BAB III TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2009 A. Pengertian Tanggung Jawab menurut Hukum Keperdataan Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara mereka itu tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan undang undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut yang menimbulkan kerugian itu. 12 Hal tersebut diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata, sebagai berikut : “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Menurut pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu sebagai berikut: 13 1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan 2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian) 3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian Maka model tanggung jawab hukum adalah sebagai berikut: 14
12
AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, cet.2, (Jakarta: Diapit Media, 2002), hal.77.
13
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, cet.1, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal.3.
14
Ibid., hal..3.
1. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan (kesengajaan dan kelalaian) sebagaimana terdapat dalam pasal 1365 KUHPerdata. 2. Tanggung jawab dengan unsur kesalahan khususnya kelalaian sebagaimana terdapat dalam pasal 1366 KUHPerdata. 3. Tanggung jawab mutlak (tanpa kesalahan) sebagaimana terdapat dalam pasal 1367 KUHPerdata. Pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan Cohen. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan antara lain sebagai berikut : “bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan baik, pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian”.15 Dengan meninjau perumusan luas dari onrechmatige daad, maka yang termasuk perbuatan melawan hukum adalah setiap tindakan : 1.
Bertentangan dengan hak orang lain, atau
2.
Bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, atau
3.
Bertentangan dengan kesusilaan baik, atau
4.
Bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau benda. Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum dapat disengaja dan tidak
disengaja atau karena lalai. Hal tersebut diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata, sebagai berikut :
15
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, cet.2, (Jakarta : Pradnya Paramita : 1982), hal 25-26.
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya”. Tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum diatas merupakan tanggung jawab perbuatan melawan hukum secara langsung , dikenal juga dikenal perbuatan melawan hukum secara tidak langsung menurut pasal 1367 KUHPerdata : (1)
Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya;
(2)
Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali;
(3)
Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya;
(4)
Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang–orang ini berada dibawah pengawasan mereka;
(5)
Tanggung jawab yang disebutkan diatas berakhir, jika orangtua-orangtua, wali-wali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab. Pertanggungjawaban majikan dalam pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata tidak
hanya mengenai tanggung jawab dalam ikatan kerja saja, termasuk kepada seorang yang di luar ikatan kerja telah diperintahkan seorang lain untuk melakukan sesuatu pekerjaan tertentu, asal saja orang yang diperintahkan melakukan pekerjaan tersebut melakukan pekerjaannya secara berdiri sendiri-
sendiri baik atas pimpinannya sendiri atau telah melakukan pekerjaan tersebut atas petunjuknya. 16 Sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1601 a KUHPerdata, Tanggung jawaban majikan atas perbuatan-perbuatan melawan hukum dari karyawan-karyawannya 17: “Persetujuan perburuhan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah” Putusan Hoge Raad tanggal 4 November 1938 mengatur pula pertanggung jawaban atas perbuatan-perbuatan yang sekalipun diluar tugas sebagaimana yang diberikan kepada bawahan, namun ada hubungannya sedemikian rupa dengan tugas bawahan tersebut, sehingga dapat dianggap dilakukan dalam pekerjaan untuk mana bawahan tersebut digunakan : “Pertanggung jawaban berdasarkan pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata dimaksudkan untuk mencakup pula kerugian yang disebabkan oleh perbuatan yang tidak termasuk tugas yang diberikan pada bawahan, namun ada hubungannya sedemikian rupa dengan tugas bawahan tersebut, sehingga perbuatan tersebut dianggap dilakukan dalam pekerjaan untuk mana bawahan tersebut digunakan”. 18 Selain manusia sebagai subyek hukum, badan hukum (rechtspersoon) juga merupakan subyek hukum, yaitu memiliki hak hak dan kewajiban seperti manusia. Badan hukum dapat menjadi subyek hukum dengan memenuhi beberapa syarat sebagai berikut: 19
16
Ibid, hal 128.
17
Ibid, hal 131.
18
Ibid, hal 132.
19
Subekti, Pokok Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1989), hal.21.
a. Jika badan hukum tersebut memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang perorangan yang bertindak dalam badan hukum itu; b. Jika badan hukum tersebut mempunyai kepentingan kepentingan yang sama dengan kepentingan orang perorangan yaitu kepentingan sekelompok orang dengan perantara pengurusnya. Badan hukum dapat turut serta dalam pergaulan hidup di masyarakat, dapat menjual atau membeli barang, dapat sewa atau menyewakan barang, dapat tukar menukar barang, dapat menjadi majikan dalam persetujuan perburuhan dan dapat juga dipertanggung jawabkan atas tindakan melanggar hukum yang merugikan orang lain. 20 Teori organ mengakui dalam badan hukum terdapat orang di samping anggotanya, orang tersebut mempunyai kecakapan untuk bertindak dan juga memiliki kehendaknya sendiri. Kehendak tersebut dibentuk dalam otak para anggota, akan tetapi karena para anggota tersebut pada waktu membentuk dan mengutarakan kehendaknya bertindak selaku organ, yakni sebagai bagian dari organisme yang berwujud orang, maka kehendak tersebut juga merupakan kehendak dari badan hukum. 21 Hoge Raad menganut teori organ dan menjadikan teori ini sebagai yurisprudensi
tetap
karena
menurut
teori
ini
badan
hukum
dapat
dipertanggungjawabkan berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, yakni bilamana organnya melakukan perbuatan melawan hukum. 22 Bilamana suatu badan hukum dianggap sebagai benar-benar orang yang mempunyai wewenang untuk bertindak, dengan memiliki kehendaknya sendiri, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
20
Wirjono Projodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, (Bandung: Sumur Bandung, 1960), hal.51.
21
M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, cet.2, (Jakarta : Pradnya Paramita : 1982), hal 175.
22
Ibid., hal. 176.
badan hukum tersebut harus pula dapat dianggap memenuhi unsur kesalahan dalam melakukan perbuatan melawan hukum. 23 Tidak semua perbuatan organ dapat dipertanggung jawabkan kepada badan hukum, harus ada hubungan antara
perbuatan dengan lingkungan kerja dari
organ. Organ tersebut telah melakukan perbuatannya dalam lingkungan formil dari wewenangnya. Jika organ badan hukum bertindak untuk memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya dan tindakan tersebut melawan hukum maka perbuatan melawan hukum oleh organ tersebut dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dari badan hukum. Dalam membicarakan persoalan tentang organ perlu kiranya dikemukakan perihal wakil. Vollmar mengadakan perbedaan antara organ dan wakil. Organ menurut Vollmar adalah merupakan wakil yang bertindak untuk badan hukumnya. Di samping wakil sebagai organ tersebut menurut Vollmar ada pula wakil yang bertindak tidak sebagai organ. Adapun mengenai organ tersebut dapat dibedakan antara organ bukan sebagai bawahan dan organ sebagai bawahan. 24 Vollmar memberikan perumusan tentang organ sebagai berikut : 25 “organ adalah wakil yang fungsinya mempunyai sifat yang berdiri sendiri, yakni dalam arti bahwa cara mereka harus menjalankan tugasnya dan cara mereka harus mewakili badan hukum sepenuhnya adalah diserahkan pada mereka sendiri, sekalipun pelaksanaannya harus dilakukannya dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang, atau peraturan dan sebagainya”. Dengan demikian dalam kebanyakan hal badan hukum sendiri telah melakukan perbuatan melawan hukum dan pertanggungjawabannya secara langsung adalah berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata dan bukannya berdasarkan pasal 1367 KUHPerdata. Jika perbuatan melawan hukumnya dilakukan oleh 23
Ibid., hal. 176.
24
Ibid, hal 177.
25
Ibid, hal. 178.
seseorang bawahan maka badan hukum harus bertanggung jawab berdasarkan pasal 1367 KUHperdata. Sebagai pedoman, diberikan oleh pasal 1865 KUHPerdata bahwa : “Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.” Sedangkan dalam buku ketiga Bab XV mengenai persetujuan untunguntungan pasal 1774 menyebutkan bersama-sama asransi dan perjudian dan pertaruhan. Kedua-duanya memang bersifat spekulatif, akan tetapi dengan perbedaan bahwa sifat spekulatif pada perjudian adalah mutlak, sedangkan pada asuransi sifat spekulatif tersebut bersifat relatif, artinya tingkat resiko pada asuransi sampai pada tingkat tertentu dapat diperhitungkan. Masalah asuransi tidak diatur lengkap dalam KUHPerdata, karena dalam pasal tersebut diatas ditentukan bahwa asuransi atau pertanggugan diatur dalam kitap undang-undang hukum dagang.
26
Luas tanggung jawab pengangkut ditentukan dalam pasal 1236 dan 1246 KUHPdt, menurut pasal 1236 pengangkut wajib membayar ganti kerugian atas biaya, kerugian yang diderita dan bunga yang layak diterima, bila ia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya untuk menyerahkan barang muatan. B. Tanggung jawab Pengangkut menurut Undang-Undang No 1 tahun 2009 Undang-undang No. 1 tahun 2009 tercipta dari munculnya Konvensi Cape Town 2001 yang sebagian besar substansinya diadopsi oleh Undang-Undang
26
Prof.E.Suherman,SHaneka masalah hukum kedirgantaraan(himpunan makalah 19611995)mandar maju,bandung.2000,hal:404
Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang merupakan pengganti UndangUndang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan. Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar udara. Sementara pengertian dari tanggung jawab pengangkut adalah kewajiban perusahaan angkutan udara untuk mengganti kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pengirim barang serta pihak ketiga. Dalam menetapkan siapa yang harus bertanggung jawab ada hal penting yang harus diterapkan sebelum menentukan siapa yang bertanggung jawab hal yang perlu diketahui tersebut adalah prinsip-prinsip tanggung jawab. Prinsip tanggung jawab dalam bidang hukum pengangkutan itu ada tiga macam yaitu, prinsip tanggung jawab atas dasar kesalahan (liability based on fault principle), prinsip tanggung jawab atas dasar praduga (rebuttable presumption of liability principle), dan prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability principle). Dalam pembedaan ketiga prinsip tanggung jawab tersebut dapat dilakukan melalui pihak mana yang harus membuktikan dan hal apa yang harus dibuktikan ketika terjadi sengketa. 27 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 memberikan pengertian dan tanggung jawab pengangkut dan penanganan secara terpisah antara bagasi tercatat dan bagasi kabin beserta. Upaya Tanggung Jawab Pengusaha Angkutan Udara Jika Penumpang tidak Mendapatkan Pelayanan Berupa Keterlambatan Jadwal dan Tanggung Jawab Terhadap Kerusakan dan Kehilangan Barang Dalam Angkutan Udara Angkutan Udara. Proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi pihak yang bersengketa melakukan perundingan secara langsung tanpa perantara pihak
27
Dr.Toto Tohir suriaatmadja,SH.MH,2006,masalah dan aspek hukum dalam pengangkutan udara nasional, bandung,mandar maju. Hal:27
ketiga, negosiasi bersifat informal dan tidak berstruktur serta waktunya tidak tentu. efesiensi dan efektifitas kelangsungan negosiasi tergantung sepenuhnya pada para pihak. Bentuk-bentuk dari pelanggaran hak konsumen pengguna jasa penerbangan adalah kurang ketelitian dalam pencatatan identitas, penundaan penerbangan /delay/ dengan alasan faktor cuaca dan teknis operasional, penundaan jadwal penerbangan delay tanpa pemberitahuan, menjual tarif tiket dengan batas atas, letak atau posisi kursi tidak sesuai demgam tiket, kehilangan barang dibagasi (Pasal 144 Undang–Undang nomor 1 tahun 2009), tiket hangus. Pemerintah mempunyai peran yang penting dalam mewujudkan perlindungan konsumen dengan mewajibkan seluruh maskapai penerbangan untuk memberikan informasi kepada para penumpang bila terjadi keterlambatan (delay) penerbangan lebih dari 30 menit. Peran pemerintah dalam meyikapi pelanngaran hak perlindunga konsumen adalah dengan melalukukan pembinaan sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang No. 1 tahun 2009 tentang penerbangan diantaranya penerbangan dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah, Pembinaan Penerbangan sebagaimana dimaksud meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan, Pengaturan sebagaimana dimaksud meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan. Pada dasarnya, bila terjadi kecelakaan, penerbangan maskapai bertanggung jawab atas kematian atau luka-luka yang diderita penumpang; hilang, musnah, atau rusaknya barang yang diangkut; dan keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang (bagasi atau kargo) yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut, sebagaimana diatur di Pasal 141, 144, dan 145 Undang-Undang No. 1 tahun 2009.
