BAB IV ANALISIS DAN KOMPARASI PERAN KEPRIBADIAN GURU ATAS KONSEP PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN PESERTA DIDIK PERSPEKTIF AL-GHAZALI DAN JEAN PIAGET
A. Analisis
Konsep
Kepribadian
Guru
atas
Konsep
Pembentukan Kepribadian Peserta Didik Perspektif alGhazali dan Jean Piaget Sebelum pemikiran kedua subjek penelitian – al-Ghazali dan Jean Piaget – dikomparasikan, di bagian ini ditelaah dan didudukkan terlebih dahulu konsep kepribadian guru atas konsep pembentukan kepribadian peserta didik perspektif al-Ghazali dan Jean Piaget. Hal ini harus dilakukan mengingat tidak ada gagasan Jean Piaget yang secara eksplisit membahas tentang kepribadian guru dalam membentuk kepribadian peserta didik. Berbeda dengan Jean Piaget, al-Ghazali memiliki gagasan langsung yang mengaksentuasikan adab-adab dan tugas-tugas pendidik sehingga aksentuasi ini dapat dikaitkan dengan kepribadian guru. Akan tetapi yang perlu diingat bahwa penelitian ini menggunakan metode verstehen (pemahaman) di mana tidak dibenarkan jika hanya menganalisis dengan jalan mendeskripsikan atau menjelaskan apa adanya tanpa memunculkan pemaknaan baru khususnya tentang pemikiran al-Ghazali yang sudah cukup jelas menjelaskan tugas-tugas pendidik. Maka dari itu, diperlukan fokus yang lebih terperinci untuk memaknai tugas-tugas guru tersebut. Berbeda dengan menganalisis pemikiran orisinil Piaget
128
yang memang tidak membahas langsung konsep kepribadian guru dalam membentuk peserta didik, di sini kegunaan metode verstehen sangat membantu. Cara kerjanya ialah memahami latar belakang terbentuknya teori perkembangan moral berdasarkan konteks zaman Jean Piaget hidup terlebih dahulu dan dari upaya itu pula dapat dikaji dengan metode verstehen bagaimana seharusnya
pribadi
perkembangan
moral
guru
dalam
menyikapi
tahap-tahap
anak didik perspektif Jean Piaget.
Bagaimana pun, tetap ditemui kesulitan dalam menganalisis konsep kepribadian atas konsep perkembangan moral perspektif Piaget. Jika sosok guru sudah sangat jelas tergambar dalam karyanya al-Ghazali, maka tantangan akademis dihadapi ketika menentukan sosok guru dalam pemikiran Piaget. Setelah melalui pemikiran yang mendalam, sebenarnya sosok guru dalam kerangka teoritik perkembangan moral anak didik milik Jean Piaget ialah Jean Piaget sendiri ketika merumuskan perkembangan moral
dan
menjadikan
ketiga
anaknya
sebagai
objek
penelitiannya. Tantangan yang lain dihadapi dalam penelitian ini yakni dalam menyikapi pemikiran al-Ghazali yang secara tidak langsung sudah membahas tentang kepribadian guru melalui tugas-tugas pendidik yang telah disebutkan di atas. Setelah benar-benar ditentukan fokus yang lebih terperinci, tugas pendidik yang akan dianalisis menggunakan metode verstehen ialah pendidik yang dalam pemikiran al-Ghazali ditekankan lebih penting dari orang
129
tua karena guru merupakan pendidik yang kehidupan yang kekal di akhirat1 atau sebutan lain oleh M. Amin Abdullah ialah guru sebagai pembimbing rohani. Bagi M. Amin Abdullah yang menjadi persoalan krusial ialah adanya guru sebagai pembimbing rohani ini membuat fungsi akal subjek didikan terreduksi2 sehingga yang muncul justru sikap heteronom subjek didikan. Di sinilah signifikansi metode verstehen tampak. Metode pemahaman ini digunakan untuk menelusuri dan memahami historitas mengapa akal dalam perspektif al-Ghazali berada dalam otoritas pembimbing moral sehingga memunculkan stereotip bahwa upaya optimalisasi fungsi akal subjek didikan tidak maksimal. Di poin ini, al-Ghazali berbeda dengan tujuan perkembangan moral anak didik perspektif Jean Piaget yang menekankan anak didik untuk berfikir dan bersikap otonom. Dari proses pemahaman ini akan diuraikan dalam subbab selanjutnya mengenai kekhasan masingmasing konsep kepribadian guru relasinya dengan konsep pembentukan kepribadian peserta didik perspektif al-Ghazali dengan teori psikosufistiknya dan Jean Piaget dengan teori perkembangan moral yang dilihat dari sudut pandang psikologi kognitifnya. Tahap pemahaman dan pengkajian relasi kepribadian guru atas teori pembentukan kepribadian peserta didik kedua
1
Al-Ghazali, Iḥyâ‟…, hlm. 68.
2
M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam, (Bandung: Penerbit Mizan, 2002), hlm. 149.
130
subjek penelitian inilah yang sebenarnya menjadi syarat awal dalam studi komparatif. Normativitas adab-adab pendidik yang tercantum dalam Iḥyâ‟ tersebut diadopsi untuk mengembangkan relasi kepribadian guru dalam membentuk kepribadian peserta didik yang dalam perspektif psikosufistik memiliki potensi rûh, qalb, „aql, nafs, dan jasad. Masih dalam upaya analisis, setelah menganalisis pentingnya
pendidik
sebagai
pembimbing
rohani,
yang
konsekuensi logisnya ialah seolah-olah mengurangi fungsi akal untuk berpikir aktif, maka untuk membangun sistem kepercayaan dan wibawa guru di hadapan peserta didik, guru dituntut berperan sebagai teladan. Sebagai contoh, subjek didikan dibimbing oleh pembimbing rohani (pendidik) untuk melakukan keutamaankeutamaan. Tanpa pikir panjang, subjek didikan tersebut melalukan dengan penuh hormat perintah-perintah gurunya. Di sinilah tampak sikap heteronom subjek didikan karena sikap patuhnya pada guru yang berseberangan dengan tujuan final perkembangan moral Jean Piaget di mana subjek didikan memiliki sikap otonom dalam berpikir dan bersikap. Pada akhinya, upaya analisis konsep kepribadian guru atas pemikiran Jean Piaget diawali dengan memahami terlebih dahulu pembentukan teori perkembangan moral yang muaranya pada sikap otonomi individu baru kemudian menelaah relasi konsep kepribadian guru sebagai respon atas tujuan akhir perkembangan moral Jean Piaget yakni kepemilikan sikap otonomi itu sendiri.
