Bab II Tinjauan Pustaka
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Sejarah Banjir Di DKI Jakarta
Fakta-fakta banjir sebagian merujuk pada referensi sejarah yaitu: 1. Banjir pada zaman Kerajaan Tarumanagara Abad ke-5. Bukti otentik bahwa Jakarta sudah mengalami banjir tertulis jelas dalam Prasasti Tugu yang ditemukan pada tahun 1878 di daerah Jakarta Utara dan kini disimpan di Museum Sejarah Jakarta. Terungkap bahwa Raja Purnawarman pernah menggali Kali Chandrabhaga (di daerah Bekasi) dan Kali Gomati (Kali Mati di daerah Tangerang) sepanjang sekitar 24 Km untuk mengatasi banjir. 2. Kemudian Banjir yang terjadi pada masa Kolonial Belanda berkuasa di Batavia, yakni tahun 1621, 1654, 1872,1893, 1909, 1918 dan 1932. Sebagian besar penyebabnya karena hujan deras dan air yang meluap dari beberapa sungai, terutama Sungai Ciliwung dan selalu terjadi di awal tahun. Tetapi banjir di Batavia tahun 1918 merupakan banjir terbesar dan terparah, sejak akhir Januari hingga Februari, setidaknya sejak 9 tahun terakhir sebelum 1918. Kanal-kanal tidak berfungsi mengatasi deras dan tingginya volume air. Banjir pada 4 Februari, rumah-rumah penduduk di Weltevreden (sekarang kawasan Jakarta Pusat) terendam air lebih dari 1 m atau setinggi dada orang dewasa, kemudian berlanjur pada 14 Februari merubah Gang Pacebokan (sekitar Kampung Krukut, Jakarta Barat) menjadi rawa lumpur. Berlanjut pada 16 Februari, ketinggian air mencapai 1,5 m dan nyaris menyentuh atap rumahrumah warga yang tinggal tidak jauh dari Sungai Ciliwung. II-1
Bab II Tinjauan Pustaka
Banjir pada tahun 1932 termasuk yang parah setelah banjir yang terjadi pada 1918. Hujan turun setiap hari sejak 4 Januari – 2 Februari 1932, dengan curah hujan mencapai 150 mm. 3. Selanjutnya Banjir di Jakarta pada masa Orde Lama yakni tahun 1950, 1952, 1960 dan 1963. Banjir terjadi akibat bertambahnya penduduk Kota Jakarta sehingga membuka lahan bagi pemukiman-pemukiman baru. Persawahan dan daerah resapan air mulai diurug dan ditinggikan untuk membangun rumah-rumah penduduk. Akibatnya, air hujan mengalir ke beberapa tempat yang lebih rendah. Beberapa sungai juga mengalami penyempitan dan pendangkalan, sementara system drainase di dalam kota belum terbangun dengan baik. Banjir besar di Jakarta pada masa itu membawa hikmah positif pada tahun 1965, yaitu Presiden Soekarno membentuk Komando Proyek (Kopro) banjir Jakarta. Tugasnya adalah memperbaiki kanal-kanal peninggalan Belanda dan membangun 6 waduk di sekitar Jakarta. Hasil kerja KoPro banjir itu antara lain: a. Pembangunan beberapa Waduk, yakni: Waduk Setiabudi, Waduk Pluit, Waduk Tomang, Waduk Grogol, serta merehabilitasi sejumlah sungai di sekitarnya. b. Pembangunan sejumlah Polder, yaitu: Polder Melati, Polder Pluit, Polder Grogol, Polder Setiabudi Barat dan Polder Setiabudi Timur. c. Pembuatan Sodetan Kali, yaitu: Kali Grogol, Kali Pesanggrahan dan Gorong-gorong Jalan Sudirman.
II-2
Bab II Tinjauan Pustaka
4. Seterusnya Banjir di Jakarta pada masa Orde Baru yang terjadi tahun 1976, 1984, 1985, 1994 dan 1996 (Catatan: bukan 1997, sebagaimana yang selama ini sering disebut-sebut). Karena itu, rencana pembangunan Saluran Kolektor menjadi prioritas dalam Master Plan 1973, sebagaimana tercermin pada langkah-langkah: a. Memperpanjang Saluran Kolektor yang sudah ada ke arah barat, yang kini dikenal sebagai “Cengkareng Drain”. b. Membangun Saluran Kolektor di bagian timur, yang kemudian dikenal sebagai “Cakung Drain”, untuk menampung aliran air dari Kali Sunter, Buaran, Cakung dan Jati Kramat. Dengan adanya tambahan Saluran Kolektor, maka Jakarta memiliki 3 (tiga) “Banjir Kanal”, masing-masing di bagian Timur, Tengah dan Barat Kota. Sayangnya, langkah-langkah itu belum juga mampu mengatasi ancaman banjir rutin setiap tahun. Karena itu, setelah melewati proses evaluasi, Master Plan 1973 akhirnya dimodifikasi sebab harus menyesuaikan dengan perkembangan kota. Pelaksanaanya pun sering menghadapi kendala tingginya biaya pembebasan tanah. Konsep hasil modifikasi itu lalu dikenal sebagai Modifikasi Master Plan 1981. Hal-hal pokok dalam Konsep Modifikasi ini antara lain: a. Kanal Banjir yang ada tetap menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cideng, Kali Krukut, dan bermuara di Muara Angke. b. Pompa Cideng digunakan untuk menampung air Kali Cideng Bawah. c. Sodetan Kali Sekretaris-Grogol untuk menampung air Kali Sekretaris dan Kali Grogol. II-3
Bab II Tinjauan Pustaka
d. Saluran Banjir Cengkareng (Cengkareng Drain) menampung aliran air dari Sungai Pesanggrahan, Sungai Angke, Sungai Mookervart. e. Pengembangan area layanan Polder (Waduk dan Pompa) f. Pengembangan area layanan normalisasi dan sodetan kali. Namun pada tahun 1996, Jakarta kembali dilanda banjir besar dan tercatat sebagai banjir terburuk sejak tahun 1985. Menurut BMG/ Badan Meteorologi dan Geofisika (kini sudah berganti BMKG/ Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika), banjir yang timbul di Jakarta tahun 1996 itu memang disebabkan oleh curah hujan yang luar biasa, rata-rata 250 mm dan bahkan di beberapa tempat seperti Cipete, Jakarta Selatan, curah hujan lebih dari 400 mm. Selain itu, menurut para ahli, banjir di Ibukota juga karena beberapa faktor lain, salah satunya adalah penurunan permukaan tanah akibat eksploitasi air tanah secara berlebihan di Jakarta. Indikasinya, ada sejumlah bangunan yang tidak tegak lurus lagi, salah satunya miringnya Menara Museum Bahari di Jl. Tongkol, Pasar Ikan, Jakarta Utara. 5. Akhirnya banjir di Jakarta pada Era Reformasi hingga belakangan ini, yakni tahun 1999, 2002, 2007, 2013 dan 2014. Banjir terdahsyat dan terparah dalam 3 (tiga) abad sejarah Jakarta terjadi pada tahun 2007, lebih dari 60% wilayah Jakarta terendam dan yang menyedihkan 60 orang tewas selama banjir 10 hari akibat terseret arus air, tersengat aliran listrik dan sakit. Banyak sekali tempat di Jakarta yang sebelumnya tidak pernah banjir tapi pada tahun 2007 itu malah kebanjiran sangat parah. Ini akibat hujan yang begitu deras dan air sungai meluap karena tidak mampu menampung air dari hulu (kawasan Bogor dan Puncak), sementara daerah II-4
Bab II Tinjauan Pustaka
resapan atau tempat penampungan air kian menyempit bahkan hampir tidak ada. Hampir 1 milyar m3 air merendam Jakarta atau setara debit ±11575 m3/det, yang merupakan sumbangan dari seluruh sungai yang bermuara di Jakarta. Banjir besar di Jakarta tahun 2013 juga diwarnai sebuah peristiwa tragis di ruang parkir Basement Plaza UOB, Jl. MH Thamrin, Jakarta Pusat, yang diyakini air berasal dari tanggul Latuharhary, Menteng, yang jebol dan memakan korban 4 orang. 2.2
Ulasan Banjir
2.2.1 Definisi Banjir Banjir adalah air yang melimpas dari badan air seperti selokan, saluran, drainase, sungai, situ atau danau, dan menggenangi bantaran serta kawasan sekitarnya (Siswoko, 2002). Dalam cakupan pembicaraan yang luas, kita bisa melihat banjir sebagai suatu bagian dari siklus hidrologi, dimana volume air yang mengalir di permukaan Bumi dominan ditentukan oleh tingkat curah hujan, dan tingkat peresapan air ke dalam tanah. Aliran Permukaan = Curah Hujan – (Resapan ke dalam tanah + Penguapan ke udara) Dikatakan banjir apabila terjadi luapan air yang disebabkan kurangnya kapasitas penampang saluran. Banjir di bagian hulu sungai biasanya arus banjirnya deras, daya gerusnya besar, tetapi durasinya pendek. Sedangkan di bagian hilir arusnya tidak deras (karena landai), tetapi durasi banjirnya panjang. Beberapa karakteristik banjir, di antaranya adalah :
II-5
Bab II Tinjauan Pustaka
Banjir dapat datang secara tiba – tiba dengan intensitas besar namun dapat langsung mengalir.
