42
BAB III KRONOLOGI DAN PROSES TERJADINYA SENGKETA AGRARIA AKIBAT PROYEK RAWASRAGI DI KECAMATAN PALAS KABUPATEN LAMPUNG SELATAN TAHUN 1983-2000
A.
Latar Belakang Terjadinya Sengketa Agraria Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan Berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya dalam suatu
lingkungan masyarakat, terdapat berbagai faktor yang mungkin menjadi penyebab munculnya suatu mobilitas sosial. Pertanian dalam lingkungan masyarakat agraris merupakan jaminan hidup bagi mereka dan tanah merupakan faktor utama sekaligus lambang kekuasaan dan prestise bagi seseorang sehingga tanah dapat memicu konflik di masyarakat. Di
Indonesia,
menurut
catatan
yang
ada
pada
Konsorium
Pembaharuan Agraria (KPA) mengungkapkan bahwa konflik agraria pada umumnya memiliki 6 corak penyebab yang semuanya berhubungan dengan model pembangunan yang dianut pemerintah Orde Baru yaitu : 1) Sengketa tanah yang disebabkan penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber yang dieksploitasi secara massif,
43
2) Sengketa tanah akibat program swasembada beras yang prakteknya terjadi penguasaan tanah terkonsentrasi
di
satu
tangan dan
membengkaknya jumlah petani tak bertanah, 3) Sengketa tanah di areal perkebunan, baik karena pengalihan dan penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) maupun karena Perkebunan Inti Rakyat (PIR) atau program sejenisnya, 4) Sengketa akibat penggusuran tanah untuk industri pariwisata, real estate, kawasan industri dan lain-lain, 5) Sengketa akibat penggusuran-penggusuran dan pengambilalihan pembangunan sarana-sarana yang dinyatakan sebagai kepentingan rakyat untuk kepentingan keamanan, 6) Sengketa akibat pencabutan hak atas tanah karena pembangunan taman
nasional
atau
hutan
lindung
dan
sebagainya
yang
mengatasnamakan kelestarian lingkungan. Berdasarkan enam corak penyebab munculnya konflik agraria menurut KPA, maka aksi sengketa masyarakat Kecamatan Palas termasuk dalam sengketa tanah yang disebabkan penetapan fungsi tanah dan kandungan hasil bumi serta beragam tanaman dan hasil di atasnya sebagai sumber yang dieksploitasi secara massif. Adapun faktor lain yang menyebabkan munculnya aksi sengketa agraria di Kecamatan Palas ini antara lain :
1. Faktor Historis
44
Menurut sejarahnya, lahan yang menjadi objek sengketa, dahulu merupakan hutan dan rawa yang ditumbuhi kayu renggas dan jati. Pembukaan lahan tersebut dimulai tahun 1971. Masyarakat mulai membuka lahan ini untuk dijadikan lahan pertanian. Masyarakat memanfaatkan lahan yang mereka buka untuk ditanami padi. Kepemilikan atas tanah didasarkan pada luas lahan yang mereka buka. Bukti-bukti kepemilikan atas lahan dikeluarkan oleh kepala-kepala kampung yang batas-batas lahan masih berupa lahan garapan milik orang lain, pohon, ataupun batu.1 Pembukaan lahan ini kemudian mulai ditertibkan oleh pemerintah pada tahun 1981. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 208/Mentan/1981 menyebutkan bahwa lahan tersebut disetujui untuk digunakan pelaksanaan Proyek Rawasragi. Proyek Rawasragi merupakan proyek pembukaan lahan yang melibatkan masyarakat atas bantuan dari pemerintah Belanda melalui program IGGI.2 Pemerintah Indonesia yang mendapat bantuan dari pemerintah Belanda lewat IGGI, kemudian melaksanakan Proyek Rawasragi. Proyek Rawasragi
merupakan
program
pembukaan
lahan
yang
melibatkan
masyarakat untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Pemerintah kemudian membentuk tim yang bertugas atas Proyek Rawasragi yang melibatkan BPN dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan.
1
Wawancara dengan Darmawan sebagai Perangkat Kecamatan, Pada Tanggal 22 Juni 2015 2 Wawancara dengan Sudarto sebagai Petani, Pada Tanggal 7 Agustus 2015
45
Program ini terdiri dari dua bagian, yakni Rawasragi I yang meliputi 6.400 hektare berdasarkan SK Gubernur No. 56/DJA/1983 tanggal 8 April 1982, dan Rawasragi II yang meliputi areal seluas 15.600 hektare berdasarkan SK Gubernur No. 27/DJA/1983 tanggal 19 Desember 1983 (seluas 5.026 hektare) dan SK No 133/DJA/1983 tanggal 29 Juni 1983 seluas 10.574 hektare. Proyek Rawasragi diawali dengan pengeringan air di rawa yang kemudian akan dicetak menjadi sawah. Pemerintah juga membangun saluran irigasi dan tanggul penangkis dari sungai. Saluran-saluran irigasi dibagi menjadi saluran primer dan sekunder. Saluran primer adalah saluran utama, sedangkan saluran sekunder merupakan saluran cabang. Saluran cabang inilah yang mengairi sawah-sawah yang sudah dicetak.
Gambar 1 Saluran Irigasi Primer di Kecamatan Palas Sumber : Dokumentasi Pribadi
46
Gambar.2 Sungai Way Sekampung Sebagai Sumber Utama Aliran Irigasi Sumber : Dokumentasi Pribadi Rawa yang sudah dikeringkan dan dicetak menjadi sawah tersebut, kemudian dilakukan pendataan oleh tim proyek rawasragi. Pendataan itu bertujuan untuk mengatur lahan yang diperuntukkan petani pembuka dan penggarap pertama yang sudah menguasai sejak tahun 1978. Pembagian tanah yang dilakukan pemerintah melibatkan pamong desa hingga pegawai kecamatan. Seleksi didasarkan dari daftar pemilu yang didapatkan dari kecamatan. Nama-nama yang terdaftar, akan mendapatkan lahan sawah tersebut. Penyeleksian yang didasarkan oleh nama-nama yang ada di daftar pemilu merupakan kebijakan tim seleksi. Hal ini dilakukan untuk benar-benar mendapatkan data yang valid tentang penduduk awal yang membuka lahan tersebut. 3
3
Wawancara dengan Rusnal Effendi Sebagai Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat BPN Lampung Selatan, Tanggal 6 Agustus 2015
47
Gambar. 3 Lahan Pertanian Proyek Rawasragi Sumber : Dokumentasi Badan Pertanian Kecamatan Palas Aturan pembagian lahan didasarkan pada peraturan pemerintah. Masing-masing akan mendapatkan minimal 1 hektare dan maksimal 2 hektare. Meskipun petani pembuka lahan pertama menggarap lahan yang dibukanya seluas lebih dari 2 hektare, tetap hanya akan diberikan 2 hektare. Begitupun petani pembuka lahan yang menggarap kurang dari 1 hektare, tetap akan mendapatkan lahan minimal 1 hektare. Keputusan pembagian lahan tersebut didasarkan pada surat keputusan Gubernur No 114 Tahun 1982.4 Tahun 1984, tim agraria mengeluarkan kartu hijau sebagai tanda bahwa petani boleh menggarap, masing-masing petani 1 hektare. Tim yang sama juga mengeluarkan kartu kuning bagi petani yang tidak terdaftar untuk menunggu atau nantinya akan ditingkatkan menjadi kartu hijau. Proses seleksi berakhir ketika tim pembebasan lahan mengumumkan siapa saja yang berhak mendapatkan lahan. Masyarakat yang dinyatakan lulus seleksi mendapatkan 4
Data diolah dari hasil berbagai wawancara pihak BPN Tanggal 6 Agustus 2015
48
