BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Aspek Epidemiologi BBLR Berat lahir adalah ukuran antropometri yang sangat penting dan paling
sering digunakan pada bayi baru lahir. BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan lahir (BBL) kurang dari 2500 gram tanpna memandang masa kehamilan. Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. Untuk keperluan bidan di desa berat lahir ditimbang dalam 24 jam pertama setelah lahir (JNPK-KR, 2008a). Menurut WHO, BBLR dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu Bayi Berat Lahir Rendah/BBLR (BBL <2500 gram), Bayi Berat Lahir Sangat Rendah /BBLSR (BBL <1500 gram) dan Bayi Berat Lahir Amat Sangat Rendah/BBLASR (BBL <1000 gram). Menurut JNPK-KR, berat lahir menjadi salah satu kriteria dalam penatalaksanaan BBLR dimana BBL <1750 gram menjadi kriteria rujukan BBLR dari pusekesmas PONED ke rumah sakit PONEK (JNPK-KR, 2008a). Dalam panduan manajemen BBLR untuk bidan dan perawat, berat lahir yang menjadi kriteria rujukan dari bidan adalah BBL <2000 gram (Kemenkes, 2011). WHO mendefinisikan BBLR sebagai bayi dengan berat lahir kurang dari 2500 gram (5,5 pon). Hal ini didasarkan pengamatan secara epidemiologis bahwa BBLR kurang dari 2500 gram mempunyai kemungkinan meninggal sebesar 20 kali dibandingkan bayi dengan BBL lebih dari atau sama dengan 2500 gram. BBLR kurang dari 2500 gram lebih sering terjadi di negara yang
10
sedang berkembang dan
memberikan kontribusi untuk berbagai masalah
kesehatan. Mengurangi insiden BBLR sebesar sepertiga selama 10 tahun merupakan salah satu tujuan utama dari A World Fit for Children, sebuah deklarasi dan rencana aksi yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB sesi khusus tentang anak-anak tahun 2002. Penurunan insiden BBLR juga membentuk kontribusi penting bagi pembangunan untuk mengurangi tingkat kematian anak. Oleh karena itu BBLR merupakan indikator penting untuk memantau kemajuan menuju goals yang telah disepakati secara internasional. Berat lahir rendah sangat erat kaitannya dengan kesakitan dan kematian janin dan bayi, menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif, dan penyakit kronis di kemudian hari (UNICEF, WHO, 2004). Prevalensi BBLR di dunia diperkirakan sekitar 15% dari seluruh kelahiran, dengan batasan 3,3%-38%, dan lebih sering terjadi di negara-negara berkembang atau sosial ekonomi rendah. Sekitar 90% BBLR terdapat di negara berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih besar dibandingkan dengan angka kematian bayi berat lahir lebih dari 2500 gram (WHO, 2007). BBLR merupakan salah satu faktor utama terjadinya peningkatan mortalitas, morbiditas dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta dapat memberikan dampak jangka panjang dalam kehidupan di masa depan (UNICEF, 2004). Prevalensi BBLR di Indonesia sangat bervariasi di berbagai daerah sekitar 9%-30%. Hasil studi pada tujuh daerah multisenter mendapatkan angka sekitar 2,1%-17,2% (IDAI, 2004).
