57
BAB V REALITAS BENCANA ALAM (LONGSOR) Secara faktual, Kampung Sirnagalih telah mengalami kejadian longsor (pergerakan tanah) sejak Tahun 2009. Desa Sukaraksa sebagai daerah rawan longsor juga telah ditetapkan oleh Pemerintah (BNPB) sebagai salah satu kebijakan untuk memberikan penanganan kepada Desa Sukaraksa. Kajian tentang realitas longsor selama 4 tahun terakhir penting untuk dipahami sebagai pengetahuan awal kondisi ekologis Sirnagalih. Dengan mengangkat fenomena longsor mulai dari realitas, pengaruh dan dampak, penyebab serta upaya penanggulangan maka realitas longsor Sirnagalih dapat dipahami secara komprehensif. Pada gambar 12 nampak bahwa daerah yang menjadi titik-titik longsor adalah daerah pemukiman dan areal persawahan. Ke-2 titik tersebut merupakan daerah yang dianggap labil karena selain memiliki struktur tanah yang rapuh juga menjadi pusat aktivitas warga sirnagalih dalam sehari-hari.
Gambar 12 Sketsa Lokasi Rawan Longsor di Desa Sukaraksa
5.1. Faktor Penyebab Longsor Kondisi geologi Kampung Sirnagalih hampir sama yakni memiliki struktur dan kontur tanah yang mudah bergeser. Kandungan tanah berupa batuan campuran dengan beragam jenis yakni breksi, batu pasir, lempung, kuarsa dan
58
andesit menyebabkan tanah menyerap air dengan cepat sehingga menyebabkan tanah juga menjadi lebih cepat jenuh (Dinas ESDM Kab.Bogor). Gejala-gejala alam secara umum menampakkan bahwa kondisi alam Kampung Sirnagalih memang termasuk dalam kategori rawan longsor. Potensi longsor tersebut menjadi lebih berat ketika lahan telah beralih fungsi menjadi pemukiman, persawahan dan perkebunan. Jenis tanaman endemik (asli) seperti bambu mulai berganti dengan jenis tanaman lain seperti Singkong dan Pisang. Menurut para ahli Geologi dari Dinas ESDM Kab. Bogor serta pakar konservasi tanah dan air IPB, peristiwa longsor yang terjadi pada daerah rawan longsor di Desa Sukaraksa yakni Kampung Sirnagalih merupakan fenomena alam geologis dengan tipe translasi. Tipe translasi merupakan salah satu jenis longsor yang kerap terjadi di Indonesia (Nugraha 2010). Longsoran translasi merupakan pergerakan tanah yang terjadi akibat pergerakan massa tanah dan batuan pada bidang gelincir yang berbentuk rata atau menggelombang landai. Gejala longsor yang ditunjukkan oleh Kampung Sirnagalih merupakan parameter umum akan terjadinya perpindahan tanah dalam jumlah besar dengan gejala terjadi keretakan tanah, lantai dan dinding bangunan. Bentuk-bentuk keretakan tanah bisa berupa bentuk konsentris (terpusat seperti lingkaran) atau paralel dengan lebar beberapa sentimeter dan panjang beberapa meter sehingga dapat dibedakan dengan gejala retakan biasa (Nugraha 2010). Dari berbagai kajian dan analisa para ahli yang menerangkan tentang kondisi
geomorfologi
kampung,
maka
terdapat
beberapa
faktor
yang
menyebabkan terjadinya gerakan tanah. Secara umum faktor-faktor tersebut dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni faktor alamiah dan faktor manusia (Mukhlis T.,dkk 2008). Pertama, faktor alamiah yang menjadi faktor pemicu longsor adalah curah hujan yang tinggi yakni 3000 mm3/tahun dengan intensitas yang semakin meningkat pada bulan-bulan tertentu yakni November, Desember, Januari, Pebruari, Maret. Faktor alamiah lainnya yang menjadi pemicu adalah faktor geomorfologi lainnya seperti kecuraman lereng, kondisi tanah dan bebatuan. Kedua, kondisi alamiah tersebut menjadi semakin kritis dengan perubahanperubahan lingkungan yang disebabkan oleh manusia dalam hal ini adalah
59
