun langsung ke lapangan dalam pengamatan. metode yang digunakan untuk mengetahui populasi primata adalah dengan Consentration Count. Metode perhitungan konsentrasi (concentration count) yaitu berdasarkan anggapan bahwa pada saat tertentu terutama pada waktu makan, primata akan berkumpul pada lokasi tertentu. Pendugaan populasi dilakukan dengan perhitungan langsung pada saat ada perjumpaan dengan primata. Jumlah individu terbesar yang ditemui dari seluruh rangkaian pengamatan diasumsikan sebagai jumlah individu yang mewakili 1 kelompok. Apabila jumlah 722
individu terkecil yang ditemui diasumsikan bahwa individu yang lain tidak terlihat pada saat pengamatan. Kelemahan dari metode ini antara lain tidak semua individu dari jenis tertentu berkumpul pada suatu tempat yang sama dalam waktu yang relatif bersamaan.
3.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan di lapangan terhadap Bekantan (Nasalis larvatus) di kawasan Gunung Batu Sawar Desa Tandilang Kecamatan Batang Alai Timur Kabupaten Hulu Sungai Tengah dengan luas area pengamatan 2000 m x 3000 m (600 Ha) diketahui jumlah berdasarkan waktu pengamatannya seperti yang tercantum pada Gambar 1.
60 50 40 30 20 10 0 A
B
C
Keterangan : A : Pukul 06.00 – 07.00 B : Pukul 07.00 – 08.00 C : Pukul 08.00 – 09.00 D : Pukul 09.00 – 10.00
D
E
F
G
E : Pukul 10.00 – 11.00 F : Pukul 15.00 – 16.00 G : Pukul 16.00 – 17.00
Gambar 1. Jumlah Populasi Bekantan (Nasalis larvatus)
Menurut Fachrul (2007) jumlah individu terbesar yang ditemui dari seluruh rangkaian pengamatan diasumsikan sebagai jumlah individu yang mewakili 1 kelompok, sedangkan apabila jumlah individu terkecil yang ditemui diasumsikan bahwa individu yang lain tidak terlihat pada saat pengamatan. Sehingga data yang digunakan hanya data pada pukul 06.00-07.00 pagi. Jumlahdankerapatanbekantan (Nasalislarvatus) tiap kelas umur juga dapat dilihat pada gambar2 dan 3 dengan acuan data yang digunakan hanya pada pukul 06.00-07.00.(Gambar 2).
30 dewasa
20
muda
10
anakan 0 struktur umur
Gambar 2. Jumlah Individu Bekantan (Nasalis larvatus)
Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya
Fauzan et al. Struktur Populasi Bekantan di Area Gunung Batu Sawar
4.
PEMBAHASAN
0,04 0,03 dewasa muda anakan
0,02 0,01 0 struktur umur
Gambar 3. Kerapatan Kelas Umur Bekantan Pada gambar2 dan 3 nampak bahwa kelas umur dewasa berjumlah 17 ekor dan memliki angka kerapatan yaitu 0,028 ind/ha, kelas umur muda menduduki angka tertinggi yaitu 23 ekor dengan jumlah kerapatan 0,038 ind/ha, sedangkan kelas umur anak memiliki angka terendah yaitu dengan jumlah 13 individu dan kerapatan yaitu 0,022 ind/ha. Pengamatan bekantan (Nasalis larvatus) dilakukan atas tiga kelompok umur yaitu kelompok umur dewasa, muda dan anak.Menurut Van Lavieren, 1983 yang dimaksud dengan dewasa adalah individu yang sudah mencapai usia reproduksi optimum dan mempunyai ukuran tubuh yang paling besar. Muda adalah individu yang sudah mencapai kematangan seksual dan sudah mulai lepas dari induk serta mempunyai ukuran tubuh yang sedang. Anak adalah individu yang masing bergantung pada induk, baik siang maupun malam hari dan ukuran tubuh paling kecil. Berdasarkan data pada Gambar 3, kerapatan bekantan di Gunung Batu Sawar sangat rendah. Hal ini dikarenakan sangat sedikitnya populasi bekantan yang ditemukan. Bekantan terlihat pada pagi dan sore hari, hal ini dikarenakan bekantan memiliki aktivitas yang tinggi pada pagi dan sore hari, sedangkan pada siang hari bekantan biasanya beristirahat di bawah pohon, sehingga tidak terlihat saat pengamatan Hasil pengamatan menunjukk anbahwa jika dibuat dalam piramida umur maka akan terlihat gambaran yang jelas seperti Gambar 4. Dewasa 17 1 7 23
