68
BAB IV PERKEMBANGAN KESENIAN TARI TOPENG GEGESIK TAHUN 1980-2000 Bab ini membahas hasil interpretasi mengenai erkembangan kesenian Tari Topeng Gegesik Tahun 1980-2000. Fakta-fakta ini diperoleh melalui sumber tertulis berupa buku-buku, dokumen dan arsip-arsip yang relavan dengan kajian yang peneliti lakukan. Untuk melengkapi informasi penelitian ini, peneliti juga melakukan wawancara melalui sumber lisan (oral history) terhadap para pelaku atau narasumber yang benar-benar mengetahui, mengalami dan mengerti mengenai kesenian Tari Topeng Gegesik. Pembahasan bab ini dikembangkan menjadi empat sub bab bahasan, yaitu pertama, gambaran umum kehidupan masyarakat Kabupaten Cirebon pada tahun 1980 hingga 2000 yang berisi mengenai gambaran umum kecamatan Gegesik dan Kabupaten Cirebon. Kedua, mengenai Perkembangan kesenian Tari Topeng Gegesik di Kabupaten Cirebon tahun 1980-2000 Ketiga, peran seniman dalam mengembangkan kesenian Tari Topeng Gegesik di Kabupaten Cirebon. Keempat, peranan sanggar kesenian Tari Topeng Gegesik dalam proses pewarisan terhadap generasi berikutnya. Kelima, tanggapan masyarakat Gegesik terhadap kesenian Tari Topeng Gegesik.
69
4.1. Gambaran Umum Kecamatan Gegesik Tahun 1980-2000 Kehidupan sosial budaya suatu penduduk dalam suatu daerah merupakan hal yang sangat penting karena setiap daerah akan memiliki kehidupan sosial budaya yang berbeda dengan daerah lainnya yang menjadikannya sebagai suatu karakteristik atau ciri khas yang dimiliki. Karakteristik sosial budaya penduduk yang ada umumnya ditunjukkan oleh adat istiadat, budaya, hasil kerajinan rakyat, arsitektur bangunan, bahasa, dan lain-lain. Masyarakat Kecamatan Gegesik memiliki sifat-sifat religius, kekeluargaan dan kegotongroyongan yang cukup membanggakan. Rasa kepedulian sosial atau yang lebih dikenal dengan sebutan kesetiakawanan sosial, adalah sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari yang dilandasi oleh kesadaran tanggung jawab sesuai dengan kemampuan masingmasing dalam hidup bermasyarakat Mengenai kondisi sosial budaya masyarakat Kecamatan Gegesik dapat dilihat dari beberapa aspek yang meliputi aspek agama, pendidikan, sosial serta nilai-nilai tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat setempat. Berkaitan dengan hal tersebut, jumlah penduduk merupakan hal yang perlu dijelaskan. Begitu pula dengan masyarakat Kecamatan Gegesik. Gambaran mengenai kualitas penduduk dapat dilihat dari tingkat pendidikan masyarakatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat pendidikan akan sangat mempengaruhi kehidupan pada suatu masyarakat. Tingkat pendidikan masyarakat Kecamatan Gegesik pada tahun 1980-2000 tidak dapat penulis paparkan secara lengkap dikarenakan keterbatasan sumber di lapangan. Ini merupakan salah satu gambaran mengenai tingkat pendidikan masyarakat Kecamatan Gegesik yang terlihat pada
70
tahun 2000. Jumlah murid pada tingkat usia anak Sekolah Dasar (SD) yaitu 12. 224 siswa, Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu 7.005 siswa, dan tingkat Sekolah Menengah Umum (SMU) yaitu 6.007 siswa. (Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Cirebon. Cirebon Dalam Angka 2000).
Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa angka tertinggi pendidikan masyarakat Kecamatan Gegesik berada di tingkat SD. Selebihnya masih bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi di tingkat SLTP dan SMU/SMK. Masih tingginya angka penduduk Kecamatan Gegesik yang belum dapat menikmati pendidikan formal sampai jenjang yang telah ditetapkan oleh pemerintah yaitu wajib pendidikan dasar sembilan tahun. Hal yang dapat dijadikan alasan mengenai fenomena seperti ini tidak lain disebabkan oleh faktor ekonomi dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat Kecamatan Gegesik. Dengan rendahnya jenjang pendidikan yang telah ditempuh maka peluang kesempatan kerja terbatas. Tingkat pendidikan yang rendah ini dipengaruhi oleh tingkat kesejahteraan ekonomi yang masih rendah sehingga ketika harus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi seperti SLTP dan SLTA akan menambah beban ekonomi keluarga. Bagi mereka yang lulus pendidikan dasar dianggap sudah cukup, yang penting bisa membaca dan menulis. Selain dipengaruhi faktor ekonomi juga dipengaruhi budaya masyarakat di desa. Hal tersebut adalah bagi anak perempuan, mereka dianggap tidak perlu melanjutkan pendidikan pada jenjang selanjutnya, karena prinsip dasar yang mereka kembangkan bahwa perempuan hanya akan mengurus rumah tangga. Kesempatan memperoleh pendidikan lebih baik diberikan kepada anak-anak laki-laki yang
71
kelak akan menjadi suami dan kepala keluarga yang harus menafkahi anak dan istri. Kondisi di atas juga terjadi karena nilai-nilai yang masih dianut oleh masyarakat sekitar yang dilatarbelakangi oleh tingkat kesejahteraan ekonomi yang rendah, maka mayoritas penduduk di wilayah ini hanya lulusan SD, sehingga untuk membantu kehidupan ekonominya mengharuskan mereka untuk bekerja sebagai petani atau buruh tani karena pekerjaan ini tidak mensyaratkan jenjang pendidikan tertentu karena yang di utamakan adalah keterampilan, kesabaran, ketelitian dan keuletan. Kehidupan sosial budaya yang berkembang di Kecamatan Gegesik sangat beragam. Berdasarkan perubahan sosial pada masyarakat Kecamatan Gegesik, penulis memahami bahwa kehidupan sosial budaya masyarakat Kabupaten Cirebon sangat heterogen. Hal ini terlihat dari adanya berbagai macam unsur yang mewarnai dalam kehidupan masyarakat Gegesik dapat kita saksikan secara langsung seperti halnya suku, agama, ras, bahasa serta adat istiadat. Hal ini senada dengan apa yang tertuang dalam buku “Apa dan Siapa Orang : Pandangan Hidup, Kosmologi dan Budaya” bahwa : Secara sosiologis tidak lagi menjadi bumi dengan etnis tunggal, bahkan sejarah peradaban pun telah mengukir heterogenitas dengan multicultural interaction sebagai identitas yang sangat inhern dalam diri orang (Setda Pemprov. , 2005 : 4). Hal tersebut tidak lantas menjadi sesuatu yang ganjil bagi penulis, sebab sejak dahulu seperti yang penulis ketahui bahwa masyarakat
khususnya
Kabupaten Cirebon memiliki sikap terbuka yang merupakan nilai kearifan lokal
72
setempat. Kehidupan multicultural seperti yang disebutkan di atas itulah yang menurut penulis dapat dijadikan sebagai salah satu nilai kearifan lokal yang perlu dihidupkan kembali di tengah semangat otonomi daerah saat ini. Mengenai kehidupan keagamaan, sejak dahulu atau ketika Kerajaan Cirebon mengalami masa kejayaan, masyarakat Kecamatan Gegesik
telah
terkenal dengan nilai-nilai budaya religiositasnya atau terkenal dengan nilai-nilai Islamnya. Agama Islam sudah lama tumbuh dan berkembang serta dianut oleh masyarakat Cirebon. Agama Islam ini telah dianut oleh penduduk secara turun temurun. Selain dari kegiatan-kegiatan pengajian, ceramah keagamaan, kehidupan dan nilai-nilai agama Islam di Gegesik nampak pula dalam selamatan-selamatan yang dilakukan di lingkungan keluarga. Upacara selamatan keluarga biasanya dilakukan karena seseorang mendapatkan keuntungan, kebahagiaan atau keberhasilan lainnya. Dengan demikian dapat terlihat bahwa nilai-nilai Islam sangat dipegang erat dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Mengenai nilai-nilai ke-Islaman yang melekat dalam diri masyarakat Gegesik, sekali lagi dalam buku “Apa dan Siapa Orang : Pandangan Hidup, Kosmologi dan Budaya” diterangkan bahwa : ... punya sejarah panjang. Dimana nilai agama itu juga bersenyawa dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di . Nilai agama di itu bersenyawa tidak hanya saja di pesantren, dia hidup dan dikibarkan nilai religius itu, tapi juga nilai itu diaplikasikan, disenyawakan dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam kehidupan bernegara sejak masa kesultanan (Setda Pemprov. , 2005 : 178-179). Dari nilai-nilai ke-Islaman yang dimiliki masyarakat Gegesik inilah yang kemudian memunculkan atau melahirkan apa yang penulis kaji dalam penelitian
73
ini yaitu Kesenian Tari Topeng Gegesik. Kesenian ini merupakan bagian dari kehidupan dan nilai-nilai Islam yang terus hidup dan berkembang pada sebagian masyarakat yang terdapat di Gegesik. 4.1.1 Keadaan Geografis dan Administratif Kecamatan Gegesik Pembahasan tentang keadaan geografis Kecamatan Gegesik dimaksudkan dan dikembangkan dalam rangka untuk mengetahui kaitan antara kondisi geografis dengan keberadaan kesenian tradisional Topeng Gegesik. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Cirebon, tepatnya di Kecamatan Gegesik. Kecamatan Gegesik adalah sebuah kecamatan yang termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Cirebon. Luas wilayah Kecamatan Gegesik 37,08 km2 terdiri dari sembilan desa, merupakan wilayah dengan kondisi daerah dataran rendah dan beriklim panas dengan suhu rata-rata mencapai 25ºC –34ºC. Wilayahnya sebagian besar adalah wilayah persawahan dengan luas 53,53 km² yang merupakan 63% dari
seluruh
luas
wilayah
Kecamatan
Gegesik.
Sebagian
besar
mata
pencahariannya adalah buruh tani. Sedangkan untuk batas wilayah Kecamatan Gegesik adalah sebagai berikut : •
Sebelah Barat
: Kecamatan Kaliwedi
•
Utara
: Kabupaten Indramayu
•
Timur
: Kecamatan Kapetakan dan Kecamatan Panguragan
•
Sebelah Selatan
: Kecamatan Arjawinangun
74
Untuk lebih memperjelas gambaran tentang wilayah Kecamatan Gegesik, berikut ini bisa dilihat peta wilayah Kecamatan Gegesik.
Gambar 4.1 Peta Administratif Kecamatan Gegesik
75
4.1.2 Penduduk dan Mata Pencaharian Daerah Kecamatan Gegesik terdapat 9 desa, yaitu Bayalangu Kidul, Bayalangu Lor, Sibubut, Kedungdalem, Panunggul, Gegesik Lor, Gegesik Kulon, Gegesik Wetan, dan Gegesik Kidul. Di Kecamatan Gegesik terdapat berbagai macam kesenian tradisional seperti, wayang kulit, sintren, lais, barongan, dan tari topeng. Selain itu juga terdapat beberapa jenis kerajinan seperti lukisan kaca, ukiran topeng, pembuatan wayang kulit, dan ukiran patung. Kesenian tari topeng sampai sekarang masih populer dan disukai oleh masyarakat Gegesik. Buktinya di Kecamatan Gegesik ada beberapa rombongan dan sanggar-sanggar tari topeng yang sudah terkenal di daerah maupun di luar Cirebon. Mereka sering diminta pula untuk mengadakan pertunjukan di berbagai daerah lainnya di Indonesia. Masyarakat Kabupaten Cirebon memiliki beragam mata pencaharian yang terdiri atas beberapa sektor pekerjaan utama diantaranya adalah sektor pertanian, perdagangan, perikanan, jasa, industri dan PNS. Untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut ini.
