BAB III PEMBAHASAN
Analisis
cluster
merupakan
analisis
yang
bertujuan
untuk
mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Asumsi-asumsi dalam analisis cluster yaitu sampel yang diambil harus mewakili populasi dan multikolinearitas. Apabila terjadi multikolinearitas diatasi menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Hasil dari Principal Component (PC) yang terbentuk digunakan sebagai variabel bebas baru untuk mengelompokkan kabupaten/kota berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah menggunakan metode Ward dan Average Linkage. Perbandingan kinerja antara metode Ward dan Average Linkage dilakukan untuk memilih metode yang menghasilkan cluster lebih baik.
A. Analisis Cluster Telah dijelaskan sebelumnya bahwa analisis cluster merupakan analisis yang digunakan untuk mengelompokkan objek-objek pengamatan berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Seperti teknik analisis lain, analisis cluster menetapkan adanya asumsi-asumsi yang harus dipenuhi. Asumsi dalam analisis cluster yaitu: 1. Sampel yang diambil harus mewakili populasi yang ada Untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan telah mewakili populasi, dapat dilihat dari nilai Kaiser Meyer Olkin (KMO). Kaiser Meyer
36
Olkin (KMO) adalah indeks perbandingan nilai koefisien korelasi terhadap korelasi parsial (Yamin dan Kurniawan, 2014: 181). (3. 1) (3. 2) Keterangan: = banyaknya variabel = koefisien korelasi antara variabel dan = koefisien korelasi parsial antara variabel dan Menurut Yamin, Rachmach dan Kurniawan (2011: 122), jika nilai KMO < 0,5, maka sampel tidak mewakili populasi, sedangkan jika nilai KMO > 0,5, maka sampel mewakili populasi sehingga layak untuk dilakukan analisis cluster. 2. Multikolinearitas Multikolinearitas adalah adanya hubungan linear atau korelasi yang tinggi antar variabel. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas, dapat dilihat dari nilai-nilai korelasi pada matriks korelasi. Dua variabel atau lebih dikatakan multikolinearitas apabila nilai korelasinya > 0,70 (Yamin dan Kurniawan, 2014: 70). Apabila terjadi multikolinearitas diatasi menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Kelebihan dari PCA yaitu dapat mengatasi multikolinearitas secara bersih. Artinya, principal component hasil dari PCA bebas dari multikolinearitas.
37
B. Principal Component Analysis (PCA) Principal
Component
Analysis
(PCA)
bertujuan
untuk
menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara mereduksi dimensinya. Prinsip utama dari PCA adalah terdapatnya korelasi antar variabel sehingga diduga bahwa variabel-variabel tersebut dapat direduksi. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi antar variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel bebas baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau sering disebut dengan principal component (Johnson dan Wichern, 2007: 430). Principal component (PC) merupakan suatu kombinasi linear dari variabel-variabel asal. Pembentukan PC berdasarkan dua cara yaitu matriks kovarian atau matriks korelasi (Johnson dan Wichern, 2007: 431). Pembentukan PC berdasarkan matriks kovarian digunakan apabila variabel yang diamati mempunyai satuan pengukuran yang sama, sedangkan matriks korelasi digunakan apabila variabel yang diamati mempunyai satuan berbeda. Pada skripsi ini digunakan matriks korelasi karena variabel yang digunakan memiliki satuan berbeda. Tahapan menentukan PC berdasarkan matriks korelasi adalah sebagai berikut (Johnson dan Wichern, 2007: 436-437): 1. Membuat matriks
yang berisi data dari variabel X yang telah
distandarisasi. 2. Membuat matriks korelasi dari dengan mencari nilai eigen
yaitu
. Pereduksian PC dimulai
yang diperoleh dari persamaan:
38
(3. 3) dimana jumlahan nilai eigen merupakan trace matriks korelasi atau jumlah diagonal matriks korelasi, yaitu: (3. 4) Nilai eigen selalu diurutkan dari yang terbesar sampai nilai terkecil. Nilai eigen menunjukkan besarnya total varian yang dijelaskan oleh PC yang terbentuk.
saling orthogonal dan dibentuk berdasarkan persamaan: (3. 5)
Vektor eigen
diperoleh dari setiap nilai eigen
yang memenuhi
persamaan: (3. 6) Beberapa ketentuan PCA dalam membentuk principal component adalah sebagai berikut (Johnson dan Wichern, 2007: 431-432): 1. Principal Component (PC) yang terbentuk sebanyak variabel yang diamati dan setiap PC merupakan kombinasi linear dari variabel-variabel tersebut. 2. Setiap PC saling orthogonal dan saling bebas. 3. Principal Component (PC) dibentuk berdasarkan urutan total varian yang terbesar hingga paling kecil, dalam arti sebagai berikut: a. Principal Component pertama
adalah kombinasi linear dari
seluruh variabel yang diamati dan memiliki varian terbesar. b. Principal Component kedua
adalah kombinasi linear dari seluruh
variabel yang diamati dan bersifat orthogonal terhadap memiliki varian terbesar kedua.