Muda Anakan
2 3 13
Gambar 4. Piramida Umur Populasi Bekantan (Nasalis larvatus)
Berdasarkan pengamatan di lapangan, bekantan paling banyak ditemukan pada titik pengamatan 1, hal ini diduga karena selain titik pengamatan 1 berada di dekat anak sungai nateh, tumbuhan dan pepohonan yang menjadi makanan bekantan juga sangat banyak, seperti pohon beringin, karet dan kayu kacang. Begitu pula pada titik pengamatan 3, juga terdapat cukup banyak sumber makanan yang tersedia. Pada titik pengamatan 2 dan 5, hanya sedikit bekantan yang terlihat, diduga karena hanya beberapa pohon karet dan pohon kayu kacang yang jumlahnya sedikit, sehingga sumber makanan juga kurang mencukupi. Pada titik pengamatan 4 juga banyak ditemui bekantan, hal ini didukung karena adanya sumber makanan yang melimpah sehingga banyak bekantan yang berkumpul pada titik pengamatan ini, namun karena titik ini berada di bagian lereng gunung, sehingga cukup jauh dengan sumber air yang terdapat di anak sungai nateh, bekantan yang ditemukan tidak sebanyak pada titik pengamatan 1, walaupun secara keseluruhan memiliki jumlah terbanyak Manurung (1995) menyatakan bahwa kerapatan (kepadatan) atau ukuran populasi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas), emigrasi, imigrasi dan migrasi. Subahar (1995) menambahkan bahwa kerapatan (kepadatan) atau ukuran populasi juga dipengaruhi oleh kondisi habitat. Kondisi habitat merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan populasi dalam penelitian ini. Kerapatan populasi yang rendah kemungkinan diakibatkan oleh faktor pengendali populasi seperti perburuan liar, tingkat persaingan tinggi, produktivitas rendah dan ketersediaan makanan. Bila daya dukung habitat tidak dapat mengimbangi pertumbuhan populasi yang cepat, populasi bekantan dikawasan ini akan menurun secara drastis. Kondisi ini akan berpotensi membuat populasi bekantan tersebut terancam punah. Faktor emigrasi, migrasi dan imigrasi tidak terlalu berpengaruh terhadap kerapatan jenis bekantan yang ditemukan di kawasan penelitian. Diduga nilai kerapatan yang rendah ini tidak dipengaruhi oleh adanya aktivitas perpindahan masuk dan keluar ke dalam suatu area populasi. Migrasi dapat terjadi apabila ada gangguan dan persaingan antar bekantan ataupun gangguan dari fauna lain. Perubahan atau gangguan terhadap habitat menyebabkan adanya pergerakan satwa untuk menghindar (Fachrul, 2012). Faktor natalitas juga diduga tidak terlalu berpengaruh terhadap kerapatan bekantan dikawasan penelitian. Kelompok umur anak yang lebih sedikit bukan berarti bahwa tingkat kelahiran bekantan mengalami banyak gangguan. Akan tetapi hal ini disebabkan oleh perburuan liar, dimana perburuan tersebut cenderung menangkap umur bekantan yang masih anak. Hal ini berdasarkan keterangan dari warga setempat didaerah penelitian bahwa bekantan anak lebih
Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi FKIP UNS 2015
723
Fauzan et al. Struktur Populasi Bekantan di Area Gunung Batu Sawar