kartu bewarna hijau. Mereka kemudian ditunjukkan lahan yang menjadi hak mereka. Masyarakat yang belum mendapatkan tanah, tetapi dinilai berhak, diberi kartu bewarna kuning sebagai tanda mereka akan masuk ke daftar tunggu. Masyarakat yang masuk ke daftar tunggu, akan diberi lahan hasil kelanjutan dari proyek Rawasragi I yaitu Rawasragi II. Setelah proses pendataan yang dilakukan oleh pemerintah selesai, pemerintah mengumumkan nama-nama yang berhak untuk mendapatkan lahan yang siap untuk digarap. Proses pengumuman itu dilanjutkan dengan mengantarkan masyarakat yang dianggap memenuhi persyaratan untuk mendapatkan lahan garapan ke lokasi lahan mereka. Akibat adanya penataan lahan oleh pemerintah membuat lahan yang selama ini digarap warga mengalami pergeseran. Pembagian tanah kepada warga yang dilakukan oleh Pemerintah membuat sebagian warga merasa tidak puas. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa lahan yang selama ini mereka garap sebelum adanya penataan oleh pemerintah, lebih subur atau lebih strategis. Akibat banyaknya warga yang merasa belum puas dengan hasil penataan, pemerintah mendirikan posko keluhan yang didirikan di Kecamatan Palas. Posko keluhan ini menerima semua keluhan warga termasuk warga yang merasa berhak mendapatkan tanah. Pembagian lahan pertanian kepada masyarakat yang dianggap berhak atas lahan yang mencakup 8000 Ha sejumlah 2470 penduduk. Masyarakat yang mendapatkan lahan seluas 1 Ha berjumlah 2470 sedangkan masyarakat
49
yang berhak atas lahan seluas 2 Ha berjumlah 2765 penduduk. Masyarakat yang mendapatkan lahan pertanian seluruhnya berjumlah 5235 penduduk. Mereka mendapatkan kartu bewarna hijau, sedangkan 750 penduduk diberikan kartu bewarna hijau.5 Masyarakat yang menerima kartu berwarna hijau adalah masyarakat yang secara resmi dinyatakan berhak mendapatkan bagian lahan pertanian. Masyarakat yang belum mendapatkan lahan padahal mereka sebenarnya berhak mendapatkan lahan mendapatkan kartu kuning sebagai tanda antrian untuk diberikan tanah oleh pemerintah. Setelah proses pembagian kartu hijau, pemilik kartu hijau akan dibuatkan sertifikat tanah oleh pemerintah. Selama proses pembuatan sertifikat oleh pemerintah, pemegang kartu tidak boleh memperjualbelikan tanah. Bahkan setelah sertifikat tanah diterbitkan, mereka dilarang melakukan jual beli selama kurang lebih 5 tahun. Penataan area pertanian yang dilakukan pemerintah membuat proses perubahan hak penguasaan tanah. Proses perubahan hak penguasaan tanah terjadi dikarenakan adanya SK Gubernur KDH Tingkat I Lampung No : 6/008/P.A/HK/1977 tanggal 28 Juni tentang pencabutan surat izin/surat-surat keterangan atas tanah yang pernah dikeluarkan oleh kepala-kepala negeri dan kepala-kepala kampung. Mulai tahun 1978-1979 hingga tahun 1983, petani menggarap hasil tebangannya untuk ditanami padi, palawija, dan sayurmayur. Tahun 1983 dilakukan pendataan oleh kantor agraria berdasarkan
5
Wawancara dengan Rusnal Effendi Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat BPN Lampung Selatan, 9 Desember 2015
50
Surat Keputusan Gubernur No: AG. 100/DA 4488/Lr/1983 tanggal 7 Desember 1983. 2. Faktor Struktural Diantara berbagai faktor penyebab munculnya perlawanan petani, faktor yang paling mendasar dari penyebab konflik bersumber dari struktur kekuasaan. Struktur ini menyangkut perilaku politik aparatur, mekanisme birokrasi beserta implementasi kebijakan dalam proyek pembangunan, toleransi parsipatoris dari keuasaan yang minim, yang diberikan penguasa kepada rakyat dalam hal mekanisme penyaluran aspirasi tentang penguasaan tanah. Proses pengambilalihan tanah oleh pemerintah secara struktural adalah benar. Benar dalam artian sesuai dengan prosedur yang berlaku. Namun munculnya sengketa di Palas merupakan implementasi dari sebuah prosedur pengambilalihan tanah yang dianggap benar namun ternyata terdapat kepincangan yang ditekan dengan intervensi dari aparat dan birokrat atau pamong praja. Intervensi yang dilakukan dianggap mampu meredakan atau bahkan menghilangkan sengketa yang mungkin terjadi, namun ternyata hal ini justru menimbulkan bahaya laten.6 Sengketa yang terus terjadi pada akhirnya hanya melibatkan antar sesama masyarakat. Pada masa pemerintahan Orde Baru, kekuatan militer yang begitu dominan membuat sengketa yang terjadi antara masyarakat dan
6
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. (Jakarta : Raja Grafindo Persada. 1993), hlm.18
51
pemerintah dapat diredam. Pada masa perubahan (reformasi) yang ditandai dengan jatuhnya Rezim Orde Baru, masyarakat mulai menyadari akan hakhaknya yang telah lama hilang, sehingga hal tersebut terakumulasi sebuah tuntutan dan berakibat munculnya gejolak-gejolak masyarakat yang menuntut pengembalian hak-hak mereka. Masyarakat menuntut dilakukan pengembalian hak tanah garapan dan kepemilikan tanah mereka. Tuntutan tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor antara lain sosial ekonomi, dan sejarah kepemilikan. Perkembangan masyarakat pedesaan mengalami perubahan dengan semakin sadarnya masyarakat akan pentingnya pendidikan membuat masyarakat menjadi terbuka dalam berpikir. Hal ini berimbas pada semakin terstrukturnya gerakan-gerakan petani yang memperjuangkan haknya. B. Perjalanan Aksi Sengketa Agraria Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan Memasuki akhir abad ke-20, masalah pertanahan menjadi isu sentral dengan munculnya gerakan-gerakan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh kurang atau lemahnya pengakuan hukum terhadap pengaturan dan pemilikan tanah sehingga konflik agraria semakin marak di masyarakat. Selain itu, perubahan-perubahan struktur politik dan ekonomi Indonesia yang begitu cepat membuat masalah pertanahan ini semakin mengkhawatirkan. Kondisi yang demikian itu sekaligus menjadi bukti bahwa tidaklah benar jika kaum tani tidak memainkan peran apa-apa dalam sejarah Indonesia. Mereka bukanlah sekelompok masyarakat yang bersikap masa bodoh, selalu penurut
52
dan pasrah kepada nasib. Hura-hura dan pemberontakan-pemberontakan petani yang terjadi berulang-ulang merupakan wabah sosial dalam sejarah Jawa, sekaligus bukti tentang peranan historis yang telah dimainkan oleh kaum tani.7 Petani merupakan kelas sosial yang mampu memainkan peran kunci dalam sejarah masyarakat tertentu. Peran ini disandang ketika mereka melakukan gerakan pergolakan atau perlawanan sosial. Gerakan ini bukan saja berdasarkan pada ketidakpuasan individual yang massif sifatnya, melainkan merupakan protes yang diorganisasikan sebagai suatu bahan sejarah sektor pedesaan dibanyak masyarakat.8 Gerakan sosial atau Social Movement yang terjadi di Indonesia pada umumnya bersifat endemis yang timbul sejak masyarakat tradisional mengalami berbagai perubahan sosial sebagai akibat penetrasi pemerintah yang semakin kuat. Hal ini dapat dilihat dengan masuknya uang dalam sistem ekonomi, serta faktor lain seperti tanah dan tenaga buruh. Perkembangan perdagangan dan industri pertanian menimbulkan perubahan struktur dalam masyarakat dengan semakin meluasnya sistem administrasi yang bersifat legal rasional, lembaga-lembaga politik tradisional semakin terdesak. Pendek kata, proses modernisasi dan birokratisasi, ditambah lagi dengan komunikasi dan
7
Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta : PT. Dunia Pustaka Jaya, 1984), hlm16-17 8 Henry A. Landsberger dan Yu G. Alexandrov, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Jakarta : CV. Rajawali, Hlm 1.