warga setempat. Warga setempat menyatakan bahwa perubahan fungsi lahan serta berkurangnya jenis tanaman tertentu yang menjadi tanaman endemik lokal (Puspa, Lame dan Bambu) dengan fungsi sebagai pengikat air tanah mulai terjadi sekitar awal Tahun 2000. Perubahan tersebut disinyalir sebagai salah satu indikasi terjadinya longsor, meskipun secara ekologis tutupan lahan berupa kebun campuran masih terlihat didominasi oleh tanaman tahunan lainnya yakni Sengon. Kampung Sirnagalih merupakan habitat tanaman bambu yang merupakan jenis tanaman dengan akar kuat dan baik untuk pengikat air tanah. Selain bambu, tanaman endemik lainnya seperti Puspa, Lame masih terlihat, meskipun kini tanaman Sengon lebih banyak ditemui. Hal tersebut nampak dari kondisi alam yang masih menyisakan tanaman bambu di beberapa kebun milik warga. Menurut pengakuan salah satu warga sepuh (tua) di Sirnagalih, tanaman bambu sejak awal telah banyak ditemui dan dikembangkan oleh warga sebagai tanaman pendukung untuk membuat rumah. Seiring perkembangan jumlah penduduk dan kebutuhan hidup, pengakuan warga Sirnagalih mengakui bahwa di beberapa tempat tanaman bambu telah digantikan dengan jenis tanaman lain yang lebih bernilai ekonomis seperti Singkong dan Pisang. Kedua jenis tanaman pengganti bukan merupakan tanaman kayu-kayuan serta tidak memiliki akar yang kuat yang dapat berfungsi sebagai pengikat air tanah. Namun Singkong dan Pisang dapat menjadi sumber pangan aternatif warga selain beras. Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa keberadaan jenis tanaman tersebut (Singkong dan Pisang) sebenarnya tidaklah banyak namun oleh pihak Pemerintah dianggap sebagai pemicu terjadinya longsor. Selain sebagai habitat tanaman bambu, awalnya Kampung Sirnagalih merupakan bukit yang lebih banyak ditumbuhi rumput liar, semak belukar dan beberapa tanaman endemik seperti Puspa dan Lame. Kini Kampung Sirnagalih telah berubah dan didominasi oleh kebun campuran (tanaman tahunan seperti sengon), sawah tadah hujan dan pemukiman. Bagaimanapun juga, akivitas tersebut disinyalir menyebabkan bertambahnya beban pada tanah yang strukturnya memang rapuh. Tanahpun menjadi semakin rapuh, retak, turun dan akhirnya menyebabkan tanah amblas seperti yang terjadi di areal pemukiman warga.
60
Ketiga, aktivitas pertanian sawah di bagian atas yakni di Kampung Sirnagalih
juga disinyalir sebagai faktor pemicu terjadinya longsor karena
keberadaan air sawah yang terus menerus ada di permukaan dan meresap ke bawah permukaan. Pengairan pada sawah menjadikan intensitas air yang terus menerus sehingga terjadi perubahan karakteristik tanah dan menurunkan kuat geser tanah secara signifikan. Kondisi persawahan juga akan menambah beban lereng yang menyebabkan terjadiya longsoran. Faktor keempat adalah adanya indikasi pergerakan tanah yang disebabkan oleh aktivitas penambangan batu bara yang pernah dilakukan di jalur Selatan Kampung Sirnagalih sejauh 400 meter. Aktivitas penambangan batu bara secara tradisional pernah dilakukan (berawal pada Tahun 2005) oleh 3 warga di Kampung Sirnagalih, dan sejak 2 tahun terakhir telah berhenti (tidak beroperasi lagi). Desa Sukaraksa memang disinyalir merupakan daerah yang memiliki potensi hasil bumi batu bara dengan kadar 6,8 menghampiri kadar kualitas baik yakni 7. Secara keseluruhan, lokasi yang disinyalir memiliki kandungan batu bara di Desa Sukaraksa seluas 30 Ha termasuk yang terdapat di Kampung Sirnagalih dan beberapa kampung di sekitarnya (Wawancara dengan Kades Sukaraksa). Penambangan batu bara pernah dilakukan di 3 titik pada tahun 1990 dan 2005. Penambangan yang dilakukan oleh perusahaan kecil tersebut tidak berlangsung lama dan hingga kini tidak ada lagi aktivitas penambangan batu bara karena tingginya biaya produksi serta persoalan kondisi lahan. Benturan antara kepentingan ekonomi beberapa warga serta kepentingan ekologis yang berdampak pada keselamatan seluruh warga merupakan realitas yang dilematis. Di sisi lain warga mengetahui potensi finansial yang dapat diperoleh dari pengelolaan batu bara namun di sisi lain warga juga tak mau kehilangan tempat tinggal akibat kerusakan lahan yang disebabkan olek eksploitasi batu bara. Dari berbagai uraian di atas, oleh pihak ESDM dan masyarakat, selain keempat faktor tersebut beberapa faktor lainnya yang diindikasikan sebagai penyebab longsor di Sirnagalih juga ditemukan, seperti yang terlihat pada tabel 10. Namun demikian faktor-faktor tersebut tetap memerlukan kajian yang lebih lanjut untuk mengetahui seberapa besar-kuat pengaruh dari masing-masing faktor.
