BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Rumah Sakit Rumah sakit adalah suatu organisasi yang unik dan kompleks karena merupakan institusi yang padat karya, mempunyai sifat-sifat dan ciri serta fungsifungsi yang khusus dalam proses menghasilkan jasa medik dan mempunyai berbagai kelompok profesi dalam pelayanan penderita. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis profesional yang terorganisir serta sarana kedokteran yang parmanen menyelenggarakan pelayanan kesehatan, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien (Qauliyah, 2008). Rumah Sakit merupakan suatu tempat dan juga sebuah fasilitas, sebuah institusi, sebuah organisasi yang menyediakan pelayanan pasien rawat inap. Rumah Sakit juga merupakan suatu tempat bekerja tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan pasien dalam upaya pelayanan kesehatan. Untuk itu rumah sakit dapat dipandang bertanggung jawab atas kesalahan dan atau kelalaian tenaga kesehatan yang bekerja di dalamnya (Aditama, 2002). Rumah sakit umum adalah merupakan rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan harus bersifat dasar, spesialistik dan subspesialistik (Anonim, 1992). 2.1.1 Fungsi Rumah Sakit Rumah sakit oleh WHO (1957) diberikan batasan yaitu suatu bagian menyeluruh, (Integrasi) dari organisasi dan medis, berfungsi memberikan
4
5
pelayanan kesehatan lengkap kepada masyarakat baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana output layanannya menjangkau pelayanan keluarga dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan tenaga kesehatan serta untuk penelitian biososial. Menurut Milton Roemer dan Friedman dalam bukunya Doctors in hostpitals yang dikutip oleh Aditama (2002) fungsi rumah sakit adalah : a. Harus ada pelayanan rawat inap dengan fasilitas diagnostik dan terapetiknya. b. Harus ada memiliki pelayanan rawat jalan. c. Rumah Sakit juga bertugas untuk melakukan pendidikan pelatihan. d. Rumah Sakit perlu melakukan penelitian dibidang kedokteran dan kesehatan. e. Bertanggung jawab untuk program pencegahan penyakit dan penyuluhan kesehatan bagi populasi di sekitarnya. Dalam
pelaksanaan
tugasnya
rumah
sakit
mempunyai
fungsi
:
menyelenggarakan pelayanan medis, penunjang medis dan non medis pelayanan dan asuhan keperawatan, pelayanan rujukan, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan serta administrasi dan keuangan (Sahadia, 2011). 2.1.2 Tipe-tipe Rumah Sakit Penggolongan tipe rumah sakit berdasarkan kemampuan rumah sakit tersebut memberikan pelayanan medis kepada pasien. Ada 5 tipe rumah sakit di Indonesia, yaitu rumah sakit tipe A, B, C, D dan E.
6
1. Rumah Sakit Tipe A Rumah sakit tipe A adalah Rumah Sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh pemerintah ditetapkan sebagai rujukan tertinggi (Top Referral Hospital) atau disebut pula sebagai Rumah Sakit pusat (Anonim, 2011). 2. Rumah Sakit Tipe B Adalah rumah sakit yang mampu memberikan pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis terbatas.Rumah Sakit ini didirikan disetiap Ibukota Propinsi yabg menampung pelayanan rujukan di Rumah Sakit Kabupaten (Anonim, 2011). 3. Rumah Sakit Tipe C Adalah rumah sakit yang mapu memberikan pelayanan kedokteran spesialis terbatas. Rumah sakit ini didirikan disetiap ibukota Kabupaten (Regency hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari Puskesmas (Anonim, 2011). 4. Rumah Sakit Tipe D Adalah Rumah Sakit yang bersifat transisi dengan kemampuan hanya memberikan pelayanan kedokteran umum dan gigi. Rumah sakit ini menampung rujukan yang berasal dari Puskesmas (Anonim, 2011) 5. Rumah Sakit Tipe E Adalah rumah sakit khusus (spesial hospital) yang menyelenggarakan hanya satu macam pelayan kesehatan kedokteran saja. Saat ini banyak
7
rumah sakit kelas ini ditemukan misalnya, rumah sakit kusta, paru, jantung, kanker, ibu dan anak (Anonim, 2011). 