BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN KI HADJAR DEWANTARA TENTANG KONSEP ING NGARSA SUNG TULADHA ING MADYA MANGUN KARSA TUT WURI HANDAYANI DALAM PESPEKTIF AL-QUR’AN
A. Analisis Konsep Ing Ngarsa Sung Tuladha dalam Perspektif Al Qur’an Dalam melaksanakan tugasnya, mengajar dan mendidik, pamong harus memberi tuntunan dan menyokong pada anak-anak agar dapat tumbuh dan berkembang berdasarkan kekuatan sendiri. Cara mengajar dan mendidik dengan menggunakan alat perintah, paksaan dengan hukuman seperti yang dipakai dalam pendidikan di masa dahulu, hendaknya dihindari. Metode ini disebut metode Among. Konsep yang digunakan untuk melaksanakan metode ini adalah Tut Wuri Handayani, artinya mendorong para anak didik untuk membiasakan diri mencari dan belajar sendiri. Guru dan pamong mengikuti di belakang dan memberi pengaruh, bertugas mengamati dengan segala perhatian, pertolongan diberikan apabila dipandang perlu. Anak didik hendaknya dibiasakan bergantung pada disiplin kebatinannya sendiri, bukan karena paksaan dari luar atau perintah orang lain.1 Ing Ngarso Sung Tulodho artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sung berasal dari kata Ingsung yang artinya saya, Tulodho berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sung Tulodho adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi orang-orang 1
Darsiti Soeratman, Ki Hajar Dewantara, (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), hlm. 78-79.
50
51
disekitarnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seseorang adalah kata suri tauladan.2 Apa yang salah dalam dunia pendidikan di Indonesia, setelah lebih dari enam puluh tahun kita merdeka, pendidikan nasional belum mampu berfungsi menunjang bangsa yang berkarakter. Sebenarnya pendidikan agama telah mencakup aspek pendidikan karakter yang menjadi pengendali dari setiap tindakan yanag akan dilakukan. Orang yang
pernah
mendapatkan
pendidikan
agama
setidaknya
dapat
mengontrol dirinya agar tidak melakukan hal-hal yang mencoreng citra pendidikan nasional, dan dapat membantu kesuksesan tujuan pendidikan nasional. Hal ini sesuai dengan risalah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda dalam hadist nya aku diutus Allah untuk menyempurnakan keluhuran akhlak (budi pekerti). Ini menjadi rujukan agar kita semua para pendidik sadar untuk memberikan Pendidikan akhlak (budi pekerti) kepada peserta didik agar ia mampu mengemban tugasnya sebagai seorang pelajar dan dapat mengharumkan citra pendidikan. Pendidikan agama merupakan pondasi kehidupan harusnya mencakup keseluruhan hidup sebagai pengendali tindakan. Seseorang yang tidak pernah mendapatkan pendidikan agama dia tidak mampu bertindak dengan sukarela untuk norma yang harus ia patuhi dan norma yang harus ia tinggalkan. Apabila agama masuk ke dalam pembinaan pribadi seseorang, maka dengan sendirinya segala sikap, tindakan, perbuatan dan 2
Ki Tyasno Sudarto, Pendidikan Modern dan Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara, (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), hlm. 7.
52
perkataanya akan dikendalikan oleh pribadi, yang telah terbina di dalamnya pendidikan agama, yang akan menjadi pengendali bagi moralnya.
