BAB III PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIa
A. SEBAB-SEBAB PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA Sejak dikenalnya ilmu mengenai iklim, para ilmuwan telah mempelajari bahwa ternyata iklim di Bumi selalu berubah. Dari studi tentang jaman es di masa lalu menunjukkan bahwa iklim bisa berubah dengan sendirinya, dan berubah secara radikal.
Sampai baru pada abad 19, maka studi mengenai iklim mulai mengetahui tentang kandungan gas yang berada di atmosfer, disebut sebagai gas rumah kaca, yang bisa mempengaruhi iklim di Bumi. Gas rumah kaca adalah sebagian radiasi gelombang pendek yang dipancarkan oleh bumi diserap oleh gas-gas tertentu di dalam atmosfir. 32 Efek rumah kaca sendiri, seharusnya merupakan efek yang alamiah untuk menjaga temperatur permukaaan Bumi berada pada temperatur normal, kalau tidak, maka tentu saja tidak akan ada kehidupan di muka Bumi ini.
Pada sekitar tahun 1820, Fourier menemukan bahwa atmosfer itu sangat bisa diterobos (permeable) oleh cahaya Matahari yang masuk ke permukaan Bumi, tetapi tidak semua cahaya yang dipancarkan ke permukaan Bumi itu bisa dipantulkan keluar,
32
Freddy Numberi, Op.Cit, hal 10
Universitas Sumatera Utara
radiasi infra merah yang seharusnya terpantul terjebak, dengan demikian maka atmosfer Bumi menjebak panas (prinsip rumah kaca).
Pada tahun 1850, Tyndall menemukan bahwa tipe-tipe gas yang menjebak panas tersebut terutama adalah karbon-dioksida dan uap air, dan molekul-molekul tersebut yang akhirnya dinamai sebagai gas rumah kaca, seperti yang kita kenal sekarang.
Arrhenius kemudian memperlihatkan bahwa jika konsentrasi karbon-
dioksida dilipatgandakan, maka peningkatan temperatur permukaan menjadi sangat signifikan.
Semenjak penemuan Fourier, Tyndall dan Arrhenius tersebut, ilmuwan semakin memahami bagaimana gas rumah kaca menyerap radiasi, memungkinkan membuat perhitungan yang lebih baik untuk menghubungkan konsentrasi gas rumah kaca dan peningkatan Temperatur. Jika konsentrasi karbon-dioksida dilipatduakan saja, maka temperatur bisa meningkat sampai 1°C.
Tetapi,
atmosfer
tidaklah
sesederhana
model
perhitungan
tersebut,
kenyataannya peningkatan temperatur bisa lebih dari 1°C karena ada faktor-faktor seperti, sebut saja, perubahan jumlah awan, pemantulan panas yang berbeda antara daratan dan lautan, perubahan kandungan uap air di udara, perubahan permukaan Bumi, baik karena pembukaan lahan, perubahan permukaan, atau sebab-sebab yang
Universitas Sumatera Utara
lain, alami maupun karena perbuatan manusia. Bukti-bukti yang ada menunjukkan, atmosfer yang ada menjadi lebih panas, dengan atmosfer menyimpan lebih banyak uap air, dan menyimpan lebih banyak panas, memperkuat pemanasan dari perhitungan standar.
Sumber terutama peningkatan konsentrasi karbondioksida adalah penggunaan bahan bakar fosil dimana di Indonesia terkenal berpotensi karena batu bara, minyak serta gas bumi yang sebenenarnya memuat bahan cemar tersebut, selain itu juga mengandung bahan cemar metan dan nitro oksida yang juga yang dikenal sebagai GRK yang mengancam kehidupan manusia. 33
Selain itu sampai sekarang Indonesia masih menggunakan bensin bertimah hitam yang meningkatkan kadar GRK dan merusak kesehatan. Kendaraan yang lalu lalang tidak mengenal batas usia sehingga menghasilkan kadar GRK tinggi yang mengotori udara. 34
B. DAMPAK-DAMPAK PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA
Dampak-dampak dari pemanasan global yang bisa di rasakan di Indonesia secara jelas adalah: 33 34
Emil Salim, Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Jakarta, 2010, hal 28 Ibid, hal 29
Universitas Sumatera Utara
1. Perubahan Curah Hujan Banyak cuaca ekstrim yang kemudian muncul di Indonesia apalagi bencana kekeringan. Ini berhubungan dengan menurunnya jumlah curah hujan. Penganalisisan curah hujan yang menurun adalah dari analisis curah hujan pada tiap bulan pada tahun 1970-1997 pada setiap provinsi. Dan ditemukanlah bahwa semua provinsi memiliki curah hujan yang tambah rendah pada beberapa tahun tersebut. Sumatra, Jawa dan Sulawesi secara konsisten menunjukkan penurunan curah hujan pada musim penghujan (april sampai dengan September atau mai sampai dengan oktober tergantung dari pola dari musim penghujan pada setiap provinsi). 35 Perubahan itu ditandai dengan terlambatnya awal musim hujan, sedangkan akhir musim hujan terjadi lebih cepat. Disisi lain, walaupun musim hujan itu berlangsung lebih singkat namun intensitas curah hujan sangat tinggi. Dengan semakin pendeknya musin hujan mengakibatkan periode musim kemarau bertambah panjang. Hal ini terjadi terutama di daerah yang terletak di bagian selatan kathulistiwa. 36 Perubahan pola curah hujan semacam ini telah tersas di pantai utara Jawa. Menurut hasil analisa yang dilakukan oleh BMKG, awal musim sudah mengalami
35
“INDONESIA COUNTRY REPORT:CLIMATE VARIABILITY AND CLIMATE CHANGES, AND THEIR IMPLICATION” di download dari http://www.undp.or.id/pubs/docs/Final%20Country%20Report%20%20Climate%20Change.pdf, pada tanggal 18 November 2010 36 Subandono Diposaptono, Budiaman, dan Firdaus Agung, Menyiasati Perubahan iklim, Bogor, 2009, hal 15
Universitas Sumatera Utara
perubahan. Di beberapa wilayah, masuknya awal musim sudah semakin mundur, di beberapa wilayah lain semakin maju. selain itu, perubahan yang terjadi adalah kenaikan curah hujan yang cukup tinggi pada saat musim hujan cenderung semakin tinggi dan lama musim kemarau semakin panjang khususnya di beberapa daerah seperti Pantai Utara Banten hingga Jawa Tengah.
2. Mencairnya Salju di Puncak Gunung Jayawijaya
Salju yang tadinya menyelimuti puncak gunung Jayawijaya, Papua pada tahun 1990 kini sudah tidak ada lagi. Lapisan es itu sudah mencair sejak tahun 2003. 37
3. Genangan di Lahan Rendah dan Erosi Pantai
Daerah pesisir pantai yang memiliki dataran rendah seperti Pantura Jawa, Pantai Timur Sumatera, Kalimantan, Pantai selatan Sulawesi, serta pulau-pulau kecil berelevasi rendah sangat rentan dengan terhadap kenaikan paras muka air laut karena kawasan ini akan tergenang. Akibat penggenangan tersebut, garis pantainya akan mundur, bergeser ke arah darat. Jauh-dekatnya pergeseran tersebut tergantung dari kemiringan pantai. Semakin landai pantai kian luas genangan yang terjadi.
Selain itu, kenaikan paras muka air laut mengakibatkan erosi pantai yang kian intensif. Apabila muka air laut rata-rata (mean sea level) naik, pantai berpasir atau 37
Subandono Diposaptono, Budiaman, dan Firdaus Agung, Op.Cit, hal 10
Universitas Sumatera Utara
pantai berlumpur akan menyesuaikan diri dengan kenaikan paras muka air laut dalam bentuk keseimbangan profil pantai baru (a new equilibrium profile). 38
Jika kita hanya mempertimbangkan perubahan profil pantai, sedimen yang berada di dekat pantai akan dibawa ke arah laut dan membentuk profil keseimbangan baru. Akibatnya garis pantai itu mundur. Keseimbangan baru ini lebih dikenal dengan hukum bruun (Bruun Rule). Berdasarkan konsep ini, dapat dihitung besarnya garis pantai yang mundur tadi.
Seperti diketahui, pantai di Indonesia kini mengalami erosi pantai yang menghawatirkan akibat ulah manusia. Sebut saja penebangan mangrove yang kian merajalela, penambangan pasir yang dan karang, pembuatan bangunan yang menjorok ke laut, dan lain-lain. Kegiatan tersebut menyebabkan terganggunya keseimbangan transpor sedimen sejajar pantai (longshore sediment transport) atau tidak adanya peredaman energi gelombang yang pada gilirannya akan mengakibatkan erosi pantai.
Pantai selatan pada Pulau Bali yang diamati selama 10 tahun yaitu Pantai Kuta dan Pantai Sanur mengalami erosi. Diperkirakan kondisi gelombang datang selama waktu tersebut tidak banyak berubah. Berdasarkan hasil pengukuran tampang lintang tersebut dilihat bahwa landai pantai dan bentuk profil pantai
38
ibid, hal 54
Universitas Sumatera Utara
antara tahun 1978 dan 1988 relatif sama kecuali posisinya bergeser. Hal ini kemudian mendukung asumsi Bruun.
Kemunduran garis pantai berpasir umumnya tidak seberapa besar dibanding pantai berlumpur. Pada pantai berlumpur, erosi pantai akan lebih cepat lagi karena material halus akan tercuci.
Pada pantai berlumpur seperti di dataran Pantura, landai pantai pada umumnya relatif kecil. Sehingga besar nilai kemunduran garis pantai akan sangat besar. Dengan demikian daerah pesisir dengan pantai berlumpur sangat rawan terhadap kenaikan paras muka air laut. Di Indonesia daerah-daerah demikian yang banyak terdapat di Pantura Jawa, pantai-pantai di Pulau Kalimantan, pantai Sulawesi Selatan, pantai timur Pulau Sumatera, dan Papua.