24
2.2
Penatalaksanaan BBLR Sekitar seperempat bayi baru lahir membutuhkan rawat inap medis khusus
untuk memantau pertumbuhan dan perkembangannya. Kemajuan dalam rawat inap prenatal dan neonatal telah meningkatkan kelangsungan hidup bayi BBLR khususnya di negara maju. Penatalaksanaan BBLR membutuhkan sumber daya, waktu, dan kerjasama yang kuat oleh karena angka kematian BBLR pada umur neonatal sangat tinggi (IDAI, 2004; WHO., 2007). Penatalaksanaan BBLR meliputi penatalaksanaan medikamentosa, diatetik dan terapi suportif. Penatalaksanaan medikamentosa salah satunya yaitu pemberian antibiotika. Penatalaksanaan diatetik dilakukan secara khusus pada BBLR oleh karena reflek menghisapnya masih lemah sehingga sering terjadi masalah pemberian minum (feeding problem). Terapi suportif salah satu tujuannya yaitu mempertahankan suhu tubuh normal melalui salah satu cara seperti kontak kulit dangan kulit (kangaroo mother care), pemancar panas, inkubator atau ruangan hangat yang ada di tempat fasilitas kesehatan setempat sesuai petunjuk (IDAI, 2004). Pemantauan BBLR saat dirawat meliputi pemberian terapi untuk penyulit serta pemantauan berat badan bayi secara periodik. Pemantauan setelah pulang dilakukan untuk mengetahui perkembangan bayi dan mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Pemantauan dilakukan pada hari kedua, ke-10, ke-20 dan ke-30 setelah pulang, kemudian dilanjutkan setiap bulan. Dilakukan pemantauan pertumbuhan berat badan, panjang badan dan lingkar kepala. Untuk kegiatan program, pemantauan BBLR dilakukan dengan kegiatan kunjungan neonatus
25
(KN) yaitu KN1 pada umur sebelum 3 hari, KN2 pada umur 3-7 hari dan KN3 pada umur 8-28 hari. Pemantauan perkembangan anak dilakukan dengan kegiatan SDIDTK menggunakan kuesioner pra skrining perkembangan (KPSP). Pemulangan BBLR dapat dilakukan apabila tidak terdapat tanda bahaya dan tanda infeksi berat, terjadi pertambahan berat badan hanya dengan ASI dan suhu tubuh bertahan pada kisaran 36-37ºC. Semua vaksin yang dijadwalkan pada saat lahir harus diberikan pada BBLR dan jika ada dosis kedua diberikan pada saat akan dipulangkan.
2.3
Determinan Kematian BBLR Berbagai teori menjelaskan tentang kejadian kesakitan dan kematian di
masyarakat, beberapa diantaranya yaitu teori sarang laba-laba (web model), teori Filmer, teori Mosley dan Chen. Bila mengacu pada teori sarang laba-laba (web model) dari Brian Mac Mahon menjelaskan bahwa kematian bayi dipengaruhi oleh berbagai faktor (multifaktorial). Demikian juga halnya dengan kematian BBLR dapat dipengaruhi oleh banyak faktor (Mahon, 1970). Teori Filmer (2003) menjelaskan mengenai faktor sosial ekonomi sebagai penyebab kematian anak. Mosley dan Chen membagi variabel-variabel yang berpengaruh terhadap kelangsungan hidup anak menjadi dua yaitu variabel eksogen atau sosial ekonomi dan variabel endogen atau faktor biomedis (Mosley dan Chen, 1984). Beberapa penelitian juga membuat konsep kematian neonatus dari berbagai faktor seperti sosiobiologi,
faktor
sosiodemografi,
faktor
pelayanan
kesehatan,
faktor
lingkungan, faktor ibu, faktor bayi (Ronoatmojo dan Sudarto, 1996; Mutahar,
26
2007). Berdasarkan berbagai teori dan konsep tersebut diatas, maka kematian bayi termasuk kematian BBLR dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu faktor sosiodemografi, faktor pelayanan kesehatan dan faktor biomedis (klinis). Berikut akan diuraikan berbagai faktor yang mempengaruhi kematian BBLR yang telah diteliti pada penelitian sebelumnya. 2.3.1 Faktor demografi a)
Tempat tinggal Tempat tinggal merupakan faktor risiko kematian BBLR dikaitkan dengan
