Edisi Oktober 2011
POTRET BANDARA DI INDONESIA BERMIMPI TERBANG LEBIH TINGGI MENGEMBANGKAN BANDARA PERINTIS DI INDONESIA
BANDAR UDARA KULONPROGO SIAP GANTIKAN ADISUTJIPTO
EDITORIAL & REDAKSI
Kondisi Bandar Udara Kita
SUSUNAN REDAKSI
Bandar udara adalah prasarana infrastruktur yang terdiri dari banyak komponen dan subsistem yang cukup kompleks. Mulai dari penyediaan sarana umum dan fasilitas bandara untuk penumpang, kru, dan karyawan; daya tampung pesawat; panjang landasan; sampai ke persoalan teknis seperti navigasi penerbangan; sistem keamanan penerbangan; SDM dan kelembagaan transportasi udara; regulasi; dan sebagainya.
PENASEHAT / PELINDUNG Deputi Bidang Sarana & Prasarana, Bappenas
Sedemikian kompleksnya sehingga ketika sebuah bandara yang seharusnya sudah diperluas karena jumlah penumpangnya sudah jauh melebihi kapasitas yang seharusnya, menjadi tidak dapat dilakukan dengan segera. Ini banyak terjadi pada beberapa bandara di Indonesia. Diperlukan dana sekitar Rp 32 triliun untuk mengembangkan bandara di Indonesia, terutama 25 bandara yang dikelola oleh Angkasa Pura I dan II. Namun kiranya persoalan dana bukan lagi menjadi penghambat utama, karena hal itu dapat diatasi dengan makin digalakkannya skema pendanaan berdasarkan Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS). Ini tentu saja cocok dilakukan pada bandara yang traffic-nya sudah tinggi dan yang memiliki potensi peningkatan yang tinggi karena gambaran keuntungannya sudah lebih jelas. Hal yang sering dikeluhkan operator penyelenggara transportasi udara adalah bahwa mereka sering diminta untuk meningkatkan diri dalam hal jumlah pesawat, usia pesawat, standar penerbangan dan sebagainya. Namun di sisi lain pengelola bandara kurang segera mengimbanginya dengan peningkatan prasarana bandara sehingga misalnya dapat mengganggu ketepatan waktu terbang. Persoalan lain yang dibahas dalam edisi ini adalah tentang Bandara Perintis yang masih banyak memerlukan perhatian dari pemerintah, serta masih menyatunya bandara militer dan sipil, yang tentu saja membuat pengelolaan dan pengembangan bandara tidak bisa optimal. Misalnya yang terjadi di Bandara Adisutjipto Yogyakarta, dan Bandara Abdul Rachman Saleh di Malang. Laporan tentang Low-Cost Carrier Terminal di Kuala Lumpur International Airport barangkali cukup menginspirasi kita tentang bagaimana mengelola sebuah terminal dengan cara yang sangat efisien sehingga dapat menekan biaya operasional. Selain itu, dalam edisi ini akan dibahas juga mengenai rencana pembangunan bandara di Bali Utara, dan Bandara di Kulon Progo Yogyakarta untuk merespon tingginya jumlah penumpang di kedua wilayah. Dalam edisi ini juga akan dibahas mengenai mekanisme berinvestasi di bidang kebandarudaraan; profil lembaga mitra KPS yaitu Badan Pertanahan Nasional; sosok yang terdiri dari Direktur Utama PT Angkasa Pura II yang mencanangkan World Class Airport, dan Dirjen Perhubungan Udara. Mudah-mudahan informasi yang terangkum dalam edisi ini bermanfaat. Selamat membaca.
2
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
PENANGGUNG JAWAB Direktur Pengembangan Kerjasama Pemerintah & Swasta Bappenas PEMIMPIN REDAKSI Jusuf Arbi DEWAN REDAKSI Delthy Sugriady Simatupang, Gunsairi, Rachmat Mardiana, Novie Andriani, Mohammad Taufiq Rinaldi, Ade Hendraputra REDAKTUR PELAKSANA B. Guntarto REPORTER/RISET Sandra Kaunang, Agus Supriyadi Hidayat FOTOGRAFER Arief Bakri DESAIN GRAFIS Indrie Soeharyo
ALAMAT REDAKSI Infrastructure Reform Sector Development Program (IRSDP) BAPPENAS Jl. Tanjung No.47 Jakarta 10310 websites: www.irsdp.org Tel. (62-21) 3925392 Fax. (62-21) 3925390
DAFTAR ISI
BERITA UTAMA
4
BERMIMPI TERBANG LEBIH TINGGI
7
POTRET SURAM BANDARA DI INDONESIA
MENGEMBANGKAN BANDARA PERINTIS DI INDONESIA
MODEL TERMINAL BERBIAYA MURAH
16 PROYEK KPS - POTENSIAL Solusi Untuk Bali
Bangunlah Aerocity, Bukan Sekedar Bandara Biasa
13
18 PROYEK KPS - POTENSIAL Bandara Kulonprogo Siap Gantikan Adisutjipto
22 EDUKASI PROGRAM KPS
10
20 PROFIL LEMBAGA KPS
BPN Siap Percepat Proses Pembebasan Lahan
24 SOSOK
> Tri Sunoko Dirut Angkasa Pura II > Herry Bhakti S Gumay Dirjen Perhubungan Udara
26 SEKILAS BERITA Proyek PLTU Jawa Tengah: Contoh Keberhasilan KPS
Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
3
BERITA UTAMA
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memuji Nusa Tenggara Barat dalam kontribusinya membantu pembangunan Bandara Internasional Lombok. “Berpikirnya (harus) seperti dunia usaha, jangan seperti birokrasi,” kata Presiden, saat berpidato dalam peresmian bandara tersebut. Inilah salah satu dari sedikit bandara baru yang berhasil diresmikan dalam pemerintahan terkini.
BERMIMPI TERBANG LEBIH TINGGI Kembali diingatkan oleh Presiden, alokasi anggaran hendaknya tidak untuk keperluan rutin, seperti gaji pegawai dan biaya operasional. Namun, harus lebih banyak dialokasikan untuk belanja modal, seperti jalan, jembatan, dan infrastruktur lain. Dalam proyek bandara yang dibangun di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat menyumbang Rp 110 miliar sedangkan PT Angkasa Pura I mengucurkan Rp 795,8 miliar. Hebatnya, Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah mampu mengalokasikan Rp 40 miliar. Dalam tempo lima tahun dibangunlah Bandara Internasional Lombok, untuk menggantikan Bandara Selaparang di Kota Mataram. Kapasitas Bandara Internasional Lombok memang mencapai 3 juta penumpang per tahun, jauh lebih besar dibanding kapasitas Bandara Selaparang sebanyak 800.000 penumpang per tahun. Bila Bandara Internasional Selaparang hanya memiliki landasan pacu (runway) 2.100 meter x 40 meter, maka Bandara Internasional Lombok memiliki landasan pacu 2.750 meter x 45 meter ketika mulai beroperasi pada 1 Oktober 2011. Bahkan, panjang runway segera ditambah menjadi 3.000 meter. Tujuannya, supaya pesawat berbadan lebar seperti Boeing 747-400 dapat mendarat.
4
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
Di Bandung, ibukota Jawa Barat, operator bandar udara PT Angkasa Pura II juga bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat mengembangkan Bandara Internasional Husein Sastranegara dengan nilai Rp 84 miliar, termasuk penebalan runway (2.250 meter x 45 meter) dengan biaya Rp 45 miliar. Di Husein Sastranegara - contoh kasus terkini, Indonesia AirAsia sempat menunggu berbulan-bulan sebelum akhirnya dapat menerbangkan Airbus A320 barunya, akibat pengaspalan ulang runway sangat lamban. Akhirnya, Airbus A320 itu, sejak Juni 2011, dapat terbang ke Kuala Lumpur dan Singapura. Pesawat ini dapat mengangkut 180 orang penumpang, lebih banyak dari Boeing 737 yang memiliki kapasitas 146 orang penumpang. Dengan dukungan runway yang lebih baik, Jawa Barat mengharapkan kedatangan lebih banyak wisatawan mancanegara. Tahun 2010 lalu - sebelum penebalan runway dituntaskan, jumlah wisatawan mancanegara yang mengunjungi Jawa Barat tercatat 1,3 juta orang, meningkat dibanding tahun 2009 sebanyak 700.000 orang. Bandara Internasional Lombok dan Bandara Internasional Husein Sastranegara, bisa dikatakan cukup beruntung dengan keterlibatan Pemda. Setidaknya, ada sedikit
dukungan dana untuk pengembangan bandara. Namun nasib baik tak menyambangi tiap bandara di negara ini.
Boleh dikata, pembangunan prasarana bandara, yang seharusnya menjadi salah satu urat nadi transportasi di negara kepulauan ini, belum cukup berhasil. SoekarnoHatta, yang merupakan gerbang utama penerbangan di Indonesia, masih mengalami banyak kekurangan, bagaimana lagi dengan 171 bandara yang beraspal di seluruh Indonesia, atau puluhan bandara lain yang hanya berupa lapangan rumput?
MASIH BERTUMBUH Bandara yang minim fasilitas memang sangat memprihatinkan, oleh karena pertumbuhan penumpang belum berhenti. Data dari Airports Council International menyebutkan, dari 30 besar bandara dengan jumlah volume penumpang terbanyak, ternyata Soekarno-Hatta mencatatkan diri sebagai bandara dengan pertumbuhan tercepat kedua, yakni 19,4 persen. Hanya pertumbuhan penumpang di Bandara Shanghai, China, yang mengalahkan Soekarno-Hatta dengan pertumbuhan 26,4 persen. Shanghai yang di posisi ke-20 dalam hal jumlah penumpang dengan melayani 40,58 juta penumpang per tahun, besar kemungkinan dapat menyalip Soekarno-Hatta yang berada di posisi ke-16 dengan 44,35 juta penumpang per tahun.
Foto : Muhammad Zen
Direktur Jenderal Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) Tony Tyler, ditemui di Hotel Kempinski, Jakarta bahkan menegaskan, Bandara Internasional SoekarnoHatta di Cengkareng, Banten, dinilai mengecewakan. Apalagi jika dibandingkan dengan bandara internasional di regional Asia Tenggara. Situasi antrian saat pengambilan bagasi penumpang di Bandar Udara Hasanuddin, Makasar.
Jelas tidak masalah bila Shanghai mengalahkan SoekarnoHatta. Meski sungguh mengejutkan, mengetahui betapa Soekarno-Hatta, pada tahun 2010 dari sisi penumpang, sudah mengalahkan Bangkok (42,78 juta penumpang) dan Singapura (42,04 juta penumpang). Padahal, dua bandara lain di regional Asia Tenggara mempunyai prasarana lebih baik. Di benua Asia, pada tahun 2010, Soekarno-Hatta bahkan hanya kalah dari Beijing, China, dengan 73,95 juta penumpang per tahun (posisi ke-2 dunia); Tokyo, Jepang dengan 64,21 juta penumpangnya per tahun (posisi ke5 dunia); dan Dubai, Uni Emirat Arab dengan 47,18 juta penumpang per tahun (posisi ke-13 dunia). Dalam sepuluh tahun mendatang, diprediksi jumlah penumpang angkutan udara di regional Asia Tenggara naik antara 4,1% hingga 5,7% per tahun. Maskapai baru, terutama maskapai berbiaya rendah terus bermunculan. Secara nasional, dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata antara 6-7,5% per tahun, ternyata pertumbuhan penumpang udara bisa mencapai 16-18%. Bahkan diperkirakan akan mampu mencapai angka 20 persen. Tahun 2010 lalu saja, jumlah penumpang angkutan udara di Indonesia telah mencapai 51 juta orang. Wilayah Indonesia yang terdiri lebih dari 17.000 pulau, memang menuntut konektivitas yang handal, cepat, dan syukur-syukur bisa murah. Sebagai pembanding, penerbangan Jakarta-Surabaya hanya memerlukan 1 jam 30 menit. sementara dengan kapal laut memerlukan satu hari. Penerbangan Jakarta-Medan yang memakan waktu 2 jam, dengan kapal laut mencapai 2,5 hari. Adapun penerbangan Jakarta-Jayapura yang membutuhkan waktu 6 jam 40 menit jauh lebih efisien ketimbang naik
Pertumbuhan jumlah penumpang yang jauh melebihi kapasitas terminal menyebabkan ketidaknymanan penumpang, misalnya ketika akan mengambil bagasi.
Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
5
BERITA UTAMA
kapal laut selama 7 hari. Andaikata orang Jakarta berlebaran di Jayapura, maka waktu perjalanan dengan kapal pergi-pulang akan menghabiskan jatah cuti dalam setahun.
pesawat 30 tahun. Rata-rata maskapai terkemuka di dunia kini usia pesawatnya - sebagai gambaran, tak jauh dari angka 5-8 tahun.
Dengan jumlah penduduk 230 juta orang - atau 45 persen dari seluruh populasi di Asia Tenggara, Indonesia juga menawarkan pasar yang besar dan terbuka lebar. Masih banyak penduduk yang belum pernah terbang. Mereka yang terbang adalah orang yang itu-itu juga.
Mengapa usia pesawat diperketat? Pertama, tentu saja untuk menjamin persoalan keselamatan. Kedua, dengan pemberlakuan ASEAN Open Sky pada tahun 2015, diharapkan pesawat-pesawat tua itu tidak mengganggu kelancaran penerbangan di bandarabandara kita.
Maskapai-maskapai kita juga masih berekspansi. Lion Air, yang terbang dari Terminal 1A dan 1B Soekarno-Hatta telah memesan 178 unit Boeing 737-900 ER. Masih banyak B737-900 ER yang akan berdatangan, karena hingga Juni 2011 Lion baru menerima 49 unit B737-900 ER.
Kabar baiknya, maskapai telah berniat keras mentransformasi dirinya, bahkan menantang maskapai lain di regional dengan terus meremajakan pesawat. Yang belum dilihat adalah, upaya negara ini untuk dengan lebih agresif menata bandaranya. Tentu saja, kita sudah melihat pembangunan Bandara Minangkabau (Padang), Bandara Hasanuddin (Makassar), Bandara Adi Sumarmo (Solo), dan Bandara Badaruddin (Palembang).
Garuda Indonesia bahkan menargetkan untuk menerbangkan 159 unit pesawat di tahun 2015. Bila semula Garuda akan menerbangkan 154 unit pesawat di tahun 2015, ternyata ada target baru untuk menerbangkan 159 unit pesawat. Hal ini dikatakan oleh Direktur Keuangan PT Garuda Indonesia, Elisa Lumbantoruan. Sriwijaya Air, yang kini menerbangkan 27 unit pesawat, juga telah memesan 20 unit Boeing 737-800 NG dan 20 unit Embraer. Indonesia AirAsia, yang kini menerbangkan kurang dari 20 unit pesawat, juga menargetkan pengoperasian 40 unit Airbus A320 pada tahun 2014. Persoalannya, sejauh ini untuk mengimbangi pertumbuhan penumpang, ada kesan hanya maskapai yang dikejar-kejar. Regulasi telah mengatur, paling lambat pada 12 Januari 2012, sebuah maskapai sedikitnya memiliki 10 pesawat. Lima pesawat harus dimiliki sendiri, sementara sisanya disewa. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bhakti Gumay, juga berulangkali menjelaskan, akan mengatur usia maksimal
6
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
Namun, kita belum melihat pengembangan Bandara SoekarnoHatta (Jakarta), Bandara Adisutjipto (Yogyakarta), Bandara Ahmad Yani (Semarang), maupun Bandara Ngurah Rai (Bali); selain sekedar perbaikan dan pengembangan tambal sulam. Ada sejumlah bandara yang ditawarkan kepada swasta untuk dibangun di tahun 2011 ini, yakni pengembangan Bandara Tjilik Riwut di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, dan pengembangan Bandara Dewandaru di Karimun Jawa. Lantas, Pemda menginisiasi pembangunan Bandara Kertajati di Majalengka, Bandara Singkawang di Kalimantan Barat, Bandara Banten Selatan, Bandara Baru Bali di Bali Utara, dan Bandara Baru Samarinda di Kalimantan Timur. Akan tetapi, keinginan dan kelancaran investor untuk membangun bandara itu, tidak terlepas dari political-will pemerintah dalam bentuk kelancaran birokrasi investasi atau penyertaan dalam berbagai bentuk, untuk merealisasikan investasi.(*)
BERITA UTAMA
POTR ET SUR A M BANDAR A DI IND O NESI A Direktur Jenderal Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) Tony Tyler, ketika ditemui di Jakarta, mengungkapkan kekecewaannya terhadap Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Tanpa pengembangan sesegera mungkin, bandar udara (bandara) itu akan segera memburuk. “Dengan kondisi bandara seperti itu, seberapa maksimalnya maskapai berusaha, tetap akan sulit. Sebab, volumenya terlampau besar,” kata Tyler. Ketika Terminal 3 Soekarno-Hatta mulai beroperasi di tahun 2008, IATA mendapat info bahwa Soekarno-Hatta menjadi bandara berkapasitas 38 juta orang. Tetapi pada tahun 2010 jumlah penumpangnya telah melebihi 44 juta orang. Ditemui di Hotel Kempinski, Jakarta, Direktur Komunikasi IATA, Anthony Council, juga mengatakan bahwa pada dekade lalu, semua bandara di Asia Tenggara membangun terminal. Pembangunannya dilakukan secara besar-besaran sehingga membuat kapasitas Bandara Soekarno-Hatta menjadi makin tertinggal. Siapa pun akan sulit mengingkari bahwa di Soekarno-Hatta adalah contoh buruk infrastruktur kita. Terminal yang padat tak ubahnya terminal bus, begitu banyaknya pedagang liar, parkir mobil yang sangat padat dan tidak aman, sampai tidak adanya konektivitas ke kota menggunakan kereta api.
Ketertinggalan Soekarno-Hatta, bukan sekedar masalah citra tetapi menyulitkan industri penerbangan. Pengembangan bisnis dari berbagai maskapai menjadi terbatas di tengah potensi angkut yang besar, sehingga jumlah penumpang juga tak melonjak terlampau banyak. “Antrean pesawat lepas landas kini mencapai sembilan pesawat saat jam sibuk,” kata Edward Sirait, Direktur Umum Lion Air. Dia mengatakan, dua landasan pacu di Soekarno-Hatta, panjang masingmasing 3.600 meter dan 3.660 meter tidak lagi memadai. Kondisi ini juga berperan dalam menurunkan ketepatan penerbangan sebab mulai mengganggu rotasi pesawat. Sebagai pembanding, Bandara Haneda di Tokyo, telah mengoperasikan landasan pacu keempat sejak tahun 2010. Bandara Hartsfield-Jackson di Atlanta, Amerika Serikat, bahkan mengoperasikan lima landasan pacu. PT Angkasa Pura II (Persero) - operator Bandara Soekarno-Hatta, sebenarnya telah menginisiasi pembangunan runway ketiga. “Kami
Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
7
BERITA UTAMA
butuh 830 hektar lahan baru untuk membangun runway ketiga. Jika pembebasan lahan selesai tahun 2013, runway baru bisa kita bangun,” kata Tri Sunoko, Direktur Utama Angkasa Pura II. Namun, jangankan soal runway yang tak memadai, pemadam kebakaran pun - ambil contoh, usianya sudah uzur. Ada 12 bandara di bawah Angkasa Pura II yang memiliki 49 unit pemadam kebakaran. Namun, 39 unit pemadam usianya di atas 15 tahun, 4 unit pemadam berusia 10-15 tahun, dan hanya 6 unit pemadam berusia di bawah 10 tahun. Harga pemadam kebakaran buatan Oshkosh yang dipesan Angkasa Pura II memang tak murah, mencapai Rp 12 miliar per unit. Namun itulah harganya. Dengan demikian, Angkasa Pura II menghabiskan Rp 48 miliar untuk empat pemadam kebakaran. Mengapa? “Supaya maskapai penerbangan internasional percaya dengan level keselamatan di sini, kami memang harus datangkan peralatan terbaik. Jadi, kami tender secara internasional dan didapatkan Oshkosh sebagai pemenang,” kata Tri.
Berdasarkan data Angkasa Pura I, beberapa bandara dalam kondisi “overload”. Bandara Adisutjipto (Yogyakarta) misalnya berkapasitas 0,9 juta penumpang per tahun, disesaki dengan 3,7 juta penumpang per tahun. Bandara Sepinggan (Balikpapan) berkapasitas 1,1 juta penumpang per tahun, dipenuhi dengan 5,5 juta penumpang per tahun. Sementara itu Bandara Hasanuddin (Makassar) berkapasitas 6,2 juta penumpang per tahun, dipadati 6,5 juta penumpang per tahun; dan Ngurah Rai (Bali) berkapasitas 8,9 juta penumpang per tahun dipadati 11,1 juta penumpang per tahun. Pembenahan memang akan terus dikerjakan, meski butuh kontinuitas investasi dan pengembangan. Beberapa proyek di antaranya, pembangunan terminal baru Bandara Depati Amir yang ditargetkan selesai awal 2013. Dengan dana Rp 107 miliar, terminal Depati Amir dirancang melayani 1,6 juta per tahun (tahun 2015), meski kini sudah melayani 1,2 juta penumpang.
KETINGGALAN JAMAN
Terminal baru Depati Amir seluas 12.170 meter persegi, jauh lebih besar daripada terminal lama seluas 3.628 meter persegi. Nantinya, terminal baru juga akan dilengkapi dengan dua garbarata, fasilitas yang belum tersedia di terminal lama.
Pemerintah mengakui bandara di Indonesia tidak lagi memadai, terutama karena rata-rata pertumbuhan angkutan udara mencapai 15 persen per tahun. “Bandara kita ketinggalan zaman,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bhakti S Gumay, di sela-sela peletakan batu pertama pembangunan terminal baru Bandara Depati Amir di Bangka Tengah, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Lantas di Bandara Juanda (Surabaya) juga akan segera dibangun Terminal 2, untuk penerbangan internasional dan Garuda Indonesia rute domestik. Dirancang dibangun hanya dalam 11 bulan, kapasitas terminal baru mencapai 4 juta penumpang per tahun. Meski demikian, Terminal 2 membuat kapasitas Juanda “hanya” menjadi 10,5 juta penumpang per tahun, sedangkan tahun lalu ada 12,1 juta penumpang.
“Beberapa bandara hasil perluasan baru ternyata juga mulai penuh karena lonjakan penumpang sangat tinggi,” kata Herry Bhakti. Bandara Juanda, yang sebenarnya bandara pengembangan, ternyata kapasitasnya terlampaui. Didesain untuk 6,5 juta penumpang, tapi tahun 2010 sudah ada 12,1 juta penumpang.
Tahun depan, PT Angkasa Pura I akan menggelontorkan dana sebesar Rp 1,6 triliun untuk pengembangan Bandara Sepinggan. Nantinya, semua fasilitas ditambah dan diperluas. Bila kini luas terminal “hanya” 14.547 meter persegi, nantinya akan melonjak menjadi 110.000 meter persegi. Kapasitas parkir 473 mobil dan 16 bus akan menjadi 2.310
PT Angkasa Pura II mengalokasikan dana yang cukup besar untuk membeli peralatan pemadam kebakaran. Hal ini dilakukan antara lain agar maskapai penerbangan internasional percaya dengan tingkat keselamatan di bandara.