131
Disebabkan oleh ide-ide tentang adab-adab pendidik yang sudah eksplisit dalam magnum opus al-Ghazali yakni Iḥyâ‟ „Ulûm al-Dîn, maka yang perlu diupayakan dalam penelitian ini adalah sebuah
kajian
komprehensif
pentingnya
pendidik sebagai
pembimbing rohani yang seolah-olah berdampak pada kreativitas berpikir subjek didikan. Sekaligus di waktu yang sama, akan dianalisis pula pentingnya pembimbing rohani menjadi role model peserta didik. Terus terang kiranya, dalam rangka mengkaji dan memperjelas konsep kepribadian pendidik dibutuhkan bantuan dari para ilmuwan yang lebih dulu menelaah karya-karya alGhazali dalam riset yang dilakukan para eksponen al-Ghazali seperti Syed Naquib al-Attas atau Ubaidillah Achmad dan diimbangi pula dengan kajian kritis berupa studi komparasi alGhazali dan Kant oleh Amin Abdullah, studi komparasi alGhazali dan Abraham Maslow, dan riset-riset pendukung lainnya. Bantuan dari para ilmuwan sebelumnya ini merupakan bentuk musyawarah ilmiah agar diperoleh sejauh mana dinamika tentang kajian gagasan-gagasan al-Ghazali berkembang. Al-Qur‟an menyebutkan bahwa pentingnya bertanya pada Ahlu al-Żikr bilamana seseorang tidak mengetahui sesuatu. Walaupun penggalan ayat ini turun dalam konteks tertentu, yakni objek pertanyaan, serta siapa yang ditanya tertentu pula, karena redaksinya yang bersifat umum, hal tersebut dapat dipahami pula sebagai perintah bertanya apa saja yang tidak diketahui dan diragukan kebenarannya kepada yang dinilai berpengetahuan dan
132
objektif.3 Akan tetapi bagaimana pun, salah satu aspek penting dalam pendidikan Islam ialah pencarian dan pengakuan otoritas yang benar dalam setiap cabang ilmu pengetahuan.4 Yang dimaksud seseorang yang memiliki pengakuran otoritas di sini tidak lain ialah pendidik itu sendiri. penuntut ilmu atau peserta didik membutuhkan waktu yang tidak sebentar dalam mencari, merenungi, dan memilih siapa yang akan menjadi gurunya sampai peserta didik itu menetap pada satu guru tertentu dan tidak berpaling darinya.5 Menurut al-Ghazali, pendidik memiliki hak yang lebih agung dibandingkan hak orang tua anak didik. Hal ini dikarenakan pendidik merupakan pembimbing kehidupan kekal yakni memberi manfaat untuk kehidupan akhirat peserta didik kelak sedangkan kehadiran orang tua merupakan sebab timbulnya kehidupan fana.6 Sebagaimana pendapat al-Zarnuji bahwa guru memiliki hak yang paling hakiki dan wajib dijaga oleh setiap muslim tidak terkecuali oleh peserta didik itu sendiri. Lebih lanjut, seseorang yang mengajarkan peserta didik satu huruf dari apa yang dibutuhkan
M. Quraish Shihab, Tasfîr al-Miṣbâh, jilid I, (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 591. 3
4
George Makdisi, The Rise of Humanism in Classical Islam and The Christian West, (London, Edinburg University Press, 1990), hlm. 97.
133
5
Al-Zarnuji, Ta‟lîm al-Muta‟allim, (Surabaya: Darul „Ilmi, tt.), hlm. 14.
6
Al-Ghazali, Iḥyâ‟…, hlm. 68.
dalam urusan agama merupakan bapak dalam beragama bagi peserta didik tersebut.7 Sebagaimana yang disampaikan oleh Amin Abdullah bahwa al-Ghazali menuntut adanya pembimbing moral (syaikh) bagi pemula dalam menjalani tangga keutamaan mistik. Tambahnya, adanya pembimbing moral ini menutup sikap otonomi dan kegiatan kritik yang dapat dilakukan oleh penganut mistik. Intinya, dalam lingkungan mistik, fungsi intelektual manusia bahkan direduksi di bawah taraf berpikir manusia. Di sini dipahami bahwa adanya pembimbing moral bagi pemula fungsinya sebagai sarana untuk melatih hati daripada melatih rasio (akal).8 Namun demikian, dalam pembelajaran kontemporer sekalipun, pendidik sangat perlu untuk menghidupkan hati peserta didik secara berkesinambungan khususnya dalam mengawali niat pembelajaran, menjaga niat selama proses pembelajaran, dan niat untuk mengakhiri pembelajaran. Dalam setiap lini kehidupan pun juga demikian seharusnya, setiap individu tetap menjaga kebersihan
hatinya
karena
hati
merupakan
unsur
yang
menghubungkan manusia dengan Allah Swt. Pentingnya eksistensi pembimbing rohani sesungguhnya menyangkut soal kepemilikan sanad keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan dan jika diverifikasi akan sampai pada 7
Al-Zarnuji, Ta‟lîm…, hlm. 16-17.
8
M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika…, hlm. 149-150.
134
Rasulullah
Saw.
Sehubungan
dengan
upaya
membentuk
kepribadian peserta didik, pembimbing rohani yang memiliki standar kualifikasi sanad mampu menjelaskan pesan tersirat, subtil, dan rahasia kaitannya dengan kebenaran agama pada subjek didikan. Implikasi positifnya dari adanya pembimbing rohani sebagaimana tersebut di atas ialah terhindarnya subjek didikan dari bahaya keterputusan sanad (missing link) yang mana tidak adanya jaminan keilmuan yang otentik dari Rasulullah Saw.9 Dalam konteks inilah al-Ghazali memandang penting adanya pembimbing rohani khususnya dalam menjaga spiritualitas subjek didikan. Seperti halnya ayah atau pemimpin, seorang guru harus mengoreksi kelemahan spiritual, intelektual, sikap, dan tingkah laku subjek didikan yang di berada di bawah bimbingannya.10 Keadaan lemahnya spriritual merupakan pertanda bahwa qalb tidak berfungsi karena refleksi keimanan, keislaman, dan keihsanannya lemah, atau singkatnya kesadaran agamanya lemah.11 Karena manusia di dunia ini diciptakan oleh Allah dan diberi amanat untuk mempertanggungjawabkan segala tingkah
9
Fadlolan Musyaffa‟, dkk., Sanad Guru dan Murid dalam Pembelajaran Kontemporer, (Semarang: LP2M UIN Walisongo, 2015), hlm. 239. 10
Syed M. Naquib al-Attas, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 265. 11
Abdul Halim Soebahar, Kebijakan Islam dari Ordonansi Guru Sampai UU Sisdiknas, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 8.
135
lakunya, maka sampai kapan pun pendidik diharuskan untuk selalu memberi petunjuk dan mengarahkan pemenuhan kebutuhan hati subjek didikan agar hubungan vertikalnya dengan Allah terus terjaga dan terinternalisasi dalam diri peserta didik. Dalam konteks pendidikan Islam, pandangan Amin Abdullah tentang ditutupnya otonomi akal ini bersebarangan oleh al-Attas. Al-Attas mengemukakan bahwa dalam hal bertaklidpun, seperti yang dipahami dan dipraktikkan oleh sebagian generasi Muslim-pilihan, tetap mensyaratkan adanya tingkat pengetahuan dan praktik-praktik nilai etika, termasuk saling percaya. Sekali lagi, al-Attas membantah pemahaman bahwa taklid hanya sebatas proses peniruan buta yang memandulkan kemampuan rasional dan intelektual seseorang. Dengan demikian, peranan guru dan otoritas dalam pendidikan Islam yang berpengaruh dan sangat penting ini tidak menekan individualitas, kebebasan, dan kreativitas peserta didik.12 Karena al-Ghazali pun mengakui adanya akal sebagai salah satu unsur yang dimiliki manusia, selain rûh, qalb, dan nafs, maka tidak mungkin al-Ghazali mengabaikan kebutuhan akal itu sendiri. Di sinilah, diperlukan telaah yang sungguh-sungguh untuk mendudukkan fungsi akal dalam Islam. Masih dalam hal taklid, karena ilmu pengetahuan dan informasi itu nyatanya bersifat tidak terbatas, seorang individu tidak mungkin mengetahui semua prinsip dari setiap disiplin ilmu, dan inilah yang membuat taklid pada tingkat tertentu menjadi 12
Syed M. Naquib al-Attas, Filsafat dan Praktik…, hlm. 263.