Ungkapan-ungkapan
di
atas
menegaskan
urgensinya
pendidikan akhlak yang terdapat dalam pendidikan agama sebagai pengendali pribadi. Selaras
dengan
pendidikan
agama,
bahwa
kepentingan
pendidikan budi pekerti yang dipelopori oleh Ki Hajar Dewantara sebagai tokoh pendidikan nasional yang mempunyai andil yang sama dalam membentuk kepribadian manusia. Hal ini masih tetap abadi untuk disimak kembali sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Ki Hajar dewantara bahwa pengajaran budi pekerti tidak lain adalah: “Menyokong perkembangan hidup anak-anak lahir dan batin, dari sifat kodratnya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum”.3 Dalam hadits Rasulullah disebutkan :
َّ َح َّدثََْا َع ْب ُد ٌ ار ِِ ك ع َِِ ْاى َح َس َ َاه َح َّدثََْا ٍُب َ ََاش ٌُ ب ُِْ ْاىقَا ِس ٌِ ق ِ َّللاِ َح َّدثَِْى أَبِى َح َّدثََْا ه ُ ْت عَائِ َشتَ فَقُ ْي ُ اه أَتَي ق َ َع َِْ َس ْع ِد ب ِِْ ِه َش ِاً ب ِِْ عَا ٍِ ٍر ق ِ ُت يَا أُ ًَّ ْاى َُ ْؤ ٍِِْيَِ أَ ْخبِ ِريِْى بِ ُخي َّ ت َماَُ ُخيُقُهُ ْاىقُرْ آَُ أَ ٍَا تَ ْق َرأُ ْاىقُرْ آَُ قَوْ َه َّ ُوه ْ َ قَاى.-ٌصيى َّللا عييه وسي- َِّللا َِّللا ِ َرس ُت الَ تَ ْف َعوْ أَ ٍَا تَ ْق َرأ ْ َ قَاى.ت فَئِِّّى أُ ِري ُد أَ ُْ أَتَبَتَّ َو ُ َظ ٍيٌ) قُ ْي ِ قع َ َع َّز َو َج َّو ٍ ُ(وإَِّّلَ ىَ َعيَى ُخي َّ َّللاِ أُس َْوةٌ َح َسَْتٌ) فَقَ ْد تَزَ َّو َج َرسُو ُه َّ ُوه صيى َّللا عييه- َِّللا ِ (ىَقَ ْد َماَُ ىَ ُن ٌْ فِى َرس أحَد-.ُ َوقَ ْد ُوىِ َد ىَه-ٌوسي “Menceritakan kepada kami „abdullah, menceritakan kepadaku abi, menceritakan kepada kami hasyim bin al qasim berkata, menceritakan kepada kami mubarak dari hasan dari sa‟id bin hisyam bin „amir berkata, aku datang kepada „aisyah, lalu aku berkata wahai ummul 3
Ki hadjar Dewantara, Op., Cit, hlm. 483-485.
53 mu‟minin, ceritakanlah kepadaku tentang akhlak rasulullah SAW. Aisyah berkata; akhlak rasululullah adalah al Qur‟an, ketika kamu membaca al Qur‟an firman Allah „azza wajalla. (ٌٍ ظي ِ ) َوإ ِ َّّ َل َى َع َيى ُخ ُيق ٍ َعdan sesungguhnya atasnya (Rasulullah) budi pekerti yang agung. Aku berkata, sesungguhnya aku menginginkan tidak kawin selamanya. Aisyah berkata; Janganlah kamu melakukannya, apakah kamu tidak membaca ٌْ ( َى َق ْد َماَُ َى ُن ) فِى َرسُو ِه ََّّللا ِ ُأ ْس َو ٌة َح َسَْ ٌتsungguh telah ada pada diri Rasululullah SAW suri tauladan yang baik. Maka sungguh Rasulullah telah menikah. Dan sungguh telah dilahirkan darinya. (Ahmad).