2.1.3 Profil RSUD Toto Penelitian ini dilakukan RSUD Toto Kabila, Kab. Bone Bolango. Rumah Sakit ini merupakan Rumah Sakit Umum tipe C. Merupakan rumah sakit pertama yang ada di Kab Bone Bolango. Rumah sakit ini merupakan sentra pelayanan yang paling mendukung program kesehatan yang merupakan program pokok dari Kab Bone Bolango. Pada mulanya bangunan Rumah Sakit Kusta Toto (RSKT) adalah merupakan bangunan peninggalan Pemerintah Jepang yang oleh Jepang didirikan pada tahun 1942 dengan nama Bokuka (bahasa Jepang), yang artinya gudang tempat perbekalan. Pada waktu masa peralihan dari pemerintah Jepang atas usaha dari beberapa anggota masyarakat daerah Kabupaten Gorotalo, yang diprakarsai oleh dr. Aloei Saboe, gudang tersebut diminta dari pemerintah Jepang untuk dijadikan satu tempat khusus untuk menampung orang-orang (penderitapenderita) yang mengidap penyakit Kusta. Pada waktu itu penderita-penderita penyakit tersebut harus diasingkan jauh dari keluarga dan masyarakat umum, oleh karena penyakit kusta terkenal dengan penyakit menular yang sangat berbahaya dan sangat ditakuti. Dari tahun ke tahun makin lama jumlah penderita kusta bertambah dengan jumlah 305 orang, penderita tersebut berasal dari Kab. Gorontalo maupun dari luar Kab. Gorontalo seperti Sulawesi Tengah dan Kab. Minahasa.
8
Dengan demikian gudang tersebut menjadi tempat mengisolir sekaligus menampung penderita Kusta yang kemudian dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Rumah Sakit Kusta Toto (RSKT). 2.2 Tinjauan Umum tentang TBC Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru. Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia (Anonim, 2004). Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal
ini dipakai untuk identifikasi dahak secara
mikroskopis. Sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam
jaringan tubuh, kuman dapat
dormant (tertidur sampai beberapa tahun). TB timbul berdasarkan kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit (Anonim, 2003). Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernafasan. Jadi penularan TB tidak terjadi melalui perlengkapan makan, baju, dan perlengkapan tidur (Anonim, 2003).
9
Setelah kuman TB masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular (Anonim, 2003). Kemungkinan seseorang terinfeksi TB ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. Secara klinis, TB dapat terjadi melalui
infeksi primer dan paska primer. Infeksi primer terjadi saat
seseorang terkena kuman TB untuk pertama kalinya. Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli (gelembung paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman TB yang berkembang biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu (Anonim, 2003). Kelanjutan infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan respon daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara menyelubungi kuman dengan jaringan pengikat. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai “persister” atau “dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan
perkembangbiakan kuman, akibatnya yang
bersangkutan akan menjadi penderita TB dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses (terselubung) dan berlangsung tanpa gejala,
10
hanya batuk dan nafas berbunyi. Tetapi pada orang-orang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular. Masa inkubasi sekitar 6 bulan (Anonim, 2003). Infeksi paska primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah infeksi primer. Ciri khas TB paska primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Seseorang yang terinfeksi kuman TB belum tentu sakit atau tidak menularkan kuman TB. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai faktor risiko (Aditama, 2003) Kemungkinan untuk terinfeksi TB, tergantung pada : a. Kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara b. Lamanya kontak dengan droplet nuklei tersebut c. Kedekatan dengan penderita TB (Anonim, 2002) 2.2.1 Klasifikasi penyakit dan Tipe penderita Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita tuberkulosis memerlukan suatu definisi kasus yang memberikan batasan baku setiap klasifikasi dan tipe penderita. Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk menetapkan paduan OAT yang sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai (Anonim, 1993). Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan definisi-kasus, yaitu: a. Organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru; b. Hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung: BTA positif atau BTA negatif;
11
c. Riwayat pengobatan sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati; d. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat (Anonim, 2000). Berdasarkan tempat/organ yang diserang oleh kuman, maka tuberkulosis dibedakan menjadi Tuberkulosis Paru, Tuberkulosis Ekstra Paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang
menyerang jaringan parenchym paru, tidak
termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi dalam: 1) Tuberkulosis Paru BTA Positif. a. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b. Satu spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. 2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif. TB Paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas, dan/atau keadaan umum penderita buruk (Anonim, 2002). Tuberkulosis Ekstra Paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
12
kelamin, dan lain-lain. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: 1) TB Ekstra Paru Ringan Misalnya: TB kelenjar limphe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. 2) TB Ekstra-Paru Berat Misalnya:
meningitis,
millier,
perikarditis,
peritonitis,
pleuritis
eksudativa duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan alat kelamin (Laban, 2008). 2.2.2 Pengantar Terapi Pengendalian atau penanggulangan TB yang terbaik adalah mencegah agar tidak terjadi penularan maupun infeksi. Pencegahan TB pada dasarnya adalah : 1) Mencegah penularan kuman dari penderita yang terinfeksi 2) Menghilangkan atau mengurangi faktor risiko
yang menyebabkan
terjadinya penularan (Anonim, 2004). Tindakan mencegah terjadinya penularan dilakukan dengan berbagai cara, yang utama adalah memberikan obat anti TB yang benar dan cukup, serta dipakai dengan patuh sesuai ketentuan penggunaan obat. Pencegahan dilakukan dengan cara mengurangi atau menghilangkan faktor risiko, yakni pada dasarnya adalah mengupayakan kesehatan perilaku dan lingkungan, antara lain dengan pengaturan rumah agar memperoleh cahaya matahari, mengurangi kepadatan anggota keluarga, mengatur kepadatan penduduk, menghindari meludah sembarangan,
13
batuk sembarangan, mengkonsumsi makanan yang bergizi yang baik dan seimbang (Anonim, 2011). Terapi atau Pengobatan penderita TB dimaksudkan untuk; a. Menyembuhkan penderita sampai sembuh b. Mencegah kematian, c. Mencegah kekambuhan, dan d. Menurunkan tingkat penularan (Aziz, 2003). 2.2.3 Prinsip Pengobatan Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah : a. Menghindari penggunaan
monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT. b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed
Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. Tahap Intensif a. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
14
c. Sebagian besar penderita
TB BTA positif menjadi
BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutan a. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
(dormant)
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Anonim, 1993). Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Paduan
pengobatan
yang
digunakan
oleh
Program
Nasional
Penanggulangan TB oleh Pemerintah Indonesia : a. Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3. b. Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5H3R3E3. c. Kategori 3 : 2 HRZ/4H3R3 (Anonim, 2000). 2.2.4 Obat Anti Tuberkulosis (OAT) 1. ISONIAZIDA (H) Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik Isoniazida 100 mg dan 300 mg / tablet Nama lain Isoniazida: Asam Nicotinathidrazida; Isonikotinilhidrazida; INH (Anonim, 1979) Dosis. Untuk pencegahan, dewasa 300 mg satu kali sehari, anak anak 10 mg per berat badan sampai 300 mg, satu kali sehari. Untuk pengobatan TB bagi orang dewasa sesuai dengan petunjuk
dokter / petugas kesehatan lainnya.
Umumnya dipakai bersama dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Dalam kombinasi biasa dipakai 300 mg satu kali sehari, atau 15 mg per kg berat badan
15
sampai dengan 900 mg, kadang kadang 2 kali atau 3 kali seminggu. Untuk anak dengan dosis 10-20 mg per kg berat badan. Atau 20 – 40 mg per kg berat badan sampai 900 mg, 2 atau 3 kali seminggu (Tjay, 2007). Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis aktif, disebabkan kuman yang peka dan untuk
profilaksis orang
berisiko tinggi
mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-sama dengan antituberkulosis lain. Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau reaksi adversus, termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi : kehamilan (Wattimena, 1991). Efek Rifampisin lebih besar dibanding efek isoniazid, sehingga efek keseluruhan dari kombinasi isoniazid
dan rifampisin adalah berkurangnya
konsentrasi dari obat-obatan tersebut seperti fenitoin dan karbamazepin. Efek samping dalam hal neurologi: parestesia, neuritis perifer, gangguan penglihatan, neuritis optik, atropfi optik, tinitus,
vertigo, ataksia, somnolensi, mimpi
berlebihan, insomnia, amnesia, euforia, psikosis toksis, perubahan tingkah laku, depresi,
ingatan
tak
sempurna,
hiperrefleksia,
otot
melintir,
konvulsi.
