BAB II TINJAUAN PUSTAKA A.
PENGERTIAN PERTANGGUNGJAWABAN Pertanggungjawaban berasal dari dasar kalimat tanggung jawab yang menurut
kamus umum Bahasa Indonesia artinya keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun yang tidak di sengaja. Sedangkan pertanggungjawaban adalah suatu sikap atau tindakan untuk menanggung segala akibat dengan perbuatan atau segala resiko dan konsekuensinya .1 Menurut Ahmadi wiru, dkk (125;2011), memperhatikan substansi dari pasal 19 ayat (1) undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen dapat diketahui bahwa tanggungjawab pelaku usaha, meliputi : 1. Tanggungjawab atas kerugian atas kerusakan; 2. Tanggungjawab kerugian atas pencemaran; dan 3. Tanggungjawab ganti kerugian atas kerugian konsumen2.
1
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2143559-pengertian-pertanggung-jawaban/ diakses 28/05/13 2 Ahmad wiru, dkk. 2011, Hukum perlindungan konsumen, Rajawali pers, Jakarta. Hlm.125
B. PERLINDUNGAN KONSUMEN Menurut M. Sadar, dkk (7;2012), bahwa perlindungan konsumenadalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen3. Hukum perlindungan konsumen merupakan masalah yang menarik dan menjadi perhatian pemerintah indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini, yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan Konsumen merupakan hal yang sangat perlu untuk terus dilakukan karena berkaitan dengan upaya mensejahterakan masyarakat dalam kaitan dengan semakin berkembang nya transaksi perdagangan jaman modern saat ini. Perhatian mengenai perlindungan konsumen ini bukan hanya di Indonesia tetapi juga telah menjadi perhatian dunia.4
Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen :
a. Bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan spritual dalam era demokrasi ekonomi berdasarkan pancasila dan Undang-undang dasar 1945; 3
M.Sadar,dkk. 2012.hukum perlindungan konsumen di Indonesia, Akademia,Jakarta Barat, ,Hlm.1 ibid,,Hlm.1
4
b. Bahwa pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan jasa yang memiliki kandungan teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan kepastian atas barang dan jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian konsumen. c. Bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah keamanan barang dan atau jasa yang diperolehnya di pasar. d. Bahwa
untuk
meningkatkan kemandirian
meningkatkan kesadaran, konsumen
harkat
pengetahuan, untuk
dan
martabat
kepedulian, melindungi
konsumen
perlu
kemampuan
dan
dirinya
serta
menumbuhkembangkannya sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab. e. Bahwa ketentuan hukum yang melindungi kepentingan konsumen di indonesia belum memadai. f. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas diperlukan perangkat peraturan perundang-undangan untuk mewajibkan keseimbangan perlindungan kepentingan konsumen dan perilaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat. g. Bahwa untuk itu perlu dibentuk undang-undang tentang perlindungan konsumen.
Menurut penjelasan pasal 1 undang-undang republik indonesia nomor 8 Tahun
1999 tentang perlindungan konsumen secara umum mengatakan
pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/jasa yang dapat dikonsumsi. Disamping itu,globalisasi dan perdagangan bebas yang di dukung oleh kemajuan teknologi telkomunikasi dan informatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan jasa yang di inginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen5.
Menurut Janus Sidabalok bahwa perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanyauntuk memenuhi kebutuhannya dari hal-hal yang dapat merugikan konsumen itu sendiri6
Disisi lain, kondisi dan fenomena tersebut diatas dapat mengakibtkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk
5
UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen. Hlm.2 Janus Sidabalok, 2009, Hukum perlindungan Konsumen di Indonesia, Citra Aditya, hlm.9
6
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian estándar yang merugikan konsumen.
Menurut Celina Kristiyanti (1:2009), bahwa perlindungan konsumen adalah menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen saja yang menddapat perlindungan namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan.7
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, undang-undang perlindungan konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembagalembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan kosumen. Upaya pemberdayaan ini penting karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha, yang pada dasarnya prinsip ekonomi pelaku usaha adalah mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung.
