1
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DAN DESA ADAT
2.1. Tinjauan Tentang Sampah dan Pengelolaan Sampah 2.1.1. Pengertian dan Jenis Sampah Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah pada pasal 1 angka 1 pengertian sampah didefinisikan sebagai berikut: “Sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat.” Selanjutnya pasal 1 angka 2 yang dimaksud “sampah spesifik adalah sampah yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau volumenya memerlukan pengelolaan khusus.” Slamet berpendapat bahwa sampah merupakan sisa kegiatan sehari-hari manusia atau proses alam yang berbentuk padat atau semi padat berupa zat organik atau anorganik bersifat dapat terurai atau tidak dapat terurai yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan dibuang ke lingkungan.1 Menurut Juli Soemirat Slamet, sampah adalah segala sesuatu yang tidak lagi dikehendaki oleh yang punya dan bersifat padat. Sampah ada yang mudah membusuk dan ada pula yang tidak mudah membusuk. Sampah yang mudah membusuk terdiri dari zat-zat organik seperti sayuran, sisa daging, daun dan lain 1 Ni Komang Ayu Artiningsih, 2008, Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Sampah Rumah Tangga, file:///C:/Users/User%20All/Downloads/140580742-Tesis-Peran-SertaMasyarakat-Dalam-Pengelolaan-Sampah-Rumah-Tangga-Di-Semarang.pdf, Universitas Diponegoro, h. 18, diakses tanggal 18 Mei 2015
2
sebagainya, sedangkan yang tidak mudah membusuk berupa plastik, kertas, karet, logam, abu sisa pembakaran dan lain sebagainya.2 Maka dapat ditarik kesimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sampah ialah sebagian dari sesuatu yang tidak dipakai, tidak disenangi atau sesuatu yang harus dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri), tetapi yang bukan biologis karena kotoran manusia (human waste) tidak termasuk didalamnya dan umumnya bersifat padat (karena air bekas tidak termasuk didalamnya). Jenis-jenis sampah yang berada di lingkungan sangat beranekaragam jenis dan karakteristiknya, ada yang berupa sampah rumah tangga, sampah industri, sampah pasar, sampah rumah sakit, sampah pertanian, sampah perkebunan, sampah peternakan, sampah institusi/kantor/sekolah, dan sebagainya. Menurut Gelbert dkk dalam Ni Komang Ayu Artiningsih sampah yang ada di permukaan bumi ini dapat berasal dari beberapa sumber sebagai berikut.3 1. Sampah dari pemukiman penduduk Sampah di suatu pemukiman biasanya dihasilkan oleh satu atau beberapa keluarga yang tinggal dalam suatu bangunan atau asrama yang terdapat di desa atau di kota. Jenis sampah yang dihasilkan biasanya sisa makanan dan bahan
2
Hermawan Eko Wibowo, 2010, Perilaku Masyarakat Dalam mengelolaan Sampah Permukiman di Kampung Kamboja Kota Pontianak (Tesis), http://eprints.undip.ac.id/23703/1/HERMAWAN_EKO_WIBOWO.pdf, Universitas Diponegoro, diakses tanggal 19 mei 2015. 3 Ni Komang Ayu Artiningsih, Op.cit, h. 19, dikutip dari Gelbert M, Prihanto D. dan Suprihatin A., 1996. Konsep Pendidikan Lingkungan Hidup dan ” Wall Chart ”. Buku Panduan Pendidikan Lingkungan Hidup, PPPGT/VEDC, Malang.
3
sisa proses pengolahan makanan atau sampah basah (garbage), sampah kering (rubbsih), perabotan rumah tangga, abu atau sisa tumbuhan kebun. 2. Sampah dari tempat umum dan tempat perdagangan Tempat umum adalah tempat yang memungkinkan banyak orang berkumpul dan melakukan kegiatan termasuk juga tempat perdagangan. Tempat seperti ini sangat berpotensi tinggi dalam memproduksi sampah. Jenis sampah yang dihasilkan dari tempat semacam itu dapat berupa sisa-sisa makanan (garbage), sampah kering, abu, sisa bangunan, sampah khusus, dan terkadang sampah berbahaya. 3. Sampah dari sarana layanan masyarakat milik pemerintah Sarana layanan masyarakat yang dimaksud disini, antara lain, tempat hiburan, jalan umum, tempat parkir, tempat layanan kesehatan (misalnya rumah sakit dan puskesmas), kompleks militer, gedung pertemuan, pantai tempat berlibur, dan sarana pemerintah lain. Tempat tersebut biasanya menghasilkan sampah basah dan sampah kering. 4. Sampah dari industri Dalam pengertian ini termasuk industri makanan dan minuman, industri kayu, industri kimia, industri logam dan tempat pengolahan air kotor dan air minum,dan kegiatan industri lainnya, baik yang sifatnya distributif atau memproses bahan mentah saja. Sampah yang dihasilkan dari tempat ini biasanya sampah basah, sampah kering, sisa-sisa bangunan, sampah khusus dan sampah berbahaya.