136
praktis dan penting bagi seseorang13 termasuk peserta didik dalam hal mengikuti otoritas keilmuan gurunya. Yang menjadi aksentuasi dalam penjelasan ini ialah bahwa kemampuan akal peserta didik memiliki keterbatasan dan tidak memungkinkan untuk menguasai semua prinsip keilmuan. Tentu karena upaya tersebut akan memakan waktu yang lama dan jika peserta didik ingin menguasai semua prinsip keilmuan dalam waktu bersamaan maka yang didapat adalah penguasaan ilmu yang tidak maksimal atau di bawah standar yang semestinya. Maka dari itu, di sini ditemukan peran guru dalam membatasi kehendak peserta didik untuk menguasai semua prinsip ilmu sehingga penguasaan keilmuan peserta didik dapat fokus dan mendalam pada satu bidang. Selain itu juga agar optimalisasi potensi akal peserta didik berada dalam batas kewajaran dan keseimbangan. Dikatakan bahwa al-Ghazali dinilai membunuh tradisi pemikiran spekulatif-rasional dalam Islam seperti dikembangkan para filsuf, dan dengan begitu mematikan kreativitas berpikir yang sangat diperlukan dalam kemajuan peradaban. Penilaian ini pun tidak seluruhnya benar. Sebab yang ditolak al-Ghazali dalam filsafat mencakup tiga masalah saja yang dalam peristilahan klasik disebut al-falsafat al-„ula yakni masalah faham keabadian alam, masalah Allah hanya tahu universal (kullîyât) tanpa tahu partikular (juz‟îyât), dan masalah kebangkitan jasmani. Sekalipun al-Ghazali menolak filsafat dalam masalah yang tiga tersebut, al-Ghazali 13
137
Syed M. Naquib al-Attas, Filsafat dan Praktik…, hlm. 264.
ternyata menerima bagian-bagian lain dalam filsafat, khususnya logika formal berupa silogisme milik Aristoteles. Bahkan, alGhazali juga ikut mengembangkannya dan dicantumkan dalam beberapa kitabnya salah satunya dalam Kitab Mi‟yâr al-„Ilm.14 Dalam ilmu aqliyah, al-Ghazali tidak mempermasalahkan dari mana datangnya ilmu tersebut selama disertai dengan data yang valid dan akurat, disajikan melalui metode yang ilmiah, maka ilmu tersebut dapat diterima. Karena ilmu aqliyah dapat dikembangkan
sendiri
oleh
akal
manusia
dan
pertanggungjawabannya pun tidak langsung kepada Allah Swt. melainkan kepada masyarakat.15 Rasulullah Saw. pun pernah bersabda:
16
Dari Anas sesungguhnya Rasulullah Saw. pernah melewati suatu kaum yang sedang mengawinkan pohon kurma lalu beliau berkata: “Apabila mereka tidak melakukannya maka kurma tersebut tetap baik.” Setelah itu pohon kurma tersebut tumbuh dalam keadaan rusak. Suatu hari Rasulullah melewati mereka lagi dan melihat hal tersebut dan beliau bertanya: “Ada apa dengan pohon kurma kalian?” Mereka menjawab: “Bukankah engkau 14
Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 2009), hlm. 82. 15
Fadlolan Musyaffa‟, dkk., Sanad Guru dan Murid…, hlm. 107-
108. Muslim, Ṣahîh Muslim, (Mesir: al-Maṭba‟ah al-Miṣriyyah, 1924), hlm. 118-119. 16
138
telah mengatakan hal ini dan hal itu kepada kami.” Kemudian Rasulullah bersabda: “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.” (HR. Muslim) Namun jika dipahami dari sisi historitas, penggunaan akal oleh para ilmuwan sebagaimana yang diamati oleh al-Ghazali pada masanya telah melampaui batas. Para ilmuwan ini tidak lain adalah para filosof yang mempertanyakan dan mempersoalkan wujud Allah melalui akal. Bagi al-Ghazali, para filosof ini telah masuk dalam keadaan kufur. Bukan menyekutukan Allah ataupun telah keluar dari Islam, melainkan kesesatan dalam berpikir.17 Sebuah pengamatan serius oleh al-Ghazali yang menimbulkan keprihatinan ini yang sebenarnya menjadi bukti sejarah bahwa penggunaan akal, dalam hal-hal dogmatis, memang harus dibatasi. Dengan demikian, sejauh mendukung informasi dogmatis agama maka akal diberi ruang untuk berkembang sesuai koridorkoridornya. Sebagai contoh, akal digunakan untuk merenungkan ayat-ayat kauniyah dalam semesta yang kemudian menambah kuat keimanan seseorang. Atau contoh lain adalah akal digunakan dalam memikirkan hikmah-hikmah di balik pensyari‟atan hukumhukum fikih sehingga beribadahpun semakin yakin dan tidak mudah goyah karena berlandaskan alasan-alasan pendukungnya. Sehubungan dengan penggunaan akal, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ubaidillah Achmad dalam bab sebelumnya 17
Ubaidillah Achmad, “Selayang Pandang tentang Tahafut alFalasifah Karya Imam al-Ghozali, http://lpmedukasi.com/?p=1988, diakses 27 Juni 2016.
139
bahwa penggunaan akal digunakan untuk mendukung ajaranajaran dogmatis dalam al-Qur‟an dan Hadis Nabi sehingga aturan dalam membentuk kepribadian dalam Islam bersumber dari kedua sumber tersebut. Berbeda dengan aturan-aturan perkembangan moral dalam pemikiran Jean Piaget yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama sehingga nilai bersumber dari aturan-aturan yang dibuat. Dengan demikian, fungsi akal lebih diarahkan untuk mendukung ajaran-ajaran dogmatis yang tercantum dalam wahyu. Adalah pengetahuan umum dan lazim di kalangan orang muslim bahwa al-Qur‟an merupakan salah satu dari sumber hukum pokok umat Islam kemudian diikuti Sunnah, Ijma‟, dan Qiyas. Dalam poin ini, tampak perbedaan yang sangat jelas dan signifikan antara pemikiran al-Ghazali dan Jean Piaget yang kaitannya dengan perkembangan moral bahwa nilai-nilai dalam lingkungan sosial anak-anak berasal dari aturan yang dibuat oleh mereka dalam permainan. Namun, poin perbedaan ini akan dijelaskan lebih lanjut dalam subbab selanjutnya. Quasem yang dikutip oleh M. Amin Abdullah bahwa hasil teori yang diajukan oleh al-Ghazali adalah hasil dari tahun-tahun akhir
kehidupannya,
ketika
al-Ghazali
sedang
menjalani
kehidupan mistik dan asketik. Sehingga perhatian utama pada akhir tahun-tahun kehidupannya bersifat sufistik yakni berkenaan dengan kesejahteraan manusia di akhirat. Secara otomatis, perhatian utama al-Ghazali ini menentukan aneka ragam aspek
140
dari
teori
moralnya.18
Inilah
yang
melatarbelakangi
pengembangan individu dalam ilmu tasawuf – kajian ilmu keislaman
yang
digunakan
dalam
membangun
konsep
psikosufistik al-Ghazali – yang secara akademik kurang memperhatikan identifikasi dan klasifikasi epistemologis yang terformat dengan metodologi yang relevan dengan perkembangan manusia dan kejiwaannya sebagaimana perkembangan studi tentang manusia yang dikembangkan dalam psikologi modern dari Barat.19 Adalah sebuah kewajaran apabila M. Amin Abdullah mengkritik al-Ghazali bahwa tidak memiliki konsepsi yang jelas kaitannya dengan kehidupan sosial secara umum. Etika mistiknya hanya dimaksud untuk menyelamatkan nasib individu di akhirat dan perhatian tertinggi adalah melihat Tuhan di akhirat. Tambahnya lagi, perhatian yang dicapai semata-mata melalui penyucian diri dan hidup menyendiri.20 Kritikan dari M. Amin Abdullah terhadap etika mistik al-Ghazali dikatakan wajar karena memang
18
pendidikan
akhlak
al-Ghazali
bersifat
sufistik
M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika…,
hlm. 133. 19
Ubaidillah Achmad, “Kritik Psikologi Sufistik Terhadap Psikologi Modern: Studi Komparatif Pemikiran Al-Ghazali dan Descrates”, Konseling Religi, (Vol. II, No. 1, Januari/2011), hlm. 63. 20
hlm. 217.