4. Gangguan terhadap Kondisi Sosial Ekonomi
Gangguan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah :
gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera. Selain itu kemacetan lalu lintas yang terjadi akibat pengelolaan sitem transportasi yang tidak terpadu dan
Universitas Sumatera Utara
tidak mengacu pada rencana tata ruang wilayah, dan kurang mempertimbangkan daya dukung. 39
genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada
wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur,
Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua
hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta. gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional.
penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia.
5. Berkurangnya Luas Kawasan Pesisir dan Hilangnya Pulau-Pulau Kecil
Hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi
39
Indonesian Center for Environmental law, “Jurnal Hukum lingkungan”, IV (September, 1997), hal 30
Universitas Sumatera Utara
kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
Inventarisasi yang digarap oleh Departemen Kelautan dan Perikanan selama dua tahun (2005-2007) menyatakan bahwa dalam jangka waktu sesingkat itu Indonesia telah kehilangan 24 pulau kecil. Dengan rincian sebagai berikut. Di provinsi Nangroe Aceh Darusallam, Sumatera Utara, dan Papua masing-masing kehilangan 3 pulau. Lima pulau tenggelam di Riau. Sumatera barat kehilangan dua pulau kecil dan Sulawesi Selatan kehilangan satu pulau kecil. Kepulauan seribu yang berada di Privinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta lebih parah lagi. Kawasan ini kehilangan 7 pualu kecil.
Hilangnya pulau-pulau ini terjadi akibat erosi air laut yang diperburuk oleh kegiatan penambagan untuk kepentingan komersial, yaitu penambangan secara intensifdi sekitar pulau. Dimana terjadi pada Pulau Nipah yang berada di Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Nipah terletak di barisan terdepan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tragisnya merupakan titik dasar untuk menentukan batas territorial Indonesia yang berbatasan langsung dengan Singapura. Jadi apabila pulau tersebut tenggelam maka wilayah perairan Indonesia secara otomatis berkurang.
Berdasarkan IPCC sampai akhir abad ini permukaan laut akan naik hampir 1 meter dengan selang kepercayaan di atas 90 persen. Fenomena ini akan
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan kehilangan pulau kecil dalam jumlah yang lebih banyak dan membawa bencana besar.
Dengan asumsi di atas, Dr. Alex Retraubun dari Departemen Kelautan dan Perikanan memprediksi Pulau Miangas di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, yang memiliki ketinggian satu meter di atas permukaan laut dan dihuni oleh hampir 700 penduduk akan tenggelam. Pulau-pualu di Kepulauan Seribu dengan semua infrastuktur industruktur wisata bahari akan bernasib sama.
6. Pemutihan Karang (Coral Bleaching) dan Rusaknya Biota Laut
Riset membuktikan bahwa terumbu karang sulit untuk beradaptasi. Menurut Westmascott (2000), pengaruh perubahan iklim terhadap terumbu karang di bedakan atas perubahan fenomena fisik-kimia perairan seperti kenaikan permukaan laut, kenaikan temperatur laut, penurunan laju klasifikasi, perubahan pola sirkulasi samudra, dan peningkatan frekuensi kejadian badai.
Sisi negatif dari naiknya paras muka air laut adalah cahaya yang masuk ke terumbu karang semakin berkurang. Padahal biota ini jelas membutuhkan sinar matahari cukup
untuk
melakukan
proses
fotosintesis.
Akibatnya,
laju
pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang terhambat.
Sumber utama hancurnya terumbu karang akibat naiknya paras muka laut adalah sedimentasi. Sedimentasi ini berasal dari kian tingginya erosi pantai
Universitas Sumatera Utara
karena meningkatnya energi gelombang akibat perubahan iklim. Akibatnya, terumbu karang sakit dan mati terselimuti lumpur sedimen.
Selain itu kenaikan suhu air laut juga menjadi penyebabnya. Menurut Glynn, Brown dan Wilkinson naiknya temperatur air laut dan ditambah dengan makin seringnya kejadian El-Nino pada beberapa dekade terakhir ini menyebabkan pemutihan karang (Coral Bleaching) meningkat.
Coral bleaching yang terjadi jelas adalah di
Buleleng, Bali. Kondisi ini
mengancam posisi Indonesia di mata penyelam internasional. Dimana indonesia memperoleh penghargaan Diver Award sebagai peringkat ketiga setelah Maladewa dan Mesir untuk kategori Diver Destination of the Year.
Fenomena lain dari dampak perubahan iklim juga mengumbas terhadap kehidupan biota laut. Seperti diketahui laut punya andil dalam menyerap CO 2 di atmosfer. Hal itu tidak terlepas dari kegiatan fotosintesis dan respirasi oleh biota laut.
Menurut Caldeira dan Wickett, peningkatan CO 2 di atmosfer akan menyebabkan pengurangan pH air laut. Di sisi lain, banyak organisme laut yang menggunakan kalsium dan ion karbonat dari laut guna membentuk kerangka CaCO 3 .
Universitas Sumatera Utara
Menurut
eksperimen
berskala
laboratorium,
jika
CO 2 di
atmosfer
dilipatgandakan maka laju penimbunan zat kapur menurun sekitar 11-37 persen. Bagi Calcareous Algae, penurunannya lebih tajam lagi, sekitar 16-44 persen.
Pada laju penimbunan kapur yang rendah memerlukan waktu lebih lama untuk membentuk kerangka pada tubuh organisme yang bersangkutan. Akibatnya, densitas atau kerapatan dari terumbu karang itu rendah.
Atau dengan kata lain terjadi kerapuahan pada kerangka biota tersebut. Kasus ini analogi pada tulang manusia yang mengalami kerapuhan (osteoporosis). Dalam situasi seperti itu, kemampuan karang untuk tumbuh dan menahan terusan semakin berkurang.
7. Kebakaran Hutan
Meningkatnya kebakaran hutan di Indonesia juga sangan berhubungan erat dengan ENSO (El-Nino Southern Osciliation). Ditahun El-Nino, area hutan yang terbakar meningkat secara signifikan dan ini membuat kenaikan yang sangat besar pada jumlah karbondioksida di atmosfer. Kebakaran hutan di Indonesia lah yang bertanggung jawab atas peningkatan karbondioksida di atmosfer tersebut. Total area yang rusak akibat kebakaran hutan tersebut hampit mencapai 6,8 milyar hektar.
Universitas Sumatera Utara
Kebakaran hutan memiliki dampak langsung terhadap fisik lingkungan atau dinamai dengan ekosistem dari hutan. Dimana kebakaran hutan tersebut mengganggu fungsi hutan, mencemarkan daerah serapan air dan mengurangi keanekaragaman hayati dan diwaktu yang bersamaan juga mencemari atmosfer dengan karbondioksida. Penyakit yang diakibatkan oleh pencemaran udara termasuk infeksi pernafasan akut (ISPA), asma, bronkhitis, dan iritasi mata dan kulit. Jumlah total kasus penyakit yang timbul akibat kebakaran hutan di 8 porvinsi yakni Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan timur mencapai 9 juta kasus.
8. Wabah Penyakit
Berbagai penyakitpun
bermunculan
akibak
pemanasan
global
yang
disebabkan oleh berubahnya pola musim antara musim kemarau dan musim penghujan. Penyakit-penyakit tersebut adalah sebagai berikut:
Malaria
Angka kematian yang disebabkan oleh malaria cukup tinggi, sebesar 1-3 juta pertahun, dan 80 persennya balita serta anak-anak (WHO, 1997). Kaum lanjut usia pun tidak luput dari ancaman akibat perubahan iklim ini.
Dari pemantauan Yayasan Pelangi Indonesia, tercatat kasus malaria di Jawa dan Bali naik dari 18 kasus per 100 ribu pada tahun 1998, menjadi
Universitas Sumatera Utara
48 kasus per 100 ribu penduduk di tahun 2000. Kenaikan ini hampir 3 kali lipat. Sementara di luar Jawa dan Bali, terjadi peningkatan kasus sebesar 60 persen dari tahun 1998-2000. Kasus terbanyak ada di NTT, yaitu 16.290 kasus per 100 ribu penduduk.
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, diperkirakan 15 juta penduduk Indonesia menderita malaria dan 30 ribu di antaranya meninggal dunia (WHO, 1996).
Demam Chikungunya
Penyebab demam chikungunya adalah alfavirus, dengan vektor sama seperti vektor demam berdarah. Dengan demikian pengaruh iklim terhadap perkembangan chikungunya sama dengan demam berdarah. Sebesar 80% penderita mengeluhkan gejala nyeri pada snedi-punggung, tangan dan kaki. Chikungunya tidak menyebabkan kematian tapi harus beristirahat 3-5 hari. 40
Chikungunya terjadi di indonesia dimulai dari tahun 1982 setelah sebelumnya mewabah di India, Sri Lanka, Burma dan Thailand.
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
40
“Penyakit Infeksi Akibat Perubahan Iklim”, diakses dari http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php, pada tanggal 23 November 2010
Universitas Sumatera Utara
Substansi pencemar yang terdapat di udara dapat masuk kedalam tubuh melalui sistem pencemaran. Jauhnya penetrasi zat pencemar ke dalam tubuh bergantung kepada jenis pencemar. Partikulat berukuran besar dapat tertahan di saluran pernafasan bagian atas, sedangkan partikulat berukuran kecil dan gas dapat mencapai paru-paru. Dari paruparu, zat pencemar diserap oleh sistem peredaran darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
ISPA termasuk diantaranya adalah asma, bronkitis dan gangguan pernafasan lainnya. Beberapa za pencemar dikategorikan sebagai toksiks dan karsinogenik.