Hipersensitifitas demam, menggigil, eropsi kulit (bentuk morbili, mapulo papulo, purpura, urtikaria), limfadenitis, vaskulitis, keratitis (Mutscler, 2004). Sebelum menggunakan obat ini, kepada penderita perlu ditanyakan tentang: a. Alergi yang pernah dialami b. Penggunaan obat lain bila menggunakan Isoniazid
16
Penderita perlu diberikan informasi tentang cara penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang akan dirasakan , yakni : a. Jika obat dalam bentuk cair seperti sirup, agar menggunakan takaran yang tepat sesuai petunjuk dalam kemasan obat. b. Obat ini harus diminum sampai selesai sesuai dengan kategori penyakit atau petunjuk dokter / petugas kesehatan lainnya, dan diupayakan agar tidak lupa. Bila lupa satu hari, jangan
meminum dua kali pada hari
berikutnya c. Dapat dianjurkan menggunakan Vitamin B6 untuk mengurangi pengaruh efek samping. d. Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perlu diberitahukan berat badan kepada petugas, e. Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namun jika lupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu minum obat seharusnya. Tetapi jika kalau lewat waktu sudah jauh, dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat sesuai dengan waktu/dosis berikutnya. f. Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter atau petugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari. g. Jangan makan keju, ikan tuna dan sardin karena mungkin menimbulkan reaksi. h. Sampaikan kepada dokter / petugas kesehatan lain jika mengalami kulit gatal, merasakan
panas, sakit kepala yang tidak tertahankan,
atau
17
kesulitan melihat cahaya, kurang nafsu makan, mual, muntah, merasa terbakar, pada tangan dan kaki. i.
Menghindari meminum alokhol
j.
Bagi penderita diabetes, agar diberitahu, sebab dapat mempengaruhi pemeriksaan kadar gula dalam air seni yakni hasil palsu (Zubaidi, 1995).
2. RIFAMPISIN (R) Sediaan dasar yang ada adalah tablet dan kapsul 300 mg, 450 mg, 600 mg (Anonim, 1979) Dosis untuk dewasa dan anak yang beranjak dewasa 600 mg satu kali sehari, atau 600 mg 2 – 3 kali seminggu. Rifampisin harus diberikan bersama dengan obat anti tuberkulosis lain. Bayi dan anak anak, dosis diberikan dokter / tenaga kesehatan lain berdasarkan atas berat badan yang diberikan satu kali sehari maupun 2-3 kali seminggu. Biasanya diberikan 7,5 – 15 mg per kg berat badan (Tjay, 2007). Diindikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan dengan antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang (Wattimena, 1991). Efek samping pada saluran cerna ; rasa panas pada perut, sakit epigastrik, mual, muntah, anoreksia, kembung, kejang perut, diare, SSP: letih rasa kantuk, sakit kepala, ataksia, bingung, pening, tak mampu berfikir, baal umum, nyeri pada anggota,
otot kendor, gangguan penglihatan, ketulian frekuensi rendah
sementara (Mutscler, 2004). Sebelum menggunakan obat ini, kepada penderita perlu ditanyakan tentang:
18
a. Alergi yang pernah dialami, b. Penggunaan obat lain bila menggunakan Rifampisin ( lihat Interaksi) Penderita perlu diberikan informasi tentang cara penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang akan dirasakan, yakni : a. Obat ini harus diminum sampai selesai sesuai dengan kategori penyakit atau petunjuk dokter / petugas kesehatan lainnya, dan diupayakan agar tidak lupa. Bila lupa satu hari, jangan
meminum dua kali pada hari
berikutnya b. Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perlu diberitahukan berat badan kepada petugas, c. Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namun jika lupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu minum obat seharusnya. Tetapi jika kalau lewat waktu sudah jauh, dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat sesuai dengan waktu / dosis berikutnya. d. Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter atau petugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari. e. Beritahukan kepada dokter / petugas kala sedang hamil, karena penggunaan pada minggu terakhir kehamilan dapat menyebabkan pendarahan pada bayi dan ibu. f. Beritahukan kepada dokter / petugas kesehatan lain kalau
sedang
meminum obat lain karena ada kemungkinan interaksi. g. Obat ini dapat menyebabkan kencing, air ludah, dahak, dan air mata akan menjadi coklat merah.
19
h. Bagi yang menggunakan lensa kontak ( soft lense), disarankan untuk melepasnya, karena akan bereaksi atau berubah warna. i.
Bagi
peminum alkohol atau pernah / sedang berpenyakit hati agar
menyampaikan juga kepada dokter / tenaga kesehatan lain karena dapat meningkatkan efek samping. j.