53
edukasi semakin menambah keberanian mengemukakan pendapat untuk memprotes kebijakan pemerintah atau penguasa.9 Sengketa agraria akibat Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas dibagi dalam dua kurun waktu, hal ini dikarenakan faktor-faktor seperti lingkungan, tingkat pendidikan masyarakat yang semakin tinggi dan faktor perpolitikan pada era tersebut. 1. Sengketa Agraria yang Terjadi Tahun 1984-1998
Kasus sengketa lahan pertanian yang terjadi di Kecamatan Palas merupakan sengketa antara pihak pemerintah dengan masyarakat yang menuntut pembagian lahan secara adil. Tanah yang disengketakan merupakan tanah proyek pertanian Rawasragi yang dilaksanakan oleh pemerintah. Program pemerintah ini dalam rangka menyukseskan cita-cita Negara yaitu swasembada beras. Tahun 1983 dilakukan pendataan oleh kantor agraria berdasarkan Surat Keputusan Gubernur No : AG. 100/D.A 4488/Lr/1983 tanggal 7 Desember 1983 masyarakat yang memiliki lahan garapan mendapatkan kartu kuning dari kepala desa sebagai tanda telah terdaftar sebagai pemilik. Meskipun demikian, terdapat warga yang tidak terdaftar walaupun memiliki tebangan, jumlahnya mencapai 250 KK. Warga yang tidak terdaftar kemudian
9
Sartono Kartodirjo, “Dialog”, Majalah Prisma No.1 Tahun I, 1 Januari, hlm. 28
54
mengajukan permohonan langsung ke kantor agraria.10 Warga yang masih menunggu diprosesnya laporan mereka, tetap menggarap lahan yang sudah mereka buka. Mereka menanami padi, palawija dan sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Menanggapi banyaknya laporan warga yang tidak terdaftar, akhir tahun 1983 melalui program Program Nasional Agraria (Prona) yang terdiri dari bupati, camat, kepala desa dan pihak BPN mengadakan pendataan ulang terhadap tanah yang dibuka oleh masyarakat setempat. Selama pendataan ini, masyarakat tetap mengusahakan lahannya karena pendataan hanya berupa pengecekan data dari peserta pemilu tahun 1971 dan pengecekan data dari kartu kuning yang telah dikeluarkan kepala desa setempat. Hasil dari pendataan yang dilakukan oleh tim Prona akan diserahkan kepada tim agraria untuk ditindaklanjuti. 11 Tahun 1984 tim agraria mengeluarkan kartu hijau sebagai tanda bahwa petani boleh menggarap masing-masing 1 hektare lahan. Tim yang sama juga mengeluarkan kartu kuning bagi petani yang tidak terdaftar untuk menunggu atau nantinya akan ditingkatkan menjadi kartu hijau. Namun demikian, dari daftar awal hanya kurang lebih 10 KK yang mendapatkan kartu hijau. Sepuluh KK tersebut bahkan masih ada yang tumpang tindih dengan adanya 2 kartu hijau atas 1 hektare lahan yang sama. Masih kacaunya sistem
10
Wawancara dengan Badarudin, sebagai Petani, Tanggal 7 Agustus
2015 11
Wawancara dengan Rusnal Effendi sebagai Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat BPN Lampung Selatan, Tanggal 8 Agustus 2015
55
pembagian tanah membuat pimpinan-pimpinan desa mengadakan rapat untuk membahas permasalahan ini.12 Tanggal 12 November 1984, Musyawarah pimpinan daerah (Muspida) Kecamatan Palas mengeluarkan berita tentang permasalahan yang timbul sebagai akibat pembagian tanah sawah proyek Rawasragi di dalam masyarakat. Berita tentang permasalahan itu berisi tentang kronologis kejadian Rawasragi dimulai dari pembukaan oleh warga, pemberian kartu kuning dari kepala desa, hingga yang terakhir adalah pembagian lahan yang dilakukan tim agraria. Muspida Kecamatan Palas juga menuliskan saran-saran dari hasil musyawarah mereka untuk mengusahakan agar penerima kartu kuning disegerakan menerima kartu bewarna hijau.13 Tahun 1985 tim agraria mulai menerapkan pembagian tanah sesuai dengan nomor kapling yang telah ditentukan oleh tim agraria. Petani penggarap yang sejak awal tidak mendapatkan kartu hijau padahal ikut membuka lahan hingga sempat mengusahakan lahannya tidak mau meninggalkan lahan mereka meskipun lahan itu sudah jatuh kepada warga yang memegang kartu hijau. Mereka tetap bertahan karena mereka merasa berhak atas lahan yang sudah mereka buka dan mereka usahakan. Warga yang memilih mempertahankan lahannya membuat proses pembagian tanah pertanian menjadi terhambat. Tim agraria tanpa melakukan perundingan, langsung menurunkan aparat militer ke masing-masing lahan yang belum bisa 12
Wawancara dengan Darmawan sebagai Perangkat Kecamatan, Tanggal 20 Juli 2015 13 Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 8 Agustus 2015
56
disalurkan. Warga yang tetap bertahan dipaksa untuk meninggalkan lahan pertanian yang diperebutkan. Mereka yang masih bersikeras menerima tindakan kekerasan berupa dimandikan dengan lumpur dan ditendang.14 Setelah menurunkan tim militer ke lahan-lahan yang diperebutkan, secara sepihak tim agraria melakukan seleksi kembali terhadap kartu hijau yang telah diterima masyarakat. Tim agraria melakukan hal ini dengan alasan banyak terjadinya keributan antara masyarakat yang sudah menerima kartu hijau dengan masyarakat yang merasa memiliki lahan pertanian karena sudah membuka lahan tersebut. Pendataan ulang ini banyak menyita kartu-kartu hijau milik masyarakat. Jumlahnya tidak diketahui dengan jelas, dan alasan penyitaan kartu hijau tidak dikemukakan oleh tim agraria. Tim agraria hanya mengemukakan bahwa kartu hijau yang disita tidak memenuhi syarat.15 Ketidakjelasan penyitaan ini kemudian menimbulkan rasa curiga dari masyarakat kepada tim agraria. Masyarakat yang kartu hijaunya disita kemudian mempertanyakan kepada tim agraria tentang jalan keluar permasalahan ini. Tim agraria kemudian mengganti kartu hijau masyarakat menjadi kartu kuning dengan alasan menunggu untuk dibukakan lahan di proyek selanjutnya. 16 Setelah pendataan tersebut, warga yang sempat mendapatkan kartu kuning kemudian mendapatkan kartu hijau sebagai tanda hak garap sambil menunggu keluarnya 14
Tim Pussbik, Tanah Lampung,Sengketa Pertanahan dan Perjuangan Rakyat Tani Lampung (Lampung: Pussbik, 2002), Hlm.26 15 Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 20 Juli 2015 16 Tim Pussbik, Tanah Lampung, Sengketa Pertanahan dan Perjuangan Rakyat Tani Lampung (Lampung: Pussbik, 2002), Hlm.26
57
sertifikat. Tidak semua warga mendapatkan ganti kartu kuning menjadi kartu hijau. Hal ini kembali menimbulkan banyak pertanyaan dan konflik di kalangan masyarakat. Dalam kenyataannya, beberapa sertifikat tanah justru diberikan kepada orang-orang atau pihak-pihak yang selama ini tidak ikut membuka lahan, termasuk diantaranya adalah para pejabat dan mantan pejabat setempat. Tanah-tanah yang dimiliki pejabat atau mantan pejabat tersebut telah terlebih dahulu digarap oleh masyarakat setempat sehingga mengakibatkan sengketa yang bersifat horizontal. Perlawanan masyarakat masih bersifat sederhana seperti melaporkan kepada pihak BPN atau pihak Kecamatan. Namun semua usaha pelaporan itu bersifat nihil dikarenakan sertifikat yang sudah keluar merupakan bukti yang sangat kuat dimata hukum. Warga yang tidak memiliki dokumen apapun tidak bisa lebih lama lagi bertahan diatas lahan pertanian mereka. Pada akhirnya petani yang membuka lahan pertanian terpaksa haris meninggalkan lahan yang sudah mereka usahakan. Petani yang sudah memiliki sertifikat diberi peraturan tidak boleh menjual lahan pertanian mereka sekurang-kurangnya 5 tahun. Hal ini diatur oleh tim agraria untuk mencegah terjadinya sengketa lanjutan. Meskipun begitu, masih ada petani yang menjual sertifikat tersebut dikarenakan mereka akan berpindah tempat tinggal, kebutuhan ekonomi dan menjualnya kepada pembuka pertama untuk menghindari sengketa antar sesama petani. Petani-petani yang sudah kehilangan lahan kemudian beralih profesi menjadi buruh tani dengan menggarap lahan-lahan milik orang lain. Hal ini
58
berlangsung secara turun temurun. Sengketa agraria di Kecamatan Palas kemudian
mereda
dikarenakan
petani
pembuka
sudah
tidak
ingin
memperjuangkan lahan pertanian mereka yang tidak kunjung mendapatkan jalan keluar.17 2. Sengketa Tanah yang Melibatkan antar Petani Tahun 1998-2000 Sejak jatuhnya rezim orde baru, rakyat seolah mendapatkan momentum untuk melakukan kembali perlawanan demi memperjuangkan dan memperebutkan
hak-haknya
kembali.