mudah ditangkap dibandingkan dengan bekantan dewasa ataupun muda. Faktor lain yang diduga berpengaruh terhadap kerapatan bekantan adalah mortalitas. Dalam hasil penelitian ini faktor mortalitas mempengaruhi kehidupan bekantan, diduga seringkali adanya perburuan liar yang dilakukan dengan cara menembak mati induk bekantan untuk mengambil anaknya. Menurut keterangan warga setempat, perburuan bekantan di kawasan ini memang dilakukan oleh warga sekitar namun bekantan yang diburu bukan untuk dikonsumsi melainkan untuk diperjual belikan dan dijadikan hewan peliharaan Struktur populasi bekantan membentuk piramida bentuk pasu atau kendi, dimana secara teori menurut Odum (1998) bentuk pasu atau kendi menunjukkan bahwa jumlah kelompok umur muda lebih kecil dibandingkan dengan kelompok tua. Populasi tersebut adalah populasi yang senecens (tua). Dengan demikian, keberadaan bekantan ini pada masa mendatang akan mengalami kelangkaan, karena kelompok umur dewasa tidak dapat mempertahankan keberadaan populasinya, selain itu adanya gangguan terhadap mereka yang dapat menyebabkan populasi ini menurun, misalnya seperti rusaknya habitat dan perburuan liar terhadap bekantan tersebut. Struktur umur populasi bekantan yang diteliti menunjukkan struktur umur yang menurun, yaitu keadaan dimana jumlah bekantan anak lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah umur dewasa dan muda. Alikodra (1990) berpendapat jika individu berumur muda terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah individu yang berumur lebih tua, akan menunjukkan adanya suatu kondisi reproduksi yang rendah. Keadaan reproduksi yang rendah seperti ini banyak ditentukan oleh kualitas habitat, terutama jumlah pakan dan keadaan gizi makanannya. Menurut Tarumingkeng (1994) struktur umur yang seperti ini menunjukkan struktur umur yang menurun. Diduga struktur populasi ini akan terus menurun apabila kondisi lingkungan tidak berubah kearah yang lebih mendukung pertumbuhan populasi. Kondisi struktur umur ini merupakan kondisi yang kurang ideal, yang menunjukkan populasi cukup peka terhadap gangguan, misalnya timbulnya gangguan dari mesin mesin penambang batu kapur yang tidak jauh dari habitat mereka. Hal ini dapat menimbulkan gangguan pada saat akan bereproduksi untuk menghasilkan keturunan serta peningkatan kematian pada umur anak (khususnya bayi) karena mengalami stress. Kelahiran prematur serta suhu cuaca yang kurang baik juga menjadi faktor kematian pada bayi. Menurut Indrawan dkk (2012) kepunahan spesies juga dapat terjadi tanpa bencana besar. Satu spesies dapat mengalahkan spesies lain, atau mendorongnya ke arah kepunahan melalui predasi atau pemangsaan. Spesies yang sukses berevolusi menjadi spesies lain akibat perubahan lingkungan, atau adanya perubahan 724
acak di dalam kisaran genetic atau kumpulan gen (gene pool-nya). Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu spesies seringkali tidak terlalu jelas. Bagaimanapun seperti halnya spesiasi, kepunahan adalah bagian dari siklus alami. Berdasarkan keterangan dari warga sekitar, awalnya populasi bekantan tidak berada di gunung tersebut, namun berada di tepi sungai besar yang berada di sepanjang desa Batu Tangga hingga desa Tandilang. Namun seiring waktu, pertumbuhan masyarakat semakin pesat. Banyak dibangun rumah-rumah warga di dekat aliran sungai tersebut yang berarti juga berdekatan dengan populasi bekantan