Sampaikan kepada dokter / petugas kesehatan lain jika mengalami efek samping berat ( lihat efek samping)
k. Jika akan melakukan pemeriksaan diagnostik kencing dan darah, beritahukan
bahwa sedang meminum
Rifampisin kepada petugas
laboratorium atau dokter dan tenaga kesehatan lain karena kadang-kadang akan mempengaruhi hasil pemeriksaan (Zubaidi, 1995). 3. PIRAZINAMIDA (Z) Sediaan dasar Pirazinamid adalah Tablet 500 mg/tablet (Anonim, 1979). Dosis Dewasa dan anak sebanyak 15 – 30 mg per kg berat badan, satu kali sehari. Atau 50 – 70 mg per kg berat badan 2 – 3 kali seminggu. Obat ini dipakai bersamaan dengan obat anti tuberkulosis lainnya (Tjay, 2007). Indikasi digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan anti tuberkulosis lain. Kontraindikasi terhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria, hipersensitivitas (Wattimena, 1991). Efek samping hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia, hepatomegali, ikterus; gagal hati; mual, muntah, artralgia, anemia sideroblastik, urtikaria (Mutscler, 2004).
20
Sebelum menggunakan obat ini, kepada penderita perlu ditanyakan tentang: a. Alergi yang pernah dialami, b. Penggunaan obat lain bila menggunakan Pirazinamid( lihat Interaksi) Penderita perlu diberikan informasi tentang cara penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang akan dirasakan, yakni : a. Obat ini harus diminum sampai selesai sesuai dengan kategori penyakit atau petunjuk dokter / petugas kesehatan lainnya, dan diupayakan agar tidak lupa. Bila lupa satu hari, jangan
meminum dua kali pada hari
berikutnya b. Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perlu diberitahukan berat badan kepada petugas, c. Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namun jika lupa segera minum obat jika waktunya
dekat ke waktu minum obat
seharusnya. Tetapi jika lewat waktu sudah jauh,
dan dekat ke waktu
berikutnya, maka minum obat sesuai dengan waktu / dosis berikutnya. d. Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter atau petugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari. e. Bagi penderita diabetes, agar diberitahu, sebab dapat mempengaruhi pemeriksaan kadar keton dalam air seni yakni hasil palsu. f. Sampaikan kepada dokter / petugas kesehatan lain jika merasakan sakit pada sendi, kehilangan nafsu makan, atau mata menjadi kuning (Zubaidi, 1995).
21
4. ETAMBUTOL (E) Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik Etambutol-HCl 250 mg, 500 mg/tablet (Anonim, 1979). Dosis untuk dewasa dan anak berumur diatas 13 tahun, 15 -25 mg mg per kg berat badan, satu kali sehari. Untuk pengobatan awal diberikan 15 mg / kg berat badan, dan pengobatan lanjutan 25 mg per kg berat badan. Kadang kadang dokter juga memberikan 50 mg per kg berat badan sampai total 2,5 gram dua kali seminggu. Obat ini harus diberikan bersama dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Tidak diberikan untuk anak dibawah 13 tahun dan bayi (Tjay, 2007). Indikasi, etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ni dapat ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia kurang 6 tahun, neuritis optik, gangguan visual. Kontraindikasi, hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik (Wattimena, 1991). Efek samping
yang muncul antara lain gangguan penglihatan dengan
penurunan visual, buta warna dan penyempitan lapangan pandang (Mutscler, 2004). Sebelum menggunakan obat ini, kepada penderita perlu ditanyakan tentang: a. Alergi yang pernah dialami karena etambutol, b. Penggunaan obat lain bila menggunakan Etambutol
22