tingkat kesulitan akses terhadap pelayanan kesehatan (rumah sakit) seperti kondisi geografis, jarak dan waktu tempuh ke rumah sakit. Kondisi ini mempengaruhi kualitas dan kuantitas antenatal care (ANC). Kondisi daerah dengan kesulitan akses terhadap pelayanan kesehatan akan semakin jarang untuk memeriksakan kehamilannya dan semakin jarang bahkan kadang tidak pernah dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) sebagai diagnose dini adanya BBLR dan kelainan lainnya. Hal ini akan mempengaruhi tindakan-tindakan pencegahan yang semestinya bisa dilakukan sehingga dapat berpengruh terhadap output bayi yang dilahirkan dan risiko kematian. Penelitian oleh Adri (2008) menemukan bahwa ada pengaruh antara faktor geografis (jarak dan waktu tempuh ke pelayanan kesehatan) terhadap ANC. Demikian juga menurut teori Anderson dan Newman (2005) menyatakan bahwa aksesibilitas merupakan komponen pendukung yang menyebabkan masyarakat menggunakan pelayanan kesehatan. Sebuah penelitian menemukan bahwa daerah sulit akses terhadap pelayanan kesehatan meliputi kondisi geogafis seperti daerah perbukitan, jarak dan waktu
27
tempuh berpengaruh terhadap pemilihan tempat persalinan (Wulansari, Anita, 2011). Tempat tinggal dalam penelitian ini juga dikaitkan dengan pemilihan tempat persalinan, dimana daerah dengan kesulitan akses terhadap rumah sakit cenderung tidak memilih rumah sakit untuk tempat bersalin, sehingga meningkatkan kemungkinan BBLR dirujuk ke rumah sakit setelah lahir, sementara sumber menyebutkan bahwa BBLR sebaiknya dirujuk selama masih dalam kandungan (JNPK-KR, 2008). BBLR yang dirujuk dengan kondisi geografis yang lebih sulit, jarak dan waktu tempuh yang lebih lama dapat meningkatkan paparan selama rujukan sehingga meningkatkan risiko kematian. Menurut data SDKI 2001, kematian neonatal di daerah pedesaan (58,6%) lebih tinggi daripada daerah perkotaan (41,4%) (Djaja, Sumantri, 2003). Data yang sesuai juga ditunjukkan pada SDKI tahun 2012 dimana terjadi perbedaan yang sangat besar antara kematian neonatal di daerah pedesaan dan perkotaan, dimana sekitar dua pertiga kematian neonatal terjadi di daerah pedesaan (Kemenkes, 2013). Namun pada penelitian survival rate neonates BBLR dan BBLSR di masyarakat Iranian menemukan bahwa tidak ada perbedaan survival rate antara daerah rural dan urban (Vazirinejad dkk, 2012). b)
Jenis kelamin bayi Jenis kelamin mempengaruhi daya tahan bayi terhadap penyakit bahkan
sejak di dalam kandungan. Disebutkan bahwa jenis kelamin perempuan memiliki ketahanan yang lebih kuat dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki (Soetjiningsih, 1995). Sebuah penelitian tentang determinan survival pada public sector hospital di Johannesburg menemukan bahwa jenis kelamin (OR=3,21;
28
95%CI=1,6-6,3) merupakan prediktor keberlangsungan hidup bayi BBLSR (Ballot dkk, 2010). Sementara penelitian di Iran tentang faktor resiko kematian neonatal BBLSR menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0,133) antara kelompok laki-laki dan perempuan (Nayeri, 2013) 2.3.2 Faktor Pelayanan Kesehatan a)
Periode MRS (masuk rumah sakit) Perkembangan sistem pelayanan kesehatan setiap tahun berubah, termasuk
pelayanan di RSUD Karangasem dengan dilaksanakannya program PONEK. PONEK merupakan bentuk penyediaan pelayanan bagi ibu dan bayi baru lahir secara terpadu (Kemenkes, 2008). Peresmian beroperasinya gedung baru PONEK RSUD Karangasem tanggal 2 Januari 2013 disertai dengan pengembangan fasilitas PONEK lainnya. Dengan demikian, diharapkan terjadi penurunan kematian bayi termasuk kematian pada BBLR yang sejak awal masuk rumah sakit mendapat perawatan setelah adanya pengembangan program PONEK tersebut. Sebuah penelitian tentang kematian neonatal BBLSR dalam periode 24 tahun yang dilakukan di Hesse salah satu propinsi di Jerman, menemukan bahwa terjadi peningkatan angka absolut kematian setiap tahun rata-rata dari 37 sampai 60 (p<0,05), terjadi penurunan angka kematian relatif dari 13,5% sampai 10,1%. Kematian bayi preterm dengan umur kehamilan 24 minggu menurun secara bermakna dari 83.3% pada periode pertama sampai 20.8% pada periode terakhir (p=0.007), dimana angka kematian bayi preterm dengan umur kehamilan 27 minggu menurun dari 24,4% sampai 13,6% (p>0,05). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa angka kematian bayi dipengaruhi oleh variasi bayi preterm
29
setiap tahun yang teregistrasi, disisi lain nampaknya peningkatan registrasi bayi preterm oleh karena perkembangan penanganan dokter terhadap bayi BBLSR (Sechlober dkk, 2014). b)
Status rujukan Sistem rujukan merupakan faktor penting dalam penatalaksanaan BBLR
