BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tawas 1. Gambaran Umum Tawas Tawas merupakan kristal putih yang berbentuk gelatin dan mempunyai sifat yang dapat menarik partikel – partikel lain sehingga berat, ukuran dan bentuknya menjadi semakin besar dan mudah mengendap. Di alam bebas tawas dapat ditemukan dalam dua bentuk yaitu bentuk padat dan cair. Tawas terbentuk dari proses pelapukan batuan yang mengandung mineral sulfida di daerah vulkanis (sol fatara) atau terjadi di daerah batu lempung, serpih atau batu sabak yang mengandung pirit (Fe) dan markasit (FeS2). Kebanyakan tawas dijumpai dalam bentuk padat pada batu lempung, serpih, atau batu sabak. Tawas adalah nama lain dari alumunium sulfat yang memiliki rumus kimia Al2(SO4)3. ( Sukandarrumidi, 1999) Tawas mempunyai fungsi dapat digunakan dalam proses penjernihan air, yaitu sebagai bahan penggumpal padatan-padatan yang terlarut di dalam air, untuk membersihkan sumur, sebagai bahan kosmetik, zat warna tertentu dan sebagai zat penyamak kulit. (Winarno, 1997) 2. Tawas sebagai Bahan Tambahan Makanan Pada kolom tekno pangan majalah Sedap Sekejap, tawas digunakan untuk memperbaiki mutu pangan diantaranya dalam pengolahan manisan lidah
5
6
buaya, campuran pembuatan bihun agar tidak rapuh dan berwarna lebih putih, juga untuk menghitamkan kacang hijau bahan isi dari bakpao.(Cit. Haribi dan Yusrin, 1995) Pada produsen ikan asap di desa Bandarharjo Semarang Utara, tawas digunakan sebagai bahan perendam ikan yang akan diasapkan. Mereka meyakini bahwa dengan merendam ikan dalam larutan tawas sebelum dilakukan pengasapan, dapat menghasilkan ikan asap yang memiliki konsistensi kompak dan kesat. Prinsip penggunaan tawas pada proses perendaman ikan tersebut adalah mirip dengan penggunaan garam dapur, yang fungsinya selain untuk menghambat pertumbuhan mikrobia juga menjadikan ikan lebih putih dan kenyal. (Nurrahman dan Isworo, 2002) Hasil penelitian yang dilakukan Nurrahman dan Isworo, 2002, membuktikan bahwa ikan tongkol yang direndam dalam larutan tawas sebelum diasapkan teksturnya menjadi lebih kompak, kesat, dan
keras. Ikan yang
direndam terlebih dahulu pada larutan tawas 10% selama 1 jam sebelum diasapkan warnanya lebih putih, konsentrasi senyawa nitrogen volatilnya menurun akibat interaksi dengan tawas sehingga akan mengurangi bau amis dan rasa pahit. Menurut Ratih dan Yusrin, 2005, daging ikan yang direndam terlebih dahulu dalam tawas dengan konsentrasi mulai 4% sampai 12% dan waktu perendaman yang bervariasi dari 30 menit sampai 120 menit, konsentrasi alumunium per 10 gram daging ikan sebelum dan sesudah diasap tidak jauh
7
berbeda yaitu sekitar 0,266 ppm sampai dengan 0,413 ppm. Proses pengasapan yang memakan waktu hampir 4 jam tidak mengurangi konsentrasi alumunium di dalam daging ikan. 3. Pengaruh Alumunium sebagai Logam Berat terhadap Organ Detoksifikasi Hepar merupakan organ terbesar di dalam tubuh yang menerima semua hasil absorbsi usus lewat pembuluh vena porta. Vena porta tersebut berisi banyak nutrien dan bahan asing yang berasal dari usus. Selain menerima darah dari usus, hepar juga menerima darah balik dari ginjal. Darah yang memasuki hepar 70% berasal dari vena porta, sedangkan yang 30% datang dari aorta sebagai arteri terbesar di dalam tubuh yang melakukan vasculari hepar. Akibat dari faal hepar inilah maka hepatotoksikan akan lebih toksik bagi hepar , jika masuk per-oral dibandingkan dengan masuk lewat inhalasi atau dermal. (Guyton and Hall, 1997) Detoksifikasi bahan asing termasuk logam berat dilakukan oleh hepar, oleh sebab itu jika terjadi metabolit yang lebih toksik maka hepar inilah yang pertama menderita efek toksiknya. Semua nutrien dan zat asing yang masuk ke dalam tubuh dimetabolisme, disimpan, dikonjugasi dan selanjutnya disalurkan ke organ sekresi. Jika zat asing yang masuk ke dalam tubuh melebihi kemampuan konjugasi, akan bereaksi dengan sel hepar dan menyebabkan kerusakan sel hepar. (Sumirat, 2003) Kerusakan hepar biasanya dinyatakan dengan kenaikan konsentrasi glutamat oksaloasetat transminase serum (SGOT) dan glutamat piruvat transminase serum (SGPT). Kenaikan konsentrasi kedua enzim ini di dalam
8
serum akibat kerusakan atau regenerasi sel hepar. Kerusakan sel hepar ini menyebabkan kebocoran enzim-enzim tersebut yang seharusnya berada di hepar akan berada di serum. (Guyton and Hall, 1997) Kerusakan hepar juga ditandai dengan adanya hiperbilirubinemia, yaitu kenaikan konsentrasi bilirubin yang melebihi 1 miligram per desiliter darah. Hal ini karena bilirubin yang seharusnya diekskresikan hepar ke empedu tidak dapat dilaksanakan,
akibatnya
bilirubin
akan
bertumpuk
di
dalam
darah.
