BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini membahas berbagai literatur dan hasil penelitian terdahulu yang menguji pengaruh komitmen organisasi dan komitmen profesional terhadap kepuasan kerja auditor internal. Kajian literatur dan hasil penelitian terdahulu tersebut selanjutnya menjadi landasan teoritis bagi peneliti untuk mengembangkan model pada kerangka pemikiran teoritis dan perumusan hipotesis dalam penelitian ini.
2.1
Landasan Teori
2.1.1 Akuntansi Perilaku (Behavioral Accounting) Ilmu akuntansi merupakan ilmu yang selalu berkembang. Perkembangan ilmu akuntansi seiring dengan perkembangan di dalam dunia bisnis sekarang ini. Pada perkembangannya, akuntansi berperan dalam menghasilkan informasi keuangan maupun non-keuangan yang digunakan oleh para pemakainya dalam proses pengambilan keputusan bisnis. Akuntansi tidak bisa dilepaskan dari aspek perilaku manusia serta kebutuhan organisasi akan informasi yang dapat dihasilkan oleh akuntansi. Akuntansi keperilakuan dapat didefinisikan sebagai subdisiplin ilmu akuntansi yang melibatkan aspek-aspek keperilakuan manusia terkait dengan proses pengambilan keputusan ekonomi (Lubis, 2010). Kontributor utama terhadap ilmu keperilakuan adalah psikologi, sosiologi, dan psikologi sosial yang mana mencoba menggambarkan dan menjelaskan perilaku
9
10
manusia walaupun secara keseluruhan ketiga disiplin tersebut memiliki perbedaan perspektif mengenai kondisi manusia. Psikologi terutama adalah disiplin ilmu dengan kajian bagaimana cara seorang individu bertindak. Di pihak lain, sosiologi dan psikologi sosial memusatkan perhatiannya pada perilaku kelompok sosial. Konsep perilaku (Behavioral Concept) pada awalnya merupakan kajian bidang utama dalam psikologi dan sosial psikologi, tetapi faktor-faktor psikologi dan sosial psikologi sangan relevan dalam bidang akuntansi (Siegel dan Marconi, 1986; Sumirat, 2006). Para akuntan telah mengembangkan faktor-faktor psikologi dan sosial psikologi termasuk masalah pengendalian. Ilmu sosiologi dan psikologi juga dikonsentrasikan pada pengendalian seperti halnya sosial dan fenomena personal (Hopwood, 1974; Sumirat, 2006). Berikut ini dijelaskan faktor-faktor sosiologi, psikologi, psikologi sosial yang relevan dengan akuntansi keperilakuan (Siegel dan Marconi, 1986; Sumirat, 2006). Berikut penjelasannya : a) Sikap Sikap adalah suatu hal yang mempelajari mengenai seluruh tendensi tindakan, baik yang menguntungkan maupun yang tidak menguntungkan, tujuan manusia, objek, gagasan, dan situasi. b) Motivasi Motivasi merupakan proses yang menentukan intensitas, arah, dan ketekunan individu dalam usaha mencapai sasaran.
11
c) Persepsi Persepsi adalah bagaimana orang-orang melihat atau menginterpretasikan peristiwa, objek, serta manusia. d) Pembelajaran Pembelajaran didefinisikan sebagai proses dimana perilaku baru diperlukan. e) Kepribadian Kepribadian mengacu pada bagian karakteristik psikologi dalam diri seseorang yang menentukan dan mencerminkan bagaimana orang tersebut merespon lingkungannya. Ruang lingkup akuntansi keperilakuan lebih fokus kepada hubungan antara perilaku manusia dan sistem akuntansi (Lubis, 2010). Ruang lingkup akuntansi keperilakuan terdiri dari : 1. Aplikasi dari konsep ilmu keperilakuan terhadap desain dan konstruksi sistem akuntansi. 2. Studi tentang reaksi manusia terhadap format dan isi laporan akuntansi. 3. Cara dengan mana informasi diproses untuk membantu dalam pengambilan keputusan 4. Pengembangan teknik yang dapat mengkomunikasikan perilaku para pemakai data akuntansi. 5. Pengembangan strategi untuk memotivasi dan mempengaruhi perilaku.
12
2.1.1.1 Perkembangan Sejarah Akuntansi Keperilakuan Sejak tahun 1950-an, beberapa riset tentang akuntansi mulai mencoba menghubungkan akuntansi dengan aspek perilaku. Hal ini dimulai oleh Agryis pada tahun 1952. Selain itu, Binberg dan Shields (1989) mengklasifikasikan riset akuntansi keperilakuan menjadi lima aliran, yaitu pengendalian manajemen, pemrosesan informasi akuntansi, desain sistem informasi, riset audit, dan sosiologi organisasional. Akuntansi keperilakuan sebenarnya merupakan bagian dari ilmu akuntansi yang perkembangannya semakin meningkat dalam 25 tahun belakangan ini. Hal ini ditandai dengan lahirnya sejumlah jurnal dan artikel yang berkaitan dengan keperilakuan (Behavioral), dan semakin menjamurnya buku-buku teks berbahasa asing yang membahas tentang akuntansi keperilakuan. Salah satu jurnal paling populer yang mengangkat permasalahan akuntansi keperilakuan adalah Behavior Research in Accounting yang diterbitkan oleh American Accounting Association. Di Amerika Serikat sendiri, mata kuliah mengenai akuntansi keperilakuan semakin banyak ditawarkan. Pada awal perkembagannya, riset akuntansi keperilakuan menekankan pada aspek akuntansi manajemen, khususnya penganggaran. Namun cakupannya berkembang dan bergeser ke arah akuntansi keuangan, sistem informasi akuntansi, dan audit. Perkembangan yang pesat dalam akuntansi keperilakuan lebih disebabkan akuntansi secara simultan dihadapkan dengan ilmu-ilmu sosial yang lain secara menyeluruh. Jawaban atas pertanyaan seperti bagaimana perilaku manusia mempengaruhi data akuntansi dan keputusan bisnis, serta bagaimana akuntansi
13
mempengaruhi keputusan bisnis dan perilaku manusia selalu dicari. Pada gilirannya akuntansi keperilakuan diyakini dapat menjadi suatu terobosan yang baik dalam pengukuran bisnis dan informasi, yang memungkinkan para direktur eksekutif (chief executive officer), direktur keuangan (Chief Financial officer), dan penyusunan rencana strategis lainnya (Lubis, 2010).