Banjir datang secara perlahan namun intensitas hujannya sedikit.
Pola banjirnya musiman.
2.2.2 Jenis / Tipe Banjir Banjir di Indonesia terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu : 1. Banjir Bandang Adalah banjir besar yang terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung hanya sesaat yang yang umumnya dihasilkan dari curah hujan berintensitas tinggi dengan durasi (jangka waktu) pendek yang menyebabkan debit sungai naik secara cepat. Banjir jenis ini biasa terjadi di daerah dengan sungai yang alirannya terhambat oleh sampah. 2. Banjir Hujan Ekstrim Banjir ini biasanya terjadi hanya dalam waktu 6 jam sesudah hujan lebat mulai turun. Biasanya banjir ini ditandai dengan banyaknya awan yang menggumpal di angkasa serta kilat atau petir yang keras dan disertai dengan badai tropis atau cuaca dingin. Umumnya banjir ini akibat meluapnya air hujan yang sangat deras, khususnya bila tanah bantaran sungai rapuh dan tak mampu menahan cukup banyak air. 3. Banjir Luapan Sungai / Banjir Kiriman Jenis banjir ini biasanya berlangsung dalam waktu lama dan sama sekali tidak ada tanda-tanda gangguan cuaca pada waktu banjir melanda dataran – sebab peristiwa alam yang memicunya telah terjadi berminggu-minggu sebelumnya. Jenis banjir ini terjadi setelah proses yang cukup lama. Datangnya banjir dapat II-6
Bab II Tinjauan Pustaka
mendadak. Banjir luapan sungai ini kebanyakan bersifat musiman atau tahunan dan bisa berlangsung selama berhari- hari atau berminggu-minggu tanpa berhenti. Banjir ini biasanya terjadi pada daerah-daerah lembah. 4. Banjir Rob Banjir yang disebabkan angin puyuh laut atau taifun dan gelombang pasang air laut. Banjir ini terjadi karena air dari laut meresap ke daratan di dekat pantai dan mengalir ke daerah pemukiman atau karena pasang surut air laut. Banjir ini biasanya terjadi di daerah pemukiman yang dekat dengan pantai. Banjir seperti ini kerap melanda kota Muara Baru di Jakarta. Air laut yang pasang ini umumnya akan menahan air sungan yang sudah menumpuk, akhirnya mampu menjebol tanggul dan menggenangi daratan. 5. Banjir Hulu Banjir yang terjadi di wilayah sempit, kecepatan air tinggi, dan berlangsung cepat dan jumlah air sedikit. Banjir ini biasanya terjadi di pemukiman dekat hulu sungai. Terjadinya banjir ini biasanya karena tingginya debit air yang mengalir, sehingga alirannya sangat deras dan bisa berdampak destruktif. 2.2.3 Bangunan Pengendali Banjir di Jakarta Setiap kali banjir besar melanda Kota Jakarta, terdapat beberapa jenis bangunan yang turut dibicarakan, di antaranya meliputi: 1. Waduk Waduk atau Reservoir adalah danau alam atau danau buatan, kolam penyimpan atau pembendungan sungai yang bertujuan untuk menyimpan air. DKI Jakarta memiliki 76 buah waduk dengan luas total keseluruhan mencapai 502 Ha. Paling banyak terdapat di Jakarta Utara seluas 225 Ha, Jakarta Timur II-7
Bab II Tinjauan Pustaka
seluas 163 Ha, Jakarta Selatan ada 88 Ha, Jakarta Barat 15,5 Ha dan Jakarta Pusat seluas 10,5 Ha. 2. Bendung Katulampa Bendung Katulampa adalah bangunan yang terdapat di Kelurahan Katulampa, Bogor, Jawa Barat, yang berfungsi sebagai pemantau debit atau ketinggian air, sebagai peringatan dini mengenai banjir yang kemungkinan bisa merendam wilayah Jakarta dan sekitarnya. Selain untuk acuan banjir, juga sebagai sarana irigasi bagi lahan seluas 5.000 Ha yang terdapat pada sisi kanan dan kiri bendungan. Pada saat musim hujan, bendungan ini bisa dilewati air dengan rekor debit 630.000 Liter/detik atau ketinggian 250 cm yang pernah terjadi pada tahun 1996, 2002 dan 2007. Bendung ini mulai dibangun pada 1889, sejak banjir besar melanda Batavia pada 1872. Banjir saat itu dikabarkan membuat daerah elit Harmoni, Jakarta Pusat ikut terendam luapan air Sungai Ciliwung. Bendung Katulampa mulai dioperasikan sejak tahun 1911 dan berfungsi sampai sekarang. Data mengenai ketinggian air di Bendung Katulampa ini memperkirakan bahwa sekitar 3-4 jam kemudian air akan sampai di daerah Depok. Selanjutnya, di Bendungan Depok ketinggian air dipantau dan dilaporkan ke Jakarta, sehingga masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar aliran Sungai Ciliwung dapat mengantisipasi sedini mungkin datangnya banjir yang akan melewati daerah mereka. Lazimnya digunakan ukuran dengan istilah: Siaga 1 (tinggi air >310 cm), Siaga 2 (tinggi air 240-310 cm) dan Siaga 3 (tinggi air < 240cm).