4
5. Sampah pertanian Sampah dihasilkan dari tanaman dan binatang. Lokasi pertanian seperti kebun, ladang ataupun sawah menghasilkan sampah berupa bahan-bahan makanan yang telah membusuk, sampah pertanian, pupuk, maupun bahan pembasmi serangga tanaman. Berbagai macam sampah yang telah disebutkan diatas hanyalah sebagian kecil dari sumber sampah yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Maka hal ini menunjukan bahwa segala aktivitas dari kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya sampah. Menurut Gelbert dkk dalam Ni Komang Ayu Artiningsih berdasarkan asalnya, sampah padat dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu sebagai berikut :4 1. Sampah Organik Sampah organik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan – bahan hayati yang dapat didegradasi oleh mikroba atau bersifat biodegradable. Sampah ini dengan mudah dapat diuraikan melalui proses alami. Sampah rumah tangga sebagian besar merupakan bahan organik. Termasuk sampah organik, misalnya sampah dari dapur, sisa-sisa makanan, pembungkus (selain kertas, karet dan plastik), tepung , sayuran, kulit buah, daun dan ranting. 2. Sampah Anorganik Sampah anorganik adalah sampah yang dihasilkan dari bahan-bahan nonhayati, baik berupa produk sintetik maupun hasil proses teknologi pengolahan bahan tambang. Sampah anorganik dibedakan menjadi : sampah logam dan produk-produk olahannya, sampah plastik, sampah kertas, sampah kaca dan keramik, sampah detergen. Sebagian besar anorganik tidak dapat diurai oleh alam/mikroorganisme secara keseluruhan (unbiodegradable). Sementara, sebagian lainnya hanya dapat diuraikan dalam waktu yang lama. Sampah jenis ini pada tingkat rumah tangga misalnya botol plastik, botol gelas, tas plastik, dan kaleng.
4
Ibid, h. 20.
5
Berdasarkan Sifat Fisik Menurut Gelbert dalam Ni Komang Ayu Artiningsih berdasarkan sifat fisiknya sampah dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:5 1. Sampah basah (garbage) Sampah golongan ini merupakan sisa – sisa pengolahan atau sisa sisa makanan dari rumah tangga atau merupakan timbulan hasil sisa makanan, seperti sayur mayur, yang mempunyai sifat mudah membusuk, sifat umumnya adalah mengandung air dan cepat membusuk sehingga mudah menimbulkan bau. 2. Sampah kering (rubbish) Sampah golongan ini memang diklompokkan menjadi 2 (dua) jenis : - Golongan sampah tak lapuk. Sampah jenis ini benar-benar tak akan bisa lapuk secara alami, sekalipun telah memakan waktu bertahun-tahun, contohnya kaca dan mika. - Golongan sampah tak mudah lapuk. Sekalipun sulit lapuk, sampah jenis ini akan bisa lapuk perlahan-lahan secara alami. Sampah jenis ini masih bisa dipisahkan lagi atas sampah yang mudah terbakar, contohnya seperti kertas dan kayu, dan sampah tak mudah lapuk yang tidak bisa terbakar, seperti kaleng dan kawat. 2.1.2. Pengelolaan Sampah Pengertian tentang pengelolaan sampah menurut undang-undang No. 18 tahun 2008 pada pasal 1 angka 5 menyebutkan: “Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah.” Sampah yang merupakan sisa dari kegiatan manusia harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan. Pengelolaan sampah terkait dengan pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, pendaur-ulangan, atau pembuangan dari material sampah yang mengacu pada material sampah yang dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi dampaknya terhadap
5
Ibid, h. 21.