61
Tabel 10 Faktor-Indikasi Penyebab Longsor di Kampung Sirnagalih Indikasi Penyebab
Faktor Alam : (1) Jenis tanah dan batuan
(2) Kecuraman bukit (3) Curah hujan (4) Getaran (5) Erosi (6) Material timbunan (7) Bidang Diskontinuitas Faktor Manusia : (1) Jenis tata lahan
(2) Pemotonganpengikisan tebing (Beban tambahan) (3) Penggantian jenis tanaman
(4) Penebangan liar (5) Penambangan (6) Sistem irigasi
Uraian
Kurang padat; Tanah lempung, breksi, batu pasir, kuarsa dan andesit serta batu bara Curam; 30 derajat Tinggi; 3000 mm3/tahun Daerah rawan gempa Pengikisan tanah akibat penggundulan hutan Tempat pembuangan sampah Pertemuan bidang yang tidak sinambung. Pemukiman, Sawah, Kebun-Tegalan, Hutan Pembangunan rumah
Bobot
+ + + +/+/-
+ +
Jenis kayu-kayuan dan berakar kuat menjadi tanaman semusim dan tidak berakar kuat Penebangan pohon tanpa melakukan penanaman ulang Penggalian hasil bumi berupa batu bara Tidak memperhatikan sistem aliran air.
pertanian
+ +/+/-
Sumber: Analisis Data Primer dan Sekunder, Tahun 2012 Keterangan : + = Indikasi Kuat, - = Indikasi Lemah,
+/- = Perlu kajian lebih detail
Pada tabel 10 dijelaskan bahwa antara faktor alam dan faktor manusia, keduanya menunjukkan pengaruh dan peran yang kuat (+) sebagai penyebab longsor. Kuatnya indikasi tersebut didukung oleh hasil kajian dari beberapa pihak seperti Dinas ESDM dan ilmuwan dari perguruan tinggi IPB dan ITB. Selain yang berindikasi kuat, terdapat juga beberapa aspek yang dianggap memiliki kontribusi namun tidaklah berperan besar dalam menyebabkan longsor atau dianggap lemah (-). Beberapa faktor lain yang diindikasikan sebagai penyebab namun belum dianalisis secara ilmiah, hanya sebagai dugaan semata juga dimasukkan dengan harapan tetap menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan faktor penyebab sekaligus untuk mencari bentuk penanggulangan.
62
Mengacu dari faktor-faktor penyebab tejadinya longsor oleh Nugraha (2010) serta kondisi geomorfologi Kampung Sirnagalih maka beberapa indikasi yang menjadi
penyebab longsor baik alam maupun manusia menjelaskan
bahwa pertemuan kedua faktor yakni kondisi geomorfologi (alam) yang dipengaruhi oleh faktor pemicu yang disebabkan oleh manusia yakni alih fungsi dan tata guna lahan serta tingginya curah hujan akan mempercepat ketidakstabilan lereng sehingga menyebabkan Kampung Sirnagalih mengalami longsoran. 5.2. Realitas Longsor (Tahun 2009 sampai Sekarang) Kampung Sirnagalih telah menunjukkan gejala-gejala longsor dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Gejala longsor di Kampung Sirnagalih telah ada sejak Tahun 2009 dengan gejala yang agak berbeda dari gejala longsor yang pada umumnya terjadi. Longsor yang terjadi berupa tanah retak (bukan tanah yang jatuh). Peristiwa longsor berawal dari munculnya retakan tanah di dinding dan lantai rumah salah satu warga yakni Pak Adun. Skala retakan yang terjadi masih kecil (15 sampai 25 Cm) dan baru pertama kali terjadi. Gejala serupa kembali muncul pada Tahun 2010 yang juga terjadi pada salah satu rumah warga lainnya yakni Pak Rahmat. Lantai dan dinding rumah juga mengalami retak-retak kecil sepanjang 15 sampai 35 Cm. Oleh pemilik rumah dilakukan penambalan menggunakan semen untuk merapatkan kembali lantai dan dinding yang retak. Kejadian tersebutpun oleh warga Kampung Sirnagalih belum dianggap sebagai gejala longsor karena hanya terjadi di salah satu rumah warga dan tidak menimbulkan bahaya. Dua kejadian tersebut oleh warga setempat belum dianggap sebagai gejala longsor karena masih berskala kecil dan belum membawa dampak yang membahayakan meskipun upaya sederhana dengan melakukan penambalan retakan tetap dilakukan. Warga memahami peristiwa longsor sebagai peristiwa bencana alam yang menimbulkan bahaya sehingga mendatangkan kerugian besar. Ketika longsor dianggap tidak berbahaya maka warga belum menganggap kejadian tersebut sebagai sebuah bencana. Berbeda dengan konsep longsor yang secara teknis diartikan oleh para ahli sebagai suatu fenomena alam yakni terjadinya pergerakan tanah meskipun belum menimbulkan bencana, namun pergerakan tanah selalu diprediksikan akan menimbulkan bahaya dan kerugian.
