a i n
g . n
ta r e
p . g n a
a lim
b
k t i al
b t i t.l
d i . o
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
a i n
g . n
n a tb
m i l tk
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi @ 2014, Balitklimat Bogor
ISSN 0216-3934
Penanggung Jawab: Haris Syahbuddin Redaksi Teknis: Haryono, Suciantini, Adang Hamdani, Woro estiningtyas, Istiqlal Amien, Setyono Hari Adi, dan Fadhlullah Ramadhani Redaksi Pelaksana: Eko Prasetyo dan Tuti Muliani Penerbit: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Jl, Tentara Pelajar 1A, Bogor 16111, Jawa Barat, Indonesia Telepon +62-0251-8312760 Faksimil +62-0251-8323909
PRAKATA Buletin ini memuat makalah hasil penelitian primer ataupun review yang berkaitan dengan sumberdaya iklim dan air. Makalah yang disajikan sudah melalui tahap seleksi dan telah dikoreksi Tim Redaksi, baik dari segi isi, bahasa, maupun penyajiannya. Pada edisi ini terdapat enam makalah, yang disajikan dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris.
i l . at
b
i l a
Redaksi mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telahmembantumemperlancar proses penerbitan. Semoga media ini bermanfaat bagi khalayak. Kritik dan saran dari pembaca selalu kami nantikan. Redaksi
m i l tk
Informasi Wilayah Rawan Banjir Dan Kekeringan Lahan Sawah Pada Katam Terpadu Musim Hujan 2014/2015. ERNI SUSANTI, SUCIANTINI, FADHLULLAH RAMADHANI, dan ANINDITO …………. Delineasi Daerah Aliran Sungai di Pulau Jawa Berbasis Sistem Informasi Geografis dengan Menggunakan SRTM. MUCHAMAD WAHYU TRINUGROHO dan SETYONO HARI ADI .……………... Peningkatan Indeks Pertanaman Melalui Dam Parit: Studi Kasus Sungai Mokupa, Kecamtan Lambandia, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. NANI HERYANI, NURWINDAH PUJILESTARI, dan BUDI KARTIWA ……………………….… Crop Modeling using APSIM Comparison of Several Soybean Varieties and Planting Date in Two Location as affected by ENSO (El Nino Southern Oscillation) and IOD (Indian Ocean Dipole) in West Java. YAYAN APRIYANA.............................................. Asuransi Pertanian Berbasis Indeks Iklim. WORO ESTININGTYAS………..... Penelitian Key Area Keragaman Iklim Indonesia : Konsep dan Ide Awal. WORO ESTININGTYAS, ARIS PRAMUDIA, dan YAYAN APRIYANA...…………..………………..……....
a t r
e p g.
n a tb
Untuk memperlancar penerbitan tahuntahun berikutnya, artikel yang dimuat tidak perlu terikat secara kronologis oleh penyajian makalah atau acara seminar, tetapi lebih ditentukan oleh ketanggapan penulis dan kelayakan ilmiah tulisan.
Volume 11, 2014
3
10
a i n 14
24 33
41
CARA MERUJUK YANG BENAR Erni Susanti, Suciantini, Fadhlullah Ramadhani, dan Anindito. 2014. Informasi Wilayah Rawan Banjir Dan Kekeringan Lahan Sawah Pada Katam Terpadu Musim Hujan 2014/2015, hal 3-9. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Vol. 11. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Bogor. Tulisan yang dimuat adalah hasil penelitian primer maupun review yang berkaitan dengan sumberdaya iklim dan air, dan belum pernah dipublikasikan pada media cetak mana pun. Tulisan hendaknya mengikuti Pedoman Bagi Penulis (lihat halaman sampul dalam). Redaksi berhak menyunting makalah tanpa mengubah isi dan makna tulisan atau menolak penerbitan suatu makalah.
2
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
d i . o
INFORMASI WILAYAH RAWAN BANJIR DAN KEKERINGAN LAHAN SAWAH PADA KATAM TERPADU MUSIM HUJAN 2014/2015 Erni Susanti, Suciantini, Fadhlullah Ramadhani, dan Anindito DASAR PEMIKIRAN Indonesia termasuk wilayah beriklim tropis karena Indonesia terletak antara 0° – 23,5° LU/ LS, dengan ciri utama suhu udara rata-rata berkisar antara 20-30 oC. Suhu udara hampir merata sepanjang tahun, tetapi curah hujan merupakan peubah iklim/cuaca yang paling bervariasi menurut ruang dan waktu. Keadaan curah hujan semakin tidak menentu dengan terjadinya perubahan iklim. Pola curah hujan di Indonesia bergeser dan kejadian iklim ekstrim semakin meningkat. Untuk itu prediksi awal musim hujan/kemarau atau sifat curah hujan menjadi penting untuk perencanaan pertanian. Awal musim hujan (MH) ditandai apabila suatu wilayah mempunyai curah hujan lebih besar dari 50 mm/dasarian selama tiga dasarian berturut-turut. Musim hujan hanya dikenal di wilayah dengan iklim tropis, umumnya terjadi pada periode bulan Oktober sampai Maret. Musim hujan di Indonesia disebabkan oleh hembusan Angin Muson Barat yang bertiup dari Benua Asia yang bertekanan maksimum ke Benua Australia yang bertekanan minimum. Angin Muson Barat ini banyak membawa uap air, sehingga di sebagian besar wilayah Indonesia mengalami musim hujan. Pola yang sudah teratur ini akan mengalami gangguan ketika terjadi anomaly dan perubahan iklim. Perubahan pola dan besaran curah hujan akan mengganggu jadwal tanam. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim berupa banjir dan kekeringan akan mengurangi luas tanam dan luas panen yang pada akhirnya akan mempengaruhi produksi pangan di lahan sawah yang sangat tergantung dengan ketersediaan air. Oleh karena itu diperlukan upaya meminimalkan risiko tersebut dengan memanfaatkan informasi melalui Kalender Tanam (KATAM) Terpadu. Katam Terpadu memanfaatkan prediksi sifat hujan BMKG dalam menganalisis potensi waktu tanam dan wilayah rawan bencana (banjir, kekeringan dan serangan organisma pengganggu tumbuhan/OPT). Menurut data dari Katam Terpadu, potensi luas tanam padi terbesar adalah pada musim hujan. Pada MH 2014/2015 potensi tanam padi sawah adalah 13.786.349 ha (Katam terpadu versi 2.0). Sedangkan informasi potensi wilayah rawan banjir dan kekeringan pada MH 2014/2015 akan disampaikan pada tulisan ini. Informasi wilayah rawan banjir dan kekeringan diharapkan dapat menjadi informasi awal dalam perencanaan usaha tani untuk melakukan adaptasi, sehingga dapat menekan kehilangan hasil akibat banjir dan kekeringan.
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
g . n
a i n
n a tb
m i l tk
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
3
PENDEKATAN Data pengamatan kejadian banjir dan kekeringan diperoleh dari Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, yang merupakan data existing kabupaten di seluruh Indonesia dengan periode 1989-2012. Untuk penentuan wilayah rawan banjir dan kekeringan data tersebut diolah dan dipadukan dengan prediksi sifat hujan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). BMKG setiap tahun melaunching dua kali prakiraan musim, yang di dalamnya dijelaskan mengenai awal musim hujan, sifat hujan, dan pergeseran musim untuk MH dan musim kemarau (MK). Informasi sifat hujan digunakan dalam penentuan tingkat rawan banjir dan kekeringan di suatu wilayah. Informasi sifat hujan digabungkan dengan data banjir/kekeringan dan data anomali suhu muka laut untuk mendapatkan gambaran kondisi banjir pada kondisi sifat hujan normal, di atas normal atau di bawah normal. Diagram alir tahapan klasifikasi bencana banjir dan kekeringan disajikan dalam Gambar 1.
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
m i l tk
a i n
n a tb
Gambar 1. Diagram alir penyusunan tingkat rawan banjir/kekeringan pada KATAM TERPADU
Setelah diketahui periode data yang masuk tahun normal, di atas normal, atau di bawah normal kemudian dihitung indeks bencana (banjir), untuk kemudian dikelaskan tingkat rawan banjirnya. Untuk tanaman padi sawah kriteria indeks bencana banjir yang digunakan adalah sebagai berikut : (1). Aman : luas sawah yang rusak/indeks bencana (x) = 0 ha, (2). Agak rawan : 0 < x < 20 ha, (3). Moderate rawan : 20 < x <490 ha, (4).
4
Rawan : 490< x <1259 ha dan (4). Sangat Rawan: >1259 ha. Sedangkan kriteria untuk kekeringan adalah sebagai berikut : (1). Aman : luas sawah yang rusak/indeks bencana (x) = 0 ha, (2). Agak rawan :0 <x < 16 ha, (3). Moderate rawan :16< x <525 ha, (4). Rawan :525< x <1455 ha dan (5). Sangat Rawan: >1455 ha.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
d i . o
SIFAT HUJAN MH 2014/2015 (BMKG) Hasil prakiraan awal MK oleh BMKG diterbitkan sekitar bulan Februari dan prakiraan awal MH diterbitkan bulan Agustus. Prakiraan MH 2014/2015 yang diterbitkan pada Agustus 2014, berisi informasi antara lain :1). Informasi awal MH 2014/2015, 2). Informasi maju dan mundur awal MH dibandingkan dengan rata-rata kejadian selama 30 tahun, dan 3). Informasi sifat hujan dibandingkan nilai rata-ratanya (normal (N), di atas normal (AN), atau di bawah normal (BN)) (Gambar 2).
a t r
e p g.
i l . at
n a tb
d i . o
g . n
a i n
Gambar 2. Informasi sifat hujan musim hujan 2014/2015 (Sumber : BMKG 2014)
b
i l a
Sifat hujan selama MH 2014/2015 di sebagian besar daerah yaitu 230 ZOM (67.4%) diprakirakan Normal (warna kuning) dan 82 ZOM (24%) Bawah Normal (warna coklat) dan Atas Normal yaitu sebanyak 29 ZOM (8.5%) warna hijau. Wilayah dengan curah hujan atas normal diprakirakan akan terjadi di sebagian Bengkulu, Sumatera Selatan, Riau, Kalimantan Timur dan bagian utara kepala burung Papua. Wilayah di bawah normal terjadi di sebagian Lampung, Jawa Barat bagian Selatan, bagian Tengah Jawa Tengah dan bagian Timur Jawa Timur, NTB, NTT, Sulawesi Selatan dan Halmahera Utara.
m i l tk
WILAYAH RAWAN BANJIR Bulan Oktober sampai Maret sebagian besar wilayah Indonesia memasuki musim penghujan. Dari data historis (Gambar 3) menunjukkan perkembangan luas terkena banjir pada lahan sawah di Indonesia dari tahun 1989-2013. Lahan sawah yang terkena banjir pada periode setelah tahun 2000 meningkat dibandingkan periode sebelum tahun 2000. Peningkatan luas terkena banjir setelah tahun 2000 ini seiring dengan makin seringnya kejadian hujan di atas normal (La-Nina) setelah tahun 2000 (Gambar 4).
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
5
Gambar 3. Rata-rata luas terkena dan puso banjir pada lahan sawah di Indonesia pada MH
a t r
e p g.
i l . at
n a tb
a i n
Gambar 4. Anomali SST di Nino 3-4
b
i l a
Dibandingkan MK, periode MH merupakan puncak tanam tanaman padi, karena pada MH ini tersedia air yang cukup untuk pertumbuhan tanaman padi, namun disisi lain yang menjadi dilema pertanaman padi pada MH adalah sering terkena banjir. Sebagai contoh pada MH 2013/2014 banyak lahan sawah yang terkena banjir diantaranya adalah : 1). Pada Desember 2013, hujan deras yang melanda sejumlah daerah di Jawa Timur menyebabkan sekitar 3.000 ha – 4.900 ha lahan sawah terendam banjir (Kepala Bidang Produksi Tanaman Pangan Dinas Pertanian Jawa Timur Achmad Nurfalakhi di Surabaya, Minggu (22/12). (http:// microsite.metrotvnews.com/metronews/ read/2013/12/22/6/203010/Banjir-di-Jatim-
m i l tk
6
Rendam-4.900-Hektare-Sawah); dan 2). Hingga sepekan banjir merendam hampir semua daerah di Kabupaten Indramayu, Jumat (24/1/2014), sedikitnya 60.000 hektar areal pertanian masih terendam. Kondisi itu membuat padi membusuk sehingga harus dilakukan penanaman ulang. (http://www.pikiran-rakyat.com/ node/267344 diunduh 23 September 2014). Untuk itu dari data historis diharapkan dapat memberikan gambaran kejadian banjir pada MH. Salah satu informasi pada Kalender tanam terpadu versi 2.0 adalah informasi wilayah rawan banjir MH 2014/2015 (Gambar 5), yang dianalisis dengan menggunakan informasi prediksi sifat hujan yang diterbitkan BMKG.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
d i . o
Gambar 5. Peta rawan banjir pada lahan sawah pada MH 2014/2015 Wilayah rawan banjir MH 2014/2015 terdapat di Propinsi Aceh, Sumut, Riau, Bengkulu, Jambi, Sumsel dan Lampung untuk Sumatera. Untuk Pulau Jawa lahan sawah yang rawan dan sangat rawan banjir terdapat di sebagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan sedikit di Nusa Tenggara. Di P. Sulawesi terdapat di sebagian Sulawesi Selatan dan sebagian kecil Sulawesi Utara, sedangkan di P. Kalimantan terdapat di Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan. WILAYAH RAWAN KEKERINGAN Walaupun Bulan Oktober sampai Maret sebagian besar wilayah Indonesia memasuki musim penghujan, dari data historis Gambar 6 menunjukkan bahwa perkembangan luas terkena kekeringan pada lahan sawah di Indonesia dari tahun 1989-2013 lebih tinggi dibandingkan data banjirnya. Lahan sawah yang terkena
kekeringan tinggi pada tahun 2002 (normal), 2004 (normal), 2006 (atas normal) dan 2009 (atas normal). Berdasarkan analisis citra satelit Modis yang dilakukan Dini Danuarti (2012) diketahui bahwa pada tahun 2006 kekeringan tertinggi pada bulan September, jadi kekeringan tinggi pada musim hujan 2006 disebabkan karena lanjutan kekeringan di bulan September. Sebagaimana diketahui bahwa sifat bencana banjir dan kekeringan sangat berbeda. Bencana banjir terjadi pada kondisi curah hujan tinggi/sangat tinggi dan berlangsung dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan kemarau terjadi secara perlahan-lahan dalam jangka waktu cukup lama sehingga seringkali tidak disadari gejalanya, begitu terkena kekeringan pada umumnya sudah pada kondisi cukup parah.