6
kesehatan, lingkungan atau keindahan.6 Jadi yang dimaksud dengan pengelolaan sampah ialah usaha untuk mengelola sampah dengan tujuan untuk menghilangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan untuk mencapai tujuan yaitu lingkungan yang bersih, sehat, dan teratur. Pengurangan sampah yang dimaksud dalam Undang-Undang pengelolaan sampah meliputi kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Untuk dapat mewujudkan kegiatan-kegiatan ini, masyarakat dan para pelaku usaha dalam melaksanakan kegiatannya diharapkan dapat menggunakan bahan yang menimbulkan sampah sedikit mungkin, dapat digunakan kembali, dapat didaur ulang, dan mudah diurai oleh proses alam.7 Penanganan sampah yang dimaksud dalam Undang-Undang pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang diawali dengan pemilahan dalam bentuk pengelompokkan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah, dan sifat sampah. Langkah selanjutnya adalah pengumpulan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu, dan pengangkutan sampah dari tempat penampungan sampah sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan akhir. Kemudian sampah yang telah terkumpul di tempat pemrosesan akhir dikelola dengan cara mengubah karakteristik, komposisi, dan jumlah sampah 6
Putu Tuni Cakabawa Landra et. al, 2013, Efektifitas Penerapan Perda No. 5 tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah dalam Upaya Menjaga serta Memelihara Daya Dukung Lingkungan di Provinsi Bali (Sampah sebagai Dampak, Ancaman dan Peluang), h. 15. 7 Pengelolaan Sampah Menurut Undang-Undang No.18 Tahun 2008, http://www.pekanbaru.go.id/blh/index.php?option=com_content&view=article&id=38:pengelolaa n-sampah-menurut-uu-no-18-tahun-2008, diakses tanggal 18 Mei 2015.
7
dan/atau diproses untuk mengembalikan hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman.8 Semua usaha pengelolaan sampah ini memerlukan kesadaran dan peran serta masyarakat. Selanjutnya, pengelolaan diajukan pada pengumpulan sampah mulai dari produsen sampai pada tempat pembuangan akhir (TPA) dengan membuat tempat pembuangan sampah sementara (TPS), transportasi yang sesuai lingkungan, dan pengelolaan pada TPA. Sampah juga dapat diolah dulu baik untuk memperkecil volume, untuk daur ulang atau dimanfaatkan kembali. Secara teknis pengelolaan sampah berupa kegiatan dengan cara pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemusnahan.9 Pemusnahan sampah secara umum berupa penimbunan (landfill), pembakaran (incineration), dan pengomposan. Pemilahan sampah dapat dilakukan secara meknik (memakai alat) maupun manual (dengan tangan). Sampah yang tidak dapat diolah lebih lanjut (residu) dapat dilakukan dengan cara penimbunan atau pemusnahan. Sistem pembuangan dan pemusnahan yang direkomendasikan adalah dengan sistem insinerasi terkontrol atau dengan lahan urug saniter (sanitary landfill). Cara ini dapat pula digunakan untuk memperbaiki lahan yang berbentuk jurang dan lainnya sehingga lahan tersebut dapat lebih bermanfaat.10 Paradigma baru dalam pengelolaan sampah lebih menekankan pada pengurangan sampah dari sumber untuk mengurangi jumlah timbulan sampah serta mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dari sampah. Maka dari itu,
8
Ibid. Putu Tuni Cakabawa Landra et. al, loc.cit. 10 Ibid. h. 16 9
8
prinsip dan program Dinas Kebersihan dan Pertanaman Kabupaten Badung memiliki tata cara pengelolaan sampah dengan cara 3R (Reduce, Reuse, Recycle) sejalan dengan pengelolaan sampah yang menitikberatkan pada pengurangan sampah dari sumbernya. Dinas Kebersihan dan Pertamanan kabupaten badung menjelaskan bahwa pengelolaan sampah dengan cara 3R dapat diuraikan sebagai berikut:11 1. Prinsip pertama adalah Reduce atau reduksi sampah, yaitu upaya untuk mengurangi timbulan sampah di lingkungan sumber dan bahkan dapat dilakukan sejak sebelum sampah dihasilkan. Setiap sumber dapat melakukan upaya reduksi sampah dengan cara mengubah pola hidup konsumtif, yaitu perubahan kebiasaan dari yang boros dan menghasilkan banyak sampah menjadi hemat/efisien dan hanya menghasilkan sedikit sampah. 2. Prinsip kedua adalah Reuse yang berarti menggunakan kembali bahan atau material agar tidak menjadi sampah (tanpa melalui proses pengolahan), seperti menggunakan kertas bolak balik, menggunakan kembali botol bekas minuman untuk tempat air, dan lain-lain. Dengan demikian reuse akan memperpanjang usia penggunaan barang melalui perawatan dan pemanfaatan kembali barang secara langsung. 3. Prinsip ke tiga adalah Recycle yang berarti mendaur ulang suatu bahan yang sudah tidak berguna menjadi bahan lain atau barang yang baru setelah melalui proses pengolahan. Beberapa sampah dapat didaur ulang 11
Mewujudkan Beautiful Badung Yang Bersih dan Berbunga, http://www.dkp.badungkab.go.id/, diakses tanggal 18 Mei 2015.