76
Tabel 4.1 Jumlah Tenaga Kerja Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan Gegesik Tahun 1998. Profesi Pekerjaan Petani Nelayan
Jumlah 12.721 3
Pengusaha
186
Pengrajin
7
Pedagang
5.882
Buruh Tani
14.321
Buruh Industri
807
Jasa Angkutan
269
PNS
680
ABRI
75
Peternakan
124
Sumber : Data Monografi Kecamatan Gegesik Tahun 1998 Berdasarkan tabel tersebut, mengingat kondisi geografis Kabupaten Cirebon yang menunjang maka bisa dilihat dalam tabel tersebut bahwa sebagian besar mata pencaharian masyarakat Gegesik berada dalam sektor perdagangan dan pertanian. Keadaan tanah yang subur ditunjang oleh sumber daya alam yang melimpah maka dimungkinkan untuk mengembangkan pertanian sebagai mata pencaharian bagi sebagian besar masyarakatnya. 4.1.3 Kebudayaan Cirebon Keadaan geografi Cirebon yang terletak pada persimpangan jalan utama dan pesisir utara pulau jawa. Menjadikan letak Cirebon sangat strategis dan
77
memudahkan berbagai suku bansa yang ada di Nusantara dan pendatang dari luar negeri singgah dan menetap di sini. Hal ini menjadikan wilayah Cirebon memiliki budaya campuran (caruban) akibat saling pengaruh mempengaruhi antara budaya pendatang dan budaya asli. Dalam perkembangan kebudayaan Cirebon cenderung memiliki kekhususan dengan berbagai ragam jenis dan fungsinya. Meskipun Kota Cirebon dan sekitarnya sudah menjadi daerah industri dan perdagangan tetapi masih tetap memperlihatkan tradisi dan adat istiadat peninggalan dari kerajaan Cirebon tempo dulu. Pada umumnya mayoritas dari penduduk Cirebon beragama Islam, namun sebagian besar penduduk generai tua masih mempercayai roh-roh buyut (nenek moyang). Selain itu juga masih mempercayai makhluk-makhluk gaib yang mendiami tempat-tempat atau benda-benda tertentu seperti makam, batu, sumur, sungai, muara, benda-benda kuno, pepohonan, dan sebagainya. Selain kepercayaan animism dan dinamisme tersebut, terdapat pula upacara-upacara adat yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat dalam rangka pemujaan buyut atau roh-roh halus lainnya. Masyarakat Cirebon adalah masyarakat yang heterogen, yaitu campuran Jawa dan Sunda, serta terdapat kelompok minoritas keturunan Cina (Dahuri dkk, 2004: 65). Walaupun demikian, tata cara adat desa umumnya masih diyakini dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan penduduk sehari-hari umumnya adalah bertani, berdagang, menangkap ikan, dan menjadi pegawai negeri. Seniman tari topeng, khususnya penari dan pengrajin adalah pekerjaan professional, sedangkan para penabuh gamelan pada umumnya bekerja pula
78
sebagai petani, pedagang dan pegawai negeri (Dahuri dkk, 2004: 65) Agama yang dianut oleh sebagian masyarakat Cirebon adalah Islam. Meskipun masyarakat Cirebon bergama Islam, kenyataannya kepercayaan zaman pra-Islam masih tampak sampai saat ini. Seperti juga di daerah-daerah lain di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kepercaryaan nenek moyang yang tersimpan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya tidak hilang, bahkan berbaur dengan kepercayaan baru. Masyarakat Cirebon selain menggunakan bahasa formal (Bahasa Indonesia), juga memiliki dua bentuk bahasa, yaitu bahasa Jawa dan Sunda. Hal tersebut tidak semuanya karena sebagian masyarakat Cirebon menggunakan bahasa Jawa dan ada juga yang menggunakan bahasa Sunda. Menurut beberapa keterangan yang diperoleh penulis dari berbagai pustaka disebutkan, bagi pemukim di daerah pegunungan, karena dahulu merupakan bagian dari Kerajaan Sunda, maka pengaruh kuat menggunakan bahasa Sunda. Pengaruh masa Hindu masih melekat dengan adanya beberapa cirri bahasa Sansekerta, seperti penggunaan beberapa nama tempat atau desa yang diwakili dengan lingga, sangka, maupun terdapatnya kesenian gending. Bagi penghuni tanah dataran antara Losari dan Indramayu terdapat pengaruh kuat dari hubungan dengan daerah Jawa Tengah, Jawa Timur, serta pendatang lainnya yang datang melalui laut. Sehingga terdapat bermacam ragam kebudayaan dan bahasa pengantar bercampur bahasa Jawa. Sehubungan dengan hal ini Maskun (58), Juru Kunci Museum Kanoman Cirebon mengatakan bahwa :
79
“Dalam kehidupan sehari-harinya masyarakat Cirebon sebenarnya terdapat dua bahasa yaitu bahasa Jawa dan Sunda. Bahasa Jawa asalnya yaitu dari Mataram, sedangkan bahasa Sunda asal mulanya dari Prabu Siliwangi atau Pajajaran. Misalnya kata Jawanya “monggo” sedangkan dalam bentuk bahasa Sundanya “mangga” (wawancara dengan Maskun, September 2010) Secara kultural, Cirebon merupakan daerah yang terletak di antara dua wilayah budaya yang berbeda, yaitu Jawa dan Sunda. Oleh karena itu, menurut Masunah dan Karwati daerah ini merupakan satu peleburan (melting pot) antara budaya Jawa dan Sunda (Masunah dan Karwati, 2003: 10). Hal ini dapat dilihat dari bahasa yang digunakan. Bahasa pengantar sehari-hari di Cirebon adalah bahasa Jawa. Namun apabila digunakan berkomunikasi di Yogyakarta atau daerah Jawa lainnya yang berbahasa Jawa, akan disadari bahwa bahasa Jawa gaya Cirebon sukar dimengerti karena bercampur dengan bahasa Sunda. Sesuai dengan daerahnya, kekhasan bahasa mereka disebut juga “bahasa Jawa Cirebon”. Kesenian daerah Cirebon merupakan “tontonan” yang berfungsi sebagai “tuntunan” hidup beragama, bermasyarakat dan bernegara. Seiring hal tersebut para seniman daerah Cirebon mengemban amanat misi “Tri Smara Bakti”, yaitu tiga fungsi pokok tugas mulia, seniman sebagai penghibur, seniman sebagai pendidik, dan seniman sebagai pejuang. Para seniman daerah Cirebon, sebagai penghibur dalam kegiatan berkarya dituntut kemampuannya untuk memberikan hiburan yang menyegarkan penonton agar merasa gembira dan senang menyaksikannya. Sebagai pendidik, para seniman Cirebon melalui bentuk seni apapun ditekuninya, dalam setiap kegiatan berkaryanya harus memiliki misi pendidikan berupa tuntunan atau ajaran etika dan moral bagi penontonnya untuk kebaikan hidup beragama, bermasyarakat,
80
berbangsa dan bernegara. Sebagai pejuang, para seniman Cirebon dalam kiprah keseniannya tidak terlepas dari misi perjuangan untuk tegaknya persatuan dan kesatuan bangsa. Kesenian daerah Cirebon banyak sekali jenis dan bentuknya baik yang tergolong ke dalam khas kesenian Cirebon maupun yang tergolong pada kesenian daerah Jawa Barat. 4.1.3.1 Seni Pertunjukan Rakyat Sebagian besar dari kesenian pertunjukan rakyat tradisional Cirebon pada mulanya bersifat mistis keagamaan dan kadang-kadang bercampur dengan unsur magis. Ada anggapan bahwa seni pertunjukan rakyat ini merupakan dasar peninggalan dari unsur-unsur kesenian pertunjukan masa Hindu dan Budha di Jawa. Saat pada masa Islam mengalami perubahan dan dijadikan sebagai media dakwah untuk penyebaran agama, kemudian berkembang sampai sekarang. Contohnya adalah wayang kulit dan tari topeng yang sangat popular di masyarakat Cirebon, sintren, lais, reog Cirebon, berokan, tayuban, debus, dan musik tarling. Seni pertunjukan tradisional ini kebanyakan diselenggarakan untuk upacara selamatan dan pernikahan. Selain itu juga beberapa upacara yang sangat penting sekali yang masih diselenggarakan sampai sekarang, seperti ngunjung, sedekahan bumi, sinoman, perayaan hari besar dan sebagainya.
81
4.1.3.2 Seni Rupa dan Kerajinan Selain kaya akan seni pertunjukan, di daerah Cirebon juga dikenal dengan berbagai karya seni rupa misalnya kerajinan batik Trusmi, lukisan kaca, sungging, wayang kulit, ukir wayang golek, kaligrafi, kerajinan rotan, seni lukis, kerajinan ukir topeng. Semua kerajinan tersebut merupakan identitas seni rupa Cirebon dan sekaligus merupakan mata pencaharian bagi penduduknya. Berikut merupakan beberapa hasil karya seni rupa di daerah Cirebon. Gambar 4.2 Mega Mendung (batik khas Cirebon)
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010
82
Gambar 4.3 Lukisan Kaca Khas Cirebon
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010
Gambar 4.4 Pengrajin Kedok
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010
83
Gambar 4.5 Seni Ukir Khas Cirebon
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010
4.2 Sejarah Tari Topeng Gegesik 4.2.1
Garis Besar Kesejarahan Tari Topeng Cirebon
Pembahasan kehadiran Tari Topeng Cirebon tidak bias terlepas dari perjalanan berdirinya dan pemerintahan Islam di daerah Cirebon karena seni tari topeng klasik tidak bias lepas dari fungsinya sebagai media dakwah penyebaran agama. Menurut M. Rais (67) Lurah Kanoman mengatakan bahwa: “Berdirinya kerajaan Islam di Cirebon pada abad ke-15 pertunjukan topeng telah hidup dan berkembang, topeng pada awalnya merupakan kesenian Hindu Budha serta masih percaya pada animism dan dinamisme. Melihat keadaan tersebut para wali da pemerintahan keratin mengadakan musyawarah yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati (Sinuhun Syekh Syarif Hidayatullah), beliau meruapakan ketua dewan wali Sembilan pengganti Sunan Ampel. Hasil musyawarah tersebut yaitu kesenian termsuk di dalamnya seni tari topeng digunakan untuk media dakwah sebagai misi penyebaran agama Islam” (Wawancara dengan M. Rais, 20 September 2010)
84
Sejalan dengan pendapat tersebut Elang Komarahadi (44), Pembina Kesenian Keraton Kacerbonan, mengatakan bahwa “semua kesenian yang berkembang di masyarakat Cirebon pada awalnya berasal dari kesenian keraton yang fungsinya sebagai hiburan untuk tamu-tamu raja maupun untuk kegiatan upacara di keraton” (Wawancara dengan Elang Komarahadi, 20 September 2010). Sebagai bahan perbandingan terhadap penjelasan narasumber akan dikemukakan kutipan cerita dari buku Himpunan Deskripsi Kesenian Daerah Cirebon (2001: 203) mengenai Tari Topeng Cirebon dan Keraton Cirebon sebagai berikut. “Pada saat berkuasanya Sunan Gunung Jati sebagai pimpinan Islam di Cirebon, maka datanglah percobaan untuk meruntuhkan kekuasaan Cirebon di Jawa Barat tokoh pelakunya adalah Pangeran Welang (yang belum masuk Islam) dari daerah Karawang. Tokoh ini ternyata sangat sakti dan memilki pusaka sebuah pedang bernama Curug Sewu. Penguasa Cirebon beserta para pendukungnya tidak ada yang bias menandingi kesaktian Pangeran Welang. Dalam keadaan kritis diputuskan bahwa untuk menghadapi musuh yang demikian saktinya harus dihadapi dengan diplomasi kesenian. Setelah disepakati bersama antara Sunan Gunung Jati, Pangeran Cakrabuana dan Sunan Kalijaga, maka terbentuklah tim kesenian dengan penari yang sangat cantik adalah Nyi Mas Gandasari, dengan sarat menarinya harus memakai kedok/topeng. Mulailah kelompok kesenian ini mengadakan pertunjukan di setiap tempat lazimnya sekarang disebut ngamen. Dalam waktu singkat terkenalah kelompok ini dengan Pangeran Welang ingin menyaksikan kesenian tari topeng setelah menyaksikan sendiri kebolehan si penari, ketika itu pula ia jatuh cinta. Nyi Mas Gandasari pun berpura-pura menyambut cintanya dan pada saat Pangeran Welang melamar, maka Nyi Mas Gandasari memninta dilamar dengan pedang pusaka Curug Sewu. Pangeran pun tanpa berpikir menyerahkan pedang pusaka tersebut, dan pada saat itu pula hilang semua kesaktian Pangeran Welang. Dalam keadaan lemah lunglai tak berdaya, Pangeran Welang menyerah total kepada Nyi Mas Gandasari dan memohon ampun kepada Sunan Gunung Jati agar tidak dibunuh. Sunan Gunung Jati memberikan ampun dengan syarat harus masuk Islam. Pangeran Welang setelah masuk Islam diangkat sebagai pemungut cukai dan dia berganti nama menjadi Pangeran Graksan. Sedangkan pengikut Pangeran Welang yang tidak mau masuk Islam tetap ingin tinggal di
85
Cirebon oleh Sunan Gunung Jati diperintahkan untuk menjaga keraton dan sekitarnya. Melihat keberhasilan misi kesenian topeng bias dijadikan penangkal serangan dari kekuatan-kekuatan jahat, maka pihak penguasa Cirebon menerapkan kesenian topeng ini untuk ngeruat suatu daerah yang dianggap angker dan sebagai kelanjutannya, hingga kini kesenian topeng ini masih digunakan di desa-desa untuk upacara adat seperti ngunjung, nadran, sedekah bumi, dan lain-lain. Setelah masyarakat menerima tradisi ngeruat itu, disamping harus ada pegelaran wayang kulit juga harus ada topeng di Cirebon, maka sangat suburlah tumbuhnya penari topeng di Cirebon” (Proyek Pendataan KesenianCirebon, 2001: 203). Berdasarkan beberapa keterangan dan hasil studi pustaka yang penulis lakukan, ternyata keberadaan Tari Topeng Cirebon berhubungan dengan adanya raket dan wayang wong yang berkembang pada masa Kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14 di Jawa Timur. Wayang wong dan raket adalah pertunjukan drama tari tanpa menggunakan topeng yang mengambil sumber cerita Ramayana dan Mahabarata. Wayang Topeng atau drama tari topeng sebagai hasil peleburan tradisi Hindu dengan Islam pada abad ke-15. Untuk mengembangkan kesenian topeng yang sangat popular pada waktu itu Sunan Kalijaga menciptakan topeng mengikuti model wayang gedhog, pertunjukan wayang kulit yang mengambil sumber cerita Panji, tetapi susunan tariannya ditafsirkan sebagai gambaran perkembangan jiwa manusia dari lahir sampai dewasa dan gambaran akhlak manusia yang baik dan yang buruk. Dari data yang dikemukakan oleh beberapa tokoh seniman topeng dan data kepustakaan yang telah dipaparkan di atas. Terlihat betapa besarnya peranan tokoh Islam tokoh Islam seperti Sunan Gunung Jati dan Sunan Kalijaga dalam upaya penciptaan penyebaran seni Tari Topeng Cirebon. Dengan berperannya para wali maka keberadaan topeng di wilayah budaya Cirebon menjadi berakar dalam sistem kehidupan masyarakat pendukungnya dan bertahan dari generasi ke
86
generasi melalui para penggarapnya secara turun-temurun. Hal tersebut diperkuat dengan adanya peninggalan lima topeng kuno yang tersimpan di museum keraton Kanoman dan diperkirakan digunakan oleh pemerintah Sunan Gunung Jati sebagai media dakwah untuk penyebaran Islam di Cirebon pada abad ke-15. Dalam perkembangan selanjutnya topeng menjadi salah satu seni pertunjukan (jenis tarian) yang memiliki bentuk penyajian tersendiri yang disebut topeng babakan atau topeng dinaan yang para penarinya memakai kedok (topeng) sebagai penutup muka. Biasanya kedok yang ditampilkan pada satu kali pertunjukan terdiri dari topeng Panji, Pamindo (Samba), Rumyang, Tumenggung, dan Klana (Rowana). 4.2.2
Lahirnya Kesenian Tari Topeng Gegesik
Dalam perkembangannya, Tari Topeng Gegesik tidak terlepas dari sejarah Tari Topeng Cirebon, karena Tari Topeng Gegesik merupakan salah satu dari sekian banyak gaya atau aliran Tari Topeng Cirebon. Tari Topeng Cirebon menyebar tidak hanya di daerah Cirebon atau kawasan budaya Cirebon saja, melainkan juga menyebar ke daerah-daerah lain di luar budaya Cirebon. Dalam hal ini Suanda pernah mengulas Cirebon sebagai daerah budaya besar. Berikut ini pernyataannya. Berbicara mengenai Cirebon sebagai wilayah budaya besar, akan termasuk di dalamnya, wilayah-wilayah Kabupaten dan Kodya Cirebon, Indramayu, sebagian dari Majalengka, Kuningan, Sumedang, Subang, Karawang, Tangerang, Bekasi, dan Banten. Malahan tergantung dari lingkup mana kita melihatnya, bisa juga memasukkan beberapa wilayah di Jawa Tengah, seperti Brebes dan Banyumas (Suanda, 1995: 18)
87
Meluasnya budaya Tari Topeng Cirebon menurut Masunah dan Karwati disebabkan
oleh
peranan
seniman
yang
mengadakan
pertunjukan
bebarang/barangan. Mereka pergi bekelana berhari-hari lamanya. Perjalanan ditempuh mulai dari berjalan kaki, menggunakan gerobak dorong, hingga kendaraan roda empat. Kepindahan seniman-seniman itu didasari atas tuntutan ekonomi
yang
sangat
sulit.