Penderita perlu diberikan informasi tentang cara penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang akan dirasakan, yakni: a. Obat ini diminum dengan makanan atau pada saat perut isi b. Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perlu diberitahukan perubahan berat badan kepada petugas, c. Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namun jika lupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu minum obat seharusnya. Tetapi jika kalau lewat waktu sudah jauh, dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat sesuai dengan waktu / dosis berikutnya. d. Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter atau petugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari. e. Sampaikan kepada dokter / petugas kesehatan lain jika mengalami rasa sakit pada sendi, sakit pada mata, gangguan penglihatan, demam, merasa terbakar. Khusus untuk gangguan mata dapat menghubungi dokter mata (Zubaidi, 1995). 5. STREPTOMISIN (S) Sediaan dasar serbuk Streptomisin sulfat untuk Injeksi 1,5 gram / vial berupa serbuk untuk injeksi yang disediakan bersama dengan Aqua Pro Injeksi dan Spuit (Anonim, 1979). Dosis Obat ini hanya digunakan melalui suntikan intra muskular, setelah dilakukan uji sensitifitas.Dosis yang direkomendasikan untuk dewasa adalah 15 mg per kg berat badan maksimum 1 gram setiap hari, atau 25 – 30 mg per kgberat badan, maksimum 1,5 gram 2 – 3 kali seminggu. Untuk anak 20 – 40 mg per kg
23
berat badan maksimum 1 gram satu kali sehari, atau 25 – 30 mg per kg berat badan 2 – 3 kali seminggu. Jumlah total pengobatan tidak lebih dari 120 gram (Tjay, 2007) Indikasi sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid, Rifampisin, dan pirazinamid, atau untuk penderita yang dikontra indikasi dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut. Kontraindikasi hipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat atau aminoglikosida lainnya (Wattimena, 1991). Efek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif 100 g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat khusus (Mutscler, 2004). Sebelum menggunakan obat ini, kepada penderita perlu ditanyakan tentang a. Alergi yang pernah dialami, b. Apakah dalam keadaan hamil atau tidak, karena ada risiko gangguan pendengaran dan gangguan ginjal untuk bayi c. Perhatian untuk anak ada
kemungkinan
mengalami gangguan
pendengaran dan ginjal. d. Orang tua ada kemungkinan mengalami gangguan
pendengaran dan
ginjal. e. Penggunaan obat lain bila menggunakan Streptomisin (lihat Interaksi) Penderita perlu diberikan informasi tenang cara penggunaan yang baik dari obat ini, yakni : a. Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perlu diberitahukan berat badan kepada petugas,
24
b. Harus dipakai setiap hari ( atau berdasarkan petunjuk dokter) diupayakan datang ke petugas untuk di suntik pada jam yang sama (Zubaidi, 1995). 2.2.5 Resistensi terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT) a. INH Petunjuk yang ada memberikan kesan bahwa mekanisme terjadinya resistensi berhubungan dengan kegagalan obat mencapai kuman atau kuman tidak menyerap obat. Penggunaan INH juga dapat menyebabkn timbulnya strain baru yang resisten. Perubahan sifat dari sensitif menjadi resisten biasanya terjadi dalam beberapa minggu setelah pengobatan dimulai. Waktu yang diperlukan untuk timbulnya resistensi berbeda pada kasus yang berlainan. b. Rifampisin Resistensi terhadap rifampisin adalah salah satu komponen kunci untuk penentuan terapi dengan OAT. Beberapa peneliti menyatakan 90% isolat klinik resisten INH juga resisten terhadap rifampisin. Resistensi terhadap rifampisin pada M. Tuberkulosis sebagian besar disebabkan oleh mutasi gen. c. Ethambutol Ethambutol telah berhasil digunakan dalam pengobatan tuberkulosis dan menggantikan tempat asam para amino salisilat karena tidak menimbulkan efek samping yang berbahaya serta dapat diterima dalam terapi. Manfaatnya yang utama dalam paduan terapi tuberkulosis ialah mencegah timbulnya resistensi kuman terhadap antituberkulosis lain.