Hadits diatas menjelaskan secara tersurat bahwa Rasulullah memiliki budi pekerti yang agung, dan juga Rasulullah SAW juga telah diciptakan oleh Allah pada dirinya sebagai Uswatun hasanah (suri tauladan yang baik). Dalam hubungannya hadits diatas dengan konsep seorang guru yang secara tersirat dari hadits diatas dapat di ambil suatu pemahaman tentang kompetensi seorang guru yang harus memiliki akhlak mulia. Guru yang berakhlakul karimah akan senantiasa menjadi pendidik yang professional dengan karakter kepribadiannya yang baik, sehingga bisa mempengaruhi anak didiknya untuk mengikuti apa yang telah disampaikan dalam proses belajar mengajar. Zakiah
Daradjat
menuturkan
Budi
pekerti
yang
baik
(akhlakul karimah) sangat penting untuk dimiliki oleh seorang guru (pendidik). Sebab, semua sifat dan akhlak yang dimiliki seorang guru akan senantiasa ditiru oleh anak didiknya. Yang dimaksud akhlak baik yang harus dimiliki oleh guru dalam konteks pendidikan Islam ialah akhlak yang sesuai dengan tuntunan agama Islam, seperti yang dicontohkan oleh pendidik utama Nabi Muhammad SAW dan para utusan
54 Allah yang lainnya.4 Kesimpulannya bahwa konsep Ing Ngarsa Sung Tuladha ini adalah pedoman untuk semua orang baik itu seorang pendidik atau seorang pemimpin, yang mampu menjadi contoh untuk peserta didik atau anggotanya. Dalam Al Qur’an juga sudah jelas bahwa seorang pendidik harus memberikan tauladan yang baik, dan yang dicerminkan dalam Al Qur’an dan hadits ini adalah untuk mengajarkan akhlak yang baik. Pendidik diharuskan untuk memiliki kepribadian yang baik, agar anak didiknya akan mencontoh sifatnya dan tugas ini juga sangat sesuai dengan hadits Rasulullah yang artinya; “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (tingkah laku)”.
Tingkah laku juga menjadi cerminan atau tolak ukur bagi manusia. Karena manusia yang sempurna adalah manusia yang ta’at kepada Allah dalam beribadah (hablu minallah) dan juga bisa berbuat baik kepada sesame makhluk ciptaan Allah yang ada disekitarnya. Sehingga pembentukan akhlak yang baik harus diprioritaskan, untuk membangun dan menjadikan manusia yang sempurna (insan kamil).
B. Analisis Konsep Ing Madya Mangun Karsa dalam Perspektif Al Qur’an Ing Madyo Mangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah seseorang ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau 4
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hlm. 44.
55
menggugah semangat. Karena itu seseorang juga harus mampu memberikan
inovasi-inovasi
dilingkungannya
dengan
menciptakan
suasana yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan.5 Tujuan dan sasaran pendidikan tidak mungkin akan tercapai terkecuali materi pendidikan yang tertuang pada kurikulum lembaga pendidikan terseleksi secara baik dan cepat. Sejauh tujuan yang hendak dicapai dalam pendidikan itu terpisah dan tidak sama antara masyarakat satu dengan yang lain, maka materi atau isi kurikulumnya pun harus disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang ada dalam berbagai masyarakat yang dimaksudkan. Oleh sebab itu, Al-Qur’an menjadi basis yang mendasari teori pendidikan Islam dengan prinsip membentuk kesatuan integral dari kesatuan bahan-bahan pengajaran yang berbeda antara satu dengan lainnya dalam kurikulum Pendidikan Islam.6 Nilai Al-Qur’an yang telah diserap Rasulullah Saw, terpancar dalam gerak-geriknya yang direkam oleh para sahabat sehingga hampir tidak ada ayat yang tidak dihafal dan diamalkan oleh sahabat. Disamping itu kehadiran Al Qur’an di tengah masyarakat Arab, memberikan pengaruh yang besar terhadap jiwa mereka. Mereka berpaling secara total dan semua keputusan selalu melihat isyarat Al Qur’an sebagai petunjuk kehidupan. Demikian pula pendidikan sebagai salah satu wahana untuk merumuskan dan mencapai tujuan hidup, seluruhnya harus memperhatikan isyarat Al
5
Ki Tyasno Sudarto, op,. cit. hlm. 8. Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al Quran, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hlm. 160. 6