7
Celina T.S. kristiyanti, 2009, Hukum perlindungan Konsumen, SinarGrafika, hlm. 1
Atas dasar kondisi sebagaimana di paparkan diatas, perlu upaya pemberdayaan konsumen melalui pembentukan Undang-undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru sebaliknya perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas.
Disamping itu, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dalam pelaksanaannya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal itu dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya. Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filososfi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
C. Pengertian Konsumen
Konsumenadalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
a. Hak Konsumen
Pasal 4Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengemukakan, Hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak utuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam penjelasan pasal 4 huruf g dikatakan, hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimanif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status sosial lainnya.
b. Kewajiban Konsumen
Pasal 5 Undang-undang nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, mengemukakan kewajiban Konsumen adalah :
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. D. Pengertian Pelaku Usaha
Pelaku Usahaadalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukumyang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik
sendiri
maupun
bersama-sama
melalui
perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. a. Hak Pelaku Usaha
Pasal 6UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatakan, hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. b. Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 7 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan kewajiban Pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya: b. memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif d. menjamin
mutu
barang
dan/atau
jasa
yang
diproduksi
dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan stándar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Hak dan kewajiban pelaku usaha merupakan timbal balik. Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha
bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak dari konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima oleh pelaku usaha. Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitan Undang-undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha. Kewajiban-kewajiban pelaku usaha juga sangat erat kaitannya dengan larangan dan tanggung jawab pelaku usaha .
c. Larangan bagi Pelaku Usaha Pasal 8Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatakaan mengatakan : 1. pelaku usaha dilarang memproduksi barang dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan stándar yang dipersyaratkan dengan dan peraturan perundang-undangan
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam labela tau etiket barang tersebut c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam menurut ukuran yang sebenarnya d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam labela tau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi pennjualan barang dan/atau jasa tersebut g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku
usaha serta keterangan ain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud 3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan persediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar d. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Pasal 19 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menerangkan, 1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan 2. Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku .
3. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam tenggang waktu 7(tujuh) hari setelah tanggal transaksi 4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan . 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut adalah kesalahan konsumen . Pasal 22 UU No.8/1999 tentang Perlindungan Konsumen menekankan pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (4)
merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha tanpa menjutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian. Penjelasan pasal 22 UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan, ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik . Pasal 23 UU ini menerangkan, pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan ditempat kedudukan konsumen .
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 26 mengatakan, Pelaku Usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan. E. Pengertian Klausula Baku Menurut pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan konsumen, Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.8 Pasal 18 Undang-Undang Perlindungan konsumen membuat sejumlah larangan penggunaan klausula baku dalam (stándar) kontrak, yaitu sebagai berikut:
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
8
Janus sidabalok, hukum perlindungan konsumen di Indonesia, citra Aditya bakti, bandung, 2010, hlm25
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
sepihak
oleh
pelaku
usaha
dalam
masa
konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran. 2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dinyatakan batal demi hukum. 4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
F. Istilah dan Pengertian Kontrak Istilah Kontrak berasal dari Bahasa Inggris, yaitu contract. Dalam bahasa Belanda disebut dengan overeenkomst ( perjanjian ). Pengertian kontrak atau perjanjian diatur dalam pasal 1313 KUHPerdata. Pasal itu berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih’9. Mengenai definisi perjanjian itu sendiri oleh para ahli juga diartikan secara berbeda-beda, yaitu antara lain menurut Prof. Subekti S.H, Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. 10 Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad S.H, perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.11 9
Salim dkk, Perancangan Kontrak&Memorandum Of Understanding(MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2011 hlm 7 10 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1994, hlm 1 dalam P.N.H Simanjuntak, Pokokpokok hukum perdata, Djambatan, Jakarta, 2009, hlm 331 11 Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hlm 78 dalam P.N.H Simanjuntak, Pokok-Pokok hukum Perdata, Djambatan, Jakarta, 2009, hlm 332
Pasal 1320 KUHPerdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu12: 1.