II-8
Bab II Tinjauan Pustaka
Semua catatan mengenai debit air tersebut kemudian dilaporkan melalui telepon ke berbagai pihak yang berkepentingan, antara lain: Dinas Pekerjaan Umum (PU) DKI Jakarta, pos pemantau ketinggian air Ciliwung di Depok, petugas Pintu Air Manggarai dan Pemerintah Kota Bogor. 3. Pintu-Pintu Air di Jakarta Di Jakarta ada sejumlah pintu air. Selain untuk pengairan atau irigasi, juga bisa digunakan untuk mengendalikan banjir. Pintu air tersebut bisa dibukatutup untuk menghindari wilayah tertentu tergenang banjir. Pintu-Pintu Air yang ada di Jakarta, antara lain:
Pintu Air Manggarai
Pintu Air Depok
Pintu Air Pesanggrahan
Pintu Air Sunter
Pintu Air Angke
Pintu Air Pasar Ikan
4. Kanal Banjir Barat dan Timur Pada tahun 1920 Prof H. van Breen dari Burgelijke Openbare Werken / BOW (cikal bakal Kementrian Pekerjaan Umum) merilis gagasan untuk membangun dua saluran kolektor yang mengepung kota guna menampung limpahan air, yang selanjutnya akan dialirkan ke laut. Saluran pertama menyusuri tepian Barat kota, yang kedua melalui tepian Timur kota. Karena tepian Barat lebih dekat dengan pusat Kota Batavia maka saluran di tepian Barat dulu yang dibangun dengan nama Kanal kali Malang pada tahun 1922.
II-9
Bab II Tinjauan Pustaka
Kanal Kali Malang ini kemudian dikenal Kanal Banjir Barat (KBB) antara Manggarai-Muara Angke sepanjang 17,4 km. Sebagai pengatur aliran air, dibangun pula Pintu Air Manggarai dan Pintu Air Karet. Rencananya Kanal Banjir Barat ini akan diperluas tapi karena sulitnya membebaskan tanah, perluasan Kanal Banjir Barat tertunda sebagai gantinya dibuatlah jaringan pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan Sistem Drainase Cengkareng. Kanal Banjir Barat hanya mampu menampung sampai 370 meter kubik per detik. Antara tahun 1983-1985 telah dibangun pemerintah Cengkareng Drain, Cakung Drain, dan Sodetan kali sekretaris. Untuk mengatasi banjir akibat hujan lokal dan aliran dari hulu di Jakarta bagian timur dibangun Banjir Kanal Timur. Proyek Banjir Kanal Timur dicanangkan sejak 1973, mengacu pada masterplan buatan Netherlands Engineering Consultants (Nedeco). Rancangan ini didetailkan lagi lewat desain Nippon Koei pada 1997. Namun penggalian kanal pertama kali baru dimulai pada 2003. Tujuan pembangunan KBT, selain untuk mengurangi ancaman banjir di 13 kawasan, melindungi permukiman, kawasan industri, dan pergudangan di Jakarta bagian timur, tetapi KBT juga dimaksudkan sebagai prasarana konservasi air untuk pengisian kembali air tanah dan sumber air baku serta prasarana transportasi air. KBT berfungsi untuk menampung aliran Kali Ciliwung, Kali Cililitan, Kali Cipinang, Kali Sunter, Kali Buaran, Kali Jati Kramat, dan Kali Cakung. Daerah tangkapan air (catchment area) mencakup luas lebih kurang 207 Km2 atau sekitar 20.700 Ha. Rencana pembangunan KBT tercantum dalam II-10
Bab II Tinjauan Pustaka
Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2010 Provinsi DKI Jakarta. KBT melintasi 13 kelurahan (2 kelurahan di Jakarta Utara dan 11 kelurahan di Jakarta Timur) dengan panjang 23,6 Km dan lebar 100 Km. Total biaya pembangunannya Rp 4,9 triliun, terdiri dari biaya pembebasan tanah Rp 2,4 triliun (diambil dari APBD DKI Jakarta) dan biaya konstruksi Rp 2,5 triliun dari dana APBN Departemen Pekerjaan Umum. 2.2.4 Penyebab Banjir Secara umum, penyebab banjir di Jakarta dapat dibagi dalam 3 kategori, yaitu: 1. Peristiwa alam (dinamis) a. Tingginya curah hujan 2.000 – 4.000 mm/ tahun b. Air laut pasang dan permukaan air laut yang meningkat c. Erosi dan sedimentasi d. Penurunan muka tanah Tabel 2.1. Hasil Survei Penurunan Muka Tanah Jakarta Penurunan Muka Tanah Metode Periode (cm/tahun) Survei Leveling 1982 - 1991 1-9 1991 - 1997 1 - 25 Survei GPS 1997 - 2011 1 - 28 InSAR 2006 - 2007 1 - 12 Sumber : Litbang Kompas, diolah dari presentasi HZ Abidin, dkk (2013)
2. Kondisi fisik (statis) a. Topografi wilayah Sekitar 40 persen atau 26.000 hektar wilayah DKI Jakarta berada di bawah permukaan air pasang. b. Pengaruh Fisiografi
II-11
Bab II Tinjauan Pustaka
Karakteristik DAS meliputi bentuk dan kemiringan lereng akan menentukan besaran dan kecepatan aliran air dari hulu ke hilir. c. Kondisi Geografis (Aliran 13 sungai) Banjir juga disebabkan karena Kota Jakarta dilintasi oleh aliran 13 sungai, antara lain Sungai Mookervart, Kali Angke, Kali Pesanggrahan, Kali Grogol, Kali Krukut, Kali Baru Barat, Kali Ciliwung, Kali Baru Timur, Kali Cipinang, Kali Buaran, Kali Sunter, Kali Kramat Jati, dan Kali Cakung. 3. Kegiatan manusia (dinamis) a. Tingginya pertumbuhan penduduk b. Perubahan tata guna lahan (land use) yang mengakibatkan kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) Perubahan tata guna lahan (land-use). c. Pembuangan sampah tidak pada tempatnya d. Hunian ilegal/ kawasan kumuh di sepanjang bantaran sungai/drainase e. Sistem drainase yang kurang baik f. Kerusakan bangunan pengendali banjir 2.2.5 Sistem Pengendalian Banjir (Flood Control System) Pengendalian banjir merupakan tindakan yang dilakukan guna mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh banjir. Sistem pengendalian banjir dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari dari hulu sampai hilir. Cara pengendalian banjir dapat dilakukan secara struktur dan non struktur.
II-12
Bab II Tinjauan Pustaka
Gambar 2.1. Diagram Pengendalian Banjir Metode Struktur dan Non Struktur (Sumber: Robert J.Kodoatie, “Banjir”)
2.3
Hidrologi
Hidrologi atau hydrology berasal dari bahasa yunani, gabungan antara kata hundor berarti air dan logy berarti penyelidikan dan dalam bahasa latin baru (new latin) disebut hidrologia. Secara umum hidrologi diartikan ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk air, kejadiannya, pergerakan dan distribusi di bumi, baik di atas, pada dan di dalam permukaan bumi, tentang sifat fisik, kimia, serta reaksi terhadap lingkungan dan hubungannya dengan kehidupan. Di dalam hidrologi, salah satu aspek analisis yang diharapkan dihasilkan untuk menunjang perancangan bangunan-bangunan hidrolik adalah menetapkan besaran-besaran rancangan, baik hujan, banjir maupun unsur hidrologi lainnya.