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
m i l tk
n a tb
g . n
a i n
Gambar 6. Rata-rata luas terkena dan puso kekeringan lahan sawah di Indonesia pada MH Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
7
Gambar 7. Menunjukan propinsi yang lahan sawahnya terkena kekeringan pada musim hujan (periode Oktober – November). Berikut adalah provinsi yang harus diwaspadai sawahnya terkena kekeringan pada musim hujan, yaitu Provinsi Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan dan Yogyakarta.
a t r
e p g.
a i n
Gambar 7. Rata-rata luas terkena kekeringan lahan sawah per propinsi di Indonesia pada MH
n a tb
Gambar 8 adalah sebaran lahan sawah yang rawan kekeringan pada MH 2014/2015 dari informasi Katam Terpadu MH 2014/2015.
i l . at
b
i l a
m i l tk
Gambar 8. Peta rawan kekeringan lahan sawah pada MH 2014/2015
8
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
d i . o
INFORMASI BENCANA SEBAGAI STRATEGI PERINGATAN DINI Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilalui oleh garis katulistiwa serta terletak diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera Pasific). Kondisi tersebut menyebabkan negara kepulauan Indonesia memiliki variabilitas iklim yang sangat tinggi baik berdasarkan ruang dan waktu. Variabilitas yang tinggi tersebut sering mengakibatkan bencana diantaranya adalah banjir dan kekeringan yang dapat menimbulkan kerugian material dan non-material, serta dapat mengancam produksi tanaman pangan yang merupakan sumber pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Danuarti D. 2012. Pola kekeringan lahan basah (lahan sawah) di Provinsi Jawa Barat. Program Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Program Magister Ilmu Geografi. Universitas Indonesia. Sutarja, I.N., Norken, I.N, Dibia, I.N., Prama, I.K.. 2013. Kajian Akademis Master Plan Risiko Bencana Kekeringan. Prosiding Seminar Nasional Riset Kebencanaan, Mataram, 8-10 Oktober 2013. Website : Katam.info. (http://microsite.metrotvnews.com/metronews/read/2013/12/22/6/203010/Banjir-di-JatimRendam-4.900-Hektare-Sawah); (http://www.pikiran-rakyat.com/node/267344 diunduh 23 September 2014).
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
g . n
a i n
n a tb
m i l tk
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
9
DELINEASI DAERAH ALIRAN SUNGAI DI PULAU JAWA BERBASIS SYSTEM INFORMASI GEOGRAFIS DENGAN MENGGUNAKAN SRTM Muchamad Wahyu Trinugoho dan Setyono Hari Adi PENDAHULUAN Pulau Jawa dengan topografi yang heterogen dilalui beberapa sungai besar beserta anak sungai yang mensuplai air dalam suatu sistem daerah aliran sungai (DAS). DAS merupakan batas alami yang diperlukan dalam pengelolaan sumber daya alam yang meliputi sumber daya air, iklim, maupun tanah, Terutama penggunaan data morfometri. DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan secara alami mengalir ke danau atau laut, dimana batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (undang-undang-nomor-7-tahun-2004). Batas DAS dibatasi oleh bentukan topografi yang berupa punggung dari suatu perbukitan atau gunung. Data elevasi diperlukan dalam proses analisis pemodelan DAS Ada beberapa metode dalam pemodelan DAS dengan berbagai sumber data elevasi, diantaranya dari peta topografi, survey terestris, maupun dari penginderaan jauh. Untuk memperoleh data elevasi dalam skala regional dan mempunyai ketelitian yang tinggi diperlukan waktu yang lama dan biaya yang mahal. Saat ini pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan data dari penginderaan jauh dalam memperoleh data elevasi tersebut. Shuttle Radar Topography Mis-
i l . at
b
i l a
m i l tk
10
sion (SRTM) merupakan representasi data elevasi dari teknologi radar yang dapat diunduh secara gratis dengan ketelitian horizontal ± 90 m, dengan akurasi vertikal kesalahan < 16 m. PRINSIP PEROLEHAN DATA SRTM Dengan pengukuran beda fase gelombang dari 2 sensor sehingga diperoleh rasio ketinggian untuk pengukuran topografi. Keakuratan yang didapat dari pengukuran jarak basis, orientasi, dan lokasi wahana terbang yang digunakan yang mengacu dalam suatu sistem koordinat, Data ini merupakan data radar yang kita namakan SRTM. Salah satu aplikasi dari SRTM adalah derivasi dalam bentuk Digital Elevation Model (DEM), dimana pada saat ini paling banyak digunakan. DEM merupakan suatu model dari suatu permukaan yang diperoleh dari data elevasi dengan koordinat tertentu. Dari DEM dapat digunakan sebagai input untuk mendelineasi batas DAS. Penggunaan Sistem informasi geografis dalam berbagai bidang, terutama dalam kajian yang berhubungan dengan data spasial. Dalam pengolahan DEM, sistem informasi geografis membantu dalam penyelesaian secara mudah dan efektif terutama dalam proses ekstraksi informasi biofisik DAS.kontribusi teknologi GIS telah memudahkan hydrologist dalam penanganan data spasial dalam jumlah besar terutama mengurangi waktu perhitungan, penanganan yang lebih efisien dan dalam hal analisis serta penyajian suatu model (Jain et al., 2004).
e p g.
a t r
n a tb
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
a i n
g . n
d i . o
Dengan meningkatnya ketersediaan data spasial yang cukup rinci dan kemampuan GIS fleksibel, pemodelan DAS menjadi lebih representative untuk variasi spasial dan temporal seperti parameter tanah, penggunaan lahan dan curah hujan. (Noto dan Loggia, 2007). METODOLOGI Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta rupa bumi skala 1 : 250.000, Data SRTM versi 4 yang diunduh dari laman website http://srtm.csi.cgiar.org/. Perangkat lunak yang dipakai adalah ARCGIS dan tool archydro. Analisis spasial yang diterapkan melalui tahapan yaitu: Konversi data SRTM ke data DEM kemudian rekondisi data DEM dengan teknik Fill Sink untuk menghilangkan ketidaksempurnaan (small imperfections) pada data DEM, akibat perbedaan elevasi yang sangat mencolok pada cakupan yang sempit. Kemudian dilakukan pendefinisian jalur aliran (stream definition ) dari suatu lereng, hasil dari proses ini dapat diperoleh arah aliran air, penentuan orde jalur aliran dengan metode strahler, Metode penentuan orde sungai yang banyak digunakan dan lebih mudah untuk diterapkan dibandingkan dengan metode yang lainnya. Tahap akhir adalah mendelinasi batas DAS. KELUARAN Keluaran dari proses analisis spasial adalah informasi morfometri DAS di Pulau Jawa meliputi: (1) batas, luas dan panjang keliling DAS; (2) peta jaringan hidrologi; (3) kerapatan jaringan hidrologi untuk masing-masing DAS; (4) panjang sungai terpanjang; dan (5) orde sungai terbesar. Seperti yang disampaikan pada Tabel 1. Tabel 1. Informasi morfometri DAS
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
g . n
a i n
n a tb
m i l tk
Dari Tabel 1 dapat diketahui bahwa DAS Bengawan Solo merupakan DAS terluas dengan jejak sungai terpanjang, sedangkan DAS Cisadane merupakan DAS dengan kerapatan jaringan hidrologi terbesar. Selain itu, DAS Ciliwung merupakan DAS terkecil tetapi memiliki kerapatan jaringan hidrologi yang besar. Hasil pendefinisian parameter fisik untuk 7 DAS terpilih disajikan dalam Gambar 1 sampai dengan 7.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
11
Gambar Gambar 1. 1. Peta Peta Das Das Brantas Brantas
Gambar Gambar 2. 2. Peta Peta Das Das Bengawan Bengawan Solo Solo
Gambar Gambar 3. 3. Peta Peta Das Das Serayu Serayu
a t r
e p g.
i l . t
Gambar 4. Peta Das Ciliwung
i l k lit
a m
n a tb
Gambar 5. Peta Das Cimanuk
ba
Gambar 7. Peta Das Citarum
12
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
d i . o
a i n
Gambar 6. Peta Das Cisadane
KESIMPULAN Penggunaan delineasi dengan memanfaatkan teknologi SIG dan data SRTM relevan dalam aplikasi tersebut. Perhitungan parameter fisik DAS mampu memperkaya informasi yang tersimpan dalam Sistem Informasi Hidrologi Nasional, sehingga akan membantu pengguna dalam mencari data-data yang diperlukan dalam penelitian bidang pengelolaan sumberdaya air. DAFTAR PUSTAKA Edsel B. Daniel, Janey V. Camp, Eugene J. LeBoeuf, Jessica R. Penrod,Mark D. Abkowitz, and James P. Dobbin Watershed Modeling Using GIS Technology: A Critical Review
g . n
Fall .2010. Practical use of SRTM digital elevation dataset in the urban-watershed modeling, Journal of Spatial HydrologyVol.10, No.2, http://srtm.csi.cgiar.org/ Farr, Tom G., Paul A. dkk, The Shuttle Radar Topography Mission
a t r
a i n
Jain, M. K., Kothyari, U. C., and Ranga-Raju, K. 2004. A GIS based distributed rainfallrunoff model. Journal of Hydrology, 299(1-2), 107-135.
e p g.
Noto, L. V., and Loggia, G. L. 2007. Derivation of a distributed unit hydrograph integrating GIS and remote sensing. Journal of Hydrologic Engineering, 12(6), 639-650.
n a tb
Pujilestari, N dkk. 2009. Pengembangan Jaringan Stasiun Hidrologi Nasional Berbasis Daerah Aliran Sungai, Laporan Akhir, Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi.
i l . at
Susiolo, b dan Pratomo, DG. 2006. Kajian Karakteristik daerah aliran sungai berdsarkan analisis morfometri, Pertemuan ilmiah tahunan III-teknik geomatika ITS
lim
k t i al
Undang-undang-nomor-7-tahun-2004-ttg-sumber-daya-air
b
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
13
PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN MELALUI DAM PARIT: STUDI KASUS SUNGAI MOKUPA, KECAMATAN LAMBANDIA, KABUPATEN KOLAKA, SULAWESI TENGGARA Nani Heryani, Nurwindah Pujilestari, dan Budi Kartiwa ABSTRAK Panen hujan dan aliran permukaan merupakan proses menangkap dan mengumpulkan hujan dan aliran permukaan pada jalur aliran air/parit/sungai dan menyimpan atau menggunakan langsung untuk tanaman atau ditampung dalam reservoir/penampung untuk dipergunakan pada saat diperlukan atau musim kemarau. Selain untuk keperluan irigasi, air yang ditampung dapat dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan ternak. Penelitian dilakukan di daerah aliran sungai Mokupa, kecamatan Lambandia, kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, pada tahun 2006, melalui kegiatan pengembangan dam parit untuk keperluan irigasi. Tujuan penelitian adalah mempelajaripotensi sumber air di dalam dam parit dalam upaya memperpanjang masa tanam sehingga dapat meningkatkan indeks pertanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dam parit dengan kapasitas 126m3 dengan aliran dasar 173 l/detik berpotensi untuk mengairi lahan alang-alang dan kakao masing-masing seluas 30 dan 66,5 ha. Selain dari curah hujan, sumber air irigasi suplementer adalah dari dam parit, sehingga terdapat peningkatan indeks pertanaman dari lahan alang-alang menjadi padi-padi-bera atau padi-padi-kedelai, meskipun pada MK 2 hanya 90% lahan dapat ditanami kedelai.
a t r
e p g.
n a tb
a i n
Kata kunci: dam parit, irigasi suplementer, indeks pertanaman
i l . at
b
i l a
ABSTRACT Rainfall and runoff harvesting is the process of interception and concentration of rainfall and runoff at water way/channel/river andits storage either in soil for direct use by plants or in reservoirs for laterapplication when needed or dry season. Besides for irrigation, rainwater harvesting is usefor various purposes such asdomestic and livestock. The research was conducted at Mokupa river, Lambandia sub district, Kolaka district, Southeast Sulawesi on 2006, to developtchannel reservoir. The aim of the research is to study the potency of water resources on channel reservoir to extend planting period and enhance cropping index.Result of the research showed that 126m3capacity of channel reservoir and base flow 173l/sec will be irrigate of cogongrass(Imperata cylindrica) and cocoa area potentially about 30 and 66.5 ha respectively. Besides rainfall, suplementer irrigation comes from channel reservoir, so could increased cropping index fromreed to paddy-paddy-fallowto paddy-paddy -soybean, although in second dry season just 90% of area was transplanted of soybean.