2.1.1.2 Perbedaan Ilmu Keperilakuan dan Akuntansi Keperilakuan Ilmu keperilakuan memiliki kaitan terhadap penjelasan dan prediksi keperilakuan manusia. Akuntansi keperilakuan menghubungkan antara keperilakuan manusia dengan akuntansi. Ilmu keperilakuan merupakan bagian dari ilmu sosial, sedangkan akuntansi keperilakuan merupakan bagian dari ilmu akuntansi dan pengetahuan keperilakuan. Oleh karena itu, ilmuwan keperilakuan terlibat dalam riset terhadap aspek-aspek teori motivasi, kepuasan sosial, dan bentu sikap. Sementara itu, akuntansi keperilakuan menerapkan unsur-unsur khusus dari riset atau teori tersebut untuk menghasilkan hubungan dengan situasi akuntansi yang ada. Namun, akuntansi keperilakuan tidak akan mempelajari seluruh aspek tersebut karena sebagian berada diluar batasan-batasan akuntansi. Meskipun demikian, temuan studi antropologi membuktikan relevansi dalam menjelaskan hubungan antara orang-orang dengan sistem akuntansi, maka para akuntan keperilakuan perlu mempertimbangkan dengan seksama. Akuntan keperilakuan dan ilmuwan keperilakuan memiliki kemampuan yang sama terhadap pendekatan akuntansi yang berkaitan dengan dilema organisasi, tetapi baik akuntan keperilakuan maupun ilmuwan keperilakuan memiliki peranan
14
yang berbeda dalam memecahkan masalah. Akuntan keperilakuan memahami struktur dan fungsi dari sistem akuntansi serta orang-orang yang terlibat di dalamnya, sedangkan ilmuwan keperilakuan memiliki pandangan yang mendalam terhadap keseluruhan dinamika organisasional dan pengembangan pola keperilakuan (Lubis, 2010). Perbedaan antara akuntan keprilakuan dan ilmuwan keperilakuan dipaparkan dalam Tabel 2.1 sebagai berikut:
Tabel 2.1 Perbedaan antara Akuntan Keperilakuan dan Ilmuwan Keperilakuan No
Perbedaan
Akuntan Keperilakuan Keutamaan akuntansi dan pengetahuan dasar dari ilmu sosial
Ilmuwan Keperilakuan
1
Area Keahlian
2
Kemampuan mendesain dan melaksanakan perencanaan proyek keperilakuan
Bukan elemen utama dalam pelatihan
Elemen kunci dalam pelatihan
3
Pengetahuan dan pemahaman terhadap pekerjaan organisasi bisnis secara umum dan sistem akuntansi secara khusus
Elemen kunci dalam pelatihan
Bukan elemen kunci dalam pelatihan
4
Orientasi
Profesional
Ilmiah
5
Pendekatan Masalah
Praktik
Teoritis dan praktik
6
Fungsi
Melayani klien, menasihati manajemen
Ilmu lanjutan dan pemecahan masalah
7
Kepentingan dalam ilmu keperilakuan
Terbatas terhadap akuntansi (terkait bidang)
Terbatas terhadap disiplin yang luas dalam ilmu keperilakuan
Sumber: Lubis (2010)
Keutamaan ilmu sosial, tidak ada pengetahuan akuntansi
15
2.1.2
Sikap dan Perilaku Lubis (2010) menyatakan bahwa: “Perilaku ditentukan oleh sikap, aturan-aturan sosial dan kebiasaan. Sikap terdiri dari komponen kognitif yaitu keyakinan, komponen afektif yaitu suka atau tidak suka berkaitan apa yang dirasakan dan komponen perilaku yaitu bagaimana seorang ingin berperilaku terhadap sikap.” Sedangkan mengenai teori sikap dan perilaku, Indrawijaya (2002) menyatakan
bahwa: “Sikap adalah suatu cara bereaksi terhadap suatu rangsangan yang timbul dari suatu situasi. Sikap seseorang merupakan perpaduan antara masa lampaunya dengan keadaan lingkungannya masa kini. Sikap mencakup tiga komponen, yaitu kognitif, afektif, dan perilaku.” Definisi sikap dan perilaku menurut Hellriegel dan Slocum (2004) adalah: “Attitudes are another type of individual difference that affect behavior. Attitude are relatively lasting feeling, beliefs, and behavioral tendencies aimed at specific people, groups, ideas, or objects. Attitudes reflect an individual’s background and experiences. An attitudes consist of: (1) Affective component are the feelings, sentiments, moods, and emotions about some person, idea, event, or object. (2) Cognitive component are the thought, opinions, knowledge, or information held by the individual. (3) Behavioral component are the predisposition to act on a favorable or unfavorable evaluation of something.” Berdasarkan definisi diatas, maka sikap dapat diartikan sebagai perbedaan karakteristik yang melekat pada masing-masing individu yang dapat mempengaruhi perilaku dari individu tersebut. Sikap menentukan perasaan, keyakinan, dan perilaku individu dalam menilai dan menginterpretasikan suatu objek. Sikap dapat mencerminkan latar belakang dan pengalaman seseorang.
16
McShane dan Von Glinow (2003) menyatakan bahwa: “Attitude consist of three components: (1) Beliefs are your perceptions about the attitude object. (2) Fellings are the positive or negative evaluations of the attitude object. (3) Behavioral intentions are represent your motivation to engage in a particular behavior with respect to the attitude object.” Berdasarkan penjelasan diatas, sikap terdiri dari kepercayaan atau keyakinan, perasaan, dan perilaku. Berikut penjelasannya : 1. Beliefs Beliefs adalah persepsi bagaimana individu melihat dan menginterpretasikan sikap suatu objek. 2. Feelings Feelings adalah penilaian baik positif maupun negatif terhadap sikap dari suatu objek yang diamati. 3. Behavioral Intentions Behavioral Intentions adalah sebab atau motivasi yang mendasari seseorang untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Definisi sikap menurut Robbins (2003) adalah: “Attitudes are evaluative statements either favorable or infavorable concerning object, people, or events. They reflect how one feels about something. Attitudes are not same as values. The three component of an attitude: cognition, affection, and behavior.” Berdasarkan penjelasan teori sikap dan perilaku diatas, maka dapat disimpulkan sikap sebagai suatu penilaian baik maupun buruk, positif maupun negatif yang melekat pada suatu objek. Sikap merefleksikan perasaan terhadap sesuatu serta
17
memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang. Sikap terdiri dari tiga komponen yaitu, kognitif, afektif, dan perilaku. Berikut penjelasannya: 1. Komponen Kognitif Komponen ini merupakan proses pengamatan terhadap sesuatu (barang, orang, tempat, peristiwa) sehingga kita dapat mengenalnya untuk memberikan keyakinan dan pendapat terhadap sikap. 2. Komponen Afektif Komponen ini menyangkut mencari alasan mengapa seseorang menganggap sesuatu itu baik, buruk, senang atau tidak senang dan sebagainya. Komponen ini meruapakan bentuk dari emosional dan perasaan suatu sikap. 3. Komponen Perilaku Komponen ini berkaitan dengan interaksi seseorang dengan orang lain atau sesuatu lainnya. Komponen ini merujuk dari suatu maksud untuk berperilaku dalam suatu cara tertentu terhadap seseorang atau sesuatu.
2.1.3
Teori Atribusi Teori atribusi dikutip dari Hellriegel dan Slocum (2004) adalah: “The attribution process refers to the ways in which people come to understand the causes of their own and others behaviors. In essence, the attribution process reflects people’s need to explain events through the deliberate actions of others rather than viewing them as random events. To maintain the illusion of control, people need to create causal attributions for events. The attributions made about the reasons for someone’s behavior may affect judgments about that individual’s basic characteristics.”
18
Berdasarkan penjelasan diatas, teori atribusi merupakan sebuah teori yang mengemukakan dan menjelaskan sebab atau alasan seseorang melakukan perilakuperilaku tertentu. Setiap perilaku individu dilandasi oleh alasan-alasan dan motivasi tertentu. Jadi teori ini memandang setiap perilaku individu sebagai sebuah hubungan kausalitas atau sebab akibat. Dalam menentukan apakah penyebab perilaku itu timbul secara internal atau eksternal bergantung pada tiga faktor: (1) perbedaan, (2) konsensus, (3) konsistensi (Lubis, 2010). Penjelasan ketiga faktor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Perbedaan (distinctiveness) Perbedaan mengacu pada apakah seorang individu bertindak sama dalam berbagai keadaan. Apakah mahasiswa selalu underperforming (misalnya terlambat masuk kelas, masa bodoh dengan pertemuan tim, tidak segera menjawab e-mail) atau apakah perilaku mahasiswa dalam suatu situasi tidak seperti apa yang dia perlihatkan pada situasi lain. Jika perilaku adalah tidak biasa, pengamat mungkin akan menggolongkannya ke dalam atribusi eksternal. 2. Konsensus (consensus) Konsensus
mempertimbangkan
bagaimana
perilaku
seorang
individu
dibandingkan dengan individu lain pada situasi yang sama. Jika setiap orang yang dihadapkan pada situasi yang sama menanggapi situasi tersebut dengan cara yang sama, dapat dikatakan perilaku tersebut menunjukan konsensus.
19
Ketika konsensus tinggi, satu atribusi eksternal diberikan terhadap perilaku seseorang. 3. Konsistensi (concistency) Seorang pengamat melihat konsistensi pada satu tindakan yang diulang sepanjang waktu. Jika seorang mahasiswa yang biasanya datang tepat waktu ini terlambat 10 menit, jalannya perkuliahan akan dirasakan berbeda olehnya dibandingkan ketika mahasiswa yang terlambat secara rutin ini terlambat. Jika seorang mahasiswa selalu terlambat, maka keterlambatan merupakan atribut penyebab internal.