II-13
Bab II Tinjauan Pustaka
Masalah praktis yang selama ini hampir selalu dijumpai dalam analisis hidrologi adalah terdapatnya demikian banyak cara pendekatan, model dan hasil penelitian dalam hidrologi, yang satu sama lain menggunakan pendekatan yang berbeda, dan hasil lebih sering berbeda, walaupun pada dasarnya semua model tersebut mempunyai konsep dasar yang sama, yaitu siklus hidrologi. Siklus air atau siklus hidrologi adalah suatu proses peredaran atau sirkulasi air yang berurutan secara terus menerus (dari atmosfer bumi dan kembali ke atmosfer melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi.
Gambar 2.2. Siklus Air / Siklus Hidrologi (Sumber: USGS, 2009) Menghadapi yang demikian, seorang hidrolog lebih banyak dihadapkan kepada tiga buah pertimbangan yaitu : 1. Jenis, sifat dan karakteristik DAS yang diketahui 2. Ketepatan pemilihan model 3. Resiko yang akan ditanggung. Memperhatikan ketiga hal tersebut, seorang hidrolog dituntut untuk mampu membaca keadaan lapangan sehingga mengenali dengan baik sifat dan II-14
Bab II Tinjauan Pustaka
kemungkinan perilaku sesuatu daerah aliran sungai (DAS). Hal tersebut tidak terlalu mudah dan hanya dapat diperoleh dengan pengalaman. 2.4
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. (PP No. 37, 2012) Secara hidrologis DAS didefinisikan sebagai daerah yang dibatasi oleh punggung topografi, sehingga air yang jatuh akan mengalir melalui satu titik pengamatan. DAS juga merupakan salah satu bentuk ekosistem yang terbagi ke dalam wilayah hulu, tengah dan hilir. Wilayah hulu didominasi oleh kegiatan pertanian lahan kering dan hutan, sedangkan di wilayah hilir didominasi oleh lahan sawah dan pemukiman. Sementara itu pengelolaan DAS merupakan suatu kegiatan yang menggunakan dan atau memanfaatkan semua sumber daya alam/biofisik untuk memberikan hasil yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat yang tinggal dalam DAS tersebut (stake holder) dalam waktu yang tidak terbatas (sustainable) dengan menekan seminimal mungkin kemungkinan terjadi kerusakan atau degradasi fungsi hidrologi DAS tersebut. Suatu kegiatan pengelolaan DAS dipantau dan dievaluasi, untuk mengetahui sejauh mana dampak positif dari kegiatan tersebut. Secara hidrologis, suatu pengelolaan DAS dapat dikatakan telah memberikan dampak positif apabila II-15
Bab II Tinjauan Pustaka
parameter-parameter hidrologi yang diamati pada keluaran dari suatu DAS menunjukkan kecenderungan sebagai berikut : 1. Perbandingan antara debit maksimum bulan dan debit minimum bulan dalam satu tahun, menunjukkan kecenderungan menurun. 2. Unsur utama hidrograf aliran sungai menunjukkan :
Waktu mencapai puncak semakin lama,
Waktu dasar semakin panjang,
Debit puncak menurun.
3. Volume aliran dasar dan koefisien resesi semakin meningkat . 4. Koefisien limpasan sesaat dan tahunan menurun. 5. Muatan sedimen yang merupakan jumlah seluruh muatan yang terdiri dari muatan dasar, muatan suspensi, dan padatan terlarut menunjukkan kecenderungan menurun. 6. Kandungan unsur kimia dan hara di dalam perairan sungai yang merupakan hasil proses biogeokimia di dalam DAS menunjukkan kecendurungan menurun. Dari beberapa laporan dan evaluasi di Indonesia banyak ditemui DAS yang dalam kondisi kritis atau mengalami degradasi. Balitbang Kementerian Pertanian (2014) menuturkan sekitar setengah jumlah DAS di Indonesia, yakni 282 dari 458 DAS, dalam kondisi kritis. Sebanyak 60 DAS di antaranya kritis berat. Kekritisan, antara lain dilihat dari tingkat kelerengan, cakupan vegetasi dan erosinya. Beberapa indikator terjadi proses degradasi DAS secara menyeluruh dapat dijelaskan sebagai berikut :
II-16
Bab II Tinjauan Pustaka
1. Penurunan produksi dari DAS yang sifatnya menurunkan kesejahteraan masyarakat yang mengantungkan hidupnya pada DAS tersebut, seperti petani, peternak, dan lain sebagainya; 2. Perubahan terhadap fungsi hidrologi DAS seperti besarnya fluktuasi aliran sungai atau perbedaan antara debit maksimal dan minimal; 3. Peningkatan laju erosi lapisan tanah yang tergolong tinggi, mencapai 423,6 ton per hektar per tahun; 4. Perubahan terhadap keseimbangan ekosistem di dalam DAS dan juga di daerah keluaran yang dipergaruhi DAS tersebut. Konsep dasar pengelolaan DAS yang baik bertujuan untuk mempertahan kan keberadaan sumber daya yang ada termasuk sumber daya air di DAS tersebut secara berkelanjutan. Tujuan tersebut pada umumnya di Indonesia belum dapat dicapai secara optimal mengingat berbagai masalah yang komplek dalam pengelolaan DAS antara lain : 1. Pertambahan penduduk yang meningkat tajam sehingga menurunkan daya tampung DAS tersebut; 2. Kemiskinan atau pendapatan rendah yang mengakibatkan tidak terkontrolnya aktivitas masyarakat pengelolaan DAS yang umumnya lebih berorientasi pada tujuan jangka pendek; 3. Perencanaan dan pengaturan tata ruang DAS yang kurang mempertimbangkan fungsi hidrologis DAS; 4. Pengelolaan DAS yang bersifat manajerial maupun implementasi oleh masyarakat pengguna belum mengikuti pola pengelolaan DAS yang berkesinambungan; II-17
Bab II Tinjauan Pustaka
5. Koordinasi antar kelembagaan yang ada belum optimal untuk pengelolaan DAS secara terpadu; 6. Perangkat hukum belum sepenuhnya memadai untuk menjaga kelestarian DAS. DAS Ciliwung merupakan salah satu DAS Terbesar yang berada dicakupan wilayah Jabodetabek. DAS tersebut yang secara langsung akan mempengaruhi kesetimbangan air di wilayah Jabodetabek. Secara keseluruhan bentuk DAS Ciliwung menyerupai bulu burung. Karakteristik bentuk tersebut menyebabkan DAS seperti ini mempunyai debit banjir relatif kecil karena waktu konsentrasi dari masing-masing anak sungai di kiri–kanannya berbeda-beda. Akan tetapi apabila terjadi banjir, maka kejadian banjir tersebut akan berlangsung lama. Keadaan ini akan diperburuk apabila kemampuan resapan daerah tangkapan airnya telah menurun drastis. Hulu sungai Ciliwung berasal dari Desa Tugu yang mengalir melalui kota Bogor dan Jakarta dan bermuara di teluk Jakarta. Panjang sungai tersebut sampai ke pintu Manggarai adalah ±109,71 km dengan rata-rata kemiringan dari daerah hulu (2908 mdpl) sampai ke Manggarai (5 mdpl) sebesar 24,8%. Kemiringan sungai Ciliwung tergolong tinggi bila dibandingkan dengan kemiringan sungai lainnya seperti kali Pesanggarahan (0,26%), kali Krukut (0,29%), kali Sunter dan sungai Cipinang. Tingginya kemiringan sungai Ciliwung menyebabkan percepatan aliran permukaan dan aliran sungai yang tinggi dari daerah hulu ke hilir. DAS Ciliwung hulu dan tengah mempunyai curah hujan yang sangat tinggi dengan rata-rata tahunan (1987-1996) masing-masing sebesar 4.058 mm untuk wilayah hulu. dan 3.286 mm untuk wilayah tengah. Curah hujan tersebut II-18