m i l tk
Keyword: channel reservoir, supplement irrigation, cropping index
14
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
d i . o
PENDAHULUAN Secara teoritis sebagian besar lahan kering di Indonesia mempunyai 3 bulan basah (curah hujan di atas 200 mm/bulan), namun ada juga yang memiliki 6 bulan basah. Namun potensi curah hujan yang ada belum dimanfaatkan, indikatornya antara lain: (1) sebagian besar curah hujan ditransfer menjadi aliran permukaan dan diuapkan melalui evapotranspirasi (2) indeks pertanaman yang ada berkisar 100 dengan produksi yang rendah dan risiko pertanian yang tinggi. Sudah banyak teknologi yang dihasilkan untuk pengembangan lahan kering saat ini, namun sebagian besar pendekatannya pada budidaya dengan penekanan pada aspek tanah dan budidaya tanaman. Pengelolaan sumberdaya air lebih difokuskan untuk mengkonservasi lengas tanah (soil moisture) dan bukan mengkonservasi air dan menambah cadangan air tanah (water storage) (Irianto et al., 2001). Panen hujan dan aliran permukaan selain dapat meningkatkan keberlanjutan sistem usaha tani lahan kering juga dapat menekan laju erosi, sedimentasi, dan bahkan risiko banjir apabila aliran permukaan yang dipanen cukup signifikan (Irianto,G., 2002a). Lebih jauh, hasil panen hujan dan aliran permukaan dalam jumlah yang banyak dapat dimanfaatkan dalam antisipasi anomali iklim El-nino atau untuk memperpanjang masa tanam di akhir musim hujan (Irianto, G., 2002b). Sistem panen hujan dirancang untuk irigasi tanaman, air yang dipanen dapat ditampung dalam reservoir dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan lain seperti kebutuhan rumah tangga dan konsumsi ternak. Ada 2 jenis teknik panen hujan yaitu sistem panen hujan skala DAS mikro dan DAS besar. Dalam skala mikro teknik yang dilakukan berupa teknik
konservasi tanah dan air in situ seperti penggunaan mulsa, pembuatan guludan, pengolahan tanah dalam (deepploughing), dan pembuatan teras (Lazaro et al,. 1999; Oweiss et al.,1999; Rwehumbizaet al., 1999). Untuk skala makro teknik panen hujan berupaya menampung aliran permukaan dalam skala luas (DAS) dan menyalurkannya ke areal tanam dalam waktu relatif lama, bahkan dapat menampung aliran permukaan dari DAS lain yang berdekatan/transfer air antar DAS (Gowing et al., 1999; Mzirai et al., 2010). Pemanfaatan air dari dam parit sebagai salah satu bentuk panen hujan telah meningkatkan indeks pertanaman di Gunungkidul (Heryani et al., 2002; Pujilestari et al., 2002), DAS Kaligarang (Karama et al., 2003), DAS Ciliwung Hulu (Sutrisno et al., 2003) dan desa Limampoccoe, kecamatan Cenranae, kabupaten Maros, Sulawesi Selatan (Heryani et al., 2012). Tulisan ini menyajikan tentang kemampuan dam parit sebagai sumber irigasi suplementer dalam memperpanjang masa tanam sehingga dapat meningkatkan indeks pertanaman.
a t r
e p g.
lim
i l . at
b
k t i al
n a tb
g . n
a i n
BAHAN dan METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Januari 2006 sampai dengan Desember 2006 di desa Mokupa, kecamatan Lambandia, kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, pada agroekosistem lahan kering dataran rendah iklim kering. Bahan dan Alat Bahan yang dipergunakan pada penelitian ini yaitu: data iklim harian (curah hujan, suhu udara maksimum, suhu udara minimum, kelembaban udara, radiasi matahari, dan kecepatan angin), data tanah: sifat fisik (pF 2,54; pF 4,2) dan kedalaman/solum tanah, data tanaman:
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
15
kedalaman/solum tanah, data tanaman: Potensi masa tanam ditetapkan umur tanaman, umur tanaman pada setiap berdasarkan indeks kecukupan air fase pertumbuhannya, koefisien tanaman tanaman (nisbah ETR/ETM) dan potensi (kc) dan koefisien stress (ky) pada setiap kehilangan hasil relatif tanaman. Apabila fase pertumbuhan tanaman, tinggi nisbah ETR/ETM lebih besar atau sama maksimum tanaman, kedalaman dan umur dengan 0,65 dengan kehilangan hasil perakaran maksimum. Sedangkan relatif kurang dari 20%, maka periode peralatan yang dipergunakan yaitu: tersebut ditetapkan sebagai potensi masa GPSGeodetik, theodolit, staff gauge, tanam di suatu wilayah. Sedangkan saat current meter, meteran, seperangkat tanam terbaik ditetapkan berdasarkan nilai komputer dan alat tulis, dan software indeks kecukupan air mendekati atau neraca air tanaman (CWB_Eto). sama dengan satu dengan potensi kehilangan hasilnya mendekati atau sama Metodologi dengan 0. Karakterisasi biofisik wilayah Penentuan Kebutuhan Air Tanaman Kegiatan penelitian diawali dengan survey wilayah untuk mengetahui kondisi biofisik Kebutuhan air tanaman dicerminkan wilayah. Data pendukung untuk melalui kebutuhan air pada periode menunjang pelaksanan penelitian seperti defisitnya yang ditandai dengan nisbah informasi pola dan masa tanam, ETR/ETM < 0.65 (Baron et al., 1995). produktivitas tanaman, dan data iklim Apabila ETR/ETM kurang dari 0.65 berarti dikumpulkan dari beberapa instansi terkait tanaman mengalami kekurangan air atau seperti BPTP, Pemerintah Daerah stress airdan akan berakibat terhadap Propinsi/Kabupaten, BMG,Dinas Pertanian rendahnya produksi (CIRAD dalam Irianto, Propinsi/Kabupaten, Dinas Pengairan, dll. 2000).Kebutuhan air maksimum tanaman (ETM) dapat dihitung dengan Penentuan Potensi Masa Tanam menggunakandata ETP dan koefisien Dalam menetapkan potensi masa tanam tanaman. ETP dihitung menggunakan dan tingkat defisit air dengan metode Penman-Monteith (Allen et al., menggunakan software Crop Water 2008), seperti disajikan pada persamaan Balance (CWB_Eto) (Balitklimat, 2002) 1. telah memperperhitungkan beberapa ETM = Kc x ETP............................. (1) unsur yaitu: unsur iklim, tanah, dan Kebutuhan air aktual tanaman tanaman. Unsur iklim yang diperhitungkan (ETR) dapat dihitung dengan yaitu curah hujan dan evapotranspirasi, menggunakanpersamaan Eagelman yang sedangkan unsurtanah mencakup jenis telah dimodifikasi oleh Forest dan tanah serta kandungan air pada kondisi Reyniers dalam CIRAD(1995) seperti kapasitas lapang dan titik layu permanen. disajikan pada persamaan 2. Unsur tanaman yaitu: umur seluruh siklus hidup tanaman, umur tanaman pada ETR/ETM = A + B (HR)1+ C (HR)2 + D (HR)3....(2) setiap fase pertumbuhannya, koefisien dengan: A = 0,050 + 0,732/ETP tanaman (kc) dan koefisien stress (ky) B = 4.97 -0.661.ETP pada setiap fase pertumbuhan tanaman, C = -8.57 + 1.56.ETP tinggi maksimum tanaman, serta D = 4.35 – 0.880.ETP kedalaman dan umur perakaran maksimum.
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
n a tb
m i l tk
16
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
a i n
g . n
d i . o
HR = Kelembaban relatif tanah, dihitung dengan menggunakan persamaan 3: HR = (HM-HPF)/(HCC-HPF).............. (3) dengan HM=kadar lengas tanah hasil pengukuran di lapangan, HCC=lengas tanahpada kapasitas lapang (pF 2.54) dan HPF=kadar lengas tanah pada titik layupermanen (pF 4.2). HASIL dan PEMBAHASAN Karakteristik Wilayah Kecamatan Lambandia merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara mencakup luasan sekitar 19376 ha, dengan bentuk wilayah datar sampai berbukit dan memiliki lereng antara 0 - 45%. Wilayah ini terletak pada ketinggian antara 300 – 1200 mdpl. Secara geografis kecamatan ini terletak antara 9537000-9515000 Lintang Selatan dan antara 3710000388500 Bujur Timur. Penggunaan lahan didominasi oleh kebun kakao dan hanya sebagian kecil berupa sawah, lahan kosong, dan perkampungan. Kebun kakao tersebar dari daerah datar sampai ke daerah berbukit diseluruh areal penelitian. Penggunaan lahan lainnya berupa padang alang-alang dan perkampungan/pekarangan. Lahan kosong pada saat penelitian ditumbuhi alang-alang, sedangkan perkampungan dan pekarangan pada umumnya ditanami kakao. Berdasarkan hasil analisis data curah hujan stasiun iklim Mowewe periode 1995 — 2005, daerah penelitian memiliki bulan basah (CH>100 mm) selama 8 bulan, dan bulan kering (CH<60 mm) selama 2 bulan. Curah hujan tinggi terjadi pada bulan April, Mei dan Januari, sedangkan curah hujan rendah terjadi pada bulan September dan Oktober (Gambar 1).
Analisis curah hujan rata-rata antar tahun menunjukkan variabilitas yang cukup signifikan ditunjukkan oleh nilai simpangan baku yang relatif tinggi mendekati dan bahkan untuk beberapa periode melampaui nilai curah hujan ratarata, serta tingginya perbedaan antara curah hujan maksimum dengan curah hujan minimum. Curah hujan tinggi berturut-turut terjadi selama April, Mei dan Juni, sedangkan curah hujan sangat rendah terjadi selama Agustus, September dan Oktober. Pada bulan-bulan Agustus, September dan Oktober, selama 11 tahun pengamatan (1995-2005), hanya 1 tahun tidak terjadi hujan, hal ini menunjukan bahwa distribusi curah hujan cukup merata sepanjang tahun. (Tabel 1).
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
m i l tk
n a tb
g . n
a i n
Gambar 1. Histogram curah hujan ratarata bulanan Stasiun Iklim Mowewe (1995-2005) Tabel 1. Rata–rata bulanan curah hujan Stasiun Iklim Mowewe (1995 – 2005)
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
17
Potensi Air Permukaan Untuk mengkuantifikasi potensi air permukaan telah dilakukan pengukuran profil sungai (Gambar 2a) dan pengukuran kecepatan aliran sungai menggunakan current meter pada sungai Mokupa (Gambar 2b). Debit sungai Mokupa pada musim kemarau tanggal 17-18 September 2006 sebesar 0,173 m3/detik.
a t r
Untuk memberikan gambaran secara umum ketersediaan air sepanjang tahun di DTA Mokupa dilakukan simulasi debit harian menggunakan model prediksi debit harian GR4J Model ini merupakan sebuah model sederhana yang hanya membutuhkan input hujan harian, evapotranspirasi potensial (ETP) harian, luas DAS, serta 4 parameter yang nilainya sudah ditetapkan dalam model. Sebagai input, digunakan data hujan dan ETP harian periode 2002 dari stasiun Iklim Mowewe. Hasil simulasi debit harian periode 2002 disajikan Gambar 3.
e p g.
i l . at
b
i l a
n a tb
m i l tk
Gambar 3. Debit simulasi Sungai Mokupa periode 2002 Berdasarkan hasil simulasi debit periode 2002 menunjukkan debit rata-rata harian 0,54 m3/s, debit maksimum 2,70 m3/s, debit minimum 0,20 m3/s, rasio debit maksimumminimum 13,3. Untuk menggambarkan debit harian rata-rata selama 11 tahun, telah dilakukan analisis frekuensi terhadap data debit simulasi antara tahun 1995-2005 menggunakan model GR4J. Hasil analisis disajikan pada Gambar 4.
18
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
a i n
Gambar 2. Profil sungai dan potensi aliran permukaan sungai Mokupa, pada saat musim kemarau 2006
d i . o
Gambar 4. Variasi bulanan debit rata -rata harian sungai Mokupa pada berbagai peluang, berdasarkan analisis frekuensi terhadap data debit simulasi harian periode 1995-2005 Potensi masa tanam dan kebutuhan air tanaman Komoditas yang mendominasi wilayah ini adalah tanaman kakao. Pada lahan yang datar dan mempunyai ketinggian tempat relatif rendah, pada musim hujan tanaman kakao tergenang air, namun pada musim kemarau mengalami kekurangan air sehingga memerlukan irigasi suplemen.Di sekitar sungai Mokupa terdapat lahan alang-alang yang berpotensi untuk ditanami padi jika ketersediaan air terjamin. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan air tanaman, diketahui bahwa curah hujan hanya dapat menyediakan air untuk 1 kali musim tanam padi, dengan tanggal tanam terbaik untuk tanaman padi adalah tanggal 6 November, sebagaimana disajikan pada Gambar 5.
a t r
e p g.
i l . at
m i l tk
b
a i n
n a tb
Gambar 5. Penentuan masa tanam untuk tanaman padi
i l a
g . n
Gambar 6. Kebutuhan air irigasi tanaman padi
Jumlah kebutuhan air yang diperlukan untuk pola tanam padi-bera-bera disajikan pada Gambar 6. Pada periode antara tanggal 6 November sampai dengan 10 Pebruari kebutuhan air untuk tanaman padi untuk keperluan penggenangan sebanyak 3.025 m3, dan untuk tanaman padi memerlukan 3.697 m3. Skenario irigasi dari dam parit untuk meningkatkan indeks pertanaman Berdasarkan pengamatan lapang diketahui bahwa tanaman kakao sering mengalami stress air pada musim kemarau, menyebabkan gugur daun, kematian pucuk tanaman, bunga, dan buah muda, serta pemasakan buah kakao yang tidak sempurna. Pada keadaan yang ekstrim kekurangan air menyebabkan kematian cabang dan batang kakao. Pemberian air tambahan bagi tanaman kakao telah dilakukan selama beberapa tahun oleh masyarakat di desa Mokupa yang memanfaatkan air sungai Mokupa dengan cara membendung dengan batu kali dan mengalirkannya ke areal pertanaman kakao. Pembangunan dan penyempurnaan dam parit selain untuk mengairi lahan kakao, juga diarahkan untukmengairi lahan alang-alang seluas kurang lebih 30 ha menjadi lahan yang produktifdan tanaman Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
19
kakao seluas 66,5 ha. Dam parit dibuat dengan sistem pasangan batu beton, dengan lebar bentangan 12 m, bangunan pelimpasan selebar 6.5 m, tinggi bendung 1.0 dari permukaan atas pondasi. Dam parit dilengkapi dengan 2 pintu yaitu pintu penguras dan pintu pembagi yang dibuat dari konstruksi gorong-gorong dan papan kayu tebal 5 cm sehingga memiliki tampung adalah sebesar 126 m3. Proses pembangunan dan konstruksi dam parit di sungai Mokupa (a +b) dan pendistribusian air melalui saluran (c) di sekitar tanaman kakao disajikan pada Gambar 7.
a t r
e p g.
a i n
Gambar 7. Pembuatan dam parit di sungai Mokupa
Skenario irigasi tambahan bagi tanaman dengan pola tanam padi-padi-palawija digambarkan untuk tanaman padi-padi-kedelai. Kebutuhan air untuk pola tanam tersebut disajikan pada Gambar 8. Pada MT 2, kebutuhan air untuk penggenangan mencapai 3.025 m3 dan untuk kebutuhan tanaman 4.910 m3, sehingga jumlah irigasi yang diperlukan sebesar 7.935 m3. Dengan curah hujan sebesar 2.330 m3 , masih diperlukan tambahan irigasi sebesar 5.605 m3. Pada MT 3, dengan curah hujan hanya sebesar 536 m3 tanaman kedelai masih memerlukan tambahan irigasi sangat besar mencapai sebesar 5.016 m3.
i l . at
b
i l a
n a tb
m i l tk
Gambar 8. Kebutuhan irigasi untuk pola tanam padi-padikedelai Analisis kecukupan air dam parit sebagai sumber irigasi suplementer Untuk mengevaluasi kemampuan dam parit dengan kapasitas 126 m3 dan aliran dasar sebesar 173 l/dtk dalam mengairi target irigasi berupa lahan kosong (alang-alang) seluas 30 ha dan tanaman kakao 66.5 ha dilakukan analisis kecukupan air yang tersedia dalam dam parit. Lahan kosong tersebut direncanakan untuk budidaya tanaman dengan pola padi-padi -kedelai. Hasil analisis ketersediaan air dalam dam parit dan kebutuhan air tanaman selama satu tahun disajikan pada pada Gambar 9. Pada akhir bulan Agustus terjadi penurunan 20
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
d i . o
debit aliran dasar (base flow) sehingga air dalam dam parit tidak mampu memenuhi kebutuhan air untuk seluruh areal target irigasi. Dam parit mampu menyediakan air untuk keperluan irigasi hampir sepanjang tahun kecuali pada MK 2 (AgustusSeptember).