39
dan
c. Principal Component ketiga
adalah kombinasi linear dari seluruh
variabel yang diamati dan bersifat orthogonal terhadap
maupun
dan memiliki varian terbesar ketiga. d. Principal Component ke-
adalah kombinasi linear dari seluruh
variabel yang diamati dan bersifat orthogonal terhadap
,
,...,
dan memiliki varian paling kecil. Sebelum dilakukan PCA, terlebih dahulu dilakukan beberapa pengujian sebagai berikut: 1. Uji Kaiser Meyer Olkin (KMO) Syarat yang harus dipenuhi sebelum dilakukan PCA yaitu data yang digunakan telah mencukupi untuk dianalisis. Nilai KMO dapat dicari menggunakan persamaan (3. 1) dan (3. 2). 2. Uji Bartlett Uji Bartlett digunakan untuk mengetahui apakah matriks korelasi hubungan antara variabel adalah matriks identitas. Hal ini digunakan untuk menguji kecukupan hubungan antara variabel, dimana matriks identitas mempunyai diagonal matriks bernilai 1 dan yang lainnya adalah 0. Urutan pengujian sebagai berikut: Hipotesis: : matriks korelasi = matriks identitas : matriks korelasi matriks identitas Statistik uji : (3. 7)
40
Keterangan: = nilai determinan matriks korelasi = banyaknya data = banyaknya variabel Kriteria keputusan: Tolak
jika
>
atau
Setelah dilakukan uji KMO dan Bartlett, dilakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai Measure of Sampling Adequacy (MSA). Measure of Sampling Adequacy (MSA) digunakan untuk mengetahui variabel mana saja yang layak dilakukan PCA. Nilai MSA dapat dilihat pada output SPSS anti images matrices bagian correlation yang ditunjukkan oleh diagonal dari kiri atas ke kanan bawah yang bertanda huruf a dan diperoleh dari persamaan berikut: (3. 8) dengan = 1, 2, 3, ..., 7 , = 1, 2, 3, ..., 7 , dan Jika nilai MSA > 0,5 maka variabel layak dilakukan PCA (Yamin dan Kurniawan, 2014: 186). Principal component hasil dari PCA akan digunakan sebagai variabel bebas baru untuk dianalisis cluster menggunakan metode Ward dan Average Linkage. Sebelum penyusunan cluster, terlebih dahulu dilakukan pemilihan ukuran jarak. Ukuran jarak yang digunakan adalah jarak Euclid kuadrat. Adapun persamaan Euclid kuadrat adalah sebagai berikut: (3. 9)
41
C. Metode Ward Metode Ward merupakan salah satu metode hirarki dalam analisis cluster. Metode Ward bertujuan untuk memperoleh cluster yang memiliki varian dalam cluster (within cluster) sekecil mungkin. Ukuran kesamaan yang digunakan adalah jarak Euclid kuadrat (Supranto, 2010: 154). Metode Ward mengelompokkan objek didasarkan pada kenaikan sum square error (SSE). Pada tiap tahap, dua cluster yang memiliki kenaikan SSE paling kecil digabungkan (Simamora, 2005: 218). Sum Square Error (SSE) dapat dihitung menggunakan persamaan (Gudono, 2014: 294): (3. 10) Keterangan: SSE = sum square error = jumlah anggota cluster = nilai atau data dari objek ke= rata-rata (mean) nilai objek dalam sebuah cluster Langkah-langkah pengelompokan menggunakan metode Ward adalah sebagai berikut (Johnson dan Wichern, 2007: 692-693): 1. Dimulai dari setiap objek dianggap sebagai sebuah cluster tersendiri, maka terdapat N cluster yang mempunyai satu objek. Pada tahap ini SSE bernilai nol. 2. Menghitung nilai SSE untuk setiap kombinasi dua pasang cluster dari N cluster, lalu memilih dua pasang cluster yang memiliki nilai SSE terkecil untuk digabungkan menjadi satu cluster. Secara sistematik, N cluster akan berkurang 1 pada setiap tahap (N-1).
42
3. Membuat kombinasi dua pasang cluster baru yang terdiri dari satu cluster yang telah terbentuk dan cluster yang lain, lalu menghitung nilai SSE lagi. Memilih dua pasang cluster yang memiliki nilai SSE terkecil untuk digabungkan menjadi satu cluster. 4. Mengulangi langkah (3) sampai semua objek bergabung menjadi satu cluster.
D. Metode Average Linkage Metode
average
linkage
(pautan
rata-rata)
adalah
metode
pengelompokan yang jarak antara dua cluster didefinisikan sebagai rata-rata jarak seluruh pasangan yang berada dalam satu cluster dengan cluster yang lain. Untuk menghitung rata-rata jarak pada metode average linkage digunakan persamaan (Johnson dan Wichern, 2007: 690): (3. 11) Keterangan: = jarak antara cluster dan cluster = jarak antara objek pada cluster = jumlah anggota pada cluster = jumlah anggota pada cluster
dan objek
pada cluster
Langkah-langkah pengelompokan menggunakan metode average linkage adalah sebagai berikut (Johnson dan Wichern, 2007: 690): 1. Mencari dua objek yang memiliki kesamaan paling dekat pada matriks similaritas. Misal kedua objek itu adalah objek dan . 2. Menggabungkan objek dan ke dalam satu cluster.
43
3. Penggabungan kedua merupakan penggabungan cluster
dengan cluster
lain yang memiliki kesamaan paling dekat, misal cluster
. Penggabungan
kedua dihitung menggunakan persamaan (3. 10). 4. Mengulangi langkah (3) sebanyak N-1 kali, dimana N adalah jumlah objek.
E. Penentuan Metode Terbaik Untuk menentukan metode yang menghasilkan cluster terbaik, digunakan nilai-nilai simpangan baku dalam cluster (within cluster) dan antar cluster (between cluster). Persamaan-persamaan simpangan baku dalam dan antar cluster sebagai berikut: 1. Simpangan baku dalam cluster (within cluster) (3. 12) Keterangan: = simpangan baku dalam cluster = banyaknya cluster yang terbentuk = simpangan baku cluster ke-k 2. Simpangan baku antar cluster (between cluster) (3. 13) Keterangan: = simpangan baku antar cluster = banyaknya cluster yang terbentuk = rata-rata cluster ke-k = rata-rata seluruh cluster Metode yang mempunyai rasio terkecil merupakan metode terbaik (Bunkers dkk, 1996: 136). Semakin kecil nilai
44
dan semakin besar nilai
,
maka metode yang digunakan mempunyai kinerja yang baik, artinya homogenitasnya tinggi. Dari uraian diatas, langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis cluster disajikan dalam bagan sebagai berikut:
Menguji asumsi dalam analisis cluster
Menambah variabel baru
tidak
ya
Kecukupan sampel
Multikoli nearitas
memenuhi
tidak
Menghitung ukuran jarak Euclid kuadrat
Mengelompokkan objek menggunakan metode Ward dan Average Linkage
Menentukan metode yang menghasilkan cluster terbaik
Menginterpretasi hasil cluster
Gambar 3. 1 Langkah-langkah Analisis Cluster
45
PCA
F. Pengelompokan Kabupaten/Kota Berdasarkan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Jawa Tengah Menggunakan Metode Ward dan Average Linkage 1. Deskripsi Data Data yang digunakan merupakan data tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2014. Data diambil dari publikasi BPS berupa buku yang berjudul “Jawa Tengah Dalam Angka 2015”, “Tinjauan PDRB Kabupaten/Kota Se Jawa Tengah 2014”, dan “Data dan Informasi Kemiskinan Kabupaten/Kota Tahun 2014”. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Jawa Tengah tahun 2014 antara lain sebagai berikut: a. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Menurut Sri Aditya (2010) dalam Prastyo (2010: 44) PDRB merupakan salah satu alat pengukur pertumbuhan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan metode pendekatan produksi dalam menghitung
PDRB.