Bab II Tinjauan Pustaka
terdistribusi merata sepanjang tahun sehingga tidak ditemukan bulan kering (curah hujan bulanan < 100 mm). Sebaliknya di wilayah hilir curah hujannya relatif rendah sebesar 1.669 mm dan dijumpai 6 bulan kering dari Mei sampai September. Mengacu pada indicator di atas, DAS Ciliwung Hulu tergolong DAS yang mendekati kritis dengan nisbah debit maksimum-minimum bulanan mendekati 30. Sedangkan DAS Ciliwung Tengah sejak tahun 1992 telah tergolong sangat kritis, karena fluktuasi debit alirannya sangat fluktuatif. Indikator lain ialah besarnya laju erosi yang terbawa ke hilir yang mengakibatkan terjadi sedimentasi di saluran drainase di hilir. Besarnya laju erosi ditunjukkan pada hasil beberapa penelitian yang mengatakan bahwa laju erosi di DAS ciliwung hulu telah mendekati ambang Toleransi erosi sebesar 1,12 – 13,45 ton/ha/tahun (Arsyad, 2000). Ambang toleransi ini ditentukan berdasarkan berbagai faktor pada system pengelolaan tanah. Permasalah sedimentasi di saluran drainase ini diperparah dengan adanya tambahan limbah padat (sampah) yang masuk di badan air yang menurut data Dinas Kebersihan DKI tahun 2002 diperkirakan 2% limbah padat yang berada di DKI Jakarta terbuang ke badan air. Saat ini kondisi DAS Ciliwung sangat memprihatinkan, yang tercermin dari penurunan luas tutupan hutan dari 9.4 % pada tahun 2000 menjadi 2.3 % pada tahun 2010, atau mengalami laju degradasi lingkungan sebesar 7.14 % dalam kurun waktu 10 tahun terakhir atau sebesar 0.7 % per tahun. (Menlh, 2014). 2.5
Uji Konsistensi Data Hujan
Uji konsistensi (consistency test) adalah proses pengujian data pada suatu pos pengamatan hidrologi guna mengetahui bahwa dalam kurun rentang waktu II-19
Bab II Tinjauan Pustaka
tertentu tidak mengalami perubahan secara signifikan yang antara lain diakibatkan adanya perpindahan pos, naturalisasi sistem air, dampak perubahan landuse, kesalahan pencatatan oleh penjaga pos, perubahan titik referensi (kontrol), penggantian alat/gelas ukur dan lain-lain. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah data yang kita dapat ini memenuhi syarat dan layak dipakai atau tidak. Cara menguji konsistensi data yaitu dengan Kurva Lengkung Massa Ganda (Double Mass Curve). Kurva Lengkung Massa Ganda (Double Mass Curve) adalah pengujian antara dua atau lebih data curah hujan tiap stasiun yang dirata-ratakan (sebagai sumbu x) terhadap suatu data curah hujan pada stasiun yang ingin diuji konsistensinya (sebagai sumbu y). Langkah-langkah uji konsistensi data hujan dengan Kurva Lengkung Massa Ganda adalah: 1. Hitung rata-rata curah hujan dari sta A, B dan seterusnya bila ada 2. Hitung nilai kumulatif dari rata-rata curah hujan pada langkah (1) 3. Hitung nilai kumulatif dari nilai curah hujan pada stasiun yang diuji konsistensi datanya 4. Gambar grafik kurva hubungan langkah (2) dan (3) 5. Perbandingan kemiringan hasil kurva 6. Data penyimpangan dikoreksi dengan faktor koreksi 2.6
Perhitungan Curah Hujan Wilayah
Data curah hujan dan debit merupakan data yang paling fundamental dalam perencanaan / penelitian ini. Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah hujan. Perlunya menghitung curah hujan wilayah adalah untuk II-20
Bab II Tinjauan Pustaka
penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir (Sosrodarsono & Takeda, 2003). Adapun metode yang digunakan dalam perhitungan curah hujan rata-rata wilayah Tertentu di beberapa titik pos penakar atau pencatat hujan, ada tiga macam cara, yaitu: 2.6.1 Metode Perhitungan Rata-rata Metode perhitungan rata-rata aritmatik (arithmatic mean) adalah cara yang paling sederhana. Metode ini biasanya dipergunakan untuk daerah yang datar, dengan jumlah pos curah hujan yang cukup banyak dan dengan anggapan bahwa curah hujan di daerah tersebut bersifat seragam (uniform distribution). Rumus : (2.1) di mana : Rave
= tinggi curah hujan rata-rata daerah (mm)
n
= jumlah stasiun / pos pengukuran hujan
R1...Rn
= tinggi curah hujan pada masing-masing stasiun (mm)
2.6.2 Metode Polygon Thiessen Menurut Sosrodarsono & Takeda, metode ini sering digunakan pada analisis hidrologi karena metode ini lebih baik dan obyektif dibanding metode lainnya. Metode ini dapat digunakan pada daerah yang memiliki titik pengamatan yang tidak merata. Cara ini adalah dengan memasukkan faktor pengaruh daerah yang mewakili oleh stasiun hujan yang disebut faktor pembobotan atau koefisien Thiessen. Untuk pemilihan stasiun hujan yang akan dipilih harus meliputi daerah aliran sungai yang akan dibangun. Besarnya koefisien Thiessen tergantung dari II-21
Bab II Tinjauan Pustaka
luas daerah pengaruh stasiun hujan yang dibatasi oleh poligon-poligon yang memotong tegak lurus pada tengah-tengah garis penghubung stasiun. Setelah luas pengaruh tiap-tiap stasiun didapat, maka koefisien Thiessen dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut
(2.2) di mana : = curah hujan wilayah R1, R2,..Rn
= curah hujan di tiap titik pengamatan
n
= jumlah titik-titik pengamatan curah hujan
A1, A2,.. An
= luas bagian yang mewakili tiap titik pengamatan.
A
= luas total wilayah
W1, W2,.. Wn = bobot luas bagian yang mewakili titik pengamatan. Pada berbagai kondisi, cara ini lebih baik daripada cara rata-rata aljabar.