141
M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika…,
individual.21 Bagaimana pun, M. Amin Abdullah tetap setuju dengan penyucian diri namun menganggap hidup menyendiri bukanlah tindakan yang relevan dengan realitas sosial yang penuh perubahan dan transformatif ini. Di sinilah rasio sebagai alat analisis yang harus dilatih untuk melihat realitas sosial dan mengevaluasi perubahan sosial.22 Karena sifatnya psikosufistik al-Ghazali yang masih normatif, maka perlu adanya
desain teoritik yang bisa
diintegrasikan dengan bidang ilmu psikologi modern.23 Sebagai contoh dalam memperjelas langkah-langkah peserta didik dalam meneladani pendidik sebagai role model, maka memerlukan teori belajar observasional dari Albert Bandura. Upaya mencari bantuan dari teori belajar observasional dalam memperjelas proses prosedural peserta didik dalam meneladani pendidik merupakan sebuah tanda yang cukup signifikan bahwa kurangnya kerangka epistemologis dalam teori psikosufistik al-Ghazali. Sekalipun alGhazali tidak menjelaskan secara terperinci bagaimana langkahlangkah prosedural dalam meneladani pendidik, al-Ghazali sangat memperhatikan faktor dan pengaruh lingkungan dalam pendidikan 21
Nur Hamim, “Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih dan al-Ghazali”, Ulumuna, (Vol. XVIII, No. 1, Juni/2014), hlm. 36. 22
M. Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika…,
hlm. 217. 23
Ubaidillah Achmad, Teori Kehendak Perspektif Psikosufistik alGhazzali: Menjawab Kesedihan dan Persoalan Kejiwaan Manusia, (Semarang: LP2M UIN Walisongo, 2015), hlm. 17-18.
142
akhlak. Setidaknya ada tiga faktor lingkungan utama yang sangat mempengaruhi pendidikan akhlak subjek didikan, yaitu: (1) lingkungan keluarga dengan orang tua sebagai figur sentral; (2) lingkungan sekolah dengan guru sebagai figur sentral, dan (3) lingkungan masyarakat dengan figur sentralnya adalah tokohtokoh masyarakat.24 Adapun proses peserta didik meneladani sosok guru melewati empat tahap yakni: proses pemerhatian, proses
retensi,
proses
reproduksi
motorik,
dan
proses
motivasional. Telah disinggung di bab terdahulu bahwa dalam proses pemerhatian anak didik lebih tertarik pada guru yang memunyai daya tarik interpersonal daripada yang tidak. Dengan kata lain, semakin tinggi daya tarik interpersonal seorang guru maka semakin tinggi pula tingkat perhatian subjek didikan pada guru. Dalam poin inilah sebenarnya
pentingnya guru memiliki
kualifikasi kepribadian dan akademik sekaligus. Kualifikasi kepribadian ditampilkan oleh seorang guru yang memunyai kharisma dan wibawa sehingga mudah bagi guru untuk memusatkan segenap perhatian peserta didik padanya. Kualifikasi akademik terutama penguasaan guru akan disiplin ilmu tertentu yang ditekuninya akan menimbulkan sikap kepercayaan peserta didik pada guru. Sikap kepercayaan ini pada akhirnya juga akan memudahkan peserta didik dalam menyerap pengetahuan dan 24
Nur Hamim, “Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih…, hlm. 36.
143
nilai-nilai yang disampaikan guru khususnya selama proses pembelajaran. Penjabaran tersebut selaras dengan apa yang dikemukakan oleh al-Attas bahwa penghormatan pada guru hanya bisa menjadi kenyataan jika para guru tidak hanya memiliki otoritas secara akademik melainkan juga memberi contoh moral secara konsisten. Sebagai contoh, loyalitas dan keikhlasan sebagai sifat yang sangat penting untuk diajarkan dan dipraktikkan secara istikamah dalam hubungan murid dan guru.25 Sehubungan dengan proses-proses bagaimana peserta didik dalam meneladani pendidik, sebenarnya al-Ghazali memiliki teori normatif tentang indra yang terlibat dan mendukung aktivitas pengamatan tersebut. Kajian ringkas tentang aplikasi indra perspektif al-Ghazali ini merupakan elaborasi dari penjabaran pengaplikasian teori indra perspektif psikosufistik dalam buku Ubaidillah Achmad dan Yuliyatun Tajuddin yang berjudul “Suluk Kiai Cebolek dalam Konflik Keberagamaan dan Kearifan Lokal”26 dan pemahaman peneliti tentang teori belajar observasional Albert Bandura. Di tahap pertama yakni proses pemerhatian, peserta didik memperhatikan guru dengan indra lahir yang dimilikinya terutama indra penglihatan. Pada proses retensi, peserta didik menggunakan estimasi (
25
) sebagai indra batin yang memiliki
Syed M. Naquib al-Attas, Filsafat dan Praktik…, hlm. 265-266.
26
Ubaidillah Achmad dan Yuliyatun Tajuddin, Suluk Kiai Cebolek dalam Konflik Keberagamaan dan Kearifan Lokal, (Jakarta: Prenada, 2014), hlm. 208-209.
144
kemampuan meniru sekaligus menilai apakah tindakan yang ditiru bermanfaat atau tidak. Pada proses reproduksi motorik, peserta didik menggunakan indra batin representasi (
) untuk
melestarikan pelbagai tindakan guru yang telah dilihat oleh indra mata dalam berbagai kesempatan ketika dibutuhkan. Tahap terakhir adalah proses motivasi di mana peserta didik memiliki alasan yang kuat mengapa perlu meniru dan meneladani baik sifat-sifat maupun tindakan-tindakan guru. Untuk menjadi teladan bagi peserta didik, pendidik harus meneladani Nabi Muhammad yang disebut sebagai role model yang dapat ditiru melalui sunnahnya. Bagaimana pun, baik alQur‟an maupun Hadis Nabi merupakan fondasi moral tekstualis (scriptural morality), demikian Mohd. Nasir Omar yang dikutip oleh Adibah.27 Lebih lanjut, Islam memberikan aksentuasi pada sentralitas role model baik dalam hubungan interpersonal maupun hubungan
intrapersonal.28
Bagaimana
pun, profesionalisme
pendidik dalam rangka membentuk kepribadian peserta didik terkait dengan kedua hubungan tersebut. Hubungan intrapersonal menggambarkan
pendidik
sebagai
role
model
sekaligus
berhubungan dengan kompetensi kepribadian, yakni hubungan 27
Adibah, “Understanding Islamic Ethics and Its Significance on the Character Building”, International Journal of Social Science and Humanity, (Vol. III, No. 6, November/2013), hlm. 508. 28
Fatimah Abdullah, “Virtues and Character Development in Islamic Ethics and Positive Psychology”, International Journal of Education and Social Science, (Vo. I, No. 2, September/2014), hlm. 69.