Keahlian
yang
mereka
kuasai
hanyalah
mempergelarkan kesenian yang dimiliki (Masunah dan Karwati, 2003: 25). Mereka tidak cukup mempunyai lahan yang baik untuk tempat tinggal maupun lahan untuk garapan pertanian. Jangankan untuk rumah, untuk makan sehari-hari pun sangat sulit. Keadaan musim sangat mempengaruhi pola kehidupan seniman tari topeng. Musim paceklik adalah musim yang sangat sulit untuk mendapatkan pangan. Keadaan ini mendorong seniman untuk berusaha mengadakan pertunjukan secara keliling, mencari orang yang bersedia menonton mereka. Saat barangan adalah saat dimana mereka harus pergi jauh ke luar daerah asal dan mungkin tidak kembali. Para seniman tari topeng seringkali mengadakan pertunjukan barangan dan pada akhirnya sering tidak kembali ke tempat semula melainkan memilih hidup dan bertempat tinggal di tempat yang baru. Di tempat baru ini akhirnya mereka menetap sekaligus mengembangkan pola-pola yang semula mereka anut di daerah asal yang disesuaikan dengan kondisi/situasi daerah atau yang menurut Suanda disebut sebagai local colour setempat. Tari Topeng Cirebon mempunyai wujud baku secara teknik dan penampilan, mempunyai isi dan makna yang terkait dengan fungsi dan peran
88
dalam masyarakat. Topeng selain mempuyai perbendaharaan teknis yang mantap mau tidak mau mengalami dinamika baru, mengalami perubahan dan perkembangan dari topeng semula. Perubahan ini meliputi perubahan fungsional dan bentuk sebagai akibat kebutuhan dan kreatifitas manusia pelakunya. Tidak jarang, dalam wilayah baru yang ditempati, muncul beragam gaya/pola penari atau pun pertunjukan, akan tetapi pada arti tempat, arti wilayah juga lokasi yang dihuni seniman tari topeng. Menurut Suanda perbedayaan gaya akibat migrasi seniman akan semakin beragam dan sulit dibedakan lagi bila disertai perkawinan di antara seniman yang berbeda daerah atau pun gaya petunjukan. Para seniman yang mengembara, sering dalam perjalanan atau di daerah yang baru dihuni melakukan pernikahan dengan seniman dari kelompok berbeda gaya yang lain. Ketika mereka berumah tangga, gaya pertunjukan dari kedua insan yang berbeda membentuk semacam dialog atau peleburan dimana terjadi penyesuaian satu sama lain (Suanda, 1995: 54). Dalam proses semacam itu, keduanya akan saling memberi dan menerima dan akan tampak yang satu lebih dominan disbanding dengan yang lainnya. Hal inilah yang terkadang menjadi masalah di dalam membicarakan pola umum Tari Topeng Cirebon. Lebih lanjut Suanda mengemukakan bahwa: Hal yang paling sukar dalam membicarakan pola umum Tari Topeng Cirebon adalah bahwa tiap daerah, dan bahkan penari punya gaya atau pola yang berbeda. Pemetaan gaya atas dasar wilayah pun sering tidak dimungkinkan karena banyak seniman yang pindah dari suatu daerah yang gayanya berbeda (Suanda, 1995:2). Perpindahan seniman dari satu tempat ke tempat lain mengakibatkan kesenian bersifat heterogen. Kesepakatan garap dan peristilahan tidak dipandang
89
sebagai hal yang penting. Mereka lebih banyak bersifat terbuka dan luwes menyadari lingkungan. Musik yang digunakan dalam suatu acara hajatan akan berbeda dengan musik yang dipakai barangan. Musik barangan tampak lebih sederhana dibandingkan dengan musik hajatan, begitu pun dalam hal tarian. Masalah penyingkatan rangkaian gerak tarian dan waktu pertunjukan adalah hal yang sering dilakukan oleh mereka. Termasuk di dalamnya susunan tarian. Demikian juga dengan peristilahan, keadaan ini banyak menjadikan keanekaragaman istilah. Ada istilah berbeda digunakan untuk sesuatu yang sama atau sebaliknya hal yang sama memiliki beberapa istilah. Dalam kondisi seperti itu terjadi unsur-unsur pertunjukan yang hilang atau diganti dengan hal baru. Adanya unsur-unsur yang berkurang atau bertambah tersebut menjadikan Tari Topeng Cirebon bersifat kompleks. Pada masa awal kemunculannya Tari Topeng Cirebon dipertunjukan di keraton. Penari dan dalangnya merupakan seniman-seniman yang berasal dari desa. Para seniman yang awalnya turut serta dalam kegiatan kebudayaan di keraton akhirnya keluar karena keraton tidak sanggup membiayai kegiatan kebudayaan, karena kekuasasan telah beralih ke tangan penjajah. Akhirnya para seniman kembali ke desa dan mengembangkan kesenian tari topeng di daerahnya masing-masing. Setelah beberapa periode, kesenian tari topeng pun menjadi milik lingkungan masyarakat desa yang diwariskan secara turun-temurun dan tersebar di beberapa tempat daerah Cirebon seperti, Losari, Slangit, Gegesik, Kalianyar, Palimanan, Majalengka, dan Indramayu.
90
Tari topeng meski tersebar di beberapa daerah tetapi secara umum bentuk fisiknya tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam hal itu terdapat ukurannya. Pada aspek gerak tariannya atau pun penerapan nomor tariannya tiap daerah memiliki warna dan corak yang berdiri sendiri dengan ciri khas daerahnya masing-masing. Perbedaan tersebut diakibatkan gerak penarinya atau pun dari versi dalangnya yang menjadikan ciri khas daearahnya masing-masing. Menurut Elang Komarahadi (44) Pembina kesenian Keraton Kacerbonan menyebutkan, “Karena awalnya satu bibit, walaupun berbeda tariannya kesenian Tari Topeng Cirebon mempunyai satu misi yaitu menerangkan karakteristik manusia. Bentuk topeng atau penutup mukanya secara umum setiap daerah sama karena ada pakem dalam pembuatannya. Kalau pun ada sedikit perbedaan, itu disebabkan perbedaan kemampuan pengrajin dalam teknik mengukir pembuatan topengnya atau pun kretivitas dari pengrajinnya.” (Wawancara dengan Elang Komarahadi, September 2010) Di Gegesik kesenian tari topeng sangat popular, hal ini terbukti dengan banyaknya kelompok tari topeng atau sanggar-sanggar tari topeng. Sanggar-sanggar tersebut diantaranya yaitu Sanggar Panji Sumirang pimpinan Ibu Karnati, Sanggar Among Prawa pimpinan Hj. Juni, Sanggar Sungging Prabangkara Pimpinan Parastika, dan Sanggar Langen Purwa pimpinan H. Mansyur. Dalam Tari Tari Topeng Gegesik dikenal lima topeng pokok yang ditarikan secara berurutan sesuai dengan karakternya masing-masing. Kelima topeng pokok itu adalah Panji, Samba atau Pamindo, Rumyang, Patih Tumenggung dan Klana. Selain kelima topeng itu ada pula topeng bodor yang ditarikan disertai lawak yaitu Jinggananom, Pentul, Tembem (Enyo), Jungkring dan Aki-aki.
91
4.2.3
Arti dan Fungsi Tari Topeng Gegesik
4.2.3.1 Arti dan Istilah Topeng Bila membaca atau mendengar kata “topeng” kita akan langsung ingat kata padanannya “kedok” karena pada umumnya kata “bertopeng” sama dengan kata “berkedok”. Dari hasil peneletian penulis di lapangan diperoleh beberapa keterangan tentang pengertian topeng yang diungkapkan oleh narasumber dari kalangan pengrajin, dalang topeng, dan budayawan Cirebon sebagai berikut. Karmina, pengrajin Tari Topeng Gegesik menjelaskan, “Topeng berasal dari kata topong-gepeng, yaitu tutup kepala penari topeng yang lazim disebut sobrah atau tekes yang pada bagian atasnya gepeng atau pipih” (Wawancara dengan Hj. Juni, Agustus 2010). Sedangkan menurut H. Mansyur, dalang topeng sanggar Langen Purwa, topeng terbentuk dari dua kata yaitu ketop-ketop (berkilau-kilauan) dan kata gepeng (pipih) kemudian digabungkan antara suku kata top dan peng menjadi topeng (Wawancara dengan H. Mansyur, September 2010). Pendapat yang lain dikemukakan oleh Elang Hari, dalang topeng Sekar Pandan dari lingkungan Keraton Kacirebonan menyatakan bahwa, “topeng adalah ungkapan rasa manusia yang melukiskan watak dan sebagai symbol kepenulisan” (Wawncara dengan Elang Komarahadi, September 2010). Tokoh lain menyatakan bahwa, “kata topeng berasal dari kata taweng atau towing yang berarti menutupi atau tertutup” (Wawancara dengan Karnati, Oktober 2010). Dari kelima keterangan tersebut dapat disimpulkan bahwa topeng merupakan sebuah benda yang bentuknya bulat atau pipih, dipakai di wajah untuk melukiskan watak dan sebagai simbol kepribadian. Dengan perkataan lain definisi
92
topeng adalah benda seni rupa tiga dimensi yang mengekspresikan bentuk wajah dapat ditempatkan pada bagian muka seperti dalam seni pertunjukan (tari dan teater) atau ditempatkan pada bagian-bagian tertentu sebagi pelengkap dekorasi interior. Masyarakat Cirebon menyebut topeng untuk jenis seni pertunjukan tarinya disebut “topeng” atau sebutan untuk grupnya keseniannya ada Topeng Losari, Topeng Gegesik, Topeng Indramayu, dan lainnya. Sedangkan untuk istilah penutup muka para penari (pelaku) pada pertunjukan topeng disebut “kedok” dan tidak pernah disebut topeng oleh masyarakat Cirebon. Sebutan bagi orang atau seniman pencipta topeng adalah “pengukir kedok” dan tidak disebut dengan “pengukir topeng”. Sebutan untuk yang memimpin jalannya cerita atau membawakan lakon saat pertunjuka kesenian topeng disebut “dalang pematang”. Sedangkan pelaku (penari) utamanya dalam pertunjukan disebut “dalang topeng”. Pada beberapa tempat wilayah budaya Cirebon, banyak juga jenis kesenian yang para pelakunya memakai topeng atau kedok. Akan tetapi, tidak disebut dengan kesenian topeng, karena memiliki nama tersendiri. Kesenian yang dilakonkan oleh orang-orang yang menggunaka penutup muka (topeng) yang menggambarkan tokoh-tokoh pewayangan, misalnya disebut wayang wong. Ada juga seni berokan atau barongan, yaitu pertunjukan leh seorang penari atau dalang yang berbusana raksasa dengan mengenakan penutup kepala yang berbentuk tiruan kepala binatang berbentuk singa. Dari keterangan tersebut jelas bahwa topeng yang hanya menggambarkan tokoh-tokoh dalam cerita Panji merupakan perlengkapan utama Kesenian Tari Topeng Cirebon.
93
4.2.3.2 Fungsi Topeng Gegesik seperti yang telah dikemukakan di bab dua, bahwa kesenian itu pada awalnya tidak semata-mata atas dasar keindahan saja. Akan tetapi, mempunyai tujuan dan fungsi tertentu. Begitu juga dengan Topeng Gegesik, pada kenyatannya fungsi topeng tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Secara rinci fungsi topeng dikelompokkan ke dalam tiga fungsi simbolik, fungsi praktis dan fungsi estetis. 1. Fungsi simbolik Dalam proses penciptaannya topeng ditujukan untuk memberikan arti atau makna sebagai bentuk perlambangan yang dapat berfungsi dalam kegiatankegiatan keagamaan maupun kegiatan-kegiatan sosial dalam kehidupan seharihari. Seperti yang dijelaskan oleh H. Mansyur yaitu tentang fungsi simbolik kedok dan Tarian sebagai berikut ini. a. Tari Panji Secara umum kata panji dapat diartikan terdepan atau yang menjadi pimpinan. Biasanya panji adalah mereka yang tergolong para sentana dan mendapat wewenang dari pimpinan prajurit. Para pakar topeng memberikan arti kata Panji sebagai berikut, Pan = mapan, ji = Siji, artinya mumpuni dalam menghayati Yang Satu (Allah swt) dan bertaqwa kepadaNya, berhati suci seperti seorang bayi yang baru dilahirkan, mampu berpikir dan melakukan pilihan yang terbaik. b. Tari Samba Tari Samba menggambarkan birahi, karena telah memiliki sesuatu yang diinginkannya. Kepada orang lain selalu ingin mempertunjukan apa yang telah dimilikinya, bahwa hal itu menjadi sebagian kepentingan orang lain. Samba dari kata Sam = Sambungan, Ba = Kang baguse, artinya selalu berusaha untuk berbuat kebaikan.
94
c. Tari Tumenggung/Patih Tari Tumenggung/Patih adalah seorang yang harus menjalankan dan melaksanakan segala perintah rajanya, juga pandai memerintah serta sanggup bekerja berat dan bertanggung jawab. Tumenggung dari kata Tumeng = Tumengaha, Gung = Yang Maha Agung, artinya selalu mengharap keridhoan Yang Maha Agung (Allah swt). d. Tari Rumyang Tari Rumyang adalah ketika fajar menyingsing di ufuk timur, menggambarkan seorang manusia dalam membaca kehidupannya terlihat secara samar-samar dari mata biasa. Untuk menjadi manusia seutuhnya diperlukan memiliki kemampuan dalam akal dan rasa yang sempurna. Rumyang dari kata Rum = Arum, Yang = Yang Maha Suci, artinya berusaha selalu melaksanakan perbuatan yang terpuji. e. Tari Klana/Rahwana Tari Klana/Rahwana adalah seorang penguasa yang selalu mengandalkan kesombongan dan selalu menuruti hawa nafsu angkaa murka. Rahwana dari kata Rah = darah, Wana = hutan, artinya seseorang yang berdarah hutan ingin selalu menggunakan wewenangnya seperti hukum rimba. (wawancara dengan H. Mansyur, Oktober 2010) 2. Fungsi Praktis Fungsi praktis topeng berdasarkan data yang diperoleh di lapangan dapat dibagi ke dalam fungsi politik, sosial, pertunjukan, dan ekonomis. a. Fungsi Politik Populernya topeng pada masyarakat Cirebon pada awalnya ada hubungan dengan politik penyebaran agama Islam pada abad ke-15. Pada saat pemerintahan Sunan Gunung Jati (Syeikh Syarif Hidayatullah) menaklukan Pangeran Welang dari Karawang yang menenteng agama Islam. Pada akhirnya sang pangeran takluk dan memeluk Islam akibat dengan cara diplomasi yaitu dengan cara disuguhkan sebuah pertunjukan kesenian tari topeng.
95
Selain hal itu, pada masa sekarang fungsi politik lebih kepada sebagai salah satu media kampanye politik. Bahwa tari topeng Gegesik dijadikan sebagai media kampanye politik dalam menarik minat masyarakat dalam rangka mendulang suara sebanyak-banyaknya. b. Fungsi Sosial Masyarakat Gegesik umumnya memandang topeng adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Jarang sekali masyarakat yang tidak mengenal topeng. Pengenalan akan topeng tersebut diperoleh dari lingkungannya ataupun diturunkan secara tradisional antargenerasi. Karena hal itulah topeng dapat berperan sebagi fungsi sosial. Selain itu juga bisa dijadikan media berkumpulnya warga masyarakat untuk menonton pertunjukan tari topeng. Dengan demikian rasa kekeluargaan antara sesama warga masyarakat pun tetap terjalin. c. Fungsi Pertunjukan Pertunjukan topeng secara tradisional kebanyakan diselenggarakan untuk merayakan upacara selamatan khitanan dan perkawinan. Kedua hal itu merupakan dua jenis upacara yang sering dilakukan oleh masyarakat Gegesik. Dalam acara tersebut sering memanfaatkan kesenian topeng dalam acara hajatannya. Dalam lima tahun terakhir kesenian topeng mulai kurang laku, karena tergeser oleh jenis hiburan lainnya. Hal tersebut diungkapkan oleh narasumber Caria (40) sebagai berikut, “pertunjukan topeng dan tarling sejak tahun 1990-an mengalami persaingan ketat dengan jenis pertunjukan lain, misalnya layar tancap yang
96
disamping praktis
juga biayanya lebih murah”
(wawancara dengan Caria,
Oktober 2010). Sekalipun demikian bukan berarti kesenian tersebut hilang. Sebagian besar penduduknya masih tetap mempertahankan wayang dan topeng sebagai sarana hiburan. Kesenian topeng meskipun menurun popularitasnya ternyata masih sering dipertunjukan dalam upacara penting yang ada hubungannya dengan keagamaan diantaranya sebagai berikut: 1) Ngunjung Ngunjung adalah upacara tahunan yang diadakan di makam keramat. Tujuannya untuk meminta berkah agar masyarakat bisa menjaga dan meningkatkan kehidupan yang lebih baik, baik secara material dan spiritual. Upacara ini bisa diatur oleh sekelompok keluarga, pengurus kampung, pengurus desa, atau oleh pengurus makam yang bersangkutan. Orang yang berpartisipasi dalam acara ini berjumlah banyak. Penyelenggaranya pun bermacam-macam. Ada yang hanya mengadakan selamatan atau doa dan sesaji makanan, ada yan mengadakan satu atau dua macam kesenian, da nada pula yang disertai arak-arakan besar dengan segala permainan atau atraksi spektakuler serta beberapa pertunjukan kesenian untuk bebepa malam. Ngunjung cukup banyak dilakukan di desa-desa, di antaranya di Cirebon, Indramayu, dan Majalengka. Beberapa diantaranya ada yang mengharuskan diadakannya pertunjukan tari topeng. Penari yang diharuskan menari dalam acara tersebut hanya berasal dari keluarga penari topeng.