Peningkatan indeks pertanaman pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian tentang pengembangan teknologi panen hujan-aliran permukaan melalui dam parit (channel reservoir) penelitian tentang pengembangan teknologi panen hujan-aliran permukaan melalui dam parit (channel reservoir) untuk irigasi di lahan kering yang telah dilakukan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan (Irianto, G., 2001, 2001a, 2002c; Pujilestari et al., 2002, Karama et al., 2003, Sutrisno et al, 2003, Heryani et al., 2001, 2002 a, 2002 b, 2003, 2010, 2012; Sawijo et al., 2008). Teknologi panen Gambar 9. Hasil analisis ketersediaan air pada hujan aliran permukaan dapat dam parit dan kebutuhan air tanaman dipergunakan sebagai sarana irigasi suplemen untuk perluasan areal tanam, Dengan adanya skenario menekan risiko kekeringan, penurunan luas areal target irigasi, memperpanjang masa tanam serta diketahui bahwa dam parit di sungai bermanfaat dalam menekan risiko banjir Mokupa mampu mengairi areal tanaman sehingga dapat mendukung upaya kakao seluas 30 ha dari seluruhnya 66.5 konservasi lingkungan. Dampak ha dan untuk tanaman kedelai seluas 27.9 peningkatan luas areal tanam dan ha dari seluruhnya 30 ha (Gambar 10). produktivitas lahan sebagai akibat Dengan demikian maka dam parit memiliki meningkatnya ketersediaan air menurut potensi untuk meningkatkan produktivitas ruang dan waktu akan dapat lahan alang-alang dari IP 0 menjadi lahan meningkatkan produksi tanaman dan sawah dengan IP 200 atau 300, sehingga pendapatan petani. terdapat perubahan pola tanam padi-padiKESIMPULAN bera atau padi-padi-kedelai.
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
g . n
a i n
n a tb
m i l tk
Dam parit yang dibangun di sungai Mokupa dengan kapasitas 126 m3 dan aliran dasar sebesar 173 l/dtk berpotensi untuk mengairi target irigasi berupa lahan kosong (alang-alang) menjadi lahan kedelai yang ditanam pada MK 2 seluas 27.9 ha,serta tanaman kakao seluas 30 ha. Dengan demikian terdapatpeningkatan produktivitas lahan kering dari IP 0 (alangalang) menjadi sawah dengan IP 200 atau Gambar 10. Hasil analisis kemampuan dam parit 300 dengan pola tanam padi-padi-bera dalam menyediakan air untuk daerah atau padi-padi-kedelai. target irigasi di MK 2 Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
21
DAFTAR PUSTAKA Allen, R.G.. L.S. Pereira. D. Raes. and M. Smith. 1998. Crop evapotranspiration. Guidelines for computing crop water requirements. FAO Irrigation and drainage paper. 301p. Balitklimat. 2002. Software Crop Water Balance. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Bogor. Baron, F. P. Perez and Maraux, F. 1995. Module Sarrabil Guide d'Utilization. Unite de Recherche"Gestion de 1'ea". Montpellier. CIRAD. 1995. La validation du ETR/ETM sur le rendemen du manioc au Cote d‘ivoire. Bulletin CIRAD no 2. 75p. Gowing, J.W, Mahoo, H.F, Mzirai O.B and N. Hatibu. 1999. Review of water harvestingtechniques and evidence for their use insemi-arid Tanzania. Tanzania Journal ofAgricultural Science 2(2): 171-180. Heryani, N., H. Sosiawan, S. H. Talaohu, S.H. Adi. 2012. Pengembangan Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan untuk Mengurangi Risiko Kekeringan Mendukung Ketahanan Pangan. Laporan Akhir Penelitian Insentif Peningkatan Kemampuan Peneliti dan Perekayasa. Kemenristek. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian Kementan. Heryani N, S. H. Talaohu, K. Sudarman, Nasrullah. 2010. Pengembangan Metode Penentuan Kriteria Rancang Bangun Sistem Panen Hujan dan Aliran Permukaan Untuk Mengurangi Resiko Banjir dan Kekeringan >30%. Laporan Akhir Penelitian Kemenristek. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian Kementan. Heryani, N., G. Irianto, N. Sutrisno, E. Surmaini. 2003. Penelitian dan Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Meningkatkan Produktivitas Lahan Kering di Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi dan Direktorat Pemanfaatan Air Irigasi. Laporan Akhir Penelitian Heryani, N, G. Irianto, N. Pujilestari, 2002a. Upaya peningkatan ketersediaan air untuk menekan resiko kekeringan dan meningkatkan produktivitas lahan. Prosiding Seminar Nasional Agronomi dan Pameran Pertanian 2002. Perhimpunan Agronomi Indonesia, 29-30 Oktober 2002. Bogor. Heryani, N, G. Irianto, N. Pujilestari, 2002b. Pemanenan Air untuk Menciptakan Sistem Usahatani yang Berkelanjutan (Pengalaman di Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta). Buletin Agronomi. XXX(2):45-52. 2002. Heryani, N., B. Kartiwa, G. Irianto, dan L. Bruno. 2001. Pemanfaatan sumberdaya air untuk mendukung sistem usahatani lahan kering : Studi kasus di Sub DAS Bunder, DAS Oyo, Gunungkidul, DIY. Dalam Sofyan, A. et al. (eds.). Prosiding Seminar Sehari Peranan Agroklimat dalam Mendukung Pengembangan Usahatani Lahan Kering. Puslibangtanak, Badan Litbang Pertanian.
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
n a tb
m i l tk
22
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
a i n
g . n
d i . o
Irianto, G. 2002a. Orang Jakarta Tenggelamkan Jakarta. Harian Kompas tanggal 31 Januari 2002. Hal 4. Irianto, G., J. Duchesne., F. Forest., P. Perez., C. Cudennec., T. Prasetyo and S. Karama. 2001a. Rainfall and Runoff Harvesting for Controlling Erosion and Sustaining Upland Agriculture Development.Proceeding of the 10th International Soil Conservation Organization Conference, 23-28 May 1999, West Lafayette, Indiana USA. Irianto, G., P. Perez and Duchesne. 2001. Modeling the influence of irrigated terrace on the hydrological response of a small basin. Environmental Modeling and Software 16 (2001). Elsevier Science Ltd. p.31-36. Irianto, G. 2000. Panen hujan dan aliran permukaan untuk meningkatkan produktivitas lahan kering DAS Kali Garang. Jurnal Biologi LIPI. Vol. 5, No. 1, April 2000. p.29-39. Karama, S. 2003. Panen Hujan Dan Aliran Permukaan Untuk Menanggulangi Banjir Dan Kekeringan Serta Mengembangkan Komoditas Unggulan. Laporan RisetUnggulan Terpadu VII Bidang Teknologi Hasil Pertanian.Kementerian Riset dan Teknologi RI dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Lazaro E. A., E.M.M. Senkodo, A. Bakari, S.R. Kishebuka, dan G. J. Kajiru. 1999. A small push goes a long way: participation in rainwater harvesting technology development. Tanzania J. Agric.Sc. 2(2) 219-226. Mzirai O.B., and S.D. Tumbo. 2010. Macro-catchment rainwater harvesting systems:challenges and opportunities to access runoff. Journal of Animal & Plant Sciences, 7(2): 789- 800. Oweiss, T, A. Hachum, and J. Kijne. 1999. Waterharvesting and supplementary irrigation ofimproved water use efficiency in dry areas.SWIM paper 7. International WaterManagement Institute, Colombo, SriLanka. Pujilestari, N. G. Irianto, N. Heryani. 2002. Peningkatan produktivitas lahan kering melalui pembangunan “channel reservoir” bertingkat (studi kasus di sub DAS Bunder, kabupaten Gunungkidul, provinsi DIY). Makalah dipresentasikan pada Pertemuan Teknis Puslitbangtanak. Rwehumbiza, F.B.R., N. Hatibu, and M. Machibya. 1999. Land characteristics, run-off and potential for rainwater harvesting in semi-arid Areas of Tanzania. Tanzata J. Agric. Sc. 2 (2): 141 – 149. Sawiyo, B. Kartiwa, H. Sosiawan, K. Sudarman. 2008. Panen air dengan dam parit dan aplikasi irigasi suplementer untuk peningkatan produktivitas lahan. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian (tidak dipublikasikan). Sutrisno, N, Sawijo, N. Pujilestari.2003. Pengelolaan Air dan Pengembangan Pertanian Berkelanjutan untuk Penanggulangan Banjir dan Kekeringan. Laporan Akhir Penelitian. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi dan Proyek Pembinaan Perencanaan Sumber Air Ciliwung – Cisadane (tidak dipublikasikan).
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
g . n
a i n
n a tb
m i l tk
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
23
CROP MODELING USING APSIM COMPARISON OF SEVERAL SOYBEAN VARIETIES AND PLANTING DATE IN TWO LOCATION AS AFFECTED BY ENSO (El Nino Southern Oscillation) and IOD (Indian Ocean Dipole) IN WEST JAVA Yayan Apriyana ABSTRACT Indonesian temporal climate variability is driven by ENSO in the Pacific Ocean and IOD in the Indian Ocean. At one moment low rainfall resulting in drought and other times high rainfall can cause flooding. Therefore, a proper planting season strategy is imperative fora better adaptation of soybean. Developping of soybean planting calendar in Indonesia has become the main concern because of climate uncertainty especially due to ENSO and IOD. The crop growth simulation models are able to identify the yield constraints and recommending appropriate management practices to optimize soybea productivity n. The crops model used in this study is APSIM ver 7.5. Daily climate data of 22 years (1900-2012) were analyzed consist of the maximum-minimum temperature, solar radiation and rainfall. To determine the best planting date based on the highest yield, scenarios are taken in 10 days period on each of the first two months of the growing season for three cropping seasons throughout the year. Daily climate data compiled during 23 years in the form of Excel for the model. Soil data were also compiled consist of soil types , geographical location , soil texture , soil water availability, and soil chemistry. Results showed that the best planting scenario date for soybean in Garut and Indramayu districs is December 1 to January 11 for the rainy season, 1 March to 11 April for the first dry season, and October 21 for the second dry season. However, the yield potential for Indramayu is lower than Garut district.
i l . at
b
i l a
m i l tk
24
Key words: APSIM – Soybean - Planting date - ENSO – IOD - West Java
d i . o
INTRODUCTION Climate variability and climate change are two phenomena that become serious concern because their impacts on various sectors. Climate variability is fluctuations in climate elements that occur in a certain time frame such as seasonal or annual variations (shifting in the onsetand or duration of wet and dry seasons) as well as extreme climate events, while climate change is a phenomenon of gradual changes in atmospheric composition that will increase climate variability observed in sufficiently long period (Trenberth et al. 1995). Indonesian climate variability is closely related to ENSO (El Niño Southern Oscillation) in the Pacific Ocean ( Kirono & Khakim 1999; Naylor et al . 2002) and IOD (Indian Ocean Dipole ) in the Indian Ocean (Saji et al. 1999; Webster et al. 1999; Ashok et al. 2001; Mulyana 2001). At one moment there is a decrease in rainfall resulting in drought and other times resulting in high rainfall which can cause flooding ( Allan , 2000). The emergence of a strong El Niño phenomenon as much as seven times during the last twenty years is accompanied by the occurrence of a positive IOD phenomenon that occurs almost simultaneously resulting in prolonged drought. Based on drought events which occurred 43 times since the year 1844 to 1998, only six drought events that are not related to the El Niño phenomenon (Boer and Subbiah , 2005). Just as the
e p g.
a t r
n a tb
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
a i n
g . n
drought that occurred between the years 1990 - 1997, during which time there were three times that a great drought in 1991, 1994 and 1997. Similarly, almost simultaneously Saji et al. (1999) and Webster et al. (1999) stated that in 1997 when there was a strong El Niño, at the same time there is also a strong positive IOD in the Indian Ocean. In fact indicators of ENSO and IOD climate anomalies have a strong impact on tropical precipitation including rainfall variability in Indonesia (Naylor et al., 2007; Saji et al. 2003). Both phenomena are becoming more frequent with increasingly extreme conditions and the longer the duration can lead to significant reduction in rainfall, especially in the transitional season when the rainy season (IPCC 2007; Koesmaryono 2009). These conditions pose significant impacts on the strategy of agricultural production (IPCC 2001; Porter and Semenov 2005; Betts 2005; Osborne 2005). Especially in tropical regions that have large variations in rainfall ( Slingo et al. 2005). The relative impact of climate change on food security differs between regions (Gutman et al. 2000; FAO 2005) both in the tropics and subtropics. However, the impact in the tropics because they have greater rainfall variability is quite large (Slingo et al. 2005) which in turn result in disruption to the stability of the agriculturalsystem (Koesmaryono et al. 2008). Climate variability on the one hand can be an opportunity but on the other hand can be a threat to food security. Increasein fluctuation, frequency and intensity of climate anomaly in the last decade drivenby ENSO and IOD phenomena has changed the rainin distriseasonal patterns of the rain, (Las 2000; Boer 2006; Naylor et al. 2007 ; D'Arrigo, 2007). The shifting seasons has serious implica-
tions on food crops production (Hamada et al. 2002; Haylock and McBride 2001) due to shorter growing period. National food production is strongly affected by climate vagary (Pendleton & Lawson 1988). The results of the FAO study (2005) showed that climate variability and change affects 11% of agricultural land in developing countries resulting on lower food production and domestic food supply eventually decreaing Gross Product (GDP) by 16%. The advesse effects of climate variability and change can decrease production of food crops (cereals) in the region between 2.5% to 7.8% (Fischer et al. 2002). Potential production loss of of major food crops due to climate change is estimated (20.6%) for rice (13.6%) for corn, and (12.4%) for soybean (Handoko et al. 2008). El Niño and positive IOD have appaling implications for planting time. In 1997/98 these two phenomena have delayed planting time in the rainy season by 2-3 months (6-9 dekads) which also affect the planting time for the following season (Las 2000). Consequently rice production decreased by 6.5% resulting in increased rice imports of 3 million tons in 1998 (BPS 1998). The growing season was delayed time by 10 to 20 days fromthe normal growing season of the last century (Linderholm 2006). The effect of these phenomena were very pronounced in the cropping pattern changes in both irrigated land and rainfed. Drought that occurred in the second growing season had aggravate the production loss of rice and soybean crops in particular. Therefore, a proper planting season adaptation strategy is needed for better adaptation of soybean cultivation. Developping of soybean planting calendar in Indonesia has become the main concern because of climate uncertainty. The reduc-
e p g.
