Bab II II.1
Tinjauan Pustaka
Kelor (Moringa oleifera)
Kedudukan Moringa oleifera dalam dunia tumbuhan adalah: Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Anak Kelas
: Dilleenidae
Bangsa
: Capparales
Suku
: Moringaceae
Marga
: Moringa
Jenis
: Moringa oleifera Lam.
Moringa oleifera memiliki sinonim Guilandina moringa, Mypterygosperma Gaertner, di Indonesia Moringa oleifera yang beragam antara lain kelor (Jawa, sunda, bali, lampung), Morongohi (Madura), Kawona wona (Sumba), Kelo (Gorontalo), Kalohe (Sangir), Kero (Sulawesi Utara) (Watson, L., & Dauwitz, M.J., 1997).
Awalnya Moringa oleifera merupakan tumbuhan asli daerah
Himalaya yang terletak di sebelah utara India dan Pakistan, akan tetapi saat ini sudah menjadi tumbuhan asli di beberapa daerah lain misalnya Afrika, Arab (Sutherland, J.P.) Kelor (Moringa oleifera) termasuk jenis tumbuhan perdu yang dapat memiliki ketingginan batang 7 -11 meter. Pohon Kelor tidak terlalu besar. Batang kayunya getas (mudah patah) dan cabangnya jarang tetapi mempunyai akar yang kuat. Batang pokoknya berwarna kelabu. Daunnya berbentuk bulat telur dengan ukuran kecil-kecil bersusun majemuk dalam satu tangkai. Kelor dapat berkembang biak dengan baik pada daerah yang mempunyai ketinggian tanah 300-500 meter di atas permukaan laut. Bunganya berwarna putih kekuning-kuningan dan tudung pelepah bunganya berwarna hijau. Bunga kelor keluar sepanjang tahun dengan aroma bau semerbak. Buah kelor berbentuk segi tiga memanjang yang disebut klentang (Jawa). Buahnya pula berbentuk kekacang panjang berwarna hijau dan keras serta berukuran 120 cm panjang. Sedang getahnya yang telah berubah warna
menjadi coklat disebut blendok (Jawa) (Kharistya). Biji muda berwarna hijau setelah berwarna coklat dan terpecah menjadi 3 bagian, jumlah biji sampai 20 biji. Biji kelor (Moringa oleifera) berwarna coklat tua, bersayap pada 3 sisinya diameter 1cm (Dian, L., 1980). Seperti terlihat pada gambar II.1 dan gambar II.2.
Gambar II. 1 Kelor (Moringa oleifera)
Gambar II. 2 Biji kelor (Moringa oleifera) Moringa oleifera merupakan tumbuhan serbaguna karena dari semua bagian tumbuhan tersebut dapat dimanfaatkan (Duke, J.A., (1998), Sutherlan, J.P.). Akar pohonnya dapat dimanfaatkan untuk obat bagi orang yang digigit ulat dan sengatan kelabang, ekstraknya dapat mengobati radang, akar Moringa oleifera juga dapat digunakan untuk obat kuat, penyakit demam, dan beri-beri. Kulit akarnya dapat digunakan untuk mengobati bengkak, lumpuh, beri-beri dan obat sariawan, kulit batang Moringa oleifera dapat dimanfaatkan untuk mengobati sakit kepala, daun mudanya dapat di sayur sedang yang tua digunakan sebagai makanan ternak, akar menghasilkan minyak Moringa oleifera yang dapat
5
digunakan sebagai anti infeksi, antibiotik dan fungisida untuk mengobati infeksi kulit (Ezeamuzie, I.C., 1996) Biji Moringa oleifera mengandung mustard oil (minyak moringa) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan dalam pembuatan sabun, bahan iluminasi, bahan campuran untuk pembuatan kosmetik (Price, 1993, Sutherland, J.P., et all, 1994) Pendapat lain menyatakan bahwa kotiledon Moringa oleifera mengandung 3 komponen penting yaitu substansi anti mikroba yang dikenal dengan nama 4-ά-Lrhamnosiloksi-benzil-isotiosianat, minyak ben dan flokulen (FG Winarno). Bagian dari biji Moringa oleifera yang berperan sebagai flokulen adalah protein yang larut dalam air. Meskipun