Tanggung jawab sebagai pengangkut terhadap penumpang menurut pasal 141 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan adalah pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, luka-luka, yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.tetapi dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan terdapat batasan-batasan tanggung jawab dari PT.Garuda Indonesia (Persero) sebagai pengangkut terhadap penumpang yaitu : a. Pengangkut tidak bertanggung jawab dan dapat menolak untuk mengangkut calon penumpang yang sakit, kecuali dapat menyerahkan surat keterangan dokter kepada pengangkut yang menyatakan bahwa orang tersebut diizinkan dapat diangkut dengan pesawat udara dan wajib didampingi oleh seorang dokter atau perawat yang bertanggung jawab dan dapat membantunya selama penerbangan berlangsung. b. Pengangkut tidak bertanggung jawab untuk kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya c.
Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.
d. Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi, atau kargo, kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional. Prinsip tanggung jawab mutlak menetapkan bahwa maskapai selalu bertanggung jawab atas kerugian yang timbul selama penerbangan, dan tidak bergantung pada ada tidaknya unsur kesalahan di pihak maskapai. Kecuali dalam hal kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan, dengan syarat maskapai harus
membuktikan bahwa keterlambatan itu disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional, sebagaimana diatur di Pasal 146 Undang-Undang No. 1 tahun 2009. Namun, tanggung jawab maskapai yang terdapat dalam pasal 141, 144, dan 145 Undang-Undang No. 1 tahun 2009 dapat dialihkan keperusahaan asuransi bila maskapai mengasuransikan penumpang, bagasi, maupun kargo yang diangkutnya. Penutupan asuransi ini wajib dilakukan setiap orang atau badan hukum yang mengoperasikan pesawat udara, sebagaimana diatur di Pasal 62 ayat 1 UndangUndang No. 1 tahun 2009. Bahkan maskapai yang tidak mengasuransikan dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan sertifikat, dan atau pencabutan sertifikat (Pasal 62 ayat 2 Undang-Undang No. 1 tahun 2009). Rasionalisasi di balik kewajiban menutup asuransi itu untuk mengurangi kerugian yang harus ditanggung maskapai bila terjadi kecelakaan pesawat, sehubungan dengan tanggung jawabnya memberikan santunan ke penumpang, bagasi, dan kargo, yang diwajibkan konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan nasional. Artinya, kewajiban asuransi ini dimaksudkan untuk lebih memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna jasa angkutan udara, dan juga pihak ketiga yang menderita kerugian akibat pengoperasian atau jatuhnya pesawat. Dalam undang-undang No 1 tahun 2009 juga mengatur tanggung jawab dengan ganti kerugian yang diatur dalam pasal 240 dan 242 Undang-Undang No. 1 tahun 2009, menurut undang-undang tersebut mengatur tanggung jawab badan usaha bandar udara dan orang perorangan warga Indonesia. Yang dimaksud dengan badan usaha bandar udara adalah setiap orang yang menikmati pelayanan jasa Bandar udara dan/atau mempunyai ikatan kerja dengan bandar udara. Menurut pasal 240 Undang-Undang No. 1 tahun 2009 menyatakan badan usaha bandar udara bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pengguna jasa bandar udara dan/atau pihak ketiga yang diakibatkan oleh pengoperasian bandar udara. Tanggung jawab tersebut meliputi kematian atau luka fisik orang, musnah, hilang, atau rusak peralatan yang dioperasikan, serta kerusakan dampak
lingkungan diakibatkan pengoperasian bandar udara. Sedangkan pasal 242 menyebutkan ketentuan mengenai tanggung jawab atas kerugian seta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif lebih lanjut akan diatur dengan peraturan mentri. Dalam permasalahan tanggung jawab di dalam Undang-Undang No.1 tahun 2009 tenteng penerbangan ada juga unsur-unsur pidana yang dianut dalam undang-undang tersebut seperti yang terkandung dalam pasal 411 yang dapat mengenakan sanksi atau denda pada perbuatan yang dapat mengancam keselamatan penumpang dan barang milik orang lain. Ancaman Pidana di Undang-Undang No. 1 th 2009 dalam Pasal 411 yang baru ini berbunyi demikian : “Setiap orang dengan sengaja menerbangkan atau mengoperasikan pesawat udara yang membahayakan keselamatan pesawat udara, penumpang dan barang, dan/atau penduduk atau merugikan harta benda milik orang lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (Dua) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).” C. Kasus-Kasus Utama dalam Pengangkutan Orang dan Barang
Industri penerbangan tampaknya tidak pernah sepi dari berita kerusakan dan kecelakaan pesawat, yang tidak hanya menimbulkan korban jiwa dan luka-luka tapi juga mengakibatkan kerugian besar bagi perusahaan penerbangan. Di dalam dunia penerbangan penyebab kecelakaan tidak pernah disebabkan oleh faktor tunggal (single factor) yang berdiri sendiri. Suatu sebab yang berdiri sendiri tidak mempunyai arti apa-apa, tetapi apabila kombinasi suatu faktor dapat menyebabkan kecelakaan pesawat terbang yang menyebabkan kematian orang. Berbagai faktor penyebab kecelakaan seperti faktor manusia (human error), pesawat terbang itu sendiri (machine ), lingkungan (environment), penggunaan pesawat udara (mission) dan pengelolaan (management).
Adanya kecelakaan dan kerugian-kerugian yang ditimbulkan tersebut, maka harus ada pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut. Tanggung jawab atas pemakai jasa angkutan udara didasarkan perjanjian antara pengangkut dengan penumpang, sehingga apabila terjadi suatu hal yang menyebabkan kerugian bagi penumpang maka pihak pengangkut bisa dimintai pertanggungjawaban. Selama pengangkutan berlangsung, penguasaan pesawat beserta isinya ada di tangan pengangkut. Oleh sebab itu, apabila dalam pengangkutan udara terjadi musibah atau kecelakaan, kerugian yang timbul dari keadaan tersebut menjadi tanggung jawab pengangkut. Demikian pula dengan kerugian yang timbul karena kehilangan atau kerusakan barang atau bagasi dan keterlambatan pesawat juga merupakan tanggung jawab pengangkut. Fenomena tersebut menarik dicermati karena, selain pesawat sangat berpotensi mengalami kecelakaan, tiap kecelakaan penerbangan berdampak yuridis, khususnya tanggung jawab maskapai (carrier) terhadap penumpang dan pemilik barang (bagasi maupun kargo). Menjadi pertanyaan, dasar hukum apa saja yang dapat digunakan untuk menuntut perusahaan penerbangan serta sejauh mana tanggung jawab maskapai dan asuransi penerbangan bila terjadi kecelakaan. Dalam merumuskan kebijakan pengelolaan sumber daya di ruang udara nasional dan jasa transportasi, beberapa pokok permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian, antara lain:
1. Bahwa ruang udara merupakan satu kesatuan dengan ruang antariksa yang disebut dirgantara, namun batasan ruang udara dan ruang antariksa baik nasional maupun internasional belum ada kepastian hukum. Hal ini akan menimbulkan masalah dalam pengawasan terutama dalam menetapan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi di ruang udara nasional. Di samping itu, belum adanya kesepakatan bersama terhadap batas ruang udara nasional Indonesia
dengan
negara-negara
tetangga.
Pengelolaan
ruang
udara
menjadikan dinamika masalah dari waktu ke waktu semakin menuntut perhatian pemecahannya.
2. Bahwa kurangnya koordinasi dan lemahnya kemitraan dalam pengelolaan ruang udara nasional, sehingga terjadi benturan kepentingan dan tumpang tindihnya kebijakan dan hal ini menuntut adanya kejelasan baik kewenangan maupun peran dan fungsi masing-masing lembaga baik pusat maupun daerah dalam pemanfaatan sumber daya di ruang udara nasional secara utuh dan terpadu, namun tetap dalam koridor keutuhan dan kedaulatan NKRI. Koodinasi yang terjalin dengan baik dan kondusif dimaksud sebagai upaya sinkronisasi dan keterpaduan kebijakan perencanaan, pengurusan, pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan dan/atau usaha yang dilakukan pemerintah (pusat dan daerah) dan dunia usaha maupun masyarakat. 3. Bahwa masih rendahnya peran serta masyarakat baik dalam pemanfaatan maupun pengawasan sumber daya di ruang udara nasional dan jasa transportasi. Mengingat pengelolaan ruang udara nasional bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah saja, peran serta masyarakat menjadi penting dan strategis dalam pelaksanaan kebijakan terutama globalisasi mendatang. 4. Bahwa masih lemahnya penaatan dan penegakan hukum atau aturan dalam pengelolaan sumber daya di ruang udara nasional dan jasa transporasi. Dalam rangka keselamatan dan keamanan nasional, diperlukan penaatan dan penegakkan hukum. 5. Bahwa kualitas dan kuantitas sumber daya manusia dalam pengelolaan ruang udara nasional dan jasa transportasi dalam beberapa aspek masih rendah, sehingga pemanfaatan potensi sumber daya di ruang udara nasional belum dioptimal. Mengingat potensi sumber daya di ruang udara nasional dan jasa transportasi yang strategis bagi pembangunan nasional, maka diperlukan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi baik dari pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills) maupun sikap professional (attitude). 6. Bahwa masih terbatasnya kapasitas kelembagaan dalam pemanfaatan sumber daya di ruang udara nasional.
7. Bahwa terjadinya perang tarif “yang menggila” mengakibatkan maskapai penerbangan baru tidak mampu untuk bersaing dengan maskapai penerbangan lama. 8. Bahwa masih banyaknya Dalam kaitan dengan berbagai permasalahan yang timbul dengan kualitas dan intentitas pemanfaatan sumber daya di ruang udara nasional dan jasa transportasi yang semakin meningkat, yang juga diwarnai perubahan dinamis serta tantangan yang terjadi saat ini dan ke depan, maka dalam perumusan kebijakan pengelolaan ruang udara nasional dan jasa transportasi harus melibatkan berbagai pihak, sehingga kebijakan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, dan berkelanjutan dalam rangka keselamatan dan keamanan nasional.