itu. Karena terus terdesak maka populasi ini menuju kearah Gunung Batu Sawar. Menurut Prof. Arief Soenjoto, bekantan yang berada di pegunungan disebabkan karena habitatnya dialih fungsikan oleh masyarakat, sehingga terus terdesak hingga ke gunung dan jika dibiarkan populasi bekantan akan terancam (press com). Jika dibandingkan dengan penelitian Firdaus (2008) di kawasan suaka margasatwa yang berada di tepi sungai, jumlah bekantan yang ditemukan lebih banyak jika dibandingkan bekantan yang berada di Gunung Batu Sawar. Hal ini juga dipengaruhi oleh jumlah dan variasi makanan yang lebih banyak jika dibandingkan jenis makanan bekantan yang berada di gunung. Namun jika dibandingkan dengan bekantan yang ditemukan dengan Soendjoto (2012) pada 13 lokasi penelitian berbeda di Kabupaten Balangan dengan jumlah total 52 ekor, bekantan yang ditemukan di Gunung Batu Sawar masih lebih banyak jumlahnya. Bekantan merupakan jenis primata herbivora (pemakan daun). Beberapa sumber makanan bekantan yang dijumpai di kawasan ini yaitu Ficus sp., pohon kayu kacang/ lanan, pohon loa, dan karet.Dengan adanya hubungan antara bekantan dan tumbuhan yang sangat erat ini sehingga dengan demikian keberadaannya akan saling mengisi dalam suatu kawasan hutan.
5.
KESIMPULAN
Bekantan (Nasalis larvatus) yang ditemukan pada kawasan penelitian yaitu dewasa berjumlah 17 ekor dengan kerapatan 0,028 ind/Ha, muda berjumlah 23 ekor dengan kerapatan 0,038 ind/ Ha, dan anak berjumlah 13 ekor dengan kerapatan 0,022 ind/ Ha. Jumlah total kerapatan 0,088 ind/Ha yang mengindikasikan bahwa bekantan berada dalam kawasan yang tidak mendukung bagi populasinya. Struktur populasi bekantan (Nasalis larvatus) di kawasan Gunung Batu Sawar Desa Tandilang Kecamatan Batang Alai Timur Kabupaten Hulu Sungai Tengah jika digambarkan menggunakan piramida umur maka membentuk piramida kendi/ pasu Berdasarkan hasil penelitian maka perlu diadakannya rehabilitasi kawasan hutan terutama pada daerah yang mengalami kerusakan. mengadakan
Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya
Fauzan et al. Struktur Populasi Bekantan di Area Gunung Batu Sawar penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat untuk menjaga kelestarian bekantan dan habitatnya di daerah tersebut sehingga dapat melindungi primata Kalimantan ini dari penurunan jumlah populas iatau bahkan kepunahan serta tindakan dari pemerintah dan BKSDA setempat untuk menjadikan kawasan Gunung Batu Sawar sebagai Hutan Lindung atau Suaka Marga Satwa agar kawasan hutan tetap terlindungi.
6.
DAFTAR PUSTAKA
Atmoko, T. (2012). Bekantan Kuala Samboja Bertahan dalam Keterbatasan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Bogor. Tersedia: http://www.puskonser.or.id. 23/12/2013 Bismark, M. (1995). Analisis populasi bekantan (Nasalis larvatus).Rimba Indonesia30 (3) September. Fachrul, M. F. (2007). Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara. Firdaus, M. (2008). Kerapatan populasi Bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Kawasan Suaka Margasatwa Desa Swarangan Kecamatan Jorong Kabupaten Tanah Laut Kalimantan Selatan. Skripsi Sarjana Tidak Dipublikasikan. PMIPA FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Fleagle, J.G. (1988). Primate Adaptation and Evolution. London: Academic Pr. Gron, K.J. (2009). Primate Factsheets: Proboscis monkey (Nasalis larvatus) Conservation.