Memperkirakan dampak pencemaran udara di jakarta yang berkaitan dengan kematian prematur, perawatan rumah sakit, berkurangnya hari kerja efektif, dan ISPA pada tahun 1998 senilai dengan 1,8 trilyun rupiah dan akan meningkat menjadi 4,3 trilyun rupiah di tahun 2015.
Leptospirosis
Karena perubahan iklim yang terjadi mengakibatkan pendeknya musim penghujan di daerah tropis namun dengan curah hujan yang sangat tinggi menimbulkan kecenderungan banjir. Masa-masa setelah banjir
Universitas Sumatera Utara
banyak tergenang air-air yang mengandung bakteri leptospira yang terdapat pada urine tikus.
Manusia dapat terinfeksi leptospira melalui kontak dengan air, tanah atau tanaman yang telah dikotori air seni hewan yang menderita leptospirosis.
41
C. KESADARAN MASYARAKAT AKAN PERUBAHAN IKLIM YANG TERJADI DI INDONESIA
Tingkat kesadaran masyarakat akan perubahan iklim yang terjadi di Indonesia dapat di gololongkan menjadi dua golongan, yakni:
masyarakat dengan tingkat kesadaran rendah
Dalam kehidupan sehari-hari banyak yang kita jumpai anggota masyarakat
yang
tidak
perduli
terhadap
lingkungan
sekitarnya.
Ketidakpedulian itu terlihat dengan pola masyarakat yang masih saja membuang sampah tidak pada tempatnya seperti membuangnya dengan seenaknya di pinggir jalan.
Banyak masyarakat yang tidak menyadari bahwa pola hidup modern yang sekarang ini memiliki dampak yang sangat mempengaruhi 41
“Penyakit: Leptospirosis”, diakses dari http://www.infeksi.com/articles.php, pada tanggal 21 November 2010
Universitas Sumatera Utara
lingkungan dan kondisi bumi secafa keseluruhan. Kemakmuran yang semakin tinggi memberikan fasilitas kehidupan yang semakin mudah melalui perkembangan teknologi. Akibatnya penggunaan listrik terutama pada pemakaian rumah tangga menjadi sangat besar dan terus menerus seperti lemari es, AC, mesin cuci, computer dan sebagainya. Sedangkan kebiasaan berbelanja berlebihan menyebabkan bertumpuknya kantong plastik, piring, cangkir dan botol plastik.
Menurut Yayasan Wahan Lingkungan Hidup (WALHI) penggunaan kemasaan pada produk pangan untuk rumah tangga tangga cukup besar yaitu sebesar 10-30 persen setiap tahunnya. Sampah-sampah tersebut termasuk bahan yang sulit unutk dihancurkan dimana diperkirakan membutuhkan waktu 250 tahun untuk proses penghancuran alami.
Dalam penggolongan ini ada juga sebagian orang dengan tingkat kesadaran yang rendah bukan dikarenakan oleh ketidakperduliannya tetapi merupakan masyarakat awam yang memang tidak mengetahui apa sebenernya pemanasan global itu. Seperti masyarakat-masyarakat pedalaman yang tidak pernah mendapatkan sosialisasi akan pemanasan global.
masyarakat dengan tingkat kesadaran tinggi
Universitas Sumatera Utara
masyarakat dengan tingkat kesadaran ini adalah masyarakat yang mulai meminimalisir semua aktivitas yang menyebabkan pencemaran, berikut beberapa contohnya:
1. Menghutankan Mangrove
Cukup Rudianto seorang lelaki kelahiran 15 September 1976 yang menannam mangrove disela-sela tambaknya tidak perlu takut lagi apabila ada hantaman ombak besar di Desa Pabean Ilir, Kecamatan Pasekan, Kabupaten Indramayu.
Tidak seperti sebagian masyarakat disana yang senang menebang mangrove untuk membuka lahan yang kemudian dimanfaatkan untuk membuat tambak ataupun memanfaatkan kayu mangrove untuk berbagai keperluan lainnya. 42
Meskipun banyak dari masyarakat di Desa Pabean Ilir yang menebang mangrove, Cukup tetap bersikukuh pada pendiriannya. Mangrove yang ada di lahanya tetap dibiaarkan utuh. Malah sejak tahun 1999 ia pun merintis untuk menanam mangrove, termasuk di lahan-lahan gundul yang sudah tidak ada mangrovenya.
42
Subandono Diposaptono, Budiaman, dan Firdaus Agung, Op.Cit, hal 136
Universitas Sumatera Utara
Begitu juga dengan halaman rumahnya yang menghadap pantai. Lahan tersebut ia tanami mangrove. Tahap pertama ia menanam mangrove di lahan tersebut seluas 3 ha.
Ketika mangrove berumur 9 tahun, mangrove tersebut tampak tumbuh dengan lebat dan subur. Disekitar tanaman mangrove ia pun membudidayakan ikan bandeng. Hasilnya, ikan bandeng tersebut memiliki kualitas dan daya tahan hidup yang cukup bagus.
Tidak Cuma sampai disitu. Tahap kedua, ia kembali menanam mangrove seluas 10 ha. Begitu seterusnya, tidak ada waktu untuk tidak menanam mangrove. Bahkan meluas hingga desa tetangganya.
Total luas hutan mangrove yang telah ditanam sejak tahun 1999 sekitar 650 ha. Perinciannya, seluas 150 ha mangrove tumbuh subur di Desa Pabean Ilir dan 500 ha berada di Desa Lamaran Tarung.
Kearifan lokal dalam membudidayakan tanaman mangrove tersebut bisa menjadi contoh bagi desa-desa lain yang yang berada di pesisir. Betapa tidak, dengan menanam mangrove,
Universitas Sumatera Utara
selain hantaman ombak bisa diredam, juga mampu melindungi tambak dari terjangan gelombang pasang.
Lebih dari itu, mangrove mampu mengurangi emisi gas karbon dioksida yang menjadi biang keladi gas rumah kaca. 43
2. Kesederhanaan Pola Hidup Suku Bajo
Berdasarkan asal-usulnya Suku Bajo berasal dari kawasan Laut Cina Selatan. Hidup mereka selalu berpindah-pindah. Di Indonesia, awalnya suku ini berada di perairan Pulau Sulawesi.
Seriring dengan perkembangan zaman, mereka yang tinggal di atas perahu pun sudah mulai berkurang. Sebagai kecil dari mereka memang masih ada yang tinggal di atas perahu. Namun sebagian besar sudah menetap walaupun di atas laut atau disekitar perairan tenang di pulau-pulau karang.
Sejak itulah mereka membentuk perkampungan sendiri di atas laut. Mereka punya tradisi unik dimana bayi yang baru terlahir beberapa hari langsung diperkenalkan dengan laut. Kondisi tersebutlah yang menjadikan suku itu tidak bisa terlepas dari kehidupan laut. 43
ibid, hal 140
Universitas Sumatera Utara
Komunitas mereka pun terus bertambah. Ketika dirasa padat, sebagian dari mereka berpindah tempat. Alasan lain berpindah adalah jika ikan diperairan yang dihuni itu sudah menyusut. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden.
Kini, pemukiman suku Bajo tersebar di banyak tempat di perairan Pulau Sulawesi. Diantaranya di perairan Menado, Kendari, Kepulauan Togian, Selat Tiworo, Teluk Bone, perairan Makassar, serta Kepulauan Wakatobi (Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko). Meskipun tersebar berjauhan, mereka masih menjalin hubungan kekerabatan.
Kehidupan yang ditopang sepenuhnya oleh laut. Begitu juga dalam mencari nafkah yang mengandalakan dari hasil laut. Suku Bajo di Sama Bahari misalnya, umumnya berprofesi sebagai nelayan.
Dulu menangkap ikan dengan tombak, kini seiring dengan peradapan baru mereka sudah menangkap ikan dengan jaring, bagan apung, dan pancing.
Suku Bajo memiliki taktik dalam mendapatkan sumber air bersih. Dengan menggunakan pipa di dasar laut, air bersih
Universitas Sumatera Utara
disalurkan dari pulau tedekat. Sebelum itu, mereka harus mengangkut air bersih dengan perahu ke pulau terdekat.
Permukiman Suku Bajo di Desa Holomombo, Kecamatan Wabula juga menarik perhatian. Ditengah perkampungan yang padat itu mereka membangun sebidang tanah lapang untuk anakanak bermain bola. Tidak jauh dari lapangan tersebut, dibuat balai tempat berkumpul dan menonton siaran televisi. Dengan antenna parabola, mereka dapat menyaksikan siaran televisi. Unutk sumber listrik merek menggunakan generator.
Perkampungan Bajo sudah relatif modern. Mereka sudah memiliki sejumlah fasilitas umum seperti sekolah, madrasah, mushala, tempat pelelangan, dan penyimpanan ikan. Gang-gang pada
Perkampungan
Bajo
berupa
jembatan
kayu
yang
membentang panjang, lingkungannya elok dan bersih walaupun jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya agak rapat. Hal ini sangatlah berbeda dengan perkampungan nelayan
di pesisir
dimana biasanya kumuh dan bau amis selain itu lautnya juga dipenuhi berbagai sampah. Di Perkampungan Bajo, air launtnya sangat jernih, ikan-ikan kecil yang berenang diantara sela-sela tiang rumah terlihat jelas. Ikan dan biota laut di sekitar
Universitas Sumatera Utara
perkampungan itu sama sekali tidak terusik. Kepedulian Suku Bajo telah membuat alam bersahabat dengannya.