9
secara langsung oleh masyarakat dengan menggunakan teknologi dan alat yang sederhana, seperti mengolah sisa kain perca menjadi selimut, kain lap, keset kaki dan sebagainya, atau sampah dapur yang berupa sisa-sisa makanan untuk dijadikan kompos. 2.2. Tinjauan Tentang Desa Adat 2.2.1. Pengertian Desa dan Desa Adat Desa dalam pengertian ini menunjuk kepada suatu wilayah yang dihuni oleh penduduk yang beragama Hindu kecuali di beberapa desa dalam kota atau desa-desa yang terletak di pinggir pantai yang penduduknya sudah heterogen dan terdiri dari berbagai umat beragama. “Desa” dapat berarti suatu wilayah pemukiman penduduk yang beragama Hindu seperti misalnya, Desa Pelitan, Desa Penestanaan dll. Desa dapat berarti organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat contohnya: Desa Bedulu, Kelurahan Bitra dll. Selain itu desa juga dapat berarti situasi seperti dalam ungkapan desa kala patra yang berarti tempat, waktu dan keadaan.12 Menurut Undang – Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa bahwa yang dimaksud dengan desa adalah: “Desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/ atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
12
Wayan P. Windia, 2003, Membangun Desa Adat Bali Yang Sejuk,Yayasan Bali Jani, h. 1.
10
Pemerintah Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 menjelaskan
bahwa
pemerintah
desa
merupakan
penyelengaraan
urusan
pemerintahan oleh pemerintah Desa dan Badan Permusyawarahan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adapun unsur-unsur desa menurut Sutarjo Kartohadikusumo, ada 3 unsur penting yang harus dimiliki oleh sebuah desa yaitu :13 1. Daerah Dalam unsur daerah ini terdiri dari tanah yang produktif, lokasi, luas dan batas merupakan lingkungan geografis. 2. Penduduk Dalam unsur penduduk ini terdiri dari jumlah penduduk, pertambahan penduduk, persebaran penduduk dan mata pencaharian penduduk 3. Tata Kehidupan Dalam unsur tata kehidupan ini, pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa termasuk seluk beluk kehidupan masyarakat desa. Dalam pelaksanaanya ketiga unsur desa ini tidak bisa terlepas antara satu yang lain, artinya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan unsur daerah, penduduk dan tata kehidupan merupakan satu kesatuan hidup, penduduk menggunakan
kemungkinan
yang
disediakan
oleh
daerah
itu
guna
mempertahankan hidup. Tata kehidupan, dalam artian yang baik memberikan jaminan akan ketentraman dan keserasian hidup bersama di desa.14 Unsur lain yang termasuk unsur desa yaitu, unsur letak, letak suatu desa pada umumnya selalu jauh dari kota atau dari pusat keramaian dan pemerintahan. Peninjauan ke 13 Sutardjo Kartihadikusomo, 1990, Hubungan Pemerintah Pusatdan Daerah, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro,Semarang, 2008, h.35. 14 Made Suwandi, 1999, Otonomi dan Kewenangan Desa, Bina Aksara, Jakarta, h. 46.
