BAB IV KOORDINASI ANTAR ORGANISASI DALAM PEMBANGUNAN PARIWISATA DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
4.1. Kepariwisataan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang berdiri pada bulan November 2000 merupakan provinsi yang ke-31 di Indonesia yang dibentuk berdasarkan Undang-undang (Nomor 27 tanggal 4 Desember 2000). Pada awal terbentuknya, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari dua kabupaten, yaitu Kabupaten Bangka dan Kabupaten Belitung, serta satu kota, yaitu Pangkalpinang.
Pada
tahun 2003 terjadi pemekaran kabupaten sehingga bertambah empat kabupaten lagi. Dengan demikian sampai saat ini Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdiri dari enam kabupaten, yaitu Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Belitung, dan Kabupaten Belitung Timur, serta satu kota, yaitu Kota Pangkalpinang. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terletak pada posisi antara 104050‟ – 109030‟ Bujur Timur dan 0050‟ – 4010‟ Lintang Selatan, serta berbatasan dengan Laut Natuna dan Laut Cina Selatan di sebelah utara, Selat Karimata di sebelah timur, Laut Jawa di sebelah selatan, dan Selat Bangka di sebelah barat (RIPPDA Kep. Babel 2007-2013). Secara geografis, lokasi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berada di posisi yang sangat strategis yaitu di Selat Karimata, dapat mendatangkan banyak keuntungan dari segi ekonomi karena terletak di segitiga pertumbuhan ekonomi, yaitu Singapura-Johor-Riau dan Batam di bagian utara,
96
97
serta di bagian selatan dengan pusat pertumbuhan selat Sunda yang berpusat di Jakarta dan Lampung dan Banten. Wilayah kepulauan yang terdiri dari wilayah daratan dan perairan ini memiliki luas keseluruhan 81.725,14 km 2. Wilayah perairan memiliki proporsi yang lebih besar, yaitu seluas 65.301 km 2 atau sekitar 79,90 persen dibandingkan wilayah daratan yang hanya memiliki luas 16.424,14 km2 atau 20,10 persen dari luas keseluruhan (RIPPDA Kep. Babel 2007-2013). Provinsi ini memiliki 950 pulau, 470 pulau sudah bernama termasuk didalamnya dua buah pulau besar yaitu Bangka dan Belitung, dan yang dihuni 51 pulau, sedangkan 480 pulau yang belum bernama (Data Dinas Kelauatan dan Perikanan Prov babel 2011). Pulau Bangka dan Pulau Belitung dikelilingi oleh pulau-pulau kecil, seperti Pulau Nangka, Penyu, Burung, Lepar, Pongok, Gelasa, Panjang, Tujuh, Nasik, Lima, Lengkuas, Melindang, Selanduk, Seliu, Nadu, Mendanau dan Batu Dinding. Beberapa pulau kecil di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi pariwisata,
termasuk potensi bawah lautnya yang
cukup tinggi. seperti Pulau Memperak di kepulauan Memperang, Pulau Lepar, Pulau Pongok, Pulau Ayer Masin, Pulau Nanas, Pulau Burung, Pulau Tinggi, dan Pulau Lengkuas.
4.1.1. Visi, Misi, dan Tujuan Pembangunan Kepariwisataan Undang-undang (Nomor 10 tahun 2009) tentang Kepariwisataan pada pasal 6 menyatakan bahwa, pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan asas-asas: (1) Manfaat; (2) Kekeluaragaan; (3) Adil dan merata; (4) keseimbangan;
(5)
Kemandirian;
(6)
Kelestarian;
(7)
Partisipatif;
(8)
98
Berkelanjutan; (9) Demokratis; (10) Kesetaraan,; dan (11) Kesatuan. Sementara itu di dalam melaksanakan pembangunan kepariwisataan (sesuai dengan pasal 7 huruf b) Undang-undang tentang Kepariwisataan dinyatakan meliputi empat aspek yaitu: a. Industri pariwisata; b. Destinasi pariwisata; c. Pemasaran; d. Kelembagaan pariwisata. Keempat hal tersebut ditegaskan kembali dalam penjelasan ( pasal 7): Huruf a Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan industri pariwisata, antara lain pembangunan struktur (fungsi hirarki, dan hubungan) industri pariwisata, daya saing produk pariwisata, kemitraan usaha pariwisata, kredebilitas bisnis, serta tanggungjawab terhadap lingkungan alam dan sosial budaya. Huruf b Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan destinasi pariwisata, antara lain pemberdayaan masyarakat, pembangunan daya tarik wisata, pembangunan prasarana, penyediaan fasilitas umum, serta pembangunan fasilitas pariwisata secara terpadu dan berkesinambungan. Huruf c Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan pemasaran, antara lain pemasaran pariwisata bersama, terpadu dan berkesinambungan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan serta pemasaran yang bertanggungjawab dalam membangun citra Indonesia sebagai destinasi pariwisata yang berdaya saing . Huruf d Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan pembangunan kelembagaan kepariwisataan, antara lain pengembangan organisasi pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat, pengembangan sumber daya manusia, regulasi, serta mekanisme operasional di bidang kepariwisataan.
99
Keseluruhan
penjelasan
dimaksud
digambarkan
seperti
dalam
skemaberikut:
Gambar 4.1. Empat Komponen Pembangunan Kepariwisataan Sumber : Riparnas 2010-2025 Modul Destinasi Pariwisata (I-4) Pembangunan kepariwisataan tersebut diwujudkan melalui pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan memperhatikan keanekaragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Sesuai dengan Prioritas Nasional (dalam Buku I RPJMN tahun 2010 – 2014), pembangunan di bidang kepariwisataan merupakan bagian dari Program Prioritas
100
Nasional Lainnya di bidang Kesejahteraan Rakyat. Dalam Program Prioritas Nasional tersebut antara lain diamanatkan : a. Peningkatan jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20 % secara bertahap dalam 5 tahun; b. Promosi 10 tujuan pariwisata Indonesia melalui saluran pemasaran dan pengiklanan yang kreatif dan efektif; c. Perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata; d. Peningkatan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitif di kawasan Asia.
Di dalam Buku II RPJMN 2010 -2014, khususnya Bab III : Ekonomi, Strategi pembangunan kepariwisataan yang merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari prioritas peningkatan ekspor adalah sebagai berikut. a. Mengembangkan industri pariwisata dengan menciptakan iklim yang kondusif bagi pertumbuhan investasi dan peluang usaha yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan, dan penyerapan tenaga kerja; b. Mengembangkan destinasi pariwisata dengan mendorong perbaikan dan peningkatan kualitas jaringan prasarana dan sarana pendukung pariwisata, melakukan konsolidasi akses transportasi mancanegara dan dalam negeri, terutama ke sepuluh tujuan pariwisata Indonesia, dan mengembangkan kawasan strategis dan daya tarik pariwisata berbasis wisata bahari, alam, dan budaya di luar Jawa dan Bali, termasuk industri kreatif, serta mengembangkan desa wisata melalui PNPM Mandiri; c. Mengembangkan pemasaran dan promosi pariwisata dengan meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara sebesar 20 (dua puluh) persen secara bertahap dalam 5 (lima) tahun dan mempromosikan ke 10 (sepuluh) tujuan pariwisata Indonesia melalui saluran pemasaran dan pengiklanan yang kreatif dan efektif, serta menguatkan strategi pemasaran dan promosi pariwisata terpadu berbasis teknologi informasi dan komunikasi, dan responsif terhadap pasar; d. Mengembangkan sumber daya pariwisata dengan strategi meningkatkan kapasitas pemerintah dan pemangku kepentingan pariwisata lokal untuk mencapai tingkat mutu pelayanan dan hospitality management yang kompetitif di kawasan Asia, dan meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan kepariwisataan.
101
Strategi tersebut didukung oleh peningkatan koordinasi lintas sektor pada tataran kebijakan, program, dan kegiatan kepariwisataan, terutama di bidang (1) pelayanan kepabeanan keimigrasian, dan karantina; (2) keamanan dan ketertiban; (3) prasarana umum yang mencakup jalan, air bersih, listrik, telekomunikasi, dan kesehatan lingkungan; (4) transportasi darat, laut, dan udara; dan (5) bidang promosi dan kerja sama luar negeri; serta koordinasi dan kerja sama dengan pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat. Dalam
meningkatkan
koordinasi lintas sektor ini guna mendukung
pengembangan pariwisata yang banyak terkait dengan sektor-sektor lainnya maka telah diterbitkan Instruksi Presiden (Nomor 16 tahun 2005) tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata. Beberapa tekanan yang terdapat dalam Inpres (Nomor 16 tahun 2005) yang ditujukan kepada : Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu; Para Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; Para Gubernur, Bupati dan Walikota tersebut antara lain untuk: PERTAMA : Meningkatkan kualitas pelayanan kepada publik dalam bentuk jasa atau kemudahan-kemudahan yang diperlukan bagi wisatawan mancanegara yang hendak berkunjung ke Indonesia dan kemudahan bagi wisatawan nusantara dalam melakukan perjalanan untuk mengenali dan mencintai alam dan ragam budaya Indonesia. KEDUA : Mengambil langkah-langkah nyata guna mengoptimalkan akselerasi pembangunan kebudayaan dan pariwisata nasional dalam upaya menyejahterakan masyarakat, membuka lapangan kerja, memberantas kemiskinan dan memeratakan pembangunan. KETIGA: Secara proaktif melakukan upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam dan budaya untuk pembangunan kebudayaan dan pariwisata. KEEMPAT : Menggunakan tema "Indonesia Ultimate in Diversity' dalam setiap kegiatan promosi yang dilakukan di luar negeri dan tema "Kenali
102
Negerimu Cintai Negerimu Ayo Tamasya Jelajahi Nusantara" dalam setiap kegiatan promosi di dalam negeri.
Dalam
Peraturan
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
(nomor
PM.17/PR.001/MKP/2010) tentang Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2010-2014 dinyatakan bahwa pembangunan kebudayaan dan pariwisata dibimbing oleh visi: "Terwujudnya Bangsa Indonesia yang mampu memperkuat jati diri dan karakter bangsa serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat." Dalam upaya mewujudkan visi tersebut maka misi yang diemban oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2010-2014 adalah : 1. Melestarikan nilai, keragaman dan kekayaan budaya dalam rangka memperkuat jati diri dan karakter bangsa. 2. Mengembangkan industri pariwisata berdaya saing, destinasi yang berkelanjutan dan menerapkan pemasaran yang bertanggung jawab (responsible marketing). 3. Mengembangkan sumberdaya kebudayaan dan pariwisata. 4. Menciptakan tata pemerintahan yang responsif, transparan dan akuntabel. Tujuan pembangunan bidang pariwisata yang disusun berdasarkan visi dan misi kementerian Kebudayaan dan Pariwisata 2010-2014 adalah: 1. Meningkatkan kesadaran, apresiasi dan pemahaman masyarakat terhadap nilai dan keragaman budaya. 2. Meningkatkan kualitas perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan warisan budaya. 3. Mengembangkan industri pariwisata yang memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat. 4. Meningkatkan kapasitas sumberdaya pembangunan kebudayaan dan pariwisata. 5.Mewujudkan pengelolaan tugas dan fungsi kebudayaan dan kepariwisataan yang bersih dan berwibawa. Untuk sasaran di bidang pariwisata antara lain adalah: 1. Terwujudnya destinasi pariwisata yang berdaya saing
103
2. Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dan pergerakan wisatawan nusantara 3. Mendukung peningkatan kontribusi pariwisata bagi perekonomian nasional terhadap PDB, lapangan kerja, dan investasi. Dengan kewenangan yang telah dilimpahkan oleh pemerintah pusat maka daerah menyusun kebijakan pembangunan di bidang kepariwisataan yang antara lain termuat dalam dokumen perencanaan jangka menengah (RPJMD) provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2007-2012. Adapun visi yang akan dituju oleh provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah : "Terwujudnya provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang aman, damai, sejahtera, adil, demokratis dan berdaya saing global dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia". Guna mewujudkan visi tersebut disusunlah sepuluh misi yang merupakan tugas seluruh komponen daerah di tingkat provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Misi Dasa Bhakti Era Emas 1. Membangun komitmen bersama Pemerintah, masyarakat untuk menciptakan iklim kondusif, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 45. 2. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Insani masyarakat melalui penguatan sektor pendidikan, kesehatan, olahraga, seni dan budaya daerah/nasional serta pembinaan generasi muda. 3. Meningkatkan kapasitas Pengayoman dan Pelayanan Publik baik kepada masyarakat pada umumnya maupun pelayanan investasi dalam segala sektor dengan menerapkan sekurang-kurangnya Standard Pelayanan Minimum (SPM) dan secara bertahap mengupayakan penguatan kapasitas melalui pengaplikasian e-Government di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung termasuk Kabupaten/Kota. 4. Meningkatkan kapabilitas Infrastruktur, dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi masyarakat dan penguatan kapasitas infrastruktur yang berkaitan dengan investasi seperti Bandara, Pelabuhan Laut, Kawasan
104
Industri, Pembangkit Tenaga Listrik, telekomunikasi, Instalasi Air Bersih, Rumah Sakit, dan Perbankan. 5. Menciptakan lapangan kerja dan lapangan berusaha, dalam rangka meningkatkan income per kapita dan daya beli masyarakat melalui penguatan terhadap 6 sektor unggulan daerah (yaitu: Kelautan dan Perikanan, Pariwisata, Pertanian, Pertambangan, Perindustrian, Perdagangan dan Jasa), serta menciptakan tenaga kerja siap pakai dan berdaya saing sebagai salah satu komoditas daerah yang siap dipasarkan ke lingkup domestik, regional dan global. 6. Memperhatikan masalah lingkungan hidup sebagai salah satu azas dalam mengambil keputusan publik pada semua sektor pembangunan sekaligus melakukan upaya rehabilitasi, reklamasi dan refungsionalisasi terhadap lahanlahan kritis menjadi lahan produktif dengan melibatkan pemerintah, swasta dan masyarakat secara terpadu dan bersinergi. 7. Meneruskan penyusunan Peraturan-Peraturan Daerah (Perda) sebagai penjabaran dari aturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagai dasar penetapan Kebijakan Publik Pemerintah Daerah yang legitimate serta melakukan penegakan hukum secara konsisten dan konsekuen baik di lingkup internal pemerintahan maupun masyarakat. 8.Melaksanakan program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui penguatan kapasitas lembaga ekonomi rakyat seperti Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) dan Koperasi untuk menciptakan sentra-sentra pembangunan produk unggulan wilayah pedesaan/ kecamatan/kabupaten/Kota sesuai dengan kultur dan potensi wilayah. 9.Meningkatan kapabilitas aparatur pemerintah untuk menciptakan Good Governance dan Clean Government secara tersistem dan menyeluruh dengan melakukan Gerakan Bersama dalam pemberantasan KKN berbasis kultur dan agama. Melakukan penerapan prinsip Reward and Punishment dalam rangka meningkatkan rasa tanggung jawab dan kebanggaan profesionalisme dengan tidak mengenyampingkan jiwa pengabdian sebagai "Abdi Negara" dan semangat Patriotisme sebagai bagian anak bangsa yang senantiasa berupaya melestarikan semangat kejuangan 17 Agustus 1945. Penegakan Hukum (Law Enforcement) dilakukan secara konsisten dan konsekuen tanpa pandang bulu, menyeluruh "tidak tebang pilih" berdasarkan kepada peraturan dan UndangUndang yang berlaku baik di lingkungan Pemerintahan maupun Masyarakat pada umumnya. 10. Melakukan upaya pembangunan infrastuktur pada proyek-proyek strategis dalam rangka meningkatkan daya saing regional dan global melalui pengupayaan pembangunan International Entry Port (Pelabuhan Samudera) di Belitung yang dilengkapi dengan kawasan Free Trade Zone atau sekurangkurangnya Bounded Zone sekaligus melakukan penguatan infrastruktur di tingkat Regional Entry Port (Pelabuhan Nusantara) di Bangka dan Belitung
105
serta meningkatkan status Bandara Pangkal Pinang untuk dapat mengakomodasi jalur penerbangan Internasional dengan route SingapuraBangka-Bali (SIBABA) sekaligus memperkuat jalur penerbangan regional yang menghubungkan secara rutin Jakarta-Bangka, Jakarta Belitung, JakartaBangka-Belitung, Batam-Bangka-Belitung-Palembang serta mengupayakan percepatan realisasi Belitung sebagai Etalase Kelautan dan merintis konsep pengembangan Zona Karimata (Karimata Growth Zone). (RPJMD Kepulauan Bangka Belitung 2007-2012) Dinas Kebudayaan dan Priwisata Kepulauan Bangka Belitung sebagai leading sektor dalam menjalankan misi untuk mengembangkan sektor unggulan seperti yang tercantum dalam misi ke-5 di provinsi Kepulauan Bangka Belitung menyusun langkah dan kebijakan terkait hal tersebut sesuai dengan visi dan misi, baik yang telah ada dalam Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA)
2007-2013, maupun yang menjadi Rencana Strategis Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Visi dan misi yang terdapat dalam RIPPDA adalah : Visi: " Terwujudnya kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2013 sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) utama di Kawasan Barat Indonesia yang berdaya saing tinggi dengan menampilkan perpaduan keragaman kebudayaan daerah serta kekuatan potensi wisata bahari melalui pemanfaatan secara terkendali, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan."
Misi: 1. Penciptaan citra pariwisata Kepulauan Bangka Belitung yang berbasiskan potensi wisata bahari dan kekhasan budaya pesisir sebagai identitas provinsi. 2. Peningkatan daya saing pariwisata Kepulauan Bangka Belitung melalui pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi yang memiliki keunggulan produk wisata dan keterpaduan dalam pengelolaan. 3. Penerapan perencanaan dan pengelolaan produk wisata yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
106
4. Peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Kepulauan Bangka Belitung melalui pengembangan pariwisata. 5. Peningkatan apresiasi masyarakat terhadap pariwisata Kepulauan Bangka Belitung yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Visi dan misi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kepulauan Bangka Belitung 2008-2013adalah: Visi: " Terwujudnya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai daerah pariwisata yang berdaya saing berbasis budaya dan bahari." Misi: 1. Meningkatkan pengembangan keragaman, kekayaan dan nilai-nilai budaya 2. Meningkatkan pengembangan destinasi pariwisata 3. Meningkatkan sarana dan prasarana guna memacu percepatan pembangunan pariwisata dan kebudayaan 4. Meningkatkan pengembangan pemasaran pariwisata. Adapun program yang terdapat dalam pembangunan pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung (RIPPDA Kep. Babel 2007-2012) meliputi: 1. Program pengembangan pemasaran pariwisata 2. Program pengembangan destinasi pariwisata 3. Program pengembangan kemitraan (kelambagaan dan SDM) 4. Program pengembangan ekonomi kreatif berbais media, desain dan iptek 5. Program pengembangan ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya
4.1.2. Konsep Pengembangan Perwilayahan Pariwisata Unggulan Kepulauan Bangka Belitung Di dalam RIPPDA Kepuluan Bangka Belitung 2007-2013 dinyatakan bahwa dalam memacu pertumbuhan kawasan pariwisata difokuskan pada kawasan
107
wisata berskala provinsi, nasional dan
internasional. Kawasan unggulan
pariwisata provinsi dapat terdiri dari beberapa daya tarik wisata dan berada pada wilayah administrasi yang berbeda, dan memiliki keunikan daya tarik
yang
bernilai tinggi dan mendukung tema serta citra provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pengelompokan daya tarik pariwisata dilakukan dengan tujuan : a. Memunculkan kekhasan produk wisata yang dimiliki provinsi Kepulauan Bangka Belitung. b. Secara kolektif membentuk atau memunculkan ciri khas yang mengedepankan atau mengangkat jati diri masyarakat provinsi Kepulauan Bangka Belitung. c. Meningkatkan daya saing produk wisata provinsi Kepulauan Bangka Belitung d. Menciptakan keterpaduan pengembangan pariwisata antar kawasan e. Efisiensi pelaksanaan program pembangunan pariwisata, baik perencanaan, pengelolaan maupun pemasaran dan promosi.
Sedangkan
faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan
pengelompokan tersebut adalah: a. Faktor geografis: perencanaan dan pengembangan pariwisata akan lebih mudah dilakukan jika jarak fisik antar kawasan dekat. Hal ini juga akan mempermudah koordinasi terkait pengembagan kawasan. b. Faktor aksesibilitas: c. Faktor pengikat: dapat berupa tanda fisik atau non fisik yang ada dalam suatu kawasan d. Faktor produk wisata unggulan yang sama dan atau saling melengkapi e. Keragaman produk wisata unggulan antar kawasan.
Berdasarkan kriteria tersebut dan analisis potensi yang dimiliki maka Kawasan Wisata Unggulan (KWU) yang mencirikan KWU dan menjadi unggulan provinsi , serta memiliki daya tarik wisata lain yang mendukung tema pengembangan pariwisata kawasan dibagi ke dalam tujuh KWU yaitu:
108
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
KWU Sejarah - Muntok KWU Rekreasi pantai -Sungailiat KWU Perkotaan - Pangkalpinang KWU Agrowisata- Koba KWU Alam Bahari - Selat Lepar KWU Budaya Pesisir - Tanjungbinga KWU Bahari Minat khusus - Memperak
Untuk melaksanakan pengembangan pariwisata di kepulauan Bangka Belitung maka telah dirancang didalam RIPPDA adanya tujuh aspek pengembangan yang terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pengembangan Wilayah Pariwisata Pengembangan Produk wisata Pengembangan Transportasi dan Infrastruktur Pengembangan Pasar dan Pemasaran Pengembangan SDM Pengembangan kelembagaan Pengelolaaan lingkungan
4.1.3. Peran Pariwisata Dalam Perekonomian Kepulauan Bangka Belitung Sebagaimana telah disampaikan bahwa kegiatan pariwisata memiliki pengaruh yang cukup besar dalam perekonomian, bahkan pariwisata sebagai suatu konsep yang dapat dipandang dari berbagai perspektif yang berbeda. Pariwisata menurut Lunberg dkk (1997:7) dapat dipandang sebagai suatu lembaga dengan jutaan interaksi, suatu kebudayaan dengan sejarahnya, kumpulan pengetahuan, dan jutaan jumlah orang yang merasa dirinya sebagai bagian dari kelembagaan ini. United Nation World Tourism Organization (UNWTO) sebagai lembaga dunia yang menangani perkembangan pariwisata dunia memperkirakan jumlah kunjungan wisatawan internasional di seluruh dunia akan mencapai 1,8 miliar
109
pada tahun 2030, seperti yang tertuang dalam UNWTO‟s Tourism 2030 Vision. Tingkat pertumbuhan kunjungan wisatawan diprediksi akan mencapai angka 3,3 persen per tahun. Untuk wilayah Asia Pasifik dapat mencapai angka pertumbuhan sebesar 4,9 persen. Membangun sektor pariwisata memang lebih rumit dari pada membangun sektor industri manufaktur. pembangunan sektor pariwiata melibatkan berbagai sektor ekonomi baik yang tergolong tourism characteristic industry seperti hotel dan restoran, maupun tourism connected industry, yaitu kegiatan-kegiatan yang sepintas tidak memiliki keterkaitan dengan sektor pariwisata, namun sebagaian penggerak perkembangannya berasal dari permintaan yang dipicu oleh aktivitas kepariwisataan. Berdasarkan Neraca Satelit Pariwisata Nasional (NESPARNAS) 2010 yang menggambarkan semua kegiatan dan transaksi ekonomi yang berhubungan dengan barang-barang dan jasa pariwisata, baik dari produksi (Supply) maupun dari sisi permintaan (Demand), maka nilai transaksi ekonomi yang diciptakan oleh kegiatan pariwisata di Indonesia pada tahun 2009 mencapai Rp. 285,24 trilyun. Sementara itu konsumsi wisnus Rp. 137,91 trilyun. Dari total nilai transaksi sebesar Rp 285,24 trilyun di tahun 2009 tersebut, nilai transaksi yang diciptakan oleh wisnus menyumbang 48,35 persen terhadap total nilai transaksi pariwisata. Kemudian disusul oleh nilai transaksi dalam rangka investasi yang mencapai Rp. 76,26 trilyun atau 28,73 persen. Di urutan ketiga terbesar adalah transaksi wisman yang mencapai Rp. 59,20 trilyun atau 20,75 persen. Melalui gambaran tersebut dapat dilihat bahwa kontribusi wisnus pada ekonomi pariwisata di Indonesia jauh
110
lebih besar dari pada wisman, dan kondisi ini sudah berlangsung sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1998 (NESPARDA 2010). Karena itu pengembangan angka perjalanan wisnus merupakan bagian penting yang terus harus dilakukan guna penguatan pariwisata nasional, di samping secara terus menerus menggarap pasar manca negara. Kesadaran pentingnya memperhatikan wisatawan nusantara menguat manakala Indonesia menghadapi bencana bom Bali 2002 dan 2005 yang berpengaruh besar bagi pariwisata Indonesia yang sangat mengandalkan keberadaan Bali sebagai pintu masuk wisatawan mancanegara ke Indonesia. Di Kepulauan Bangka Belitung peranan pariwisata dalam perekonomian dapat dilihat dari Neraca Satelit Pariwisata Daerah (NESPARDA) 2012 seperti jumlah perjalanan dan jumlah pengeluaran. Sebagai catatan dapat disampaikan bahwa penghitungan jumlah wisatawan dalam Nesparda 2012 berbeda dengan cara perhitungan yang selama ini dipergunakan di Bangka Belitung. Jika selama ini cara menghitung wisatawan adalah dengan meminta laporan dari pihak hotel yang diakui oleh informan Disbudpar sering tidak akurat 1, maka Nesparda mempergunakan sumber Passenger Exit Survey (PES) sebagai basis penghitungan wisman, serta Sensus Ekonomi Nasional (SUSENAS) untuk menghitung wisnus (Nesparda Babel 2012:1-6). Dari data Nesparda terlihat bahwa jumlah perjalanan yang ada, wisatawan terbanyak di Kepulauan Bangka Belitung adalah wisatawan lokal yaitu penduduk Bangka Belitung yang melakukan kunjungan ke antar kota atau antar daerah di Bangka Belitung saja. Dengan jumlah 1.787.440 wisatawan lokal. Hal ini
1
Wawancara dengan informan Disbudpar 22/10/2012
111
mendominasi 76.79 persen perjalanan. Untuk jumlah wisnus yang keluar Bangka Belitung (orang Bangka Belitung yang melakukan perjalanan ke luar wilayah provinsi Bangka Belitung) jumlahnya masih lebih besar dibandingkan jumlah wisnus yang datang. yaitu 211.272 berbanding 144.567 atau jumlah wisnus yang keluar lebih besar 46,14 persen dibandingkan dengan jumlah wisnus yang datang. Demikian pula halnya dengan jumlah wisatawan nasional (wisnas) yaitu orang asal Bangka Belitung yang melakukan perjalanan ke luar negeri jumlahnya masih lebih banyak dibandingkan dengan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang datang ke Bangka Belitung, yaitu 10.126 wisnus berbanding 7.603 wisman, atau jumlah wisnus yang keluar 33,18 persen lebih besar dari pada jumlah wisman yang datang. Namun demikian walaupun dari sisi jumlah wisman yang datang lebih sedikit dari pada wisnas Bangka Belitung yang ke luar negeri, tetapi dari sisi pengeluaran terlihat bahwa masih lebih besar jumlah uang yang dikeluarkan oleh wisman yang datang ke Bangka Belitung. Jika wisnas yang ke luar Bangka Belitung hanya mengeluarkan uang Rp. 14.9 milyar, maka wisman yang datang ke Bangka Belitung membelanjakan uang sebesar Rp. 53.1 milyar atau 256,67 persen lebih besar. Hal yang sama juga terjadi pada jumlah pengeluaran wisnus yang datang dan yang ke luar dari Bangka Belitung, walaupun kalah dari sisi jumlah, namun tetap lebih besar jumlah pengeluaran wisnus yang datang ke Bangka Belitung. Pengeluaran wisnus yang datang berjumlah Rp. 312.5 milyar, sedangkan
112
pengeluaran wisnus Bangka Belitung yang ke luar adalah Rp. 23.7 milyar, atau hanya 7,6 persen saja dari jumlah pengeluaran wisnus yang datang. Besarnya pengeluaran wisatawan lokal yang mencapai angka Rp. 229.6 milyar patut mendapatkan perhatian karena jumlah ini merupakan urutan terbesar kedua setelah pengeluaran wisman ke Bangka Belitung, sehingga merupakan potensi yang dapat digarap guna menciptakan pola perjalanan dalam provinsi yang lebih besar lagi. Di samping itu konsentrasi penguatan pemasaran dalam negeri akan lebih mudah dan murah dilaksanakan karena adanya banyak kesamaan dengan yang difikirkan oleh perencana lokal. Untuk melihat lebih jelas bagaimana jumlah perjalanan wisatawan serta jumlah pengeluaran wisatawan yang ada di Bangka Belitung maka dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut.