Dengan
menggunakan
metode
pendekatan
produksi, PDRB merupakan penjumlahan Nilai Tambah Bruto (NTB) dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit-unit kegiatan ekonomi di suatu wilayah pada satu periode tertentu. NTB dihitung dengan mengeluarkan komponen biaya dari output. Output adalah nilai seluruh barang dan jasa hasil proses produksi. Output suatu jenis komoditas adalah hasil perkalian antara kuantitas produksi dengan harga/tarif jual per unit barang, dimana harga
46
yang dimaksud merupakan harga pada tingkat produsen. Biaya antara adalah nilai seluruh barang dan jasa yang digunakan dalam proses produksi. Secara matematis penghitungan PDRB menggunakan metode pendekatan produksi dirumuskan sebagai berikut (BPS): (3. 14) (3. 15) (3. 16) Keterangan: = kuantitas produksi = harga produsen = biaya antara = output = nilai tambah bruto b. Pengeluaran perkapita Pengeluaran perkapita merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemiskinan (Widiastuti, 2016: 9). Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan rata-rata besarnya pengeluaran perkapita sebagai pendekatan pendapatan yang mewakili capaian pembangunan untuk hidup layak. Pengukuran hidup layak menggunakan indikator kemampuan daya beli masyarakat terhadap sejumlah kebutuhan pokok makanan dan bukan makanan. c. Upah minimum Upah minimum mempunyai hubungan negatif dengan tingkat kemiskinan (Prastyo, 2010: 107). Hal ini menunjukkan bahwa apabila upah minimum meningkat maka tingkat kemiskinan mengalami
47
penurunan. Upah minimum merupakan suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja. Upah minimum yang digunakan dalam skripsi ini adalah upah minimum kabupaten/kota. Penetapan upah minimum kabupaten/kota harus lebih besar dari upah minimum provinsi dan ditetapkan selambat-lambatnya 40 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum yaitu 1 Januari (www.gajimu.com) . d. Gizi buruk balita Tingkat kesehatan mempunyai hubungan negatif dengan tingkat kemiskinan (Wahyudi dan Rejekingsih, 2013: 14). Hal ini menunjukkan bahwa apabila tingkat kesehatan baik maka tingkat kemiskinan mengalami penurunan. Dalam skripsi ini digunakan banyaknya balita yang mengalami gizi buruk untuk mengukur tingkat kesehatan. Semakin sedikit balita yang mengalami gizi buruk di suatu daerah, maka tingkat kesehatan masyarakat di daerah tersebut semakin baik. e. Rata-rata lama sekolah Rata-rata lama sekolah digunakan sebagai salah satu tolak ukur tingkat pendidikan di suatu daerah. Semakin tinggi tingkat pendidikan dapat membantu menurunkan tingkat kemiskinan di suatu daerah (Wahyudi dan Rejekingsih, 2013: 14). f. Rasio Ketergantungan Menurut BPS, rasio ketergantungan adalah perbandingan antara jumlah penduduk umur 0-14 tahun ditambah dengan jumlah penduduk
48
65 tahun keatas dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 15-64 tahun. Adapun persamaan rasio ketergantungan adalah sebagai berikut: (3. 17) Keterangan: = rasio ketergantungan = jumlah penduduk usia 0-14 tahun = jumlah penduduk usia 65 tahun keatas = jumlah penduduk usia 15-64 tahun Rasio ketergantungan dapat digunakan sebagai indikator yang menunjukkan keadaan ekonomi suatu daerah. Semakin tinggi persentase rasio ketergantungan menunjukkan semakin tinggi beban yang harus ditanggung penduduk usia produktif untuk membiayai hidup penduduk usia tidak produktif (Badan Pusat Statistik). g. Pengangguran Pengangguran mempunyai hubungan positif dengan tingkat kemiskinan (Prastyo, 2010: 109). Semakin banyak pengangguran maka tingkat
kemiskinan
juga
semakin
meningkat.
Menurut
BPS,
pengangguran adalah seseorang yang termasuk kelompok penduduk usia kerja yang selama periode tertentu tidak bekerja, bersedia menerima pekerjaan, dan sedang mencari pekerjaan. Dalam skripsi ini pengangguran yang dimaksud adalah pengangguran yang sedang mencari pekerjaan. Data-data dari variabel
sampai
diberikan pada Lampiran 1.
Ketujuh variabel tersebut digunakan untuk mengelompokkan tingkat
49
kemiskinan kabupaten/kota di Jawa Tengah menggunakan metode Ward dan Average Linkage. 2. Uji Asumsi Analisis Cluster Terdapat asumsi-asumsi yang harus dipenuhi dalam analisis cluster, yaitu: a. Sampel yang diambil harus mewakili populasi yang ada Untuk mengetahui apakah sampel yang digunakan telah mewakili populasi, dapat dilihat dari nilai Kaiser Meyer Olkin (KMO). Berdasarkan persamaan (3.1) dan (3.2) dan perhitungan menggunakan SPSS 20, diperoleh nilai KMO sebesar 0,713. Nilai tersebut lebih dari 0,5, maka sampel telah mewakili populasi sehingga layak untuk dilakukan analisis cluster. b. Multikolinearitas Asumsi
lain
analisis
cluster
yaitu
multikolinearitas.