25
d. Streptomisin Dalam populasi yang besar selalu terdapat kuman yang resisten terhadap streptomisin. Resistensi ini mungkin disebabkan oleh mutasi yang terjadi secara kebetulan. Kemungkinan terjadi resistensi in vitro dan in vivo sama besar. Secara umum dikatakan bahwa makin lama terapi dengan streptomisin berlangsung, makin meningkat resistensinya. Pada beberapa pasien resistensi ini terjadi dalam satu bulan. Setelah 4 bulan, 80% kuman tuberkulosis tidak sensitif lagi. Setengahnya tidak dapat dihambat dengan kadar 1000 mikrogram/ml. Bila kavitas tidak menutup atau sputum tidak menjadi steril dalam waktu 2-3 bulan, bakteri yang tertinggal telah resisten dan pengobatan tidak efektif lagi. Penggunaan streptomisin bersama antituberkulosis lain menghambat terjadinya resistensi. Tetapi hal ini tidak mutlak, pada pengobatan jangka lama dapat juga terjadi resistensi kuman terhadap kedua obat itu. Resistensi kuman adalah salah satu masalah penting dalam pengobatan tuberkulosis. Walaupun pada pembahasan masing-masing obat masalah ini telah disinggung, tampaknya perlu dikemukakan lagi dalam kaitannya dengan pengobatan. Atas dasar ini pengobatan tuberkulosis selalu mencakup dua obat atau lebih untuk mencegah dan memperlambat terjadinya resistensi. Adanya resistensi terhadap antituberkulosis pada pasien yang belum pernah diobati telah banyak dipublikasi. Namun, banyak ahli berpendapat masalah ini belum sampai mengancam penggunaan yang efektif. Banyak publikasi mengatakan bahwa angka kejadian resistensi basil tuberkulosis yang diisolasi dari pasien bergantung pada
26
daerah geografik, etnik, dan sosioekonomi populasi yang diteliti. Dalam suatu studi, resistensi basil terhadap streptomisin, isoniazid dan rifampisin pada pasien yang telah mendapat pengobatan di Amerika Latin, Asia, atau Afrika lebih sering terjadi dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Eropa. Di negara-negara yang sedang berkembang, kasus tuberkulosis banyak dan insidens resistensi terhadap isoniazid dan streptomisin atau kedua-duanya terus meningkat. Untuk Myobacterium tuberculosis yang telah resisten terhadap salah satu obat hanya digunakan antituberkulosis yang lain yang masih efektif terhadap kuman tersebut. Myobacterium atypic biasanya resisten terhadap beberapa antituberkulosis, oleh karen itu sebelum pengobatan perlu dilakukan uji kepekaan in vitro. Sebenarnya pengujian ini bukan hanya perlu terhadap Myobacterium atypic saja, tetapi juga pada pengobatan tuberkulosis paru-paru agar pemilihan obat lebih tepat sehingga hasil pengobatan lebih baik. Tetapi karena uji kepekaan ini cukup mahal dan menambah bebas pasien, maka hal ini sering dilupakan (Anonim, 2007). 2.2.6 Apoteker sebagai Pengawas Minum Obat (PMO) Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO. Apoteker diharapkan dapat meminta seseorang yang berfungsi sebagai PMO dengan persyaratan : a. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui oleh penderita dan lebih baik lagi dikenal dan disetujui oleh petugas kesehatan termasuk Apoteker, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita.
27
b. Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita. c. Bersedia membantu penderita dengan sukarela. d. Bersedia dilatih dan/atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita (Anonim, 1993). Definisi PMO (Pengawas Minum Obat) PMO yang terbaik adalah adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PKK, atau tokoh masyarakat lain atau anggota keluarga. Apoteker atau asisten apoteker dapat menjadi PMO sekurang-kurangnya memantau secara jarak jauh. Sebaiknya Apoteker atau Asisten Apoteker dapat menjalankan pelayanan kerumah, untuk memastikan dan mengawasi pemakaian obat oleh penderita (Anonim, 1993). Tugas seorang PMO a. Mengawasi penderita TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. b. Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur. c. Mengingatkan penderita untuk segera menemui petugas kesehatan (dokter atau petugas kesehatan lain) yang memberikan obat, jika terjadi gejala efek samping, atau kondisi penyakit yang bertambah parah atau ada kelainan lain. d. Mengingatkan penderita, tindakan untuk segera meneruskan meminum obat, jika lupa meminum obat.
