BAB V PEMBAHASAN
Analisis bivariat yang dilakukan pada variabel yang ditunjukkan pada tabel 4.3 dan tabel 4.4 menunjukkan ada hubungan yang bermakna secara statistik antara shift kerja dengan tekanan sistolik dan tekanan darah diastolik (p< 0,05). Hubungan Indeks massa tubuh dan kebiasaan merokok dengan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik (p> 0,05). Hasil analisis regresi linier berganda pada penelitian ini didapatkan hasil yang bermakna antara hubungan lama kerja dan tekanan darah sistolik pada sopir bus, dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Sopir bus yang bekerja satu jam lebih lama memiliki tekanan darah sistolik rata-rata 2,33 mmHg lebih tinggi. (b = 2,33; CI 95 % 1,43 hingga 3,24; p = <0,001). Terdapat hubungan antarashift kerja dan tekanan darah sistolik pada sopir bus, dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Sopir yang yang bekerja pada malam hari memiliki tekanan darah sistolik rata-rata 17,4 mmHg lebih tinggi dari yang bekerja pada siang hari. ( b = 17,40 ; CI 95 % 10,41 hingga 24,38; p = <0,001 ) Orang dengan obesitas atau IMT lebih dari normal cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Obesitas, di mana IMT > 25 merupakan salah satu faktor resiko terjadinya hipertensi(Yundini, 2006). Hasil analisis regresi linier pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan Indeks Massa Tubuh
1
2
(IMT)dengan tekanan darah yang secara statistik signifikan. Sopir bus dengan indeks massa tubuh ≥ 25 kg/m2memiliki tekanan darah darah lebih rendah rata-rata 5.84 mmHg dari sopir bus dengan IMT< 25 kg/m2. (b = -5,84; CI 95% -14,38 hingga 2,71; p = 0,176). Terdapat hubungan kebiasaan merokok dengan tekanan darah sistolik pada sopir bus, namun secara statistik tidak signifikan. Sopir bus yang merokok memiliki tekanan darah sistolik rata-rata 2,49 mmHg lebih tinggi. (b = 2,49; CI 95% -5,58 hingga 10,57; p = 0,539). Analisis regresi linier berganda tekanan darah diastolik dengan shift kerja, lama kerja, IMT, dan kebiasaan merokok di dapatkan hasil yang bermakna antara hubungan shift kerja dan tekanan darah diastolik pada sopir bus, dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Terdapat hubungan antara lama kerja dan tekanan darah diastolik pada sopir bus, dan hubungan tersebut secara statistik signifikan. Sopir bus yang bekerja satu jam lebih lama memiliki tekanan darah diastolik rata-rata 0,47 mmHg lebih tinggi. (b = 0,47; CI 95 % 0,08 hingga 0,85; p = 0,019). Sopir yang yang bekerja pada malam hari memiliki tekanan darah diastolik rata-rata 5,27 mmHg lebih tinggi dari yang bekerja pada siang hari. ( b = 5,27 ; CI 95 % 2,30 hingga 28,24; p = 0,001 ) Hasil analisis regresi linier pada penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan tekanan darah yang secara statistik signifikan. Sopir bus dengan indeks massa tubuh ≥ 25 kg/m2 memiliki tekanan
3
darah darah diastolik lebih rendah rata-rata 1,42 mmHg dari sopir bus dengan IMT< 25 kg/m2. (b = -1,42; CI 95% -5,06 hingga 2,21; p = 0,436). Terdapat hubungan kebiasaan merokok dengan tekanan darah diastolik pada sopir bus, namun secara statistik tidak signifikan. Sopir bus yang merokok memiliki tekanan darah sistolik rata-rata 0.82 mmHg lebih tinggi. (b = 0,82; CI 95% -2,62 hingga 4,26; p = 0,635). Penelitian ini menunjukkan bahwa lama jam kerja mempengaruhi pada kejadian hipertensi. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat bekerja, seperti paparan panas, debu, ataupun asap, sehingga jika terpapar dalam waktu yang lama akan dapat mengakibatkan stres kerja (Yang et al. 2006). Jam kerja yang tinggi pada sopir bus juga dapat menyebabkan kualitas tidur sopir bus menjadi terganggu. Shift Kerja mempengaruhi kejadian hipertensi disebabkan oleh terganggunya bioritme tubuh. Faktor lingkungan ketika bekerja di malam hari juga berperan dalam kejadian hipertensi seperti kondisi jalan yang lebih ramai ataupun kondisi jalan yang tidak terlihat ketika malam sehingga perlu tingkat kewaspasaan yang lebih tinggi (Setyawati,2010). Hasil penelitian menunjukkan adanya kesesuaian dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Ragland et al (1987) menyatakan terdapat bahwa sopir bus memiliki resiko kajadian hipertensi yang lebih tinggi dikarenakan paparan terhadap tekanan pekerjaan dalam mengemudikan bus. Liu Z et al (2015) dalam penelitiannya tentang sopir taksi menyatakan IMT, lama kerja, dan jam kerja merupakan salah satu faktor resiko hipertensi ketika bekerja dalam sistem shift.
4
Lama waktur tidur dan jumlah hari libur berperan besar dalam mempengaruhi tingkat faktor resiko terjadinya hipertensi. Yang et al (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa terdapat hubungan antara lama kerja dan hipertensi pada pekerja.Penelitian lain mengenai lama kerjatelah dilakukan oleh McCubbinet al. (2010). Penelitian tersebut membuktikan bahwa bekerja pada malam hari dapat berkontribusi terhadap perubahan tekanan darah. Keterbatasan dalam penelitian ini,nilai Adjusted R2 pada penelitian ini menunjukkan bahwa variabel yang diteliti (shift kerja, lama kerja, IMT, dan kebiasaan merokok) memberikan 43,8% pengaruh terhadap tekanan darah sistolik, sedangkan sisanya dipengaruhi faktor perancu yang lain yang tidak diteliti.Variabel yang diteliti (shift kerja, lama kerja, IMT, dan kebiasaan merokok) memberikan pengaruh terhadap tekanan darah diastolik sebesar 19,6% sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel yang tidak diteliti. Adjusted R2 menjelaskan apakah proporsi keragaman variabel terikat mampu dijelaskan oleh variabel bebas atau tidak. Faktor perancu lain yang tidak diteliti seperti konsumsi alkohol, aktifitas fisik, dan faktor keturunan. Keterbatasan lain disebabkan karena kesalahan yang timbul ketika pengambilan data oleh tim peneliti di lapangan.Kesalahan tersebut muncul karena alat yang digunakan untuk pengambilan data oleh tim peneliti sebelumnya tidak dilakukan kalibrasi oleh badan yang berwenang. Kuisioner yang digunakan dalam wawancara tidak divalidasi terlebih dahulu.
5
Data awal keadaan tekanan darah para sampel yang tidak didata pada awal penelitian juga membuat data akhir yang didapat susah untuk dibandingkan. Sehingga tim peneliti tidak memiliki acuan tentang keadaan kesehatan sampel sebelum dilakukan penelitian. Bias informasi potensial terjadi karena beberapa pengakuan sopirtidak sesuai dengan keadaan. Pengumpulan datayang dilakukan oleh tim peneliti dengan tanya jawab dengan responden kadangkala jawaban responden hanya mereka-reka atau menyamakan jawaban dengan teman seprofesinya.