Multikolinearitas adalah adanya korelasi atau hubungan yang sangat tinggi antar variabel. Untuk mengetahui ada tidaknya multikolinearitas, dapat dilihat dari nilai-nilai korelasi pada matriks korelasi. Dua variabel atau lebih dikatakan multikolinearitas apabila nilai korelasinya > 0,70 (Yamin dan Kurniawan, 2014: 70). Berdasarkan persamaan (2. 8) dan perhitungan menggunakan program SPSS 20 diperoleh nilai-nilai korelasi antar variabel pada Lampiran 2 dengan hasil sebagai berikut:
50
Tabel 3.1. Korelasi Antar Variabel 1,00 0,250 0,435 0,502 0,247 -0,269 0,516
1,00 0,466 -0,403 0,777 -0,646 -0,234
1,00 -0,036 1,00 0,476 -0,425 1,00 -0,586 0,441 -0,683 0,147 0,862 -0,281
Tabel 3. 1 menunjukkan bahwa variabel
1,00 0,207
dan
,
1,00 dan
mengalami multikolinearitas karena nilai korelasi lebih dari 0,7. Karena terjadi multikolinearitas antar variabel, maka perlu dilakukan penanganan multikolinearitas guna memenuhi asumsi dalam analisis cluster. Penanganan masalah multikolinearitas menggunakan Principal Component Analysis (PCA). 3. Principal Component Analysis (PCA) PCA bertujuan untuk menyederhanakan variabel-variabel yang diamati dengan mereduksi dimensinya tanpa kehilangan banyak informasi dari variabel asal/aslinya. Pemilihan metode PCA dikarenakan metode ini mampu mengatasi masalah multikolinearitas secara bersih. Artinya, setiap principal component yang terbentuk dari PCA bebas dari multikolinearitas. Sebelum melakukan PCA, terlebih dahulu melakukan uji KMO dan Bartlett. Uji KMO telah dilakukan untuk memenuhi asumsi dalam analisis cluster dan diperoleh nilai KMO sebesar 0,713. Hal ini menunjukkan bahwa data layak untuk dilakukan PCA. Uji Bartlett digunakan untuk mengetahui apakah matriks korelasi hubungan antara variabel adalah
51
matriks identitas, sehingga diketahui korelasi antar variabel. Berdasarkan persamaan (3.7) dan perhitungan menggunakan SPSS 20 diperoleh hasil (Lampiran 3) nilai
= 0,000 <
= 0,05. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat korelasi antar variabel sehingga perlu dilakukan PCA. Setelah dilakukan uji KMO dan Bartlett, dilakukan pemeriksaan terhadap nilai-nilai Measure of Sampling Adequacy (MSA). MSA digunakan untuk mengetahui variabel mana saja yang layak dilakukan PCA. Berdasarkan persamaan (3.8) dan perhitungan menggunakan SPSS 20 diperoleh nilai-nilai MSA yang terdapat pada output anti image matrices bagian correlation pada Lampiran 3. Nilai MSA ditunjukkan oleh diagonal dari kiri atas ke kanan bawah yang bertanda huruf a. Hasil dari MSA ditunjukkan oleh tabel berikut: Tabel 3.2. Nilai Measures of Sampling Adequacy (MSA) Variabel MSA
0,659
0,805
0,853
0,577
0,811
0,745
0,630
Variabel layak dilakukan PCA apabila mempunyai nilai MSA lebih dari 0,5. Dari tabel 3. 2 terlihat bahwa nilai-nilai MSA dari ketujuh variabel semuanya lebih dari 0,5, maka ketujuh variabel tersebut layak untuk dilakukan PCA. Setelah uji KMO, Bartlett, dan MSA terpenuhi, maka dilakukan PCA. Pembentukan Principal Component (PC) untuk ketujuh variabel yang digunakan berdasarkan matriks korelasi. Pemilihan penggunaan matriks korelasi dikarenakan ketujuh variabel mempunyai satuan berbeda,
52
maka harus dilakukan standarisasi data terlebih dahulu. Berdasarkan persamaan (2. 7) dan perhitungan menggunakan program Excel diperoleh data yang telah distandarisasi pada Lampiran 4, dan dapat dibuat matriks sebagai berkut:
(3. 18)
Matriks korelasi
adalah perkalian antara matriks
Berdasarkan matriks (3. 18) diperoleh matriks
dengan .
sebagai berikut:
(3. 19)
Dengan mengalikan matriks (3.19) dengan (3.18) diperoleh matriks korelasi
sebagai berikut:
(3. 20)
Langkah selanjutnya yaitu mencari nilai eigen dari matriks korelasi . Dengan perhitungan menggunakan SPSS 20 diperoleh output pada Lampiran 5 dengan hasil sebagai berikut:
53
Tabel 3.3. Nilai Eigen, Total Varian, Total Kumulatif Varian Komponen
Nilai Eigen
Total Varian
Total Kumulatif
(%)
Varian (%)
1
3,243
46,323
46,323
2
2,295
32,781
79,103
3
0,534
7,630
86,733
4
0,343
4,893
91,626
5
0,287
4,103
95,729
6
0,218
3,118
98,848
7
0,081
1,152
100,000
Dari tabel 3. 3 terlihat bahwa terdapat tujuh komponen yang terbentuk dari ketujuh variabel yang digunakan. Nilai eigen diperoleh dari persamaan (3. 3) dan selalu diurutkan dari nilai yang terbesar hingga yang paling kecil. Nilai eigen menunjukkan besarnya total varian yang dijelaskan oleh komponen yang terbentuk. Kriteria minimal yang digunakan untuk menentukan Principal Component (PC) yaitu apabila nilai eigen lebih dari 1 ( >1), maka komponen tersebut terpilih sebagai PC (Gudono, 2014: 210). Tabel 3. 3 menunjukkan bahwa terbentuk dua PC yang mempunyai
>1 yaitu
dan
.
terdiri dari variabel
pengeluaran perkapita, upah minimum, rata-rata lama sekolah, dan rasio ketergantungan, sedangkan
terdiri dari variabel PDRB, gizi buruk
balita, dan pengangguran. Kedua PC tersebut telah dapat menjelaskan varian dari ketujuh variabel sebesar 79,103%.
54
Nilai-nilai eigen yang diperoleh dapat dijelaskan secara grafik menggunakan scree plot. Scree plot menjelaskan hubungan antara banyaknya komponen yang terbentuk dengan eigenvalue.