Hiperbilirubinemia ini disebabkan oleh rusaknya sel parenkim hepar atau terjadi obstruksi saluran empedu di dalam hepar. Di dalam plasma darah, bilirubin ini tidak terikat erat pada protein albumin. Karena ikatan yang tidak kuat ini mengakibatkan
bilirubin
mudah
dilepas,
dikeluarkan
ke
jaringan
dan
menyebabkan ikterus yaitu warna kuning pada sklera mata dan kulit. (Lehninger, 1995)
B. Hepar 1. Struktur Hepar Hepar merupakan organ berbentuk baji dengan berat 1,5 kg pada orang dewasa. Hepar terletak pada kavium abdominalis regio hipokondrium bagian kanan, terbagi menjadi tiga lobus yaitu lobus kanan (terbesar), kiri dan kaudal (terkecil). Hepar mendapat darah dari dua sumber, yaitu : a. Darah arteri berasal dari arteri hepatika kanan dan kiri yang merupakan percabangan dari pleksus koliaka.
9
b. Darah vena dari vena porta hepatika yang berasal dari sebagian besar traktus digestivus, mulai dari gaster sampai rektum dan limpa. Darah mengalir meninggalkan hepar melalui vena kava inferior. Empedu terbentuk di hepar, mengalir ke duktus hepatikus kanan dan kiri yang kemudian berfusi membentuk duktus biliaris komunis dan bergabung dengan duktus kistikus, lalu empedu disimpan dan menjadi pekat di vesika felea. Sebagian besar hepar terisi oleh sel-sel hepar (hepatosit). Sel hepar mengandung berbagai enzim, beberapa diantaranya penting untuk diagnostik karena dialirkan ke pembuluh darah. Aktivitasnya dapat diukur sehingga dapat menunjukkan adanya penyakit hepar atau tingkat keparahannya. Enzim-enzim ini adalah : asparte amino transferase (AST), alanine amino transferase (ALT), gamma-glutamin transferase (Gamma-GT). Seluruh sel dalam hepar mempunyai kemampuan untuk degenerasi. Sel hepar tergolong sel yang stabil. Dalam keadaan normal sel hepar tidak mengalami replikasi, tetapi apabila hepar mengalami cedera, sel terangsang untuk replikasi. (Underwood, J. C. E, 1996) 2. Fungsi Hepar a. Sel hepar (hepatosit) mengekskresikan bilirubin ke dalam saluran empedu. b. Hepar merupakan pusat aktivitas metabolik bagi karbohidrat, protein, dan lipid. c. Hepar mendetoksifikasi produk metabolik serta obat dan toksin, sebelum diekskresikan ke dalam urin.