Bertahun-tahun
petani
yang
terpinggirkan dari tanahnya berjuang dan melakukan perlawanan untuk mempertahankan haknya, bahkan melalui jalan hukum. Saat reformasi bergulir, petani tidak membiarkan kesempatan untuk melakukan kembali perjuangan yang sempat tertunda. Kebijakan kapitalistik di bidang pertanahan tidak dipungkiri telah melahirkan rasa ketidakadilan yang harus ditanggung rakyat selama bertahuntahun. Negara yang secara konstitusional memiliki kewajiban untuk menyejahterakan dan memberikan keadilan kepada seluruh rakyatnya ternyata justru menggunakan otoritasnya untuk secara sengaja menjadikan hanya sekelompok orang saja yang menguasai sumberdaya agraria melebihi batas yang diperkenankan oleh undang-undang. Tindakan pemerintah yang tidak
17
2015
Data diolah dari Wawancara Penduduk Kecamatan Palas 8 Agustus
59
berpihak pada warganya, terutama yang miskin sesungguhnya adalah bentuk yang paling nyata dari tindakan kekerasan negara terhadap rakyat.18 Euforia reformasi membangkitkan kembali semangat juang untuk mendapatkan lagi hak atas lahan pertanian mereka. Sengketa yang sempat padam kembali memanas dikarenakan petani-petani maupun keturunan para pembuka lahan meminta kembali hak atas lahan mereka. Tahun 1998 menjadi babak baru bagi sengketa pertanian di Kecamatan Palas akibat dari adanya proyek pertanian Rawasragi. Petani-petani yang membuka lahan mendatangi lahan-lahan pertanian yang sudah berpindah hak milik. Mereka menuntut petani pemilik sertifikat untuk memberikan hak atas lahan pertanian mereka. Tuntutan mereka didasarkan pada pembagian lahan pertanian antara petani pemilik sertifikat dan petani pembuka lahan. Tidak memiliki cukup bukti tentang kepemilikan tanah membuat petani yang melakukan pembukaan atas lahan tidak menuntut petani pemilik sertifikat lewat jalur hukum. Mereka bergerak berdasarkan rasa kebersamaan antara petani yang membuka lahan namun tidak mendapatkan lahan yang diredistribusi oleh tim agraria.19 Tindakan-tindakan yang mereka lakukan antara lain mendatangi lahan-lahan pertanian yang mereka anggap merupakan hak mereka dan mengganggu petani-petani yang sedang mengolah sawah. Mereka menebar ancaman-ancaman kepada petani yang sedang menggarap
18
Masalah (Jakarta:
19
Wawancara dengan Lehan sebagai Petani, Pada Tanggal 8 Agustus
Mochammad Tauchid, Masalah Agraria: Sebagai Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia II, Tjakrawala,1952), hlm 17. 2015.
60
sawah mereka jika permintaan mereka untuk membagi lahan tidak dipenuhi. Upaya reclaiming lahan pertanian ini tidak hanya berlangsung di lapangan, petani-petani pembuka lahan mendatangi rumah-rumah petani pemilik sertifikat untuk mengemukakan tuntutan mereka. Tindakan reclaiming ini
membuat petani-petani pemilik sertifikat
merasa terganggu ketika menggarap lahan pertanian mereka. Semakin seringnya intensitas
petani pembuka lahan mendatangi lahan pertanian
membuat petani pemilik sertifikat akhirnya melaporkan masalah ini ke BPN Tingkat II daerah Lampung Selatan. Tahun 1999, petani pemilik sertifikat berbondong-bondong mendatangi kantor BPN Tingkat II Lampung Selatan untuk melaporkan permasalahan yang terjadi. Pihak BPN yang menerima laporan dari masyarakat segera berkoordinasi dengan pihak Pemerintah Daerah Lampung Selatan untuk
membahas tindak lanjut atas laporan
masyarakat Kecamatan Palas. Tindakan yang diambil pihak BPN dan Pemerintah Daerah Lampung Selatan adalah membentuk tim penyelesaian sengketa yang terdiri dari pihak Badan Pertanahan Nasional Tingkat II Kabupaten Lampung Selatan dan Pihak Pemerintah Daerah Lampung Selatan.20 Tim penyelesaian sengketa diketuai oleh Sugiarto, SH dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan dan langsung bekerja untuk mencarikan solusi guna menyelesaikan sengketa yang terjadi di Kecamatan Palas, Kabupaten Lampung Selatan. Langkah pertama yang dilakukan oleh tim 20
Wawancara dengan Rusnal Effendi sebagai Seksi Pengendalian dan Pemberdayaan Masyarakat BPN Lampung Selatan, Tanggal 8 Agustus 2015
61
sengketa lahan adalah memanggil secara bergantian pihak-pihak yang terlibat sengketa. Dalam hal ini tim penyelesaian sengketa memanggil perwakilan dari petani pemilik sertifikat dan petani yang merasa membuka lahan pertanian awal secara bergantian dan terpisah. Tahap pertama merupakan mendengarkan pendapat dari masing-masing pihak dan mencatat tuntutantuntutan mereka. Tahap kedua, tim sengketa lahan mengumpulkan data-data tentang peredistribusian lahan yang dilakukan tim agraria tahun 1983. Namun, tim agraria
pada
saat
peredistribusian
lahan
Proyek
Rawasragi
tidak
meninggalkan banyak data yang jelas sehingga tim penyelesaian sengketa kesulitan
untuk
mengetahui
proses
peredistribusian
lahan
yang
mengakibatkan sengketa ini terjadi dan tidak kunjung menemukan penyelesaian. Keterbatasan data ini menyebabkan kinerja tim penyelesaian sengketa mengalami hambatan. Selama proses penyelesaian sengketa ini berlangsung, petani pemilik sertifikat tetap mengusahakan lahan pertanian mereka meskipun masih disertai gangguan-gangguan dari petani pembuka lahan.21 Memasuki tahun 2000, tim penyelesaian sengketa mempertemukan kedua belah pihak dalam satu ruangan. Tim sengketa lahan memanggil masing-masing lima perwakilan dari pihak petani pembuka lahan dan petani pemilik sertifikat. Pertemuan tersebut berlangsung di kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung
21
Juli 2015
Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 20
62
Selatan. Pertemuan ini tujuannya adalah untuk menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan. Pertemuan ini kemudian menghasilkan berita acara yang diputuskan oleh ketua tim sengketa lahan. Berita acara tersebut terdiri dari beberapa poin, diantaranya adalah tim penyelesaian sengketa akan turun langsung ke lokasi lahan Rawasrgai tanggal 20 Januari 2000. Dua hari sebelumnya, tim penyelesaian sengketa akan bertemu dengan tokoh masyarakat dan pelaku sejarah di Balai Desa Bumi Restu. Poin dari berita acara yang paling krusial adalah poin yang menuliskan bahwa tim penyelesaian sengketa akan berkoordinasi agar petani pembuka lahan pertama mendapatkan separuh dari luas tanah milik petani yang memiliki sertifikat secara sah sambil menunggu keputusan selanjutnya.22 Poin terakhir dari berita acara tersebut membuat petani pemilik sertifikat merasa dirugikan. Pasalnya, mereka beranggapan bahwa mereka adalah pemilik yang sah dibuktikan dengan memegang sertifikat dan tidak mau membagi lahan mereka. Tim penyelesaian sengketa mengambil keputusan ini dilatarbelakangi kecurigaan tim sengketa lahan atas sertifikat yang mereka dapatkan berasal dari penyelewengan yang dilakukan tim agraria pada tahun 1983. Poin yang dirasa merugikan petani pemilik sertifikat sebaliknya membuat petani pembuka lahan merasa diuntungkan. Poin terakhir dari berita acara tersebut dijadikan dasar bagi petani pembuka lahan untuk menuntut pembagian lahan kepada petani pemilik sertifikat. Petani-petani pembuka 22
Wawancara dengan Nicholas sebagai Pegawai BPN Lampung Selatan, Pada Tanggal 8 Agustus 2015.