Kesepakatan kedua belah pihak
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum 3. Adanya objek perjanjian; dan 4. Adanya kausa yang halal
G. Istilah dan Pengertian Perancangan Kontrak Istilah perancangan kontrak berasal dari Bahasa Inggris, yaitu contract drafting. Dalam kamus Bahasa Indonesia ada tiga istilah yang berkaitan dengan perancangan, yaitu istilah rancangan, merancang, dan perancangan. Rancangan adalah segala sesuatu yang sudah direncanakan. Merancang adalah mengatur segala sesuatu atau merencanakan. Perancangan adalah proses, cara, atau perbuatan merancang. Kontrak adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban.
Berdasarkan pengertian diatas, maka definisi dari perancangan kontrak adalah proses atau cara untuk merancang kontrak13.
12
Salim, dkk, Perancangan Kontrak&Memorandum Of Understanding(MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.9 13 Salim dkk, Perancangan Kontrak&Memorandum Of Understanding(MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2011 hlm 1
Didalam buku III KUHPerdata dikenal lima macam asas hukum, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum), asas iktikad baik, dan asas kepribadian. Dari kelima asas hukum itu, yang mempunyai hubungan erat dengan perancangan kontrak adalah asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda (asas kepastian hukum).14
1. Asas Kebebasan Berkontrak Asas Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”15. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk : 1) Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2) Mengadakan perjanjian dengan siapapun; 3) Menentukan isi perjanjian, peaksanaan, dan persyaratannya; dan 4) Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. 2. Asas Pacta Sunt Servanda ( Asas Kepastian Hukum ) Asas pacta sunt servanda menggariskan bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Asas kepastian hukum dapat
14 15
Ibid hlm.1 Ibid hlm 2
disimpulkan dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi; “Perjanjian yang berlaku secara sah berlaku sebagai undang-undang”16
H. Istilah dan Pengertian Perikatan Perikatan berasal dari kata Verbintenis yang berasal dari kata kerja Verbinden yang artinya mengikat. Jadi Verbintenis menunjuk kepada adanya’ikatan’ atau ‘hubungan’. Hal ini memang sesuai dengan definisi Verbintenis sebagai suatu hubungan hukum.17 Dalam perkembangannya pengertian Perikatan telah mangalami perubahan dan dapat dilihat dari definisi Hofmann18 : Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap demikian itu. Kemudian menurut Pitlo19, Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
16
Salim dkk, Perancangan Kontrak&Memorandum Of Understanding(MoU), Sinar Grafika, Jakarta, 2011 hlm 3 17 Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1978, hlm 1 18 L.C Hofmann, Het Nederlands Verbintenissenrecht, eerste gedeelte Wolters-Noordh-off, NV Groningen, hlm 3 dalam Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1978, hlm 2 19 A.Pitlo, Het Verbintenissenrecht naar he Nederlands Burgerlijk Wetboek, H.D.Tjeenk & Zoon, NV Harlem 1952, hlm 2 dalam Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1978, hlm 2
Disisi lain, pengertian perikatan itu sendiri diberikan secara berbedabeda oleh para sarjana yaitu antara lain menurut Prof. Subekti S.H, perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.20 I. Ingkar Janji ( Wanprestasi ) Menurut Setiawan, bahwa pada debitur terletak kewajiban untuk memenuhi prestasi21. Dan jika ia tidak melaksanakan kewajibannya tersebut bukan karena keadaan memaksa maka debitur dianggap melakukan ingkar janji. Ada tiga bentuk ingkar janji, yaitu : 1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali ; 2. Terlambat memenuhi prestasi ; dan 3. Memenuhi prestasi secara tidak baik. Sedangkan ingkar janji membawa akibat yang merugikan bagi debitur, karena sejak saat tersebut berkewajiban mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat daripada ingkar janji tersebut22. Dalam hal debitur melakukan ingkar janji, kreditur dapat menuntut : 1. Pemenuhan Perikatan ; 2. Pemenuhan perikatan dengan ganti rugi ;