56 Qur’an, karena Al Qur’an mulai dari ayat yang pertama hingga akhir tidak pernah lepas dari isyarat pendidikan.7 Kepribadian Rasulullah Saw secara totalitas adalah teladan bagi umat manusia. Ketika beliau menyampaikan suatu ajaran, kondisi komunikan
sangat
diperhatikan,
baik
dari
segi
tabiat,
umur,
kecenderungan, Interest individu, dan lain-lain, sehingga beliau sangat menganjurkan agar ketika menyerukan kebajikan disesuaikan dengan kondisi persiapan tabiat orang yang akan diseru (komunikan).8 C. Analisis Konsep Tut Wuri Handayani dalam Perspektif Al Qur’an Dengan sikap “Tut Wuri Handayani” ini sering terjadi, bahwa anak-anak kita berbuat sesuatu kesalahan, sebelum atau tanpa tindakan kita pada saatnya. Itu tidak mengapa; tiap kesalahan akan membawa pidananya sendiri, kalaupun tidak, kita pemimpin-pemimpin mendorong datangnya hukuman yang kalau tidak demikian tidak ada dengan demikian tiap kesalahan itu bersifat mendidik.9 Tut Wuri Handayani, Salah satu Ajaran dari Ki Hajar Dewantara yang sangat populer adalah “Seorang pemimpin harus memiliki tiga sifat yang terangkum pada: “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan
7
Suyudi, Pendidikan dalam Perspektif Al Qur‟an : Integrasi Epistimologi Bayani, Burhani, dan Irfani. (Yogyakarta : Mikraj, 2005), hlm. 57. 8 Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta : Arruzz Media, 2012), hlm.34. 9 Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama Pendidikan, (Yogyakarta : Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa,1977), hlm. 59.
57
moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seseorang harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh orang – orang disekitar kita menumbuhkan motivasi dan semangat.10 Pada dasarnya Al Qur’an tidak pernah secara tersirat menyebutkan kata kepemimpinan, karena kepemimpinan merupakan istilah dalam manajemen organisasi. Sebutan pemimpin muncul ketika seseorang memiliki kemampuan mengetahui, mampu mengarahkan perilaku orang lain, mempunyai kepribadian khas, dan mempunyai kecakapan tertentu yang tidak dimiliki semua orang. Al Qur’an bukan tidak membicarakan sama sekali tentang masalah kepemimpinan, karena Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Selain menyebut tentang pemimpin Al Qur’an juga mengemukakan tentang prinsip-prinsip dasar kepemimpinan seperti amanah, keadilan dan musyawarah.11 Al Qur’an mengakui secara tegas bahwa Nabi Muhammad saw memiliki akhlak yang sangat agung. Bahkan dapat dikatakan bahwa konsideran pengangkatan beliau sebagai nabi adalah keluhuran budi pekertinya. Hal ini dapahami dari wahyu ketiga yang antara lain menyatakan bahwa :
ٌق َع ِظ ٍي ٍ َُوإَِّّلَ ىَ َعيى ُخي Artinya : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.(Qs Al Qalam: 4).
10
Ki Tyasno Sudarto, Pendidikan Modern dan Relevansi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara, (Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985), hlm. 7. 11 Said Agil Husin Al Munawar, Al Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta : Ciputat Press, 2003), hlm. 193-194.
58
Atas dasar sifat-sifat yang agung dan menyeluruh itu, Allah Swt menjadikan Beliau sebagai teladan yang baik sekaligus sebagai Syahid (pembawa berita gembira dan pemberi peringatan). Keteladanan tersebut dapat dilakukan oleh setiap manusia, karena beliau sudah memiliki sifat terpuji yang dapa dimiliki oleh manusia.12 Demikian bagi al-Qur’an dan nilai-nilai yang terbit dari padanya, yang mulai dari aqidah terhadap Tuhan yang menggambarkan puncak dari segala nilai, (The Iltimate) sedangkan nilai-nilai lainnya masuk secara nyata yang dapat menjadikan kita berkata bahwa nilai-nilai al-Qur’an itu menyatu (manunggal); terutama ia bercirikan lengkap dan sempurna. Sydah jelas itulah sifat Islam (ciri Islam) dan ciri kitabnya al-Qur’an.13
12
M. Quraish Shihab, Wawasan Al Qur‟an Tafsir Maudhu‟i atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung : Mizan, 2000), hlm. 51-52. 13 Hamka, Tafsir Al Azhar, (Jakarta : PT. Citra Serumpun Padi, 2003), hlm. 131.