Gambar 3. 2. Scree Plot Untuk mengetahui nilai-nilai korelasi (loading) antara variabel dengan PC yang terbentuk dapat dilihat pada output SPSS component matrix (Lampiran 5), dengan hasil sebagai berikut: Tabel 3.4. Komponen Matriks Variabel 0,445
0,854
0,744
-0,358
0,870
-0,867 -0,151
0,765
-0,155
0,302
0,897
-0,183
0,124
0,918
Loading merupakan nilai korelasi antara variabel dengan principal component. Dari tabel 3. 4 dapat terlihat variabel-variabel yang termasuk kedalam
dan
sebagai berikut:
55
Tabel 3.5. Variabel
Dari tabel 3.5 terlihat bahwa perkapita (
), upah minimum (
ketergantungan ( buruk balita (
dan
terdiri dari variabel pengeluaran
), rata-rata lama sekolah (
). Sedangkan
), dan rasio
terdiri dari variabel PDRB (
), dan pengangguran (
), gizi
). Nilai-nilai loading pada tabel
3.4 digunakan untuk memperoleh nilai-nilai communalities dengan mensubstitusikannya ke dalam persamaan sebagai berikut: (3. 21) Keterangan:
= nilai korelasi (loading) variabel ke- pada PC 1 = nilai korelasi (loading) variabel ke- pada PC 2
Communalities digunakan untuk menunjukkan berapa varian yang dapat dijelaskan oleh principal component (PC) yang terbentuk. Berikut hasil subtitusi nilai loading tabel 3. 4 ke dalam persamaan (3. 21): Tabel 3.6. Communalities Variabel Extraction
0,784
0,753
0,645
0,934
0,790
Hasil dari tabel 3. 6 menunjukkan nilai berarti sebesar 78,4% varian
0,767
0,865
sebesar 0,784 yang
dapat dijelaskan oleh PC yang terbentuk,
sebesar 0,753 yang berarti bahwa sebesar 75,3% varian
56
dapat
dijelaskan oleh PC yang terbentuk, sebesar 64,5% varian
sebesar 0,645 yang berarti bahwa
dapat dijelaskan oleh PC yang terbentuk,
sebesar 0,934 yang berarti bahwa sebesar 93,4% varian dijelaskan oleh PC yang terbentuk, sebesar 79,0% varian
dapat
sebesar 0,790 yang berarti bahwa
dapat dijelaskan oleh PC yang terbentuk,
sebesar 0,767 yang berarti bahwa sebesar 76,7% varian dijelaskan oleh PC yang terbentuk, dan bahwa sebesar 86,5% varian
dapat
sebesar 0,865 yang berarti
dapat dijelaskan oleh PC yang terbentuk.
Setelah diperoleh dua principal component hasil dari reduksi variabel, akan ditentukan koefisien dari principal component yang akan digunakan untuk membentuk persamaan PC. Berikut hasil yang diperoleh: Tabel 3.7. Koefisien Principal Component (PC) Variabel
Principal Component (PC) 1
2
0,174
0,341
0,269
-0,032
0,252
0,157
-0,080
0,365
0,273
-0,043
-0,274
0,018
-0,013
0,381
Dengan mensubtitusikan hasil tabel 3.7 dengan persamaan (3.5) diperoleh persamaan berikut:
(3. 22)
57
(3. 23) Persamaan (3. 22) dan (3. 23) akan digunakan untuk mencari nilainilai dari principal component (PC) dengan hasil pada Lampiran 6. Skor principal component inilah yang akan digunakan untuk mengelompokkan kabupaten/kota di Jawa Tengah menggunakan metode Ward dan Average Linkage, karena kedua komponen yang terbentuk sudah bebas dari multikolinearitas. 4. Pemilihan Ukuran Jarak Sebelum melakukan pengelompokan kabupaten/kota di Jawa Tengah menggunakan metode Ward dan Average Linkage, terlebih dahulu dilakukan penghitungan jarak antar objek. Jarak inilah yang digunakan sebagai ukuran kesamaan antar objek. Ukuran kesamaan antar objek yang digunakan adalah jarak Euclid kuadrat. Semakin besar jarak menunjukkan ketaksamaan antar objek, sebaliknya semakin kecil jarak menunjukkan kesamaan antar objek. Diberikan contoh perhitungan jarak antara Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas, Kab. Cilacap dan Kab. Purbalingga, serta Kab. Banyumas dan Kab. Purbalingga menggunakan persamaan (3.9). Sepasang objek dihitung jaraknya menggunakan nilai-nilai dari principal component (PC) yang diperoleh dari analisis PCA. Hasil perhitungan jarak antar objek yang lain terlampir pada Lampiran 7.