8
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
BANDARA DUNIA Mungkinkah kita mempunyai “bandara kelas dunia”, sebagaimana kerap didengung-dengungkan oleh Angkasa Pura II? Mengapa tidak? Di Asia Tenggara misalnya, dari 10 besar the Worlds Best Airport versi Skytrax ternyata ada dua bandara, yakni Bandara Changi, Singapura di posisi ke-2, dan Bandara Kuala Lumpur di posisi ke-9. Bandara Soekarno-Hatta yang mencanangkan diri sebagai 'bandara kelas dunia' berusaha membuat penumpang merasa nyaman di ruangan boarding.
mobil dan 22 bus.Tempat check-in akan bertambah dari 25 menjadi 76. Kapasitas maksimal penumpang yang saat ini 1,7 juta orang per tahun akan jadi 10 juta orang per tahun. Adapun untuk Ngurah Rai, segera akan dikucurkan dana Rp 2,1 triliun untuk menambah kapasitas bandara sehingga dapat melayani 25 juta penumpang pada tahun 2025. Termasuk pembangunan gedung parkir dengan empat lantai. “Kebutuhan dananya, didapat dari dana internal dan pinjaman dari Bank Mandiri. Kami sudah dapat komitmen pendanaan sebesar Rp 5 Triliun dari Mandiri,” kata kata Presiden Direktur Angkasa Pura I, Tommy Soetomo. Apa hambatannya? Tommy dengan tegas mengatakan, “pembebasan lahan”. Ternyata, permasalahan pembebasan lahan tidak hanya terjadi di proyek jalan tol maupun pembangunan pelabuhan, tapi juga di proyek bandara. Apa pun hambatannya, Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono menegaskan, bandara dimana pun memang harus senantiasa mengembangkan diri. “Swasta diharapkan menjadi motor, karena keuangan pemerintah terbatas,” katanya.
Tidak usah jauh-jauh untuk belajar, hanya dengan terbang selama 1,5 jam dari Jakarta ke Singapura, kita dapat melihat bagaimana bandara kelas dunia itu. Changi, bukanlah sebuah bandara dengan terminal berarsitektur megah. Bisa diartikan, terminal di Changi hanya berbentuk huruf H, tetapi fungsional. Dengan segala fasilitas - karpet di sana-sini, pijat elektronik gratis, dan ratusan toko yang selalu memancing orang untuk berbelanja; Changi melayani lebih dari 100 maskapai yang terbang ke 200 kota dari lebih 60 negara. Changi bahkan melayani 42 juta penumpang (2010), jumlah yang lebih dari 8 kali jumlah penduduk Singapura. Changi juga merupakan bandara yang sangat cepat berkembang. Tahun 2008, bandara ini menjadi salah satu bandara pertama di dunia - dengan Terminal 3-nya, yang dapat melayani Airbus A380. Jelas dibutuhkan fasilitas khusus yang harus dimiliki bandara untuk membongkar muat 471 orang penumpang, atau lebih dari 2,5 kali kapasitas Airbus A380. Bagaimana Changi dapat begitu sempurna, dan membuat kita betah singgah di sana? Pertama, ada dukungan penuh dari pemerintah. Kedua, sembilan orang direksinya merupakan orang hebat - mulai dari mantan eksekutif perbankan, property, hingga orang yang juga duduk di Badan Pariwisata Singapura. Inilah contoh sinergi yang sempurna. Direksi di sana, bukan sekedar orang finansial atau lulusan teknik sipil dan arsitektur seperti di Indonesia, sehingga seringkali melupakan urusan pelayanan.(*)
Namun untuk sementara waktu, Kementerian Perhubungan menargetkan lebih banyak lagi pengoperasian bandara selama 24 jam untuk mengoptimalkan kapasitas. Kini enam bandara yang telah mampu beroperasi 24 jam adalah, SoekarnoHatta, Halim, Polonia, Juanda, Ngurah Rai, dan Hasanuddin. Masih ada lebih banyak bandara yang dapat dioperasikan 24 jam, terlebih karena di Indonesia Barat sebagian besar bandara telah dilengkapi “Instrumen Landing System” sehingga memudahkan pendaratan di malam hari. Tetapi pertanyaannya, sudahkah ada trafiknya?
Pemanfaatan bis yang mengantarkan penumpang ke pesawat yang akan menerbangkan mereka ke tempat tujuan makin banyak digunakan. Ini menunjukkan terbatasnya daya tampung bandara. Pesawat yang logikanya parkir di dekat boarding room, terpaksa parkir jauh dari tempat yang seharusnya.
Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
9
BERITA UTAMA
MENGEMBANGKAN
BANDARA PERINTIS Dalam beberapa tahun ke depan, pasar pariwisata akan terpolarisasi antara pelancong dengan banyak waktu dan sedikit waktu. Diramalkan pula, akan ada lebih banyak penerbangan backpacker berdampingan dengan penerbangan khusus kelas bisnis dan jet pribadi; bukan penerbangan dengan jet komersial belaka.
Ramalan itu dituliskan dalam buku The Next 50 Years: PerubahanPerubahan Besar 50 Tahun Mendatang (2009), yang dikarang oleh Richard Watson. Persoalannya, bagaimana dapat melayani penambahan jumlah armada pesawat ketika kita tak mempunyai bandara yang memadai? Dari data Boeing Current Market Outlook 2011-2013, angka pertumbuhan pesawat sangat luar biasa. Bila di tahun 2010 terdapat 12.100 pesawat single aisle (lorong tunggal), maka di tahun 2030 diperkirakan ada 27,750 pesawat single aisle. Bila tahun 2010, ada 3.640 pesawat yang memiliki twin aisle, maka tahun 2030 ada 8.570 pesawat twin aisle. Antara tahun 2010 hingga 2030, jumlah penumpang pesawat juga akan melonjak dari 4,9 miliar orang per tahun, menjadi 13,3 miliar orang per tahun. Adapun volume kargo udara akan meningkat 3 kali lipat.
Bolehlah kita ambil contoh destinasi wisata di Kabupaten Nias Selatan. Sungguh luar biasa melihat ombak di Pantai Sorake, yang sangat menantang bagi para peselancar dunia. Juga putihnya Pantai Lagundri, yang jaraknya tak terlalu jauh. Lantas, sedikit ke pedalaman, di bebukitan terletak permukiman desa adat di Bawomataluo. Inilah desa yang terkenal dengan lompat batunya, meski tanpa aksi itu pun desa ini tetap indah dengan arsitektur dan lanskapnya. Bagaimana cara mencapai Bawomataluo? Dari Medan terbang dengan pesawat baling-baling menuju Bandara Binaka selama satu jam penerbangan. Lalu, dilanjutkan perjalanan darat sejauh 120 kilometer - yang karena kondisi jalan kurang baik harus ditempuh selama empat jam.
Foto : Bambang Setiawan
Yang menarik, seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia, diperkirakan pertambahan wisatawan turut menjadi tulang punggung pergerakan penerbangan. Telah dihitung, pada tahun 2020 akan ada 1,6 miliar orang per tahun, yang pergi untuk bersenang-senang.
Pertanyaannya sekarang, dengan “kue wisatawan” yang begitu besar, seberapa mampu kita menangkapnya? Bila ingin dipertajam, mestinya langsung dapat ditanyakan seberapa jauh persiapan infrastruktur Indonesia, untuk menangkap peluang wisatawan itu. Sebab boleh dikata, negara kita masih dalam posisi yang lemah dalam penyediaan infrastruktur yang memadai.
Bandara H Asan di kota Sampit, Kalimantan Tengah. Meskipun sudah bisa didarati pesawat bermesin jet, namun frekuensi penerbangannya masih sangat rendah.
10
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
Dengan waktu tempuh seharian dari Jakarta menuju Kabupaten Nias Selatan, siapa mau datang ke sana? Hanya pelancong serius, turis asing yang gila berselancar, hingga wartawan yang mau dan mampu membayar tinggi, yang dapat mencapai Nias Selatan. Idealnya, ada penerbangan berbiaya rendah yang terbang dari Jakarta ke Medan lalu Medan-Teluk Dalam. Namun bagaimana mungkin, sebab di Teluk Dalam belum ada lapangan terbang.
PRIORITISASI Meski tidak ada terminologi “bandar udara perintis” di dalam UU Penerbangan Nomor 1/2009, ternyata pemerintah pun berniat menginvestasikan sejumlah uang, terutama bagi bandara-bandara di Indonesia Bagian Timur. Bandara tersebut, nantinya akan menjadi infrastruktur dasar bagi penerbangan perintis yang disubsidi dengan dana APBN. Diantaranya di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Papua Barat, Papua, Maluku , Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Memang, tujuan awalnya untuk menumbuhkan pariwisata di beberapa wilayah, membuka isolasi, baru kemudian tahap selanjutnya adalah melejitkan pertumbuhan ekonomi setempat. Di Papua Barat misalnya, penerbangan perintis memang merupakan moda transportasi alternatif yang diandalkan. Selain lebih cepat dan daya jangkaunya jauh, hampir di setiap kali keberangkatannya okupansi penumpang rata-rata di atas 70 persen. Kata “paling diandalkan” ini sangat penting, sebab status sebuah rute menjadi rute penerbangan perintis sangat tergantung moda transportasi lain. Jadi ketika jalan raya makin sempurna, atau ada jalan air, maka pemerintah takkan menyubsidi lagi rute itu.
Inanwatan (Maybrat), dan Kambuaya (Kabupaten Tambrauw). Biasanya, 8-10 kursi dari kapasitas 15 kursi selalu terisi. Meski penerbangan di Sorong Barat begitu didamba, frekuensi kedatangan pesawat makin tinggi, dan jumlah penumpang makin banyak; tetapi sangat disayangkan fasilitas terminal di Bandara Domine Eduard Osok sangat tidak memadai. Terminal itu, harus dipahami tak hanya digunakan oleh warga lokal, tetapi juga turis-turis asing yang berpergian ke Raja Ampat—destinasi wisata nomor wahid dunia. “Sangat jelas, pemerintah punya prioritisasi dalam pembangunan bandara,” ujar juru bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S Ervan, dalam mengomentari kondisi bandara itu. Bambang malah mempersilahkan bila pemda atau swasta berniat membangun terminal baru, bukan saja di bandara komersial, tapi juga nonkomersial yang lebih dikenal sebagai bandara perintis. Per tahun, tercatat ada sekitar 130-an rute perintis yang ditetapkan pemerintah. Tidak seluruh rute perintis itu, berujung pada bandara yang benar-benar baru dirintis. Namun pada umumnya, kita tahu bandara-bandara itu dalam kondisi merana. Apa mau dikata, dana pemerintah memang sangat terbatas, Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono, mengungkapkan bahwa dibutuhkan dana Rp 32 triliun untuk meningkatkan kapasitas bandara di seluruh Indonesia. Maka dari itu, Wamenhub berharap besar keterlibatan swasta untuk menangani bandara-bandara besar. Terutama menanamkan modal untuk meningkatkan kapasitas seluruh bandara di Indonesia. Kembali diingatkan, wilayah Indonesia memang
Sementara kini, karena akses transportasi terbatas dari Bandara Domine Eduard Osok, di Sorong, ada tiga maskapai yang melayani rute antarkabupaten, yakni Merpati (Twin Otter), Susi Air (Grand Caravan), dan Trigana Air (CASA). Penerbangan itu menuju Ayawasi (Kabupaten Maybrat),
Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
11
BERITA UTAMA
Maskapai Express Air yang banyak melayani penerbangan di bagian timur Indonesia.
kelewat besar. Dari Sabang sampai Merauke setara jarak dari London ke Istanbul. Indonesia memang tak seperti Singapura, yang hanya cukup membangun dan menyempurnakan satu bandara saja. Indonesia mempunyai 220 bandara dan dapat dikata hanya 25 bandara yang ditangani dengan profesional oleh Angkasa Pura. Masih ada banyak pekerjaan, terutama karena setidaknya hanya ada 37 bandara dengan runway sepanjang lebih dari 2.100 meter sehingga mampu didarati Boeing 737-series maupun Airbus A320. Setidaknya, Garuda mencatat ada delapan bandara yang layak didarati Boeing 737-800 NG bila runway-nya diperpanjang. Yakni Bandara Sultan Thaha (Jambi), Bandara Rendani (Manokwari), Bandara Pangkal Pinang, Bandara Sorong, Bandara Tanjung Pandan, Bandara Ternate, dan Bandara Padang di Mamuju. Pada prinsipnya, kata Bambang Ervan, pemerintah umumnya membangunkan sekaligus memperpanjang runway, kemudian membangunkan apron, dan navigasi udara. “Karena ada sisi komersialnya, maka baiklah bila dibangun sendiri oleh swasta,” kata dia.