10
d. Hepar mengkskresikan banyak zat alamiah dan benda asing ke dalam saluran bilier. e. Hepar menyimpan berbagai senyawa, termasuk besi dan vitamin B12 serta vitamin A. f. Sel-sel kupffer mengambil bagian dalam semua aktivitas sistem retikulo endotelial. (Baron, D. N, 1990)
C. Bilirubin 1. Metabolisme Bilirubin Warna kekuning-kuningan serum normal dan warna hijau kekuningkuningan dari empedu disebabkan oleh bilirubin (Widmann, F. K, 1995). Sebagian besar bilirubin (± 85%) terbentuk dari proses katabolik hemoglobin yang berasal dari eritrosit dalam sirkulasi darah, selebihnya (± 15%) berasal dari degradasi hemoglobin dari eritrosit yang belum dewasa, sumsum tulang (eritrosit yang tidak efektif) dan heme lainnya seperti katalase, sitokrom atau mioglobin. (Tim penyusun AAK Nusaputera Semarang, 1996) Eritrosit yang sudah mencapai batas umurnya mengalami proses katabolik dalam limpa, hepar dan sumsum tulang. Pada proses katabolik hemoglobin, mula-mula terjadi pemisahan heme dari globin. Selanjutnya heme yang merupakan kompleks fero-portoporfirin menjadi bilirubin dan ion Fe++ dalam dua tahap. Tahap pertama terjadi pemutusan cincin porpirin pada ”alpha methane bridge” menjadi biliverdin, karbon monoksid dan ion Fe++ oleh enzim
11
hemoksigenase. Tahap kedua biliverdin direduksi menjadi bilirubin oleh pengaruh enzim biliverdin reduktase. Bilirubin yang merupakan hasil pemecahan hemoglobin, kemudian masuk ke dalam sirkulasi darah. Dalam sirkulasi darah diikat oleh albumin. Bilirubin ini merupakan bilirubin yang tak terkonjugasi yang larut dalam lemak. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin masuk ke dalam sel hepar, pada saat masuk terjadi pemisahan bilirubin dan albumin yang terjadi di membran sinusoid. Agar dapat diekskresi ke dalam empedu, maka bilirubin tak terkonjugasi ini diubah menjadi bilirubin terkonjugasi yang larut dalam air. (Tim penyusun AAK Nusaputera Semarang, 1996) Bilirubin yang diekskresikan ke dalam saluran empedu intrahepatal adalah bilirubin terkonjugasi, kemudian melalui duktus hepatikus sinitra dan dekstra menuju duktus koledokus terus ke papila vateri masuk ke usus. Bilirubin terkonjugasi di distal usus halus dan kolon diubah menjadi mesobilinogen, sterkobilinogen dan urobilinogen dengan bantuan enzim yang dikeluarkan oleh bakteri usus. Ketiga zat tersebut memberikan reaksi yang identik dengan reaksi Ehrlich. Sebagian besar urobilinogen dikeluarkan bersama feses. Sebagian kecil direabsorbsi oleh usus ke dalam sistem portal usus ke sirkulasi enterohepatik. Sebagian besar ditangkap sel-sel hepar untuk diekskresikan ke dalam saluran empedu. Sebagian kecil urobilinogen ini lolos dari tangkapan sel-sel hepar masuk sirkulasi darah besar ke ginjal dan keluar bersama urin. (Tim penyuun AAK Nusaputera Semarang, 1996)
12
2. Macam dan Sifat Bilirubin Bilirubin ada 2 macam yaitu : a. Bilirubin tak terkonjugasi / bilirubin indirek yaitu bilirubin yang belum mengalami konjugasi dengan asam glukoronat. Bilirubin ini dapat bereaksi dengan reagen diazo dan Ehrlich setelah penambahan alkohol. Bilirubin ini bersifat larut dalam lemak, non polar, dan tidak larut dalam air. b. Bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk yaitu bilirubin yang sudah mengalami konjugasi dengan asam glukoronat. Bilirubin ini dapat bereaksi langsung dengan reagen diazo dan Ehrlich tanpa penambahan alkohol, tidak larut dalam lemak, polar, dan larut dalam air. Oleh karena itu bilirubin direk ini dapat ditemukan dalam urin. (Tim penyusun AAK Nusaputera Semarang, 1996) 3. Tinjauan Klinis Kadar bilirubin dalam serum dipengaruhi oleh metabolisme hemoglobin, fungsi hepar dan kejadian-kejadian pada saluran empedu. Apabila destruksi eritrosit bertambah, maka terbentuk lebih banyak bilirubin. Itu mungkin menyebabkan bilirubin prehepatik naik sedikit, tetapi hepar normal mempunyai daya ekskresi yangcukup besar, sehingga peningkatan bilirubin dalam serum tidak terlalu tinggi. Melemahnya fungsi hepar menyebabkan kenaikan kadar bilirubin dalam serum. Berkurangnya daya uptake atau konjugasi pada sel-sel hepar mungkin menyababkan kadar bilirubin indirek meningkat, melemahnya ekskresi bilirubin konjugat menyebabkan kadar bilirubin posthepatik meningkat. Serum normal berisi 0,3-1,0 mg/dl bilirubin dan bagian terbesar sebagai bilirubin
13
prehepatik yang tak larut dalam air dan mengandung 0,1-0.4 mg/dl posthepatik. Bila kadar bilirubin direk atau indirek mencapai 2-4 mg/dl dapat menyebabkan ikterus, yakni menguningnya kulit, selaput lendir dan sklera. (Widmann, F. K, 1995) 4. Pemeriksaan Bilirubin dalam Laboratorium a. Pemeriksaan Kualitatif Pemeriksaan bilirubin dalam urin dilakukan secara kualitatif, ada beberapa metode pemeriksaan bilirubin urin yaitu sebagai berikut : 1) Metode Horrison / Fauchet a) Prinsip : visual, bilirubin diendapkan dengan barium chlorida kemudian dioksidasi menjadi biliverdin yang berwarna hijau oleh reagen fauchet. b) Penilaian : -
Negatif : tidak terjadi perubahan warna ( warna presipitat tetap putih)
-
Positif : terjadi warna hijau yang makin lama makin jelas.