A
B
Jumlah Pejalanan : 1. Wisnus : Wisnus Ke Bangka Belitung Wisatawan Lokal Wisnus Ke luar Bangka Belitung Wisnas 2. Wisman
: 144.567 : 1.787.440 : 211.272 : 10.126 : 7.603
Jumlah Pengeluaran(Juta Rp) 1. Wisnus : Wisnus Ke Bangka Belitung Wisatawan Lokal Wisnus Ke luar Bangka Belitung Wisnas 2. Wisman
: 312.575 : 229.629 : 23.756 : 14.900 : 53.144
Gambar 4.2. Wisatawan yg Datang ke Kep. Bangka Belitung 2011 (Nesparda Kep Bangka Belitung, 2012)
113
Perkembangan fasilitas akomodasi yang terjadi di Bangka Belitung dalam lima tahun terakhir dengan lonjakan yang cukup berarti terlihat terutamas setelah dilaksanakannya program Visit Bangka Belitung Archipelago 2010 yang dimulai di 2008 dengan soft launching oleh Menteri Perhubungan. Pertambahan jumlah hotel dalam lima tahun terakhir sebesar 67,21 persen atau rata-rata 13,4 persen tiap tahun, dengan pertambahan jumlah hotel berbintang yang terbanyak yaitu 109,09 persen dalam lima tahun, disusul hotel non bintang yaitu 61,22 persen. Perkembangan jumlah hotel terjadi dengan pesat setelah diluncurkannya program Visit Bangka Belitung Archipelago 2010 yang telah dimulai di tahun 2008 yang terlihat dari penambahan jumlah hotel terbanyak terjadi di tahun 2010 yaitu jumlah penambahan sebanyak 18,98
persen yang
terdiri dari 42,85 persen untuk hotel berbintang dan 13,84 persen untuk hotel non bintang. Perkembangan itu dapat dilihat pada tabel 4.1. berikut. Tabel 4.1.Banyaknya Hotel Bintang dan Non Bintang di Kep. Babel 2007-2011 Tahun
Bintang
Non Bintang
Jumlah
[1]
[2]
[3]
[4]
2007
11
49
61
2008
12
60
72
2009
14
65
79
2010
20
74
94
2011
23
79
102
Nesparda Kep. Bangka Belitung 2012
114
Pengaruh sektor pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung terhadap ekonomi dilihat dari dampak ekonomi pariwisata yang terjadi maka kontribusinya terhadap Produk Domestic Regional Bruto (PDRB) Kepulauan Bangka Belitung adalah sebesar Rp. 1.4 trilyun lebih atau 4,84 persen dari PDRB yang berjumlah Rp. 29,9 trilyun. Pengaruh ekonomi pariwisata terhadap upah/gaji sebesar 6,86 persen, dan pengaruh terhadap pajak adalah 6,51 persen. Sementara itu serapan tenaga kerja yang dipengaruhi oleh ekonomi pariwisata adalah sebanyak 18.043.000 orang dari jumlah 589.634.000 tenaga kerja atau 3,06 persen. Hal yang perlu lebih dicermati adalah munculnya angka sumbangan sektor pariwisata dalam PDRB sehingga menjadi 4,84 persen. Jika diamati lebih jauh ternyata terlihat bahwa sumbangan tertinggi di sektor pariwisata adalah dari sektor bangunan 47,25 persen , restoran 17,72 persen, industri pengolahan 17,16 persen, hotel 4,27 persen. Artinya, penyumbang kontribusi terbesar di sektor pariwisata adalah yang berasal dari bangunan dan restoran, industri pengolahan dan hotel. Dengan pemahaman ini maka terlihat bahwa yang terjadi di tahun 2011 adalah nilai investasi di bangunan yang sedang tinggi, sedangkan jika sektor pariwisata sudah berkembang dengan baik maka yang akan berkembang dengan baik adalah sektor hotel, restoran, industri pengolahan dan jasa-jasa. Fenomena besarnya kontribusi sektor bangunan terhadap pariwisata juga menggambarkan bahwa di Kepulauan Bangka Belitung di tahun 2011 trend pembangunan konstruksi untuk infrastruktur pariwisata masih tinggi. Jika pemerintah
daerah
mampu
menciptaan
iklim
yang
kondusif
secara
115
berkesinambungan maka akan tercipta daya tarik yang baik bagi investasi bidang pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung. Untuk struktur investasi pariwisata maka dari data Nesparda terlihat bahwa di 2011 kontribusi pemerintah hanya 0,28 persen dari pemerintah pusat dan 1,07 persen dari pemerintah daerah, selebihnya dan memegang porsi terbesar adalah dari investasi swasta/RT/BUMN/BUMD yaitu 98,65 persen.
Dengan kondisi
demikian maka pemerintah dipandang masih perlu melakukan investasi untuk bangunan bukan tempat tinggal dan bangunan yang berhubungan dan menunjang kegiatan kepariwisataan seperti bangunan olahraga, rekreasi, hiburan, seni dan budaya. Berikutnya untuk melihat bagaimana pola yang tercipta dari pariwisata terhadap sektor-sektor lainnya seperti dampak terhadap barang dan jasa, dampak terhadap nilai tambah sektoral, dampak terhadap kesempatan kerja, dampak terhadap upah gaji di Kep Bangka Belitung maka kita amati tabel 4.2. tentang dampak Ekonomi Pariwisata Kep Babel 2011 di bawah ini.
116
Tabel 4.2. Dampak Ekonomi Pariwisata Di Kep Bangka Belitung Tahun 2011 (Juta Rupiah) Kons. Dampak Terhadap Wisatawan, Tenaga Sektor Investasi Kerja Output PDRB Upah/Gaji Pajak dan (ribu Promosi org) Pertanian 11.716 143.636 128.132 28.490 2.431 2.989 Pertambangan & Penggalian 0 91.575 82.287 17.844 2.164 1.622 Industri Pengolahan 250.054 413.137 247.474 69.087 7.081 2.896 Listrik, Gas dan Air Minum 167 15.928 9.485 1.399 177 30 Bangunan 692.587 702.219 468.077 156.082 9.111 2.998 Perdagangan 0 111.363 83.945 19.842 2.620 1.278 Restoran 173.446 193.370 119.600 29.260 3.317 695 Hotel 86.296 87.527 59.730 14.937 3.352 3.586 Angkutan Darat 42.684 55.272 35.151 7.291 380 364 Angkutan Air 83.471 88.345 70.066 13.765 652 195 Angkutan Udara 52.067 63.386 41.517 7.440 915 57 Penunjang Angkutan 964 4.016 3.054 931 59 179 Komunikasi 9.527 17.092 13.492 2.559 125 33 Jasa-Jasa Lainnya 62.642 103.593 81.370 32.875 1.338 1.121 Total Pariwisata 1.465.621 2.090.460 1.443.380 401.803 33.721 18.043 Total Ekonomi 42.706.852 29.851.276 5.857.532 518.259 589.634 Persentase (%) 4,89 4,84 6,86 6,51 3,06 Nesparda Kep Bangka Belitung, 2012 Selanjutnya untuk dapat melihat dengan lebih jelas bagaimana posisi kepariwisataan Kepulauan Bangka Belitung maka dapat dilihat sandingannya dengan apa yang terjadi di beberapa provinsi di Indonesia. Data Nesparda yang dipergunakan berbeda tahun pembuatannya namun paling tidak terdapat gambaran kondisi yang ada di masing-masing provinsi yang diamati seperti yang terlihat dalam tabel perbandingan dampak sektor kepariwisataan terhadap beberapa provinsi maka dapat dilihat di tabel 4.3 berikut.
117
Tabel 4.3. Perbandingan Dampak Ekonomi Pariwisata di Beberapa Provinsi Dampak Ekonomi Pariwisata Peran Peran Lapangan Pariwisata Pariwisata thd Kerja (juta thd Lap. PDRB (%) orang) Kerja (%)
Tahun
Provinsi
2006
SUMATERA SELATAN
1,06
1,07
0,03
1,04
2007
BALI
19,54
46,16
0,82
40,56
RIAU
4,52
2,14
0,10
5,22
2008
BANTEN
3,72
3,04
0,15
4,03
2009
DKI JAKARTA
44,24
5,84
0,40
9,48
2010
JAWA BARAT
30,15
3,91
0,67
3,97
2011
BANGKA BELITUNG
1,44
4,84
0,02
3,06
PDRB (triliun Rp)
Sumber: Nesparda Kep Bangka Belitung, 2012
Nesparda
merupakan angka
statistik
yang harus
dimaknai
dan
dimanfaatkan secara kreatif untuk membuat analisa kebijakan melalui trend, pola, perbandingan dan sebagainya. Dari
upaya semacam itu, misalnya kita dapat
menyimpulkan bahwa sebenarnya posisi pariwisata Bangka Belitung cukup baik. Misalnya saja jika angka pajak tidak langsung yang diterima daerah dibandingkan dengan pengeluaran wisatawan maka Bangka Belitung memiliki angka 4,8 persen. artinya peluang penerimaan pajak di Bangka Belitung sebesar 4,8 persen pada setiap pengeluaran wisatawan. Untuk angka ini maka Bangka Belitung jauh lebih baik dari pada DKI Jakarta (1,3 persen) dan bahkan Bali yang hanya 2,5 persen.
118
Demikian pula jika PDB dibagi dengan angka pengeluaran wisatawan maka Bangka Belitung memiliki jumlah terbesar dengan angka 223 persen. Bandingkan dengan DKI Jakarta yang 86,5 persen, Bali 77 persen, Riau 97 persen, dan Jateng 101 persen. Hal lain yang cukup mengejutkan adalah ketika angka investasi dan biaya promosi dibagi dengan PDB, maka Bangka Belitung memiliki angka tertinggi di antara provinsi lainnya yaitu 57,6 persen. Artinya, Babel sangat gencar berpromosi dan menanamkan investasi di bidang pariwisata. Bandingkan dengan Bali yang hanya 21,14 persen dan 12,8 persen untuk DKI Jakarta. Hal ini memperlihatkan besarnya komitmen daerah dalam memajukan pariwisata. Namun investasi tersebut masih perlu ditingkatkan pula pada SDM pariwisata yang akan menjadikan sektor ini berkembang lebih kuat dan berkesinambungan. Tabel 4.4 memperlihatkan olahan hasil Nesparda antar provinsi yang dilakukan. Tabel 4.4. Perbandingan Hasil Nesparda Antar Provinsi DAMPAK PTL/ PENG WSTW PENG WSTW/TK UPAH & GAJI/ TK PDB/ PENG WSTW INV+PROM/PDB
DKI (2004) 1,3 %
BALI (2007) 2,5 %
RIAU (2007) 3,43 %
BABEL (2012) 4,8 %
JATENG (2012) 5,3%
100,7 JUTA 30,09 JUTA 86,5 %
31,01 JUTA 5,46 JUTA 77 %
42,60 JUTA 12,08 JUTA 97 %
31 JUTA 20 JUTA 223%
28,54 JUTA 8,95 JUTA 101 %
12,8 %
21,14 %
1,8 %
57,6 %
25,91 %
Sumber: Gunawan (2012) Ket:
PTL : Pajak Tidak Langsung Peng WSTW : Pengeluaran Wisatawan
119
TK PDB INV Prom
: Tenaga Kerja : Product Domestik Bruto : Investasi : Promosi
Beberapa perkembangan lainnya terkait dengan kepariwisataan di Kepulauan Bangka Belitung dapat dilihat pula seperti aksesibilitas dari dan ke Bangka Belitung yang dapat ditempuh melalui hubungan udara dan laut. Untuk transportasi laut yang diutamakan adalah angkutan barang, sementara
untuk
Bangka Belitung –Jakarta dengan jenis angkutan kapal penyeberangan barang dan roro yang berlayar setiap tiga kali seminggu. Sedangkan untuk penyeberangan dari Bangka Belitung – Palembang setiap hari dilayani oleh dua kapal cepat dan satu kapal ferry, serta dua angkutan kapal barang. Untuk penerbangan Jakarta – Pangkalpinang, saat ini dilayani oleh empat maskapai yaitu Sriwijaya Air, Garuda, Batavia, dan Lion Air, dengan total ratarata 14 penerbangan per hari. Sedangkan penerbangan Jakarta-Tangjungpandan dilayani oleh dua maskapai saja yaitu Sriwijaya Air dan Batavia dengan enam kali penerbangan per hari. Penerbangan Pangkalpinang – Palembang dilayani oleh Sriwijaya Air dengan sepuluh kali penerbangan seminggu. Untuk PangkalpinangTangjungpandan dilayani oleh maskapai Sky Aviation sebanyak 10 kali penerbangan seminggu. Pangkalpinang-Batam dan Tanjungpandan – Batam tiga kali seminggu dilayani oleh Sky Aviation, demikian pula dengan penerbangan Tanjungpandan-Palembang. Jumlah penumpang yang datang dan berangkat dilihat pada figur berikut.
120
1. Pangkalpinang (Depati Amir) Jakarta – CGK : 485 803 Jakarta HLP : 133 Palembang : 118 190 Batam : 52 760 Surabaya : 114 Tanjung Pandan : 1 818 2. Belitung (H.As Hanandjoeddin) Batam : 2 215 Jakarta – CGK : 188 621 Palembang : 1 285 Pangkalpinang : 4 726 Gambar 4. 3.Keberangkatan Penumpang Penerbangan ke Babel Menurut Asal dan Tujuan
Pemerintah Kepulauan Bangka Belitung
dalam dua tahun terakhir
yaitu tahun 2011 dan 2012 juga mendapatkan penghargaan dari Travel Club Tourism Award (TCTA) di tahun 2011 dan 2012 untuk kategori Best Achievment, serta dari Indonesia Tourism Award (ITA) di tahun 2011 untuk kategori Penghargaan Khusus Pariwisata.
Pengembangan pariwisata dalam suatu negara atau daerah yang dikenal dengan istilah Model Butler‟s‟s seperti yang diungkapkan Pearce (1989:18-19) sebagai berikut : 1. Tahap Eksplorasi Awal. Pertumbuhan sektor pariwisata pada tahap ini ditandai dengan belum begitu banyaknya fasilitas, belum berkembangannya transportasi pendukung, informasi wisata masih dicari bentuknya; 2. Tahap Pembangunan dan Perkembangan. Pada tahap ini seluruh aspek sudah mulai lengkap, jaringan transportasi sudah mulai lengkap dengan berbagai
121
pilihan serta jadwal yang terprogram. Pada tahap ini pula sektor pariwisata sudah berkembang dengan kualitas lingkungan yang cukup baik; 3. Tahap Konsolidasi. Tahap ini merupakan tahap paling tinggi dalam perkembangan sektor pariwisata. Daya dukung lahan telah optimal dan pertumbuhan mulai landai sehingga memerlukan konsolidasi; 4. Tahap Stagnasi. Pada tahap ini penentuan akan keberlanjutan perkembangan sektor pariwisata akan dilanjutkan dengan segala konsekwensi yang terjadi yaitu hancur atau menurunnya kualitas lingkungan. Hal ini ditandai dengan wisatawan mulai jenuh dengan kondisi dan atraksi yang ada.
Gambar.4.4. Proses Evolusi Kegiatan Pariwisata dan Pembangunan Berkelanjutan Menurut Butler’s (Pearce, 1989:19)
122
Apabila mengacu pada model yang dikemukakan oleh Butler‟s ini maka kondisi kepariwisataan di Kepulauan Bangka Belitung dapat digolongkan ke dalam tahapan pembangunan dan perkembangan, dimana aspek kepariwisataan berupa fasilitas dan program pembangunan yang ada mulai dilengkapi. Fenomena mulai dimasukinya tahapan pembangunan dan pengembangan tersebut dapat juga dilihat dari mulai membaiknya angka-angka yang tersaji dari nesparda di atas. Dengan begitu maka dapat dikatakan bahwa pariwisata sudah mulai memperlihatkan geliat yang cukup berarti jika dibandingkan dengan beberapa tahun sebelumnya dimana kontribusi pariwisata terhadap PDRB baru mencapai 1,30 persen saja atau hanya Rp. 383 milyar (Sayogo:2007:51), sedangkan di 2011 sudah mencapai 4, 84 persen. Selanjutnya diperlukan upaya dan tindakan yang lebih serius dan keterlibatan semua pihak yang berkepentingan guna menjaga tahapan ini dapat berkembang ke arah yang ideal yaitu menjadi tahap konsolidasi yang memiliki kondisi yang paling optimal dalam pengembangan pariwisata di dalam suatu daerah.
4.2. Dimensi Waktu Dalam Strategi Koordinasi Antar Organisasi Untuk memahami bagaimana pilihan strategi koordinasi yang dilakukan dalam
melaksanakan koordinasi antar organisasi maka
dilihat berdasarkan
dimensi waktu. Menurut Alexander (1995:36) Strategi koordinasi dimensi waktu terdiri dari koordinasi antisipatif dan strategi adaptif. Secara antisipatif adalah melihat koordinasi pada sisi perencanaan, sedangkan
adaptif yaitu berupa
123
koordinasi yang dilakukan mulai dari ketika pelaksanaan, pemantauan, umpan balik, dan pengendalian. Dalam konteks melaksanakan koordinasi di bidang tugasnya pemerintah daerah dituntun oleh perangkat aturan seperti Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 2006 tentang Pedoman Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan RencanaPembangunan, Peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan Pengendalian dan Evaluasi Rencana Pembangunan Daerah, dan Permendagri Nomor 33 tahun 2008 tentang Pedoman Hubungan Kerja Organisasi Perangkat daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Pola kerja hubungan koordinatif yang dimaksudkan di dalam pembahasan ini memiliki didefinisikan sebagai:
Hubungan kerja antar pejabat yang dimaksudkan untuk memadukan (mengintegrasikan), menyerasikan, dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan kegiatan yang saling berkaitan beserta segenap gerak, langkah dan waktunya dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran bersama (Rosyadi :2010:57).
Selanjutnya di dalam Permendagri (nomor 33 tahun 2008) misalnya dijelaskan
maksud dari hubungan koordinatif tersebut
Mengembangkan
hubungan
kerjasama
secara
adalah untuk : a. struktural
menumbuhkembangkan semangat kolegial yang sinergis dan terpadu penanganan dan penyelesaian tugas dan fungsi sesuai
dengan dalam
dengan wewenang
organisasi perangkat daerah masing-masing ; b. Menjamin kelancaran, kemudahan, efektifitas, dan efisiensi ; c.
Menghindari tumpang tindih atau
124
duplikasi program dan kegiatan secara substansial, dan menjamin keselarasan program dan kegiatan antar perangkat daerah. Hubungan kerja koordinatif ini memiliki beberapa varian sebagai berikut (pasal 9): a. Koordinasi hirarki (intersektoral) yang dilaksanakan dalam unit organisasi oleh pimpinan di bawahnya. Misalnya, koordinasi antara Kepada Bappeda dengan semua Kepala lembaga kantor dan dinas. b. Koordinasi fungsional (lintas sektoral) yang dilaksanakan antar instansi dari sektor berlainan yang memiliki keterkaitan berdasarkan fungsinya dalam pelaksanaan kegiatan. Sebagai contoh antara Bappeda dengan dinas-dinas terkait upaya penyususnan perencanaan tata ruang. c. Koordinasi instansional (multisektor), koordinasi yang dilaksanakan dengan instansi lain yang terkait berdasarkan keterkaitan secara instansional. Misalnya hubungan kerja antara kantor Lingkungan Hidup, Bappeda, Badan Penananman Modal dalam penanggulangan dampak kegiatan ekonomi tertentu terhadap lingkungan.
Menurut Rosyadi (2010:59) dari perspektif reformasi administrasi, upaya untuk merumuskan hubungan kerja merupakan refleksi dari terjadinya pergeseran karakteristik birokratik ke organisasi pasca birokrasi. Salah satunya ditandai dengan tidak berlakunya lagi nilai yang mengedepankan tindakan individual yang bebas dari konsultasi dan koordinasi. Dengan mengutip pendapat Kernaghan (2000: 92) Rosyadi menyatakan bahwa dalam
organisasi birokrasi modern,
hubungan kerja dikembangkan semakin intens antar satuan organisasi sehingga membentuk aksi kolektif yang sarat dengan konsultasi, kerjasama dan koordinasi. Semua ini dimaksudkan untuk terus menerus melakukan perubahan sehingga kompleksitas masalah dapat dipecahkan secara sinergis, efisien, dan efektif.
125
Selanjutnya (dalam pasal 10 Permendagri nomor 33 tahun 2008) dinyatakan bahwa hubungan kerja koordinatif dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan meliputi: a. a. b. c. d.
e. f.
Penyusunan dan penetapan kebijakan untuk dijadikan pedoman dan arahan bagi semua instansi terkait. Penetapan rencana strategis yang melibatkan semua instansi terkait Pengintegrasian rencana program dari berbagai instansi, lembaga dan organisasi melalui rapat koordinasi. Pembahasan berbagai hal yang perlu dikonsultasikan dan ditangani bersama melalui temu konsultasi. Pembentukan gugus kerja yang melibatan berbagai instansi terkait untuk menangani berbagai persoalan yang perlu dipecahkan secara bersama. Pembentukan badan/lembaga/wadah yang diperlukan untuk menangani fungsi-fungsi koordinasi pembinaan secara menyeluruh. Penelitian dan pengembangan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program dan koordinasi pelaksanaan program.
4.2.1. Strategi Koordinasi
Perencanaan Antar
Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) Pariwisata memiliki kepentingan yang sangat kompleks antar sektor dan antar pelaku. Dalam kondisi yang demikian maka terdapat kebutuhan koordinasi yang semakin tinggi pula. Salah satu penyebab kegagalan pembangunan kepariwisataan di masa lalu antara lain disebabkan kurang disadarinya hakekat kepariwisataan dan produk pariwisata. Sebagai barang campuran, produk wisata hendaknya dibangun berdasarkan peran yang seimbang antar pihak-pihak yang menjalankan posisi kunci, terutama oleh pihak pemerintah, swasta dan masyarakat. Menurut McIntosh (1995: 10) "Tourism may be defined as the sum of the phenomena and relationship arising from the interaction of tourist, business supplier, host government and host community in the process af atracting and hosting these tourists and other visitor".
126
Sebuah perencanaan pariwisata yang baik membutuhkan tahapan-tahapan yang dapat digunakan untuk menjamin tercapainya tujuan perencanaan serta mampu melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan. Beberapa pendekatan ditawarkan dalam mencermati tahapan dari perencanaan pariwisata. Acerenca (dalam
Pearce, 1998:246-247)
menerapkan perencanaan
strategis dalam pariwisata yang menempatkkan perencanaan sebagai pendekatan awal dalam upaya pengembangan pariwisata.
Secara umum
tahapan yang
disarankan oleh Acerenca tersebut dimulai dari tahapan analisis yaitu dengan melihat bagaimana
kondisi pengembangan pariwisata yang ada sebelumnya.
Kemudian dilanjutkan dengan melakukan evaluasi terhadap bagaimana posisi kepariwisataan saat ini. Tahapan ketiga adalah dengan melakukan perumusan kebijakan
pariwisata
yang
dilanjutkan
dengan
mendifinisikan
strategi
pengembangan. Tahapan terakhir adalah dengan melakukan elaborasi dari bagaimana program dilaksanakan.
Pendekatan tersebut selengkapnya dapat
dilihat dari bagan yang digambarkannya seperti pada gambar 4.5. berikut.
127
ANALYSIS OF PREVIOUS TOURIST DEVELOPMENT
EVALUATION OF POSITION OF TOURISM
FORMULATION OF TOURISM POLICY
DIFINITION OF DEVELOPMENT STRATEGY
ELABORATION OF ACTION PROGRAMME
Gambar 4.5: Basic stages in tourism planning : Acerenza (1985) (dalam Pearce, 1989:247)
Jika diperhatikan dengan seksama terlihat bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Acerenca memang masih sangat umum sehingga belum mampu menggambarkan secara lebih komprehensif bagaimana langkah yang seharusnya dilakukan dalamn perencanaan pariwisata. Selanjutnya Sukarsah (1999:54) merinci proses perencanaan dalam kepariwisataan dalam lima tahapan. Tahapantahapan yang diajukan yaitu: 1. Melakukan inventarisasi mengenai semua fasilitas yang tersedia dan potensi yang dimiliki. 2. Menaksir pasaran pariwisata dan mencoba melakukan proyeksi lalu lintas wisatawan pada masa yang akan datang. 3. Memperhatikan di belahan dunia mana permintaan (demand) lebih besar dari pada persediaan atau penawaran. 4. Melakukan penelitian kemungkinan perlunya penanaman modal, baik modal dalam negeri maupun modal asing.
128
5. Melakukan perlindungan terhadap kekayaan alam yang dimiliki dan memelihara warisan budaya bangsa serta adat istiadat suatu bangsa yang ada. Pendekatan yang ditawarkan oleh Sukarsah terkesan belum memberikan bagaimana sebenarnya arahan yang dilakukan menyangkut pemetaan wilayah perencanaan, unsur yang terlibat serta gambaran langkah yang mampu menjamin berjalannya tahapan perencanaan pariwisata. Pitana & Diarta (2009:109) mencoba menawarkan pula beberapa tahapan dalam perencanaan strategis pariwisata yaitu sebagai berikut: 1. Menentukan bisnis/usaha apa yang akan dimasuki yang biasanya dicirikan oleh misi organisasi. Misi organisasi mungkin dapat dilihat dan diketahui dengan mudah tetapi misi organisasi terkadang tidak dapat secara eksplisit dikenali. Misalnya sebuah hotel tidak dengan tegas mengatakan kata „Hotel‟ dalam misi perusahaannya tetapi memaksiamalkan pengembalian aset dan menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan untuk para pemegang saham. Biasanya untuk organisasi pemerintah dengan audiens yang berbeda yang akan diyakinkan mempunyai misi yang jelas. Misalnya “ untuk mengakselerasi pertumbuhan sosial ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan dari industri pariwisata bagi negara”. 2. Menentukan tujuan organisasi yang akan dicapai, yang merupakan tujuan utama organisasi, seperti penguasaan pasar yang melibatkan pengenalan produk baru. Tujuan organisaasi haruslah mempunyai jangka waktu yang mengindikasikan kapan tujuan tersebuta akan diwujudkan. Hal ini memberikan kerangka waktu, menetapkan tujuan jangka pendek dan strategi pencapaian serta tindakan yang diperlukan. 3. Mengumpulkan informasi dan pengetahuan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan. Kualitas keputusan organisasi yang diambil sangat tergantung pada kualitas informasi yang dikumpulakan. Biasanya tahapan ini memerlukan waktu lama. 4. Menganalisis informasi, terutama yang berkaitan dengan kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan dari organisasi. Biasanya organisasi yang dikumpulkan dan dianalisis dapat dikelompokan menjadi dua: (a) informasi yang berkaitan dengan kondisi dan keaadaan masa kini, baik yang menyangkut organisasi itu sendiri maupun lingkungan diluar organisasi yang dapat mempengaruhi kehidupan organisasi, dan (b) informasi yang dapat membantu perencana memberikan perkiraan masa depan, misalnya dengan mengunakan analisa SWOT. 5. Menentukan tujuan khusus yang menentukan aktivitas yang diperlukan dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi secara keseluruhan.
129
6. Menentukan strategi dalam mewujudkan tujuan yang telah ditentukan. 7. Mendistribusikan sumber daya ke masing-masing program aksi untuk memberikan dampak pada strategi yang yang diambil. 8. Mengimplementasikan rencana. 9. Mengontrol dan memonitor hasil dan membuat perbaikan jika diperlukan.
Di dalam perencanaan pengembangan kepariwisataan harus berpedoman pada visi dan misi kepariwisataan. Visi dan misi kepariwisataan di daerah diturunkan dan dijabarkan dari visi dan misi kepariwisataan
nasional. Oleh
karena masyarakat selalu berkembang dan wisatawan juga berkembang tuntutannya maka visi dan misi juga harus selalu ditinjau kembali (Fandeli, 2002:172). Pembangunan pariwisata memerlukan kebijakan dan perencanaan yang sistimatis, untuk itu diperlukan sebuah proses perencanaan strategis. Menurut Richardson dan Fluker (dalam Pitane & Diarta, 2009:108) perencanaan strategis merupakan “...the magerial process of matching an organisation’s resouces and abilities with its business opptunities over the long term. Its consists of defining organisation’s mission and determining an overall goal, aqcuiring relevant knowledge and analysing it, then setting objectives and the strategies to echieve them”.
Beberapa hal yang perlu juga diperhatikan oleh pemerintah dalam perencanaan dan penentuan kebijakan di bidang pariwisata. Menurut UN – WTO peran pemerintah dalam menentukan kebijakan pariwisata sangat stretegis dan bertanggung jawab atas hal-hal sebagai berikut (Pitana & Diarta, 2009:113): 1. Membangun kerangka (framework) operasional dimana sektor publik dan swasta terlibat di dalam menggerakan denyut pariwisata.
130
2. Menyediakan dan memfasilitasi kebutuhan legislasi, regulasi dan kontrol yang diterapkan dalam pariwisata, perlindungan lingkungan, dan pelestarian budaya serta warisan budaya. 3. Menyediakan dan membangun infrastruktur transportasi darat, laut, dan udara dengan kelengkapan prasarana komunikasinya. 4. Membangun dan memfasilitasi peningkatan kualitas sumber daya manusia dengan menjamin pendidikan dan pelatihan yang profesional untuk menyuplai kebutuhan tenaga kerja di sektor pariwisata. 5. Menerjemahkan kebijakan pariwisata yang disusun ke dalam rencana kongkret yang mungkin termasuk di dalamnya: (a) evaluasi kekayaan aset pariwisata, alam dan budaya serta mekanisme perlindungan dan pelestariannya; (b) identifikasi dan kategorisasi produk pariwisata yang mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif; (c) menentukan persyaratan dan ketentuan penyediaan infrastruktur dan suprastruktur yang dibutuhkan yang akan berdampak pada keragaan (performance) pariwisata, dan; (d) mengelaborasi program untuk pembiayaan dalam aktivitas pariwisata, baik untuk sektor publik maupun swasta. Pendekatan
tahapan atau
proses dalam perencanaan pariwisata yang
cukup komprehensif ditawarkan oleh Gunn (2002: 139) yang mencoba melihat dari cakupan mulai dari kebijakan dan panduan dalam kegiatan yang spesifik untuk
aspek
pengembangan
secara
fisik
maupun
program-program
pengembangan. Proses perencanaan menurut Gunn hendaknya diawali dengan langkah-langkah kunci yang dimulai dengan beberapa asumsi. Pertama, kesiapan kepentingan publik maupun swasta dalam menyokong dan mendukung proses. Kedua, tujuan-tujuan seperti kepuasan pengunjung, pengembangan ekonomi, perlindungan sumber daya, dan penyatuan kawasan mendapatkan pertimbangan yang seimbang dalam perencanaan. Ketiga, selama proses berlangsung semua bagian dan konstituennya sepakat untuk terlibat dalam proses. Dan keempat, rekomendasi akan mengarahkan keterlibatan semua sektor yaitu pemerintah, swasta dan LSM serta masyarakat dalam pengembangan pariwisata.