145
dan tanggung jawab pendidik dengan diri pendidik itu sendiri. Sedangkan hubungan interpersonal lebih kepada bagaimana cara pendidik berinteraksi dengan peserta didik dalam proses pembelajaran. Dalam mendidik, guru juga harus memperhatikan bagaimana mengolah emosi peserta didik. Perlu adanya kesabaran dan ketekunan dalam menempatkan emosi yang mengarah pada aspek negatif di bawah kendali. Selain itu, guru dituntut untuk memberikan
penguatan
(reinforcement)
pada
emosi
yang
mengarah pada perilaku yang baik. Dan sebagaimana telah disebutkan dalam bab terdahulu bahwa penguatan yang berasal dari role model atau guru sebagai sosok yang diteladani berpengaruh signifikan pada perkembangan moral anak. Di sini dipahami bahwa penguatan pada peserta didik yang tidak berasal dari sosok yang diteladani tidak lebih kuat dari penguatan dari sosok yang diteladani (guru). Lebih lanjut, manipulasi emosi dapat mengantarkan peserta didik untuk memiliki kondisi psikologis dan spiritualitas yang sehat.29 Kecerdasan emosional ini sangat terkait dengan efektifitas dan ketepatan penggunaan nafsu yang sudah sampai pada ketenangan (muṭma‟innah), ketulusan
29
Fatimah Abdullah, “Virtues and Character Development in Islamic Ethics…, hlm. 69.
146
atas seluruh keputusan-Nya (râḍiyah), dan mendapat rida-Nya (marḍîyah).30 Dari penjabaran di atas dapat disarikan gagasan inti konsep pendidik atas teori psikosufistik al-Ghazali. Pendidik berperan sebagai pembimbing spiritual dalam menunjukkan keutamaan-keutamaan sekaligus menjadi role model bagi peserta didik. Proses bimbingan dan peniruan ini memiliki konsekuensi logis bahwa optimalisasi akal berada dalam koridor mendukung kedua proses tersebut. Bagaimana pun, fungsi akal dalam diri peserta didik tetap digunakan untuk bernalar selama tidak melampaui
batas-batas
yang
bertentangan
dengan
pembimbing rohani (pendidik) yang berasal
arahan
ajaran-ajaran
dogmatis dalam Islam. Setelah
menganalisis
konsep
profesionalisme
guru
perspektif al-Ghazali, saatnya menganalisis fokus serupa atas pemikiran Jean Piaget. Sebagaimana disebutkan di muka bahwa tidak ada pemikiran Jean Piaget yang membahas tentang profesionalisme guru. Karena perihal inilah yang sebenarnya menjadi alasan mendasar pemilihan dan penggunaan metode verstehen. Sebab jika penelitian ini menggunakan metode deskripsi demi kepentingan analisis pemikiran Jean Piaget tentang profesionalisme guru, maka upaya analisis akan menemui jalan buntu karena memang fungsi metode deskripsi hanya dapat 30
Ubaidillah Achmad, “Kritik Psikologi Sufistik Terhadap Psikologi Modern: Studi Komparatif Pemikiran Al-Ghazali…, hlm. 53.
147
menjelaskan sebagaimana adanya tanpa menjelaskan makna di balik teks. Metode verstehen digunakan untuk menelaah secara mendalam bagaimana terbentuknya teori perkembangan moral anak dengan mengkaji konteks zaman Jean Piaget hidup. Setelah itu, baru kemudian dirumuskan konsep kepribadian guru kaitannya dengan kerangka teoritik perkembangan moral anak perspektif Jean Piaget yang meliputi dua tahap yakni tahap di mana anak bersikap heteronom lalu meningkat pada tahap kedua yakni kepemilikan anak akan sikap otonom. Pemikiran Piaget secara luas baru berkembang di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II tepatnya tahun 1950-an. Meskipun Piaget dikenal dengan perkembangan anak dan pertimbangan teoritis yang dielaborasi selama bertahun-tahun, sebenarnya Piaget memiliki agenda filosofis yang lebih dalam, yang disebutnya genetic epistemology (epistemologi genetika), yang berhubungan dengan hakikat pengetahuan itu sendiri.31 Akan tetapi perlu dipahami bahwa riset psikologisnya dimaksudkan untuk memberikan sebuah landasan ilmiah empiris bagi teori filosofisnya.32
Demikian
dipahami
bahwa
sesungguhnya
perkembangan moral anak perspektif Jean Piaget tidak lain diarahkan
pada
agenda
filosofisnya
yakni
pengembangan
31
Graham Richards, Psikologi, terj. Jamilla, (Yogyakarta: Pustaka Baca, 2010), hlm. 296. 32
Graham Richards, Psikologi, hlm. 233.
148
konstruksi pengetahuan anak. Tegasnya, Jean Piaget sama memandang penting baik empirisme maupun rasionalisme. Jika ditelusuri secara seksama, sikap otonom sebagai puncak perkembangan moral individu ini tidak dapat dilepaskan dari historitas kehidupan Jean Piaget dan setting sosial yang mengitarinya. Periode kehidupan yang membuat Piaget berada di bawah tekanan dan kendali orang lain ialah ketika pada masa remaja, Piaget mengalami krisis keyakinan karena didorong oleh ibunya yang selalu menekankan ajaran-ajaran religius.33 Didikan semacam ini memuat Piaget tidak dapat berpikir atas tindakannya. Pada waktu itu Jean Piaget hidup dalam perang dunia di mana bangkitnya paham fasisme yang menganjurkan pemerintah menjadi pemerintah otoriter. Dari latar belakang ini, Piaget mengemukakan pentingnya membebaskan penalaran dan perilaku moral anak dari sikap patuh secara total pada aturan yang sewenang-wenang.
Tambahnya
lagi,
keadilan
dan
rasio
merupakan prinsip yang harus dikembangkan dalam mewariskan nilai-nilai norma dai generasi ke generasi. Menurut
Ubaidillah
Achmad,
sikap
kesewenang-
wenangan ini merupakan problem kemanusiaan terkait dengan persoalan kepribadian dan sosial di tengah relasi kuasa yang tidak seimbang. Dalam konteks ini, selalu saja terjadi transaksional
33
C. George Boeree, Sejarah Psikologi: Dari Masa Kelahiran Sampai Masa Modern, terj. Abdul Qodir Shaleh, (Yogyakarta: Prismasophie, 2000), hlm. 480.