11
desa-desa atau perjalanan ke desa sama artinya dengan menjauhi kehidupan di kota dan lebih mendekati daerah-daerah yang menonton dan sunyi. Desa-desa yang pada perbatasan kota mempunyai kemampuan berkembang yang lebih banyak dari pada desa-desa di pedalaman.15 Hal ini disebabkan unsur letak dari suatu desa sangat menentukan besar kecilnya pengembangan suatu desa terhadap desa-desa lainnya. Desa yang terletak jauh dari perbatasan kota mempunyai sedikit hambatan baik itu berupa hambatan akses untuk menjangkau desa tersebut maupun hambatan mengenai informasi yang sangat sulit didapat.16 Pengertian Desa Adat Batasan tentang Desa Adat dapat ditemukan dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2001 pada pasal 1 angka 4 sebagai berikut: “Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri.” Sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, yang artinya Desa adat diikat oleh adat istiadat atau hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan masyarakat setempat. Hukum adat yang lebih dikenal dengan awigawig adalah merupakan pedoman dasar dari desa adat dalam pemerintahannya.17 Wirta Griadhi mengemukakan bahwa desa adat, merupakan “suatu persekutuan hukum yang keberadaannya dilandasi oleh adanya kehendak bersama
15
H.M. Aries Djainuri, 2004, Sistem Pemerintahan Desa Karya, PT Citra Aditya Bakti, h. 29. 16 Ibid, h. 30. 17 I Made Suasthawa Dharmayuda, op.cit. h. 18.
12
dari orang-orang yang karena tuntutan kodratnya harus hidup bersama-sama dalam
suatu
wadah
yang
dapat
mempermudah
dalam
mewujudkan
kepentingannya, dengan demikian lahirnya desa adat dapat dikatakan karena tuntutan kodrati dari manusia”.18 Ciri-ciri dari hukum adat yaitu: a. b. c. d. e. f.
Tidak tertulis dalam bentuk perundangan dan tidak dikodifikasi. Tidak tersusun secara sistematis. Tidak dihimpun dalam bentuk kitab perundangan. Tidak tertatur. Keputusannya tidak memakai konsideran (pertimbangan). Pasal-pasal aturannya tidak sistematis dan tidak mempunyai penjelasan.19
Hukum adat merupakan produk dari budaya yang mengandung substansi tentang nilai-nilai budaya cipta, karsa, rasa manusia. Dalam arti bahwa hukum adat lahir dari kesadaran atas kebutuhan dan keinginan manusia untuk hidup secara adil dan beradab sebagai aktualisasi peradaban manusia. Selain itu hukum adat juga merupakan produk sosial yaitu sebagai hasil kerja bersama (kesepakatan) dan merupakan karya bersama secara bersama (milik sosial) dari suatu masyarakat hukum adat.20 Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat sehingga menjadi
18 I Ketut Wirta Griadhi, 1981, Peranan Otonomi Desa Adat dalam Pembangunan, dalam Kertha Patrika No. 54 Tahun XVII Maret 1981, h. 58. 19 Muhammad Bushar, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adat, PT Penebar Swadaya, Jakarta, h.5 20 Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung, h. 2
13
“hukum adat”. Jadi hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat bersangkutan.21 Disamping ikatan hukum adat, desa adat juga diikat oleh tradisi dan tata krama. Tradisi adalah kebiasaan luhur dari leluhur yang diwariskan secara turun temurun. Sedangkan tata karma adalah etika pergaulan, yang juga merupakan norma dalam kehidupan bermasyarakat. Hanya ditegaskan bahwa tradisi dan tata karma itu berasal dari budaya atau ajaran agama hindu.22 Desa adat mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri, ini artinya desa adat mempunyai otonomi. Hak dari desa adat mengurus rumah tangganya bersumber dari hukum adat, tidak berasal dari kekuasaan pemerintahan yang lebih tinggi, sehingga isi dari otonomi desa adat seakan akan tidak terbatas.23 Secara garis besar otonomi desa adat mencakup: -
Membuat aturan sendiri (dalam hal ini berupa awig-awig) Melaksanakan sendiri peraturan yang dibuat (melalui prajuru) Mengadili dan menyelesaikan sendiri (dalam lembaga Kertha Desa) Melakukan pengamanan sendiri (melalui pekemitan, pegebagan, dan pecalangan).24 Adat menurut masyarakat Bali adalah pokok pangkat kehidupan kelompok
masyarakat adat di Bali berdasarkan pada penuangan dari falsafah agama Hindu disebut Tri Hita Karana atau yaitu upaya umum masyarakat untuk berusaha menegakan keseimbangan hubungan antara warga masyarakat itu sendiri, upaya penegakan keseimbangan hubungan warga masyarakat dalam kelompok
21 Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, h.1. 22 I Made Suasthawa Dharmayuda, op.cit, h. 18. 23 Ibid. 24 Ibid h.19-20.