63
lahan mendatangi lahan pertanian dan mengusir petani pemilik sertifkat dari lahan pertanian mereka sendiri.23 Petani pemilik sertifikat yang semakin terganggu akhirnya mengadakan pertemuan antar sesama petani pemilik sertifikat yang lahannya disengketakan. Perundingan-perundingan tersebut akhirnya menghasilkan kesepakatan bahwa mereka akan menggelar aksi demo menuntut pencabutan berita acara yang dikeluarkan oleh tim penyelesaian sengketa. Tanggal 10 Februari 2000, petani-petani pemilik sertifikat melakukan unjuk rasa di depan Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Lampung Selatan. Mereka datang ke Kantor Pemerintahan Daerah dengan menumpang 10 truk, 7 pick up dan 6 angkutan pedesaan. Tuntutan mereka adalah tim sengketa lahan mencabut atau menghapus poin yang mengatakan harus membagi lahan yang disengketakan dengan petani pembuka lahan. Pada pukul 11.15 para petani berkumpul di depan halaman kantor Pemerintahan Daerah Lampung Selatan. Tak lama kemudian ketua tim penyelesaian sengketa mengajak perwakilan dari petani untuk berdialog dan mendengarkan tuntutan
mereka.
Dialog
dengan
ketua
tim
penyelesaian
sengketa
memunculkan anggapan dari pihak petani pemilik sertifikat bahwa ketika membuat berita acara tersebut, ketua tim penyelesaian sengketa berada di bawah tekanan.24 Hal ini mengindikasi bahwa telah terjadi penekanan berupa ancaman dari petani pembuka lahan. Ketua tim penyelesaian sengketa juga menyampaikan bahwa mereka hanya mengadakan mediasi dan tidak membuat 23
Data diolah dari Wawancara Masyarakat Palas 20 Juli 2015 Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 8 Agustus 2015. 24
64
keputusan, mereka hanya memberikan rekomendasi tanpa mempolitisasi permasalahan ini. Aksi demo di depan kantor Pemerintahan Daerah Lampung Selatan berdampak semakin tegangnya konflik antara petani penggarap dengan petani pemilik sertifikat. Salah satu desa yang mengalami ketegangan konflik adalah Desa Rejomulyo. Sebagian penduduk dari desa tersebut adalah petani pemilik sertifikat. Bulan Maret tahun 2000, ketegangan mencapai puncaknya ketika petani
pembuka
lahan
semakin
berani
mendatangi
lahan
dengan
mengandalkan berita acara yang belum dihapuskan oleh tim sengketa lahan. Sengketa yang terjadi secara horizontal ini terbawa hingga pada konflik yang menyentuh isu SARA.25 Pihak yang menginginkan tanah pertanian atau pihak dari petani pembuka lahan mayoritas bersuku bangsa bali dan mendiami Desa Bali Agung, sedangkan petani yang memiliki sertifikat mayoritas bersuku bangsa Jawa yang mendiami desa Rejomulyo. Kedua kubu yang terlibat sengketa ini tinggal secara berkelompok di dua desa yang terpisah. Hal ini membuat dua kelompok petani yang samasama menginginkan lahan pertanian merasa harus membela sesamanya. Suasana antara perkampungan perkampungan Jawa dan Bali semakin tegang. Bila malam tiba, mereka bergantian menjaga sekitar perkampungan dikarenakan ketakutan apabila suatu saat mereka akan diserang. Banyak penduduk wanita dan anak-anak diungsikan sementara ke rumah sanak
25
Wawancara dengan Dulhawi sebagai Petani, Pada Tanggal 8 Agustus 2015.
65
saudara di luar Kecamatan karena dikhawatirkan akan terjadi kericuhankericuhan yang membahayakan.26 Sejak dikeluarkannya berita acara oleh tim sengketa lahan pada bulan Januari tahun 2000, lahan pertanian yang disengketakan tidak diusahakan oleh petani pemilik sertifikat. Mereka menunda mengusahakan lahan pertanian tersebut sebelum kasus sengketa tersebut selesai. Hal ini berpengaruh terhadap penghasilan penduduk yang menurun dikarenakan profesi petani merupakan profesi utama mereka. Hubungan sosial penduduk juga diwarnai oleh saling curiga terutama antar warga masyarakat yang memiliki sertifikat dengan petani pembuka lahan. Ketegangan-ketegangan yang berlangsung hingga pertengahan tahun 2000 itu membuat aparat desa mendatangkan Dalmas sebanyak 10 kali dari Polres Lampung Selatan dan juga membuat posko-posko keamanan di desa. Mereka mempertemukan pihak masyarakat yang bertikai baik dari pihak pemilik sertifikat maupun petani pembuka lahan. Camat dan tokoh-tokoh masyarakat juga melakukan upaya perundingan damai namun tidak membuahkan hasil karena masing-masing pihak yang bertikai merasa benar. Terjadinya pertemuan-pertemuan antar warga yang bersengketa dengan berbagai pihak seperti BPN dan Pemerintah Daerah Lampung Selatan merupakan cara-cara penyelesaian sengketa agraria akibar Proyek Rawasragi Tahun 1983-2000. Masyarakat yang merasa menjadi korban telah menempuh berbagai cara untuk kembali mendapatkan haknya. Kerusuhan-kerusuhan 26
Juni 2015
Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 10
66
yang terjadi sepanjang sengketa ini membuat rakyat semakin gerah dengan sengketa yang terjadi diantara mereka. Sengketa yang awalnya melibatkan pemerintah dan rakyat, pemerintah sebagai pemeran utama terjadinya konflik ini, justru tidak menuntaskan permasalahan ini sampai selesai. Pemerintah lepas tangan atas konflik yang terjadi dengan berdalih bahwa semua pelaksanaan sudah sesuai dengan prosedur. Lepas tangannya pemerintah pada akhirnya menyisakan sengketa antara petani yang tidak mendapat bagian dengan petani yang sudah mendapatkan sertifikat.27 Gesekan-gesekan antar sesama petani yang sama-sama menjadi korban atas kebijakan pemerintah ini membuat kehidupan bermasyarakat di Kecamatan Palas menjadi renggang. Puncaknya, pada tahun 1999-2000, banyak petani yang menggelar aksi damai di kantor Pemerintah Daerah Lampung Selatan hingga menghasilkan poin-poin berita acara yang dikemudian hari menjadi sumber konflik yang lain. Rumitnya konflik yang terjadi membuat sebagian petani mulai menyerah dan akhirnya mundur perlahan. Hal ini terjadi di kedua pihak, baik yang menuntut kembalinya tanah meskipun mereka tidak memiliki bukti yang kuat, atau dari petani yang memiliki bukti yang kuat. Pihak petani yang menuntut kembalinya tanah mereka, satu persatu mulai mundur meskipun tidak semua dari mereka menyerah. Ada sebagian lain yang tetap bersikeras dengan berlandaskan poin berita acara yang ditanda tangani oleh ketua tim 27
Wawancara dengan Darrusalam sebagai Petani, Pada Tanggal 8 Agustus 2015.
67
sengketa lahan masih berusaha mendapatkan lahan pertanian mereka meskipun tidak sepenuhnya mendapatkan, melainkan hanya separuh dari lahan yang disengketakan.28 Pihak yang lain yaitu petani yang memiliki sertifikat, mulai merasa gerah dengan tekanan-tekanan dari pihak lawannya. Mereka merasa tidak aman untuk pergi mengolah sawah mereka dikarenakan sering terjadinya gesekan-gesekan dan ancaman-ancaman yang terjadi di area persawahan. Hal ini kemudian melatarbelakangi sebagian dari mereka untuk melepaskan separuh bahkan seluruh area persawahan yang menjadi sengketa kepada pihak lawannya.29 Menurut Miall et al (2000), satu kebiasaan khas dalam sebuah konflik atau sengketa adalah memberi prioritas yang tinggi guna mempertahankan kepentingan pihaknya sendiri. Jika kepentingan pihak A bertentangan dengan kepentingan Pihak B, maka A cendeung mengabaikan kepentingan B, atau secara
aktif
menghancurkannya.
Para
pemimpin
negara
diharapkan
mempertahankan kepentingan nasional dengan mengalahkan kepentingan pihak lain jika mereka terpaksa masuk ke dalam konflik. Terdapat lima pendekatan terhadap konflik, dibedakan oleh apakah perhatian bagi diri sendiri atau perhatian bagi orang lain adalah tinggi ataukah rendah. Satu pihak yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kepentingannya sendiri dan kepedulian yang rendah terhadap kepentingan pihak lain akan menghasilkan 28
Data diolah dari hasil wawancara warga Kecamatan Palas pada Juli
2015 29
Wawancara dengan Fatno Wahid sebagai Petani, Pada Tanggal 10 Juli 2015.