c) Nilai normal : negatif 2) Metode Rosin/ Iodine Ring Test a) Prinsip : visual, iodium mengoksidasi bilirubin membentuk senyawa berupa cincin yang berwarna hijau. b) Penilaian : -
Negatif : tidak terbentuk cincin hijau pada perbatasan kedua cairan tersebut.
-
Positif : terbentuk cincin hijau pada perbatasan kedua cairan tersebut.
c) Nilai normal : negatif
14
3) Metode Tablet a) Prinsip : visual, bilirubin dalam suasana asam (sulfosalisilic acid) bereaksi dengan p- toluen sulfonate, membentuk warna biru atau ungu. b) Penilaian : -
Negatif : tidak terbentuk warna biru atau ungu pada asbes sekitar tablet dalam waktu 30 detik.
-
Positif : terbentuk warna biru atau ungu pada asbes sekitar tablet.
c) Nilai normal : negatif b. Pemeriksaan kuantitatif Pemeriksaan kuantitatif bilirubin menggunakan sampel serum atau plasma menggunakan metode Jendrassik dan Groff ( Bilirubin Total), Schellong dan Wende ( Bilirubin Direk). 1) Prinsip
: Bilirubin bereaksi dengan diazotized sulphanilic acid dan
membentuk suatu zat warna yang berwarna merah dalam larutan alkalin. Bilirubin glukoronat yang larut dalam air bereaksi langsung (direk), sedangkan bilirubin yang bebas (indirek) hanya akan bereaksi bila ada akselerator. Bilirubin total dalam serum ditentukan dengan menggunakan metode Jendrassik dan Groff, yaitu dengan mengikatnya dengan diazotized sulfanic acid setelah penambahan caffein, sodium benzoat dan sodium asetat. Azobilirubin yang berwarna biru akan terbentuk dalam larutan alkaline Fehling II. Senyawa biru ini dapat ditentukan secara selektif dengan adanya
15
hasil samping yang berwarna kuning (kolorasi campuran hijau) secara fotometris pada Hg 578. Bilirubin direk diukur dalam bentuk zat azo berwarna merah pada Hg 546 dengan menggunakan metode Schellong dan Wende. Metode ini dibuat berdasarkan definisi dari bilirubin direk yaitu sebagai jumlah bilirubin yang dapat ditentukan sesudah bereaksi selama 5 menit dengan tanpa penambahan akselerator. Pada kondisi ini, bilirubin bebas (indirek) bereaksi sangat lambat. Bilirubin indirek adalah bilirubin total dikurangi dengan bilirubin direk. (Tim penyusun AAK Nusaputera Semarang, 1996) 2) Nilai Normal Bilirubin Total : 0,3-1,0 mg/dl pada orang dewasa. Bilirubin Direk : 0,25 mg/dl pada orang dewasa.
D. Kerangka Teori Dari landasan teori yang ada maka penelitian ini dapat disusun kerangka teori sebagai berikut : Hewan percobaaan mencit
Waktu paparan
Pemberian suplementasi tawas
Plasma
Pemeriksaan kadar bilirubin total
Konsentrasi tawas
16
E. Kerangka Konsep Berdasarkan kerangka teori yang ada, maka dapat disusun kerangka konsep sebagai berikut :
Pemberian suplementasi tawas pada pakan hewan percobaan mencit
Variabel Bebas
Kadar bilirubin total
Variabel Terikat
F. Hipotesis Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Hipotesis Kerja (Ha) : Ada pengaruh pemberian tawas pada pakan hewan percobaan mencit (Mus musculus, L) terhadap kadar bilirubin total.