Rentetan kejadian yang menimpa maskapai internasional maupun domestik, seperti Turkish di Bandara Schipol, Belanda; Lion Air di Bandara Hang Nadim, Batam; dan Batavia Air yang sempat tersesat ke Bandara Rahadi Usman, Ketapang, ketika menuju Bandara Supadio di Pontianak; dan terakhir, lagi pesawat Lion Air tergelincir di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang dan lain-lain. Dalam kasus insiden peristiwa tanggal 11 Februari 2006 pada Boeing 737-300 milik Adam Air. Dimana pesawat penumpang penerbangan DHI 782 rute JakartaMakasar mendarat darurat di Tambulako, karena telah kehilangan arah (lost orientation) estela sekitar 20 menit setelah tinggal landas, pada tanggal 11 Februari 2006. Berdasarkan laopran sementara pesawat tersebut telah lost dengan ATC (Air Traffic Control) sejak 20 menit setelah take-off dari Soekarno-Hatta dan diduga sistem navigasinya bermasalah. Menurut pihak Adam Air, setelah tim teknis menyelidiki kondisi pesawat, ada dugaan sistem navigasi pesawat terganggu, tetapi saat keberangkatan dari Jakarta kondisinya baik. Namun, pihak Adam Air menolak dugaan penyebab rusak pesawat karena sistem navigasi. Sumber lain menyebutkan bahwa pesawat tersebut dalam enam bulan terakhir diduga mengalami persoalan apad APU (Auxiliary Power Unit). APU adalah perangkat yang berfungsi memasok listrik atau tenaga ketika mesin belum hidup
untuk menghasilkan listrik dan sistem pendingin. Dengan kondisi tersebut, sebenarnya jarak pendek. Pada saat kejadian, cuaca cukup cerah. Pesawat tersebut dilengkapi dengan dua sistem navigasi masing-masing sistem utama dan cadangan. Untuk memudahkan penyelidikan, selanjutnya pesawat Adam Air tersebut diterbangkan ke Makasar. Namun kembali, hal ini bertentangan dengan prosedur keselamatan penerbangan. Seharusnya, pesawat diharuskan tetap di tempat hingga tim dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi selesai menyelidiki.
Bilamana tanggung jawab hukum dari Adam Air diawali dengan terjadinya perjanjian pengangkutan. Di pihak pengangkut, ia diwajibkan untuk yaitu, pertama membawa penumpang dari tempat pemberangkatan sampai di tempat tujuan dengan selamat. Kedua, pengangkut di wajibkan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian yang selayaknya tak dapat dicegah maupun dihindari, atau karena salahnya si penumpang sendiri. Ketiga, memenuhi perjanjian sebagaimana ditentukan dalam klausula perjanjian yang tertera dalam ticket, misalnya ketepatan jadwal penerbangan, kesesuaian rute perjalanan, dan sebagainya. Selain itu, pengangkut dibebankan kewajiban untuk mempersiapkan kelayakan terbang pesawat untuk tercapainya keamaanan dan keselamatan penumpang. Di pihak penumpang diwajibkan untuk membayar harga ticket sesuai dengan perjanjian. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan, maka pihak tersebut dapat dikategorikan sebagai telah melakukan wanprestasi. Permasalahannya, apakah Adam Air telah melakukan wanprestasi ataukah pada pihak Adam Air berada dalam keadaan overmacht. Apabila terjadi wanprestasi apakah bersumber dari kesengajaan ataukah kelalaian.
Apabila kejadian dikaitkan dengan kerusakan navigasi, semestinya diselidiki apakah kesalahan navigasi tersebut terjadi sejak saat pemberangkatan. Apabila demikian, maka penerbangan Adam Air menggunakan pesawat yang tidak layak terbang. Namun pabila kerusakan navigasi di tengah perjalanan, ada dua
kemungkinan, yaitu dapat dikategorrikan wanprestasi atau terjadi keadaan overmacht. Apabila memang keadaaan pesawat ada permasalahan pada APU sejak enam bulan sebelumnya, maka dengan demikian keadaaan peristiwa tersebut sudah dapat diduga akan terjadi. Dengan demikian, pihak Adam Air melakukan wanprestasi dengan kesengajaan. Akibat berupa keterlambatan sampai ke tempat tujuan membawa konsekuensi untuk dituntut ganti kerugian berdasrkan wamprestasi. Bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh pihak Adam Air adalah sebagai berikut: Pertama, debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya. Kedua, debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya. Ketiga, debitur memenuhi prestasi, tetapi yang tidak diwajibkan dalam perjanjian. Dengan terjadinya kesalahan navigasi dan permasalahan APU, debitar memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya, yaitu pesawat mendarat darurat dan jadwal penerbangan tidak tepat waktu sampai tujuan. Apakah keadaan wanprestasi Adam Air perlu dilakukan somasi. Jawabannya tidak, Sebab, apabila dalam perjanjian telah ditentukan tenggang waktu suatu pelaksanaan pemenuhan prestasinya, maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata, “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan“, debitur dianggap telah lalai dengan lewatnya waktu yang telah ditentukan tersebut. Dengan demikian, pada perjanjian demikian tidak diperlukan suatu somasi. Untuk membebaskan diri dari tanggung jawab untuk memberikan ganti kerugian dari pihak penumpang, pihak Adam Air dapat membuktikan bahwa ia telah melakukan wanprestasi itu diluar kesalahannya atau karena keadaan memaksa. Berdasarkan ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata, “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga“, pihak Adam Air sebagai debitur yang melakukan wanprestasi dikenakan tuntutan hak yang dapat dipilih oleh Pengguna Jasa berupa pemenuhan perjanjian
disertai ganti kerugian. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1246 KUH Perdata, “Biaya, rugi dan bunga yang oleh si berpiutang boleh dituntut akan penggantiannya, terdirilah pada umumnya atas rugi yang telah dideritanya dan untung yang sedianya harus dapat dinikmatinya, dengan tak mengurangi pengecualian-pengecualian serta perubahan-perubahan yang akan disebut dibawah ini“, ganti kerugian terdiri atas 3 (tiga) unsur, yaitu, pertama, biaya, yaitu segala pengeluaran atau ongkos-ongkos yang nyata-nyata telah dikeluarkan. Kedua, rugi. Ketiga, bunga, yaitu keuntungan yang seharusnya diperoleh atau diharapkan oleh kreditur apabila debitur tidak lalai. Undang-undang menentukan bahwa kerugian yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur sebagai akibat dari wanprestasi adalah kerugian yang dapat diduga ketika perjanjian dibuat. Menurut ketentuan Pasal 1248 KUH Perdata, “Bahkan, jika hal tidak dipenuhinya perikatan ini disebabkan tipu-daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, aníllala terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan“, jika tidak dipenuhinya perjanjian tersebut disebabkan oleh tipu daya debitur, pembayaran ganti kerugian sekadar mengenai kerugian yang diderita oleh kreditur dan keuntungan yang hilang baginya, aníllala terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perjanjian.
Selanjutnya, jika dilihat tanggung jawab hukum Adam Air selain bersumber dari perjanjian dapat diterapkan pula berdasarkan perbuatan melawan hukum. Perbuatan ini pada dasarnya merupakan hakikat dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Selain itu, dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata. Dimana perbuatan Adam Air dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, sebab alasan tersebut, pertama, perbuatannya bertentangan dengan hukum. Perbuatan Adam Air bertentangan dengan beberapa aspek hukum yang terkait dengan tanggung jawab meliputi aspek perdata pada umumnya, aspek hukum pengangkutan udara, aspek hukum perlindungan konsumen, aspek hukum perusahaan, aspek hukum pidana, aspek administrasi, dan lain sebagainya. Kedua,
perbuatan Adam Air yang bertentangan dengan itikad baik. Ketiga, pelanggaran perdata. Dan perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana ditentukan Pasal 1365 KUH Perdata, dari perbuatan melawan hukum baru dapat dituntut ganti kerugiannya, apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut, pertama, perbuatan Adam Air merupakan perbuatan melawan hukum. Kedua, bertentangan dengan hak pihak lain. Ketiga, kewajiban hukumnya sendiri. Keempat, keharusan yang harus diindahkan sebagai perusahaan yang profesional.
Peristiwa mendarat darurat Adam Air apabila disebabkan oleh kesalahan navigasi dan kesalahan dalam sistem APU, maka dapat ditinjau pelanggarannya berdasarkan berbagai aspek hukum, meliputi aspek perdata pada umumnya, aspek hukum pengangkutan udara, aspek hukum perlindungan konsumen, aspek hukum perusahaan, aspek hukum pidana, aspek administrasi, dan lain sebagainya. Bertentangan dengan hak pesaing (rival) sesama perusahaan jasa penerbangan lain dan hak pengguna jasa. Ketentuan yang dapat diterapkan didasarkan pada aspek hukum persaingan sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999, khusus persaingan usaha tidak sehat, dan menghalangi pengguna jasa penerbangan untuk memilih substitut jasa penerbangan lain dengan memberika pengguna yang salah, sehingga konsumen pengguna jasa penerbangan terpedaya dalam memilih jasa penerbangan Adam Air.
Kewajiban hukum Adam Air sendiri terhadap kerusakan APU sudah terjadi enam bulan sebelum kejadian, dan hal pendaratan darurat Adam Air ini merupakan kejadian yang kedua, sehingga terdapat kewajiban hukum yang tidak dilaksanakan yaitu penerbangan yang menjamin keselamatan dan keamanan penumpang.
Kerugian yang diderita konsumen pengguna jasa penerbangan yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum Adam Air dapat berupa kerugian material (dapat dinilai dengan uang) dan kerugian immaterial (tidak dapat dinilai dengan uang). Dengan demikian, kerugian yang ditimbulkan karena perbuatan
melawan hukum tidak hanya terbatas pada kerugian yang ditujukan kepada harta benda, selain itu juga ditujukan terhadap kerugian yang ditujukan pada tubuh dan jiwa, misalnya trauma penerbangan, keadaan psikis konsumen sehingga kondisinya tidak baik, keadaaan luka-luka, dan sebagainya.
Unsur pertama dari perbuatan melawan hukum adalah unsur kesalahan. Kesalahan Adam Air adalah kesengajaan dan kelalaian dengan menggunakan APU yang bermasalah dengan sistem navigasi yang tidak layak. Kesengajaan dan kelalaian dengan menggunakan APU yang bermasalah dan sistem navigasi yang tidak layak. Kesengajaan dapat dilihat dari perbuatan tersebut yang sudah dapat diketahui sebelumnya, yaitu terhadap kemungkinan terjadinya peristiwa kehilangan arah (loss orientatation), sehingga menimbulkan akibat pendaratan darurat dan keterlambatan penerbangan sampai di tempat tujuan. Kedua, kelalaian yang dilakukan Adam Air adalah perbuatan yang seharusnya dilakukan, yaitu mereparasi APU yang memang sudah diketahui bermasalah. Adam Air menyadari sepnuhnya akan adanya akibat dari perbuatan tersebut. Ketiga, kelalaian dalam kelayakan navigasi. Dengan bersikap demikian pada hakikatnya. Adam Air telah melawan hukum, sebab semestinya ia harus berbuat dan melakukan suatu perbuatan, Keempat, dari perbuatan tersebut harus ada hubungan sebab akibat (causalitas). Unsur kesalahan dan kerugian merupakan hubungan sebab akibat. Kesalahan navigasi dan sistem APU menyebabkan pesawat tidak layak terbang, dan melakukan pendaratan darurat. Tentu saja peristiwa tersebut menimbulkan kerugian bagi pengguna jasa baik kerugian material maupun immaterial.