58
Tabel 3.8. Perhitungan Kedekatan Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas Objek
Total
Kab. Cilacap
-0,30701
1,91600
Kab. Banyumas
-0,39474
0,87607
0,08773
1,03993
0,00769
1,08145
1,089
Dari perhitungan tabel 3. 8 diperoleh nilai jarak Kab. Cilacap dengan Kab. Banyumas sebesar 1,089. Tabel 3.9. Perhitungan Kedekatan Kab. Cilacap dan Kab. Purbalingga Objek
Total
Kab. Cilacap
-0,30701
1,91600
Kab. Purbalingga
-0,74843
-0,33454
0,44142
2,25054
0,19485
5,06493
5,260
Dari perhitungan tabel 3. 9 diperoleh nilai jarak Kab. Cilacap dengan Kab. Purbalingga sebesar 5,260. Tabel 3.10. Perhitungan Kedekatan Kab. Banyumas dan Kab. Purbalingga Objek
Total
Kab. Banyumas
-0,39474
0,87607
Kab. Purbalingga
-0,74843
-0,33454
0,35369
1,21061
0,12509
1,46557
59
1,591
Dari perhitungan tabel 3. 10 diperoleh nilai jarak Kab. Banyumas dan Kab. Purbalingga sebesar 1,591. 5. Metode Ward Metode Ward adalah salah satu metode pengelompokan hirarki yang pengelompokannya berdasarkan pada sum square error (SSE). Langkah-langkah pengelompokan menggunakan metode Ward adalah sebagai berikut: Dimulai dari setiap objek dianggap sebagai sebuah cluster tersendiri, maka terdapat 35 cluster (karena terdapat 35 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah) yang mempunyai satu objek. Pada tahap ini SSE bernilai nol. Menghitung nilai SSE untuk setiap kombinasi dua pasang cluster dari 35 cluster, lalu memilih dua pasang cluster yang memiliki nilai SSE terkecil untuk digabungkan menjadi satu cluster. Secara sistematik, 35 cluster akan berkurang 1 pada setiap tahap. Diberikan contoh perhitungan SSE untuk Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas. Data yang digunakan adalah nilai-nilai dari principal component (Lampiran 6). Nilai rata-rata Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas sebagai berikut: (-0,30701 + 1,91600 -0,39474 + 0,87607) / 4 = 0,52258. Rata-rata yang diperoleh digunakan untuk menghitung SSE Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas. Berdasarkan persamaan (3.10) diperoleh nilai SSE Kab. Cilacap dan Kab. Banyumas sebagai berikut:
60
. Dua objek yang mempunyai nilai SSE paling kecil akan bergabung menjadi satu cluster. Setelah terbentuk satu cluster yang terdiri dari dua objek pada tahap pertama, kemudian membuat kombinasi dua pasang cluster baru lagi. Dua pasang cluster baru tersebut terdiri dari satu cluster yang telah terbentuk pada tahap pertama dan cluster yang lain, kemudian menghitung nilai SSE lagi. Memilih dua pasang cluster yang memiliki nilai SSE terkecil untuk digabungkan menjadi satu cluster. Demikian seterusnya sampai semua objek bergabung menjadi satu cluster. Untuk mempermudah proses pengelompokkan kabupaten/kota di Jawa Tengah menggunakan metode Ward, digunakan program SPSS 20. Tahapan pembentukan cluster dapat dilihat dari output SPSS bagian agglomeration schedule (Lampiran 9). Pada tahap pertama, terlihat bahwa objek nomor 21 (Kab. Demak) dan nomor 24 (Kab. Kendal) bergabung menjadi satu cluster, karena memiliki jarak (pada kolom coefficients) paling kecil yaitu 0,006. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara kedua kabupaten tersebut merupakan jarak
yang
paling
dekat
dari
banyaknya
kombinasi
jarak
35
kabupaten/kota. Dengan kata lain, Kab. Demak dan Kab. Kendal merupakan dua pasang objek yang memiliki nilai SSE paling kecil dari banyaknya kombinasi SSE 35 kabupaten/kota. Kemudian pada kolom next stage, menunjukkan angka 14 yang menjelaskan bahwa pada stage ke-14 proses pengelompokan dilanjutkan.
61
Tahap kedua yaitu pada stage ke-14 terlihat objek nomor 21 (Kab. Demak) bergabung dengan objek nomor 22 (Kab. Semarang) dengan jarak 0,504. Jarak tersebut merupakan jarak minimal objek terakhir yang bergabung (Kab. Semarang) dengan dua objek sebelumnya yaitu Kab. Demak dan Kab. Kendal. Pada kolom next stage, menunjukkan angka 24 yang menjelaskan bahwa pada stage ke-24 proses pengelompokan dilanjutkan. Tahap ketiga yaitu pada stage ke-24 terlihat objek nomor 19 (Kab. Kudus) bergabung dengan objek nomor 21 (Kab. Demak) dengan jarak 3,134. Jarak tersebut merupakan jarak minimal objek terakhir yang bergabung (Kab. Kudus) dengan tiga objek sebelumnya yaitu Kab. Demak, Kab. Kendal, dan Kab. Semarang. Pada kolom next stage, menunjukkan angka
25
yang
pengelompokan
menjelaskan
dilanjutkan.
bahwa
Demikian
pada
stage
seterusnya
ke-25 dari
proses
stage
25
dilanjutkan ke stage 29 sampai ke stage terakhir, sehingga semua objek bergabung menjadi satu cluster. Banyaknya cluster dapat ditentukan dengan melihat dendogram (Lampiran 10). Dendogram dibaca dari kiri ke kanan. Garis vertikal menunjukkan cluster yang digabung, sedangkan garis horizontal menunjukkan jarak cluster yang digabung. Tiga tahap terakhir penggabungan terlihat bahwa cluster digabung dengan jarak yang tinggi. Penggabungan ini menyebabkan kesamaan (homogenitas) yang rendah antar anggota dalam suatu cluster. Oleh karena itu, ditetapkan banyaknya
62
cluster yang terbentuk sebanyak empat cluster. Anggota-anggota tiap cluster dapat dilihat pada output cluster membership (Lampiran 11) dan dapat ditunjukkan pada tabel di bawah ini: Tabel 3.11. Cluster Membership Metode Ward No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Cluster 1 Kab. Cilacap Kab. Banyumas Kab. Magelang Kab. Grobogan Kab. Pati Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes
Cluster 2 Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Kudus Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan
Cluster 3 Cluster 4 Kota Magelang Kota Semarang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Pekalongan Kota Tegal
Dari tabel 3. 11 terlihat bahwa cluster 1 terdiri dari 8 kabupaten, cluster 2 terdiri dari 21 kabupaten, cluster 3 terdiri dari 5 kota, dan cluster 4 terdiri dari 1 kota.