68
respon pertikaian atau menaklukan. Alternatif lain adalah untuk mengalah: ini mengimplikasi perhatian yang lebih terhadap kepentingan pihak lain dibandingkan kepentingan diri sendiri. Pilihan yang lain adalah menghindari konflik dan mengundurkan diri. Kemudian pilihan selanjutnya adalah mencari jalan untuk berkompromi dan mengakomodasi kepentingan kedua belah pihak. Alternatif terakhir dilihat sebagai satu tindakan yang direkomendasikan bila memungkinkan penghargaan yang tinggi bagi kepentingan diri sendiri dan kepentingan pihak lain. Ini mengimplikasikan penegasan yang kuat terhadap kepentingan sendiri, tetapi juga menyadari aspirasi dan kebutuhan pihak lain.30 Pada
kasus
sengketa
lahan
pertanian
Rawasragi,
pilihan
menyelesaikan sengketa pada akhirnya jatuh pada pilihan mengalah untuk menghindari sengketa yang lebih berkepanjangan. Tidak jelasnya sistem penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh tim penyelesaian sengketa yang terdiri dari pihak Badan Pertanahan Nasional Tingkat II Kabupaten Lampung Selatan dengan pihak dari Pemerintah Daerah Lampung Selatan membuat petani pembuka lahan dan petani pemegang sertifikat merasa terganggu dengan sengketa yang terjadi. Pihak petani pemegang sertifikat tidak bisa mengolah lahan pertaniannya dikarenakan pihak petani pembuka lahan yang hendak mengambil alih lagi lahan pertanian yang sudah mereka buka tetap tidak mau melepaskan lahan tersebut.
30
Tim Pussbik, Tanah Lampung,Sengketa Pertanahan dan Perjuangan Rakyat Tani Lampung (Lampung: Pussbik, 2002), Hlm.84-85
69
Pihak petani pembuka lahan juga tidak bisa sepenuhnya menguasai lahan pertanian dikarenakan pihak petani pemegang sertifikat sama-sama bersikeras tidakingin membagi lahannya. Ketidakjelasan ini pada akhirnya memunculkan rasa menyerah dalam perjuangan mendapatkan lahan. Penyelesaian sengketa ini pada akhirnya berujung dengan bertemunya petani pemilik sertifikat dengan petani pembuka lahan. Mereka bertemu secara sendiri-sendiri dan menyelesaikan permasalahan sengketa ini sesuai dengan kesepakatan masing-masing petani. Petani pembuka lahan sebagian memperoleh kembali lahannya dengan cuma-cuma dikarenakan petani pemilik sertifikat tidak ingin terus larut dalam sengketa yang berkepanjangan tanpa adanya kejelasan dari pihak tim penyelesaian sengketa. Mereka yang melepaskan lahannya dengan cumacuma dilatarbelakangi oleh ketakutan akan ancaman-ancaman yang diberikan oleh pihak petani pembuka lahan. Di lain pihak, petani pembuka lahan mendapatkan lahannya kembali dengan sistem membeli lahan. Petani pemilik sertifikat menjual lahan pertanian yang disengketakan beserta sertifikat lahan kepada petani pembuka lahan meskipun dengan harga dibawah rata-rata penjualan tanah. Tidak semua petani pembuka lahan berhasil mendapatkan lahan pertaniannya lagi. Ada sebagian dari mereka yang tetap tidak berhasil dikarenakan petani pemilik sertifikat tetap tidak mau memberikan lahan pertanian mereka dengan cuma-cuma ataupun dengan diperjual belikan. Petani pemilik sertifikat yang tetap mempertahankan lahannya merupakan petani yang memiliki kondisi keuangan yang berlebih sehingga bisa
70
memperkarakan kasus ini ke tahap persidangan jika petani pembuka lahan tetap bersikeras dengan keinginan mereka untuk mendapatkan lahan pertanian mereka kembali. C. Penyelesaian Sengketa Agraria Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan Masalah pertanahan di Indonesia tidak bisa ditangani dan diselesaikan dengan menggunakan pendekatan hukum saja, melainkan dengan pendekatan komperhensif seperti politik, sosial, budaya, ekonomi (kesejahteraan) dan ekologi. Yang tidak kalah penting adalah penanganan dan penyelesaian yang kuat dan berwibawa, koordinasi antar instansi pemerintah yang efektif, administrasi pertanahan yang berbasis teknologi dan penerapan prinsipprinsip good goverment good governance, manajemen konflik yang efektif efisien, strategi penanganan dan penyelesaian yang cepat, tepat dan efektif ditopang sumber daya manusia yang handal dengan kemampuan terlatih, baik di pusat maupun di daerah.31 Gerakan sosial atau Social Movement yang terjadi di Indonesia pada umumnya bersifat endemis32, yang timbul sejak masyarakat tradisional mengalami berbagai perubahan sosial sebagai akibat penetrasi pemerintah
31
Arif Budiman, Fungsi Tanah dan Kapitalis (Jakarta: Sinar Grafika,1996), hlm.69 32 Endemis adalah istilah dalam ilmu kesehatan yang berarti gejala penyakit, sedangkan yang dimaksud disini adalah gejala sosial yang menimbulkan insiden konstan dalam suatu komunitas/daerah tertentu yang bisa timbul setiap waktu. Gejala ini dapat berubah menjadi keadaan yang mencakup wilayah yang lebih luas atau kawasan atau yang disebut dengan Epidemis, lihat Departemen Pendidikan dan Kebudapaan, Ensiklopedia Indonesia. Jakarta : PT Ikhtisar Baru – Van Hoeve, 1991, hlm. 928
71
yang semakin kuat. Hal ini dapat dilihat dengan masuknya uang dalam sistem ekonomi, serta faktor lain seperti tanah dan tenaga buruh. Perkembangan perdagangan dan industri pertanian menimbulkan perubahan struktur dalam masyarakat dengan semakin meluasnya sistem administrasi yang bersifat legal rasional, lembaga-lembaga politik tradisional semakin terdesak. Pendek kata, proses modernisasi dan birokratisasi, ditambah lagi dengan komunikasi dan edukasi semakin menambah keberanian mengemukakan pendapat untuk memperotes kebijakan pemerintah atau penguasa.33 Sengketa pertanahan menjadi persoalan yang mendesak untuk segera dicarikan solusi, sebab penundaan penyelesaian akan berakibat pada lemahnya proses penegakan hukum dan kondisi sosial yang semakin tidak menentu. Sengketa pertanahan adalah sebuah konflik yang melibatkan dua kelompok atau bahkan beberapa pihak masyarakat. Berbagai sengketa pertanahan banyak dikibatkan oleh sejumlah ketimpangan soal struktur kepemilikan tanah, ketimpangan dalam penggunaan tanah dan ketimpangan dalam persepsi serta konsepsi mengenai kepemilikan tanah. Pada dasarnya, konflik yang melibatkan berbagai tindak kekerasan ataupun pemaksaan kehendak tidaklah terjadi secara tiba-tiba. Konflik apapun jenis dan bentuknya, selalu bermula dari kekecewaan salah satu pihak ataupun kedua belah pihak secara berangsur-angsur dan proses tersebut secara akumulatif pada gilirannya menimbulkan ledakan kekerasan di kemudian hari. Secara teoritik suatu konflik akan melewati tahapan-tahapan tertentu. 33
Sartono Kartodirdjo, “Dialog”, Majalah Prisma No. 1 Tahun I, 1 Januari 1977, hlm.28
72
Bloomfield et al (dalam Harris dan Reilly, 2000) menyebutkan bahwa konflik terbagi dalam 4 tahapam yaitu : a. Tahapan diskusi, dalam tahapan ini terdapat perpedaan pendapat antara pihak-pihak namun masih cukup dekat untuk bekerja sama. Komunikasi diharapkan berupa perdebatan langsung dan diskusi antara kedua elah pihak diwarnai dengan kepercayaan dan saling menghargai. Isu-isu yang ditekankan dalam pertikaian adalah isu substantif dan obyektif. Kemungkinan hasilnya diasumsikan mampu memuaskan kedua belah pihak : solusi sama-sama menang (win-win solution) b. Tahap polarisasi, kedua belah pihak mulai mengambil jarak, menarik diri dan menjauh satu sama lain. Karena jarak tersebut, komunikasi mulai tidak langsung dan bergantung pada intepretasi. Persepsi mengenai pihak lainnya mengeras menjadi stereotip yang kaku, karena tidak ada tantangan dari fakta yang muncul dari interaksi langsung. Hubungan memburuk dari yang tadinya saling menghormati menjadi lebih dingin ketika semua pihak tidak lagi memandang pihak lain sebagai pihak yang penting, melainkan sebagai pihak yang tidak dapat diandalkan. Isu-isu yang ditekankan bukan lagi elemen yang obyektif, namun bergeser ke kecemasan psikologis mengenai hubungan itu. Hasil yang mungkin bukan lagi kemenangan kedua belah pihak, namun harus terdapat kompromi untuk memenangkan sebagian dan kehilangan yang lainnya.