97
2) Kasinoman Kasinoman merupakan semacam upacara tahunan. Pertunjukan ini memiliki kaitan dengan fungsi topeng. Banyak juga kasinoman serupa dengan upacara pertemuan bagi para remaja wanita mengadakan pertunjukan menari topeng dengan menggunakan topeng, sedangkan laki-laki menjadi dalangnya. Upacara ini biasa diadakan secara besar-besaran, termasuk pawai mengelilingi desa dengan para senimannya. Kini kasinoman yang paling banyak dilaksanakan adalah di Kecamatan Arjawingun, yang oleh masyarakat setempat disebut ngarot d. Fungsi Ekonomis Topeng terus diciptakan dan dipertahankan oleh pengrajin yang ada di Gegesik. Hal ini disebabkan karena bukan saja sebagai identitas mereka, melainkan juga karena memiliki fungsi yang lebih nyata lagi, yakni fungsi mata pencaharian atau fungsi ekonomi. Sebagai benda seni kerajinan, topeng akan menjadi bagian dari mata pencaharian. Terlepas dari hubungannya dengan pertunjukan seni tarinya, topeng pun dapat dijual secara langsung. Dari hasil wawancara dengan pengrajin topeng yang ada di Gegesik, harga untuk sebuah topeng tari mencapai Rp. 100.000,-. Selain topeng untuk tari dijual juga topeng berupa cinderamata dan topeng untuk hiasan dinding.
98
Gambar 4.6 Gantungan Kunci Topeng
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010 e. Fungsi Estetis Fungsi estetis topeng yaitu diciptakan untuk menimbulkan rasa senang, haru, terpesona, atau kagum terhadap hasil karya manusia. Nilai estetis topeng dapat diungkapkan dari berbagai unsur diantaranya ekspresi topeng, bentuk, warna dan motif hias. Fungsi topeng ini lebih bersifat sekuler dan lebih menekankan pada unsur penikmatan. Termasuk dalam topeng adalah topeng untuk hiasan dengan warna yang lebih mencolok dan beragam. Gambar 4.7 Unsur Seni Tari Topeng Cirebon
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010
99
f. Fungsi Dekoratif Dengan selera masyarakat yang sudah berbeda, beralih keberadaan makna topeng. Semula topeng dipandang sebagai sesuatu benda yang memiliki nilai religiomagis kemudian berubah menjadi benda hias biasa yang hanya memiliki nilai estetis. Keberadaannya dianggap sebagai benda seni rupa yang sama dengan lukisan, patung dan benda-benda kerajinan lainnya. Selain itu juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan batin manusia akan keindahan. Gambar 4.8 Hiasan Dinding
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010 Dari penjelasan mengenai berbagai fungsi dari Tari Topeng Gegesik, yang lebih berpengaruh terhadap masyarakat untuk saat ini adalah fungsi politik dan sosial. Hal ini dikarenakan yang sering muncul di masyarakat adalah kedua fungsi tersebut. Fungsi politik biasanya muncul pada saat acara-acara politik, seperti acara kampanye partai politik ataupun kampanye PILKADA. Sedangkan fungsi sosial biasa muncul pada saat ada acara-acara hajatan dan upacara selamatan di
100
suatu daerah. Pada saat masyarakat dapat berkumpul bersama menikmati pertunjukan seni Tari Topeng Gegesik, sehingga terjalin rasa kekeluargaan di antara masyarakat itu sendiri. 4.3 Karakteristik Bentuk Pertunjukan Tari Topeng Gegesik 4.3.1
Penokohan (Tokoh Tarian)
Pada umumnya Tari Topeng Cirebon khususnya pada gaya Gegesik mempunyai susunan penyajian yang sudah tetap. Maksud dari hal itu, sifatnya tidak bisa berubah-ubah lagi. Kata penokohan disini adalah bahwa setiap yang ada pada rumpun Tari Topeng Cirebon merupakan gambar karakter dari suatu tokoh peran. Susunannya adalah Panji, Pamindo atau Samba, Rumyang, Tumenggung atau Patih dan Klana (Rowana). Kelima kedok pokok tersebut disebut juga topeng panca wanda, artinya topeng lima profil (panca = lima, wanda = profil). Tari Topeng Cirebon berlatar belakang cerita lama, yaitu cerita Panji yang kemudian menjadi salah satu karakter Tari Topeng Cirebon. Nama-nama topengnya da tariannya terkait dengan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita tersebut. Di dalamnya terdapat paham lama dan alam pikiran masyarakat primordial (Suanda, 1995: 24). Kisah Panji dalam Tari Topeng Cirebon adalah kisah siklus kehidupan manusia yang menggunakan konsep pemahaman primordial. Kosmologi awal itu kemudian berkembang sesuai dengan kepentingan dan alam pikiran orang yang menggunakannya. Hal itu dikarenakan paham tersebut tidak sesuai dengan paham orang yang menggunakannya, dalam hal ini para Wali Sanga (Islam) maka konsep tersebut diperbarui sesuai dengan paham yang dianutnya yaitu falsafah Islam.
101
Unsur-unsur yang terdapat dalam seni topeng tersebut mempunyai arti simbolik dan penuh pesan terselubung, baik dari jumlah kedok, jumlah gamelan pengiring dan sebagainya. Hal tersebut merupakan upaya para Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam dengan menggunakan kesenian tari topeng setelah media dakwah kurang mendapat respon dari masyarakat. Arti dari kelima kedok pokok (panca wanda) secara terperinci adalah sebagai berikut: 1. Panji Tari Topeng Panji dilakukan pada bagian pertama yang karakteristiknya halus dan lungguh, sehingga tidak seluruh tubuh digerakan. Sesuai dengan karakternya, Panji memakai kedok yang berwarna putih, menggambarkan kesucian manusia yang baru lahir. Apabila dikaitkan dengan unsur Islam menurut Nawi (2003: 9), Panji akronim dari mapan ning kang siji, artinya tetap kepada yang Satu atau Esa, tiada lain ialah Allah swt. Panji adalah nafsu mutmainah, nafsu yang bersifat membimbing dan menyucikan serta menuntun. Sifat kejiwaan dalam topeng Panji dapat dilihat dari dalam mantra (jampe) yang biasanya dibacakan dalam hati saat seorang penari menekung di atas bibir kotak. Panji yang sudah tentu setiap dalang topeng mempunyai mantra-mantra sendiri (Suanda, 1995: 44). Sumerah maring Allah Sakapindo maring Rasulullah Kang anane ning wetan Sinuhun Gunung Jati Kang sume kang ana Gunung Jati Nyi Rengga Asmara Kang anama Sanghyang Permana Kang ana ing kulon
102
Sang Tunggal Putih Kang anama Kesamadtullah Kula titip pandita 40 Kang asih nikmat ning badan….
Kula titip maring Adulmuthalib Cuan lamun ora dijaga bendung Kenang bendunge Allah Ta’ala Allahuma Bisrokhman Mil suci saking umat Kanjeng Nabi Muhammad Allhuma Sotiamin Nyuwun ning Pangeran Bonang Pangeran Panggung minta diraksa Sajabane sejerone pangguung Artinya sebagai berikut: Pasrah (berserah diri) kepada Allah Yang kedua kepada Rasulullah Yang ada di timur Sunan Gunung Jati Yang tersenyum ada Gunung Jati Nyi Rengga Asmara Yang bernama Sanghyang Permana Yang ada di B arat Sang Tunggal Putih Yang bernama Kasamadtullah Saya titip pandita 40 Yang mengasihi nikmat dibadan Saya titip kepada Abdulmutholib Awas kalau tidak dijaga celaka terkena murka Allah swt Allah Yang Maha Pengasih Yang suci dari umat Baginda Nabi Muhammad Ya Allah Minta kepada Pangeran Bonang Pangeran Panggung minta dijaga di luar dan di luar panggung (Suanda, 1989: 76)
103
Gambar 4.9 Topeng Panji
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010
2. Samba atau Pamindo Samba berasal dari kata samban atau saban artinya setiap. Maknanya bahwa setiap waktu manusia diwajibkan mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala laranganNya. Sedangkan Pamindo artinya diduakalikan (dipindoni), maknanya bahwa disamping mengerjakan segala perintah Allah yang wajib, manusia juga perlu melaksanakan hal-hal yang Sunnah. Seperti halnya Topeng Panji, Pamindo atau Samba pun masih mempunyai latar belakang cerita Panji. Cerita itu mengisahkan, bahwa Raden Kundapanulis atau Pamindo bersama Partajaya sedang mengurus tamunya pada upacara pernikahan Ratna Susilawati dengan Senggalapura atau Klana Budanegara (Rosala, 1999: 27). Remaja yang mulai menginjak dewasa yang serba ingin tahu. Oleh karena itu, tari tersebut disesuaikan dengan karakter remaja yakni posisi energik, lincah, dan penuh
104
dinamika. Sehingga topengnya pun menggambarkan tawa ceria seorang remaja yang penuh suka cita. Gambar 4.10 Topeng Samba
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010 3. Rumyang Rumyang berasal dari kata arum atau harum dan yang atau hyang (Tuhan). Rumyang merupakan kelanjutan dari Pamindo, Maknanya bahwa manusia senantiasa mengharumkan nama Tuhan yaitu dengan doa dan dzikir. Oleh sebab itu, gerak tarian dilakukan pada bagian ketiga setelah Pamindo. Namun di beberapa tempat, ada pula yang menempatkan Rumyang pada posisi terkahir. Rumyang berasal dari bahasa Sunda ramyang-ramyang, artinya mulai terang. Bila dianalogikan dengan waktu, rumyang berarti waktu fajar menyingsing atau waktu menjelang pagi disaat penglihatan masih samar-samar. Rumyang menggambarkan seseorang yang beranjak dewasa dan serba ingin tahu (sense of knowledge) terhadap lingkungan sekitarnya, sekalipun memancarkan sedikit keragu-raguan. Berdasarkan nilai filosofis-psikologis itulah
105
karakter Topeng Rumyang tampil dalam gerakan yang lincah, lembut, tegas, dan terputus-putus. Gerakan ini lebih diperkuat oleh warna kedok yang merah jambu dihiasi oleh pilis di bagian pipinya. Gambar 4.11 Topeng Rumyang
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010 4. Tumenggung atau Patih Tumenggung atau Patih biasanya dipertunjukan pada bagian keempat. Ciri khas karakter Tumenggung adalah gagah, sehingga memberikan arti kebaikan kepada sesame manusia, saling menghormati dan senantiasa mengembangkan silih asah, silih asih, silih asuh. Tumenggung adalah satu-satunya topeng yang mengandung unsur ceria. Hal ini terlihat di dalam tariannya yang mengandung unsur dialog yan ditimbulkan oleh munculnya peran lain, yakni Jinggananom. Tari topeng Tumenggung dilatarbelakangi oleh kisah Tumenggung Mangandiraja (bakal calon menantu Raja Bawara) yang diutus untuk menaklukan Jinggananom yang belum juga tunduk terhadap kekuasaan Raja Bawara. Berdasarkan keputusan Raja, Tumenggung Mangandiraja pergi menuju negeri Jongjola. Namun setelah maksud dan tujuannya diutarakan, Jinggananom malah menolak dengan tegas kehendak Tumenggung. Penolakan tersebut disambut oleh Tumenggung
106
Mangandiraja dengan mengerahkan pasukan perang yang besar. Peperangan antara Tumenggung Mangandiraja dengan Jinggananom pun pecah. Pada akhir kisah disebutkan, bahwa Jinggananom kalah dan takluk terhadap Tumenggung Mangandiraja (Rosala, 1999: 29) Dalam tari ini, terdapat ketentuan wanda kedok yang harus digunakan tokoh Tumenggung yakni slasi, drobas, dan sangan. Sementara wanda pada tokoh Jinggananom terdiri dari tatag, prekicil, peloran, dan mimis. Gambar 4.12 Topeng Tumenggung
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010 5. Klana atau Rahwana Klana artinya mengembara atau mencari, bahwa dalam manusia wajib berikhtiar. Tari Topeng Klana atau Rowana dilakukan pada bagian akhir pertunjukan. Kedok yang digunakan berwarna merah tua kecoklatan dengan ciri khas berkumis, berjambang tebal, hidung mancung, mata terbelalak, serta memakai mahkota susun emas.
107
Tari Topeng Klana menggambarkan personalitas raja yang gagah dan angkara murka. Tari tersebut dilatarbelakangi oleh kisah dua insan yang dimabuk cinta yakni antara Klana Budanegara dan Dewi Tunjung Ayu, dari negara Bawarna, dengan rajanya Prabu Amiluhur. Gambar 4.13 Topeng Klana
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010 4.3.2 Urutan Tarian Setiap jenis tarian dalam rumpun Tari Topeng Cirebon memiliki struktur yang khas. Penampilan dari setiap jenis tari itu memiliki urutan seperti dipaparkan tadi. Dalam segi teknis penari bebas untuk berekspreksi melalui ruang dan waktu, karakterisasi, pemakaian kedok, musik pengiring dan pemakaian bahasa (monolog/dialog). Adapun kebebasan disini maksudnya adalah keleluasaan penari untuk secara aktif menari. Kebebasan improvisasi bahwa seniman (penari)
108
menentukan panjang pendeknya tarian dan alihan secara spontan pada saat menari. Dengan kata lain, penari berperan untuk mengatur musiknya terutama pola-pola ritme kendang. Namun kegiatan tidak keluar dari aturan-aturan tradisi yang ada yaitu bahwa setiap tarian topeng mempunyai koreografi yang berdasarkan tingkatan. Tempo gending seperti, dodoan, unggah tengah (sedang), dan deder (cepat). Dalam hal ini Masunah mengulas sebagai berikut. Aturan-aturan trasidisi Tari Topeng Cirebon antara lain setiap tarian memiliki struktur koreografi yang berdasarkan tingkatan tempo gending. Tingkatan tersebut terdiri dari: tempo lambat, tempo sedang dan tempo cepat. Istilah umum yang dipergunakan oleh seniman Cirebon berkaitan dengan tingkatan tempo tersebut adalah dodoan, unggah tengah, dan deder (Masunah, 1997: 32). Dari semua itu gerakan tari yang ada dalam Tari Topeng Cirebon khususnya gaya Gegesik. Topeng Panji sebenarnya adalah inti dari gerakangerakan tari topeng lainnya. Hanya saja dalam tarian pokok lain, gerakan merupakan bumbu yang sekaligus juga merupakan ciri khas dari pertunjukan tersebut. Dengan kata lain, bahwa setiap gerak dalam Tari Topeng Cirebon ada yang mengandung makna tertentu atau disebut gerak maknawi, istilah lainnya adalah gesture. Tetapi ada juga yang tidak mempunyai makna (improvisasi penari). 1. Pra Pertunjukan Untuk mendapatkan informasi yang lengkap mengenai struktur tarian Tari Topeng Gegesik ini, penulis mendatangi sebuah sanggar seni yang bernama Panji Sumirang pimpinan Ibu Karnati, dalang topeng yang terkenal dari Gegesik. Sebelumnya sanggar ini dipimpin oleh ayahnya yaitu Bapak Sujana, setelah beliau
109
meninggal
kemudian
diwariskan
kepada
putrinya
yaitu
Ibu
Karnati.