28
e. Mengingatkan penderita untuk menyimpan obat pada tempat yang kering, tidak terkena cahaya matahari, jauh dari jangkauan anak anak. f. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan. g. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala seperti TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan (Anonim, 1993). Informasi penting yang perlu difahami PMO untuk disampaikan. a. TB bukan penyakit keturunan atau kutukan, b. TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur, c. Tata laksana pengobatan penderita pada tahap intensif dan lanjutan, d. Pentingnya berobat secara teratur, karena itu pengobatan perlu diawasi, e. Efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut. f. Cara penularan dan mencegah penularan (Anonim, 1993). 2.3 Psikologi Pasien Termasuk didalamnya kepatuhan pasien mengkonsumsi obatnya, motivasi yang didapatkan pasien selama perawatan, serta tingkat kejenuhan pasien terhadap konsumsi obat-obatan yang harus diminum habis (Laban, 2008). 2.3.1 Konsep Perilaku Perilaku manusia pada hakekatnya adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berbicara, berjalan, menangis, tertawa, membaca, dan sebagainya. Sebagaimana dapat
29
disimpulkan bahwa perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Skinner merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut deteminan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yakni : 1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya. 2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, dan sebagainya. Berdasarkan teori skinner, dapat dikatakan bahwa kepatuhan penderita TB paru untuk minum obat secara teratur adalah merupakan tindakan yang nyata dalam bentuk kegiatan yang dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri si penderita (faktor internal) maupun dari luar diri si penderita (faktor eksternal). Faktor internal yaitu umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan serta faktor motivasi dari dalam diri penderita TB Paru seperti rasa tanggung jawab. Adapun faktor eksternalnya yaitu motivasi dari luar diri penderita TB Paru yang meliputi dukungan keluarga, pengawasan PMO dan dorongan petugas. Hal ini punya yang menjadi faktor kejenuhan pasien penderita
30
TB. Tanpa adanya faktor tersebut, tentu dapat menyebabkan pasien jenuh dalam mengkonsumsi obatnya sampai habis. Apalagi tanpa adanya motivasi dari luar, pasien tentu saja jenuh dan tidak punya motivasi dan semangat untuk sembuh (Laban, 2008). 2.3.2 Motivasi Motivasi adalah salah satu faktor yang diperlukan, agar pasien tidak sampai jenuh selama mengkonsumsi obatnya. Malayu (1996) menyatakan bahwa motivasi berasal dari bahasa latin, yakni ”movere” yang berarti ”daya penggerak” atau ”dorongan” dalam diri manusia yang menyebabkan individu tersebut berbuat sesuatu. Menurut Notoatmodjo (2003) motivasi diartikan sebagai dorongan dalam bertindak untuk mencapai tujuan tertentu. Hasil dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku. Adapun perilaku itu sendiri terbentuk melalui proses tertentu, dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya (Aziz, 2003). 2.3.3 Konsep Kepatuhan Pengertian kepatuhan menurut sockett yang dikutip oleh neil niven (2000) bahwa kepatuhan pasien sebagai sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Orang mematuhi perintah dari orang yangmempunyai kekuasaan bukan hal yang mengherankan karena ketidakpatuhan sering kali diikuti dengan beberapa bentuk hukuman. Meskipun demikian, yang menarik adalah pengaruh dari orang yang tidak mempunyai kekuasaan dalam membuat orang mematuhi perintahnya dan sampai sejauh mana kesediaan orang untuk mematuhinya (Anonim, 2011).
31
2.3.4 Tingkat Kepatuhan Derajat ketidakpatuhan bervariasi sesuai dengan apakah pengobatan tersebut kuratif atau preventif, jangka panjang atau jangka pendek. Sackett and Snow yang dikutip oleh Niven (2000) menemukan bahwa ketaatan terhadap 10 hari jadwal pengobatan sejumlah 70- adalah pencegahan. Kegagalan untuk mengikuti program jangka panjang, yang bukan dalam kondisi akut, dimana derajat ketidakpatuhannya rata-rata 50% dan derajat tersebut bertambah buruk sesuai waktu. 2.3.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan menurut Niven (2000) antara lain adalah: a. Pemahaman tentang intruksi b. Kualitas interaksi c. Isolasi sosial dan keluarga d. Motivasi e. Pengetahuan (Anonim, 2011) 2.3.6 Cara mengurangi ketidakpatuhan Dinicola dan Dimatteo yang dikutip oleh niven (2000) mengusulkan beberapa rencana untuk mengatasi ketidakpatuhan pasien, antara lain: a. Mengembangkan tujuan kepatuhan b. Mengembangkan perilaku sehat dan mempertahankanya c. Pengontrolan perilaku d. Dukungan sosial
32
e. Dukungan dari profesional kesehatan f. Pendidikan pasien g. Modifikasi faktor-faktor lingkungan sosial h. Meningkatkan interaksi profesi kesehatan dengan pesien i.
Perubahan model terapi (Anonim, 2011)
2.3.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien menurut Niven (2000) adalah sebagai berikut : a. Keadaan penyakit b. Keadaan pasien c. Petugas kesehatan d. Pengobatan e. Struktur pelayanan (Anonim, 2011)