73
c. Tahap segregasi, kedua belah pihak saling menjauh dari pihak lawannya. Komunikasi terbatas ancaman. Persepsi telah menguat menjadi gambaran “kita sebagai yang baik dan mereka sebagai yang jahat”. Hubungan diwarnai ketidakpercayaan dan saling tidak menghargai. Isu yang ditekankan dalam pertikaian adalah kepentingan dan nilai utama setiap kelompok, taruhannya ditingkatkan dalam tahap ini. Hasilnya dianggap sebagai perhitungan zero zum : situasi kalah dan menang secara sederhana. Metode yang dipilih untuk mengelola situasi adalah kompetisi defensif, ketika masing-masing pihak berusaha melindungi kepentingannya sendiri sejauh mungkin, sambil berusaha untuk lebih cerdik daripada lawannya. d. Tahap destruksi, ini merupakan tahap permusuhan yang sepenuhnya. Komunikasi kini hanya terdiri dari kekerasan langsung atau sama sekali tanpa hubungan. Untuk menjustifikasi kekerasan, persepsi mengenai pihak lain menjadi penjelasan yang memojokkan mengenai pihak lawan sebagai bukan manusia, psikopat atau lainnya. Hubungan antara kedua belah pihak dianggap berada dalam kondisi tanpa harapan. Isu yang ditekankan kini hanyalah keselamatan suatu pihak terhadap agresi pihak lainnya. Kemungkinan hasil yang dipersepsikan bagi semuanya adalah sama-sama kalah: situasinya sedemikan buruk sehingga keduanya akan harus membayar mahal. Metode yang dipilih untuk mengelola konflik pada tahap ini adalah usaha untuk
74
menghancurkan pihak lawan: suatu keadaan perang yang memenuhi dunia ini.34 Analisis di atas menyiratkan bahwa intensitas konflik semakin meningkat dalam tiap tahapan konflik. Konflik dengan demikian bergerak secara linier dan mekanis menuju konflik terbuka masing-masing pihak melakukan tindakan destruktif terhadap kelompok yang dianggap sebagai lawannya. Penyelesaian kasus sengketa tanah diperlukan pendekatan-pendekatan yang lebih bersifat dialogis. Pendekatan keamanan yang dijalankan selama ini terbukti tidak pernah menyelesaikan masalah, justru menimbulkan konflik baru yang berdimensi lebih luas. Proses dialog dan perundingan perlu pula diperhatikan keterlibatan penuh seluruh warga yang bersangkutan. Sistem representasi (perwakilan) warga
yang selama ini dilakukan dalam
penyelesaian kasus konflik tanah terkadang menimbulkan bias terutama dalam hal arah kepentingan yang berujung pada konflik horizontal. Penyelesaian kasus tanah selama ini ditempuh dengan jalur formal yaitu melalui lembaga peradilan dan penyelesaian jalur non formal yaitu dengan perundingan atau musyawarah.
1. Penyelesaian dengan Jalur Formal
34
Tim Pussbik, Tanah Lampung,Sengketa Pertanahan Perjuangan Rakyat Tani Lampung (Lampung: Pussbik, 2002), Hlm.89
dan
75
Penyelesaian sengketa dengan jalur formal tidak banyak dilakukan oleh masyarakat karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan, masyarakat merasa tidak punya bukti formal yang kuat ketika pihak pengadilan meminta pembuktian yang diinginkan. Biaya yang dibutuhkan dalam mengajukan perkara sangat besar menurut ukuran masyarakat yang bersengketa dan kecenderungan masyarakat seringkali dikalahkan karena tidak ada bukti formal yang dimiliki petani yang banyak dimotori oleh para mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Tanah-tanah yang disengketakan petani umumnya tidak memiliki kelengkapan surat menyurat sebagai bukti kepemilikan, sehingga tanah-tanah tersebut gampang dianggap sebagai tanah negara. Secara nyata masyarakat terus menuntut hak mereka atas lahan pertanian yang sudah mereka buka dan mereka usahakan. Usaha penyelesaian sengketa terlihat sejak tahun 1983 ketika proses peredistribusian lahan pertanian oleh pemerintah mulai dilakukan. Petani pembuka lahan banyak yang tidak mendapatkan kartu kuning atau kartu hijau. Cara yang ditempuh masyarakat adalah melaporkan hal ini kepada musyawarah pimpinan daerah Kecamatan Palas. Mereka juga mendatangi posko yang didirikan oleh tim agraria yang fungsinya untuk menerima aspirasi dari masyarakat. Mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa memiliki ruang lingkup utama berupa wilayah privat/perdata. Sengketa-sengketa perdata berupa sengketa keluarga, waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis, lingkungan hidup dan berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan melalui jalur mediasi. Penyelesaian sengketa melalui jalur
76
mediasi dapat ditempuh di pengadilan maupun di luar pengadilan. Mediasi yang dijalankan di pengadilan merupakan bagian dari rentetan proses hukum di pengadilan, sedangkan bila mediasi dilakukan di luar pengadilan, maka proses mediasi tersebut merupakan bagian tersendiri yang terlepas dari prosedur hukum acara pengadilan. Mediasi merupakan tahap penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh tim penyelesaian sengketa guna mempertemukan kedua belah pihak antara petani pembuka lahan dengan petani pemilik sertifikat. Mediasi dilaksanakan tahun 2000 di kantor Pemerintahan Daerah Lampung Selatan. Mediasi ini fasilitasi oleh tim penyelesaian sengketa agraria sebagai follow up dari usahausaha yang dilakukan sebelumnya mulai dari terjun ke lahan pertanian langsung hingga berbicara dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat. Mediasi ini mempertemukan perwakilan-perwakilan petani pembuka lahan dengan petani pemilik sertifikat. Mediasi ini bertujuan untuk mendengarkan pendapat masing-masing pihak eserta keinginan dan membahas penyelesaiannya. Konflik pertanahan merupakan bentuk ekstrim dan keras dari persaingan. Konflik agraria adalah proses interaksi dua (atau lebih) atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas obyek yang sama yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. 2. Penyelesaian Jalur Non Formal Penyelesaian jalur non formal dilakukan dengan adanya musyawarah untuk mencapai kata mufakat atau bisa dikatakan dengan perundingan atau negoisasi. Penyelesaian seperti ini dianggap alternative penyelesaian yang
77
lebih cepat, singkat dan dengan biaya yang murah, serta menjamin jalan kompromi terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Persoalan sengketa lahan pertanian proyek Rawasragi melibatkan dua komponen yaitu rakyat dan pemerintah. Rakyat menuntut redistribusi lahan pertanian disesuaikan oleh pembuka lahan pertama kali, sesuai dengan SK Menteri Pertanian No 208/Mentan/1981 yang menyebutkan bahwa lahan pertanian tersebut merupakan lahan yang disetujui untuk digunakan pelaksanaan proyek Rawasragi yang melibatkan masyarakat sekitar sebagai pembuka lahan. Pada kenyataannya hanya sebagian dari mereka yang mendapatkan lahan pertanian dan sebagian lainnya terpaksa tersisihkan dari lahan yang sudah mereka buka dikarenakan tidak mendapatkan kartu hijau bahkan sertifikat dari panitia agraria. Penyelesaian dengan jalur non formal ditempuh oleh masyarakat yang melaporkan bahwa mereka tidak mendapatkan lahan pertanian kepada pimpinan desa setempat. Pimpinan-pimpinan desa setempat kemudian melakukan musyawarah hingga mencapai kesepakatan bahwa mereka mengeluarkan berita tentang kronologis hingga usulan-usulan penyelesaian sengketa lahan pada tanggal 12 November 1984. Usulan-usulan hasil musyawarah tersebut kemudian disampaikan kepada tim agraria namun tidak membuahkan hasil. Kekuatan rezim orde baru yang didukung oleh militer membuat jalur penyelesaian non formal tidak menemui titik temu. Pemerintah tetap melaksanakan proses redistribusi lahan tanpa mempertimbangkan petani pembuka lahan yang tidak mendapatkan lahan pertanian yang menjadi hak mereka.