karena selama periode rujukan menambah kemungkinan terjadinya paparan suhu lingkungan pada bayi selama perjalanan. BBLR yang mempunyai kemungkinan komplikasi hipotermi yang lebih besar dibandingkan dengan bayi BBL normal, apalagi bila proses dan teknik merujuk bayi BBLR tidak dilakukan dengan baik dan benar. Rujukan BBLR paling ideal dilakukan adalah rujukan antepartum yaitu saat bayi masih dalam kandungan. Yang menjadi pertimbangan dalam merujuk adalah bahwa dengan merujuk bayi akan mendapatkan keuntungan/nilai positif (JNPK-KR, 2008a). Penelitian
yang dilakukan
di
Rumah
Sakit
Sardjito,
Yogyakarta
menyebutkan bahwa kematian bayi dengan berat lahir 1000-2500 mencapai 51,4% dan sebagian besar adalah bayi rujukan (Wardani dkk, 2009). Sesuai dengan hasil penelitian tentang survival BBLSR di sebuah public sector hospital di Johannesburg menemukan bahwa risiko kelangsungan hidup (survival) BBLR rujukan (BBLSR yang lahir sebelum tiba di rumah sakit)/birth before arrival at the hospital (BBA) lebih kecil (OR=0,23; 95%CI=0,08-0,69) dibandingkan dengan BBLSR yang lahir di rumah sakit (bayi bukan rujukan). Jadi BBLSR rujukan mempunyai risiko kematian lebih besar, sehingga BBLSR rujukan merupakan prediktor kematian BBLSR (Ballot dkk, 2010).
30
2.3.3 Faktor Klinis 1. Klinis ibu a).
Cara persalinan Data SKRT 2001 menunjukkan bahwa persentase tertinggi kematian
neonatal terjadi pada kelahiran normal (partus spontan) yaitu sebesar 88,9%, sedangkan pada persalinan pervaginam dengan tindakan sebesar 2,9% dan pada operasi caesar sebesar 8,1% (Djaja, Sumantri, 2003). Sementara hasil sebuah penelitian tentang faktor resiko kematian BBLSR menemukan bahwa cara persalinan tidak berhubungan dengan kematian BBLSR setelah dilakukan adjusted dengan faktor-faktor lain (Cetinkaya dkk, 2014). Hasil serupa ditemukan penelitian lainnya bahwa tidak ada perbedaan bermakna kematian BBLSR pada persalinan pervaginam dibandingkan persalinan dengan cara sectio caesarea (Malek-Mellouli, 2013). Berbeda halnya dengan beberapa hasil penelitian lain bahwa cara persalinan merupakan faktor resiko kematian perinatal (Ekure dkk, 2002), cara persalinan sectio caesarea merupakan faktor yang berhubungan dengan survival BBLR (Lee & Gould 2006). Penelitian lain menemukan bahwa angka lahir mati dan kematian neonatal BBLR yang lahir dengan cara sectio caesarea sebesar 0,5% dan 1,0%, lebih rendah daripada yang lahir dengan cara pervaginam (Chen dkk, 2013). b)
Gravida, umur kehamilan, paritas, riwayat USG, riwayat perdarahan, riwayat keluar air ketuban dan keadaan air ketuban Beberapa penelitian meneliti faktor ibu sebagai faktor risiko kematian
BBLR antara lain umur ibu (Prastiti, 2003), gravida (Basu dkk, 2008), umur
31
kehamilan (Gupta dkk, 2014; Afjeh dkk, 2013; Nayeri dkk, 2013; Basu dkk, 2008), paritas (Gupta dkk, 2014), riwayat ANC/USG (Prastiti,2003), antepartum bleeding (APB)/riwayat perdarahan (Basu dkk, 2008), preterm rupture of membrane (PRM)/riwayat keluar air ketuban dan warna air ketuban (Afjeh dkk, 2013). 2. Klinis bayi a)
Maturitas bayi Bayi lahir kurang bulan mempunyai organ dan alat tubuh yang belum
berfungsi normal untuk bertahan hidup di luar rahim. Maturitas bayi selain ditentukan berdasarkan klinis bayi juga ditentukan dengan melihat umur kehamilan. Semakin muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh semakin kurang sempurna dan prognosisnya semakin kurang baik (JNPK-KR, 2008a). Sebuah penelitian yang meneliti tentang outcome BBLSR di Iranian Center menemukan bahwa faktor umur kehamilan berhubungan bermakna dengan kelangsungan hidup BBLSR (30,5 ± 2,2 vs 27,5 ± 2 minggu, p <0,001). Kematian BBLSR preterm (umur kehamilan <37 minggu) ditemukan berbeda-beda pada beberapa kategori kelompok umur bila dibandingkan dengan kematian BBLSR at term (umur kehamilan ≥37 minggu). Kematian BBLSR pada umur kehamilan ≤28 minggu, 29-32 minggu dan 33-36 minggu didapatkan sebesar 6,89 kali (95%CI=0,43-0,56), 0.56 kali (95%CI=0,76-62,83), dan 0.13 kali (95%CI=0,065,15) bila dibandingkan dengan kematian BBLSR pada umur kehamilan ≥37 minggu (Afjeh dkk, 2013).