demikian tidak semua protein dapat berperan sebagai flokulan. Komposisi daun dan buah kelor (Moringa oleifera) diperlihatkan pada table II.3 (Price, 1993). Tabel II. 1 Komposisi daun dan buah kelor (Moringa oleifera) (per 100 gr) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Komposisi Kadar yang dapat dimakan (mg) Kadar air (mg) Protein (mg) Lemak (mg) Karbohidrat (mg) Mineral (mg) Serat (mg) Kalori (mg) Kalsium (mg) Magnesium (mg) Asam oksalat (mg) Fosfor (mg) Kalium (mg) Tembaga (mg/gr) Sulfur mg Vit A (iu) Krom (mg) Tiamin (mg) Riboflamin (mg) Asam Nikotin (mg)
6
Daun 75 750 6,7 1,7 13,4 2,3 0,9 92 440 24 101 70 259 1,1 137 11,300 423 0,006 0,005 0,8
Buah 83 86,9 2,5 0,1 3,7 2,0 4,8 26 30 24 101 110 259 3,1 137 184 423 0,05 0,07 0,2
Kandungan biji kelor (Moringa oleifera) dapat terlihat pada tabel berikut (AlKhalili, R.S. et all, 1997) : Tabel II. 2 Komposisi biji No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Komposisi Air Protein Minyak dan Lemak Ekstrak (iu) Serat Abu
Inti Biji 4,08 gr 38,4 gr 34,7 % 16,4 gr 3,5 gr 3,2 gr
Fraksi protein pada daun dan buah kelor (Moringa oleifera) dapat dilihat pada tabel II.2 (Price, 1993). Tabel II. 3 Fraksi Asam Amino daun dan buah Moringa oleifera (gr/16 grN) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Fraksi Arginin Histidin Lisin Triptotopan Fenilalanin Metionin Treonin Leusin Isoleusin
Daun 60 2,1 4,3 1,9 6,4 2,0 4,9 9,3 6,3
Buah 3,6 1,1 1,5 0,8 4,3 1,4 3,9 6,5 4,5
II.2 Kelor (Moringa oleifera) sebagai Koagulan Banyak sekali penelitian yang memanfaatkan biji
Moringa oleifera sebagai
koagulan. Diantaranya upaya LSM Dian Desa Yogyakarta dengan OXFAM untuk menjernihkan air minum di pedesaaan dengan biji kelor. Menurut hasil penelitian tersebut untuk menjernihkan 1liter air dibutuhkan 1 biji kelor (Dian, L., 1980). Biji kelor yang digunakan sebagai penjernih air tambak udang konsentrasi optimum dalam menjernihkan tambak udang adalah campuran antara 50 ppm serbuk biji kelor (Moringa oleifera) dengan 10 ppm alum. Kombinasi 2 koagulan tersebut dapat menurunkan tingkat kekeruhan sebesar 42,10% jumlah bakteri
7
59,2% dan jumlah bahan organik 80,4%. Keuntungan bila menggunakan kombinasi koagulan tersebut penghematan bahan kimia sebesar 66,6%. Penelitian lain memanfaatkan biji kelor untuk menjernihkan air limbah diantaranya M. Hindun Pulungan yang menurunkan turbiditas dari air limbah tahu 72,21% (Pulungan, H., 2007), Khairul Amdani yang memanfaatkan biji kelor sebagai koagulan pada proses koagulasi limbah cair industri menurunkan turbiditas 92,21 % (Amdani, K., 2004). Biji kelor (Moringa oleifera) pada prinsipnya mengandung protein, karbohidrat serta lemak dan yang berperan sebagai flokulan adalah protein yang larut dalam air yang akan menghasilkan protein larut air yang bermuatan positif larutan tersebut memiliki sifat seperti polielektrolat alum dan merupakan polimer yang dapat mengikat partikel koloid dan membentuk flok yang dapat mengendap. Mekanisme penurunan konsentrasi logam berat juga dimungkinkan karena adanya aktivitas asam amino bioflokulan yang mampu mengadsorbsi dan membentuk ikatan antar partikel air limbah dan bioflokulan sehingga terbentuk ikatan-ikatan yang stabil dapat mengendap. Teori pengikatan partikel koloid oleh polimer menyebabkan bahwa molekul polimer akan mengikat partikel koloid pada satu sisi seperti tergambar pada reaksi 1 pada gambar II.3.