Meijaard, E., V. Nijman & J. Supriatna. (2008). Nasalis larvatus. In: IUCN2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2011.2 .<www.iucnredlist.org>. 22/04/2012. Michael, P. (1994). Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium (Terjemahan Yanti R. Koestoer). Usaha Nasional, Jakarta Odum, E. P. (1998). Dasar-dasar Ekologi.Yogyakarta: UGM Press Pemerintah Republik Indonesia. 1999a. Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 tanggal 27 Januari 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Riyanto, Baharuddin N., J.L. Palenewan. (1985). Ekologi Dasar Jilid II. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur. Universitas Hasanuddin. Saidah, S., Djoko, M. & Achmad, S. (2002). Studi vegetasi habitat alternatif bekantan (Nasalis larvatus) di Barito Kuala, Kalimantan Selatan.Agrosains.. Salter, R.E., N.A. Mackenzie, N. Nightingale, K.M. Aken & P.K. Chai.(1985). Habitat use, ranging behaviour, and food habits of the proboscis monkey, Nasalis larvatus (van Wurmb), in Sarawak.Primates. Soendjoto, M.A. (2004). A new record on habitat of the proboscis monkey (Nasalis larvatus) and its problem in South Kalimantan Indonesia. Tigerpaper. Soendjoto, M.A., H.S. Alikodra, M. Bismark & H. Setijanto. (2006). Jenis dan komposisi pakan bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di Hutan Karet Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.Biodiversitas. Soendjoto, M.A, & Nazaruddin. (2012). Distribution of The Proboscis Monkey (Nasalis larvatus) in Balangan District South Kalimantan Indonesia. Tigerpaper Soetjipta. (1993). Dasar-dasar Ekologi hewan. Yogyakarta: Univerisitas Gadjah Mada. Subahar, T. (1995). Ringkasan Makalah Kapita Selekta Pelatihan Dosen Ekologi Tipe-C LPTK Seluruh Indonesia Kerapatan dan Pola Distribusi Populasi. Bandung. Supriatna, J. & Wahyono E.H.. (2000). Panduan Lapangan Primata Indonesia.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tarumingkeng, R. C. (1994). Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan dan Universitas Kristen Krida Wacana.. Yeager, C.P. (1991). Possible antipredator behavior associated with rivercrossings by proboscis monkeys (Nasalis larvatus). American Journal of Primatology
Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi FKIP UNS 2015
725
Fauzan et al. Struktur Populasi Bekantan di Area Gunung Batu Sawar
Penanya 1: Astin Kurniawati (Univ PGRI Semarang)
Penanya 3: Ary Susatyo Nugroho (Univ PGRI Semarang)
Pertanyaan: Mengapa aktivitas Bekantan tinggi pada pagi hari? Jawaban: Karena berdasarkan tingkah lakunya aktivitas bekantan akan muncul di pagi hari untuk mencari makan sampai sekitar pukul 10.00 atau 11.00. Menjelang siang mereka akan tidur / hilang.
Pertanyaan: Kapan masa kawin bekantan?
Penanya 2: Ary Susatyo Nugroho (Univ PGRI Semarang)
Tanggapan M. Arief Soendjoto (Univ Lambung Mangkurat)
Pertanyaan: Dari yang sudah dijelaskanhanya hanya ada anak muda dan dewasa. Apakah ada masa post reproduktif? Jawaban: Kami tidak melakukan penelitian untuk masa post produktif. Hanya melihat dari ukuran badan dan warna rambut saat muda dan dewasa saja. Pada waktu dewasa warna rambut lebih cerah yaitu merah kecoklatan, sedangkan bekantan muda warnanya tidak terlalu tua mulai hitam sampai sedikit kemerahan.
Kebetulan penelitian S3 saya mengenai Bekantan yang kebanyakan hidup di mangrove, pingggir sungai, dan rawa. Sekitar bulan Agustus bekantan sudah mulai bunting. Jadi untuk masa kawinnya bisa sekitar 5-6 bulan sebelum itu yaitu bulan Februari. Belum jelas secara pasti dan dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut.
726
Jawaban: Yang jelas pasti ada masa kawinnya namun saya kurang tahu kapan masa kawin bekantan.
Biologi, Sains, Lingkungan, dan Pembelajarannya