Suku Bajo memberikan pelajaran yang sangat berharga yaitu hematnya suku ini terhadap pemakaian listrik. Suku Bajo hanya menggunakan listrik pada waktu malam hari. Mereka juga tidak menggunakan alat transportasi yang digunakan masyarakat urban di darat sehingga tidak ada asap karbon dioksida yang diemisikan ke atmosfer. Langit di atas permukiman mereka selalu tampak biru, tidak terlihat debu atau gas polutan yang menyelimuti.
3. Kampung Banjarsari yang Ramah Lingkungan
Kampung Banjarsari terletak di Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan memang layak menjadi kawasan percontohan yang patut diteladani.
Kampung
ini
menerapkan
konsep
4R
yaitu
reduce
(mengurangi), reuse (memakai kembali), recycle (mendaur ulang), dan replant (menanam kembali). Sampah yang dihasilkan dari rumah tangga misalnya, ditekan sekecil mungkin atau dikurangi.
Universitas Sumatera Utara
Jika saja semua waga kota mau menerapkan program 4R seperti yang telah di garap warga Banjarsari, maka selain sampah dengan mudah disa ditaklukan, lingkungan alam juga terpelihara. Gas-gas buangan yang mengotori atmosfer di bumi bisa diserap melalui fotosintesis.
Kearifan lokal masyarakat yang tinggal di Kampung Banjarsari ini bisa dijadikan langkah yang tepat dalam menyiasati perubahan iklim yang mengintai keselamatan umat manusia.
D. UPAYA-UPAYA YANG TELAH DI LAKUKAN INDONESIA DALAM MENANGGULANGI PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA.
Setelah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim pada bulan Agustus 1994 melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994, dan Protokol Kyoto melalui UndangUndang Nomor 17 Tahun 2004, Pemerintah Indonesia kemudian melaksanakan komitmen tersebut dengan program kerja sama antara negara maju dan negara berkembang, yaitu melalui mekanisme pembangunan bersih atau CDM (clean development mechanism). CDM merupakan salah satu di antara mekanisme yang ada
Universitas Sumatera Utara
dalam protokol serta mitigasi perubahan iklim untuk mereduksi emisi GRK (gas rumah kaca). 44 Sepanjang tahun 2007, upaya pokok yang telah dilakukan dalam menanggulangi dampak perubahan iklim di Indonesia adalah antara lain: 1) Pelaksaan tugas Komisi Mekanisme Pembangunan Bersih (DNA-CDM) yang hingga tahun 2007 telah memberikan national approval terhadap 13 proyek CDM. 2) Revisi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memasukkan pasal tersendiri mengenai kebijakan berkenaan dengan perubahan iklim. 3) Penyusunan draft Strategi Nasional Adaptasi sebagai bagian dari proses komitmen pemangku kepentingan dalam melaksanakan adaptasi terhadap perubahan iklim. 4) Penyusunan Peraturan Presiden tentang Perubahan Iklim yang akan berfungsi sebagai peraturan payung dalam seluruh kegiatan terkait dengan pengendalian dampak perubahan iklim, baik dari aspek inventarisasi gas rumah kaca, pengembangan sistem pemantauan perubahan iklim dan dampaknya, mitigasi maupun adaptasi. 5) Penandatanganan Deklarasi Heart of Borneo (kawasan hutan hujan tropis di Kalimantan seluas 22 juta ha yang saling terhubung dan membentang 44
“Upaya Pengendalian Perubahan Iklim di Indonesia”, diakses http://jasoilpapua.blogspot.com/2010/06/upaya-pengendalian-perubahaniklim.html, pada tanggal 17 November
dari
Universitas Sumatera Utara
melintasi Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam) pada tanggal 12 Februari 2007. Deklarasi ini memuat komitmen bersama ketiga negara untuk mengelola kawasan hutan Kalimantan secara berkelanjutan.
Selain itu pada level kebijakan politik, ada upaya pengembangan kebijakan dan pelaksanaan program di sektor energi yang dikeluarkan pada tahun 2007, misalnya: 1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. 2) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Emisi Sumber tidak Bergerak bagi Ketel Uap. 3) Kelanjutan monitoring emisi pencemaran udara untuk sektor industri yang telah dilakukan KNLH melalui program PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) dan sektor transportasi melalui program langit biru. 4) Kelanjutan pelaksanaan Program Desa Energi Mandiri, yaitu program penyediaan sumber energi listrik dengan memanfaatkan tenaga air. 5) Pelaksanaan program Produksi Bersih dan Efisiensi Energi (CPEE/Cleaner Production and Energy Efficiency) untuk industri yang menggunakan energi intensif, seperti semen, besi dan baja, pupuk, pulp dan kertas, tekstil, pembangkit listrik, dll.
Universitas Sumatera Utara
6) Pengembangan kebijakan dan pelaksanaan program di sektor land use and land use change forestry (LULUCF) yang meliputi penanganan kebakaran hutan dan pengelolaan hutan berkelanjutan serta pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. 7) Upaya preventif kebakaran hutan yang meliputi: pemantauan dengan satelit, pemantauan di lapangan terhadap peru¬sahaan-perusahaan, pemantauan
kualitas
udara,
dan
pemberdayaan
masyarakat.
Dalam hal pencegahan, penanganan dan pengendalian dampak perubahan iklim, pemerintah Indonesia pun melakukan upaya pembentukan Tim Manggala Agni yang ber-tugas untuk memantau, mencegah, dan menanggulangi kebakaran hutan. Penanganan pada lahan yang terkena banjir dan juga untuk menghindari terjadinya banjir. Pengelolaan ini bertujuan untuk menghindari timbulnya emisi gas metana dari penumpukan sampah domestik akibat banjir.
Tidak hanya itu, sumber dari Departemen Kehutanan pun mencatat bahwa untuk menjamin penurunan emisi global, pemerintah juga mencanangkan kelanjutan Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (Gerhan) dan sejak tahun 2003 hingga 2007 telah tercapai penanaman pada area seluas 4 juta ha yang tersebar di 33 provinsi. Selain itu kelanjutan pelaksanaan Program Menuju Indonesia Hijau (MIH) yaitu
Universitas Sumatera Utara
program pengawasan kinerja kabupaten terhadap penaatan peraturan perundangundangan di bidang konservasi sumber daya alam dan pengendalian kerusakan lingkungan. Hal ini sejalan dengan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Upaya pelestarian lingkungan ini pun berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Revitalisasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut Berkelanjutan yang disusul pula dengan Penyusunan draft Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan.
Selanjutnya Penerbitan Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI) yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada bulan November 2007, untuk dapat dijadikan sebagai pedoman oleh berbagai instansi dalam melaksanakan upaya-upaya terkoordinasi dan terintegrasi untuk mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia pun telah menyusun sebuah kerangka penanganan dampak perubahan iklim, yakni Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) yang disusun oleh Bappenas beserta lembaga terkait serta akademisi dan profesional. ICCSR memuat strategi sembilan sektor penyumbang emisi yakni kehutanan, energi, industri, transportasi, limbah, pertanian, kelautan dan perikanan, sumber daya air dan kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
Berbagai wilayah di Indonesia amat rentan terhadap dampak perubahan iklim misalnya curah hujan, kekeringan, banjir, kenaikan permukaan air laut, cuaca ekstrem dan penyakit menular. ICCSR telah mengidentifikasi upaya yang perlu dilakukan dari mulai pengadaan data, penyusunan peraturan, penelitian, tata kelola hingga pengembangan teknologi dan kegiatan fisik. Seperti infrastruktur pelayanan kesehatan, akses air bersih, penggunaan benih hingga bangunan di pesisir. Pendanaan pengendalian dampak perubahan iklim ini berasal dari APBN serta sumber-sumber lainnya seperti mekanisme Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).
Universitas Sumatera Utara
BAB IV IMPLEMENTASI PROTOKOL KYOTO DI INDONESIA
A.
PROGRAM-PROGRAM
YANG
DICANANGKAN
PEMERINTAH
INDONESIA DALAM UPAYA MENGURANGI EMISI Dalam
mencapai
target
pengurangan
emisi,
pemerintah
Indonesia
mencanangkan beberapa program, yakni: 1. Coral Triangle Initiative (CTI) Indonesia melalui Presiden RI DR. Susilo Bambang Yudhoyono telah berhasil menggalang komitmen pengelolaan terumbu karang melalu CTI yang melibatkan berbagai negara di Asia dan Pasifik. Inisiatif ini sekaligus menggalang upaya penguatan sistem kemanusiaan dalam pengelolaan terumbu karang dan sistem alam unutk menjaga kelestarian ekosistem terumbu karang dalam mengantisipasi perubahan iklim. 45 Respon indonesia dalam rehabilitasi dan konservasi kelautan dan perikanan baik reional maupun internasional terus ditingkatkan. Kita patut berbangga bahwa indonesia melalui Presiden DR. Susilo Bambang yudhyono menjadi pengagas tentang Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security, sebuah forum koordinasi baru dalam pembangunan pengelolaan perikanan yang penting dan modern yang mencakup seluruh atau sebagian dari wilayah Zona Ekonomi Eksklusif 45
Freddy Numberi, Op. Cit, hal 117
Universitas Sumatera Utara
enam negara yaitu Indonesia, Timor Leste, Filipina, Malaysia, Papua Nugini, Kepulauan Salomon. Kawasan Coral Triangle ini mencakup luas sebesar 75.000 kilometer persegi, memiliki 500 spesies terumbu karang, 3000 spesies ikan. Sebaran hutan bakau terbesar di dunia, menyediakan tempat pemijahan dan pengembangbiakan ikan tuna yang menyediakan bahan baku industri ikan tuna di dunia derta sumber penghidupan 120 Juta penduduk dengan perputaran ekonomi sebesar 2,3 milyar dolar Amerika Serikat per tahun. Saat ini CTI telah berhasil menyepakati rencana kerja regional. Rencana tersebut difokuskan pada lima tujuan utama yang mencakup permasalahan adaptasi di Coral Triangle. Sumberdaya hayati Coral Triangle yang memberikan manfaat bagi umat manusia ini, sayangnya berada dalam ancaman seperti kegiatan penangkapan ikan berlebihan, penangkapan ikan secara dekstruktif, perubahan iklim dan polusi. Untuk menindaklanjuti masalah tersebut, pada bulan Maret 2006 Presiden RI telah mengeluarkan sebuah pesan resmi pada pertemuan kedelapan pihak pemerintah dalam konvensi keanekaragaman hayati (COP-8 CBD di Brazil) yang menekankan arti penting Coral Triangle. Pada Agustus 2007, Presiden RI DR. Susilo Bambang Yudhoyono menulis surat kepada 7 kepala negara (Filipina, Malaysia, Timor Leste, Papua Nugini, Kepulauan Salomon, Australia, dan
Universitas Sumatera Utara
Amerika Serikat) mengusulkan inisiatif Coral Triangle utntuk terumbu karang, perikananm dan ketahanan pangan. Pada tanggal 9 September 2007, CTI di deklarasikan pada pertemuan pemimpin APEC di Sydney. Segitiga terumbu karang yang melingkupi enam negara tersebut diakui oleh
pakar
kelautan
dan
perikanan
sebagai center
of
marine
megabiodiversity. Dalam CTI ini berhasil disepakati lima tujuan besar, yaitu:
“Bentang Laut Prioritas” (seascapes) ditetapkan dan dikelola secara efektif.
Pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan dilaksanakan secara menyeluruh.
Kawasan konservasi laut dan jejaringnya ditetapkan dan dikelola secara efektif dan bijaksana
Melakukan upaya-upaya adaptasi terhadap perubahan iklim
Perbaikan status species yang terancam
Inisiatif indonesia dalam meluncurkan program CTI tersebut menunjukkan betapa besar perhatian dan peran Indonesia dalam menyelamatkan sumberdaya pesisir mauapun wilayah pusat segitiga
Universitas Sumatera Utara
karang dunia tersebut. Inisiatif tersebut juga merupakan upaya kita dalam menghadapi perubahan iklim yang akan terjadi. 46
2. REDD di Indonesia (REDD-I)
Brazil dan Indonesia adalah dua negara teratas dalam hal berkurangnya hutan per tahun masing-masing 1,87 juta ha/tahun. Indonesia menyumbang sekitar 22,86% dari luasan hutan di 10 negara berkembang. Indonesia dikategorikan sebagai negara ketiga emisi terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina, akibat dari kebakaran hutan dan lahan gambut. Jika kebakaran hutan dan gambut dikeluarkan Indonesia berada dalam ranking ke 21. Kajian tentang efek kebakaran hutan dan lahan gambut pada 1997 memperkirakan sekitar 0,81-2,57 Gt karbon dilepaskan ke atmosfir yang menyumbang sekitar 13-40% emisi global tahunan yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil.
Indonesia termasuk negara pendukung REDD, karena skema ini tidak hanya melakukan perlindungan terhadap hutan-hutan yang ada dari deforestasi, tetapi juga memperbaiki hutan yang terdegradasi. Negara lain hanya membatasi skema deforestasi saja (RED) dengan alas an sukar untuk mengukur laju degradasi, dan bagaimana menilai keuntungan dari upaya restorasi hutan. 46
ibid, hal 122
Universitas Sumatera Utara
Karena deforestasi dan degradasi hutan menghasilkan emisi CO2, Indonesia memiliki manfaat yang potensial dari REDD. Potensi nilai kredit karbon di Indonesia sangat besar. Tetapi perhitungannya sangat bervariasi karena banyaknya ketidakpastian tingkat berkurangnya hutan dan nilai-nilai yang mungkin tercakup dalam emisi karbon. Dengan cara membagi dua rata-rata tahunan laju kehilangan hutan di Indonesia antara 2000 dan 2005, perkiraan nilai karbon kreditnya berkisar antara ,5 sampai ,5 miliar per tahun. Jumlah ini sangat besar jika dibandingkan dengan anggaran belanja negara tahunan dari Departemen Kehutanan. Hal ini memperlihatkan insentif ekonomi untuk menciptakan pendekatanpendekatan yang lebih baik dan lebih berkelanjutan bagi pemanfaatan sumber daya hutan.
Indonesia membentuk Indonesian Forest Climate Alliance (IFCA) pada Juli 2007. Aliansi ini merupakan suatu forum komunikasi, koordinasi, dan konsultasi bagi sekelompok ahli yang bergerak di bidang kehutanan dan perubahan iklim di Indonesia, terutama untuk menganalisa praktek skema REDD di Indonesia. Dikoordinatori oleh Departemen Kehutanan, IFCA beranggotakan pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, lembaga-lembaga saintifik dan mitra internasional. IFCA ini didukung oleh pemerintah Australia, Jerman dan Inggris di bawah koordinasi World Bank. Lembaga-lembaga lainnya yang berkontribusi
Universitas Sumatera Utara
yaitu dari CIFOR dan ICRAF, The Australian Greenhouse Office, Australian National University, Winrock Internationa, World Resource Institute, URS, Ecosecurities, The Nature Conservancy, WWF, Sekala dan Wetlands International.
Indonesia melalui IFCA telah menetapkan Road Map REDDI yang terbagi ke dalam 3 fase: 47
Fase Persiapan/Readiness(2007)
untuk penyiapan perangkat metodologi/arsitektur dan strategi
implementasi
REDD
I
komunikasi/koordinasi/konsultasi stakeholders, termasuk penentuan kriteria untuk pemilihan lokasi pilot activities,
Fase Pilot/transisi (2008-2012)
menguji metodologi dan strategi, dan transisi dari nonmarket
(fund-based)
ke
mekanisme
pasar
(market
mechanism)
47
Fase Implementasi penuh (2012 atau lebih awal)
“REDD-I Indonesia: Pengurangan Emisi”, diakses indonesia.org/redd/ , pada tanggal 15 Nobember 2010
dari
http://redd-
Universitas Sumatera Utara
dengan tata cara (rules and procedures) berdasarkan keputusan COP dan ketentuan di Indonesia.
Departemen
Kehutanan
berharap
bahwa
proyek
percontohan
(demonstration activities) dapat dilaksanakan antara tahun 2008 dan 2012, untuk mendapatkan proses pembelajaran sebelum REDD dilaksanakan sebelum perjanjian pasca Kyoto dilakukan. Proyek-proyek ini dilakukan dalam skala nasional, provinsi, kabupaten dan lokal
3. Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) Taman Nasional Meru Betiri merupakan representatif kawasan konservasi dengan banyak tantangan yang umum dihadapi untuk pengurangan emisi dan peningkatan karbon stok di satu sisi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan di sisi lainnya. Penyebab utama permasalahan ini adalah kurangnya pemberdayaan institusional untuk mencegah deforestasi, degradasi, dan hilangnya keanekaragaman hayati, serta belum tersedianya sistem yang kredibel untuk memantau perubahan karbon stok. Dalam upaya konservasi dan memulihkan sumberdaya dan jasa ekosistem hutan di taman nasional
Universitas Sumatera Utara
termasuk fungsi penyimpanan karbon, keberadaan kegiatan ini menjadi sangat penting. 48 Dr. Kirsfianti L. Ginoga menyatakan bahwa Kegiatan ITTO ini dapat menjadi pendorong yang sangat penting untuk akselerasi pencapaian tujuan pengurangan emisi dari detorestasi dan degradasi hutan (REDD) di Indonesia dan menjadi kegiatan percontohan untuk mengurangi emisi dan meningkatkan stok karbon hutan (REDD Plus). Seperti diamanatkan oleh keputusan COP termasuk Bali Action Plan dan Kopenhagen Accord. Program ini dibiayai oleh 7 & i holding Ltd (Japan) untuk mempromosikan Public-Private Partnership pada Hutan Konservasi di Indonesia. Secara umum kegiatan ini bertujuan untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi akibat deforestasi dan degradasi hutan serta untuk meningkatkan stok karbon hutan melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam konservasi dan pengelolaan Taman Nasional Meru Betiri. Tujuan spesifik dari kegiatan ini adalah sebagai berikut, Berkontribusi terhadap pengurangan deforestasi, degradasi hutan dan hilangnya keanekaragaman
hayati,
serta
peningkatan
karbon
stok
melalui
48
“TNMB Jadi Hutan Stok Karbon, Masyarakat Sekitar Hutan pun Berdaya”, diakses dari http://jemberpost.com/2010/06/tnmb-jadi-hutan-stok-karbonmasyarakat-sekitar-hutanpun-berdaya/, pada tanggal 17 November 2010
Universitas Sumatera Utara
peningkatan kesejahteraan masyarakat dan Public-Private Partnership, Untuk membangun sistem yang kredibel serta memenuhi kriteria dapat diukur, dapat dilaporkan dan dapat diverisikasi (MRV) untuk pemantauan perubahan pengurangan emisi dan peningkatan karbon stok. Sementara Output yang diharapkan dari proyek Peningkatan Nasional,
partisipasi
masyarakat
Pengembangan
alternatif
dalam sumber
ini adalah,
pengelolaan pendapatan
Taman untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan Taman Nasional Meru Betiri, Pengurangan dan pelaporan penebangan liar dan perambahan hutan, Penguatan kapasitas inventarisasi sumberdaya dan penghitungan karbon sehingga dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi, Menyiapkan sintesa laporan tentang baseline data dan perkiraan penurunan emisi serta peningkatan karbon stok. 4. Sumatera Sustainibility Fund (SSF) Sumatera adalah sebuah pulau dengan panjang 1800 kilometer dan lebar 400 kilometer dengan jumlah penduduk kurang lebih 49,6 juta orang. Tantangan yang terbesar dalam keberlanjutan ekosistem adalah tingginya tekanan terhadap sumberdaya alam pada proses pembangunan, 70% masyarakatnya masih bergantung kepada sumberdaya alam. Berdasarkan analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Hambatan dapat dijelaskan dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
1. Kekuatan
adalah
pada
nilai
strategis
dari
kekayaan
keanekeragaman hayati dan sumberdaya alam di berbagai sektor seperti kehutanan, pertanian dan perkebunan, perikanan dan
pertambangan
yang
potensial
dalam
mendukung
kelangsungan peningkatan kualitas hidup masyarakat. 2. Kelemahan adalah pada masih rendahnya upaya yang sistematis dan terintegrasi dalam pengelolaan
ekosistem
secara lestari, dibanding dengan laju ekstraksi sumberdaya alam, serta kesiapan dalam mitigasi dan adaptasi terhadap bencana alam yang menjadi bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan di Pulau Sumatera 3. Peluang adalah mulai tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pelestarian
lingkungan
hidup
dari
berbagaipihak
baik
pemerintah, swasta maupun masyarakat sipil, berkembangnya mekanisme insentif untuk green investment dan sustainable production serta perhatian dunia yang melihat posisi strategis Sumatera dalam memberikan dukungan pendanaan untuk kelestarian ekosistem Sumatera. 4. Ancaman adalah pada kerentanan alami pulau Sumatera terhadap bencana alam dalam bentuk gempa bumi ataupun banjir dan tanah longsor akibat kerusakan alam, tekanan
Universitas Sumatera Utara
perubahan iklim global dengan segala konsekwensinya termasuk konflik dalam pemanfaatan lahan untuk konservasi, biofuel dan pangan, perluasan perkebunan sawit termasuk pada lahan gambut, serta potensi konflik antara kepentingan pembangunan dengan kepentingan pelestarian ekosistem.