Bagian dari rantai yang tidak mengikat koloid dapat
berikatan dengan rantai lain yang telah mengikat koloid. Rangkaian tersebut membentuk suatu jembatan kimia, seperti yang tergambar pada reaksi 2. Makin banyak ikatan yang terjadi maka makin banyak koloid yang bergabung. Penggabungan tersebut membentuk gumpalan atau flok yang dapat mengendap. Akan tetapi bila rantai yang bebas tidak berhasil berikatan dengan rantai lain kemungkinan rantai tersebut akan menutupi seluruh permukaan partikel koloid yang diikatnya. Hal itu mengakibatkan partikel koloid kembali dalam keadaan stabil (reaksi 3). Penambahan koagulan berlebih dapat menyebabkan kegagalan pembentukan flok. Mekanismenya adalah polimer-polimer yang berlebih akan menutupi seluruh permukaan partikel koloid. Sehingga tidak ada tempat untuk rantai akhir menempel dan proses flokulasi tidak terjadi. Keadaan ini bisa
8
mengakibatkan partikel koloid kembali stabil atau tidak dapat bergabung dengan partikel lain karena memiliki muatan yang sama (reaksi 4) (Larry D & Joseph, 1982). Mekanisme tersebut dapat dilihat dari gambar berikut:
Gambar II. 3 Model anyaman koloid oleh polimer (Larry D & Joseph, 1982).
II.3 Teori Koagulasi Koagulasi merupakan cara untuk menghilangkan kestabilan koloid sehingga terjadi pembentukan mikroflok. Sedangkan flokulasi, merupakan teknik pencampuran lambat untuk meningkatkan kontak antar partikel kaloid-koloid yang tidak stabil. Sehingga terjadi penggabungan mikroflok dan membentuk flok
9
yang lebih besar.
Proses koagulasi dan flokulasi ini dipengaruhi oleh pH,
omposisi dan jumlah pencemar, kondisi air baku, kecepatan dan lama pengadukan serta sifat spesifik koagulan atau flokulan yang digunakan. Tujuan utama dari proses koagulasi dan flokulasi adalah untuk memisahkan koloid yang ada di dalam air baku. Beberapa parameter yang berhubungan erat dengan proses koagulasi dan flokulasi adalah waktu pengendapan, warna kekeruhan dan zat polut total. Koloid ada yang bersifat reversibel atau stabil secara
termodinamik
ireversibel/tidak
stabil
(protein, polimer, secara
lemak,
termodinamik
sabun)
(lempeng
dan ada logam
yang oksida,
mikroorganisme, semua partikel yang ada dalam air baku). Koloid merupakan partikel yang sangat halus oleh karena itu sangat sulit untuk diendapkan karena membutuhkan waktu yang lama. Koloid bersifat listrik ada yang bermuatan positif ada yang bermuatan negatif tergantung dari asalnya. Bila berasal dari bahan anorganik maka muatan listriknya positif sedangkan yang berasal dari bahan organik muatan listriknya negatif. Pada umumnya partikel koloid bermuatan negatif, sehingga pada permukaannya terdapat ion-ion seperti Na+, Mg2+, Ca2+ dan lain-lain. Ion-ion ini membentuk suatu lapisan yang disebut lapisan primer atau stern layer.
Lapisan primer
membentuk suatu lapisan yang disebut lapis sekunder atau diffuse layer dengan badan air (bulk solution). Dalam hal ini lapisan primer dan lapisan sekunder telah membentuk lapisan rangkap listrik atau electric double layer yang memberikan suatu tingkat kestabilan kepada dispersi koloid (Pontius, Frederick W., 1990). Pada garis singgung ke badan larutan konsentrasi ion positif semakin berkurang karena ion positif dari air cenderung membuat lapisan primer yang bermuatan positif karena terikat pada koloid yang bermuatan negatif. Hal ini menyebabkan konsentrasi ion negatifnya meningkat. Keadaan ini terjadi sampai suatu titik dimana setelah sampai titik tersebut muatan positif dan muatan negatif tersebar merata. Lapisan rangkap listrik menyebabkan partikel-partikel koloid saling tolak menolak sehingga tidak dapat mengadakan tumbukan untuk membentuk partikelpartikel yang lebih besar. Partikel dapat dibuat berkoagulasi untuk membentuk
10
gumpalan-gumpalan yang lebih besar, dengan jalan menghilangkan muatan listrik pada lapisan primer (proses koagulasi) (Pontius, Frederick W., 1990). Model lapis rangkap listrik ditunjukan pada gambar II.4.
Gambar II.4 Model teori lapisan Diffuse Doubel (Pontius, Frederick W., 1990)
11
Ada 2 macam gaya yang mempengaruhi partikel koloid : 1.
Gaya vander walls, yang menyebabkan saling tarik menarik (gaya atraksi) Besarnya gaya ini bergantung pada komposisi dan densitas koloid.