Pihak Adam Air dapat membela diri dengan mengajukan beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman. Pembelaan hanya berupa pembuktian bahwa pihak Adam Air dapat membuktikan adanya keadaan memaksa (over macht). Overmacht yang dapat dikemukakan berupa overmacht yang bersifat relatif, yaitu yang menyebabkan tidak dapat dipenuhinya suatu prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa yang ukan karena kesalahannya, tetapi tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi
pada waktu membuat perikatan. Beban pembuktian yang paling pokok adalah membantah adanya unsur “keadaan memaksa” dari Adam Air, sehingga ia tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko, kemudian unsur bahwa “Adam Air tidak dapat menduga akan terjadi peristiwa kegagalan navigasi dan kerusakan APU serta kehilangan arah (loss orientation) pada waktu perjanjian pemberangkatan. Keadaan tersebut terjadi sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan tersebut, sehingga Adam Air tidak dapat dipersalahkan atas tidak terlaksananya perjanjian tersebut. Keadaan tersebut timbal di luar kemauan dan kemampuan atau dugaan dari Adam Air, sehingga Adam Air tidak dapat dikenakan sanksi untuk dimintakan ganti kerugian. Dasar pembelaan didasarkan pada ketentuan Pasal 1244 “Jika ada alsan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal itu tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak Verduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya” dan Pasal 1245 KUH Perdata “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantara keadaan memaksa atau lantara suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang“. Apabila keadaan overmacht tersebut dapat dibuktikan, maka timbal persoalan siapa yang menanggung resiko. Ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata, “Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan, maka barang ini Sejas saat pembelian hádala atas tanggungan si pembeli, meskipun penyerahan Belem dilakukan dan si penjual berhak menuntut harganya“, dari resiko perjanjian jual beli dapat diterapkan dalam kasus ini. Dengan pertimbangan bahwa terjadi jual beli jasa pelayanan penerbangan.
Dari apa dikemukakan diatas, dengan kata lain maka tinjauan terhadap tanggung jawab hukum berdasarkan hukum perdata adalah salah satu aspek saja yang dapat dikenakan terhadap Perusahaan Jasa Penerbangan yang melakukan penerbangan darurat karena kesalahan navigasi, sistem APU atau alat mekanis
lanilla, yang menunjang kelayakan terbang. Lihat Christopher Bruce, Applying Economic Analyisi of Tort Law, Summer 1998. Vol. 3. No. 2). (…) Jaksa Mc Lachlan menyatakan bahwa fungsi kerugian dalam hukum perdata adalah untuk “melindungi dan mengembalikan korban atau penggugat kepada posisi sebelum kasus itu terjadi”. Lebih jauh lagi ia menyatakan bahwa : “Hukum perdata adalah dimaksudkan untuk mengembalikan individu pada posisi yang dia miliki sebelum kejadian kasus itu terjadi ketimbang untuk menghukum pelaku pelanggaran yang kesalahannya hanyalah mungkin pada saat lalai atau tidak disengaja.”
Dari aspek hukum perlindungan konsumen, berdasarkan hubungan produsen konsumen, tanggung jawab perusahaan lahir berdasarkan hak dan kewajiban yang dibebankan oleh UUPK. Tanggung jawab perusahaan terhadap pengguna jasa penerbangan didasrkan pada contractual liability maupun profesional liability. Dari aspek Hukum Perusahaan tanggung jawab berdasarkan doktrin corporate veil sanksi dapat pula dikenakan terhadap pengurus PT. Adam Air. Pengurus dapat dimintakan pertanggungjawaban sampai kekayaan pribadi untuk emmenuhi tuntutan dari konsumen. Bahkan, dari aspek hukum pidana dimungjkinkan pula pengurus dikenakan sanksi pidana.
Selanjutnya sepanjang kurun waktu April-Desember 2007, rutin terjadi masalah yang menimpa sejumlah perusahaan jasa transportasi darat, laut maupun udara yang selalu bersumber karena dua hal yaitu usia armada yang dianggap sudah menua dan tidak layak pakai, serta lintasan atau jalur transportasi yang dinggap tidak aman dan rentan bahaya bencana alam. Meskipun tidak sampai menimbulkan korban jiwa, upaya untuk mempertanyakan regulasi dan standar keamanan transportasi terus menguat. Berbagai organisasi masyarakat sipil terus menyuarakan dilakukannya audit secara total sebagai upaya untuk memastikan bahwa sarana angkutan yang masal yang saat ini digunakan oleh masyarakat luas memang benar-benar aman dan memiliki peluang kecil untuk timbul kecelakaan. Untuk jasa transportasi udara, beberapa kejadian yang terjadi sepanjang tahun
2007 seperti: pertama, pesawat Aibus A-320 Mandala yang mengalami patah roda depan ketika mendarat di bandara Abdurahman Saleh Malang setelah menempuh perjalanan rute Jakarta-Malang. Kedua, pesawat Merpati Nusantara yang mengalami retak kaca kokpit yang mengakibatkan pesawat harus kembali ke bandara Eltari Kupang ketika hendak take off menuju Jakarta. Ketiga, lepasnya wing flaps--potongan sayap yang berfungsi mengurangi kecepatan saat mendarat-pesawat Boeing 737-200 milik Batavia Air ketika hendak mengudara yang mengakibatkan pesawat mengalami ketidakseimbangan. Keempat, ketidakjujuran salah satu maskapai penerbangan nasional ketika satu komponen pesawat terbang yang dimilikinya jatuh di wilayah pemukiman penduduk di wilayah Tangerang. Belakangan Lion Air menyatakan bahwa komponen itu adalah milik salah satu pesawatnya. Kelima, kasus pelarangan penerbangan pesawat Indonesia ke wilayah Uni Eropa, Arab Saudi dan Korea Selatan. Keenam, disegelnya enam unit pesawat Garuda Indonesia karena belum membayar pajak yang pada akhirnya berimplikasi kepada keterlambatan beberapa jadual penerbangan. 28
28
http://www.csrindonesia.com/data/articles/20080320230959-a.pdf
BAB IV PERTANGGUNG JAWABAN PENGANGKUT ORANG DAN BARANG A. Sejarah pengangkutan PT. Garuda Indonesia Garuda Indonesia adalah pionir dalam industri penerbagan di Indonesia, bahkan merupakan bagian sejarah dari republik ini dengan umur perusahaan yang juga mendekati umur dari republik ini. Berdasarkan data yang penulis peroleh dari PT.Garuda Indonesia (Persero), sejarah Garuda Indonesia berawal dari tahun 1940-an. Di mana Indonesia masih berperang melawan Belanda. Pada saat itu penerbangan pertama Garuda Indonesia dimulai pada tahun 1949. Pesawat pertamanya adalah Dakota RI-001. Pada 26 Januari 1949 dianggap sebagai hari jadi maskapai penerbangan ini. Pada saat itu nama maskapai ini adalah Indonesian Airways. Pesawat pertama mereka bernama Seulawah atau Gunung Emas, yang diambil dari nama gunung terkenal di Aceh. Dana untuk membeli pesawat ini didapatkan dari sumbangan rakyat Aceh, pesawat tersebut dibeli seharga 120,000 dolar malaya yang sama dengan 20 kg emas. Maskapai ini tetap mendukung Indonesia sampai revolusi terhadap Belanda berakhir. Pada 25 Desember 1949, wakil dari Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM) yang juga teman Presiden Soekarno, Dr. Konijnenburg, menghadap dan melapor kepada Presiden di Yogyakarta bahwa KLM Interinsulair akan diserahkan kepada pemerintah sesuai dengan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) dan meminta kepada beliau memberi nama bagi perusahaan tersebut karena pesawat yang akan membawanya dari Yogyakarta ke Jakarta nanti akan dicat sesuai nama itu. Menanggapi hal tersebut, Presiden Soekarno menjawab dengan mengutip satu baris dari sebuah sajak bahasa Belanda gubahan pujangga terkenal, Noto Soeroto di zaman kolonial, Ik ben Garuda, Vishnoe's vogel, die zijn vleugels uitslaat hoog boven uw eilanden ("Aku adalah Garuda, burung milik Wisnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi diatas kepulauanmu").