149
yang sepihak antarindividu yang merugikan individu lain, sehingga setiap individu memandang individu lain sebagai musuh. Implikasinya, bagi individu yang dikuasai selalu dalam tekanan dan
ketakutan,
sementara
yang
sedang
berkuasa
selalu
memanfaatkan kesempatan atas kekuasaan yang dimilikinya.34 Dalam poin inilah letak kesamaan antara misi kemanusiaan alGhazali dan Jean Piaget yakni tentang free will (kebebasan kehendak). Jika dalam pandangan Jean Piaget ialah tercapainya sikap otonomi yakni kemandirian diri individu dalam memutuskan atas kesepakatan bersama dan bersikap atas kesadaran yang muncul dari diri sendiri. Sikap otoriter individu terhadap individu yang lain merupakan wujud dari tindakan yang menyalahi aturan universal seperti kemanusiaan, persamaan, keadilan, dan kesetaraan. Individu yang bersikap otoriter secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya menekan kemerdekaan individu yang dikuasainya sehingga dapat menimbulkan posisi yang tidak setara antara keduanya. Ditampilkan oleh individu atau kelompok yang berkuasa berada di atas (superior) individu atau kelompok yang ditekannya (inferior). Dalam konteks pembelajaran pun, guru yang bersikap otoriter mengakibatkan peserta didik takut dan akibat yang fatal ialah peserta didik cenderung menghindar dan tidak ingin belajar lagi dengan guru tersebut. 34
Ubaidillah Achmad, “Kritik Psikologi Sufistik Terhadap Psikologi Modern: Studi Komparatif Pemikiran Al-Ghazali…, hlm. 63.
150
Dalam The Moral Judgment of Child, Piaget sengaja untuk tidak memberikan saran-saran untuk memperbaiki aturanaturan permainan yang telah disepakati oleh anak-anak. Bahkan Piaget menampilkan diri sebagai orang yang sangat hirau sehingga Piaget membuat kesalahan yang intens di depan anakanak. Dari sini, seorang anak akan menunjukkan secara jelas bagaimana sebenarnya peraturan sebuah permainan. Kemudian Piaget mencoba menseriusi apa yang telah dijelaskan oleh anak dan bertanya siapa yang menang dan apa alasannya.35 Dari penjabaran yang ringkas ini, dapat diambil gagasan inti tentang bagaimana Piaget menyikapi perkembangan moral anak. Gagasan inti ini kemudian diadopsi sebagai konsep kepribadian guru di mana guru cenderung memberi kesempatan subjek didikan untuk mempertimbangkan (berpikir) dan mengambil sikap yang mandiri terhadap keadaan lingkungannya. Di titik inilah, al-Ghazali berseberangan dengan Jean Piaget. Jika Piaget mendidik subjek didikan untuk bersikap otonom, maka al-Ghazali cenderung meminta subjek didikan untuk memandang gurunya sebagai acuan untuk melakukan keutamaan-keutamaan sehingga yang muncul adalah sikap heteronom atau ketergantungan dalam beretika. Proses pembelajaran yang diaplikasikan oleh Piaget sebenarnya tidak lepas dari epistemologi konstruktivisnya di mana pengetahuan dibangun dalam pikiran anak. Pelbagai riset Piaget 35
Jean Piaget, The Moral Judgment of the Child,(Amerika Serikat, tp, tt.), hlm. 14.
151
menghasilkan bahwa konstruksi pengetahuan individu diperoleh melalui interaksi individual dengan lingkungannya. Setelah generasi Piaget, pergeseran paradigma dialami oleh konstruktivis baru di mana selain melibatkan faktor tersebut di atas, konstruktivis baru mengikutsertakan proses-proses sosial dalam konstruksi pengetahuan.36 Dari penjelasan ini dipahami bahwa pengalaman membantu pengetahuan anak terkonstruksi dan pada akhirnya tindakan anak selanjutnya merupakan tindakan yang sangat berdasar atas pengetahuan yang diperoleh sebelumnya (asimilasi). Jika keadaan dan pengalaman yang dihadapi anak didik baru, maka anak didik akan mengalami ketidakseimbangan karena tidak memiliki skema atas keadaan yang sedang dihadapi. Untuk mendapatkan keseimbangan, maka anak didik harus melakukan adaptasi atau memodifikasi skema lama menjadi skema baru dalam konstruksi pengetahuannya sesuai dengan tuntutan keadaan yang baru. Sekali lagi dipahami bahwa pengalaman dalam studi Piaget, termasuk perkembangan moral, merupakan faktor yang membantu anak didik mengonstruksi pengetahuannya.
Karenanya,
fokus
studi
Piaget
tentang
perkembangan moral sebenarnya masih sangat terkait dengan tema besar studinya tentang perkembangan kognitif anak. Kemajuan intelektual bagi Piaget tergantung pada proses akomodasi di mana siswa harus memasuki area belajar yang tidak 36
Ratna Wills Dahar, Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: penerbit Erlangga, 2011), hlm. 152.
152
dikenal untuk dapat belajar hal baru. Jadi, guru dituntut untuk membantu peserta didik untuk mendapatkan area belajar yang baru. Jika tidak demikian, maka peserta didik hanya mempelajari apa yang diketahuinya dan mengakibatkan peserta didik mengalami overasimillation yakni suatu keadaan di mana pertumbuhan intelektual mengalami stagnasi. Di sinilah, salah satu sikap profesional guru sebagai fasilitator dibutuhkan. Kembali pada gagasa inti bahwa otonomi merupakan tahap atau pencapaian yang terakhir dalam perkembangan moral Piaget. Otonomi di sini terutama menyangkut tentang kebebasan dalam bernalar baru kemudian diikuti oleh kebebasan bertindak. Oleh karena itu, relasi kepribadian guru dalam membentuk kepribadian subjek didik terletak pada peran guru yang memosisikan diri sebagai fasilitator. Dalam arti, menyediakan lingkungan dan pengalaman baru agar subjek didik dapat mengalami pembelajaran baru pula. Tentu saja, peran guru ini dijalankan demi kemajuan intelektual peserta didik. Implikasi dari hasil telaah ini dalam pendidikan ialah pembelajaran di dalam kelas bersifat student-centered di mana guru bertanggung jawab untuk membuat peserta didik sadar dan terlibat relevansinya dengan
pembentukan
konstruksi
pengalaman-pengalaman baru.
153
pengetahuan
melalui
B. Komparasi Peran Kepribadian Guru dalam Pembentukan Kepribadian Peserta Didik Perspektif al-Ghazali dan Jean Piaget Salah satu letak kesamaan pemikiran psikologi al-Ghazali dan Jean Piaget ialah sama-sama mengakui manusia memiliki potensi rasio dan potensi fisik. Sebagaimana telah dijabarkan dalam Bab III bahwa psikologi kognitif yang diusung oleh Piaget memiliki akar gagasan body and reason milik Descartes. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Piaget dilihat dari bangunan teoritiknya tidak mengakui potensi manusia selain body and reason
sebagaimana
potensi-potensi
yang
diakui
dalam
psikosufistik seperti rûh, qalb, dan nafs. Implikasi selanjutnya ialah secara otomatis Piaget mengabaikan potensi di luar kedua unsur tersebut. Tentu saja hal ini merupakan sebuah kewajaran karena secara logis tidak mungkin Piaget membahas tentang bagaimana cara memenuhi kebutuhan potensi-potensi manusia yang tidak diakuinya. Al-Ghazali dan Jean Piaget sama-sama menaruh perhatian pada
fungsi
akal.
Namun,
perbedaannya
terletak
pada
pendayagunaannya. Disebabkan oleh adanya pendidik sebagai pembimbing spiritual sekaligus menjadi role model, maka fungsi akal menjadi ketergantungan atau heteronom. Sedangkan dalam perspektif Piaget, optimalisasi akal dalam memandang dunia diberi porsi yang lebih besar, sehingga dalam perkembangan moral berakhir pada fungsi akal yang bersifat otonom.