2.
Gaya tolak menolak antar koloid karena mempunyai muatan listrik yang sama (gaya repulsi)
Gaya repulsi umumnya lebih besar dan gaya atraksi. Gaya atraksi tidak dapat dipengaruhi dari luar, sebaliknya gaya repulsi adalah gaya dapat dipengaruhi dari luar misalnya dapat menambahkan muatan elektrolit. Sifat koloid seperti ini menjadi dasar dalam proses koagulasi dan flokulasi. Mekanisme koagulasi dan flokulasi terdiri dari 3 tahap : 1.
Partikel koloid dalam air yang bermuatan listrik sama (misalnya negatif), akan saling tolak menolak dan tidak dapat mendekat kondisi disebut stabil
2.
Jika ditambahkan ion logam, misalnya yang berasal dari PAC atau dengan menambahkan biokoagulan seperti Moringa oleifera, maka akan terjadi pengurangan gaya repulsi sesama koloid. Kondisi ini disebut destabilisasi koloid, kondisi ini yang meningkatkan koloid untuk saling mendekat dan membentuk mikroflok.
3.
Mikroflok-mikroflok tersebut cenderung untuk bersatu dan membentuk makroflok karena sudah mengalami destabilisasi dan akhirnya mengendap. Oleh karena itu proses koagulasi dan flokulasi dapat terjadi berurutan atau dapat pula terjadi secara bersamaan.
Seandainya proses koagulasi dan flokulasi dapat dipisahkan
maka dapat
disimpulkan : a.
Koagulasi adalah pemberian koagulan untuk mengurangi gaya repulsi antar partikel koloid sehingga partikel tersebut dapat bergabung membentuk mikroflok.
b.
Flokulasi adalah tahap pemberian flokulan untuk menggabungkan mikroflok sampai terbentuknya makroflok dan cukup besar untuk diendapkan (Pontius, Frederick W., 1990).
12
Mekanisme destabilisasi koloid dibagi 4 tipe (Donald W, Herbert E, Klei., 1979) : 1.
Kompresi (penekanan) lapisan ganda. Interaksi koagulan terhadap satu partikel koloid murni bersifat elektrostatik. Ion koagulan yang memiliki muatan listrik yang sama degan koloid akan bersifat ditolak. Sedangkan yang bermuatan listrik yang berbeda akan ditarik. Apabila koagulan dengan konsentrasi tinggi ditambahkan ke dalam persebaran koloid, maka konsentrasi ion berbeda akan meningkat sehingga ketebalan lapisan ganda akan berkurang. Penipisan ini akan cukup untuk menanggulangi hubungan energi dengan cara ini partikel ini dapat bergabung. Semakin banyak jumlah ion yang berbeda muatan maka koagulasi makin cepat terjadi.
2.
Adsorbsi dan netralisasi muatan-muatan listrik partikel koloid Muatan-muatan listrik partikel koloid dapat dinetralisasi oleh molekul yang berbeda muatan yang memiliki kemampuan mengadsorbsi koloid. Contohnya koagulan dodesilamin (C12H25NH3+) merupakan substansi yang aktif dipermukaan sehingga terakumulasi di permukaan koloid.
3.
Penjaringan dalam suatu presipitasi. Garam logam seperti aluminium silikat Al2(SO4)3, feri klorida (FeCl3) CaO atau Ca(OH)2. Sering digunakan sebagai koagulan dalam pengolahan air dan limbah cair. Konsentrasi koagulan yang memadai/berlebih, dipergunakan untuk membuat endapan logam hidroksida seperti Al(OH)3 atau Fe(OH)3 sehingga partikel koloid dapat dijaring dalam lapisan endapan ini dan mengendap bersama. Partikel koloid dapat berperan sebagai inti endapan jadi tingginya laju pengendapan seiring dengan peningkatan partikel dalam air. Proses penyapuan koloid dari suspensi ini disebut dengan koagulasi sapu.
4.
Adsorbsi dan jembatan antar partikel. Sebagai agen destabilisasi dalam pengolahan air dan limbah cair. Polimer ini mempunyai rantai panjang. Muatan polimer dapat mendestabilisasi koloid melalui formasi jembatan. Salah satu sisi muatan rantai polimer
dapat
melekat atau mengadsorbsi pada satu sisi koloid. Sementara sisi molekul yang lain meluas ke dalam larutan. Bila sisi yang meluas itu berikatan
13
dengan koloid lain, maka dua koloid tersebut akan terikat bersama secara efektif dan disebut dengan flok. II.4 Mineral Besi dan Mangan dalam Air Keberadaan besi pada kerak bumi menempati posisi keempat terbesar.