Pada 28 Desember 1949, terjadi penerbangan yang bersejarah yaitu pesawat DC-3 dengan registrasi PK-DPD milik KLM Interinsulair terbang membawa Presiden Soekarno dari Yogyakarta ke Kemayoran - Jakarta untuk pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan logo baru, Garuda Indonesian Airways, nama yang diberikan Presiden Soekarno kepada perusahaan penerbangan pertama ini Mulai Juli 2009, Garuda Indonesia telah menggunakan livery baru pada beberapa pesawatnya yang terbaru yaitu pada Airbus A330-200 dengan registrasi PK-GPJ PK-GPK dan PK-GPH, serta sebuah Boeing 737-800 dengan registrasi PK-GMA. Keempat pesawat tersebut telah diperbaharui tampilan eksteriornya dengan livery baru untuk menyegarkan penampilan maskapai Garuda Indonesia. Kabin pesawat Garuda Indonesia yang baru juga dilengkapi dengan PTV (Personal Television) pada setiap kursinya, 11 inci untuk kelas bisnis dan 8 inci untuk kelas ekonomi. Warna biru yang dominan pada kursi lama pesawat juga diubah. Warna merah maroon digunakan pada kursi kelas bisnis, sedangkan kombinasi warna coklat tua - coklat muda digunakan pada kursi kelas ekonomi. Garuda Indonesia mendapatkan konsesi monopoli penerbangan dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1950 dari Koninklijke Nederlandsch Indie Luchtvaart Maatschappij (KNILM), perusahaan penerbangan nasional Hindia Belanda. Garuda adalah hasil joint venture antara Pemerintah Indonesia dengan maskapai Belanda Koninklijke Luchtvaart Maatschappij (KLM). Pemerintah Burma banyak menolong maskapai ini pada masa awal maskapai ini. Oleh karena itu, pada saat maskapai ini diresmikan sebagai perusahaan pada 31 Maret 1950, Garuda menyumbangkan Pemerintah Burma sebuah pesawat DC-3. Pada mulanya, Garuda memiliki 27 pesawat terbang, staf terdidik, bandara dan jadwal penerbangan, sebagai kelanjutan dari KNILM. Ini sangat berbeda dengan perusahaan-perusahaan pioneer lainnya di Asia. pada tahun 1953, armada bertambah menjadi 46 unit dengan tambahan 8 unit Convair 340. dan pada tahun 1954,ditambah lagi dengan 14 unit De Havilland
Herons. Pesawat Catalina mengalami kerusakan dan harus pensiun pada tahun 1955. Garuda Indonesia memulai pelayanan penumpang menuju Bali pada tahun 1951 dengan menggunakan pesawat Douglas Dakota DC-3. Lalu pada tahun 1961 dengan menggunakan pesawat Douglas DC-8 membuat jalur pelayanan pertama Garuda antara denpasar-sydney Secara konsisten Bali terpilih sebagai ”Pulau Terbaik
di
Dunia”
dan
Garuda
mempunyai
peranan
penting
dalam
mengembangkan Bali sebagai tujuan wisata internasional. Tahun 1956 mereka membuat jalur penerbangan pertama ke Mekkah, Pada Juni 1956, penerbangan haji pertama membawa 40 jemaah haji menuju Saudi Arabia, Garuda Indonesia menggunakan pesawat Convair 340. Saat ini penerbangan haji membawa lebih dari 100.000 jemaah haji menuju Jeddah dari Indonesia tiap tahunnya. Tahun 1965 Garuda mendapat dua pesawat baru yaitu pesawat jet Convair 990 dan pesawat turboprop Lockheed L-118 Electra. Pada tahun 1965, Garuda Indonesia adalah perusahaan penerbangan yang pertama dari Asia Tenggara untuk menawarkan layanan antar benua dari Jakarta ke Amsterdam melalui Colombo, Bombay, Roma, dan Prague. Penerbangan itu dioperasikan oleh pesawat terbang Convair 990A yang masih memegang rekor sebagai penerbangan sipil sub-sonic tercepat di dunia. Tahun 1970-an Garuda mengambil Jet kecil DC-9 dan Fokker F28 saat itu Garuda memiliki 36 pesawat F28 dan merupakan operator pesawat terbesar di dunia untuk jenis pesawat tersebut, sementara pada 1980-an mengadopsi perangkat dari Airbus, seperti A300. Dan juga Boeing 737, juga McDonnell Douglas MD-11. Dari awal tahun 1970-an hingga pertengahan 1980-an, Garuda Indonesia mengoperasikan armada baru Fokker Fellowship F-28 twinjets yang terbesar dalam dunia menggantikan pesawat terbang mesin turboprop Fokker Friendship F-27. Pada saat bersamaan, armada Fokker F-28 terdiri atas 42 pesawat terbang,
termasuk Mk-1000 dari 1971, Mk-3000 dari 1976, dan Mk-4000 yang versi paling terbaru dari tahun 1984. layanan F-28 diakhiri pada 5 April 2001. Pada 21 Januari 1982, Garuda Indonesia adalah perusahaan penerbangan pertama untuk mengoperasikan suatu Airbus A300-B4 FFCC menggunakan suatu rancangan khusus kokpit pesawat terbang modern. Dalam tahun 1990-an, Garuda mengalami beberapa musibah, dan maskapai ini mengalami periode ekonomi sulit. Tetapi, dalam tahun 2000-an ini maskapai ini telah dapat mengatasinya dan pada agustus 2009 garuda indonesia akan menggunakan pesawat boeing B737-800NG untuk memenuhi permintaan pasar. Pada tahun 2011 Garuda Indonesia berencana akan menggunakan pesawat Boeing B777-300ER yang bias mengangkut 365 penumpang mengarungi 14685 kilometer nonstop. Dari sejarah yang ada diatas dalam perjalanan garuda Indonesia terdapat tiga era penting yaitu No competition Era (1949-1967), Pseudo-Competition Era (1968-1997), Full Competition Era (1998-sekarang). 29
Pertama, No Competition Era (1949-1967) pada era ini garuda Indonesia yang pada saat itu masih bernama garuda Indonesian airways baru memasuki tahap awal learning curve sebagai perusahaan penerbangan komersial. Produk yang ditawarkan masihlah sangat generik, yaitu transportasi penumpang dari satu kota ke kota karena tuntutan penumpang yang masih sangat sederhana. Jumlah rute yang ditawarkanpun masih sangatlah terbatas. Tidak memerlkan manajemen pamasaran dan itupun masih sangat cendrung pasif. Kedua, Pseudo-Competition Era (1968-1997) pada era ini garuda Indonesia sudah semakin maju namun tidaklah maksimal karena complacent di bawah regulasi yang ‘menguntungkan’ garuda Indonesia. Garuda Indonesia tidak 29
Wawancara dengan bapak Fritz Partogi P.Hutapea, cargo sales supervisor, tanggal 8 juni 2010.
mendaptkan persaingan yang terlalu signifikan karena hanya ada beberapa pemain dalam industri penerbangan dengan regulasi penerbangan yang ketat. Hanya armada Garuda Indonesia saja yang dapat menggunakan pesawa-pesawat yang menggunakan mesin jet untuk rute domestik, sementara maskapai lain hanya boleh menggunakan pesawat berbaling-baling (propeller atau turboprop). Selain itu harga tiket pesawat harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Dalam kondisi saperti itu suatu unfair advantage bagi Garuda Indonesia. Para pelanggan masih sangat terbatas pilihannya terutama pada penerbangan di rute ‘gemuk’. Rute domestik dan internasional pada saat itu belum marak dengan hadirnya low cost carrier (LCC). Memang pada awal tahun 1990-an hadir simpati air namum secara psikologis agak sulit menghadapinya ‘head to head’ mengingat manajemen sempati air sangat dekat dengan pusat kekuasaan pada saat itu yang konon banyak memberikan kemudahan. Ada maskapai lain pada saat itu namun domonasi tetap ada pada tangan Garuda Indonesia. Era ini ditandai dengan deregulasi yang membolehkan maskapai penerbangan selain Garuda Indonesia menggunakan pesawat bermesin jet. Ketiga, Full Competition Era (1998 -sekarang) pada tahun 1998 merupakan masa transisi dari Garuda Indonesia untuk menjadi maskapai penerbangan yang profesional yang sesungguhnya. Deregulasi terus bergulir dan pada tahun 2001 keluar satu peraturan yang memudahkan para pemain baru untuk masuk dalam industri penerbangan. Era dapat dikatakan sebagai era dimulainya kompetisi dalam bisnis penerbangan komersial yang sebenarnya ditandai dengan maraknya LCC. LCC ini disambut baik oleh pasar karena merupakan ‘berkah’ dari krisis diakhir tahun 1990-an dimana daya beli masyarakat di Indonesia khususnya dan ASEAN umumnya menjadi sangat rendah. LCC dating pada saat yang tepat dan langsung ‘booming’ Layanan antar Negara ASEAN juga semakin meningkat dan kompetisi juga semakin terbuka dan sangat meningkat untuk rute domestic maupun internasional. Sejumlah maskapai penerbangan ‘legacy’ yang tidak dapat bertransformasi banyak yang tidak dapat bertahan. Era ini ditandai dengan
deregulasi yang memudahkan pemain baru masuk dalam industri hanya dengan dua pesawat saja. Pada tahun 2014 diharapkan Garuda Indonesia sudah dapat mencapai semua sasaran strategisnya sebagaimana tertuang dalam ‘Garuda Indonesia Quantum Leap 2014’. Setelah itu industri penerbangan komersial diharapkan sudah memasuki masa transisi untuk memasuki era ke-empat. Era yang lebih kompetitif ini dapat disebut sebagai Hyper-Competition Era yang ditandai dengan efektifnya Open Sky Policy di wilayah ASEAN yang rencananya diberlakukan pada tahun 2015 dan akan menjadi kawasan ASEAN sebagai single market yang sebenarnya bagi industri penerbangan komersial. B. Faktor-faktor Penghambat realisasi tanggung jawab PT.Garuda Indonesia terhadap penumpang dan barang dalam penerbangan domestik Dalam merealisasikan tanggung jawabnya, PT. Garuda Indonesia tidak selalu berjalan lancar. Ada beberapa faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam merealisasikan pertanggung jawaban yaitu prosedur yang tidak dimengerti oleh penumpang, Warga Negara Asing yang melakukuan perjalanan domestik, penumpang yang menggunakan tiket atas nama atau milik orang lain, serta ahli waris dari korban meninggal. 30 Faktor-faktor tersebut antara lain akan dijelaskan dari data yang penulis dapatkan dari PT. Garuda Indonesia, faktor penghambat dalam realisasi pertanggung jawaban terhadap penumpang dan barang yaitu antara lain : 1. Prosedur yang tidak dimengerti oleh penumpang PT. Garuda Indonesia sebelum melakukan pertanggung jawaban kepada penumpang akibat kecelakaan ataupun kehilangan barang bawaan atau barang 30
Wawancara dengan bapak Fritz Partogi P.Hutapea, cargo sales supervisor, tanggal 9 juni 2010.
bagasi penumpang akibat kelalaian dari pihak maskapai penerbangan biasanya maskapai penerbangan selalu menerapkan beberapa prosedur
yang harus
dilengkapi oleh pihak penumpang seperti mengisi formulir pernyataan kehilangan barang serta menyertakan karcis bagasi penumpang. Bagi beberapa penumpang hal seperti ini dirasakan sebagai alat untuk mempersulit penumpang pesawat udara, karena mereka menganggap prosedurprosedur dari PT. Garuda indonesia yang harus dilengkapi ini sebagai alat penghalang untuk mendapatkan ganti rugi atas klaim yang mereka ajukan kepada maskapai penerbangan dan juga dirasakan oleh penumpang untuk mengulur waktu pertanggung jawaban kepada penumpang pesawat udara. 2. Ahli waris dari penumpang yang meninggal akibat kecelakaan Hambatan yang kadang terjadi dalam perwujudan realisasi tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap penumpang yaitu dari segi ahli waris. Ahli waris dalam hal ini adalah ahli waris dari penumpang yang meninggal akibat kecelakaan penerbangan. Beberapa ahli waris dari keluarga penumpang yang meninggal berselisih menginginkan dan merasa berhak atas ganti kerugian yang diberikan PT. Garuda Indonesia. Adanya hal tersebut maka akan menghambat dalam pemberian uang ganti rugi atas penumpang yang meninggal, karena belum adanya kepastian kepada ahli waris yang mana ganti rugi tersebut akan diberikan. Dalam masalah ahli waris dari penumpang yang meninggal ini, maka solusi yang diambil oleh PT. Garuda Indonesia adalah akan diusahakan perdamaian antara ahli waris, apabila perdamaian tidak tercapai maka pihak PT. Garuda Indonesia akan memintakan fatwa waris dari pengadilan, yaitu yang berisi tentang siapa ahli waris yang berhak menerima ganti kerugian. Surat tersebut harus ditandatangani dan disetujui oleh pihak keluarga. Untuk yang beragama Islam dimintakan ke Pengadilan Agama, sedangkan untuk yang beragama lain dimintakan ke Pengadilan Negeri setempat. Setelah dikeluarkannya fatwa waris dari pengadilan yang terkait, maka pemberian ganti rugi baru akan dilakukan.