a t r
i l . at
b
i l a
m i l tk
n a tb
g . n
a i n
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
25
tion in grain yield was mainly attributed to lessl nutrients supply to the crops, because of poor quality farmyard manures,erratic distribution of rainfall during soybean‘s growing season and unavailability of irrigation water. Therefore, crop growth simulation models are useful in identifying the yield constraints and recommending appropriate management practices in optimizing soybean productivity. For that purpose, APSIM model was validated to predict soybean growth in regions under ENSO and IOD Influences. MATERIALS AND METHODES Study Areas Selection of the study area based on the potential for soybean production in West Java that often affected by climate anomaly.. Based on previous analysis, Indramayu district is a region that is frequently affected by ENSO anomaly while Garut is a region frequently affected by IOD (Apriyana, 2011) Crops Model The crops model used in this study is APSIM ver 7.5. APSIM is a daily hierarchical dynamic model which combined biophysical and management modules with a central system that simulates cropping systems (Robertson et al., 2002) Climate and Soil Variables Daily climate variablesthroughout the 22 years (1900-2012) were analyzed in consist of the maximum-minimum temperature, solar radiation and rainfall. For Garut district represented by Tarogong and Indramayu districts represented by Losarang District . Input of the soil variables in these areas consist of the composition of the soil texture, field capacity conditions and permanent wilting point and the C / N ratio. Planting Date To determine the best planting date based
i l . at
b
i l a
m i l tk
26
on the highest yield, scenarios are taken 10 days period on each of the first two months of the growing season in three cropping seasons throughout the year. Scenario for Planting Season I is first dekad of DecemberI (December I) to third dekad of January (January III), Planting Season II is March I to April III, and III Planting Season III is September I to October III. Preparation phases of Model The Model was fed with daily weather data in Excelformat. The data consist of station name , location of climate station (latitude, longitude, altitude ), series of data (daily max - min temperature, radiation and precipitation), average annual temperature during the observation, and the amplitude of monthly temperature every year. The data is then converted into meta.files. Soil data consist of soil types, geographical location, soil texture, soil water availability, and soil chemistry. Formulating the parameters for the simulation. Running to fill the climate parameters: .met to determine the date, month and year of the simulation. Running climate parameters yield information in the ‖summary file‖. Constructing "paddoc" with soil and selecting soybean inputs to the next running. Further, enter the manager for the output folder as information analysis, by selecting the desired output in terms of the biomass , yield , and Extracable Soil Water (ESW). Similarly, for the next planting date scenario, each file is composed of planting date and ready to ―run‖ . If no error then the results will be seen in the "output file".
a t r
e p g.
a i n
n a tb
RESULT Garut Distric The scenario of planting season 1 in Garut showed the production of biomass reached over 4500 kg / ha. The biomass yield decreased when planting time late on
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
d i . o
biomass yield decreased when planting time late on January 21 (Figure 1). Similarly, the grain yield reached over 1.500 kg/ha when the planting on December 1 to January 11, thenwill decrease when planted on 21 January (Figure 2).
Figure 1. Fluctuations of biomass at various scenarios in planting season I in Garut district. 1991-2012
Figure 2. Fluctuations of grain yield at various scenarios in planting season I in Garut district. 1991-2012
g . n
The scenario of planting season II in Garut the average biomass production was over 3000 kg / ha, but in 2007, the results began to decline with the planting date on 21 April (Figure 3). Similarly, the grain yield was up to 1,200 kg / ha, but decreased when planted on April 21 (Figure 4).
a t r
e p g.
ba
i l k lit
i l . t
n a tb
Figure 3. Fluctuations of biomass at various scenarios in planting season II in Garut district. 1991-2012
a m
a i n
Figure 4. Fluctuations of grain yield at various scenarios inof planting season II in Garut district. 1991-2012
Planting date of season III from September 1 to October 31 in Garut showed that biomass production below 1,700 kg / ha, then began to decline when planting date on October 31 (Figure 5). The grain yield reached over 1000 kg / ha whith planting time from September 1 to October 11, then yield decreased when planted on October 21 (Figure 6).
Figure 5. Fluctuations of biomass at various scenarios in planting season III in Garut district. 1991-2012
Figure 6. Fluctuations of yield potential at various scenarios in planting season III in Garut district. 1991-2012
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
27
- Indramayu District Biomass yield in Indramayu district was relatively lower compared to the Garut district. In scenarios of planting season I the biomass production reached over 2500 kg / ha, then declined when planting on January 21 (Figure 7). The grain yield reached over 1,500 kg / ha on December 1 to January 11, while the yield could decrease when planted on 21 January (Figure 8).
Figure 7. Fluctuations of biomass at various scenarios in planting season I in Indramayu district. 1991-2012
a t r
a i n
Figure 8. Fluctuations of grain yield at various scenarios in planting season I in Indramayu district. 1991-2012
e p g.
biomass production the planting season II in Indramayu district were over 1500 kg / ha (Figure 9) with. no significant difference among the planting times. Planting time on March 1 until 21 of April could be lower than planting on March 1 (Figure 10).
i l . at
b
i l a
m i l tk
n a tb
Figure 9. Fluctuations of biomass at various scenarios in planting season II in Indramayu district.
Figure 10. Fluctuations of yield potential at various scenario scenarios in planting season II in Indramayu district. 1991-2012
The analysis showed that biomass production in planting season III in Indramayu district was below 2500 kg / ha, (Figure 11). could the grain yield were 600-1000 kg / ha (Figure 12). There is no significant difference in thee grain yield. The low yield probably due to water stress. Therefore, irrigation supplement is necessary in the dry season I and II.
28
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
d i . o
Figure 11. Fluctuations of biomass at various Figure 12. Fluctuations of grain yield at variscenarios in planting season IIIin ous scenarios in planting season Indramayu district. 1991-2012 III in Indramayu district. 1991-2012 DISCUSSION
e p g.
i l . at
b
a i n
The planting date scenario analysis using APSIM model provides the best planting time based on the plant, site-specific climate and soil variables. In the early stages, the best planting date-setting scenarios applied on two areas is affected by climate anomalies of ENSO (El Nino Suothern Oscillaton) and IOD frequently (Indian Ocean Dipole). Garut is one soybean production center in West Java which is often disturbed primarily due to changes in climatic anomalies of sea surface temperatures in the Indian Ocean region, is called the IOD (Apriyana, 2011). Although the effect is not as strong climate anomalies of ENSO however is believed to disrupt the stability of the production of crops, especially soybean . Observations during the twenty-two years (years 1991-2012) showed that the appearance of IOD in recent years i.e 1991, 1994, 1997, 2003, and 2007 and 2009 in general decreased yields particularly in the first season / rainy season (Figure 2). However, IOD was not affecting the yields by delaying the planting dates on the first cropping season, The yield of planting date in December is higher than planting in January. Besides the Garut district, Indramayu district is the center of soybean in West Java. This region is often affected strongly indicated ENSO (Apriyana, 2011). Observations during the twenty-two years (years 1991-2012) showed that the influence of ENSO is mainly due to the emergence of the El-Nino in the past few years, namely 1991, 1994, 1997, 2002, 2004 and 2009 in general may decrease results primarily in the first season / rainy season . The influence of the El-Nino resulting in declining yields and shifting planting dates in general. Planting date is better in early January compared to December (Figure 7).
a t r
i l a
g . n
n a tb
m i l tk
CONCLUSION The best planting scenario date for soybean in Garut and Indramayu districs each season is December 1 to January 11 for the rainy season, 1 March to 11 April for the first dry season, and October 21 for the second dry season, However, the yield potential in Indramayu lower than Garut district.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
29
REFERENCES Apriyana, 2011. Penetapan Kalender Tanam Padi Berdasarkan Fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) Di Wilayah Monsunal dan Equatorial. Disertasi. IPB. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2001. Climate Change 2001: The Scientific Basis, eds Houghton JT, Ding Y, Griggs DJ, Noguer M, van der Linden PJ, Dai X, Maskell K, Johnson CA (Cambridge Univ Press, Cambridge, UK). [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change 2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Allan R. 2000. ENSO and climatic variability in the past 150 years, in ENSO: Multiscale Variability and Global and Regional Impacts, Diaz, H. & Markgraf, V. (Eds.), pp. 3-55. Cambridge Univ. Press. Cambridge. Ashok K, Guan Z, and Yamagata T. 2001: Impact of the Indian Ocean Dipole on the relationship between the Indian monsoon rainfall and ENSO. Geophys. Res. Lett., 28, 4499–4502. Betts R. 2005. Integrated approaches to climate–crop modelling: needs and challenges. Phil. Trans. R. Soc. B 360, 2049–2065. (doi:10.1098/rstb.2005.1739.) Boer R, and Subbiah. 2005. Agriculture drought in Indonesia. In V.J. Boken, A.P. Cracknell and R.L. Heathcote (eds). Monitoring and predicting agriculture drought: A global study. Oxford University Press, New York. p:330-344. Boer R. 2006. Aplikasi Informasi Prakiraan Iklim di Sektor Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. Dalam Modul Pelatihan Dosen Bidang Pemodelan dan Simulasi Komputer untuk Pertanian. Bagpro PKSDM Dikti dan Dep. Geofisika dan Meteorologi IPB. Bogor. Cisarua, Bogor, 7 – 20 September 2006. BPS [Biro Pusat Statistik]. 1998. Kondisi Produksi Beras Tahun 1998 Statistik Pertanian. Jakarta. D'Arrigo R and Wilson R. 2008. El Niño and Indian Ocean Influences on Indonesian Drought: Implications for Forecasting Rainfall and Crop Productivity. International Journal of Climatology. 28: 611–616. FAO. 2005. ‖Impact of Climate Change and Diseases on Food Security and Proverty Reduction‖. Special event background document for the 31st session of the committee on world food security. Rome, 23-26 May 2005. Fischer G, Shah M, Velthuizen HV. 2002. Climate Change and Agricultural Vulnerability. IIASA. Luxemburg, Austria. Gutman GI, Csiszar, and Romanov P. 2000. Using NOAA/AVHRR products to monitor El Ni˜no impacts: focus on Indonesia in 1997-98., Bull. Amer. Meteor. Soc., 81, 1189–1205. Hamada J, Yamanaka MD, Matsumoto J, Fukao S, Winarso PA, Sribimawati, T. 2002. Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their link to ENSO. J Meteorol Soc Jpn 80:285–310. Handoko I, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis. Telaah kebijakan independen bidang perdagangan dan pembangunan oleh Kemitraan/Partnership Indonesia. SEAMEO BIOTROP. Bogor. Haylock M, and McBride J. 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall, J. Climate, 14, 3882-3887. Kirono DGC, and Khakim N. 1999. ENSO Rainfall Variability and Inpacts on Crop Production in Indonesia.Physical Geography, Vol 20. 6, pp. 508-519. Koesmaryono Y, Las I, Aldrian E, Runtunuwu E, Syahbuddin H, Apriyana Y, Ramadhani F, Trinugroho W. 2008. Laporan Hasil Kegiatan. Sensitivitas dan Dinamika Kalender Tanam Padi Terhadap Parameter ENSO (El-Nino Southern Oscillation) dan IOD (Indian Ocean Dipole) di Daerah Monsunal dan Equatorial. Laporan KKP3T. Litbang Deptan-IPB. (Tidak dipublikasi).
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
n a tb
m i l tk
30
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
a i n
g . n
d i . o
Las I. 2000. Peluang Kejadian El Niño dan La Niña Tahun 1900-2000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. Bogor. Tidak Dipublikasikan. Linderholm HW. 2006. Growing season changes in the last century. Agric. For. Meteor., 137(1-2), 1-14. Mulyana E. 2001. Interannual Variation of Rainfall over Indonesia and Its Relation to the Atmospheric Circulation, ENSO and Indian Ocean Dipole Mode. Hokaido University. Japan. Naylor RL, Battisti DS, Vimont DJ, Falcon WP, and Burke MB. 2007. Assessing the risks of climate variability and climate change for Indonesian rice agriculture, Proc. Nat. Acad. Sci., 104, 7752-7757. Naylor RL, Falcon W, Wada N, and Rochberg D. 2002. Using El-Niño Southern Oscillation climate data to improve food policy planning in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economic Studies, 38, 75-91. Osborne TM. 2005 Towards an integrated approach to simulating crop–climate interactions. Ph.D. thesis, University of Reading. Pendleton JW, and Lawson TL. 1989. Climatic Variability and Sustainability of Crop yields in the humid tropics. International Symposium on Climatic Varability and Food Security in Developing Countries 5 – 9 Februari 1987. New Delhi. IRRI: 54 – 58. Porter JR, and Semenov MA. 2005. Crop responses to climatic variation. Phil. Trans. R. Soc. B 360, 2021-2035. (doi:10.1098/rstb.2005.1752). Robertson, M. J., Carberry, P. S., Huth, N. I., Turpin, J. E., Probert, M. E., Poulton, P. L., Bell, M., Wright, G. C., Yeates, S. J. and Brinsmead, R.B. 2002. Simulation of growth and development of diverse legume species in APSIM. Aust. J. Agric. Res. 53, 429-446. Saji NH, and Yamagata T. 2003 : Structure of SST and Surface Wind Variability during Indian Ocean Dipole Mode Events : COADS Observations. Journal of Climate, 16, pp. 2735-2751. Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran P N, Yamagata T. 1999 : A Dipole in the Tropical Indian Ocean. Nature, 401, 360-363. Slingo JM, Challinor AJ, Hoskins, BJ, and Wheeler TR. 2005. Introduction: food crops in a changing climate. Phil. Trans. R. Soc. B 360, 1983-1989. (doi:10.1098/ rstb.2005.1755). Trenberth KE. 1997. The Definition of El Niño. Bulletin of the American Meteorological Society, Vol. 78, No. 12, pp. 2771-2777. Webster PJ, Moore AM, Loschnigg JP, and Leben RR. 1999. Coupled ocean-Atmosphere Dynamics in the Indian Ocean during 1997-98, Nature, 401, 356-359.