Beruntung bagi penulis disambut baik oleh pimpinan sanggar tersebut dan bersedia memberikan informasi sekaligus
juga mempraktekan pertunjukan
kecil gaya Tari Topeng Gegesik. Seperti lazimnya penyajian topeng hajatan atau dinaan, istilah topeng disini bukan menunjukan pada penutup muka, tetapi pada bentuk pertunjukan tari topeng. Hal pertama yang harus dilakukan
oleh dalang topeng menurut Ibu
Karnati yaitu menyiapkan sesajen. Sesajen tersebut dipersiapkan oleh yang empunya hajat, yang antara lain terdiri atas nasi uduk atau tumpeng, kendi air yang ditutupi oleh telur ayam kampung, bubur nasi merah dan putih, beras, bakakak ayam, kelapa rujak, pisang, wedang jahe, kopi, bajigur dan pembakaran kemenyan atau disebut parukuyan (wawancara dengan Karnati, September 2010). Selain itu, ada beberapa jenis makanan atau buah-buahan maupun minuman segar yang digantung memanjang ke samping antara dua tiang tenda belandongan sebagai hiasan tepat di atas kotak. Menurut Ibu Karnati itu menandakan angin-angin, artinya segala keinginan dan nafsu manusia (wawancara dengan Karnati, September 2010). Pertunjukan dimulai dengan tatalu lagu permulaan yang tanpa taritariannya yang bermaksud untuk menarik perhatian penonton. Alunan musik yang cepat dan semakin keras ditujukan bagi masyarakat setempat agar menjadi tahu kalau di daerah tersebut akan dilakukan pertunjukan topeng. Setelah berlangsung lima menit kemudian tempo irama beralih menjadi lebih tenang.
110
Sebelum dan selama tatalu, dalang komat-kamit mengucapkan mantera sambil membakar kemenyan dan dengan sesajen yang telah dipersiapkan di depannya. Pada saat pembacaan mantera dalang nyambat Sunan Panggung yang dipercayai sebagi guru besar dan pelindung dalang agar minta diberkahi keselamatan dan kesuksesan dalam pertunjukan tersebut. Dalam salah satu tulisannya Murgiyanto mengutip keterangan mengenai pertunjukan topeng sebagai berikut. Berdasarkan tradisi Jawa, pertunjukan topeng itu diciptakan oleh Sunan Kalijaga, Putra Bupati Tuban yang sangat gemar akan kesenian dan akhirnya menjadi salah seorang wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Ketika pusat pemerintahan berpindah dari Jawa Timur ke Jawa Tengah dan para raja memeluk Islam, pertunjukan topeng terlempar dari dalam istana dan kembali dipelihara oleh rakyat jelata yang belum sepenuhnya melepaskan kepercayaan asli mereka. Dengan melihat kenyataan ini, Sunan Kalijaga memanfaatkan pertunjukan topeng (dan wayang kulit) yang digemari rakyat sebagai alat memberikan penerangan dan penyebaran agama Islam kepada rakyat banyak itu. Di Cirebon para dalang (penari) topeng menganggap dirinya keturunan Pangeran atau Sunan Panggung, putra Sunan Kalijaga yang bukan saja menaruh perhatian terhadap seni topeng tetapi juga menarikannya sendiri (Murgiyanto, 1980: 52-53) Nama Pangeran Panggung juga terdapat dalam mantera (doa) saat dalang hendak menarikan Topeng Panji, sebagi berikut: Kula titip maring Adulmuthalib Cuan lamun ora dijaga bendung Kenang bendunge Allah Ta’ala Allahuma Bisrokhman Mil suci saking umat Kanjeng Nabi Muhammad Allhuma Sotiamin Nyuwun ning Pangeran Bonang Pangeran Panggung minta diraksa Sajabane sejerone pangguung
111
Artinya: Saya titip kepada Abdulmutholib Awas kalau tidak dijaga celaka terkena murka Allah swt Allah Yang Maha Pengasih Yang suci dari umat Baginda Nabi Muhammad Ya Allah Minta kepada Pangeran Bonang Pangeran Panggung minta dijaga di luar dan di luar panggung (Suanda, 1989: 76) Pada saat tatalu selain bertujuan untuk menarik perhatian penonton tetapi juga pemberitahuan bahwa para dedemit (roh baik dan roh jahat) semua berdatangan ke tempat pertunjukan. Selama tatalu roh baik seperti Sunan Panggung dapat mengusir roh jahat supaya pertunjukan berjalan dengan lancar. Menurut H. Mansyur orang-orang baru berdatangan untuk melihat pertunjukan setelah selesai tatalu, kalau tidak mereka bisa diganggu oleh para dedemit itu (wawancara dengan H. Mansyur, September 2010). Namun, ada pula yang beranggapan bahwa tidak enak untuk datang segera, karena pepatah goong-clok, setelah bunyi goong yang pertama dipukul terus saja duduk di tempat termasuk pantangan. Sebelum dalang topeng muncul, gamelan tetap dibunyikan secara perlahan-lahan. Setelah itu tampak beberapa orang yang menari-nari di atas arena pertunjukan. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya dalang topeng keluar dari kamar rias lalu berjalan menuju kotak dan duduk di sana. Sekilas tampak Ibu Karnati begitu gagah denga kostum yang dipakainya, ia memakai baju biru terbuat dari kain satin dan kain batik mega mendung khas Cirebon. Pakaian tersebut
112
dipakai sedemikian rupa hingga menutupi kakinya tetapi tidak mengurangi kebebasan geraknya. Sementara itu suara gamelan berhenti, tampak sang dalang bercakap-cakap sebentar dengan para nayaganya sambil mengenakan sobrah di kepalanya. Kemudian pertunjukan pun segera dimulai. Pertunjukan tersebut dilakukan di arena yang luasnya sekitar 10 m2. Hal itu cukup untuk sebuah sanggar seni Tari Topeng Gegesik yang diberi nama Langen Purwa. Bangunan ini ditata sedemikian rupa khusus untuk belajar tari topeng sekaligus untuk pertunjukannya. Dilengkapi dengan kamar rias, tempat parkir, arena pertunjukan yang sekaligus tempat berlatih tari dan ruang lainnya yang semuanya belum selesai dibangun. Di sana tampak pula di tengah area ada sebuah kotak dan di atasnya ada tekes atau sobrah untuk penutup kepala dengan rawis terjuntai ke bawah. 2. Pertunjukan Lagu Kembang Sungsang mulai ditabuh, dalang memulai tariannya dengan duduk di depan kotak dan membelakangi penonton. Dengan kepala menekung atau telungkup tangan dilipat di atas kotak yang sekaligus penyangga. Pada saat ini dalang membacakan mantera untuk keselamatan pertunjukan dan sebagainya. Sikap yang sebenarnya adalah semedi dan pada saat ini penonton hanya meilhat panggung penari yang ditutupi oleh kerodong, setelah selesai dalang mulai berdiri perlahan. Gerak demi gerak berlangsung tanpa ada suatu penekanan yang berarti. Sekalipun suara gamelan baegitu bergemuruh namun tidak mempengaruhi tariannya yang tetap halus dan lembut. Tampak dalang melakukan gerak-gerik
113
tariannya dengan sangat hati-hati dan perlahan, hingga berkesan seperti diam. Di sini tampak keseriusan dalang saat dia belum mengenakan kedok, sangat tenang dan khidmat, terlihat dari tatapan mata dan wajah yang menunduk, begitu dingin. Pada saat penari mengenakan kedok, seorang nayaga melakukan monolog atau disebut nyandra dan istilah Cirebonnya adalah Mertawara. Isi dari mertawara ini diantaranya menyebutkan, ”Jangan gugup, telah datang seorang sinatria yang bernama Raden Panji,…. dan seterusnya. Menurut H. Mansyur mertawara ini merupakan kesamaan suatu adat masyarakat di daerah bila ada bayi yang baru lahir selalu di gebrag (dikageti dengan membunyikan apa saja) dengan tujuan agar jantungnya sehat dan tidak cepat kaget (wawancara dengan H. Mansyur, September 2010). Gamelan mulai naik lagu Lontang Besar, gerak dan ngola tangan dengan hitungan satu gong, bergantian kiri kanan, kemudian gamelan naik lagi dengn lagu Bata Rubuh, gerak gleong dan cantel dalam hitungan satu gong. Kemudian diteruskan gerak tumpang tali seblak soder lalu ngola sikut. Sekalipun gamelan terus naik irama dan kecepatannya, namun hal itu tidak mempengaruhi gerak dalang yang tetap dalam kelembutan dan kehalusan. Kemudian gamelan naik lagi lagu Owet-owetan, gerak berkisar pada gerak ngola tangan, lembean, temple jamang, ngola bahu, dan sesekali dalang membetulkan kain. Setelah itu dilanjutkan lagu Deder atau lagu Singa Kawung Kering dan gerak-geriknya ngola sumping, ngola sikut, silang sumping yang dikahiri oleh lontang kembar lalu penarinya membuka kedoknya.
114
Menurut H. Mansyur selama berlangsungnya tarian ini hanya beberapa orang penonton saja yang kelihatannya benar-benar menyimak. Hal itu pun terbatas pada orang tua saja, ada beberapa anak-anak yang duduk lesehan di depan terlihat serius menonton tarian ini. Terlebih lagi pada saat ini jumlah penonton belum begitu banyak dan biasanya penonton akan bertambah pada saat tarian yang kedua muncul, yaitu Topeng Pamindo (Wawancara H. Mansyur, September 2010). 3. Pasca Pertunjukan Setelah dalang membuka kedok ini berarti tarian topeng Panji telah selesai. Kemudian dalang kembali menuju kotak, duduk sebentar, membuka sobrahnya kembali dan menyiapkan kedok ayang akan dipakai. Hamper selalu seperti itu sampai akhir tarian Topeng Klana. Selama itu dalang topeng tidak merasa lelah setiap menari lagi, seakan-akan tenaganya baru kembali. Padahal, setiap tarian memerlukan stamina yang bagus untuk bisa tampil prima apalagi biasanya kelima tarian pokok ini ditarikan sepanjang hari. Lama tariannya dari pagi hingga sore hari dengan lama tiap tarian hamper memakan waktu dua jam, khususnya Panji. Begitu pun yang terlihat pada Karnati, saat dia masih menari atau di atas arena pertunjukan, dia begitu bersemangat, tidak terlihat pegal atau kehabisan tenaga. Setelah dalang mengganti kostum tarinya dan kembali berkumpul bersama penulis, dia mengaku bahwa, “rasa capek itu ada setelah dia selesai menari, setelah ganti kostum” (wawancara dengan Hj. Juni, September 2010). Hal tersebut dikarenakan mantera yang dibacakannya saat pertama dia menari. Selain itu untuk menjadi dalang topeng harus melewati proses maseuk diri, yaitu proses seperti
115
puasa tidak makan makanan yang dibungkus oleh daun dan tidak boleh banyak tidur dan mengosongkan perut sambil terus berlatih yang kesemuanya itu bertujuan agar sukses di atas arena pertunjukan (wawancara Hj. Juni, September 2010). 4.3.3 Aspek Musik Musik pengiring adalah sajian komposisi musik yang difungsikan sebagai iringan tari. Setiap topeng berbeda komposisi musiknya, sesuai dengan struktur dan karakteristik tarian yang dimainkan. Untuk mengiringi tari topeng gamelan yang digunakan dalah gamelan yang berlaras Prawa. Pada waktu tari topeng baru dikembangkan para Wali Sanga dan juga digunakan sebagai media dakwah penyebaran agama Islam, menurut Nawi (2003: 5) gamelan yang digunakan sebanyak 6 jenis yaitu: 1. Saron satu disebut penurut 2. Saron dua disebut penimbal 3. Bonang 4. Kendang 5. Engklong 6. Gong Pada masa-masa selanjutnya masih menurut Nawi (2003: 5) gamelan mengiringi tari topeng tersebut dilengkapi dengan: 1. Penerus 2. Jengglong
116
3. Kebluk atau Tutukan 4. Gender 5. Suling 6. Kemanak 7. Beri atau Kecrek 8. Klenang 9. Peking atau Titil 10. Kemyang atau Rincik Makna dari jumlah gamelan tersebut adalah jumlah gamelan yang enam yaitu Rukun Iman Islam. Sedangkan jumlah gamelan yang sepuluh adalah disesuaikan dengan arah mata angin, Timur, Barat, Utara, Selatan, Teggara, Barat Daya, Barat Laut, Timur Laut dan ditambah Atas dan Bawah (Langit dan Bumi). Menurut dalang H. Mansyur pada masa sekarang ini gamelan yang digunakan untuk mengiringi Tari Tari Topeng Gegesik bukan hanya berlaras Prawa, namun juga digunakan gamelan yang berlaras Pelog (wawancara dengan H. Mansyur, 5 Oktober 2010). Perbedaan laras Prawa dan Pelog terdapat pada patut-nya. Pada gamelan Prawa berisi patut laras, patut miring, patut sanga, patut sepuluh dan patut panjrang. Sedangkan pada gamelan Pelog disamping kelima patut tersebut ditambah dengan patut bungur. Dalam pertunjuka Tari Topeng Gegesik, tata letak setiap wanditra gamelan ditempatkan dan diatur secara khusus oleh para pangrawit (nayaga). Kotak topeng selalu disimpan di tengah-tengah panggung dan dijadikan titik pusat. Di sebelah kiri kanan kotak ditempatkan beri dan klenang, sedangkan
117
keprak atau kecrek dikaitkan ke bibir kotak topeng sebelah kanan. Di belakang kotak topeng ditempatkan berturut-turut, kendang, saron pembarep, saron penimbal, dan kedemung, serta gong. Wanditra (alat gamelan) ini ditempatkan berdekatan sedemikian rupa untuk memudahkan komunikasi antarpenabuh. Pengendang perlu dekat dengan penyaron sebagai pembawa lagu. Demikian pula para penabuh lainnya yang berada di belakangnya, yaitu titil, bonang, dan jenglong. Sesuatu yang khusus adalah arah hadap penabuh gong yang senantiasa berlawanan dengan arah penabuh lainnya. Ia duduk sendiri mengahadap ke arah belakang panggung, sementara yang lainnya ke depan panggung. Keunikan arah hadap penabuh gong itu salah satunya terkait dengan fungsi dia untuk mengawasi stuasi yang terjadi di belakang panggung. Gambar 4.14 Gamelan Pengiring Tari Topeng
Sumber : Koleksi Foto Pribadi, Oktober 2010
118
4.3.4 Lagu-Lagu Pengiring Pada waktu para Wali Sanga menyebarkan agama Islam dengan menggunakan media kesenian. Para Wali mengubah 313 lagu untuk tujuh jenis kesenian (Topeng, Wayang Kulit, Gamelan, Renteng, Brai, Angklung dan Reog). Jumlah 313 disesuaikan dengan para khalifah dan Aulia yang ada di bumi termasuk di dalamnya Wali Sanga yang ada di tanah Jawa. Adapun nama-nama lagu pengiring yang digunakan untuk kesenian Tari Topeng Cirebon adalah sebagai berikut. Untuk lagu pengiring Tari Panji diantaranya lagu Tratagan Grobyang, Umbangan, Kembang Sungsang, dan Owet-owetan. Untuk lagu pengiring tari Samba digunakan lagu Singan Kawung Dodoan, Pacul Gowang, dan Lontang Gedeh. Sedangkan untuk pengiring tari Rumyang digunakan lagu Kembang Kapas Dodoan, Banyu Biru, dan Tutul Pindang. Berikut adalah syair lagu yang digunakan dalam mengiringi Tari Topeng Gegesik Panji dan Rumyang. Syair lagu Kembang Sungsang untuk tari Panji: Datan Lian tingale Syeh Gunung Jati Amung Allah amung Allah Kang katingal siang hari Kapindo-pindone Ya Rasul Ya Muhammad Artinya: Tidak ada lain selain Syeikh Gunung Jati Kecuali Allah kecuali Allah Yang keliatan siang hari Kedua kalinya
119
Ya Rasul ya Muhammad (wawancara Miskad Penyanyi Macapat 27 Oktober 2010) Syair lagu Kembang Kapas untuk Tari Rumyang: Kunang-kunang mabur Ora nginang ora jabur Wong lanang kerjae nganggur Artinya: Kunang-kunang terbang Tidak nyirih tidak makan Para lelaki kerjanya menganggur (wawancara Hj. Juni Dalang Topeng November 2010) Jika dilihat dari syair lagu yang digunakan untuk mengiringi tari Panji tersebut maka terlihat bahwa syair itu mirip dengan dua kalimat syahadat. Hal ini merupakan cara yang digunakan Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam di Cirebon dengan memasukan ajaran Islam dengan damai melalui kesenian. Sedangkan untuk syair lagu Rumyang lebih terlihat seperti pantun yang bersifat sindiran mengenai kehidupan. 4.3.5 Kedok
Menurut pendapat salah seorang seniman dari Ujung Gebang, SusukanCirebon, Marsita, kata topeng berasal dari kata” Taweng” yang berarti tertutup atau menutupi. Sedangkan menurut pendapat umum, istilah kata Topeng mengandung pengertian sebagai penutup muka / kedok. Berdasarkan asal katanya tersebut, maka tari Topeng pada dasarnya merupakan seni tari tradisional masyarakat Cirebon yang secara spesifik
120
menonjolkan penggunaan penutup muka berupa topeng atau kedok oleh para penari pada waktu pementasannya. Seperti yang telah diutarakan tersebut, bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam seni tari topeng Cirebon mempunyai arti simbolik dan penuh pesan-pesan terselubung, baik dari jumlah kedok, warna kedok, jumlah gamelan pengiring dan lain sebagainya. Hal tersebut merupakan upaya para Wali dalam menyebarkan agama Islam dengan menggunakann kesenian Tari Topeng setelah media Dakwah kurang mendapat Respon dari masyarakat. Jumlah Topeng / Kedok seluruhnya ada 9 (sembilan) buah, yaitu : Panji, Samba atau Pamindo, Rumyang, Tumenggung atau Patih, Kelana atau Rahwana, Pentul, Nyo atau Semblep, Jinggananom dan Akiaki. Dari kesembilan Topeng / Kedok tersebut yang dijadikan sebagai Kedok pokok hanya 5 buah, yaitu Panji, Samba atau Pamindo, Rumyang, Tumenggung dan Kelana. Sedangkan empat kedok lainnya hanya digunakan apabila dibuat cerita /lakon seperti cerita Jaka Blowo, Panji Blowo, Panji Gandrung dan lain lain.