154
Lebih jelasnya, benang merah antara pemikiran al-Ghazali dan Jean Piaget ialah keduanya sama-sama mengakui adanya logika formal. Karenanya, kedua subjek penelitian ini sama-sama mengakui rasionalisme dan empirisme dalam dunia ilmu akademik. Keduanya sama menekankan pentingnya pengalaman indrawi dan penalaran sekaligus. Atau dengan kata lain, alGhazali dan Jean Piaget sama-sama memperhatikan pengalaman fisik dan aktivitas berpikir. Keberpihakan Piaget pada keduanya dapat ditelusuri bahwa Piaget pernah menekuni biologi dan psikologi khususnya psikologi kognitif. Selain itu, al-Ghazali dan Jean Piaget juga sama-sama memiliki gagasan tentang keseimbangan. Al-Ghazali menjadikan doktrin tengah (al-wasât) sebagai dasar keutamaan akhlak di mana harus ada keserasian antara dengan potensi yang dimiliki manusia dengan hubungan fungsionalnya.37 Sedangkan keseimbangan (equilibrium) dalam perspektif Jean Piaget terkait dengan bagaimana daya intelektual subjek didikan dapat digunakan untuk menghadapi tantangan lingkungan. Jika individu tidak dapat beradaptasi dan menyikapi keadaan karena tidak memiliki struktur (skema) atas suatu keadaan atau dengan kata lain keadaan itu asing baginya, maka sebenarnya individu tersebut sedang mengalami disequilibrium. Tentu saja keseimbangan antar kedua subjek penelitian tetap berbeda satu sama lain. Al-Ghazali melihat 37
Nur Hamim, “Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih…, hlm. 26.
155
keseimbangan sebagai pendayagunaan semua potensi jiwa dan jasad manusia sesuai dengan porsinya masing-masing, sedangkan keseimbangan dalam sudut pandang Piaget terletak pada ketika peserta didik mengalami kemajuan intelektual dan dapat beradaptasi dengan tuntutan lingkungan. Jadi keseimbangan Piaget lebih kepada keseimbangannya kemampuan rasio yang kaitannya dengan jasad manusia. Al-Ghazali membagi manusia menjadi beberapa unsur yaitu rûh, qalb, „aql, nafs, dan jasad sedangkan Jean Piaget hanya mengakui adanya unsur badan dan rasio sehingga secara otomatis mengabaikan keseimbangan pemenuhan kebutuhan unsur-unsur yang lain. Jadi berdasarkan pemikiran Piaget, tantangan-tantangan dalam kehidupan yang dihadapi manusia hanya mengandalkan kemampuan kognitif saja. Sementara keseimbangan menurut alGhazali ialah memotensikan semua anasir manusia tersebut secara proporsional dan seimbang. Dipahami bahwa pelbagai teori yang dikonstruksi Piaget, termasuk
perkembangan
moral,
selalu
diarahkan
demi
kepentingan agenda filosofisnya yakni bagaimana hakikat membangun pengetahuan. Dalam hal berhubungan dengan sesama misalnya, individu yang tidak memiliki skema sekali tentang keadaan-keadaan baru yang dihadapinya, maka tidak akan memiliki kesiapan untuk tanggap terhadap lingkungan. Lagi pula, semua pengalaman (interaksi dengan lingkungan) yang menurut Piaget merupakan faktor yang sangat besar dalam membentuk
156
pengetahuan hanya akan membuat individu berorientasi semata pada pemenuhan kebutuhan kognitif. Karenanya sikap tersebut akan memunculkan sikap antipati terhadap orang lain disebabkan oleh orientasi individu hanya ingin memenuhi kebutuhan kognitifnya atau dengan kata lain individu lebih banyak menghabiskan hidup atas kepentingan rasio saja. Sehubungan orientasi perkembangan moral Piaget yang diarahkan pada kebutuhan rasio sehingga menimbulkan antipati terhadap sesama sebenarnya berakar dari tidak mengakuinya Piaget akan unsur qalb sebagai bagian dari anasir yang dimiliki manusia. Sikap antipati merupakan sikap yang mengabaikan hubungannya dengan sesama manusia. Sikap antipati ini berlawanan
dengan
sikap
simpati
dan
empati
untuk
memperhatikan dan ikut merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Sikap antipati inilah sebagai pertanda besar bahwa Piaget benar-benar tidak mengakui kebutuhan hati. Di sini peran guru dalam membentuk kepribadian peserta didik menurut Piaget sebenarnya lebih kepada bagaimana guru menyediakan fasilitas dan persoalan-persoalan yang merangsang kemajuan-kemajuan intelektual peserta didik. Sehingga, peran guru hanya sebatas ikut andil dalam memenuhi kebutuhan rasio dan bagaimana peserta didik dapat beradaptasi dan bertahan dalam tantangan-tantangan hidup di sekitarnya. Berbeda dengan peran guru perspektif al-Ghazali, guru berperan untuk menghidupkan fungsi hati yang kaitannya dengan kelancaran hubungan vertikal
157
dan hubungan horizontal. Hati di sini dapat berhubungan dengan Allah sekaligus dengan manusia. Hati peserta didik disiapkan untuk selalu memiliki kesadaran ilahiyah sementara di sisi lain dilatih untuk memiliki sikap simpati dan empati agar timbul kepekaan terhadap lingkungan secara berkesinambungan. Bagaimanapun, perbedaan mendasar konsep kepribadian guru dalam pemikiran al-Ghazali dan Jean Piaget ialah terletak pada seberapa besar guru memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mendayagunakan fungsi akal untuk memikirkan mana yang baik atau buruk. Al-Ghazali memberikan kesempatan yang lebih sedikit bagi peserta didik karena pendayagunaan akal berada di bawah bimbingan pembimbing spiritual. Sedangkan Piaget memberikan kebebasan atau otonomi bagi peserta didik untuk berpikir mana yang baik atau buruk bagi dirinya. Pendekatan
kognitif
Jean
Piaget
terkait
dengan
perkembangan moral dapat dianggap kurang lebih sama dengan pendidikan rasional dalam ajaran Islam. Pendapat Harun Nasution yang dikutip oleh Nur Hamim, pendekatan kemanusiaan ini merupakan pendekatan ajaran Islam yang sifatnya tidak absolut sehingga berimplikasi pada tumbuhnya kreativitas dan inisiatif individu terutama dalam hal berpikir. Sedangkan pendekatan mistik al-Ghazali merupakan pendekatan ajaran Islam sebagai ajaran yang absolut (ketuhanan). Pendekatan kemanusiaan memiliki indikasi manusia bersifat otonom, sedangkan pendekatan
158
ketuhanan menempatkan manusia sebagai makhluk heteronom. 38 Pada pendekatan ketuhanan, akal (rasio) hanya berperan terbatas relasinya dengan dogma agama (wahyu), atau bahkan hanya berperan sebagai subordinat, bukan otonom-independen.39 Sehubungan peran guru atas respon perkembangan moral Jean Piaget sebagai fasilitator sebenarnya berangkat dari persepsi Piaget yang menolak adanya transfer pengetahuan dari satu individu ke individu yang lain karena pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahkan. Sehubungan dengan relasi guru dan peserta didik bahwa konstruksi kognitif dan pengalaman keduanya berbeda sehingga pengetahuan yang diterima peserta didik dari guru
akan
berbeda,
setidaknya
berbeda
dalam
hal
pengejawantahan dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan yang tidak dapat dipindahkan tersebut sebenarnya berasal dari persepsi bahwa pengetahuan manusia terutama peserta didik merupakan pengetahuan yang tidak tiba-tiba melekat dalam diri peserta didik melainkan melalui proses interaksinya dengan lingkungan. Hal ini disebabkan oleh konstruksi dan pengalaman individu satu dengan individu yang lain berbeda. Sebagai implikasi yang konkret dalam proses pembelajaran dipahami bahwa guru dapat mentransfer pengetahuan kepada peserta didik. Akan tetapi, hasil pengetahuan
38
Nur Hamim, “Pendidikan Akhlak: Komparasi Konsep Pendidikan Ibnu Miskawaih…, hlm. 24. 39
Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hlm. 113.