800 meter, runway-nya direncanakan diperpanjang mencapai minimal 1.600 meter sehingga bisa didarati pesawat jenis Hercules. Pesawat transpor ini, sangat dibutuhkan untuk menyuplai keperluan logistik bila terjadi masalah di perbatasan. Meski, dalam perkembangannya, keberadaan bandara itu dapat menguntungkan warga di perbatasan. Meski demikian, yang terpenting adalah kesiapan destinasi itu sendiri. Direktur Umum Lion Air Edward Sirait, berkali-kali mengatakan, ketika sebuah bandara dikembangkan kemudian ada harapan untuk memasukkan penerbangan komersial, maka pemda harus mendukungnya. Bila ada destinasi wisata, maka harus dikembangkan semaksimal mungkin, dan dipublikasikan secara meluas. Lalu, ada insentif terutama insentif fiskal bagi pebisnis yang akan masuk. Bila tidak seperti pernah terjadi di rute Jakarta-Pangandaran misalnya, yang pernah ditutup akibat sepi dari penumpang. (*)
Kerjasama dalam pengembangan bandara pun, terbilang terbuka lebar. Terbetik kabar bahwa TNI Kodam VI/Mulawarman dan Pemprov Kaltim berkerjasama membangun perbatasan, khususnya perluasan atau perpanjangan tiga bandara perintis yang berada di Nunukan, Malinau, dan Kutai Barat (Kubar). Bila awalnya panjang runway dari tiga bandara hanya
12
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
Runway Bandara Militer Abdul Rachman Saleh yang juga melayani penerbangan sipil.
BERITA UTAMA
MODEL TERMINAL BERBIAYA MURAH “ D ari Subang, kami akan kembali ke Subang,” demikian kira-kira dikatakan Chief Executive Officer AirAsia, Tony Fernandes, kepada media pada tahun 2004 silam. Ketika itu, Tony sedang “berperang” untuk menetapkan homebase bagi maskapai berbiaya rendah yang ketika itu baru dibangunnya.
ujarnya, dikutip dari buku yang berjudul Tony Fernandes: Membawa AirAsia menjadi Penerbangan Hemat Biaya Terbesar di Asia, karta Sen Ze dan Jayne Ng.
Mengapa Subang? Tony sudah meramalkan keterbatasan terminalterminal di Kuala Lumpur International Airport (KLIA) di Sepang. Tahun itu, KLIA memang hanya melayani 18 juta penumpang per tahun namun kapasitas puncaknya hanya 25 juta penumpang per tahun.
Lebih jelasnya, KLIA berjarak 50 kilometer di selatan Kuala Lumpur, lebih dekat dengan pusat pemerintahan di Putra Jaya. Sedangkan Bandara Subang, hanya berjarak 26 kilometer di sisi barat Kuala Lumpur. Adapun kedua bandara tersebut, masingmasing terpisah dengan jarak 55 kilometer, setara Jakarta-Bogor.
Meski tahun 2003, AirAsia baru mengangkut 1,8 juta penumpang per tahun, maskapai AirAsia - ketika itu - punya target mengangkut 14 juta penumpang pada tahun 2007. Volume sebesar itu, jelas lebih dari 50 persen kapasitas KLIA ketika itu, meski KLIA didesain bagi 100 juta penumpang per tahun.
Bagi penumpang maskapai berbiaya rendah, jelas lebih menyenangkan terbang dari Subang. Jaraknya relatif dekat dari Kuala Lumpur. Lantas, tidak perlu berbaur dengan hiruk-pikuk sebuah bandara besar seperti KLIA. Subang pun sebenarnya tak terlalu kecil, ukurannya setara Bandara Adisutjipto di Yogyakarta.
Hal lain, Tony mengeluhkan tingginya biaya operasional AirAsia di KLIA. “Andai kita mendarat di Subang, akan ada penghematan avtur sampai 20 persen untuk mendarat atau lepas landas,”
Tony, yang begitu dekat dengan media, juga seringkali melancarkan “serangan-serangan” terhadap pemerintah. Dia terus menunjukkan mengapa AirAsia begitu menginginkan Subang.
Untuk memberi gambaran lebih jelas, Bandara Subang itu seumpama Bandara Halim di Jakarta. Punya kapasitas lebih sedikit dengan 1,1 juta penumpang per tahun, tetapi dekat dengan pusat kota. Bila AirAsia dulu mengincar Subang, kirakira hampir serupa dengan Lion Air dan Merpati yang pernah ingin terbang dari Halim Perdanakusuma.
Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
13
BERITA UTAMA
“Pertama, penghematan biaya untuk maskapai berbiaya rendah. Kedua, Subang sudah siap sehingga lebih cepat dioperasikan daripada Terminal Berbiaya Rendah di Bangkok dan Singapura. Ketiga, akan menarik kedatangan lebih banyak turis,” ujar dia. Tony juga menunjukkan bahwa dua bandara adalah hal yang lumrah di dunia. Di Tokyo, kita tahu ada Bandara Narita maupun Haneda; di London (Inggris) ada Bandara Heathrow dan Gatwick; dan di Paris ada Bandara Orly dan Charles de Gaulle. Di seputaran Jakarta, juga ada Bandara Soekarno-Hatta, Halim Perdanakusumah, Pondok Cabe, dan Curug - meski tidak dioptimalkan. Andai Bandara di Subang boleh digunakan untuk AirAsia, Tony menegaskan, takkan ada lagi rebutan antar maskapai untuk menggunakan jembatan (garbarata). Tidak ada lagi antrian di taxiway menuju runway untuk akhirnya terbang. Utilitas pesawat pun makin tinggi, dan itulah yang dibutuhkan untuk menerbangkan lebih banyak penumpang. Bahkan AirAsia sudah menghitung biaya hingga serendah-rendahnya. Tony telah mengamati betapa biaya sewa kantor per meter persegi di Bandara Subang, lebih murah daripada di KLIA.
AIRPORT HUB Niat untuk memanfaatkan Bandara Subang bagi penerbangan AirAsia, sayangnya bertentangan dengan rencana untuk menjadikan KLIA sebagai bandara penghubung “hub” terbesar di Asia Tenggara. Pemerintah Malaysia dan Malaysia Airports Holding, Bhd. (MAHB) memang punya rencana menjadikan KLIA sebagai salah satu airport hub di Asia - sebagaimana dipampangkan di dalam situs resmi bandara tersebut. Malaysian Airlines System Employees Union (MASEAU) bahkan menuding AirAsia sengaja menggembosi peran KLIA sebagai “hub”. Dan, mengecilkan peranan Sepang untuk mendukung perkembangan Putrajaya dan Cyberjaya. Belum lagi, Sepang, termasuk keberadaan Sirkuit F1 Sepang, Putrajaya, dan Cyberjaya, dibangun untuk meminimalisir kemacetan menuju dan di pusat kota Kuala Lumpur. Optimalisasi Subang malah membalikkan efektivitas dari pembangunan KLIA. Dengan jumlah penumpang yang diprediksi lebih sedikit bila dipindah ke Subang, menjadi kekhawatiran terhadap maskapai untuk tidak singgah di Kuala Lumpur. KLIA memang berkompetisi dengan Bandara Changi di Singapura, dan Bandara Suwarnabhumi di Bangkok, Thailand; untuk menjadi bandara transit di Asia Tenggara.
14
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
Bandar Udara Internasional Arlanda berlokasi di pinggiran Swedia. Terminal Bandara ini tampak sangat sederhana, namun canggih dalam pengoperasiannya.
Apalagi saat ini pun, KLIA masih punya potensi besar dengan total luas lahan 9.808 hektar, sementara baru dikembangkan 2.429 hektar untuk runway, terminal utama, satelit terminal, fasilitas kargo dan terminal maskapai berbiaya rendah. Bandingkan dengan SoekarnoHatta yang hanya mempunya lahan seluas 1.740 hektar. Di bawah rencana induk KLIA, sebanyak 6.477 hektar lahan bahkan disiapkan sebagai real estate, di luar pengembangan bandara, pendirian kawasan komersial, aktivitas rekreasi, dan kawasan hijau. Atas nama rencana yang lebih besar untuk mengembangkan KLIA, maka pemerintah Malaysia juga tidak menyerah meskipun Tony Fernandes terus saja mendesakkan ide-ide terobosannya melalui media. KLIA memang sudah kepalang basah untuk dipangkas begitu saja, pengembangannya sudah terlalu jauh. Malaysia juga tak bergeming meski Tony mau mengucurkan Rp 250 miliar untuk Subang.
LCCT SEPANG Setelah debat di media sejak Juni sampai September 2004, akhirnya 23 Februari 2005 diputuskan pembangunan Low-Cost Carrier Terminal (LCCT) di Sepang. Tidak seperti di Indonesia yang pembangunannya lamban sekali, pada tanggal 23 Maret 2006 diresmikan LCCT Sepang seluas 34.000 meter persegi. Berapa penumpang yang dapat dilayani? Sepuluh juta penumpang, atau hampir tiga kali dari Terminal 3 Soekarno-Hatta. LCCT Sepang, tercatat sebagai budget terminal yang dibangun di Asia Tenggara. Meski berselang 3 hari kemudian, diresmikan pengoperasikan budget terminal di Bandara Changi, Singapura; di atas lahan 28.200 meter persegi dengan kapasitas 2-3 juta penumpang per tahun.
Sepang. Tetapi, pertempuran belum usai. Tony mendesak pemerintah untuk menurunkan pajak bandara atau airport tax— yang kini dikenal sebagai Passenger Service Charge (PSC). “Pajak bandara LCCT harus diturunkan karena fasilitas yang digunakan berbeda. Juga terkadang, besaran pajak mencapai setengah dari harga tiket,” kata Tony. Bandara yang murah, kata Tony, juga mendatangkan lebih banyak penumpang sehingga perekonomian tumbuh. Di Indonesia, tak ada maskapai berani menantang regulator untuk menurunkan pajak dengan fakta-fakta yang rasional.
Low Cost Carrier Terminal (LCCT) milik AirAsia di Sepang, Malaysia.