4.3.6 Tata Busana Busana yang dimaksud adalah busana pertunjukan yang dipakai untuk menutupi tubuh, diantaranya baju, celana, kain lancet. Soder, mongkrong, atau krodong dan tutup rasa untuk bagian kepala diberi nama khusus yaitu tekes/sobrah. Bentuk busana yang dipakai oleh seorang dalang topeng menurut Suryaatmadja (1985: 17) adalah sebagai berikut: 1. Penutup kepala, di daerah Cirebon dikenal dengan sebutan sobrah. Berwarna hitam terbuat dari rambut manusia, yang diberi hiasan berupa: (a) topeng disebut juga picis seperti uang logam, dua benda berbentuk bundar pipih menggantung pada bagian muka sobrah, (b)
121
kembang mokel atau kembang ron berbentuk kembang mawar, menempel di pinggir kiri dan kanan sebelah bawah, terbuat dari wol, (c) sumping, untaian panjang yang menguntai dari kedua kembang melok bentuknya seperti bola-bola dari wol, (d) jamang, ukiran kulit yang menempel melingkari bagian bawah sobrah. 2. Penutup muka, atau disebut juga kedok terbuat dari kayu yang dipahat menurut tipe-tipe raut muka tokoh yang ditarikan seperti Panji, Pamindo, Rumyang, Patih, Tumenggung dan Klana. 3. Penutup tubuh, baik dalang pria maupun dalang wanita busana yang dipakai adalah yang disebut kutang topeng, yaitu kutang gantung sepinggang dengan lengan pendek tanpa lidah leher, terbuat dari beludru atau kain satin, umumnya bermotif atau polos. Kemudian celana, digunakan oleh pria maupun wanita, panjangnya sampai setengah betis (dibawah lutut). Celana ini harus ditutupi oleh kain panjang bermotif batik yang ditata menurut kebutuhan identitas perannya. Biasanya untuk peran Panji memakai bentuk lancer gelar, untuk Pamindo dan Rumyang lancer cangcut dan dodot lancer wingkis untuk Tumenggung, Patih, dan Klana. 4. Pelengkap busana terdiri dari: - Panekek dan kalung Wulang Tumanggal untuk hiasan leher, terkecuali untuk perang Tumenggung dan Patih berubah menjadi Klambi Gulu atau kerah untuk memakai dasi, dasi dengan warna gelap dan kaca mata warna putih. - Kace berupa selendang kecil, panjangnya tergantung tinggi tubuh si penari. - Krodong (mongkrong) berupa selendang lokcan lebar 40 cm dan panjangnya 3 m umumnya terbuat dari bahan sutra. Dibentuk sedemikian rupa, sehingga kedua ujungnya bisa bertemu dan menggantung pada bagian punggung. - Hiasan aurat disebut tutup rasa menggantung pada bagian muka pangkal paha. - Hiasan tangan bisanya gelang dari logam atau dari kain beludru yang diberi manik-manik. - Hiasan kaki berupa keroncongan atau kerincingan kaki, berbentuk gelang kaki Menurut Masunah dan Karwati (2003: 51) ada suatu kebiasaan yang unik pada masa lalu yang berhubungan dengan busana Tari Topeng Cirebon, khususnya pada pertunjukan hajatan. Hal itu adalah adanya pembagian tanggung jawab menyediakan pakaian tari antara pihak pengundang atau tuan rumah dan penari topeng yang diundangnya. Cara demikian memperlihatkan bahwa
122
masyarakat masih merasa memiliki tari topeng. Sayangnya sekitar tahun 1980-an cara tersebut sudah jarang dilakukan lagi oleh penanggap, sehingga penari mempunyai kewajiban untuk menyediakan segala sesuatuanya untuk menari. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis peroleh dari lapangan ciri umum busana Tari Topeng Gegesik dan sekitarnya untuk peran Panji, Pamindo, Rumyang dan Klana terdiri atas tutup kepala tekes atau sobrah, baju berlengan pendek yang disebut kutang, celana sontong, kain panjang yang menutupi bagian bawah pinggang, krodong, ikat pinggang atau bodong, samput atau soder, tutup rasa dan dasi. Perlengkapan lainnya adalah keris. Perbedaan karakter diperlihatkan oleh kedok dan ekspresi tariannya. 4.3.7
Dialog dan Monolog
Dialog dan monolog yang dimaksud di sini adalah ucapan atau percakapan yang dilakukan baik oleh dalang, penari maupun peran bodor. Untuk perang dalang istilahnya adalah monolog. Monolog diucapkan sebagai ilustrasi tentang kisah yang akan atau sedang dimainkan dan atau kelanjutan sesudah peran itu dimainkan atau ditarikan. Dialog adalah pembicaraan antara dua orang atau lebih. Dialog dalam topeng sering terjadi pada bagian tarian bobodoran dan perang atau perkelahian. Dialog bobodoran sebagaimana konteksnya adalah ketrampilan berbicara untuk menimbulkan kesan lucu. Berikut ini contoh petikan monolog dan dialog singkat antara Tumenggung Magangdiraja dengan Jinggananom. Suluk: Manengangrana Reteng madiyangkara ingkang rana gana Ngananira wendra
123
Jgnm:
E…ladalah, hahahahahaha, Magangdiraja, bagia satekane.
hahahaha,
hai
Tumenggung
Tmg:
E... babu… Jingganannom tak teda tak trima penjenggramane Jinggananom.
Jgnm: E babu. Tumenggung Magangdiraja, aku katekan awak ora ngenak-ngenaki ati, enak lagi njagong karo sikedebeg biang, enak lagi nginum wedang kopi karo sikedebeg biang jemrojog tanpa larapan ora nganggo colok panakawan satepak iber. Diutus sapa saking negara Gustiku Bawarna bokan dikongkon memunduti sotapa kang sinebit gurmamincing kang sinandung gurumyang, bokan njaluk jago mas kang bagus potongane, utawa njaluk jaran kang bagus congklang-congklange, wis age marawangsulana tak pinangkane dina iki. Tmg: E... babu. Jinggananom, aja kaget mula satekane aku mrene, perlu repan mertelakaken Jinggananom wis lawas ora seba ning Bawarna. Tek deleng Jinggananom wis medang sekoli dewek, Jinggananom mula saiki dangdana seba ning Bawarna. (Suanda, 2009: 114-115) Berdasarkan petikan monolog dan dialog tersebut yang termasuk monolog adalah Suluk. Sebab pada suluk tersebut isinya hanya menceritakan tentang lakon yang akan dimainkan dan tidak terjadi dialog. Sedangkan yang termasuk dialog adalah percakapan antara Tumenggung Magangdireja dengan Jinggananom. Sebab antara Tumenggung dan Jinggananom terjadi percakapan di anatara keduanya. 4.4 Perkembangan dan Perubahan Kesenian Tari Tari Topeng Gegesik ditinjau dari Masyarakat dan Seniman Gegesik Pada Tahun 1980-2000 Tari topeng mengalami perkembangan sejalan dengan dinamika dan perubahan sosial dan budaya masyarakatnya. Pada setiap kebudayaan ada dorongan untuk berubah dan ada kekuatan untuk bertahan. Dengan prinsip inilah setiap bentuk kesenian hadir dan diwariskan secara turun temurun oleh
124
masyarakat pendukungnya. Keberadaan dan kelestarian tradisi Tari Topeng Cirebon khususnya Tari Tari Topeng Gegesik tak lepas dari hukum perubahan ini. Sejalan dan berubahnya masyarakat Cirebon yang lebih maju tingkat sosial, ekonomi, pendidikan, politik dan strata masyarakatnya. Menurut buku sumber dan wawancara yang dilakukan penulis beberapa peristiwa ikut pula mendorong fungsi pertunjukan kesenian Tari Tari Topeng Gegesik baik ditinjau dari segi masyarakatnya
maupun
senimannya
khususnya
pada
tahun
1980-2000
diantaranya yaitu perubahan pandangan keagamaan (pemurnian Islam, pandangan sudut moral), modernisasi pada umumnya di Indonesia, pewarisan seni Tari Tari Topeng Gegesik serta sikap dan cara pandangnya serta adanya festival, lomba dan pentas seni yang turut mengubah fungsi pertunjukan Tari Topeng Gegesik. 4.4.1 Modernisasi dan Globalisasi Setelah sekitar tahun 1980, ketika Tari Topeng Gegesik harus memperlihatkan dirinya di kota dalam acara pelestarian, pengembangan dan pembinaan budaya daerah. Maka, nilai-nilai agraris berhadapan dengan tata nilai budaya industri yang berhubungan dengan ketepatan waktu. Pada saat seperti inilah perubahan Tari Topeng Gegesik terjadi dalam upaya membatasi waktu pertnjukannya. Dengan demikian, kebebasan dan kreativitas seniman sebagai salah satu ciri penyajian Tari Topeng Gegesik di atas pentas tidaklah dimunculkan. Penampilan setiap peran dikemas dalam bentuk singkat dan padat. Selain itu, seiring dengan perubahan tata pemerintahan Orde Baru dan gendering modernisasi di Indonesia, frekuensi gerak orang desa yang menuju ke
125
kota semakin meningkat. Kota yang telah menawarkan pekerjaan bagi orang desa melalui kebijakan pembangunan dan industrinya, merangsang terjadinya perubahan struktur sosial masyarakatnya. Saat kaum urban (yang berasal dari desa) kembali ke desanya, maka atribut kota tampil di desa, salah satu atribut itu adalah kesenian hiburan. Menurut Suka Hardjana dalam Masunah dan Karwati (2003: 29), salah satu kesenian urban yang bersifat hiburan adalah dangdut. Akhirnya, dangdut tampil dalam aneka hajatan dan berbagai kegiatan keramaian. Akibatnya, pertunjukan seni tradisional yang pernah popular di masyarakat tergeser oleh kehadiran dangdut. Hal ini tidak dapat dihindari karena dari praktik penyajiannya, ternyata dangdut memungkinkan semua orang turut menari bersama dalam rangka menghibur diri. Sementara pada pertunjukan tari topeng tidak bisa, karena tari topeng memiliki gerak yang baku dan butuh pelatihan tertentu dan tidak semua orang bisa melakukannya. Masyarakat urban ini lama kelamaan kurang mengenal dan mengambil jarak dengan seni topeng, tarling, dan wayang. Sehingga jenis kesenian ini harus bersaing misalnya dengan dangdut. Keberadaan masyarakat desa dan kaum urban tercermin dalam seni campuran berupa topeng-dangdut, wayang-dangdut, dan tarling-dangdut. Seniman Cirebon yang ingin mempertahankan tradisinya semakin tersisihkan. Sebagai perbandingan, Topeng Losari di bawah pimpinan Sawitri mengalami nasib demikian, karena Sawitri tetap mempertahankan keutuhan sebuah penyajian topeng. Di sisi lain, Pembina kesenian dari pemerintah perlu meningkatkan perannya dalam upaya pengembangan kesenian. Untuk itu
126
mereka perlu memahami seni dan adat istiadat para seniman dalam mengembangkan tradisinya. Dampak dari stuasi tersebut adalah generasi muda kurang mengenal kesenian leluhurnya secara utuh. Seni topeng yang mereka kenal sudah dalam bentuk kemasan singkat dan padat. Kekayaan gerak yang sebenarnya masih dapat digali dan dipelajari tidak berkembang lagi. Kenyataan ini merupakan fenomena Kesenian Tari Topeng Cirebon dan gaya Gegesik adalah salah satunya. Di satu sisi, tradisi topeng harus tampil karena kepercayaan masyarakatnya. Di sisi lain, kehidupan modern dengan salah satu orientasinya sebagai hiburan, sudah menjadi semacam kepercayaan baru di Cirebon. Berikut adalah faktor pendukung dan penghambat Kesenian Tari Topeng Gegesik. a. Faktor Pendukung Kondisi kesenian Tari Tari Topeng Gegesik yang hampir punah saat itu dan kini masih beruntung karena adanya lembaga-lembaga pendidikan resmi yang peduli pada pendidikan kesenian seperti STSI, SMKI, UPI dan sebagainya yan dapat menyerap, mewarisi, dan turut mengembangkan jenis seni daerah Tari Topeng Cirebonini. Di samping itu masih ada masyarakat yang mencintai dan menghargai serta menggunakan seni daerah Tari Tari Topeng Gegesik dalam acara-acara hajatannya. Hal ini dapat membantu kehidupan dan penghidupan seni daerah tari topeng dan penggarapannya. Selain itu, program pemerintah yang mencantumkan pembinaan dan pengembangan kesenian daerah juga merupakan faktor pendukung lainnya.