14
masyarakat dan keseimbangan masyarakat keseluruhan dengan alam KeTuhanan.25 Perananan Desa Adat Pengertian peranan disini adalah mengacu pada fungsi–fungsi yang dijalankan oleh desa adat sebagai satu kesatuan. Desa adat merupakan kesatuan masyarakat
hukum
adat
yang
bersifat
sosial
keagamaan
dan
sosial
kemasyarakatan. Dari kedudukan gandanya ini, kemudian desa adat ditentukan fungsinya sebagai berikut:26 a. Membantu pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah desa/pemerintah kelurahan dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan disegala bidang terutama dibidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan; b. Melaksanakan hukum adat dan adat istiadat dalam desa adat; c. Memberikan kedudukan hukum adat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keperdataan dan keagamaan; d. Membina dan mengembangkan nilai- nilai adat bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salunglung sabayantaka/musyawarah untuk mufakat; e. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Peranan desa adat tersebut dikaitkan dengan pelaksanaan pengelolaan sampah, peran desa adat di Kabupaten Badung secara tidak langsung telah membantu pemerintah, pemerintah daerah dan pemerintah desa/pemerintah kelurahan dalam kelancaran dan pelaksanaan pembangunan untuk tercapainya
25 I ketut Artadi, 2012, Hukum Adat Bali dengan Aneka Masalahnya, Bali: Pustaka Bali Post, hlm.3 26 I Made Suasthawa Dharmayuda, op.cit, h.20-21.
15
pelestarian lingkungan dengan cara pengelolaan sampah yang dilakukan oleh desa adat di Kabupaten Badung. Menyadari akan peranan penting dari desa adat dalam bidang agama, idiologi negara, sosio kultural, ekonomi dan pertahanan keamanan, maka desa adat perlu dibina dalam arti diberdayakan, dilestarikan dan dikembangkan dengan maksud meningkatkan peranan adat istiadat dan lembaga adat didaerah dalam menunjang
kelancaran
penyelenggaraan
pemerintahan,
kelangsungan
pembangunan, dan peningkatan ketahanan nasional, serta turut mendorong upaya mensejahterakan warga masyarakat setempat. Disamping itu bertujuan pula untuk meningkatkan
partisipasi
masyarakat
guna
kelancaran
penyelengaraan
pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pembinaan masyarakat di daerah, terutama di desa/kelurahan sehingga warga masyarakat setempat merasa terpanggil untuk turut serta bertanggung jawab atas kesejahteraan hidup masyarakat dan lingkungannya.27 2.2.2. Dasar Hukum Pengaturan Desa serta Desa Adat di Bali Dasar Hukum Pengaturan Desa Desa/Marga diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 18b ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Negara Republik Indonesia menghormati 27
Ibid.
16
kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dengan segala hak dan asal-usul daerah tersebut yang mempunyai susunan asli sehingga dianggap istimewa oleh negara.28 Selanjutnya dasar hukum pengaturan Desa dilihat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang telah dirubah dan diatur dalam Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diatur pada pasal 371-372. Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa. Pada pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 pengaturan Desa bertujuan: a. memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; c. melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; d. mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; e. membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; f. meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; g. meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional;
28 Wijaya, HAW, 2002, Pemerintah Desa/ Marga: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (Suatu Telah Administrasi Negara), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.23.
17
h. memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan i. memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. Dasar hukum pengaturan Desa Adat di Bali Eksistensi Desa Adat, secara yuridis formal tertuang dalam Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 6 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peran Desa Adat sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali (selanjutnya disebut dengan Perda Desa Adat). Di dalam Pasal 1 (e) Perda Desa Adat menyebutkan bahwa: “Desa Adat adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam Ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”. Dengan latar belakang perubahan sosial dan dicabutnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, maka diadakan pula perubahan terhadap Perda Desa Adat sesuai kebutuhan masyarakat Bali. Undang-Undang tersebut adalah Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001, yang kemudian dirubah dengan Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Pasal 1 angka 4 dari Perda Desa Pakraman menyebutkan bahwa: “Desa Pakraman adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.