Apa ciri dari terminal LCCT? Bangunan satu lantai, tanpa eskalator, tanpa garbarata, tanpa travellator atau ban berjalan. Pengkritik LCCT menyindirnya sebagai, hanggar dengan pendingin ruangan. Tidak lebih dari itu. Beberapa catatan juga ditambahkan. Mulai dari tidak ada garbarata yang menyulitkan penumpang pesawat ketika hujan; areal berbelanja yang minim, sehingga membuat bosan ketika menunggu pesawat; hingga buruknya toilet. Walau positifnya, teknologi muktahir yang diperkenalkan AirAsia membuat proses check-in cepat. Fasilitas “wah” memang bukanlah passion dari AirAsia. Yang diinginkan hanyalah penerbangan berbiaya murah dengan menekan biaya operasional. Sehingga, siapa pun dapat terbang. Pelajaran positif dari desakan Tony dan AirAsia adalah, pemerintah Malaysia bergerak cepat membangun terminal baru. Dari jumlah penumpang yang dilayani KLIA sebanyak 34,08 juta penumpang (2010), bahkan tercatat 10 juta penumpangnya tak dilayani dari terminal-terminal utama KLIA sebaliknya dari LCCT. Sebagai bahan renungan, di Indonesia tak ada maskapai yang mendesakkan ide-ide seperti Tony. Seluruh maskapai pasrah ketika terminal penuh sesak, ketika runway mulai menyebabkan antrian. Ketika AirAsia melontarkan ide membangun terminal di Soekarno-Hatta, tidak ada perdebatan tapi tak ditanggapi sama sekali.
PAJAK RENDAH
Akhirnya, sejarah membuktikan keberhasilan AirAsia. Mulai 1 Juni 2007, Menteri Transportasi Malaysia mengumumkan pengurangan pajak. Akhirnya diatur, PSC internasional dari KLIA sebesar 51 ringgit (Rp 142.800) dan PSC domestik KLIA 9 ringgit (Rp 25.200). Sementara PSC internasional dari LCCT sebesar 25 ringgit (Rp 70.000) dan PSC domestik sebesar 6 ringgit (Rp 16.800). Bandingkan misalnya dengan Bandara Internasional SoekarnoHatta dengan pajak bandara sebesar Rp 150.000 untuk penerbangan internasional, dan Rp 40.000 untuk penerbangan domestik. Hampir tak masuk akal bila tiket Jakarta-Yogyakarta Rp 300.000 sedangkan pajaknya Rp 40.000, atau hampir 15 persen? Dan revolusi di KLIA dan Malaysia itu, hebatnya hanya dilakukan oleh Tony dan AirAsia. Suatu hari, Tony Fernandes pernah berkata, “...by 2013, the combined annual traffic flown by both AirAsia and AirAsia X would be 60 million passengers per annum, more than SIA and Thai combined. By then, AirAsia would have 159 narrow-body aircraft and AirAsia X would have 25 wide-body aircraft, a combined total of 184 aircrafts compared to Malaysia Airline’s estimated fleet of 125". Jelas, AirAsia membutuhkan lebih besar terminal, ketimbang LCCT-nya yang kini penuh sesak dengan 10 juta penumpang per tahun. Namun sekali lagi, Malaysia bergerak lebih cepat dengan mulai membangun “the new LCCT”. Lokasinya hanya 1,5 kilometer dari KLIA, dengan perkiraan selesai di akhir tahun 2011 atau awal 2012. Nantinya, KLIA dengan “the new LCCT” - atau sering disebut KLIA 2, dihubungkan dengan kereta bandara. Yang fantastik, tentu saja kapasitasnya mencapai 30 juta penumpang per tahun, dengan mampu dikembangkan hingga 45 juta penumpang per tahun. Wow, dua kali kapasitas Soekarno-Hatta!(*)
AirAsia akhirnya memang menerima pembangunan LCCT di
Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
15
PROYEK KPS - POTENSIAL
SOLUSI UNTUK BALI
Foto : PT. Angkasa Pura I
Melihat kapasitas Bandar Udara Internasional Ngurah Rai di Bali yang kini sudah tidak memadai, Pemerintah Indonesia merencanakan untuk membangun bandar udara baru di kawasan Bali Utara. Dengan padatnya lalu lintas di satu-satunya bandara internasional di pulau Bali ini, yang merupakan bandara terpadat nomor tiga di Indonesia, pembangunan bandara baru diharapkan akan mengurangi beban yang saat ini ditanggung oleh Bandara Ngurah Rai. Blok Plan perluasan Bandara Ngurah Rai Bali
Selain itu, pembangunan bandara baru juga bertujuan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan antara Bali Selatan dan Bali Utara. Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Kemenbudpar, Gde Pitana dalam acara pembekalan Kebudayaan dan Pariwisata bagi pelaku industri pariwisata di Bali, pada 18 April 2011 berujar, realisasi pembangunan bandara di Bali Utara adalah solusi untuk mengatasi overload yang sudah terjadi di kawasan Bali Selatan. Lebih lanjut Pitana menyatakan, pembangunan jalan untuk mengatasi macet misalnya, selalu gagal karena pertumbuhan jumlah kendaraan jauh lebih cepat. Di sisi lain, masyarakat tidak bisa dipaksa untuk pindah dan melakukan investasi di luar wilayah Bali Selatan. Karena itu, diperlukan pusat pertumbuhan baru sebagaimana Kuta dan Nusa Dua di era tahun 70-an. Berdasarkan kajian geografis, untuk pembangunan Bandara, Bali Utara yang termasuk wilayah Kabupaten Buleleng lebih cocok. Saat ini sudah ada 3 lokasi yang disurvei yakni di Desa Gerogak, Buleleng Kota dan Kubu Tambahan. Bandara di Buleleng itu tidak akan menggantikan bandara Ngurah Rai di Tuban. Tapi lebih merupakan penambahan bagi Bali karena bandara di Tuban saat ini telah mencapai kapasitas maksimalnya.
16
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
Studi kelayakan pembangunan bandara diperkirakan akan selesai pada akhir 2011 sehingga pembangunannya bisa dimulai pada 2012. Bandara ini membutuhkan lahan seluas 800-1000 ha dan akan menjadi acuan dalam master plan pembangunan Bali Utara. Gubernur Bali Made Mangku Pastika menegaskan rencana pembangunan bandara internasional di Buleleng beserta sarana penunjangnya, yaitu jalan tol, untuk menyeimbangkan pembangunan di wilayah utara itu. “Tanpa mega proyek seperti bandara dan sarana jalan yang memadai, Buleleng tidak akan maju, baik dari sisi ekonomi maupun kehidupan masyarakatnya,” kata Mangku Pastika yang berasal dari Buleleng. Oleh karena itu, Pemprov Bali telah menyepakati untuk mengarahkan pembangunan sektor pariwisata ke Buleleng dan wilayah timur, sekitar Kabupaten Karangasem yang juga belum seimbang dibandingkan kawasan selatan sekitar Denpasar. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, saat membuka Pesta Kesenian Rakyat Singaraja, di Taman Kota Singaraja, pada 31 Maret 2011, menegaskan pentingnya dibangun sebuah bandara di Kabupaten Buleleng. Dengan adanya bandara di Buleleng, pembangunan di daerah Bali Utara
akan lebih pesat, seperti halnya kawasan di Bali Selatan.
Jika bandara di Buleleng sudah dibangun, kata Wacik, tidak hanya akan berpengaruh pada percepatan pembangunan di Bali Utara saja. Namun juga akan berimbas pada wilayah di Bali bagian barat (Jembrana) dan Bali bagian timur (Karangasem). “Bandara baru di Buleleng ini diharapkan sudah selesai dibangun dan bisa didarati pesawat pada tahun 2014,” ujarnya. Saat ini, Investor dari India, GVK Power & Infrastructure Limited menyiapkan dana US$ 1 miliar untuk membangun Bandara di Bali Utara ini. “Kami menyiapkan dana sebesar US$ 1 miliar untuk pembangunan bandara di Bali Utara. Kami juga akan membantu mega proyek di Bali lainnya seperti Garuda Wisnu Kencana (GWK) untuk mendukung kemajuan kepariwisataan Bali,” kata Krishna Reddy, Chairman & Managing Director GVK Power & Infrastructure Limited, saat bertemu Menbudpar Jero Wacik, di Gedung Sapta Pesona Jakarta. Jero Wacik mengatakan, realisasi investasi ini merupakan komitmen atas penandatanganan kerja sama antara pemerintah Indonesia dan India dalam rangkaian kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke India beberapa waktu lalu. “Bandara Internasional Bali Utara merupakan salah satu dari item yang ditandatangani lewat Memorandum of Understanding (MoU),” kata Wacik dalam sambutannya. Rencana pembangunan bandara internasional di Kabupaten Buleleng ini tentunya mendapat sambutan yang hangat dan positif dari segenap masyarakat Kabupaten Buleleng. Pembangunan bandara yang diperjuangkan oleh Bupati Buleleng Drs. Putu Bagiada MM., dan Wakil Bupati Buleleng Drs. Made Arga Pynatih M.Si. itu telah sampai pada proses MoU yang penandatangannya dilakukan di India pada awal 2011.
Foto : PT. Angkasa Pura I
“Jika sudah ada bandara di Buleleng, maka investor akan berdatangan untuk berinvestasi di Buleleng. Ini sudah terbukti, dimana ada bandar udara, orang pasti akan berbondongbondong datang ke tempat itu,” ujar Jero Wacik di hadapan ribuan warga Buleleng waktu itu. Untuk mewujudkan bandar udara di Buleleng, kata Wacik, seluruh komponen masyarakat Buleleng diharapkan bersatu dan mendukung pelaksanaan pembangunan bandara tersebut.
Blok Plan perluasan Bandara Ngurah Rai Bali
sebagai salah satu pintu gerbang dunia yang berdampak positif di bidang ekonomi. Pendirian bandara, lanjutnya, akan memberikan multiplier effects yang akan menggerakkan dan menghidupkan hotel, restoran serta aktifitas penunjang pariwisata yang berujung pada pertumbuhan ekonomi yang drastis. Untuk itu, Rektor mendoakan agar pembangunan bandara internasional itu cepat terwujud. Pembangunan bandara internasional di Kabupaten Buleleng sempat memancing pendapat sinis yang mengatakan bahwa pembangunan bandara di Buleleng akan mempercepat rusaknya Bali. Terhadap pandangan sinis itu, Dr. Ketut Gunawan membantahnya. Sebab menurutnya, masyarakat Bali sudah lama memiliki asas akulturasi yang bisa menerima budaya luar tanpa kehilangan budaya lokal. Selain dari kalangan akademisi, dukungan disampaikan oleh salah satu tokoh masyarakat Buleleng Gusti Bagus Nyoman Adnyana yang berpendapat pembangunan bandara internasional untuk masa depan. Sebab, menurutnya, bandara Ngurah Rai sudah kurang memadai lagi untuk sebuah bandara bertaraf internasional. Pendapat senada disampaikan juga oleh Ketua LVRI Buleleng, Wayan Wida yang menyambut positif rencana pembangunan bandara internasional itu. Sementara itu Camat Gerokgak, Putu Kariaman, S.Sos., menyatakan telah melakukan sosialisasi tentang pembangunan bandara internasional itu. Hasilnya masyarakat Gerokgak umumnya mendukung pembangunan itu dan mengharapkan pembangunannya akan cepat terealisasi. (*)
Rektor Universitas Panji Sakti, Dr. Ketut Gunawan, berpendapat bahwa bandara merupakan salah satu transportasi di era globalisasi yang akan menjadikan Kabupaten Buleleng Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
17
PROYEK KPS - POTENSIAL
BANDARA KULONPROGO
SIAP GANTIKAN ADISUTJIPTO Kulonprogo termasuk daerah tertinggal di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kondisi infrastrukturnya sangat minim. Secercah harapan mulai muncul ketika pemerintah akan membangun bandar udara (bandara) internasional di kabupaten ini. Kini masyarakat Kulonprogo tengah bersiap menghapus statusnya sebagai daerah tertinggal.