Dengan demikian maka dalam 5 tahun mendatang, SSF akan memberikan perhatian pada beberapa isu strategis yang disusun sejalan dengan visi ekosistem Sumatera 2020. Visi Ekosistem Sumatera 2020 adalah sebuah bentuk inisiatif yang telah berjalan diantaranya adalah Sumatra Initiative yang berbasis pada kesepakatan 10 Gubernur Se- Sumatera untuk Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera yang diduku ng oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Kehutanan. Sumatra Initiative bertujuan untuk pelestarian
ekosistem
guna
penyelamatan
menyeimbangkan
fungsi
ekologis
dan dan
pembangunan ekonomi masyarakat Sumatera, melalui penataan ruang Pulau Sumatera berbasis ekosistem,
restorasi
kawasan
kritis
untuk
perlindungan sistem, kehidupan, dan perlindungan kawasan yang memiliki nilai penting bagi sistem kehidupan, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.
Universitas Sumatera Utara
Dengan kata lain SSF merupakan sarana pendukung (supportsystem) bagi terwujudnya visi ekosistem Sumatera 2020, dimana pada lima tahun mendatang (2010-2014) akan berperan dalam penggalangan sumberdaya, khususnya pengelolaan dana lestari Sumatera dalam beberapa isu strategis seperti :
Mendukung para pihak dalam mengembangkan konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistem penting, serta mengembangkan restorasi kawasan kritis yang penting bagi sistem kehidupan di Pulau Sumatera.
Meningkatkan kapasitas para pihak dalam pengelolaan sumberdaya alam secara lestari sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Mendukung para pihak untuk mewujudkan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan dan tata ruang berbasis ekosistem.
Memperkuat para pihak dalam mitigasi dan adaptasi terhadap bencana alam dalam kerangka pendekatan ekosistem.
Universitas Sumatera Utara
B.
KEGAGALAN-KEGAGALAN
PEMERINTAHAN
PUSAT
DALAM
MENJALANKAN PROGRAM-PROGRAM DALAM PROTOKOL KYOTO Dalam upaya menurunkan emisi GRK pada atmosfer pemerintahan indonesia tidak hanya memiliki keberhasilan tetapi juga banyak mengalami kegagalan-kegalan dalam mewujudkan pengimplementasian Protokol Kyoto. Kegagalan-kegagalan tersebut, yakni: 1. Masih Maraknya Deforestasi dan Penghancuran Lahan Gambut Pemerintah dinilai gagal dalam mengatur hutan yang terbukti dari masih banyaknya deforestasi hutan yang terjadi. Hal ini diungkapkan Juru Kampanye Hutan Asia Tenggara, Bustar Maitar. Pada 2010 ini merupakan tahun uji emisi Indonesia. Tahun 2010 menjadi ujian awal bagi pemerintah Indonesia untuk benar-benar muncul dengan usulan konkret pengurangan emisi seperti yang dikomitmenkan oleh pemerintah pada pertemuan iklim Kopenhagen tahun lalu pada tahun 2009. Presiden Republik Indonesia di forum internasional telah mengumumkan komitmen akan mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia hingga 26 persen pada 2020, dan akan menjadi 41 persen jika ada dukungan internasional., tetapi, hingga saat ini pemerintah belum melakukan langkah maupun rencana konkret dalam upaya memenuhi target itu, terutama Kementerian Kehutanan sehubungan dengan deforestasi dan penghancuran lahan gambut yang menyumbang hingga 80 persen dari total emisi Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
2. Pemerintah
Gagal Menerapkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah. Konsep reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recycle (memanfaatkan kembali) tidak berjalan sebagaimana mestinya merupakan pernyataan Kepala Departemen Pemberdayaan Regional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Erwin Usman. Sementara itu, program pengelolaan sampah melalui konsep 3R (reduce, reuse, recycle) yang digalakkan Pemprov sejak 2007 mengurangi sampah sebesar 7 persen atau sekitar 29.344 meter kubik setiap hari atau 6.525 ton setiap hari. Pengurangan sampah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2007-2012 ditargetkan berkurang sekitar 12 -15 persen. Untuk mempercepat pencapaian program 3R, Dinas Kebersihan menempuh berbagai upaya, antara lain perlombaan lingkungan bersih dan sehat melalui kader-kader PKK, penerapan program 3R kepada keluarga miskin, pelajar di sekolah, dan perguruan tinggi. Pembinaan kader kebersihan ini dilakukan karena masalah sampah secara umum bersentuhan langsung dengan warga masyarakat. Para kader diajarkan cara memilah sampah serta memanfaatkan sampah menjadi suatu barang yang berhasil guna dan memunyai nilai ekonomis," terang Eko. Ia berharap berbagai kegi-tan
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan mampu mengejar target pengurangan volume sampah sebanyak 12-15 persen pada tiga tahun mendatang. ucm/M-3 49 3. Mafia Kehutanan Hasil riset yang dilakukan oleh Human Rights Watch pada tahun 2009 menemukan praktek korupsi dan mafia yang terjadi dalam sektor kehutanan di Indonesia menyebabkan kerugian negara sebesar 2 milyar dolar Amerika (atau kurang lebih Rp 20 Triliun) setiap tahunnya. Jumlah sebesar 2 milyar dolar yang hilang setiap tahun itu sama dengan gabungan seluruh alokasi anggaran untuk kesehatan nasional, provinsi dan kebupaten. Nilai kehilangan tahunan ini juga cukup untuk memberikan layanan dasar kepada 100 juta penduduk miskin selama hampir dua tahun. Kondisi ini sangat menyedihkan dan ironis dimana banyak daerah terpencil yang merupakan sumber pemasukan negara dari hasil kehutanan justru memiliki layanan dasar kesehatan yang paling buruk. Masyarakat yang tinggal di pinggir hutan - yang tengah dirusak untuk mempertebal kantung oknum pejabat - justru harus menempuh perjalanan yang sangat jauh untuk mendapat perawatan
dokter.