32
b)
Berat lahir Semakin muda umur kehamilan dan semakin lama terjadinya gangguan
pertumbuhan dalam kandungan menyebabkan semakin besar kemungkin bayi lahir dengan berat badan yang lebih rendah dan semakin kecil kemampuannya dalam kelangsungan hidup masa neonatal (JNPK-KR, 2008a). Penelitian tentang survival rate BBLR dan BBLSR di masyarakat Iran menemukan bahwa berat lahir berhubungan bermakna dengan kematian BBLR. Odds ratio kematian neonatal dengan berat lahir <1500 gram sebesar 4.1 kali (95%CI=1,2-13,9) dibandingkan dengan neonatal dengan berat lahir 1500-2500 gram (Vazirineja dkk, 2012). Penelitian tentang outcome BBLSR dari laporan selama lebih dari 3 tahun di Iranian Center menemukan bahwa rata-rata berat lahir BBLSR yang bertahan hidup lebih tinggi secara bermakna daripada BBLSR yang meninggal (1275±189 vs. 944±253 gram (Afjeh dkk, 2013). c)
Asfiksia Asfiksia pada bayi baru lahir adalah kegagalan untuk bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Selain dapat menyebabkan kematian, asfiksia juga dapat mengakibatkan kecacatan. Menurut SKRT 2001, asfiksia merupakan penyebab kematian neonatal yang paling tinggi dimana 27% kematian neonatal disebabkan oleh asfiksia dan angka kematian sekitar 41,94% di RS pusat rujukan propinsi. Penelitian di Sagamu, Nigeria menemukan bahwa kematian bayi dengan berat lahir <1.5 kg berhubungan dengan kejadian asfiksia (Ogunlesi, 2011). Penelitian di rumah sakit Sardjito, Yogyakarta menemukan bahwa kematian BBL 1000-2500 gram dengan asfiksia lebih tinggi dari bayi tanpa
33
asfiksia tapi secara statistik tidak bermakna (OR 2,59; 95%CI 0,821-5,067) (Wardani dkk, 2009). d)
RDS (respiratory distress syndrome) RDS juga disebut hyaline membrane disease (HMD) merupakan penyakit
pernapasan yang terutama mempengaruhi bayi kurang bulan. Keadaan ini terjadi pada sekitar seperempat bayi yang lahir pada umur kehamilan 32 minggu dan insidennya meningkat sejalan dengan memendeknya periode kehamilan (JNPKKR, 2008a). RDS merupakan faktor utama penyebab kematian BBLSR yang ditemukan pada penelitian di Iranian center (OR=8,17; 95%CI=4,29-15,56). e)
Sepsis Sepsis masih menjadi penyebab utama kesakitan dan kematian neonatus.