63
6. Metode Average Linkage Metode Average Linkage adalah metode pengelompokan yang jarak antara dua cluster didefinisikan sebagai rata-rata jarak seluruh pasangan yang berada dalam satu cluster dengan cluster yang lain. Langkah-langkah pengelompokan menggunakan metode average linkage adalah sebagai berikut: Menghitung jarak dua objek berdasarkan persamaan (3.9), kemudian memilih dua pasang objek yang memiliki jarak paling dekat. Dari Lampiran 12 terlihat bahwa objek nomor 21 (Kab. Demak) dan nomor 24 (Kab. Kendal) bergabung menjadi satu cluster dengan jarak 0,011. Selanjutnya, menghitung jarak antara cluster yang telah terbentuk pada tahap pertama (Kab. Demak & Kab. Kendal) dengan cluster yang lain menggunakan persamaan (3.11). Dari Lampiran 12 terlihat bahwa objek yang bergabung selanjutnya adalah objek nomor 22 (Kab. Semarang). Kab. Semarang inilah yang mempunyai jarak paling dekat dengan (Kab. Demak & Kab. Kendal) daripada kabupaten/kota yang lainnya. Adapun jarak antara (Kab. Demak & Kab. Kendal) dan Kab. Semarang adalah sebagai berikut: (3. 24) Begitu seterusnya sampai semua kabupaten/kota bergabung menjadi satu cluster. Untuk mempermudah proses pengelompokkan kabupaten/kota di Jawa Tengah menggunakan metode Average Linkage, digunakan program
64
SPSS 20. Tahapan pembentukan cluster dapat dilihat dari output SPSS bagian agglomeration schedule (Lampiran 12). Pada tahap pertama, terlihat bahwa objek nomor 21 (Kab. Demak) dan nomor 24 (Kab. Kendal) bergabung menjadi satu cluster, karena memiliki jarak (pada kolom coefficients) paling kecil yaitu 0,011. Hal ini menunjukkan bahwa jarak antara kedua kabupaten tersebut merupakan jarak
yang
paling
dekat
dari
banyaknya
kombinasi
jarak
35
kabupaten/kota. Kemudian pada kolom next stage, menunjukkan angka 14 yang menjelaskan bahwa pada stage ke-14 proses pengelompokan dilanjutkan. Tahap kedua yaitu pada stage ke-14 terlihat objek nomor 21 (Kab. Demak) bergabung dengan objek nomor 22 (Kab. Semarang) dengan jarak 0,165. Jarak tersebut merupakan jarak minimal objek terakhir yang bergabung (Kab. Semarang) dengan dua objek sebelumnya yaitu (Kab. Demak dan Kab. Kendal). Perolehan jarak tersebut sama seperti persamaan (3. 24). Pada kolom next stage, menunjukkan angka 22 yang menjelaskan bahwa pada stage ke-22 proses pengelompokan dilanjutkan. Tahap ketiga yaitu pada stage ke-22 terlihat objek nomor 11 (Kab. Sukoharjo) bergabung dengan objek nomor 21 (Kab. Demak) dengan jarak 0,516. Jarak tersebut merupakan jarak minimal objek terakhir yang bergabung (Kab. Sukoharjo) dengan tiga objek sebelumnya yaitu (Kab. Demak, Kab. Kendal, dan Kab. Semarang). Pada kolom next stage, menunjukkan angka 27 yang menjelaskan bahwa pada stage ke-27 proses
65
pengelompokan
dilanjutkan.
Demikian
seterusnya
dari
stage
27
dilanjutkan ke stage 31 sampai ke stage terakhir, sehingga semua objek bergabung menjadi satu cluster. Banyaknya cluster dapat ditentukan dengan melihat dendogram (Lampiran 13). Tahap terakhir penggabungan terlihat bahwa cluster digabung dengan jarak yang tinggi. Penggabungan ini menyebabkan kesamaan (homogenitas) yang rendah antar anggota dalam suatu cluster. Karena akan dilakukan perbandingan hasil cluster dengan metode Ward, maka ditetapkan banyaknya cluster yang terbentuk sebanyak empat cluster. Anggota-anggota tiap cluster dapat dilihat pada output cluster membership (Lampiran 14) dan dapat ditunjukkan pada tabel di bawah ini: Tabel 3.12. Cluster Membership Metode Average Linkage No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Cluster 1 Kab. Cilacap Kab. Pemalang Kab. Tegal Kab. Brebes
Cluster 2 Kab. Banyumas Kab. Purbalingga Kab. Banjarnegara Kab. Kebumen Kab. Purworejo Kab. Wonosobo Kab. Magelang Kab. Boyolali Kab. Klaten Kab. Sukoharjo Kab. Wonogiri Kab. Karanganyar Kab. Sragen Kab. Grobogan Kab. Blora Kab. Rembang Kab. Pati Kab. Kudus
66
Cluster 3 Cluster 4 Kota Magelang Kota Semarang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Pekalongan Kota Tegal
No 19 20 21 22 23 24 25
Cluster 1
Cluster 2 Kab. Jepara Kab. Demak Kab. Semarang Kab. Temanggung Kab. Kendal Kab. Batang Kab. Pekalongan
Cluster 3
Cluster 4
Dari tabel 3.12 terlihat bahwa cluster 1 terdiri dari 4 kabupaten, cluster 2 terdiri dari 25 kabupaten, cluster 3 terdiri dari 5 kota, dan cluster 4 terdiri dari 1 kota. 7. Penentuan Metode Terbaik Setelah terbentuk 4 cluster dari masing-masing metode, dilakukan penentuan metode yang menghasilkan hasil cluster terbaik. Pengecekkan dilakukan menggunakan simpangan baku dalam cluster (within cluster) dan antar cluster (between cluster). Adapun perhitungannya sebagai berikut: a. Metode Ward 1. Simpangan baku dalam cluster (
)
Diketahui cluster yang terbentuk sebanyak 4 buah (K = 4). Simpangan baku cluster 1, rata-rata nilai principal component tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 15 (tabel 1) dengan ratarata nilai principal component cluster 1
= 0,160444.
Berdasarkan persamaan (2. 6) diberikan perhitungan sebagai berikut:
67
Simpangan baku cluster 2, rata-rata nilai principal component tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 15 (tabel 2) dengan ratarata nilai principal component cluster 2
= -0,21369.
Simpangan baku cluster 3, rata-rata nilai principal component tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 15 (tabel 3) dengan ratarata nilai principal component cluster 3
68
= 0,01779.
Simpangan baku cluster 4 bernilai 0, karena cluster 4 hanya terdiri dari satu kota saja. Berdasarkan persamaan (3.12) diperoleh nilai simpangan baku dalam cluster (
) sebagi berikut:
2. Simpangan baku antar cluster ( ) Telah diketahui bahwa rata-rata nilai principal component cluster 1 = 0,160444, cluster 2 0,01779, cluster 4
= -0,21369, cluster 3
=
= 3,115045. Diberikan perhitungan rata-rata
seluruh cluster sebagai berikut:
=
Berdasarkan persamaan (3.13) diperoleh nilai simpangan baku antar cluster ( ) sebagi berikut:
69
b. Metode Average Linkage 1. Simpangan baku dalam cluster (
)
Diketahui cluster yang terbentuk sebanyak 4 buah (K = 4). Simpangan baku cluster 1, rata-rata nilai principal component tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 16 (tabel 1) dengan ratarata nilai principal component cluster 1
= 0,277563.