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki wilayah hutan terbesar di dunia, tetapi sekaligus merupakan salah satu negara yang memiliki
49
“Program Pengelolaan Sampah Dinilai Gagal” http://www.bataviase.co.id pada tanggal 19 November 2010
diakses
dari
Universitas Sumatera Utara
tingkat penggundulan hutan yang juga tertinggi. Indonesia dilaporkan meraup 6,6 milyar
dolar
Amerika
dari ekspor
sektor
kehutanannya
yang
sangat
menguntungkan. Dengan nilai ekspor yang sedemikian besar, Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Brasil dan lebih besar dari pada gabungan ekspor negara-negara di Afrika dan Amerika Tengah. Namun mereka yang mendapat keuntungan terbanyak dari pembalakan liar serta korupsi yang menyertainya sangat jarang diminta pertanggungjawabannya. Sebagian hal ini disebaban oleh perilaku korupsi yang terjadi dalam tubuh penegak hukum dan peradilan. Uang suap diberikan kepada polisi untuk memanipulasi barang bukti atau bahkan menjual kembali kayu hasil sitaan kepada pembalak liar. Suap juga diberikan kepada jaksa untuk memanipulasi tuduhan (kadang-kadang sengaja menggunakan pasal yang memiliki pembuktian yang lemah), dan kepada hakim untuk putusan yang menguntungkan. Uang suap yang diberikan kepada oknum pejabat utuk meloloskan pembalakan liar atau melanggar surat izin merupakan insentif yang sangat menggoda untuk menelantarkan pencatatan data yang akurat atau kegagalan membuat laporan terjadwal kepada kementerian pusat. Seungguhnya dalam rangka melawan praktek illegal logging di Indonesia, Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan Inpres No. 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Illegal logging di seluruh Indonesia. Inpres ini ditujukan kepada beberapa menteri, pejabat tinggi setingkat
Universitas Sumatera Utara
menteri, para gubernur dan para bupati/walikota. Inpres tersebut memerintahkan kepada para pejabat terkait untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan illegal logging. Secara khusus pula Inpres No. 4 Tahun 2005 memerintahkan kepada Kapolri dan Jaksa Agung untuk menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebang kayu secara ilegal, melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana di bidang kehutanan berdasarkan semua peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku,
dan
mempercepat
proses
penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara illegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap peniyidikan, tahap penuntutan maupun tahap eksekusi. Sejauh ini, Pemerintah sudah melakukan 5 (lima) kebijakan operasi pemberantasan illegal logging yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia seperti Wana Jaya, Wana Laga, Wana Bahari, Operasi Hutan Lestari I,II dan III. Sayangnya proses penegakan hukum yang dilakukan pemerintah dan aparat penegak hukum tersebut umumnya hanya berhasil menjerat pelaku ditingkat lapangan. Beberapa kasus yang melibatkan aktor utama seringkali dihentikan penyidikanya dan sedikit yang berhasil dilimpahkan ke pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), selama empat tahun terakhir (2005-2008) dari 205 orang pelaku illegal logging hanya yang telah diadili di pengadilan hanya 40 orang (19,51 %) yang tergolong pelaku utama seperti Direktur, Manajer, Komisari Utama, Pemilik Sawmill, Cukong, Penegak Hukum, Pejabat Dinas Kehutanan, Kontraktor, Warga Negara Asing. Dari jumlah tersebut sedikitnya 33 pelaku kakap divonis bebas. Selebihnya 165 orang ( 80,48 %) adalah pelaku kelas teri seperti operator, supir truk, dan petani. Dari semua yang diproses sedikitnya terdapat 137 orang (66,8%) yang telah dibebaskan oleh sejumlah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di Indonesia. Selebihnya, 44 orang (21,4 %) divonis dibawah 1 tahun penjara dan 14 orang (6,8 %) yang divonis antara 1 sampai 2 tahun penjara. Hanya sepuluh orang (4,8 %) yang divonis diatas 2 tahun penjara. 50
C. IMPLIKASI PROTOKOL KYOTO BAGI INDONESIA DALAM BIDANG POLITIK &HUKUM, BISNIS, DAN KELEMBAGAAN & SDM
Implikasi Protokol Kyoto bagi negara berkembang telah banyak di bicarakan di indonesia. Sebagian besar pembicaraan ini berlangsung secara sporadis tanpa tema
50
“Koalisi Anti Mafia Kehutanan” diakses dari http://www.antikorupsi.org/antikorupsi/?q=system/files/Pernyataan%20Pers%2 0Bersama_MAFIA%20HUTAN%2021%20April%202010.pdf , pada tanggal 25 November 2010
Universitas Sumatera Utara
dan koordinasi sehingga sulit dilakukan penilaian atau sintesis mengenai tingkat pemahaman masyarakat tentang proses Kyoto, isi dan maksud Protokol Kyoto. Kondisi semacam ini juga terjadi di banyak negara berkembang lainnya karena rendahnya prioritas lingkungan dalam agenda pembangunan dan terbatasnya sumberdaya yang tersedia. Upaya masyarakat bersama pemerintah untuk memahami isu baru ini masih perlu terus ditingkatkan. Disini peranan media menjadi sangat penting untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat secara efektif. Para pakar juga harus lebih banyak berdialog untuk membahas masalah-masalah aktual yang relevan dengan agenda nasional. 51
Dari pembicaraan yang sporadis tersebut untuk sementara keingintahuan masyarakat tentang implikasi Protokol Kyoto dapat dikelompokkan ke dalam tiga aspek yaitu politik dan hukum, ekonomi, dan kelembagaan. Implikasi ini dikaitkan dengan staus jika indonesia meratifikasi protokol Kyoto. Sehingga tidak mengherankan apabila terjadi banyak pro kontra. Masalahnya adalah bagaimana kita dapat menempatkan agenda nasional kita dalam konteks sebagai anggota masyarakat internasional. Dengan kata lain, jika Protokol Kyoto menjadi bagian dari hukum nasional yang harus ditekankan dalam implementasinya adalah bahwa kepentingan nasional kita tidak kita korbankan,
Implikasi Politik dan Hukum 51
Daniel Murfiyarso, Op.Cit, 107
Universitas Sumatera Utara
Secara hukum ratifikasi atau pengesahan suatu konvensi tidak selalu ditindak lanjuti dengan pengesahan Protokolnya. Jika ternyata ada negara yang mengesahkan Konvensi, tetapi menolak Protokolnya, itu adalah hak dari negara tersebut karena menurut pertimbangannya terdapat hal-hal yang merugikan. Dengan kata lain, perlu tidaknya pengesahan adalah kedaulatan setiap negara yang didasari berbagai pertimbangan politis, hukum nasional, dan finansial serta peluang melakukan pengembangan bisnis.
Secara politis indonesia sebagai bagian dari negara berkembang yang tergabung dalam kelompok G77 + Cina, sangatlah penting bagi Indonesia untuk menjaga solidaritas selama tidak mengorbankan kepentingan nasional. Sebab dalam negosiasi dukungan dan kekompakan tidak hanya diperlukan dalam saru hal saja, tetapi juga hal lain yang mungkin lebih rumit, sehingga menjaga kesatuan dan kebersamaan politis adalah penting. Hingga saat ini, sebagian besar negara yang telah mengesahkan Protokol Kyoto adalh negara berkembang. Bahkan sebagian besar diantara mereka adalah negara-negara kepulauan yang tergabung dalam AOSIS yang secara geografis memiliki kondisi dan tantangan yang sama dengan Indonesia. 52
52
Ibid, hal 109
Universitas Sumatera Utara
Sebagian negara-negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand juga telah mengesahkan Protokol Kyoto dengan alasan dan pertimbangan masing-masing. Solidaritas kepada sesama anggota ASEAN juga perlu ditunjukkan, meskipun isu perubahan iklim tidak pernah dibicarakan secara formal dalam forum ASEAN. Langkah yang diambil indonesia dalam mengesahkan dan meratifikasi Protokol Kyoto dalam menunjukkan kepeduliannya terhadap isu global tanpa harus mengorbankan kepentingan nasionalnya diperkirakan akan membawa konsekuensi politik dalam hubungan internasional yang menguntungkan bagi Indonesia. Dalam perspektif politik nasional, sektor energi sangat terkait dengan upaya perubahan iklim melalui pengurangan emisi GRK. Sektor energi merupakan sektor yang strategis untuk ditangani kearena poryek-proyek energi diperkirakan akan memiliki integritas lingkungan yang tinggi, kepastian yang lebih baik dan resiko yang lebih kecil. Di dalam keputusan CoP7 secara eksplisit dinyatakan bahwa energi terbarukan dan efisiensi energi mendapatkan prioritas yang tinggi. Bahkan proyek energi yang tidak lebih dari 15 GWh/tahun dan proyek-proyek energi yang mengimisikan kurang dari 15 kt CO 2 /Tahun akan mendapat perlakuan khusus untuk diimplementasikan dengan segera melalui prosedur yang sederhana dan jalur yang cepat. Proyek-proyek dengan skala kecil tersebut
Universitas Sumatera Utara
tentu akan mendorong pengembangan kelistrikan di luar sistem grid, misalnya daerah pegunungan (micro hydro power), daerah pedesaan (solar home system) dan daerah pantai (wind power). Masalahnya adalah hingga saat ini Indonesia belum memiliki undangundang yang mengatur masalah energi secara komprehensif dan menangani berbagai sumber energi. Hal-hal yang terkait dengan eneri hanya dikonsultasikan dengan berbagai pihak dan jika terjadi kesepakatan dituangkan dalan Kebijakan Umum Bidang Energi (KUBE) yang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Menurut keputusan CoP7 juga, aktivitas pada sektor kehutanan yang sampai saat ini diizinkan untuk dimasukkan ke dalam CDM (clean development mechanism) hanyalah reforestasi dan aforestasi. Pada dasarnya proyek CDM adalah proyek investasi dengan CER sbagai komoditasnya. Secara global, monitoring, verifikasi dan sertifikasi akan dilakukan oleh badan independen yang ditunjuk oleh badan pelaksana CDM. Secara nasiona pemerintah juga akan membentuk otoritas nasional, seperti yang diamanatkan dalam protokol kyoto, untuk menjembatani kepentingan investor dengan pihak tuan rumah dan kelembagaan global diatas. Namun, kita perlu memperhatikan kerangka peraturan nasional maupun regional atau daerah. Hal-hal yang terkait langsung dengan investasi adalah sistem perpajakan dan peraturan-
Universitas Sumatera Utara
peraturan yang terkait dengan investasi di daerah. Perlu di ingat bahwa otoritas nasional sudah tenty akan memungt biaya tranksaksi untuk biaya operasionalnya. Demikian juga dengan Badan Pelaksana CDM global sudah memutuskan akan memungut 2% dari dana CDM yang diinvestasikan.
Implikasi Bisnis Untuk mencapai target penurunan emisinya negara-negara industri dapat melakukannya secara domestik, teteapi dapat dipastikan bahwa cara tersebut akan memakan biaya yang sangat tinggi. Oleh karena itu, mereka pergi ke pasar karbon global diluar negeri melalui proyek-proyek investasi baru di berbagai sektor dengan menggunakan mekanisme Kyoto. 53 Sektorsektor yangdapat menurunkan emisi antara lain ialah energi, industri, transportasi,
kehutanan,
pertanian
dan
limbah
domestik.
Dalam
mekanisme kyoto, proyek yang absah akan menghasilkan CER bagi investor,
sementara
tuan
rumah
akan
mendapatkan
dana
tambahaninvestasi yang sesuai dengan banyaknya GRK setara karbon yang direduksi dan jumlahnya akan disahkan oleh badan pelaksana CDM yang telah terbentuk dalam CoP7.