Pada kenyataannya dari hasil penelitian yang dilakukan, memperlihatkan
131
strategi koordinasi dalam proses perencanaan pariwisata yang berlangsung di provinsi Kepulauan Bangka Belitung belum menerapkan empat asumsi dan tahapan seperti yang dikemukakan oleh Gunn. Strategi koordinasi dan proses perencanaan pariwisata yang menuntut adanya koordinasi antar organisasi SKPD yang berkepentingan masih belum terwujud dengan baik. Padahal koordinasi memungkinkan dan menjamin adanya kesatuan, keterpaduan antar unit kerja ataupun antar stakeholders terkait dalam menciptakan keselarasan pelaksanaan perencanaan stratejik kepariwisataan. Koordinasi menempatkan stakeholders dalam posisi sentral dalam menjamin keberhasilan pembangunan. “the best coordination occurs when individuals see how their jobs contribute to the dominant goals of organization” (Koonz, O‟Donell, dan Weichrich, 1983:82 dalam Hermana, 2006:73). Pentingnya koordinasi dalam perencanaan stratejik dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya tindakan atau kegiatan yang tidak selaras antar unit yang satu dengan yang lainnya akibat perbedaan persepsi ataupun prioritas sasaran. Koordinasi merupakan suatu teknik untuk mempersatukan sejumlah keahlian dan perhatian (skills and interests) yang saling bertentangan, dan memimpinnya ke arah tujuan yang sama. Konteks koordinasi dalam perencanaan stratejik sebagaimana dikemukakan oleh Friedmann (1987:96) bahwa: “An early planning paradigm: coordination,” dalam tatanan ini Rosadi (1996:52) menyatakan bahwa: “Berbagai kegiatan yang terkoordinasi dengan baik akan menciptakan keharmonisan karena akan memberikan efek pemberdayaan yang lebih besar dalam pencapaian tujuan.” Pertama, dalam hal kesiapan para pihak, maka yang terjadi di Kepulauan
132
Bangka Belitung, pemerintah daerah mencanangkan program Visit Bangka Belitung Archipelago 2010 misalnya, tanpa harus menunggu kesiapan sektor swasta dan masyarakat. Idealnya strategi koordinasi direncanakan dari awal baik dengan sektor swasta maupun masyarakat. Strategi koordinasinya dapat dijalankan misalnya dimulai dengan meminta dan mengundang berbagai masukan, usul dan saran dalam mempersiapkan program dan kegiatan pembangunan kepariwisataan. Pelibatan sektor lainnya sejak dini akan lebih mempercepat kesiapan setidaknya secara psikologis bagi swasta dan masyarakat. Melalui pelibatan sejak dini akan tercipta kondisi yang lebih kondusif bagi tumbuhnya sikap partisipatif di kalangan masyarakat dan swasta. Berbagai persiapan termasuk bagaimana merencanakan kegiatan dan mengkondisikan masyarakat dilakukan sambil berjalan dengan mengandalkan utamanya peranan media massa yang ditangani dengan penggunaan pengaruh para pejabat, serta melakukan kegiatan-kegiatan kehumasan atau public relation. Alasan yang disampaikan informan di Disbudpar jika harus menunggu kesiapan semuanya, maka Bangka Belitung tak akan pernah benar-benar siap1. Tahapan kedua, yaitu tujuan-tujuan yang ada baru sebatas bagaimana meningkatkan kunjungan wisatawan dulu dengan melaksanakan berbagai macam kegiatan yang akan mengundang para pengunjung di tingkat nasional dan regional di Bangka Belitung. Tujuan lainnya yang bersifat lebih ideal seperti peningkatan kesejahteraan masyarakat, kepuasan wisatawan, dan kelestarian lingkungan
1
Wawancara dengan informan di Disbudpar Babel, tanggal 22-10-2012
133
diharapkan dapat berjalan seiring dengan mulai dikenalnya Bangka Belitung sebagai destinasi wisata. Adapun tahapan ketiga, berkolerasi dengan tahapan pertama dimana kesiapan dan keterlibatan masyarakat dan swasta belum terlalu dirasakan dalam penyelenggaraan event, karena kegiatan yang sangat dominan dalam pelaksanaan event di VBA 2010 adalah milik pemerintah daerah yang tentu juga didorong terutama pendanaannya dari pemerintah baik APBN, APBD provinsi maupun kabupaten/kota. Termasuk pula di dalamnya berbagai kegiatan di kebudayaan di tingkat desa yang mendapatkan bantuan dari pemerintah provinsi. Tahapan keempat, berupa rekomendasi untuk melibatkan masyarakat dilakukan utamanya dalam bentuk himbauan. Termasuk di dalam bentuk himbauan ini adalah upaya mengkondisikan masyarakat dan kalangan pelajar. Sebagai contoh selama persiapan penyelenggaraan Visit Babel Archi 2010, setiap kepala SKPD ditugaskan untuk menjadi pembina upacara senin pagi di sekolah sampai ke tingkat kecamatan dimana mereka bertugas. Dalam kegiatan tersebut dibacakan sambutan gubernur yang berkaitan dengan informasi tentang adanya program VBA 2010. Disbudpar kesempatan
Provinsi
pertama
selayaknya
mengambil
mengkomunikasikan
inisiatif
berbagai
untuk
kepentingan
pada dan
mengharapkan dukungan dari SKPD. Misalnya kepada Bappeda selaku SKPD yang bertanggungjawab terhadap perencanaan di tingkat provinsi dan mengawal kepentingan dan koordinasi perencanaan lintas sektor. Hal semacam ini seharusnya dilakukan baik dalam perencanaan jangka menengah yang bersifat
134
lima tahunan, maupun perencanaan jangka pendek yang dilaksanakan setiap tahun. Kurangnya komunikasi yang dijalin seperti yang diakui baik oleh pihak Disbudpar dan Bappeda telah menyebabkan tidak terjalinnya sinergi yang baik antar SKPD dalam mendukung perencanaan pariwisata yang utuh dan menyeluruh. Perencanaan selayaknya juga mendengarkan harapan dan keluhan dari semua pihak termasuk pengusaha sektor swasta dan masayarakat, termasuk wisatawan. Keluhan pengusaha perhotelan terhadap kondisi kelistrikan di Babel yang kekurangan pasokan, misalnya yang menyebabkan membengkaknya biaya operasional hotel yang bisa mencapai Rp 2 milyar per tahun1. Begitu pula adanya keluhan wisatawan akan tingkat kebersihan di daerah destinasi wisata perlu disikapi dan dicarikan jalan keluar secepatnya2. Koordinasi yang berlangsung pada tahap perencanaan masih belum berlangsung baik3. Hal tersebut bermula dari kelemahan di pihak Disbudpar sendiri yang tidak menginformasikan secara detil program dan kegiatan yang akan dilakukan, serta apa pula yang harus dilakukan oleh SKPD lainnya untuk menunjang program atau kegiatan kepariwisataan berjalan dengan baik. “Kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pembangunan di bidang kepariwisataan seperti SKPD berjalan sendiri-sendiri dan tidak menginformasikan secara detil apa yang harus dilakukan oleh SKPD lainnya, akibatnya program dan kegiatan yang berjalan seperti terlepas. Tim Anggaran pemerintah daerah (TAPD) dan Bappeda fungsinya sebagai koordinator saja. Koordinasi adalah kelemahan utama kita selama ini. Dukungan terhadap sektor-sektor yang diunggulkan tidak terlalu kelihatan, sehingga upaya yang harus dilakukan dimulai dari melihat mana sektor yang menjadi 1
Wawancara dengan pengusaha hotel di Babel, 28-10-12 Wawancara dengan wisatawan di Belitung, 18-10-2012 3 Wawancara dengan informan dari Bappeda Provinsi kepulauan Bangka Belitung, tgl 01-10-2012. 2
135
unggulan atau diunggulkan, misalnya melalui diadakan dulu FGD, sebelum membahas Musrenbang........................ Kalau di level perencanaan saja masih terdapat kelemahan seperti itu koordinasinya apalagi di level pelaksanaannya”. Dalam konteks perencanaan kegiatan 1, selama ini diakuinya bahwa tidak terdapat pembahasan yang mempertemukan SKPD seperti
Distamben serta
SKPD terkait dengan sektor pariwisata mulai dari tingkat perencanaannya. Kelemahan utama di sisi perencanaan selain tidak dibuatkannya strategi koordinasi pada tahapan perencanaan, juga sudah dimulai dengan belum ditetapkannya cetak biru perencanaan pembangunan pariwisata yang di sebut dengan dokumen RIPPDA atau RIPARDA dengan produk hukum baik dengan Keputusan Kepala Daerah atau dengan Peraturan daerah. Tanpa adanya kekuatan yuridis tersebut maka RIPPDA yang telah dibuat sejak tahun 2006 dan seharusnya diberlakukan di tahun 2007 itu menjadi tidak punya kekuatan sama sekali. Tidak dibuatkannya Perda untuk RIPARDA tersebut
2
, bermula dari tidak adanya keharusan
dibuatkan perdanya dalam Undang-undang (Nomor 9 Tahun 1990)
tentang Kepariwisataan yang masih berlaku ketika RIPPDA Kepulauan Bangka Belitung selesai dibuat di tahun 2006. Kewajiban pemberlakuan Rencana Induk Pembangunan Pariwisata itu dalam bentuk Perda baru diatur dalam Undangundang (Nomor 10 tahun 2009) tentang Kepariwisataan. Pada (pasal 9) Undangundang Kepariwisataan yang baru ini diatur tentang dasar hukum dari Rencana Induk Pembangunan Pariwisata yang berbunyi: Pasal 9 1 2
Hal yang sama juga dirasakan oleh informan di Dinas Pertambangan, wawancara tgl 25-10-2012 Wawancara dengan informan Disbudpar, 22-10-2012
136
(1) Rencana induk pembangunan kepariwisataan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (2) Rencana induk pembangunan kepariwisataan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah provinsi. (3) Rencana induk pembangunan kepariwisataan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota. (4) Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan. (5) Rencana induk pembangunan kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi perencanaan pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan kelembagaan kepariwisataan. Ketika akan diusulkan menjadi Peraturan daerah dengan adanya perubahan undang-undang kepariwisataan, beberapa asumsi yang terdapat di dalam Rencana Induk Pembangunan Pariwisata yang ada ternyata banyak yang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi mutakhir1 . Untuk itu diperlukan review terhadap Rencana Induk tersebut yang baru dapat dianggarkan di tahun 2012. Namun dalam perkembangannya review ini tidak dapat dilaksanakan karena masalah lelang atau seleksi pihak ketiga yang akan melakukan pekerjaan dimaksud. Menurut informan Disbudpar, pemenang yang ditetapkan oleh Lembaga Unit Pelelangan (ULP) tidak memenuhi persyaratan minimal yang ditetapkan oleh pihak Disbudpar 2. “Kami tidak mau menerima pemenang lelangnya. Masak tenaga ahli yang kita persyaratkan minimal memiliki pengalaman kerja di bidang pariwisata selama empat tahun, tapi yang dimenangkan hanya punya pengalaman 18 bulan. Kan ga benar itu, jadi kami kembalikan lagi ke mereka. Sayangnya, waktu untuk melaksanakannya sudah tidak cukup lagi”
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang ditetapkan menjadi salah satu pilot proyek selain provinsi Gorontalo dan Nusa Tenggara Timur untuk Program Penguatan Peran Pemerintah Provinsi atau Provincial Government Streengthening 1 2
Menurut informan yang ada di Disbudpar, wawancara 22-10-2012. Wawancara dengan informan Disbudpar 22-10-2012.
137
Programme (PGSP) yang bekerjasama dengan UNDP di tahun 2012. Melalui program ini akan dikembangkan model penguatan pemeritahan di tingkat provinsi, khusus di Kepulauan Bangka Belitung dipilih sektor pariwisata dan pelayanan kesehatan sebagai model. Melalui kegiatan PGSP ini terdapat beberapa kegiatan yang berkaitan dengan penguatan perencanaan pariwisata di tingkat provinsi seperti pembuatan Rencana strategis (Renstra) Disbudpar yang melibatkan seluruh pegawai, pengembangan destinasi pariwisata, serta program pengembangan Desa Wisata. Rencana Induk yang telah ada dan seharusnya dijadikan sebagai panduan perencanaan berbagai kegiatan di Disbudpar, ternyata kurang dimanfaatkan sebagai acuan1. Perencanaan lebih sering melihat apa yang telah dilakukan di tahun sebelumnya dan mengantisipasi apa yang sedang dan menjadi trend ketika perencanaan kegiatan dibuat. Bahkan beberapa kegiatan merupakan hasil dari perintah atau arahan dari Gubernur yang mendapatkan masukan dari pihak ketiga seperti kegiatan Festival kembang Api, Jambore VW dan Pembentukan Kantor Promosi di luar daerah. Khusus kegiatan pembentukan kantor promosi walaupun telah dianggarkan dalam APBD di tahun 2010, namun tidak dapat dilaksanakan karena adanya perintah penundaan kegiatan dengan alasan adanya perubahan anggaran. Ketika anggaran sudah dinyatakan dapat dilakukan setelah adanya perubahan nilai, ternyata kegiatan tidak bisa lagi dilaksanakan karena untuk sewa gedung atau bangunan pihak-pihak ketiga yang dihubungi tidak mau jika hanya disewa beberapa bulan saja (tidak sampai satu tahun atau kurang dari 12 bulan).
1
Wawancara dengan informan Disbudpar 23-10-2012
138
Perencanaan yang tidak mengacu pada dokumen yang telah ada tersebut di samping belum mempunyai kekuatan hukum dari sisi yuridis, juga karena adanya asumsi-asumsi yang telah mengalami perubahan. Sedangkan Rencana Strategis SKPD tidak dijadikan acuan karena dianggap belum sempurna sebagai sebuah perencanaan strategis SKPD1. “Pembahasannya dulu tidak sempurna banyak yang tidak dilibatkan, akibatnya banyak kelemahan. Indikatornya saja banyak yang tidak pas, jadi kita tidak terlalu yakin tingkat kebenarannya sebagai dokumen rencana yang layak dijadikan acuan”.
Sementara itu di sisi lain kurangnya koordinasi dalam perencanaan anggaran seringkali membuat kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan seakan-akan “Dipaksa” menyesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Akibatnya capaian kegiatan tidak bisa dilakukan dengan baik, karena pelaksana kegiatan harus mencari jalan bagaimana menyiasati keterbatasan anggaran di satu pihak, dan mencoba mencapai target-target kinerja yang telah ditetapkan2. “Kami sering bingung melaksanakan kegiatan, tetapi karena sudah dijadikan kalender tahunan mau tidak mau harus tetap dilaksanakan. Pernah ada kegiatan festival yang pesertanya dari kabupaten/kota, tetapi ternyata tidak ada uang penginapan di anggarannya. Kan kasihan lihat anak-anak yang datang, padahal mereka datang dari pulau Belitung misalnya,”
Hal semacam ini terjadi karena koordinasi perencanaan Disbudpar dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang diketuai oleh Sekretaris Daerah,
1
Kurang baiknya kualitas Renstra yang ada, berdasarkan wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 23-10-2012. 2 Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 23-10-2012
139
wakil TAPD Kepala Bappeda, dengan sekretaris Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset daerah (PPKAD) tidak berjalan dengan baik1. “Mereka sering memangkas anggaran tanpa mengkonfirmasikan dulu dengan kami sehingga jadi masalah di kemudian hari. Pernah anggaran yang sudah disahkan tapi kemudian keluar surat yang menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan tertentu ditunda pelaksanaannya. Dan ketika keluar surat lagi bahwa kegiatan sudah bisa dilaksanakan, kegiatannya sudah tidak memungkinkan lagi dilakukan, karena waktu yang terbatas. Alasannya karena ada proyek multi years,”
Dari sisi mekanisme pembahasan kegiatan, terdapat beberapa kelemahan yang seharusnya tidak perlu terjadi pada sektor pariwisata yang secara jelas sudah dijadikan sebagai sektor unggulan. Dengan status sebagai sektor unggulan selayaknya pariwisata mendapatkan perhatian yang lebih memadai terutama dalam bentuk sinergi yang dapat dimulai pada saat perencanaan kegiatan-kegiatan berlangsung. Institusi perencana seperti Bappeda dan Disbudpar (dalam struktur organisasi Disbudpar terdapat Bidang Perencanaan yang dikepalai oleh seorang pejabat eselon 3 dan tiga orang Kepala Seksi eselon 4-pen) sendiri seyogyanya yang mengambil peran aktif untuk mensinergikan berbagai kegiatan SKPD ke arah dukungan terwujudnya Bangka Belitung sebagai destinasi unggulan. Perencanaan oleh pemerintah dalam pariwisata memainkan peran yang penting karena tanpa keterlibatan pemerintah maka perencanaan pariwisata akan dapat kehilangan kendali, tidak memiliki arah, serta kehilangan daya rekat antar elemen-elemen institusional perencana (Lickorish, 1988:70). Rencana induk atau RIPPDA itulah yang seharusnya merupakan contoh perencanaan yang dilakukan pemerintah. Di samping itu sinergi stakeholder dalam perencanaan yang meliputi 1
Wawancara dengan informan Disbudpar babel tanggal 23-10-2012
140
prakondisi perencanaan, perumusan rencana, serta implementasi dan evaluasi berpengaruh terhadap pelasanaan pembangunan kepariwisataan suatu daerah (Bahar, 2003:265). Bidang pemasaran merupakan titik lemah lainnya yang terlihat dalam koordinasi perencanaan pariwisata di Bangka Belitung. Hal tersebut dapat dilihat dari telah terlampauinya target wisatawan secara total seperti yang diarahkan dalam RIPDA sejak tahun 2009 lalu, namun belum ada rencana perubahan target jumlah wisatawan yang baru. Hal ini menyebabkan target capaian jumlah total wisatawan dalam tiga tahun terakhir sudah tercapai tanpa harus melakukan upaya berarti di Disbudpar1 Persoalan perencanaan pemasaran lainnya adalah bagaimana Disbudpar melihat konsep pemasaran pariwista sendiri. Pemasaran pariwisata (tourism marketing)
bersifat sangat kompleks jika dibandingkan dengan pemasaran
barang-barang lainnya. Perkembangan yang pesat dalam pariwisata yang berakibat pada berubahnya berbagai perkembangan baik dari sisi produk wisata maupun dari sisi target pasar menuntut kebutuhan akan metode bisnis pariwisata yang lebih responsif. Hal seperti ini antara lain menyebabkan pengadopsian dan penerapan konsep-konsep pemasaran pariwisata (Pitana & Diarta, 2009:152). Pengertian pemasaran seperti yang dikemukakan oleh Kotler, 1996 dalam Pitana & Diarta (2009:153). adalah : “A social and managerial process by which individusls and want through creating and exchanging products and value with others”. Sementara menurut British Chartered institute of Marketing , pemasaran adalah “ The manajement process responsible for identifying, anticipating, and 1
Dikatakan informan Disbudpar Babel, wawancara tanggal 24-10-2012: “Kami bisa mencapai target sambil tidur-tiduran”.
141
satisfying customers requirements profitably” .
Pemasaran pariwisata adalah suatu sistim
dan koordinasi yang harus
dilakukan sebagai kebijaksanaan bagi perusahaan –perusahaan kelompok industri pariwisata, baik milik swasta atau pemerintah, dalam ruang lingkup lokal, regional, nasional atau internasional untuk mencapai kepuasan wisatawan dengan memperoleh keuntungan yang wajar ( J. Krippendorf, dalam Yoeti, 2005:1-2) . Sementara itu menurut Salah Wahab dan kawan-kawan, pemasaran pariwisata adalah suatu proses manajemen yang dilaksanakan oleh organisasi pariwisata nasional atau perusahaan-perusahaan termasuk dalam kelompok industri pariwisata untuk melakukan identifikasi terhadap wisatawan yang sudah punya keinginan untuk melakukan perjalanan wisata dan wisatawan yang punya potensi akan melakukan perjalanan wisata dengan jalan melakukan komunikasi dengan mereka, mempengaruhi keinginan, kebutuhan, memotivasinya, terhadap apa yang disukai dan yang tidak disukainya, pada tingkat daerah-daerah lokal, regional, nasional ataupun internasional dengan menyediakan objek dan atraksi wisata agar wisatawan memperoleh kepuasan. Terdapat persamaan bahwa pemasaran merupakan suatu proses manajerial yang digunakan
untuk
melakukan
penilaian
permintaan
konsumen
dan
mengantisipasinya, dimana semangat yang menjadi muara dari semuanya adalah meletakan kebutuhan konsumen sebagai pangkal dari semua urusan organisasi pemasaran. Menurut Yoeti (2005:2) jika disimpulkan maka pemasaran pariwisata mencakup hal-hal sebagai berikut: Pertama: pemasaran pariwisata itu merupakan suatu proses manajemen yang dilakukan oleh organisasi pariwisata nasiaonal, dengan bekerjasama dengan organisasi pariwisata swasta, yang mewakili perusahaanperusahaan kelompok industri pariwisata. Kedua: melakukan identifikasi terhadap kelompok wisatawan yang sudah memiliki keinginan untuk melakukan perjalanan wisata (actual demand) dan kelompok wisatawan yang memiliki potensi akan melakukan
142
perjalanan wisata di waktu-waktu yang akan datang (potential demand). Ketiga: melakukan komunikasi dan mempengaruhi keinginan, kebutuhan, dan memotivasinya terhadap yang disukai atau tidak disukai mereka, baik pada tingkat lokal, regional , maupuan internasional. Keempat: menyediakan objek dan atraksi wisata sesuai dengan persepsi wisatawan sehingga mereka puas. Dengan memahami bahwa pariwisata merupakan
salah satu produk layanan
khusus yang mencakup beberapa hal yang perlu dilakukan secara baik apabila suatu usaha pariwisata ingin memaksimalkan potensinya untuk sukses, maka perhatian terhadap kegiatan pemasaran menjadi amat penting. Orientasi pemasaran yang sukses merupakan tugas dan tanggungjawab manajemen. Karena pemasaran merupakan penghubung antara produsen dan konsumen, hal tersebut artinya memerlukan tugas manajemen yang bersifat spesifik. Karenanya bagi penyedia produk dan layanan yang tidak memiliki komitmen yang jelas mengenai orientasi pemasarannya pada umumnya tidak akan memiliki fungsi pemasaran yang efektif. Menurut Kotler dan Lee (2007:12) pemasaran menjadi alat perencanaan yang tepat bagi instansi publik yang ingin memenuhi kebutuhan masyarakat dan memberikan nilai yang sesungguhnya. Perhatian utama pemasaran adalah menghasilkan keluaran yang memenuhi nilai pangsa pasar. Apabila pada sektor swasta kata kunci pemasarannya adalah nilai dan kepuasan pelanggan, maka pada sektor publik kata kuncinya adalah nilai dan kepuasan masyarakat. Perencanaan pemasaran pariwisata merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya mencapai tujuan dari kegiatan yang akan dilaksanakan. Perencanaan pemasaran akan berdampak kepada beberapa keuntungan manajeman berikut (Cooper 1999, dalam Pitane & Diarta, 2009: 166) ;
143
1. Menyediakan arah yang jelas dari kegiatan pemasaran berdasarkan pendekatan pemasaran dan kegiatan yang sistimatis dan tertulis. 1. Mengkordinasikan segala sumber daya yang dimiliki organisasi 2. Menetapkan target pencapaian yang dapat diukur . 3. Meminimalkan resiko melalui analisis lingkungan internal dan eksternal. 4. Memilih dan memilah cara pencapaian target dan tujuan dalam beragam segmen pasar. 5. Menyediakan rekam jejak mengenai kebijakan dan perencanaan pemasaran. 6. Memungkinkan organisasi berjalan dalam rencana jangka panjang sehingga rencana organisasi selalu berada pada posisi terbaik untuk mencapai tujuan masa depannya.
Untuk membangun strategi pemasaran yang solid Kertajaya dan Yuswohady (2005:12) menawarkan konsep yang disebut dengan Strategic Place Triangle yang menyangkut tiga hal kunci yaitu: pertama, Strategi yang mencakup Segmentasi-Tergeting-Positioning.
Kedua
adalah
Taktik
yang
mencakup
Diferensiasi-Marketing Mix-Selling.; dan ketiga, adalah Value yang mencakup Brand-Servis-Proses. Pada kenyataannya dalam hal pemasaran di sektor pariwisata di kepulauan Bangka Belitung belum berjalan sebagaimana yang disampaikan. Kelemahan menggarap pemasaran sudah teridentifikasi dari beberapa hal. Pertama, nomenklatur bidang yang menangani yang dinamakan Bidang Promosi, yang sebenarnya lebih sempit dari pada istilah pemasaran. Kedua, pejabat yang menangani promosi di Disbudpar sendiri menyatakan ketidaktahuannya terhadap wisatawan dari mana saja yang harusnya menjadi target upaya pemasaran atau promosi. Alasannya adalah sampai ketika penelitian dilakukan sang pejabat belum mengetahui karakteristik wisatawan, baik wisatawan nusantara atau mancanegara
144
yang mengunjungi Kepulauan Bangka Belitung1. Hal ini terjadi karena memang belum tersedia data hasil penelitian yang dapat menunjukan karakteristik wisatawan di Bangka Belitung. Sebagai akibatnya maka pemasaran pariwisata yang dilakukan selama ini belum terarah secara baik, mulai dari penentuan target pasar, cara berpromosi dan bahan promosi seperti apa yang harus disiapkan, serta kapan dan dimana harus berpromosi. Kendala lain, ketiadaan lembaga Badan Promosi di Kepulauan Bangka Belitung yang membuat pelaksanaan kebijakan pemasaran dan promosi belum berjalan baik. Keterpaduan cara berpromosi, dimana, kapan dan menggunakan alat atau sarana promosi yang bagaimana seperti diuraikan terdahulu, belum dilakukan dengan sinergi. Di tingkat provinsi misalnya tidak jelas bagaimana kebijakan promosi daerah diarahkan, termasuk di Disbudpar, yang berakibat pada SKPD mana saja yang mengikuti pameran di dalam dan luar negeri, bahan dan materi pamerannya sama saja, atau itu-itu saja. Demikian pula yang terjadi di antara kabupaten kota. Dengan alasan otonomi dan belum adanya pengaturan dan standarisasi pameran, maka pameran yang diikuti oleh kabupaten dan kota seringkali bersifat tumpang tindih dan pengulangan. Misalnya, dalam sebuah pameran pariwisata di sebuah gedung pameran, di Jakarta, peserta pameran pariwisata dari provinsi Kepulauan Bangka Belitung maupun dari kabupaten kota menampilkan produk yang sama saja di setiap stan seperti, getas, kletek, anyaman resam, pewter, terasi, dan tenun cual. Variasi tampilan produk dan paket wisata 1
Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 24-10-2012
145
juga belum banyak terlihat dalam berbagai pameran yang diikuti. Demikian pula bahan promosi seperti leaflet, peta wisata, booklet, cd dan dvd masih terkesan belum memperhatikan kualitas bahan dan desain yang membuat pengunjung pameran akan jadi tertarik untuk melihat, membaca dan memperhatikannya, yang pada akhirnya akan berkunjung ke Bangka Belitung. Hasil Nesparda 2012 menyatakan bahwa wisatawan yang datang ke Bangka Belitung memperoleh informasi terbanyak dari internet yaitu 27,50 persen, dari teman dan saudara 22,50 persen, 17,50 persen dari kantor pariwisata, 5,00 persen dari media cetak/koran dan majalah. Dengan demikian Disbudpar harus lebih serius membenahi fasilitas dunia maya yang berupa internet dan jejaring sosial baik situs, blog, face book maupun tweeter, terutama dalam desain promosi, bahasa dan strateginya. Sinerji dan keterlibatan SKPD lainnya seperti Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo), serta jaringan yang serupa di tingkat Kabupaten/kota, demikian pula pihak swasta (seperti PT Timah Tbk dan PT Koba Tin) dan masyarakat akan lebih memperbesar jaringan yang selama ini sudah tersedia. Dari keseluruhan koordinasi perencanaan maka merujuk pada apa yang dikemukakan oleh Agranoff dan Lindsay (dalam Alexander, 1995:139) bahwa agar koordinasi dapat berjalan dengan baik, maka terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan yaitu : 1) Recognition of the institutional-legal and organizational structural context, involving fragmented systems with jurisdictional overlaps; 2).Consciousness of the political nature of the tasks and the diffusion of power in the system “put politics up front”; 3).Addressing the technical elements with the problems with the assistance
146
of the specialists such as planners, community center directors and program heads, and dealing with the “nuts and bolts” of substantives issues; 4). A task orientation and clear focus on the problem at hand and mutual willingness to make adjustments to solve particular problem, rather thanhollow attemps to “work together” or more “pseudo-arenas” for interagency coordination such as joint boards, task forces, or requirements for coordinated or comprehensive planning. Langkah-langkah strategi dalam koordinasi perencanaan yang merupakan koordinasi antisipatif adalah; Pertama mengenali kedudukan organisasi terlebih dulu secara hukum dan kerangka struktur
dengan melibatkan system yang
berlaku. Kemudian yang kedua adalah kesadaran politik terhadap tugas dan difusi kekuasaan dalam system dengan mengedepankan politik.
Ketiga, menangani
unsur-unsur teknis yang terkait dengan masalah yang memerlukan keterlibatan keahlian seperti perencana, pengarah kemasyarakatan dan pimpinan program dalam mengatasi permasalahan yang bersifat substansial. Sementara itu keempat, berorientasi pada tugas dan fokus yang jelas untuk menyelesaikan masalah dengan tetap berpegang pada keinginan guna melakukan koordinasi antar instansi seperti pada kerjasama antar instansi, gugus tugas, dan perencanaan yang terkoordinasi dengan baik dan menyeluruh. Dengan menggunakan
pendekatan
keempat langkah seperti yang
disampaikan oleh Agranoff dan Lindsay (dalam Alexander, 1995:139) tadi maka sangat dirasakan bahwa koordinasi di bidang perencanaan pembangunan pariwisata yang terjadi antar SKPD belum terjadi dengan baik. Belum munculnya format kerjasama mulai dari keterpaduan rencana sampai ke dalam pelaksanaan program-program kepariwisataan di Kepulauan Bangka Belitung adalah contoh dari kelemahan dimaksud. Walaupun seharusnya perencanaan pembangunan
147
pariwisata yang ada menekankan pada aspek koordinasi untuk menyatupadukan berbagai rencana agar tidak terjadi tumpang tindih atau justru kekosongan dalam suatu bidang pekerjaan. Pada langkah pertama menurut
Agranoff dan Lindsay
(dalam
Alexander, 1995:139) misalnya, dimana diperlukan pengenalan kedudukan organisasi maka jika melihat struktur Dinas Kebudayaan dan pariwisata serta SK Gubernur Kepulauan Bangka Belitung (Nomor 188.44/299/III/2008) tentang Pembentukan Tim Percepatan Persiapan Visit Babel Archi 2010, tanggal 28 Mei 2008,
terdapat beberapa kelemahan mendasar. Pada SK Gubernur dimaksud
misalnya nomenklatur SKPD yang ditugaskan masih berdasarkan pada Peraturan Daerah yang lama sehingga sudah tidak sesuai lagi dengan Perda tentang organisasi yang baru. Sebagai cuntoh, Dinas yang menangani kewenangan Pariwisata yang dulunya bernama Dinas Perhubungan dan Pariwisata telah menjadi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Demikian pula dinas-dinas lainnya seperti Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi yang telah menjadi dua dinas masing-masing Dinas Perindustrian dan Perdagangan, serta Dinas Koperasi dan UMKM, Bahkan beberapa dinas dengan nomenklatur yang baru juga muncul yang selama ini belum pernah ada seperti Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Komunikasi dan Informatika, Badan Ketahanan Pangan, dan
Badan
Penanggulangan Bencana. Semua perubahan nomenklatur tersebut seharusnya membawa implikasi bagi disempurnakannya SK Gubernur menyangkut Tim Percepatan persiapan Visit Babel Archi 2919, karena akhirnya SKPD yang namanya tercantum di dalam SK Gubernur tersebut tidak merasa sebagai objek
148
dari Keputusan Gubernur dimaksud. Akibatnya SKPD tidak melaksanakan apa yang sudah diarahkan di dalam SK yang kemudian membuat tidak berjalannya arahan kegiatan seperti direncanakan. Dengan kondisi seperti itu maka peranan SK Gubernur yang tadinya diharapkan dapat memperkuat koordinasi antar SKPD yang terlibat menjadi kehilangan maknanya serta tidak mampu menjadi alat dalam mendorong percepatan yang diinginkan. Hal lain yang perlu dicermati pada pendekatan pertama berdasarkan pendapat Agranoff dan Linsay, adalah kondisi di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sendiri yang memiliki berbagai kelemahan dari sisi struktur dan nomenklatur organisasi. Padahal seperti diketahui bahwa struktur memegang peranan penting dalam upaya pencapaian tujuan organisasi serta ikut menentukan kapasitas organisasi (Drucker, Robbins dan Daft, dalam Tachjan, 2008: 89-90). Pentingnya
sebuah struktur organisasi
yang efektif dalam pengelolaan
kepariwisataan dan kebutuhan atas perencanaan yang terintegrasi secara berkesinambungan juga dikemukakan oleh Inskeep (1991) dalam Jamal dan Getz (1994:187). Kelemahan-kelemahan struktur tersebut terlihat dari: Pertama, tidak adanya unit kerja yang menangani kewenangan pengembangan destinasi yang berimplikasi pada tidak adanya bagian dalam organisasi yang menjalankan tanggungjawab di bidang destinasi, padahal destinasi merupakan prasyarat bagi adanya kegiatan pariwisata di suatu daerah. Kedua, kurang tepatnya nama Bidang Promosi dan Pemasaran, sebaiknya Bidang Pemasaran dan Promosi. Implikasi dari nomenklatur seperti ini berakibat pada tugas yang lebih luas dan strategis
149
yang seharusnya dilakukan oleh bidang. Misalnya perumusan kebijakan pemasaran
yang
terkadang hanya dimaknai sebagai strategi promosi saja.