Besi
ditemukan dalam bentuk kation ferro (Fe2+) dan ferri (Fe3+). Pada perairan alami dengan pH sekitar 7 dan kadar oksigen terlarut yang cukup, ion ferro yang bersifat mudah larut dioksidasi menjadi ion ferri. Pada oksidasi ini terjadi pelepasan elektron.
Sebaliknya, pada reduksi ferri menjadi ferro terjadi penangkapan
elektron. Kontak mineral besi
yang terkandung dalam tanah dengan
karbondioksida (CO2) membentuk Fe(HCO3)2 yang mudah larut dalam air. Senyawa ferro bicarbonate sangat mudah teroksidasi menjadi ferri hidroksida Fe(OH)3 yang dapat mengendap berupa sedimen berkarat dan berwarna kuning. Proses oksidasi
senyawa ferro (Fe2+) menjadi senyawa ferri (Fe3+) ini
berlangsung anaerob dan proses ini dapat terjadi karena adanya bakteri golongan Galuonella, Thiobacillus dan Laptothrix. Senyawa Fe3+ kembali direduksi oleh bakteri golongan Crenothrix dan sphaerotilus. Namun bila reduksi tidak terjadi, akan menyebabkan konsentrasi tinggi besi terlarut (Fe2+) dalam air tanah (Efendi, 2003). Konsentrasi unsur ini dalam air yang melebihi ± 2mg/L akan menimbulkan nodanoda pada peralatan dan bahan-bahan yang berwarna putih. Adanya unsur ini juga dapat menimbulkan bau, warna pada air minum, dan warna koloid pada air. Selain itu, konsentrasi yang lebih besar dari 1 mg/L dapat menyebabkan warna air kemerah-merahan, memberi rasa yang tidak enak pada minuman, dapat membentuk endapan pada pipa-pipa logam dan bahan cucian. Dalam jumlah kecil, unsur ini diperlukan untuk pembentukan sel-sel darah merah (Totok Sutrisno, 2006). Mangan (Mn) adalah kation logam yang memiliki karakteristik kimia serupa dengan besi. Mangan berada dalam bentuk manganous (Mn2+) dan magnetik (Mn4+). Didalam tanah, Mn4+ berada dalam bentuk senyawa mangan dioksida. Pada perairan dengan kondisi anaerob akibat dekomposisi bahan organik dengan
14
kadar yang tinggi, Mn4+ pada senyawa mangan dioksida mengalami reduksi menjadi Mn2+ yang bersifat larut. Endapan Mangan MnO2 akan memberikan noda-noda pada bahan/benda-benda yang berwarna putih. Adanya unsur ini dapat menimbulkan bau dan rasa pada minuman. Konsentrasi Mn yang lebih besar dari 0,5 mg/L dapat menyebabkan rasa yang aneh pada minuman dan meninggalkan warna kecoklat-coklatan pada pakaian dan dapat juga menyebabkan kerusakan pada hati dan unsur ini bersifat toksik pada alat pernafasan. Jika kedua logam hadir baik masing-masing maupun secara total dalam jumlah lebih besar dari 0,3 mg/L efek yang terjadi adalah rasa tidak enak, air menjadi berwarna kemerahan yang menyebabkan pipa saluran berwarna, pakaian berwarna kekuningan, akumulasi endapan besi pada pipa-pipa saluran air, pertumbuhan bakteri dan timbulnya bau pada air. Adanya senyawa feri (Fe3+) yang tidak larut dalam air yang membentuk sedimen atau lumpur berkarat menyebabkan turbiditas air yang tinggi dan air tampak berwarna kuning kecoklatan (Totok Sutrisno, 2006).
II.5 Kekeruhan Air Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipantulkan bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan organisme lain. Padatan tersuspensi berkorelasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi nilai kekeruhan juga semakin tinggi akan tetapi tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan (Efendi, 2003). Kekeruhan dinyatakan dalam satuan unit turbiditas yang setara dengan 1 mg/liter SiO3. Nephelometri adalah salah satu metode dalam mengukur kekeruhan. Pada metode ini sumber cahaya dilewatkan pada sampel dan intensitas cahaya yang dipantulkan oleh bahan-bahan penyebab kekeruhan diukur dengan menggunakan suspensi polimer formazin sebagai larutan standar. Satuan kekeruhan yang diukur dengan metode Nephelometri adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit).