53
Ibid, hal 115
Universitas Sumatera Utara
Sebagai negara berkembang Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya, tetapi dapat berpartisipasi melalui CDM. Menurut laporan National Strategy Study (NSS) on Clean Development Mechanism yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (2001) permitaan pasar karbon global adalah sekitar 800 juta ton CO 2 per tahun, 125 juta ton diantaranya dapat dilakukan melalui CDM. Penawaran terhadap pangsa pasar ini tentu saja akan datang dari berbagai pihak yang memiliki resiko rendah yang ditunjang oleh kerangka hukum dan kelembagaan yang jelas. Menurut studi yang sama peluang indonesia dalam pasar karbon global hanya 2 persen atau sekitar 25 juta CO 2 /tahun, sementara Indonesia dan Cina masing-masing memiliki peluang 20 dan 50 persen. Di tengah-tengah ketidakmatangan pasar, telah muncul beberapa negara maju dengan pasar CDM, antara lain negara Belanda dengan program CERUT. Skema ini memiliki dana sebesar satu milyar Euri per tahunnya. Kemudian disusul dengan Bank Dunia yang memfasilitasi pembeli dan penjual melalui skema Portfolio Carbon Fund, Community Development Carbon Fun, dan Bio Carbon Fund. Sektor energi dan transportasi di Indonesia memiliki peluang yang besar untuk mempromosikan energi terbarudan efisiensi energi. Dari sisi penawaran sumber-sumber energi terbaru perlui didorong pemanfaatannya
Universitas Sumatera Utara
dengan subsidi dari dana CDM sehingga mampu berkompetisi dengan BBM yang mendapat subsidi dari pemerintah. Sumber-sumber energi tersebut tidak hanya memiliki investasi yang tinggi tetapi juga memiliki biaya pembangkit yang mahal. Demikian juga dengan biaya distribusinya. Di antara sumber-sumber tersebut baru panas bumi dan panas surya yang memasuki tahap komersial, yang lain masih dalam tahap pilot project atau bahkan masih dalam tahap penelitian. Dari sisi permintaan promosi efisiensi energi akan memberikan insentif langsung ekpada konsumen, dengan demikian investasi baru untuk pembangkitan energi untuk sementara dapat ditunda dan dana negara dapat diprioritaskan untuk kepentingan lain. diantara proyek-poryek yang menghemat energi adalah cogeneration, combined cycle cogeneration, light switching, motor switching, dan home appliances. Masalahnya adalah kerangka peraturan dan kelembagaan yang mendorong upaya penggunaan energi ini belum memadai. Belum adanya undang-undang energi akan mempengaruhi iklim investasi melalui CDM. Karena investasi seperti ini memerlukan kepastian hukum jangka panjang yang ditunjang oleh kemampuan aparat yang memadai. Dengan ketentuan bahwa sektor kehutanan hanya boleh melakukan penyerapan emisi sebesar 1 persen dari jatah emisi negara-negara Annex I, maka pasar karbon global dari sektor ini hanya 140 juta tCO 2 /tahun. Hal
Universitas Sumatera Utara
ini tidak lain unutk memastikanbahwa tanggung jawab untuk menurunkan emisi berada di pundak negara maju dam sebagian besar dilakukan di dalam negrinya. Tetapi, harus diingat pangsa pasar tersebut juga akan memperebutkan penjual yang sudah siap. Definisi tentang reforestasi dan aforestasi juga masih dapat diusulkan dan disesuaikan dengan kepentingan nasional. Hambatan yang mungkin muncul dalam sektor ini adalah kerangka peraturan yang belum ada. Perhatian khusus perlu diberikan kepada PP Nomor 34 Tahun 2002 agar memungkinkan pelaksanaa proyek karbon hutan dalam ukuran yang memadai dan terintegrasi dengan pemanfaatan jasa lingkungan lainnya, Dengan terus melanjutkan program ketahanan pangan sektor pertanian dapat berpartisipasi dalam penurunan emisimetana dari budidaya padi sawah dan pengaturan pakan ternak ruminansia. Meskipun volume kemampuan nasional kita relatif rendah, metana memiliki potensi pemanasan global 25 kali lebih besar dibandingkan karbondioksida. Sebagai kegiatan investasi atau penyertaan modal asing, harmonisasi dan sinkronisasi dengan peraturan yang terkait dengan penanaman modal perlu segera disimulasi dan diimplementasikan. Kemungkinan proyek CDM mendapatkan keringanan pajak serta fasilitas intrumen fiskal lainnya akan meningkatkan daya tarik proyek CDM. Namun demikian,
Universitas Sumatera Utara
proyek CDM harus menghindari daftar investasi negatif yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Implikasi Kelembagaan dan SDM Agar indonesia dapat berpartisipasi dalam kegiatan CDM, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah mengesahkan Protokol Kyoto. Kemudian disusul dengan penyusunan peraturan yang akan berlaku secara nasional dan dirancang unutk memperlancar implementasi protokol. Jadi pengesahan protokol adalah prasyarat mutlak untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan CDM 54. Oleh karena itu pemerintahan pusat wajib mensosialisasikan agar pemerintahan daerah juga memiliki pemahaman yang sama tentang implementasi Protokol Kyoto melalui CDM. Kerangka peraturan daerah yang kondusif akan memberikan daya tarik tertentu bagi kemungkinan investasi. Mengingat kemungkinan investasi CDM juga dapat meliputi beberapa daerah yang harmonis juga dapat menjadi daya tarik yang lain. Selain itu kapasitas stakeholder perlu ditingkatkan agar mampu menyerap dan mengembangkan proyek bersama calon investor yang potensial. Stakeholder yang memiliki kemampuan lebih akan memiliki posisi tawar yang lebih baik pula, sehingga kemungkinan mendapatkan keuntungan lebih besar akan lebih baik. Tugas peningkatan kapasitas stakeholder perlu ditangani otoritas nasional itu sendiri. Program-program 54
Ibid, hal 120
Universitas Sumatera Utara
penyuluhan dan pelatihan perlu dirancang dan disusun untuk berbagai sektor dan daerah yang memiliki potensi untuk menerima dan mengembangkan proyek CDM. Indentifikasi awal tentang bentuk proyek dan yang mungkin terlibat serta potensi menghasilkan CER telah dilakukan pada dua kegiatan NSS baik pada sektor energi maupun kehutanan. Kedua studi tersebut mencantumkan project portfolio yang memerlukan tindak lanjut otoritas nasional dalam rangka peningkatan kapasitasnya Untuk membangun kelembagaan harus dirancang lintas sektoral multistakeholder agar mampu mengimplementasikan Protokol Kyoto secara efektif. Serta kelembagaan pemerintah melalui Komisi Nasional Perubahan Iklim (Designated National Authority, DNA) harus segera menetukan sebuah otoritas nasional yang akan mengurus semua kepentingn proponen proyek dan pemerintah seperti layaknya sebuah lembaga swasta yang memiliki mobilitas yang tinggi dan tidak terikat pada birokrasi yang rumit. DNA dapat terdiri dari badan penasihatyang mewakili berbagai sektor dan kepentingan masyarakat yang dibanut badan pelaksana yang melakukan kegiatan sehari-hari. Investor akan tertarik berbisnis dengan negara yang sudah siap, baik secara kelembagaan maupun perangkat peraturannya.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap perubahan iklim, pemanasan global dan implikasinya di Indonesia maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Protokol Kyoto merupakan langkah kecil sebagai instrumen implementasi UNFCCC tetapi memiliki arti yang sangat besar bagi upaya menstabikan konsentrasi GK di atmosfer unutk selanjutnya melindungi iklim bumi dari perubahan yang menbawa dampak buruk bagi kehidupan manusia. Langkah ini kecil karena komitmen penurunan emisi yang berhasil disepakati untuk periode komitmen I hanya 5 persen, jauh dari upaya menstabilkan konsentrasi GRK. Namun, bila dapat didemonstrasikan dengan baik, langkah awal ini akan mendorong para pihak untuk membuat langkah-langkah lain yang lebih berarti. 2. Implikasinya di Indonesia mencakup tiga aspek yaitu pada aspek politik dan hukum, aspek bisnis, dan aspek kelembagaan dan SDM. Bagaimanapun juga keputusan Indonesia dalam menandatangani dan meratifikasi Protokol ini yang menunjukkan rasa prihatin Indonesia mengenai pemanasan global yang terjadi pasti merupakan suatu keuntungan di bidang hubungan internasional.
Universitas Sumatera Utara
B. Saran Saran – saran berikut merupakan hasil dari penelitian yang terkumpul selam peneliti melakukan penelitian : 1. Pemerintah diharapkan bertindak tegas terhadap penerapan peraturan perundang-undangan yang sudah dikeluarkan di Indonesia. Dan pemerintah diharapkan tidak membawa kepentingan pihak-pihak tertentu
saat
membuat
peraturan
perundang-undangan
karena
perlindungan lingkungan masih minoritas ketimbang semangat mengeksploitasi. Ini dapat dilihat dari seperangkat aturan tentang sumber daya alam, yang diterbitkan sekedar untuk mengatur eksploitasi ketimbang konservasi. 2. Pemerintah
diharapkan
lebih
gencar
dalam
mesosialisasikan
pengetahuan terhadap pemanasan global kepada masyarakat Indonesia secara merata tidak hanya di kota-kota besar saja tetapi juga di pedalaman-pedalaman. 3. Sesegera mungkin membentuk Lembaga Pemerintahan Perubahan Iklim yang berdiri secara otonom dan memiliki kewenangan penuh dalam menindak tegas perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup di Indonesia
Universitas Sumatera Utara