20
Subekti, hukum perjanjian, intermasa, Jakarta, 1994, hlm 1 dalam Pnh simanjuntak, pokok_pokok hukum perdata, djambatan, Jakarta, 2009,hlm 318 21 Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, 1978, hlm 17 22 Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta,Bandung, 1978, hlm 18
3. Gantirugi ; 4. Pembatalan persetujuan timbal balik ; 5. Pembatalan dengan gantirugi. J. Gantirugi dalam Ingkar Janji Berdasarkan Pasal 1243 BW dan seterusnya yang mengatur ketentuanketentuan yang prinsipiil mengenai gantirugi yang dapat dituntut oleh kreditur dalam hal tidak dipenuhinya perikatan23. Ketentuan-ketentuan tersebut harus ditafsirkan secara luas, yaitu bahwa : 1. Perkataan ‘Tetap Lalai’ tidak hanya mencakup tidak memenuhi prestasi sama sekali, tetapi juga terlambat, atau tidak baik memenuhi prestasi; 2. Pasal-pasal tersebut pun berlaku bagi tuntutan gantirugi karena perbuatan melawan hukum. K. Pengertian Perjanjian Penitipan Barang Perjanjian penitipan barang adalah suatu perjanjian dimana pihak satu menerima sesuatu barang dari pihak lain dengan janji untuk menyimpannya dan mengembalikannya dalam wujud aslinya.24
Menurut P.N.H Simanjuntak S.H, jenis perjanjian yang terkait dengan penitipan barang disebut perjanjian riil yaitu perjanjian yang timbul karena adanya
23 24
Setiawan, Op.cit. hlm 21 P.n.h simanjuntak, pokok-pokok hukum perdata, Djambatan, Jakarta,2009, hlm 363
kesepakatan antara kedua belah pihak disertai dengan penyerahan nyata atas barangnya.25
Menurut Pasal 1695 KUHPerdata, ada dua jenis penitipan barang yaitu; penitipan rnurni (sejati) dan sekestrasi (penitipan dalarn perselisihan).26
a. Penitipan Murni Pasal 1696 : “Penitipan murni dianggap dilakukan dengan cuma-cuma bila tidak diperjanjikan sebaliknya. Penitipan demikian hanya mengenai barang-barang bergerak’’27
Pasal 1697 :Peranjian penitipan belum terlaksana sebelum barang yang bersangkutan diserahkan betul-betul atau dianggap sudah diserahkan.
Pasal 1698 :Penitipan barang terjadi secara sukarela atau secara terpaksa.
Pasal 1699 :Penitipan barang dengan sukarela terjadi karena ada perjanjian timbal balik antara pemberi titipan dan penerima titipan.
Pasal 1700 :Dihapus dengan S. 1925-525.
25
P.n.h simanjuntak Op.Cit, hlm 336 KUHPerdata hlm.415 27 ibid 26
Pasal 1701 :Penitipan barang dengan sukarela hanya dapat dilakukan antara orang-orang yang cakap untuk mengadakan perjanjian. Akan tetapi jika orang yang cakap untuk mengadakan perjanjian menerima titipan barang dan seseorang yang tidak cakap untuk itu, maka ia harus memenuhi semua kewajiban seorang penerima titip murni.
Pasal 1702 : Jika penitipan barang dilakukan oleh seorang yang berhak kepada seorang yang belum cakap untuk membuat perjanjian, maka pemberi titipan, selama barang itu masih ditangan penerima titipan, dapat menuntut pengembalian barang itu; tetapi jika barang itu tidak ada lagi di tangan penerima titipan maka pemberi titipan dapat menuntut ganti rugi sejauh penenma titipan mendapat manfaat dan barang titipan tersebut.
Pasal 1703 :Penitipan karena terpaksa ialah penitipan yang terpaksa dilakukan oleh karena terjadinya suatu malapetaka, seperti kebakaran, runtuhnya bangunan, perampokican, karamnya kapal, banjir atau peristiwa lain yang tak terduga datangnya.28
Pasal 1704Dihapus dengan S. 1925-525.
28
ibid
Pasal 1705 :Penitipan karena terpaksa, diatur menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi penitipan dengan sukarela.