Padahal seharusnya berada di tataran yang lebih tinggi, yaitu kebijakan pemasaran. Ketiga, adanya tumpang tindih pekerjaan antara Seksi di Bidang Perencanaan yaitu Seksi Monitoring dan Evaluasi dengan Seksi Pengendalian yang berakibat pada kurang efektifnya pengendalian. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 4.6.
Gambar 4.6. Struktur Organisasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
150
Jika dihubungkan dengan pendekatan kedua menurut Agranoff dan Lindsay dalam Alexander (1995:139) maka akibat dari tidak disempurnakannya SK Gubernur tersebut, serta
belum dilakukannya perbaikan struktur dan
nomenklatur di Disbudpar yang akan mempersulit pencapaian tujuan dan pelaksanaan tugas sehari-hari.akan membawa implikasi politis dimana kebijakan pembangunan pariwisata melalui program VBA 2010, serta membangun pariwisata sebagai sektor unggulan daerah yang sudah menjadi salah satu janji politis Gubernur tidak akan dapat berjalan dengan baik Pendekatan ketiga menurut Agranoff dan Lindsay (dalam Alexander, 1995:139) dapat dicermati pada kesiapan dan keterlibatan tenaga perencana, pengarah kemasyarakatan, dan pimpinan program yang selama ini belum ditangani dengan baik. Keterlibatan dan pembuatan kebijakan berskala besar dan luas seperti yang dilakukan di bidang kepariwisataan sesungguhnya memerlukan keahlian serta pendekatan
lintas sektor dan ilmu di samping kepariwisataan
sendiri seperti, tata ruang, psikologi, sosiologi, teknologi komunikasi, transportasi, arsitekur dan lain-lain. Hal semacam ini belum terlihat dalam konteks perencanaan yang dilakukan selama ini di Kepulauan Bangka Belitung. Sehubungan dengan betapa pentingnya koordinasi dalam perencanaan pariwisata ini, maka Jamal dan Getz (1994:186-187) menyatakan bahwa: The lack of coordination and cohesion within the highly fragmented tourism industry is a well-known problem to destination planners and managers. Gunn (1988) stated that continuous tourism planning must be integrated with all other planning for social and economic development, and could be modeled as an interactive system. He pointed out that "the 'go-it-alone' policies of many tourism sectors of the past are giving way
151
to stronger cooperation and collaboration . . . . No one business or government establishment can operate in isolation" (Gunn 1988:272). Inskeep (1991) has also pointed out the importance of an effective organizational structure for tourism management and the need for continuous, integrated planning. Achieving coordination among the government agencies, between the public and the private sector, and among private enterprises is a challenging task, however, and requires the development of new mechanisms and processes for incorporating the diverse elements of the tourism system.
Jika ditafsirkan maka apa yang disampaikan oleh Jamal dan Getz adalah sebagai kurangnya koordinasi dan kohesi dalam industri pariwisata yang sangat terfragmentasi merupakan masalah yang telah diketahui oleh para perencana dan pengelola destinasi. Gunn (1988) menyatakan bahwa, perencanaan pariwisata yang berkesinambungan harus terintegrasi dengan seluruh perencanaan lainnya di bidang pembangunan sosial dan ekonomi, dan dapat dijadikan model sebagai suatu sistem yang interaktif. Dia menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan dari banyak sektor pariwisata “Berjalan sendiri-sendiri” akan digantikan dengan kerjasama dan kolaborasi.....tidak ada bisnis atau usaha pemerintah yang dapat bekerja dalam isolasi (Gunn:1988:272). Inskeep (1991) juga menunjukan pentingnya sebuah struktur organisasi yang efektif dalam pengelolaan kepariwisataan dan kebutuhan atas perencanaan yang terintegrasi secara berkesinambungan. Untuk mencapai koordinasi antar berbagai lembaga pemerintah, antar sektor publik dan swasta, dan antara perusahaan-perusahaan swasta adalah sebuah tugas yang menantang, dan memerlukan pembangunan suatu mekanismemekanisme dan proses-proses baru untuk menyatukan berbagai elemen yang berbeda dari suatu sistem pariwisata.
152
Pendekatan terakhir atau keempat, menyangkut atau berorientasi pada tugas dan focus yang jelas untuk menyelesaikan masalah dengan melakukan koordinasi antar instansi ternyata juga belum berjalan dengan baik. Sampai saat penelitian dilakukan masih terkesan adanya kebijakan yang ambigu dari pemerintah daerah , yaitu di satu sisi ingin membangun pariwisata sebagai sektor unggulan, namun di sisi lain masih “membiarkan” adanya izin penambangan yang dikeluarkan di kawasan pariwisata atau di sekitar kawasan pariwisata. Kendala lainnya adalah karena masing-masing instansi masih terfokus pada tugas pokok dan kepentingannya sendiri. Untuk itu dibutuhkan seorang koordinator yang mau dan mampu mengarahkan berbagai kegiatan perencanaan pariwisata sehingga menjadi semakin terarah dan membuat sinergi antar sektor dan SKPD yang baik. Jika merujuk pada aturan yang ada maka fungsi koordinator tersebut dapat dimainkan oleh beberapa pejabat. Pertama, adalah pejabat tertinggi yang memegang fungsi koordinasi di provinsi yaitu Sekretaris Daerah. Kedua, adalah Kepala Bappeda yang bertanggung jawab membuat sinkronisasi perencanaan makro antar sektor dan SKPD. Ketiga, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang bertanggung jawab terhadap koordinasi perencanaan dalam kepentingan pariwisata di tingkat yang lebih mikro yaitu pada tataran internal kebudayaan dan pariwisata. Hal yang serupa juga dikemukakan oleh Gunn (2002:267) bahwa perencanaan pariwisata harus terintegrasi dengan perencanaan-perencanaan lainnya seperti perencanaan sosial dan pembangunan ekonomi, dan menjadi model perencanaan yang terintegrasi.
153
4.2.2. Strategi Koordinasi Pelaksanaan, Pemantauan, Umpan Balik dan Pengendalian 4.2.2.1. Strategi Koordinasi Pelaksanaan Upaya melakukan percepatan pembangunan sektor pariwisata di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
melibatkan kerjasama dan koordinasi antar
organisasi internal pemerintahan daerah di tingkat provinsi, pariwisata
sangat
memerlukan
keterlibatan
sektor-sektor
bahwa sektor lainnya
dalam
membangun berbagai destinasi atau objek pariwisata. Karena itu bagaimana keterkaitan koordinasi yang diperlukan dengan SKPD dimaksud dapat dilihat dari uraian menyangkut pelaksanaan strategi koordinasi yang terjadi di tiga SKPD di bawah ini yaitu Dinas Pertambangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Dinas Perhubungan.
4.2.2.1.1. Dinas Pertambangan dan Energi Sektor
pertambangan,
sangat
diperlukan
keterlibatannya
dalam
pembangunan pariwisata, karena sejak lama Kepulauan Bangka Belitung telah menjadi kawasan pertambangan sehingga tidak saja menguasai lahan yang cukup luas tetapi juga karena pertambangan telah sangat membudaya di sebagian besar masyarakat
Kepulauan
Bangka
Belitung.
Luasnya
cakupan
kawasan
pertambangan yang terhampar tidak saja di darat tetapi juga di laut telah membawa persoalan tersendiri dalam pengembangan pariwisata. Adanya duplikasi
154
kawasan antara pertambangan dan pariwisata menyebabkan kedua sektor ini mengalami kesulitan untuk bekerja secara optimal. Sebuah pertanyaan besar bahkan seringkali muncul ke permukaan manakala membicarakan pembangunan pariwisata di Bangka Belitung adalah, apakah mungkin menjadikan kawasan tambang menjadi sebuah destinasi pariwisata? Guna menjawab pertanyaan tersebut jika merujuk pada beberapa pengalaman sejumlah tempat yang pernah menjadi lokasi pertambangan tetapi kemudian dijadikan sebagai kawasan pariwisata maka ada beberapa pengalaman yang dapat dijadikan rujukan. Kota-kota berikut misalnya dikembangkan dari kota tambang menjadi kota wisata seperti yang terjadi di Kellogg, Idaho, (USA); Kolari, Laplane, (Finland); Saint Etienne, Rhode Alpes, (France); dan di Yubari, Hokaido, (Japan) (Budiati, 2011:6-9). Selain itu beberapa lokasi bekas penambangan timah di Malaysia dan Thailand, sekarang sudah dikembangkan menjadi kawasan pariwisata seperti yang terlihat pada kawasan Patra jaya yang saat ini merupakan lokasi perkantoran perdana mentri Malaysia. Demikian pula yang terjadi di dalam negeri, Kota Sawahlunto, di Sumatera Barat.
Kota
Sawahlunto yang sudah ditinggalkan sebagai lokasi pertambangan batubara di Ombilin sejak 1888 oleh Belanda, kemudian atas inisiatif pemerintah kotanya dijadikan kota wisata tambang1. Perbedaan Kepulauan Bangka Belitung dengan kota-kota yang disebutkan tadi adalah terletak pada masih dipergunakannya kawasan tersebut sebagai kawasan pertambangan atau tidak. Jika di Patrajaya Malaysia, kawasan yang ada
1
www.sawahluntokota.go.id, diunduh tanggal 11-09-2012.
155
telah benar-benar ditinggalkan sebagai kawasan pertambangan, demikian pula yang terjadi di Sawahlunto, maka yang terjadi di Bangka Belitung adalah sebagian besar kawasan pertambangan tersebut masih dipergunakan sebagai lokasi pertambangan. Hal ini dimungkinkan terjadi karena teknologi pertambangan timah di masa lalu masih memungkinkan tersisanya biji timah yang cukup memadai secara ekonomis untuk ditambang lagi, karena itu maka di banyak tempat yang telah ditambang dan semula telah ditinggalkan, bahkan sudah diadakan upaya reklamasi dan penghijauan, ternyata kemudian ditambang kembali. Kondisi seperti ini terjadi karena beberapa faktor seperti, dicabutnya aturan bahan tambang timah sebagai barang strategis, serta munculnya otonomi daerah. Berdasarkan deregulasi yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan dan Industri yaitu masing-masing
(Nomor 558 tahun 1998 dan 146/1999) (Far
Earstern Economic Review 2001, dalam Erman: 2009:259, dan Sujitno:2007:289). Keluarnya deregulasi ini difahami oleh pemerintah daerah dan masyarakat sebagai telah berakhirnya timah sebagai komoditas strategis
yang diawasi oleh
pemerintah pusat. Yang selama ini di Kepulauan Bangka Belitung hanya dikelola oleh PT Timah dan PT Koba Tiin saja. Dengan semangat otonomi setelah keluarnya Undang-undang, kemudian daerah mengeluarkan
Peraturan Daerah Kabupaten Bangka (Nomor 2 tahun
2001) mengenai Izin Ekspor Pasir Timah dan Izin Penambangan Timah oleh penduduk lokal, dan Peraturan Daerah
(Nomor 6 tahun 2001) tentang
Pengelolaan Pertambangan Umum (Erman, 2009:259 dan Maulana, 2012:23). Hal
156
inilah yang kemudian menimbulkan pro dan kontra dalam pertambangan rakyat serta merebaknya penambangan timah baik legal maupun ilegal oleh masyarakat. Dengan Perda itu pula maka monopoli pengusahaan mineral timah yang sejak lama dipegang oleh negara melalui PT Timah dan PT Koba Tin berakhir. Dampak positif dari adanya Perda tersebut adalah munculnya 21 perusahaan tambang lokal yang mendapatkan izin dari bupati atau walikota pada tahun 2002 dan mempekerjakan 130.000 penambang Tambang Inkonvensional (TI). Jumlah ini meningkat menjadi 400% menjelang tahun 2004 (Erman, 2009:260). Demikian pula peningkatan yang terjadi dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang diinvestasikan dalam bentuk pembangunan fasilitas pendidikan di beberapa kecamatan (Maulana, 2012:23). Dampak negatifnya adalah kerusakan lingkungan yang semakin parah akibat penambangan timah yang sporadis dan masive di era awal otonomi daerah tersebut. Tidaklah mengherankan apabila beberapa kawasan yang tadinya sudah dinyatakan sebagai kawasan yang tidak lagi ditambang, dalam perjalanannya kemudian ternyata kembali diusahakan sebagai daerah pertambangan baik secara legal maupun tidak. Hal tersebut dapat dilihat misalnya pada kawasan yang berada di pinggir jalan raya antara Sungailiat-Pangkalpinang, di dekat lokasi sumber air baku PDAM di kecamatan Merawang, yang semula sudah ditanami dengan tanaman penghijauan seperti acasia mangium, ternyata kembali ditambang oleh masyarakat. Peristiwa ini bahkan sempat mengganggu operasional PDAM Tirta Bangka yang mengambil air baku di danau bekas penambangan (kolong) di sekitar lokasi. Akibat penambangan kembali kawasan yang tidak terkendali
157
tersebut mengakibatkan limbah buangan tambang langsung mengalir ke kolong yang menyebabkan airnya menjadi sangat keruh dan mengganggu pelayanan air bersih untuk kota Sungailiat. Demikian pula dengan yang terjadi di kawasan pantai Rebo di Sungailliat Kabupaten Bangka. Pantai yang semula merupakan Tapak Kawasan Pariwisata seluas 199 hektar telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bangka (Nomor 04 Tahun 1991) (Megawandi, 1999:67). Sampai saat ini peraturan daerah dimaksud belum dicabut, tetapi.kemudian di sekitar kawasan tersebut dijadikan sebagai kawasan pertambangan. Pengembangan kawasan pariwisata di pantai Rebo tersebut sempat dilakukan pemerintah Kabupaten Bangka berupa pembangunan shelter, permainan anak-anak dan beberapa bangunan. Di awal tahun 2000an kawasan tersebut ternyata telah ditambang kembali oleh masyarakat sehingga menyebabkan fasilitas pariwisata yang telah dibangun menjadi rusak dan sulit untuk difungsikan kembali. Penambangan kembali kawasan pariwisata di pantai Rebo telah menyebabkan lobang-lobang di banyak tempat serta kerusakan kawasan yang cukup parah, bahkan beberapa bangunan yang semula diperuntukan sebagai fasilitas pariwisata telah berubah fungsi menjadi seperti tampat tinggal sementara para penambang. Pada tahun 2010 pemerintah daerah kabupaten Bangka dengan dana APBN membuat perencanaan kawasan ini dengan Detail Engineering Desain (DED), akan tetapi sampai saat ini belum dimulai kegiatan pembangunannya. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Bangka, untuk pengembangan kawasan pantai Rebo diperlukan investor karena memerlukan
158
biaya pembangunan yang cukup besar, dan pemerintah daerah tidak akan mampu mendanainya. Namun hal lain yang juga menjadi pertimbangan belum dibangunnya pariwisata di sana adalah masih adanya potensi biji timah di kawasan pantai Rebo yang akan membuat masuknya kepentingan berbagai pihak yang akan diuntungkan oleh pertambangan timah di daerah tersebut. Kawasan pantai Rebo merupakan contuh penggunaan ruang yang kemudian menimbulkan konflik yang cukup serius karena kawasan ini ternyata juga sejak lama menjadi tempat nelayan di sekitarnya untuk berlabuh dan menambatkan perahu (Kurniawan, 2012). Terakhir para nelayan di kawasan pantai Rebo melakukan penolakan terhadap penambangan timah di laut yang dilakukan. Penolakan terhadap pertambangan timah di kawasan ini yang akan dilakukan perwakilan nelayan dengan secara simbolik memberikan uang Rp 300 ribu rupiah kepada perwakilan manajemen perusahaan pertambangan 1. Sebelumnya di 24 April 2012, sejumlah pemerhati lingkungan, nelayan dan pelaku wisata mendesak pemerintah daerah agar segera membatasi penambangan timah lepas pantai. Menurut salah seorang koordinator Komunitas Bangka Belitung Cinta Laut (KBBCL), Bambang Patijaya, tidak adanya pembatasan penambangan timah lepas pantai itu telah menyebabkan kerusakan laut di kawasan wisata dan tangkapan nelayan rusak parah2. Menurut nelayan di pantai Rebo, Adi (35), hasil tangkapan mereka telah berkurang 60 persen dibandingkan dengan lima tahun lalu. Jika dulu terdapat sekitar 25 terumbu yang jadi tempat nelayan biasa memancing, maka sekarang hanya tinggal 6 terumbu karang saja. Hal senada juga dikemukakan oleh 1 2
Harian Bangka pos, tanggal 02-11-2012. Kompas.com diunduh tanggal 15 -11- 2012.
159
peneliti dari Universitas Bangka Belitung (UBB), Indra Ambalika, yang menyatakan bahwa kerusakan terumbu karang di pulau Bangka 22, 22 persen sampai 83,33 persen. Teknologi penambangan timah lepas pantai selama ini mengandalkan pada teknologi Kapal keruk mangkok (bucket ladder dredge) yang sudah diterapkan sejak awal abad 20. dengan kedalaman pengerukan 50 meter saja. Di akhir 80an Thailand sudah meninggalkan penggunaan kapal semacam ini sehingga praktis sejak saat itu hanya Indonesia yang mengembangkan teknologi Kapal keruk di dunia (Sujitno, 2007:302). Teknologi lain yang juga digunakan adalah yang sering dipakai
oleh
masyarakat
yang
sering
disebut
dengan
penambangan
Inkonvensional (TI) dan sering juga dikonotasikan sebagai tambang ilegal (Erwan, 2009, dan Sujitno, 2007). Teknologinya dengan menggunakan peralatan sederhana seperti dulang, pompa kecil, dan palong mini. Untuk beroperasi di laut maka peralatan-peralatan tersebut di letakan di atas perahu atau ponton yang terbuat dari drum-drum yang terbuat dari plastik. Jenis atau cara penambangan di laut yang lainnya adalah dengan teknologi Kapal Isap (KI). Kapal ini juga digunakan dalam penggalian timah di lepas pantai, bahkan kapal jenis ini yang paling banyak beropera di laut sekitar pulau Bangka saat ini jika dibandingkan dengan kapal keruk. Kapal isap atau cutter section adalah kapal pemotong lapisan tanah menggunakan pisau putar. Hasil hancuran tanah tersebut dihisap dan melalui pipa dialirkan ke suatu tempat yang ditentukan (Sujitno, 2007:326). Kapal-kapal jenis ini kebanyakan diproduksi di Thailand dengan ukuran mencapai 80 meter panjang dan 18 meter lebar. Para pegawainya pun kebanyakan didatangkan dari
160
Thailand dengan jumlah pekerja 14-18 orang setiap kapal. Menurut informan salah seorang pekerja asal Thailand yang sempat menamatkan kuliahnya di Bandung, para pekerja tersebut berada di kapal sekitar 3 bulan dengan masa libur selama 18 hari1. Menurut informan ini, pengusaha pemilik kapal isap tempatnya bekerja, yang juga menjadi pemilik sebuah perusahaan penerbangan cukup terkenal ini memiliki sekitar 18 kapal isap yang beroperasi di sekitar pulau Bangka. Contoh yang paling nyata
tentang kondisi kerusakan kawasan pantai
lainnya yang sering dipergunakan oleh masyarakat untuk berwisata bahkan lokasinya telah ditetapkan sebagai pantai pariwisata atau kawasan pariwisata yang ternyata berdekatan dengan lokasi kawasan pertambangan misalnya kawasan pariwisata pantai Parai Tenggiri dan pantai Tanjung Pesona. Peraturan daerah Kabupaten Bangka (Nomor 01 tahun 1985), misalnya telah menetapkan bahwa seluas 800 hektar di pantai Matras dan Parai Tenggiri adalah merupakan Tapak Kawasan Wisata. Begitu juga 110 hektar di pantai Tanjung Belayar yang terletak diantara pantai Parai dan Matras yang diatur dengan perda (Nomor 04 tahun 1992). 25 hektar di pantai Teluk Uber dengan Perda (Nomor 15 tahun 1989) (Megawandi, 1999:67). Baik pantai Parai Tenggiri, maupun Tanjung Pesona, sebenarnya merupakan
resort dengan berbagai fasilitas yang cukup terkenal
bahkan menjadi icon di Kepulauan Bangka Belitung. Namun demikian
1
Wawancara dengan pekerja Kapal Isap , warga negara Thailand di bandara Soekarno Hatta, tanggal 12-11-2012.
161
dikeluarkannya izin penambangan di lepas pantai sekitar lokasi pariwisata ini telah menyebabkan menurunnya kualitas air di kawasan tersebut1. “ Saya tak habis pikir kenapa bisa sampai begini. Tamu kami pernah komplin dan check out malam hari gara-gara kapal isap yang beroperasi depan hotel kami. Mereka bahkan minta pengembalian uang sewa hotel yang sudah mereka bayarkan. dan itu terjadi bukan hanya sekali”.
Kewenangan pemberian izin pertambangan sampai dengan 4 mil ke arah laut tersebut menurut informan di (DISTAMBEN) Provinsi
Dinas Pertambangan dan Energi
Kepulauan Bangka Belitung berada di pemerintah
Kabupaten atau bupati Bangka. Di samping itu, penambangan timah kebanyakan telah hadir lebih dulu di lokasi-lokasi yang ada sebelum dijadikan kawasan pariwisata. Karena itu pihaknya tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah berlangsungnya penambangan di dekat lokasi pariwisata. "Adanya duplikasi lokasi penambangan dengan pariwisata karena secara historis timah ini sudah sejak lama ditambang di Babel. KP (Kawasan Penambangan-pen) Timah sudah sejak jaman Belanda, Babel ini masuk jalur timah Tin belt. Dan penambangan itu dilakukan dimana-mana tidak cuma di darat dilaut juga. Jadi lokasi-lokasi penambangan itu sudah lebih dahulu ada. Di kementrian juga berusaha menyelesaikan itu. Tapi ini juga perlu dikoordinasikan agar jangan main tabrak saja. Ada batasan-batasan yang perlu disepakati. Tetapi tambang kan sudah lama jadi keberadaannya sudah harus juga dipertimbangkan lagi. Pariwisata ini adalah masa depan, dan strategis, dan menjanjikan secara ekonomis. Pertambangan sendiri sebenarnya secara ekonomi sudah turun dari 22% menjadi 16 %, sedangkan jasa-jasa meningkat, pariwisata ada di jasa-jasa itu. Coba lihat di PDRB". Salah satu upaya yang mungkin dapat mengurangi adanya tumpang tindih wilayah atau berdekatannya daerah penambangan dengan pariwisata tersebut menurut informan di Distamben adalah dengan memasukan peruntukan kawasan
1
Wawancara dengan pelaku pariwisata di Babel, tanggal 22-11-12.
162
di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ketika wawancara berlangsung sedang dibahas finalisasinya di DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Usul tersebut memang sekilas cukup melegakan, namun demikian upaya inipun tidak semuanya dapat mengeliminir permasalahan duplikasi kawasan, karena pembahasan RTRW yang sekarang sedang berlangsung hanyalah membahas tata ruang wilayah darat seperti yang diatur dalam Undang-undang Tata Ruang (Nomor 26 tahun 2007). Karenanya konflik kepentingan antara kawasan pertambangan dan pariwisata hanya mungkin diminimalkan apabila memang terdapat keinginan yang cukup kuat dari Kepala Daerah, baik Bupati, Walikota, atau pun Gubernur. Persoalannya jadi tidak sederhana karena perizinan pertambangan timah beserta kegiatan hilirnya ternyata memiliki kaitan yang cukup erat bahkan sangat erat dengan kepentingan para elit baik politik maupun ekonomi, perorangan maupun kelompok yang ada di Kepulauan Bangka Belitung (Erwan, 2009). Jalan keluar lainnya adalah seperti yang disampaikan oleh informan di Dinas Pertambangan Kabupaten Bangka bisa saja dilakukan seperti yang pernah dilaksanakan di Phuket Thailand. Caranya adalah dengan mengajak bertemu semua unsur yang mewakili kepentingan di kawasan yang diperkirakan akan tumpang tindih tersebut. Dalam kesempatan itu bisa disampaikan perkiraan kandungan biji timah yang ada serta bagaimana membagi pendapatan yang akan
163
diperoleh tersebut. Di sisi lain penambangan di kawasan dilakukan dengan batas waktu tertentu sehingga benar-benar dapat berlangsung secara optimal 1. "Sebagai contoh misalnya kawasan pantai Rebo dan sekitarnya itu potensinya sangat menjanjikan. Satu kali musim penambangan, disana bisa didapat uang sekitar dua trilyun (rupiah-pen). Dengan demikian bisa disepakati berapa lama cadangan timah yang ada dapat diambil, dengan perhitungan jumlah armada dan teknik penambangan yang efektif. Setelah itu pendapatan yang diperoleh disepakati bagiannya dan untuk kepentingan pihak mana saja. Termasuk untuk pemulihan lingkungan dan pemda, serta masyarakat nelayan di sekitar lokasi".
Konflik antara pihak yang pro dan kontra terhadap penambangan timah di lepas pantai berlangsung cukup menonjol di pulau Belitung. Kelompok yang kontra dengan pertambangan timah di lepas pantai yang didukung oleh para pegiat lingkungan dan pelaku pariwisata di pulau Belitung di berbagai kesempatan menyampaikan argumentasi mereka menolak tambang lepas pantai. Alasan utamanya adalah kekhawatiran mereka bahwa keindahan alam terutama keindahan bawah laut di sekitar pulau Belitung akan terganggu. Padahal pariwisata Belitung yang terdongkrak dengan adanya gerakan pemerintah daerah dengan program Visit Bangka Belitung 2010, serta meledaknya pamor pulau Belitung karena tetralogi novel Laskar Pelangi beserta filmnya yang mengambil latar cerita di pulau Belitung. Film dan novel Laskar pelangi mencatat berbagai pencapaian dalam dunia penulisan dan perfilman Indonesia. Sementara itu pihak yang pro dengan penambangan timah di laut yang dipelopori Bupati Belitung dan Belitung Timur, berargumen bahwa eksplorasi timah di laut yang telah disetujuinya tidak mungkin dihentikan.
1
"Eksplorasi
Wawancara dengan informan Dinas Pertambangan Kabupaten Bangka 16-11- 2012 di Sungailiat.
164
penting untuk pemetaan sumber daya. Ini berguna jika Indonesia menghadapi masa sulit. Jangan sampai kita mati di lumbung,"1. Di dalam berbagai kesempatan kedua bupati di pulau Belitung, yaitu bupati Belitung dan bupati Belitung Timur selalu menyampaikan ide mereka untuk tetap melaksanakan penambangan timah lepas pantai untuk memperoleh sebesar-besarnya manfaat dari kandungan timah yang ada di satu sisi dan berusaha mengeliminir dampak lingkungan yang mungkin terjadi. Puncak penolakan oleh pihak yang kontra dengan rencana penambangan timah di laut ini kemudian diperlihatkan dengan adanya unjuk rasa damai yang dilakukan oleh para pelaku pariwisata Belitung, pencinta lingkungan, nelayan dan masyarakat. Unjukrasa yang melibatkan ribuan orang tersebut berlangsung secara damai di kantor bupati Belitung yang diwakili sekretaris daerah 28 Oktober 2012. Para pengunjuk rasa menuntut agar bupati menandatangani surat pembatalan rencana penambangan timah lepas pantai..Meskipun surat ditandatangani oleh Bupati Belitung namun implementasinya masih diragukan banyak pihak 2. Strategi koordinasi yang selama ini terjadi berkaitan dengan sektor pertambangan dan pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung adalah mencoba melakukan pendekatan
Cooperative
yang terkesan malah melakukan sikap
pembiaran terhadap kejadian yang ada seperti penambangan di kawasan wisata 3. Hal tersebut antara lain diperlihatkan dengan melakukan himbauan di media massa, yang pada gilirannya diharapkan mampu menyadarkan masyarakat bahwa jika pariwisata yang dikedepankan maka sumber daya alam akan lebih dapat 1
Bupati Belitung ; Kompas 5-11-2012. Kompas 5-11-2012. 3 Wawancara dengan informan di Disbudpar Babel, tanggal 22-11-2012. 2
165
dimanfaatkan dalam jangka panjang. Pendekatan mengedepankan informasi yang dilakukan selama ini belum berpengaruh banyak kepada masyarakat dan pengusaha tambang.
Tidak terjadinya pengaruh yang signifikan tersebut
dikarenakan pengendalian di lapangan yang tidak efektif, serta tuntutan ekonomi dimana masyarakat lebih mencari peghasilan dan pendapatan yang lebih cepat (instan) dan lebih banyak, yang selama ini sulit mereka peroleh dengan cara bertani atau menjadi nelayan. Pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sendiri selama ini
terkesan lebih menyukai tindakan yang menghindari konflik.
Misalnya, dalam pro kontra soal pertambangan timah di laut, tidak pernah atau sangat jarang adanya komentar atau keberatan yang diajukan. Demikian pula dalam penanganan adanya keluhan dari para pengusaha pariwisata yang merasa terganggu atas kehadiran sejumlah Kapal Isap di kawasan wisata, Disbudpar bersikap pasif dan kurang memberikan perlindungan. Sikap seperti ini justru membuat para penambang lebih leluasa karena merasa “mendapat angin” berupa sikap pembiaran dari Disbudpar. Adanya kekhawatiran bahwa sejumlah “Petinggi”
di
Kabupaten/Kota
maupun
provinsi
diindikasikan memiliki
keterkaitan dalam perizinan, yang apabila di komentari dan diserang secara frontal akan menimbulkan hubungan negatif dengan pejabat bersangkutan, termasuk munculnya masalah-masalah di belakang hari baik secara politis, maupun administratif1. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata seharusnya merupakan pihak pertama yang menyatakan dengan tegas menolak atau mengajukan keberatan jika kegiatan
1
Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 22-11- 2012.