3. Warga negara asing yang melakukan penerbangan domestik Warga negara asing yang melakukan penerbangan domestik juga sering menjadi hambatan dalam realisasi tanggung jawab PT. Garuda Indonesia. Hal ini disebabkan karena apabila terjadi kecelakaan atau kerugian yang disebabkan karena kesalahan pengangkut, ganti rugi yang diberikan jumlahnya kecil atau tidak sebesar ketentuan ganti kerugian yang diterapkan di negaranya. Dalam hal ini maka ganti rugi yang diberikan tetap berdasarkan hukum nasional yaitu Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1992, karena penerbangan yang dilakukan oleh warga negara asing tersebut adalah penerbangan domestik. Dengan masalah ganti rugi tersebut kadang warga negara asing ada yang mengajukan klaim di negaranya, yaitu mengajukan kasus tersebut ke pengadilan di negaranya. Apabila warga negara asing ada yang mengajukan klaim di negaranya, maka kasus ini akan diselesaikan melalui pengadilan. 4. Penumpang yang menggunakan tiket atas nama atau milik orang lain Pada saat tidak terjadi kecelakaan pada pesawat yang ditumpangi oleh penumpang yang menggunakan tiket orang lain tidak akan menjadi permasalahan karena penumpang sampai ke tujuan dengan selamat akan tetapi apabila saat terjadi kecelakaan pesawat apabila ditemukan penumpang yang menggunakan tiket atas nama atau milik orang lain, maka hal ini dapat menghambat dalam realisasi tanggung jawab pengangkut udara apabila penumpang tersebut mengalami kerugian ysng diakibatkan oleh pihak maskapai penerbangan. Dalam kejadian ini PT. Garuda Indonesia akan melakukan pengecekan identitas penumpang dengan tiket penerbangan yang digunakan, apabila terbukti penumpang tersebut menggunakan tiket atas nama/milik orang lain maka pihak asuransi tidak akan memberikan ganti rugi. Ganti rugi akan diberikan hanya untuk penumpang yang identitasnya sama dengan yang tertera di dalam tiket. Pada prinsipnya, penumpang yang diasuransikan oleh PT. Garuda Indonesia adalah yang namanya tercantum di tiket. Apabila tiket dipakai oleh orang lain, maka
perusahaan asuransi tidak akan memberikan ganti rugi. Hal itu merupakan resiko penumpang yang menggunakan tiket atas nama/milik orang lain.
Berbagai macam persoalan maskapai yang selama ini terjadi akan diminimalisasi oleh pemerintah. Departemen Perhubungan sebagai regulator penerbangan membuat aturan baru mengenai penyelenggaraan angkutan udara. Peraturan tersebut itu adalah Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara. Aturan baru ini mengganti aturan lama, yaitu Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 81 Tahun 2004. Dari peeraturan ini banyak maskapai yang menggunakan peraturan ini sebagai landasan hukum mereka dalam menerapkan pelayanan maskapai penerbangan. Sebelum dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan KM nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara masalah mengenai pertanggung jawaban mengenai keterlambatan pesawat kepada penumpang banyak mengalami hambatan sebab tidak adanya aturan yang mengatur mengenai pertanggung jawaban maskapai kepada penumpang maskapai penerbangan apabila terjadi keterlambatan sehingga sulit bagi penumpang untuk meminta pertanggung jawaban dari pihak maskapai karena maskapai tidak terikat dengan aturan yang mengatur mengenai biaya keterlambatan kepada penumpang. Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan KM nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara maka maskapai penerbangan akan lebih berhati-hati dalam mengatur jadwal penerbangan guna untuk meminimalisir keteerlambatan pesawat mereka serta mengurangi biaya anggaran pertanggung jawaban mereka akibat keterlambatan pesawat. Untuk pertanggung jawaban keterlambatan menurut KM nomor 25 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara sudah mengatur dengan sangat jelas yaitu apabila terjadi keterlambatan 30 menit sampai dengan 90 menit, maskapai wajib memberikan makanan dan minuman ringan. Untuk keterlambatan 90 menit hingga 180 menit, kompensasinya makan besar, kudapan, dan
memindahkan penumpang ke penerbangan berikutnya bila diminta.Sedangkan jika delay di atas 180 menit, maskapai wajib memberikan fasilitas akomodasi hingga penumpang diangkut penerbangan pada hari berikutnya. Untuk pembatalan penerbangan karena kesalahan pihak maskapai, penumpang dimungkinkan mengambil akomodasi hingga hari berikutnya atau meminta kembali biaya tiket secara penuh (refund) mengenai peraturan ini penyedia jasa angkutan udara tidak mengalami masalah sedikitpun karena seduh diatur dengan jelas. Aturan itu sifatnya mengikat, meski tak disertai sanksi. Konsumen bisa menjadikan aturan itu sebagai landasan hukum untuk meminta tanggung jawab maskapai atau melakukan gugatan kerugian. Namun kompensasi yang dimaksud tidak bisa diajukan apabila delay pesawat akibat keadaan eksternal, seperti banjir atau ada masalah pada landasan pacu. C. Realisasi pertanggung jawaban PT.Garauda Indonesia terhadap penumpang dan barang dalam penerbangan domestik Dalam melakukan kegiatan penerbangan, kemungkinan akan terjadi hal-hal yang akan menyebabkan kerugian bagi penumpang, baik berupa kecelakaan, hilang atau rusaknya barang bagasi milik penumpang, maupun adanya suatu keterlambatan pesawat. Apabila hal-hal tersebut terjadi, maka penumpang akan mendapatkan ganti kerugian dari pihak maskapai penerbangan. Hal ini merupakan realisasi dari tanggung jawab perusahaan pengangkutan udara. Ketentuan besarnya ganti kerugian terhadap penumpang terdapat di dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (Staatblad 1939 No. 100), namun ketentuan besarnya ganti kerugian sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan ekonomi sekarang ini. Sekarang telah ada ketentuan baru yaitu dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara yaitu pada Pasal 43 dan 44. Ketentuan ganti rugi dalam Peraturan Pemerintah ini sudah relevan dengan keadaan perekonomian dan perkembangan jaman, maka PT. Garuda Indonesia menganutnya. Ketentuan dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 membahas tentang ganti rugi yang diakibatkan karena kecelakaan pesawat. Pasal ini berbunyi :
1. Santunan untuk penumpang yang meninggal dunia karena kecelakaan pesawat udara ditetapkan sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). 2. Santunan untuk penumpang yang menderita luka karena kecelakaan pesawat udara atau sesuatu peristiwa di dalam pesawat udara atau selama waktu antara embarkasi dan debarkasi berlangsung, ditetapkan sampai dengan setinggitingginya Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). 3. Santunan ganti rugi bagi penumpang yang menderita cacat tetap karena kecelakaan pesawat udara ditetapkan berdasarkan tingkat cacat tetap yang dialami sampai dengan setinggi-tingginya Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 4. Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat cacat tetap serta besarnya santunan ganti rugi untuk masing-masing tingkat cacat tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), ditetapkan oleh Menteri. Pasal 44 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 membahas mengenai ganti kerugian atas kelambatan pesawat, yaitu dalam pasal ini berbunyi : 1. Jumlah ganti rugi untuk kerugian bagasi tercatat, termasuk kerugian karena kelambatan dibatasi setinggi-tingginya Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilogram. 2. Jumlah ganti rugi untuk kerugian bagasi kabin karena kesalahan pengangkut dibatasi setinggi-tingginya Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap penumpang. 3. Jumlah ganti rugi untuk kerugian kargo termasuk kerugian karena kelambatan karena kesalahan pengangkut dibatasi setinggi-tingginya Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilogram. 4. Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) hanya terhadap kerugian yang secara nyata dialami. Adapun realisasi tanggung jawab yang dilakukan PT. Garuda Indonesia terhadap penumpang menurut bapak Fritz Partogi P.Hutapea adalah sebagai berikut :
1. Tanggung jawab terhadap kematian atau lukanya penumpang. PT. Garuda Indonesia memiliki tanggung jawab terhadap penumpang yang diangkutnya. Dalam hal ini, apabila terjadi musibah kecelakaan pada saat melakukan penerbangan PT. Garuda Indonesia akan memberikan ganti kerugian terhadap penumpang yang meninggal, luka-luka maupun cacat tetap. Dalam memberikan ganti kerugian, PT. Garuda Indonesia menganut ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tersebut, yaitu yang ketentuannya menyebutkan bahwa : a. Ganti rugi bagi penumpang meninggal ditetapkan sebesar Rp. 40.000.000,(empat puluh juta rupiah). b. Ganti rugi bagi penumpang yang luka-luka dibatasi setinggi-tingginya Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta rupiah). c. Ganti rugi penumpang yang mengalami cacat tetap dibatasi setinggitingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Ketentuan ganti rugi dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 merupakan batas jumlah maksimum pemberian ganti rugi yang harus diberikan oleh perusahaan penerbangan apabila perusahaan tersebut telah merugikan penumpang. Dengan adanya hal ini, maka Peraturan Pemerintah lebih cenderung melindungi ke perusahaan angkutan udara dalam hal pemberian ganti rugi kepada penumpang. Dengan adanya batas maksimum dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tersebut, maka perusahaan angkutan udara boleh memberikan jumlah ganti rugi kurang dari jumlah ganti rugi yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Ganti rugi yang diberikan oleh perusahaan angkutan udara kepada penumpang diperhitungkan berdasarkan luka-luka yang dialami penumpang dengan biaya rumah sakit dan perawatan. Jika biaya rumah sakit dan perawatan melebihi batas jumlah ganti rugi yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995, maka pihak perusahaan angkutan udara tidak mempunyai kewajiban untuk mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan karena maksimal
pemberian ganti rugi telah ditetapkan di dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995. Realisasinya, dalam hal memberikan ganti kerugian bagi korban yang meninggal, luka-luka maupun cacat tetap, PT. Garuda Indonesia memberikan ganti rugi sesuai dari ketentuan ganti rugi yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995.
31
Dalam ganti rugi ini PT. Garuda Indonesia mutlak mengikuti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995, karena dengan jumlah ganti rugi akan dapat mempengaruhi citra dari PT. Garuda Indonesia. Perusahaan asuransi yang bekerjasama dengan PT. Garuda Indonesia yaitu perusahaan asuransi Jasindo. PT. Garuda Indonesia mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap perusahaan asuransi tersebut. Asuransi ini berguna untuk menjamin resiko dalam penerbangan yaitu berupa luka-luka/cacat tetap/kematian penumpang, kehilangan/kerusakan barang . Adanya perusahaan asuransi Jasindo yang dipercaya oleh PT. Garuda Indonesia tersebut, maka pengalihan resiko atas ganti kerugian terhadap penumpang akan beralih dari PT. Garuda Indonesia ke Perusahaan asuransi Jasindo. Apabila terjadi musibah atau kecelakaan dalam melakukan penerbangan sehingga merugikan penumpang, maka yang akan memberikan ganti kerugian kepada penumpang adalah perusahaan asuransi Jasindo. Ganti kerugian yang diberikan juga termasuk biaya perawatan maupun pengobatan apabila penumpang luka-luka maupun cacat tetap. Dalam hal ini penulis akan memberikan contoh pemberian ganti rugi dalam kasus kecelakaan pesawat GA-200 di Yogyakarta sebagai berikut : Pada tanggal 7 Maret 2007 pukul 06.55 WIB penerbangan pesawat Garuda Indonesia yaitu GA200 jurusan Jakarta-Yogyakarta mengalami kecelakaan yaitu terperosok saat melakukan pendaratan lalu terbakar di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta. Pesawat
31
Wawancara dengan bapak Fritz Partogi P.Hutapea, cargo sales supervisor,
tanggal 10 juni 2010.
ini membawa 133 penumpang dan 7 awak pesawat. Korban yang meninggal sebanyak 22 orang yaitu 21 orang penumpang dan 1 awak pesawat, sedangkan 118 lainnya selamat dan mengalami luka-luka. Ganti rugi yang diberikan dalam kecelakaan Pesawat GA-200 tersebut yaitu sesuai dengan pasal 43 PP No. 40 tahun 1995 yaitu sebagai berikut : a. Bagi penumpang yang hidup (luka-luka/cacat), mendapatkan : (1)
Santunan untuk penumpang yang menderita luka karena kecelakaan pesawat udara atau sesuatu peristiwa di dalam pesawat udara atau selama waktu antara embarkasi dan debarkasi berlangsung, ditetapkan sampai dengan setinggi-tingginya Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah).