78
D. Pihak-pihak yang Terlibat Sengketa Agraria Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas Kabupaten Lampung Selatan Masyarakat
petani
adalah
kelompok
mayoritas
yang
harus
diberdayakan secara ekonomi. Petani merupakan kelas sosial yang mampu memainkan peranan kunci dalam sejarah masyarakat tertentu. Peran ini disandang ketika mereka melakukan gerakan pergolakan/perlawanan sosial. Gerakan ini bukan saja berdasarkan pada ketidakpuasan individual yang massif sifatnya, melainkan merupakan protes yang diorganisasikan sebagai suatu bahan sejaah sektor pedesaan dibanyak masyarakat.35 Aksi sengketa agraria dalam proyek rawasragi ini merupakan sebuah konflik vertikal antara rakyat dan pemerintah, namun pada akhirnya menjadi konflik horizontal yang menyisakan konflik antar sesama petani. Aksi sengketa ini merupakan sebuah perlawanan sehari-hari dan pengaduanpengaduan kepada instansi-instansi yang terkait. Diantara instansi-instansi tersebut adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN, pusat maupun daerah), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan. Perjuangan warga dalam upaya mendapatkan hak atas lahan mereka sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan kelas lain terhadap aksi sengketa ini turut memegang peranan. Dukungan dari kelas sosial lain (selain petani) ini bersifat sekunder dalam artian bukan dukungan sebagai aktor gerakan yang subjektif, namun pendampingan sosial untuk 35
Henry A. Landsberger dan Yu G. Alexandrov, Pergolakan Petani dan Pembaharuan Sosial, Jakarta : CV. Rajawali, hlm 1
79
mengarahkan jalannya sebuah aksi yang sesuai dengan prosedur. Adapun kelas lain yang berperan di aksi sengketa ini antara lain : Lembaga Swadaya Masyarakat Serikat Tani Nasional, Muspida Kecamatan Palas, dan Mahasiswa. 1. Lembaga Swadaya Masyarakat Serikat Tani Nasional (LSM STN) Serikat Tani Nasional merupakan LSM dibawah bendera PRD. LSM ini ikut mengawal peristiwa sengketa agraria dalam Proyek Rawasragi di Kecamatan Palas Lampung Selatan. Diketuai oleh Nurbaiti, LSM ini berusaha memperjuangkan apa yang menjadi hak petani penggarap. STN sempat mendirikan posko pengaduan yang sifatnya mengadvokasi pengaduanpengaduan dari masyarakat terkait sengketa lahan ini. Mereka membuat pernyataan sikap STN terhadap sengketa yang tengah terjadi. Pernyataan ini berisi 8 poin diantaranya : a. Menolak segala berita yang menyatakan bahwa para petani yang bernaung di bawah organisasi STN Kecamatan Palas melakukan penyerobotan tanah. Justru petani itulah yang merupakan para petani penggarap asli yang membuka lahan sejak tahun 1978, dan sejak tahun 1984 karena kebijakan para aparat Pemda, BPN, dan ABRI korup yang tergabung dalam TIM Landreform bentukan sesuai SK. Menteri dalam negeri dan Gubernur Lampung, maka para petani tersingkirkan dari lahan asli meeka akibat jualbeli tanah melalui kartu hijau yang dijual kepada banyak penduduk dari luar/sekita obyek landreform. Ribuan petani diiming-imingi tanah oleh
80
anggota Tim landreform yang korup untuk membeli sertifikat aspal dengan membayar Rp. 200.000 kepada para anggota tim. b. Menuntut kepada Pemerintah Republik Indonesia Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri agar mengeluarkan kebijakan pertanahan yang berpihak kepada rakyat yang sebenarnya. Khususnya di kasus Palas yang telah menyengsarakan petani penggarap asli yang telah membuka lahan sejak tahun 1978. c. Menuntut kepada Pemerintah Daerah c.q Pemda Lampung Selatan dan BPN Tk. II Lampung Selatan untuk menindaklanjuti hasil kesepakatan berbagai pertemuan sejak tanggal 9 Februari 1999 di kantor gubernur Lampung hingga pertemuan tanggal 17 Januari 2000 di kantor BPN Lampung Selatan. d. Adili para anggota Tim Landreform Rawasragi 1984 agar kasus ini dapat tuntas setuntasnya, juga tangkap aparat Pemda dan militer yang melakukan penyiksaan, pemenjaraan, dan intimidasi paska Landreform 1984 yang penuh dengan manipulasi dan tipu daya e. Kepada petani yang tertipu rayuan Tim Landreform 1984, mari kita bersama-sama menuntut kepada pemerintah agar mengembalikan apa yang menjadi hak milik kita. Jangan mau kita di adu domba oleh oknum aparat Pemda dan Militer yang hendak lari dari tanggung jawab mereka atas kasus tanah Landreform Rawasragi. f. Turunkan harga pupuk, tanah dan traktor untuk penggarap.
81
g. Tolak kenaikan BBM dan TDL, turunkan harga, naikkan upah buruh 100%. h. Petani, buruh dan mahasiswa, kaum miskin kota bersatulah melawan penindasan modal yang dijaga oleh kekuatan bersenjata (kapitalisme militeristik), berikan dukungan anda dengan melakukan aksi solidaritas atau layangkan surat tekanan anda kepada Gubernur Lampung, c.q Pemda Tk. II Lampung Selatan Sekretariat wilayah atau daerah Jl. Indra Bangsawan Kalianda Lampung Selatan Telp. (0721) 2070, 2068, 2069, 2300, fax. 2334.36 Keterlibatan LSM STN ini tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat Palas. Advokasi yang mereka lakukan di Kecamatan Palas tidak membuat masyarakat merasa dimudahkan dalam mencari titik temu penyelesaian sengketa agraria akibat proyek Rawasragi. Pendekatanpendekatan yang dilakukan pihak STN dinilai tidak merakyat sehingga masyarakat tidak tertarik untuk bergabung dan mencari jalur penyelesaian dengan didampingi pihak STN. 2. Muspida Kecamatan Palas Musyawarah pimpinan daerah Palas atau Muspida merupakan kumpulan pimpinan-pimpinan tertinggi desa yang ikut berperan di sengketa ini. Muspida sempat mengeluarkan berita tentang kronologis terjadinya sengketa agraria di Kecamatan Palas ini. Berita ini juga berisi tentang permasalahan yang timbul sebagai akibat redistribusi tanah sawah proyek
36
Diakses dari www.library.ohiou.edu/indopubs/2000/01/2148.html Tanggal 12 Juni 2015
82
Rawasragi di masyarakat, serta langkah-langkah yang ditempuh Muspida dan saran-saran yang diberikan Muspida agar semua kartu kuning diusahakan menjadi kartu hijau. 3. Mahasiswa Mahasiswa adalah salah satu kelas sosial di masyarakat yang turut beperan di aksi sengketa agraria ini. Peran ini merupakan wujud solidaritas mahasiswa yang mulai muncul kembali sebagai kesatuan massa yang ditandai dengan maraknya komite-komite solidaritas mahasiswa di berbagai kota pada akhir 1960-an. Komite-komite ini bahkan di berbagai aksinya melakukan sejumlah terobosan-terobosan tekhnik aksi-aksi seperti long march (unjuk rasa) dan penghidupan kembali aksi-aksi reli yang sempat tenggelam dan menghilang dari khasanah aksi massa di awal tahun 1980-an.37 Peran mahasiswa di kasus ini adalah terlibat sebagai bagian dari aktivitas LSM. Selain itu, mahasiswa juga berfungsi sebagai kekuatan pendukung ketika membantu kelompok masyarakat.
37
Anton Lucas dalam Tanah dan Pembangunan, Risalah dari konferensi INFID ke-10 Canberra – Australia. Penyunting Noer Fauzi, Jakarta : Sinar harapan, 1991, hlm.87.