Gambar 2.3. Poligon Thiessen (Sumber: Sosrodarsono & Takeda, 2003) 2.6.3 Metode Garis Isohyet Dengan cara ini, kita dapat menggambar dulu kontur tinggi hujan yang sama (isohyet), seperti terlihat pada Gambar 2.3 kemudian luas bagian diantara dua garis isohyet yang berdekatan diukur dengan planimeter, dan nilai rata-rata II-22
Bab II Tinjauan Pustaka
dihitung sebagai nilai rata-rata timbang nilai kontur (Sosrodarsono & Takeda, 2003). Curah hujan daerah itu dapat dihitung menurut persamaan sebagai berikut :
(2.3) di mana : = curah hujan daerah A1, A2,.. An
= luas bagian-bagian antara garis-garis isohyet
R1, R2,..Rn
= curah hujan rata-rata pada bagian-bagian A1, A2,.. An
Gambar 2.4. Metode Isohyet (Sumber: Sosrodarsono & Takeda, 2003) Cara ini adalah cara rasional yang terbaik jika garis-garis isohyet dapat digambar dengan teliti. Akan tetapi jika titik-titik pengamatan itu banyak dan variasi curah hujan di daerah bersangkutan besar, maka pada pembuatan peta isohyet ini akan terdapat kesalahan personal (individual error). Pada waktu menggambar garisgaris isohyet sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi hujan (hujan orografik). Berdasarkan luas Daerah Aliran Sungai (DAS) Kali Ciliwung dari titik tinjau terendah studi yaitu Pintu Air Manggarai sampai dengan ke hulu, yang memiliki luas area 330,224 km2 atau 33.022,40 ha, maka untuk penelitian tugas akhir ini, metode yang akan digunakan untuk perhitungan curah hujan rata-rata wilayah II-23
Bab II Tinjauan Pustaka
daerah aliran sungai (DAS) dengan cara Polygon Thiessen yang menggunakan Faktor Pembobotan. 2.7
Analisa Frekuensi/Hujan Rencana
Setelah mendapatkan curah hujan rata-rata dari beberapa stasiun yang berpengaruh di daerah aliran sungai, selanjutnya dianalisis secara statistik untuk mendapatkan pola sebaran yang sesuai dengan sebaran curah hujan rata-rata yang ada. Pada daerah studi, pemilihan metode perhitungan hujan rancangan ditetapkan berdasarkan parameter dasar statistiknya. Berikut perhitungan parameter dasar statistik, sebagai berikut :
(2.4)
dimana : = nilai rata-rata Xi
= nilai varian ke i
n
= banyaknya data
Pada kenyataannya bahwa tidak semua varian dari suatu variabel hidrolog terletak atau sama dengan nilai rata-ratanya. Variasi atau dispersi adalah besarnya derajat atau besaran varian di sekitar nilai rata-ratanya. Cara mengukur besarnya dispersi disebut pengukuran dispersi (Soewarno, 1995). Adapun cara pengukuran dispersi antara lain : a) Standar Deviasi ( S )
II-24
Bab II Tinjauan Pustaka
Ukuran sebaran yang paling banyak digunakan adalah deviasi standar. Apabila penyebaran sangat besar terhadap nilai rata-rata maka nilai Sx akan besar, akan tetapi apabila penyebaran data sangat kecil terhadap nilai rata-rata maka nilai Sx akan kecil. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan:
(2.5)
dimana : Sd = Standar Deviasi = Nilai Rata-Rata Xi = Nilai Varian ke i n = Banyaknya Data b) Koefisien Skewness ( Cs ) Kemencengan (Skewness) adalah ukuran asimetri atau penyimpangan kesimetrian suatu distribusi. Jika dirumuskan dalam suatu persamaan adalah:
(2.6) dimana : Cs = Koefisien Skewness Sd = Standar Deviasi = Nilai Rata-Rata Xi = Nilai Varian ke i n = Banyaknya Data c) Koefisien Kurtosis ( Ck ) II-25
Bab II Tinjauan Pustaka
Kurtosis merupakan kepuncakan ( peakedness ) distribusi. Biasanya hal ini dibandingkan dengan distribusi normal yang mempunyai Ck = 3 dinamakan mesokurtik, Ck < 3 berpuncak tajam dinamakan leptokurtik, sedangkan Ck >3 berpuncak datar dinamakan platikurtik.
Gambar 2.5. Koefisien Kurtosis (Sumber: Soewarno, 1995) Rumus koefisien kurtosis adalah:
(2.7)
dimana : Ck = Koefisien Kurtosis Sd = Standar Deviasi = Nilai Rata-Rata Xi = Nilai Varian ke i n = Banyaknya Data Untuk menentukan metode yang sesuai, maka terlebih dahulu harus dihitung besarnya parameter statistik yaitu koefisien kepencengan (skewness) atau Cs, dan koefisien kepuncakan (kurtosis) atau Ck. Persyaratan statistik dari beberapa distribusi, sebagai berikut: II-26
Bab II Tinjauan Pustaka
Distribusi Normal
Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetrisnya (skewness) hampir sama dengan nol (Cs ≈ 0 atau -0.05 < Cs < 0.05) dengan nilai kurtosis (Ck) = 2.7 < Cs < 3.0.
Distribusi Gumbel
Memiliki sifat khas yaitu nilai asimetisnya (skewness) Cs ≥ 1,1396 dan nilai kurtosisnya Ck ≥ 5,4002.
Distribusi Log Peason Tipe III
Tidak mempunyai sifat khas yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan jenis distribusi ini. 2.8
Distribusi Curah Hujan
Dalam statistik dikenal beberapa jenis distribusi, diantaranya yang banyak digunakan dalam hidrologi adalah :
Distribusi Gumbel
Distribusi Log Peason Tipe III
Dengan mengikuti pola sebaran yang sesuai selanjutnya dihitung curah hujan rencana dalam beberapa metode ulang yang akan digunakan untuk mendapatkan debit banjir rencana.
2.8.1 Metode E.J. Gumbel Rumus-rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan rencana menurut Metode Gumbel (Soemarto,1999) adalah sebagai berikut: (2.8) di mana : = hujan rencana dengan periode ulang T tahun
II-27
Bab II Tinjauan Pustaka
Xt = nilai tengah sample Sd = standar Deviasi sample/ simpangan baku k
= faktor frekuensi
Faktor frekuensi K didapat dengan menggunakan rumus : (2.9) di mana : Yn
= harga rata-rata reduced mean (Tabel 2.2)
Sn
= reduced Standard Deviation (Tabel 2.3)
YT = reduced variate (Tabel 2.4) Harga Yt dihitung dengan rumus sebagai berikut: (2.10) di mana : Tr
= priode ulang (tahun)
Tabel 2.2. Reduced Mean (Yn)
Sumber: Soemarto (1999)
II-28
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.3. Reduced Standard Deviation (Sn)
Sumber: Soemarto (1999)
Tabel 2.4. Reduced Variate (YT)
Sumber: Soemarto (1999)
2.8.2 Metode Log Pearson Type III Bentuk distribusi log-Pearson tipe III merupakan hasil transformasi dari distribusi Pearson tipe III dengan menggantikan variat menjadi nilai logaritmik. Persamaan distribusi Log Pearson Type III, adalah sebagai berikut: Mengubah data hujan sebanyak n buah X1, X2,...Xi menjadi log X1, X2,...log Xi.
(2.11)
II-29
Bab II Tinjauan Pustaka
(2.12)
(2.13)
dimana : Log
= nilai rata-rata
Log Xi
= nilai varian ke i
n
= banyaknya data
Sd
= standar deviasi
Cs
= koefisien Skewness
Sehingga nilai X bagi setiap tingkat probabilitas dapat dihitung dari persamaan: Log Xt = log
+ G . Sd
(2.14)
Harga-harga G dapat diambil dari tabel hubungan antara koefisien skewness dengan kala ulang. Nilai Xt didapat dari anti log dari log Xt. 2.8.3 Uji Kesesuaian Distribusi Pemeriksaan uji kesesuaian distribusi ini dimaksudkan untuk mengetahui suatu kebenaran hipotesa distribusi frekuensi. Dengan pemeriksaan uji ini akan diketahui :
Kebenaran antara hasil pengamatan dengan model distribusi yang diharapkan atau yang diperoleh secara teoritis.