Proyek pembangunannya
memang belum dimulai. Sekarang masih tahap studi kelayakan (feasibility study) oleh PT Angkasa Pura I. Studi kelayakan butuh waktu sekitar enam bulan sejak sekarang. “Maka, bulan Mei atau Juni 2012 proyeknya baru bisa dikerjakan,” ujar Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Pe r h u b u n g a n ( K e m e n h u b ) H e r r y B h a k t i G u m a y. Setelah studi kelayakan selesai disusun, dibuat rencana induk (master plan). Kemudian dilanjutkan pembuatan detail engineering design selama Juni–Desember 2012. Setelah itu, sesuai jadwal akan dilakukan proses tender pada 2013, dan berlanjut dengan pengerjaan konstruksi selama 2014-2016. “Jika semua berjalan sesuai rencana, maka Bandara Kulonprogo akan siap beroperasi mulai tahun 2016. Syukur kalau bisa lebih cepat lagi,” ujar Herry Bhakti. Pembangunan Bandara Kulonprogo termasuk dalam program PPP Project Book Bappenas 2010-2014. Artinya, hal ini memberi peluang kepada investor swasta maupun asing yang berminat mengelola bandara di bawah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dirjen Perhubungan Udara. Nantinya, bandara internasional ini akan diberi nama Nyi Ageng Serang, yakni nama pahlawan wanita yang berasal dari Kulonprogo. Sebenarnya, di Propinsi DIY sudah ada Bandara Adisutjipto. Bandara berskala internasional ini memiliki rute penerbangan ke
18
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
berbagai destinasi nasional, regional maupun internasional. Lebih dari tiga juta penumpang dilayani setiap tahun. Meningkatkan pergerakan manusia dan barang membuat bandara Adisutjipto kini tidak mampu lagi mengikuti pertumbuhan tersebut. “Pemindahan lokasi ke Bandara Kulonprogo sangat tepat karena frekuensi penerbangan dan arus penumpang di bandara Adisutjipto sudah overload,” ujar Mohammad Thoha, anggota Komisi V DPR yang membidangi infrastruktur, perumahan, dan perhubungan. Dalam kunjungan kerjanya beberapa waktu lalu ke Bandara Adisutjipto, Komisi V DPR menilai, keberadaan bandara sudah tidak layak. Panjang landasannya cuma 2.200 meter dan sulit dilandasi pesawat berbadan besar. Mustahil menambah panjang landasan karena tidak ada lahan. Sekitar bandara dipadati pemukiman warga. “Makanya segera dipindah supaya Bandara Kulonprogo bisa beroperasi saat Open Sky ASEAN 2015 diterapkan,” papar Mohammad Thoha. Menanggapi hal itu, Herry Bhakti menandaskan, Bandara Adisutjipto tetap difungsikan meski nantinya ada Bandara Kulonprogo. Adisutjipto nantinya digunakan untuk penerbangan very important person (VIP) seperti tamu negara atau penerbangan yang bersifat penting/darurat. Selain itu, akan dipakai sebagai tempat latihan terbang Akademi TNI Angkatan Udara.
Masterplan Bandara Kulonprogo – terletak sekitar 30 km sebelah barat dari kota Yogyakarta – memiliki runway sepanjang 3.600 meter. Landasan tersebut sangat memadai untuk pesawat ukuran besar dan bertaraf internasional. Pada landasan sisi timur-barat, ditambah dua perimeter masing-masing sejauh 900 meter sehingga total keseluruhan runway adalah 4.400 meter. Yang dikerjakan pertama adalah lancasan pacu, barulah perimeter dan menyusul lighting. Luas lahan bandara mencapai sekitar 350 hektare, dilengkapi 7 taxiway dengan 4 interconnect taxiway. Sarana dan fasilitas yang ada nantinya adalah apron, terminal building, commercial building, technical building dan dukungan pengoperasian penerbangan dengan Air Traffic Control (ATC) serta fasilitas parkir bagi pengunjung. Bandara yang mampu melayani 30 juta penumpang setiap tahun. Kepala Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) DIY Tjipto Haribowo, mengakui tentang rencana pembangunan Bandara Kulonprogo. Sesuai Memorandum of Understanding (MoU) pemda DIY dan PT Angkasa Pura I ditetapkan bahwa pembangunan bandara internasional di Kabupaten Kulonprogo. Pemda DIY sangat mendukung rencana tersebut. Namun, sejauh ini belum diketahui pasti lokasi mana tepatnya yang akan dipakai sebagai bandara. “Di Kulonprogo ini banyak lahan kosong. Lokasi mana tepatnya untuk areal bandara, masih menunggu feasibility study,” jelasnya. Cukup beralasan bila jajaran terkait di pemda DIY seolah bungkam ketika ditanya soal areal yang akan dijadikan lokasi bandara. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir resistensi warga, seperti yang terjadi pada rencana proyek penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo yang sampai saat ini ditolak warga karena sebelumnya telah digembargemborkan. Terhadap lahan warga yang akan dipakai lokasi proyek, tidak mustahil bakal menyulut para spekulan tanah untuk menuntut harga tanah yang tinggi saat akan dibebaskan.
Berdasarkan informasi yang berkembang, kemungkinan besar lokasi pembangunan bandara di sekitar pantai agar sinergi dengan rencana pembangunan pelabuhan di kabupaten paling barat DIY tersebut. Proyek ini juga sinergi Jalur Lintas Selatan-Selatan (JLSS).
Bandara Adisutjipto Yogyakarta.
Soal pembebasan lahan yang selama ini dianggap menjadi kendala, diakui pemda DIY tidak keberatan karena pembebasan lahan menjadi tanggung jawab pemda setempat. Tapi, sosialisasinya baru akan dilaksanakan apabila memang sudah ada kepastian lokasi bandara berdasarkan hasil feasibility study. “Soal pembebasan lahan, kami tinggal tunggu waktu setelah studi kelayakan rampung. Paling cepat tahun depan,” ujar Haribowo. Anggaran pembangunannya cukup fantastis, sekitar US$ 500 juta. Mengandalkan dana APBN, sudah barang tentu butuh waktu panjang karena anggaran untuk pemerintah untuk pengembangan bandara hanya sekitar Rp 2 triliun yang sebagian besar untuk membiayai pemeliharaan bandara di seluruh Indonesia. Karena biaya investasinya besar, Kepala Bappeda Kulonprogo, Agus Langgeng Basuki, menegaskan perlu menggandeng investor. Angkasa Pura I awal tahun ini sudah menandatangani MoU dengan GVK Ltd. dari India. Selain itu, tiga investor dari negara China, Korea dan Ceko juga menyatakan tertarik untuk investasi. Pemerintah Ceko bahkan telah melakukan feasibility study terhadap alternatif pembangunan bandara baru di Kulonprogo. Namun hingga saat ini ketiga investor belum ada kesepakatan karena masih menunggu hasil studi kelayakan. Hanya GVK Ltd. yang berminat untuk menjadi partner Angkasa Pura membangun bandara Kulonprogo. “Pemerintah pusat, daerah maupun pihak terkait seperti BKPM menawarkan kepada investor supaya proyek Bandara bisa terlaksana. Sambil menunggu studi rampung, pasti ada investor yang berminat,” tandas Agus Basuki. Jika proyek pembangunan bandara internasional ini terealisasi, keberadaan Kulonprogo akan menjadi masa depan DIY.(*)
Perbaikan Bandara Adisutjipto Yogyakarta yang terkesan “tambal sulam”. Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
19
PROFIL LEMBAGA KPS
BPN SIAP PERCEPAT PROSES PEMBEBASAN LAHAN Rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang digelar pada medio 2011 lalu berbuah manis. BPN memperoleh dukungan penuh dari Komisi II untuk menjalankan program-program strategis tahun anggaran 2012. Salah satu bentuk dukungan tersebut adalah disetujuinya pengunaan pagu anggaran indikatif BPN sebesar Rp 3,527 triliun untuk meningkatkan kinerja BPN.
Dalam kesempatan itu, Kepala BPN Joyo Winoto memaparkan program-program strategis tahun anggaran 2012. Salah satu program strategis, terkait dengan proyek Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) adalah percepatan legalisasi aset tanah. Dalam hal ini, pemerintah akan mempermudah pengadaan lahan untuk seluruh proyek yang akan digarap melalui pola KPS untuk mempercepat pembangunan infrastruktur dan meningkatkan iklim investasi.
20
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
Selama ini rancangan aturan pengadaan lahan untuk kepentingan umum maupun proyek pemerintah belum mengakomodasi kepentingan proyek-proyek yang digarap melalui skema KPS. Akibatnya, target penyelesaian sejumlah proyek KPS banyak yang molor karena terhambat persoalaan pembebasan lahan. Sementara rencana proyek yang diprogram sebagai proyek prioritas dan siap ditawarkan kepada investor melalui skema KPS masih kurang diminati investor, baik proyek jalan, bandara atau jalan tol karena persoalan pembebasan lahan. “Selama ini skema pembebasan lahan untuk KPS belum diakomodasi. Padahal proyek infrastruktur itu sebagian besar dikerjakan melalui pola ini. Saya usulkan untuk diatur dalam undang-undang,” kata Kepala BPN. Ditambahkan, draft undang-undang pengadaan lahan untuk kepentingan umum dan proyek pemerintah sedang dalam pembahasan di DPR. Mudah-mudahan tahun ini draft atau RUUnya rampung dan disahkan menjadi UU.