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
g . n
a i n
n a tb
m i l tk
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
31
ANNEXES Tabel annex 1. Sample Input of Climate Data.
Tabel annex 2. Sample Input of Soil Data.
e p g.
a t r
i l . at
b
i l a
n a tb
m i l tk
Tabel annex 3. Sample Result from APSIM model.
32
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
a i n
g . n
d i . o
ASURANSI PERTANIAN BERBASIS INDEKS IKLIM Woro Estiningtyas
PENDAHULUAN Padi masih menjadi tanaman utama dan sumberpangan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Di Indonesia, konsumsi Padi sekitar 109 kg/kapita/tahun (Harahap, A.J et al. 2013). Berbagai upaya dilakukan Pemerintah dalam rangka swasembada beras. Di sisi lain, usahatani tanaman pangan khususnya padi sangat rentan terhadap bencana terkait iklim. Banjir, kekeringan, serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) merupakan risiko terkait iklim yang hampir selalu terjadi di setiap musim. Petani sebagai pelaku utama kegiatan menerima dampak dan risiko yang paling besar akibat bencana terkait iklim. Risiko yang harus ditanggung petani antara lain : risiko produksi, risiko harga, risiko pasar, risiko finansial, risiko teknologi, risiko social, risiko hukum dan risiko manusia. Risiko produksi terjadi karena fluktuasi hasil akibat berbagai faKtor yang sulit diduga (perubahan iklim, cuaca ekstrim, banjir, kekeringan, dan serangan OPT). Petani menghadapi berbagai akibat gagal panen atau produksi rendah yang berpengaruh terhadap pengembalian modal kerja, pengusahaan modal baru, pendapatan rumah tangga, biaya hidup lain, dan sebagainya (Pasaribu 2013). Risiko banjir, kekeringan dan serangan OPT dapat diantisipasi dan dilakukan adaptasi melalui mekanisme asuransi yaitu pengalihan risiko-risiko tersebut kepada perusahaan asuransi, dengan biaya premi yang relatif kecil.
Saat ini sudah banyak berkembang beberapa tipe asuransi berdasarkan batasan klaimnya, seperti asuransi berbasis gagal panen (Failure), hasil (Yield), keuntungan (Revenue) dan yang terbaru adalah berbasis indeks iklim (Weather Index Insurance). Diharapkan asuransi pertanian berbasis indeks iklim dapat menjadi salah satu opsi adaptasi bagi petani dalam menghadapi dampak perubahan iklim serta strategi perlindungan dan pemberdayaan petani.
e p g.
a t r
i l . at
b
i l a
m i l tk
n a tb
g . n
a i n
REGULASI ASURANSI PERTANIAN Pemerintah telah mengeluarkan UndangUndang No 19 Tahun 2013 tentang ―Perlindungan dan Pemberdayaan Petani‖. Lahirnya undang-undang ini didasari pertimbangan bahwa kecenderungan meningkatnya perubahan iklim, kerentanan terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak kepada petani, sehingga petani membutuhkan perlindungan dan pemberdayaan. Selain itu bahwa peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku belum mengatur perlindungan dan pemberdayaan petani secara komprehensif, sistemik, dan holistik. Perlindungan Petani adalah segala upaya untuk membantu Petani dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim. Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk meningkatkan ke-
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
33
mampuan Petani untuk melaksanakan Usaha Tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan Kelembagaan. Dalam Pasal 7 ayat 2 bagian g UU No 19 Tahun 2013 disebutkan bahwa salah satu strategi perlindungan petani dilakukan melalui Asuransi Pertanian. Selain itu juga melalui prasarana dan sarana produksi pertanian, kepstian usaha, harga komoditas pertanian, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa serta sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim. Perlindungan dan pemberdayaan petani (UU P-3) No. 19/2013 Pasal 37 menugaskan Pemerintah (Pusat dan daerah) untuk melindungi petani dari kehilangan hasil akibat gagal panen dalam bentuk Asuransi Pertanian. Untuk mendukung pelaksanaan Asuransi Pertanian, saat ini sedang dipersiapkn juga Peraturan dari Kementaerian Keuangan tentang Asuransi bencana (dalam proses). Berdasarkan informasi dari Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas (2014), Asuransi Pertanian telah masuk dalam Rancangan Teknokratik RPJMN 2015-2019 telah masuk melalui ‗Mitigasi Gangguan Terhadap Ketahanan Pangan‘ yang dilakukan terutama untuk mengantisipasi bencana alam dan dampak perubahan iklim dan serangan organisme tanaman dan penyakit hewan. Selain itu juga sedang disusun peta jalan (road map) pengembangan asuransi pertanian Indonesia.
i l . at
b
i l a
ASURANSI PERTANIAN Laporan ketiga kajian IPCC menggarisbawahi tentang pentingnya
a t r
e p g.
n a tb
m i l tk
34
asuransi dan komponen jasa keuangan lainnya karena mewakili mekanisme penyebaran risiko melalui biaya yang didistribusikan yang berhubungan dengan kejadian cuaca, antar sektor dan melalui masyarakat. Sektor jasa keuangan juga berperan sentral dalam kegiatan adaptasi dan mitigasi dan merupakan sumber utama data global dan regional terkait dengan kejadian iklim (IPCC 2007). Menurut Hadi (2000), asuransi formal bisa merupakan alternatif strategi yang diperlukan bagi petani. Asuransi ditawarkan sebagai salah satu dari skim pendanaan untuk membagi risiko seperti kegagalan panen. Asuransi pertanian penting sebagai bentuk proteksi atas kemungkinan kerugian akibat bencana alam (banjir, kekeringan, angin puting beliung) atau kerugian lainnya akibat anomali cuaca dan perubahan iklim (Sanim 2009). Di negara-negara maju, asuransi formal pertanian telah digunakan secara luas untuk mengantisipasi dampak buruk dari kegagalan panen. Hasil penelitian Ramaswami (1993) dalam Hadi (2000) menunjukkan bahwa asuransi formal pertanian dapat memperkecil risiko turunnya pendapatan petani sehingga kebutuhan konsumsi keluarga tetap terpenuhi secara normal sepanjang waktu. Selain itu dapat meningkatkan kapasitas petani untuk mendapatkan kredit karena dapat digunakan sebagai kolateral kepada pihak pemberi pinjaman (Lee et al. 1980). Asuransi pertanian sudah muncul sejak jaman dahulu, baik yang dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah. Asuransi pertanian untuk bencana musim hujan ditemukan tahun 1979 di Jerman. Di Amerika Serikat penerapan asuransi pertanian pertama kali tahun 1880 dan produk yang diasuransikan adalah tembakau. Asuransi pertanian ini berkembang dengan baik di AS, Jepang,
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
a i n
g . n
d i . o
Uni Eropa dan Taiwan. Di India, Bangladesh dan Filipina agak lambat berkembang (Sanim 2009). Asuransi Pertanian adalah perjanjian antara Petani dan pihak perusahaan asuransi untuk mengikatkan diri dalam pertanggungan risiko usaha tani. Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Pertanian sejak tahun 2012 hingga 2014 telah melaksanakan Asuransi Pertanian berbasis gagal panen di beberapa lokasi contoh yaitu di Sumatera Selatan, Jawa Timur dan Jawa Barat. Persentase klaim bervariasi di setiap daerah dengan kisaran 2-25% (Tabel 1). Pada tahun 2015 Pemerintah menargetkan luas areal padi dalam program Asuransi Pertanian sebesar 1,041 juta ha dengan anggaran sekitar 150 Milyar (Bappenas 2014). Berdasarkan aplikasi Asuransi Pertanian di beberapa lokasi tersebut menurut Pasaribu (2013) dapat dipelajari bahwa model Asuransi Pertanian yang dikembangkan saat ini masih pada sistem ganti-rugi berdasarkan biaya produksi (Indemnity-based). Berbagai model yang dapat dikembangkan dimasa datang adalah sistem ganti-rugi/indemnitas berdasarkan hasil panen dalam jumlah tonase (Yield-based index). Model lain yang diyakini dapat mengurangi masalah/konflik dalam hal kerusakan/kerugian adalah sistem perhitungan gani-rugi berdasar indeks iklim (Weather-based index) dan berdasar penginderaan satelit (Satellite image-based data). Ada juga bentuk Asuransi yang didasarkan pada keuntungan (Revenue) (Perdinan 2014) dan Hydrological Insurance (Insurance for Irrigators) (Anonim 2014). Kajian dan pengenalan model-model tersebut dapat dilakukan sejalan dengan keikutsertaan petani dalam
agro-ekosistem di berbagai wilayah dan beragam komoditas. Tabel 1. Beberapa lokasi percontohan Asuransi Pertanian berbasis gagal panen
e p g.
a t r
i l . at
b
i l a
m i l tk
n a tb
d i . o
g . n
a i n
(Sumber : Bappenas 2014)
ASURANSI INDEKS IKLIM Asuransi Indeks Iklim merupakan alat manajemen risiko iklim yang relatif baru berbasis indeks iklim. Sistem ini memberikan pembayaran pada pemegang polis apabila terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Dalam sistem asuransi iklim yang diasuransikan ialah indeks iklimnya dan bukan tanamannya. Biaya pengelolaan risiko iklim didasarkan pada defisit hujan dari jumlah yang dibutuhkan pada beberapa fase pertumbuhan. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan. Manuamorn (2010) mensarikan beberapa pernyataan tentang asuransi indeks iklim, diantaranya adalah : (1) kebijakan pembayaran indeks asuransi berbasis pada obyektif bukan pada pengukuran dari kehilangan riil, (2) indeks memerlukan korelasi yang kuat dengan kehilangan hasil riil yang akan diproteksi, (3)
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
35
Pembayaran dibuat berdasarkan realisasi adalah 50 mm/dasarian dengan asumsi dari nilai indeks mengikuti skala pemnilai rata-rata ETp di wilayah tropik adalah bayaran yang telah disetujui. 5 mm/hari (Allen 1998), sehingga untuk Indeks iklim dihitung berdasarkan satu dasarian sekitar 50 mm. data iklim runut waktu (time series) panHasil analisis indeks iklim untuk jang (minimal 20 tahun). Dari beberapa wilayah Sliyeg diperoleh nilai trigger curah parameter iklim, curah hujan dianggap hujan sebesar 34.5 mm. Nilai ini diperoleh sebagai parameter yang mempunyai dari (28+41)/2 mm yaitu nilai ke-5 terenhubungan erat dengan tanaman. Penelidah. Penentuan ke-5 karena kejadian tian tentang indeks iklim telah dilakukan kekeringan di Sliyeg adalah 5 kali dalam oleh Estiningtyas et al. (2013) dengan 11 tahun atau 0.45. Untuk nilai exit adalah mengambil lokasi di Kecamatan Sliyeg, 26 mm, nilai exit ini menyatakan batas Kabupaten Indramayu. Parameter iklim bawah untuk pembayaran klaim (Tabel 8). yang digunakan adalah curah hujan dasarDalam aplikasinya, apabila curah hujan riil ian periode 1966-2008 dan data kejadian pada periode Mei-Agustus (sebagai pekekeringan periode 2001-2011. Penghitunriode yang diasuransikan dalam contoh gan indeks iklim dilakukan dengan metode analisis ini) kurang dari 26 mm, maka Historical Burn (IRI 2012). petani berhak mendapat pembayaran Berdasarkan frekuensi kejadian penuh sesuai dengan nilai polis yang suluasan lahan sawah yang terkena dah disepakati. Jika curah hujan riil sekekeringan selama periode 2001-2011, lama periode asuransi lebih dari 26 mm untuk Kecamatan Sliyeg selama periode tetapi kurang dari 34.5 mm, maka petani 11 tahun terjadi 5 kali kejadian, yaitu tahun mendapat ganti rugi secara parsial ber2002, 2003, 2006, 2007 dan 2008. dasarkan besar kecilnya nilai penurunan Peluang kejadiannya adalah 0.45 atau curah hujan. Apabila curah hujan riil pada 45%. Data dan informasi tentang peluang periode asuransi lebih dari 34.5 mm maka kejadian kekeringan ini sangat penting petani tidak mendapatkan ganti rugi/klaim. untuk menentukan indeks iklim yaitu Contoh skema pembayaran dan nilai dalam penetapan batas trigger dan exit. indeks untuk Sliyeg disajikan dalam GamUntuk menghtung indeks iklim, bar 1. maka beberapa parameter harus ditentukan, yaitu : 1) periode asuransi (windows), 2) batasan cap untuk menjadi curah hujan yang disesuaikan (adjusted rainfall), dan 3) periode ulang/peluang kejadian kekeringan. Dalam analisis ini, periode asuransi ditetapkan berdasarkan hasil survey yaitu periode dimana petani sering mengalami kekeringan. Periode tersebut adalah Mei-Agustus. Untuk selanjutnya dihitung data curah hujan dasarian pada Bulan Mei-Agustus selama tahun Gambar 1. Skema pembayaran asuransi berdasarkan indeks iklim (Sumber : 1966-2009 dengan stasiun pewakil Estiningtyas 2013b) Cikedung (Estiningtyas 2013a). Nilai cap yang digunakan dalam penelitian ini
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
n a tb
m i l tk
36
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
a i n
g . n
d i . o
Menurut Martirez (2009) untuk aplikasi Asuransi Indeks Iklim diperlukan 4 tahapan, yaitu : 1) Desain produk, 2) Pemasaran produk, 3) Periode asuransi dan 4) Perhitungan klaim (Gambar 2). Desain produk meliputi wawancara petani dan pemangku kepentingan, pengadaan data, desain indeks serta uji coba polis. Tahapan desain produk ini merupakan tahap awal yang sangat menentukan langkah berikutnya karena disinilah pemahaman kepda petani diberikan sehingga petani dapat memutuskan sendiri apakah bersedia mengikuti asuransi atau tidak.
kup besar. Thailand lebih memfokuskan pada risiko kekeringan terhadap tanaman jagung. Kenya menggunakan curah hujan sebagai parameter untuk menyusun indeks asuransi untuk tanaman jagung dan gandum. Kenya menggunakan satelit sebagai dasar menentukan indeks vegetasi untuk memantau kekeringan pada ternak, khususnya di wilayah bagian utara. Ethiopia melalui proyek HARITA dari IRI Columbia University menggunakan satelit untuk tanaman lokal di Afrika.