Pasal 1706 :Penerima titipan wajib memelihara barang titipan itu dengan sebaik-baiknya seperti memelihara barang-barang kepunyaan sendiri.
Pasal 1707 :Ketentuan dalam pasal di atas im wajib diterapkan secara lebih teliti ;
1. jika penerima titipan itu yang mula-mula menawarkan diri untuk menyimpan barang itu 2. jika ia meminta dijanjikan suatu upah untuk penitipan itu; 3. jika penitipan itu terjadi terutama untuk kepentmgan penerima titipan; 4. jika diperjanjikan dengan tegas, bahwa penerima titipan bertanggung jawab atau semua kelalaian dalam menyimpan barang titipan itu.
Pasal 1708 :Penerima titipan sekali-kali tidak harus bertanggung jawab atas kejadian-kejadian yang tidak terelakkan datangnya, kecuali kalau ia telah lalai mengembalikan barang titipan itu.Dalam hal terakhir ini ia tidak bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya barang itu, jika barang itu akan musnah juga sekiranya berada di tangan pemberi titipan
Pasal 1709 :Pengelola rumah penginapan dan losmen, sebagai orang yang menerima titipan barang, bertanggung jawab atas barangbarang yang dibawa tamu yang menginap di situ. Penitipan demikian dianggap sebagai penitipan karena terpaksa.
Pasal 1710 :Mereka bertanggung jawab atas hilangnya atau rusaknya barangbarang tamu, yang dicuri atau dirusak, baik oleh pelayan dalam rumah penginapan itu atau buruh lain maupun oleh orang luar.
Pasal 1711 :Mereka tidak bertanggung jawab atas perampokan atau pencurian yang diperbuat oleh orang yang oleh pelancong diizinkan datang kepadanya.29
Pasal 1712 :Penerima titipan tidak boleh memakai barang titipan tanpa izin yang diberilcan secara tegas oleh pemberi titipan atau dapat disimpulkan adanya, dengan ancaman mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ada alasan untuk itu.
Pasal 1713 :Bila barang yang dititipkan itu tersimpan dalam sebuab peti terkunci atau terbungkus dengan segel, penerima titipan tidak boleh menyelidiki isinya.
29
ibid
Pasal 1714 :Penerima titipan wajib mengembalikan barang yang sama dengan yang diterimanya. Dengan demikian, kalau titipan itu berupa uang tunai maka wajib dikembalikan uang tunai dalam jumlah dan jenis mata uang seperti semula biarpun mata uang itu sudah naik atau turun nilainya.
Pasal 1715 : Penerima titipan hanya wajib mengembalikan barang titipan itu dalam keadaan sebagaimana adanya pada saat pengembalian. Kekurangan yang timbul pada barang itu di luar kesalahan penerima titipan. harus menjadi tanggungan pemberi titipan.
Pasal 1716 :Jika barang titipan dirampas dan kekuasaan penerima titipan tetapi kemudian ia menerima penggantian berupa uang harganya atau barang lain, maka ia wajib mengembalikan apa yang diterimanya itu.30
Pasal 1717 :Bila seorang ahli waris penerima titipan menjual barang titipan itu dengan itikad baik, tanpa mengetahui bahwa barang yang dijualnya itu adalah barang titipan maka ia hanya wajib mengembalikan uang harga pembelian yang telah diterimanya atau jika ia belum menerima uang itu menyerahkan hak untuk menuntut pembeli barang. 30
ibid
Pasal 1718 :Jika barang titipan itu mendatangkan hasil dan hasil itu telah dipungut atau diterima oleh penerima titipan, maka wajiblah ia mengembalikan hasil itu. Ia tidak harus membayar bunga atas uang
yang
dititipkan
kepadanya
tetapi
jika
ia
lalai
mengembalikan uang itu maka terhitung dan han penagihan ia wajib membayar bunga. 31
Pasal 1719 :titipan tidak boleh mengembalikan barang titipan itu selain kepada orang yang menitipkan sendiri barang itu atau kepada orang yang atas namanya menitipkan barang itu, atau kepada wakil yang ditunjuknya untuk menerima kembali barang termaksud.