Dalam draft RUU tersebut, pemerintah akan memberikan jangka waktu untuk proses pembebasan lahan pembangunan infrastruktur selama 439 hari. Jangka waktu ini ditetapkan untuk memberikan kepastian waktu dan investasi sekaligus meminimalisasi keberadaan spekulan pada proses pembebasan lahan. “Jangka waktu selama 439 hari adalah batas maksimal, perhitungan kami untuk kondisi terburuk, misalnya perlu berkali-kali tahap penyuluhan atau sosialisasi atau banding nilai ganti rugi sehingga proses pembebasan menjadi sulit.Tapi kalau berjalan lancar,tentu lebih cepat,” ujar Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan Pertanahan BPN Yuswanda AT. Kepastian pembebasan lahan selama 14 bulan hingga 15 bulan tersebut diatur dalam Rancangan Undang-Undang Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan (RUU PTUP). Adapun mekanisme pembebasan lahan yang harus dilalui sesuai RUU PTUP mulai dari persiapan, konsultasi publik, keberatan, kajian atas keberatan, hingga penetapan dibutuhkan waktu maksimal 2 bulan 14 hari. Bila masih bermasalah dilanjutkan dengan proses identifikasi dan inventarisasi masalah, penilaian ganti rugi, musyawarah, keberatan, pengajuan banding ke Pengadilan Negeri, proses pengadilan, dan pembayaran ganti rugi. Ketentuan batas waktu proses pembebasan lahan akan menjadi poin penting dalam penyusunan regulasi RUU PTUP. Dalam mekanisme pembebasan lahan yang saat ini tertuang dalam Peraturan Kepala BPN No 3 tahun 2001, proses pembebasan lahan dilaksanakan dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Namun, BPN menjanjikan waktu lebih cepat - maksimal 256 hari proses pembebasan lahan untuk proyek infrastruktur bakal kelar. “Kalau semuanya lengkap, kenapa harus 439 hari? Lebih baik kalau lebih cepat,” ujar Joyo Winoto. Penyusunan regulasi pengadaan lahan untuk proyek pemerintah didasarkan pada tiga prinsip utama, yaitu kepastian ketersediaan tanah untuk pembangunan yang menyangkut kepentingan umum, terjaminnya hak-hak masyarakat sebagai pemilik tanah, dan hilangnya praktik spekulasi di tengah negosiasi pengadaan lahan. Lantas sejauh mana peran BPN dalam proses pengadaan lahan untuk proyek KPS, termasuk pembebasannya? Kasubid Penerangan dan Penyuluhan BPN, Bambang Sugiarto menjelaskan bahwa pengadaan lahan harus mengacu pada Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) maupun Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK). Pengadaan lahan ditetapkan oleh kepala wilayah t e r s e b u t , y a k n i Gu b e r n u r, Wa l i k o t a , a t a u Bu p a t i . “Ini bila proyek mencakup dalam satu wilayah atau lintas wilayah dalam satu provinsi. Namun, apabila proyek mencakup dua wilayah
berbeda, maka keputusan ada di kementerian, dalam hal ini kementerian yang terlibat, seperti Kementerian PU,” jelas Bambang. Pembebasan lahan dilakukan oleh tim terpadu yang melibatkan pihak terkait dimana BPN termasuk dalam keanggotaan tim. Biasanya peran BPN dalam tim menjabat sebagai sekretaris. BPN ikut melakukan survei terhadap lahan yang akan dibebaskan, sementara pelaksanaan pembebasan dilakukan oleh pemerintah daerah setempat. Pasal 2 Peraturan Presiden (Perpres) No 10/2006 menyebutkan, BPN melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional, dan sektoral. Pasal berikutnya menyebutkan 21 fungsi BPN. Antara lain, pengaturan dan penetapan hak atas tanah, pembinaan dan pelayanan administrasi umum bidang pertanahan, serta pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah khusus. “Dengan peran tersebut, maka peran BPN sangat vital dalam hal pertanahan, baik perorangan, institusi maupun pemerintah yang terkait dengan proyek KPS,” jelasnya lagi. Dengan peran itu pula, otomatis setiap proyek KPS yang diprogramkan pemerintah tentu tidak lepas dari peran BPN. Jika selama ini terdapat indikasi tentang mangkraknya sejumlah proyek KPS akibat terkendala masalah pengadaan dan pembebasan lahan, diakui Bambang, karena masalahnya kompleks. Ada banyak pihak yang terlibat di situ sehingga butuh waktu lama untuk menyelesaikan. Pada pembebasan lahan misalnya, sebelum eksekusi perlu dilakukan survei lapangan hingga edukasi ke masyarakat. “Namun, dengan ditetapkannya UU Pengadaan Lahan untuk proyek pemerintah, kendala yang ada dapat diminimalisir sehingga proyek bisa berjalan sesuai target rencana,” lanjut Bambang. Berbagai proyek KPS yang saat ini macet karena terbentur masalah pembebasan lahan tentunya menjadi tugas BPN untuk mengatasi kendala tersebut sehingga proyek bisa bergulir. Sebut saja proyek proyek pembangunan Tol Medan-Kuala Namu-Tebingtinggi, tol Ulujami-Kebon Jeruk, hingga proyek KPS pembangunan sejumlah bandara, masalah pengadaan dan pembebasan lahan sejauh ini masih menjadi kendala utama. Sudah tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi BPN selaku lembaga yang terkait dengan proyek KPS. Mudah-mudah dengan disahkannya RUU Pengadaan Lahan untuk kepentingan umum dan proyek pemerintah membuat BPN semakin “agresif ” mengatasi semua kendala yang menghambat proyek KPS. Sebagaimana janji Kepala BPN Joyo Winoto yang akan menyelesaikan proses pembebasan lahan dengan singkat dalam tempo 256 hari. (*)
Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
21
EDUKASI PROGRAM KPS
Bangunlah Aerocity, Bukan Sekedar Bandara Biasa Schipol sungguh mempesona. Bukan sekedar pencitraan bandar udara itu, bukan sekedar fasilitas dan pelayanan, tetapi kita bicara soal keberadaan Bandara Schipol yang mampu menjadi mesin penggerak dari pertumbuhan ekonomi di kawasan sekeliling bandara bahkan bagi perekonomian Belanda.
Pada 31 Oktober 2010, total pekerja yang berkarya di Schipol mendekati 60.000 orang yang bekerja pada 514 perusahaan. Penumpang yang terbang melalui Schipol bahkan berkontribusi sebesar 11 miliar euro bagi perekonomian Belanda, juga membuka lapangan pekerjaan bagi 170.000 lapangan pekerjaan. McKinsey & Company dan The Boston Consulting Group punya hitungan berbeda. Kata mereka, Schipol berkontribusi 26 miliar euro terhadap perekonomian Belanda; dan Schipol menyerap 290.000 tenaga kerja. Tahun 2010, Schipol adalah rumah bagi 106 maskapai, yang menawarkan penerbangan ke 301 tujuan. Dimana 162 penerbangan menuju kota-kota di Eropa, sedangkan 139 penerbangan menuju ke kota-kota di seberang lautan. Sebanyak 99 penerbangan kargo, juga hilir-mudik selama 24 jam di Schipol. Yang menarik, tak semua penumpang turun di Schipol untuk kemudian memasuki Belanda. Sebanyak 41 persen penumpang, hanya singgah di Schipol untuk transit, menunggu sambil banyak belanja lalu terbang lagi. Atau, sebagian lainnya keluar dari terminal tetapi tetap bekerja di kawasan bandara di kantor seperti Ernst&Young, RR Donelly, Unilever, dan Microsoft. Banyak perusahaan memang membuka kantor cabangnya di dalam tembok bandara Schipol lantaran kemudahan akses. Hebatnya, karena permintaan begitu tinggi, harga sewa properti di dalam kawasan Schipol rata-rata mencapai 110 euro per meter persegi per tahun, lebih tinggi dari
22
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
harga sewa di Amsterdam senilai 80 euro per meter persegi per tahun. Schipol, pendek kata bukan sekedar bandara, tetapi sudah merupakan “aerocity”, kota bandara. Di Indonesia, kita baru merajut mimpi untuk membangun konsep bandara sejenis. Salah satu proyek percontohan adalah, Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat. Telah diperhitungkan total kebutuhan pendanaan Rp 35 triliun, di luar infrastruktur utama berupa Tol CikampekPalimanan, Tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan, dan jalur kereta api. Ketika nanti tiga tahap pembangunan diselesaikan, pada lahan seluas 1.800 hektar akan terbangun terminal penumpang berbentuk huruf U (50.000 meter persegi), terminal haji (3.000 meter persegi), dan dua runway masing-masing berukuran 3.000 meter x 60 meter Sebagaimana telah ditawarkan dalam berbagai dokumen, dalam rencana induk Bandara Kertajati tidak hanya disinggung bandara, tetapi pengembangan kawasan sehingga tajuknya menjadi “Kertajati Aerocity Master Plan”. Kawasan komersial yang dibangun di sisi selatan bandara, membutuhkan lahan seluas 3.200 hektar, sehingga total luas Bandara Internasional Kertajati mencapai 5.000 hektar. Ada rencana apa saja di kawasan komersial? Direncanakan kawasan industri (960 hektar), areal bisnis (384 hektar), permukiman (640 hektar), kawasan wisata dan rekreasi
(288 hektar), pusat kebudayaan (128 hektar), dan lahan cadangan untuk runway ketiga (900 hektar).
BAGAIMANA MEMULAI PEMBANGUNANNYA? Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono mengatakan, partisipasi swasta dibuka sangat luas sehingga siapa pun dapat ikut membangun bandara dengan konsep Kerjasama Pemerintah Swasta. Jadi, pemerintah segera melelang proyek bandara baru seperti di Kertajati ini; seperti kini telah dimulai di proyek-proyek pelabuhan seperti Terminal Kalibaru Utara di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Investor asing juga diperkenankan ikut serta di dalam tender meski pun porsi sahamnya minoritas di bawah 50 persen. Namun, masalah modal pengusahaan bandara, lebih rinci diatur di dalam Pasal 237 UU Nomor 1/2009 tentang Penerbangan. Menurut pasal tersebut, pengusahaan kegiatan pelayanan jasa kebandarudaraan dan pelayanan jasa terkait bandar udara yang dilakukan oleh badan usaha bandar udara, seluruh atau sebagian besar modalnya harus dimiliki badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia. Dalam hal modal badan usaha bandar udara yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warga negara Indonesia, terbagi dalam beberapa pemilik modal. Salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemegang modal asing. “Sementara itu, untuk pengembangan bandara yang sudah dioperasikan sebelumnya oleh Angkasa Pura, maka tetap diperbolehkan untuk dikembangkan oleh BUMN itu,” ujar Wakil Menteri Perhubungan. Apa saja yang boleh diupayakan oleh badan usaha? Pasal 232 sampai Pasal 238 UU Penerbangan sudah mengaturnya dengan rinci. Yakni, pengusahaan bandara terdiri atas pelayanan jasa kebandarudaraan, dan pelayanan jasa terkait bandara. Artinya, mulai dari fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan,
lepas landas, manuver, parkir dan penyimpanan pesawat udara; hingga elektronika, listrik, air dan instalasi limbah; perbengkelan pesawat udara dan pergudangan; hingga penyediaan penginapan atau hotel, transit hotel, toko dan restoran, serta parkir kendaraan bermotor. Bagi pemerintah, kata Wamenhub, partisipasi swasta dalam pembangunan bandara juga menghemat dana negara untuk membangun bandara-bandara di daerah pelosok. “Dalam 10-15 tahun mendatang, kita butuh investasi Rp 32 triliun untuk membangun bandara. Dan pemerintah hanya sanggup mengucurkan dana sebesar 20 persen saja,” kata Bambang. Kini selain Bandara Kertajati, pemerintah sedang merencanakan pembangunan Bandara Bali Baru di Buleleng, Bali, dan mempertimbangkan pembangunan Bandara Yogyakarta baru. Direncanakan, investasi bandara baru Yogyakarta mencapai Rp 1,2 triliun, dengan menampung 5-6 juta penumpang per tahun. Bandara baru di Yogyakarta, juga untuk mengurangi persinggungan dengan TNI Angkatan Udara yang tetap terbang dari Bandara Adisutjipto. Sebagian besar bandara di Indonesia, memang dibangun untuk tujuan Pangkalan Udara (militer) maka tidak heran, penerbangan komersial masih harus berbagi dengan TNI AU. Ambil contoh di Bandara Abdulrahman Saleh di Malang, atau Bandara Supadio di Pontianak. Meski demikian, untuk persyaratan pendirian bandara secara rinci, kata Wamenhub, masih harus ditunggu Peraturan Pemerintah tentang Bandara; yang diharapkan keluar dalam beberapa minggu ke depan di bulan November 2011. Sekedar informasi, PP Pelabuhan sudah lebih dahulu terbit, dan dapat dilihat sampai sebatas apa kewenangan pemerintah. Meski terkadang, pemerintah kembali menyerahkan kewenangan ke swasta oleh karena dana terbatas, seperti dalam hal pengerukan alur pelayaran. Kemudian, apa hambatan terbesar pengelola bandara? Masalah dana? Penyusunan masterplan? Ternyata bukan. Direktur Utama PT Angkasa Pura I Tommy Soetomo menegaskan, “masalahnya adalah sulitnya pembebasan lahan”.(*)
Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
23
SOSOK
Mencanangkan
WORLD CLASS AIRPORT
Tri Sunoko Direktur Utama PT Angkasa Pura II
Sejak didapuk menjadi Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero) pada Juli tahun lalu, Tri Sunoko langsung tancap gas untuk melakukan sejumlah pembenahan di dalam perusahaan pengelola 12 bandara yang berada di sejumlah kota di Indonesia. Salah satunya adalah Bandara Internasional Soekarno-Hatta di Jakarta yang ia canangkan menjadi world class airport.