166
penambangan sudah memasuki atau mengganggu kawasan pariwisata. Dengan demikian maka seharusnya strategi koordinasi yang dipilih adalah strategi Kontrol, yang perlu ditegaskan
akan adanya sanksi dan ancaman hukuman
terhadap kegiatan yang merusak kawasan pariwisata, seperti yang telah diatur dalam pasal 65 Undang-undang (Nomor 10 Tahun 2009). Penegasan tersebut dapat pula dilakukan dengan menyampaikannya ke Distamben di samping ke media massa, agar dapat memperoleh keselarasan tindakan SKPD yang menangani secara teknis. Di tengah situasi tarik menarik kepentingan pertambangan dan pariwisata itu masih terdapat adanya harapan akan lebih diperhatikannya kepentingan kepariwisataan yang berasal dari Distamben provinsi. Untuk membantu upaya pengembangan pariwisata di daerah, Distamben merasa selama ini telah berusaha untuk ikut berpartisipasi di dalam pengembangan pariwisata1. " Peranan dinas pertambangan kepada pariwisata misalnya dalam bentuk menyampaikan hasil-hasil penelitian potensi yang ada seperti sumber air panas yang dapat digunakan juga sebagai objek wisata. Beberapa calon investor pertambangan baik dari luar negeri dan dari dalam negeri kami ajak ke lokasi air panas, ada yang dari Cina dan Perancis. Ada 9 titik air panas di Bangka. Air panas di sini cukup unik karena tidak mengandung belerang, jadi tidak bau samasekali". Upaya lain yang dilakukan oleh dinas Pertambangan adalah dengan mengundang berbagai pihak untuk melakukan kegiatan seminar, rapat, dan kunjungan ke Bangka Belitung. Untuk koordinasi dengan pihak-pihak terkait pariwisata diakui oleh informan di Distamben Provinsi masih tergolong rendah yang dapat dilihat dari
1
Wawancara dengan informan Distamben Babel tanggal 25-10-2012.
167
jarangnya pembahasan tentang kepariwisataan tersebut yang melibatkan pihak dinas pertambangan 1. "Selama ini kami mencoba mencari informasi sendiri mengenai langkahlangkah yang dilakukan di bidang pariwisata, tetapi setelah pembahasan perda tata ruang barulah terasa betul bagaimana kita juga perlu memikirkan kepentingan pariwisata, terutama yang ada kaitannya dengan pertambangan".
Sampai saat penelitian ini dilakukan kegiatan penambangan timah di laut yang berdekatan dengan lokasi pariwisata terkemuka di Kabupaten Bangka yaitu di pantai Parai Tenggiri dan pantai Tanjung Pesona sedang tidak berlangsung, setidaknya yang dilakukan oleh Kapal Isap, yang biasanya beroperasi di dekat kedua pantai tersebut. Tetapi beberapa tambang inkonvensional terapung tampak masih terlihat di beberapa lokasi2. Penghentian bersifat sementara karena saat ini pihak pemkab Bangka meminta para pengusaha mencari teknologi penambangan yang dapat meminimalkan kerusakan lingkungan 3. "Teknologi pertambangan lepas pantai itu adalah yang tidak secara langsung membuang tailingnya ke laut. Itu artinya penambang harus menyediakan semacam tongkang besar dan membawa bahan galiannya ke luar kawasan penambangan untuk memprosesnya. Sebelum itu ditemukan teknologinya maka penambangan timah di lokasi itu belum diizinkan". 4
Masalahnya adalah pemberhentian sementara tersebut menurut informan hanya bersifat kesepakatan saja, dan belum ada kebijakannya secara tertulis. Dengan begitu apabila salah satu pihak melanggarnya akan sulit mengambil tindakan. Di tambah lagi masa pemerintahan bupati Bangka sudah memasuki 1
Wawancara dengan informan Distamben Babel tanggal 25-10-2012. Menurut informan di Dinas Pertambangan Kabupaten Bangka , wawancara tgl 17-11-2012. 3 Wawancara dengan Informan Dinas Pertambangan Kabupaten Bangka, tgl 17-11-2012. 2
168
tahun terakhir. Artinya, apabila bupati patahana tidak terpilih kembali, maka tidak ada jaminan bahwa pertambangan di lepas pantai itu akan berhenti baik dalam jangka waktu sementara maupun permanen.
4.2.2.1.2. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Koordinasi dengan SKPD lainnya adalah dengan Dinas Perindustrian Perdagangan (Perindag) provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Salah satu peran sektor perindustrian dan perdagangan yang diharapkan dapat mendukung pembangunan pariwisata daerah adalah menyediakan produk-produk lokal menarik yang memiliki nuansa daerah antara lain dari bahan, desain dan cara pembuatan. Dalam slogan pariwisata Indonesia yang dipopulerkan oleh pemerintah sejak menteri pariwisata Susilo Sudarman .adalah apa yang disebut dengan Sapta Pesona, yaitu Aman, Tertib, Bersih, Sejuk, Indah, Ramah tamah dan Kenangan. Keluhan yang masih dirasakan selama ini ialah belum terlalu banyak produk lokal khas Bangka Belitung yang mendukung pariwisata, walau pun sudah tersedia sejumlah toko cindramata atau toko oleh-oleh seperti yang terdapat di beberapa lokasi di kota Pangkalpinang dan Tanjungpandan. Toko-toko cindramata yang ada biasanya hanya toko yang menjual panganan khas Bangka Belitung seperti yang terdapat di sekitar jalan Sudirman Pangkalpinang atau toko-toko yang berada di sekitar Tugu Batu Satam yang terdapat di kota Tanjungpandan. Menurut wisatawan, produk yang ada sama dengan yang terdapat di daerah pariwisata pantai lainnya produk seperti kerang-kerangan dan sejenisnya, tapi harga yang ada
169
di Bangka Belitung relatif lebih mahal 1. Hal tersebut menyebabkan kurang menariknya cindramata yang ada di samping keunikannya yang kurang. Disperindag provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebenarnya telah menjalankan program pengembangan produk yang terdiri dari produk pangan dan kerajinan2. Khusus untuk kerajinan pihak Disperindag mendorong munculnya produk potensial daerah dengan berbasis pada bahan baku lokal seperti produk hasil laut dan produk berbasis bahan baku timah. Namun demikian hambatan yang dialami ada beberapa hal sehingga berakibat pada lambannya produk industri yang ada untuk dapat berkembang, yang juga menjadi kendala dalam mendukung pariwisata, seperti masih rendahnya anggaran; minimnya dukungan pusat-pusat promosi; lemahnya desain produk; lambannya alih teknologi; serta belum berubahnya mindset pelaku yang terkait3. Rendahnya anggaran terlihat dari hanya terakomodirnya 20-25%
saja
usulan kegiatan yang diajukan oleh dinas. Kondisi seperti ini menyebabkan terjadinya penundaan terhadap kegiatan yang semestinya dapat dilakukan dengan lebih cepat dan mencakup wilayah yang lebih luas. Karena masalah ketersediaan anggaran ini maka peserta pelatihan yang dilibatkan biasanya menjadi terbatas, demikian pula jangka waktu yang dipergunakan seringkali dipersingkat yang menyebabkan kurang optimalnya capaian kegiatan. Minimnya dukungan pusat-pusat promosi dilihat dari masih sedikitnya tempat promosi. Sampai saat ini pusat promosi baru ada di tingkat kabupaten/ kota saja, seperti yang terdapat pada galery UMKM di Tanjungpandan kabupaten 1
Wawancara dengan PH wisatawan di Bangka, 22 – 11- 2012 Wawancara dengan informan di Dinas Perindag Babel, tanggal 1 -11- 2012. 3 Wawancara dengan informan di Dinas Perindag Babel, tanggal 1 -11- 2012. 2
170
Belitung. Untuk tingkat provinsi, sampai saat ini baru berupa wacana dalam bentuk usulan pembuatan DED bangunan gedung promosi yang diusulkan terletak di pusat kota Pangkalpinang, di dekat rumah dinas walikota. Lambannya alih teknologi dapat dilihat dari kurang berkembangnya produk-produk yang berbasis bahan baku yang justru seharusnya berkembang dan menjadi andalan yaitu timah seperti industri pewter. Industri ini sudah sejak puluhan tahun ada di Pulau Bangka, akan tetapi belum mampu berkembang sehingga menjadi andalan produk lokal. Salah satu kendala yang dihadapi ialah belum berkembangnya desain produk dan teknik cara pengolahan pewter, sejak puluhan tahun lalu produk yang sama dengan teknik yang juga sama masih terus diproduksi. Sebagai pembanding dapat dilihat bagaimana berkembangnya produk sejenis yang terdapat di Thailand dan Malaysia. Produk-produk mereka bahkan berhasil memasuki pasal Indonesia seperti yang terdapat pada beberapa pusat perbelanjaan terkenal yang sudang menjual produk pewter dari Selangor, sementara produk pewter dari Bangka Belitung kebanyakan hanya terbatas pada desain yang itu-itu saja. Dengan teknik dan desain yang menawan serta strategi promosi yang baik, produk dari luar memang terlihat jauh lebih menarik tampilannya, yang kemudian juga bisa meningkatkan harga jual produk. Belum berubahnya mindset dari para produsen barang di Babel dapat dilihat dari masih kurangnya upaya menjemput bola, sehingga terkesan hanya bersikap menunggu saja peluang dan kesempatan yang ada. Sebuah hal yang menarik adalah yang terjadi pada industri utama yang selama ratusan tahun telah tumbuh dan berada di Bangka Belitung yaitu industri
171
timah. Industri ini yang mulai digarap sejak ditemukannya biji timah di Bangka pada tahun 1700an ternyata tidak mengalami perkembangan sebagaimana yang diharapkan. Dalam kurun waktu sejak ditemukannya timah atau dalam rentang waktu sekitar 300an tahun
( Sujitno, 2007:40) terdapat kemungkinan bahwa
timah telah ditemukan jauh sebelum tahun 1717 yang mencatat adanya laporan resmi VOC tentang terdapatnya timah di Bangka, industri timah Indonesia yang ada di Bangka Belitung hanya mampu berkutat pada upaya memproduksi biji timah menjadi balok timah saja. Barulah di tahun 2008 seorang pengusaha daerah meresmikan sebuah pabrik tin solder yang terletak di Kawasan Industri Jelitik Sungailiat (KIJS) di Kabupaten Bangka. Pemilik konsesi tambang timah terbesar yaitu PT Timah, sampai saat ini masih dalam tahap rencana untuk membuat produksi tin chemical di Pulau Bangka. Jika di daerah lain pengusaha sudah melakukan pemasaran dengan memanfaatkan teknologi informasi seperti website, facebook dan jaringan media sosial lainnya, maka kebanyakan pengusaha di Babel baru sebatas memasang iklan di media cetak lokal saja, serta mengikuti berbagai kegiatan pameran ke luar daerah dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Dalam melakukan koordinasi diakui oleh informan di Disperindag bahwa kondisi pada saat ini belum baik. Menurutnya, sinergi yang terjalin belum intens dan belum fokus, sehingga lebih banyak ego sektorlah yang muncul. Hal tersebut karena komunikasi yang kurang serta mainset pejabat yang memaknai
172
pembangunan pariwisata dan perindustrian yang hanya melihatnya dari masingmasing kepentingan1. "Seharusnya acara-acara seperti coffe morning (setiap selesai upacara hari senin pagi biasanya dilakukan kegiatan pertemuan antar pejabat eselon 2 dan 3 dengan durasi sekitar 30 menit, yang membahas berbagai persoalan dengan nara sumber yang bergantian, termasuk mendatangkan nara sumber dari luar-red) dapat digunakan sebagai forum untuk menjembatani kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh sektor-sektor yang terkait. Sampai sekarang belum ada juga forum yang dapat menjembatani untuk mendorong program unggulan di tingkat provinsi, seperti pariwisata tetapi hal itu harus berkelanjutan". Antara perindustrian dan pariwisata memiliki keterkaitan yang cukup erat. Namun sampai saat ini koordinasi yang terjadi seperti yang telah disampaikan di atas belum memadai guna mendorong percepatan berkembangnya industri rumahtangga yang mendukung pariwisata. Tiap pihak, baik dari Dinas Budpar maupun dari Disperindag terkesan saling menunggu. Diharapkan dengan adanya penetapan pariwisata merupakan sektor unggulan, serta akan dilakukannya Visit Babel Archi akan membuat SKPD lain termasuk Disperindag melakukan dukungan dalam bentuk kegiatan yang sinergi, misalnya melalui peningkatan jumlah kursus dan pembinaan kepada pengrajin yang dapat menyediakan produk cindra mata khas Bangka Belitung 2. Strategi koordinasi yang terlihat dilakukan selama ini dengan Disperindag adalah strategi cultural yang mencoba mempengaruhi organisasi lain melalui upaya public relation yang formal. Produk-produk industri dapat menunjang perkembangan pariwisata daerah, tetapi kalau pariwisatanya tidak maju dan berkembang maka pemasaran produk perindustrian juga akan terpuruk. Sedangkan pariwisata juga memerlukan tumbuhnya industri kerajinan sebagai salah satu objek wisata dan cindra mata. 1 2
Wawancara dengan informan Dinas Perindag Babel, tanggal 01-11-2012. Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 22-11-2012.
173
Bagaimana supaya pelaku pariwisata berperan aktif dalam menjembatani pemasaran produk-produk perindustrian, hal seperti inilah yang belum dilakukan menurut informan dari disperindag 1. Dengan demikian lebih diperlukan sebuah strategi koordinasi yang bersifat fungsional dimana akan terjadi semacam kerjasama dalam bentuk koalisi antara kedua SPKD yang akan saling menguatkan satu sama lain.
4.2.2.1.3. Dinas Perhubungan Untuk koordinasi dengan Dinas Perhubungan (Dishub) diakui juga oleh informan di Disbudpar juga belum memadai, walau pun aksesibilitas sebuah daerah menjadi salah satu syarat dalam pengembangan dan pembangunan sebuah destinasi. Besarnya peranan akan aksesibilitas tersebut mempunyai korelasi dengan kondisi kepariwistaan di suatu daerah (Soekadijo, 2000:68, Tachjan, 2005: 131). Kurangnya komunikasi antara lain menjadi penyebab dari masih minimnya koordinasi antara Disbudpar dengan Dishub. Sebagai akibatnya antara lain menyebabkan belum tersedianya angkutan umum yang baik di Bangka Belitung. Hal tersebut menjadi keluhan bagi wisatawan yang tidak menggunakan jasa biro perjalanan wisata, terutama di pulau Belitung. Upaya yang dilakukan oleh pihak Dishub adalah dengan pengadaan bus. Namun kerena jumlahnya hanya 4 unit di Belitung, sedangkan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat juga harus dilakukan, di samping memenuhi layanan kepada wisatawan, maka masih diperlukan penambahan armada angkutan umum dimaksud. Demikian pula yang
1
Wawancara dengan informan Disperindag Babel, tanggal 01-11-2012
174
terjdai di Bangka, dimana jumlah armada anguktan umum sangat tiodak memadai bahkan dibeberapa rute ke tempat wisata tidak tersedia sama sekali. Untuk keluar dari hotel di kota Pangkalpinang saja sampai saat ini belum terdapat angkutan umum jika malam hari 1. "Koordinasi kita masih kurang, misalnya saja kami tidak tahu mana angkutan yang akan diprioritaskana oleh pariwisata. Kurang informasi dari dinas pariwisata. Misalnya kawasan pantai Matras ingin dibangun fasilitasnya dan akan dikembangkan, nanti kami bisa bantu dengan mengarahkan angkutan. Kalau ada tujuan wisata yang baru, misalnya kami kan bisa dimintai bantuan".
Apa yang dilakuksn oleh Disbudpar dengan dinas lain yang sangat agresif sehingga terkadang melaksanakan pekerjaan yang sebenarnya lebih tepat dilakukan oleh Dishub2. Diharapkannya kalau saja dinas pariwisata bersifat lebih agresif maka kemajuan pengembangan pariwisata akan lebih cepat lagi. Hal ini juga diakui oleh informan di Disbudpar terlihat bahwa strategi cultural memang masih mendominasi strategi koordinasi yang dilakukan yaitu mencoba melakukan penyesuaian tindakan public relation namun belum membuahkan hasil yang memadai 3. Selayaknya strategi yang dilakukan ialah strategi cooperatif dengan mencoba melibatkan interaksi strategi informasional sehingga terjadi persuasi kepada stakeholder perhubungan. Tingginya harga tiket pesawat yang dikeluhkan beberapa biro perjalanan, dan dituduh sebagai salah satu penyebab kurang pesatnya kemajuan pariwisata di Bangka Belitung, menurut informan dari Dishub adalah karena hukum pasar yang berlangsung. Dengan penjualan tiket secara online seperti yang terjadi saat ini 1
Wawancara dengan wisatawan nusantara di Hotel Novotel, tanggal 20-11-2012. Wawancara dengan informan Dinas Perhubungan Babel, tanggal 14-11-2012. 3 Wawancara dengan Informan Disbudpar, tanggal 22-11-2012. 2
175
agak sulit orang menuduh adanya pihak-pihak yang bermain.. Tidak mengherankan jika sampai saat ini jumlah penerbangan yang melayani rute Pangkalpinang - Jakarta PP padat. Hukum pasar dalam harga tiket pesawat tersebut terjadi hampir di setiap kota atau tempat, maka tidak ada jalan lain jika ingin mendapatkan harga yang lebih murah adalah dengan memesannya jauh-jauh hari sebelum tanggal keberangkatan 1. “Mereka (airlines-pen) biasanya menjual tiket dengan startegi pembagian jumlah di satu kelas saja. Misalnya, untuk kelas Viktor yang paling murah dan kelas Yangki yang merupakan harga tertinggi. Di waktu musim ramai mereka jual tetap ada di setiap kelas tapi jumlah yang Viktornya jauh lebih sedikit, sedangkan kelas Yangki nya yang dijual dalam jumlah lebih banyak. Sebaliknya sewaktu musim sepi maka yang dijual adalah tiket di kelas Viktor yang lebih banyak, kelas Yangki nya yang justru sedikit”.
Upaya penambahan jumlah pesawat memang dapat menurunkan harga tiket, akan tetapi hanya dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, apabila rasio jumlah penumpang belum sesuai perhitungannya dengan harga yang ditawarkan, maka airlines dipastikan akan mengurangi jumlah penerbangannya kembali sesuai dengan kapasitas penumpang yang ada. Karena itu koordinasi dengan pihak-pihak terkait mulai dari airlines, Dinas Perhubungan, Disbudpar, Angkasa Pura, serta para travel agen perlu digiatkan lagi paling tidak untuk lebih memberikan informasi kepada masyarakat tentang mekanisme harga tiket yang ada. Mengenai tuduhan akan adanya semacam monopoli atau oligopoli yang terjadi akibat adanya dominasi sebuah maskapai penerbangan di Babel, agar tidak berlarut-larut kiranya dapat saja disampaikan 1
Wawancara dengan informan Dinas Perhubungan Babel, tanggal 14-11-2012.
176
kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk turut mengawasi, sehingga dapat ditindaklanjuti dan diselasaikan dengan pendekatan yang lebih transparan, dan tidak menimbulkan isu negatif di publik utamanya di kalangan pelaku usaha pariwisata. Namun demikian tingkat kemahalan komponen biaya dalam perjalanan wisata ke Bangka Belitung dapat juga disumbang oleh tingginya angka inflasi yang terjadi. Sebagai contoh untuk bullan September 2012 maka inflasi yang terjadi di Kota Pangkalpinang merupakan yang tertinggi di Indonesia yaitu sebesar 0,74 persen. Andil terbesar yang berpengaruh adalah bahan makanan dan minuman 1. Besarnya tingkat inflasi di Bangka Belitung terutama di Kota Pangkalpinang ini agak mengherankan karena dari aksesibilitas hampir tidak ada masalah berarti dari dan ke Pangkalpinang baik dari Jakarta maupun dari kota Palembang. Kondisi ini kemungkinan disebabkan adanya sistem ekonomi yang kurang berjalan dengan baik yang dapat saja terjadi karena adanya pemain-pemain ekonomi besar seperti pedagang pengumpul dan distributor besar yang dominan menguasai perekonomian dan perdagangan di Bangka Belitung dan menjalankan kegiatannya secara kuarang baik. Hasil pengamatan di lapangan misalnya terlihat bahwa perbandingan harga sejumlah barang baik sembako ataupun bahan bangunan dan elektronik memiliki perbedaan yang cukup tinggi dengan harga barang di Jakarta atau Palembang. Karena itu, pemerintah perlu melakukan penelitian yang lebih mendalam mengenai adanya inflasi yang selalu tinggi di Bangka belitung tersebut terutama
1
Bangka pos.com, diunduh tanggal 03-10-2012.
177
yang berasal dari angka inflasi di Kota
Pangkalpinang, lalu berupaya
mengintervensinya. Hal tersebut perlu dilakukan sebagai upaya mengurangi tingginya harga barang-barang yang beredar, sehingga pada akhirnya dapat pula membantu menurunkan tingkat harga jual paket pariwisata di Bangka Belitung.
4.2.2.2. Strategi Koordinasi Pemantauan, Umpan Balik dan Pengendalian Strategi dalam kegiatan
pemantauan, umpan balik dan pengendalian
dimulai dengan melihat bahwa pemantauan dan pengendalian merupakan faktor yang dapat ikut menentukan pencapaian tujuan dari suatu perencanaan yang telah dibuat. Menurut Wrihatnolo dan Nugroho (2006:131) Pengendalian adalah suatu tindakan pengawasan yang disertai dengan tindakan pelurusan (korektif). Pengawasan
merupakan
bagian
dari
pengendalian.
Pengawasan
adalah
pemeriksaan di lapangan yang dilakukan pada beberapa periode tertentu. Umpan balik disini merupakan sebuah istilah yang sudah sangat populer yang diambil dari teori Sibernitika (Cybernetics) dalam mekanika yang ditemukan oleh Norbet Weiner (1954). Dalam Sibernetika, umpan balik adalah keluaran (output) sistem yang dialihkan “dibalikkan” kembali (feedback) kepada sistim sebagai masukan (input) tambahan dan berfungsi mengatur keluaran berikutnya (Rakhmat, 1989:216).
Dengan kata lain, umpan balik yang diperoleh
dari
kegiatan terdahulu dapat dipergunakan sebagai masukan dalam melakukan penyesuaian terhadap kegiatan berikutnya yang akan dilakukan. Menurut Wibowo (2010:166) umpan balik pada organisasi berkenaan dengan monitoring, apakah terjadi deviasi antara rencana dengan pelaksanaan dan memprediksi pencapaian
178
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Wibowo, Jika terjadi deviasi maka perlu ditetapkan tindakan yang harus dilakukan untuk mengoreksinya sehingga tujuan dapat tetap tercapai. Pemantauan menurut Bryant dan White (1987:191) merupakan upaya pengumpulan data yang dilakukan ketika kegiatan/proyek sedang berlangsung sebagai umpan balik sehingga dapat dilakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian segera jika terdapat hal-hal yang dianggap tidak atau belum sesuai dengan kondisi yang diinginkan. Sementara itu menurut Wrihatnolo dan Nugroho (2006:131) pemantauan merupakan
pemeriksaan berkelanjutan
(terus menerus) terhadap hasil akhir laporan pengawasan berjenjang. Proses pemantauan ini juga dibutuhkan guna memeriksa sistem manajemen khusunya yang berhubungan dengan jenis-jenis insentif yang tersedia bagi para pelaksana dan manajer dalam melakukan pekerjaannya masing-masing (Bryant dan White :1987:193). Dalam Peraturan Pemerintah (Nomor 38 tahun 2006) tentang
Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan didifinisikan bahwa pengendalian adalah: serangkaian kegiatan manajemen yang dimaksudkan untuk menjamin agar suatu program/kegiatan yang dilaksanakan sesuai dengan rencan yang telah ditetapkan (pasal 1. angka 1. ). Pemantauan adalahkegiatan mengamati perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan, mengidentifikasi serta mengantisipasi permasalahan yang timbul dan/ atau akan timbul untuk dapat diambil tindakan sedini mungkin (Pasal 1 angka 2.). Evaluasi adalah rangkaian kegiatan membandingkan realisasasi masukan (input), keluaran (output), dan hasil (outcome) terhadap rencana dan standar. (pasal 1, angka 3).
179
Bagian yang terpenting dari kegiatan ini adalah terkumpulnya bahan dan data sehingga dapat dilakukan umpan balik yang berlangsung secara kontinyu mengenai berbagai hal seperti cara – cara serta penggunaan berbagai sumber daya yang ada. Umpan balik dapat diperoleh dari memorandum dan laporan-laporan resmi bagi seluruh staf maupun dapat pula yang bersifat informal. Pemahaman akan pengendalian dan pemantauan ini diperlukan agar dapat diketahui dengan pasti
bagaimana proses pengendalian dan pemantauan itu
seharusnya dilakukan dalam berbagai kegiatan yang merupakan implementasi dari perencanaan yang ada.
Menurut Wrihatnolo dan Nugroho (2006:132-133)
pengendalian dan pemantauan terhadap implementasi perencanaan adalah : Rangkaian kegiatan untuk menjamin pelaksanaan perencanaan mencapai tujuannya. untuk mewujudkan hal tersebut, suatu proses pengendalian dan pemantauan pembangunan harus memperhatikan prinsip-prinsip: (1) pengendalian pembangunan diarahkan pada efisiensi pengeluaran negara; (2) pengoptimalan tugas pokok dan fungsi lembaga negara yang sudah ada; (3) pengoptimalan peran serta masyarakat secara pro aktif dalam pengawasan penggunaan keuangan negara; (4) penegakan upaya penilaian terhadap kinerja implementasi perencanaan pembangunan.
Pariwisata sebagai sebuah urusan atau kewenangan pemerintahan mengandung konsekuensi kebijakan yang diambil oleh pemerintah seperti pembangunan kepariwisataan mau tidak mau juga merupakan sebuah kebijakan publik yang mesti dikoordinasikan. Apabila dalam kebanyakan teks mengenai kebijakan publik yang banyak ditulis adalah menyangkut evaluasi kebijakan, maka Nugroho (2011: 665) berpendapat agak berbeda. Menurutnya karena kebijakan publik merupakan sebuah manajemen maka seharusnya ia dikendalikan dan bukan hanya dievaluasi. Selanjutnya menurut Nugroho pengendalian
180
kebijakan tersebut terdiri dari tiga dimensi yaitu: (1) Monitoring kebijakan, atau pengawasan kebijakan; (2) Evaluasi Kebijakan; (3) Pengganjaran kebijakan. Dijelaskannya bahwa yang dimaksud dengan pengawasan berupa pemantauan dengan penilkaian untuk tujuan pengendalian pelaksanaan agar pelaksanaan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Nugroho (2011: 665) menyamakan istilah pengawasan dengan “ongoing evaluation” atau “formative evaluation”. Evaluasi dimaksudkannya sebagai penilaian pencapaian kinerja dari implementasi. Evaluasi ini dilakukan setelah kegiatan selesai dilaksanakan. Pengganjaran yang dimaksudkan disini adalah semacam istilah lain yang sering digunakan yaitu reward dan punishment, dimana tindakan pengganjaran tersebut menurut Nugroho (2011: 666) terdiri dari insentif dan disinsentif. Apabila hasilnya positif diberikan insentif dan sebaliknya bila hasilnya negatif maka perlu diberikan disinsentif. Kedua hal ini diperlukan di dalam pengganjaran karena jika monitoring dan evaluasi yang dilakukan tidak memberikan arti penting maka tujuan akhir dari pengganjaran menjadi tidak terpenuhi. Selanjutnya
akan dilihat
bagaimanakah
strategi
koordinasi
yang
berlangsung di antara SKPD dalam kegiatan pemantauan, umpan balik, dan pengendalian yang berlangsung pada pembangunan pariwisata di Kepulauan Bangka
Belitung.
Koordinasi
dalam
melakukan
pemantauan
kegiatan
pembangunan pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung biasanya dilakukan secara internal di Disbudpar saja, karena kebanyakan kegiatan yang dilakukan bersifat non fisik seperti penyelenggaran event kebudayaan dan pariwisata,
181
pameran, promosi pariwisata, serta pelatihan dan sosialisasi. Model kegiatan non fisik seperti ini diakui oleh informan di Bappeda (wawancara 20/11/2012) kurang mendapatkan perhatian yang serius dan hanya dilihat laporan tertulis saja yang hanya menggambarkan kemajuan serapan keuangan saja. Dalam kondisi seperti ini maka umpan balik yang diharapkan tidak dapat sepenuhnya terjadi karena dengan kondisi pemantauan yang seadanya maka upaya untuk mengetahui antara rencana dan pelaksanaannya di lapangan tidak bisa dilakukan secara optimal, sehingga umpan balik dalam melihat adanya deviasi hanyalah bersifat formal saja dalam hal ini hanya sebatas laporan keuangan dan belum menyentuh substansi kepada tujuan kegiatan atau program. Tim pengendalian di Bappeda biasanya turun ke lapangan untuk melihat bagaimana pelaksanaan fisik di lapangan. Untuk kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Disbudpar maka hampir tidak ada upaya pemantauan dari tim dari Bappeda. Kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan pembangunan pariwisata yang berada pada SKPD lainnya seperti yang terdapat di Disperindag, Dinas Perhubungan, Dinas UMKM dan sebagainya, selama ini pemantauannya di Bidang Pengendalian Bappeda tidak dilakukan secara terkoordinasi sebagai bagian kegiatan yang mendukung atau berkaitan dengan kepariwisataan. Sementara itu di internal Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sendiri walaupun terdapat Kasi Pengendalian dan Anggaran serta Kasi Monitoring dan Evaluasi, akan tetapi pengendalian masih dilakukan secara terbatas bahkan ternyata masih sangat minim. pengendalian yang dilakukan selama ini hanyalah
182
terbatas pada upaya meminta laporan secara berkala yang biasanya dimulai pada semester pertama sudah selesai yaitu di sekitar bulan Juli1. “Biasanya kami menyampaikan permintaan data laporan realisasi melalui surat kepada setiap bidang yang membawahi masing-masing kegiatan. Tapi sulit sekali menunggu meraka menyampaikannya, dari keseluruhan kegiatan paling-paling hanya satu dua saja yang memberikan laporan tertulis, sehingga biasanya kami langsung menghubungi bagian keuangan untuk menanyakan tentang realisasi masing-masing kegiatan yang ada. Waktu mau membuat LAKIP dan LKPJ juga begitu laporannya lambat, bahkan ada yang tidak membuatnya sama sekali. Kalau mau menunggu Seksi Monitoring dan Evaluasi, bisa tidak jalan, jadi kami lakukan atas inisiatif sendiri saja.