(2)
Santunan ganti rugi bagi penumpang yang menderita cacat tetap karena kecelakaan pesawat udara ditetapkan berdasarkan tingkat cacat tetap yang dialami sampai dengan setinggi-tingginya Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
b. Bagi penumpang yang meninggal, ahli warisnya mendapatkan : Santunan untuk penumpang yang meninggal dunia karena kecelakaan pesawat udara ditetapkan sebesar Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah). Seluruh biaya ganti rugi tersebut diberikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan merupakan tanggungan perusahaan asuransi. Untuk ketentuan santunan ganti rugi yang diberikan bagi penumpang yang luka adalah tidak sama, besaran pertanggungan akan berbeda-beda pada setiap penumpang karena jenis luka-luka yang berbeda pada setiap penumpang karena setiap jenis luka akan memiliki jenis perawatan dan biaya perobatan rumah sakit yang berbeda pula. 32 32
Wawancara dengan bapak Fritz Partogi P.Hutapea, cargo sales supervisor,
tanggal 12 juni 2010.
Penumpang selain diberi ganti rugi dari PT. Garuda Indonesia yang diasuransikan pada asuransi Jasindo, juga mendapatkan santunan dari asuransi Jasa Raharja. Asuransi Jasa Raharja merupakan asuransi social yang premi/iurannya wajib dibayar oleh penumpang saat pembelian tiket. Jadi harga tiket yang dibeli oleh penumpang sudah termasuk premi dan di dalam tiket tersebut telah dicantumkan kalimat ”penumpang yang namanya tercantum dalam tiket ini dipertanggungkan pada PT. Asuransi Kerugian Jasa Raharja berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 1964 juncto peraturan pelaksanaannya”. Dengan adanya hal tersebut, apabila terjadi suatu kecelakaan penerbangan yang menyebabkan kematian/lukanya penumpang, maka penumpang mendapatkan hak untuk memperoleh santunan dari PT. Asuransi Jasa Raharja yang preminya telah dibayar oleh penumpang bersamaan dengan pembelian tiket. Santunan yang diberikan oleh PT. Asuransi Jasa Raharja kepada penumpang yang mengalami kecelakaan pesawat udara berdasarkan ketentuan Peraturan Menkeu RI No. 37/PMK.101/2008 yaitu : a. Korban meninggal dunia sebesar Rp. 50.000.000,b. Korban cacat tetap sebesar Rp. 50.000.000,c. Biaya perawatan sebesar (maksimal) Rp. 25.000.000, Apabila terjadi kecelakaan pesawat, penumpang mendapatkan ganti rugi dari perusahaan asuransi Jasindo dan santunan dari asuransi Jasa Raharja. Kedua asuransi tersebut merupakan asuransi yang terpisah, ganti rugi dari asuransi Jasindo merupakan ganti rugi yang wajib diberikan sebagai bentuk tanggung jawab PT. Garuda Indonesia kepada penumpan dan preminya dibayar oleh pihak PT. Garuda Indonesia, sedangkan santunan dari asuransi Jasa Raharja merupakan hak dari penumpang yang telah membayar premi asuransi tersendiri. 33Dengan demikian, apabila terjadi suatu kecelakaan maka penumpang mendapatkan dua 33
Wawancara dengan bapak Fritz Partogi P.Hutapea, cargo sales supervisor, tanggal 14 juni 2010.
ganti kerugian yaitu dari PT. Garuda Indonesia dan dari PT. Asuransi ganti Kerugian Jasa Raharja. Penumpang mulai mendapat asuransi yaitu pada saat : a. Untuk liability insurance/asuransi tanggung jawab adalah sejak penumpang berada dibawah pengawasan PT. Garuda Indonesia. b. Untuk Asuransi Jasa Raharja adalah sejak penumpang membayar iuran wajib pada saat pembelian tiket dan penumpang sudah menaiki tangga pesawat, selama penerbangan sampai turun dari tangga pesawat. Dalam hal pemberian uang ganti rugi, ada prosedur tersendiri yang harus dilaksanakan oleh penumpang yang mengalami luka-luka maupun oleh keluarga dari penumpang yang meninggal. a. Bagi penumpang yang meninggal 1) Keluarga korban yang menjadi ahli waris harus membawa identitas pribadi. 2) Keluarga korban harus membawa kartu keluarga atau surat keterangan dari kelurahan sebagai surat pernyataan bahwa orang tersebut merupakan keluarga korban. 3) Keluarga korban membuat surat kuasa, surat tersebut berisi siapa yang akan menerima uang ganti rugi dan berisi pernyataan bahwa seluruh keluarga menyerahkan kuasa terhadap ahli waris tersebut. Surat kuasa tersebut harus ditandatangani oleh seluruh keluarga korban. Dalam hal ini dapat disebut pula dengan Surat Fatwa Waris yang dikeluarkan dari Pengadilan Agama (Muslim) atau Pengadilan Negeri (non Muslim). 4) Keluarga korban yang bersedia menerima uang ganti rugi, ahli waris tersebut harus menandatangani Surat Pernyataan Pembebasan/Release and Discharge yang isinya membebaskan PT.Garuda Indonesia dari segala gugatan dan/atau tuntutan dari korban/ahli waris maupun pihak ketiga lainnya. Dengan ditandatanganinya surat tersebut, maka apabila ahli waris telah menerima uang ganti rugi, ahli waris maupun keluarga korban yang lain tidak akan melakukan gugatan lebih lanjut.
b. Bagi penumpang yang mengalami luka maupun cacat tetap 1. Penumpang menyerahkan identitas pribadi. 2. Penumpang setelah menerima uang ganti rugi harusmenandatangani Surat Pernyataan Pembebasan/Release and Discharge. Dengan ditandatanganinya surat tersebut, maka apabila penumpang telah menerima uang ganti rugi tidak akan melakukan gugatan lebih lanjut. Bagi penumpang yang meninggal, maka yang berhak menerima uang ganti rugi adalah : a. Suami atau istri dari penumpang yang meninggal. b. Anak dari penumpang yang meninggal. c. Orang tuanya. d. Ahli Waris yang sah. 2. Tanggung jawab terhadap barang bagasi penumpang. Ganti rugi terhadap barang
bagasi penumpang
menurut
Ordonansi
Pengangkutan Udara Pasal 30 ayat 2 adalah dibatasi sampai jumlah Rp. 25,- (dua puluh lima rupiah) perkilogramnya. Namun besarnya ganti kerugian ini sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi perekonomian Indonesia saat ini. PT. Garuda Indonesia dalam hal tanggung jawab terhadap barang milik penumpang dalam realisasinya didasarkan pada ketentuan Pasal 44 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995. Pasal tersebut menyebutkan mengenai jumlah ganti rugi yaitu : a. Untuk kerugian bagasi tercatat, termasuk kerugian untuk kelambatan dibatasi setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilogramnya. b. Untuk kerugian bagasi kabin karena kesalahan pengangkut dibatasi setinggitingginya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk setiap penumpang. Adapun barang-barang milik penumpang yang menjadi tanggung jawab PT. Garuda Indonesia yaitu barang bagasi, sedangkan untuk bagasi tangan milik
penumpang PT. Garuda Indonesia tidak bertanggung jawab. Bagasi tangan berada dibawah pengawasan penumpang sendiri. Pada dasarnya ganti kerugian untuk barang bagasi penumpang didasarkan pada berat barang atau weight sistem, yaitu tidak melihat berapa harga atau nilai dari barang tersebut pada waktu check in tetapi mengacu pada berat barang bagasi tersebut. Pada barang bagasi dilarang membawa barang berharga sesuai dengan ketentuan yang ada pada tiket pesawat penumpang sehingga walau sudah dilaporkan sebagai barang berharga maka maskapai tidak berkewajiban mengganti barang berharga tersebut hal ini berbeda dengan barang cargo sebab pada barang cargo barang apabila sudah dilaporkan sebagai barang berharga maka barang tersebut apabila terjadi kerusakan atau kehilangan maka masakpai wajib untuk mengganti barang tersebut sesuai dengan harga dari barang yang sudah diklaim sebelumnya oleh pemilik barang. Biasanya pada barang bagasi terjadinya ganti kerugian tersebut disebabkan antara lain tertukarnya barang bagasi oleh penumpang lain, dan juga barang bagasi yang salah tujuan, serta terjadinya kerusakan sebagian dan keseluruhan dan juga terjadinya kehilangan dari barang bagasi tersebut.34 Dalam realisasinya, apabila ada yang melaporkan kerusakan atau kehilangan bagasi, biasanya akan diselesaikan saat itu pula secara damai oleh petugas PT. Garuda Indonesia. Kerusakan atau kehilangan tersebut akan langsung diselidiki, dan apabila merupakan kesalahan dari PT. Garuda Indonesia maka akan langsung diurus ganti ruginya sesuai dengan berat barang. 35 Apabila barang bagasi ada yang rusak atau hilang yang terbukti karena kesalahan pengangkut, maka penumpang harus melapor ke pihak PT. Garuda Indonesia segera sebelum keluar bandara. Penumpang yang telah meninggalkan bandara, maka tidak dapat meminta pertanggungjawaban kepada pengangkut apabila barang bagasinya tersebut hilang atau rusak. Hal ini seperti yang disebutkan dalam syarat-syarat 34
Wawancara dengan menurut bapak Fritz Partogi P.Hutapea, cargo sales supervisor, tanggal 16 juni 2010.