159
yang sampai atau yang dipahami peserta didik berbeda karena konstruksi kognitif guru dan peserta didik tidaklah sama. Sebenarnya diskursus ini berlandaskan pada epistemologi konstruktivisme Piaget yang mengatakan bahwa peserta didik membangun konstruksi pengetahuannya secara mandiri. Lebih lanjut bahwa implikasi positif dari paradigma keilmuan Piaget tersebut di atas terhadap perkembangan moral anak ialah sikap otonomi anak sebagai tahap kedua sekaligus tahap terakhir perkembangan moral dilatarbelakangi dari landasan berpikir
yang
kuat.
Sehingga
kemandirian
anak
dalam
memutuskan dan bersikap berangkat dari sebuah kesadaran internal sehubungan dengan dihadapinya lingkungan sosial yang mengitarinya. Secara tidak langsung gagasan Piaget ini mempertanyakan kemungkinan transfer nilai yang dilakukan oleh pendidik sebagai role model kepada peserta didik dalam konsep pendidik perspektif al-Ghazali. Meskipun al-Ghazali tidak menjabarkan langsung bagaimana proses transfer nilai dari pendidik ke peserta didik berlangsung. Sebenarnya al-Ghazali memiliki teori indra dalam dan indra batin yang dapat digunakan peserta didik untuk meniru dan meneladani tingkah laku pendidik. Dari proses peniruan tindakan inilah akal peserta didik diberi peluang untuk memikirkan nilai-nilai tersirat di balik tindakan-tindakan pendidik yang ditirunya. Sehubungan dengan relasi guru dan peserta didik ini terdapat amal yang harus sama-sama diamalkan oleh
160
keduanya, yaitu sama-sama mendisiplinkan hati dan akal. Hati dijaga agar tetap bersih dengan berdzikir dan bersimpati-empati dengan
sesama
dan
akal
digunakan
untuk
memikirkan
konsekuensi tindakan serta berpikir realistis. Konsep
kepribadian
guru
relevansinya
dengan
pembentukan kepribadian peserta didik sudut pandang keduanya apabila dilihat dari pendidikan akal maka didapat bahwa dalam telaah pemikiran al-Ghazali guru mengawasi pendayagunaan akal di bawah bimbingan dan perintah pendidik yang disarikan dari ajaran-ajaran dogmatis Islam. Sedangkan dalam telaah pemikiran Jean Piaget, guru mendukung kebebasan akal peserta didik untuk memikirkan moral dan bagaimana harus bersikap menghadapi tuntutan lingkungan. Meskipun orientasi konsep atau peran guru sudut pandang al-Ghazali dan Jean Piaget sebagaimana disebutkan di atas berbeda, sebenarnya pendidik dalam pemikiran al-Ghazali juga memberikan peluang peserta didik untuk mendayagunakan akal secara otonom pada persoalan-persoalan duniawi. Pada akhirnya, peran guru perspektif al-Ghazali berkaitan dengan bagaimana pendidik mengarahkan peserta didik untuk mendayagunakan semua potensi yang dimilikinya (rûh, qalb, „aql, nafs, dan jasad) di atas kendali dan keseimbangan agar tercapainya kepribadian yang tenang (muṭma‟innah). Sedangkan peran guru perspektif Piaget hanya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan rasio dan jasad peserta didik saja. Perbandingan pemikiran
161
kedua
subjek
penelitian
ini
terutama
tentang
pembentukan kepribadian peserta didik didasarkan pada tulisan Ubaidillah Achmad sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelumnya. Perbandingan pemikiran kedua subjek penelitian ini dapat ditampilkan sebagaimana Tabel 4.2 berikut ini: Tabel 4.2 Perbandingan Pemikiran al-Ghazali dan Jean Piaget tentang Peran Kepribadian Guru dalam Membentuk Kepribadian Peserta Didik No.
Aspek Perbandingan
1.
Unsur manusia
Perbandingan Pemikiran Al-Ghazali
Jean Piaget
Unsur manusia
Unsur manusia terdiri
terdiri rûh, qalb,
dari body (jasad) dan
„aql, nafs, dan
reason (rasio).
jasad. Secara
Pengakuan Jean
otomatis, al-Ghazali
Piaget akan kedua
memperhatikan
unsur ini dibuktikan
kebutuhan semua
dengan perhatiannya
unsur-unsur
terhadap
tersebut.
perkembangan kognitif anak relevansinya dengan interaksi jasad dengan lingkungan.
2.
Pergunaan
Penggunaan akal
Akal menjadi penentu
Potensi Akal
dalam kehidupan
tindakan kaitannya
162
sehari-hari berada di dengan interaksi bawah kendali hati
sosial anak dengan
dan ajaran dogmatis
lingkungan. Dengan
agama.
demikian, pertimbangan rasio sebagai penentu tindakan berdasarkan konstruksi pikiran anak.
3.
Arah
Karena akal berada
Karena akal menjadi
Pembentukan
di bawah kendali
penentu perilaku
Kepribadian
hati dan ajaran
tanpa ada unsur di
dogmatis, maka
atasnya yang
akal bersifat
mengendalikan maka
mendukung ajaran
arah pembentukan
agama dalam
kepribadian perspektif
mengambil langkah
Jean Piaget lebih
dalam perilaku
bersifat otonom dan
sehari-hari. Dengan
memberi peluang bagi
kata lain, arah
akal untuk berpikir
pembentukan
kreatif.
kepribadian khususnya peserta didik lebih bersifat heteronom.
163
4.
Peran
Guru sebagai
Konsep kepribadian
Kepribadian
pembimbing ruhani
guru sebagai hasil
Guru dalam
dan role model bagi
metode verstehen
Membentuk
peserta didik. Posisi
ditampilkan sebagai
Kepribadian
guru sebagai
sosok yang
Peserta Didik
pembimbing ruhani
menyeimbangkan
yang mendidik
antara perkembangan
kebutuhan ruh dan
rasio (reason) dan
hati peserta didik
kemampuan gerak
yang kemudian
tubuh anak (body).
diarahkan pada
Sehingga guru sebagai
keseimbangan
fasilitator untuk
antara pemenuhan
menyediakan keadaan
rûh, qalb, „aql, nafs,
baru-keadaan baru
dan jasad sehingga
agar perkembangan
terbentuk
kognitif anak terus
kepribadian yang
dan tidak mengalami
tenang
stagnasi yang
(muṭma‟innah).
berakibat pada kegugupan dalam menghadapi tantangan lingkungan.
164