Koordinasi pengendalian sulit dilakukan
selain adanya keengganan
menyampaikan laporan dari pelaksana kegiatan, yang menjadi hambatan lainnya dalam menjalankan fungsi pengendalian adalah buruknya indikator yang selama ini dipergunakan dalam RPJMD2. Hal itu terlihat misalnya indikator yang tidak sesuai dengan apa yang dilakukan. Terdapat indikator mengenai destinasi padahal Disbudpar tidak ada kegiatan yang menyangkut destinasi, namun ternyata menjadi target di RPJMD. Begitu pula dengan adanya indikator mengenai kamar tidur yang sulit dihubungkan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Disbudpar, baik karena terlalu makro atau malahan terlalu mikro indikatornya. Sementara itu dari pelaksana kegiatan kesulitan melakukan koordinasi pengendalian ini terjadi karena menurut mereka pelaporan yang disampaikan tidak memberikan dampak apa pun kepada kegiatan. Dilaporkan atau pun tidak
1 2
Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 23-10-2012. Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 23-11-2012.
183
dilaporkan maka pencairan dana kegiatan tetap bisa dilakukan. dalam pelaksanaan proyek atau kegiatan:1 “Selama ini surat yang meminta laporan seperti itu Cuma menjadi tambahan pekerjaan kita yang sudah sibuk ngurus proyek. Lagi pula kalaupun tidak dibuat juga tidak diapa-apakan. Karenanya kalau saya sih malas saja membuat laporan-laporan seperti itu.”.
Dengan demikian maka terlihat berdasarkan penelitian bahwa strategi koordinasi yang dijalankan dalam
tahapan pemantauan, umpan balik, dan
pengendalian ini pihak-pihak yang berkompeten menerapkan koordinasi yang bersifat cultural. Dengan melihat kenyataan di lapangan maka akan lebih tepat apabila dipergunakan strategi koordinasi yang menerapkan control, sehingga akan lebih pas dalam upaya pengendalian yang lebih memerlukan dukungan ketegasan yaitu berusaha selalu mengembalikan kepada tujuan dan sasaran, serta mekanisme kegiatan yang seharusnya dilakukan. Namun
demikian,
hal
penting
dalam
melaksanakan
koordinasi
pengendalian juga harus dilakukan sedemikian rupa sehingga di satu sisi dapat secara rutin diterima oleh pegawai yang bertugas mengendalikan, dan di lain pihak si pelapor juga mendapat kemanfaatan dari sistem pelaporan yang dilakukannya. Adanya insentif akan menjadikan kegiatan koordinasi dan kerjasama pengendalian dapat berlangsung lebih baik seperti yang dikemukakan Kickert, Klijn dan Koppenjan (1999:9). Menurut mereka dalam hal ketiadaan insentif ini dapat merupakan penyebab bagi gagalnya sebuah kebijakan. Kondisi seperti ini sama dengan hilangnya aktor penting yang mendorong koordinasi.
1
Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 23-11-2012
184
Oleh sebab itu perlu dikembangkan tindakan-tindakan yang mampu
menjadi
insentif bagi setiap pelaksana dalam melakukan koordinasi di pelaksanaan, pemantauan, umpan balik dan pengendalian.
Gambar 4.7. Model Pengendalian Menurut Nugroho (2011:666)
Koordinasi,
pemantauan,
umpan
balik,
dan
pengendalian
dalam
pembangunan pariwisata yang dari sisi makro yaitu lintas sektor pembangunan di provinsi ditangani pula oleh Bidang Pengendalian di Bappeda. Namun demikian berdasarkan pengamatan dan wawancara ternyata bidang ini tidak melakukan hal yang cukup berarti yang tercermin dari tidak pernah dilakukannya koordinasi pengendalian menyangkut pembahasan mengenai perkembangan pembangunan pariwisata tersebut. Pengendalian program dan kegiatan yang dilakukan lebih kepada memperhatikan aspek administratif saja yaitu bagaimana perkembangan
185
serapan dana yang dilakukan dengan secara rutin meminta laporan tertulis dari SKPD 1. Tim penegendalian juga dapat turun ke lapangan untuk melakukan pengecekan dalam hal dirasakan adanya kegiatan-kegiatan fisik. Persoalannya sebagian besar kegiatan yang terdapat di Disbudpar biasanya bukan bersifat fisik tetapi non fisik seperti penyelenggaraan berbagai even budaya dan pariwisata, serta pameran dan pagelaran kebudayaan yang jarang sekali memperoleh perhatian yang memadai dari tim pengendalian. Sebenarnya upaya pengendalian yang selama ini dilakukan tidak ditindaklanjuti dengan adanya
pengganjaran
seperti yang dimaksudkan oleh Nugroho (2011:666) 2. “Memang pernah ada kami memberikan hadiah berupa TV kepada SKPD yang menyampaikan laporan tepat waktu dan baik, sekitar dua tahun yang lalu. Tapi untuk yang bersifat sanksi walaupun kami sudah surati SKPD yang bermasalah melalui surat gubernur, tetap saja tidak ada tindaklanjutnya. Kami sendiri tidak punya kekuatan untuk langsung memberikan sanksi, itu wewenang atasan”.
Dari kedua SKPD baik di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata maupun yang dilihat pada Bappeda dapat disimpulkan bahwa kegiatan koordinasi dalam hal pemantauan, dan pengendalian pada pembangunan pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung selama ini masih lemah. Kelemahan dimaksud terlihat pada tidak adanya insentif bagi pelaksana, kurang baiknya struktur organisasi, serta sikap para pelaksana yang belum mendukung. Kesemuanya menjadi bagian yang mengakibatkan lemahnya koordinasi. Upaya pembangunan pariwisata dapat dikategorikan sebagai keputusan politik yang ingin mendorong sektor pariwisata yang pada akhirnya membawa 1 2
Wawancara dengan informan Bappeda Babel, tanggal 07-12-2012. Wawancara dengan informan Bappeda Babel, tanggal 07-12-2012.
186
kemanfaatan bagi masyarakat di daerah. Dalam pelaksanaannya kebijakan ini berhubungan dengan berbagai aspek manajeman pemerintahan di daerah yang selanjutnya juga ingin dikaji bagaimana elaborasinya dikaitkan dengan pelaksanaan koordinasi antara stakeholder pariwisata. Untuk melihat bagaimana pelaksanaan koordinasi pembangunan pariwisata ini secara efektif di lapangan maka akan dilihat beberapa hal yang berkaitan dengan kondisi tersebut. Salah satu hal penting dalam melakukan koordianasi antara lain dimulai dari komunikasi yang baik atau efektif. Dari aspek komunikasi maka koordinasi pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi yang terjadi dalam pembangunan pariwisata di Bangka Belitung dapat digambarkan sebagai berikut. Ndraha (2003:467) mengemukakan bahwa komunikasi merupakan tekanan pada dua aspek yaitu: Yang pertama memberikan tekanan pada proses penyampaian berita berdasarkan teori Lassewell tentang komunikasi (massage transmission theory) “Who say what in which channel to whom with what effect”, sedangkan yang kedua memberikan tekanan pada pertukaran nilai atau proses pertukaran fikiran “The process of exchange of meaning by verbal and non verbal signs operating through cosmologies, cultural, contens, and conduits’.
Merujuk pada difinisi komunikasi menurut Laswell di atas maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur komunikasi meliputi : Komunikator (source) ; pesan (message); saluran (channel); komunikan atau khalayak (audience, reciever); dan efek (effect). Kelima unsur tersebut merupakan satau kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai sebuah proses yang menentukan efektivitas kounikasi. Komunikator, dalam hal ini adalah para pimpinan di Disbudpar terkesan kurang percaya diri menyampaikan keinginan atau kebutuhan yang diharapkan
187
dari SKPD lainya karena ketiadaan pegangan dari sisi cetak biru perencanaan yang memiliki dasar hukum kuat. Mekanisme birokrasi yang mengedepankan hubungan formal dan yuridis formal menyebabkan ada perasaan yang kurang percaya diri di kalangan pimpinan Disbudpar menyampaikan prakarsa atau inisiatif seputar dukungan dari SKPD terkait. Kondisi ini berpengaruh pada pesan (message) yang disampaikan yang menjadi kurang kuat dan kurang meyakinkan. Hal tersebut terlihat dari lebih leluasanya pimpinan dan staf Disbudpar menjalin komunikasi dengan pihak swasta dan masyarakat dari pada dengan pihak pemerintah sendiri. Dari sisi kejelasan program pembangunan pariwisata selayaknya program-program mudah difahami sehingga dapat berlangsung dengan lebih efektif dan efisien. Dengan demikian harus jelas pula apa yang akan dilakukan, bagaimana cara melaksanakannya dan siapa pelaksananya, serta kapan dilaksanakan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa belum terlihat kejelasan program pembangunan pariwisata yang akan dilaksanakan, yang seharusnya merupakan awal dari semua proses. Di kalangan staf Disbudpar sendiri terlihat masih belum jelasnya tahapan langkah-langkah apa yang harus dilakukan, dan itu terjadi hampir di semua level jabatan struktural, serta pembidangan pekerjaan. Kondisi seperti ini disebabkan oleh kelemahan dokumen perencanaan yang belum baik, misalnya dalam membagi tahapan dan pembagian pekerjaan yang jelas. Kalaupun ada kejelasan baru sebatas judul atau rencana event kegiatan yang akan dilaksanakan, tetapi siapa yang melaksanakan apa, berapa anggaran dan detil yang lain belum ada kepastiannya. Apabila belum terdapat kejelasan maka akan kesulitan pula
188
mengkomunikasikannya kepada pihak SKPD lain tentang apa yang seharusnya menjadi pekerjaan mereka dalam mendukung pembangunan pariwisata. Untuk saluran komunikasi biasanya di pemerintahan yang dibangun adalah penyampaian pesan yang dilakukan oleh Disbudpar dalam bentuk komunikasi surat menyurat bersifat formal dalam bentuk himbauan. Namun dalam kenyataannya belum ditanggapi secara memadai. Surat balasan dari SKPD yang diterima tentang ajakan menyukseskan program Visit Bangka Belitung 2010 bahkan dibalas dengan surat yang menyatakan bahwa mereka tidak dapat berpartisipasi karena tidak ada dana untuk melaksanakan kegiatan 1. Saluran komunikasi lain adalah publikasi yang dilakukan oleh Disbudpar namun bentuknya hanya terbatas kepada penyampaian program besar saja yaitu adanya keinginan pemerintah mempercepat pembangunan pariwisata melalui Visit Bangka Belitung 2010 dan Sail Wakatobi Belitong 2011 yang disebarkan dalam berbagai bentuk mulai dari baliho, spanduk, stiker dan iklan. Bagaimana
khalayak
atau
penerima
pesan
berkaiatan
dengan
pembangunan pariwisata ini ternyata masih ada yang memiliki budaya yang kurang mendukung yang dikenal di Bangka Belitung dengan istilah “Dak Kawah Nyusah” (arti harfiahnya: tidak mau bersusah payah-pen)
atau budaya yang
menggambarkan kemalasan, ketidakpedulian karena belum akan merasakan imbalan apa yang akan diperoleh jika melakukan sesuatu. Hal tersebut tergambar seperti balasan surat yang disampaiakan kepada SKPD tadi. Padahal jika memang berniat dan kreatif melakukan kegiatan ada banyak cara yang tidak memerlukan
1
Wawancara dengan informan Disbudpar, tanggal 22-11-2012
189
dana yang akan membantu keberhasilan pembangunan pariwisata. Misalnya dengan melakukan hal-hal yang termuat pada gerakan Sapta Pesona, maka SKPD yang bersangkutan sebenarnya telah ikut berpartisipasi. Pengiriman surat dari SKPD yang menyatakan bahwa mereka tidak bisa ikut berpartisipasi merupakan bukti bahwa mereka hanya ikut menindaklanjuti membalas surat tanpa harus berpikir dan berusaha membantu walaupun program tersebut sebenarnya sudah menjadi program provinsi yang disampaikan oleh gubernur dalam hampir setiap kesempatan. Ini menggambarkan bahwa efek komunikasi yang ditimbulkan ternyata di antara SKPD yang ada belum sesuai dengan yang diinginkan yaitu mendukung upaya pembangunan pariwisata di bidangnya masing-masing. Komunikasi dapat dianalogikan dengan pintu masuk pertama melakukan koordinasi, tanpa komunikasi yang baik meliputi penyampaian informasi, kejelasan apa yang diinginkan. Selanjutnya keberadaan sumber daya merupakan hal penting dalam menjalankan pariwisata (Pitana dan Diarta: 2009:68) yang meliputi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang ada memberikan andil dalam pelaksanaan kegiatan. Menurut Edward III (1980:53) hal itu meliputi Staf (staff) yang cukup (jumlah dan mutu), informasi (information) yang dibutuhkan guna pengambil keputusan, kewenangan (authority) yang cukup guna melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, serta fasilitas (facilities) yang dibutuhkan. Sebagaimana telah disampaikan bahwa sektor pariwisata bersinggungan dengan banyak sektor, sehingga dibutuhkan pula kemampuan teknis aparatur yang
190
cukup memadai dalam penanganannya. ketrampilan teknis perencana utamanya yang berkaitan dengan kewilayahan, geografi, dan teknis pariwisata mutlak dibutuhkan di samping tenaga lainnya seperti ekonomi, pemasaran dan sosialogi. Jika melihat sumber daya aparatura yang ada dari sisi jumlah sudah cukup memadai namun dari aspek kemampuan teknis yang masih perlu dibenahi. Dari 60 karyawan yang ada di Disbudpar Bangka Belitung memang sudah ada empat orang sarjana S2 atau master dan 29 orang S1, dan 19 orang diploma. Namun demikian dari jumlah tersebut yang ada baru sarjana ekonomi dan diploma pariwisata. Bagian terbanyak latar belakang pendidikan yang dimiliki adalah sarjana hukum, bahasa, pendidikan, agama, dan sastra. Untuk yang berpendidikan S2 terdiri dari dua orang magister administrasi publik, serta seorang magister manajemen dan seorang lagi magister teknik. Tabel 4.5.Pegawai Disbudpar Prov. Bangka Belitung Berdasarkan Pendidikan Pendidikan
2008
2009
2010
S2
2
3
4
S1
16
20
29
Diploma
10
17
19
SMA/ SMK
9
8
8
TOTAL
37
48
60
Sumber: Disbudpar Babel 2012 Untuk kelengkapan informasi terutama dalam hal sebagai bahan pengambilan keputusan, diakui oleh informan di Disbudpar masih kurang, terutama berkaitan dengan akurasi data jumlah, asal, persepsi, dan perilaku
191
wisatawan, jumlah dan kualitas tenaga kerja yang bekerja di sektor pariwisata, dan tingkat hunian kamar hotel. Data yang agak memadai baru diperoleh setelah dilakukan pembuatan Nesparda Kepulauan Bangka Belitung 2011 yang baru selesai di Desember 2012. Kondisi ini menyebabkan keputusan yang diambil selama ini di bidang pariwisata hanya bersifat coba-coba dan belum disertai data yang akurat, sehingga kemungkinan untuk memecahkan permasalahan dengan efektif dan efisien masih diragukan kehandalannya. Dari sisi kewenangan maka sebenarnya dengan terbitnya PP nomor 38 tahun 2007 maka kewenangan bidang kepariwisataan di tingkat provinsi sudah jauh berkurang dibandingkan dengan masa sebelumnya. Untuk pembangunan destinasi maka pemerintah provinsi hanya memiliki kewenangan untuk kawasan strategis provinsi saja, sehingga tidak bisa secara leluasa melakukannya dalam kawasan pariwisata di luar itu. Kalau pun akan melakukan pembangunan atau pengembangan di luar wilayah kewenangannya maka hanya bersifat dukungan saja. Minimnya kewenangan provinsi di bidang pariwisata juga terjadi dalam pendaftaran (dulu perizinan) usaha kepariwisataan, yang dari 13 pendaftaran usaha berdasarkan Keputusan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Dengan kondisi ini maka hanya tersisa satu saja kewenangan di tingkat provinsi, sedangkan yang lainnya sudah diturunkan ke kabupaten/kota. Fenomena ini mengakibatkan banyak usaha pariwisata yang berada di wilayah provinsi yang tidak terpantau lagi oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata provinsi karena tidak dilaporkan oleh kabupaten kota, seperti munculnya hotel, restoran, dan berbagai tempat dan layanan jasa pariwisata. Keberadaan 13 Kepmenbudpar tersebut juga
192
telah mendapatkan protes keras oleh sejumlah daerah seperti Bali 1 (Berbagai pihak yang mengajukan protes menganggap kebijakan baru
ini akan
mengakibatkan semakin terkotak-kotaknya daerah pariwisata dan kesulitan dalam hal sinkronisasi serta keselarasan pengembangan pariwisata. Dengan demikian maka kewenangan pariwisata di tingkat provinsi hanyalah sebatas kebijakan pemasaan dan penetapan standarisasi saja yang menyebabkan pemerintah provinsi kesulitan mengarahkan pembangunan destinasi pariwisata kabupaten kota di wilayahnya. Menyangkut fasilitas yang tersedia yang selama ini bagi pengembangan pariwisata di Bangka Belitung sudah ada walaupun masih harus ditingkatkan, misalnya keberadaan gedung kantor Disparda yang merupakan gedung pinjaman rumah dinas wakil ketua DPRD, tidak memiliki ruang rapat dan kurang representatif untuk dijadikan kantor Disbudpar yang banyak sekali berhubungan dengan berbagai kalangan. Sikap pelaksana (attitudes of implementors), merupakan hal yang menyangkut
kesediaan
dari
para
implementor
atau
pelaku
dalam
mengimplementasikan kebijakan secara efektif. Modal awal bagi pelaksana atau implementor adalah pemahaman akan latar belakang, maksud dan tujuan kebijakan yang biasanya digambarkan melekat pada para pejabat mulai dari eselon tertinggi sampai yang terendah (Sinaga, 2010:160). Pemahaman seperti inilah yang menjadi salah satu kelemahan yang dirasakan, karena para pejabat memang mengetahui tujuan kebijakan pembangunan pariwisata, namun tidak
1
Kompas.com, 23-06- 2011, diunduh 10-12-2012.
193
semuanya yang memahami bagaimana mewujudkannya. Terkait dengan sikap pelaksana ini juga adalah semangat bekerja sama. Kerjasama tim antar unit belum menjadi budaya utamanya dalam melakukan pelayanan. Pandangan dan pemikiran yang muncul dari setiap aparat adalah hanya mengerjakan tugas yang menjadi kewajibannya sendiri, tanpa perlu membantu pekerjaan aparat lain. Hal tersebut muncul menurut Dwiyanto (2006:221) karena pemberian pelayanan masih dianggap belum menjadi tanggungjawab bersama semua aparat birokrasi, tetapi dipahami hanya sebatas tanggungjawab beberapa aparat saja Budaya seperti inilah yang menurut perlu diubah sehingga akan lebih mendukung adanya upaya melibatkan diri dan bekerjasama
termasuk
berkoordinasi
di
dalamnya
yang
akan
mempu
mengakselerasi perubahan ke arah yang lebih positif. Di dalam literatur semangat kerjasama
dikonsepkan
sebagai
keterpaduan tim
atau juga
ada
yang
menyebutkannya sebagai esprit de corps (Dwiyanto, 2006:216). Struktur
birokrasi,
menyangkut
prosedur
standar
operasi
dalam
pelaksanaan kebijakan (Standard Operating Procedures) dan pengaturan tata aliran pekerjaan dan pelaksana program.
Menurut Tachjan (1995:72) hampir
semua permasalahan atau problem dalam organisasi diakibatkan oleh struktur organisasi. Karena itu struktur organisasi haruslah didesain dengan tepat dan terus disempurnakan sesuai dengan perubahan lingkungan Struktur birokrasi yang ada di tingkat Disbudpar masih terdapat hal yang melemahkan upaya pembangunan pariwisata, karena tidak adanya bidang atau seksi yang menangani pengembangan destinasi secara khusus. Padahal
194
keberadaan destinasi merupakan salah satu modal awal dalam upaya mendatangkan wisatawan. Akibatnya urusan pengembangan destinasi yang di tingkat pemerintah pusat ditangani oleh sebuah Direktorat Jendral, di Disbudpar Bangka Belitung urusan ini tidak jelas tempatnya 1. “Kami susah mengurusinya, terkadang dia di perencanaan, kadang di bidang pengembangan SDM, kadang pula dia di tangani bidang promosi. Karena kalau ada surat dari Dijen Destinasi kami harus mendiskusikannya dulu akan dikemanakan tindaklanjut surat ini,” Tidak adanya kepastian tersebut menyebabkan tidak ada pejabat di bidang dan seksi
yang merasa bertanggungjawab terhadap penanganan destinasi ini,
sehingga perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan serta evaluasi berbagai kegiatan menyangkut pengembangan destinasi menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan ini pula yang kemudian tercermin dalam pemahaman teknis para pejabat di Disbudpar yang menjadi kurang komprehensif dan terkesan belum mempunyai konsep jelas, sehingga menyebabkan pula kurangnya komunikasi efektif kepada SKPD lainnya. Pembangunan kepariwisataan selama ini juga belum memiliki standar prosudur bekerja yang memadai yang tercermin dari ketiadaan panduan dalam melaksanakan kegiatan pembangunan pariwisata seperti kerangka kerja yang jelas dalam bentuk penjadwalan kegiatan siapa yang melakukan apa dan kapan dilakukan. Biasanya petunjuk hanya disampaikan dalam bentuk briefing dan penjelasan secara lisan yang terkadang tidak cukup kuat menjadi pegangan para pelaksana di lapangan. Namun demikian di sisi lain ketiadaan petunjuk teknis
1
Wawancara dengan informan di Disbudpar Babel, tanggal 08-10-/2012.
195
secara tertulis juga dapat menjadi pemicu bagi terlaksananya koordinasi non formal di tingkat bawah.
4.2.3. Strategi Koordinasi dengan Organisasi Swasta dan Organisasi di Masyarakat Seperti yang telah disampaikan bahwa paradigma goverment telah bergeser menjadi governance dimana kekuasaan tidak lagi semata-mata menjadi peranan pihak pemerintah semata akan tetapi governance telah menekankan fungsi
bersama-sama antara pemerintah, swasta dan LSM serta masyarakat.
Terbukanya peran bersama dalam wilayah publik tersebut menjadikan perhatian akan peran swasta, LSM dan masyarakat di sektor pariwisata semakin meningkat. Kerjasama dan kemitraan antara pemerintah dengan swasta yang berlangsung dalam ranah ilmu administrasi publik telah berlangsung setidaknya selama tiga dekade (Bovaird, 2004, dalam Dwiyanto, 2010:257). Di Indonesia konsep ini masih terbatas penerapannya, walaupun di banyak negara maju konsep ini sudah cukup lama berkembang. Menurut Dwiyanto (2010:257-260) bentuk kerjasama antara swasta dan pemerintah selama ini baru terbatas pada kerjasama pemerintah sebagai pemilik pekerjaan dengan lembaga non pemerintah sebagai vendor atau kontraktor. Dalam model kemitraan seperti ini maka keduanya tidak memiliki hubungan yang setara tetapi bersifat asimetris dimana pihak swasta bekerja berdasarkan order yang biasanya dilakukan dalam kurun waktu yang terbatas dengan intensitas hubungan yang juga terbatas pula.
196
Kerjasama yang bersifat kolaboratif bersifat lebih simetris dimana yang terjadi adalah hubungan antar prinsipal dengan prinsipal. Bovaird (2004, dalam Dwiyanto, 2010:259) mengartikan kemitraan antara pemerintah dengan swasta secara sederhana sebagai "pengaturan pekerjaan berdasarkan komitmen timbal balik, melebihi dan di atas yang diatur dalam setiap kontrak, antara satu organisasi di sektor publik dengan organisasi di luar sektor publik". Dalam kepariwisataan baik pada proses perencanaan maupun dalam implementasi pembangunan kepariwisataan, sinergi dari seluruh stakeholder merupakan syarat mutlak yang akan menentukan keberhasilan pembangunan tersebut. "Stakeholders are those who benefit or burdened by the firm's operation; that is, they have a stake in it" (Steiner dan Stainer:2000:14). Stakeholder kepariwisataan
itu adalah pemerintah selaku regulator dan fasilitator
pembangunan pariwisata, pihak swasta selaku aktor yang terlibat langsung dalam berbagai bentuk usaha dan kegiatan kepariwisataan, serta masyarakat selaku host community dari daerah tujuan wisata termasuk pula di dalamnya berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pembangunan
pariwisata daerah
biasanya terdapat tiga pemain utama
pariwisata yang masing-masing memiliki kebutuhan atau kepentingan yang berbeda, sehingga memerlukan perhatian agar dapat berjalan dengan baik hubungan antara ketiganya. Ketiga pemain utama itu (Spillane, 1994 : 30adalah : 1. Mereka yang mencari kepuasan atau kesejahteraan lewat penjelasan mereka (wisatawan atau tamu) (guest). 2. Mereka yang tinggal dan berdomisili dalam masyarakat yang menjadi alat pariwisata (tuan rumah atau penduduk setempat) (hosts). 3. Mereka yang mempromosikan dan menjadi perantaranya (bisnis pariwisata atau perantara) (brokers).
197
Ketiga kelompok tersebut saling berkaitan, yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kelancaran pengembangan pariwisata di daerah tersebut. Dalam hal ini akan bergantung kepada pemerintah daerahnya yang mempunyai kewenangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakannya. Peranan pihak swasta dan masyarakat sangat besar dalam memajukan pariwisata sebuah negara atau daerah. Di Kepulauan Bangka Belitung strategi koordinasi SKPD, khususnya di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dengan kalangan swasta dan masyarakat antara lain dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan oleh Disbudpar bersama dengan stakeholder pariwisata seperti pihak travel, hotel dan restoran. Menurut informan dari travel agen, pihak dinas dinilai telah berusaha melakukan koordinasi dengan mereka. Koordinasi dimaksud antara lain dengan melibatkan pihak swasta dalam rapat-rapat yang membahas masalah pariwisata. Pihak Disbudpar juga telah menyelenggarakan fasilitasi berupa kegiatan gathering atau pertemuan yang bersifat direct selling ke kota-kota seperti Batam, Jakarta, Palembang dan Bandung. Dalam kegiatan tersebut para stakeholder pariwisata yang ada di Bangka Belitung diajak oleh pihak Disbudpar untuk bertemu dengan para travel agen di berbagai kota yang didatangi. Pihak dinas biasanya mengundang travel agen ke dalam pertemuan yang difasilitasi biasanya di restoran atau rumah makan untuk kemudian menawarkan paket wisata atau memperkenalkan hotel dan restoran yang ada di Bangka Belitung1.
1
Wawancara dengan informan dari travel agen di Babel, tanggal 06-10-2012.
198
"Biasanya dalam pertemuan itu hadir juga para kepala dinas pariwisata provinsi maupun kabupaten kota se Babel, guna meyakinkan mitra kami di tempat yang dikunjungi bahwa. Kesannya kami di Babel lebih kompaklah. dan itu artinya kami sudah bekerjasama dengan cukup solid antara swasta dan pihak pemerintah yang bergerak di bidang pariwisata"
Kegiatan gathering yang dilakukan bersama ini bermula dari usulan travel agen untuk dapat melakukan penjualan secara langsung ke kota-kota yang menjadi target penjualan paket wisata para travel agen. Usulan ini kemudian ditanggapi dengan memasukannya dalam anggaran. Tahun 2012 ini sudah memasuki tahun kedua pelaksanaan gathering stakeholder.1 Hal lainnya yang diapresiasi oleh kalangan pelaku pariwisata di Bangka Belitung adalah kesediaan Disbudpar yang selalu mengajak pelaku untuk berpartisipasi serta melaksanakan pameran, tidak saja di dalam negeri tetapi juga sampai ke manca negara dianggap sebagai cerminan bahwa koordinasi yang tercipta antara pelaku usaha dengan Disbudpar sudah berlangsung dengan cukup baik. Kerjasama dan koordinasi dipandang cukup baik dengan kalangan swasta dalam hal kegiatan seperti mendatangkan para travel agent serta wartawan atau penulis pariwisata dari dalam dan luar negeri ke Bangka Belitung. Untuk melaksanakan kegiatan famtrip atau perjalanan perkenalan mengenai sebuah daerah pariwisata seperti ini biasanya kalangan pelaku usaha yang ada dilibatkan baik pihak travel, hotel dan restoran, sehingga dana pemerintah yang tersedia dapat dioptimalkan penggunaannya. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata memiliki dana yang terbatas untuk penginapan dan konsumsi bagi wartawan atau travel 1
Wawancara dengan informan dari travel agen di Babel, tanggal 06-10-2012.
199
agen yang diundang ke Babel, maka para pelaku pariwisata akan membantu dengan memberikan fasilitas yang ada pada mereka seperti menambah jumlah hari kunjungan atau meningkatkan kelas hotel yang dipergunakan untuk menginap. Meskipun demikian menurut informan dari travel agen, pihak Disbudpar masih terkesan lamban dalam hal membentuk organisasi seperti badan promosi pariwisata di tingkat provinsi yang justru telah diamanatkan dalam undangundang kepariwisataan. Secara yuridis memang kelembagaan badan promosi telah diatur di dalam Undang-undang tentang Kepariwisataan (Nomor 10 tahun 2009). Lembaga serupa sebenarnya telah dibentuk di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2005, namun telah berakhir masa tugasnya di tahun 2010 lalu. Beberapa pihak telah mengusulkan agar segera dibentuk badan promosi dimaksud seperti Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) dan ASITA Bangka Belitung, namun belum juga terbentuk hingga saat ini. Alasan yang dikemukakan oleh Disbudpar adalah masih mempelajari aturan yang ada karena biasanya jika undang-undang diberlakukan akan keluar Peraturan Pemerintah (PP) yang dibuat guna menjalankan undang-undang tersebut. Namun demikian alasan utama belum dibentuknya badan promosi ini adalah adanya pengalaman di periode badan promosi sebelumnya yang hanya dijalankan oleh kelompok bisnis pariwisata tertentu saja, serta belum difahaminya tugas badan promosi seperti yang diatur dalam undang-undang Kepariwisatan yang baru 1. “Dulu badan promosi di Babel itu hanya dimiliki oleh satu kelompok bisnis saja, mulai dari Ketua, sekretaris sampai bendahara. Padahal mereka itu pakai uang APBD tapi hanya promosi usaha pariwisata mereka sendiri.
1
Wawancara dengan Informan PHRI Babel, 28-11-2012.
200
Kita tidak mau ada yang seperti itu lagi, karena ini kepentingan kita samasama”.
Dalam upaya melindungi para pekerja sektor pariwisata khususnya pramu wisata belum nampak adanya upaya yang memadai yang dilaksanakan oleh Disbudpar selain mengadakan diklat yang mendorong peningkatan kualitas para pramu wisata. Padahal ada kebutuhan lain yang diinginkan oleh para pramu wisata, yaitu pengaturan tentang keberadaan para pramu wisata atau pemandu wisata dari luar Bangka Belitung yang sekarang mulai marak terutama di pulau Belitung1. Pada masalah pembentukan Perda tentang pemandu wisata ini masalahnya hanya pada belum yakinnya pihak Disbudpar akan pentingnya Perda dimaksud2. “Kami khawatir adanya Perda itu akan membuat kesulitan baru dalam menangani pemandu wisata. Perda itu tak mungkin dilaksanakan dengan baik, kalau pramu wisata lokal saja belum cukup jumlahnya, sementara jika ada perda itu yang dari luar tidak boleh masuk”.