18
Dari pengertian yang diberikan oleh Peraturan Daerah nomor 6 tahun 1986 dan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tersebut, maka jelaslah bahwa istilah desa adat dan istilah desa pakraman mempunyai pengertian yang sama, walaupun ada sedikit pergeseran pada salah satu pembentuk sekaligus pengikat desa pakraman, yaitu pada unsur parhyangan. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 1986, keberadaan Kahyangan Tiga adalah faktor mutlak yang harus dimiliki oleh suatu komunitas untuk dapat disebut sebagai desa pakraman. Konsep kahyangan tiga ini jelas, yaitu tiga kahyangan (pura) yang terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001, keberadaan kahyangan tiga menjadi fakultatif, karena prinsip yang digunakan adalah “Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa”. Dengan demikian, keberadaan kahyangan tiga tidak lagi menjadi persyaratan mutlak sepanjang sudah ada Kahyangan Desa yang mengikat komunitas tersebut dalam suatu wadah desa pakraman. Keberadaan masyarakat hukum adat diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”. Keberadaan desa adat di Bali juga tidak dapat dipisahkan dengan ajaran agama hindu sebagai landasan filosifis dan religious adat istiadat masyarakatnya. Konsep Tri Hita Karana yang telah melembaga pada desa-desa adat di Bali mendasari persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam
19
masyarakat, serta persekutuan dalam kesamaan kepercayaan menuju Sang Hyang Widhi.29 Kehidupan sosial budaya desa adat dilandasi filsafah Tri Hita Karana. Secara arfiah konsep Tri Hita Karana artinya tiga penyebab kesejahteraan atau kebahagiaan yang perlu diseimbangkan dan diharmoniskan yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (Parhyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan), dan manusia dengan lingkungan (Palemahan).30 Menurut Wiana (2004) bahwa hakekat Tri Hita Karana adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi pada sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan. Konsep Tri Hita Karana dalam palemahan yaitu hubungan manusia dengan lingkungan merupakan konsep yang sangat baik. Unsur palemahan hubungan manusia dengan lingkungan berkaitan dengan menjaga keindahan dan kebersihan lingkungan salah satunya dengan cara pengelolaan sampah. Pemerintah telah mengupayakan sistem pengelolaan sampah ditiap daerah dengan cara mengatur dan membuat peraturan daerah seperti di Kabupaten Badung memiliki peraturan daerah nomor 7 Tahun 2013 tentang pengelolaan sampah. Selain pemerintah dan pemerintahan daerah peran serta masyarakat serta desa adat sangat membantu dalam pengelolaan sampah, ini di atur langsung dalam perda Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun 2013 pasal 40. 29
I Gusti Agung Ngurah Putra Ambara, 2006, Eksistensi Tanah-Tanah Milik Pura Desa Pakraman di Kota Denpasar, http://eprints.undip.ac.id/17667/1/I_Gusti_Agung_Ngurah_Putra_Ambara.pdf, h. 19, tanggal akses 21 Mei 2015. 30 I Made Putra Ariana, 2011, Respon Masyarakat Setempat Terhadap Tempat Pembuangan Akhir Di Desa Temesi Kabupaten Gianyar,(Tesis), http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-256-1225324117respons%20masyarakat%20setempat%20terhadap%20keberadaan%20tempat%20pembuangan%2 0akhir%20di%20desa%20temesi%20kabupaten%20.pdf, diakses tanggal 03-06-2015.
20
Bentuk peran masyarakat serta desa adat dalam pasal ini yaitu ikut menjaga kebersihan lingkungan, aktif dalam kegiatan pengurangan, pengumpulan, pemilahan, pengangkutan, dan pengolahan sampah serta masyarakat/ desa adat dapat memberian saran, usul, pengaduan, pertimbangan, dan pendapat dalam upaya peningkatan pengelolaan sampah di wilayahnya. Konsep dari palemahan ini mengajarkan manusia untuk peduli alam lingkungannya. Filosofi Tri Hita Karana dalam kenyataannya dilingkungan desadesa pakraman yang ada di Bali sangat variatif, demikian pula mengenai struktur organisasinya. Terlepas dari variasi-variasi yang ada, satu hal yang melekat pada semua desa pakraman di Bali adalah bahwa desa pakraman adalah organisasi sosial relegius yang otonom, yaitu berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Otonomi desa pakraman ini mempunyai landasan yang kuat, disamping bersumber dari kodratnya sendiri (otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan negara karena dalam struktur kenegaraan mendapat pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi (Pasal 18B UUD 1945). Dalam perspektif lokal, otonomi desa pakraman mendapat penegasan dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman dalam Pasal 1 angka 4.