63
Pada akhir tahun 2011, tepatnya tanggal 11 bulan november tahun 2011, pergerakan tanah berupa tanah retak seperti tahun-tahun sebelumnya kembali terjadi dan menimpa 3 rumah warga yakni Pak Salim, Pak Misnan dan Pak Jimro. Dinding rumah mengalami retak kecil. Retak di dinding sempat berhenti, hingga pada awal Desember 2011 gejala retak tanah dan dinding kembali terjadi dan tidak berhenti bahkan mulai menimpa beberapa rumah warga lainnya. Peristiwa tersebut terjadi seiring dengan hujan deras yang terus mengguyur Kampung Sirnagalih. Pada hari Selasa, tanggal 13 Desember 2011 frekwensi pergerakan tanah terjadi semakin cepat dan menimpa 33 rumah dengan gejala serupa yakni dinding dan lantai rumah retak bahkan mulai turun.
Retakan yang awalnya
hanya berkisar 5 Cm terus melebar hingga 30 Cm. Terdapat 12 rumah yang menunjukkan gejala serius dengan kerusakan yang cukup parah. Puncak longsor terjadi pada hari Kamis tanggal 15 Desember 2011. Ke-33 rumah akhirnya mengalami kerusakan berat sehingga tidak lagi aman dan layak untuk dihuni. Dinding rumah warga roboh, lantai rumah terbongkar bahkan amblas. Sebagian rumah warga lain yang mengalami kerusakan ringan sebanyak 9 unit. Seluruh rumah yang tidak dapat lagi dihuni mengakibatkan 42 keluarga (160 Jiwa) harus mengungsi dan meninggalkan rumah mereka. Seluruh warga yang rumahnya rusak dipastikan tidak dapat kembali. Selain karena faktor keamanan dan kelayakan, kondisi geologi terus menunjukkan terjadinya pergerakan tanah hingga sekarang (bulan Mei 2012). Panjang retakan telah mencapai 200 meter dengan lebar 300 meter. Kedalaman retakan sejauh 5 meter dan diperkirakan dapat mencapai 8 meter. Penurunan tanahpun telah mencapai 30 sampai 50 Cm. Selain pemukiman, retakan tanah juga menimpa areal persawahan. Ada 25 petani yang lahan garapannya rusak, khususnya lahan berupa sawah yang tidak dapat lagi ditanami padi. Luas areal persawahan yang rusak ditaksir masingmasing petani berkisar 0,25 sampai 0,5 Ha. Kondisi tanaman padi mulai kering karena air untuk mengairi sawah tidak dapat tergenang melainkan terus mengalir dan jatuh ke dalam retakan tanah.
64
5.3. Pengaruh dan Dampak Bencana Alam Longsor Mengacu pada realitas longsor yang terjadi sejak tahun 2009 hingga saat ini, terlihat bahwa dampak dan pengaruh yang ditimbulkan dalam rentang waktu 4 tahun tersebut berbeda. Longsor yang terjadi pada tahun 2009 dan 2010 hanya menimbulkan kerusakan kecil di 2 rumah yakni rumah Pak Adun dan Pak Rahmat. Dari peristiwa tersebut, belum memperlihatkan dampak dan pengaruh yang nyata dalam aktivitas keseharian warga Sirnagalih. Warga belum menganggap retak tanah yang menimpa 2 rumah tetangga mereka sebagai hal yang membahayakan sehingga perubahan cara pandang yang berdampak pada perubahan perilaku belum nampak secara signifikan. Dampak dan pengaruh besar mulai terjadi ketika peristiwa longsor (pergerakan tanah) terjadi pada Tahun 2011 hingga saat ini. Pergerakan tanah telah mengakibatkan kerugian materiil berupa kerusakan rumah dan lahan garapan serta kerugian immateril lainnya berupa hak untuk hidup nyaman dan tenang. Kerugian berupa kerusakan yang menimpa pemukiman dan lahan garapan warga menghasilkan beberapa perubahan secara sosio maupun ekologis, seperti yang terlihat pada gambar 13.
Gambar 13 Kerusakan Akibat Retak Tanah pada Sawah (kiri) dan Pemukiman (rumah) Warga di Kampung Sirnagalih (kanan). Pada gambar 13, terlihat kerusakan pada sawah mengakibatkan air yang menggenangi tanaman menjadi surut. Kerusakan tersebut menyulitkan warga untuk menggarap sawahnya. Selain kerusakan pada sawah, pergerakan tanah juga mengakibatkan rumah-rumah warga menjadi hancur dan runtuh bahkan
65
amblas. Pergerakan tanah berupa tanah retak tersebut menyebabkan kerugian materiil seperti yang terurai pada tabel 11. Tabel 11 Rekapitulasi Data Korban-Kerugian Longsor di Kampung Sirnagalih No A. B. C. 1. 2. 3.
4.