Sepsis neonatorum sangat berbahaya dan bayi yang tetap hidup bisa mengalami cacat neurologis yang signifikan dan salah satu faktor risiko sepsis adalah kelahiran kurang bulan (JNPK-KR, 2008b). Sepsis merupakan faktor resiko kematian BBLR (OR=5,05; 95%CI=2,43-11,19) yang ditemukan pada penelitian Wardani dkk (2009). f)
Hipoglikemi Hipoglikemi bayi biasanya didefinisikan sebagai nilai glukosa serum ≤45
mg/dl. Hipoglikemi yang tidak ditangani dapat mengakibatkan kerusakan syaraf permanen atau kematian (JNPK-KR, 2008b). Hipoglikemi merupakan faktor risiko kematian BBLR (OR=3,36; 95%CI=1,70-6,71) pada penelitian Wardani dkk (2009) .
34
g)
Hipotermi Hipotermi adalah suhu tubuh kurang dari 36.50C pada pengukuran suhu
melalui ketiak. Hipotermi merupakan suatu tanda bahaya karena dapat menyebabkan terjadinya perubahan metabolism tubuh yang akan berakhir dengan kegagalan fungsi jantung paru dan kematian (JNPK-KR, 2008a). Hipotermi merupakan salah satu faktor risiko kematian BBLR pada penelitian sebelumnya (Basu dkk, 2008). h)
Hiperbilirubinemia Hiperbilirubinemia adalah naiknya kadar bilirubin serum dengan gejala
yang paling mudah diidentifikasi adalah ikterus dimana kulit dan selaput lendir berwarna kuning yang nampak nyata pada neonatus bila bilirubin total ≥5 mg/dl (JNPK-KR, 2008b). Penelitian sebelumnya tentang faktor risiko kematian BBLR telah meneliti hiperbilirubinemia sebagai salah satu faktor yang diteliti, namun tidak berhubungan bermakna dengan kematian BBLR (Basu dkk, 2008). i)
Masalah minum (Feeding problem) Komplikasi yang sering terjadi pada BBLR yaitu hipotermi, hipoglikemi,
ikterus, infeksi atau curiga sepsis, sindrom aspirasi mekonium dan masalah minum (JNPK-KR, 2008a). Masalah minum yaitu bayi tidak dapat atau tidak mau minum. Waktu timbulnya yaitu sejak lahir. Masalah minum sering terjadi pada bayi baru lahir, pada bayi sakit berat dan bayi berat lahir rendah. Masalah minum perlu mendapat perhatian khusus untuk mengurangi resiko terjadinya penyakit dan kematian.
35
j)
Pemberian antibiotika Pemberian antibiotika diperlukan pada BBLR karena memiliki risiko tinggi
terhadap infeksi. Pseudomonas selalu muncul di unit perawatan neonatologi dan dihubungkan dengan tingginya angka kematian pada neonatus di unit perawatan intensif. Reservoir potensial untuk pseudomonas meliputi alat-alat resusitasi, inkubator, susu formula, pompa payudara, bayi dengan perawatan lama, dan tangan petugas kesehatan (Johanes dkk, 2007). Pada sebuah studi kasus yang dilakukan di Lampung menyimpulkan bahwa pemberian antibiotika diperlukan pada BBLR (Adhein dan Rahmanoe, 2014). Penelitian prosfektif tentang epidemi infeksi pada BBLR menemukan bahwa insiden infeksi sebesar 43,1% dan penggunaan antibiotika secara rasional sangat diperlukan (Helwich dkk, 2009). Sementara penelitian di RS Sardjito menemukan bahwa pemberian antibiotika profilaksis dalam menegah sepsis neonatorum klinis dini pada bayi baru lahir dengan potensial infeksi, salah satunya BBLR, sama efektif dengan tanpa peberian antibiotika profilaksis (Darawati, 2001). k)
Panjang badan, lingkar lengan, lingkar dada, Apgar score Faktor lainnya yang diteliti pada penelitian sebelumnya antara lain panjang
badan lahir (Basu dkk, 2008), lingkar kepala (Basu dkk, 2008), lingkar dada (Basu dkk, 2008), apgar score (Afjeh dkk, 2013; Nayeri dkk, 2013; Basu dkk, 2008). l)
Laboratorium Hasil pemeriksaan laboratorium juga telah diteliti pada penelitian tentang
faktor risiko kematian BBLR sebelumnya antara lain whole bood cell (WBC), hemoglobin, hematokrit, trombosit, gula darah, bilirubin. (Basu dkk, 2008).
36