2.1.4 Audit Internal 2.1.4.1. Pengertian Audit Internal The Institute of Internal Auditors yang terdapat dalam Standard for Professional Practice of Internal Auditing, menyatakan bahwa: “Internal auditing is an independent appraisal function established within an organization to examine and evaluate as a service to the organization.” Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa internal audit memiliki enam elemen, yaitu: 1. Internal Mengkualifikasikan pemeriksaan dengan menyatakan bahwa pemeriksaan telah dilakukan oleh karyawan organisasi. Hal ini yang membedakan audit
20
internal dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh akuntan publik atau semua pihak secara langusng bukan merupakan bagian dari organisasi. 2. Independen Appraisal Independen terhadap aktivitas yang diaudit sehingga auditor dapat memberikan gambaran hasil pemeriksaan yang objektif, namun sifat independensi ini tidak sama dengan independensi pada auditor eksternal. 3. Established Aktivitas audit internal tidak bersifat sementara. Audit internal dibentuk dengan tujuan agar kegiatan pemeriksaan dan penilaian dapat berjalan terus. Hal ini yang membedakan dengan aktivitas yang dilakukan oleh eksternal audit yang bersifat sementara. 4. Examine and Evaluate Hal ini merupakan teknik atau cara audit atas aktivitas dan kegiatan organisasi perusahaan yang diaudit. 5. Organization’s Activities Objek dari internal audit adalah seluruh kegiatan perusahaan yang terjadi di dalam perusahaan, baik kegiatan keuangan dan akuntansi maupun kegiatan yang diluar kegiatan akuntansi. 6. Service to the organization Jasa yang telah diberikan merupakan laporan hasil audit yang juga mencakup rekomendasi atas kelemahan-kelemahan
yang harus diperbaiki oleh
manajemen dan melakukan tindak lanjut untuk memastikan apakah temuan-
21
temuan atas kelemahan-kelemahan tersebut telah diperbaiki oleh manajemen atau belum. Pengertian audit internal yang lebih lengkap dan luas dinyatakan oleh The Institut of Internal Auditors yang terdapat di dalam Statement of Responsibilities of Internal Auditing, menyatakan bahwa: “Internal Audting is an independent appraisal established within an organization. It is a control which function by examining and evaluating the adequacy and effectiveness of others controls.” Dari pengertian di atas, secara tegas dinyatakan bahwa auditor internal juga memeriksa dan mengevaluasi kecukupan dan keefektifan kebijakan dan prosedur struktur pengendalian intern lain dalam satu satuan usaha. Pengertian audit internal menurut The National Industrial Conference Board in Internal Auditing, Business Policy Study No. 111.1963, adalah: "Internal Auditing is a series of processes and techniques through which an organization’s employee ascertain for the management, by means of first hand, on the job observation, established maintained, records and reports financial, ,otherwise reflect actual operations and results accurately, promptly and each division, department or other unit is carrying about the plan, policies, and procedures for which it is responsibles.” Menurut pengertian di atas, audit internal dapat didefinisikan sebagai proses dan metode yang dilaksanakan untuk memastikan laporan keuangan telah disajikan sesuai dengan standar, kegiatan operasional berjalan efektif dan efesien sesuai dengan kebijakan perusahaan.
22
Pengertian audit internal menurut Agoes (2004) adalah: “Internal audit adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit dalam suatu perusahaan, baik terhadap laporan keuangan perusahaan, dan catatan akuntansi perusahaan, maupun ketaatan terhadap kebijakan manajemen puncak yang telah ditentukan dan ketaatan terhadap peraturan pemerintah dan ketentuan-ketentuan dari ikatan profesi yang berlaku. Peraturan-peraturan pemerintah misalnya, peraturan perpajakan, pasar modal, lingkungan hidup, perbankan, perindustrian, investasi dan lain-lain.” Berdasarkan pengertian di atas, pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan bertujuan untuk mengetahui apakah pembukuan dan laporan keuangan tersebut telah menunjukan gambaran aktivitas yang sebenarnya dan untuk mengetahui apakah setiap bagian atau unit benar-benar telah melaksanakan kebijakan rencana dan prosedur yang telah ditetapkan oeh manajemen puncak. Definisi audit internal menurut Tugiman (2006) adalah: “Audit internal adalah suatu fungsi penilaian yang independen dalam suatu organisasi yang bertujuan menguji dan mengevaluasi kegiatan organisasi yang telah dilaksanakan.” Sedangkan Mulyadi (2002) menyatakan bahwa: “Audit internal merupakan kegiatan penilaian bebas yang terdapat dalam organisasi, yang dilakukan dengan cara memeriksa akuntansi keuangan dan kegiatan lain untuk memberikan jasa bagi manajemen dalam melaksanakan tanggung jawab mereka dengan cara menyajikan analisis penilaian, rekomendasi dan komentar-komentar penting terhadap kegiatan manajemen.” Berdasarkan pengertian di atas, diketahui bahwa audit internal merupakan suatu fungsi penilaian yang bebas dalam suatu organisasi guna menelaah atau
23
mempelajari dan menilai kegiatan-kegiatan perusahaan untuk memberikan saran kepada manajemen. Board of Directors IIA memberikan definisi baru audit internal sebagai berikut: “Internal auditing is an independent objectives assurance and consulting activity designed to add value and improve an organization’s operatives. It helps an organization accomplish its objectives by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and improve effectiveness of risk management, control and governance process.” Berdasarkan pengertian baru di atas, audit internal kini tidak saja menjalankan fungsi penilaian dan fungsi pemeriksaan, tapi juga menjalankan fungsi konsultasi dan keyakinan (Assurance) yang dikelola secara independen.
2.1.4.2 Pengertian Auditor Internal Menurut Mulyadi (2002) definisi auditor internal adalah: “Auditor internal adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (perusahaan negara maupun perusahaan swasta) yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh bagian berbagian organisasi.” Dari defenisi tersebut, dapat dilihat beberapa lingkup tugas auditor internal dalam perusahaan yang bertujuan untuk menilai efisiensi dan efektivitas kegiatan usaha dan juga pengendalian internal yang telah dijalankan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi bertujuan untuk mengetahui apakah pembukuan dan laporan
24
keuangan tersebut telah menunjukkan gambaran aktivitas yang sewajarnya dan untuk mengetahui apakah setiap bagian atau unit benar-benar telah melaksanakan kebijakan rencana dan prosedur yang telah ditetapkan oleh manajemen puncak.
2.1.4.3 Tanggung Jawab Auditor Internal Wewanang dan tanggung jawab auditor internal dalam suatu organisasi juga harus ditetapkan secara jelas oleh pimpinan. Wewenang tersebut harus memberikan keleluasaan auditor internal untuk melakukan audit terhadap catatan-catatan, harta milik, operasi/aktivitas yang sedang berjalan dan para pegawai badan usaha (Chandry, 2009). Tanggung jawab auditor internal yang dinyatakan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) di dalam Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) adalah sebagai berikut: “Auditor internal bertanggung jawab untuk menyediakan jasa analisis dan evaluasi, memberikan keyakinan, rekomendasi dan informasi kepada manajemen entitas dan dewan komisaris atau pihak lain yang setara wewenang dan tanggung jawabnya.” Sedangkan tanggung jawab auditor internal menurut Tunggal (2000) adalah: “Tanggung jawab auditor internal adalah menerapkan program audit internal, mengarahkan personel, dan aktivitas-aktivitas departemen audit, serta menyiapkan rencana tahunan untuk pemeriksaan semua unit perusahaan, dan menyajikan program yang telah dibuat untuk persetujuan.” Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan secara garis besar tanggung jawab auditor internal adalah sebagai berikut: 1. Memberikan informasi dan saran-saran kepada manajemen atas kelemahankelemahan yang ditemukannya.