Pasal 1720 :Ia tidak dapat menuntut orang yang menitipkan barang untuk membuktikan dirinya sebagai pemilik yang sesungguhnya. Bila ia mengetahui bahwa barang itu adalah barang curian, dan mengetahui pula siapa pemilik yang sebenarnya maka ia wajib memberitahukan kepada pemilik itu bahwa barang itu telali dititipkan kepadanya, serta mengingatkan agar ia memintanya kembali dalam waktu tertentu yang pantas. Bila orang itu lalai untuk meminta barang titipan itu maka penyimpan itu menurut
31
ibid
undang-undang tidak dapat dituntut, jika ia menyerahkan barang itu kembali kepada orang yang menitipkan barang itu.32
Pasal 1721 :pemberi titipan meninggal dunia maka barang titipannya itu hanya dapat dikembalikan kepada ahli warisnya. Jika ada lebih dan seorang ahli waris maka barang itu harus dikembalilcan kepada semua ahii waris, atau kepada masmg-masmg menurut ukuran bagian masing-masing. Jika barang titipan tidak dapat dibagi-bagi, maka para ahli waris harus bermufakat tentang siapa yang menerima kembali barang itu.
Pasal 1722 : Jika pemberi titipan berganti kedudukan hukum, misalnya bila seorang perempuan yang belum menikah kemudian menikah sehingga ia menjadi berada di bawah kekuasaan suaminya atau bila seorang dewasa ditempatkan di bawah pengampuan, barang titipan itu tidak boleh dikembalikan selain kepada orang yang ditugaskan mengurus hak-hak dan harta benda pemberi titipan itu kecuali kalau penyimpanan barang mempunyai alasan yang sah untuk membuktikan bahwa ia tidak mengetahui perubahan kedudukan hukum pemberi titipan itu.
32
ibid
Pasal 1723 :penitipan barang dilakukan oleh seorang wali pengampu, suami atau pengurus, dan kemudian kekuasaan mereka berakhir maka barang itu hanya boleh dikembalikan kepada pemiik sah barang itu yaitu orang yang diwakili oleh wali, pengampu, suami atau pengurus itu.
Pasal 1724 :Pengembalian barang yang dititipkan harus dilakukan di tempat yang ditentukan dalam perjanjian. Jika tempat itu tidak ditentukan dalam perjanjian, maka pengembalian harus diakukan di tempat penitipan barang itu. Semua biaya yang perlu dikeluarkan untuk penyerahan kembali itu, harus ditanggung oleh pemberi titipan. 33
Pasal 1725 :Bila pemberi titipan menuntut barang titipan itu, maka barañg itu harus dikembalikan seketika itu biarpun dalam perjanjian ditetapkan waktu tertentu untuk pengembalian itu, kecuali kalau barang itu telah disita dan tangan penenma titipan.
Pasal 1726 :Bila penerima titipan mempunyai alasan yang sah untuk dibebaskan daribarangyang dititipkan kepadanya, maka ia dapat juga mengembalikan barang titipan itu sebelum tiba waktu pengembalian yang ditentukan dalam perjanjian jika 33
ibid
pembeni titipan menolaknya maka penerima titipan boleh meminta izin kepada Pengadilan untuk memtipkan barang itu pada orang lain.
Pasal 1727 :Semua kewajiban penerima titipan berhenti bila ia mengetahui dan dapat membuktikan bahwa ia sendirilah pemilik sah barang yang dititipkan kepadanya itu.
Pasal 1728 :titipan wajib mengganti semua biaya yang dikeluarkan penyimpan guna menyelamatkan barang titipan itu serta segala kerugian yang didentanya karena penitipan itu.
Pasal 1729 :Penerima titipan berhak menahan barang titipan selama belum diganti semua ongkos kerugian yang wajib dibayar kepadanya karena penitipan itu. 34
b. Sekestrasi
Pasal 1730 :Sekestrasi ialah penitipan barang yang berada dalam persengketaan kepada orang lain yang mengilcatkan din untuk mengembalikan barang itu dengan semua hasilnya kepada yang berhak atasnya setelah perselisihan diputus
34
ibid
oleh
Pengadilan.