Kebenaran hipotesa (diterima/ditolak).
II-30
Bab II Tinjauan Pustaka
Adapun pemeriksaan/pengujian dstribusi frekuensi dipakai dengan 2 metode sebagai berikut : Uji Horizontal dengan Metode Smirnov-Kolmogorof Uji kecocokan Smirnov-Kolmogorov, sering juga disebut uji kecocokan non parametrik (non parametrik test), karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu, maka uji ini dapat digunakan pada daerah studi. Prosedurnya adalah : a. Data diurutkan dari besar ke kecil dan juga ditentukan masing-masing peluangnya. X1
P(X1)
X2
P(X2)
Xm
P(Xm)
Xn
P(Xn)
b. Setelah itu ditentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari penggambaran persamaan distribusinya. X1
P'(X1)
X2
P'(X2)
Xm
P'(Xm)
Xn
P'(Xn)
c. Selisih kedua nilai peluang dapat dihitung dengan persamaan: ∆maks = nilai maksimum [P(Xm) - P(Xn)]
(2.15)
d. Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov-Kolmogorov test), dapat ditentukan nilai Δkritis.
II-31
Bab II Tinjauan Pustaka
Tabel 2.5. Nilai ∆ Kritis untuk Uji Keselarasan Smirnov-Kolmogorof
Sumber: Soemarto (1999)
e. Apabila:
Δmaks < Δkritis distribusi teoritis diterima Δmaks > Δkritis distribusi teoritis ditolak.
Uji Vertikal dengan Metode Chi Square Uji chi kuadrat digunakan untuk menguji simpangan secara vertical apakah distribusi pengamatan dapat diterima oleh distribusi teoritis. Perhitungannya dengan menggunakan persamaan:
(2.16)
Jumlah kelas distribusi dihitung dengan rumus: K = 1 + 3,22 log n
(2.17)
dimana : OF
= nilai yang diamati (observed frequency)
EF
= nilai yang diharapkan (expected frequency)
K
= jumlah kelas distribusi
N
= banyaknya data
II-32
Bab II Tinjauan Pustaka
Agar distribusi frekuensi yang dipilih dapat diterima, maka harga X2 < X2cr. Harga X2cr dapat diperoleh dengan menentukan taraf signifikasi α dengan derajat kebebasannya (level of significant) seperti yang disajikan padaTabel 2.6. Tabel 2.6. Nilai Kritis untuk Distribusi Chi Square
Sumber: Soemarto (1999)
2.9
Hidrograf Banjir
2.9.1 Pengertian Hidrograf Aliran yang terekam pada titik kontrol DAS disajikan dalam bentuk hidrograf. Hidrograf merupakan kurva yang menggambarkan keragaman limpasan (dapat berupa tinggi muka air, debit, beban sedimen) terhadap waktu. Hidrograf II-33
Bab II Tinjauan Pustaka
merupakan suatu ilustrasi suatu daerah aliran sungai terhadap masukan berupa curah hujan (Bras 1990). Namun, untuk hidrograf yang dimaksudkan pada uraian selanjutnya adalah hidrograf aliran. Menurut bentuknya, hidrograf aliran terdiri dari tiga bagian (Viesman et al. 1977), yaitu : (1) lengkung naik (rising curve atau rising limb), (2) debit puncak (quick peak), dan (3) lengkung menurun (falling limb atau recession curve). Bagian-bagian hidrograf aliran disajikan pada Gambar 2.6. Bentuk kemiringan sisi naik sangat ditentukan intensitas dan lama hujan. Kemiringan sisi menurun (recession curve) dipengaruhi oleh karakteristik pelepasan air dari simpanan (storage) sedangkan bentuk hidrograf satuan ditandai dengan tiga sifat dasar yaitu waktu puncak (time to peak), debit puncak (peak discharge), dan waktu dasar (base time). Lengkung naik menunjukkan bagian dari hidrograf antara waktu awal hingga waktu mencapai debit puncak. Debit puncak merupakan nilai puncak suatu hidrograf. Lengkung menurun merupakan bagian dari hidrograf mulai dari titik debit puncak hingga waktu dasar (Bras 1990).
Gambar 2.6. Bagian-bagian Hidrograf Faktor yang mempengaruhi bentuk hidrograf aliran dibedakan menjadi dua yaitu faktor tidak tetap berupa faktor meteorologi dan penggunaan lahan sedangkan faktor tetap berupa karakteristik DAS. Faktor meteorologi yang mempengaruhi
II-34
Bab II Tinjauan Pustaka
bentuk hidrograf adalah intensitas curah hujan, lama waktu hujan, dan distribusi curah hujan di daerah aliran sungai. Intensitas curah hujan mempengaruhi kapasitas infiltasi tanah sedangkan lama waktu hujan berhubungan dengan lama waktu mengalirnya air hujan yan jatuh menuju outlet. Semakin tinggi curah hujan yang jatuh pada permukaan DAS maka semakin singkat waktu untuk mencapai debit puncak dan nilai debit puncak akan semakin besar. Distribusi curah hujan yang merata di DAS akan menyebabkan nilai debit puncak relatif kecil (Subarkah, 1980) Hidrograf Satuan Menurut Subarkah (1980), hidrograf satuan adalah hidrograf aliran langsung (direct runoff) diakibatkan oleh hujan efektif yang tersebar secara merata di daerah aliran sungai. Hidrograf satuan menggambarkan bagaimana hujan efektif ditransformasikan menjadi limpasan di outlet suatu DAS. Tujuan penelusuran hidrograf satuan adalah mencari hubungan antara limpasan permukaan dan hujan. Namun, untuk mengetahui hidrograf satuan perlu dilakukan pemisahan aliran. Pemisahan aliran menjadi aliran langsung (direct runoff) dan aliran dasar (baseflow) menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mengetahui besarnya aliran langsung dan aliran dasar suatu DAS. Metode garis lurus (straigth line method), fixed base length dan metode variable slope merupakan tiga metode pemisahan aliran (Subarkah 1980). Hidrograf Satuan Sintetik Hidrograf satuan sintetik merupakan hidrograf satuan yang dihasilkan berdasarkan parameter fisik DAS. Hidrograf satuan sintetik (HSS) Snyder dan SCS merupakan metode hidrograf satuan sintetik yang digunakan dalam penelitian ini. II-35
Bab II Tinjauan Pustaka
Karakteristik DAS dalam HSS Snyder adalah luas DAS, panjang sungai utama, dan panjang sungai utama yang diukur dari tempat pengamatan (outlet) sampai dengan titik pada sungai utama yang berjarak paling dekat dengan titik berat DAS (Harto 2000). Metode SCS merupakan metode yang dikembangkan oleh Dinas Konservasi Tanah Amerika Serikat. Metode SCS membutuhkan parameter bilangan kurva. Bilangan kurva tidak lepas dari tipe penggunaan lahan dan jenis tanah. Jenis tanah berhubungan dengan kapasitas infiltrasi tanah dan menentukan kelompok hidrologi tanah (hydrolic soil group). Tipe penggunaan lahan menentukan besarnya bilangan kurva (McQuen 1982). Penyusunan hidrograf satuan sintetik menggunakan dua metode HSS bertujuan untuk mengetahui metode manakah yang memiliki bentuk hidrograf aliran mendekati hidrograf aliran pengamatan.