25
2. Mengkordinasikan aktivitas-aktivitas yang ada dalam perusahaan untuk mencapai tujuan audit dan tujuan organisasi perusahaan.
2.1.4.4 Kedudukan Auditor Internal Menurut Agoes (2004), ada empat alternatif kedudukan auditor internal dalam struktur organisasi perusahaan yaitu : 1. Bagian internal audit berada di bawah direktur keuangan. Pada kedudukan ini, internal audit sepenuhnya bertanggung jawab kepada direktur keuangan. Dalam hal ini ruang lingkup pemeriksaan internal auditor menjadi sempit karena hanya ditekankan pada pengendalian atas bagian keuangan saja. 2. Bagian internal audit merupakan staff dari direktur utama. Pada kedudukan ini, auditor internal memiliki tingkat independensi yang tinggi, karena internal auditor dapat melakukan pemeriksaan ke seluruh bagian, kecuali pimpinan perusahaan atau direktur utama. 3. Bagian internal audit merupakan staff dewan komisaris. Pada kedudukan ini, internal auditor memiliki tingkat indepedensi yang sangat tinggi karena dapat melakukan pemeriksaan terhadap seluruh aspek organisasi. 4. Bagian internal audit dipimpin oleh direktur internal audit. Pada kedudukan ini, bagian internal audit dipimpin oleh seorang direktur audit internal bertugas untuk mengarahkan personil dan aktivitas-aktivitas
26
departemen audit internal dan mempunyai tanggung jawab terhadap program dan pelatihan staff audit internal.
2.1.5 Komitmen organisasi 2.1.5.1 Pengertian Komitmen Organisasi Definisi komitmen organisasi menurut Lubis (2010) adalah: “Komitmen organisasi merupakan tingkat sejauh apa seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut, dan merupakan nilai personal yang terkadang mengacu pada sikap loyal pada perusahaan atau komitmen pada perusahaan.” Definisi komitmen organisasi menurut Robbins (2003) adalah: “Organizational commitment is defined as a belief in the acceptance of goals and values of organization, a willingness to use a genuine effort to interests of organization, a desire to maintain membership in organization.” Berdasarkan definisi diatas, dapat diartikan komitmen organisasi merupakan keyakinan dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi, kerelaan sekuat tenaga berusaha untuk kepentingan organisasi dan kemauan untuk memelihara keanggotaannya dalam suatu organisasi. Sedangkan Spector (2007) menyatakan bahwa: “Organizational commitments is another popular attitudinal variable in the work domain. It is strongly related to job satisfaction/”
27
Berdasarkan pendapat di atas, dapat diartikan komitmen organisasi merupakan variabel keperilakuan di dalam lingkungan kerja yang memiliki hubungan kuat terhadap kepuasan kerja. Pengertian komitmen organisasi menurt Newstrom (2007) adalah: “organizational commitment is the degree to which an employee identifies with the organization and wants to continue actively participating in it.” Berdasarkan pengertian diatas, komitmen organisasi dapat diartikan sebagai tingkat sejauh mana seorang karyawan mengenal perusahaanya dan ikut berpartisipasi secara aktif di dalamnya dalam jangka waktu yang berkelanjutan. Sedangkan menyangkut pengertian komitmen organisasi, Greenberg dan Baron (2003) menyatakan bahwa: “Organizational commitment is the degree to which people are involved with their organization and are interested in remaining within them.” Berdasarkan pengertian diatas, komitmen organisasi dapat diartikan sebagai tingkat sejauh mana seseorang terlibat di dalam suatu organisasi dan menjadi bagian dari organisasi itu. Luthans (2007) dialihbahasakan oleh Yuwono, mendefinisikan komitmen organisasi sebagai berikut: “Komitmen organisasi adalah suatu sikap yang merefleksikan loyalitas karyawan pada suatu organisasi dan proses berkelanjutan dimana anggota organisasi mengekspresikan perhatiannya terhadap organisasi dan keberhasilan serta kemajuan yang berkelanjutan.”
28
Sedangkan pengertian komitmen organisasi menurut McShine dan Von Glinow (2003) adalah: “Organizational commitment is the employee’s emotional attachment to, identification with, and involvement in a particular organization.” Berdasarkan pengertian di atas, maka komitmen organisasi dapat diartikan sebagai ikatan emosional yang melekat pada setiap karyawan, yang membuat seorang karyawan merasa menjadi bagian dari organisasi itu. Sedangkan Hellriegel dan Slocum (2004) menyatakan bahwa: “Organizational commitment goes beyond loyality to include an active contribution to accomplishing organizational goals. Organizational commitment represents a broader work attitude than job satisfaction because it applies to the entire organization rather than just to the job.” Jadi, berdasarkan definisi diatas, komitmen organisasi dapat diwujudkan dalam bentuk loyalitas seorang karyawan yang berkontribusi secara aktif dalam usaha mencapai tujuan perusahaannya.
2.1.5.2 Dimensi Komitmen Organisasi Mayer dan Allen (1991) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai sebuah konsep yang yang memiliki tiga dimensi, yaitu: (1) affective commitment, (2) continuance commitment, dan (3) normative commitment. Berikut penjelasannya: 1. Affective Commitment Terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena ikatan emosional (emotional attachment) atau psikologis terhadap organisasi.
29
Komitmen ini memiliki keterkaitan dengan emosial karyawan, identifikasi, dan keterlibatan dalam organisasi. 2.
Continuance Commitment Komitmen ini muncul apabila karyawan tetap bertahan pada suatu organisasi karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan lain, atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Dengan kata lain, karyawan tersebut tinggal di organisasi tersebut karena dia membutuhkan organisasi tersebut.
3.
Normative Commitment Komitmen ini timbul dari nilai-nilai diri karyawan. Karyawan bertahan menjadi anggota suatu organisasi karena memiliki kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi tersebut merupakan hal yang memang harus dilakukan. Jadi karyawan tersebut tinggal di organisasi itu karena ia merasa berkewajiban untuk itu. Dari ketiga dimensi komitmen tersebut, komitmen afektif adalah jenis yang
paling diinginkan perusahaan. Karyawan yang memiliki loyalitas, yaitu karyawan yang mempunyai komitmen afektif yang akan cenderung bertahan. Selanjutnya secara singkat Mayer dan Allen (1991), mengilustrasikan perbedaan dari ketiga dimensi tersebut sebagai berikut: “Employes with strong affective commitment remain because they want to, those with strong continuance commitment remain because they need to, and those with strong normative commitment because they feel they thought to do so".
30
Berdasarkan pendapat Mayer dan Allen di atas, dapat diinterpretasikan bahwa keputusan seseorang tetap bertahan di organisasi memiliki motivasi yang berbeda. Seseorang dengan komitmen afektif yang kuat, memilih untuk bertahan di dalam organisiasi karena memang dia menyukai itu, sedangkan seseorang dengan komitmen continuance yang kuat, bertahan di organisasi karena alasan kebutuhan hidup, sedangkan seseorang dengan komitmen normatif yang tinggi, memilih bertahan di organisasi karena alasan moralitas.
2.1.5.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasi Dyne dan Graham (2005), mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen organisasi adalah personal, situasional, dan posisi. Berikut penjelasannya: 1. Personal a. Ciri-ciri kepribadian tertentu yaitu, teliti, ekstrovert, berpandangan positif, optimis, cenderung lebih tinggi komitmennya. Demikian juga individu yang lebih berorientasi kepada tim dan menempatkan tujuan kelompok diatas tujuan pribadi serta individu yang altruistic (senang membantu) akan cenderung lebih komit. b. Usia dan masa kerja, berhubungan positif dengan komitmen organisasi. c. Tingkat pendidikan, makin tinggi tingkat pendidikan maka makan banyak harapan-harapan yang tidak mampu diakomodir, sehingga komitmennya semakin rendah.