S ejatinya, bidang perhubungan bagi Tri bukanlah hal baru. Sebelum diangkat sebagai orang nomor satu di PT Angkasa Pura II, pria kelahiran Jakarta 28 Maret 1952 ini pernah menjabat sebagai Direktur Angkutan Udara di Kementerian Perhubungan (2007-2010). Tak heran, kalau Tri sangat paham seluk beluk tentang pengelolaan bandara. Namun demikian, kendati punya banyak pengalaman di bidang perhubungan, Tri harus bekerja keras untuk melakukan pembenahan. Misalnya saja tak lama setelah ia diangkat menjadi Dirut Angkasa Pura II ini, Tri langsung menghadapi masalah: matinya listrik dan radar di Bandara Soekarno-Hatta. Insiden ini mengundang protes publik dan menyalahkan Angkasa Pura II. Bandara ini memang perlu dibenahi terkait dengan daya tampungnya. Dari terminal satu sampai tiga, total kapasitas bandara ini bisa menampung 22 juta penumpang per tahun. Sekarang, lalu lintas bandara semakin tinggi dan total penumpang melonjak menjadi 44,3 juta orang per tahun yang dilayani 14 maskapai pada jalur penerbangan domestik dan 41 maskapai di rute internasional. Dengan pertumbuhan penumpang Soekarno-Hatta yang setiap tahunnya mencapai lebih dari 10% maka dalam lima tahun mendatang, jumlah penumpang bisa mencapai 50 juta orang. Tentu saja ini akan membuat Soekarno-Hatta menjadi makin tidak nyaman.
24
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
Bagi Tri, semua masalah yang ada harus dihadapi karena itu telah menjadi resiko sebagai nahkoda di Angkasa Pura II. Kendati masalah bertumpuk, Tri berupaya untuk tidak menekan anak buah. “Lebih baik membiarkan teman-teman di Angkasa Pura bekerja secara optimal. Dengan hasil optimal, feed back yang kami peroleh kelak akan lebih bagus,” ungkap pria yang pernah menjadi Atase Perhubungan di KBRI Washington DC ini. Apalagi Tri punya obsesi ingin menjadikan Soekarno-Hatta serta Bandara Kuala Namu Medan sebagai bandara world class airport yang setara dengan bandara regional lainnya. Untuk menuju ke sana, selain pihaknya sudah membuat desain rencana induk (grand design) pengembangan Soekarno-Hatta. Hal yang paling penting buat Tri adalah perubahan mindset untuk menuju world class airport , baik untuk internal di perusahaannya maupun bagi masyarakat. “Saya tidak mau muluk-muluk dalam membuat strategi, yang penting mengubah mindset. Tentu membutuhkan waktu,” ujarnya. Sekarang ini, bagi Tri, pelanggan menempati prioritas utama. Kedua, karyawan sebagai roda penggerak perusahaan. Selanjutnya manajemen, dan CEO adalah bagian terakhir. “Jadi, service utama adalah untuk pelanggan,” katanya. Memberikan pelayanan terbaik buat pelanggan adalah hal penting dalam mewujudkan world class airport. (*)
SOSOK
Kesiapan Menghadapi
ASEAN OPEN SKY 2015 Indonesia adalah pasar potensial bagi industri penerbangan. Ini karena jumlah penduduknya yang sangat besar. Industri penerbangan di tanah air pun tumbuh pesat. Pertumbuhannya bahkan termasuk yang paling tinggi di dunia. Pertumbuhan dunia hanya 6%, Asia Pasifik sekitar 10-15%. Sedangkan Indonesia tumbuh 15-20% lantaran perekonomian nasional
Herry Bhakti S Gumay
tumbuh di atas 6%.
Dirjen Perhubungan Udara
terhadap kesiapan syarat internasional seluruh operator,” tegas Herry, sapaan akrab Sarjana Tenik Mesin lulusan ITB Bandung yang juga penyandang Master Manajemen Keuangan ini.
sesuai standar ICAO (International Civil Aviation Organization) hingga penetapan rute cakupan dan operational base airline bekerjasama dengan pengelola bandara dan pemda setempat.
Aspek lain yang turut diperhatikan adalah pengelolaan jalur (traffic) nasional, regional dan internasional secara terpadu dimana akhirnya akan memberi keuntungan bagi kemajuan industri penerbangan nasional. “Kita dorong operator lokal dengan manajerial yang profesional untuk be a global player,” tuturnya.
Saat ini pemerintah telah menetapkan lima bandara yang dipersiapkan menghadapi ASEAN Open Sky, yakni bandara SoekarnoHatta, Ngurah Rai, Juanda, Polonia dan Sultan Hassanudin.
Industri penerbangan nasional diprediksi akan lebih pesat lagi dengan diterapkannya liberalisasi penerbangan atau open sky di kawasan ASEAN tahun 2015 sebagai implikasi dari era globalisasi. Indonesia akan jadi sasaran pihak asing dalam bisnis penerbangan. “Mustahil kita menutup diri. Untuk mengantisipasi open sky, perlu kesiapan matang dari pemerintah maupun operator airlines,” kata Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Herry Bhakti Singayuda Gumay. Menurut lelaki kelahiran Lahat, Sumatera Selatan pada 15 April 1953 itu, sikap pemerintah terhadap ASEAN Open Sky adalah mendorong perusahaan penerbangan nasional (operator airlines) untuk menciptakan atau memperkuat ‘hub’nya. Ini bisa diwujudkan jika operator memiliki SDM yang profesional, standar safety penerbangan, serta didukung service yang baik. Industri penerbangan butuh manajerial yang profesional sesuai standar internasional. Pasalnya, era open sky akan memicu persaingan yang sangat tinggi. “Jadi, bukan cuma beli pesawat untuk tambah armada. Tapi, bagaimana operator mampu memenuhi standar internasional penerbangan. Pemerintah sangat concern
K e n d a t i A S E A N O p e n Sk y b a r u diberlakukan empat tahun lagi, namun kesiapan ke arah itu sudah berlangsung. Roadmap antisipasi, diakui sudah ada dan tinggal dijalankan, seperti pelatihan SDM yang berkelanjutan, membangun sistem pengawasan dan audit yang kredibel hingga mewujudkan budaya excellence service pada jasa transportasi udara. Bagi pengelola bandara, imbuh Herry, beberapa persiapan penting juga gencar dilakukan, meliputi identifikasi dan benchmarking bandara internasional negara tetangga sebagai acuan pengembangan bandar-bandar udara ASEAN Open Sky 2015, pengelolaan bandara internasional
Pembangunan infrastruktur bandara dilakukan pemerintah untuk merespon dinamika transportasi udara. Menurut dia, peningkatan kapasitas infrastruktur bandara butuh waktu lama. Untuk itu, dalam pengembangan infrastruktur bandara harus bersifat jangka panjang. Artinya, pembangunan dan pengembangan bandara harus sudah mempertimbangkan pertumbuhan penumpang udara minimal 10-15 tahun yang akan datang. Jumlah penumpang angkutan udara untuk rute domestik maupun internasional pada 2014 mencapai 98,11 juta orang. Jumlah ini terus meningkat di tahun berikutnya. “Perencanaan dan persiapan sudah cukup matang. Jadi, menghadapi ASEAN Open Sky 2015, siapa takut?” tandas Herry Bhakti yang gemar olahraga tenis meja dan bersepeda. (*) Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
25
SEKILAS BERITA
PROYEK PLTU JAWA TENGAH: Contoh Sukses Keberhasilan KPS Bertempat di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, pada 6 Oktober 2011 telah ditandatangani dokumen pelaksanaan dan penjaminan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa Tengah 2 × 1.000 MW. PLTU Jawa Tengah ini merupakan proyek besar yang direalisasikan dengan pola Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS).
Dalam acara penandatanganan kontrak KPS PLTU Jawa Tengah tersebut, dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Perncepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI), Menteri Keuangan, Menteri PPN/Kepala Bappenas, Menteri Badan Usaha Milik Negara a.i, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal, Gubernur Jawa Tengah, Bupati Batang dan Duta Besar Jepang, Dirut PT PLN (Persero), Dirut PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero), CEO JPower, CEO Itochu, CEO PT Adaro, serta undangan yang mewakili berbagai institusi terkait. Pada kesempatan itu, ada 5 dokumen yang ditandatangani terkait dengan realisasi Proyek KPS PLTU Jawa Tengah. Pertama, Perjanjian Jual Beli Listrik (Power Purchase Agreement) antara PT PLN (Persero) dengan pihak pengembang listrik swasta PT Bhimasena Power Indonesia (PT BPI). Kedua, Perjanjian Penjaminan (Guarantee Agreement) antara Menteri Keuangan RI dan PT PII (Persero) sebagai penjamin, dengan pihak pengembang listrik swasta PT BPI. Ketiga, Perjanjian Regres (Recourse Agreement) antara Menteri Keuangan RI sebagai penjamin dengan PT PLN (Persero). Keempat, Perjanjian Regres (Recourse "KPS PLTU Jawa Tengah ini Agreement) antara PT PII (Persero) sebagai menjadi benchmark. Oleh penjamin dengan PT PLN (Persero). karena itu, tidak boleh gagal," kata Menko Perekonomian Kelima, Sponsor Agreement untuk Hatta Rajasa. pengembangan proyek antara J-Power, Itochu dan Adaro.
26
SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Oktober 2011
PROSES PANJANG Proyek KPS PLTU Jawa Tengah ini merupakan proyek Showcase KPS skala besar pertama dengan nilai investasi lebih dari Rp 30 Triliun, sekaligus proyek KPS pertama yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Presiden No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur). Pada tahun 2006, dalam acara Insfrastructure Summit di Bali, Pemerintah telah menetapkan proyek PLTU Jawa Tengah sebagai salah satu model proyek KPS. Awalnya, kapasitas proyek PLTU tersebut adalah 2 x 600 MW, namun seiring dengan perkembangan kebutuhan maka ditingkatkan menjadi 2 x 1.000 MW. Sebagai sebuah proyek percontohan, pihak PLN merasa mendapatkan dukungan yang besar dalam melaksanakan proses dan tahapan skema Kerjasama Pemerintah Swasta yang pada awalnya belum cukup jelas benar arah dan prosedurnya. Misalnya, dalam kaitan dengan dasar hukum bagi pembangkit tenaga listrik yang bukan dilaksanakan PLN. Merujuk pada UU 15/1985 tentang Ketenagalistrikan, ditetapkan bahwa PLN adalah pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan di Indonesia. Dengan kata lain, PLN memonopoli pengadaan dan distribusi listrik. Namun UU 30/2009 menempatkan PLN tidak lagi menjadi pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan satu-satunya. Status PLN menjadi sama dengan pemegang ijin usaha yang lain, yaitu pemegang ijin usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum. Menurut UU 30/2009, PLN secara otomatis mendapatkan ijin untuk menjadi pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum dengan wilayah usaha di seluruh Indonesia. PLN mendapatkan prioritas pertama dalam melaksanakan tugas ini. “Jadi kalau sudah ditawarkan kepada Pemda dan swasta namun tidak ada yang mau atau tidak bisa maka PLNlah yang mengambil alih,” kata Bintarto Bekti Mahardjana, Kepala Divisi Bisnis dan Transaksi Tenaga Listrik PLN dalam sebuah workshop yang diadakan oleh Direktorat Pengembangan KPS Bappenas, Agustus 2011.
Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo bersama Menteri Keuangan, Agus Marto Wardoyo dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa serta Kepala Bappenas Armida Alisyahbana dalam acara penandatanganan dokumen pelaksanaan dan penjaminan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa Tengah di Jakarta, 6 Oktober 2011.
Penandatanganan Dokumen Pelaksanaan dan Penjaminan Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Jawa Tengah, 6 Oktober 2011.
Edisi Oktober 2011 - SUSTAINING PARTNERSHIP
27
Suasana di konter check-in penerbangan dalam negeri dan loket pembayaran pajak bandara di Soekarno-Hatta, Oktober 2011