77
BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NO. 7 TAHUN 1989 TERHADAP PENENTUAN PATOKAN ASAS PERSONALITAS KEISLAMAN DI PENGADILAN AGAMA SURABAYA
A.
Dasar Penentuan Patokan Asas Personalitas Keislaman di Pengadilan Agama Surabaya Dasar hukum dalam menentukan patokan asas personalitas keislaman di Pengadilan Agama Surabaya berdasarkan ketentuan pasal 172 KHI : “Ahli waris dipandang beragama islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya”1 Pada pasal tersebut menjelaskan tentang kriteria keislaman seseorang dalam hal kewarisan, kriteria keislaman seseorang juga dapat dilihat dari unsur keislaman pada ahli waris, jadi sama halnya menentukan keislaman seseorang berdasarkan patokan asas personalitas keislaman yang tunduk pada peradilan agama.2 Yakni dapat disimpulkan bahwa Pengadilan Agama Surabaya dalam menentukan patokan asas personalitas keislaman yang nantinya pada diri seseorang melekat asas personalitas keislaman dengan melihat beberapa kriteria sebagai berikut :
1
Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam Sulaiman, hakim Pengadilan Agama Surabaya., wawancara, pada tanggal 20 April 2009 di Pengadilan Agama Surabaya. 2
78
1.
Pengakuan : Cukup dengan pengakuan secara lisan tanpa melihat kwalitas keislaman seseorang, atau bukti apakah orang tersebut benar melaksanakan ajaran Islam atau tidak.
2.
Identitas Dengan melihat kartu identitas yang dimiliki seseorang seperti halnya KTP, SIM, dan kartu identitas lainnya yang menyatakan agama Islam.
3.
Amalan Hanya melihat cara beribadah yang sesuai dengan ajaran Islam dan juga perbuatan yang dilakukan adalah berdasarkan hukum Islam, maka pada dirinya melekat asas personlitas keislaman.
4.
Kesaksian Dengan melihat beberapa bukti bahwa adanya indikasi seseorang tersebut beragama Islam, dan juga mendengar dari kesaksian seseorang lain bahwa seseorang tersebut beragama Islam. Jadi apabila salah satu ciri di atas telah terpenuhi, maka pada diri
seseorang telah melekat asas personalitas keislaman dan otomatis perkara yang diajukan oleh orang yang mempunyai kriteria minimal salah satu dari yang telah disebutkan diatas dalam mengajukan perkara dapat di terima di Pengadilan Agama Surabaya.
79
Menurut Ahmad Bisri Mustaqim3 apabila terjadi sengketa antara orangorang yang beragama Islam atau non Islam yang pada awalnya melaksakan perkawinan berdasarkan hukum Islam apabila terjadi sengketa perceraian perkaranya menjadi kewenangan pengadilan agama, karena dalam menentukan patokan asas personalitas keislaman berdasarkan pada saat perkawinan dilangsungkan sebagaimana telah diatur dalam penjelasan
pasal 49 Undang-
undang No 7 tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang No. 3 tahun 2006 yang menerangkan bahwa “Asas personalitas keislaman tidak berlaku dalam sengketa bidang perkawinan yang perkawinannya tercatat di Kantor Urusan Agama, dimana salah satu pihak (suami atau isteri) keluar dari agama islam”.4
B.
Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Surabaya dalam Memutuskan Perkara Pembatalan Perkawinan. Undang-undang perkawinan
menentukan
bahwa
perkwinan
dapat
dibatalkan oleh pengadilan jika syarat perkawinan tidak dipenuhi. syarat yang dimaksudkan bukan terbatas pada syarat menurut hukum agama, tetapi juga syarat yang ditentukan oleh Undang-undang. Jadi apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, baik syarat itu dari Undang-undang maupun hukum agama maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
3
Hakim Pengadilan Agama Surabaya., wawancara, pada tanggal 26 April 2009 di Pengadilan Agama Surabaya. 4 Buku II, Edisi 2007, Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Agama, ,Mahkamah Agung RI 2008, hal. 53
80
Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pembatalan perkawinan dapat dilakukan, bila para pihak tidak memenuhi syarat melangsungkan perkawinan. Perkawinan antara tergugat I dengan ter\gugat II sebagai perkawinan poligami yang dilaksanakan tanpa ada ijin dari Pengadilan Agama dan penggugat sebagai istri yang sah sehingga perkawinan tersebut dinilai tidak memenuhi ketentuan pasal 3,4,5 Undang – Undang No. 1 tahun 1974 jo pasal 56 dan 58 Kompilasi Hukum Islam tersebut, karena itu berdasarkan pasal 22 dan 24 Undang – Undang No. 1 tahun 1974 jo pasal 71 Kompilasi Hukum Islam, serta terdapat unsur kebohongan seperti status agama, kependudukan / domisili dan status jejaka bagi tergugat I, maka perkawinannya dapat di batalkan, hal ini sesuai dengan dengan apa yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dasar pertimbangan hakim dalam menerima perkara pembatalan perkawinan juga berdasarkan pada pasal 49 ayat ( 1 ) huruf ( a ) Undang – Undang No. 7 tahun 1989 yang dirubah dengan Undang-undang No. 3 tahun 2006 jis pasal 25 Undang – Undang No. 1 Tahun 1974, pasal 38 ayat ( 1 ) Peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal 74 Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal 49 ayat ( 1 ) huruf ( a ) Undang – Undang No. 7 tahun 1989 yang dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam menentukan wewenang menerima perkara pembatalan perkawinan menegaskan, perkara yang masuk dalam kewenangan Pengadilan Agama hanya diantara orang yang beragama Islam, akan tetapi dalam perkara pembatalan perkawinan ini para pihak yang
81
berperkara tidak beragama Islam begitu juga pihak suami yang melangsungkan perkawinan tersebut tidak beragama Islam. Hakim pengadilan agama surabaya hanya melihat pada perkara yang diajukan, terlepas pada agama yang telah dianut oleh pihak terkait, karena bidang perkawinan merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Dalam mengadili perkara pembatalan perkawinan ini hakim Pengadilan Agama Surabaya terlebih dahulu memeriksa beberapa bukti-bukti tertulis dan saksi. Setelah melihat bukti-bukti tersebut dan ternyata terbukti bahwa perkawinan yang dilakukan antara tergugat I dan tergugat II tidak bedasarkan ketentuan hukum yang sah dan terbukti bahwa semua identitas dipalsukan, maka perkawinan tersebut dinyatakan batal dan dianggap tidak berkekuatan hukum tetap. Amar putusan yang telah menyatakan bahwa perkawinannya dapat dibatalkan berdasarkan pasal 22 dan 24 Undang – Undang No. 1 tahun 1974 jo pasal 71 Kompilasi Hukum Islam, menurut pendapat penulis amar putusan tersebut akan lebih sempurna apabilah dengan menyatakan perkawinannya tidak sah, karena telah terbuki dari alat-alat bukti surat maupun saksi yang menerangkan bahwa pada waktu perkawinan tergugat I masih beragama non Islam. Jadi disini sudah jelas dapat dilihat bahwa perkawinan antara tergugat I dan tergugat II selain merupakan perkawinan poligami yang tidak ada izin dari isteri dan pengadilan juga dapat dikatan sebagai perkawinan beda agama yang
82
hal itu dilarang oleh Undang-undang dalam pasal 2 Undang-undang No. 1 tahun 1974 : ”Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Jadi hakim pengadilan agama surabaya selain berdasarkan pasal 3,4,5 dan pasal 22, 24 Undang – Undang No. 1 tahun 1974 jo pasal 71 Kompilasi Hukum Islam, seharusnya juga mengindahkan pasal 2 undang-undang No. 1 tahun 1974 dengan menyatakan perkawinan antara tergugat I dan terggugat II dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum sesuai dengan apa yang telah dijelaskan dalam Undang-undang. C.
Analisis Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Terhadap Penentuan Patokan Asas Personalitas keislaman di Pengadilan Agama Surabaya Sebelum menganalisis dan membahas langsung tentang penentuan patokan personalitas keislaman di Pengadilan Agama Surabaya, terlebih dahulu kita akan melihat perkara yang diajukan oleh pengguggat yang berupa masalah pembatalan perkawinan. Masalah tersebut berawal dari sengketa antara penggugat (isteri pertama) dan tergugat I (suami) yang melangsungkan perkawinan di Kantor Catatan Sipil karena keduanya sama-sama beragaman non Islam. Dari hasil perkawinannya mereka telah dikaruniai tiga orang anak. Kemudian tanpa persetujuan penggugat dan juga tanpa izin dari Pengadilan Agama, tergugat I menikah lagi dengan tergugat II (isteri kedua) di Kantor
83