31
d. Jenis kelamin, wanita pada umumnya menghadapi tantangan lebih besar dalam mencapai kariernya sehingga komitmennya lebih tinggi. e. Status perkawinan, yang menikah lebih terikat dengan organisasinya. f. Keterlibatan kerja (job involvement), tingkat keterlibatan kerja individu berhubungan positif dengan komitmen organisasi. 2. Situasional a. Nilai (value) tempat kerja. Nilai-nilai yang dapat dibagikan adalah suatu komponen kritis dari hubungan yang saling berkaitan. Nilai-nilai kualitas, inovasi, kooperasi, partisipasi, dan Ttust, akan mempermudah setiap anggota untuk saling berbagi dan membangun hubungan erat. Jika para anggota percaya bahwa nilai organisasinya adalah kualitas produk jasa, para anggota akan terlibat dalam perilaku yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan hal itu. b. Keadilan organisasi. Keadilan organisasi meliputi: keadilan yang berkaitan dengan kewajaran alokasi sumber daya, keadilan dalam proses pengambilan keputusan, serta keadilan dalam persepsi kewajaran atas pemeliharaan hubungan pribadi. c. Karakteristik pekerjaan. Meliputi pekerjaan yang penuh makna, otonomi dan umpan balik dapat merupakan motivasi kerja yang internal. Karakteristik spesifik dari pekerjaan dapat meningkatkan rasa tanggung jawab, serta rasa keterikatan terhadap organisasi.
32
d. Dukungan organisasi. Dukungan organisasi mempunyai hubungan yang positif dengan komitmen organisasi. Hubungan ini didefinisikan sebagai sejauh mana anggota/karyawan mempersepsi bahwa organisasi (lembaga, atasan, rekan) memberi dorongan, respek, menghargai kontribusi dan memberi apresiasi bagi individu dalam pekerjaannya. Hal ini berarti jika organisasi peduli terhadap keberadaan dan kesejahteraan personal karyawan dan menghargai kontribusinya, maka anggota/karyawan akan menjadi komit. 3. Posisional a. Masa kerja. Masa kerja yang lama akan semakin membuat anggota/karyawan komit. Hal ini dikarenakan, semakin memberi peluang karyawan untuk menerima tugas menantang, otonomi semakin besar, serta peluang promosi yang lebih tinggi. Juga peluang investasi pribadi berupa pikiran, tenaga dan waktu yang semakin besar, hubungan sosial lebih bermakna, serta akses untuk mendapat informasi pekerjaan baru makin berkurang. b. Tingkat pekerjaan. Berbagai penelitian menyebutkan status sosial ekonomi sebagai prediktor komitmen paling kuat. Status yang tinggi akan cenderung meningkatkan motivasi maupun kemampun aktif individu dalam aktivitasaktivitas yang melibatkan dirinya dalam kepentingan strategis perusahaan. Sedangkan, apabila tingkat atau status pekerjaan yang rendah, maka akan menyebabkan rendahnya motivasi dan kemampuan aktif dari individu tersebut.
33
Kemudian, Greenberg dan Baron (2003) mengungkapkan bahwa ada dua motif utama yang mendasari seseorang untuk berkomitmen pada organisasinya, yaitu: 1. Side Best Orientation Side best orientation ini memfokuskan pada akumulasi dari kerugian yang dialami atas segala sesuatu yang telah diberikan oleh individu pada organisasi. 2. Goal-Congruence Orientation Goal-Congruence Orientation ini memfokuskan kepada tingkat kesesuaian antara tujuan personal individu dan organisasi sebagai hal yang menentukan komitmen pada organisasi.
2.1.5.4 Konsekuensi Komitmen Organisasi Menurut Greenberg dan Baron (2003), konsekuensi dari komitmen organisasi yaitu: 1. Commited employees are less likely to withdraw Karyawan yang memiliki komitmen mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk mengundurkan diri. Sedangkan, semakin besar komitmen karyawan pada organisasi, maka semakin kecil kemungkinan untuk mengundurkan diri. Komitmen mendorong orang untuk tetap mencintai pekerjaannya dan akan bangga ketika dia sedang berada di sana.
34
2. Commited employees are less willing to sacrifice for the organization Karyawan yang memiliki komitmen bersedia berkorban demi kepentingan organisasinya. Karyawan yang memiliki komitmen menunjukkan kesadaran tinggi untuk membagikan dan berkorban yang diperlukan untuk kelangsungan hidup perusahaan.
2.1.5.5 Membangun Komitmen Organisasi Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh manajemen untuk meningkatkan komitmen organisasi karyawan menurut Luthans (2007) adalah: 1. Berkomitmen kepada nilai-nilai utama manusia. Membuat aturan-aturan tertulis, memperkerjakan manajer yang baik dan tepat, dan mempertahankan komunikasi 2. Mengkomunikasikan misi. Memperjelas misi dan ideologi, berkharisma, menggunakan praktik perekrutan berdasarkan nilai, menekankan orientasi berdasarkan nilai dan pelatihan, serta membentuk tradisi. 3. Menjamin keadilan organisasi. Memiliki prosedur penyampaian keluhan yang komprehensif, dan menyediakan komunikasi dua arah yang ekstensif. 4. Menciptakan rasa komunitas. Membangun homogenitas berdasarkan nilai keadilan, menekankan kerja sama, saling mendukung, kerja tim, dan berkumpul bersama.
35
5. Mendukung perkembangan karyawan. Melakukan aktualisasi, memberikan pekerjaan menantang pada tahun pertama, melaksanakan program-program yang bertujuan untuk memajukan dan memberdayakan karyawan. Sedangkan upaya yang harus dilakukan untuk membangun komitmen organisasi karyawan menurut Lubis (2010), adalah sebagai berikut: 1. Memberikan kompensasi yang menarik dan kompetitif bila dibandingkan dengan perusahaan lain. 2. Membuat kondisi kerja yang nyaman dan menyediakan fasilitas kerja yang baik. 3. Memberikan tugas atau pekerjaan yang menarik dan menantang 4. Menerapkan manajemen terbuka (open management) dan manajemen partisipatif. 5. Memperhatikan persoalan yang dianggap penting oleh karyawan.
2.1.6 Komitmen Profesional 2.1.6.1 Pengertian Komitmen Profesional Definisi komitmen profesional menurut Aranya dan Ferris (1984) adalah: “Professional commitment is defined as a belief in the acceptance of goals and values of the profession, a willingness to use a genuine effort to interest of profession, a desire to maintain membership in the profession.”
36
Berdasarkan pengertian di atas, maka komitmen profesional meliputi tiga hal, yaitu: 1. Sebuah kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai profesi 2. Sebuah kemauan untuk berusaha sekuat tenaga dan sungguh-sungguh guna kepentingan profesi 3. Sebuah keinginan untuk bertahan dan memelihara keanggotaan di dalam profesi Sedangkan Larkin (1990), mendefinisikan komitmen profesional sebagai berikut: “Professioanal commitment is a perception that core loyality, determination and hopes someone with a guided by a system of values or norms that direct a person to work according to procedures. Berdasarkan definisi di atas, komitmen profesional dapat diartikan sebagai tingkat loyalitas seorang individu kepada profesinya, yang membuat individu tersebut menerima nilai-nilai profesinya. Komitmen profesional merupakan kekuatan identifikasi individual dengan keterlibatannya secara khusus dengan suatu profesi (Moday et al.,1979). Lebih lanjut lagi Bline (1991) berpendapat bahwa: “Professional commitment dan described as the intensity of an individual’s identification with and level of involvement in his or her profession.”