Kegiatan lainnya yang juga dilaksanakan bersama dengan pelaku pariwisata di Bangka Belitung adalah upaya peningkatan kualitas SDM pariwisata di daerah. Sebagaimana diketahui bahwa setiap pekerja yang terlibat langsung dalam pelayanan kepariwisataan diharapkan memiliki sertifikasi yang ditentukan untuk masing-masing jenis pekerjaannya. Misalnya seorang pemandu wisata atau guide, diharuskan memiliki sertifikat sebagai pemandu wisata yang diterbitkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) bidang pariwisata. Demikian pula seorang seorang pekerja hotel yang bertugas sebagai front office diwajibkan memiliki 1 2
Wawancara dengan informan dari HPI Babel, tanggal 07-11-2012 Wawancara dengan informan dari Disbudpar Babel, tanggal 07-11-2012.
201
sertifikat mengenai bidang pekerjaannya tersebut yang juga diterbitkan oleh LSP pariwisata. Pengaturan tentang kewajiban memiliki sertifikasi inni terdapat dalam Peraturan Pemerintah (Nomor 52 tahun 2012) tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata, (tanggal 23 April 2012. PP nomor 52) merupakan pelaksanaan (pasal 55 Undang-undang nomor 10 tahun 2009) tentang Kepariwisataan yang mengamanatkan pemerintah untuk menyusun standar kompetensi dan sertifikasi di bidang kepariwisataan. Standar kompetensi dan sertifikasi ini merupakan upaya untuk emningkatkan kemampuan tenaga kerja serta meningkatkan kemampuan pekerja yang bergerak di sektor pariwisata. Untuk mempercepat dan meringankan biaya sertifikasi bagi para pekerja pariwisata di Bangka Belitung, Disbudpar telah bekerjasama dengan pemerintah pusat Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk membentuk LSP pariwisata di maksud di Bangka Belitung. Kegiatan ini dimulai dengan mengumpulkan organisasi profesi bidang kepariwisataan yang ada, serta mengadakan diklat untuk menyiapkan tenaga assesor atau penguji/penilai yang nantinya akan bekerja di LSP pariwisata. Peserta diklat assesor merupakan gabungan dari kalangan swasta dan pegawai negeri yang diadakan oleh Disbudpar bekerjasama dengan swasta1. “Kita kumpul bahkan selama beberapa hari dengan orang dinas dan kawan-kawan lain di hotel untuk menyiapkan berbagai persyaratan untuk LSP segera berdiri di Babel. Diharapkan tahun depan (2013-pen) sudah bisa terbentuk LSP nya, jadi nanti orang Babel yang akan ambil sertifikat tidak perlu ke luar daerah lagi, cukup disini saja, sehingga bisa lebih cepat dan lebih murah” . 1
Wawancara dengan informan HPI Babel, tanggal 07-11-2012
202
Adanya LSP di Babel memang akan lebih memudahkan para pekerja pariwisata yang akan mengambil sertifikat. Jika selama ini mereka harus ke luar Babel atau mendapatangkan tim penilai dari luar daerah sehingga waktu dan biaya yang dipergunakan menjadi lebih banyak. Dengan adanya LSP nanti biaya dan waktu pelaksanaan akan dapat ditekan. Biaya sertifikasi selama ini berkisat Rp. 1 juta, sehingga kalau semua tenaga kerja bidang pariwisata yang berjumlah sekitar 3000 orang berdasarkan data Nesparda akan diperlukan dana sekitar Rp. 3 milyar 1. Namun dengan adanya LSP sendiri angka itu dapat ditekan jadi jauh lebih kecil lagi. Untuk gambaran mengenai strategi koordinasi antara Disbudpar dengan LSM atau masyarakat dalam pembangunan pariwisata di Babel dapat dilihat bagaimana hubungan yang terjadi. Selama tiga tahun terakhir.
Disbudpar
melakukan kegiatan bantuan terhadap penyelengaraan event pariwisata dan kebudayaan yang dilakukan di tingkat desa berupa dana dukungan dalam APBD. Terdapat dua kegiatan yang bersifat dukungan ini 2. Pertama, berupa dukungan pelaksanaan pagelaran yang diberikan kepada berbagai sanggar untuk melakukan pementasan, dan kedua bantuan dukungan pelaksanaan even kebudayaan dan pariwisata. Dukungan pelaksanaan pagelaran dilakukan berupa pemberian uang Rp.1,5 juta kepada setiap sanggar yang melakukan pagelaran di tiap kabupaten dengan alokasi satu sanggar setiap minggu. Dukungan “even” diberikan dengan 1 2
Wawancara dengan informan Disbudpar, tanggal 23-11-2012. Wawancara dengan informan Disbudpar Babel, tanggal 30-10-2012.
203
jumlah bervariatif guna tetap menjaga kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan baik dalam rangka acara adat seperti Rebo Kasan, Mandi belimau, Perang Ketupat, Pesta adat, Buang Jong, dan lain sebagainya. Dengan bantuan seperti ini diharapkan tradisi yang ada di desa-desa di Bangka Belitung masih dapat terus dilakukan dan dilestarikan, bahkan dapat dikembangkan menjadi daya tarik pariwisata budaya. Koordinasi yang dilakukan oleh Disbudpar sudah mulai membaik dengan mencoba mengajak pihak-pihak terkait untuk bersama-sama mengembangkan pariwisata di daerah 1. Namun demikian disarankan agar koordinasi yang telah dilakukan itu dapat lebih ditingkatkan lagi misalnya dengan mencoba mengkoordinasikan terintegrasinya masing-masing destinasi pariwisata yang ada agar tidak menjadi terkotak-kotak berdasarkan wilayah administratif pemerintahan kabupaten dan kota saja. “ Seharusnya pembangunan pariwisata di Bangka Belitung bisa lebih cepat jika terjadi sinergi. Karena ada posisi-posisi yang harus kita perkuat secara promosi. Kita sudah mencoba mengeksplore hal-hal yang menurut orang "kecil" tapi ternyata bisa dijual kepada wisatawan. Penguatan akan sangat diperlukan di tingkat provinsi agar jangan destinasi yang ada terkotakkotak hanya setingkat kabupaten saja. Misalnya untuk memasarkan pulaupulau kecil yang ada di Belitung dan Bangka harusnya bisa dijual oleh provinsi supaya tidak hanya berhenti atau terbatas pada pulau-pulau tertentu saja yang menjadi wilayah administaratif sebuah kabupaten”.
Seorang Kepala desa di Kabupaten Belitung Timur yang mendapatkan bantuan untuk melaksanakan kegiatan Festival menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Disbudpar Bangka Belitung cukup baik2. Desa ini adalah tempat 1
Wawancara dengan informan dari LSM Babel yang mengembangkan kawasan pariwisata di Kabupaten Belitung, tanggal 28-10-2012. 2 Wawancara dengan Kepala Desa di Beltim, tanggal 03-1111-2012.
204
biasanya kegiatan festival budaya dan pariwisata dilaksanakan dengan menampilkan tradisi, kesenian, dan memuat unsur-unsur edukatif. “Kalau disini, seperti yang dilakukan dinas inilah yang kami tunggu, karena kami sendiri selalau kekurangan dana kalau ingin melaksanakan festival. Apa yang selama ini kami alami dengan orang-orang dinas, kadang-kadang tiidak pakai surat-surat yang terlalu rumit. Administrasi biasanya dilakukan setelah ada koordinasi lisan atau bahkan komunikasi dengan sms saja. Ini sesuai dengan harapan kami dan masyarakat. Ini bukti bahwa kami merasa diperhatikan dan dinas punya kesamaan visi dengan kami di desa. Memang dibandingkan dengan tahun lalu koordinasi kami dengan EO (Event Organizer) agak kurang, tapi mungkin karena waktu dan situasinya yang kurang, kami maklum saja”.
Mereka ingin membangun warung wisata di dekat objek wisata tahun depan supaya masyarakat juga bisa berjualan. Harapannya kegiatan tersebut juga dapat diperhatikan oleh Disbudpar, karena keterbatasan yang ada di desa. Mereka juga sudah mendapatkan bantuan program PNPM pariwisata dan PNPM Mandiri yang antara lain difasilitasi usulan program dan penyalurannya oleh Disbudpar dan Badan Pemberdayaan Masyarakat. Terlihat bahwa komunikasi dan koordinasi dengan kalangan swasta dan masyarakat berlangsung dan terjalin dengan cukup baik. Koordinasi antara pihak Disbudpar dengan swasta dan masyarakat dimungkinkan karena adanya komunikasi yang lebih sering. Komunikasi Disbudpar dengan pihak swasta terjadi lebih sering karena berbagai
kegiatan yang dilakukan bersama seperti rapat,
pameran, dan pertemuan-pertemuan non formal seperti yang diakui oleh kedua belah pihak. Selain itu selama kegiatan di luar daerah biasanya terjadi juga diskusi dan komunikasi menyangkut kepariwisataan.
Untuk melancarkan
205
komunikasi mereka juga membuat kelompok di jaringan sosial Facebook dan Blackberry Massenger (BBM) dengan nama Stakeholder Babel. Terlihat bahwa strategi koordinasi kultural dan Komunikatif yang dilakukan Disparda kepada pihak swasta dan masyarakat melalui para pengurus masing-masing institusi terjalin cukup berhasil, yang diperlihatkan oleh munculnya upaya saling mendukung dan terjadinya pertukaran sumber daya di antara pihak yang terlibat. Dengan kondisi seperti itu tidak mengherankan jika hubungan antara pelaku
pariwisata
yang
tergabung
dalam
beberapa
organisasi
profesi
kepariwsataan dengan pihak Disbudpar menjadi lebih akrab dan terjadi berbagai pertukaran informasi. Kondisi ini yang digambarkan oleh Kickert, Klijn, dan Koppenjan
(1999: 31) sebagai telah terjadinya interdependence antar pihak
Disbudpar dengan para stakeholder pariwisata yang merupakan prakondisi bagi adanya atau terciptanya jaringan koordinasi. Hal yang hampir sama dengan kondisi itu adalah baiknya koordinasi antara Disbudpar dengan masyarakat. Jika kalangan swasta melakukan pertemuan dengan Disbudpar karena seringnya mengadakan pertemuan dan bepergian bersama, maka masyarakat menganggap bahwa koordinasi dengan Disbudpar cukup baik yang merasa mendapatkan perhatian berupa bantuan dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang diselenggarakan di desanya. Pemberian bantuan itu mengharuskan kedua belah pihak berkomunikasi guna melengkapi persyaratan administrasi seperti proposal kegiatan, peninjauan lapangan, pembuatan laporan, serta koordinasi menyangkut pelaksanann acara. Bagi
206
masyarakat
selain sering bertemu langsung mereka juga memperoleh
pengetahuan tentang bagaimana mekanisme administrasi pemerintahan, serta tak jarang
juga
memperoleh
informasi
bagaimana
desa-desa
lainnya
menyelenggarakan kegiatan. Bagi Disbudpar dengan komunikasi yang terjalin memperoleh informasi mengenai bagaimana masyarakat melaksanakan acara, mengenali persamaan dan perbedaan masing-masing desa, serta memahami kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat di tingkat desa. Di beberapa desa hubungan tersebut berkembang layaknya hubungan pertemanan, yang pada saat panen buah-buahan atau komoditas yang menjadi ciri khas desa seperti madu, jamur, ikan dan lainnya, pihak Disbudpar sering memperoleh kiriman tanda pertemanan atau terimaksih telah membantu mengadakan acara di desa. Dengan mengamati hubungan Disbudpar di kedua sektor itu, baik di swasta maupun di masyarakat melalui tiap organisasinya, maka terlihat bahwa koordinasi yang baik akan terjadi apabila terdapat komunikasi yang intens, serta adanya insentif yang kemudian menciptakan saling ketergantungan di antara para pihak (Kickert, Klijn dan Koppenjan, 1999: 31 ; Pratikno, 2008:5), di samping itu juga adanya ketepatan dalam menentukan strategi koordinasi yang dipilih yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Berikut disampaikan bagaimana strategi koordinasi dalam pembangunan pariwisata yang berlangsung di Kep Bangka Belitung selama ini, seperti tertera pada tabel 4.6.
207
Tabel 4. 6. Strategi Koordinasi Pembangunan Pariwisata di Kep. Bangka Belitung DIMENSI WAKTU 1. Perencanaan (Gunn:2002) a. Kesiapan Stakeholder
b. Pertimbangan terhadap tujuan c. Keterbukaan dalam proses d. Rekomendasi 2. Pelaksanaan a. Distamben b. Disperindag c. Dishub
STRATEGI KOORDINASI Cultural dengan kooptasi, Public Relations, & influence
Cultural sepihak Cultural Cultural
Informational Cultural Cultural & Communicative
3. Pemantauan, Feedback, & Pengendalian 4. Organisasi Swasta dan Masyarakat Sumber: Hasil penelitian 2012
Cultural Cultural & Communicative
4.3. Karakter Jaringan Koordinasi Antar Organisasi Kompleksitas untuk mengelola kepentingan bersama mulai muncul dan semakin dirasakan sebagai kebutuhan secara tersistem dan terlembaga manakala berkembangnya pendekatan melalui apa yang diistilahkan dengan governance (Pratikno, 2008:3). Dalam kamus, istilah government dan governance seringkali dianggap memiliki arti yang sama yaitu cara menerapkan otoritas dalam suatu organisasi, lembaga atau negara. Government atau pemerintah adalah juga nama yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu negara.
Istilah governance sendiri telah dikenal dalam literatur
administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun sejak Woodrow Wilson memperkenalkan bidang studi tersebut 125 tahun yang lalu, tetapi selama itu
208
governance hanya digunakan dalam literatur politik dalam pengertian sempit (Effendi, 2010:113). Barulah
sejak dipergunakannya istilah governance oleh
Bank Dunia di tahun 1989, pemaknaan, penggunaan istilah governance menjadi semakin beragam. Menurut Pratikno (2008:3) setidaknya pemaknaan governance dapat dilihat dalam dua orientasi. Pertama, definisi governance yang merujuk pada reformasi administrasi dan kedua, merujuk pada dimensi governance yang merujuk pada dimensi pembangunan konsensus dan sinergi. Untuk pembahasan yang berkaitan dengan jaringan organisasi maka menurut Kickert, Klijn dan Koppenjam (1999:1-7), definisi governance yang kedua adalah yang lebih relevan untuk menjadi titik kajian. Dalam melakukan pembangunan konsensus dan sinerji yang dilakukan pada koordinasi antar organisasi,
Alexander (1995:300) menyatakan bahwa
terdapat berbagai macam karakter jaringan antar organisasi yang mungkin terjadi. “These vary enormously, from large, complex, and diverse networks which host a complex IOC system of meso-and micro-IOC structures, to small informal ones in which members intract just through interpersonal links. Obviously, then, network differ in their relative institutionalzation. Other network characteristics include size: how many and what scale of organizations make up the network; complexity: the number of defferent sectors represented by member organizations, and their specialization and differentiation from one another; and structure: the centralization of links between organizations, and their relative interconnectedness”.
Tidak hanya itu saja, terdapat tiga hal lainnya menurut Alexander yang perlu diperhatikan dalam melihat
karakter atau jenis jaringan koordinasi antar
organisasi yaitu, interdependence; autonomy dan ; mission. Melalui sudut pandang yang disampaikan Alexander tersebut maka berikut akan dilihat
209
bagaimana karakter
jaringan koordinasi antar organisasi yang terdapat di
Kepulauan
Belitung
Bangka
dalam
hubungan
dengan
pembangunan
kepariwisataan melalui unsur-unsur berikut.
4.3.1.
Interdependence Jaringan antar organisasi jika dilihat dari adanya fenomena hubungan
horizontal antar aktor dalam governance, mendasarkan pada adanya asumsi bahwa relasi antar aktor bersifat saling bergantung antara satu sama lain seperti yang dikemukakan oleh Kickert, Klijn dan Koppenjan (1999:31) bahwa: “Networks develop and exist because of the interdependency between actors. Interorganization theory stresses the fact that actor are dependent on each other because they need each others resources to achieve their goals.”.
Dalam bahasa lain dapat dikatakan bahwa dalam suatu jaringan, masing-masing aktor yang terlibat mempunyai tujuan, kepentingan serta sumber daya sendirisendiri. Dalam makna yang lebih operasional merupakan suatu hal yang dapat dimengerti apabila para aktor tidak akan memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuannya tanpa menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang dimiliki oleh aktor lain (Pratikno, 2008:5). Mekanisme adanya saling ketergantungan tersebut berlangsung melalui adanya pertukaran (exchange) sumber daya antar aktor. Selanjutnya pertukaran sumber daya tadi terjadi dengan interaksi dan mekanisme yang akan berlangsung secara berulang-ulang dan terus menerus dalam jangka waktu yang lama dalam kehidupan keseharian.
210
Keberulangan dan kontinuitas tersebut Koppenjan (1999:31),
menurut Kickert, Klijn dan
selanjutnya secara bertahap akan menimbulkan suatu
aturan yang mengatur perilaku mereka yang terlibat di dalam jaringan. Aturan itu akan timbul mulai dari yang paling rendah ikatannya sampai kepada yang lebih tinggi atau lebih kuat. Menurut Alexander (1995:301-302), terdapat empat kemungkinan karakter jaringan jika dilihat dari aspek interdependence ini yaitu bersifat”sequensial”, “resiprocal”, “symbiotic” atau “commensal”, dan kombinasi dari “resiprocal” dan “symbiotic” atau “commensal”, atau “sequensial” dengan “symbiotic” atau “commensal”. Alexander (1995:301) melihat bahwa adanya interaksi antara organisasiorganisasi yang direfleksikan dalam bentuk sequential interdependence atau ketergantungan sekuensial yaitu ketergantungan antara organisasi-organisasi yang terpisah. Bentuk ketergantungannya bisa sederhana tetapi juga bisa menjadi lebih kompleks. Hal tersebut tergantung pada sifat dari objek transfer (sumberdaya) yang terjadi antar organisasi. Apabila objek dari transfer yang ada bersifat relatif standar dan banyak tersedia di pasar dengan pembeli dan penjual yang banyak, maka ketergantungan ini akan mudah dilaksanakan. Proses koordinasi yang relevan dalam hal seperti ini ialah penyesuaian yang bersifat spontan menyangkut ketersediaan informasi, penawaran, permintaan dan harga. Namun jika transaksi yang ada melibatkan sumberdaya yang spesifik, maka penyesuaian bersama kurang memunginkan, sehingga diperlukan adanya permintaan bentuk mekanisme
211
koordinasi. Situasi ini memungkinkan berkembangnya mekanisme koordinasi dari yang informal sampai kepada koordinasi yang bersifat formal. Reciprocal interdependence, menghendaki adanya keterhubungan dyadic atau multirateral berdasarkan pada adanya dua pihak atau lebih yang melakukan transaksi dan dalam tugas yang beragam.
Dengan begitu maka akan ada
kemungkinan hal seperti ini dapat menimbulkan reciprocal interdependencies guna menangani keterhubungan yang bersifat dyadic, dan agar tercipta manajemen yang efektif, biasanya diminta persyaratan-persyaraan akan adanya struktur koordinasi antar organisasi yang melembaga. Pooled interdependence, merupakan bentuk jaringan alami yang melibatkan hubungan multilateral dan mermbutuhkan struktur koordinasi antar organisasi. bentuknya mulai dari suasana yang relatif informal untuk pertukaran informasi‟ negosiasi dan aksi koordinasi dengan penyesuaian bersama: kelompokkelompok antar organisasi
seperti,
gugus tugas (task force) atau lembaga-
lembaga pemerintah, sampai kepada koordinasi antar orgnisasi yang struktur kelembagaannya sangat tinggi yang melimpahkan keputusannya kepada anggota organisasi, seperti perusahaan holding, asosiasi perdagangan, dan gabungan usaha bersama. Dalam menentukan seberapa besar kelembagaan yang dibutuhkan untuk struktur koordinasi antar organisasi di dalam jaringan organisasi, perlu diingat kemungkinan adanya koordinasi yang efektif dengan mempergunakan interaksi informal mulai dari pola hubungan sequensial interdependence yang memerlukan sedikit saja kelembagaan, sampai kepada bentuk pooled interdependence yang
212
memerlukan kelembagaan paling tinggi: inilah pembelajaran dari apa yang disebut sebagai “Koordinasi tanpa hirarki”. Ketergantungan yang lainnya yang kemungkinan dapat terjadi merupakan kombinasi dari beberapa bentuk tadi seperti antara bentuk “resiprocal” dengan “pooled”, atau kombinasi antara” sequential” dengan “pooled”. Temuan di lapangan yang terlihat dari jenis ketergantungan yang ada pada koordinasi antar organisasi dalam pembangunan pariwisata di Bangka Belitung adalah berbentuk sequential interdependence, dimana masih sangat kecil ketergantungan yang terjadi antar SKPD, serta belum terjadi pelembagaan yang berarti. Masing-masing SKPD masih merasa belum memerlukan ketergantungan yang tinggi dengan SKPD lainnya sehingga kelembagaan jaringan yang tercipta juga belum kuat. Bentuk
kesalingketergantungan
koordinasi
kepariwisataan di Kepulauan Bangka Balitung
dalam
pembangunan
yang masih sangat terbatas,
dimana masing-masing SKPD belum terlalu menyadari ketergantungan dengan SKPD lainnya dalam mewujudkan hubungan yang positif
untuk melakukan
pembangunan kepariwisataan yang lebih baik. Hal tersebut terlihat dari masih tingginya ego sektoral yang terdapat di masing-masing SKPD sehingga belum menemukan bentuk sinergi yang efektif. Kurang aktifnya peran Disbudpar selaku stakeholder
utama
yang
selayaknya
mengkomunikasikan
kepentingan
kepariwisataan di tingkat provinsi, serta tidak dijadikannya dokumen perencanaan pariwisata (RIPPDA) dalam membuat perencanaan-perencanaan yang lebih
213
operasional merupakan hal yang membuat kesalingtergantungan yang kuat antar SKPD belum terasakan. Demikian pula minimnya komunikasi antar SKPD dalam kepentingan kepariwisataan di tingkat provinsi yang terlihat dari jarangnya pembahasan pembangunan pariwisata, atau kalaupun ada frekuensinya masih rendah dalam pertemuan dan rapat koordinasi. Rapat koordinasi ada rapat yang dilakukan oleh Disbudpar, tetapi hanya melibatkan SKPD kepariwisataan di kabupaten dan kota, Bappeda provinsi dan lembaga organisasi profesi kepariwisataan di tingkat provinsi seperti ASITA dan PHRI. Sementara itu peranan Bappeda yang diharapkan dapat memfasilitasi koordinasi kepariwisataan di tingkat perencanaan, pemantauan dan evaluasi tidak berjalan sebagai mana seharusnya. Pada waktu pelaksanaan program VBA 2010 koordinasi yang terjadi antar SKPD belum begitu kelihatan dilakukan. Koordinasi SKPD baru terlihat ketika berlangsung kegiatan SWB 2011, dimana sejak awal dengan adanya Keputusan Presiden tentang pelaksanaan SWB, dan SK Gubernur Kepulauan Bangka Belitung serta diwujudkan dalam bentuk kegiatan-kegiatan pada APBD. Dengan demikian terlihat bahwa adanya kebijakan di tingkat pemerintah pusat oleh presiden yang ditindaklanjuti dengan di tingkat daerah oleh Gubernur ternyata memberikan dorongan yang besar bagi SKPD untuk melakukan komunikasi dan koordinasi. Hal tersebut membuktikan bahwa adanya koordinasi antar SKPD masih harus didahului dan lebih didorong oleh adanya “perintah” oleh atasan dari pada muncul dengan kesadaran sendiri untuk melakukan koordinasi. Jika dalam
214
program VBA 2010 keterlibatan pemerintah pusat sangat kecil karena hanya merupakan program yang dicanangkan di tingkat pemerintah provinsi saja, maka pada SWB 2011 keterlibatan
peran pemerintah pusat cukup besar, karena
merupakan program nasional dimana keberhasilan atau kegagalan program ini akan berimplikasi bagi citra dan kondite daerah di mata pemerintah pusat. Kekhawatiran akan gagalnya program SWB 2011 di daerah di satu sisi, serta di sisi yang lain timbulnya semangat untuk menyukseskan program agar mendapatkan penghargaan dari pemerintah pusat sekaligus sebagai ajang pembuktian diri bahwa provinsi Bangka Belitung mampu melakukan SWB 2011 dengan baik merupakan semacam faktor pendorong dan penarik yang memperkuat munculnya koordinasi antar SKPD.
4.3.2.
Size Sebuah organisasi apalagi organisasi publik menurut Tachjan (2005:73)
memiliki ukuran yang berbeda-beda serta banyak jumlahnya yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing. Organisasi publik karena bersifat politis seringkali memiliki stakeholders yang lebih banyak dan kompleks dibandingkan dengan organisasi swasta Stakeholders dalam organisasi publik juga seringkali memiliki kepentingan yang berbenturan antara yang satu dengan yang lainnya. Karena itu output atau keluaran organisasi publik juga tidak hanya satu tapi bermacam-macam seperti :”Good, service, politics, program information” Keluaran tersebut selain dinikmati oleh masyarakat atau warga negara, juga dinikmati oleh oleh pejabat eksekutif dan legislatif. Size, ukuran atau besaran organisasi dikatakan Scott (1998:256) dapat dianggap sebagai dimensi dari
215
struktur organisasi seperti formalisasi atau sentralisasi. Ada juga yang menyamakan size dengan kontekstual variabel yang mengukur permintaan untuk produk dan jasa yang disediakan oleh organisasi yang strukturnya dapat menjadi peluang atau justru penghambat bagi organisasi. Di bagian lain Alexander (1995:311-312) menyatakan bahwa ukuran dari koordinasi antar organisasi dapat dilihat dari dua hal yaitu dari jumlah organisasi yang terlibat, dan ukuran dari organisasi-organisasi tersebut. Jumlah organisasi sebenarnya berhubungan pula dengan complexity. Semakin banyak organisasi yang terlibat akan semakin kompleks jaringan yang tercipta. Hal ini terjadi karena komponen yang terdapat dalam complexity yaitu heterogeneity dan defferentiation akan menyebabkan membesarnya jaringan. Dalam kondisi antar organisasi seperti ini pada akhirnya menimbulkan adanya organisasi-organisasi yang akan lebih mengembangkan spesialisasinya dan fokus pada fungsi pengembangan. Namun demikian, belum tentu semua jumlah organisasi yang banyak akan menimbulkan tingkat kompleksitas yang tinggi, misalnya dalam
hal
organisasi-organisasi yang tergabung bersifat sejenis seperti organisasi asosiasi pengusaha atau perdagangan, atau asosiasi organisasi pembangunan perumahan nasional yang jumlah anggota organisasinya cukup banyak atau seperti Kamar Dagang Dan Industri (KADIN), tetapi mereka terspesialisasi dan fokus pada suatu bidang tugas pekerjaan tertentu saja. Sebenarnya agak sulit untuk melihat bagaimana ukuran dari bentuk antar organisasi karena hal ini sangat dipengaruhi oleh struktur koordinasi antar
216
organisasi, dan karena ukuran berhubungan dengan banyak variabel lainnya yang secara jelas membuat perbedaan. Bagaimanapun beberapa hal terkait ukuran dalam hubungan antar organisasi ini dapat membuat perbedaan. Ukuran antar organisasi yang kecil terbentuk dari beberapa organisasi-organisasi yang kecil yang relatif bisa ditangani secara informal dan
koordinasi antar organisasi yang tidak terlalu
terstruktur. Kajian tentang besaran organisasi ini juga dilakukan oleh Robbins (1994:176) yang menyatakan bahwa besaran organisasi dapat juga dilihat dari jumlah pegawai, yaitu dengan perkiraan rentang 1500-2000 pegawai. Jika jumlah pegawainya kurang dari 1500 cenderung disebut kecil dan kebalikannya apabila jumlah pegawainya kurang lebih 2000 orang maka dapat dikategorikan organisasi besar. Dari sisi ukuran organisasinya koordinasi antar organisasi dalam pembangunan pariwisata Bangka Belitung dapat dikatakan termasuk dalam kategori yang tidak terlalu besar atau sedang. Jika dilihat dari jumlah pegawai misalnya, maka yang
setidaknya yang terlibat secara langsung dalam
kepentingan kepariwisataan terdapat sekitar 14 SKPD di pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu Disbudpar, Bappeda, Dinas pertambangan, Dinas Perindustrian Perdagangan, Dinas Perhubungan, Dinas Koperasi dan UMKM, Dinas PU, Dinas Tenaga Kerja, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Asset Daerah, Dinas Pemuda dan Olahraga, Dinas Pertanian, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Komunikasi dan
217
Informatika. Sementara itu juga terdapat lagi 4 (empat) organisasi lainnya yang berada di sektor swasta yaitu PHRI, ASITA, HPI, asosiasi airlines, dan beberapa LSM yang bergerak di kepariwisataan, serta masyarakat. Apabila dijumlahkan maka
diperkirakan melibatkan
pegawai
berkisar sekitar
1500-2000 orang
bahkan mungkin lebih. Dilihat dari ukuran anggota organisasi terlihat bahwa rata-rata masingmasing SKPD memiliki ukuran yang juga tergolong sedang dengan tiga jenjang struktur eselon yaitu eselon 2, eselon 3, dan eselon 4 yang total jumlah jabatan strukturalnya berkisar antara 20-25 jabatan struktural di setiap SKPD. Dalam menentukan ukuran koordinasi antar organisasi yang dilandasi oleh dua karakter tadi yaitu jumlah organisasi dan ukuran dari anggota, serta pegawai organisasi maka terlihat bahwa bentuk organisasi
di dalam koordinasi
kepariwisataan Bangka Belitung dapat dimasukan dalam kategori yang terdiri dari kombinasi jumlah organisasinya dan pegawai yang banyak dan ukurannya sedang atau moderate. Dengan kombinasi seperti yang terjadi tersebut maka jika dilihat bentuknya termasuk dalam kategori sangat besar. Implikasinya maka ukuran organisasi koordinasi antar organisasi dalam pembangunan pariwisata di Bangka Belitung yang tergolong besar tersebut akan menyebabkan pula perlu adanya tingkat koordinasi yang tinggi sehingga diperlukan upaya-upaya
khusus dalam menjalin hubungan komunikasi antar
SKPD, serta organisasi swasta dan kemasyarakatan lainnya.
218
4.3.3.