15
II.6 Spektrofotometri Serapan Atom Spektrofotometri serapan atom telah lama digunakan untuk analisa kuantitatif unsur unsur logam dalam jumlah renik. Keunggulan analisa spektrofotometri serapan atom antara lain adalah analisanya peka, teliti, tidak perlu pemisahan antara unsur logam yang ditentukan dari unsur-unsur lainnya, cepat dan relatif sederhana pengerjaannya. Analisa spektrofotometri serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar pada panjang gelombang tertentu oleh atom-atom netral dalam keadaan gas dari zat yang dianalisa. Sinar yang diserap itu biasanya berupa sinar tampak atau sinar ultraviolet. Sumber cahaya berasal dari lampu katoda berongga yang dibuat dari unsur yang dianalisa sehingga menghasilkan cahaya yang khas dari unsur tersebut. Besarnya absorpsi sinar sebanding dengan konsentrasi atom-atom netral dalam nyala. Prinsip kerja alat Spektrofotometri serapan atom adalah nyala api yang mengandung atom-atom netral dari unsur yang dianalisa, yang berada pada keadaan dasarnya disinari oleh sinar yang dipancarkan sumber sinar. Sebagian intensitas sinar dari sumber sinar tersebut dengan panjang gelombang tertentu diserap oleh atom-atom unsur dalam nyala dan sebagian lagi diteruskan. Sebagian sinar yang diteruskan menuju monokromator lalu ke detektor, kemudian ke amplifier dan rekorder (Amos, M.D.).
Sumber sinar
chopper
Sistem pengatom
manokromator
detektor
Sistem pemasukan sampel
amplifer
rekorder
Gambar II. 5 Bagan alat spektrofotometri serapan atom
16
Gangguan-gangguan pada spektrofotometri serapan atom adalah peristiwa yang menyebabkan nilai absorban yang diukur lebih kecil atau lebih besar dari nilai absorban seharusnya yang sesuai dengan konsentrasi cuplikan. Gangguan –gangguan pada spektrofot ometri serapan atom, yaitu : 1. Gangguan matrik cuplikan Gangguan ini mempengaruhi banyaknya cuplikan yang mencapai nyala yang disebabkan oleh mengendapnya unsur yang dianalisa. Selain itu gangguan ini dapat pula terjadi apabila kondisi larutan seperti pH, viskositas tegangan permukaan, berat jenis dan tekanan uap tidak sama dalam larutan baik dalam larutan standar maupun larutan yang akan dianalisis. 2. Gangguan-gangguan kimia Gangguan ini mempengaruhi banyaknya atom yang terjadi di dalam nyala. Terbentuknya atom-atom netral unsur yang dianalisa yang masih dalam keadaan dasarnya di dalam nyala sering terganggu oleh dua macam gangguan kimia yaitu : disosiasi tidak sempurna dan ionisasi atom-atom dalam nyala II.7 Turbidimeter Sinar akan dihamburkan ke segala arah, bila dilewatkan melalui medium trasparan (tembus cahaya) yang mengandung partikel-partikel zat padat (koloid). Bila partikelnya agak besar maka peristiwa hamburan disebut hamburan Tyndall, yaitu bila suatu berkas sinar melewati partikel-partikel tersebut maka sebagian sinar akan dihamburkan kesamping.
Analisis secara kuantitatif untuk turbidimetri
didasarkan pada pengukuran intensitas cahaya yang ditransmisikan.
Setelah
cahaya tersebut melalui larutan yang mengandung partikel koloid dari zat yang dianalisis.
Pada prinsipnya cara turbidimetri tidak ada bedanya dengan
spektrometri biasa karena yang diukur adalah sinar yang ditransmisikan seperti pada spektrofotometri biasa. Salah satu senyawa standar yang dapat digunakan adalah campuran Hidrazin Sulfat dan Heksamethylene tetramine (Jason J.Evans, 2000)
17
II.8 Hubungan antara Absorban dan Konsentrasi Atom-Atom Logam Hubungan antara absorpsi sinar dengan kadar logam dinyatakan oleh Hukum Lambert-Beer sebagai berikut : A = log
P0 = a.b.c Pt
Dengan keterangan: A = absorbans P0 = intensitas sinar mula-mula Pt = intensitas sinar yang diteruskan a = absorptivitas b = panjang jalan sinar dalam nyala c = konsentrasi atom logam
18