37
Dari pendapat Bline di atas, maka dapat diinterpretasikan bahwa komitmen profesional sebagai tingkat sejauh mana seseorang individu mengidentifikasikan dan terlibat di dalam profesinya
2.1.6.2 Dimensi Komitmen Profesional Menurut Hall (1968) kemudian dirumuskan lagi oleh Kalbers dan Forgarty (1995), komitmen profesional memiliki lima dimensi, yaitu: 1. Afiliasi komunitas (Community Affiliation) Maksud dari afiliasi komunitas adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk di dalamnya organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sumber ide utama pekerjaann. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesi. 2. Kebutuhan untuk mandiri (Autonomy demand) Suatu pandangan bahwa seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dan intervensi dari pihak lain (pemerintah, klien, dan mereka yang bukan merupakan anggota profesi). Setiap adanya campur tangan dari luar, dianggap sebagai hambatan terhadap kemandiran secara profesional. Banyak yang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak-hak istimewa untuk membuat keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Rasa kemandirian berasal dari kebebasan melakukan apa yang terbaik menurut karyawan yang bersangkutan dalam situasi khusus. Dalam pekerjaan yang terstruktur dan dikendalikan oleh manajemen secara ketat,
38
akan sulit menciptakan tugas yang menimbulkan rasa kemandirian dalam tugas. 3. Keyakinan terhadap peraturan profesi (belief self regulation) Maksudnya adalah orang yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan ”orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. 4. Dedikasi pada profesi (dedication) Dedikasi profesional dapat dilihat dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik berkurang. Sikap ini merupakan ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani dan setelah itu baru materi. 5. Kewajiban sosial (social obligation) Merupakan pandangan mengenai pentingnya profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. Profesi yang baik adalah profesi yang berguna dan berperan untuk kepentingan masyarakat, sehingga masyarakat merasa membutuhkan keberadaan dari profesi tersebut.
39
2.1.7
Kepuasan Kerja
2.1.7.1 Pengertian Kepuasan Kerja Definisi kepuasan kerja menurut Newstrom (2007) adalah: “Job satisfaction is a set of favorable or unfavorable feelings and emotions with which employees view their work.” Berdasarkan pengertian di atas, maka kepuasan kerja dapat diartikan sebagai perasaan senang maupun tidak senang, positif maupun negatif yang merupakan emosi karyawan terhadap pekerjaannya. Sedangkan Greenberg dan Baron (2003) menyatakan bahwa: “Job satisfaction is the various attitude people hold toward their jobs.” Dari pengertian Greenberg dan Baron di atas, maka dapat diinterpretasikan kepuasan kerja adalah segala reaksi emosional karyawan terhadap pekerjaannya. Definisi kepuasan kerja menurut Spector (2007) adalah: “Job satisfaction is an attitudinal variable that reflects how people feel about their jobs overall as well as about various aspects of the jobs.” Berdasarkan definisi di atas, kepuasan kerja dapat diartikan sebagai variabel keperilakuan yang dapat merefleksikan bagaimana perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Pendapat mengenai kepuasan kerja menurut McShine dan Von Glinow (2003) adalah: “Job satisfaction represents a person’s evaluation of his or her job and work context.”
40
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat diartikan kepuasan kerja mewakili penilaian seseorang terhadap pekerjaannya. Sedangkan Robbins (2003), berpendapat bahwa: “Job satisfaction refers to an individuals general attitude toward his or her job. A person with a high level of job satisfaction holds positive attitudes toward the job, while a person who is dissatisfied with his or her job holds negative attitudes about the job.” Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat diinterpretasikan kepuasan kerja sebagai sikap seseorang terhadap pekerjaannya. Ketika seseorang puas terhadap pekerjaanya, maka berarti ia menunjukan sikap yang positif terhadap pekerjaannya. Sebaliknya, jika seseorang merasa tidak puas terhadap pekerjaannya, maka berarti seseorang itu menunjukan sikap yang negatif terhadap pekerjaannya. Sehingga sikap seseorang terhadap pekerjaannya dapat mencerminkan apakah seseorang puas atau tidak puas terhadap pekerjaannya. Sedangkan secara lengkap Locke memberikan defenisi komprehensive dari kepuasan kerja yang meliputi reaksi atau sikap kognitif, afektif, dan evaluatif dan menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah keadaan emosi yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang. Kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan mengenai seberapa baik pekerjaan mereka memberikan hal-hal yang dinilai penting dan berguna untuk kepentingan organsisasi dimana tempat individu tersebut bekerja sehingga hasil pekerjaannya dapat berguna bagi kepentingan organisasi atau perusahaan (Luthans, 2007).
41
2.1.7.2 Dimensi Kepuasan Kerja. Luthans (2007), mengungkapkan bahwa terdapat enam dimensi kepuasan kerja, berikut penjelasannya: 1. Pay Kepuasan dari pemberian imbalan finansial atau gaji merupakan hal penting dalam mengelola kepuasan. Walaupun gaji tidak merupakan satu-satunya yang menyebabkan kepuasan kerja, namun dapat dicermati bahwa gaji adalah sesuatu yang dapat memberikan kepuasan atas kebutuhan fisiologis manusia yang dapat menghantarkan kepada kepuasan-kepuasan yang lebih tinggi. Gaji merupakan salah satu sumber kepuasan kerja. Uang tidak hanya membantu orang memperoleh kebutuhan dasar, tetapi juga dijadikan sebagai alat untuk memberikan kebutuhan kepuasan pada tingkat yang lebih tinggi. 2. Working Conditions Otonomi pekerjaan yang menarik, dan menantang serta perkembangan karir merupakan hal yang penting. Kondisi kerja yang bagus (yang bersih, lingkungan menarik), individu akan lebih mudah menyelesaikan pekerjaan mereka. Jika kondisi kerja buruk (misalnya udara panas, lingkungan bising) individu akan lebih sulit menyelesaikan pekerjaan, sebaliknya apabila kondisi lingkungan kerja kondusif maka karyawan akan lebih produktif dan nyaman, sehingga kondisi-kondisi tersebut dapat mempengaruhi kepuasan kerja seorang karyawan.
42
3. Supervision Supervisi merupakan fungsi penilaian terhadap pekerjaan, apakah telah memenuhi standar sesuai yang direncanakan atau terdapat penyimpangan di dalamnya. Pengawasan merupakan proses penentuan standar yang harus dicapai yakni pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standar. Pengawasan dari atasan atau pimpinan berperan dalam menunjang kepuasan kerja bawahan. Kepemimpinan yang positif umumnya menghasilkan kepuasan kerja dan prestasi kerja. Positifnya nilainilai kepemimpinan seorang atasan juga tercermin dalam pengawasan yang dilakukannya, dalam arti pengawasan positif akan menghasilkan kepuasan kerja seseorang. 4. Work Group Sifat alami dari kelompok kerja akan mempengaruhi kepuasan kerja. Pada umumnya, rekan kerja yang kooperatif merupakan sumber kepuasan kerja yang paling sederhana pada karyawan secara individu. Kelompok kerja, terutama tim yang “kuat”, bertindak sebagai sumber dukungan, kenyamanan, nasihat, dan bantuan pada anggota individu. 5. Promotion Kesempatan promosi memiliki pengaruh yang berbeda pada kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan promosi memiliki berbagai penghargan. Misalnya, individu yang dipromosikan atas dasar senioritas sering mengalami kepuasan
43
kerja, tetapi tidak sebanyak orang yang dipromosikan atas dasar kinerja. Selain itu, kenaikan gaji 10 persen pada dasarnya tidak memuaskan seperti kenaikan gaji 20 persen. Perbedaan ini membantu menjelaskan mengapa promosi eksekutif mungkin lebih memuaskan daripada promosi yang terjadi pada level bawah. 6. Work it Self Kepuasan kerja itu sendiri merupakan sumber utama kepuasan. Karakteristik pekerjaan dan kompleksitas pekerjaan menghubungkan antara keperibadian dan kepuasan kerja. Karyawan akan cenderung lebih menyukai pekerjaanpekerjaan yang dapat memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka, yang dapat menawarkan beragam tugas, kebebasan, dan umpan balik mengenai seberapa baik mereka mengerjakan sesuatu.