Structure Keberadaan sebuah organisasi antara lain dibentuk dengan maksud untuk
mencapai suatu tujuan. Dalam kehidupan keseharian terdapat banyak tujuan yang juga harus diikuti dengan pemilihan bentuk organisasi yang disesuaikan pula dengan kebutuhan. Dalam teori organisasi dikenal beberapa bentuk struktur seperti yang dikemukakan Keban (2004:125) bahwa struktur organisasi menunjukkan pola interaksi antara anggota organisasi, yang dapat dibedakan atas bentuk klasik atau sering disebut (1) bentuk birokratik atau mekanis;(2) bentuk link-pin; (3) bentuk proyek; dan (4) bentuk matriks. Menurut Daft (1992:179) struktur organisasi ditentukan oleh tiga hal penting yaitu, 1. Organization structure design formal reporting relationship, including the number of levels in hierarchy and the span of control of managers and supervisors 2. Organization structure indentifies the groupiong together of individuals into departemens and grouping of departements into the total organization. 3. Organization structure includes design of systems to ensure effective communication, coordination and integration of effort across departments.
Semua hal itu memiliki keterkaitan dengan aspek vertikal maupun horizontal organisasi yang sama-sama berhubungan dengan diferensiasi dan spesialisasi. Kedua elemen pertama merupakan kerangka kerja strukur, dan elemen ketiga merupakan pola interaksi di antara pegawai-pegawai organisasi, sehingga
ketidaktepatan
dalam
cara ini
akan menyebabkan timbulnya
permasalahan. Hampir semua masalah dalam organisasi diakibatkan oleh struktur organisasi. oleh karenanya struktur organisasi haruslah didesain dengan tepat dan terus disempurnakan sesuai dengan perubahan lingkungan (Tachjan, 1995:72).
219
Sedangkan menurut Alexander (1995:312) untuk struktur dalam jaringan antar organisasi merupakan hasil dari kombinasi yang kompleks dari faktor-faktor yang berinteraksi dalam proses yang dinamik dari evolusi sistem antar organisasi. Konsekwensinya adalah ketika kita menyatakan bahwa struktur jaringan antar organisasi
akan lebih melembagakan struktur koordinasi antar organisasi,
maknanya
adalah
menggambarkan
gabungan
perubahan,
dari
pada
menggambarkan norma untuk desain kelembagaan. Pernyataan ini berarti membedakan satu dimensi strukturasi dari dimensi yang lainnya. Keterpusatan (centeredness) ini lebih kuat dari pada keterhubungan (connectedness), dimana hal ini berkaitan langsung dengan munculnya atau lebih terlembaganya struktur koordinasi antar organisasi.: kelompok-kelompok antar organisasi formal (seperti lembaga pemerintahan dan komisi), unit-unit koordinasi , atau organisasiorganisasi
yang membentuk
sistim koordinasi antar organisasinya dengan
struktur koordinasi antar organisasi. Keterhubungan, melengkapi keterpusatan dalam jaringan antar organisasi. Pengaturan antar organisasi dengan jaringan keterhubungan lebih mendorong munculnya koordinasi informal. Keterhubungan jaringan mengembangkan kemampuan manajerialnya sendiri dan mengurangi tingkat ketergantungannya pada kelembagaan struktur koordinasi antar organisasi, yang terlihat dalam beberapa kasus keberhasilan jaringan-jaringan informal. Dengan mengamati kenyataan yang terjadi pada jaringan koordinasi antar organisasi yang berlangsung dalam pembangunan kepariwisataan di Bangka Belitung, maka struktur yang ada lebih mendekati pada bentuk struktur yang
220
tingkat keterpusatan dan keterhubungannya masih lemah
yang berarti masih
dalam tingkatan sentralisasi sangat rendah atau tidak /belum terstruktur. Kondisi struktur seperti ini dapat dilihat dari masih lemahnya keterhubungan koordinasi antar organisasi, baik oleh karena masih kuatnya ego sektor yang dimiliki oleh masing-masing SKPD, maupun belum munculnya upaya koordinasi yang semestinya dilakukan oleh Disbudpar dan Bappeda mulai dari proses perencanaan, pemantauan dan evaluasi
berbagai
kegiatan yang
berhubungan dengan pembangunan kepariwisataan.
4.3.4.
Complexity Di dalam sebuah organisasi yang dimaksudkan dengan complexity adalah
kerumitan dalam organisasi karena timbulnya satuan-satuan kerja yang disebabkan adanya diferensiasi pekerjaan, baik horizontal, vertikal, maupun spasial (Tachjan:2005:78). Diferensiasi tercipta karena semula dimaksudkan sebagai upaya untuk mempermudah dan mewujudkan efisiensi dan efektivitas dalam mencapai tujuan dan sasaran organisasi. sebagai akibatnya diferensiasi menimbulakan perbedaan satuan-satuan kerja yang menyebabkan diperlukannya koordinasi, komunikasi dan pengawasan agar semua kegiatan yang dilakukan tetap mengarah kepada satu tujuan (Jones:1995:50).yang sama. “Differentiation is the process by which an organization allocates people and resources to organizational task and establish the tasks and autority relationship that allow the organization to achieve its goals” Diferensiasi merupakan suatu proses, dimana organisasi mengalokasikan orang-orang dan sumber daya pada pekerjaan dan menetapkan tugas pekerjaan
221
serta hubungan otoritas agar organisasi dapat mencapai tujuan. Menurut Tachjan (1995:78-83) diferensiasi dapat dibagi ke dalam tiga jenis yaitu: diferensiasi horizontal, vertikal, dan spasial. Diferensiasi horizontal berhubungan dengan pembagian kerja ke samping yang dikelompokan dalam unti-unit berdasarkan atas orientasi para anggotanya., sifat dan tugas yang mereka laksanakan, tingkat pendidikan serta pelatihannya. Diferensiasi horizontal ini akan menimbulkan spesialisasi kerja yang bersifat fungsional maupun sosial. Spesialisasi yang fungsional, pekerjaan dipecah-pecah menjadi tugas yang sederhana dan berulang, sehingga pegawai memiliki kemampuan substansi. Sedangkan spesialisasi sosial adalah para individunya yang dispesialisasi, bukan pekerjaanya. Diferensiasi vertikal, mengarah kepada pembagian kerja atau spesialisasi kerja secara hirarkis yang berhubungan dengan pembentukan dan pembagian otoritas formal sebagai dasar untuk bertindak (diskresi) dalam pengkoordinasian, komunikasi, dan pengawasan terhadap dan di antara unit-unit kerja dalam organisasi. Diferensiasi spasial, merupakan hal yang berhubungan dengan perluasan organisasi secara geografis. organisasi dapat melakukan aktivitas yang sama dengan tingkat diferensiasi horizontal dan vertikal di berbagai lokasi, namun keberadaan berbagai lokasi tersebut akan meningkatkan pula kompleksitas yang merujuk pada jarak lokasi, fasilitas dan penyebaran para pegawai secara geografis. Dalam hubungannya dengan karakter jaringan antar organisasi, menurut Alexander
(1995:313-315)
complexity
merupakan
hal
penting
yang
mempengaruhi ketepatan atau kecocokan struktur koordinasi antar organisasi,
222
namun hal ini juga berhubungan dengan karakter-karakter dari jaringan antar organisasi dalam berbagai bentuknya.
Menurutnya ada dua dimensi dari
complexiy, yaitu heterogenitas dan diferensiasi. Jika diferensiasi dalam suatu organisasi telah dijelaskan dimuka, maka heterogenitas disini dimaksudkan sebagai lawan dari homogenitas yang ada dalam organisasi-organisasi yang tergabung dalam jaringan. Misalnya organisasi yang tergabung dalam suatu jaringan merupakan orgaisasi-organisasi yang sama bidang pekerjaannya. Dilihat dari sisi
deferensiasi maka koordinasi antar organisasi dalam
pembangunan pariwisata di Bangka Belitung dapat digolongkan ke dalam bentuk kategori sedang, karena dari diferensiasi horizontal terdapat pembagian pengelompokan bidang kerja yang cukup luas dalam hal ini yang terkait langsung adalah 14 SKPD, 4 organisasi swasta, dan LSM. Untuk diferensiasi vertikal masih dapat dikategorikan dalam ukuran yang tidak terlalu tinggi karena hanya melibat tiga jenjang eselon, dan dua tingkat pemerintahan yaitu pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota bagi SKPD yang memiliki Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD). Dari sisi diferensiasi spasial maka sebaran kegiatan yang menjadi urusan koordinasi pembangunan pariwisata tersebar di tujuh kabupaten/kota muai dari wilayah daratan sampai laut yang terdiri dari permukaan laut sampai ke dalam atau dasar lautnya. Heterogenitas organisasi yang terkait dengan koordinasi pembangunan pariwisata Bangka Belitung cukup tinggi jika dilihat dari banyaknya keterlibatan organisasi pemerintahan (14 SKPD) yang mewakili kepentingan sektornya masing-masing di bidang pemerintahan, organisasi profesi (4 organisasi) di bidang
223
swasta, dan LSM yang menangani aspek kemasyarakatan. Dengan demikian di dalam complexity maka dapat dikategorikan berbentuk kompleksitas sedang.
4.3.5.
Autonomy Otonomi jaringan dipengaruhi oleh dua karakter yaitu keterbukaan
jaringan dengan lingkungannya, serta ketergantungan koordinasi antar organisasi dengan lingkungannya yang disertai sumber daya yang terbatas. Jika dilihat dari konteks otonomi jaringan maka peran lingkungan organisasi menjadi faktor penting, karenanya perlu dicermati apakah yang dimaksud dengan lingkungan organisasi tersebut. Secara sederhana lingkungan dapat didifenisikan sebagai seluruh elemen yang terdapat di luar batas-batas organisasi, yang mempunyai potensi untuk mempengaruhi sebagian atau keseluruhan organisasi (Supriyatna dkk, 2011:2.5). Lingkungan dapat dikelompokan menjadi lingkungan eksternal yang dapat dibagi menjadi elemen aksi langsung (direct action element) dan elemen aksi tidak langsung (indirect action
element) dan lingkungan internal. Element aksi
langsung sering juga disebut dengan pihak-pihak yang berkepentingan atau stakeholder, sedangkan yang termasuk elemen aksi tidak langsung diantaranya adalah teknologi, ekonomi, politik, dan sebagainya. Lingkungan menjadi penting dalam hubungannya dengan organisasi karena dua hal (Bryant
dan White, 1989:65). Pertama, lingkungan dapat
menyediakan sumber-sumber daya, dan kedua, lingkungan menawarkan batas atau kendala. Dari sudut pandang ini maka semua tindakan organisasi sebenarnya merupakan cara untuk menangani kesempatan atau ancaman yang datang dari
224
lingkungan. Koordinasi dengan demikian bukan hanya semata-mata sebagai upaya untuk melakukan perpaduan spesialisasi, tetapi yang utama koordinasi adalah cara menanggulangi permintaan dan tuntutan yang datang dari luar. Keterbukaan jaringan berhubungan dengan jumlah dan intensitas interaksi dari anggota organisasi yang menghubungkan hal ini dengan jaringan kelembagaan. Sehingga semakin terstruktur jaringan akan lebih meningkatkan otonomi. Alasannya adalah hubungan yang tinggi yang diasosiasikan dengan struktur berarti jaringan akan lebih banyak berinteraksi secara intensif dengan lingkungannya untuk mencapai keterbukaan. Kondisi otonomi dalam koordinasi antar organisasi yang ada dalam pembangunan pariwisata Bangka Belitung memperlihatkan bahwa baik dari sisi dependency maupun openess masih tergolong rendah atau kecil yang tergambar dari kondisi koordinasi yang tingkat ketergantungannya masih sangat tinggi pada atasan atau pemerintahan pusat serta keterbukaan yang rendah karena masih dominannya fragmentasi yang terjadi antar SKPD yang terkait. Rendahnya keterbukaan ini juga antara lain yang menyebabkan kurangnya komunikasi antar SKPD yang dapat dikatakan sebagai memiliki otonomi rendah.
4.3.6.
Misson Misi merupakan tujuan apa yang ingin dicapai dan akan dilakukan oleh
suatu organisasi di masa depan. Bryson (1995:28) menyatakan bahwa misi selayaknya disandingkan dengan istilah mandat, yang merupakan alasan keberadaan suatu organisasi. “An organization’s mission, in tandem with its mandates, provides its raion d’etre, the social justification for its existence”.
225
Sementara itu dalam bahasa Tribe (1997:8) menyatakan bahwa misi organisasi dapat menyangkut hal-hal berikut: “- What organization is trying to achieve - What its purpose or aim is - What it is trying to head in the mediun long term”. Misi merupakan apa yang akan dicapai oleh sebuah organisasi, apa yang menjadi tujuan organisasi, dan apa yang menjadi pegangan bagi organisasi baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang. Sebagai tujuan dari sebuah organisasi maka keberadaan misi dapat pula dinyatakan bahwa, misi yang dimiliki oleh sebuah organisasi akan mempengaruhi para stakeholder yang terkait dalam organisasi tersebut. Schein (2004:90) menyatakan bahwa misi organisasi akan membuat isu yang multi komplek manakala fungsi utama dari organisasi harus dipertahankan. Menururt Bryson, bagi organisasi yang bersifat non profit seperti organisasi publik maka misi orgnisasi tersebut akan membuatnya mencari kebutuhan sosial dan politik yang akan dipenuhi. Bryson (1995;28) menyatakan bahwa mengindentifikasi misi bukan hanya sekedar melihat keberadaan suatu organisasi saja, akan tetapi juga akan berguna untuk mengurangi konflik dalam organisasi serta menjadi ruang diskusi dan aktifitas produksi. Misi yang baik akan mampu menjadi inspirasi bagi seluruh stakeholder kunci, utamanya pekerja. Misi organisasi dalam jaringan antar organisasi adalah fungsi atau tujuan yang organisasi-organisasi melakukan kegiatan dan berinteraksi bersama untuk mencapai keinginan bersama. Misi disini dibedakan dengan struktur tugas koordinasi antar organisasi yang biasanya
226
memiliki beberapa dimensi. Skala atau tingkatan misi jaringan dapat diasosiasikan dengan karakteristik lainnya seperti size dan complexity. Ada dua faktor yang dapat menggambarkan skala misi. pertama adalah scope: yaitu intensitas dan jangka waktu dari interaksi antara organisasi dengan permintaannya dan bagaimana makna hubungan transaksi yang berlangsung antar organisasi. Kedua, adalah complexity dari misi, yaitu bagaimana ketidakpastian dan perbedaan yang ada dalam anggota organisasi membantu misi jaringan yang ada dan pada tingkatan spesialisasi dan diferensiasi yang bagaimana hal itu terjadi. Dengan berpegang pada penjelasan tersebut maka akan dicermati kembali Visi dan misi yang terdapat dalam RIPPDA Kepulauan Bangka Belitung adalah : Visi: " Terwujudnya kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2013 sebagai Daerah Tujuan Wisata (DTW) utama di Kawasan Barat Indonesia yang berdaya saing tinggi dengan menampilkan perpaduan keragaman kebudayaan daerah serta kekuatan potensi wisata bahari melalui pemanfaatan secara terkendali, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan." Misi: 1. Penciptaan citra pariwisata Kepulauan Bangka Belitung yang berbasiskan potensi wisata bahari dan kekhasan budaya pesisir sebagai identitas provinsi. 2. Peningkatan daya saing pariwisata Kepulauan Bangka Belitung melalui pengembangan kawasan wisata unggulan provinsi yang memiliki keunggulan produk wisata dan keterpaduan dalam pengelolaan. 2. Penerapan perencanaan dan pengelolaan produk wisata yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 3. Peningkatan kualitas lingkungan fisik, sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Kepulauan Bangka Belitung melalui pengembangan pariwisata.
227
4. Peningkatan apresiasi masyarakat terhadap pariwisata Kepulauan Bangka Belitung yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Dilihat dari skala misi maka jangka waktu yang dijadikan batasan dalam pencapaian visi pada Rencana Induk sebenarnya tidak terlalu jauh bahkan sangat dekat jika dilihat yaitu pada tahun 2013 saja. Untuk skala misi pariwisata di dalam RPJMD yang merupakan semacam janji dari kepala daerah terpilih juga hanya dalam kurun waktu lima tahun yaitu 2007-2012. Dilihat dari sudut complexity masih tergolong cukup kompleks karena sektor yang mendukung pengembangan kepariwisataan rata-rata memiliki tingkat diferensiasi dan spesialisasi perbedaan. Keterkaitan beberapa SKPD seperti Bappeda, Dinas Perhubungan, Dinas Pertambangan dan Energi, Dinas Perindustrian dan Perdagangan (sebenarnya masih banyak lagi SKPD, atau dapat juga dikatakan bahwa hampir semua SKPD memiliki keterkaitan baik langsung maupun tidak langsung, hanya saja penelitian ini membatasinya agar dapat lebih fokus dan terarah-pen), serta keterlibatan yang kuat dari kalangan swasta dan masyarakat dalam hal ini LSM pada upaya pembangunan pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung terlihat cukup beragam. Dengan kondisi seperti demikian maka untuk misi dapat dikategorikan berada pada jaringan yang dari sisi “task scope” rendah, dan pada complexity termasuk sedang, atau berada pada yang termasuk rendah tingkat pekerjaan yang harus dilakukan Jenis jaringan yang telah diteliti untuk koordinasi antar organisasi pada pembangunan pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung maka dapat dilihat bahwa dari keenam aspek jaringan
mulai dari interdependence, size, structure,
228
complexity, autonomy, dan mission terlihat bahwa sebenarnya hanya pada aspek mission saja yang memberikan sumbangan yang mendorong
kemudahan
bekerjanya koordinasi antar organisasi di antara sesama SKPD pemerintah provinsi. Kelima aspek jaringan lainnya justru terjadi hal yang mengarah pada hambatan bagi terjadinya proses koordinasi antar organisasi. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa karakter koordinasi antar organisasi dalam pembangunan pariwisata
di
Kepulauan
Bangka
Belitung
belum
siap
mendukung
berlangsungnya koordinasi secara efektif, terutama pada koordinasi antar SKPD di jajaran pemerintah provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kondisi ini seperti yang disampaikan oleh Pratikno (ed) (2007:29) yang menyatakan bahwa: “jika hubungan antar lembaga daerah tidak terjalin dengan baik maka, akan terjadi berbagai permasalahan: misscommunication, missperception, missmacth, dan menginterpretasikan tugas dan fungsi masing-masing lembaga pemerintah daerah. Akibatnya akan muncul berbagai kesenjangan antara tujuan yang telah ditetapkan organisasi dengan sasaran yang dihasilkan, disamping akan muncul pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan yang tumpang tindih (overlapping), sehingga membingungkan masyarakat daerah”.
Karakter
jaringan
koordinasi
antar
organisasi
yang
ada
dalam
pembangunan pariwisata Bangka Belitung jika dilihat dengan pendekatan di atas maka dapat digambarkan sebagai mendekati bentuk yang memiliki: Interdependence atau Ketergantungan sekuensial ; Size yang berbentuk besar mendekati sangat besar,; Struktur yang ada bersifat tidak terstruktur; Complexity berbentuk sedang; Otonomi yang berlangsung sedang; dan Mission yang rendah. Mengikuti alur yang disarankan oleh Alexander untuk gambaran karakter jaringan seperti yang ada di Kepulauan Bangka Belitung, maka selayaknya
229
strategi koordinasi yang dilakukan dalam konteks dimensi waktu adalah dengan apa yang dinyatakan Alexander sebagai anticipatory coordination, yang di satu sisi menggunakan pengorbanan yang lebih sedikit dibandingkan koordinasi yang lain, dan di sisi selanjutnya, penggunaan koordinasi dengan anticipatory ini mengharuskan pihak-pihak sejak awal sudah mulai terlibat atau dilibatkan mulai dari pembuatan perencanaan, pelaksanaan, umpan balik dan pengendalian. Apabila selama ini pendekatan strategi koordinasi dalam perencanaan yang dilakukan lebih banyak secara kultural dengan kooptasi, Public Relations, & influence, yang terlihat dari upaya-upaya sebatas persuasi dengan mengandalkan media massa dan media luar ruang yang juga tidak dijalankan secara efektif karena adanya alasan keterbatasan anggaran dan SDM yang belum memadai, maka ke depan akan lebih baik jika strategi yang dijalankan adalah strategi communicative. Dengan penerapan strategi ini maka yang dikedepankan adalah adanya pertukaran informasi, pelaksanaan negosisai, serta penciptaan dan pengembangan networking. Untuk itu dibutuhkan pengembangan kualitas SDM dan ketrampilan dalam pelaksanaannya. Pertukaran informasi memerlukan pemahaman akan sumberdaya apa yang dimiliki serta tidak dimiliki yang dibandingkan dengan sumber daya yang ada pada pihak-pihak lainnya. Demikian pula dengan negosiasi dimana diperlukan ketrampilan komunikasi yang memadai guna meyakinkan pihak-pihak yang diajak berunding bahwa apa yang ditawarkan baik itu pertukaran sumber daya atau kerjasama akan memberikan manfaat lebih bagi para pihak. Pada pelaksanaan kegiatan yang selama ini dilakukan dengan berbagai
230
strategi seperti strategi informational dengan sektor pertambangan, cultural dan communicative dengan pihak Disperindag dan perhubungan, maka masih dapat disempurnakan dengan mengembangkan strategi control di sektor pertambangan misalnya. Hal ini sangat diperlukan melihat kecepatan berkembangnya kawasan pertambangan utamanya yang bersifat ilegal yang merambah sampai ke tempattempat yang sebenarnya dilarang untuk digarap, termasuk di kawasan lindung dan kawasan pariwisata. Dengan penekanan pada strategi Control diharapkan pola hubungan yang tercipta akan lebih menekankan aspek reward dan punishment yang jelas, utamanya kepada para pengawas dan pengendali mulai dari level perencana kebijakan sampai kepada pelaksana di lapangan. Demikian pula halnya dengan strategi yang dikembangkan kepada Disperindag, akan lebih tepat apabila dilakukan pendekatan fungsional yang mengembalikan lagi fungsi Dinas Perindag sebagai pembina dan pembuat kebijakan di bidang perindustrian perdagangan dalam konteks memajukan industri yang berkaitan dengan kepariwisataan. Jika selama ini banyak hal yang terkesan saling menunggu antara Disbudpar dan Dinas Perindustrian, maka ke depan masing-masing pihak harus melakukan koordinasi fungsional dengan fungsi utama merekatkan kepentingan yang langsung berhubungan antara permintaan di sektor pariwisata dengan produk perindustrian dan perdagangan yang ada. Pihak pariwisata dapat menyampaikan bagaimana selera dan kebutuhan pasar dan ikut mempromosikan, sedangkan perindag melakukan standarisasi ketrampilan dan produk guna memenuhi kebutuhan dimaksud. Sektor perhubungan lebih memerlukan strategi kooperatif, dimana upaya
231
strategi koordinasi dapat dimulai dari menyampaikan informasi akan kebutuhankebutuhan termasuk rencana pengembangan destinasi, serta berbagai even yang dapat dikerjasamakan penggarapan fasilitas transportasinya. Khusus untuk angkutan umum darat pola subsidi perlu dipertimbangkan untuk dikembangkan dalam upaya memancing pihak swasta untuk berinvestasi di awal kegiatan, dan perlahan-lahan dilepas jika pasar (pariwisata) yang tercipta sudah memadai. Dalam
hal
perbaikan pelayanan perhubungan udara, adanya kesan bahwa
dominasi sebuah maskapai penerbangan pada rute Jakarta-Babel, selayaknya disikapi dengan mengundang maskapai-maskapai lain, serta mengundang pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), guna membuktikan kebenaran dari dugaan yang banyak beredar di berbagai kalangan pelaku pariwisata. Karenanya pihak Disbudpar dan Dinas Perhubungan hendaknya lebih berperan aktif mencarikan solusi penurunan harga tiket untuk meningkakan posisi tawar paketpaket pariwisata ke Babel. Pada tahap pemantauan, umpan balik dan pengendalian yang selama ini terkesan sangat lemah, maka jika pendekatan kultural diubah menjadi pendekatan control,
kemungkinan perbaikan akan tercipta lebih luas. Namun diperlukan
keterlibatan dan komitmen pihak-pihak berwenang utamanya para atasan dalam mengeksekusi pendekatan ini. Karena otoritas pemberian sanksi dan penghargaan sangat perlu ditekankan terutama di tahap awal ketika strategi control ini akan diterapkan guna melakukan semacam schock therapy dalam menarik keseriusan pihak-pihak yang dipantau dan dikendalikan. Strategi yang dilakukan dengan kalangan swasta dan masyarakat perlu
232
terus dijaga bahkan dikembangkan dengan lebih baik, misalnya dengan menciptakan semacam forum bagi swasta dan masyarakat untuk bersinergi dalam memajukan pariwisata, sehingga pengembangan pariwisata tidak semata-mata dianggap sebagai tugas pemerintah saja akan tetapi juga merupakan kerja bersama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan demikian jika melihat pembahasan yang telah dilakukan maka pada koordinasi berdasarkan dimensi waktu dalam pembangunan pariwisata di Babel, strategi yang dilakukan pada masing-masing tahapan kegiatan dapat lebih disempurnakan dengan menerapkan pula strategi berikut: Tabel 4. 7. Karakter Jaringan dan Strategi Koordinasi Pembangunan Pariwisata di Kep. Bangka Belitung (Dimensi Waktu) Karakter Jaringan
Strategi Koordinasi Dimensi Waktu
Interdependence: 1. Perencanaan: Sekuensial a.Kesiapan stakeholder Size: Besar Structure: Tidak terstruktur Complexity: Sedang Autonomy: Sedang
b.Pertimbangan tujuan c.Keterbukaan proses d.Rekomendasi 2. Pelaksanaan: a.Distamben b.Disperindag c.Dishub
Strategi Koordinasi Faktual
Cultural dengan kooptasi, Communicative Public Relations, & influence
thd Cultural sepihak
Communicative
Cultural
Communicative
Cultural
Communicative
dalam
Cooperative Cultural Cultural&Communicativ Mission: Rendah e 3.Pemantauan, Umpan Cultural balik, & pengendalian 4.Organisasi swasta dan Cultural & commumasyarakat nicative Sumber : Hasil penelitian 2012
Strategi Koordinasi Rekomendasi
Control Fungsional Cooperative Control Cultural & communicative
233
4.4.
Strategi Manajemen Jaringan Kickert, Klijn dan Koppenjan (1999 dalam Pratikno, 2008) menawarkan
sebuah pendekatan yaitu dengan memanfaatkan pendekatan strategi manajemen jaringan guna memadukan karekter jaringan yang ada dengan strategi. Gambaran karakter jaringan koordinasi antar organisasi dalam pembangunan pariwisata yang ada memperlihatkan bahwa dalam merangkum sinergi yang terlembaga dan berkelanjutan dibutuhkan tindakan-tindakan penting. Pertama, pengembangan strategi-strategi, baik dalam Game Management maupun Network structuring bukanlah sebagai sesuatu yang terpisah, melainkan harus dirancang untuk membangun hubungan dualitas. Ketika hubungan atau kohesivitas antar pelaku jaringan pada umumnya belum terlalu kuat, seperti yang terlihat pada kondisi yang ada di Bangka Belitung, sedangkan hambatan yang berbentuk kelembagaan sangat besar dalam membangun jaringan, maka yang seharusnya dikembangkan adalah strategi yang diarahkan sekaligus pada dua tahapan. Pada tahapan
pertama yang harus diperhatikan
ialah memperkuat
kohesivitas jaringan dan sekaligus juga di tahapan kedua dengan melakukan upaya memperlemah hambatan kelembagaan yang ada. Melalui cara ini maka, akan mampu dipetakan pada tahapan mana strategi itu dikembangkan. Dengan mengetahui sisi-sisi mana yang kuat dan yang lemah, dengan membandingkan antara daya hambat struktur dan kapasitas pelaku jaringan, maka sarana-sarana manajemen jaringan bisa diformulasikan pada wilayah yang tepat.
234
Karakter yang menghambat pada struktur jaringan dalam pembangunan pariwisata di Babel yang diwakili oleh unsur-unsur Size, Complexity, dan Structure.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh masing-masing yang
memperlihatkan, Size: berbentuk besar, Complexity: yang tidak terlalu rumit atau sedang, dan Structure: tidak terstruktur. Dengan kata lain bahwa keberadaan struktur jaringan yang ada belum dapat menjadi faktor pendorong bagi kuatnya koordinasi yang tercipta atau masih menjadi penghambat lembaga. Hal dimaksud nampak dari: pertama, keberadaan Size yang berbentuk besar bahkan cenderung sangat besar, yang akan memberikan beban berat pada tugas-tugas koordinasi, utamanya dalam koordinasi horizontal seperti pada kasus pembangunan pariwisata. Kedua, dari sisi complexity yang sedang serta yang tidak diimbangi dengan adanya kondisi structure yang bersifat tidak terstruktur akan lebih menambah sulit dilakukannya koordinasi antar organisasi. Dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa koordinasi yang berlangsung belum melembaga dan tidak mempunyai pola yang jelas, baku dan teratur. Untuk itu diperlukan strategi yang mampu mendorong terjadinya pola koordinasi yang strukturnya semakin melembaga. Pada pola hubungan kohesivitas antar aktor yang ada dalam jaringan yang antara lain dapat dilihat pada unsur interdependence, Autonomy, dan Mission. Dari hasil penelitian terlihat bahwa untuk Interdependence: berbentuk sekuensial, Autonomy: berbentuk sedang, dan Mission:tergolong pada bentuk yang rendah. Kondisi ini memperlihatkan masih belum padunya hubungan antar aktor
235
yang ada sehingga perlu dilakukan peningkatan kualitas hubungan yang berlangsung antar pelaku dalam jaringan koordinasi yang ada. Melalui adopsi terhadap strategi manajemen jaringan dalam kerangka strukturasi seperti yang dikemukakan oleh Klijn dan Teisman (1999:106 dalam Pratikno, 2008:14) maka pendekatan strategi yang disarankan untuk memperkuat koordinasi dalam pembangunan pariwisata di Bangka Belitung adalah dengan menggabungkan strategi Game Management dengan strategi Network Structuring berupa: GM: Covenanting: Mengeksplorasi persamaan dan perbedaan persepsi antar aktor, dan menjajagi untuk menselaraskan tujuan bersama. NS: Network (de) activation : Melibatkan aktor-aktor baru atau mengubah posisi dari aktor yang ada; memobilisasi koalisi-koalisi baru. Sekaligus dilakukan juga strategi Reconstitutionalism: yaitu Mengubah kebijakan, aturan dan sumberdaya dalam jaringan secara fundamental. Melalui tiga jenis strategi yang terdiri dari satu strategi GM dan dua strategi NS tersebut di atas maka di level relasi atau hubungan antar aktor yang menuju keselarasan tujuan akan menggerakan organisasi dimana dia berada dan pada gilirannya akan terjadi perubahan menuju kohesivitas yang semakin baik. Sedangkan melalui dua strategi NS dengan masuknya aktor baru yang mendorong koalisi baru, serta perubahan aturan dan sumberdaya secara fundamental dalam memfasilitasi struktur yang diharapkan akan semakin cepat mengurangi hambatan kelembagaan yang ada.