Urusan Agama Dukuh Pakis Surabaya dengan cara memalsukan semua identitas dan status tergugat I. Karena penggugat merasa dirugikan dan di tipu oleh tergugat I sedangkan perkawinan antara tergugat I dan tergugat II merupakan perkawinan poligami yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan poligami, maka penggugat mengajukan pembatalan perkawinannya ke pengadilan agama di tempat mereka melakukan perkawinan. Karena pencatatan perkawinannya dilakukan di KUA penggugat mengajukan di pengadilan agama. Menurut ketentuan pasal 25 Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Pasal 38 PP. No. 9 tahun 1975 yang merupakan penjelasan Undang-undang No. 1 tahun 1974, istri berhak mengajukan pembatalan perkawinan ke pengadilan terhadap suami yang melakukan poligami tanpa izin dari isteri dan pengadilan, di tempat perkawinan dilangsungkan, atau di tempat suami istri berada. Sedangkan khusus bagi orang yang beragama islam hanya dapat diajukan ke pengadilan agama sesui dengan pasal 74 Kompilasi Hukum Islam. Bertolak belakang dengan teori di atas penggugat non muslim mengajukan perkara pembatalan perkawinan di pengadilan agama seperti yang telah terjadi di pengadilan agama Surabaya. Pengadilan agama surabaya dalam menerima perkara pembatalan perkawinan dari penggugat non muslim berdasarkan asas personalitas keislaman, dengan hanya melihat pada pengakuan keislamannya, identitas, amalan, kesaksian, dan melihat pada saat terjadinya hubungan hukum, jadi
84
apabila penggugat telah memenuhi salah satu syarat diatas maka perkara tersebut termasuk wewenang pengadilan agama. Tidak hanya itu karena pencatatan perkawinannya telah dicatatkan di Kantor Urusan Agama maka yang berhak dan berwenang membatalkan pekawinannya adalah pengadilan agama. Menurut pendapat penulis penerimaan perkara pembatalan perkawinan dari penggugat dan tergugat non muslim
di Pengadilan Agama Surabaya
berdasarkan pada saat terjadinya hubungan hukum. Apabila perkawinannya dilaksanakan berdasarkan hukum Islam dan telah dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) maka kewenangan untuk mengadili dan memutuskan perkawinannya
juga
ada
di
Pengadilan
Agama.
Sebaliknya,
apabila
perkawinannya dilakukan tidak berdasarkan hukum Islam dan telah dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (KCS) maka wewenang untuk mengadili dan memutuskan hubungan hukum tersebut adalah Pengadilan Negeri, seperti yang telah diungkapkan oleh Roihan A. Rasyid, ”lingkungan Peradilan Umum tidak mampu untuk mengotak-atik akta nikah yang tercatat di PPN atau KUA, sebaliknya lingkungan Peradilan Agama tidak mampu mengutak-atik akta perkawinan yang tercatatdi Kantor Catatan Sipil (KCS)”.5\ Jadi dalam hal penerimaan perkara dari penggugat dan tergugat non muslim di Pengadilan Agama Surabaya berdasarkan pada saat terjadinya hubungan hukum tidak bertentang dengan dengan ketentuan Undang-undang, hal ini sesuai dengan surat Mahkamah Agung tanggal 31 Agustus 1983 yang 5
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, hal. 32
85
ditujukan kepada Ketua pengdilan tinggi ujung pandang. Isik pokoknya menegaskan bahwa yang dipergunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya pengadilan agama adalah ”hukum yang berlaku waktu pernikahan dilangsungkan”.6 Selanjutnya penentuan patokan asas personalitas keislaman di Pengadilan Agama Surabaya berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama kurang sempurna, sebenarnya menurut ketentuan Undangundang No. 7 tahun 1989 dalam menentukan asas personalitas Keislaman, minimal dua hal
yang harus terpenuhi, baik dari ketentuan umum atau
ketentuan pada saat terjadinya hubungan hukum. Dalam ketentuan umum harus terpenuhi dua syarat yaitu : 1. Pengakuan keislaman tanpa melihat kwalitas keislamannya. 2. Identitas keislaman Syarat yang kedua dalam ketentuan umum tersebut diorientasikan untuk membuktikan pengakuan bahwa dirinya beragama Islam. Identitas keislaman tersebut dapat dibuktikan dengan KTP, SIM atau surat keterangan lainnya yang menyatakan bahwa dirinya adalah beragama Islam. Selanjutnya, patokan yang kedua pada saat terjadinya hubungan hukum juga harus memenuhi minimal dua syarat berikut : 1. Patokan pada saat terjadinya hubungan hukum.
6
M. Yahya, Kedudukan Dan Wewenang..........., hal. 56
86
2. Hubungan hukum yang dilakukan selama perkawinan berdasarkan hukum Islam. Jika dua syarat ketentuan umum atau dua syarat pada saat terjadinya hubungan hukum tersebut sudah terpenuhi, maka pihak terkait telah memenuhi asas personalitas keislaman. Jadi dapat disimpulkan penerimaan pekara pembatalan perkawinan dari penggugat dan tergugat non muslim tidak bertentangan dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama dalam memeriksa dan mengadili perkara. Akan tetapi penentuan Patokan asas personalitas keislamannya kurang sempurna dengan apa yang telah di tentukan dalam Undang-undang No. 7 tahun 1989.