35
Wawancara dengan menurut bapak Fritz Partogi P.Hutapea, cargo sales supervisor, tanggal 20 juni 2010.
perjanjian dalam negeri No. 5 butir c yang menyebutkan bahwa bila penumpang pada saat penerimaan bagasi tidak mengajukan protes, maka dianggap bahwa bagasi itu telah diterima dalam keadaan lengkap dan baik. Ganti rugi atas kerusakan/kehilangan barang bagasi penumpang diberikan apabila terjadi dalam penerbangan
normal atau pesawat
tidak mengalami kecelakaan, tetapi
kerusakan/kehilangan barang bagasi tersebut disebabkan karena kesalahan pengangkut. Apabila terjadi kecelakaan pesawat maka ganti rugi yang diberikan hanya untuk penumpang baik yang luka-luka/cacat tetap/meninggal. 3. Tanggung jawab terhadap keterlambatan pesawat Secara hukum PT. Garuda Indonesia bertanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan karena keterlambatan yang disebabkan karena kesalahan pengangkut. Sebelum terbitnya KM No.25 tahun 2008 tidak ada aturan yang mengatur secara jelas mengenai keterlambatan pesawat. Mengenai keterlambatan ini diatur dalam pasal 36 KM No. 25 tahun 2008 tentang penyelenggaraan angkutan udara yang berisikan tentang : a. Keterlambatan lebih dari 30 (tiga puluh) menit sampai dengan 90 (Sembilan puluh) menit, maka perusahaan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman dan makanan ringan. b. Keterlambatan lebih dari 90 (Sembilan puluh) menit sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) menit maka perusahaan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman dan makanan ringan, makan siang atau makan malam dan memindahkan penumpang ke penerbangan berikutnya atau keperusahaan niaga berjadwal lainnya apabila diminta oleh penumpang. c. Keterlambatan 180 (seratus delapan puluh) menit maka perusahaan udara niaga berjadwal wajib memberikan minuman dan makanan ringan, makan siang atau makan malam dan apabila penumpang tersebut tidak dapat dipindahkan kepenerbagan lainnya atau keperusahaan niaga berjadwal lainnya maka kepada penumpang tersebut wajib diberikan fasilitas akomodasi untuk dapat diangkut dalam penerbagan hari berikutnya.
d. Apabila terjadi pembatalan penerbangan maka maka perusahaan udara niaga berjadwal wajib mengalihkan penumpang kepenerbagan berikutnya dan apabila pennumpang tidak dapat dialihkan kepenerbagan berikutnya atau perusahaan penerbangan niaga berjadwal lainnya maka kepada penumpang tersebut wajib diberikan fasilitas akomodasi untuk dapat diangkut dalam penerbagan hari berikutnya. e. Apabila dalam hal keterlambatan sebagaimana tercantum dalam huruf b dan c, serta pembatalan sebagaimana tercantum dalam huruf d, penumpang tidak mau terbang atau diterbangkan, maka perusahaan penerbangan niaga berjadwal harus mengembalikan harga tiket yang telah dibayarkan kepada perusahaan. Dalam kasus dengan nomor penerbangan GA 189 dengan tujuan medanJakarta pada tanggal 12 juli 2008 mengalami keterlambatan sekitar 35 menit sehingga banyak penumpang yang mengalami kerugian dan mengurangi rasa kenyamanan bagi para penumpang PT. Garuda Indonesia. Sesuai dengan pasal pasal pasal 36 KM No. 25 tahun 2008 huruf a maka maskapai diwajibkan untuk memberi minuman dan makanan ringan kepada penumpang. Dalam realisasinya keterlambatan pesawat penumpang akan mendapat minuman dan makanan ringan yang biasanya para penumpang akan dipanggil melalui pengeras suara agar penumpang dapat mengambil minuman dan makanan ringan yang telah disediakan oleh pihak
maskapai yaitu
PT.Garuda Indonesia. Biasanya
keterlambatan penerbangan itu sendiri terdiri dari beberapa faktor yaitu pertama, faktor tekhnis yaitu hal-hal yang membutuhkan penanganan teknis pada pesawat itu sendiri. Kedua, faktor cuaca yang tidak dapat dihindari dan diluar kuasa manusia seperti terjadinya angin, hujan lebat dan terjadinya suhu yang tinggi. Ketiga, faktor penumpang itu sendiri sebab ada beberapa penumpang yang sudah check in tetapi pada saat boarding pass penumpang tersubut tidak ada sehingga menimbulkan hambatan kepada maskapai untuk melakukan penerbangan secara tepat waktu. Sebab barang bagasi yang tidak bertuan tidak boleh ada pada pesawat yang akan terbang sehingga barang tersebut harus dicari dan dikeluarkan pada
bagasi pesawat. Selain dari faktor-faktor tersebut juga ada lain yang menyebabkan keterlambatan pada penerbangan pesawat sebelumnya. 36 Sesuai dengan penjabaran diatas, PT. Garuda Indonesia dapat dikatakan telah melaksanakan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan pengangkut udara yang terdapat dalam Undang-Undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan serta Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995. Hal ini dapat dijabarkan sebagai berikut : 1. Realisasi tanggung jawab terhadap kematian atau lukanya penumpang. Dalam hal ganti rugi untuk luka atau kematian penumpang, PT. Garuda Indonesia telah memenuhi ketentuan Pasal 43 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995. Besarnya ganti rugi untuk kematian penumpang dalam Pasal 43 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 disebutkan ganti kerugiannya sebesar Rp. 40.000.000,- sedangkan dari PT. Garuda Indonesia memberikan ganti rugi yang lebih besar dari jumlah tersebut. Dalam hal luka-lukanya penumpang berdasarkan Pasal 43 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 disebutkan besarnya ganti kerugian sebesar-besarnya Rp. 40.000.000,- sedangkan dari PT. Garuda Indonesia untuk ganti rugi lukanya penumpang memberikan jumlah yang lebih besar dari jumlah ganti kerugian yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Untuk cacat tetap, berdasarkan Pasal 43 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 ganti kerugian ditetapkan sampai dengan setinggitingginya Rp. 50.000.000,- sedangkan PT. Garuda Indonesia memberikan ganti kerugian yang lebih besar. Besarnya ganti kerugian yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 merupakan batas maksimal pemberian ganti rugi yang harus dilakukan oleh pengangkut udara, namun PT. Garuda Indonesia justru memberikan ganti kerugian yang lebih besar dari jumlah ganti kerugian yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995. 36
Wawancara dengan bapak Frits Partogi P.Hutapea, cargo sales supervisor, tanggal 30 juni 2010
2. Realisasi tanggung jawab untuk rusak atau hilangnya barang bagasi penumpang. Dalam hal rusak atau hilangnya bagasi penumpang, PT. Garuda Indonesia bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 44 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 yang menyebutkan bahwa untuk kerugian bagasi tercatat dibatasi setinggi-tingginya Rp. 100.000,- untuk setiap kilogram dan untuk kerugian bagasi kabin karena kesalahan pengangkut dibatasi setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- untuk setiap penumpang. PT. Garuda Indonesia dalam hal ganti kerugian terhadap barang bagasi penumpang mengikuti ketentuan besarnya ganti rugi dalam Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1995. Hal ini seperti yang tertera dalam syarat-syarat perjanjian dalam negeri yang menyebutkan bahwa tanggung jawab terbatas untuk kehilangan dan kerusakan bagasi ditetapkan sejumlah setinggi-tingginya Rp. 100.000,- per kilogram. 3. Realisasi tanggung jawab untuk keterlambatan pesawat. Dalam hal terjadinya keterlambatan pesawat udara PT. Garuda Indonesia bertanggung jawab sesuai dengan aturan pasal 36 KM No. 25 tahun 2008 tentang penyelenggaraan angkutan udara yang mengatur mengenai apabila terjadi keterlambatan maka pihak dari maskapai harus menyediakan makanan dan minuman kepada penumpang. Jenis makanan dam minuman tersebut harus disesuaikan dengan lama dari keterlambatan tersebut. Apabila keterlambatan terjadi sampai dengan 180 (seratus delapan puluh) menit maka apabila penumpang harus diterbangkan dengan penerbangan selanjutnya atau dengan penerbangan niaga berjadwal lainnya apabla diminta oleh penumpang.
BAB V KESIMPULAN SAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan uraian di muka, penulis dapat mengambil simpulan sebagai berikut : 1. PT. Garuda Indonesia dalam melakukan kegiatan penerbangan kadang timbul kerugian bagi penumpang. Dengan adanya hal tersebut maka PT. Garuda Indonesia harus bertanggung jawab terhadap penumpang. Kerugian yang menjadi tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap penumpang penerbangan domestik meliputi : a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut b. Hilang atau rusaknya barang bagasi c. Keterlambatan pesawat Prinsip tanggung jawab yang diterapkan PT. Garuda Indonesia untuk kematian atau lukanya penumpang serta hilang atau rusaknya barang bagasi adalah prinsip absolute liability. Untuk keterlambatan pesawat, PT. Garuda Indonesia menggunakan prinsip presumption of liability. 2. Realisasi tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap kerugian penumpang penumpang domestik yaitu : a. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut Dalam realisasinya PT. Garuda Indonesia memberikan ganti rugi kematian atau lukanya penumpang lebih besar dari besarnya ganti rugi yang ditentukan dalam Pasal 43 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995.
b. Hilang atau rusaknya barang penumpang Realisasi tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap hilang atau rusaknya barang bagasi sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995. Besarnya ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah tersebut, yaitu ganti rugi dibatasi setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilogramnya. c. Keterlambatan pengangkutan 1) Keterlambatan pengangkutan penumpang Dalam prakteknya, pihak PT. Garuda Indonesia hanya bertanggung jawab secara moril saja. Dalam hal ini berarti bila terjadi keterlambatan pengangkutan penumpang yang disebabkan oleh pihak pengangkut, maka pihak PT. Garuda Indonesia hanya melakukan permintaan maaf saja dan memberikan sebatas makan gratis untuk para penumpang. 2) Keterlambatan pengangkutan barang Realisasinya, PT. Garuda Indonesia memberikan batas ganti rugi seperti ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 44 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tersebut. Untuk keterlambatan bagasi apabila merupakan kesalahan pengangkut dibatasi setinggitingginya Rp. 100.000,- perkilogramnya. 3. Faktor-faktor yang menjadi hambatan dalam realisasi tanggung jawab PT. Garuda Indonesia terhadap penumpang penerbangan domestik yaitu antara lain : a. Ahli waris dari penumpang yang meninggal. Banyak ahli waris dari keluarga penumpang yang meninggal yang menginginkan dan merasa berhak atas ganti kerugian yang diberikan PT. Garuda
Indonesia. Solusinya yaitu akan dimintakan fatwa waris ke pengadilan, sehingga akan jelas kepada ahli waris yang mana uang ganti rugi tersebut akan diberikan. b. Warga negara asing yang melakukan penerbangan domestik. Warga negara asing yang pada saat melakukan penerbangan domestik terjadi kecelakaan pesawat, kadang melakukan komplain atas ganti rugi yang diberikan oleh PT. Garuda Indonesia karena jumlahnya kecil atau tidak sebesar ketentuan ganti kerugian yang diterapkan di negaranya. Pada kasus ini apabila warga negara asing melakukan klaim maka akan diselesaikan melalui pengadilan. c. Penumpang yang menggunakan tiket atas nama atau milik orang lain. Dalam kejadian ini PT. Garuda Indonesia akan melakukan pengecekan identitas penumpang dengan tiket penerbangan yang digunakan, apabila terbukti penumpang tersebut menggunakan tiket atas nama/milik orang lain maka pihak asuransi tidak akan memberikan ganti rugi. B. Saran
1. Dengan adanya tanggung jawab yang besar dari pengangkutan udara akan meningkatkan
kepercayaan
dari
masyarakat
untuk
menggunakan
pengangkutan udara tersebut sebagai sarana transportasi udara, sehingga perlu bagi PT. Garuda Indonesia mempertahankan atau lebih meningkatkan kualitas dan tanggung jawabnya kepada penumpang. 2. Meskipun ketentuan mengenai ganti rugi dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 cenderung lebih menguntungkan pihak pengangkut, sebaiknya dengan hal tersebut pengangkut tetap berlaku adil dan sebisa mungkin memberikan pelayanan yang memuaskan bagi penumpang. 3. Perlu diberikannya penjelasan kepada penumpang mengenai keterlambatan pesawat. Apabila
pesawat mengalami keterlambatan, sebaiknya pihak
pengangkut memberikan penjelasan mengenai penyebab keterlambatan dan perkiraan waktu keterlambatan.
4. Perlu ditumbuhkan kesadaran para pihak yang berkaitan dengan pengangkutan udara akan hak dan kewajiban masing-masing, sehingga akan tercipta pengangkutan udara yang lancar, aman serta memuaskan semua pihak.