2.1.7.3 Teori Kepuasan Kerja Berikut ini adalah beberapa teori tentang kepuasan kerja yang dikutip oleh Moh.As’ad (2005), ada tiga macam teori, yaitu: 1. Teori perbedaan (discrepancy theory) Teori ini dipelopori pertama kali oleh Porter yang berpendapat bahwa untuk mengukur kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. Apabila seseorang memperoleh lebih besar dari yang diharapkan maka orang tersebut
44
akan menjadi puas, sebaliknya jika memperoleh sesuatu yang lebih kecil dari yang diharapkannya maka terjadi ketidakpuasan. 2. Teori keseimbangan (equity theory) Teori ini dikembangkan oleh Adam, yang terdiri dari komponen input, outcome, comparison dan equity in equity. Pertama, input adalah semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja, misalnya pendidikan, pengalaman, keterampilan, usaha, peralatan pribadi, jumlah jam kerja. Kedua, outcome adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan pegawai, misalnya upah, keuntungan tambahan, status simbol, pengenalan kembali, kesempatan untuk berprestasi atau mengekspresikan diri. Ketiga, equity in equity dimana menurut teori ini puas atau tidak puasnya pegawai merupakan hasil dari membandingkan antara input-outcome dirinya dengan output-outcome pegawai lain. 3. Teori Dua Faktor (Two Factor Theory) Teori dua faktor yang dikemukakan oleh Hezberg ini terdiri dari: a. Faktor Intrinsik Faktor ini merupakan faktor-faktor yang berperan sebagai motivator terhadap karyawan sehingga mampu mendorong terwujudnya suatu kepuasan dan dapat mendorong orang untuk berkerja dengan baik. Faktor intrinsik ini terdiri dari: - Achievement (Prestasi) - Recognition (Pengakuan)
45
- Work it self (Pekerjaan itu sendiri) - Responsibility (Tanggung jawab) - The Possibility of Growth (Pengembangan karier) b. Faktor Ekstrinsik Faktor ekstrinsik merupakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketidakpuasan pada pegawai apabila tidak dapat terpenuhi, sehingga kinerja menjadi menurun. Faktor ini terdiri dari: - Company Procedures (kebijakan perusahaan) - Quality of Supervision (kualitas supervisi) - Interpersonal Relationship (hubungan antar pribadi) - Working Condition (kondisi kerja) - Job Security (keamanan kerja) - Wages (upah) - Status
2.1.7.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja menurut Moh.As’ad (2005) adalah sebagai berikut: 1. Faktor psikologis, merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi minat, ketentraman dalam kerja, sikap terhadap kerja, bakat dan keterampilan.
46
2. Faktor sosial, merupakan faktor yang berhubungan dengan dengan interaksi social baik antara sesama karyawan, dengan atasannya, maupun karyawan yang berbeda jenis pekerjaannya. 3. Faktor fisik, merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan kondisi kerja karyawan yang meliputi jenis pekerjaan, pengaturan waktu kerja, waktu istirahat, perlengkapan kerja, keadaan ruangan, dan sebagainya. 4. Faktor
Finansial, faktor
yang berhubungan
dengan jaminan serta
kesejahteraan karyawan yang meliputi sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, tunjangan, fasilitas yang diberikan, promosi, dan sebagainya.
2.1.7.5 Pengungkapan Ketidakpuasan Kerja Karyawan yang mengalami ketidakpuasan kerja, bisa menyampaikannya dengan berbagai hal. Ada yang mengeluh, tidak mematuhi peraturan, mencuri milik perusahaan, sampai menghindari tanggung jawab. Menurut Robbins (2003), secara umum karyawan akan mengungkapkan ketidakpuasan kerja dengan cara-cara seperti berikut ini: 1. Keluar (exit), perilaku yang diarahkan kearah meninggalkan organisasi, mencakup mencari posisi baru, maupun meminta berhenti. 2. Suara (voice), yaitu dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi, hal ini mencakup saran perbaikan, membahas maalah-masalah, dan membentuk serikat buruh.
47
3. Kesetian (loyality), yaitu secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi, hal ini mencakup berbicara membela organisasi, menghadapi kritik, dan mempercayai manajemennya untuk melakukan hal yang tepat. 4. Pengabaian (neglect), yaitu secara pasif membiarkan kondisi organisasi memburuk, termasuk kemangkiran atau dating terlambat secara kronis.
2.2
Pengembangan Hipotesis
2.2.1 Komitmen Organisasi dan Kepuasan Kerja Komitmen organisasi adalah keyakinan dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi, kerelaan sekuat tenaga berusaha untuk kepentingan organisasi dan kemauan untuk memelihara keanggotaannya dalam suatu organisasi (Robbins, 2003). Sedangkan kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan senang maupun tidak senang, positif maupun negatif yang merupakan emosi karyawan terhadap pekerjaannya (Newstrom, 2007). Komitmen organisasi adalah variabel keperilakuan di dalam lingkungan kerja yang memiliki hubungan kuat terhadap kepuasan kerja (Spector, 2007). Kemudian di dalam pendapat lain, Poznanski dan Bline yang dikutip oleh Badjuri (2009), mengatakan bahwa komitmen organisasi dan kepuasan kerja adalah dua hal yang sering dijadikan pertimbangan saat mengkaji pergantian akuntan yang bekerja. Pendapat-pendapat tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Sri Tresnaningsih (2003), yang hasilnya menyimpulkan bahwa komitmen
48
organisasi berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Berdasarkan penjelasan di atas, maka hipotesis yang diajukan yaitu: Ho1 : Komitmen organisasi tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja auditor internal Ha1 : Komitmen organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja auditor internal
2.2.2 Komitmen Profesional dan Kepuasan Kerja Komitmen profesional dapat didefinisikan sebagai : (1) sebuah kepercayaan pada dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai dari profesi, (2) sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan profesi, (3) sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam profesi (Aranya et al. 1982). Sedangkan kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan senang maupun tidak senang, positif maupun negatif yang merupakan emosi karyawan terhadap pekerjaannya (Newstrom, 2007). Dengan menunjukkan komitmen terhadap profesi yang dijalani maka karyawan mengharapkan adanya pengakuan sebagai profesional oleh organisasi dan masyarakat. Pengakuan sebagai profesional oleh organisasi dan masyarakat akan menimbulkan perasaan bangga dan mendorong timbulnya kepuasan kerja. Di dalam penelitiannya, Aranya et al. (1982) menyebutkan bahwa terdapat korelasi nyata dan siginifikan antara komitmen profesional dan kepuasan kerja. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan yaitu:
49
Ho2 : Komitmen profesional tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja auditor internal Ha2 : Komitmen profesional berpengaruh terhadap kepuasan kerja auditor internal
2.2.3. Komitmen Organsiasi, Komitmen Profesional dan Kepuasan Kerja Komitmen organisasi adalah keyakinan dan penerimaan terhadap tujuan dan nilai organisasi, kerelaan sekuat tenaga berusaha untuk kepentingan organisasi dan kemauan untuk memelihara keanggotaannya dalam suatu organisasi (Robbins, 2003). Komitmen profesional dapat didefinisikan sebagai : (1) sebuah kepercayaan pada dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai dari profesi, (2) sebuah kemauan untuk menggunakan usaha yang sungguh-sungguh guna kepentingan profesi, (3) sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam profesi (Aranya et al. 1982). Sedangkan kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu perasaan senang maupun tidak senang, positif maupun negatif yang merupakan emosi karyawan terhadap pekerjaannya (Newstrom, 2007). Definisi lain kepuasan kerja menurut Spector (2007) adalah variabel keperilakuan yang dapat merefleksikan bagaimana perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Seseorang yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi, maka akan memiliki rasa loyalitas yang tinggi terhadap organisasinya, yang akan menimbulkan rasa puas terhadap pekerjaannya. Begitu juga dengan komitmen profesional, Dengan menunjukkan komitmen terhadap profesi yang dijalani maka karyawan mengharapkan adanya pengakuan sebagai profesional oleh organisasi dan masyarakat. Pengakuan sebagai profesional oleh organisasi dan
50
masyarakat akan menimbulkan perasaan bangga dan mendorong timbulnya kepuasan kerja. Hal ini dibuktikan oleh Aranya et al. (1982) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa komitmen organisasi dan komitmen profesional secara simultan berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka hipotesis yang diajukan yaitu: Ho3 : Komitmen organisasi dan komitmen profesional secara bersama-sama tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja auditor internal Ha3 : Komitmen organisasi dan komitmen profesional secara bersama-sama berpengaruh terhadap kepuasan kerja auditor internal
2.3
Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan permasalah dalam
penelitian ini dipaparkan dalam Tabel 2.2 sebagai berikut:
Tabel 2.2 Ringkasan Penelitian Terdahulu No
Peneliti
Variabel
Hasil Penelitian
1
Sumirat (2006)
1. 2. 3. 4.