STUDI ASURANSI INDEKS IKLIM DI INDONESIA International Finance Corporation (IFC 2010) dibawah koordinasi Bank Dunia melakukan studi kelayakan Asuransi Indeks Iklim untuk tanaman jagung di Pringgabaya-Nusa Tenggara Barat, Lamongan-Jawa Timur dan MarosSulawesi Selatan. Hasil studi kelayakan menunjukkan bahwa Asuransi Indeks Iklim sangat menarik dan potensial sebagai nilai tambah dalam rantai pasokan pertanian serta layak untuk dikembangkan. Selain itu merupakan model bisnis yang relatif mudah untuk diidentifikasi. Administrasi dengan prosedur yang mudah sehingga mengurangi biaya transaksi. Center for Climate Risk and Opportunity Management (CCROM) IPB dan IRI Columbia University telah melakukan kerjasama penelitian tentang Asuransi Indeks Iklim sejak tahun 2011 hingga sekarang. Bentuk kegiatn yng dilkukan antara lain pengembangan sumberdaya manusia terhadap Asuransi Indeks Iklim. Focus Group Discussion (FGD) dan Workshop juga dilakukan yang melibatkan Pemerintah Daerah, petani/kelompok tani, penyuluh serta Tim Teknis Iklim. Training of Trainer (TOT) dilakukan untuk menyiapkan petani/kelompok baik dalam pemaha-
a t r
e p g.
i l . at
n a tb
Gambar 2. Tahapan aplikasi Asuransi Indeks Iklim (Sumber : Martirez 2009)
b
i l a
m i l tk
Hasil penelitian Osgood et al. (2007) menunjukkan bahwa asuransi formal ini juga telah dikembangkan di negara-negara berkembang/miskin seperti India, Ethiophia, Tanzania, Malawi dan Kenya. Beberapa negara yang telah mengaplikasikan Asuransi Indeks Iklim antara lain : Malawi dimana digunakan parameter presipitasi untuk mengaplikasikan asuransi bagi petani kacang dan risiko kekeringan pada tanaman tembakau. Di India dikembangkan asuransi berdasarkan indeks yang berbasis curah hujan sejak tahun 2003 dan telah berhasil menjual polis cu-
g . n
a i n
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
37
man tentang iklim, indeks iklim serta aplikasi Asuransi Indeks Iklim. Sebagai tindak lanjut kegiatan tersebut serta mengetahui tingkat pemahaman petani, maka telah dilakukn juga permainan interaktif tentang Asuransi Indeks Iklim yang disebut dengan ―Game Interactive‖. Dalam kegiatan ini petani sudah berpraktek langsung menggunakan uang yang bearasal dari bantuan IRI Columbia University. Dengan modal ini serta pemahaman yang sudah diberikan kepada petani melalui FGD, Workshop dan lin-lain, selanjutnya Petani diberi pilihan untuk mengambil keputusan sendiri untuk mengelolanya baik melalui Asuransi atau lainnya. Badan Litbang Pertanian melalui Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi telah melakukan penelitian tentang Asuransi Indeks Iklim pada Tahun 2013-2014. Penelitian dilkukan melalui survey dan wawancara untuk mendapatkan data dan informasi tentang kelayakan usahatani padi, teknologi dan adopsinya, respon petani terhadap Asuransi Indeks Iklim serta adopsi teknologi. Salah satu contoh hasil survey dan wawancara adalah tentang respon petani terhadap Asuransi Indeks Iklim. Sekitar 68% responden menyatakan asuransi iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan menjanjikan. Lembaga pengelola yang banyak diharapkan responden adalah Bank (52%). Kendala utama yang dikemukakan responden seandainya asuransi dilaksanakan adalah perlunya sosialisasi (32%) (Gambar 3). Kesediaan petani untuk membayar (Willingness to Pay) terkait premi dalam asuransi berkisar antara 200-300 ribu rupiah per ha per musim (Gambar 4). Sebagai perbandingan premi Asuransi Pertanian yang berbasis gagal panen yang sedang dilaksanakan saat ini sebesar Rp. 180.000 dengan 80% subsidi Pemerintah dan 20% oleh Petani.
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
a i n
n a tb
m i l tk
Gambar 3. Respon petani terhadap Asuransi Indeks Iklim (Sumber : Estiningtyas 2012a)
Gambar 4. Persentase kesediaan membayar oleh petani (Sumber : Estiningtyas 2012b) 38
POTENSI DAN TANTANGAN Usahatani padi yang menjadi pekerjaan utama petani di sebagian besar masyarakat Indonesia menjadi potensi utama pengembangan Asuransi Indeks Iklim. Perhatian petani diharapkan cukup besar terhadap program yang terkait dengan peningkatan usahataninya. Kebutuhan petani terhadap modal pada setiap awal musim tanam menjadikan asuransi berpeluang
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
d i . o
digunakan untuk meningkatkan produktivitas (melalui koperasi, kelompok tani, gapoktan, dll). Kesediaan membayar premi cukup tinggi (76%) merupakan potensi bagi pengembangan dan aplikasi program ini. Pemahaman dan respon petani yang cukup baik terhadap asuransi indeks iklim memiliki prospek yang baik dan perlu sosialisasi yang lebih intensif. Dukungan Pemerintah baik Pusat dan Daerah serta regulasi menjadi sangat penting ketika program Asuransi ini akan diaplikasikan di lapang. Tantangan pelaksanaan Asuransi Indeks Iklim adalah kelembagaan baik di tingkat pusat maupun daerah perlu disiapkan. Sumberdaya manusia sebagai pengguna untuk menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen risiko yang efektif juga perlu dipersiapkan. Sebagai program pemula, pembayaran premi asuransi indeks iklim pada sistim usahatani padi masih terbatas, namun bagaimana program asuransi indeks iklim ini bisa meningkatkan produktifitas petani ini menjadi tantangan yang menarik.
g . n
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2014. Agricultural Insurance : Experience and knowledge sharing. Ceigram. Bahan tayang disajikan dalam Expert Meeting ―Technological Application and International Experiences‖. Hanoi, 4 November 2014.
a t r
a i n
Bappenas. 2014. Roadmap Asuransi Pertanian di Indonesia Bahan presentasi disampaikan dalam FGD ―Capacity Development Downscaling Climate Change Projection Agriculture Insurance‖. Hotel Lor In Sentul, 6 – 7 November 2014.
e p g.
Estiningtyas, W, R. Boer, I. Las dan A. Buono. 2012a. Analisis Usahatani Padi Untuk Mendukung Pengembangan Asuransi Indeks Iklim (Weather Index Insurance) : Studi Kasus di Kabupaten Indramayu. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Volume 15 Nomor 2, Juli 2012. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.
i l . at
n a tb
Estiningtyas, W. 2012b. Pengembangan Model Asuransi Indeks Iklim Untuk Meningkatkan Ketahanan Petani Padi Mengahadapi Perubahan Iklim. Disertasi. Program Studi Klimatologi Terapan. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
b
i l a
m i l tk
Estiningtyas, W, A. Buono, R. Boer dan I. Las. 2013a. Penggunaan Metode Fuzzy Similarity Dalam Penentuan Cakupan Wilayah Indeks Curah Hujan (Using Fuzzy Similarity Method For Determining Coverage Rainfall Index Areas). Jurnal MG, Volume 14 Nomor 2-2013 ISSN 1411-3082. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika. Estiningtyas, W, A. Pramudia, K.S. Haryati dan F. Ramadhani. 2013b. Penelitian dan Pengembangan Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan Air Dalam Menghadapi Dampak Perubahan Iklim. Laporan Akhir RPTP. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hadi, P. U, C. Saleh, A.S. Bagyo, R. Hendayana, Y. Marisa dan I. Sadikin. 2000. Studi Kebutuhan Asuransi Pertanian Pada Pertanian Rakyat. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
39
Harahap, A.J, P. Rejekiningrum dan I. Anas. Strategies For Climate Change Mitigation And Adaptation In The Agricultural Sector In Indonesia. Workshop on Developing Farming Systems for Climate Change Mitigation. Colombo, 26-30 August 2013. IPCC.
2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Summary for Policymakers. Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva.
IRI. 2010. Weather Index Insurance Education Tool (WIIET) dalam http://iri.columbia.edu/ education/insurancetool. IRI. 2012. Index Insurance Capacity Building Exercises for Indonesia Release 2.0. IRI, Earth Institute, Columbia University. Lee, WF., MD. Boehlje, AG. Nelson and WG. Murray. 1980. Agricultural Finance Ch4 (Handling Risk and Uncertainty), Ch13 (Risk Management Strategies), Ch14 (Insurance for Farmers), and Ch22 (Insurance Company Farm Loan). 7th edn., The Iowa State University Press, Ames.
a i n
Manuamorn, O. Pomme. 2010. A Feasibility Study on Weather Index Insurance for Agriculture in Indonesia – Weather Index Insurance in the Context of Agricultural Risk Management and Relevant International Experiences. Bahan Presentasi dalam Weather Index Insurance Seminar 2010 ―Finding of the Feasibility Study for Covering Weather Risk on Maize Production. International Finance Corporation, Jakarta 15 April 2010.
a t r
e p g.
n a tb
Martirez. 2009. Microensure, Helping the poor weather life‘s storm. Bahan Tayangan. Osgood, D, M. McLaurin, M.Carriquiry, A. Mishra, F. Fiondella, J. Hansen, N. Peterson dan N. Ward. 2007b. Designing Weather Insurance Contracts for Farmers in Malawi, Tanzania and Kenya. Final Report to The Commodity Risk Management Group, ARD, World Bank.
i l . at
b
i l a
Pasaribu, S.M. 2013. Asuransi Pertanian Untuk Melindungi Petani Dari Risiko Iklim. Makalah disampaikan dalam Workshop Sustained Partnerships and Capacity for Climate Risk Management yang diselenggarakan oleh PERHIMPI, CCROM SEAP– IPB, dan Earth Institute, Columbia University. Bogor, 18 Desember 2013.
m i l tk
Perdinan. 2014. Climate Change and Crop Insurance : Application of Crop Model. Workshop on Capacity Development on Downscaling Climate Change Projection And Index Base Agricultural Insurance. Sentul, 6 November 2014. Sanim Bunasor. 2009. Dukungan Asuransi Pertanian Terhadap Risiko Anomali dan Perubahan Iklim. Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional Inovasi Sumberdaya Lahan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian.