Uraian Korban-Kerugian Tahun 2009 Bangunan (Rumah) Rusak Ringan Tahun 2010 Bangunan (Rumah) Rusak Ringan Tahun 2011 Jumlah KK Jumlah Jiwa Jumlah Bangunan (Rumah) - Rusak Berat - Rusak Ringan Sawah
Jumlah 1
Unit
1
Unit
42 160 42 33 9 15
KK Jiwa Unit Unit Unit Petak
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer & Sekunder, Tahun2012
Mengacu pada konsep Cultural Ecology Steward, maka pemanfaatan teknologi menjadi awal perubahan pada 3 aspek inti lainnya yakni perubahan pada aspek kependudukan (populasi), aspek kelembagaan ekonomi dan aspek organisasi sosial-politik. Perubahan sosio-ekologi pada Kampung Sirnagalih yang diawali dari pemanfaatan teknologi dibagi menjadi 2 hal yakni pertama, rusaknya lahan garapan petani yang berdampak pada perubahan teknik dan pola tanam. Perubahan tersebut terjadi karena retak tanah di lahan garapan khususnya sawah menjadi rusak. Rusaknya sawah berakibat pada menurunnya produktivitas lahan untuk menghasilkan beras, sementara beras masih menjadi makanan pokok warga setempat. Warga pun mulai mengalihfungsikan sawahnya menjadi kebun campuran, dengan jenis tanaman pangan lainnya yang dianggap dapat mengenyangkan yakni Singkong dan Pisang. Ada juga yang mengisi sebagian lahan mereka dengan tanaman tahunan seperti Sengon. Perubahan tersebut juga menyebabkan berubahnya pola produksi-distribusi pangan. Kerusakan lahan selain merubah pola teknik dan pola tanam juga merubah pola fikir dan perilaku sebagian warga untuk mencari alternatif mata pencaharian yang tidak berbasis lahan. Munculnya jenis pekerjaan baru di bidang jasa seperti menjadi tukang ojek dan buruh tumbuk emas di luar desa merubah struktur nafkah mereka menjadi nafkah ganda. Dari curahan waktu, pekerjaan bertani tetap sebagai yang utama.
66
Kedua, dipindahkannya warga ke tempat hunian sementara (Huntara). Sejak kejadian longsor besar hingga saat ini warga telah 2 kali dievakuasi yakni ke tenda pengungsian dan ke hunian sementara (Huntara). Bantuan awal yang diterima warga adalah 43 tenda pengungsian sebagai tempat tinggal yang bersifat darurat. Selama lebih kurang 3 bulan warga hidup di tenda, hingga akhirnya dievakuasi ke hunian sementara (Huntara). Bangunan Huntara didesain non permanen, lebih menyerupai barak dengan ukuran petak (7x5 m), terbuat dari triplek, dan berada dalam satu area seluas 2.300 meter persegi. Lokasi Huntara berjarak 500 meter dari pusat terjadinya longsor. Tidak dapat dipastikan akan berapa lama warga akan tinggal di Huntara tersebut dan di mana mereka akan diberikan tempat tinggal, sebab masih menunggu pencairan dana pemerintah serta hasil kajian geologi dan geografi untuk memastikan tempat yang aman dan layak untuk mereka hidup. Satusatunya harapan warga dan pemerintah terkait dengan pemindahan mereka kelak ke tempat tinggal yang tetap adalah warga dipindahkan tidak jauh dari kampung mereka agar tetap mudah mengakses lahan garapan mereka. Direlokasinya para korban ke Huntara menimbulkan banyak perubahan yang berujung pada perilaku adaptasi meski sekilas terlihat tidak terjadi perubahan drastis. Namun secara psikologis dan sosiologis, banyak hal yang mempengaruhi pola interaksi para warga khususnya sesama korban longsor. Hidup di tenda ataupun di Huntara yang tidak memiliki sekat/batas pemisah antara kamar orangtua maupun anak telah menghambat kebutuhan biologis orangtua, andaipun dipaksakan maka akan berpengaruh buruk bagi anggota keluarga lainnya. Perubahan prilaku dan gaya hidup sesama warga Huntara pun ikut berubah. Diantaranya, penggunaan fasilitas umum seperti kamar mandi/toilet (MCK) yang harus dimanfaatkan secara bersama. Para pengungsi mulai belajar cara berbagi. Para anak sekolah harus mengantri mandi di jam pagi. Sebagian anak bahkan orangtua lebih memilih ke pancuran sawah. Pentingnya keberadaan air bersih sebagai kebutuhan utama membuat warga dan pihak lain (TNI) membantu membangun 3 unit sumur di sekitar lokasi pengungsian. Persoalan lain yang harus dihadapi oleh para pengungsi adalah kesehatan. Beberapa pengungsi mengalami diare, demam dan alergi. Minimnya air bersih yang „memaksa‟ warga untuk memanfaatkan air sawah sebagai alat untuk membersihkan badan, pakaian, bahkan untuk membuang hajat, semakin
67
menambah peluang terjangkitnya penyakit diare dan alergi. Hidup di Huntara yang jauh dari kehangatan dan kenyaman membuat daya tahan tubuh beberapa pengungsi menjadi rentan terhadap penyakit. Keterbatasan-keterbatasan