Penitipan
demikian
terjadi
karena
perjanjian atau karena perintah Hakim. 35
Pasal 1731 : Sekestrasi terjadi karena suatu peijanjian, bila barang yang dipersengketakan itu diserahkan kepada orang lain oleh seseorang atau lebih dengan sukarela.
Pasal 1732 : Tidak diharuskan bahwa sekestrasi berlaku dengan cuma-cuma.
Pasal 1733 : Sekestrasi tunduk pada semua aturan yang berlaku bagi penitipan murni kecuali mengenai hal-hal di bawah ini.
Pasal 1734 : Sekestrasi dapat mengenai barang-barang tak bergerak dan barang-barang bergerak.
Pasal 1735 :Penerima titipan yang ditugaskan melakukan sekestrasi tidak dapat dibebaskan dan kewajiban menyimpan barang titipan itu sebelum sengketa disele saikan kecuali bila orang-orang yang berkepentingan telah memberi izin untuk itu atau bila ada alasan yang sah.
Pasal 1736 :Sekestrasi atas perintah Pengadilan terjadi bila Pengadilan memerintahkan supaya suatu barang dititipkan kepada orang
35
KUHPerdata hlm 420
lain selama sengketa tentang barang itu belum dapat diselesaikan.
Pasal 1737 : Sekestrasi dan Pengadilan ditugaskan kepada seorang yang ditunjuk atau mufakat kedua belah pihak yang berperkara, atau kepada orang-orang lain yang diangkat oleh Pengadilan karena jabatan.Dalam kedua hal tersebut orang yang telah diserahi urusan itu harus memenuhi semua kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian tentang sekestrasi itu, dan atas tuntutan Kejaksaan, ia wajib menyerahkan suatu perhitungan ringkas setiap tahun kepada Hakim tentang urusan penitipan barang itu, dengan menunjukkan barangbarang yang dipersyaratkan kepadanya; tetapi jika perhitungan itu kemudian
tidak
disetujui
oleh
orangorang
yang
berkepantingan, penyimpan tidak dapat menyanggah dengan mengatakan bahwa perhitungan itu sudah disetujui oleh Pengadilan.
Pasal 1738 :Pengadilan dapat memerintahkan supaya dilakukan sekestrasi:
1. Atas barang-barang bergerak yang telah disita dan tangan seorang debitur;
2. Atas suatu barang bergerak atau barang tak bergerak, yang hak milik mutlak atau besit atas barang itu menjadi sengketa antara dua orang atau lebih36; 3. Atas barang-barang yang ditawarkan oleh seorang debitur untuk membayar utangnya.
Pasal 1739 :Pengangkatan seorang penyimpan oleh Pengadilan, menimbulkan kewajiban-kewajiban
timbal
balik
antara
penyita
dan
penyimpan. Penyimpan wajib memelihara barang yang disita itu sebagai seorang bapak rumah tangga yang baik. Ia wajib menyerahkan barang itu baik untuk dijual guna melunasi piutang penyita, maupun untuk dikembalikan kepada orang yang barangnya kena sita, jika penyitaan atas barangnya itu telah dicabut. Kewajiban penyita ialah membayar upah penyimpan yang ditentukan dalam undang-undang.
L. Pengertian Barang
Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
M. Pengertian Jasa 36
ibid
Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. N. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen Pasal 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan, perlindungan konsumen berasaskan manaat, keadlan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepstian hukum. Penjelasan pasal 2 Undang-undang ini menguraikan, pelindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdaarkan 5(lima) asas yang relevan dalam pembangunan naional yaitu : 1. Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan 2. Asas Keadilan dimkasudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan membeikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintahdalam arti materiil ataupun spiritual 4. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam
penggunaan dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas Kepastian Hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Pasal 3 UU Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen mengemukakan, perlindungan konsumen bertujuan : a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirin konsumen untuk melindungi diri b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen denan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen d. Menciptakan sistem perlindungna konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaa informasi serta akses untuk mendapatkan informasi e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.