Berdasarkan persamaan (2. 6) diberikan perhitungan sebagai berikut:
Simpangan baku cluster 2, rata-rata nilai principal component tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 16 (tabel 2) dengan ratarata nilai principal component cluster 2
70
= -0,17257.
Simpangan baku cluster 3, rata-rata nilai principal component tiap kabupaten/kota dapat dilihat pada Lampiran 16 (tabel 3) dengan ratarata nilai principal component cluster 3
= 0,01779.
Simpangan baku cluster 4 bernilai 0, karena cluster 4 hanya terdiri dari satu kota saja. Dengan menggunakan persamaan (3.12) diperoleh nilai simpangan baku dalam cluster (
) sebagi berikut:
71
2. Simpangan baku antar cluster ( ) Telah diketahui bahwa rata-rata nilai principal component cluster 1 = 0,277563, cluster 2 0,01779, cluster 4
= -0,17257, cluster 3
=
= 3,115045. Diberikan perhitungan rata-rata
seluruh cluster sebagai berikut:
=
Berdasarkan persamaan (3.13) diperoleh nilai simpangan baku antar cluster ( ) sebagi berikut:
Dari hasil perhitungan nilai simpangan baku dalam cluster (
) dan
simpangan baku antar cluster ( ) kedua metode, dicari perbandingan (rasio) dari kedua simpangan baku tersebut. Untuk lebih jelasnya, berikut disajikan tabel nilai simpangan baku dalam dan antar cluster:
72
Tabel 3.13. Simpangan baku dalam dan antar cluster Simpangan Baku simpangan
Metode Average Linkage
baku
dalam cluster ( simpangan
Metode Ward
)
baku
antar cluster ( ) Simpangan baku dalam cluster (
) metode Ward lebih kecil
daripada metode average linkage, sedangkan simpangan baku antar cluster ( ) metode Ward lebih besar daripada metode average linkage. Perbandingan (rasio) antara
dan
kedua metode sebagai berikut:
. Tabel 3.14. Perbandingan (rasio) Rasio
Metode Ward
dan
Metode Average Linkage
Dari tabel 3.14 terlihat bahwa rasio metode Ward sebesar lebih kecil daripada rasio metode average linkage sebesar . Metode yang mempunyai rasio terkecil merupakan metode dengan kinerja terbaik. Dengan kata lain, untuk mengelompokkan kabupaten/kota Provinsi Jawa Tengah berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan tahum 2014 lebih baik menggunakan metode Ward. 8. Penginterpretasian Hasil Cluster Untuk menginterpretasi dan memprofilkan hasil cluster digunakan nilai-nilai centroid tiap cluster. Centroid adalah rata-rata nilai objek yang
73
terdapat dalam cluster pada tiap variabel. Berdasarkan persamaan (2. 22) diperoleh nilai-nilai centroid tiap cluster untuk masing-masing metode sebagai berikut: a. Metode Ward Tabel 3.15. Rata-rata variabel pada setiap cluster Metode Ward Variabel (PDRB) (PP) (UP) (GB) (RLS) (RK) (PG)
Cluster 1
Cluster 2
Cluster 3
Cluster 4 4,01327
1,443998 3,20597 1,58368
Dari tabel 3. 15 dapat diinterpretasikan masing-masing cluster sebagai berikut: 1) Cluster 1 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel (pengangguran). Hal ini berarti bahwa pada cluster 1, penduduk yang tidak bekerja cukup banyak. Oleh karena itu, pemerintah dapat memprioritaskan bantuan tambahan lapangan pekerjaan pada daerah di cluster 1. 2) Cluster 2 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel
(rasio
ketergantungan). Hal ini berarti bahwa pada cluster 2, penduduk usia tidak produktif yang harus ditanggung penduduk usia produktif cukup banyak. Oleh karena itu, pemerintah dapat memberikan bantuan dengan membuat program-program usaha
74
mandiri untuk penduduk usia tidak produktif pada daerah di cluster 2. 3) Cluster 3 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel
(rata-
rata lama sekolah). Hal ini berarti bahwa pada cluster 3, tingkat pendidikan penduduknya cukup baik. 4) Cluster 4 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel (PDRB). Hal ini berarti bahwa pada cluster 4, pendapatan daerahnya sangat tinggi. Cluster 4 hanya terdiri dari satu kota, yaitu Kota Semarang. b. Metode Average Linkage Tabel 3.16. Rata-rata variabel pada setiap cluster Metode Average Linkage Variabel (PDRB) (PP) (UP) (GB) (RLS) (RK) (PG)
Cluster 1
Cluster 2
Cluster 3
Cluster 4 4,01327
1,443998 3,20597 1,58368
Dari tabel 3. 16 dapat diinterpretasikan masing-masing cluster sebagai berikut: 1) Cluster 1 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel (pengangguran). Hal ini berarti bahwa pada cluster 1, penduduk yang tidak bekerja cukup banyak. Oleh karena itu, pemerintah
75
dapat memprioritaskan bantuan tambahan lapangan pekerjaan pada daerah di cluster 1. 2) Cluster 2 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel
(rasio
ketergantungan). Hal ini berarti bahwa pada cluster 2, penduduk usia tidak produktif yang harus ditanggung penduduk usia produktif cukup banyak. Oleh karena itu, pemerintah dapat memberikan bantuan dengan membuat program-program usaha mandiri untuk penduduk usia tidak produktif pada daerah di cluster 2. 3) Cluster 3 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel
(rata-
rata lama sekolah). Hal ini berarti bahwa pada cluster 3, tingkat pendidikan penduduknya cukup baik. 4) Cluster 4 mempunyai nilai centroid tinggi untuk variabel (PDRB). Hal ini berarti bahwa pada cluster 4, pendapatan daerahnya sangat tinggi. Cluster 4 hanya terdiri dari satu kota, yaitu Kota Semarang.
76