tersebut
menuntut
warga
untuk
melakukan
penyesuaian (adaptasi) agar tetap dapat menikmati hidup mereka ke depan sampai waktu yang belum pasti. Dalam keterbatasan itu mereka juga dituntut untuk saling berbagi. Di satu sisi para korban longsor tidak dapat kembali ke rumah mereka, namun di sisi lain mereka juga akan tetap bertahan karena tidak memiliki lahan lain yang dapat dijadikan seagai sumber penghidupan selain yang ada di kampung mereka. 5.4
Upaya Penanggulangan Bencana Longsor pada Daerah Rawan Longsor Fenomena longsor merupakan fenomena alam yang sedikit banyak
mendapatkan intervensi dari manusia. Intervensi tersebut berupa pemanfaatan lahan dengan cara mengubah kondisi lahan dari habitat aslinya menjadi areal yang lebih berfungsi sebagai lahan penopang kebutuhan hidup. Untuk melakukan upaya penanggulangan maka perlu beberapa perlakuan manusia sebagai pihak yang juga berperan dalam menyebabkan longsor. Bentuk-bentuk penanggulangan bencana longsor yang telah dilakukan oleh warga Sirnagalih dapat dibedakan menurut skala waktu yakni jangka pendek, menengah dan jangka panjang, seperti yang terlihat pada tabel 12. Pada umumnya bentuk penanggulangan yang dilakukan untuk jangka pendek lebih bersifat temporer dan insidentil sedangkan yang jangka menengah dan panjang akan lebih memperhitungkan sustainabilitas kehidupan warga setempat. Keamanan dan keselamatan jiwa serta kestabilan ekosistem adalah tujuan dilakukannya upaya penanggulangan longsor yang bersifat jangka panjang.
68
Tabel 12 Bentuk-bentuk Penanggulangan Bencana Longsor di Kampung Sirnagalih Skala Waktu
Jangka Pendek
Jangka Menengah & Panjang
Bentuk Penanggulangan
Kategori Tindakan Menurut Bell,dkk.
1. Menutup/menambal retakan dengan tanah padat 2. Memperbaiki sistem pengaliran/pembuangan air
Adjustment
1. Tidak melakukan alih fungsi lahan
Adjustment
2. Memanfaatkan lahan pertanian dengan pola lahan kering
Adjusment
3. Tidak mendirikan bangunan pada lereng bukit 4. Tidak menambah beban lahan
Adjustment
Adaptasi Adaptasi Adaptasi
5. Tidak menebang pohon sembarangan,
Adjustment
6. Memelihara dan melakukan penanaman ulang dengan jenis kayu-kayuan serta pohon berdaya akar kuat untuk mengikat tanah
Adjustment
7. Membuat-membersihkan drainase (aliran air) 8. Tidak melakukan aktivitas yang mengganggu kestabilan lereng, seperti penambangan.
Adaptasi
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012
Berdasarkan saran dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ada beberapa upaya yang patut dilakukan oleh warga di Kampung Sirnagalih. Upaya tersebut merupakan langkah konkret dan bersifat teknis dengan tujuan mencegah terjadinya longsor yang lebih besar. Oleh Bell, dkk. sebagian upaya tersebut merupakan tindakan adjusment dimana warga melakukan perubahan pada lingkungannya untuk mencegah terjadinya longsor susulan. Beberapa upaya di atas telah dilakukan oleh warga Sirnagalih. Misalnya melakukan penambalan pada retakan-retakan yang terdapat di dinding dan lantai rumah. Upaya ini dilakukan pada saat peristiwa pergerakan tanah masih berskala kecil dan belum meruntuhkan rumah warga. Saat ini retakan-retakan tanah yang
69
terjadi dan terus mengalami pelebaran retak, dibiarkan saja karena warga berasumsi bahwa retakan tersebut akan terus melebar dan membutuhkan tanah yang banyak untuk menutupnya. Warga khawatir pengambilan tanah untuk menutup
retakan
justru
mengakibatkan
persoalan
baru
pada
tempat
pengambilan tanah. Upaya lain yang juga telah dilakukan oleh warga adalah tidak melakukan penebangan pohon, juga tidak melakukan aktivitas penambangan meskipun di kampung mereka diklaim mengandung batu bara. Aktivitas penambangan batu bara yang pernah dilakukan pada tahun 1990 dan berulang pada tahun 2005 tidak lagi beroperasi dan benar-benar berhenti sejak terjadinya longsor. Warga juga mentaati batasan lahan yang boleh digarap dan tidak boleh digarap (leuweung tutupan dan leuweung titipan). Pada leuweung titipan pun warga membuka lahan dengan tidak melewati batas kepemilikan. Di Kampung Sirnagalih lahan yang boleh mereka garap sebagai sawah, kebun dan ladang hanya berkisar 11 Ha (tabel 13). Lahan itulah yang terus mereka garap dan mereka wariskan dari dulu hingga sekarang. Tabel 13 Distribusi Pemanfaatan Lahan (Leuweung Titipan) Kampung Sirnagalih No.
Jenis Pemanfaatan
Luas (Ha)
1.
Sawah Tadah Hujan
3,50
2.
Kebun Campuran
6,00
3.