40
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
d i . o
PENELITIAN KEY AREA KERAGAMAN IKLIM INDONESIA : KONSEP DAN IDE AWAL Woro Estiningtyas, Aris Pramudia, dan Yayan Apriyana DASAR PEMIKIRAN Perubahan iklim telah terjadi dan diindakasikan akan terus terjadi apabila tidak dilakukan upaya mitigasi dan adaptasi. Dampak perubahan iklim yang menyeluruh baik secara langsung maupun tidak langsung telah membawa kerugian pada berbagai sektor. Dampak yang besar terutama dirasakan oleh wilayah-wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. Wilayah Indonesia yang sangat luas dengan posisi diapit dua samudera dan dua benua serta berupa kepulauan dan agroekosistem yang beragam menjadikan iklim Indonesia sangat kompleks dan dinamis. Siklus Walker, Hadley, Dipole Mode Index (DMI) serta Madden Julian Oscillation (MJO) semua turut berperan dalam proses atmosferik terhadap iklim di Indonesia. Ditambah lagi arus laut seperti Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang diduga juga sangat berperan dalam transfer energy (bahang) terkait dengan ketersedian uap air di wilayah Indonesia. Kompleksitas dan kedinamisan proses tersebut menjadikan iklim di Indonesia cukup beragam. Keragaman iklim Indonesia ditambah dengan perubahan iklim yang saat ini semakin nyata dirasakan membawa dampak yang beragam pula di setiap wilayah di Indonesia. Ada wilayah yang sangat sensitif dan ada pula yang tidak sensitif terhadap keragaman dan perubahan iklim. Namun data dan informasi tentang sebaran wilayah tersebut belum tersedia. Oleh karena itu
diperlukan penelitian untuk mengetahui wilayah mana yang bisa dijadikan kunci atau indikator terhadap perubahan iklim. Karakteristik curah hujan, pola dan tren serta korelasinya dengan indikator global seperti Sea Surface Temperature (SST) dan Indian Ocean Dipole (IOD) menjadi pendekatan awal untuk melakukan identifikasi Key Area Keragaman Iklim Indonesia. Key Area ini merupakan wilayah yang dapat dijadikan indikator adanya perubahan iklim maupun fenomena iklim global lainnya. Apabila kondisi iklim di wilayah kunci ini diketahui atau adanya gejala khusus, maka kondisi ini dapat menjadi indikator untuk wilayah lain sehingga dapat dilakukan peringatan apabila dijumpai kondisi iklim ekstrim yang diprediksi akan terjadi. Indikator bisa dicirikan melalui pola dan tren curah hujan, deret hari kering, suhu udara dan sebagainya. Mengingat pentingnya informasi ini, maka Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi mengambil inisiatif dan ide awal untuk melakukan penelitian Key Area Keragaman Iklim Indonesia. Tujuan utama kegiatan ini adalah menyusun Peta Key Area Keragaman Iklim Indonesia untuk indikator perubahan iklim sebagai masukan kepada para pengambil kebijakan. HUBUNGAN INDIKATOR IKLIM GLOBAL DENGAN CURAH HUJAN DI INDONESIA
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
m i l tk
n a tb
g . n
a i n
Posisi Indonesia yang diapit dua Samudera dan dua benua menciptakan mekanisme iklim global yang cukup dinamis dan
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
41
kompleks. Posisinya yang juga dilewati aspek topografi, pegunungan, sistem garis katulistiwa dan masuk ke dalam hidrologi dan lain-lain. Karakterisik umum pengaruh kawasan Lautan Pasifik, mensuatu wilayah yang dapat diamati dengan jadikan Indonesia sebagai daerah pertejelas adalah tipe hujannya. muan sirkulasi Meredional (Hadley) dan Indikator dominan yang sering sirkulasi Zonal (Walker), dua sirkulasi yang digunakan untuk melihat gejala terjadinya sangat mempengaruhi keragaman iklim di anomali iklim adalah SST, sedangkan Indonesia (Pramudia et al. 2013). Beparameter iklim yang terlihat jelas berapa studi telah dilakukan, khususnya perilakunya akibat terjadinya anomali iklim tentang variabilitas curah hujan di Indoneadalah curah hujan. Beberapa hasil sia yang dikaitkan dengan fenomena skala penelitian menunjukkan adanya korelasi global seperti EL Nino, La Nina dan IOD antara SST dengan curah hujan. terhadap curah hujan di Indonesia. Hasil Berdasarkan hasil penelitian Hendon penelitian Las (2003) dengan data hujan (2003) diketahui bahwa variabilitas SST dari 239 stasiun di Jawa dan Bali periode Nino 3.4 mempengaruhi 50% variasi curah pengamatan lebih dari 30 tahun menunjukhujan seluruh Indonesia sedangkan kan bahwa pada tahun La-Nina hampir variabilitas SST di Laut India 10-15%. seluruh stasiun memiliki curah hujan tahuPada musim kemarau, anomali SST yang nan lebih tinggi (112-131% ) dibanding mencapai +1o C sudah menyebabkan rata-ratanya/tahun normal). Sebaliknya curah hujan turun sampai di bawah pada tahun El-Nino hampir seluruh stasiun normal. Dengan data curah hujan mempunyai curah hujan lebih rendah (79,3 Indonesia dan SST Indo Pasifik periode -86,2%) dari rata-ratanya/tahun normal. 1951-1997, Aldrian dan Susanto (2003) Anomali iklim tidak hanya mempengaruhi menyimpulkan bahwa anomali curah hujan jumlah curah hujan, tetapi juga pola dan pada musim kemarau adalah koheren dan lamanya periode hujan dan kemarau yang berkorelasi kuat dengan variasi ENSO di berimplikasi terhadap pergeseran musim Pasifik, sebaliknya pada musim hujan tanam. korelasi tersebut lemah. Sejak April 1996 Pengaruh anomali iklim terhadap NOAA mendifinisikan daerah kunci ENSO, curah hujan ini terlihat khas dan berbedayaitu Nino 3.4 (5oLU - 5oLS dan 170oBBbeda di setiap daerah. Artinya besar 120oBB) seperti disajikan dalam Gambar kecilnya pengaruh tersebut terkait erat 1. dengan karakteristik dan kondisi lokal di Penelitian yang lebih intensif untuk daerah yang bersangkutan. Semakin jelas mempelajari respon curah hujan terhadap pola hujan yang terjadi di suatu daerah, SST, dilakukan oleh Aldrian dan Susanto maka pengaruh anomali iklim akan terlihat (2003) dengan mengkorelasikan curah jelas pula dan hal ini akan memberi hujan musiman dengan SST lautan kemudahan dalam melakukan analisis Indonesia hingga Nino 3.4. datanya. Menurut Las (2004) besarnya pengaruh anomali iklim terhadap curah hujan ditentukan oleh tiga faktor, yaitu : 1) posisi ekuatorial yang terkait dengan peranan angin pasat, 2) pengaruh monsunal dalam kaitannya dengan peranan angin monsun, terutama monsun Gambar 1. Wilayah pengamatan Nino 3.4 (Sumber : NOAA) barat, dan 3) pengaruh lokal terutama
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
n a tb
m i l tk
42
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
a i n
g . n
d i . o
Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh SST berbeda-beda untuk setiap musim dan setiap wilayah hujan. Korelasi yang cukup tinggi (0.45-0.7) terjadi pada periode JuniNopember pada setiap wilayah hujan (Gambar 2). Artinya korelasi lebih nyata terjadi pada musim kemarau. Kesimpulan yang sama juga diperoleh dari hasil penelitian Las (2004) yang menyatakan bahwa korelasi anomali curah hujan dengan anomali SST di banyak wilayah Indonesia lebih signifikan pada musim kemarau dibanding musim hujan. Dengan data curah hujan Indonesia dan SST Indo Pasifik periode 1951-1997, Aldrian dan Susanto (2003) menyimpulkan bahwa anomali curah hujan pada musim kemarau adalah koheren dan berkorelasi kuat dengan variasi ENSO di Pasifik, sebaliknya pada musim hujan korelasi tersebut lemah (Haylock-McBride, 2001). Keeratan hubungan ini juga diungkap oleh Hadi (2002) yang menyatakan bahwa El Nino dapat memperparah atau memperpanjang musim kemarau di Indonesia. Estiningtyas (2005) juga telah melakukan penelitian tentang hubungan curah hujan dengan SST Nino 3.4 yang menunjukkan bahwa nilai koefisien korelasi antara curah hujan dan SST Nino 3.4 pada musim kemarau lebih tinggi dibandingkan pada musim hujan baik di wilayah monsunal maupun ekuatorial. Di wilayah monsunal, koefisien korelasi pada musim hujan sebesar 80,82% dan pada musim kemarau 99,35%, sedangkan pada wilayah ekuatorial, koefisien korelasi musim hujan 93% dan musim kemarau 98,93%. Menurut Boer, et al (1999) pada musim kemarau, anomali SST yang mencapai +1o C akan menyebabkan curah hujan turun sampai di bawah normal. Kesimpulan yang sama juga diperoleh dari hasil penelitian Las (2004) yang menyatakan bahwa korelasi anomali curah hujan dengan anomali SST di banyak wilayah Indonesia lebih signifikan pada musim kemarau dibanding musim hujan. Untuk tenggang waktu (lag) antara curah hujan dan SST Nino 3.4, cukup bervariasi antara 0-2 bulan. Hasil penelitian Estiningtyas (2007) menunjukkan bahwa lag 2 bulan menghasilkan nilai korelasi yang tertinggi untuk lokasi Jawa Tengah dan nilai ini dapat bervariasi antar wilayah. Oleh karena itu untuk mengaplikasikan skenario time lag ini perlu diperhatikan wilayah atau luasan yang akan dianalisis.
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
g . n
a i n
n a tb
m i l tk
Gambar 2. Korelasi curah hujan dan SST pada wilayah hujan A, B dan C (Sumber : Aldrian dan Susanto, 2003) Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
43
PENDEKATAN AWAL PENENTUAN KEY AREA Mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas serta tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim yang tidak sama pada setiap wilayah, maka diperlukan wilayah kunci (Key Area) sebagai indikator keragaman iklim di Indonesia. Karakteristik curah hujan dan korelasi antara curah hujan dan SST serta IOD dijadikan indikasi awal melakukan pendekatan Key Area. Pendekatan awal dalam studi Key Area ini antara lain : (1) Melakukan analisis korelasi antara stasiun hujan di seluruh Indonesia dengan indikator iklim global SST Nino 3.4 dan IOD. Koefesien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefesien korelasi berkisar antara +1 s/d -1. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan (strength) hubungan linear dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah dan berlaku sebaliknya. Untuk memudahkan melakukan interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel dilakukan klasifikasi sebagai berikut (Tabel 1) (Sarwono:2006) : Tabel 1. Klasifikasi korelasi
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
n a tb
a i n
(2) Mengapa digunakan Nino 3.4, hal ini didasarkan pada hasil penelitian Hendon (2003) yang menyebutkan bahwa variabilitas SST Nino 3.4 cukup besar pengaruhnya terhadap curah hujan seluruh Indonesia yaitu sekitar 50% (3) Melakukan analisis korelasi antara stasiun hujan di seluruh Indonesia dengan indikator iklim global SST Nino 3.4 dan IOD dengan lag time 1, 2 dan 3 bulan (4) Menentukan korelasi tertinggi antara stasiun hujan di seluruh Indonesia dengan indikator iklim global SST Nino 3.4 dan IOD berdasarkan lag time nya (apakah lag time 1, 2 dan 3 bulan yang menghasilkan korelasi tertinggi) (5) Menyusun hasil tahap 1 dan 2 dalam bentuk spasial dan menentukan lokasi mana yang memiliki korelasi tinggi (tertinggi) baik positif maupun negatif (6) Melakukan analisis tren curah hujan untuk seluruh stasiun hujan di Indonesia (7) Mengkaji pola dan tren curah hujan seluruh Indonesia (8) Mengkaji pola dan tren curah hujan pada wilayah dengan korelasi tinggi (tertinggi) (9) Menentukan Key Area berdasarkan korelasi tertinggi serta pola dan tren curah hujan (10) Menyusun peta Key Area keragaman Iklim Indonesia versi1 RENCANA PENGEMBANGAN Konsep dan ide awal ini telah dituangkan dalam salah satu Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP) di Balitklimat tahun 2014. Karakteristik curah hujan, pola dan tren serta korelasinya dengan indikator iklim global seperti SST dan IOD dipelajari untuk memperoleh indikasi
m i l tk
44
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
g . n
d i . o
awal sebagai Key Area keragaman iklim di wilayah Indonesia. Hasil penelitian di Tahun 2014 ini diharapkan dapat menjadi titik acu untuk pengembangan selanjutnya. Pengembangan selanjutnya wilayah key area akan dikelompokkan berdasarkan dampak perubahan iklim (PI) pada kelas iklim dan tipologi lahannya yaitu : 1) Iklim basah: lahan kering & lahan basah; 2) iklim kering : lahan kering & lahan basah; 3) lahan rawa pasang surut; 4) lahan rawa lebak; dan 5) lahan masam. Pada tahun 2015 penelitian key area masih terus dikembangkan dilanjutkan dengan perakitan teknologi adaptasi PI yang menghasilkan informasi adaptasi teknologi dan kearifan lokal untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim berbasis key area. Pada tahun 2016 penelitian key area dan perakitan teknologi adaptasi PI masih terus dikembangkan dilanjutkan dengan uji multi lokasi teknologi adaptasi perubahan iklim melalui litkajibangluhrap yang akan dilakukan oleh BPTP. Pada tahun 2017 dan 2018 perakitan teknologi adaptasi PI dan uji multi lokasi masih terus dikembangkan dilanjutkan dengan penyusunan prototype system delivery informasi teknologi perubahan iklim. Penyusunan prototype, untuk memudahkan mendapatkan informasi teknologi adaptasi PI dan kearifan lokal di setiap wilayah. Hasil kegiatan selama periode 2014-2018, akan dikemas dan disusun dalam bentuk Handbook Agroclimate Policy pada tahun 2019. Selain itu akan terus dilakukan pengembangan sistem delivery informasi teknologi perubahan iklim, hal ini dilakukan agar teknologi adaptasi PI dapat dimanfaatkan pengguna di setiap wilayah sehingga dampak PI dapat diminimalisasi (Gambar 3).
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
m i l tk
g . n
a i n
n a tb
Gambar 3. Road map RPTP Key Area 2014-2019
PENUTUP Key Area Keragaman Iklim Indonesia masih dalam tahap awal penelitian. Kajian terhadap berbagai pendekatan terus dilakukan untuk memperoleh metodologi yang sahih dan dapat dipertanggunjawabkan secara ilmiah. Masukan, saran dan ide-ide pengembangannya diharapkan dapat dikontribusikan agar hasil akhir penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh publik sebagai bentuk pelayanan dalam meningkatkan sumberdaya iklim untuk kemajuan pertanian di Indonesia.
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
d i . o
45
DAFTAR PUSTAKA Aldrian, E., dan R. D. Susanto, 2003, Identification Of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia and Their Relationship To Sea Surface Temperature, International Journal Of Climatology, Int. J. Climatol, 23: 1435-1452. Wiley InterScience. Boer, R. Notodipuro, K.A. and Las, I., 1999, Prediction of daily rainfall characteristic from monthly climate indicate, Paper pesented at the second international conference on science and technology for the Assesment of Global Climate Change and Its impact on Indonesian Maritime Continent, 29 November-1 December 1999. Estiningtyas, W. 2005. Prediksi Curah Hujan Dengan Metode Filter Kalman Untuk Menyusun Pola Tanam. Tesis. Program studi Sains Atmosfer, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung. Estiningtyas, W . 2007. Pengaruh Tenggang Waktu (Time Lag) Antara Curah Hujan dengan Suhu Permukaan Laut Nino 3.4 Terhadap Performa Model Prediksi Hujan Jurnal Meteorologi dan Geofisika, BMKG, Hendon, H.H, 2003, Indonesian Rainfall Variability : Impacts of ENSO and Local Air-Sea Interaction, American Meteorology Society. Hadi, TW, Z.L. Dupe, A. Lubis, 2002, Evolusi El Nino/La Nina di Pasifik dan Dampaknya di Indonesia, Prosiding Temu Ilmiah Prediksi Cuaca dan Iklim Nasional 2002. Haylock, M., and J. L. McBride, 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall. Journal of Climate, 14, 3882–3887. Las, I, E. Surmaini, N. Widiarta, G. Irianto, 2003, Potensi Dampak Anomali Iklim, El-Nino dan La -Nina Terhadap Produksi Pangan dan Kebijakan Penanggulangannya, Makalah Seminar El-Nino dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Pertanian, 6 Maret Bogor. Las, I., 2004. Menyiasati Fenomena Anomali Iklim Bagi Pemantapan Produksi Padi Nasional Pada Era Revolusi Hijau Lestari-Strategi dan Inovasi Teknologi Untuk Antisipasi dan Penanggulangan, Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama Bidang Agrometeorologi. Badan Litbang Pertanian. Pramudia, A, W. Estiningtyas, E. Susanti dan Suciantini. 2013. Fenomena dan Perubahan Iklim Indonesia serta Pemanfaatan Informasi Iklim untuk Kalender Tanam. Buku Kalender Tanam Terpadu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian.
a t r
e p g.
i l . at
b
i l a
n a tb
m i l tk
46
Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol 11 2014 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
a i n
g . n
d i . o