127
b. Faktor Penghambat Pada saat ini banyak tumbuh dan berkembang jenis kesenian lain yang dengan cepat dapat merebut hati masyarakat. Tanpa disadari dan tanpa disengaja merupakan tantangan bagi perkembangan Tari Topeng Gegesik. Selain itu juga, pola hidup masyarakat yang cenderung mengarah kepada pola hidup individual dan gotong royong yang mulai tampak memudar. Hal itu juga dapat menghambat perkembangan Tari Topeng Gegesik. Faktor Penghambat lainnya yaitu sikap seniman yang tetap mempertahankan sifat ketradisionalannya baik dalam pola pementasan maupun dalam bentuk lainnya. 4.4.1.1 Tari Topeng Gegesik dalam Festival, Lomba dan Pentas Seni Pertunjukan Tari Tari Topeng Gegesik pada acara festival, lomba, dan pentas seni biasanya terjadi di kota. Cara penyajiannya dikemas sebagai seni pertunjukan yang terkadang mengabaikan unsur bodoran. Penyajian tari topeng di kota biasanya diselenggarakan di atas panggung tertutup atau tempat khusus yang hanya bisa ditonton dari satu arah. Hal ini berbeda dengan acara di desa yang pada umumnya menggunakan tempat pentas yang tidak terdapat batas yang jelas antara penari, pengrawit dan penontonnya. Selain itu dapat dinikmati dari berbagai arah. Pada umumnya penyelenggara kesenian di kota adalah orang-orang yang di lembaga-lembaga tertentu yang terkait dengan jalur administrasi formal. Dalm hal ini suatu sistem pemerintahan atau pendidikan formal seni, seperti Departemen Pariwisata, Taman Budaya, ASTI, IKJ, IKIP Bandung, SMKI dan sebagainya. Dalam acara ini yang ditampilkan hanyalah tariannya saja dengan waktu
128
yang terbatas. Sehingga setiap tarian memiliki standar gerak dengan waktu yang pendek sekitar 5 sampai 15 menit. Hal ini berbeda dengan acara hajatan dan upacara di desa yang biasanya menghabiskan waktu sehari penuh. Waktu pementasan inilah yang kemudian disesuaikan dengan tuntutan penonton yang diperkirakan memiliki ketahanan pengamatan berkisar antara satu sampai dua jam untuk keseluruhan sajian Tari Topeng Cirebon gaya Gegesik. Pertunjukan Tari Tari Topeng Gegesik pada acara festival, lomba, dan pentas seni telah mengalami suatu proses standarisasi seni pertunjukan. Artinya, seniman tari topeng sudah terbiasa tampil dalam durasi sajian yang panjang. Sedangkan, dalam acara ini tarian dikemas menjadi singkat dan padat. Disadari atau tidak acara ini dijadikan standar penampilan bagi generasi muda saat ini, baik di desa maupun di kota. Sehingga kekayaan atau keanekaragaman gerak dalam Tari Tari Topeng Gegesik semakin berkurang. Meskipun demikian, acara ini penting kehadirannya dalam rangka penyelamatan Tari Topeng Cirebon gaya Gegesik dari kelesuan pertunjukan di kalangan masyarakat desa. Pada kesempatan tersebut juga berlangsung bazar kuliner dan kerajinan tangan. Acara tersebut merupakan sebuah festival yang diproyeksikan sebagai peristiwa budaya dan pariwisata yang digelar rutin setiap dua tahun sekali di Kota Cirebon.
Perhelatan
seperti
ini
bertujuan
untuk
melestarikan
dan
mempublikasikan seni budaya Tari Topeng Cirebon dan pengakuan sebagai warisan budaya bangsa. Kegiatan tersebut digelar rutin setiap dua tahun sekali. Selain menampilkan seni tari topeng, juga dimaksudkan untuk meningkatkan ekonomi rakyat melalui industri kreatif sebagai kekuatan yang sangat kaya milik
129
bangsa Indonesia, termasuk industri kerajinan tangan, batik dan kuliner daerah Cirebon. Dengan demikian diharapkan untuk ke depannya warisan budaya Tradisional Cirebon khususnya Kesenian Tari Topeng Gegesik tidak akan punah. Selain itu juga akan muncul generasi muda yang peduli akan budaya tradisional daerahnya dan mencetak generasi penerusnya. 4.4.2 Pewarisan Tari Topeng Gegesik Bertahannya Tari Tari Topeng Gegesik sebagai tradisi yang tetap diusung oleh masyarakat pendukungnya berkaitan dengan sistem pewarisannya. Sistem pewarisan tersebut dilakukan oleh para seniman Tari Tari Topeng Gegesik baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, pewarisan ini dilakukan oleh pendukung utama tari topeng itu sendiri. Hal itu melalui sistem keluarga yang bersifat informal. Sedangkan secara eksternal dilakukan melalui sosialisasi dan perluasan apresiasi secara formal melalui sistem pendidikan. Proses pewarisan dalam sistem keluarga terjadi secara turun-temurun atau melalui cara pengajaran tradisional. Pengajaran tradisional ini bersifat informal dan erat hubungannya dengan praktik adat istiadat desa, lingkungan serta kepercayaan setempat. Cara pembelajaran ini biasanya tidak diselenggarakan suatu pembelajaran khusus. Akan tetapi pengalaman sehari-hari yaitu melalui pengamatan dan penyampaian dongeng-dongeng leluhur. Selain proses pewarisan di dalam sistem keluarga, dikenal pula sistem sekolah yang bersifat formal. Sistem sekolah dirancang dalam satuan waktu dan kurikulum tertentu. Hal tersebut dilaksanakan di luar konteks masyarakat pendukungnya. Pewaris tari topeng ini merupakan
130
pencatat bentuk pertunjukan tari topeng dari jaman ke jaman. Oleh karena saat itu belum ada alat rekam yang dapat bertahan lama. Meskipun demikian pewaris seni tari topeng dan masyarakatnya sangat ditentukan oleh keadaan sosial. Politik, dan budaya pada jamannya. 4.4.2.1 Pewarisan Melalui Lingkungan Keluarga Proses pewarisan tari topeng dalam sistem keluarga menurut Masunah dan Karwati adalah suatu proses pendidikan yang erat kaitannya dengan kondisi lingkungan, tradisi, serta kepercayaan masyarakat setempat (Masunah dan Karwati, 2003: 66). Cara pewarisan ini terlaksan di dalam sebuah lingkungan keluarga. Pada kenyataannya proses ini tidak hanya diikuti oleh anggota akeluarga yang masih ada hubungan darah saja, tetapi juga diikuti oleh orang dari luar keluarga. Murid yang tidak ada hubungan darah tersebut sepakat mengikuti sistem keluarga tersebut. Cara orang luar yang masuk pada sistem keluarga ini menurut Hj. Juni sering disebut dengan istilah nyantrik (berguru dengan mengikuti cara hidup gurunya). Praktik pewarisan sistem keluarga sekurang-kurangnya meliputi tiga tahap yakni proses mengkondisikan atau latihan kepekaan, latihan ketrampilan, dan laku spiritual. Proses ini ditempuh tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Dalam hal ini Masunah dan Karwati (2003: 66) memberi penjelasan berikut ini. Penari-penari generasi usia 60-an yang kini menjadi maestro, seperti Sudjana Ardja, Keni Ardja (Slangit-Cirebon). Rasinah (PekandanganIndramayu), Carpan (Cibereng-Indramayu), dan Sawitri (Losari) mendapatkan keahliannya dengan melaksanakan tahapan tersebut sebagai laku normative dalam tradisinya, sedangkan generasi muda penari topeng
131
usia di bawah 30-an hanya sebagian yang mengalami tahapan seperti generasi pendahulunya. Murid-murid di luar keluarga yang sengaja berguru kepada seniman tari topeng dengan cara nyantrik, hanya sebagian saja yang melakukan tahapan pembelajaran seperti cara yang pernah dilakukan gurunya. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan ini salah satunya adalah perubahan jaman. Generasi seniman topeng usia 60-an mempelajari seni topeng pada saat Indonesia belum merdeka. Sedangkan generasi muda mempelajari seni topeng setelah Indonesia merdeka. Hal ini bersamaan dengan wajib belajar di sekolah formal yang kemudian diikuti dengan berdirinya sekolah-sekolah kesenian. Berikut merupakan cara-cara yang dilakukan dalam proses pelatihan tari topeng, yaitu: 1. Latihan Kepekaan Proses mengkondisikan atau latihan kepekaan merupakan proses yang tidak disadari oleh pewaris seni Tari Tari Topeng Gegesik sendiri. Hal tersebut dikarenakan telah dilakukan sejak usia dini. Seorang dalang wayang (merangkap penari topeng) biasanya membawa anak-anaknya sejak bayi pada pertunjukanpertunjukannya. Para ibu, keluarga dalang, ataupun pemain gamelan sudah biasa menyusui dan menidurkan anaknya ketika mereka pentas. Bagi anak-anak usia dini, menonton tari dan mendengar musik topeng biasa dilakukan apabila terdapat pertunjukan kesenian. Dongeng-dongeng leluhur yang disampaikan orang tuanya sebelum tidur masih mereka peroleh. Dongeng-dongeng itu memberi pengetahuan kosmologi, miotologi, etika dan filsafat kehidupan.
132
Kebiasaan tersebut memberi dasar kepekaan bagi keahlian seninya setelah anak menjadi dewasa. Salah satu contoh keberhasilan cara ini terbukti pada anakanak Sujana, Hj. Juni dan H. Mansyur di Gegesik. Semua anak-anak mereka memiliki keahlian seni, baik sebagai penari, penabuh gamelan, pengukirir kedok, maupun sebagai dalang topeng. Keberhasilan proses melatih kepekaan yang dilakukan keluarga para seniman topeng tersebut dipengaruhi oleh dukungan masyarakatnya. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya undangan pentas dari masyarakat untuk melihat pertunjukan tari topeng. Kesenian lain yang berkembang pada masa itu seperti dilok, lais, sintren, brai dan sebagainya tampaknya kurang menarik minat masyarakatnya. Sehingga, tari topeng dan wayang kulit merupakan tontonan yang menarik bagi mereka. Dalam proses latihan kepekaan ini, anak-anak mengamati gerak gerik bapak, ibu atau saudara mereka pada saat menari. Dalam pertunjukan tari topeng anak-anak disuruh duduk dekat kotak topeng atau sambil menabuh gamelan. Pada saat itu si anak merekam dengan mata hatinya semua peristiwa yang terjadi di atas panggung. Hal ini yang dialami pula oleh Karnati yang merupakan anak dari dalang topeng Sujana. Dari proses ini tampaknya anak-anak kemudian melakukan latihan praktik tari dengan meniru gerak-gerik penari yang ditontonnya. Proses pengkondisian anak pada situasi berkesenian topeng sejak tahun 1980 jarang dilakukan lagi oleh para orang tua mereka di desa-desa. Salah satu faktornya adalah menurunnya pertunjukan tari topeng di masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Masunah dan Karwati (2003: 67) berikut ini.
133
Pada sekitar tahun 1980-an sudah mulai jarang seniman yang mengkondisikan anaknya untuk ikut dalam pertunjukan topeng, hanya sebagian saja orang tua yang melakukannya, contoh Carpan (65 tahun pada tahun 1998) pada tahun tersebut mengadakan pentas di Indramayu, dengan mengajak cucunya Tati (13 tahun) pada acara tersebut. Ketika Carpan menari, Tati dan adiknya duduk dekat kotak sambil memperjatikan gerak-gerik Carpan. Dengan cara demikian, Tati merasa lebih gampang untuk mengingat dan melakukan gerak-gerik tari tersebut. Akan tetapi, kemudian ada semacam kekhawatiran bagi Carpan; karena Tati lebih tertarik pada dangdut dan menyanyi dalam pertunjukan itu. Setiap ada upacara adat desa, dangdut selalu tampil bersamaan dengan topeng.
2. Latihan Ketrampilan Latihan ketrampilan teknik menari yang dilaksanakan oleh seniman yang sudah tua. Cara tersebet diantaranya yaitu dengan menabuh gamelam atau ngrawit, kemudian diikuti dengan menari. Sedangkan generasi muda kebanyakan hanya latihan ketrampilan menari saja. Ketrampilan menabuh gamelan diawali dengan pengamalan mendengar gending wayang dan topeng. Kemudian diikuti dengan praktik menabuh yang dilakukannya sejak kecil. Bagi anak-anak seniman topeng dan wayang, cara tersebut memperkuat sensitivitas musikalnya. Sehingga, pada usia sekitar sembilan tahun mereka sudah bisa menabuh gamelan (grawit). Cara menabuh gamelan sejak usia dini dilakukan oleh Sawitri dari Losari, Sudjana Arja dari Slangit, dan H. Mansyur dari Gegesik. Alat-alat yang dimainkan oleh anak-anak adalah ketuk-kebluk dan kemana, semakin tambah usia semakin banyak alat yang dikuasainya. Mereka merasa bahwa pengamalan grawit ini merupakan landasan untuk mempermudah penguasaan gerak tari topeng gaya Gegesik. Hanya sebagian kecil generasi muda mengikuti cara orang tuanya belajar menabuh gamelan terlebih dahulu. Salah
134
satunya adalah Maman, putra dari H. Mansyur di Gegesik (wawancara dengan H. Mansyur, Oktober 2010). Kemampuan praktik tari diperoleh melalui ngamen atau pertunjukan keliling dari desa ke desa. Pada saat ngamen ini jumlah rombongannya lebih sedikit daripada yang tampil saat hajatan. Pemainnya terdiri atas empat atau lima pemain gamelan dan penari. Biasanya penari topeng pada acara ngamen ini adalah anak-anak usia Sembilan sampai dua belas tahun yang merupakan keluarga rombongan pengamen. Alat gamelan pokok yang dibawa pengamen ini adalah kendang, saron, ketuk-kebluk, kecrek, gong dan kiwul (Masunah dan Karwati, 2003: 25). Pertunjukan tari topeng pada acara mengamen, tariannya dilakukan babak demi babak dalam durasi waktu terbatas, sesuai dengan permintaan penontonnya. Tarian yang biasa ditampilkan terdiri atas Tari Pamindo dan Tari Rumyang untuk penari anak-anak dan Tari Tumenggung serta Tari Klana untuk penari yang lebih dewasa (Masunah dan Karwati, 2003: 25). Sedangkan untuk Tari Panji jarang dipentaskan pada acara ini karena tariannya yang bersifat lambat. Pada masa kini seniman Tari Tari Topeng Gegesik pada umumnya tidak mempunyai pekerjaan lain (misalnya, bertani). Sehingga, apabila undangan dari masyarakat berkurang maka para seniman mengadakan pertunjukan atas inisiatif grupnya dengan cara ngamen. Hal itu dilakukan pada saat menunggu panen tiba dan pada tahun baru Cina. Mengamen dilakukan pula sebagai salah satu proses pendidikan atau regenerasi penari dan penabuh gamelan. Hal tersebut dilakukan agar calon-calon penari dan penabuh gamelan mendapatkan kesempatan yang
135
lebih banyak untuk berlatih. Seperti pada uraian sebelumnya, ternyata mengamen merupakan sarana paling efektif dalam pewarisan tari topeng. Dalam mengamen lebih banyak terjadi pelatihan ketrampilan teknik sekaligus pentas secara langsung. Selain itu, tampil menari pada anak usia dini melatih mental, kepercayaan diri, dan keberanian sebagai calon penari topeng. Pada usia ini pula bisanya tubuh masih cukup lentur sehingga mudah melakukan berbagai peniruan gerak-gerik tari. Kritik dan saran dari orang tua terhadap penampilan anaknya dilakukan pada saat istirahat malam di rumah orang tua yang disinggahi atau kadang-kadang di balai desa. Secara tidak sengaja tari topeng dalam acara mengamen ini telah menarik perhatian para seniman-seniman di daerah-daerah yang dikunjungi. Mereka belajar tari topeng dengan cara mengundang seniman Tari Topeng Cirebon gaya Gegesik sebagai gurunya. Akhirnya bermunculan jenis tari topeng seperti di Sumedang dan Bandung yang kini disebut sebagai Topeng Priangan. Sejak tahun 1980 mengamen tidak pernah lagi dilakukan oleh seniman Cirebon karena dilarang oleh pemerintah. Pertunjukan keliling dianggap telah mempermalukan Pembina kesenian (dalam hal ini Dikbud atau Kasie Kebudayaan Kabupaten), sehingga generasi Sawitri, Sudjana Arja dan H. Mansyur tidak lagi melaksanakan pewarisan ngamen ini. Hal ini juga diamini oleh Sujana dan beberapa masyarakat setempat yang penulis wawancarai, “Mengamen dilarang oleh pemerintah setempat karena dianggap memalukan.” (Wawancara dengan Sujana, Oktober 2010). Hilangnya pertunjukan mengamen bersamaan dengan pergeseran struktur sosial masyarakat dan politik yang salah satunya ditandai