Ladang
1,50
4.
Pemukiman
3,25
Total
14,25
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer dan Sekunder, Tahun 2012
Ketidakcukupan hasil produksi lahan sebagai penopang ekonomi keluarga akibat bertambahnya anak-cucu, mereka atasi dengan mencari pekerjaan lain yang tidak berbasis lahan seperti menjadi pedagang kecil di pasar Cigudeg dan Leuwliang,menjadi tukang ojek dan buruh tumbuk. Selama 5 tahun terakhir, beberapa suami malah merantau ke Jakarta meninggalkan istri dan anaknya untuk bekerja. Ada yang menjadi pedagang, ada juga yang menjadi buruh bangunan.
70
Kendati demikian, dari berbagai bentuk-upaya penanggulangan longsor ada juga beberapa larangan yang terlanjur dilakukan oleh warga, seperti melakukan aktivitas pertanian dengan pola basah. Di Kampung Sirnagalih terdapat 3,5 Ha lahan yang dimanfaatkan sebagai persawahan dan sebagian besar dari sawah tersebut telah mengalami gejala longsor berupa retak tanah. Oleh pemilik sawah ke depan akan mengganti dengan tanaman pangan (palawija) lainnya yang diselingi dengan tanaman kayu-kayuan yang dianggap cocok dengan kondisi lahan seperti Jenjeng dan Puspa, Upaya lain yang dilakukan adalah mempertahankan sebagian tanaman bambu yang masih tersisa di kampung meskipun sebagian warga terlanjur mengganti dengan tanaman pangan seperti Singkong dan Pisang. Warga juga tidak lagi berminat untuk mendirikan bangunan rumah dengan konstruksi yang permanen. Sebagian warga lebih memilih membangun rumah dengan dinding bilik yang terbuat dari anyaman bambu dengan alasan lebih aman dan murah. Bahkan sebagian warga rela untuk direlokasi dan tidak lagi berminat untuk membangun-memperbaiki rumah dengan alasan keselamatan diri. 5.5
Ikhtisar Konsep longsor secara harfiah adalah terjadinya gejala pergerakan tanah.
Realitas lonsor yang terjadi selama kurun waktu 4 tahun (2009 sampai sekarang) di Kampung Sirnagalih menunjukkan gejala pergerakan tanah (longsor) berupa tanah retak.
Gejala tersebut berbeda dari peristiwa longsor yang umumnya
terjadi yakni berupa tanah runtuh. Dari berbagai kajian (pihak ESDM dan Kehutanan) serta hasil pengamatan di lapangan, gejala pergerakan tanah yang terjadi disebabkan oleh 2 faktor yakni kondisi alam yang didukung oleh aktivitas manusia. Dari 2 faktor tersebut maka muncul beberapa tindakan yang mengarah untuk meminimalisir aktivitas manusia yang dianggap dapat memperparah kondisi ekologi Sirnagalih. Pemahaman terhadap faktor penyebab longsor sangat penting untuk diketahui, khususnya bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan pengelolaan lahan (Petani), agar upaya penanggulangan longsor dapat terwujud dalam tindakan atau aktivitas sehari-hari warga.
71
Bukan hal yang mudah bagi warga untuk mengaplikasikan upaya penanggulangan longsor dalam aktivitas keseharian warga. Akan muncul berbagai kendala yang disebabkan oleh perubahan kualitas ekologi, khususnya lahan. Penurunan kualitas lahan telah berdampak pada perubahan-perubahan sosiologis, sebab lahan bagi warga setempat mempunyai makna yang besar yakni sebagai sumber penghidupan; sebagai sumber nafkah serta sebagai tempat untuk bermukim. Perubahan ekologis akibat kerusakan lahan berdampak pada kehilangan warga terhadap tempat tinggal, selain itu para petani terancam kehilangan sumber mata pencaharian. Perubahan tersebut dihadapi oleh warga dengan munculnya perubahan lain sebagai bentuk-upaya penanggulangan. Upaya penanggulangan yang dilakukan oleh warga berdampak pada upaya penanganan yang bersifat jangka pendek, menengah dan panjang. Upaya jangka pendek lebih kepada penanganan pada persoalan yang bersifat temporer sedangkan jangka menengah dan panjang lebih berdampak pada sustainabilitas kehidupan masyarakat Sirnagalih. Penanggulangan dilakukan dengan mengacu pada sumber penyebab longsor yang telah diindikasikan oleh beberapa pihak yang memiliki kompetensi di bidangnya seperti Dinas ESDM dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Faktor permasalahan diindikasikan terjadi karena faktor alam dan manusia. Meskipun dugaan faktor alam lebih kuat namun penanganan yang mengarah pada perilaku manusia juga dilakukan. Pada akhirnya, penanganan yang bersifat komprehensif mutlak diperlukan dan dipertahankan sebab kondisi geologi Kampung Sirnagalih telah dinyatakan sebagai daerah rawan longsor. Longsor di Sirnagalih dapat dipahami secara komprehensif dengan menggali kondisi dan fenomena alam yang terjadi selama 4 tahun terakhir, mulai dari faktor penyebab, pengaruh dan dampak yang ditimbulkan, serta upaya penanggulangan yang telah dilakukan. Kondisi, penyebab, dampak dan upaya penanggulangan secara ringkas terangkum pada Tabel 14.