Parameter-parameter
hidrograf
satuan
sintetik
yang
diharapkan adalah waktu tenggang (time lag/tl), waktu puncak (time to peak/tp), debit puncak (peak discharge/Qp) dan volume aliran. 2.9.2 Distribusi Curah Hujan Jam-Jaman Pada perencanaan sungai, untuk memperkirakan hidrograf banjir rancangan dengan cara hidrograf satuan (unit hydrograph) perlu diketahui dahulu sebaran hujan jam-jaman dengan suatu interval tertentu. Dalam studi ini untuk perhitungannya digunakan rumus Mononobe, sebagai berikut: (2.18) dimana : RT
= intensitas curah hujan rerata dalam T jam
R24 = curah hujan dalam 1 hari (mm) II-36
Bab II Tinjauan Pustaka
T
= waktu konsentrasi hujan (jam)
2.9.3 Koefisien Pengaliran (CN / Curve Number) Koefisien limpasan/pengaliran adalah variabel untuk menentukan besarnya limpasan permukaan tersebut dimana penentuannnya didasarkan pada kondisi daerah pengaliran dan karakteristik hujan yang jatuh di daerah tersebut. Pada studi ini disajikan pula nilai koefisien pengaliran untuk perhitungan debit banjir rancangan berdasarkan kondisi tata guna lahan (land use). Hal ini dimaksudkan supaya dalam menentukan nilai koefisien limpasan perlu dipertimbangkan pula faktor tata guna lahannya (land use). Untuk menentukan harga koefisien pengaliran adalah (Subarkah,1980:51):
(2.19)
dengan : Cn
= koefisien pengaliran rata-rata
Ai
= luas masing-masing tata guna lahan
Ci
= koefisien pengaliran masing-masing tata guna lahan
n
= banyaknya jenis penggunaan tanah dalam suatu pengaliran
2.9.4 Analisa Curah Hujan Efektif Hujan netto adalah bagian hujan total yang menghasilkan limpasan langsung (direct run-off). Dengan asumsi bahwa proses transformasi hujan menjadi limpasan langsung mengikuti proses linier dan tidak berubah oleh waktu (linear and time invariant process), maka hujan netto (Rn) dapat dinyatakan sebagai berikut : II-37
Bab II Tinjauan Pustaka
Rn = C . R
(2.20)
Dimana : Rn
= hujan netto (mm)
C
= koefisien limpasan
R
= intensitas curah hujan
2.9.5 Analisa Debit Banjir Rancangan (Design Discharge) Dalam perencanaan dan perhitungan bangunan air, hidrologi merupakan bagian dari analisis yang amat penting, dari sini dapat dianalisis besaran-besaran nilai ekstrim yang terjadi baik itu debit terkecil maupun yang terbesar, karena banyak perhitungan teknis bangunan-bangunan teknis yang didasarkan atas frekuensi nilai-nilai tertentu dari peristiwa-peristiwa ekstrim. Metode untuk mendapatkan debit banjir rencana dapat menggunakan metode sebagai berikut: Hidrograf Satuan Sintetik SCS Metode ini dikembangkan Victor
Mockus tahun 1950. Hidrograf ini
menggunakan fungsi hidrograf tanpa dimensi untuk menyediakan bentuk standar hidrograf satuan. Dan juga koordinat hidrograf ini telah ditabelkan, sehingga mempersingkat waktu untuk perhitungan hidrograf. Dengan rumus–rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Ponce, 1989):
(2.21)
II-38
Bab II Tinjauan Pustaka
Dan untuk persamaan debit puncak: (2.22)
Hidrograf Satuan Sintetik Snyder-Alexeyev Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Snyder-alexeyev merupakan suatu metode penghitungan hidrograf satuan buatan untuk membuat grafik hidrograf. Metode ini biasanya dilakukan dalam menentukan grafik hidrograf pada suatu DAS yang memiliki data karakteristik terbatas atau bahkan tidak ada data sama sekali, oleh karena itu metode penghitungan ini hanya memakai data geografis yang ada pada DAS tersebut. Metode ini juga biasa digunakan sebagai data hidrograf pada perencanaan suatu DAS sebagai acuan dasar. Parameter-parameter data perhitungan Hidrograf Satuan Metode Snyder-Alexeyev yaitu :
Parameter Hidrograf Satuan Sintetik Snyder 1. luas Daerah Aliran Sungai (DAS) 2. panjang sungai utama (L) 3. panjang sungai dari bagian hilir ke titik berat (Lc) 4. koefisien n 5. koefisien Ct 6. koefisien Cp
Parameter Bentuk Hidrograf a. Waktu dari titik berat hujan ke debit puncak (tp) (2.23)
II-39
Bab II Tinjauan Pustaka
b. Curah hujan efektif (te) (2.24) c. Waktu untuk sampai ke puncak (Tp)
(2.25)
d. Debit maksimum hidrograf satuan (Qp)
(2.26)
e. Nilai absis (nilai x) (2.27) f. Koefisien λ dan α (2.28)
g. Besarnya ordinat y (2.29) h. Besarnya Qt (2.30)
II-40
Bab II Tinjauan Pustaka
Hasil akhir dari perhitungan debit banjir rancangan adalah informasi kejadian banjir disertai probabilitas dan kala ulangnya (Return Period) untuk masingmasing titik peninjauan. Selain menggunakan metode-metode yang telah dijabarkan di atas, puncak banjir dapat diperkirakan dengan metode komputerisasi. Untuk menyelesaikan Tugas Akhir ini, kami menggunakan metode HEC – HMS karena pengoperasiannya menggunakan sistem window, sehingga model ini menjadi lebih sederhana, mudah dipelajari dan mudah untuk digunakan (US Army Corps of Engineers, 2000). 2.10 HEC-HMS HEC-HMS (Hydrologic Engineering Center-Hydrologic Modelling System) merupakan model dalam bidang Hidrologi yang dikembangkan oleh Army Corps of Engineers (USACE) sebagai pengganti model HEC-1. HEC-HMS dalam penelitian ini adalah HEC-HMS versi 3.5. HEC-HMS menyediakan paket pemodelan atau metode yang dapat digunakan untuk menghasilkan hidrograf aliran suatu DAS (Ali et al. 2011). Model HEC-HMS memiliki 4 komponen pendukung yaitu basin model, meteorological model, control specification, dan time-series data manager. Komponen basin model digunakan untuk menggambarkan kondisi fisik daerah aliran sungai. Meteorological model berfungsi untuk menampilkan dan memasukkan komponen meteorologi khususnya untuk memasukkan bobot nilai polygon thiessen. Komponen selanjutnya yaitu control specification. Komponen ini berfungsi untuk menata rentang waktu simulasi, waktu perhitungan dan waktu akhir simulasi. Komponen time-series data manager merupakan komponen untuk II-41
Bab II Tinjauan Pustaka
memasukkan data yang diperlukan seperti data curah hujan, dan debit (USACE 2010). Model HEC-HMS berfungsi untuk mensimulasikan proses hujan menjadi limpasan suatu DAS. Model HEC-HMS menyediakan sejumlah pilihan metode hidrograf satuan yang umum digunakan dalam bidang hidrologi. Model ini sesuai pada DAS dengan pola aliran dendrtitik yang memiliki luasan cukup besar (Hartanto 2009).
II-42