136
dengan hadirnya Pembina kesenian. Padahal pelarangan mengamen oleh mereka belum bisa mewujudkan kegiatan pengganti dalam rangka regenerasi penari dan penabuh. Sehingga yang terjadi sekarang ini adalah putusnya tradisi pembelajaran secara alamiah seperti yang terjadi pada proses mengamen. Oleh karena putusnya regenerasi tersebut, proses pewarisan selanjutnya hanya dilakukan berdasarkan latihan ketrampilan tari saja. Mereka mendapatkan ketrampilan gerak dengan cara meniru. Pelatih berada di depan, sedangkan siswa berada di belakangnya. Sebagai iringan tarinya digunakan kaset. Cara latihan ini dapat menghilangkan komunikasi langsung antara penari dan penabuh gamelan. Selain itu juga, penanaman sensitifitas atau kepekaan terhadap seni tari topeng sejak usia dini berkurang. Kendati pun demikian alternatif penggunaan iringan kaset dapat membantu proses pelatihan secara mandiri. Tari yang dipelajari generasi muda adalah tari-tarian yang sudah distandarkan, baik gerak maupun musiknya. Salah datu contoh proses pewarisan ini adalah grup Sekar Pandan pimpinan Elang Heri. Mereka latihan dengan jadwal rutin bersama pengrawit setiap hari minggu. Waktu latihan disesuaikan dengan jadwal sekolah mereka masing-masing dan dilakukan setelah pulang sekolah sekitar pukul 3-5 sore (Wawancara dengan Elang Heri, Oktober 2010). Setelah mereka menguasai satu sampai degan tiga tarian, maka latihan rutin pun berhenti. Latihan bersama pemain musik diganti dengan iringan kaset sesuai dengan keperluan menghadapi pentas. Kebiasaan belajar seperti ini kurang menguntungkan bagi pengembangan kemampuan penari. Kekayaan gerak tari topeng yang dimiliki generasi
137
pendahulunya tidak dapat diwariskan sepenuhnya pada generasi muda. Penguasaan tari topeng generasi muda hanya terbatas pada gerak-gerik yang terstruktur sesuai dengan rekaman musiknya dalam durasi waktu sekitar 8 sampai 15 menit. Akhirnya kemampuan kreatifitas di atas panggung tidak dapat dilakukan lagi oleh generasi muda sekarang ini. 3. Laku Spiritual Laku spiritual bagi Dalang Tari Tari Topeng Gegesik merupakan bagian dari proses pendidikan untuk menjadi seorang dalang tari topeng. Laku spiritual dimaksudkan untuk mendapatkan kekuatan supranatural dalam jiwanya baik saat pertunjukan maupun tidak. Cara laku spiritual adalah mandi air kembang di perempatan jalan, mandi air tujuh sumber mata air, mengunjungi makam-makam keramat atau leluhur dan berpuasa (Masunah dan Karwati, 2003: 69). Seniman Tari Tari Topeng Gegesik seperti Sujana pernah melakukannya. Ada beberapa macam puasa yang dilakukan dalang tari topeng, antara lain ngetan (hanya makan nasi ketan saja saat berbuka puasa), mutih (hanya makan nasi putih dan segelas air saja), dan puasa wali (tidak makan dan minu sepanjang hari). Puasa wali merupakan puasa yang paling berat karena tidak makan dan minum selama 40 hari. Jenis puasa lain yang pernah dilakukan oleh Sujana adalah hanya makan pisang saja atau menghindari makanan buatan manusia. Menurut Suanda sengaja “melaparkan diri” adalah kebiasaan yang umumnya dilakukan seseorang untuk mencapai predikat dalang, dan ini adalah
138
salah satu perjalanan spiritual mereka (Suanda, 1995: 123). Dalam Islam menurut Muthahhari dalam Suanda, ada suatu keterangan tentang lapar sebagi berikut. Ini dianjurkan dengan syarat tidak mengganggu ketenangan dan ketrentaman mental. Imam Ja’far Ash-Shadiq mengatakan. “Seorang mukmin menikmati lapar. Baginya lapar adalah makanan hati, kalbu, dam jiwa”. Lapar menerangi dan mencerahkan jiwa serta membuat jiwa jadi tumpul, majal dan kelelahan serta menghalang-halanginya naik menuju langit irfan. Di antara amalam ibadah, puasa sangat dipuji dan dihargai (Muthahhari dalam Suanda, 1995: 135). Meskipun pusa bukan suatu keharusan, namun atas kesadaran sendiri dan atas keyakinannya, dalang topeng melaksanakan dengan tabah. Menurut M. Rais (65) jika seseorang yang akan menjadi dalang topeng itu lulus, artinya behasil melampuai ujian. Menurutnya secara psikologis hal tersebut akan menimbulkan kepercayaan baru dan keyakinan dirinya di atas panggung (Wawancara dengan M. Rais, Oktober 2010). Cara seperti itu adalah sebuah perjalanan spiritual yang pada umumnya dilakukan juga oleh seniman-seniman tradisional lainnya. Mengenai perjalanan spiritual Muthahhari dalam Suanda mengemukakan pendapatnya berikut ini. Berkaitan dengan perjalanan spiritual itu; hal penting lainnya adalah meditasi dan perenungan (muraqabah). Sang penempuh jalan spiritual tidak boleh mengabaikan dan menafikan meditasi pada tahap manapun sejak awal hingga akhir. Mestilah dipahami bahwa meditasi memiliki banyak tingkatan dan berbagai macam ragam. Pada tahap-tahap awal, sang penempuh jalan spiritual harus melakukan suatu jenis meditasi dan pada tahap-tahap akhir jenis meditasi lainnya. Ketika sang penempuh jalan spiritual beranjak maju ke depan, maka meditasinya bertambah kuat sehingga kalaupun ini pernah dilakukan oleh seorang pemula, dia pasti bakal menghentikannya untuk selama-lamanya atau menjadi gila. Akan tetapi, sesudah berhasil menyelesaikan tahap-tahap awal, sang arif pun mampu melakukan tahap-tahap meditasi yang lebih tinggi. Pada saat itu, banyak hal yang semula diperbolehkan baginya menjadi terlarang baginya (Muthahhari dalam Suanda, 1995: 79)
139
Bagimana dengan Dalang Topeng Gegsik kala menghadapi sebuah tugas dari masyarakat? Tentu saja mereka mempersiapkan dirinya sebaik mungkin. Sebab nopeng dalam sebuah upacara bukanlah nopeng seperti biasa. Menurut wawancara yang dilakukan penulis kepada beberapa dalang topeng dalam pandangan mereka nopeng dalam upacara adalah nopeng yang mengerahkan daya “pesona” batin karena mereka adalah perantara atau media pemberi hidayah bagi masyarakat karena dia adalah titisan leluhur. Kurang lebih sebulan atau sebelum upacara dilaksanakan, biasanya dalang sudah dihubungi panitia. Saat akan tiba waktunya, seminggu atau tiga hari paling tidak sehari sebelumnya dalang melakukan tirakat dan puasa (Wawancara dengan M. Rais, Oktober 2010). Para dalang sadar betul, bahwa hidayah dengan sendirinya akan datang kepada orang-orang yang berhati bersih dan ikhlas serta tirakat dan puasa adalah salah satu jalannya. Penyucian diri melalui laku spiritual adalah cara untuk menghadirkan dan menguasai daya-daya gaib yang akhirnya seseorang itu dapat memberikan karomah bagi banyak orang. Laku spiritual ini hampir tidak lagi dilaksanakan dalam proses pewarisan salam sistem keluarga. Kenyataan ini disebabkan oleh adanya berbagai faktor yang mempengaruhinya. Misalnya pada sekitar tahun 1970-an dan 1980-an adanya pergeseran kepercayaan dan perubahan gaya hidup. Laku spiritual ini berhubungan dengan kepercayaan generasi terdahulu terhadap hal-hal yang bersifat mistis. Tampaknya kepercayaan tersebut tidak lagi dimiliki oleh generasi muda. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah Orde Baru yang dengan pesat ingin menuju pada suatu masyarakat Indonesia yang modern. Perangkat
140
elektronik serta media massa audio-visual seperti radio, tape recorder, film, televise, turut beperan dalam situasi ini. Hal seperti ini seperti yang dituturkan oleh pimpinan sanggar kesenian Langen Purwa yang ada di Gegesik sebagai berikut ini. Kami tidak menolak gaya hidup modern, seperti kesukaan terhadap lagu pop, menonton televisi, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam situasi ini diperlukan adanya keseimbangan antara yang tradisi dan yang modern. Dengan mengenal kedua-duanya diharapkan ada pemahaman tentang nilainilai lama yang mungkin masih bisa dikembangkan pada jaman modern ini (Wawancara dengan H. Mansyur, Oktober 2010). Media-media tersebut mampu menggeser pertunjukan wayang kulit dan bagi tari topeng karena unsur pencitraannya secara audio visual yang dikemas dengan gaya modern lebih menarik. Industri budaya ini sangat besar pengaruhnya dalam perubahan gaya hidup masyarakat. Sehingga, generasi muda tahun 1980-an lebih suka meniru gaya bintang pop yang pernah mereka lihat di televisi. Selain itu juga, mengikuti gaya hidup modernnya daripada mengikuti cara hidup generasi seniman tari topeng pendahulunya. 4.4.2.2 Pewarisan Melalui Lingkungan Sosial Sistem sekolah formal dilaksanakan berdasarkan kurun waktu terbatas dengan kurikulum yang beragam. Pendidikannya lebih mengutamakan sistem kelas di luar konteks budaya masyarkatnya. Pendidikan sekolah formal ini menurut Masunah dan Karwati dibagi menjadi dua wilayah, yakni pendidikan profesi dan pendidikan umum. Pendidikan profesi menuju pada penguasaan ketrampilan seni maupun kependidikan seni. Pendidikan umum bertujuan untuk menghasilkan peminat atau apresiator seni, seperti di sekolah umum. Jelas dua
141
wilayah ini memiliki cara pendekatan yang berbeda dalam pengajarannya. Pengajaran kesenian di lembaga-lembaga pendidikan tinggi seni, kependidikan seni, serta sekolah kejuruan seni bertujuan agar peserta didik terampil menari. Lembaga ini mempunyai peran penting pada tahun 1970 dan 1980 sebagai salah satu tempat regenerasi penari Tari Topeng Cirebon gaya Gegesik dan kesenian lainnya. Untuk mencapai tujuan tersebut, pada proses belajar mengajar tari tradisi tari Tari Topeng Cirebon, dihadirkanlah senimannya dari Gegesik, Slangit, dan Losari sebagi pengajar dan narasumber. Tentu saja pembelajaran ini masih mempunyai kelemahan dibandingkan dengan cara seniman topeng mempelajari keseniannya pada masa lalu. Akan tetapi, upaya lembaga-lembaga ini telah banyak memberikan kontribusi dalam penyelamatan kesenian tradisional dari kepunahannya sekaligus pengembangannya. Di sini Tari Topeng Cirebon telah dijadikan salah satu sumber dalam penyusunan gerak tari garapan baru. Untuk lebih mendekatkan para siswa kepada keunikan seni Tari Topeng Cirebon pada budayanya. Maka dari itu, para siswa baik dari lingkungan sekolah umum maupun sekolah kejuruan dan lembaga-lembaga pendidikan tinggi seni serta kependidikan seni. Mereka perlu melakukan pengamatan langsung pada berbagai konteks pertunjukan di masyarakatnya. Dengan demikian, seni dapat dipahami secara menyeluruh dari berbagi sudut pandang.
142
4.4.3
Tanggapan Masyarakat Terhadap Kesenian Tari Topeng Gegesik
Secara umum tanggapan masyarakat terhadap kesenian daerah khususnya Tari Tari Topeng Gegesik berdasarkan data yang tercatat pada penulis ada yang bersifat positif ada juga yang bersifat negatif. Tanggapan masyarakat yang bersifat positif yaitu menganggap bahwa kesenian Tari Tari Topeng Gegesik perlu dikembangkan dan dilestarikan. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa sangat disayangkan apabila jenis kesenian ini mengalami kepunaham. Sebab, jenis kesenian daerah Tari Tari Topeng Gegesik ini pernah menjadi kebanggaan masyarakat Gegesik disaat dan setelah tahun 1960-an. Disaat itu masyarakat Gegesik sangat merasa bangga apabila dalam acara pernikahan putra-putrinya bisa menyelenggarakan pegelaran seni topeng. Begitu pun juga dalam acara-acara adat yang lain seperti khitanan, tujuh bulanan dan lain sebagainya. Namun ketika menjelang tahun 1980 dan 1990 dan bahkan tahun 2000 masyarakat Gegesik kurang meminati jenis kesenian ini. Hal ini disebabkan munculnya jenis hiburan lain yang lebih popular seperti sandiwara dan tarling. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Masunah dan Karwati (2003: 28) bahwa: Sebelum peristiwa politik G 30 S PKI terjadi, seni topeng merupakan sarana mencari nafkah bagi senimannya. Wayang kulit dan topeng masih mampu bersaing dengan sandiwara dan Tarling yang sekitara tahun 1970an dan 1980-an mulai populer di Cirebon. Dari pernyataan tersebut dapat digambarkan kondisi Kesenian Tari Tari Topeng Gegesik pada sekitar tahun 1965 mulai mengalami kemunduran yang disebabkan oleh banyak faktor seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Tidak
143
begitu jauh dibandingkan dahulu, sekarang pun diambang kepunahan karena masyarakat Cirebon pada umumnya kurang meminati jenis kesenian ini. Selain hal tersebut berdasarkan atas informasi yang diperoleh penulis melalui temuan-temuan lainnya dilapangan, maka tergambarkan bagaimana apresiasi atau tanggapan masyarakat terhadap keberadaan kesenian Tari Topeng Gegesik. Penulis merasakan suasana hati yang sangat memilukan bahwa berdasarkan temuan tersebut terungkap bahwa kesenian Tari Topeng Gegesik yang merupakan kesenian khas dari Kecamatan Gegesik, kurang begitu dikenal terutama pada kalangan generasi mudanya. Hal ini bukan hanya terjadi pada kesenian Tari Topeng Gegesik saja, namun terjadi pula pada kesenian tradisional lainnya, kecuali Debus. Hal tersebut penulis buktikan sendiri dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan mengenai Tari Topeng Gegesik kepada rekan-rekan penulis sendiri yang menurut penulis saat itu termasuk pada kalangan muda. Baru memasuki pertanyaan pertama saja mereka semua sudah tidak dapat menjawab. Mengenai para pemuda yang tidak mengetahui keberadaan kesenian Tari Topeng Gegesik dikarenakan kuatnya pengaruh perkembangan seni modern di masyarakat. Begitu juga penulis lakukan hal yang sama pada orang yang relatif lebih tua, hasilnya tidak jauh berbeda yaitu tidak tahu, hanya sebagian kecil yang mengetahui kesenian Tari Topeng Gegesik. Dari fenomena disini jelas bahwa kesenian Tari Topeng Gegesik kurang berkembang dan hanya menjadi pemuas pelaku kesenian Tari Topeng Gegesik sehingga hal ini juga lah yang kemudian ikut melatarbelakangi dan menggerakan hati penulis untuk melakukan penelitian ini.
144
Mengenai respon masyarakat yang tidak tahu apa itu kesenian Tari Topeng Gegesik, penulis mengetahui bahwa hal ini dikarenakan kurangnya promosi yang dilakukan oleh para pelaku kesenian Tari Topeng Gegesik, selain itu para orang tua pun tidak pernah bercerita tentang adanya kesenian Tari Topeng Gegesik yang merupakan kesenian khas tradisional Cirebon selain Tarling. Merosotnya apresiasi masyarakat terhadap kesenian Tari Topeng Gegesik ini pada dasarnya identik dengan pengertian konsep tradisional yang mempunyai sifat “terpaku” pada polapola tetap yang menyebabkan seni ini kalah populer bila dibandingkan dengan seni-seni yang bersifat modern. Hal ini semakin diperparah dengan sikap masyarakat yang cenderung lebih memberikan tempat pada seni-seni yang bukan asli miliknya daripada seni-seni asli daerahnya.