72
Tabel 14 Realitas Longsor selama 4 Tahun Terakhir di Kampung Sirnagalih Realitas Longsor Objects (Kondisi Fenomena)
Reflective (Pengaruh/ Dampak)
Interpretative (Penyebab) Decisional (Upaya Penanggulangan)
2009 Retak tanah sepanjang 15-25 Cm yang menjalar ke beberapa bagian dinding dan lantai rumah warga (Pak Adun) Hanya menimbulkan kerusakan ringan di salah satu rumah warga (Pak Adun), sehingga tidak memberi pengaruh dan dampak yang berarti
Periode 2009-2012 2011 Retak tanah Retak tanah dengan panjang sepanjang 15dan lebar 35 Cm yang retakan + 300 M menjalar ke dan amblas beberapa sedalam > 1 M bagian dinding di areal dan lantai pemukiman rumah warga warga (Pak Rahmat) 2010
Hanya Menimbulkan kerusakan ringan di salah satu rumah warga (Pak Rahmat) di Kampung Sirnagalih, sehingga tidak memberi pengaruh dan dampak yang berarti
- Sebanyak 42 RT (160 jiwa) kehilangan tempat tinggal di Kampung Sirnagalih - Pemerintah Daerah dibantu BPBD Kab. Bogor merelokasi warga Kampung Sirnagalih ke tenda pengungsian dan kini warga telah menempati Huntara (hunian sementara)
2012 Retak tanah sepanjang > 200 M dan lebar retakan + 1 M di areal persawahan & kebun milik warga (hingga saat ini terus bergerak)
- Merusak lahan garapan dan para petani di Kampung Sirnagalih terancam kehilangan sumber nafkah utama - Perubahan komposisi bahan dasar pangan harian - Warga Kampung Sirnagalih mulai mencari alternatif nafkah yang tidak berbasis lahan - Pola pemukiman terkonsentrasi di satu titik - Perubahan prilaku & gaya hidup
Faktor alam : (1) Jenis tanah dan batuan kurang baik, (2) Curah hujan tinggi 3 (3000 mm /tahun), (3) kecuraman daerah 30 derajat Faktor Manusia: (1) Perubahan/alih fungsi lahan, (2) Pernah dilakukan penambangan batu bara, Pola bercocoktanam tidak sesuai (pola tanam basah) Jangka Pendek : (1) Menutup/menambal retakan dengan tanah padat, (2) memperbaiki sistem pengaliran/pembuangan air Jangka Menengah & Panjang : (1) Tidak melakukan alih fungsi lahan, (2) Memanfaatkan lahan pertanian dengan pola lahan kering, (3) Tidak mendirikan bangunan pada lereng bukit, (4) Tidak menambah beban lahan, (5) Tidak menebang pohon, memelihara dan melakukanpenanaman pohon kayu-kayuan serta pohon berakar kuat untuk mengikat tanah, (6) Tidak melakukan aktivitas yang mengganggu kestabilan lereng, seperti pengeboran, pengerukan dan penambangan.
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer dan Sekunder, Tahun 2012
73
Peristiwa longsor di Sirnagalih menunjukkan bahwa perubahan ekologis yang terjadi merupakan pertemuan antara faktor alam dan faktor manusia. Hasil kajian menunjukkan bahwa faktor alam lebih mendominasi mulai dari struktur tanah, kondisi geografis yang berbukit dengan kemiringan 30 derajat serta tingginya curah hujan. Kondisi tersebut menjadi lebih berat karena campur tangan manusia yang sedikit banyak ikut memberi dampak. Alih fungsi lahan menjadi pemukiman, melakukan pengelolaan lahan basah serta mulai berkurangnya kerapatan tanaman merupakan beberapa faktor yang disinyalir ikut memperburuk kondisi lingkungan. Perubahan ekologis yang terjadi di Sirnagalih membawa pengaruh dan dampak yang cukup memprihatinkan bagi kelangsungan hidup komunitas rawan longsor. Dampak yang ditimbulkan disebabkan oleh rusaknya tempat tinggal serta lahan garapan. Akibatnya, perubahan ekologis yang terjadi tidak lepas dari perubahan sosiologis yang menyertainya. Perubahan-perubahan tersebut merupakan indikasi awal munculnya berbagai penyesuaian (adaptasi) yang dilakukan sebagai strategi untuk bertahan hidup. Salah satunya melalui upaya-upaya penanggulangan longsor yang dilakukan baik dalam waktu jangka pendek yang bersifat temporer ataupun untuk jangka waktu panjang yang akan mendukung sustainability kehidupan komunitas rawan longsor di Sirnagalih.