Komitmen Organisasi Profesionalisme Kinerja Internal Auditor Kepuasan Kerja auditor internal
Profesionalisme berpengaruh positif terhadap kepuasan kerja internal auditor, namun tidak memiliki pengaruh positif terhadap kinerja internal auditor.
2
Wijayanti (2008)
1. 2. 3. 4.
Komitmen Organisasi Komitmen Profesional Motivasi Kepuasan Kerja Internal Auditor
Komitmen organsiasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja, komitmen profesional tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan kerja, Motivasi tidak
51
memoderasi hubungan antara variabel komitmen organisasional dan kepuasan kerja auditor internal
3
Tresnaningsih (2003)
4
Fathoni (2010)
1. Komitmen Profesional 2. Kepuasan Kerja Akuntan Publik
Komitmen profesional berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja akuntan publik.
5
Susanto dan Hastomo (2009)
1. Komitmen Organisasi 2. Komitmen Profesional 3. Kepuasan kerja Auditor eksternal
Secara parsial dan simultan, komitmen organisasi dan komitmen profesional berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja auditor.
6
Aranya et al. (1982)
1. 2. 3. 4.
Komitmen profesional lebih tinggi pada akuntan publik, komitmen profesional berhubungan dengan komitmen organisasi dan mempunyai hubungan positif terhadap kepuasan dan turn over.
2.4
1. 2. 3. 4.
Komitmen Organisasi Komitmen Profesional Motivasi Kepuasan Kerja Akuntan Publik
Komitmen Organisasi Komitmen Profesional Kepuasan kerja Turn Over
Komitmen organisasi dan motivasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan kerja akuntan publik, komitmen profesional dan motivasi berpengaruh siginifikan terhadap kepuasan kerja akuntan publik.
Kerangka Pemikiran The Institute of Internal Auditor menyatakan bahwa : “Internal auditing is an independent, objective assurance and consulting activity designed to add value and improve ab organization’s operations. It helps an organization accomplish its objective by bringing a systematic, disciplined approach to evaluate and improve the effectiveness of risk management, control and governance process”
52
Berdasarkan pengertian di atas, Internal audit adalah aktivitas independen, keyakinan obyektif dan konsultasi yang dirancang untuk memberikan nilai tambah dan meningkatkan operasi organisasi. Audit tersebut membantu organisasi mencapai tujuannya dengan menerapkan pendekatan yang sistematis dan berdisiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas proses pengelolaan risiko, kecukupan pengendalian dan proses tata kelola. Adapun pengertian lain audit internal menurut Sawyer (2003) adalah : “Internal auditing is an independent appraisal function established within an organization to examine and evaluate its activities as a service to organization”. Berdasarkan definisi di atas, audit internal dapat diartikan sebagai suatu fungsi penilaian independen yang dibentuk dalam suatu organisasi untuk mengkaji dan mengevaluasi aktivitas organisasi sebagai bentuk jasa yang diberikan bagi organisasi. Fungsi audit internal seringkali dilakukan oleh auditor internal, salah satu pertimbangannya adalah mengingat auditor internal lebih mengenal dan menguasai situasi dan kondisi dari perusahaan tersebut dibandingkan dilakukan oleh auditor eksternal (Arens dan Loebbecke, 2003). Adapun pengertian auditor internal adalah auditor yang bekerja dalam perusahaan (perusahaan negara maupun perusahaan swasta) yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi, menentukan efisiensi dan
53
efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan keandalan informasi yang dihasilkan oleh bagian-bagian organisasi (Mulyadi, 2002). Fungsi audit internal tidak akan berjalan dengan baik apabila seorang auditor internal yang merupakan pemeran utama dalam menjalankan fungsi-fungsi audit internal tidak memperhatikan dan mengabaikan aspek-aspek keprilakuan. Dalam hal ini Accounting Behaviour memegang peranan penting untuk menentukan berjalan atau tidaknya fungsi-fungsi audit internal. Akuntansi keprilakuan adalah subdisiplin ilmu akuntansi yang melibatkan aspek-aspek keprilakuan manusia terkait dengan proses pengambilan keputusan ekonomi suatu perusahaan (Lubis, 2010). Komitmen organisasi merupakan tingkat sejauh apa seorang karyawan memihak pada suatu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya, serta berniat mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi tersebut, dan merupakan nilai personal yang terkadang mengacu pada sikap loyal pada perusahaan atau komitmen pada perusahaan (Lubis, 2010). Mayer dan Allen (1991) mengungkapkan terdapat tiga buah dimensi komitmen organisasi, yaitu: 1). Affective commitment, yaitu komitmen yang timbul karena adanya ikatan emosional seseorang terhadap organsiasinya. 2). Continuance commitment, yaitu kemauan individu untuk menetap di dalam sebuah organisasi karena tidak ada pekerjaan lain. 3). Normative commitment, yaitu perasaan wajib atau keharusan untuk tetap berada di dalam sebuah organisasi karena memang harus begitu. Komitmen profesional dapat didefinisikan sebagai : (1) sebuah kepercayaan pada dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan nilai-nilai dari profesi, (2) sebuah
54
kemauan untuk menggunakan usaha dengan sungguh-sungguh, guna kepentingan profesi, (3) sebuah keinginan untuk memelihara keanggotaan dalam profesi (Aranya et al. 1982). Kalbers dan Forgarty (1995) mengemukakan lima aspek komitmen profesionalisme, yaitu: (1). Hubungan dengan sesama profesi (community affiliation), Elemen ini berkaitan dengan pentingnya menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok-kelompok kolega informal sumber ide utama pekerjaan, (2). Kebutuhan untuk mandiri (autonomy demand), yaitu suatu pandangan menyatakan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa adanya tekanan dari pihak lain(pemerintah, klien atau yang bukan anggota profesi), (3). Keyakinan terhadap peraturan sendiri atau profesi (belief self regulation), maksudnya bahwa yang paling berwenang dalam penilaian pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan ”orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi di dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka, (4). Dedikasi pada profesi (dedication), Elemen ini merupakan pencerminan dari dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki untuk tetap teguh dalam melaksanakan pekerjaannya meskipun imbalan ekstrinsik yang diterima dikurangi, (5). Kewajiban sosial (social obligation), Elemen ini adalah merupakan elemen yang menunjukkan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang didapatkan baik oleh masyarakat maupun profesional karena ada pekerjaan tersebut. Definisi kepuasan kerja menurut Newstrom (2007), adalah perasaan senang maupun tidak senang, positif maupun negatif yang merupakan emosi karyawan terhadap pekerjaannya. Luthans (2007) mengemukakan enam dimensi dalam studi
55
kepuasan kerja, yaitu,
upah/gaji (pay), kondisi pekerjaan (working conditions),
kelompok kerja (work group), supervisi (supervision), promosi (promotion) dan pekerjaan itu sendiri (the work it self). Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka pemikiran penelitian ini adalah:
Komitmen Organisasi (x1): - affective commitment - continuance commitment Kepuasan Kerja (y):
- normative commitment
- pay (Mayer dan Allen, 1991)
- working conditons - supervision - work group - promotion
Komitmen Profesional (x2):
- the work itself - community affiliation - autonomy demand
(Luthans, 2007)
- belief self regulation - dedication - social obligation (Kalbers dan Forgarty, 1995)
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Teoritis